ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL, DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE SUATU GENRE NYANYIAN RATAPAN DALAM KONTEKS KEMATIAN PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI DI DESA SIOMPIN ACEH SINGKIL
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
MARLIANA MANIK NIM: 060707022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
i
ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL, DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE SUATU GENRE NYANYIAN RATAPAN DALAM KONTEKS KEMATIAN PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI DI DESA SIOMPIN ACEH SINGKIL
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MARLIANA MANIK NIM : 070707016 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Setia Dermawn Purba, M.Si. NIP 196512211991031001
Drs. Bebas Sembiring, M.Si. NIP 195703131991031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012 ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Ph.D. 4. 5.
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
iv
ABSTRAKSI Skripsi ini berjudul “Analisis Tekstual dan Musikal Tangis Simate Pada Masyarakat Pakpak”. Tangis si mate merupakan salah satu musik vokal (nyanyian) yang ada pada masyarakat Pakpak Nyanyian ini. disajikan oleh kaum wanita ketika ada salah satu anggota keluarga yang meningga dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangisi sebelum dikebumikan Dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana struktur tekstual dan musikal dari nyanyian tersebut serta makna teks yang terkandung dari nyanyian tersebut . Nyanyian ini sudah tidak ditemukan lagi pada masyarakat Pakpak, oleh karena itu penulis membuat rekonstruksi kembali dari nyanyian tersebut. Untuk memperoleh data atau informasi tentang nyanyian ini, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan orang yang mengetahui tentang nyanyian tersebut.
v
KATA PENGANTAR Segala puji syukur dan hormat penulis panjatkan kepada TuhanYesus Kristus, yang senantiasa menyertai penulis hingga saat ini bahkan selama penyelesaian tulisan ini. Semoga Tuhan juga memberikan rahmat-Nya kepada semua makhluk di seluruh dunia ini, terutama kepada keluarga besar Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Skripsi ini berjudul “Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Tangis Simate Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian pada Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil.” Skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) di Departemen (Program Studi) Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis minta maaf kepada para pembaca dan dapat memakluminya. Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta materi agar proses penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini. 1. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda J. Manik dan almarhumah ibunda tercinta R. Boang Menalu atas cinta, kasih sayang, motivasi dan doa-doa yang tiada henti kepada penulis serta kebutuhan-kebutuhan yang telah dipenuhi selama proses penyelesaian tulisan ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayah dan ibu sebagai hadiah yang
vi
membuat mereka bangga. Ibu, walaupun ibu sudah tiada, tetapi penulis tidak akan pernah lupa akan kasih sayangmu mulai dari kecil hingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini. Ayah, terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan atas segala doa, semangat dan kebutuhan-kebutuhan yang engkau penuhi kepada penulis. Biarlah Tuhan yang memberkati ayah selalu. Aku sayang ayah dan ibu. 2. Kepada kakak dan abang tercinta Mersinatap Manik beserta suami, Pdt. E. Manik, S.Th. beserta istr; Merita Manik S.PAK, dan Mariati Rusmianna Manik, S.E. Terimakasih atas semangat, dukungan, arahan, motivasi, serta doa-doanya kepada penulis. Mereka adalah orang-orang yang juga selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis. Ketika penulis mengalami saat-saat sulit, kalian selalu ada dan memberikan semangat untuk penulis. Terimakasih abang dan kakak, biarlah kiranya Tuhan selalu memberkati kalian. Aku sayang kalian. 3. Kepada Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah sabar dalam membimbing penulis, memberikan arahan, ilmu, serta saran-saran kepada penulis hingga tulisan ini bisa selesai. Biarlah Tuhan yang memberkati bapak selalu. 4. Kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D., selaku ketua departemen etnomusikologi sekaligus dosen pembinmbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan selama proses penyelesaian tulisan ini. Kiranya Tuhan yang memberkati bapak selalu. 5. Kepada bapak/ibu dosen Departemen Etnomusikologi yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama di bangku perkuliahan. Terimakasih bapak dan ibu, kiranya Tuhan yang memberkati bapak dan ibu selalu.
vii
6. Kepada staf/pegawai departemen etnomusikologi yang telah membantu proses administrasi penulis hingga bisa selesai dengan baik. 7. Kepada teman-teman setambuk 2008
yang penulis kasihi dan sayangi
(Yudhistira Siahaan, S.Sn.; Brian Harefa, S.Sn.; Augusman Tafanao, S.Sn.; Andro Hutabarat, S.Sn.; Pardon Simbolon, S.Sn.; Marini Sinaga, S.Sn.; Sandro Batubara, S.Sn.; Sudarsono Malau, Medina Hutasoit, Daniel Sianturi, Daniel Zai, Mario King, dan Nielson Sihombing. Terimakasih buat setiap kebaikan, perhatian, semangat dan pertolongan yang diberikan kepada penulis. Bahkan ketika penulis mengalami musibah, kalian ada untuk memberikan semangat dan pertolongan untuk penulis. Terimakasih juga buat setiap hal yang boleh kita lalui di sepanjang masa perkuliahan. Kiranya persahabatan kita tetap terjalin baik dan kita akan menjadi orang-orang yang sukses. 8. Kepada adik-adik rohani penulis (Rinova S dan Nova Op.s) yang memberikan semangat, motivasi dan doa-doa kepada penulis. Terimakasih buat senyum dan keceriaan kalian yang membuat penulis menjadi semangat. Aku sayang kalian. 9. Kepada kakak rohani penulis (Inta Hasugian, S.Sn.) yang telah memberikan semangat, motivasi, doa serta saran-saran kepada penulis. Kepada Rina Simanjuntak, S.Sn. dan Chrismes Manik yang juga telah banyak membantu penulis.
Terimakasih
buat
pinjaman
laptopnya
pada
saat
penulis
membutuhkannya. Begitu juga kepada seluruh alumni, senior dan junior, dan pihak-pihak yang telah membantu yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Biaralah Tuhan yang memberkati kalian selalu.
viii
Akhir kata, kiranya tulisan ini bermanfaat bagi setiap pembaca. Njuah-njuah banta karina.
Medan, Maret 2013 Penulis,
Marliana Manik
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya. Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan peran penting terhadap perilaku manusia dan benda-benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi, 1 yang wilayah kebudayaannya mencakup Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian. Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi dikenal berbagai jenis seni, seperti seni rupa, musik (genderang), tari (tatak), dan seterusnya. Mereka memiliki musik vokal yang disebut ende, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti ende mendedah (menidurkan 1
Istilah Pakpak dan Dairi biasanya dalam konteks kajian kebudayaan di Sumatera Utara adalah menyatu dan saling berkait. Ini merujuk kepada dua komunitas yang membentu satu kesatuan etnik, yaitu Pakpak dan Dairi. Bagi mereka Pakpak adalah sebuah komunitas dengan ciri khas dan garis keturunan tersendiri, demikian pula Dairi juga adalah sebuah komunitas dengan ciri khas dan garis keturunan yang tersendiri pula, namun secara budaya kedua komunitas ini sadar akan ber bagai kesamaan. Oleh karenma itu pembahasan mengenai identitas Pakpak selalu dikaitakn dengan dairi atau sebaliknya. Bahkan dengan melihat keberadaan kebudayaan mereka bisa juga dikatakan ada sejumlah besar persamaan antara Pakpak dan Dairi yang mencakup bahasa, teknologi, organisasi, adat, filsafat hidup, dan lain-lainnya Dalam kajian ilmu-ilmu budaya istilah ini ditulis dengan menyertakan tanda hubung (-) , yaitu Pakpak-Dairi yang maknanya adalah sebagai satu kesatuan etnik atau komunitas.
1
anak), ende markemenjen (nyanyian sambil menyadap kemenyan), nangen (nyanyian yang bertemakan dongeng), tangis simate, dan lain-lainnya. Tangis simate adalah nyanyian ratapan yang disajikan ketika adanya kematian di dalam kebudayaan Pakpak-Dairi. Nyanyian ini adalah berupa ekspresi kesedihan kerabat dan segenap orang yang ditinggalkan orang yang telah meninggal dunia tersebut. Teks yang disajikan merupakan ungkapan perasaan dari si penyaji, yang strukturnya menggunakan unsur-unsur pantun tradisional PakpakDairi, yang dio dalamnya ada bait yang umumnya tersdiri dari empat baris, juga ada sampiran, isi, rima (persajakan), serta yang tidak kalahpentingnya unsur musikal dalam penyajiannya. Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak boleh sembarangan atau tidak seperti bahasa sehari-hari tetapi ada aturan tersendiri dalam penyampaian kata-kata tersebut. Misalnya, jika yang meninggal adalah seorang ibu, maka pada waktu anaknya menangisinya, maka ia tidak boleh langsung menggunakan kata ibu, tetapi diganti dengan kata inang ni beruna. Jika yang meninggal adalah seorang anak perempuan (bahasa Pakpak: berru) maka ketika ibunya menangisinya kata berru diganti dengan tendi ni inangna. Dengan demikian, ada aturan-aturan tertentu dalam penyampaian kata-kata. Sedangkan untuk irama, ada suatu dinamika (tinggi rendah) dalam menyanyikannya pada setiap kata-kata tertentu. Mengingat pentingnya tangis simate ini, maka dahulu seorang gadis disarankan untuk belajar menyajikan nyanyian ini kepada orang yang pandai menyajikannya. Biasanya kepada kaum ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Tujuannya
2
adalah untuk melestarikan kebudayaan dan sebagai sarana ekspresi nilai-nilai yang dipegang teguh oleh oramg Pakpak-Dairi. Dalam tradisi Pakpak-Dairi, setiap orang khususnya keluarga dekat yang melayat wajib menangisi orang yang meninggal tersebut dengan gaya tangis simate sebagai tanda bahwa mereka juga turut berduka atas sepeninggal si mati tersebut. Jika orang yang melayat tersebut tidak menyajikan tangis simate ini, maka mereka dianggap tidak ikut bersedih atau merasakan dukacita atas sepeninggal si mati tersebut. Hal ini merupakan suatu tradisi pada masyarakat Pakpak ketika melayat. Tangis simate ini juga bisa dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal dunia terhadap orang-orang di sekitarnya. Dengan mendengar tangis tersebut, maka secara otomatis orang-orang di sekitarnya akan mengetahui bahwa ada orang yang meninggal di sekitarnya. Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi tangis simate ini tidak pernah disajikan oleh kaum pria. Hal ini memang tidak pernah berlaku pada masyarakat itu sendiri. Untuk menyajikan tangis simate ini memang merupakan tugas dari kaum wanita. Menurut penjelasan para informan tidak pernah ditemukan kaum pria yang menyajikan tangis simate tersebut, karena merupakan hal yang dianggap tabu bagi masyarakat Pakpak jika ada kaum pria yang menyajikan tangis simate ini. Laki-laki yang menangis dengan gaya tangis simate tersebut akan dianggap sebagai laki-laki yang lemah. Pada awalnya penulis berpikir bahwa teks atau lirik yang diungkapkan penyaji pada waktu menangisi orang yang meninggal tersebut hanya berkisar
3
tentang orang yang meninggal tersebut saja, misalnya kelebihan-kelebihannya, sifat-sifatnya, serta pengalaman selama bersama orang yang meninggal tersebut. Namun setelah dikaji lebih mendalam, dalam kenyataannya setelah meneliti lebih lanjut ternyata teks yang diungkapkan penyaji tidak hanya itu saja, melainkan bercerita tentang pengalaman atau penderitaan yang dialami orang yang menangis tersebut. Pada waktu menangisi orang yang meninggal tersebut, maka penyaji mengungkapkan segala keluh kesah di dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada istilah: “Pande mang ngo ko keppe memukai sindanggelku.” Artinya: “Kamu membuka atau mengingatkan kembali tentang penderitaanku.” Jadi, melalui tangis tersebut si penyaji teringat kembali tentang pengalaman hidupnya, terutama penderitaan-penderitaan yang dialami serta diungkapkan melalui tangis tersebut. Semua keluh kesah akan diungkapkan melalui tangis tersebut terutama penderitaan yang dialami dalam kehidupannya. Bahkan anggota keluarga yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia dalam waktu yang sudah begitu lama diceritakan atau dikenang kembali sehingga tangis tersebut dapat berlangsung lama. Dengan demikian, tangis simate tersebut bisa dikatakan sebagai media untuk mengungkapan perasaan atau isi hati si penyaji tentang penderitaan yang dialami dalam hidupnya. Dalam penyajiannya, tangis simate ini bisa berlangsung selama dua hari dua malam tanpa berhenti, dengan penyaji yang bisa silih berganti. Si penyaji terus-menerus menangis di hadapan orang yang meninggal tersebut. Tidak begitu peduli lagi dengan aktivitas lain, seperti makan, tidur dan aktivitas lainnya. Si penyaji merasa puas ketika mengungkapkan perasaannya melalui tangis tersebut. Rasa lapar, ngantuk, lelah tidak dirasakannya lagi ketika sedang menangis padahal
4
dia sudah menangis dalam waktu yang cukup lama. Si penyaji terlarut dengan duka yang mendalam dan terus mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya. Teks yang diungkapkan mengalir secara spontan. Dengan menyajikan tangis simate tersebut, maka si penyaji merasa puas karena sudah mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya.2 Dengan melihat fakta sosial dan budaya seperti diurai di atas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang keberadaan tangis simate dari tiga sudut pandang utama yaitu: (a) fungsi, (b) tekstual, dan (c) musikal, yang merupakan salah satu musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil, yang disajikan dalam konteks kematian. Tangis simate adalah nyanyian ratapan kaum wanita ketika salah seorang keluarga meninggal dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangis sebelum dikebumikan. Teks nya berisi hal-hal perilaku yang paling berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihankelebihannya, serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga, sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini pula, orang-orang yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini para pelayat akan dibawa ke dalam suasana duka yang mendalam melalui teknik atau gaya menangis sehingga dengan demikian pelayat akan bersatu ke dalam suatu perasaan duka yang mendalam. Tangis simate adalah nyanyian logogenik yang mengutamakan teks daripada
2
Wawancara dengan Ibu Baniah br Boang Menalu, Januari 2012 di desa Siompin, Aceh Singkil. Dengan melihat uraian dari ibu teersebut menggambarkan kepada kita bahwa menyajikan tangis simate adalah sebuah aktivitas total dari penyajinya yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan. Ini juga memberikan gambaran tentang begitu pentingnya keberadaan tangis simate di dalam kebudayaan Pakpak-Dairi.
5
melodi. Disajikan secara strofik, yaitu teksnya berubah-ubah tetapi melodinya sama atau hampir sama (Naiborhu, 2004:150). Sesuai dengan perjalanan waktu dalam konteks kebudayaan Pakpak, maka institusi adat tangis simate ini, mengalami perubahan-perubahan. Di antara penyebab perubahan itu adalah zaman, juga agama yang datang ke dalam kehidupan masyarakat Pakpak-Dairi. Jika melihat keberadaannya saat ini, nyanyian ini mengalami penurunan pembelajarannya kepada generasi muda. Menurut hasil wawancara, hal ini disebabkan karena faktor agama. Menurut masyarakat Pakpak itu sendiri, tangis tersebut bertentangan dengan agama. Adanya ungkapan kesedihan yang berlebihan terhadap orang yang meninggal tersebut, terkesan seperti tidak menerima kenyataan. Sedangkan menurut konsep agama, setiap manusia pasti akan kembali kepada Sang Pencipta. Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan dan menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang turun-temurun dilaksanakan. Di dalam tulisan Lothar Screiner dikatakan bagaimana hubungan adat dan agama. Segala sesuatu yang mempunyai kebiasaan, baik golongan maupun perorangan, itu mempunyai suatu adat. Juga kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan yang tidak disadari, bahkan naluri-naluri, orang sebutkan sebagai adat. Oleh karena itu, adat merangkum semua lapangan kehidupan, agama, dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan, dan kematian. Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan. Adat dan agama janganlah dianggap sebagai dua hal yang berdiri satu di samping yang lain dan saling terikat. Selain itu, jangan pula orang menganggap bahwa agama berada di atas adat. Tetapi adat itu harus dipahami sebagai keberagaman
6
totaliter dari manusia yang diliputi oleh tradisi mitisnya. Sifat khas keberagaman ini terdapat dalam dijaminnya keselamatan melalui kesetiaan yang kokoh kepada apa yang orang anut. Adat bukanlah agama itu sendiri, melainkan pelaksanaannya secara menyeluruh, yang diperlukan untuk memberlakukan peristiwa keselamatan dari zaman purbakala. Selain faktor agama, faktor lain yang menyebabkan memudarnya nyanyian ini adalah masyarakat Pakpak yang menganggap hal tersebut merupakan tradisi yang tidak perlu lagi dilestariakan, seiring dengan perkembangan zaman yang sudah semakin maju, maka nyanyian ini, tidak mendapat perhatian lagi. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
lebih
lanjut
dalam
bentuk
karya
ilmiah dengan
pendekatan
etnomusikologis. Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam kebudayaan. Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dengan terang-terangan dinyatakan oleh para ilmuwannya berada dalam dua kelompok disiplin besar, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Etnomusikologi memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu. Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas di dalam etnomusikologi (Merriam, 1964). Berdasarkan sejarah perkembangan etnomusikologi di dalam dunia ilmu pengetahuan, terjadi gabungan dua disiplin Musikologi selalu digunakan
dalam
yaitu musikologi dan etnologi.
mendeskripsikan struktur musik yang
7
mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri. Di lain sisi, etnologi (atau kini menjadi antropologi) memandang musik sebagai
bahagian dari
fungsi
kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara tegas tentang apa itu etnomusikologi dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Berdasarkan kutipan yang penulis kutip langsung pada paragraf di atas, maka menurut Merriam, para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena itu, selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian tentu saja akan
menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan
masalah
besar
dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan
8
penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bahagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengandaikan
kembali
suatu aura reaksi
terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan
melakukan studi musik
dalam
konteks etnologisnya.
Di sini,
penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara
musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan
kebudayaan
manusia yang lebih luas. Dengan demikian meneliti tangis simate sebagai musik vokal yang berkaitan dengan sistem religi tradisional dan kosmologi di dalam kebudayaan pakpak-Dairi sangatlah relevan dengan disiplin etnomusikologi. Sesuai dengan uraian Merriam, maka mengkaji tangis simate haruslah dalam dimensi musikologis (struktural) dan etnologi (fungsional). Dengan demikian kajian ini akan melihat bagaimana fungsi, struktur teks, dan musikal yang disajikan dalam tangis simate sehingga nyanyian tersebut dapat mempengaruhi atau membawa orang lain larut dalam suasana duka yang mendalam. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat ke dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Tangis Simate
Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian pada
9
Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil.” Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan tentang kebudayaan yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi.
1.2 Pokok Permasalahan Sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian kepada masalah yang akan diteliti, maka penulis menentukan tiga pokok masalah (atau pertanyaan masalah), yaitu sebagai berikut. 1. Bagaimana fungsi tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompil Aceh Singkil? 2. Bagaimana struktur dan makna tekstual yang terkandung dalam tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil? 3. Bagaimana struktur musikal yang terkandung di dalam tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil? Pokok masalah pertama, yaitu mengenai fungsi akan didukung oleh analisis terhadap fungsi tangis simate sebagai musik vokal dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil. Pokok permasalahan ini juga akan diurai melalui dua perangkat penting dalam etnomusikologi yaitu penggunaan dan fungsi musik (dalam hal ini tangis simate). Pokok masalah kedua yaitu tentang struktur dan makna tekstual akan diurai dengan bagaiman bentuk struktur tangis simate yang mencakup bait, baris, persajakan (rima), diksi (pemilihan kata), gaya bahasa, dan hal-hal sejenis. Pokok masalah kedua ini juga
10
akan dijabarkan dengan sejauh apa makna-makna yang terdapat dalam lirik tangis simate dengan pendekatan kajian kebudayaan. Kemudian untuk pokok masalah ketiga yaitu bagaimana struktur musikal tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-dairi di Desa Siompin Aceh Singkil akan diurai dengan unsur utamanya yaitu melodi yang mencakup tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, nada-nada yang digunakan, distribusi interval, pola-pola kadensa, dan kontur. Dengan fokus pada tiga pokok masalah dan unsur-unsur yang akan dikaji, maka diharapkan dalam penelitian ini akan ditemukan hal-hal baru dalam konteks penelitian etnomusikologis.
1.3 Tujuan Penelitian Adapaun tujuan yang ingin penulis capai dalam rangka penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana fungsi tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil. 2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur dan makna tekstual yang terdapat pada nyanyian tangis simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil. 3. Untuk mengetahui dan memahami struktur musikal yang terkandung di dalam nyanyian tangis simate tersebut pada masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil. Secara umum tujuan akhir dalam penelitian ini adalah dengan mengetahui dan memahami fungsi, struktur dan makna tekstual, dan struktur musikal tangis
11
simate dalam kebudayaan pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil adalah memahami manusia Pakpak-Dairi yang memiliki budaya tangis simate sedemikian rupa. Secara etnomusikologi, tujuan akhir menganalisis musik adalah memahami manusia yang menghasilkan musik sedemikian rupa itu (lebih jauh lihat Merriam 1964).
1.4 Manfaat Penelitian Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan Pakpak, peneliatian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut: a. Sarana untuk memperluas pengetahuan tentang tangis simate terhadap kesenian Pakpak-Dairi. b. Bermanfaat bagi pembaca khususnya yang bergelut di bidang disiplin ilmu etnomusikologi. c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional Pakpak-Dairi. d. Sebagai data etnografi yang akan memperkaya khasanah keilmuan tentang budaya Pakpak-Dairi.
1.5 Konsep Tangis simate adalah salah satu nyanyian atau musik vokal yang terdapat pada
masyarakat Pakpak yang disajikan dalam konteks kematian. Tangis artinya
tangisan, dan si mate artinya orang yang meninggal. Jadi, tangis simate adalah tangisan yang disajikan untuk orang ysng meninggal.
12
Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum musik terbagi atas tiga bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental, dan (3) gabungan antara instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut nyanyian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat/media untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa iringan musik.. Berdasarkan uraian di atas maka tangis simate dapat disebut juga sebagai musik vokal atau nyanyian, karena menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik, dan pola-pola melodi. Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur musikal, struktur teks serta makna yang terkandung dalam teks tersebut. Fungsi dapat diartikan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi, fungsi soaial adalah manfaat atau kegunaan seuatu hal dalam masyarakat. Dalam hal ini, penulis akan melihat apa fungsi atau kegunaan tangis simate dalam masyarakat Pakpak-Dairi. Sebagai landasan penelitian ini, tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian. Istilah teks dalam musik vokal
13
berarti syair. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan memghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf, 1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang artinya bersifat musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.
1.5
Kerangka Teori Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir
dalam
membahas permasalahan (Nasution, 1982:126). Dalam tulisan ini yang menjadi pokok permasalahannya adalah mengetahui unsur-unsur tekstual serta musikal yang terkandung dalam tangisi mate tersebut. Sesuai dengan tiga pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: fungsi, tekstual, dan musikal, maka dipergunakan juga tiga teori utama. Untuk mengkaji penggunaan dan fungsi tangsi simate sebagai nyanyian ratapan kematian digunakan teori fungsionalisme (atau disebut uses and function) yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam (1964). Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual digunakan teori semiotika. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musikal yang berupa melodi tangis simate digunakan teori weighted scale.
14
1.5.1 Teori Fungsionalisme Untuk membahas fungsi tangis simate dalam kebudayaan etnik PakpakDairi di Desa Siompin Aceh Singkil, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan kepada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.
Kajian atau analisis terhadap
fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusiinstitusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud.
Sebagai
contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung aktivitas politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, Merriam (1964:7-18) menyatakan bahwa dalam studi etnomusikologi, maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan. Untuk memahami penggunaan dan fungsi musik, khususnya dalam tangis simate, penulis berpedoman pada pendapat Allan P meriam (1964:209-226) yang menyatakan tentang penggunan musik yang meliputi perihal pemakaian musik dan konteks pemakaiannya atau bagaiman musik itu digunakan. Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh Allan P Merriam (1964:217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan sosial, (3) penggunan musik dengan manusia dan
15
alam, (4) penggunan musik dengan nilai-nilai estetika, dan (4) penggunaan musik dengan bahasa. Untuk menemukan jawaban perihal fungsi musik, Merriam yang menyebutkan bahwa terdapat sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting.
Para ahli
etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the 16
situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves (1964:210). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian dari stuasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia— [yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga, dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut
behubungan
mengorganisasikan
dengan
ritual
dan
mekanisme
lain,
kegiatan-kegiatan
seperti
menari,
upacara.
berdoa,
“Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh adanya musik itu.
1.5.2 Teori Semiotika Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual tangis simate, penulis menggunakan teori semiotika. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika 17
adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru
18
muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di
lapangan semiotik ini, ia menumpukan
perhatian kepada pragmatisme dan logika.
Ia mendefinisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.”
Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan);
(b)
indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks tangis simate.
1.5.3 Teori Weighted Scale Untuk mengkaji aspek musikal tangis simate yang disajikan secara melodis, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh Malm yang dikenal dengan teori weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisisi melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau kriteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence
19
patterns), (7) formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13). Dalam, rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi tangsi simate yang disajikan oleh narasumber penulis, maka
terlebih dahulu data audio
ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini juga penulis melakukan penafsiranpenafsiran.
1.7
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan berupa angkaangka. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor (dalam Maleong 1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati. Menurut Faisal (1992:17-35) terdapat lima format penelitian ilmu-ilmu sosial. Kelima-limanya adalah: (1) penelitian deskriptif, (2) penelitian eksplanasi, (3) studi kasus, (4) survei, dan (5) eksperimen. Seperti telah disebutkan dia tas bahwa penelitian ini menggunakan format penelitian deskriptif. Yang dimaksud penelitian dekriptif (descriptive research) yang biasa juga disebut dengan penelitian taksonomik, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah
20
variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis pendekatan ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antarvariabel yang ada. Tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel anteseden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena itu, pada penelitian yang menggunakan format penelitian deskriptif, tidak menggunakan dan melakukan pengujian hipotesis, seperti yang dilakukan pada penelitian dengan format eksplanasi. Berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori. Dalam pengolahan dan analisis data , lazimnya menggunakan statistik yang bersifat deskriptif. Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, adalah mengutip pendapat Denzin, et al. (2009:6) yang menjelaskan bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat penelitian yang sarat nilai.
Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya. Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan kadang-kadang kontradisiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmuilmu sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman manusia (Nelson, dkk., dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5). Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah mencakup: (a) studi kepustakaan, (b) observasi, (c) wawancara, dan (d) kerja laboratorium. Keempat teknik ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
21
1.7.1 Studi Kepustakaan Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapat pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa skripsi yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga buku-buku yang berkait dengan kebudayaan Pakpak-Dairi, tentang siklus hidup manusia terutama ritus peralihan antara dunia nyata dan alam kematian, tentang sistem religi yang berkaitan dengan kematian, dan lain-lain. Selain itu juga dalam studi kepustakaan ini penulis melakukan survei terhadap tulisan-tulisan di jejaring sosial internet, terutama yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Di dalamnya terdapat data yang diunggah melalui blok dan juga laman web. Data-data ini membantu memahami latar belakang kajian terhadap tangis simate sebagai prilaku sosial, budaya, dan musikal.
1.7.2 Observasi Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan dengan
menggunakan pengamatan dan pengundraan untuk
menghimpun data penelitian. Menurut Bungin (2007:115), metode observasi merupakan kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya. Dalam meneliti nyanyian ini, penulis meneliti langsung ke lapangan. Adapun lokasi penelitian ini adalah di desa Siompin, kecamatan Suro, Kabupaten
22
Aceh Singkil. Penulis tinggal selama beberapa hari disana untuk melakukan penelitian.
1.7.3 Wawancara Salah satu teknik pemgumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan teknik wawancara. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adakah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokok permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembamg ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Dengan melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak informasi tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu: Ibu Baniah br Boang Menalu, Ibu Saidup br Berutu dan Ibu Tida br Manik. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Pakpak-Dairi dan selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri.
1.7.4 Kerja Laboratorium Keseluruhan data yang diperoleh penulis dari berbagai sumber yaitu hasil pengamatan di lapangan, hasil wawancara selanjutnya akan ditelaah dan diolah dalam kerja laboratorium. Penulis juga akan menstranskripsikan musik tersebut. Transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok dengan bantuan perangkat lunak program sibellius. Hasilnya dapat dilihat dalam Bab IV skripsi
23
ini. Langkah berikutnya adalah menganalisis aspek melodinya. Untuk melengkapi analisis melodis ini, penulis juga melakukan analisis struktur teks dari nyanyian tersebut. Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya ke dalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah yang berlaku di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan pendekatan di bidang etnomusikologi, maka dalam menganalisis tangis simate dengan tiga fokus pokok masalah yaitu: fungsi, tekstual, dan musikal, maka perlu dilihat dalam konteks multidisiplin ilmu. Misalnya dalam menganalisis fungsi tangis simate perlu dilihat guna dan fungsinya dalam masyarakat yang menggunakan disiplin etnomusikologi dan yang terkait yaitu antropologi atau sosiologi. Demikian pula untuk mengkaji bidang tekstual tangis simate diperlukan melihatnya dalam multidisiplin seperti melihatnya dari aspek sastra, linguistik, dan semiotika namun dengan tekanan utama pada etnomusikologi. Demikian pula dalam mengkaji musikal perlu dilihat melalui musikologi dan prosodi. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan pengetahuan di bidang etnomusikologi.
24
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI DI DESA SIOMPIN ACEH SINGKIL
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak-Dairi Pada Bab II ini, saya akan membahas tentang etnografi umum masyarakat Pakpak-Dairi secara umum, serta menggambarkan tentang lokasi penelitian yang saya teliti. Di sini akan saya jelaskan beberapa hal, seperti bahasa, mata pencaharian, sistem kekerabatan, serta kesenian yang terdapat di daerah lokasi yang saya teliti. Etnik Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Kabupaten Dairi ibu kotanya Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan. 2. Kabupaten Aceh Singkil ibu kotanya Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Singkil Boang. 3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah Keppas. 4. Kotamadya Subulussalam ibu kotanya Subulussalam yang terdiri dari 5 Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil dan masih termasuk Suak Singkil Boang.
25
5. Kabupaten Tapanuli Tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6 Kecamatan dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah Pakpak (Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus, Barus Utara, Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56 Desa/kelurahan. 6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibu kotanya Dolok Sanggul yang terdiri dari 3 Kecamatan, yaitu : Kec. Pakkat, Kec. Parlilitan dan Kec. Tara Bintang dan masih termasuk ke dalam Suak Kelasen. Luas wilayah tanah Pakpak keseluruhan adalah 8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
Tabel 2.1 Luas Wilayah Budaya Etnik Pakpak-Dairi di Sumatera Utara dan Aceh
No. Kabupaten/Kecamatan
Luas
1
Kabupaten Dairi
1.927,8 Km2
2.
Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Madya Subulussalam
3.
Kabupaten Pakpak Bharat
4.
Kabupaten Barus
5.
Kecamatan Sosor Gadong
143,18 Km2
6.
Kecamatan Andam Dewi
122,42 Km2
7.
Kecamatan Manduamas
99,55 Km2
8.
Kecamatan Sirandorung
87,82 Km2
9.
Kecamatan Pakkat
375,8 Km2 1.221,3 Km2 84,83 Km2
459,140Km2
26
10.
Kecamatan Parlilitan
598,70 Km2
11.
Kecamatan Tara Bintang
277,30 Km2
Jumlah
8.331,12 Km2 Sumber: Pemerintah Kabupaten Dairi (2012)
Selanjutnya tanah hak ulayat Pakpak berbatasan sebagai berikut. (a) Sebelah Utara berbatasan dengan Aceh Tenggara dan Aceh Selatan, (b) Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Karo, (c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara, dan (d) Sebelah Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah
2.2 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Aceh Singkil Lokasi penelitian yang penulis ambil terletak di Desa Siompin, Kecamatan Suro, Kabupaten Aceh Singkil yang merupakan salah satu daerah/wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan Suak Pakpak Boang. Kabupaten Aceh Singkil adalah sebuah kabupaten yang berada di ujung Barat Daya Provinsi Aceh yang merupakan pemekaran dari Kabupaen Aceh Selatan dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten ini ini juga terdiri dari dua wilayah, yakni daratan dan kepulauan. Kepulauan yang menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil adalah Kepulauan Banyak. Kabupaten Aceh Singkil terletak di Pesisir Pantai Barat Sumatera dengan luaswilayah 2.187 Km2 terletak di 2 02’27’30”Lintang Utara /9704’-97 45” 00” Bujur Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Subulussalam di sebelah Utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan provinsi Sumatera Utara di
27
sebelah Timur dan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan di sebelah Barat. Kabupaten Aceh Singkil terbagi dalam 10 Kecamatan, yaitu sebagai berikut: (1) Kecamatan Danau Paris, (2) Kecamatan Gunung Meriah, (3) Kecamatan Kota Baharu, (4) Kecamatan Pulau Banyak, (5) Kecamatan Simpang Kanan, (6) Kecamatan Singkil, (7) Kecamatan Singkil Utara, (8) Kecamatan Singkohor, (9) Kecamatan Suro Baru, dan (10) Kecamatan Kota Baharu.
2.3 Masyarakat Pakpak di Desa Siompin Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Desa Siompin, Aceh Singkil, tahun 2012 maka jumlah keseluruahn penduduk desa adalah 1.599 jiwa, yang terdiri dari 817 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 782 jiwa berjenis kelamin perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak 35 orang dibandingkan perempuan. Dari total 1.599 jiwa penduduk Desa Siompin ini, terdapat sebanyak 343 keluarga. Umumnya sistem pengelolaan keluarga adalah berbasis pada keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Namun ada juga yang menerapkan sistem keluarga batih
28
atau extended family, yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat dekatnya seperti nenek, kakek, paman, kemenakan, dan lainnya. Berikut ini adalah data penduduk Desa Siompin berdasarkan jenis kelamin dan jumlah keluarga/
Tabel 2.2 Distribusi Jumlah Penduduk desa Simpin Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah Keluarga
Jumlah Laki-laki
817 jiwa
Jumlah perempuan
782 jiwa
Jumlah total
1599 jiwa
Jumlah Kepala keluarga
343 jiwa
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
Data kependudukan lainnya masyarakat di Desa Simpin Aceh Singkil adalah berdasarkan usianya. Umunya sebahagian besar penduduk Desa Siompin ini adalah dominan berusia satu sampai 18 tahun. Dengan demikian sebagian besarnya adalah berusia muda. Dalam konteks tangis simate kalau tidak diajarkan kepada mereka tentu akan semakin terdegradasilah budaya ini dalam masyarakat Pakpak yang ada di Desa Siompin.
29
Tabel 2.3 Distribusi Penduduk Desa Siompin Berdasarkan Usia Usia
Laki-laki
Perempuan
Usia
Laki-laki
Perempuan
(tahun)
(orang)
(orang)
(tahun)
(orang)
(orang)
<1
12
13
39
14
15
1
13
8
40
15
16
2
12
9
41
13
14
3
15
10
42
12
14
4
11
9
43
11
12
5
13
9
44
15
16
6
12
8
45
12
12
7
23
18
46
14
13
8
21
17
47
13
14
9
19
12
48
12
13
10
11
8
49
11
10
11
10
9
50
11
13
12
16
11
51
12
12
13
13
9
52
4
4
14
17
10
53
6
7
15
19
11
54
10
10
16
17
12
55
12
12
17
19
10
56
13
15
18
13
13
57
10
11
19
12
10
58
4
6
20
10
12
59
3
5
21
10
12
60
3
6
22
12
14
61
6
8
23
12
13
62
7
3
24
13
12
63
8
3
25
14
15
64
6
6
26
12
14
65
5
3
27
12
13
66
4
2
30
28
11
12
67
2
6
29
12
14
68
3
5
30
11
13
69
5
3
31
12
13
70
3
4
32
11
14
71
2
3
33
12
14
72
2
4
34
13
14
73
2
2
35
11
13
74
2
5
36
12
13
75
2
4
37
14
15
>75
2
4
38
12
13
Total
817
782
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
Kemudian data kependudukan lainnya adalah tingkat pendidikan penduduk di Desa Siompin. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Siompin telah sadar akan pentingnya pendidikan dalam rangka menjawab tantangan sosial, yaitu mencari pekerjaan berdasarkan ilmu formal yang diperoleh. Ini dapat dibuktikan bahwa sebahagian besar usia sekolah adalah bersekolah, yaitu usia 7 sampai 18 tahun sebanyak 21 orang. Kemudian tamatan Sekolah Dasar sebanyak 125 orang, tamatan Sekolah Menengah Pertama dan sederajat
111 orang, tamat SMA dan sederajat 75 orang. Bahkan tamatan
Perguruan Tinggi (baik dari D1, D2, D3, dan S1) mencapai total 30 orang. Jadi angka ini cukup menggembirakan dalam konteks pendidikan masyarakat Desa Siompin. Tingkat pendidikan tersebut tentu perlu juga diimbangi dengan rasa memiliki dan menghayati kebudayaan tradisinya, termasuk melestarikan tangis simate secara bersama-sama.
31
Tabel 2.4 Data Pendidikan Penduduk Desa Siompin
Tingkatan Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
(orang)
(orang)
Usia 3-5 tahun yang belum masuk TK
2
2
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play Group
30
34
Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah
10
10
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah
120
121
Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah
2
3
Usia 18-56 tahun yang pernah SD tetapi tidak 15
20
tamat Tamat SD/sederajat
125
125
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP
11
12
Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTP
12
15
Tamat SMP/sederajat
110
111
Tamat SMA/sederajat
75
75
Tamat D-1/sederajat
2
3
Tamat D-2/sederajat
5
5
Tamat D-3/sederajat
2
1
Tamat S-1/sederajat
20
21
Total
551
558
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
32
2.3 Sistem Religi dan Kepercayaan Pada mulanya masyarakat Pakpak di desa Siompin masih menganut animisme dan dinamisme. Mereka percaya akan adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya sendiri. Mereka percaya kepada roh-roh nenek moyang maupun kepada benda-benda alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.
2.3.1Kepercayaan Kepada Dewa-dewa Dahulu kala suku Pakpak mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitimempa/Simenembe nasa si lotyang artinya yang “menciptakan yang ada di dunia ini.” Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan melindungi. Selain itu masyarakat Pakpak awal, mempercayai makhluk-makhluk gaib sebagai berikut ini. 1. Beraspati Tanoh Diberi simbol dengan gambar Cecak yang berfungsi melindungi segala tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati Tanoh. 2. Tunggung Ni Kuta Tunggung ni kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Karena itu, maka tunggung nikuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu sebagai berikut:
33
a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan yang berbentuk mantra maupun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan. Tentang ramalan-ramalan tersebut, orang yang membaca harus jujur dan beretika baik serta tujuan untuk kepentingan umum. b. Naring,
yaitu
kampung.Apabila
wadah
berisi
suatu
kampung
ramuan mendapat
untuk
pelindung
ancaman,
maka
naringakan memberikan pertanda suara gemuruh atau siulan agar masyarakat dapat mengantisipasi gangguan tersebut. c. Pengulu Balang, yaitu sejenis patung yang terbuat dari batu. Pengulu balang dapat memberikan bunyi (suara gemuruh) sebagai tanda gangguan, bala, musuh, dan penyakit yang mengancam sebuah desa. d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah yang bertugas untuk mengusir penjahat yang datang. e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang diyakini dapat mengganggu kehidupan manusia sekaligus dapat melindungi manusia apabila diberikan sesajian. f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya mempunyai kepala ular yang digunakan untuk menjerat musuh. g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih kurang (1) meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan untuk menerangi jalan yang gelap. h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan musuh.
34
i.
Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan danau.
j.
Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau, dan air.
2.3.2 Kepercayaan kepada Roh Etnik Pakpak-Dairi, sebelum datangnya Kristen dan Islam, percaya kepada roh-roh, yang diklasifikasikan dan diistilahkan sebagai berikut ini. a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang. b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turuntemurun. c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu sinambela, yaitu roh orang yang meninggal diakibatkan karena hanyut di dalam air atau sungai. d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari tempat lain secara lintas dan dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba. Biasanya begu laus adalah roh orang yang meninggal dunia secara mendadak. Selain kepercayan-kepercayaan di atas, masyarakat Pakpak juga mempunyai beberapa kegiatan ritual yang berhubungan dengan kehidupan mereka yaitu sebagai berikut.
1. Meraleng Tendi Meraleng tendi adalah ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut karena mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang
35
terancamsuatu bahaya. Dengan keadaan seperti ini, maka tendi(rohnya) akan pergi meninggalkan raganya. Untuk menjemput tendi (roh) yang pergi tersebut, maka diadakanlah upacarameraleng tendi. Biasanya diadakan dengan membawa sesajen seperti : ayam merah atau ayam putih yang diberikan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sesajen tersebut dibawa ke tempat pemakaman nenek moyang tersebut atau sesuai dengan petunjuk datu atau dukun.
2. Tolak Bala atau Pelaus Persilihi Urat-urat Ambat Apabila seseorang merasa nasibnya sangat malang/sial dan mendapat mimpi-mimpi buruk, maka ia akan berusaha untuk menghindarkannya. Usaha untuk hal itu disebut dengan tolak bala atau pelaus persilihi uraturat ambat. Upacara ini dilakukan dengan cara mengambil ramuan atau bahan berupa akar kayu yang melintang di jalan atau arahnya memotong jalan. Akar ini dipahat atau dibentuk berbentuk patung manusia yang diberi tudung kain dan disemburi dengan sirih. Kemudian disediakan makanan berupa ikan yang bentuknya lurus atau dalam bahasa Pakpak disebut Nurung ncayur(sejenis ikan jurung) serta dilengkapi dengan nasi kuning. Selanjutnya, akar yang sudah dibentuk seperti patung tadi diletakkan di atas niru (tampi) kemudian diletakkan di persimpangan jalan. Hal ini bermakna“ Inilah sebagai pengganti badan semoga jauhlah bahaya dan datanglah keselamatan”. Kepercayaan-kepercayaan di atas sudah jarang dilaksanakan atau ditemukan pada masyarakat Pakpak yang ada di Aceh Singkil sejak masuknya agama. Masyarakat Pakpak di sana sebagian besar sudah memeluk agama yang
36
tetap, yaitu agama yang sudah diakui oleh Pemerintah. Sebagian besar masyarakat Pakpak yang ada di sana beragama Islam, Kristen Protestan, dan sebagian kecil beragama Kristen Khatolik.
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada suatu ikatan yang mengatur tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada dalam upacara-upacara adat termasuk juga dalam upacara kematian.
2.4.1 Sulang Silima Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari kulakula, dengan sebelteksituaan/anak yang paling tua, dengan sebelteksiditengah atau anak tengah dan dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang paling kecil, serta anak berru. Sulang silima dalam masyarakat Pakpak adalah kelompok besar dalam kekerabatan masyarakat Pakpak. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian daging atau jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat. a.
Kula-kula, merupakan salah satu unsur yang paling pentingdalam sistem kekerabatan pada masyarakat Pakpak.Kula-kula adalah
37
kelompok/ pihak pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena
itu,
pihak
kula-kula
ini
haruslah
dihormati.
Sikap
menentangkula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Pakpak. Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting termasuk juga dalam upacara kematian. b.
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat.Selain itu, dalam sebuah upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan dengan sebeltek, yaitu senina Dalam sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena adanya hubungan pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang bersaudara, memiliki istri yang bersaudara, dan memiliki suami yang bersaudara.
c.
Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil anak dara Dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara adat.
38
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga. Kelima kelompok di atas mempunyai pembagian sulang yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang per-punca niadep. 2. Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapatsulang per-isang-isang) 3. Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat sulang per-tulantengah 4. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga) akan mendapat sulang per-ekur-ekur. 5. Anak berru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu. Biasanya penerimaan perjambaren anak berru disertai dengan takal peggu yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap berjalannya pesta. Anak berru lah yang bertugas menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta berlangsung.Untuk lebih jelasnya mengenai pembagian jambar ini, dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
39
Gambar 2.1 Pembagian Jambar (daging untuk Kepentingaan Adat) pada Budaya Masyarakat Pakpak-Dairi
40
41
Apabila di antara keluarga tersebut akan mengadakan pesta, maka ketiga kelompok abang beradik (situaan, siditengah dan siampun-ampun) akan menerima pembagian (perjambaren) yakni : isang-isang (dagu), tulan tengah (tulang bagian tengah) dan ekur-ekur (ekor). Penerimaan jambar ini boleh bertukar-tukar sesama keluarga tersebut, dengan rincian sebagai berikut. Misalnya: Situaan nomor satu (1); Siditengah nomor
(2); dan Siampun-ampun nomor tiga (3). Apabila siditengah yang
berpesta, maka urutan menjadi 2.3.1 sedangkan apabila siampun-ampun (bungsu) yang menjadi sukut (yang berpesta) maka penerimaan perjambaren berubah menjadi 3.1.2. Kula-kula dan anak berru tetap menerima puncaniadep atau tulan tengah dan betekken atau takal peggu.
2.5 Mata Pencaharian Pada umumnya, mata pencaharian penduduk di desa Siompin adalah bertani. Melihat kondisi
tanah yang subur serta sangat mendukung untuk
bercocok tanam, maka tidak heran jika mayoritas penduduk disana bermata pencaharian sebagai petani. Adapun jenis tanaman yang yang ditanam adalah padi, baik di sawah atau di darat, sayur-sayuran, karet dan yang paling mendominasi adalah tanaman kelapa sawit. Sebagian besar lahan pertanian ditanami
dengan
tanaman
kelapa
sawit
dan
merupakan
sumber
penghasilan/pendapatan terbesar bagi penduduk di sana. Selain bertani, mata pencaharian lainnya adalah berdagang, buruh pabrik dan ada juga sebagai pegawai negri dan pegawai swasta.
42
2.6 Bahasa Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di desa Siompin adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk di sana adalah suku Pakpak sehingga dalam kehidupan sehari-hari penduduk disana menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat. Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Jawa, Karo, Nias, dan Toba yang datang ke desa tersebut, tetapi setelah tinggal beberapa lama di sana, maka mereka mengerti dan fasih menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, Puskesmas dan kantor kelurahan. Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat pakpak, yaitu sebagqai berikut. (1) Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara, (2) Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi— narrative esongs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi—yang disebut tangis milangi (bahasa tutur tangis); (3) Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan di hutan, (4) Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh dikatakan di tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan, dan (5 ) Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa mantera oleh guru (Naiborhu, 2006)
43
2.7 Kesenian 2.7.1 Seni Musik Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya, alat-alat musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu Gotchi dan Oning-oningen. Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi menjadi beerapa kelompok, yaitu : sipaluun, sisempulen dan sipiltiken. a. Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk Penyajian Gotchi ialah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat (ansambel) yang terdiri dari: Genderangsisibah, genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul, gung, dan kalondang. Genderang sisibah adalah seperangkat gendang satu sisi yang terdiri dari sembilan buah gendang yang berbentuk konis. Dalam adat, instrumen ini disebut si raja gumeruhguh yaitu sesuai dengan suara yang dihasilkannya dan situasi yang diiringinya karena ramai dan besarnya acara itu. Masing-masing nama dari kesembilan gendang dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil adalah sebagai berikut: a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh(suara bergemuruh) dengan pola ritmis menginang-inangi atau mengindungi(induk). b. Gendang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritem menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, mentakbiri, menghantarkan).
44
c. Gendang III s/d VII, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna kayu
sebagai
pembawa
ritmis
melodis
(menenangkan
atau
menentramkan). d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi (menyeimbangkan). e. Gendang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki atau tabil sondat (menghalang-halangi). Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersamasama dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah, yaitu panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan pong-pong (yang menetapkan). Instrumen lain yang dipakai adalah sarune (double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya, ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara sukacita (kerja mbaik) saja pada tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja. Selanjutnya adalah ensambel genderang si lima yaitu seperangkatan gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang. Kelima gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V, VII dan IX. Adapun nama-nama gendang berdasarkan urutan dari gendang terbesar hungga gendang terkecil adalah sebagai berikut. a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh dengan pola ritmis menginang-inangi (induk yang bergemuruh). b. Gendang III, Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau mendonggil-donggili (menghantarkan atau meneruskan).
45
c. Gendang V, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai (menentramkan). d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai (meramaikan). e. Gendang IX, Si Raja Mengampuh dengan pola ritmis menganaki (menyahuti, mengikuti). Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel ini adalah gung sada rabaan, sarune dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat dalam genderang sisibah. Ansambel ini digunakan pada upacara dukacita (kerja njahat) saja, seperti upacara kematian, mengokal tulan (menggali tulang-belulang) pada tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat. Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ansambel gendang ini terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two barrel drums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang gendang inangna (gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar dan gendang anakna (gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat dalam ansambel ini adalah empat buah gong (gung sada rabaan) dan sepasang cilat-cilat(simbal). Ansambel gendang ini digunakan untuk upacara ritual, seperti mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendegger uruk) dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau untuk mengiringi tarian pencak. Ada pula alat musik gerantung ialah nama yang diberikan kepada instrumen musik sejenis gong ceper (gong tanpa pencu yang termasuk ke dalam flat gongs idiophones yang terdiri dari 4 atau 5 buah gerantung. Instrumen ini
46
biasa dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan dan biasa dipakai pada acara peresmian bale (balai desa), bages jojong (rumah adat) dan pada peresmian perkawinan raja atau keturunannya. Instrumen ini juga digunakan sebagai landasan berpijak bagi kedua mempelai pada saat akan memasuki rumah adat. Menurut pandangan masyarakat Pakpak, instrumen ini merupakan simbol kekayaan dan kemakmuran yang hanya dimilki oleh orang tertentu saja Kemudian alat-alat musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong (idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7 atau 9 buah gong. Disusun berbaris di atas sebuah rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya, instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ansambel dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan. Ada pula alat musik gung (gong idiophones) terdiri dari empat buah yang tidak dapat berdiri secara sendiri-sendiri yang artinya dalam penggunaannya harus sekaligus empat buah. Oleh karena itu, gong ini disebut sada rabaan (empat buah gong yang dimainkan secara bersamaan). Keempat instrumen ini diberi nama sebagai berikut. a. Gung I (panggora), gung terbesar yang berperan sebagai penyeru atau yang memberikan seruan. b. Gung II (poi), gung terbesar kedua yang berperan sebagai penyahut atau yang memberi sahutan. c. Gung III (tapudep), gung terbesar ketiga yang berperan sebagai menimpali, menengahi atau memberikan jawaban (aksentuasi ritmis) antara gong pertama dan gong kedua sekaligus pengontrol atas gung panggora dan poi.
47
d. Gung III (pongpong), gung terkecil yang berperan sebagai pemegang tempo (memongpongi) atau pengatur kecepatan lagu sekaligus sebagai penjaga kestabilan dari lagu yang dimainkan. Kalondang(xylophones) ialah alat musik yang terbuat dari bilahan kayu berjumlah sembilan buah. Dimainkan secara bersama-sama dengan pong-pong (gong kecil), cilat-cilat (simbal) dan lobat(bamboos recorder). Alat musik ini biasanya digunakan sebagai pengiring
tarian (tatak) hiburan dengan
membawakan lagu-lagu tertentu yang sifatnya gembira, seperti: ende-ende muat kopi (nyanyian memetik kopi), ende-ende kitobis ( nyanyian mengambil rebung bambu) yang menggambarkan kegembiraan pada saat memetik kopi dan mengambil rebung bambu.
2.7.2 Musik Vokal Masyarakat Pakpak memberi nama ende-ende (baca: nde-nde) terhadap semua jenis musik vokalnya. Ada beerapa jenis musik vokal yang terdapat pada masyarakat pakpak yang dibedakan berdasarkan fungsi dan penggunaannya masing-masing yaitu sebagai berikut. (i)
Tangis milangi atau disebut juga tangis-tangis adalah kategori nyanyian ratapan (lamenta) yang disajikan dengan gaya menangis. Disebut tangis milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat di dalam hati penyajinya akan dituturkan-tuturkan (Pakpak: ibilang-bilangken, milangi) dengan gaya menangis (Pakpak : tangis). Ada beberapa jenis tangis milangi yang terdapat pada masyarakat
Pakpak, yaitu sebagai berikut.
48
a. Tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female song) menjelang pernikahannya. Teksnya berisi tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya. Gadis tersebut tentunya akan meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan keluarga suaminya. Selain itu, teks teks nyanyian ini juga berisi tentang semua hal menyedihkan yang mungkin akan dialaminya di lingkungan keluarga suaminya. Walaupun dinyanyikan dengan gaya menangis, namun maksud utama dari tangis ini ialah agar orang yang ditangisi merasa terharu dan selanjutnya akan memberikan petuah-petuah atau nasehat dan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nasehat yang diberikan umumnya adalah tentang petunjuk hidup berumah tangga dan semua hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersuami-istri. Nyanyian ini disajikan dengan menggunakan melodi yang berulang-ulang (repetitif) dengan teks yang berubah-ubah. b. Tangis anak melumang, tangis ini disajikan oleh pria maupun wanita dari semua tingkat usia. Isi teksnya adalah
ungkapan kesedihan ketika
terkenang kepada orang tua yang sudah meninggal dunia. Perpisahan akibat kematian dan penderitaan yang dialami si anak atas sepeninggal orangtua tersebut adalah isi dari teks nyanyian ini. Biasanya nyanyian ini disajikan pada saat-saat tertentu, seperti ketika berada di hutan, di ladang, di sawah atau tempat-tempat sepi lainnya. Nyanyian ini juga lebih mengutamakan teks daripada melodi. Teksnya berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama. c. Tangis simate adalah nyanyian ratapan (lament) kaum wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Disajikan pada saat si
49
mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangis sebelum dikebumikan. Teksnya berisi tentang hal-hal atau perilaku yang paling berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihankelebihannya serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga atas sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini pula orang-orang yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang meninggal tersebut dan yang lebbih utama lagi adalah bahwa melalui nyanyian ini para pelayat akan di bawa ke dalam suasana duka yang mendalam melalui gaya tangis simate tersebut sehingga dengan demikian pelayat akan tergerak bersatu ke dalam suatu perasaan sepenanggung sependeritaan. Nyanyian ini adalah nyanyian strofik yang mengutamakan teks daripada melodi. Teks yang disajikan berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama. (ii) Ende-ende mendedah adalah sejenis nyanyian lullaby atau nyanyian menidurkan anak yang dinyanyikan oleh si pendedah (pengasuh) baik kaum pria maupaun wanita untuk menidurkan atau mengajak si anak bermain. Jenisnya terdiri dari orih-orih, oah-oa, dan cido-cido. Ketiga jenis nyanyian ini menggunakan teks yang selalu berubah-ubah dengan melodi yang diulang-ulang (repetitif). (iii)
Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang dinyanyikan oleh si pendedah (pengasuh) orangtua atau kakak baik pria maupun wanita. Si anak digendong sambil i orih-orihken (sambil menina bobokkan si anak dalam gendongan) dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat, harapan, cita-cita maupun sebagai curahan kasih sayang terhadap si anak tersebut.
50
(iv)
Oah-oah sering juga disebut kodeng-kodeng, yaitu jenis nyanyian yang teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakannya ialah cara dalam menina bobokkan si anak. Jika orih-orih disajikan sambil menggendong si anak, maka oah-oah disajikan sambil mengayun si anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu di rumah maupun di pantar (gubuk, dangau) yang terdapat di ladang atau di sawah.
(v)
Cido-cido adalah nyanyian untuk mengajak si anak bermain. Tujuannya ialah untuk menghibur dengan membuat gerakan-gerakan yang lucu sehingga si anak menjadi tertawa dan merasa senang. Gerakan-gerakan tersebut biasanya ditampilkan pada akhir frasa lagu. Si anak digoyang-goyang, diangkat tinggi-tinggi, dicolek atau disenyumi yang menimbulkan rasa senang, geli atau lucu sehingga si anak menjadi tertawa. Teks lagu yang disajikan umumnya berisi tentang nasehat, petuah-petuah maupun harapan-harapan agar kelak si anak menjadi orang yang berguna dan berbakti pada keluarga.
(vi) Nangan ialah nyanyian yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten (mendongeng). Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada cerita tersebut disampaikan dengan gaya bernyanyi. Ucapan tokohtokoh yang terdapat dalam cerita yang dinyanyikan itulah yang disebut nangen, sedangkan rangkaian ceritanya disebut sukut-sukuten. Apabila seluruh rangkaian cerita dan ucapan para tokoh cerita disampaikan dengan gaya bertutur, maka kegiatan ini disebut dengan sukut-sukuten (bercerita), sedangkan cerita yang menyertakan dalam penyampaiannya disebut sukut-sukuten pake nangen. Namun, pada umumnya sukut-
51
sukuten yang menarik haruslah berisi nangen. Kegiatan mersukutsukuten biasanya dilakukan oleh para tua-tua yang sudah lanjut usia pada malam hari terutama ketika ada orang yang meninggal dunia. Secara mitos diyakini bahwa si mati yang tidak dijaga akan hilang dimakan anjing. Agar orang-orang yang menjaga si mati itu tidak tertidur, maka diadakanlah kegiatan mersukut-sukuten yang dimulai menjelang tengah malam hingga pagi keesokan harinya. Secara tekstur, cerita sukut-sukuten umumnya berisi tentang pedoman-pedoman hidup dan teladan yang harus dipanuti berdasarkan perilaku yang diperankan olehh tokoh yang terdapat dalam cerita. Tokoh yang baik menjadi panutan sedangkan tokoh yang jahat dihindari. Pencerita (persukut-sukuten) haruslah seorang yang cukup ahli menciptakan karakter tokoh-tokoh melalui warna suara nangen yang berbeda-beda satu sama lainnya sehingga menarik untuk dinikmati. Adapun sukut-sukuten yang cukup dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah Sitagandera, Nan Tampuk Mas, Manuk-manuk Si Raja Bayon, Si buah mburle dan lain sebagainya. (vii) Ende-ende Mardembas adalah bentuk nyanyian permainan di kalangan anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada malam hari di halaman rumah pada saat terang bulan purnama. Mereka menari membentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama sambil bergandengan tangan dan melantunkan lagu-lagu secara chorus (koor) maupun solo chorus (nyanyian solo yang disambut oleh koor).
52
Pada
malam
hari
kelompok
perempuan
dewasa
sedang
menumbuk padi, maka biasanya pada saat itulah anak-anak melakukan kegiatan mardembas. Isi teksnya adalah menggambarkan keindahan alam
serta kesuburan tanah Dairi
yang
dinyanyiakn dengan
pengulangan melodi (repetitif) dimana teksnya berubah-ubah sesuai pesan yang disampaikanya. (viii)
Ende-ende Memuro Rohi, nyanyian ini termasuk ke dalam jenis work song, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat bekerja. Biasanya dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir burung-burung agar tidak memakan padi yang ada di ladang atau di sawah tersebut. Kegiatan muro (menjaga padi) ini biasanya menggunakan alat yang disebut dengan ketter dan gumpar3 yang dilambai-lambaikan ke tengah ladang padi sambil menyanyikan ende-ende memuro rohi.
Jenis-jenis kesenian di atas, baik seni musik maupun musik vokal sudah jarang dtemukan. Seni musik tradisional tersebut sudah digantikan dengan alat musik keyboard dalam upacara-upacara adat, baik upacara perkawinan maupun upacara kematian. Begitu juga dengan musik vokal yang sudah sangat jarang ditemukan, namum masih ada beberapa musik vokal yang masih ditemukan seperti tangis simate dan tangis anak melumang.
3
Ketter dan gumpar adalah alat yang terbuat dari bambu dan pada bambu tersebut digantungkan kain bekas yang dilambaikan ke tengah sawah untuk mengusir burung. Fungsi utama alat ini tentu saja menghalau burung, namun tetap dapat dikaji melalui disiplin etnomusikologi, yaitu studi musik dalam kebudayaan. Alat ini dapat digolongkan kepada fungsinya sebagai alat pendukung budaya pertanian.
53
BAB III DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI
Dalam Bab III ini, penulis akan mendeskripsikan tentang upacara kematian yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi di desa Siompin, mulai dari peralatan upacara, pelaku nupacara, lokasi upacara serta jalannya upacara. Namun sebelum membahas ke pokok permasalahan, maka terlebih dahulu akan dideskripsikan tentang jenis-jenis kematian pada kebudayaan masyarakat Pakpak yaitu sebagai berikut. 1. Mate ncayur tua, artinya orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anak-anaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu lakilaki dan cucu perempuan. 2. Mate ntua, artinya orang yang meninggal dunia dengan kondisi dimana anaknya masih berusia remaja atau belum berumah tangga. 3. Mate mpusa atau mate tompet, yaitu orang yang sudah berumah tangga meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. 4. Mate mbalu menatap, yaitu orang yang meninggal dunia dimana kondisinya belum menikah terapi sudah bertunangan 5. Mate cender atau bunga-bunga cimpako, yaitu orang yang meninggal dunia pada usia muda (lajang/gadis). 6. Mate bura-bura koning, yaitu orang yang meninggal dunia pada usia anakanak
54
3.1 Mate Ncayur Tua Karena jenis kematian yang penulis teliti adalah mate ncayur tua, maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang mate ncayur tua tersebut. Mate ncayur tua adalah orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anakanaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu laki-laki dan cucu perempuan. Pada waktu sakit, biasanya disinilah kesempatan anak-anaknya untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada orang tua tersebut. Mereka menyuapi orangtua tersebut dan setelah makan, biasanya orangtua tersebut memberikan nasihat, ajaran dan berkat kepada anak-anaknya tersebut. Kadangkala, dalam kesempatan ini orangtua tersebut menyerahkan harta dan kekayaan yang dimilikinya. Dalam keadaan sakit tersebut, maka hal ini harus diberitahukan kepada pihakpihak keluarga dekat terkhusus kepada pihak kula-kula, berru dan dengan sebeltek. Pihak keluarga yang sudah mengetahui kabar tersebut segera datang membawa makanan yang disebut dengan nakan pengambat yang bermakna agar terhambatlah semua penyakit sekaligus mereka mendoakan agar orang tua tersebut lekas sembuh. Jika pihak kula-kula yang datang, maka mereka menjaga orangtua tersebut secara berganti-ganti. Jika yang datang pihak berru, maka nakan penghambat tersebut bermakna untuk meminta doa kepada guru/dukun agar orangtua tersebut diberi umur panjang. Tetapi jika pihak dengan sebeltek yang datang, maka nakan penghambat tersebut mereka bawa bermakna agar semua nasihat-nasihat yang diberikan orangtua tersebut dapat mereka laksanakan dengan baik. Jika orangtua tersebut sudah meninggal dunia, maka semua anak-anaknya, menantunya dan cucunya menangisi orangtua tersebut. Tangisan ini jugalah yang memanggil tetangga dan orang-orang di sekitarnya.
55
3.2 Deskripsi Upacara Kematian pada Masyarakat Pakpak-Daisi Pada masyarakat Pakpak, bila seorang orang tua baik laki-laki maupun perempuan meninggal dunia dimana semua anaknya laki-laki maupun perempuan yang menjadi cucu orang yang meninggal tersebut sudah berumah tangga, maka dapat dikatakan ncayur tua. Orang yang demikianlah yang lazim untuk dipestakan sesuai dengan keadaan ekonomi dari keluarga yang ditinggalkan. Tingkatan upacara mate ncayur tua dapat dikategotikan ke dalam 3 jenis, yaitu: 1. Males bulung simbernaik, yaitu jenis upacara yang paling tinggi tingkatannya karena wajib memotong kerbau dan lembu. Besar kecilnya upacara ini diukur dari jenis dan jumlah ternak yang dipotong sebagai lauk. Pada zaman dahulu, jenis upacara ini dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dan diiringi genderang si lima. Tingkatan ini tentunya membutuhkan banyak biaya sehingga hanya dilakukan orang-orang tertentu seperti keturunan raja. 2. Males bulung sampula, yaitu jenis upacara yang tingkatannya paling kecil. Biasanya hewan yang dipotong cukup ayam saja dan tidak diiringi genderang.Peserta upacara ini hanya keluarga dekat saja. 3. Males bulung buluh, yaitu jenis upacara tertinggi kedua atau menengah. Biasanya hewan yang dipotong sebagai lauk adalah hewan berkaki empat yang lebih kecil seperti kambing dan babi dan upacara ini tidak diiringi genderang. Pemilihan tingkatan upacara kematian tersebut disesuaikan berdasarkan keadaan ekonomi keluarga dari tuan rumah karena ke tiga tingkatan tersebut memiliki perbedaan biaya yang berbeda pula. Pemilihan tingkatan upacara tersebut ditentukan melalui musyawarah antara keluarga terdekat dan atas persetujuan dari sulang silima.
56
Adapun jenistingkatan upacara yang dipakai dalam tulisan yang saya teliti adalah jenis upacara males bulung buluh. Menurut teori Koentjaraningrat mengenai upacara,ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam sebuah upacara, yaitu: (1) peralatan dan benda upacara, (2) lokasi upacara, (3) pelaku upacara, (4) jalannya upacara, dan (5) pemimpin upacara. Kelima aspek ini dalam kaitannya dengan upacara kematian di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-dairi di Desa Siompin Aceh adalah sebagai berikut.
3.1.1 Peralatan dan Benda Upacara Adapun benda peralatan upacara yang digunakan dalam upacara tersebut adalah sebagai berikut. (a) Keyboard, alat musik ini disewa dan digunakan sebagai musik pengiring pada saat acara tumatak (menari) dan juga sebagai musik pengiring pada saat berlangsungnya acara ibadah yang biasanya dilaksanakan dalam agama Kristen. Tidak diketahui secara pasti kapan alat music ini masuk ke daerah yang penulis teliti dan dipakai sebagai ganti daripada genderang si lima, namun alat musik ini dipakai karena keadaan ekonomi dari pihak yang berpesta kurang memadai untuk menyewa genderang si lima tersebut karena membutuhkan biaya yang cukup besar. (b) Belagen mbentar (tikar putih). Ada beberapa fungsi dari belagen (tikar) tersebut yaitu:
57
1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap4dalam upacara tersebut yang dibawa oleh pihak kula-kula. Dalam hal ini, biasanya belagen ini dilengkapi dengan kembal (sumpit) dan seekor ayam. 2. Digunakan sebagai tempat tidur perpisahan terakhir terhadap orang yang meninggal tersebut. 3. Digantungkan di atas langit-langit rumah duka tersebut dan sejajar di atas kepala orang yang meninggal tersebut.Dalam hal ini, biasanya dilengkapi juga dengan kembal (sumpit) yang berisi sedikit beras.Semua peraltan ini biasanya dibawa oleh pihak puang.
Gambar 3.1 Kembal (Sumpit)
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
4
Disebut adat lengkap jika terdiri dari ayam, belagen mbentar (tikar putih), kembal (sumpit) dan sedikit beras. Lengkap dalam istilah ini berarti memenuhi empat unsur peralatan dan benda upacara dalam konteks etnosains masyarakat Pakpak-Dairi.
58
Adapun fungsi dari kembal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut yang dilengkapi dengan belagen (tikar) dan seekor ayam yang biasanya dibawa oleh pihak kula-kula. 2. Digantungkan di atas langit-langit rumah sejajar di atas kepala orang yang meninggal tersebut.Dalam hal ini, dibawa oleh pihak puang. (c) Beras, yang mempunyai fungsi sebagai berikut. 1. Beras ini dimasukkan ke dalam kembal (sumpit) kemudian digantungkan di atas langit-langit rumah sejajar di atas orang yang meninggal tersebut. 2. Kedua, beras ini nantinya akan dihambur-hamburkan kepada keluarga dekat dari pihak yang melaksanakan upacara dengan makna agar semua keluarga yang ditinggalkan diberi kesehatan dan umur panjang. (d) Tali kajang, yaitu tali yang digunakan untuk menggantungkan belagen dan kembal tersebut. (e) Oles, ada beberapa fungsi dari oles tersebut, yaitu : 1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut yang dibawa oleh pihak berru dan biasanya dilengkapi dengan sejumlah uang. 2. Digunakan sebagai tudung di atas kepala yang bermakna suami yang sudah resmi menjadi duda atau saong yang bermakna istri yang sudah resmi menjadi janda atau duda. Dalam hal ini, oles ini dibawa oleh pihak puang. 3. Ditutupkan ke tubuh orang yang meninggal tersebut yang bermakna agar roh nya selalu memberkati keluarga yang ditinggalkan atau yang disebut dengan oles penaput. Dalam hal ini, oles ini dibawa oleh pihak berru.
59
Gambar 3.2 Tali Kajang
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
60
Gambar 3.3 Oles
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
(f) Ayam, ini digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut yang biasanya dilengkapi dengan belagen dan kembal yang dibawa oleh pihak kula-kula. (g) Uang, digunakan sebagai perangkat adat lengkap yang dilengkapi dengan oles dan biasanya dibawa oleh pihak berru. (h) Pinggan (piring kaca) berukuran kecil, pinggan ini digunakan sebagai tempat atau wadah beras yang akan dihamburkan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
61
Gambar 3.4 Pinggan
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Selain itu, terdapat juga beberapa jenis makanan yang biasa digunakan dalam pelaksanaan upacara. Beberapa jenis makanan tersebut adalah sebagai berikut. (i) Nakan persirangen (makanan perpisahan),
ini dibawa oleh pihak puang
dengan lauk ayam dan dilengkapi dengan nasi yang mempunyai makna sebagai makanan perpisahan terakhir terhadap orang yang meninggal tersebut. (j) Nakan pendungo-ndungoi ini dilengkapi dengan lauk ayam dan dilengkapi dengan nasi yang dimakan pada saat tengah malam agar para pelayat dan
62
seluruh keluarga tidak tertidur. Biasanya disediakan oleh pihak sukut (tuan rumah). (k) Nakan mengari-ari tendi ini dimakan setelah acara pemakaman 1-4 hari kemudian yang disebut dengan upacara mengari-ari tendi. Biasanya dibawa oleh pihakpuang.
3.1.2 Pelaku Upacara Dari pengamatan di lapangan, maka pelaku upacara kematian tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kesukuten (tuan rumah), mereka adalah orang yang menjadi tuan rumah dalam upacara kematian tersebut.Kesukuten tersebut terdiri dari anaknya laki-laki dan perempuan, menantu laki-laki dan perempuan, cucu atau cicit laki-laki dan perempuan. 2. Kelompok puang, mereka adalah pihak kelompok pemberi istri 3. Kelompok berru/senina, mereka adalah orang yang bertugas di dapur untuk mempersiapkan makanan selama upacara berlangsung. Sedangkan senina adalah mereka yang membantu tuan rumah dalam bentuk materiserta ikut mendukung upacara tersebut. 4. Dengan kuta (kawan satu kampung), mereka adalah pihak yang membantu kesukuten (tuan rumah) khususnya dalam hal jasa selama upacara berlangsung serta ikut serta mengesahkan upacara tersebut. 5. Supan-supan (sahabat), mereka adalah sahabat dari pihak yang berpesta yang tidak ada ikatan keluarga dengan pihak yang berpesta tersebut dan tidak termasuk ke dalam kelompok puang, kula-kula, berru dan senina. Meraka juga ikut membantu memberikan jasa selama upacara berlangsung.
63
6. Perkebbas (pekerja pesta), mereka adalah pihak yang ikut serta bekerja di dapur untuk membantu pihak berru menyiapkan dan menyediakan makanan dalam upacara tersebut. Biasanya terdiri dari kaum ibu dan bapak. 7. Anak perana dan simerbaju, mereka adalah kelompok muda-mudi yang juga ikut untuk mempersiapkan dan menyediakan makanan selama acara pesta serta membantu menyediakan peralatan-peralatan yang berhubungan dengan hal tersebut seperti mengumpulkan kayu bakar serta menyediakan bahan-bahan masakan. Semua kelompok di atas akan mempunyai kesempatan untuk tumatak (menari) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam acara adat tersebut. 8. Raja si roh (pemerintah setempat), mereka adalah pemerintah setempat yang ada di kampung tersebut.
3.1.3 Lokasi Upacara Adapun lokasi upacara kematian yang penulis teliti adalah bertempat di Desa Siompin, Kabupaten Aceh Singkil, di rumah Bapak Jujur Tumangger.Di dalam rumah tersebut, posisi jenazah diletakkan di bagian tengah ruangan rumah duka tersebut agar para pelayat yang datang dapat mengelilingi jenazah. Jenazah diletakkan tepatnya di sebelah kiri pintu masuk rumah.
3.1.4 Pemimpin Upacara Pelaksanaan upacara tersebut dipimpin oleh seorang perkata-kata yang berasal dari pihak berru yang tentunya mengerti tentang upacara kematian agar nantinya tidak terjadi kesalahan. Tugasnya adalah menyusundan memimpin acara selama upacara berlangsung.
64
3.1.5 Jalannya Upacara Upacara atau pesta adat dilaksanakan tentunya setelah melakukan musyawarah antara tuan rumah dengan pihak-pihak keluarga terdekat yang bertujuan untuk membicarakan tentang pesta adat yang akan dilaksanakan. Pihak-pihak yang harus hadir dalam musyawarah tersebut adalah kelompok puang, khususnya puang benna dan puang pengamaki agar tahapan persiapan dan pelaksanaan upacara tidak terkendala. Musyawarah dilaksanakan di tempat lain atau tidak di rumah duka tersebut supaya tidak ada yang mengganggu selama proses musyawarah berlangsung. Dan apabila ada masalah-masalah yang timbul selama proses musyawarah berlangsung, tidak mengganggu pihak sukut (tuan rumah) yang berduka. Setelah semua pihak keluarga hadir, maka dilakukan musyawarah yang direncanakan oleh wakil sukut (saudara almarhum). Dalam musyawarah tersebut dibicarakan rencana pelaksanaan pesta tersebut, seperti: lamanya pesta, jumlah dan jenis hewan yang akan dipotong serta alat musik yang digunakan. Dalam musyawarah tersebut juga dibicarakan mengenai siapa saja puang dan berru dari keluarga yang terkena kemalangan, terutama kalimbubu yang meninggal. Puang dalam hal ini mencakup puang benna ni ari dan puang kalimbubu. Setelah selesai musyawarah, kelompok puang berangkat menuju rumah duka dengan membawa satu ekor ayam, tikar, dan selampis (sumpit) yang berisi beras. Beras dan ayam tersebut nantinya dimasak dan akan dimakan bersama-sama. Makanan ini disebut dengan nakan persirangen (makanan perpisahan). Sedangkan tikar dianggap sebagai tempat tidur perpisahan terakhir sebagai alas dari jenazah tersebut. Ketika memberikan peralatan tersebut kepada sukut (tuan rumah), pihak puang berkata “En mo kubaing kami belagen ntiar asa mernipi ntiar mo karina beberre nami dekket
65
kempu-kempu nami itadingken kene dekket merkininjuah, beak gabe dekket sangap mencari. Yang artinya “Inilah kami berikan tikar putih supaya bermimpi indahlah semua cucu-cucu kami yang ditinggalkan, sehat selalu dan berlimpah rezeki.” Selain itu, di bagian atas kepala orang yang meninggal tersebut juga dipasang tali yang disebut kajang kemudian belagen (tikar) dan kembal (sumpit) berisi sedikit beras pilihan yang ditujukan kepada arwah yang meninggal tersebut yang disebut dengan pehabang. Dalam hal ini, dibawa oleh pihak puang juga, yaitu puang benna ni ari dan sambil berkata “en mo kubaing kami langit-langit kain mbentar dekket belagen, asa ntiar mo karina dekket ntarar pencarien perezekien perolihen mi kempukempu name sini tadingken ndene en dekket sehat-sehat mo kami karina.” Yang artinya “ inilah kami buat langit-langit supaya cerahlah pencaharian, tambah rezeki kepada semua cucu yang ditinggalkan. Supaya sehat-sehatlah kami semua. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.5 Belagen, Kembal, dan Tali Kajang
. Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
66
Setelah puang memberikan kewajibannya, hadir pula kelompok berru dengan membawa oles dan ditutupkan ke tubuh orang yang meninggal tersebut. Oles ini disebut penaput yang bermakna agar roh dari orang yang meninggal tersebut selalu memberkati keturunan yang ditinggalkan. Selain berru hadir pula senina (saudara satu marga atau dengan sebeltek) yang berkewajiban memberi bantuan kepada pihak sukut (tuan rumah) dalam mendukung upacara berupa uang dan beras. Uang dan beras ini akan digunakan untuk keperluan pesta adat tersebut. Pelaksanaan upacara selanjutnya pada malam harinya adalah acara tumatak (menari) sambil mengelilingi orang yang meninggal tersebut dan diiringi musik. Biasanya, ensambel musik yang mengiringi upacara kematian pada masyarakat Pakpak adalah ensambel genderang si lima. Namun, dalam hal ini, sukut atau pelaksana upacara tidak memakai genderang si lima, tetapi digantikan dengan alat musik keyboard. Hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak mencukupi untuk menyewa alat musik tersebut karena membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebelum acara menari dimulai, pihak sukut tmenyampaikan beberapa hal kepada puang, berru, dengan sebeltek dan semua keluarga yang hadir. Adapun isi dari pesan yang disampaikan adalah “acara tumatak enda kita ulaken imo penggancih tangis dekket mengido pasu-pasu asa njuah-njuah kita karina”. Yang artinya “ acara menari ini dilaksanakan sebagai ganti tangis dan supaya kita yang ditinggalkan diberkati dan sehat selalu.” Pihak puang juga menyampaikan pesan kepada seluruh kerabat yang hadir dalam upacara tersebut. Adapun isi dari pesan yang disampaikan adalah “ mendahi kita karina si lot isen,tah lot deng ngo utang dekket ido partua ta enda, asa ibagahken mo mendahi kami sinderrang makdeng kita taruhken partua nta
67
enda mi bekkas persigejjapen idi.” Yang artinya “kepada kita semua yang hadir di sini, jika masih ada hutang atau piutang dari orang tua kami ini agar diberitahukan kepada kami dan diselesaikan sebelum dimakamkan”. Setelah selesai menyampaikan beberapa hal tersebut, maka acara menari pun dimulai. Adapun susunan atau urutan acara tumatak tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kelompok sukut (tuan rumah), 2. Kelompok kula-kula, 3. Kelompok berru, 4. Dengan kuta (kawan satu kampung), 5. Supan-supan (sahabat), 6. Perkebbas (pekerja pesta), 7. Raja sir oh (pemerintah setempat), dan 8. Kempu (cucu). Acara tumatak (menari) dimulai dari kelompok sukut (tuan rumah). Setelah mereka menari, dilanjutkan oleh kelompok kula-kula dan begitu seterusnya. Biasanya kelompok penari tersebut menari sambil menangis, menyentuh bahkan mencium pipi orang yang meninggal tersebut.Gerakan menari dimulai dari sebelah kanan jenazah tersebut dan berputar mengelilingi jenazah tersebut. Setiap penari juga diwajibkan untuk memakai selendang. Khusus untuk cucu laki-laki paling tua, biasanya memakai tongkat. Posisi tangan ketika sedang menari pun berbeda. Posisi telapak tangan sukut dan berru menghadap ke atas, maknanya adalah minta berkat dari para puang sedangkan posisi telapak tangan puang telungkup yang maknanya memberi berkat. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
68
Gambar 3.6 Pihak Puang dan Berru Sedang Menari Adat Dalam Upacara Kematian
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Kira-kira jam 24.00 WIB (tengah malam) seluruh anggota keluarga dan para pelayat (penonggor) makan bersama-sama memakan makanan yang disebut nakan pendungo-dungo yang bertujuan agar mereka jangan sampai tertidur dan dilakukan setiap malam sebelum penguburan. Keesokan harinya, tepatnya pada pagi hari sebelum acara pemakaman, maka pihak keluarga membuat acara yang disebut dengan acara keluarga. Acara ini hanya boleh dihadiri pihak keluarga dekat saja. Acara ini berupa penyampaian pesan-pesan, meminta berkat terhadap roh orang yang meninggal tersebut serta ucapan selamat 69
jalan dari pihak keluarga.. Dalam acara ini pihak keluarga juga biasanya bernyanyi bersama sebagai kesempatan terakhir untuk mengenang tentang orang yang meninggal tersebut. Setelah acara keluarga selesai, maka batang ditutup dan pada saat inilah semua pihak keluarga diberi kesempatan terakhir untuk melihat jenazah tersebut. Semua pihak keluarga menangis karena merupakan kesempatan terakhir untuk melihat jenazah tersebut. Setelah batang ditutup maka jenazah diangkat ke luar rumah, tepatnya di teras halaman rumah. Setelah itu, acara selanjutnya adalah acara menari kembali. Susunan acaranya mengacu pada susunan acara pada saat menari pada malam hari sebelumnya. Jadi bisa dikatakan, pada waktu acara menari pada malam hari itu adalah sebagai gladi resik, bedanya setiap kelompok utusan menyampaikan kata-kata baik berupa pesan serta meminta berkat kepada roh orang yang meninggal tersebut. Adapun isi dari pesan tersebut adalah “selamat jalan mo mendahiken kono, asa memasu-masu mo tendimu mendahi kami si tading en. Tambah rezeki dekket njuah-njuah kami karina sinitadingkenmu.” Artinya “selamat jalan, biarlah roh mu memberkati kami yang kau tinggalkan. Tambah rezeki dan sehat-sehat kami selalu.”
70
Gambar 3.7 Kata-kata Ucapan Meminta berkat dari Roh Yang Meninggal
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Setelah acara menari selesai, maka acara selanjutnya diserahkan kepada pihak gereja untuk membuat acara ibadah singkat sebelum jenazah dimakamkan. Isi dari acara tersebut adalah bernyanyi, berdoa serta pembacaan riwayat hidup dari orang yang meninggal tersebut. Acara berlangsung sekitar setengah sampai satu jam saja. Adapun yang memimpin acara adalah pengurus gereja seperti pendeta atau guru jemaat. Dengan catatan, apabila orang yang meninggal tersebut sintua atau pengurus gereja, maka acara ini biasanya berlangsung di gereja. Tetapi apabila orang yang meninggal tersebut jemaat biasa, maka acara ini dilakukan di rumah duka saja. Setelah acara tersebut selesai, maka jenazah diangkat oleh pihak berru dan dibawa ke lokasi pemakaman. Karena lokasi pemakaman cukup jauh, maka jenazah
71
dibawa dengan kendaraan mobil dari keluarga tersebut.Peserta yang ikut ke lokasi pemakaman adalah pihak keluarga dekat, kerabat, sahabat dan orang-orang di sekitar kampong tersebut.Biasanya ada orang-orang tertentu yang membuat lokasi pemakaman khusus untuk anggota keluarganya dan lokasinya tidak sama dengan lokasi pemakaman umum. Namun dalam hal ini, pihak keluarga yang bersangkutan tidak mempunya lokasi pemakaman sendiri sehingga jenazah dimakamkan di lokasi pemakaman umum yang terdapat di desa tersebut. Setelah sampai di lokasi pemakaman, maka acara selanjutnya adalah acara ibadah singkat.Isi dari acara tersebut adalah bernyanyi dan berdoa yang dipimpin oleh pihak gereja. Pemakaman orang yang sudah lanjut usia biasanya dilakukan pada pagi hari yang disebut perkeke mataniari. Waktunya sekitar jam 10.00-12.00 siang hari. Maknanya agar keturunan yang ditinggalkan memperoleh peningkatan rejeki, kesehatan dan keselamatan seperti layaknya matahari terbit. Namun demikian, pemakaman jenazah tersebut dilakukan pada sore hari karena masih ada anggota keluarga yang belum datang dari tempat yang jauh sehingga pemakaman ditunda hingga sore hari. Setelah acara pemakaman selesai, maka seluruh pelaksana upacara tersebut makan di rumah pihak sukut (tuan rumah), setelah itu dilaksanakan penyelesaian hutang-hutang adat dimana semua puang yang membawa ayam, beras dan tikar akan menerima sarung dilengkapi uang dari pihak berru. Berru yang membawa kain sarung (mandar) akan mendapat ayam, beras dan tikar dari pihak puang. Dengan kata lain, perlengkapan adat yang dibawa oleh pihak puang ditukarkan dengan perlengkapan adat yang dibawa oleh pihak berru. Setelah selesai pelaksanaan hitang-piutang adat tersebut, maka pihak sukut (tuan rumah) menghitung berapa biaya keseluruhan dari acara tersebut serta bantuan
72
yang mereka peroleh. Jika pihak sukut mengalami kerugian, maka mereka dapat meminta bantuan kepada anak berru dan dengan sebeltek untuk menutupi kerugian tersebut. Dalam pelaksanaan pembayaran adat kematian, masih ada jenis hutang yang harus dibayar pihak sukut kepada pihak puang yang disebut dengan lemba. Lemba adalah hutang adat kepada paman (puhun) atau keturunannya setelah seseorang meninggal dunia. Lemba menunjukkan bahwa adanya ikatan darah antara pihak sukut dengan puang melalui perkawinan. Seseorang yang tidak membayar lemba maka diyakini bisa terkena hukuman gaib yang disebut dengan idendeni lemba. Kelompok kerabat yang menerima lemba antara laki-laki dan perempuan berbeda. Bila laki-laki yang meninggal, maka yang berhak menerima lemba adalah saudara laki-laki ibu atau anak laki-laki ibu. Bila perempuan yang meninggal yang berhak menerima lemba adalah si ayah atau saudara laki-lakinya atau anak dari saudara laki-lakinya. Jenis lemba yang harus dibayarkan oleh keluarga yang meninggal dapat berupa emas, tanah, kebun, sawah atau sejumlah uang. Jenisnya ditentukan setelah melakukan musyawarah antara kerabat dari kedua belah pihak. Keadaan keluarga yang mampu secara ekonomi, maka biasanya hutang adat ini disertai dengan pemberian emas. Ada beberapa jenis lemba dalam konsep masyarakat Pakpak yang dibedakan berdasarkan pemberian dari pihak keluarga yang meninggal yaitu : 1. Siempat berngin, bila pemberian disertai dengan emas atau sawah. 2. Sidua berngin, bila pemberian hanya oles (sarung) dan sejumlah uang. Kewajiban yang menerima juga sesuai dengan jenis lemba yang diterima. Bila jenisnya sidua berngin, maka kewajiban puang yang menerima hanya seperangkat adat dengan lauk ayam. Bila jenisnya siempat berngin, maka pihak
73
puang wajib menyerahkan seperangkat adat dengan hewan berkaki empat seperti kambing atau babi. Berdasarkan hubungan harmonis atau tidak harmonisnya hubungan kerabat yang meninggal dengan pihak kerabat puang yang menerima lemba, maka lemba juga dibedakan ke dalam 2 jenis yaitu: 1. Lemba nggelluh maksudnya bila hubungan harmonis antara kedua belah pihak kerabat dan ada kemungkinan besar akan saling kawin antara kedua kerabat. 2. Lemba mate maksudnya bila hubungan yang terjadi selama ini tidak harmonis dan kecil kemungkinan untuk saling kawin antara kedua belah pihak. Pemberian lemba dilakukan pada saat kelompok puang datang ke rumah keluarga orang yang meninggal tersebut dengan membawa makanan pada hari yang telah disepakati (1 sampai 4 hari setelah pemakaman). Kegiatan ini disebut dengan upacara mengari-ari tendi. Maksud pemberian makanan ini adalah karena pada saat kematian pihak keluarga menjadi sedih dan takut (terari tendi) disebabkan karena kematian dari salah satu anggota keluarga tersebut maka pihak puang perlu melindunginya dengan memberi makan untuk memulihkan seperti kondisi semula. Biasanya makanan ini dilengkapi dengan lauk hewan berkaki empat (babi) dan hewan berkaki dua (ayam) serta dilengkapi juga dengan sambal cina matah (sambal mentah) yang bermakna menjera-jerai artinya supaya tidak ada lagi anggota keluarga yang meninggal. Pada saat pemberian lemba, maka hutang lemba tersebut diletakkan di atas kembal (sumpit) yang berisi beras yang diletakkan di atas pinggan (piring kaca kecil) dilengkapi dengan uang, sarung atau sesuai dengan yang disepakati. Lemba tersebut diberikan kepada salah satu yang mewakili dari pihak puang dan menjungjung di atas kepalanya sambil berkata “ en mo tuhu enggo kujalo lemba, asa merkiteken en asa
74
njuah-njuah kita karina, panjang umur dekket kade si kita cita-citaken imo menjadi”. Yang artinya “inilah lemba yang sudah kuterima, biarlah melalui lemba ini sehatsehatlah kita semua, panjang umur, dan apa yang kita cita-citakan dapat tercapai”sambil menghamburkan beras yang dijunjung tersebut. Prinsip adat dalam pembayaran adat lemba disebut dengan istilah ulang telpus bulung yang artinya pihak penerima tidak boleh rugi secara ekonomi. Pada saat mengari-ari tendi, maka pihak sukut (tuan rumah) biasanya akan memberi beberapa jenis barang peninggalan orang yang meninggal tersebut, anatara lain: a. Manoh-manoh, adalah barang peninggalan orang yang meninggal tersebut seperti sawah, kebun, perhiasan dan hewan ternak seperti babi atau kambing. b.
Bau-bau, adalah berupa pakaian bekas dari orang yang meninggal tersebut.
c. Penabar-nabari, adalah ucapan terimakasih kepada pihak kula-kula yang sudah dianggap ikut mengobati, diberikan berupa pinggan (pinggan pasu) namun dapat juga diganti dengan uang. d. Ribak-ribak sarkea adalah beerupa makanan orang yang meninggal tersebut. e. Upah mertatah adalah upah pengasuh orang yang meninggal tersebut ketika masih kecil. Semua jenis tersebut berhak diminta/dipilih oleh pihak puang kepada keluarga sukut (tuan rumah) dan mereka wajib memberikannya jika permintaan tersedia. Hal ini sebagai kenang-kenangan dari orang yang meninggal tersebut dan untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Demikianlah deskripsi upacara kematian pada masyarakat Pakpak yang saya teliti di desa siompin yang penulis peroleh dari hasil penelitian langsung di lapangan.
75
BAB IV ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE
4.1 Penyajian Tangis Simate Dalam Bab IV ini, penulis akan menganalisis fungsi, tekstual dan musikal serta makna yang terkandung dari teks tangis simate tersebut. Tangis simate disajikan pada saat si mati masih berada di rumah. Pada umumnya, tangisan ini hanya disajikan oleh keluarga dekat saja. Tidak ada peraturan waktu tertentu dalam menyajikan tangis ini. Tangis ini bebas disajikan pada saat kapan saja selagi jenazah masih berada di rumah kecuali pada saat acara-acara tertentu seperti acara dari pihak gereja yang biasanya dilaksanakan bagi yang beragama Kristen. Ketika acara ini berlangsung, maka pihak keluarga dekat dan para pelayat tidak boleh lagi menyajikan
tangis
simate
supaya
tidak
terganggu
selama
acara
berlangsung.Tangisan ini tidak diiringi alat musik. Tangis ini biasanya disajikan ketika melihat keluarga dekat yang datang melayat sehingga si penyaji tergerak hatinya untuk menangis. Kemudian, tangis ini disajikan secara spontan dimana pada saat suasana dalam keadaan sunyi, maka si penyaji teringat dan mengenang tentang si mati tersebut sehingga dia mengungkapkannya lewat tangisan. Kemudian, tangis ini sering juga disajikan ketika ada anggota keluarga yang lain datang menangis sehingga keluarga yang ada di rumah jenazah juga terpancing untuk menangis. Pada umumnya, tangisan ini hanya disajikan oleh kaum wanita dewasa saja.Sejauh pengamatan penulis, tidak ada kaum laki-laki yang menyajikan
76
tangisan ini walaupun dia merasakan kesedihan yang mendalam. Biasanya, mereka mengungkapkan ekspresi kesedihannya lewat air mata saja.
Gambar 4.1 Ekspresi Wajah Sedih oleh Penyaji Tangis Simate
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
4.2 Penggunaan Tangis Simate Penggunaan tangis simate digunakan dalam konteks kematian. Tangis simate ini bukanlah suatu bagian dari adat, tetapi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dan hanya digunakan dalam konteks kematian saja. Tangisan ini sejenis bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan berbagai hal tentang si mati seperti kesan, kepribadian, kebaikan atau hal-hal lainnya berupa kenangan-
77
kenangan yang berkesan pada waktu si mati masih hidup sehingga orang yang mendengar tangisan ini dapat mengetahui berbagai hal tentang si mati tersebut.
4.3 Analisis Fungsi Tangis Simate Dari sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Allan P. Merriam dalam teori use and function, maka penulis menemukan 2 fungsi dari nyanyian tersebut, yaitu seperti diuraikan berikut ini.
4.3.1 Fungsi Pengungkapan Emosional Tangis simate ini disajikan oleh kaum wanita dihadapan orang yang meninggal. Dalam tangis tersebut, penyaji menceritakan bagaimana sifat, kebaikan serta hal-hal yang paling berkesan dari simati tersebut dalam bentuk nyanyian. Rasa duka dari si penyaji tersebut disampaikan melalui tangis tersebut. Biasanya si penyaji terlarut dalam tangis tersebut dan mengenang segala penderitaan yang dialami dalam hidupnya sehingga dia tidak hanya menceritakan tentang si mati tersebut, tetapi menceritakan bagaimana keluh kesah yang dihadapi dalam hidupnya Dia mengungkapkan segala penderitaan yang dialami dalam hidupnya, bahkan anggota keluarga yang sudah lama meninggal dunia dikenang kembali dalam tangis tersebut sehingga tangis simate ini dapat berlangsung selama 2 hari 2 malam. Tangis tersebut bisa dikatakan sebagai sarana dan kesempatan untuk menyampaikan isi hati si penyaji sehingga ada istilah “ pande mang ko keppe memukai sindanggel ku” yang artinya “ kau telah mengingatkanku akan penderitaan dalam hidupku”. Kata “kau” disini ditujukan kepada si mati tersebut. Si penyaji menangis terus-menerus dengan spontan dan tidak merasa lelah, tetapi dia merasa puas karena sudah mengungkapkan isi hatinya.
78
4.3.2 Fungsi Komunikasi Jika seseorang meninggal dunia, maka hal pertama yang terdengar adalah suara tangisan dari pihak keluarga tersebut. Ketika suara tangisan tersebut terdengar, maka orang-orang di sekitarnya mengetahui bahwa ada orang yang meninggal dunia. Tangis tersebut mempunyai arti untuk memanggil atau memberitahukan orang-orang di sekitarnya bahwa mereka mengalami kemalangan sehingga orang-orang akan datang untuk melayat serta memberikan penghiburan. Melalui gaya bernyanyi dan teks dari tangis tersebut, maka orang-orang mengetahui bahwa ada orang yang meninggal dunia.
4.4 Analisis Semiotik terhadap Teks Tangis Simate 4.4.1 Teks Tangis Simate oleh Saidup br Manik Sebelum menganalisis makna dan struktur dari teks nyanyian tersebut, maka penulis menuliskan teks dari nyanyian tesebut. Berikut ini adalah teks yang disajikan oleh ibu Saidup br Manik yang saya terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Nggo teddoh berrumu megge soramu sudah rindu putrimu dengar suaramu Le nang ni berruna oh ibu Nggo teddoh berre-berremu mengenget-ngenget ko sudah rindu putrimu mengingatmu Mula lot deng ko tading le nang ni berre-berrena kalau saja kau masih hidup Bakune pe ndersana berre-berremu bagaimanapun penderitaan putrimu oda terajar berrumu tidak terasa oleh putrimu Perotor na ngo ke karina bak inang ni berruna kalian pergi berturut-turut ibu dekket ko le nang ni berre-berrena dan bibi ku Oda ne lot pendengan-dengani berrumu tidak ada lagi yang menemaniku le nang berre-berrena oh bibi ku Mula lot deng bapa kalau masih ada paman ni berre na isapen di rumah ini oda tertengensa oda mangan dia tidak tega melihat kami tidak makan Dekket oda meroles inang ni bre-brena dan tidak berpakaian En nggo ke karina merlausen sekarang kalian sudah pergi semua inang ni berruna dekket ko ibu Inang ni bre-brena dan bibiku Mike ne poda kesurutenmu inang ni bre-brena kemana lagi aku mengadu bibiku Eda kin ngo nemuken isapen dulu kakak iparku yang ada disini Kesuruten edamu inang ni edana tempatku berbagi
79
Ko nola pe nggo mersakit tah piga bulan en Mula dekah aren isapen inang ni edana dekket turang dua-duana ke isapen Merlalun-lalun edamu roh mendahi ko nggo kessa melehe eda oda mela edamu Mido mangan En pe njuah giam ndor iakap ko Inang ni edana asa lot giam balik Kesuruten edamu kaduan Inang ni edana Mula bagendari teddoh edamu Taba ko inang ni edana Baing mujung i kinincor Edamu be deba nai Oda ko giam terdahi edamu Mi Medan adoi inang ni edana Njuah ncerdik ko giam karina Asa kene giam kaduan Mengkesukutken berrumu
sekarang kau juga sedang sakit beberapa bulan ini kalau selama ini kakak ipar dan abangku di rumah ini bermanja-manja aku datang pada kalian balau aku lapar aku tidak malu minta makan dan sekarang cepatlah kau sembuh kakak iparku biar ada tempatku berbagi oh kakak iparku dan saat ini aku rindu padamu kakak iparku karena penderitaanku yang tidak seperti orang lain aku tidak bisa menjengukmu ke Medan kakak iparku Sehat-sehat lah kalian semua Biar kalianlah nanti Membimbing aku
Demikianlah isi teks yang disampaikan oleh ibu Saidup Berutu.
4.4.2 Isi Teks Dalam
teks
ini
menceritakan
bagaimana
penyaji
mengungkapkan
tangisannya ketika ibunya meninggal dunia. Dia menceritakan banyak hal dalam tangisan ini, tidak hanya berkisar tentang ibunya sendiri. Dalam tangisan ini, dia juga menceritakan dan mengenang kembali akan bibinya yang sudah meninggal dunia. Dia rindu akan ibunya dan bibinya yang sudah lama meninggalkannya. Semasa hidupnya, mereka adalah tempat untuk bermanja, berbagi dan melewati suka dan duka, tetapi ketika mereka sudah meninggal dunia, maka dia merasa kesepian dan tidak ada lagi tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Dalam tangisan ini juga menceritakan kakak iparnya yang sudah lama menderita sakit dan berobat di tempat yang jauh. Dia rindu akan sosok kakak iparnya yang selalu baik padanya. Selain itu, dia juga menceritakan bagaimana penderitan dalam menjalani kehidupannya. Hidup dengan serba kekurangan. Bagaimanapun kerasnya dia mencari nafkah, namun tidak pernah mendapatkan penghasilan yang besar, tetapi
80
hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Si penyaji mengungkapkannya dengan spontan dan menangis dengan penuh kesedihan dan air mata.
4.4.3 Makna Teks Dalam teks tangis simate tersebut si penyaji menggunakan bahasa seharisehari, namun pada bagian-bagian tertentu penyaji harus menggunakan pemilihanpemilihan kata yang tepat sesuai dengan tradisi yang berlaku. Istilah lain atau berupa ungkapan-ungkapan yang menyerupai pantun.Ada beberapa makna yang bisa saya lihat dari teks tersebut yaitu sebagai ungkapan rasa haru dan rasa rindu karena ibunya yang meninggal dunia. Teksnya dapat kita lihat di bawah ini. Nggo teddoh berrumu megge soramu inang ni berruna Sudah rindu putrimu mendengar suaramu Nggo teddoh berre-berremu mengenget-ngenget ko Sudah rindu putrimu mengingatmu bibiku Mula lot deng ko tading le nang ni berre-berrena Kalau saja kau masih hidup Bakune pe ndersana berre-berremuBagaimanapun Penderitaan putrimu oda terajar berrumu Tidak terasa oleh putrimu
Dalam teks tersebut, dia mengungkapkan kesedihan dan rasa haru karena ibunya dan bibinya yang sudah meninggal dunia.. Makna selanjutnya adalah berupa pesan/doa kepada orang-orang yang dia sebutkan dalam tangis tersebut. Teksnya dapat kita lihat di bawah ini. En pe njuah giam ndor iakap ko Inang ni edana asa lot giam balik Kesuruten edamu kaduan Inang ni edana Njuah ncerdik mo ko giam karina Rading ni berruna dekket bapa ni berruna
Dan sekarang cepatlah kau sembuh Kakak iparku biar ada Tempatku berbagi Oh kakak iparku Sehat-sehatlah kalian semua Putriku dan ayahmu
Dalam teks tersebut, dia mengingat kakak iparnya yang sudah lama terbaring sakit di tempat yang jauh. Dia berpesan/berdoa supaya kakak iparnya tersebut cepat sembuh agar dia bisa berbagi lagi kepada kakak iparnya tersebut. Dia juga berpesan supaya anak dari kakak iparnya tersebut sehat selalu, begitu juga
81
dengan saudara laki-lakinya (suami dari kakak iparnya) tersebut. Teksnya dapat kita lihat di bawah ini. Edakin ngo nemuken isapen kesurutenku Ko nola pe nggo mersakit tah piga bulanen En pe njuah mo ndor iakap ko Inang ni edana, asa lot giam balik Bekas kesuruten edamu kaduan
Dulu kau tempatku berbagi Kau pun terbaring sakit beberapa bulan ini Dan sekarang cepatlah kau sembuh Kakak iparku, biar ada Tempatku mengadu lagi nanti
4.4.4 Pemilihan Teks Dalam teks tersebut, ada beberapa istilah yang digunakan oleh penyaji dalam menyampaikan kata-kata dalam tangisannya. Dengan kata lain, istilah tersebut ditujukan kepada orang yang ditangisinya, seperti contoh di bawah ini. (a) Inang ni berruna
: sebutan untuk ibu
(b) Inang ni bre-brena
: sebutan untuk bibi
(c) Rading ni berruna
: sebutan untuk anak dari saudara laki-laki
(d) Inang ni edana
: sebutan untuk istri dari saudara laki-laki
(e) Bapa ni bre-brena
: sebutan untuk paman
Istilah tersebut merupakan suatu hal yang harus diketahui penyaji dalam menyampaikan tangisannya karena jika tidak tepat dalam menyebutkannya, maka orang-orang yang mendengar akan mengejek bahkan menertawakannya. Hal-hal tersebut sangatlah penting dalam menyajikan tangisan ini Dengan demikian, si penyaji tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan kata-kata dalam tangisannya. Dalam teks tersebut juga terdapat istilah eufoniks yaitu menambah atau mengurangi suku kata dalam teks nyanyian untuk menambah efek musical atau keindahan dalam lagu tersebut, seperti : Isapen, kata ini seharusnya isapoen, tetapi dalam teks tersebut dikurangi menjadi isapen
82
Aren, kata ini seharusnya ari en, tetapi dalam teks tersebut dikurangi menjadi aren.
4.4.5 Struktur Teks Secara umum, teks yang terdapat dalam tangis si mate tidak mempunyai peraturan yang baku. Artinya, teks yang disampaikan secara spontan dan berdasarkan isi dari hati si penyaji. Tidak ada pembuka, bagian tengah dan bagian akhir, atau teks yang sudah baku tetapi disampaikan sesuai dengan isi hati si penyaji. Hanya saja harus menggunakan kata-kata yang sopan dan istilah yang benar sesuai dengan tradisi yang berlaku seperti yang sudah dijelaskan di atas.Teks dari nyanyian tersebut juga tidak terikat rima atau sajak. Struktur teks dari tangis simate tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, dia menangisi ibunya yang sudah meninggal dunia. Teksnya dapat dilihat di bawah ini. Nggo teddoh berrumu megge soramu Inang ni berruna
Sudah rindu putrimu mendengar suaramu Oh ibu
Kedua, dia menangisi bibinya yang sudah meninggal dunia. Teksnya dapat dilihat di bawah ini. Nggo teddoh bre-bremu mengenget-ngenget ko Inang ni bre-brena
Sudah rindu aku mengingatm Oh bibiku
Ketiga, dia menangisi kakak iparnya yang sudah lama terbaring sakit dan berdoa supaya kakak iparnya tersebut lekas sembuh. Teksnya dapat dilihat di bawah ini. En pe njuah mo ndor iakap ko Inang ni edana, asa lot giam balik Bekas kesuruten edamu kaduan
Dan sekarang cepatlah kau sembuh Kakak iparku, biar ada Tempatku mengadu lagi nanti
Ke empat, dia berdoa supaya anak dari kakak iparnya tersebut dan juga saudara laki-laki (suami dari kakak iparnya) tersebut sehat selalu. Teksnya dapat dilihat di bawah ini.
83
Njuah ncerdik mo ko giam karina Rading ni berruna dekket bapa ni berruna
Sehat-sehatlah kalian semua Putriku dan ayahmu
Sebagian besar, dia lebih banyak menceritakan keluh kesah yang dialami dalam kehidupannya. Dengan demikian, ada beberapa objek yang ditangisi si penyaji, yaitu ibu, bibi dan kakak iparnya yang disampaikan secara acak atau tidak beraturan.
4.5 Analisis Musikal Tangis Simate Dalam menganalisis nyanyian tersebut, penulis berpedoman terhadap teori yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengann teori weighted scale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : tangga nada (scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola kadensa, formula melodi (melody formula), dan kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993 : 3).
Simbol dalam Notasi
1.
= Merupakan garis paranada yang memiliki lima buah garis
paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G.
2.
3.
=Merupakan simbol yang menyatakan freemeter.
= Merupakan empat buah not 1/8 yang digabung
menjadi satu ketuk.
84
4.
= Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi
satu ketuk.
5.
6.
= Merupakan tanda istirahat (rest) yang bernilai
= Merupakan tanda istirahat (rest) ¼ ketuk yang bernilai satu ketuk
7.
=
Merupakan tanda istirahat (rest) 1/16 ketuk yang
bernilai ¼ ketuk
Selengkapnya notasi tangis simate yang disajikan oleh Ibu Saidup Berutu, dengan teknik dan simbol-simbol seperti diurai di atas, adalah sebagai berikut.
85
86
4.5.1 Tangga Nada (Scale) Dalam mendeskripsikan tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut dimulai dari nada terendah sampai nada tertinggi.
4.5.2 Nada Dasar (Pitch Center) Dalam menentukan nada dasar nyanyian tersebut, penulis berpedoman pada hasil rekaman audio yang penulis peroleh dari hasil penelitian di lapangan.Maka nada dasar yang dihasilkan adalah Es.
4.5.3 Wilayah Nada Wilayah nada yang diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi adalah sebagai berikut.
4.5.4 Jumlah Nada Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam suatu music atau nyanyian.Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam nyanyian tersebut dapat dilihat dari garis paranada di bawah ini.
87
4.5.5 Jumlah Interval Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik maupun turun. Sedangkan jumlah intercal adalah banyaknya interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian.Berikut ini adalah interval dari nyanyian tersebut.
Interval
Posisi
Jumlah
-
113
1P 3M
2
2M
2
4M
2
5M
2
5M
2
88
4.5.6 Pola Kadensa (Cadence Patterns) Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bias menutup sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
4.5.7 Formula Melodi (Melody Formula) Formula melodi yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi bentuk, frasa dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi.Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi.Dan motif adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi. William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu : 89
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang 2. Ireratif, yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulanag di dalam keseluruhan nyanyian. 3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. 4. Reverting
yaitu
bentuk
yang apabila
dalam
nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpanganpenyimpangan melodi. 5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Melihat kepada hal yang dikemukakan Oleh Malm mengenai bentuk nyanyian, maka
penuulis mengambil kesimpulan bahwa melodi dari nyanyian tersebut
adalah repetitive yang artinya menggunakan melodi yang berulang-ulang dengan teks yang berbeda.
4.5.7.1 Analisis Bentuk, Frasa dan Motif pada Tangis Simate Secara garis besar, bentuk, frasa dan motif yang terdapat dalam Tangis Simate adalah sebagai berikut. 1. Bentuk yang terdapat dalam nyanyian tangis simate adalah terdiri dari 5 bentuk yaiitu bentuk A, B, C, C’ dan D 2.Terdapat 7 frasa pada nyanyian ini. 3.Motif pada nyanyian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
90
4.3.8 Kontur (Contour) Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan 1997: 85) membedakan beberapa jenis kontur, yaitu: 1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 91
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan. 8. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 9. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 10. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
11. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 12. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 13. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 14. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan.
92
Garis kontur yang terdapat pada melodi tangis simate adalah ascending, descending dan static.Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
Garis kontur ascending
Garis kontur descending
Garis kontur static
Analisis Ritem 1. Tempo
: 120 MM
2. Durasi not
:
3. Meter
: Free meter
(1/8)
Pola melodi yang diulang.
93
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap tangis simate ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa penulis peroleh, yaitu sebagai berikut. 1.
Tangis si mate adalah suatu nyanyian ratapan yang disajikan oleh kaum wanita ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Disajikan di hadapan jenazah ketika masih berada di rumah dan tidak diiringi alat musik.
2.
Jika melihat teksnya, penulis menemukan hal baru yang belum pernah penulis ketahui sebelumnya yaitu bahwa teks atau objek yang ditangisi tidak hanya berkisar tentang orang yang meninggal tersebut saja, tetapi tangisan tersebut adalah tempat atau kesempatan untuk mencurahkan isi hati si penyaji. Hal-hal yang disampaikan bercerita tentang kelebihan, sifat serta kebiasaan-kebiasaan dari si mati tersebut, dia juga menceritakan bagaimana keluh kesah atau penderitaan yang dialami dalam hidup nya dan sering pula menceritakan atau ,mengenang kembali keluarga dekat yang sudah lama meninggal dunia. Melalui tangisan tersebut, si penyaji mencurahkan isi hatinya.
3.
Jika melihat teksnya, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada peraturan atau teks yang baku dalam tangis tersebut. Artinya, si penyaji bebas mengungkapkan sesuai dengan isi hatinya. Namun, ada pemilihan kata
94
yang digunakan seperti : inang ni berruna yang ditujukan untuk ibu, inang ni berre-berrena yang ditujukan kepada bibi dan lain sebagainya. 4.
Jika melhat struktur melodinya, menyimpulkan bahwa melodi yang digunakan adalah cenderung berulang-ulang, hanya teksnya saja yang berubah. Sama halnya dengan struktur teks, bahwa tidak ada peraturan yang baku terhadap melodi yang digunakan.
Tangis simate ini bukanlah suatu adat dalam masyarakat Pakpak, namun tradisi yang dilakukan secara turun-temurun. Jika dalam suatu kematian tidak ada penyajian tangisan ini, maka akan terasa sunyi dan suasana duka tidak terasa. Tetapi ketika nyanyian ini disajikan, maka orang-orang yang melayat akan larut dalam suasana duka yang mendalam lewat gaya bernyanyi dan teks yang disampaikan. Ada kesedihan yang mendalam ketika mendengar tangisan ini. Penulis juga merasakan hal tersebut ketika mendengar tangisan ini. Jika melihat keberadaannya, tangisan ini sudah jarang disajikan karena beberapa faktor yaitu: 1. Faktor agama, hal ini disebabkan karena adanya kesedihan yang dianggap berlebihan sedangkan menurut agama yang kita yakini bahwa setiap orang harus pergi kembali kepada Sang Pencipta. 2. Pada saat sekarang ini sudah jarang ditemukan orang yang bisa menyajikan tangisan ini diakibatkan karena kurangnya minat dan perhatian terhadap nyanyian ini, baik generasi tua maupun generasi muda. Tidak jarang ditemukan bahwa dalam suatu kematian tidak menyajikan tangisan ini. Biasanya jika tidak ada anggota keluarga yang bisa untuk menyajikan tangisan ini, maka orang lain yang bukan keluarga dekat yang bisa menyajikan tangisan ini disuruh untuk menangis. Tetapi jika tidak ada yang bisa, maka tidak harus dilakukan.
95
3. Perkembangan zaman yang semakin maju yang membuat orang semakin tidak peduli dengan tradisinya sendiri. Orang-orang lebih tertarik terhadap teknologi yang semakin maju
5.2 Saran Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis bersedia untuk diberikan saran atau kritik yang membangun agar tulisan ini lebih baik lagi. Penulis juga memberikan saran kepada masyarakat Pakpak agar kiranya tetap memelihara dan memberikan perhatian terhadap
kebudayaan yang ada baik seni
musik, seni vokal dan seni tari. Penulis melihat bahwa kebudayaan Pakpak sudah semakin hilang seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Pakpak mari kita sama-sama menunjukkan dan memberikan perhatian terhadap kebudayaan yang kita miliki sebagai identitas bangsa..
96
97
DAFTAR INFORMAN 1.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Rianto P. Pasaribu, M. Th : 34 tahun : Pendeta praktek ( Vikar ) : GKPI Rokan Baru Ressort Maruli, Jalan Lintas Gunung Tua – Kota Pinang Kelurahan Rokan Baru Padangsidempuan
2.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Omp. Tomy Br. Simamora : 78 Tahun : Wiraswasta : Jalan Kyai Haji Agus Salim Lubukpakam
3.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: St. Tigor Pandapotan Simorangkir : 48 tahun : Pegawai negeri sipil/ BPH Jemaat di GKPI Jalan Medan – Lubukpakam : Jalan STM No. 105 Lubukpakam
4.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Risman br Siahaan : 47 Tahun : Petani : Jalan Medan No. 34 Lubukpakam
5.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: St. Bysher Banjarnahor : 48 Tahun : Kadis LLK UKM Kab. Deliserdang/ BPH Jemaat di GKPI Ressort Khusus Jalan Medan – Lubukpakam : Jalan Antara Gg. Impres Lubukpakam
6.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Antonius Sihotang : 23 Tahun : Wiraswasta : JalanPantai Labu No.14 Lubukpakam
7.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Slamet Riyadi Tampubolon : 22 Tahun : Mahasiswa : JalanGalang No.211 Lubukpakam
8.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Frengky Pahala Munthe : 29 Tahun : Wiraswasta : Jalan Galang No.119 Lubukpakam
98
9.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Manaek Pandapotan Malau : 30 Tahun : Pegawai Negeri Sipil : Jalan Medan No. 18 Lubukpakam
10.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Michael harminsyah Ritonga : 26 Tahun : Bank BRI Lubukpakam : Jalan Kyai Haji Agus Salim Medan
11.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Yuni Yanti Br. Sihotang : 25 Tahun : Guru Honorer : Jalan Rakyat No. 81 Lubukpakam
12.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Cecilia Augustina Br. Lumban Tobing : 27 Tahun : Guru Honorer : Jalan Durian I No. 10 Lubukpakam
13.
Nama Usia Pekerjaan Alamat
: Irvan Efriandi Sitorus : 26 tahun : Karyawan swasta : Jalan
99
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1985. Paper, Skripsi, Tesis, Disertasi, Makalah. Tarsito: Bandung. Bogdan, R. and Taylor, S. J. 1975. Introduction to Qualitative Resarch Methode. John Willey and Sons.
Newyork:
Koentjaraningrat. 1985. Metode – metode penelitian masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Anthropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Merriam, Alan P 1964The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern Univercity Press. Molleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nettl, Bruno. 1964. Theory And Methode In Ethnomusicology. Newyork: The Free Press Of Glencoe. Sach, Curt and Von Horn Bostel 1914 “ Classification Of Musical Instrument ” terj. Anthony Bainen and Klause P. Wachman. Berlin Dalam Majalah Zeitscrift Fur Ethnologic, Jahg. Tyas Andijaning, Hartaris 2007 Musik Modern Seni Musik 2 SMA kelas XI. Jakarta, Erlangga
100