HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA O L E H
RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM: 090707016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
i
HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI SOSIAL TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN SKRIPSI SARJANA
Nama: RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM : 090707016 Disetujui oleh Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D
Arifni Netrirosa, SST., M.A.
NIP 196512211991031001
NIP 196502191994032002
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D
(
)
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
(
)
3. Arifninetrirosa, SST., M.A.
(
)
4. Drs. Fadlin, M.A.
(
)
5. Drs. Prikuten Taraigan, M.Si.
(
)
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
iv
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh normanorma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat. Dalam kitab suci umat Islam (yang juga menjadi dasar adat Minangkabau), yaitu Al-Qur’an, dijelaskan pula bahwa di antara kelompok manusia di dunia ini pernah ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Tuhan, karena berbagai sebab terutama moralitas. Di antara kelompok umat manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum laki-lakinya menyukai sesama lelaki. Kalaupun praktik begini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual di antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa dipastikan tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan 1
antara laki-laki dan perempuan yang sehat jiwa dan raganya, disahkan agama, berhubungan suami-isteri, atas berkat Tuhan akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya. Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adatistiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial. Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13). Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki
(poliandri
fraternal).
Poliandri
sering
dihubungkan
dengan
ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi 2
perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya. Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami. Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya. Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban 3
manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini, agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang lazim disebut dengan Ranah Minang.
Minangkabau dikenal sebagai salah satu
bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu. Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1 Selanjutnya, perkawinan baru
1
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, MandailingAngkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat
4
dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan. Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya. 2 Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota tujuan merantau3 masyarakat Minangkabau di Indonesia. Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral. 2 Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011. 3 Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c) rantau.
5
penyambutan itu, marapulai
akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan
simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang, dan gambir, yang disajikan di dalam carano4 diberikan kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi dengan payung kebesaran.
Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada
kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi. Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya marapulai dan para tamu. Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan, 5 ada beberapa catatan penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau, sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis 4
Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang petang), menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang, dan gambir yang digunakan dalam berbagai upacara adat. 5 Pengamatan langsung ini penulis lakukan pada tanggal 5 Februari 2012, di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.
6
sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya bersifat cekatan dan tegas. Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek. Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju, langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan dengan
gerakan-gerakan
“kasar”
yang
identik
dengan
kekhasan
masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan, gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih. Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap 7
peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik pengiringnya. Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya. Untuk mengiringi tari
Galombang,
masyarakat
Minangkabau
menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan. Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi). Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo. Guna dan fungsi
tari Galombang ini dalam setiap upacara
mengalami
pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan. 8
Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga imaji antar anggota masyarakat mereka. Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari Minangkabau. Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk mengadakan pertunjukan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua aspek, yaitu tari dan musik.
9
Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini. Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud? Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari. Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut. Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns 10
of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya.
Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang. Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut. 11
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6 Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahanbahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik
6
Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
12
sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. sarjana
dipengaruhi secara
Di dalam masa yang sama, beberapa
luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang
cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai studi
musik
dalam
dengan
melakukan
konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini,
penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" Amerika,
etnomusikologi
yang sebenarnya tidak persis sama.
di Jerman dan
Mereka melakukan
studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para Amerika
sarjana
telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan
bahwa mereka
sama-sama berangkat dari musik
dalam konteks kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. 13
Pada tulisan edisi berbahasa
Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa
dari
Sekolah
Tinggi
Seni
Indonesia
(STSI)
Surakarta,
telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.7 Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari. Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”
7
Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan HistorisTeoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lainlainnya.
14
1.2
Pokok Permasalahan Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam
skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut. (1) Bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari, hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya. (2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah ini akan dijawab dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk melodi akan dikaji mengenai aspek: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, formula, jumlah nada yang digunakan, kadensa, dan kontur.
Untuk ritem akan
dikaji: meter, tempo, aksentuasi, interloking, motif ritem, pola ritem, durasi, dan halhal sejenis. (3) Bagaimana fungsi tari Galombang dimaksud dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah ini kan diurai menggunakan pendekatan fungsional dalam ilmu tari (antropologi tari) dengan melihatnya berdasarkan fakta dan data lapangan. Uraian ini akan meperhatikan bagaimana secara budaya dan sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan meletakkan fungsi tari Galombang dalam kebudayaannya. 15
Setelah mengkaji ketiga pokok masalah tersebut, maka langkah berikutnya adalah menganalisis hubungan antara struktur tari, struktur musik, dan fungsi tari dalam masyarakat. Kajian ini akan melibatkan hubungan seperti apa yang terjadi di dalam tari dan musik. Paling tidak dalam dimensi waktu, siklus-siklus, motif, frase, dan bentuk keduanya, yang seperti apa yang menghubungkan musik dan tari. Setelah itu keduanya dihubungkan dengan sejauh apa fungsi tari (dan musik iringan) pada pertunjukan tari Galombang, dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan. (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur musik irigan tari Galombang yang disajikan dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minangkabau di Kota Medan. (3) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
1.3.1 Manfaat Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah (1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).
16
(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat Minangkabau. (3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang. (4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin ilmu seni. (5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain tempat suatu etnik merantau.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka.
Dalam tulisan ini penulis menyatakan pola berarti gerakan-
gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.
17
Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola. Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang adalah salah satu tari tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara adat perkawinan.
Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang
gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke rumah anak daro. Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan, dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas. Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.
18
Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu.
Selain itu Soerjono
Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian. Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka. Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.
1.4.2 Teori Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian
19
tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini. Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs 1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo.
20
Untuk mengkaji struktur musik iringan tari Galombang ini, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi talempong pacik yang disajikan dengan teknik interloking. Begitu juga dengan melodi puput serunai yang akan dianalisis melalui 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi). Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut. Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat.
Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
21
Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Minangkabau. Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak). Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat Minangkabau secara umum disebut maralek. Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) 22
sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari Galombang dalam kebudayaan Minangkabau adalah sebagai refleksi organisasi sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan juga ekonomi. Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005: 15-16). Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian.
1.5
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Untuk meneliti tari Galombang pada
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif 23
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.” Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama. Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.
24
1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literaturliteratur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau masih sulit didapat. Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.
1.5.2 Penelitian Lapangan Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan: (1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya. Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya tari 25
Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara. (2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirianpendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara.
Sedangkan
wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu. Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan. (3)
Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara,
yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam merk Sony mini DVD.
Perekaman ini sebagai bahan
analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Casio.
26
Pengambilan gambar dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang bersangkutan.
1.5.3 Kerja Laboratorium Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi.
Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis
melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.
1.6
Lokasi Penelitian Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin
oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H. Beliau juga adalah Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar yang beliau pimpin ini berada di rumah kediaman belaiu di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, kecamatan Medan Perjuangan, Medan. 27
Lokasi
penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan sebagai berikut. (1) Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan sanggar yang sudah lama didirikan, sejak tahun 1987, dan dikelola oleh keturunan turun-temurun keluarga asli orang Minangkabau. (2) Sanggar ini sudah diikuti penulis dari awal tahun 2011 lalu sebagai anggota penari. Sehingga lebih memudahkan mendapatkan informasi karena sudah cukup dekat dengan pemilik dan anggota di dalamnya. (3) Sekarang sanggar ini memang sudah mengikuti perkembangan zaman, namun orang-orang lama di dalamnya masih mengetahui pengetahuan gerakan tradisionalnya.
28
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN
2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman (http://ms.wikipedia.org/wiki/ Minangkabau). Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau. 29
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,” dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (http://roezyhamdani.blo gspot.com/p/suku-minangkabau.html). Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis. Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam 30
konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar. Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi.
Selanjutnya rantau sepanjang
hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu. Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan. Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain. 31
2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua
gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan.
Gelombang kedua ialah
kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan). Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%), setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4). Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau, baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena 32
budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem tersebut, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang mendorong orang Minang pergi merantau. Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu nasib di negeri orang.
Semua itu akan digunakan untuk membangun dan
memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah mereka. Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri. Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan kota Medan. Tercatat masyarakat Minangkabau paling 33
banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan. Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang sate Padang, dan lain-lainnya. Tabel 1: Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 Suku
Persentase
Jumlah Penduduk
Melayu
5,89%
674.112 jiwa
Karo
5,09%
585.173 jiwa
Simalungun
2,04%
234.515 jiwa
Toba
25,62%
2.948.264 jiwa
Mandailing
11,27%
1.296.518 jiwa
Pakpak
0,73%
83.866 jiwa
Nias
6,36%
731.620 jiwa
Jawa
33,40%
3.843.602 jiwa
Minang
2,66%
306.550 jiwa
Cina
2,71%
311.779 jiwa
Aceh
0,97%
111.686 jiwa
Lainnya
3,29%
379.113 jiwa
Sumber: Badan Pendataan Statistik Propinsi Sumatera Utara 34
2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas. Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu
kesatuan yang saling menunjang dalam membina
masyarakatnya. Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka sendiri Sumatera Barat.
Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip
silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu: Pertama, garis keturunan 35
“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok
sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami
matrilineal.
Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan. Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku. Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masingmasing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada 36
dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya. Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surausurau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia. Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak lakilaki.
Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu
dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun. Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam 37
kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan. Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia. Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang. Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini.
Akan tetapi peranan datuek
kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.
2.5 Sistem Kesenian Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena sifatnya yang terbuka 38
maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari. Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau. Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya. Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau. Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa silat, randai, tari piring, tari Galombang, dan banyak lagi.
39
2.6 Sanggar Tigo Sapilin Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun.
Sanggar ini
berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan. Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat Minangkabau. Sanggar Tigo Sapilin ini memiliki anggota ada yang memang keluarga sendiri dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota sanggar Tigo Sapilin ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas anakanak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan pemusik. Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari lainnya tergantung keinginan para anggota.
Begitu juga jika ada job atau panggilan
permintaan pertunjukan dalam suatu acara ataupun pesta pernikahan, jadwal latihan
40
lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama. Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari mengikuti musik. Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar, yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain. Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp. 3.000.000 – Rp.4.000.000. Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari Galombang untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan baku dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta dalam ajang silahturahmi ke Bukit Tinggi yakni Pedati.
41
BAB III PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU
3.1
Asal Usul Tari Galombang Tari Galombang merupakan tari tradisional masyarakat Minangkabau yang
sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Galombang yang menjadi topik penulisan ini mengalami perubahan. Diduga hal ini berdampak dari proses urbanisasi dari pengembangan kampung halaman masyarakat Minangkabau. Berbicara tari Galombang pada masa awalnya dulu, tari ini disebutkan sebagai pagar nagari atau pagar kampung yang diatur oleh sistem-sistem adat. Dimana dalam semiotik makna Galombang ini diambil dari lautan, yakni gelombang yang dibentuk dari ombak. Kehidupan manusia itu ada arus naik turun layaknya ombak laut, dan ada juga yang menafsirkan bahwa dalam benak mereka tarbayang gelombang lautan yang diikuti gelombang perasaan di dalam hati yang terwujud dalam gerakan tubuh. Digunakan untuk tari penyambutan tamu oleh beberapa lelaki seperti layaknya pendekar, dikatakan seperti itu karena gerakannya berupa pencak silat.
Karena
gerakan berupa gerakan pencak silat, menyebabkan dulunya dalam tatanan masyarakat, perempuan tidak dijadikan penari. Pesilat itu semuanya memakai pakaian hitam dan celana longgar selayaknya pakaian pesilat biasanya yang kita ketahui. Dimana pesilat ini merupakan parewa, yaitu orang pilihan di kampung yang memang benar-benar tau silat.
Makna pencak silat itu dibuat menandakan
ketangkasan orang Minangkabau, dan melindungi dari gangguan jahat.
29
Dimana dulunya tarian ini ada yang ditampilkan dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu, ada juga yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan yang saling berlawanan dengan penempatan jarak 10 meter. Kemudian jarak antar penari semakin lama semakin mendekat dan selanjutnya diakhiri dengan pertarungan silat. Setelah itu ada penuguhan carano kepada tamu (Zulkifli, 2003, Hartati, 1999). Untuk melihat catatan sejarah kapan jelasnya tari Galombang tersebut mengalami perubahan-perubahan masih sulit didapat, hal ini dijelaskan bapak Wimbrayardi. Dulunya tari ini sempat vakum, dikarenakan anggapan yang mubajir bagi nagari oleh gubernur Asambasinduin, dimana saat itu beliau adalah gubernur nagari. Beliau memutuskan tidak boleh ada lagi acara seremonial dalam bentuk apapun. Lamanya vakum ini diperkirakan ada sekitar 2 tahun lamanya. Banyak para peneliti terdahulu mengangkat tentang tari Galombang ini dalam tulisan mereka. Seperti Risnawati (1993), Sawanismar (1994), Maryeliwati (1995) meneliti tari Galombang pada nagari yang berlainan, mereka semua menyatakan bahwa tari Galombang ditarikan oleh penari laki-laki dengan gerakan pencak silat, yang berfungsi untuk menyambut tamu di lapangan terbuka, tidak pernah ditampilkan di dalam ruangan. Ada penelitian yang memunculkan permasalahan tentang perubahan tari Galombang yang berkembang di kota Padang (Nerosti Adnan, 2007) menyatakan bahwa perubahan tari Galombang ini memiliki kepentingan untuk sebuah pesta atau acara yang erat hubungannya dengan status sosial masyarakatnya dalam penggunaannya. Tari Galombang ini berkembang di kota Padang sebagai ibukota Sumatera Barat dimana merupakan tanah masyarakat Minangkabau, sudah ditarikan oleh perempuan, hal ini dikarenakan karena para laki-laki diutamakan untuk merantau sehingga menyebabkan para kaum wanita pun jadi dibekali bakat bersilat, 30
namun hanya gerakan-gerakan variatif dari gerak silat sesungguhnya.
Tari
Galombang tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas masyarakat seperti acara pemerintah, dan penyambutan pengantin dalam pesta perkawinan. Begitu pula yang terjadi di Kota Medan sebagai salah satu kota perantauan masyarakat Minangkabau.
Tari Galombang yang dipakai juga sudah yang
diperbaharui dan dikreasikan kembali. Dimana tari Galombang ini yang menarikannya adalah perempuan dan laki-laki. Laki-laki melakukan mancak atau gerakan silat, dan penari perempuannya berdiri sejajar diposisikan dibelakang lakilakinya menarikan tari Galombang yang diambil dari gerakan-gerakan bungo silek dengan keindahan. Ditampilkan sebagai penyambutan marapulai dalam upacara perkawinan.
3.2
Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat Minangkabau adalah
saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri. Dengan kata lain, perkawinan dapat juga dikatakan sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok. Dimana perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita yang dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
Begitu juga pada penentuan hak dan
kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak, memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin, serta memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari kepunahan (Amir M.S, 1997:23). 31
Perkawinan dalam budaya Minangkabau merupakan persoalan bagi kaum kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala urusan terjadinya perkawinan tersebut memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru, tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak daro, namun antara kedua keluarga juga. Adanya falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang menjadikan semua orang hidup bersama-sama, sehingga masalah pribadi dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik itu asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu yang menjadi syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Adanya pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masingmasing pribadi dan keluarganya penting sekali demi memperoleh keserasian ataupun keharmonisan dalam hubungan antar keluarga kelak kedepannya.
Lebih kepada
tanggung jawab yang dituntut dalam perkawinan pula, demi menyangkut nafkah lahir batin, jaminan hidup, dan pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan nantinya. Masyarakat Minangkabau memiliki pola perkawinan yang bersifat eksogami dimana salah satu dari kedua belah pihak yang menikah tersebut tidak masuk dalam kaum kerabat pasangannya, atau dengan kata lain perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu.
Hal tersebut dikarenakan menurut struktur masyarakat
Minangkabau, bahwa setiap orang merupakan warga kaum dan suku mereka masingmasing yang tidak dapat dialihkan. Perkawinan ideal menurut masyarakat Minangkabau adalah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan antara 32
kakak beradik laki-laki dan perempuan X menikah dengan kakak beradik laki-laki dan perempuan Y. Hal ini disebabkan agar tidak terjadi masalah-masalah yang mungkin timbul dari campur tangan kerabat kedua belah pihak akibat pewarisan harta pusaka yang dapat terjadi dari pola perkawinan eksogami yang mereka anut yang sangat mudah berantakan jika kerabat masing-masing tidak serasi. Sedangkan perkawinan pantang bagi masyarakat Minangkabau adalah perkawinan yang setali sedarah, sekaum dan sesuku (semarga), yang dapat merusak sistem adat mereka (Flora,2009:36). Hal-hal di atas tersebut sampai saat ini masih berlaku di kota Medan. Walaupun sekarang sudah banyak juga masyarakat Minangkabau yang menikah dengan Masyarakat di luar etnisnya. Di kota Medan sendiri, upacara perkawinan pada masyarakat Minangkabau masih dilaksanakan berdasarkan adat yang berlaku. Akan tetapi tidak murni secara tradisi Minangkabau , melainkan sudah bercampur dengan unsur-unsur adat yang lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya penyajian keyboard dan acara marhaban. Walaupun demikian, pada hakekatnya pelaksanaan upacara perkawinan ini berusaha untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Minangkabau.
3.3 Tahapan -tahapan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau Tata cara perkawinan masyarakat Minangkabau ada dua, yaitu agama dan adat. Dalam adat, sebelum sampai pada tahap perkawinan dilakukan proses meminang dimana lazim dilakukan dari pihak kerabat pihaknya perempuan. Persiapan upacara perkawinan dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya agar semua berjalan dengan baik dan dilakukan beberapa proses upacara sebelum pada tahap perkawinan. Pada masyarakat Minangkabau di kota Medan, tahapan upacara 33
perkawinan dilaksanakan tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sumatera Barat. Akan tetapi, di kota Medan waktunya diperlukan relatif lebih singkat dibandingkan dengan yang ada di Sumatera Barat sendiri. Adapun tahapan-tahapan dalam upacara perkawinannya, yaitu: 1. Maninjau. Tahapan ini dilakukan untuk meninjau atau mengenal calon yang akan dijadikan menantu. Pada tahap awal biasanya pihak perempuan mengutus kerabat/ orang lain yang dianggap bisa meninjau calon menantu mendatangi rumah pihak laki-laki dengan membawa buah tangan. Kemudian mamak pihak laki-laki menyatakan pada kemenakannya hasil pembicaraan tersebut, bila disetujui maka mamak atau orangtua laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan. Maka disepakatilah hari maanta nasi mamak atau membuat hari bermusyawarah menentukan hal-hal yang berkenaan dengan perhelatan. Di tahap inilah ditentukan keputusan selanjutnya. 2. Mencari hari atau totok hari atau maminang. Setelah mendapatkan jawaban dari pihak laki-laki, kemudian diadakan mencari hari yang disebut dengan manakok hari yang berarti datang ke rumah pihak laki-laki secara resmi untuk memusyawarahkan
pertunangan
mereka.
Pertunangan
ini
ditandai
dengan
penyerahan cincin dari kedua belah pihak serta dibicarakan persyaratan yang harus diberikan pihak perempuan.
Persyaratan tersebut disebut “uang dapur” jika
berbentuk uang, dan disebut “uang panjapuik” jika berbentuk barang, yang merupakan simbol pertunangan telah dilaksanakan. Terkadang di tahap ini juga dibicarakan hari baralek atau hari baik perkawinan oleh kedua belah pihak. 3. Musyawarah keluarga, dalam tahap ini dilakukan musyawarah oleh keluarga perempuan yang terdiri dari ninik mamak, urang sumando, dan kerabat. Musyawarah ini membicarakan keperluan yang diperlukan untuk acara perkawinan 34
seperti biaya perkawinan, persiapan kebutuhan pengantin termasuk kamar pengantin. Pada acara ini juga dibicarakan pembagian kerja, seperti mengundang, menyiapkan tempat, dan makanan.
Dibicarakan juga akan kegiatan atau hiburan yang akan
dilaksanakan pada saat upacara perkawinan (seperti tari Galombang). Semuanya dibicarakan dengan baik agar hasilnya juga lebih baik. 4. Mengundang /menyirih,
untuk melakukan baralek (upacara adat untuk
meresmikan perkawinan), akan dihadiri oleh sanak keluarga dan kerabat dekat yang menurut adat untuk menghadiri baralek mereka harus diundang karena kegiatan ini bersifat gembira.
Pengundang perempuan akan mengundang perempuan dengan
memberikan sirih yang diletakkan pada kampia sirih, dan pengundang laki-laki mengundang kaum laki-laki dengan memberikan rokok. Akan tetapi seiring dengan majunya jaman, hal ini dapat juga dilakukan hanya dengan memberikan undangan. Pada penelitian penulis ini, pihak pengantin mengundang pihak keluarga dengan hanya memberikan undangan. 5. Persiapan baralek, dalam tahapan ini, dilakukan berbagai persiapan di rumah anak daro, seperti persiapan kamar pengantin, memasak, dan lain-lainnya sebelum perkawinan dilakukan.
Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi
ekonomi anak daro (pengantin wanita). 6. Batagak Gala, tahapan ini merupakan pemberian gelar pusaka kepada calon pengantin laki-laki oleh mamaknya yang dilakukan di rumah ibunya, yang dikenal dengan ketek gadang bagala. Hal ini merupakan tradisi yang dilakukan sebagai tanda bahwa ia sanggup berumah tangga dan merupakan kebanggaan keluarga sehingga ia diberikan gelar. Gelar tersebut diturunkan dari ninik mamak ke mamak, kemudian ke kemenakannya yang dilaksanakan di rumah ibunya. Disini dilakukan petatah petitih (pantun) dan gurindam. 35
7. Nikah, merupakan bersatunya dua orang untuk membentuk rumah tangga, yang diwujudkan dengan pernyataan yang disebut dengan Ijab Kabul atau Akad Nikah. Persyaratan syahnya nikah, yaitu adanya wali pengantin perempuan, saksi, Ijab Kabul suatu pernyataan kedua pengantin dan uang mahar, hak seorang perempuan. Pelaksanaan akad nikah dapat dilakukan dirumah pengantin perempuan, masjid atau balai nikah. Terlaksananya akad nikah kemudian disempurnakan dengan acara adat atau pesta perkawinan. 8. Manjapuik marapulai, sebelum pengantin disandingkan, marapulai akan dijemput secara adat oleh utusan pihak perempuan yang dilengkapi dengan peralatan adat sebagaimana dengan kesepakatan saat manakok.
Dalam penelitian penulis,
pihak perempuan akan mengutus beberapa orang menuju tempat marapulai, disinilah pertunjukan tari Galombang ditampilkan, sebagai pengekspresian suasana sukacita pihak keluarga anak daro akan kedatangan marapulai, dengan membawa sirih di carano yang dibawa kaum perempuan, dan marapulai dipayungi dengan payung kebesaran sebagai tanda raja dalam sehari. Dimana acara ini dilaksanakan pada pagi hari. 9. Hari baralek, hari ini disebut dengan hari perkawinan anak daro dan marapulai disandingkan dipelaminan. Inilah tahapan upacara perkawinan kepada keluarga besar dan tamu-tamu undangan.
3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan Beberapa hari sebelum upacara perkawinan, biasanya pihak pengantin akan menghubungi pihak sanggar Tigo Sapilin untuk meminta menari dalam upacara perkawinan yang akan digelar nantinya. Setelah itu pihak sanggar ini menentukan 36
beberapa penarinya dan pemusiknya. Kemudian penari dan pemusik yang sudah ditentukan akan dihubungi dan dikabari kapan pelaksanaan upacara yang meminta dan waktu latihannya. Pada saat hari pelaksanaan upacara perkawinan, anggota sanggar melakukan persiapan masing-masing seperti pengenaan kostum dan riasan dengan berkumpul di rumah anak daro selaku tempat pelaksanaan upacara perkawinan. Hal ini dilakukan agar waktu dan kondisi lebih kondusif. Penari diutamakan lebih awal datang untuk bersiap-siap karena lebih banyak persiapan daripada pemusik. Semua keperluan kostum dan riasan telah dilakukan dan diselesaikan sebelum upacara perkawinan di mulai pelaksanaannya.
Di tempat pelaksanaan acara, semua alat musik telah
disiapkan dengan diberikan kepada masing-masing anggota pemusik sesuai dengan tugasnya. Sebelum resepsi, paginya dilakukan acara akad nikah di rumah anak daro. Setelah akad nikah sementara.
selesai, marapulai meninggalkan rumah anak daro untuk
Karena rumah marapulai jauh dengan rumah anak daro, marapulai
ditempatkan agak berjarak dengan rumah anak daro.
Disini marapulai bersama
orang tua dan keluarganya, beserta rombongannya.
Gambar 3.1: Akad Nikah (Dokuentasi Reny Yulyati, 2013) 37
Dalam pelaksanaan resepsi, rombongan anak daro berada di depan rumah untuk menjumpai marapulai beserta rombongan nantinya.
Para penari tadi
diposisikan di sepanjang jalan menghadap datangnya marapulai dan para rombongan, dan pemusik diposisikan di belakang barisan penari. Penari laki-laki yang diutus melakukan pencak silat, setelah gerakan pencak silat selesai di persembahkan, kemudian disambut kembali dengan tarian yakni tari Galombang yang ditarikan oleh penari perempuan, sebagai tanda penyambutan marapulai dan rombongannya.
Gambar 3.2: Anak Daro Menunggu Datangnya Marapulai (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
38
Gambar 3.3: Rombongan Marapulai yang Akan Disambut (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
39
Gambar 3.4: Tari Galombang Menyambut Marapulai (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Sesuai adat, setelah tari Galombang dan musiknya berhenti, dilanjutkan pembacaan petatah petitih dalam bentuk pantun dengan diiringi tiupan bansi saja. Menurut bapak Zul Alinur selaku salah satu informan dan merupakan pemusik juga, pembacaan pantun tersebut dapat berubah-ubah karena diciptakan sendiri, akan tetapi memiliki makna yang sama, yaitu menyambut pengantin dan mempersilahkan pengantin dan rombongan masuk. Bagian ini mengiringi seorang utusan dari anak daro memberikan suguhan sirih, pinang, dan gambir yang disajikan di dalam carano kepada marapulai dan orangtuanya sebagai wakil dari rombongan. Suguhan tersebut wajib diberikan dan diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi. Kemudian marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Disinilah upacara baralek berlangsung.
40
Gambar 3.5: Carano dan Isinya (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
41
Gambar 3.6: Suguhan Diterima Rombongan Marapulai (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Kemudian rombongan penari dan pembawa carano berjalan mengiringi jalannya marapulai menjumpai anak daro. Sesampai dihadapan anak daro, para penari membuka jalan untuk marapulai bersanding dengan anak daro.
Setelah
pasangan pengantin bersanding dan rombongan ikut masuk, para penari dan pemusik pun bubar dalam barisannya.
42
Gambar 3.7 Pasangan Pengantin Bersanding (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Setelah semua acara adat selesai, maka acara dilanjutkan dengan berbagai pertunjukan hiburan.
Seperti pertunjukan keyboard, tari piring, tari tradisional
Minangkabau lainnya untuk menghibur para tamu dan penonton sepanjang acara berlangsung.
3.5
Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan Pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau biasanya dilaksanakan di
rumah anak daro dengan mendatangkan penghulu, atau bisa juga di masjid. Sedangkan di kota Medan sendiri, selain di rumah dan di masjid, bisa juga dilaksanakan di wisma atau hotel yang dikarenakan persiapan yang diperlukan akan lebih praktis dan ruangan yang luas. Namun upacara perkawinan yang dilaksanakan 43
di rumah dapat memungkinkan banyaknya penonton yang menyaksikan pertunjukan tari Galombang dan tari-tari hiburan yang disajikan tidak terbatas hanya dari para undangan saja, tetapi juga masyarakat yang berada dan yang melewati tempat tersebut, sehingga sekaligus dapat memperlihatkan kesenian tradisi mereka dan tampak lebih menarik. Tari Galombang tersebut disajikan
sebagai tari penyambutan kedatangan
marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Dalam konteks penyajiannya, para penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya marapulai dan para tamu. Di kota Medan, dalam menentukan waktu pertunjukan tari Galombang ini biasanya di lakukan pagi hari. Biasanya waktu pelaksanaannya di sekitar pukul 09.00 wib sampai pukul 10.00 WIB. Pemilihan waktu biasanya disesuaikan dengan kondisi acara, yakni selesai akad nikah, jika akad nikah yang dilakukan di hari yang sama dengan resepsinya. Tetapi jika akad nikah telah dilaksanakan beberapa hari sebelum resepsinya, maka pertunjukan tari Galombang bisa saja dilakukan lebih awal lagi.
Dengan kata lain, pertunjukan tari Galombang ini dilaksanakan
tergantung pada pemilik acara.
3.6
Pendukung Pertunjukan Tari Galombang dalam penyajiannya dapat dikatakan sebuah pertunjukan.
Sebuah pertunjukan tentunya harus didukung oleh beberapa hal agar dapat berjalan dengan baik dan lebih menarik keindahannya. Beberapa pendukung pertunjukan, yaitu adanya penari, pemusik, dan penonton.
44
3.6.1 Penari Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tari Galombang ini, karena penari lah yang mempertunjukkan tarian tari Galombang tersebut. Penari akan menjadi pusat perhatian dari penonton.
Untuk itu diperlukan penari yang
memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan tari Galombang tersebut di lapangan. Setiap dalam pertunjukan tari Galombang ini biasanya komposisi penarinya berjumlah 6 atau lebih penari; umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena dapat memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Bisa saja semua penarinya adalah perempuan semua, bisa juga campuran dengan laki-laki. Namun sanggar Tigo Sapilin ini biasanya menggunakan 6 perempuan penari Galombang dan 2 atau 3 penari laki-laki dengan gerakan pencak silat.
Penari perempuannya selalu dibuat genap supaya berpasangan dalam
penempatan pola lantainya. Pemilihan penari tidak berdasarkan pada lamanya menjadi anggota sanggar, tetapi pada kesanggupan penari untuk dapat menari dan hadir sesuai waktu yang dimiliki para penari. Hal ini dikarenakan penari sanggar Tigo Sapilin ini bukanlah penari profesional, dimana para anggotanya tidak hanya bekerja sebagai penari melainkan ada yang mahasiswa dan harus kuliah, dan ada pula yang sudah bekerja di bidang yang lain. Para penari yang dipilih dan mempunyai waktu akan berlatih lagi untuk mempelajari gerakan sebelum hari pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari akan saling berinteraksi antar sesama penari di lapangan dalam melakukan perubahan gerakan.
45
3.6.2 Pemusik Sanggar Tigo Sapilin biasanya menggunakan 7-8 orang pemusik, diantaranya 1 orang pemain tasa, 2 atau lebih pemain gandang, 1 orang pemain puput serunai, dan tiga orang pemain talempong pacik (1 orang penganak, 1 orang dasar, dan 1 orang peningkah). Semua anggota sanggar telah belajar dan berlatih bersama untuk bisa memainkan semua alat musik, namun lebih kepada laki-laki yang dapat memainkan alat musik. Menurut wawancara dengan Bapak Zul Alinur sebagai salah satu anggota lama di sanggar tersebut serta pemusik yang bisa memainkan puput serunai, alat musik puput serunai ini sangat sulit untuk dimainkan oleh anggota yang lainnya. Hal ini disebabkan karena teknik permainannya yang rumit, yakni circular breething, dimana sirkulasi pernapasan yang terus menerus
tanpa berhenti.
Sehingga
memerlukan latihan yang cukup lama dan begitu melelahkan. Pada saat pertunjukan, pemusik akan saling berinteraksi juga antar sesama pemusik di lapangan dalam melakukan pergantian strukturnya, ada tanda-tandanya dalam musiknya. Karena musik dalam tari Galombang ini sangat penting, sebab alur tari ini mengikuti alur musik.
3.6.3 Penonton Penonton dalam setiap pertunjukan tari Galombang di setiap perkawinan masyarakat Minangkabau merupakan para tamu undangan yang menghadiri perkawinan tersebut.
Akan tetapi acara yang dilaksanakan di rumah dengan
membuat panggung di luar rumah juga menjadi sebuah tontonan juga bagi masyarakat yang melewati daerah tersebut. 46
3.7
Perlengkapan Pertunjukan Sebelum dimulainya pertunjukan tari Galombang, ada beberapa perlengkapan
yang perlu dipersiapkan. Dimana perlengkapan yang dipersiapkan nantinya akan mendukung jalannya pertunjukan, serta dapat menambah daya tarik pertunjukannya. Persiapan harus maksimal dalam penyusunan dan penataannya, agar dapat menghasilkan pertunjukan yang terbaik. Perlengkapan dalam pertunjukan tari Galombang ini tidak menggunankan properti, hanya memerlukan lapangan, serta alat musik yang digunakan dalam kebutuhannya. Antara perlengkapan ini saling melengkapi. Segala perlengkapan ini harus diperhatikan dengan teliti, agar dapat berjalan lancar nantinya.
3.7.1 Lapangan Lapangan untuk pertunjukan tari Galombang ini biasanya berupa area jalan yang dikosongkan, karena tari ini bersifat pada penyambutan jalannya marapulai ke rumah anak daro, dan selalu di lakukan di luar ruangan.
Dari penelitian, luas
lapangannya tergantung pada area jalan di daerah rumah anak daro yang disediakan. Hal ini karena acara dilakukan di rumah anak daro. Luas jalan yang disediakan dapat memposisikan penari sebanyak 9 penari dan 7 pemusik. Sepanjang area jalan tersebut biasanya sudah diminta ijin oleh pihak anak daro kepada kepala daerah dan masyarakat setempat didaerah tersebut. Disepanjang jalan yang digunakan itu biasanya ditandai dengan papan bunga yang dijajarkan.
47
Gambar 3.8: Area Jalan yang Digunakan (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2 Alat Musik yang Digunakan 3.7.2.1 Tasa Alat musik tasa ini merupakan alat musik membranophone, yang berfungsi sebagai pembawa tempo yang paling penting. Dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang dibentuk seperti kuali, dan dibagian atasnya ditutup dengan kulit kambing. Dimainkan oleh 1 orang pemain dengan alat pukul, dimana alat pukul ini berupa sejenis rotan sebesar jari kelingking. Rotan tersebut dipegang dengan kedua masing-masing tangan yakni tangan kanan dan tangan kiri. Tasa ini dikaitkan dengan tali untuk dapat digantungkan pada leher belakang pemain. Tasa ini bisa dikatakan mirip dengan rebana, namun bedanya dapat dilihat dari bentuk dan cara memainkannya. Kalau rebana dimainkan dengan cara dipegang dan 48
dipukul dengan 1 tangan tanpa alat, beda lain hal dengan tasa di gantungkan di leher belakang dengan menggunakan tali dan dimainkan dengan kedua tangan menggunakan alat.
Sama halnya dengan bentuknya yang dibuat, tasa ini tidak
mempunyai lobang dibawahnya, selayaknya bentuk kuali, sedangkan rebana mempunyai lobang dibagian tengah badannya.
Gambar 3.9 Tasa dan Cara Memainkannya (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013) 3.7.2.2 Gandang Tambua Alat musik ini termasuk dalam klasifikasi membranophone, tergolong dalam barreldrums (gendang berbentuk silinder) dua sisi. Gandang ini berfungsi sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian. Dimainkan oleh 2 orang atau lebih, tapi dalam sanggar Tigo Sapilin hanya menggunakan 2 gandang.
Dalam mengiringi tari
Galombang, gandang ini dimainkan dengan cara berdiri, digantungkan disekitaran leher sampai dibagian bawah lengan. Serta dimainkan dengan alat pukul oleh kedua 49
tangan, alat pukulnya dililit dengan karet agar suara yang dihasilkan lebih terdengar nyaring. Biasanya gandang ini terbuat dari kayu cempedak, rotan dan paku. Bagian penutup kedua sisinya di tutupi dengan kulit kambing. Berukuran ±60cm, garis tengahnya 55 – 60cm. Dibagian tengah badannya diberi lubang kecil, dimana lubang kecil ini berfungsi untuk dapat menghasilkan suara yang lebih nyaring oleh adanya pukulan stik ke gedangnya.
Gambar 3.10: Gandang Tambua (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
50
Gambar 3.11: Cara Memainkan Gandang Tambua (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2.3 Puput Serunai Alat musik tiup tradisional Minangkabau ini masuk dalam klasifikasi aerophone yang berfungsi sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Dimainkan oleh satu orang. Lagu yang dimainkan bukan berupa lagu, melainkan berupa nada-nada bernuansa Minang. Alat musik ini terbuat dari batang padi, sejenis kayu atau bambu, tanduk kerbau. Untuk bagian atasnya terbuat dari kayu yang keras dan dibagian dalamnya lunak, sehingga mudah dilubangi.
Panjangnya ±20cm dan diberi 4 lobang.
Sedangkan untuk bagian yang ditiup terbuat dari bambu atau batang padi tua. Kemudian pada bagian corongnya terbuat dari kayu atau tanduk kerbau yang 51
berbentuk lancip sepanjang 10 - 12cm. Bentuknya yang mengembang berfungsi untuk menguatkan atau memperbesar suara.
Gambar3.12: Puput Serunai (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
52
Gambar 3.13: Cara Memainkan Puput Serunai (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2.4 Talempong Pacik Alat musik ini berjenis gong chime (gong bernada) dengan klasifikasi idiophone, dimana suaranya berasal dari badannya sendiri. Terdiri dari 5 buah yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan ritem interloking. Dimainkan oleh 3 orang. Satu orang memegang 1 gong penganak dengan nada sol, satu orang memegang 2 gong dasar dengan nada re dan fa, dan satu orang memegang 2 gong peningkah dengan nada do dan mi. 53
Dimainkan dengan cara berdiri dan dipegang dengan tangan kiri, dan tangan kanan memegang stik yang terbuat dari kayu kira-kira sepanjang 10 – 15cm. Pada ujung stiknya dililitkan karet yang akan dipukulkan ke pencu talempong tersebut untuk menghasilkan suara yang diinginkan. Talempong ini dipukul dengan cara bergantian sesuai tempo musik.
Gambar 3.14: Talempong (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
54
Gambar 3.15: Cara Memainkan Talermpong Pacik (Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
55
BAB IV STRUKTUR TARI GALOMBANG, MUSIK IRINGAN, FUNGSI, DAN HUBUNGANNYA
Menurut Tengku Luckman Sinar (1986:5) tari adalah segala gerak yang berirama atau segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya.
Medium tari adalah gerak, dan alat yang digerakkan adalah tubuh,
yakni gerak tubuh yang telah diberi bentuk espresif dan estetis. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dimana koreografi ini memiliki ciriciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Dimana kata struktur disini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang dalam pertunjukannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapantahapannya. Teori struktur tari yaitu teori yang bertujuan mendeskripsikan struktur tari berdasar : motif, tenaga, dan struktur. Struktur disusun pula oleh gerakan: badan, waktu, dan dinamika (Hutchinson, 1977:112-113). Dalam struktur penyajiannya seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, tari Galombang ini dipertunjukkan pada awal acara, memakai 6 orang penari, yang 57
gerakannya diambil dari gerakan-gerakan magek ataupun bungo silek yakni gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang bersifat cekatan dan tegas.
Dimana tari Galombang ini memiliki gerakan-gerakan yang
terpola dan disusun dalam bagian-bagian ragamnya, serta diatur dalam susunan pola lantai yang dibuat.
4.1
Ragam dan Pola Gerak Ragam gerak berarti motif gerakan-gerakan yang tersusun dalam unsur
kreatifitas garapan gerak tari. Dalam wawancara dengan ibu Sri Wahyuni selaku penari tari Galombang, mengungkapkan bahwa tari Galombang terdapat 4 ragam setelah gerakan silek yang ditampilkan penari laki-laki yang dimana tidak mempunyai pola gerak tersendiri seperti ragam gerak lainnya. Empat ragam gerak sebagai gerak dasar dalam susunan gerakan tari Galombang, yaitu: (1) sambah, yang berarti gerakan penghormatan; (2) lapiah jaramih, gerakan menolak kejahatan; (3) simpia, gerakan yang berupa petikan jari; dan (4) galatiak, gerakan menyuguhkan sirih. Pola gerakan yang dimaksud disini adalah gerakan-gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk. Ragam dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau menghasilkan suatu tari. Dari 4 ragam gerakan yang disusun dalam tari Galombang yang disebutkan di atas tadi, tiap-tiap ragam memiliki susunan pola-pola gerakan yang terkandung di dalamnya dan selebihnya dibuat adanya pengembangan gerak yang dikreasikan. Pola gerak tarian ini selengkapnya lihat pada Tabel 4.1. 58
4.3
Pola Lantai Pola lantai mengacu pada empat ragam yang ada pada tari Galombang. Pola
lantai ini berdasarkan pengamatan lapangan terdiri dari pola-pola sebagai berikut. (1) Pola lantai silek, tiga penari laki-laki melakukan gerak silek sebagai gerak pembuka, sedangkan ke-6 penari perempuan berdiri sejajar dibelakang penari lakilaki dengan pose tangan menyembah sampai gerakan silek penari laki-laki selesai. Setelah selesai silek, penari laki-laki mundur ke belakang barisan penari perempuan. (2) Pola lantai sambah, setelah penari laki-laki kembali ke barisan belakang bersama pembawa carano, mulailah masuk musik dan penari perempuan pun mulai menari. Dimana dalam gerak ragam pertama yakni gerak sambah, posisi penari ada 3 penari yang berpola tegak dan 3 lagi nya jongkok secara berselang-seling. (3) Pola lantai jaramiah, dalam ragam ini, pola lantai penari dalam posisi sejajar horizontal. Dengan demikian pola lantainya membentuk garis lurus bersaf. (4) Pola lantai sampia. Dari pola lantai ragam ke-3, penari maju berpasangan sesuai keseragaman warna baju, membuka jalan, membentuk seperti pagar. kalau diabstraksikan adalah membentuk garis-garis lurus berbanjar. (4) Pola lantai galitiak, dari pola lantai ragam ke-4, pasangan penari di depan membuka jalan untuk pasangan di belakang maju, sehingga pasangan paling depan mengambil posisi ke belakang dengan cara mundur. Bagian ragam ini mengalami perulangan 2 kali. Selengkapnya bentuk poal lantai tarian ini lihat pada Tabel 4.2.
59
Tabel 4.1: Ragam dan Pola Gerak Ragam Sambah
Gambar 1.
60
Pola gerak
Hitungan
Posisi badan: mengarah ke depan dan membungkuk. Posisi kaki: jongkok dengan letak kaki kanan kedepan dan kaki kiki kiri ditekuk ke belakang. Posisi tangan: kedua disokongkan ke depan, dengan ujung jari pada lantai Pandangan: menghadap ke bawah
1x4
2.
*tampak depan
Posisi badan : agak menyerong ke kanan. Posisi kaki: tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan di letakkan di belakang kepala dengan posisi jari dirapatkan, sedangkan tangan kiri di letakkan di kening dengan posisi jari di rapatkan juga. Pandangan: menghadap ke bawah
*tampak samping
61
1x4
3.
Posisi badan: tegak lurus Posisi kaki: tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan masih tetap di belakang kepala, dan tangan kiri di angkat ke depan muka dengan posisi telapak tangan ke atas menghadap kedepan. Pandangan: menghadap ke atas dengan pandangan mengarah telapak tangan kiri.
62
1x4
4.
Posisi badan: tegak 1x4 Posisi kaki: masih tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri disatukan. Pandangan: menghadap ke depan
63
Lapiah Jaramiah
1.
Posisi badan: menghadap samping kanan. Posisi kaki: bersilang, kaki kanan di depan kaki kiri, dengan lutut agak di tekuk. Posisi tangan: kedua telapak tangan bertemu melakukan 1 tepukan tepat di depan dada, dengan posisi ujung jari kedepan, dan posisi lengan membuka ketiak. Pandangan: mengarah ke depan arah badan.
*tampak depan 2.
*tampak samping
*tampak depan
*tampak samping
1x1
Posisi badan: seperti gambar gerak ke-1 1x1 Posisi kaki: kaki kiri lurus maju ke depan, kaki kanan tetap di tempat dan tetap ditekuk. Posisi tangan: direntangkan, tangan kanan di belakang, tangan kiri di depan, dengan posisi kedua telapak tangan dibuka. Pandangan: menghadap ketelapak tangan kiri.
64
3.
Posisi badan: masih seperti gerak ke-1 dan ke-2. 1 x 1 Posisi kaki: kaki kanan maju ditempatkan di depan kaki kiri, dan keduanya ditekuk. Posisi tangan: ayunkan tangan kanan kedepan melewati bagian bawah tangan kiri dan bawa ke arah pinggang kanan dengan posisi telapak tangan terbuka ke atas, tangan kiri teteap di tempat semula. Pandangan: tetap menghadap telapak tangan kiri.
*tampak depan 4. -proses
*tampak samping
*tampak depan -menuju
*tampak samping
-proses Posisi badan: tetap seperti gerakan ke-1. Posisi kaki: tetap seperti gambar ke-3 Posisi tangan: ayunkan tangan kanan dengan proses naikkan dulu lalu tetap ayunkan kedepan, tangan kanan tetap Pandangan: tetap
65
1x1
-menuju Posisi badan: tetap Posisi kaki: jadi berubah, kaki kiri maju lurus ke depan, dan kaki kanan tetap ditekuk di belakang kaki kiri. Posisi tangan: dari proses di atas, posisi tangan kanan kembali ke pinggang, tapi posisi telapak tangan menjadi terbuka kebawah, dan telapak tangan kiri jadi menghap ke dalam. Pandangan: ke depan
*tampak depan 5. -proses
*tampak samping -proses 1x1 Posisi badan : menyerong ke kiri Posisi kaki : kaki kanan maju Posisi tangan : ayunkan tangan kiri melewati belakang telinga Pandangan : ke depan
66
-menuju -menuju Posisi badan: tetap Posisi kaki: tetap Posisi tangan: dari proses tadi tangan kanan di ayun sampai ke depan, dengan posisi telapak tangan terbuka ke depan secara vertikal, tangan kiri tetap pada posisi Pandangan: tetap ke depan
*tampak depan
*tampak samping
6.
*tampak depan
Posisi badan: putar balik kea rah kiri, agak 1 x 1 menyerong ke depan Posisi kaki: kaki kanan di tekuk dan menjadi tumpuan berat badan, kaki kiri di luruskan ke belakang. Posisi tangan: tangan kanan menusuk ke atas, tangan kiri di tarik ke depan dada dengan posisi telapak tangan memuka ke depan horizontal. Pandangan: ke depan
*tampak samping
67
7.
*tampak depan 8.
*tampak depan
Posisi badan: seperti gerakan ke-6 Posisi kaki: menyilang, kaki kanan di depan kaki kiri, dan keduanya ditekuk. Posisi tangan: tarik kedua tangan melewati bagian ke dua samping pipi secara bersamaan. Pandangan: searah dengan arah depan badan.
1x1
Posisi badan: putar balik ke arah kanan, dengan keadaan tegap Posisi kaki: kaki kiri ditekuk dengan posisi telapak kaki jinjit, dan kaki kanan di samping kaki kiri dengan lutut sedikit saja di tekuk. Pandangan: menghadap ke depan.
1x1
*tampak samping
*tampak samping
68
Simpiah
1.
Posisi badan: berdiri, mengarah serong ke kiri. Posisi kaki: bersilang dan lutut agak ditekuk, dengan kaki kanan maju ke depan dan kaki kiri di belakang kaki kanan,berat badan bertumpu pada kaki kiri. Posisi tangan: tangan kanan di tekuk ke samping pinggang kanan, dan tangan kiri di julurkan lurus ke depan hadapan badan, dengan posisi kedua jari dipetik. Pandangan: searah dengan badan dan tangan kiri, menyerong ke kiri.
2.
Posisi badan : masih seperti posisi gerakan ke-1. 1 x 1 Posisi kaki : masih seperti posisi kaki pada gerakan ke-1, tetapi bedanya posisi lutut diluruskan, dan berat badan bertumpu pada kaki kanan. Posisi tangan: masih sama seperti gerakan yang ke-1, Pandangan : masih sama seperti gerakan ke-1, menyerong ke kiri.
69
1x1
3.
Posisi badan: masih sama seperti posisi gerakan 1 x 1 ke-1 dan ke-2. Posisi kaki: sama seperti gerakan ke-2 Posisi tangan: gantian dengan gerakan ke-2, tangan kanan di julurkan lurus ke depan hadapan badan, sedangkan tangan kiri di tekuk ke samping pinggang kiri, dengan posisi kedua jari masih tetap dipetik. Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-1 dan ke-2
4.
Posisi badan: berdiri, mengarah ke depan. Posisi kaki: kaki kanan ditekuk, dan kaki kiri lurus. Posisi tangan: tangan kanan di tekuk ke sebelah pinggang kanan, tangan kiri di luruskan ke depan, dengan posisi jari ke dua tangan di petik. Pandangan: ke depan
70
1x1
5.
Posisi badan: menyerong ke kanan. 1x1 Posisi kaki: bersilang dan lutut agak ditekuk, dengan kaki kiri maju ke depan dan kaki kanan di belakang kaki kiri,berat badan bertumpu pada kaki kanan. Posisi tangan: tangan kiri di tekuk ke samping pinggang kiri, dan tangan tangan di julurkan lurus ke depan hadapan badan, dengan posisi kedua jari dipetik. Pandangan: searah dengan badan dan tangan kanan, menyerong ke kanan.
6.
Posisi badan: masih seperti posisi gerakan ke-5. 1 x 1 Posisi kaki: masih seperti posisi kaki pada gerakan ke-5, tetapi bedanya posisi lutut diluruskan, dan berat badan bertumpu pada kaki kiri. Posisi tangan: masih sama seperti gerakan yang ke-5, Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-5, menyerong ke kanan.
71
7.
Posisi badan: masih sama seperti posisi gerakan 1 x 1 ke-5 dan ke-6. Posisi kaki: sama seperti gerakan ke-6 Posisi tangan: gantian dengan gerakan ke-6, tangan kiri di julurkan lurus ke depan hadapan badan, sedangkan tangan kanan di tekuk ke samping pinggang kanan, dengan posisi kedua jari masih tetap dipetik. Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-5 dan ke-6.
8.
Posisi badan: berdiri, mengarah ke depan. 1x1 Posisi kaki: kaki kiri ditekuk, dan kaki kanan lurus. Posisi tangan: tangan kiri di tekuk ke sebelah pinggang kiri, tangan kanan di luruskan ke depan, dengan posisi jari ke dua tangan di petik. Pandangan: ke depan
72
Galatiak
1.
Posisi badan: menghadap ke samping kiri 1x1 Posisi kaki: mengangkang, kaki kiri dengan kaki kanan dibuka lebar sejajar dengan bahu. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan, dengan posisi jari kedua tangan saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan.
2.
Posisi badan: menyerong ke kiri 1x1 Posisi kaki: ujung kaki kanan lurus mengarah ke depan, dan ujung kaki kiri menyerong kea rah kiri sesuai badan, ditekuk, dan menjadi tumpuan badan. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan sama seperti gerakan ke -1,namun tangan kiri tidak sama panjangnya dengan tangan kanan,tangan kiri hanya diayun sampai di samping pinggang kiri, dengan posisi jari kedua tangan tetap saling di petik Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan
73
3.
Posisi badan: menghadap ke samping kanan 1x1 Posisi kaki: mengangkang, kaki kiri dengan kaki kanan di buka lebar sejajar dengan bahu. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan, dengan posisi jari kedua tangan saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan.
4.
Posisi badan: menyerong ke kanan Posisi kaki: ujung kaki kiri lurus mengarah ke depan, dan ujung kaki kanan menyerong ke arah kanan sesuai badan, di tekuk, dan menjadi tumpuan badan. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan, namun tangan kanan hanya diayun sampai di samping pinggang kanan, tangan kanan sampai menyerong kiri,dengan posisi jari kedua tangan tetap saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan
74
1x1 Bagian ragam ini mengalami 2 kali perulangan, jadi jumlah hitungannya 8.
Pola lantai mengacu pada pola lantai yang ada pada tari Galombang Nama ragam
Pola lantai
Gambar
Keterangan
Silek
3 penari laki-laki melakukan gerak silek sebagai gerak pembuka, sedangkan ke-6 penari perempuan berdiri sejajar dibelakang penari laki-laki dengan pose tangan menyembah sampai gerakan silek penari laki-laki selesai. Setelah selesai silek, penari laki-laki mundur ke belakang barisan penari perempuan.
Sambah
Setelah penari laki-laki kembali ke barisan belakang bersama pembawa carano, mulailah masuk musik dan penari perempuan pun mulai menari. Dimana dalam gerak ragam pertama yakni gerak sambah, posisi penari ada 3 penari yang berpola tegak dan 3 lagi nya jongkok secara berselang-seling. : tanda bahwa penari jongkok.
75
Lapiah jaramih
Dalam ragam ini, pola lantai penari dalam posisi sejajar horizontal.
Simpia
Dari pola lantai ragam ke-3, penari maju berpasangan sesuai keseragaman warna baju, membuka jalan, membentuk seperti pagar.
76
Galatiak Dari pola lantai ragam ke-4, pasangan penari di depan membuka jalan untuk pasangan di belakang maju, sehingga pasangan paling depan mengambil posisi ke belakang dengan cara mundur. Bagian ragam ini mengalami perulangan 2 kali.
Keterangan : : penari perempuan : penari laki-laki : anak daro 77
4.4 Kostum dan Tata Rias Kostum (tata pakaian) dan tata rias yang tepat berguna memperjelas sesuai dengan tema tari yang disajikan dan akan dinikmati oleh penonton (Soetedjo, 1983:4 dalam Laporan Penelitian ASKI oleh Risnawati). Persiapan kostum dan tata rias yang digunakan sangat diperlukan oleh penari dan pemusik untuk mendukung pertunjukan yang mereka sajikan di lapangan. Dari hasil pengamatan di lapangan yang penulis lakukan dan wawancara dengan ibu Riza, selaku pengelola dan penari juga di sanggar Tigo Sapilin sekarang ini untuk kostum tari Galombang memiliki lumayan banyak kostum, jadi tiap pemilihan pemakaian tiap pertunjukan disesuaikan berdasarkan kesepakatan bersama. Walaupun tidak begitu lengkap inventaris kostum dan aksesoris, namun para anggota sanggar berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap penampilannya. Kostum yang mereka miliki walau tidak didatangkan dari tempat asalnya, tetapi dibuat menyerupai dengan yang ada di Minangkabau sehingga tidak mengurangi ciri khasnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Soedarsono dalam
Laporan Penelitian ASKI oleh Risnawati, bahwa tari-tarian tradisional yang harus dipertahankan adalah desainnya dan warna simbolisnya. Warna kostum tersebutnya pada dasarnya berwarna hitam, merah, dan kuning, seperti warna khasnya orang Minangkabau, dimana warna hitam sendiri memiliki simbol kebijaksanaan, merah memiliki simbol keberanian, sedangkan warna kuning memiliki simbol kesan keagungan dan penuh kegembiraan.
Akan tetapi pada perkembangan sekarang
kostum dikreasikan di tambah dengan warna biru dan merah muda, agar nampak lebih banyak warna dan indah dalam penyajiannya. 78
4.4.1 Kostum dan Properti Adapun kostum yang dikenakan saat penyajian tari Galombang, yaitu kostum penari perempuan, dan kostum penari laki-laki. Kostum ini juga adalah kostum adat Minangkabau. Namun penggunaannya cenderung untuk seni pertunjukan dalam hal ini.
4.4.1.1 Kostum dan Asesori Penari Perempuan Berdasarkan pengamatan lapangan dan keterlibatan penulis sebagai penari tarian Galombang selama ini, maka paling tidak ada 7 perlengkapan seorang penari perempuan,, termasuk di dalamnya busana (kostum) dan asesori. Ketujuhnya adalah: baju kuruang, kain saruang, teratai, bending, tengkuluk, magek, dan anting. Selengkapnya dideskripsikan sebagai berikut. 1. Baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana tradisional Minangkabau, berlengan panjang, longgar, tanpa saku, dan ada yg berwarna hitam, merah, kuning, dan biru. Lengan yang longgar melambangkan sifat yang ringan tangan dalam membantu kesukaran orang lain. Baju kuruang yang dihiasi dengan benang emas dan tepi bawahnya diberi minsai bermakna bahwa seorang wanita Minangkabau harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. 2. Kain saruang, kain ini merupakan rok panjang yang longgar juga. Biasanya warnanya disesuaikan dengan warna baju kuruang yang dikenakan. Sarung ini untuk menutup bagian tertentu sehingga sopan dan tertib dipandang mata.
Susunan belahannya ada yg berbelah di belakang dan ada yang
berbelah disamping. 79
3. Teratai, ini merupakan hiasan pada bahu.
Berwarna hitam, dan diberi
manik-manik hiasan berwarna emas. Jika tidak mengenakan teratai ini, biasanya diganti dengan menggenakan kalung yang ukuran lingkarnya seleher. Sehingga ketika kalung itu dikenakan akan terlihat seakan-akan mencekik leher.
Makna yang terkandung dalam kalung tersebut adalah
bahwa orang hidup mesti disiplin. 4. Bending atau ikat pinggang, pada bagian pinggang diikatkan kain atau bending, dimana kain ini ada yang berwarna merah dan ada yang berwarna hitam.
Ikat pinggang ini biasanya di beri tambahan bending yang
merupakan bahan kaleng yang berwarna emas, ini dibuat agar lebih terlihat indah. 5. Tengkuluk, yaitu hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk runcing dan bercabang, yang berumai benang warna emas. Tengkuluk dari perlengkapan ini bermakna kepemilikan rumah gadang. 6. Magek, merupakan hiasan kepala juga yang terbuat dari hiasan kain sejenis sarung yang dibentuk seperti bunga pada bagian depannya. 7. Anting, adalah bagian telinga diberi hiasan berupa anting. Biasanya bentuk anting yang dikenakan adalah bentuk bunga. Ketujuh unsur busana dan properti bagi penari Galombang itu dapat dilihat tampilan visualnya pada gambar-gambar berikut ini.
80
Tengkuluk
Anting
Magek
Baju Kuruang
kain sarung teratai
bending
Gambar 4.1: Kostum dan Properti Penari Perempuan untuk Tari Galombang (Dokumentasi: Reny Yulyati, 2013)
81
4.4.1.2 Kostum dan Asesori Penari Laki-laki Untuk penari laki kostum dan asesorinya adalah terdiri dari: baju guntiang Cino, sarawa galembong, deta sabang-sabang, cawek, dan kain songket. Kelima unsure kostum dan asesori penari laki-laki untuk tari Galombang Minangkabau ini dideskripsikan sebagai berikut. 1. Guntiang Cino, bentuknya selayaknya baju tradisional Minangkabau berwarna biru, berlengan panjang dan longgar.
Lengan longgar
melambangkan sifat orang Minangkabau yang ringan tangan dalam membantu kesukaran orang lain. 2. Sarawa galembong, yang merupakan celana panjang hitam dan longgar, yang melambangkan kemampuan dalam mengambil lankah yang bijaksana. 3. Deta sabang-sabang, merupakan kat kepala, yang terbuat dari kain batik yang dilipat segitiga
kemudian dilipat rata ke atas dengan bentuk
segitiganya ditengah dilajurkan ke depan lalu diikat ke kepala. 4. Cawek atau cawat, yaitu kain yang dililitkan ke pinggang, dengan kata lain ikat pinggang. Melambangkan kekukuhan, kekuatan, atau pegangan yang dapat menyatukan kaum masyarakat. 5. Songket, kain songket yang di kenakan pada bagian pinggul. Kain ini hanya tambahan sebagai kreasi. Tampilan visual untuk kostum dan asesori penari Galombang laki-laki adalah seperti pada gambar berikut ini.
82
Guntiang Cino
Deta Sabang-sabang
Songket Sarawa Galembong
Cawek
Gambar 4.2: Kostum dan Properti Penari Laki-laki untuk Tari Galombang (Dokumentasi: Reny Yulyati, 2013)
83
4.4.2 Tata Rias Sesuai dengan pendapat Soetedjo (1983:4) dalam Laporan Penelitian ASKI oleh Risnawati tadi bahwa tata rias yang tepat juga berguna memperjelas sesuai tema tari yang disajikan dan akan dinikmati penonton. Persiapan tata rias yang digunakan juga sangat diperlukan oleh penari dan pemusik untuk mendukung pertunjukan yang mereka sajikan di lapangan. Begitu pula pada pertunjukan tari Galombang ini, dalam persiapannya penari harus memperhatikan tata rias mereka. Biasanya yang menjadi tata rias mereka lebih dipercayakan mereka pada diri mereka masing-masing. Mereka tidak perlu ke salon, karena menurut ibu Riza yang namanya penari harus bisa merias diri sendiri. Akan tetapi warna make up dan segala perlengkapannya disesuaikan dengan kesepakatan bersama agar seragam. Tata rias ini terbagi 2, yaitu sebagai berikut. (a) Tata rias wajah atau make-up, biasanya dalam keseragamannya, tiap-tiap pasangan dalam kesemaan pakaiannya warna make-upnya disesuaikan dengan kecocokan warna pakaian yang dikenakannya.
Dalam tata rias wajah yang
digunakan ada foundation / alas bedak, bedak, eye shadow, shading, blush on, celak, bulu mata palsu, lipstick. Foundation yang digunakan penari adalah foundation yang bisa tahan lama. Bergerak banyak dan terkena sinar matahari akan menghasilkan keringat yang berlebihan, agar polesan make-up tidak luntur makanya menggunakan foundation yang tahan lama. Bedak yang dipilih penari untuk digunakan biasanya warna bedak yang masuk dengan warna kulit. Eye shadow yang digunakan biasanya ada 3 tingkatan warna, pada tingkat pertama warna yang dipilih adalah warna yang serupa dengan warna 84
pakaian yang dikenakan.
Misalnya, jika pakaian yang digunakan adalah warna
merah, maka warna eye shadow tingkat pertamanya digunakan warna merah. Jika warna pakaian yang digunakan warna kuning, maka eye shadow tingkat pertamanya digunakan warna kuning pula, begitu seterusnya. Pada eye shadow tingkat kedua biasanya menggunakan warna gelap, seperti hitam dan coklat, posisi ini dibuat di bagian sudut mata agar nampak pertegasan pada mata. Tingkat ke-3 atau paling atas di buat warna putih. Setelah 3 tingkatan tersebut ditempelkan bulu mata palsu agar terlihat lebih indah. Shading yang digunakan untuk penegasan pada hidung, dan blush on digunakan untik penegasan pada bagian pipi. Sedangkan celak digunakan untuk penegasan pada alis mata. Begitu juga pada bibir, dalam penegasannya digunakan lipstick yang berwarna merah. Tatanan make up pada penari laki-laki lebih sederhana daripada penari perempuan. Pada penari laki-laki hanya menggunakan foundation, bedak, dan celak pada alis dan lingkar mata bawah sebagai penajaman mata. (b) Tata rias rambut, pada penataan rambut, masing-masing penari mengikat rambutnya menjadi satu. Setelah diikat dipasangkan sanggul, dan diberi pernakpernik hiasan seperti bunga dan sunting agar terlihat indah. Kemudian tiap pasangan penari mengenakan tengkuluk ataupun magek. Aspek gerak, ragam tarian, pola gerak, pola lantai, pakaian dan asesori untuk para penari tarian Galombnag ini menjadi bahagian yang integral dalam konteks penyajiannya di dalam upacara perkawinan adat Minangkabau, termasuk di Kota Medan. Unsur-unsur tarian ini harus disadari dan difahami oleh setiap penari tarian ini. apalagi jika ia seorang penari profesional. Namun demikian, selain aspek tarian, yang juga penting adalah aspek musik pengiring, seperti uraoan berikut. 85
4.5 Struktur Musik Iringan 4.5.1 Analisis Musik Menurut
Nettl,
(1964:98)
ada
dua
pendekatan
berkenaan
dengan
pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara keatas kertas
dan
mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dari dua hal di atas untuk memvisualisasikan musik iringan tari Galombang, penulis melakukan transkripsi agar lebih muda menganalisisnya terutama tangga nada, motif, kadensa, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat membantu kita untuk mengkomunikasikan kepada pihak lain tentang apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian, penulis menggunakan notasi Barat untuk memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar. Sebagaimana dikatakan oleh Nettl, (1964:94) yang mengutip pendapat Seegers tentang penulisan notasi musik bahwa notasi musik terdiri dari dua bagian yaitu notasi deskriptif dan notasi preskriptif. Lebih
lanjut
dikatakan
notasi deskriptif
bahwa
ialah
notasi
yang
menggambarkan secara terperinci aspek-aspek musikal yang terdapat pada musik. Sedangkan notasi preskriptif
hanya menuliskan bagian-bagian yang dianggap
menonjol dalam suatu musik tanpa harus menuliskan secara lengkap hal-hal yang ada dalam musik. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yaitu notasi deskriptif. penggunaan notasi balok.
Salah satu dari notasi deskriptif adalah
Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap
secara efektif dalam pentranskripsian.
Demikian pula tinggi rendahnya nada,
simbol-simbol nada pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan dalam
78
hal ini dikarenakan notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam musik iringan tarian ini, dan juga sering digunakan dalam penulisan suatu musik. Musik dalam pertunjukan tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan hanya sebagai musik pengiring. Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan, dimana tari ini mengikuti musik.
Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan untuk
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang ada. Dalam mengiringi tari Galombang, lagu yang dimainkan bernama lagu Tigo Duo. Ada 3 struktur musik iringan yang baku digunakan. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa dan gandang tambua. Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan. Kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi).
Yang ketiga musik penutup, yang juga
menggunakan ke-4 alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada ke-4 alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Dalam menganalisa struktur musik pengiring tari Galombang ini, penulis hanya menganalisa pada alat musik talempong dan puput serunai, hal ini dikarenakan kedua alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi. Penganalisisan musik yang penulis lakukan pada ensambel talempong pacik berupa nada dasar yang digunakan, dan ritem. Sedangkan untuk puput serunai, penulis menggunakan teori William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted scale dan hal-hal yang harus diperhatikan 79
dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola kedensa (cadence patterns), (7) formula melodik (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
4.5.2 Model Notasi Dalam transkripsi kedua mantra menggunakan notasi Barat, hal ini dilakukan agar dapat dipahami secara universal. Ada beberapa simbol yang digunakan, yaitu:
Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G.
Merupakan not ½ yang bernilai dua ketuk.
Merupakan not ¼ yang bernilai satu ketuk.
Merupakan not 1/8 yang bernilai setengah ketuk.
Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk. 80
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami makna-maknanya.
4.5.3 Ensambel Talempong Pacik Talempong pacik ini berjumlah 5 buah talempong yang dibagi 3 bagian, yaitu penganak, dasar, dan peningkah. Ketiga talempong ini memiliki melodi dan pola ritem yang berbeda-beda, namun ketiganya saling menjalin. Dalam hal ini ritem talempong penganak, dasar, dan peningkah konstan dalam musik iringan tari Galombang. 6.
Penganak Pada talempong penganak, nada yang dihasilkan berupa nada sol(5)
7.
Dasar Pada talempong dasar ini, nada yang dihasilkan berupa nada re (2) dan fa (4)
8.
Paningkah Pada talempong paningkah, nada yang dihasilkan berupa nada do (1) dan mi (3)
81
4.5.4 Melodi Puput Serunai dan Strukturnya Berikut hasil transkripsi melodi puput serunai dalam musik iringan tari Galombang pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau :
4.5.4.1 Tangga Nada Nettl,(1964 : 1945) mengemukakan bahwa cara-cara untuk mendeskripsikan tangga nada adalah menuliskan nada-nada yang dipakai tanpa melihat fungsi masingmasing dalam musik.
Tangga nada tersebut kemudian digolongkan menurut
beberapa klasifikasi, yaitu menurut jumlah nada yang dipakai. Diatonic (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat nada), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada yang mempunyai jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja. Yang dimaksud tangga nada dalam tulisan ini yaitu nada-nada yang terdapat pada melodi yang dihasilkan puput serunai. Hal ini dilakukan pada pembagian nada-nada mulai dari nada yang tertinggi hingga nada yang terendah. Penulis mengurutkan nada-nada yang terdapat dalam melodi puput serunai dari nada terendah sampai nada tertinggi. Terdiri dari lima nada, yaitu nada C-D-EF-G. Oleh karena itu tangga nadanya disebut dengan Pentatonic.
82
C
D
E
F
G
4.5.4.2 Nada Dasar Dalam menentukan nada dasar melodi puput serunai ini, penulis mengacu pada hasil rekaman video yang penulis dapatkan di lapangan saat pelaksanaan acara, yang telah ditranskripsikan ke dalam notasi Barat. Maka hasil nada dasar dalam melodi puput serunai yang didapatkan adalah nada dasar C mayor. 4.5.4.3 Wilayah Nada Metode untuk menentukan wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang terdengar secara alami yang ditentukan oleh media penghasil bunyi itu sendiri, ialah dengan memperhatikan nada yang paling rendah hingga nada yang paling tinggi. Wilayah nada melodi puput serunai yang diurutkan dari nada terendah sampai nada tertinggi adalah :
Wilayah nadanya dapat digolongkan menjadi kwint murni (5P).
4.5.4.4 Frekuensi Pemakaian Nada Frekuensi pemakaian nada dapat dilihat dari banyaknya jumlah nada yang dipakai dalam suatu musik atau nyayian. Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam melodi puput serunai :
83
C D 4
E
F
G
14 28 8
3
Jumlah pemakaian nada-nada pada melodi serunai adalah: 1. Nada C sebanyak 4 2. Nada D sebanyak 14 3. Nada E sebanyak 28 4. Nada F sebanyak 8 5. Nada G sebanyak 3
4.5.4.5 Jumlah Interval Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain terdiri dari interval naik maupun turun. Berikut adalah interval dari melodi puput serunai : Interval 1P 2M 2m 3M 3m
Posisi ↑ ↓ ↑ ↓ ↑ ↓ ↑ ↓
Jumlah 17 9 12 6 7 1 2 2
Total 17 21 13 1 4
Dari tabel diatas dapat diketahui interval yang paling sering muncul adalah interval 2M, yang muncul sebanyak 21 kali, diikuti dengan interval 1P sebanyak 17 kali. Interval yang jarang digunakan adalah interval 3M dengan jumlah penggunaan sebanyak 1 kali. 84
4.5.4.6 Formula Melodik Untuk memperjelas bagaimana bentuk dari melodi puput serunai, penulis menggunakan pendapat Nettl yang mengatakan bahwa ada beberapa karakter yang perlu diperhatikan untuk menentukan bentuk dari suatu komposisi, yaitu dengan memperhatikan unsur-unsur melodi yang terkandung berdasarkan pengulangan frasa, tanda diam, pengulangan pola ritem, transposisi, kesatuan dari teks yang ada dalam musik (1964:150). Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk, frasa, dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Motif adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi. Secara garis besar, bentuk, frasa, dan motif yang terdapat dalam melodi puput serunai adalah sebagai berikut:
4.5.4.7 Pola Kadensa Kadensa adalah nada akhir dari suatu bagian melodi lagu. Pola kadensa dapat dibagi atasa dua bagian, yaitu : semi kadens (half cadence) dan kadens penuh (full cadence). Semi kadens adalah suatu bentuk istirahat yang tidak lengkap atau tidak selesai (complete) dan memberi kesan adanya gerakan ritem yang lebih lanjut. Kadens penuh adalah suatu bentuk istirahat di akhir frasa yang terasa selesai 85
(complete) sehingga pola kadens seperti ini tidak memberikan kesan untuk menambah gerakan ritem.
4.5.4.8 ontur Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam irawan 1997 : 85) membedakan beberapa jenis kontur, yaitu : 1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan.
86
Garis kontur yang terdapat pada melodi puput serunai dalam tulisan ini pada umumnya adalah conjuct dan static. Pergerakan melodinya bergerak melangkah baik baik maupun turun, kemudian diikuti dengan bentuk static, lalu bergerak naik dan turun (conjuct) lagi. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari gambar salah contoh melodi di bawah ini.
Grafik di atas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi static, kemudian conjuct, lalu static lagi.
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi conjuct, kemudian static, lalu conjuct lagi.
87
4.6 Fungsi Tari Galombang Fungsi adalah sesuatu hal yang menyangkut tujuan pemakainan dalam pandangan luas dan universal. Fungsi berbagai aktivitas yang teinstitusi dalam masyarakat sebenarnya adalah untuk memenuhi keperluan-keperluan yang dikehendaki di dalam sebuah kebudayaan.
Seperti dalam mekanismenya, teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu (Lorimer et al, 1991). Di dalam analisis fungsi akan dijelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti : negara, agama, keluarga, aliran, pasar, dan lain-lainnya. Demikian pula tari Galombang daalam kebudayaan Minangkabau, baik di Ranah Minang maupun wilayah rantaunya (termasuk Kota Medan), memiliki fungsifungsi di dalam masyarakatnya. Fungsi kegiatan atau pertunjukan tari ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam kehidupan sosial dan budayanta. Kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh praktik tari Galombang. Misalnya tarian ini memenuhi kebutuhan masyarakat Minangkabau di Kota Medan untuk memelihara tradisi dan adat istiadatnya. Selain itu masyarakat Minangkabau juga dalam konteks Kota Medan yang heterogen secara etnik, agama, golongan, dan lainnya, memerlukan jati diri atau identitasnya agar diakui dan dikenal sebagai orang Minangkabau. Seterusnya dalm upacara perkawinan adat Minagkabau akan menjadi lengkap dan sempurna jika disertai dengan tarian ini beserta musik pengiring, pepatah petitih, busana adat, bahasa Minangkabau, dan lain-lain. Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini penulis menggunakan empat teori fungsi yang berasal dari disiplin antropologi dan etnologi tari. Kemudian akan menyimpulkan 88
bagaimana fungsi tari Galombang pada masyarakat Minangkabau, terutama di Kota Medan. Agak berbeda dengan pendekatan yang lazim dipakai oleh para calon sarja Etnomusikologi FIB USU, yang umumnya menggunakan teori fungsinya Merriam (1964), yang relevan dan lebih sesuai untuk mengkaji fungsi musik, maka dam skripsi ini, penulis menggunakan teori fungsi yang terutama digunakan dalam disiplin etnologi tari atau etnokoreologi. Adapun fungsi-fungsi tari Galombang dalam masyarakat Minangkabau di Kota Medan adalah sebagai berikut.
4.6.1 Fungsi Tari Galombang Menurut Teori Radcliffe-Brown Seorang
pakar
fungsionalisme
antropologi,
yaitu
Radcliffe-Brown
mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Dalam kenyataannya adalah struktur sosial itu biasanya akan hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bahagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal Berdasarkan kepada teori fungsi Radcliffe-Brown ini, maka dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Minangkabau.
89
Secara internal, tari Galombang didukung oleh aspek tarian yang di dalamnya juga terdiri dari penari lelaki dan perempuan, busana, asesori, tata rias wajah, gerakgerak dengan ragam dan polanya, pola lantai, makna gerak, dan seterusnya. tarian ini juga didukung oleh aktivitas musik, yang terdiri dari pemain musik pembawa melodi dan pembawa ritme. Antara tari dan musik terjadi integrasi pertunjukan yang kuat. Kemudian secara eksternal, tarian Galombang dan musik iringannya adalah berfungsi untuk memenuhi ibstitusi sosial lainnya yaitu perkawinan adat. tari dan musiknya menjadi bahagian penting dalam tatanan upacara perkawinan adat Minangkabau itu. Sementara perkawinan ini sendiri adalah isntutusi yang bertujuan atau berfungsi utama untuk melanjutkan generasi manusia Minangkabau. Kemudian dalam tataran yang lebih laus lagi, tari Galombang dan musik iringannya adalah bahagian dari kebudayaan Minangkabau, yang mendasarkan kebijakannya dalam adat. Seperti diketahui bahwa adat Minangkabau adalah berdasar kepada konsep adat basandi syarak, dan syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai (adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata dan adat meakai). Artinya bahwa kebudayaan Minangkabau beradasrkan adat, dan dasar kebudayaan ini adalah wahyu Allah berupa ajaran-ajaran agama Islam. Jadi konsep, kegiatan, dan artefak tari Galombang, adalah bahagian dari adat dan kebudayaan Minangkabau secara umum. Demikian kira-kira fungsi tari Galombang menurut teori yang ditawarkan Radcliffe-Brown.
4.6.2 Fungsi Tari Galombang Berdasarkan Teori Kurath Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana 90
untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak). Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Kurath seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat Minangkabau secara umum disebut maralek. Banyak tarian di dunia ini yang selalu berkait erat fungsinya dengan pernikahan atau pesta kawin. Dalam kebudayaan Melayu misalnya, tarian zapin atau tarian Rinjis-rinjis selalu dihubungkan dengan perkawinan. Demikian pula di dalam kebudayaan Minangkabau tari galombang memang selalu dikaitkan fungsi dan identitas estetisnya dengan upacara perkawinan. Tari gelombang itu sendiri adalah mengggambarkan gelombang kehidupan yang nantinya akan ditempuh oleh kedua pengantin dalm biduk rumah tangganya. Dengan demikian sesuai dengan pendapat Kurath tersebut, tari galombang berfungsi untuk sarana perkawinan atau pernikahan.
4.6.3 Fungsi Tari Galombang Berdasarkan Teori Shay Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan
91
psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari Galombang dalam kebudayaan Minangkabau adalah sebagai refleksi organisasi sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan juga ekonomi. Sebagai refleksi organisasi sosial, jelas bahwa tari Galombang adalah ekspresi masyarakat yang matrilineal. Pada masyarakat yang seperti ini wanita mendapat peran yang cukup menonjol dan tidak menjadi kooptasi dari kaum pria sebagaimana dalam kebudayaan patrilineal. Selain itu, dalam tarian ini tercermin juga refleksi antara pihak pengantin wanita dan keluarganya serta pengantin pria dan keluarganya. Kedua kelompok ini bersinergi dalam mendukung dua insan dari mereka untuk membentuk rumah tangganya. Refleksi itu juga diwujudkan dengan terlibatnya baik penari perempuan mapun penari laki-laki dalam tarian ini. Dengan demikian, tari Galombang adalah refleksi dari kelompok-kelompok sosial di dalam kebudayaan Minahgkabau.
3.6.4 FungsinTari Galombang Berdasarkan Teori Narawati dan Soedarsono Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005: 15-16). 92
Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari Galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian. Di dalam aktivitas tari Galombang, maka fungsi tari ini jelas sebagai sarana ritual, yang menjadi baagian penting dan diutamakan dalam setiap upacara memeriahkan perkawinan dalam kebudayaan Mianngkabau. tarian ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari serangkaian upacara adat perkawinan Minangkabau. Selain itu, dalam menarikan tarian ini setiap individu penari diperkenankan membuat gerakan-gerakan yang merupakan kreativitas pribadinya sekaligus sebagai ungkapan dirinya dalam seni. Selain itu di dalam tarian ini juga terkandung fungsi presentasi estetik, artinya melalui tarian ini, setiap penari mengekspresikan keindahan gerakangerakan tari yang dipandang estetik menurut tata estetik Minangkabau. namun demikian, tari ini memiliki fungsi sekundernya yaitu sebagai sarana ekonomis atau mata pencaharian. Disadari atau tidak, walaupun bukan fungsi utama di dalam setiap kegiatan tari Galombang terdapat fungsi ekonomis, setiap penari atau pemusiknya mengharapkan imbalan ekonomis, biasanya berupa orang. Menurut pengamatan yang penulis lakukan selama ini, seorang penari dalam rangka menari tari Galombang memerlukan dana yaitu untuk make up,, sanggul, membeli pakaian tari, perlengkapan tata rias, serta kebutuhan hidupnya. Selain itu juga setiap penari tetap mengharapkan rezeki dari jasa ia menari di dalam sebuah pesta perkawinan. Dengan demikian, fungsi tari Galobang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau memang kompleks juga. Ini dapat ditelisik melalui kaitan tari ini dengan berbagai konteks sosial dan budaya, seperti, religi, ekonomi, estetik, hiburan, sistem sosial, dan lain-lain. 93
4.7 Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Dalam konteks kegiatan tari Galombang, ada keterkaitan hubungan antara struktur tari, struktur musik iringan, dan fungsi tari di dalam masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Hubungan itu berupa hubungan pertunjukan, yang memiliki bentuk dan siklusnya tersendiri dalam dimensi waktu dan ruang. Seperti diketahui bahwa tari dan musim disatukan dan dikomunikasikan oleh dimensi atau besaran pokok waktu dan ruang. Untuk dimensi waktu, meter musik dua akan bertemu dengan siklus tari, yang terdiri dari empat jenis ragam yaitu: 4ketukan dasar untuk ragam sambah; 8 ketukan dasar untuk ragam lapian jarimih’ 8 ketukan dasar untuk ragam sampiah dan 4 ketukan dasar untuk galatiak. Jadi keempat ragam tari membutuhkan 24 ketukan dasar. Di sisi lain, musik iringannya terutama bagian ritem yang dibawaan oleh talempong pacik, tasa, dan gandang tambua memang menghasilkan meter dua. Berarti membutuhkan 12 birama untuk mengiringi satu siklus tarian ini, yang secara ostinato terus diulang-ulang sesuai dengan konteks dan fungsinya dalan upacara adat perkawinan Minangkabau. Kalau kita lihat dan kaitkan dengan melodi yang dihasilkan pupuik sarunai, maka satu siklusnya memerlukan ketukan dasar 28. Atau kalau dalam meter empat. terdiri dari 7 birama. Jadi antara tari, dengan musik pembawa ritem dan musik pembawa melodi siklusnya dapat digambarkan sebagai berikut ini.
94
Siklus tari dalam satu bentuk yang terdiri dari empat ragam memerlukan 24 ketukkan dasar.
Siklus musik pembawa riitem sesuai kebutuhan siklus tari dalam birama 2/4 atau meter 2.
Siklus musik pebawa melodi dalam satu bentuk melodi yang diulang-ulang membutuhkan ketukan dasar 28.
95
96