SKRIPSI
PEMANFAATAN TEPUNG ASIA DALAM PEMBUATAN SAUS CABAI DAN ANALISIS FINANSIALNYA
NONA WIDHAROSA F24104081
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMANFAATAN TEPUNG ASIA DALAM PEMBUATAN SAUS CABAI DAN ANALISIS FINANSIALNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: NONA WIDHAROSA F24104081
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMANFAATAN TEPUNG ASIA DALAM PEMBUATAN SAUS CABAI DAN ANALISIS FINANSIALNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : NONA WIDHAROSA F24104081 Dilahirkan pada tanggal 30 Oktober 1987 di Medan, Sumatera Utara
Tanggal Lulus : Menyetujui, Bogor,
September 2008
Ir. Sutrisno Koswara, MSi Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Nona Widharosa. F24104081. Pemanfaatan Tepung Asia dalam Pembuatan Saus Cabai dan Analisis Finansialnya. Di bawah bimbingan Ir. Sutrisno Koswara, MSi.
RINGKASAN Produksi singkong di Indonesia sangat tinggi. Data pada Badan Pusat Statistik dan Deptan 2008 menyatakan bahwa realisasi produksi singkong Indonesia untuk tahun 2007 sebanyak 18.95 juta ton dan target produksi untuk tahun 2008 sebesar 21.1 juta ton. Pengolahan singkong merupakan kegiatan yang penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Singkong pada umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non pangan. Produk olahan singkong yang menonjol adalah tapioka yang akan mempunyai hasil sampingan berupa onggok. Menurut Enie (1989), dari setiap ton singkong akan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok. Onggok tersebut kemudian diproses lebih lanjut melalui pengeringan dan penggilingan hingga menjadi tepung asia. Besarnya jumlah tepung asia yang dihasilkan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Saus merupakan salah satu alternatif produk yang dapat dibuat dengan bahan dasar tepung asia. Saus merupakan sejenis bumbu penyedap makanan yang berbentuk seperti bubur kental. Disamping teknik pengolahan saus yang relatif sederhana, saus juga sangat potensial untuk dipasarkan. Penambahan saus ke dalam makanan yang dikonsumsi sudah umum sekali dilakukan dimana-mana. Penelitian bertujuan mendapatkan formulasi terbaik saus cabai yang menggunakan tepung asia dan mengetahui kelayakan produk untuk dikembangkan dalam skala industri melalui analisis finansial. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan berupa formulasi serta pemilihan formula saus cabai terbaik dan penelitian utama berupa analisis fisik (viskositas, jumlah padatan terlarut, dan warna), kimia (pH, analisis proksimat, dan kandungan serat kasar), mikrobiologi (angka lempeng total, kapang, dan koliform) serta analisis finansial formula terpilih. Analisis finansial yang dilakukan meliputi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback Periode (PP), Break Even Point (BEP), dan analisis sensitivitas. Berdasarkan uji hedonik dan uji pembobotan, didapatkan formula A sebagai formula terpilih. Analisis sifat fisik formula terpilih adalah viskositas sebesar 12,175 cP, total padatan terlarut sebesar 17.75oBrix, dan warna L (kecerahan) 22.06, a (warna merah) 6.16, dan b (warna kuning) 6.23. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia, diketahui bahwa formula terpilih memiliki pH 3.91 dan kandungan proksimat berupa kadar air sebesar 80.38% bb, kadar abu 0.10%, kadar protein 0.42%, kadar lemak 0.33%, serta kadar karbohidrat (by difference) 18.77%, dan kadar serat kasar 1.34%. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan bahwa formula terpilih mengandung angka lempeng total sebanyak < 2.5 x 10 (0.3 x 10) koloni/gram, kapang sebanyak < 1.5 x 10 koloni/gram, dan koliform sebanyak < 3 APM/gram. Analisis finansial dilakukan dengan dua asumsi sumber peminjaman modal, yaitu berasal dari bank konvensional dan bank syariah. Hasil analisis finansial bank konvensional, diketahui bahwa usaha layak dilaksanakan dengan nilai NPV
sebesar Rp 242,106,215.95, IRR 41.21%, Net B/C 1.20, PP selama 2 tahun 133 hari, serta BEP tahun pertama terjadi pada tingkat penjualan 109.03%, tahun kedua 84.98%, tahun ketiga 79.44%, tahun keempat dan kelima pada tingkat penjualan 40.58%. Sedangkan jika menggunakan bank syariah sebagai sumber pemberi pinjaman, didapatkan nilai NPV sebesar Rp 174,955,063.90, IRR 34,23%, Net B/C 1.22, PP selama 3 tahun 42 hari. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika modal dipinjam dari bank konvensional. Hasil perhitungan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kelayakan proyek dapat bertahan pada kenaikan harga bahan baku sebesar 20.65% dengan NPV Rp 61,990.39, IRR 16.01%, dan Net B/C 1.06. Hal ini menunjukkan bahwa usaha layak dilaksanakan selama tidak terjadi kenaikan harga bahan baku di atas persentase tersebut. Proyek juga dapat bertahan pada kenaikan biaya operasional sebesar 34.67% dengan NPV Rp 25,963.24, IRR 16.00%, dan Net B/C 1.06. Hal ini berarti usaha layak dilaksanakan selama tidak terjadi kenaikan biaya operasional di atas persentase tersebut. Selain itu, usaha juga mampu bertahan pada penurunan harga jual produk sebesar 10.58% dengan NPV Rp 135,069.66, IRR 16.02%, dan Net B/C 1.07. Hal ini berarti usaha tidak layak untuk dilaksanakan apabila produk dijual di bawah nilai penurunan tersebut. Selain itu, jika terjadi kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional secara bersamaan, maka usaha dapat bertahan hingga kenaikan biaya sebesar 12.94% dengan nilai NPV sebesar Rp 90,617.79, IRR 16.01%, dan Net B/C 1.06.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Oktober 1987 dari ayah Dwi Putranto dan ibu Wiwik Utami. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 78 Jakarta dengan mengikuti program akselerasi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FATETA sebagai Staf Departemen Pengabdian Masyarakat (2005-2006) dan Bendahara II (2006-2007), Forum Bina Islami (FBI) FATETA sebagai Bendahara Divisi Kajian Pangan dan Produk Halal (20052006), dan berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus. Prestasi yang pernah diraih penulis selama menempuh masa perkuliahan adalah menjadi juara III tingkat IPB dalam Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) bidang IPS pada tahun 2008 dan mendapatkan pembiayaan dari DIKTI untuk Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) tahun 2008. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis
menyusun
skripsi
setelah
melakukan
penelitian
di
Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan pada bulan April-Juli 2008, dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Asia dalam Pembuatan Saus Cabai dan Analisis Finansialnya” di bawah bimbingan Ir. Sutrisno Koswara, MSi.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-Nya. Salawat serta salam semoga tercurah kepada nabi akhir jaman, Nabi Muhammad SAW. Keberhasilan penelitian dan penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Papa dan Mama tercinta atas segala curahan kasih sayang dan pengorbanan, doa tanpa henti, serta luapan semangat yang selalu diberikan kepada penulis. Serta kepada kakak dan adik tersayang (mas Thomi dan dek Dimas) yang selalu menyayangi, mendoakan, dan menyemangati penulis. 2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSi selaku dosen pembimbing atas kesabaran, perhatian, dan motivasi yang telah diberikan selama ini. 3. Bapak Dr. Ir. Sukarno, MSc dan Ibu Dian Herawati, STP selaku dosen penguji atas kesediaan, saran, dan kritik yang membangun demi perbaikan karya ini. 4. Iswara’s Girls (Wence, Ratz, Ismi, Rina, Lala, Enay, Upx, Norce, dan Ticka) yang selalu ’ada’ di saat suka dan duka. Terima kasih sobat atas semua kenangan manis dan kasih sayang yang telah kalian berikan. 5. Sahabat terbaik (Mequ, Etyna, Xiequ, Prilchan, Union) yang telah melukiskan warna-warni persahabatan selama ini. Betapa beruntungnya memiliki sahabat seperti kalian. 6. Sahabat seperjuangan C4 : Prilchan, Uq, dan Tuk2. Saat-saat bersama kalian adalah salah satu momen berharga bagiku. 7. Faried, akhirnya kita bisa lulus bareng. Senangnya! Terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini. 8. Sahabat ITP tersayang (Ermana, Jendi, Umul, Ofa, Haru, Kaka, Lula, Citra, Novia, Shofia, Rapper, Rossi, Tenni, Sucen, Chie, Indri L, dan Arief) yang selalu menyemangati dan membantuku.
9. Tante Emi, Om Wuri, Yuda, Tante Sani, dan keluarga lain atas doa dan dukungan selama ini. 10. Mamalu’s member (Nitz, Dianz, and Ratz) atas setahun kesabaran, pengertian, dan kasih sayang yang telah diberikan. 11. BPH Techno-F 2006 (Triono, Kani, Venty, dan Zuni). Terima kasih atas pengalaman kebersamaan dan kerjasama yang indah saat itu. 12. Pengmasers 2006 (Mequ, Venty, Nova, Sigit, Malik, K’ Khafied, K’ Erfan, K’ Ari, dan K’ Rian) atas kebersamaan dan kekompakan kita. 13. Para teknisi di laboratorium ITP (Mas Edi, Mba Ida, Pak Wachid, Bu Rubiah, Pak Sidiq, Pak Sobirin, Pak Rojak, Pak Yahya, Mba Darsih, Pak Gatot, Pak Koko, Bu Antin, dan Bu Sri). Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama melakukan penelitian. 14. Mba dhani yang pernah selalu memompa semangatku dengan kisahnya. 15. Axelers 2004 (Dian, Shelly, Sherly, Zastya, Hafiz, Bismo, Yani, Daniel, Helmy) dimanapun kalian berada. Semoga kesuksesan selalu menyertai kita. 16. Teman-teman ITP 41, 40, dan 42 atas kerjasamanya selama ini. 17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya. Semoga karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................
1
B. Tujuan Penelitian .............................................................................
3
C. Manfaat Penelitian ..........................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tepung Asia ....................................................................................
4
B. Cabai Bubuk ....................................................................................
5
C. Saus Cabai .......................................................................................
6
D. Uji Organoleptik .............................................................................
8
E. Analisis Finansial ............................................................................
9
III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat ................................................................................
12
B. Metode Penelitian ...........................................................................
12
1. Penelitian Pendahuluan .............................................................
12
2. Penelitian Lanjutan ...................................................................
13
C. Prosedur Analisis ............................................................................
13
1. Uji Organoleptik .......................................................................
13
2. Uji Pembobotan ........................................................................
14
3. Analisis Fisik ............................................................................
15
a. Viskositas ............................................................................
15
b. Jumlah Padatan Terlarut ......................................................
15
c. Warna ..................................................................................
16
4. Analisis Kimia ..........................................................................
16
a. pH ........................................................................................
16
b. Analisis Proksimat dan Kadar Serat Kasar .........................
17
b.1. Kadar Air .....................................................................
17
b.2. Kadar Abu ....................................................................
17
b.3. Kadar Protein ...............................................................
17
b.4. Kadar Lemak ................................................................
18
b.5. Kadar Karbohidrat .......................................................
19
b.6. Kadar Serat Kasar ........................................................
19
5. Analisis Mikrobiologi ...............................................................
20
a. Angka Lempeng Total (ALT) .............................................
20
b. Kapang ................................................................................
20
c. Koliform ..............................................................................
20
6. Analisis Finansial ......................................................................
21
a. Net Present Value (NPV) ....................................................
21
b. Internal Rate of Return (IRR) .............................................
21
c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ........................................
22
d. Payback Periode (PP) .........................................................
22
e. Break Even Point (BEP) ......................................................
22
f. Analisis Sensitivitas .............................................................
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan ...................................................................
24
1. Analisis Komposisi Kimia Tepung Asia ...................................
24
2. Formulasi Saus ..........................................................................
25
3. Uji Hedonik ...............................................................................
29
4. Uji Pembobotan ........................................................................
34
5. Uji Perbandingan Pasangan ......................................................
35
B. Penelitian Lanjutan .........................................................................
37
1. Analisis Sifat Fisik ....................................................................
37
a. Viskositas ............................................................................
38
b. Jumlah Padatan Terlarut ......................................................
40
c. Warna ..................................................................................
40
2. Analisis Sifat Kimia ..................................................................
41
a. pH ........................................................................................
41
b. Analisis Proksimat dan Kadar Serat Kasar ........................
42
b.1. Kadar Air .....................................................................
42
b.2. Kadar Abu ....................................................................
42
b.3. Kadar Protein ...............................................................
43
b.4. Kadar Lemak ................................................................
44
b.5. Kadar Karbohidrat .........................................................
44
b.6. Kadar Serat Kasar ........................................................
45
3. Analisis Mikrobiologi ...............................................................
45
a. Angka Lempeng Total (ALT) .............................................
46
b. Kapang ................................................................................
46
c. Koliform ..............................................................................
47
4. Analisis Finansial ......................................................................
47
a. Asumsi Finansial .................................................................
47
b. Layout Pabrik dan Desain Proses ........................................
49
c. Biaya Modal ........................................................................
50
d. Biaya Produksi ....................................................................
51
e. Volume Produksi dan Proyeksi Penjualan ..........................
52
f.
Analisis Kriteria Investasi dan Perhitungan BEP ...............
53
g. Analisis Sensitivitas ............................................................
55
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .....................................................................................
57
B. Saran ...............................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
58
LAMPIRAN .................................................................................................
61
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Syarat mutu saus cabai ................................................................
7
Tabel 2. Faktor konversi penetapan viskositas .........................................
15
Tabel 3. Komposisi kimia tepung asia yang digunakan ...........................
24
Tabel 4. Formulasi saus cabai ...................................................................
25
Tabel 5. Hasil perhitungan persentase pembobotan .................................
35
Tabel 6. Rekapitulasi uji pembobotan ......................................................
35
Tabel 7. Hasil uji perbandingan pasangan ................................................
36
Tabel 8. Hasil analisis sifat fisik produk terpilih serta perbandingannya dengan produk lain dan SNI .......................................................
37
Tabel 9. Hasil analisis sifat kimia produk terpilih serta perbandingannya dengan produk lain dan SNI .......................................................
41
Tabel 10. Hasil analisis mikrobiologi produk terpilih serta perbandingannya dengan SNI .................................................................................. 46 Tabel 11. Perbandingan hasil penilaian kriteria investasi dengan dua alternatif sumber dana pinjaman ................................................
53
Tabel 12. Hasil analisis sensitivitas ............................................................
56
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Proses pembuatan tapioka dan tepung asia .............................
4
Gambar 2. Prosedur umum pembuatan saus cabai ...................................
8
Gambar 3. Prosedur pembuatan saus cabai ...............................................
26
Gambar 4. Visualisasi keempat formulasi saus cabai ...............................
28
Gambar 5. Visualisasi penyajian sampel pada pengujian organoleptik ....
29
Gambar 6. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata rasa saus .............
30
Gambar 7. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata aroma saus .........
31
Gambar 8. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata warna saus ..........
32
Gambar 9. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kekentalan saus ..
33
Gambar 10. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata overall saus ........
34
Gambar 11. Visualisasi sampel untuk uji perbandingan pasangan .............
36
Gambar 12. Visualisasi produk terpilih dengan dua ulangan .....................
37
Gambar 13. Layout pabrik ..........................................................................
49
Gambar 14. Diagram alir proses produksi ..................................................
50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Kuisioner uji hedonik saus cabai ..........................................
61
Lampiran 2. Analisis sidik ragam hedonik rasa ........................................
62
Lampiran 3. Analisis sidik ragam hedonik aroma ....................................
62
Lampiran 4. Hasil uji lanjut Duncan hedonik aroma ................................
63
Lampiran 5. Analisis sidik ragam hedonik warna .....................................
63
Lampiran 6. Analisis sidik ragam hedonik kekentalan .............................
64
Lampiran 7. Analisis sidik ragam hedonik overall ...................................
64
Lampiran 8. Kuisioner uji perbandingan berpasangan .............................
65
Lampiran 9. Hasil uji perbandingan pasangan terhadap kontrol saus ABC
66
Lampiran 10. Hasil uji perbandingan pasangan terhadap kontrol saus Special ..................................................................................
67
Lampiran 11. Perincian biaya investasi dan biaya penyusutan ...................
68
Lampiran 12. Perincian biaya bahan baku dan operasional perbulan tahun pertama ........................................................................
69
Lampiran 13. Perincian biaya bahan baku dan operasional perbulan tahun kedua ...........................................................................
71
Lampiran 14. Proyeksi penjualan dan penerimaan perbulan pada tahun pertama dan kedua ................................................................
73
Lampiran 15. Rencana pembayaran kredit investasi dan modal kerja ........
74
Lampiran 16. Proyeksi laba rugi untuk bank konvensional..........................
74
Lampiran 17. Proyeksi arus kas untuk bank konvensional ..........................
75
Lampiran 18. Perhitungan kriteria investasi untuk bank konvensional .......
76
Lampiran 19. Perincian BEP untuk bank konvensional .............................
77
Lampiran 20. Proyeksi laba rugi untuk bank syariah ..................................
78
Lampiran 21. Proyeksi arus kas untuk bank syariah ....................................
79
Lampiran 22. Perhitungan kriteria investasi untuk bank syariah .................
80
Lampiran 23. Proyeksi laba rugi pada kenaikan harga bahan baku 20.65%
81
Lampiran 24. Proyeksi arus kas pada kenaikan harga bahan baku 20.65%..
82
Lampiran 25. Kriteria investasi pada kenaikan harga bahan baku 20.65% ..
83
Lampiran 26. Proyeksi laba rugi pada kenaikan biaya operasional 34.67%.
84
Lampiran 27. Proyeksi arus kas pada kenaikan biaya operasional 34.67%..
85
Lampiran 28. Kriteria investasi pada kenaikan biaya operasional 34.67% ..
86
Lampiran 29. Proyeksi laba rugi pada penurunan harga jual 10.58% ........
87
Lampiran 30. Proyeksi arus kas pada penurunan harga jual 10.58% .........
88
Lampiran 31. Kriteria investasi pada penurunan harga jual 10.58% ..........
89
Lampiran 32. Proyeksi laba rugi pada kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional 12.94% ....................................................
90
Lampiran 33. Proyeksi arus kas pada kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional 12.94% ....................................................
91
Lampiran 34. Kriteria investasi pada pada kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional 12.94% ....................................................
92
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Produksi singkong di Indonesia sangat tinggi. Menurut Raharjo et al., (2003), permintaan singkong di Indonesia sepanjang tahun 1993-2002 mengalami peningkatan dalam hal konsumsi dan industri. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan singkong meningkat sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya industri olahan. Data pada Badan Pusat Statistik dan Deptan 2008 menyatakan bahwa realisasi produksi singkong Indonesia untuk tahun 2007 sebanyak 18.95 juta ton dan target produksi untuk tahun 2008 sebesar 21.1 juta ton (Anonim, 2007). Tingginya produktivitas ini tak lain disebabkan oleh keunggulan singkong dibanding produk pertanian lainnya. Keunggulan tersebut antara lain produksi yang melimpah, murah, dapat tumbuh baik pada lahan kurang subur, dan waktu pemanenan tidak terikat musim sehingga dapat diperoleh sepanjang tahun. Pengolahan singkong merupakan kegiatan yang penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Singkong pada umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non pangan. Jenis-jenis produk olahan pangan dari singkong dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu langsung dan diawetkan. Olahan pangan langsung contohnya antara lain keripik singkong, kerupuk singkong, tape, makanan tradisional, dan makanan mewah. Olahan pangan singkong yang diawetkan contohnya antara lain tapioka, gaplek, pellet, makanan ternak, tepung singkong, dan tepung gaplek, sedangkan golongan olahan non pangan singkong adalah dekstrin, glukosa, dekstrosa, butanol, asam cuka, aseton, asam sitrat, MSG, dan gliserol (Raharjo et al., 2003). Dari jenis-jenis produk olahan singkong tersebut, terdapat produk olahan yang relatif menonjol, yaitu tapioka. Industri tapioka merupakan salah satu industri yang banyak terdapat di Indonesia baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar. Kapasitas produksi beranjak dari satu kuintal hingga ribuan ton singkong per hari.
Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat diolah lebih lanjut melalui pengeringan dan penggilingan sehingga menjadi tepung. Tepung onggok kering inilah yang kemudian lebih dikenal dengan nama tepung asia. Besarnya jumlah produksi tepung asia ini memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan bahan pangan. Seiring dengan maraknya perkembangan produk makanan hasil industri yang bersifat siap saji atau siap masak, masyarakat dewasa ini menjadi sangat gemar untuk menambahkan kecap dan saus pada masakan mereka. Tidaklah mengherankan jika permintaan masyarakat akan saus cabai terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, saus cabai menjadi satu penyedap yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Astawan, 2006). Saus merupakan sejenis bumbu penyedap makanan yang berbentuk seperti bubur kental. Selain teknik pengolahan saus yang relatif sederhana, saus juga potensial untuk dipasarkan. Penambahan saus ke dalam makanan yang dikonsumsi sudah umum sekali dilakukan dimana-mana. Dari konsumsi bakso di kaki lima sampai fastfood di restoran besar, dipastikan menggunakan saus (Astawan dan Astawan, 1991). Industri yang memproduksi saus cabai sudah banyak jumlahnya. Namun masih terdapat produsen yang kurang memperhatikan kesehatan dan keamanan produknya. Contohnya adalah produsen saus cabai tingkat rumah tangga yang target pasar utamanya adalah pedagang-pedagang makanan seperti bakso, mie, siomai, dan lain-lain. Produksi saus ini umumnya menggunakan bahan baku berkualitas rendah dan menambahkan pengawet maupun pewarna yang dilarang. Saus merupakan salah satu alternatif produk yang dapat dibuat dengan bahan dasar tepung asia. Oleh karena itu, pemanfaatan tepung asia dalam pembuatan saus cabai diharapkan dapat menghasilkan saus dengan biaya produksi rendah namun kualitas dan keamanan pangannya tetap terjamin.
B. TUJUAN PENELITIAN 1. Memanfaatkan tepung asia dalam pembuatan saus cabai 2. Mengetahui kelayakan produk untuk dikembangkan dalam skala industri melalui analisis finansial C. MANFAAT PENELITIAN Sesuai dengan tujuan di atas, hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara pembuatan, formulasi, dan kelayakan secara finansial industri saus cabai yang menggunakan tepung asia sehingga dapat diaplikasikan dalam skala industri.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEPUNG ASIA Salah satu limbah industri tapioka adalah onggok. Onggok sering menimbulkan masalah lingkungan karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Onggok tahan relatif lama dalam keadaan kering, sedangkan dalam keadaan basah, onggok mudah sekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan (Purnawati, 2007). Oleh karena itu, onggok diproses lebih lanjut melalui pengeringan dan penggilingan hingga dihasilkan tepung. Tepung ini kemudian lebih dikenal dengan nama tepung asia (Marliyati et al., 1992). Proses pembuatan tapioka dan tepung asia dapat dilihat pada Gambar 1. Singkong ↓ Pengupasan ↓ Pencucian ↓ Pemarutan ↓ Penyaringan
Larutan pati
Onggok
↓ Pengendapan
↓ Pengepresan
Filtrat (dibuang)
Pati ↓ Penjemuran ↓ Tapioka
Filtrat (dibuang)
Ampas ↓ Penjemuran ↓ Penggilingan ↓ Tepung asia
Gambar 1. Proses pembuatan tapioka dan tepung asia (Marliyati et al., 1992)
Tepung asia dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan termasuk sebagai bahan pangan. Contoh penerapannya antara lain sebagai bahan pencampur dalam pembuatan kerupuk dengan daya kembang yang cukup baik (Marliyati et al., 1992). Ketersediaan tepung asia berkaitan erat dengan ketersediaan onggok. Dan ketersediaan onggok terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka. Menurut Amri (1983), proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka akan menghasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 66.67% dari bahan mentahnya. Serta menurut Enie (1989), dari setiap satu ton singkong akan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok. Menurut Satiawihardja (1982), kandungan pati pada onggok sekitar 6070% dari berat kering. Kandungan pati yang tersisa pada onggok bergantung pada teknik pembuatan tapioka. Semakin banyak menggunakan air, maka akan semakin banyak jumlah pati yang dapat diekstrak, sehingga jumlah pati yang tersisa pada onggok semakin sedikit. B. CABAI BUBUK Cabai merupakan salah satu produk hortikultura yang mempunyai sifat musiman, mudah rusak (perishable), bersifat segar, dan memakan banyak tempat (bulky). Produksi cabai saat panen raya sangat melimpah dan sebaliknya di luar musim panen raya atau karena kegagalan panen, produksi cabai sangat kecil. Hal ini disebabkan umumnya petani menanam cabai dalam waktu atau musim yang bersamaan (Saputra et al., 2001). Produksi cabai yang berfluktuasi pada waktu panen dan diluar musim panen akan diikuti oleh fluktuasi harga cabai, yaitu pada saat panen raya harga cabai sangat rendah dan di luar musim panen raya harga cabai sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara supply dan demand pada musim tersebut. Pengeringan cabai dilakukan sebagai alternatif untuk menanggulangi produksi cabai yang berlebihan, terutama pada saat panen raya. Melalui pengeringan, cabai dapat disimpan lebih lama sehingga penjualannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar (Saputra et al., 2001).
Cabai kering biasanya dipasarkan untuk diolah lebih lanjut menjadi bubuk cabai atau oleoresin cabai. Pengolahan lebih lanjut dari cabai kering menjadi bubuk cabai dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan menggiling cabai kering kemudian mengayak untuk memperoleh ukuran partikel yang lebih halus (± 100 mesh). Cabai bubuk diperjualbelikan dalam bentuk murni bubuk cabai atau dalam bentuk campuran dengan rempahrempah lain untuk keperluan bumbu masak (Santika, 2001). Produk olahan cabai yang paling disukai oleh konsumen dan yang paling banyak dipasarkan di Indonesia adalah dalam bentuk saus cabai. Merek-merek dagang saus yang ada di pasaran saat ini berasal dari produksi dalam negeri maupun produk impor. Produk saus tersebut umumnya terbuat dari bahan cabai segar dan belum ada upaya pengembangannya untuk membuat dari cabai kering bubuk walaupun cabai bubuk saat ini sudah banyak diproduksi dan dipasarkan (Saputra et al., 2001). C. SAUS CABAI Saus secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu produk yang merupakan hancuran dari beberapa bahan pangan yang tergolong sayuran, seperti tomat dan cabai (Fardiaz, 1992). Standar Nasional Indonesia (SNI 012976-2006) mendefinisikan saus cabai sebagai saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabai (Capsium sp.) yang telah matang dan bermutu baik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan-bahan yang dapat digunakan antara lain garam, gula, bawang putih, dan pengental. Syarat mutu saus cabai dapat dilihat pada Tabel 1. Gula (sukrosa) memiliki peranan penting dalam teknologi pangan, karena fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, pelarut, dan sebagai pembawa trace element (Nicol, 1982). Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dengan menutupi cita rasa yang tidak menyenangkan.
Penggunaan asam benzoat sebagai pengawet pada saus akan memiliki aktivitas optimum pada pH 2.5-4. Asam benzoat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri daripada kapang dan pada konsentrasi di atas 25 ml/l asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang (Buckle et al., 1985). Tabel 1. Syarat mutu saus cabai Kriteria Uji Keadaan Bau Rasa Jumlah padatan terlarut Mikroskopis pH Bahan tambahan makanan Pewarna Pengawet Pemanis buatan Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Arsen Cemaran Mikroba Angka Lempeng Total Bakteri koliform Kapang Sumber : SNI 01-2976-2006
Satuan
Persyaratan
% b/b -
Normal Normal Min. 20 Cabai positif Maks. 4 Sesuai peraturan di bidang makanan yang berlaku
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 2,0 Maks. 5,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03 Maks. 1,0
Koloni/g APM/g Koloni/g
Maks. 1x104 <3 Maks. 50
Berbagai macam saus cabai atau sambal yang diawetkan dalam botol dapat ditemukan di pasar tradisional maupun supermarket di berbagai kota. Rasa dan mutu saus sangat tergantung oleh selera pengusaha yang memproduksinya. Setiap pengusaha memiliki resep campuran dan cara pengolahan yang berbeda (Santika, 2001). Proses pembuatan saus cabai meliputi pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji cabai, pengukusan pada suhu 100oC selama satu menit, penggilingan, penambahan garam, bahan pengawet, gula, asam cuka, penyedap, maizena, dan air, dilanjutkan dengan proses pengadukan, pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental, pemasukan
dalam botol steril, exhausting, dan penutupan botol serta pendinginan (Setiadi, 1987). Bagan alir proses pembuatan saus cabai dapat dilihat pada Gambar 2.
Cabai merah dan bawang putih ↓ Pencucian, pemotongan tangkai, dan pembuangan biji ↓ Pengukusan pada suhu 100oC (± 1 menit) ↓ Garam, pengawet, Penggilingan sampai halus gula, asam cuka, ↓ penyedap, maizena, air
Bubur ↓ Pengadukan ↓ Pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental ↓ Pemasukan dalam botol steril dan exhausting ↓ Penutupan botol dan pendinginan kemasan ↓ Produk saus cabai Gambar 2. Prosedur umum pembuatan saus cabai (Setiadi, 1987). D. UJI ORGANOLEPTIK Uji organoleptik atau evaluasi sensori didefinisikan sebagai pengukuran ilmiah untuk mengukur dan menganalisa karakteristik bahan pangan dan bahan lain yang diterima oleh indra penglihatan, pencicipan, penciuman, perabaan dan pendengaran, serta menginterpretasikan reaksi yang diterima akibat proses penginderaan tersebut. Dengan demikian pengukuran tersebut melibatkan manusia (dalam hal ini disebut panelis) sebagai alat ukur. Reaksi kompleks yang dihasilkan dari interaksi indra manusia dengan kualitas suatu bahan
pangan
diterapkan
dalam
program
pengawasan
mutu
dan
pengembangan produk pangan. Penilaian dapat dilakukan oleh beberapa panelis sampai ratusan panelis tergantung tipe pengukuran dan informasi yang ingin diperoleh (Adawiyah et al., 2007).
Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, di samping itu mereka juga diminta mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan amat sangat tidak suka (Rahayu, 1998). Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dihendaki. Dalam analisisnya skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan. Hasil uji hedonik ditabulasikan dalam suatu tabel, untuk kemudian dilakukan analisis dengan Anova dan uji lanjutan seperti Duncan’s Multiple Test (Rahayu, 1998). E. ANALISIS FINANSIAL Suatu proyek diadakan tentulah dengan maksud agar proyek itu dapat memberikan keuntungan atau manfaat. Oleh karena itu, dalam setiap perencanaan proyek harus selalu dipertimbangkan dan dihitung apakah proyek yang akan dilaksanakan itu menguntungkan atau tidak. Pengertian keuntungan bagi perorangan atau swasta adalah keuntungan finansial, sedangkan pengertian keuntungan bagi proyek pemerintah adalah manfaat yang mungkin berupa keuntungan ekonomi, sosial, keamanan, atau politis. Beberapa faktor yang sering menjadi pertimbangan suatu proyek adalah kelayakan teknis, kelayakan ekonomi-finansial, kelayakan hukum dan sosial, kelayakan lingkungan, dan kelayakan keamanan (Soesarsono, 2003). Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan pemasukan suatu proyek, dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut (Kadariah et al., 1999). Beberapa faktor yang umum digunakan untuk menguji kelayakan suatu proyek terutama berkisar pada perkiraan biaya investasi, perkiraan biaya operasi, kebutuhan modal kerja, sumber pembiayaan, dan perkiraan
pendapatan. Hasil analisis aspek finansial berupa suatu pernyataan apakah rencana bisnis dianggap layak atau tidak layak. Jika rencana bisnis dinyatakan layak, maka studi akan dilanjutkan ke aspek yang lain. Jika rencana bisnis dinyatakan tidak layak, dapat dilakukan kajian ulang yang lebih realistis dan positif sehingga kajian menjadi layak. Apabila memang sulit untuk menjadi layak, sebaiknya rencana bisnis diakhiri saja (Umar, 2001). Untuk dapat menentukan apakah suatu proyek investasi dapat dikatakan layak diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada estimasi aliran kas yang bersangkutan. Menurut Pramudya dan Dewi (1992), kriteria penilaian investasi tersebut antara lain Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Selain itu juga dapat menggunakan analisis Break Even Point (BEP) serta analisis sensitivitas untuk melengkapi analisis kriteria investasi tersebut. NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya. Dengan demikian, apabila NPV bernilai positif, dapat diartikan juga sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh proyek. Sebaliknya, NPV yang bernilai negatif menunjukkan kerugian (Pramudya dan Dewi, 1992). IRR merupakan suatu tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam suatu proyek, yang nilainya dinyatakan dalam persen per tahun. Suatu proyek yang layak dilaksanakan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai discount rate. Pengertian lainnya yaitu nilai tingkat bunga, dimana nilai NPV-nya sama dengan nol (Pramudya dan Dewi, 1992). Net B/C dihitung dari perbandingan semua NPVB-C yang bernilai positif dengan semua NPVB-C yang bernilai negatif. Apabila diperoleh hasil lebih dari satu, maka proyek layak untuk dilaksanakan (Pramudya dan Dewi, 1992). Penyusunan analisis kelayakan proyek terkadang membutuhkan suatu analisis sensitivitas. Analisis ini dilakukan apabila terjadi suatu kesalahan pendugaan suatu nilai biaya atau manfaat ataupun adanya kemungkingan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengulang kembali perhitungan
berdasarkan perubahan yang terjadi atau mungkin akan terjadi. Hal ini perlu dilakukan karena dalam analisis proyek umumnya didasarkan pada proyeksiproyeksi yang mengandung banyak unsur ketidakpastian tentang apa yang terjadi pada waktu mendatang (Pramudya dan Dewi, 1992).
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan terdiri dari bahan baku dan bahan analisis. Bahan baku yang digunakan antara lain tepung asia, cabai bubuk, air, bawang putih, garam, gula, asam cuka, pengawet Na-benzoat, serta pewarna sintetik Porceau 4R dan Sunset Yellow. Bahan-bahan untuk analisis kimia produk terdiri dari NaOH, H2SO4, buffer pH 4 dan 7, indikator PP, aquades, dietil eter, dan asam oksalat. Uji organoleptik menggunakan carrier berupa kentang goreng. Serta untuk analisis mikrobiologi dibutuhkan media PCA, APDA, dan LB. Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat-alat pengolahan dan alat-alat analisis. Alat-alat pada pengolahan saus cabai yang digunakan antara lain timbangan, gelas piala, hot plate, gelas pengaduk, botol, dan lap. Alat-alat untuk analisis antara lain Brookfield viscometer, refraktometer, Chromameter Minolta, pH meter, oven, cawan aluminium, tanur, cawan porselin, labu Kjeldahl, soxhlet, serta alat uji mikrobiologi seperti inkubator, cawan petri, tabung reaksi, tabung Durham, rak tabung reaksi, dan erlenmeyer. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk merancang komposisi yang tepat dari bahan-bahan penyusun produk sehingga diperoleh citarasa yang dapat diterima oleh konsumen. Penelitian lanjutan yaitu pembuatan produk saus terpilih untuk dianalisis sifat fisik, kimia, mikrobiologi, dan analisis finansial. 1. Penelitian Pendahuluan Pada tahap ini dilakukan analisis komposisi kimia tepung asia yang digunakan sebagai bahan baku. Kemudian dilakukan formulasi saus cabai dengan sistem trial and error. Setelah didapatkan empat formula yang bervariasi, dilakukan uji organoleptik berupa uji hedonik untuk melihat respon panelis terhadap produk. Selain itu dilakukan uji pembobotan untuk
menentukan satu formula terbaik yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan. Dilakukan pula uji perbandingan berpasangan terhadap produk terpilih dengan produk yang telah ada di pasaran. 2. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan dilakukan untuk melihat karakteristik produk formula terpilih pada penelitian pendahuluan. Adapun karakteristik yang diamati yaitu sifat fisik berupa viskositas, total padatan terlarut, dan warna; sifat kimia berupa pH dan analisis proksimat; sifat mikrobiologi berupa kandungan angka lempeng total (ATL), kapang, dan koliform; serta analisis finansial untuk melihat kelayakan dalam pelaksanaan usaha ini. Analisis finansial dilakukan berdasarkan dua alternatif peminjaman modal, yaitu yang berasal dari bank konvensional dan bank syariah. Analisis finansial yang dilakukan meliputi perkiraan besar modal, kebutuhan investasi, perkiraan biaya produksi, perkiraan perolehan tahunan, total investasi, sumber finansial, dan analisis kriteria investasi yang meliputi perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C, PP (Payback Period), dan BEP (Break Even Point), serta analisis sensitivitas. Sebagai dasar perhitungan untuk analisis finansial, digunakan asumsi-asumsi yang disesuaikan pada saat penelitian. Asumsi-asumsi tersebut meliputi umur proyek, harga bahan baku dan peralatan, kapasitas produksi, biaya penyusutan dan perawatan peralatan, biaya pemasaran, efektivitas penjualan, sumber finansial, cara pembayaran pinjaman, discount rate, dan besar pajak. C. PROSEDUR ANALISIS 1. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985) Uji organoleptik dilakukan terhadap keempat formula hasil penelitian pendahuluan. Penilaian mutu organoleptik yang dilakukan pada setiap formulasi saus merupakan uji hedonik terhadap rasa, aroma, warna, kekentalan, dan overall (keseluruhan) sehingga dapat dilihat tingkat
penerimaan panelis. Penilaian dilakukan dengan menggunakan 7 skala numerik, yaitu sangat suka (7), suka (6), agak suka (5), netral (4), agak tidak suka (3), tidak suka (2), dan sangat tidak suka (1). Data dari uji hedonik diolah secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam Anova-Duncan. Selain uji hedonik dilakukan uji perbandingan pasangan terhadap formula terpilih. Uji ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara produk terpilih dengan produk yang telah ada di pasaran. Melalui uji ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh perbedaan antar kedua produk tersebut dan apakah produk yang diuji lebih baik atau lebih buruk jika dibandingkan produk pembanding. Atribut sensori yang diamati antara lain rasa, aroma, warna, kekentalan, dan overall. Secara umum penilaian yang diberikan adalah sangat lebih baik (3), lebih baik (2), agak lebih baik (1), sama (0), agak lebih buruk (-1), lebih buruk (-2), dan sangat lebih buruk (-3). Data yang diperoleh kemudian dianalisis sehingga diketahui rata-rata nilai masingmasing atribut sensori produk dibandingkan kontrol (produk pembanding). 2. Uji Pembobotan Uji pembobotan bertujuan untuk menentukan produk terpilih. Uji ini dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan suatu atribut sensori yang ada dalam suatu produk pangan. Atribut yang diperhatikan pada penelitian ini antara lain rasa, warna, aroma, dan kekentalan. Terhadap 30 orang panelis dilakukan polling untuk melihat tingkat kepentingan dalam suatu produk saus. Atribut sensori yang paling penting terdapat dalam saus diberi nilai 4, agak penting (3), agak tidak penting (2), dan yang paling tidak penting diberi nilai 1. Nilai-nilai tersebut kemudian dikalkulasikan dan dihitung persentasenya. Kemudian skor yang diperoleh dari hasil uji organoleptik dikalikan dengan persentase pembobotan untuk masing-masing atribut sensori. Nilai Terboboti = Skor uji hedonik x Persentase pembobotan
3. Analisis Sifat Fisik a. Viskositas (Faridah et al., 2008) Pengukuran Brookfield
viskositas
Viscometer.
dilakukan
Sebelum
dengan
digunakan,
menggunakan
viscometer
harus
distandardisasi terlebih dahulu. Tahap pertama standardisasi adalah memilih nomor (jenis) rotor viscometer dan menentukan kecepatan putar (rpm) rotor tersebut. Semakin kental larutan, maka semakin besar nomor rotor dan kecepatan rotor yang harus dipilih. Nomor rotor dan kecepatan yang dipilih adalah pada saat skala pembacaan berada pada selang 0-100. Bila alat telah distandardisasi, jarum viscometer dicelupkan ke dalam 100 ml contoh yang telah dimasukkan ke dalam wadah contoh. Pengukuran dilakukan selama 2 menit hingga diperoleh pembacaan jarum pada posisi yang stabil. Angka hasil pembacaan selanjutnya harus dikonversikan dengan faktor konversi yang telah ditetapkan. Faktor konversi penetapan viskositas disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Faktor konversi penetapan viskositas Rotor No. 1 No. 2 No. 3 No. 4
60 1 5 20 100
Kecepatan putar (rpm) 30 12 2 5 10 25 40 100 200 500
6 10 50 200 1000
b. Jumlah Padatan Terlarut (SNI 01-2976-2006) Sebanyak 10 gram contoh dipusingkan dengan menggunakan sentrifugasi 24.500 kali gravitasi pada 10oC selama 30 menit atau sampai menghasilkan larutan jernih. Kemudian diambil larutan jernih dengan menggunakan pipet dan diperiksa dengan menggunakan refraktometer. Pembacaan dilakukan pada suhu 25oC dan dicatat setelah angka konstan minimal 5 menit.
c. Warna (Faridah et al., 2008) Analisis
warna
dilakukan
dengan
menggunakan
alat
Chromameter Minolta. Nilai yang ditunjukkan oleh alat tersebut adalah nilai Y, x, dan y, dimana Y merupakan nilai angka pantul atau angka cahaya, sedangkan x merupakan absis pada kordinat kromatisitas, dan y adalah ordinatnya untuk sistem CIE. Nilai Y, x, dan y pada sistem CIE tersebut dapat dikonversi ke dalam sistem L, a, dan b Hunter yang telah dipergunakan secara luas untuk kolorimetri makanan, dimana L adalah keterangan atau kecerahan, a adalah kemerahan atau kehijauan, dan b adalah kekuningan atau kebiruan. Contoh yang dianalisis mendefinisikan L sebagai kecerahan, a sebagai tingkat warna merah, dan b sebagai tingkat warna kuning.
L = 10 Y a = 17.5 Y b = 5.929 Y
1.02 x −1 y 2.181 y + x − 1 y
Contoh yang akan dianalisis diletakkan pada cawan petri khusus yang ukuran ketebalan, diameter, dan tinggi untuk masing-masing contoh harus sama agar didapat hasil pengukuran yang akurat. 4. Analisis Sifat Kimia a. pH (SNI 01-2891-1992) Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi menggunakan larutan pH buffer 4 dan 7. Elektroda yang telah dibersihkan dengan air suling dan diseka dengan tissue dicelupkan ke dalam contoh yang akan diukur pHnya. Nilai pH yang terbaca dicatat kemudian elektroda harus dibilas air suling dan diseka tissue sebelum dilakukan pengukuran pH contoh berikutnya.
b. Analisis proksimat dan Kadar Serat Kasar b. 1. Kadar Air Metode Pemanasan Langsung (Apriyantono et al., 1989)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang contoh dengan neraca analitik sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram). Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤ 0.0003 gram). % Kadar air (bb) =
b − (c − a ) x 100% b
b. 2. Kadar Abu Metode Tanur (Apriyantono et al., 1989)
Contoh ditimbang 2-3 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4-5 jam. Contoh lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤ 0.0003 gram). % Kadar abu =
bobot abu
x 100%
bobot contoh
b. 3. Kadar Protein Metode Kjeldahl (SNI 01-2891-1992) Contoh sebanyak 0.51 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan hingga dingin, lalu ditambahkan
sedikit air suling dan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 pekat sampai warna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metil serta metil biru, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N hingga titik akhir.
% N (bb) =
(ml contoh − ml blanko)
xN HCl x14.007 x100%
bobot contoh (mg ) % Kadar protein = % N x 6.25 b. 4. Kadar Lemak Metode Ekstraksi Soxhlet (Apriyantono et al., 1989)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soxhlet dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang hingga bobotnya tetap. Sebanyak 5 gram contoh (a) dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan dalam labu lemak yang telah diketahui bobotnya (b gram). Kemudian labu lemak dirangkai pada alat ekstraksi soxhlet, dengan posisi kondensor pada bagian atas dan labu lemak pada bagian bawah. Pelarut dietil eter atau petroleum dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai ukuran soxhlet yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap kemudian didinginkan dalam desikator dan labu beserta lemaknya ditimbang (c gram). % Kadar lemak (bb) =
c−b x 100% a
b. 5. Kadar Karbohidrat (by difference)
Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference yaitu dihitung menggunakan rumus : Kadar karbohidrat (%) = 100% - (KA + A + P + L) Keterangan :
KA = % kadar air A = % kadar abu P = % kadar protein
L
= % kadar lemak
b. 6. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al., 1989)
Sebanyak 2 gram contoh yang telah bebas lemak ditimbang dan
dimasukkan
dalam
erlenmeyer
600 ml.
Jika ada,
ditambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih (antifoaming agent). Ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0.255 N mendidih. Ditutup dengan pendingin balik. Kemudian didihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyangkan. Suspensi disaring melalui kertas saring. Residu yang tertinggal di erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dalam kertas saring dicuci sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus). Dipindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer kembali dengan spatula. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Dididihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyangkan selama 30 menit. Saring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan H2SO4 10%. Dicuci lagi residu dengan air mendidih. Kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 ml. Keringkan kertas saring pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam). Didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Berat residu yang diperoleh merupakan berat serat kasar.
5. Analisis Mikrobiologis a. Angka Lempeng Total (Fardiaz, 1992)
Sebanyak 11 gram contoh ditimbang secara aseptik dan dimasukkan ke dalam 99 ml larutan pengencer steril, kemudian dikocok kuat-kuat sebanyak minimal 25 kali. Selanjutnya dilakukan beberapa pengenceran. Sebanyak 1 ml dari empat pengenceran terakhir masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri. Digunakan 2 cawan untuk setiap pengenceran. Kemudian dituangi medium PCA cair (45oC), dan dibiarkan membeku. Setelah membeku, cawan diinkubasi pada suhu 30-32oC selama 2-3 hari, dan jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan dilaporkan sebagai jumlah mikroorganisme per gram contoh. b. Kapang dan Khamir (Fardiaz, 1992)
Sebanyak 11 gram contoh ditimbang secara aseptik dan dimasukkan ke dalam 99 ml larutan pengencer steril, kemudian dikocok kuat-kuat sebanyak minimal 25 kali. Selanjutnya dilakukan beberapa pengenceran. Sebanyak 1 ml dari empat pengenceran terakhir masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri. Digunakan 2 cawan untuk setiap pengenceran. Kemudian dituangi medium APDA cair (45oC), dan dibiarkan membeku. Setelah membeku, cawan diinkubasi pada suhu 25-30oC selama 3-4 hari, dan jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan dilaporkan sebagai jumlah kapang dan khamir per gram contoh. c. Koliform (SNI 19-2897-1992)
Ditimbang sebanyak 25 gram contoh ke dalam erlenmeyer atau wadah lain yang sesuai dan telah berisi 225 larutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1:10 kemudian dikocok dengan baik. Dipipet sebanyak 1 ml pengenceran contoh 10-1 ke dalam masing-masing 3 tabung yang berisi 5 ml LB yang didalamnya terdapat tabung Durham terbalik. Dilakukan juga hal yang sama terhadap pengenceran 10-2 pada 3 tabung kedua dan 10-3 pada 3 tabung ketiga. Semua tabung
disimpan dalam inkubator pada suhu 36oC selama 24 dan 48 jam. Setelah 24 jam, dicatat jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing pengenceran dan simpan lagi tabung yang tidak membentuk gas dalam inkubator pada suhu 36oC selama 24 jam. Kemudian dicatat jumlah tabung yang membentuk gas. Untuk uji penguat, dipindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media LB ke dalam tabung yang berisi 10 ml BGLBB 2%. Semua tabung kemudian dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 36oC selama 24-48 jam. Adanya gas pada tabung BGLBB memperkuat adanya bakteri koliform dalam contoh. Jumlah tabung yang positif gas dicatat dan APM dari koliform dapat diketahui. 6. Analisis Finansial a. Net Present Value (NPV) (Pramudya dan Nesia, 1992)
Rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut : n
NPV = − A0 + ∑ t =1
At (1 + r ) t
Keterangan : -A0 = pengeluaran investasi pada tahun ke-0 At = aliran kas masuk bersih pada tahun ke-t r = tingkat suku bunga pada periode i t = periode investasi (t = 0, 1, 2,...., n) n = jumlah tahun (usia) proyek Berdasarkan kriteria finansial, bila NPV > 0, maka proyek dinyatakan layak, dan jika NPV < 0, maka proyek tidak layak. b. Internal Rate of Return (IRR) (Pramudya dan Nesia, 1992)
IRR adalah tingkat bunga dimana nilai NPV = 0. Rumus untuk menghitung IRR adalah sebagai berikut : IRR = i1 +
NPV (i2 − i1 ) NPV positif − NPVnegatif
NPVpositif adalah net present value positive dengan discount rate tertentu yang lebih rendah (i1), sedangkan NPVnegatif adalah net present value negative dengan discount rate tertentu yang lebih tinggi (i2).
c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) (Pramudya dan Nesia, 1992)
Untuk menghitung nilai Net B/C, present value (PV) setiap tahun selama umur proyek harus diketahui. Nilai Net B/C dihitung dari perbandingan jumlah semua PV yang positif dengan jumlah semua PV negatif. Rumus untuk menghitung nilai net B/C dapat dinyatakan sebagai berikut : Net B / C =
NPV positif NPVnegatif
Apabila Net B/C ≥ 1, maka proyek tersebut dianggap layak untuk dilaksanakan, namun apabila Net B/C <1, maka proyek tersebut dianggap tidak layak untuk dilaksanakan.
d. Jangka waktu pengembalian modal (Payback Periode) (Gray et al., 1992) Payback Periode (PP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Rumus untuk menghitung PBP adalah : PBP = n +
m ( Bn +1 − C n+1 )
Keterangan : n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir m = nilai kumulatif Bt – Ct negatif terakhir Bn+1 = nilai sekarang penerimaan sosial bruto pada tahun n+1 Cn+1 = nilai sekarang biaya sosial bruto pada tahun ke n+1
e. Break Even Point (BEP) (Soesarsono, 2003) Break Even Point (BEP) adalah suatu cara untuk dapat menetapkan tingkat produksi dimana penjualan sama dengan biayabiaya.
Rumus untuk menghitung BEP adalah : Biaya Tetap
Q ( BEP ) =
Harga Penjualan / unit − Biaya Variable / unit Biaya Tetap
Penjualan ( BEP ) = 1 −
(− Biaya Variabel ) Total Penerimaan
d. Analisis Sensitivitas (Gray et al., 1992) Analisis sensitivitas diperlukan apabila terjadi sesuatu kesalahan dalam penilaian biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi perubahan unsur harga pada saat pelaksanaan proyek. Melalui analisis ini dapat diketahui seberapa jauh proyek tetap layak jika terjadi perubahan-perubahan terhadap parameter-parameter tertentu, misalnya kenaikan bahan baku dan bahan penunjang, serta penurunan harga jual. Analisis sensitivitas dilakukan pada tingkat 5 – 50%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Analisis Komposisi Kimia Tepung Asia Saus cabai merupakan produk olahan cabai yang mempunyai tekstur halus dan kekentalannya memungkinkan produk tersebut untuk dapat dialirkan. Untuk mendapatkan saus cabai dengan total padatan dan kekentalan yang baik dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengisi. Bahan pengisi yang biasa digunakan antara lain tepung jagung, tepung tapioka, dan tepung ubi jalar. Penelitian ini memanfaatkan tepung asia yang merupakan hasil olahan onggok (limbah industri tapioka) sebagai bahan pengisi pada prosuk saus cabai. Tepung asia yang digunakan pada penelitian merupakan tepung asia komersial yang diperoleh dari perusahaan pengolahan singkong menjadi tapioka di daerah Pomad, Bogor. Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia (Tabel 3), diketahui bahwa tepung asia yang digunakan memiliki kadar air 11.76%, kadar abu 0.76%, kadar serat kasar 7.81%, kadar lemak 1.26%, kadar protein 1.02%, dan kadar karbohidrat sebesar 85.20%. Tabel 3. Komposisi kimia tepung asia yang digunakan Komponen Air Abu Serat kasar Lemak Protein Karbohidrat (by difference)
Kandungan (% bb) 11.76 0.76 7.81 1.26 1.02 85.20
Menurut Muchtadi (1989), jika dilihat dari segi nilai gizi, karbohidrat dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu karbohidrat yang dapat dicerna (gula dan pati) dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna (oligosakarida dan serat makanan). Karbohidrat yang dapat dicerna mempunyai fungsi sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, sedangkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna (terutama serat makanan) memiliki andil besar dalam pencegahan berbagai penyakit.
Lebih lanjut menurut Muchtadi (1989), pada konsentrasi rendah, pati mampu
memberikan
tekstur,
mengentalkan,
memadatkan,
serta
memperpanjang umur simpan beberapa jenis makanan. Oleh karena itu, penggunaan tepung asia dalam pembuatan saus cabai diharapkan dapat memiliki fungsi tersebut. Selain itu, tingginya kandungan serat kasar dalam tepung asia diharapkan dapat menjadi nilai tambahan bagi produk yang akan dihasilkan. Serat dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah berbagai penyakit bagi konsumen.
2. Formulasi Saus Cabai Formulasi bertujuan memberi pedoman dalam penentuan komposisi bahan agar kandungan nutrisi produk sesuai ketentuan SNI serta memberikan karakteristik produk terbaik. Namun dalam SNI 01-29762006 tentang saus cabai tidak tercantum adanya syarat mutu kandungan nutrisi untuk produk saus. Oleh karena itu, penentuan formulasi dilakukan dengan metode trial and error hingga didapatkan karakteristik formulasi yang layak untuk dilakukan uji organoleptik. Jumlah tepung asia, cabai bubuk, dan pewarna ditetapkan sebagai variabel bebas, sedangkan bahan lainnya seperti air, garam, gula, bawang putih, asam cuka, dan pengawet dianggap sebagai variabel tetap. Adapun komposisi formulasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Formulasi saus cabai Bahan Tepung Asia Cabe Bubuk Air Garam Gula Bawang Putih Pengawet Cuka Sunset Yellow Porceau 4R
Formula A 30 15 400 15 36 2.5 0.45 3.8 0.02 0.004
Jumlah bahan (gram) Formula B Formula C 25 30 18 18 400 400 15 15 36 36 2.5 2.5 0.45 0.45 3.8 3.8 0.02 0.02 0.002 -
Formula D 27.5 15 400 15 36 2.5 0.45 3.8 0.02 0.005
Prosedur pembuatan saus cabai yang dilakukan merupakan modifikasi prosedur pembuatan saus cabai pada umumnya (Gambar 3). Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan tidak memerlukan perlakuan pendahuluan khusus seperti layaknya pembuatan saus dari cabai segar. tepung asia, cabai bubuk, air, garam, pengawet, gula, asam cuka, pewarna
Bawang putih
↓ Dihancurkan
Ditimbang ↓ Dicampur dan diaduk rata ↓ Dimasak sampai mendidih dan mengental ↓ Dimasukan dalam botol steril dan exhausting ↓ Botol ditutup dan didinginkan ↓ Saus cabai Gambar 3. Prosedur pembuatan saus cabai Pertama-tama dilakukan penimbangan terhadap semua bahan yang akan digunakan sesuai dengan formulasi yang telah ditetapkan. Selanjutnya semua bahan dicampur dan diaduk agar campuran homogen. Setelah itu, campuran bahan tersebut dimasak hingga mengental dan mendidih sambil terus diaduk. Pengadukan ini bertujuan agar penyebaran panas dapat terjadi secara merata dan mencegah terjadinya gumpalan di dasar wadah selama pemasakan. Setelah mendidih, saus dimasukkan secara hot filling ke dalam botol yang telah disterilisasi. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir terjadinya kontaminasi terhadap produk akhir. Setelah itu dilakukan proses exhausting.
Exhausting merupakan kegiatan untuk mengurangi tekanan dalam wadah yang disebabkan oleh pengembangan pada waktu proses pemanasan. Oleh karena itu, pada waktu pengisian produk ke dalam wadah diusahakan tidak terlalu penuh. Udara dalam wadah, terutama oksigen dikeluarkan dalam proses ini. Oksigen dapat menyebabkan makanan teroksidasi dan mempercepat terjadinya korosi pada kaleng. Exhausting juga berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri anaerob (Satuhu, 2004). Pengawetan dengan menggunakan panas, biasanya dilakukan pada buah-buahan yang dikalengkan maupun dibotolkan. Dengan cara ini jasad renik pengganggu menjadi mati. Itulah sebabnya cara pemanasan sering dikaitkan dengan sterilisasi yang biasanya merupakan finishing. Padahal pemanasan bisa juga dimaksudkan sebagai bagian dari proses pengolahan. Faktor yang harus diperhatikan dalam pemanasan ini antara lain panas yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba pembusuk dan mikroba yang menyebabkan penyakit, jumlah panas yang digunakan tidak menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa olahannya, dan jumlah panas yang diberikan dalam proses pengolahan tidak boleh melebihi yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba perusak (Satuhu, 2004). Produk olahan yang memiliki pH rendah atau terasa asam tidak memerlukan suhu terlalu tinggi karena sudah memiliki asam sebagai pengawet. Pemanasan pada suhu 93.5oC selama 15 menit sudah cukup untuk mematikan mikroba (Satuhu, 2004). Selain bumbu, pada proses pembuatan saus cabai seringkali ditambahkan
zat
pewarna
untuk
membuat
saus
lebih
menarik.
Penambahan zat pewarna dalam suatu bahan pangan bertujuan untuk menambah daya tarik dan penerimaan suatu produk, serta berkontribusi dalam pengidentifikasian produk, misalnya produk saus harus berwarna jingga sampai merah (Winarno, 1992). Zat warna yang ditambahkan merupakan zat warna sintentik dalam bentuk kombinasi Sunset Yellow (jingga) dan Porceau 4R (merah) hingga diperoleh warna yang mendekati warna produk saus pada umumnya.
Sunset Yellow dengan nomor indeks 15985 dan Porceau 4R merupakan zat warna yang diizinkan penggunaannya untuk makanan dan minuman oleh FD&C, Economic Europe Commision, dan Departemen Kesehatan RI. Jumlah maksimum pemakaian zat warna tersebut yang diizinkan di Indonesia adalah 200 ppm (Nurtama et al., 1996). Bahan pengawet juga sering ditambahkan agar saus tidak mudah rusak setelah dibuka tutup kemasannya. Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya dan sering digunakan pada bahan pangan yang asam. Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2.54. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunakan dalam bentuk garam Na-benzoat. Garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif pada bahan pangan, yaitu asam benzoat yang tak terdisosiasi (Winarno, 1992). Terdapat mekanisme detoksifikasi tubuh manusia terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh (Winarno, 1992). Berdasarkan Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan, penggunaan benzoat pada pembuatan saus tidak boleh lebih dari 1000 mg untuk setiap kg bahan yang diolah (Satuhu, 2004). Adapun visualisasi keempat formulasi saus disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Visualisasi keempat formulasi saus cabai
3. Uji Hedonik Terhadap keempat formulasi di atas, dilakukan uji hedonik untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap produk. Panelis yang digunakan adalah mahasiswa. Menurut Soekarto (1985), kelompok mahasiswa termasuk dalam kategori panel agak terlatih yang jumlahnya terletak antara 15-25 orang. Untuk uji kesukaan digunakan 30 orang panelis. Jumlah tersebut termasuk dalam kategori panel konsumen, sehingga hasil uji kesukaan tersebut diharapkan dapat mewakili penerimaan saus oleh konsumen sebenarnya yaitu masyarakat. Parameter mutu yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, kekentalan, dan overall. Contoh kuisioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. Saus disajikan dengan menggunakan cawan kecil dengan jumlah yang sama untuk masing-masing sampel uji dan digunakan kentang goreng sebagai carrier. Carrier merupakan produk pangan lain yang menemani sampel uji dan diuji atau dimakan bersama-sama (contoh cream filling dalam pastry dan butter pada roti). Visualisasi penyajian sampel dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Visualisasi penyajian sampel pada pengujian organoleptik
a. Rasa Rasa saus dipengaruhi oleh jumlah tepung asia dan cabai bubuk yang ditambahkan. Hal ini karena bahan-bahan lain yang digunakan telah lebih dulu dikurangi pengaruhnya terhadap rasa dengan menetapkannya sebagai variabel tetap sehingga jumlahnya akan sama pada tiap formula. Berdasarkan uji hedonik, skor rata-rata penilaian
panelis berkisar antara 4.7 – 4.83, yaitu netral hingga agak suka. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata rasa saus dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa keempat formula saus tidak berbeda nyata (P>0.05) pada taraf kepercayaan 95%, artinya perbedaan formulasi tidak menyebabkan perbedaan rasa. Oleh karena itu, uji lanjutan Duncan tidak perlu dilakukan. 4.83
4.85 Skor
4.8
4.8
4.77
4.75
4.7
4.7 4.65 4.6 A
B
C
D
Formula
Keterangan : A = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 15 B = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 25 : 18 C = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 18 D = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 27.5 : 15 Gambar 6. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata rasa saus
b. Aroma Berdasarkan uji hedonik, skor rata-rata penilaian panelis terhadap parameter aroma berkisar antara 4.6 – 5, yaitu netral hingga agak suka. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata aroma saus dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa keempat formula berbeda nyata (P<0.05) pada taraf kepercayaan 95%, artinya perbedaan formulasi menyebabkan perbedaan
aroma.
Perpaduan
tepung
asia
dan
cabai
bubuk
menyebabkan perbedaan terhadap aroma saus. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa formula A dan C tidak berbeda nyata dengan formula D, namun berbeda nyata dengan formula B (Lampiran 4).
5.2 Skor
5
5 a
4.97 a
ab 4.8
4.8
4.6 b
4.6 4.4 A
B
C
D
Formula
Keterangan : A = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 15 B = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 25 : 18 C = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 18 D = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 27.5 : 15 Gambar 7. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata aroma saus
c. Warna Warna saus dipengaruhi oleh jumlah pewarna yang ditambahkan. Zat warna yang ditambahkan merupakan zat warna sintentik dalam bentuk campuran Sunset Yellow (jingga) dan Porceau 4R (merah). Berdasarkan uji hedonik, skor rata-rata penilaian panelis berkisar antara 5.03 – 5.27, yaitu agak suka hingga suka. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata warna saus dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa keempat formula tidak berbeda nyata (P>0.05) pada taraf kepercayaan 95%, artinya perbedaan formulasi (dalam hal ini jumlah pewarna yang ditambahkan) tidak menyebabkan perbedaan warna pada saus. Secara visual, warna saus yang dihasilkan adalah warna merah. Oleh karena keempat formula tidak berbeda nyata, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut Duncan.
5.3
5.27 5.2
Skor
5.2
5.13
5.1
5.03
5 4.9 A
B
C
D
Formula
Keterangan : A = perbandingan Sunset Yellow : Porceau 4R = 0.02 : 0.004 B = perbandingan Sunset Yellow : Porceau 4R = 0.02 : 0.002 C = perbandingan Sunset Yellow : Porceau 4R = 0.02 : 0 D = perbandingan Sunset Yellow : Porceau 4R = 0.02 : 0.005 Gambar 8. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata warna saus
d. Kekentalan Berdasarkan uji hedonik, skor rata-rata penilaian panelis berkisar antara 5.13 – 5.43, yaitu antara agak suka hingga suka. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kekentalan saus dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa keempat formulasi tidak berbeda nyata (P>0.05) pada taraf kepercayaan 95%, artinya perbedaan formulasi tidak menyebabkan perbedaan kekentalan. Oleh karena itu, uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan.
Skor
5.5 5.4 5.3 5.2 5.1 5 4.9
5.43 5.3 5.2
A
B
5.13
C
D
Formula
Keterangan : A = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 15 B = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 25 : 18 C = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 18 D = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 27.5 : 15 Gambar 9. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kekentalan saus
e. Overall Parameter overall (keseluruhan) digunakan dalam uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang terdapat pada produk. Secara keseluruhan, formula saus menunjukkan rata-rata skor berkisar antara 4.9 – 5.23, yaitu netral hingga suka. Formulasi yang paling tinggi skornya adalah formula A dengan perbandingan onggok dan cabai bubuk adalah 30:15. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata saus dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa keempat formulasi tidak berbeda nyata (P>0.05) pada taraf kepercayaan 95%, artinya perbedaan formulasi tidak menyebabkan perbedaan kekentalan. Oleh karena itu, uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan.
Skor
5.3 5.2 5.1 5 4.9 4.8 4.7
5.23 5.07
5 4.9
A
B
C
D
Formula
Keterangan : A = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 15 B = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 25 : 18 C = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 30 : 18 D = perbandingan tepung asia : cabai bubuk = 27.5 : 15 Gambar 10. Pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata overall saus Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter overall yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar formula, mengindikasikan dibutuhkannya suatu cara pemilihan formula terbaik sehingga dapat menyeleksi keempat fomula dan didapatkan satu formula terbaik. Oleh karena itu digunakan uji pembobotan untuk membantu dalam pemilihan formula terbaik.
4. Uji Pembobotan Uji pembobotan bertujuan untuk menentukan formula terbaik. Sebelum menentukan formula terbaik, dilakukan perhitungan persentase pembobotan terlebih dahulu. Persentase pembobotan yang diperoleh adalah hasil polling terhadap 30 orang panelis tentang seberapa besar tingkat kepentingan suatu atribut dalam mempengaruhi pemilihan produk saus. Adapun atribut yang dimaksud antara lain kekentalan, warna, aroma, dan rasa. Atribut yang paling penting diberi skor 4 sedangkan yang paling tidak penting diberi skor 1. Hasil perhitungan persentase pembobotan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil perhitungan persentase pembobotan Parameter Rasa Aroma Warna Kekentalan Total
Skor 110 58 74 58 300
Persentase (%) 36.67 19.33 24.67 19.33 100
Dari tabel 5 diatas, dapat diketahui bahwa secara umum panelis menilai bahwa atribut sensori (parameter) yang paling penting pada suatu produk saus adalah rasa dan yang tingkat kepentingannya paling rendah seimbang antara aroma dan kekentalan, sedangkan warna menduduki peringkat kedua dari semua atribut yang ada. Hasil persentase pembobotan diatas kemudian dikalikan dengan skor rata-rata penilaian panelis pada uji hedonik. Rekapitulasi hasil perkalian tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rekapitulasi uji pembobotan
Formula A Formula B Formula C Formula D
Rasa (36.67 %) 1.7492 1.7712 1.7235 1.7602
Aroma (19.33 %) 0.9665 0.8892 0.9607 0.9278
Warna (24.67 %) 1.2828 1.3001 1.2658 1.2409
Kekentalan (19.33 %) 1.0496 1.0052 1.0245 0.9916
Total 5.04 4.97 4.97 4.92
Berdasarkan hasil pada Tabel 6 diatas, yang memiliki nilai total paling besar adalah Formula A. Sehingga dapat disimpulkan bahwa formula terpilih yang akan dianalisis lebih lanjut adalah formula A yaitu formula dengan perbandingan tepung asia dan cabai bubuk sebesar 30:15.
5. Uji Perbandingan Pasangan Saus cabai bukan merupakan produk pangan baru di masyarakat, maka harus dilakukan evaluasi untuk membandingkan antara produk terpilih dengan produk serupa yang ada di pasaran. Uji perbandingan pasangan merupakan salah satu metode untuk melihat perbedaan di antara dua contoh yang diujikan. Penelitian ini menggunakan produk saus sambal merek A dan B sebagai kontrol. Pemilihan kontrol ini didasarkan pada
kelas mutu yang dimiliki oleh masing-masing kontrol. Saus A adalah contoh saus bermutu baik dengan cakupan pasar yang lebih luas dan harga yang lebih tinggi dibanding saus B. Uji perbandingan berpasangan bertujuan untuk melihat seberapa besar perbedaan (lebih baik atau lebih buruk) produk dari formula terpilih dibandingkan kedua kontrol tersebut. Visualisasi sampel untuk uji perbandingan pasangan disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Visualisasi sampel untuk uji perbandingan pasangan. Dari kiri ke kanan: saus A, saus B, dan produk terpilih Adapun atribut sensori yang dibandingkan adalah rasa (sangat lebih enak hingga sangat lebih tidak enak), aroma (sangat lebih enak hingga sangat lebih tidak enak), warna (sangat lebih cerah hingga sangat lebih gelap), kekentalan (sangat lebih kental hingga sangat lebih encer), dan overall (sangat lebih baik hingga sangat lebih buruk). Contoh kuisioner uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai yang diberikan oleh panelis memiliki skor mulai dari -3 (minus tiga) hingga 3 (tiga). Hasil penilaian 20 orang panelis dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10, sedangkan rekapitulasi hasil uji perbandingan pasangan tercantum pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji perbandingan pasangan Kontrol Saus A Saus B
Rasa -1.3 1.3
Aroma -0.75 0.95
Warna -1.05 0.85
Kekentalan 0.7 0.1
Overall -0.85 1.4
Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan tersebut diketahui bahwa produk dari formula terpilih jika dibandingkan dengan saus yang
bermutu baik (saus A) maka memiliki rasa agak kurang enak, aroma yang agak kurang enak, warna yang agak lebih gelap, sifat agak lebih kental, dan secara keseluruhan agak kurang baik, sedangkan jika dibandingakan dengan saus yang bermutu kurang baik (saus B), produk terpilih memiliki rasa yang agak lebih enak, aroma yang agak lebih enak, warna yang agak lebih cerah, sifat agak lebih kental meskipun perbedaannya sangat kecil (0.1), dan secara keseluruhan agak lebih baik.
B. PENELITIAN LANJUTAN 1. Analisis Sifat Fisik Sifat fisik yang diamati pada produk terpilih antara lain viskositas, total padatan terlarut, dan warna. Visualisasi produk terpilih dengan dua ulangan dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil analisis sifat fisik produk terpilih disajikan pada Tabel 8.
Gambar 12. Visualisasi produk terpilih dengan dua ulangan Tabel 8. Hasil analisis sifat fisik produk terpilih serta perbandingannya dengan produk komersil dan SNI Sifat Fisik Viskositas (cP) Total Padatan Terlarut (oBrix) Warna: L a b
Produk Terpilih 12,175
Saus A 10,200
SNI Tidak ditentukan
17.75
-
Min. 20
22.06 6.16 6.23
39.7 25.15 16.10
Tidak ditentukan
a. Viskositas Viskositas atau kekentalan merupakan salah satu parameter penting dalam produk saus karena viskositas sangat terkait dengan penampakan saus yang dihasilkan, kemudahan dalam pengemasan, dan kemudahan dalam mengalirkan saus saat dituang. Saus yang memiliki viskositas yang sangat tinggi (sangat kental) akan menyulitkan konsumen
saat
menuang
saus
dan
menyebabkan
industri
membutuhkan daya pompa yang lebih besar untuk mengalirkan saus ke dalam mesin pengemas karena semakin kental suatu fluida maka diperlukan gaya yang semakin besar agar fluida tersebut dapat mengalir (Toledo, 1980). Saus yang terlalu encer juga tidak dikehendaki oleh konsumen. Oleh karena itu, saus dengan kekentalan yang tepat merupakan salah satu parameter penting dalam penerimaan produk. Viskositas saus disebabkan oleh adanya peranan pati yang terkandung dalam tepung asia. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), jika suspensi pati dalam air dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan granula ini mulai menggelembung. Ini terjadi saat temperatur meningkat dari 60oC samapi 85oC. Granula-granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume semula. Ketika ukuran granula pati membesar, campurannya menjadi kental. Menurut Winarno (1992), terjadinya peningkatan viskositas ini disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Saat suhu kira-kira 85oC, granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke seluruh air di sekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai dan campuran pati atau air menjadi makin kental, dan membentuk sol. Saat pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air terkurung di dalamnya sehingga terbentuk gel. Keseluruhan proses ini dinamakan gelatinisasi. Gelatinisasi pati ini
sangat penting dalam proses pengolahan produk pangan yang menginginkan terjadinya proses pengentalan, seperti pada produk saus, sup, dan kuah daging (Gaman dan Sherrington, 1981). Menurut de Man (1989), pati dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat pasta yang dihasilkan. Pati serealia (jagung, gandum, beras, dan sorghum) membentuk pasta kental yang mengandung bagianbagian pendek dan pada pendinginan membentuk gel yang buram, sedangkan pati akar dan umbi (kentang, ketela, dan tapioka) membentuk pasta lebih kental dan mengandung bagian-bagian panjang. Pasta ini biasanya jernih pada pendinginan hanya membentuk gel lunak. Oleh karena itu, penggunaan tepung asia dalam pembuatan saus cabai sangat penting peranannya karena pati yang dikandungnya akan berkontribusi dalam pembentukan viskositas produk. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas (Tabel 8), diketahui bahwa viskositas produk terpilih adalah sebesar 12,175 cP. Nilai ini lebih besar dibanding viskositas saus komersil A (10,200 cP) yang berarti bahwa produk terpilih memiliki viskositas yang lebih kental. Menurut Toledo (1991), jenis aliran pada produk saus adalah aliran non-Newtonian. Aliran non-Newtonian merupakan suatu aliran yang memiliki kekentalan tidak ideal. Terdapat lima sifat penting aliran non-Newtonian yaitu bingham plastis, pseudoplastis, dilatan, tiksotropik, dan reotopik. Untuk produk saus, sifat aliran nonNewtonian yang berlaku adalah tiksotropik. Sifat aliran tiksotropik merupakan suatu aliran yang menunjukkan penurunan kekentalan suatu bahan sebagai fungsi waktu dan struktur kembali ke kondisi awal setelah beberapa saat. Hal ini mungkin terjadi karena pada penyimpanan lebih lanjut, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang mengalami gelatinisasi. Air ini mengadakan ikatan yang erat dengan molekulmolekul pati pada permukaannya sehingga sebagian air akan berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan
endapan amilosa. Bila gel yang terbentuk disimpan untuk beberapa hari, air yang terdapat dalam rongga-rongga tersebut dapat keluar dari bahan dan menyebabkan menurunnya kekentalan bahan (Winarno, 1992).
b. Total Padatan Terlarut Kandungan total padatan berpengaruh terhadap kekentalan yang dihasilkan. Makin tinggi total padatan, maka kekentalannya pun akan makin tinggi. Total padatan terlarut merupakan salah satu parameter yang disyaratkan untuk produk-produk saus. Kadar total padatan terlarut yang disyaratkan oleh SNI 01-2976-2006 untuk produk saus adalah minimal 20. Hasil analisis menunjukkan bahwa total padatan terlarut produk terpilih adalah 17.75oBrix. Nilai tersebut menunjukkan bahwa total padatan terlarut produk terpilih masih di bawah syarat mutu SNI.
c. Warna Analisis warna secara obyektif diperlukan untuk mendapatkan tingkat warna yang dimiliki oleh saus secara kuantitatif. Sehingga diharapkan akan menghasilkan standar warna saus formula terpilih. Pengukuran sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan Chomameter Minolta terhadap 2 ulangan sampel. Nilai L merupakan parameter yang menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Parameter kecerahan mempunyai nilai dari 0 (hitam) hingga 100 (putih). Rata-rata hasil analisis untuk parameter kecerahan produk terpilih adalah 22.06. Jika dibandingkan dengan produk lain (saus komersil A), nilai kecerahan produk terpilih masih lebih rendah. Notasi a pada sistem pengukuran warna dengan kolorimeter sistem Hunter menyatakan warna kromatik campuran merah dan hijau, dengan nilai a positif dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai a negatif dari 0 sampai -100 untuk warna hijau.
Notasi a rata-rata dari hasil pengukuran produk terpilih adalah 6.16. Nilai ini menunjukkan bahwa produk terpilih memiliki warna merah dengan intensitas sebesar 6.16. Jika dibandingkan produk saus komersil A (25,15), intensitas warna merah produk terpilih masih jauh lebih rendah. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning, dengan nilai b positif dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai b negatif dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Warna kuning rata-rata hasil analisis produk terpilih adalah 6.23. Nilai ini jika dibandingkan dengan produk sejenis lainnya (saus komersil A) akan menunjukkan intensitas warna kuning yang dimiliki produk terpilih lebih rendah.
2. Analisis Sifat Kimia Sifat kimia yang diamati dalam produk terpilih ialah pH dan kandungan proksimat seperti kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan serat. Hasil analisis sifat kimia produk terpilih dan perbandingannya dengan produk sejenis maupun SNI disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis sifat kimia produk terpilih serta perbandingannya dengan produk komersil dan SNI Sifat Kimia pH Proksimat: Kadar air (% bb) Kadar abu (% bb) Kadar protein (% bb) Kadar lemak (% bb) Kadar karbohidrat (by difference) Kadar serat kasar (% bb)
Produk Terpilih 3.91 80.38 0.10 0.42 0.33 18.77
Saus A 3.76
SNI Maks. 4
-
Tidak ditentukan
1.34
a. pH Pengukuran pH suatu bahan pangan dilakukan untuk mengetahui kadar keasaman ataupun kadar kebasaan pangan tersebut. Pengukuran pH juga sering dijadikan parameter untuk melihat daya awet suatu produk pangan, terutama produk yang diolah dengan asam karena nilai
pH yang rendah dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis mikroba. Selain itu, nilai pH juga merupakan salah satu parameter SNI dalam menentukan standar mutu saus cabai. Berdasarkan hasil pengukuran, pH saus cabai adalah sebesar 3.91. Nilai ini masih memenuhi syarat mutu saus cabai pada SNI 012976-2006 yaitu maksimal pH 4. pH yang rendah ini akan membantu kerja zat pengawet (Na-benzoat) dalam mencegah pertumbuhan bakteri dan khamir. Hal ini dikarenakan zat pengawet akan bekerja lebih aktif pada pH 2.5 – 4.
b. Analisis Proksimat dan Kadar Serat Kasar b. 1. Kadar Air Air merupakan unsur penting dalam bahan pangan. Air merupakan komponen kimiawi terbesar pada bahan pangan yang mempengaruhi rupa, tekstur, maupun citarasa bahan pangan. Menurut Winarno (1992), kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Kadar air adalah jumlah air yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Prinsip penentuan kadar air adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan cara pemanasan. Kemudian bahan ditimbang dengan berat konstan, yang berarti seluruh air dalam bahan pangan sudah diuapkan. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui kadar air formula terpilih adalah sebesar 80.38% bb. Nilai ini menunjukkan bahwa kandungan air yang terdapat pada saus cabai relatif tinggi.
b. 2. Kadar Abu Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan organik terbakar sedangkan zat anorganiknya tidak terbakar, karena itulah disebut abu (Winarno,
1992). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa kadar abu saus cabai formula terpilih adalah sebesar 0.10% bb.
b. 3. Kadar Protein Protein menjadi salah satu kelompok bahan makronutrien yang sangat penting bagi tubuh karena komponen-komponen yang ada di dalamnya (Winarno, 1992). Protein berfungsi tidak hanya sebagai zat pembangun, tetapi juga dapat menghasilkan kalori untuk dipergunakan sebagai zat tenaga. Bila karbohidrat dan lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan kalori tubuh, maka protein dioksidasi untuk menambahkan kalori tersebut. Metode Kjeldahl merupakan penentuan kadar protein secara kasar. Hal ini dikarenakan sangat sulit menentukan nitrogen yang berasal dari protein saja. Mengingat jumlah kandungan senyawa selain protein dalam bahan pangan biasanya sedikit, maka penentuan jumlah nitrogen total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Senyawa-senyawa lain yang bukan protein namun mengandung nitrogen adalah amonia, asam amino bebas, asam nukleat, vitamin, purin, dan pirimidin (Sudarmadji et al., 1996). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa rata-rata kadar protein dari dua ulangan saus cabai adalah 0.42%. Kecilnya jumlah protein yang terkandung dalam saus tidaklah mengherankan. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan saus cabai bukanlah merupakan sumber protein. Adapun sumber-sumber protein bagi manusia menurut Muchtadi (1989) yaitu protein hewani (daging, susu, telur), protein ikan (ikan, kerang-kerangan), protein nabati (sayuran, serealia, kacang-kacangan, atau biji-bijian), dan sumber protein non-konvensional (protein sel tunggal, protein daun, konsentrat protein ikan).
b. 4. Kadar Lemak Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak merupakan sumber zat tenaga yang kedua setelah karbohidrat. Lemak ada yang berbentuk cair dan ada pula yang berbentuk padat (Muchtadi, 1997). Berdasarkan hasil pengamatan, didapat kadar lemak pada saus cabai formula terpilih sangat rendah yaitu sebesar 0.33%. Kandungan lemak yang rendah ini disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan memang mengandung lemak dalam jumlah sedikit dan tidak dilakukan penambahan lemak selama proses pengolahan.
b. 5. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan zat makanan yang pertama kali dikenal secara kimiawi. Karbohidrat terdiri dari tiga unsur yaitu karbon, oksigen, dan hidrogen. Berdasarkan susunan kimianya, karbohidrat terbagi atas beberapa kelompok, yaitu monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Sebanyak 60-80% dari kalori yang diperoleh tubuh berasal dari kabohidrat. Hal ini terutama berlaku bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara
(Muchtadi,
1997).
Menurut
Winarno
(1992),
karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Perhitungan kadar karbohidrat dalam produk saus cabai dilakukan secara by difference. Kandungan karbohidrat produk yang diperoleh sebesar 18.77%. Bentuk karbohidrat utama yang terdapat pada produk ini adalah sisa pati pada tepung asia dan sejumlah gula yang ditambahkan pada formula.
b. 6. Kadar Serat Kasar Istilah serat makanan telah dibedakan dengan serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat. Menurut Muchtadi (1989), serat kasar (crude fiber) adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan dalam menentukan kadar serat kasar yaitu H2SO4 dan NaOH, sedangkan serat makanan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu, kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan serat makanan karena H2SO4 dan NaOH mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzimenzim pencernaan. Serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosa (Apriyantono et al., 1989). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa kandungan serat kasar pada saus cabai formula terpilih adalah sebesar 1.34%. Nilai serat makanan yang seharusnya lebih besar dari nilai serat kasar diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi kesehatan tubuh. Konsumsi serat dalam jumlah tinggi akan memberi pertahanan pada manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit, seperti kanker usus besar, penyakit divertikular, penyakit kardiovaskular, dan kegemukan.
3. Analisis Sifat Mikrobiologi Karakteristik mutu saus dapat berubah selama pengolahan maupun setelah pengolahan. Penurunan mutu yang terjadi antara lain warna menjadi lebih pucat, kekentalan menurun, dan rasa yang menyimpang. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk saus. Penurunan mutu tersebut dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang baik selama pengolahan maupun pasca pengolahan, dan adanya pengaruh mikrobiologis (Nurtama et al., 1996).
Oleh karena itu, uji mikrobiologis terhadap saus harus dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya penurunan mutu akibat kerusakan mikrobiologis. Uji mikrobiologi yang umum dilakukan terhadap produk saus dan bumbu-bumbu masak siap pakai terdiri dari penetapan jumlah mikroorganisme aerobik (angka lempeng total), kapang dan khamir, serta bakteri koliform (Fardiaz, 1992). Hasil analisis mikrobiologi produk terpilih dan perbandingannya dengan SNI dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis sifat mikrobiologi produk terpilih serta perbandingannya dengan SNI Sifat Mikrobiologi Angka Lempeng Total (koloni/gram) Kapang (koloni/gram) Koliform (APM/gram)
Produk Terpilih < 2.5 x 10 (0.3 x 10) < 1.5 x 10 <3
SNI Maks. 1 x 104 Maks. 50 Maks. < 3
a. Angka Lempeng Total Prinsip uji angka lempeng total adalah dengan melihat pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasi dalam media yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 35 ± 1oC (SNI 192897-1992). Syarat mutu saus untuk kriteria uji cemaran mikroba angka lempeng total yaitu maksimal 1 x 104 koloni/g (SNI 01-2976-2006). Oleh karena itu tingkat pengenceran yang digunakan adalah 10-1, 10-2, dan 10-3. Hasil uji terhadap saus formula terpilih menunjukkan bahwa rata-rata ALT dua ulangan contoh adalah sebesar < 2.5 x 10 (0.3 x 10) koloni/g. Hal ini menunjukkan bahwa saus formula terpilih masih berada pada batas bawah nilai yang dipersyaratkan. Dengan ditambahkannya pengawet dan didukung oleh pH saus yang rendah (3.91), diharapkan jumlah mikroba selama umur simpan tidak banyak berubah sehingga masih memenuhi persyaratan yang ada.
b. Kapang Jumlah kapang yang terdapat dalam suatu bahan pangan dapat mengindikasikan terjadinya cemaran mikrobiologi pada produk
tersebut. SNI 01-2976-2006 mensyaratkan bahwa saus cabai tidak boleh memiliki jumlah cemaran kapang lebih dari 50 koloni/gram. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap dua ulangan, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang pada produk sehingga jumlahnya < 1.5 x 10 koloni/gram dan memenuhi syarat mutu SNI.
c. Koliform Mikroorganisme yang sering digunakan sebagai indikator sanitasi dalam makanan adalah bakteri koliform, terutama koliform fekal, Streptokoki fekal, dan Clostridium perfringens. Adanya mikroorganisme indikator di dalam suatu makanan menunjukkan terjadinya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik selama persiapan maupun pengolahannya (Fardiaz, 1992). Bakteri yang termasuk dalam grup koliform bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif, gram negatif, berbentuk batang tidak berspora, dan dapat memfermentasi laktose menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35oC (Fardiaz, 1992). Syarat mutu SNI 012976-2006 untuk kriteria uji cemaran mikroba koliform yaitu maksimal < 3 APM/g dan hasil pengamatan pada produk terpilih adalah sebesar < 3 APM/g. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa produk terpilih memenuhi persyaratan SNI.
4. Analisis Finansial a. Asumsi Finansial Sebagai dasar perhitungan dalam analisis finansial, digunakan asumsi-asumsi yang disesuaikan pada saat penelitian. Asumsi-asumsi yang dijadikan dasar perhitungan pada analisis finansial adalah : a. Analisis finansial dilakukan untuk kurun waktu 5 tahun. b. Perhitungan dilakukan berdasarkan harga konstan. c. Satuan waktu analisis adalah dalam tahun dengan satu tahun operasi sama dengan 300 hari, satu tahun sama dengan 12 bulan, dan satu bulan sama dengan 25 hari.
d. Harga tepung asia ditetapkan Rp 1,750/kg, cabai bubuk Rp 24,000/kg, garam Rp 750/kg, gula Rp 5,800/kg, bawang putih Rp 16,000/kg, cuka 16,000/L, pengawet Na-benzoat 13,000/kg, pewarna Porceau 4R dan Sunset Yellow masing-masing sebesar Rp 90,000/kg, air Rp 400/L, kemasan botol Rp 700/unit, dan label Rp 75/unit. e. Harga peralatan yang digunakan didasarkan pada faktor perkiraan dengan dasar rancangan secara garis besar dan spesifikasi belum jelas. f. Jumlah produksi tahun pertama sebesar 80% dari kapasitas terpasang dan pada tahun kedua dilakukan produksi secara penuh. g. Perhitungan penyusutan peralatan dilakukan dengan metode garis lurus dengan nilai sisa dianggap nol. h. Biaya perawatan peralatan adalah 2.5% dari depresiasi yang dilakukan pertahunnya. i. Biaya pemasaran ditetapkan sebesar 10% dari hasil penjualan. j. Efektifitas penjualan ditetapkan sebesar 95% dari total produksi. k. Modal investasi berasal dari pemilik sebesar 50% dan 50% dari pinjaman bank, dengan dua alternatif sumber peminjaman yaitu bank konvensional dan bank syariah. l. Tingkat suku bunga bank konvensional adalah sebesar 16% (BNI 46). m. Pembayaran pinjaman dari bank konvensional dilakukan selama tiga tahun dengan angsuran pokok konstan dan tingkat bunga kredit konstan yaitu 16% per tahun. n. Bagi hasil yang dilakukan dengan bank syariah adalah 40% untuk bank dan 60% bagi pemilik usaha. o. Perusahaan dikenakan pajak penghasilan yang besarnya ditetapkan sesuai dengan UU No 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan yaitu 10% untuk keuntungan sampai 50 juta, 15% untuk keuntungan di atas 50 juta sampai 100 juta, dan 30% untuk keuntungan di atas 100 juta.
b. Layout Pabrik dan Desain Proses Pabrik yang akan digunakan diharapkan minimal memiliki empat ruang utama yang terpisah (bersekat), yaitu ruang kantor, ruang penyimpanan bahan baku, ruang produksi, dan ruang penyimpanan produk akhir. Ruang produksi terdiri dari ruang penimbahan bahan baku yang akan digunakan, ruang pencampur sekaligus pemasakan, ruang pengisian produk, dan ruang penyimpanan produk sementara yang digunakan untuk proses pelabelan dan pengepakan produk. Layout pabrik disajikan pada Gambar 13.
4
5
6
3
7 2
1
Keterangan: 1. Ruang kantor 2. Ruang penyimpanan bahan baku 3. Ruang penimbangan 4. Ruang produksi (pemasakan) = Dinding
5. Ruang pengisian 6. Ruang penyimpanan sementara 7. Ruang penyimpanan produk = Tak berdinding
Gambar 13. Layout pabrik Aliran proses produksi yang terjadi terdiri dari penerimaan bahan baku,
penimbangan
bahan,
pemasakan
produk,
pengisian,
penyimpanan sementara produk jadi, dan penyimpanan akhir produk sebelum didistribusikan dan dijual. Aliran proses produksi disajikan pada Gambar 14.
Bahan-bahan
Pencampuran
Pengadukan
Pemanasan dan pengadukan
Pengisian (hot filling)
Penutupan botol
Pendinginan
Pelabelan
Penyusunan ke box
Penyimpanan Gambar 14. Diagram alir proses produksi
c. Biaya Modal Modal awal usaha dibutuhkan untuk dapat memulai suatu proyek. Modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha saus terdiri dari biaya investasi dan biaya modal kerja. Biaya investasi terdiri dari pembelian aktiva tetap yang merupakan aktiva jangka panjang atau aktiva relatif permanen seperti peralatan, alat-alat, perabotan, mesin-
mesin, bangunan, dan tanah. Sedangkan biaya modal kerja adalah biaya yang diperlukan untuk menutupi biaya produksi selama perusahaan belum menghasilkan pendapatan yang cukup. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha saus cabai adalah sebesar Rp 192,750,000.00. Kebutuhan biaya investasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11, sedangkan biaya modal yang dibutuhkan diperkirakan sebesar Rp 193,958,281.60 atau sama dengan biaya produksi selama tiga bulan pertama. Dengan demikian total modal usaha yang diperlukan adalah Rp 386,708,281.60. Biaya pembelian mesin dan peralatan yang diperlukan oleh pabrik adalah sebesar Rp 101,000,000. Harga ini termasuk dengan biaya pengangkutan ke pabrik dan pembelian utilitas perlengkapan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi tetapi dibutuhkan oleh proyek ini. Sumber pembiayaan modal awal ini berasal dari modal sendiri dan pinjaman bank, dengan alternatif dua sumber peminjaman yaitu bank konvensional dan bank syariah. Debt to equity ratio (DER) untuk investasi adalah sebesar 50:50. Jumlah pinjaman yang tidak terlalu besar akan meringankan perusahaan dalam pembayaran angsuran pokok berikut bunganya sehingga lebih aman bagi perusahaan. Sedangkan untuk modal kerja tiga bulan pertama, perusahaan meminjam dari bank. Sehingga total pinjaman di bank adalah Rp 290,333,281.60.
d. Biaya Produksi Biaya merupakan pembayaran kas atau ekuivalennya atau komitmen untuk membayar kas di masa depan untuk memperoleh pendapatan. Biaya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Biaya bahan merupakan bagian integral dari produk diklasifikasikan sebagai biaya bahan langsung, sedangkan bahan yang merupakan bagian signifikan disebut biaya tidak langsung. Biaya bahan langsung dalam pembuatan saus cabai adalah tepung asia, cabai bubuk, garam, gula, asam cuka,
Na-benzoat, bawang putih, air, pewarna, dan kemasan. Total biaya bahan baku selama per bulan tahun pertama adalah Rp 38,947,447, sedangkan biaya bahan baku per bulan tahun kedua Rp 48,684,308.75. Biaya upah dan gaji karyawan yang secara langsung terlibat dalam mengubah bahan menjadi produk disebut biaya tenaga kerja langsung, sedangkan tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan pembuatan produk disebut tenaga kerja tidak langsung. Biaya tenaga kerja langsung dalam usaha saus cabai adalah sebanyak enam orang, sedangkan tenaga kerja tidak langsung adalah tiga orang. Biayabiaya selain biaya bahan langsung dan tenaga kerja langsung yang dikeluarkan dalam proses produksi seperti biaya listrik, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya bahan tidak langsung, biaya penyusutan diklasifikasikan sebagai biaya overhead pabrik. Total biaya produksi dihitung berdasarkan kapasitas terpasang yang nyata dicapai dalam kondisi normal dengan mempertimbangkan kapasitas terpasang dan kondisi normal pabrik seperti hari dan jam kerja, hari-hari libur dan perawatan, pergantian alat, pola pergantian kerja, dan lain-lain. Biaya produksi saus cabai per bulan tahun pertama adalah sebesar Rp 64,652,760.53 dan biaya produksi per bulan pada tahun kedua adalah sebesar Rp 76,789,622.28. Rincian biaya produksi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13.
e. Volume Produksi dan Proyeksi Penjualan Volume produksi saus cabai untuk tahun pertama ditetapkan sebesar 800 botol per hari. Volume produksi ini adalah 80% dari kapasitas terpasang. Sedangkan untuk tahun kedua dan selanjutnya dilakukan produksi secara penuh dari kapasitas terpasang yaitu 1000 botol per hari. Proyeksi penjualan ditetapkan mempunyai efektifitas sebesar 95% dari total produksi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.
f. Analisis kriteria investasi dan perhitungan BEP Kelayakan bisnis pendirian usaha saus cabai dari aspek ekonomifinansial didasarkan pada beberapa kriteria investasi, yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C, PP (Payback Periode), dan BEP (Break Even Point). Untuk memperkirakan dan menghitung kriteria investasi finansial yang diperlukan, baik untuk proyek baru maupun proyek lama, harus dilakukan perhitungan proyeksi rugi laba dan proyeksi aliran kas yang dapat dinyatakan dalam bentuk lembar neraca terproyeksi maupun peramalan aliran kas disamping pernyataan pendapatan netto. Proyeksi aliran kas (cash flow) dapat menunjukkan aliran kas masuk (in flow) dan aliran keluar (out flow) atas dana. Tabel aliran kas ini dapat dibuat bulanan ataupun tahunan. Tabel ini penting terutama pada fase-fase awal yang umumnya menunjukkan tingkat produksi (output) di bawah kapasitas pabrik, sementara beban utang biasanya besar. Selisih cash in flow dan cash out flow adalah net cash flow yang nilainya akan digunakan dalam perhitungan nilai kriteria investasi. Proyeksi laba rugi akan memberikan gambaran pendapatan bersih yang diperoleh selama umur proyek. Penilaian kriteria investasi untuk bank konvensional disajikan pada Lampiran 18, sedangkan untuk bank syariah disajikan pada Lampiran 22. Perbandingan hasil analisis kriteria investasi untuk bank konvensional dan bank syariah disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan hasil penilaian kriteria investasi dengan dua alternatif sumber dana pinjaman Kriteria
Sumber Dana Pinjaman Bank Konvensional
Bank Syariah
242,106,215.95
174,955,063.90
IRR (%)
41.21
34,23
Net B/C
1.20
1.22
2 tahun 133 hari
3 tahun 42 hari
NPV (Rp)
PP
Net Present Value (NPV) yang diperoleh proyek saus cabai adalah sebesar Rp 242,106,215.95 jika sumber peminjaman berasal dari bank konvensional dan Rp 174,955,063.90 jika berasal dari bank syariah. NPV menunjukkan angka positif sehingga proyek layak untuk dilaksanakan. Nilai tersebut memberi arti bahwa proyek ini mampu memberikan keuntungan bersih sebesar Rp 242,106,215.95 maupun Rp 174,955,063.90 di masa mendatang, apabila diukur dari mata uang sekarang. Nilai NPV ini penting diketahui untuk mengukur besar perolehan dari proyek jika dinilai dengan uang sekarang karena pengaruh laju inflasi yang besarnya diduga dengan angka diskon atau angka pengurangan (discount factor). Nilai Internal Rate of Return (IRR) dapat menunjukkan kemampuan proyek untuk menghasilkan keuntungan yang dinyatakan dalam rate of return (tingkat pengembalian modal) yang menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. IRR yang diperoleh proyek ini sebesar 41.21% jika sumber dana pinjaman berasal dari bank konvensional dan 34.23% jika berasal dari bank syariah. Berdasarkan nilai tersebut, proyek layak untuk dilaksanakan karena nilai tersebut berada di atas tingkat suku bunga yang ditetapkan sebagai discount rate (16%). Nilai IRR harus lebih tinggi daripada nilai bunga bank. Jika nilai IRR ternyata dekat dengan angka bunga bank, maka praktis modal yang ditanam pada proyek bersangkutan kurang banyak memberikan keuntungan. Makin besar nilai IRR suatu proyek, maka proyek makin memberikan harapan keuntungan yang besar. Kelayakan proyek juga ditunjukkan oleh nilai Net B/C yang lebih besar dari 1, yaitu sebesar 1.20 atau 1.22. Nisbah penerimaan terhadap biaya yang dikeluarkan harus lebih besar dari satu karena jika sama berarti tidak ada keuntungan finansial dan jika lebih kecil berarti proyek merugi. Makin besar nilai nisbahnya, makin besar keuntungan yang akan diperoleh. Nilai yang didapat berarti bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp 1 akan menghasilkan benefit sebesar Rp 1.20 atau Rp 1.22.
Waktu pengembalian modal atau PP (Payback Periode) selama 2 tahun 133 hari atau 3 tahun 42 hari yang lebih pendek dari umur proyek (5 tahun) juga menunjukkan layaknya pelaksanaan proyek. Lama pengembalian modal bergantung pada besar modal dan nilai B/C proyek yang bersangkutan. Makin tinggi nilai B/C yang ada, relatif makin cepat pula modal kembali. Umumnya usaha yang memiliki modal besar memerlukan waktu yang relatif lama. Berdasarkan hasil analisis kriteria investasi, semua parameter menunjukkan kelayakan usaha untuk dilakukan baik dengan modal pinjaman berasal dari bank konvensional maupun bank syariah. Namun, jika dilihat dari besaran nilai masing-masing parameternya, maka sumber dana peminjaman sebaiknya diperolah dari bank konvensional karena NPV yang dihasilkan lebih besar, nilai IRR yang lebih besar pula, dan PP yang lebih singkat dibanding jika digunakan bank syariah sebagai sumber peminjaman modal. Oleh karena itu, untuk analisis selanjutnya hanya dilakukan berdasarkan asumsi peminjaman modal berasal dari bank konvensional. Perhitungan BEP (Break Event Point) dilakukan dengan mengetahui jumlah minimal unit produk yang harus terjual untuk mencapai titik impas sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Perincian perhitungan BEP dapat dilihat pada Lampiran 19. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai BEP setiap tahunnya berada di bawah jumlah produksi yang ditetapkan kecuali tahun pertama. Hal ini disebabkan pada tahun pertama kapasitas produksi belum penuh dan perusahaan melakukan pembayaran bunga dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini berarti bahwa usaha ini akan baru mendapatkan laba pada tahun kedua.
g. Analisis Sensitivitas Kemampuan usaha memasarkan produk dan menghasilkan keuntungan, dipengaruhi oleh beberapa faktor intern dan ekstern perusahaan. Salah satu faktor intern yang mempengaruhi kelayakan suatu usaha adalah biaya produk yang dihasilkan. Faktor ekstern yang
sangat berpengaruh pada kelayakan usaha adalah harga produk sejenis di pasar. Kenaikan harga bahan baku dan penurunan harja jual berpengaruh sangat besar terhadap kelayakan suatu usaha. Hasil perhitungan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kelayakan proyek dapat bertahan pada kenaikan harga bahan baku sebesar 20.65%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha layak dilaksanakan selama tidak terjadi kenaikan harga bahan baku di atas persentase tersebut. Proyek juga dapat bertahan pada kenaikan biaya operasional sebesar 34.67%. Hal ini berarti usaha layak dilaksanakan selama tidak terjadi kenaikan biaya operasional di atas persentase tersebut. Selain itu, usaha juga mampu bertahan pada penurunan harga jual produk sebesar 10.58%. Hal ini berarti usaha tidak layak untuk dilaksanakan apabila produk dijual di bawah nilai penurunan tersebut. Selain itu, jika terjadi kenaikan biaya bahan baku dan biaya operasional secara bersamaan, maka usaha dapat bertahan hingga tingkat kenaikan biaya sebesar 12.94%. Nilai ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang terjadi saat ini (6%). Oleh karena itu, usaha ini diharapkan mampu bertahan pada kondisi-kondisi yang telah diasumsikan tersebut. Perincian perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Lampiran 23 sampai Lampiran 34, sedangkan hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis sensitivitas Keterangan Kondisi normal Biaya bahan baku naik 20.65% Biaya operasional naik 34.67% Harga jual turun 10.58% Biaya bahan baku dan biaya operasional naik 12.94%
Kriteria Investasi IRR (%) NPV (Rp) Net B/C 41.21 242,106,215.95 1.20 16.01 61,990.39 1.06 16.00 25,963.24 1.06 16.02 135,069.66 1.07 16.01
90,617.79
1.06
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesukaan terhadap rasa, warna, kekentalan, dan overall tidak dipengaruhi secara nyata oleh fomula. Oleh karena itu, pemilihan produk terbaik dilakukan dengan cara uji pembobotan. Hasil uji pembobotan menunjukkan formula A (perbandingan tepung asia dan cabai bubuk 30:15) terpilih menjadi formula terbaik karena memiliki nilai terboboti tertinggi. Hasil analisis sifat fisik, kimia, dan mikroboilogi produk terpilih menunjukkan bahwa secara umum formula terpilih memenuhi syarat mutu saus cabai (SNI 01-2976-2006) kecuali pada parameter jumlah padatan terlarut. Berdasarkan hasil analisis finansial, disimpulkan bahwa industri saus cabai yang memanfaatkan tepung asia layak untuk dilaksanakan dan mampu bertahan jika terjadi kenaikan harga bahan baku 20.65%, kenaikan biaya operasional 34.67%, dan maksimal penurunan harga jual 10.58%, serta jika terjadi kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional secara bersamaan, maka usaha dapat bertahan hingga tingkat kenaikan biaya sebesar 12.94%.
B. SARAN - Perlu dilakukan analisis umur simpan untuk melihat berapa lama produk aman untuk dikonsumsi
- Perlu dilakukan analisis pasar secara komprehensif sehingga didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kelayakan usaha industri saus cabai menggunakan tepung asia
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Membumikan tiga jurus. http://www.agrina-online.com [15 Januari 2008]. Adawiyah DR, Waysima, dan D Indrasti. 2007. Penuntun Praktikum Evaluasi Sensori. Bogor: Departemen ITP FATETA IPB. Amri K. 1983. Hijauan makanan ternak potong, kerja, dan perah. Di dalam: Aminah A. 2008. Perubahan Kadar Protein pada Fermentasi Jerami Padi dengan Penambahan Onggok untuk Makanan Ternak. Surakarta: Biologi FKIP, Universitas Muhammadiyah. Apriyantono A, D Fardiaz, NL Puspitasari, S Yasni, dan S Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Astawan M. 2006. Jangan asal nyocol saus cabai!. http://www.kompas.com [15 Januari 2008]. Astawan M dan MW Astawan. 1991. Teknologi pengolahan pangan nabati. Di dalam: Nurtama B, Made A, Vivi A. 1996. Mempelajari karakteristik saus pepaya. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 7:39. Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, and M Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Hari P, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science. De Man J. 1989. Kimia Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Enie. 1989. Teknologi pengolahan singkong. Di dalam: Supriyati. 2003. Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Fardiaz S. 1992. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Faridah DN, F Kusnandar, D Herawati, HD Kusumaningrum, N Wulandari, dan D Indrasti. 2008. Modul Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen ITP FATETA IPB. Frazier WC. 1967. Food Microbiology. New York: Mc-Graw Hill. Gaman PM dan KB Sherrington. 1981. Ilmu Pangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Grace MR. 1977. Cassava Processing. Rome: FAO of UN.
Gray C, P Simanjuntak, LK Sabur, PFL Maspaitella, dan RGC Varley. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kadariah, C Gray, dan L Karlina. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: UI Press. Marliyati SA, A Sulaeman, dan F Anwar. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi, TR. 1997. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Nicol WM. 1982. Sucrose, the optimum sweetener. Di dalam: Birch GG, K.J. parker (eds). Nutritive Sweeteners. London: Applied Science Publ. Nurtama B, M Astawan, dan V Aprianty. 1996. Mempelajari karakteristik saus pepaya. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 7:40. Pramudya B dan N Dewi. 1992. Ekonomi Teknik. Bogor: FATETA IPB. Purnawati R. 2007. Pengembangan produksi bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis secara curah menggunakan substrat onggok [tesis]. Bogor: Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Raharjo S, W Supartono, dan Tranggono. 2003. Optimasi Teknologi Cassava Instan. Yogyakarta: Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Departemen ITP FATETA IPB. Romanoff AL and AJ Romanoff. 1949. The avian egg. Di dalam: Wiraatmaja T. 1981. Mempelajari pengaruh jenis telur dan waktu pemeraman terhadap mutu telur hitam [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian FATEMETA IPB. Santika A. 2001. Agribisnis Cabai. Jakarta: Penerbit Swadaya. Saputra D, Dasir, dan B Hamzah. 2001. Teknologi pembuatan cabai instan dari cabai kering. Di dalam: Himpunan Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan. Semarang: PATPI. Satiawihardja B. 1982. Fermentasi media padat dan manfaatnya. Di dalam: Fachda F. 1989. Pemanfaatan onggok dan dedak padi untuk produksi angkak oleh Monascus purpureus [skripsi]. Bogor: Departemen ITP FATETA IPB.
Satuhu S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Jakarta: Peenebar Swadaya. Setiadi. 1987. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Soesarsono . 2003. Memulai dan Menggerakkan Wirausaha. Bogor: Departemen TIN FATETA IPB. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992. Cara uji cemaran mikroba. Jakarta: Pusat Standardisasi Industri, Departemen Perindustrian. (SNI 19-2897-1992). Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992. Cara uji makanan dan minuman. Jakarta: Pusat Standardisasi Industri, Departemen Perindustrian. (SNI 01-28911992). Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Saus cabai. Jakarta: Pusat Standardisasi Industri, Departemen Perindustrian. (SNI 01-2976-2006). Sudarmadji S, B Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: PAU UGM. Toledo RT. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. New York: Chapman and Hall. Umar H. 2001. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner uji hedonik saus cabai
UJI HEDONIK Nama
:
Tanggal
:
No. Hp
:
Instruksi
:
- Cicipi produk dari kiri ke kanan - Berikan penilaian terhadap rasa, kekentalan, aroma, warna, dan over all produk - Berikan nilai tingkat kesukaan: (7) sangat suka; (6) suka; (5) agak suka; (4) netral; (3) agak tidak suka; (2) tidak suka; (1) sangat tidak suka - Jangan membandingkan antar sampel - Dimohon untuk memberikan komentar Atribut Sensori
847
295
Penilaian 452
Kekentalan Rasa Aroma Warna Over all
Komentar :
* Terima kasih atas kerjasamanya *
784
Lampiran 2. Analisis sidik ragam hedonik rasa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 2827.542a 91.175 .292 81.458 2909.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 85.683 3.144 .097 .936
F 91.512 3.358 .104
Sig. .000 .000 .958
F 271.142 14.438 3.054
Sig. .000 .000 .033
a. R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .961)
Lampiran 3. Analisis sidik ragam hedonik aroma Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 2954.275a 138.242 3.025 28.725 2983.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 89.523 4.767 1.008 .330
a. R Squared = .990 (Adjusted R Squared = .987)
Lampiran 4. Hasil uji lanjut Duncan hedonik aroma
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan
a,b
Subset Sampel B D C A Sig.
N
1 30 30 30 30
2 4.60 4.80
.181
4.80 4.97 5.00 .208
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .330. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 5. Analisis sidik ragam hedonik warna Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 3273.642a 79.742 .892 53.358 3327.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 99.201 2.750 .297 .613
a. R Squared = .984 (Adjusted R Squared = .978)
F 161.746 4.483 .485
Sig. .000 .000 .694
Lampiran 6. Analisis sidik ragam hedonik kekentalan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 3396.533a 66.467 1.533 51.467 3448.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 102.925 2.292 .511 .592
F 173.986 3.874 .864
Sig. .000 .000 .463
F 177.095 4.956 1.096
Sig. .000 .000 .355
a. R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .979)
Lampiran 7. Analisis sidik ragam hedonik overall Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 3139.267a 77.200 1.767 46.733 3186.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 95.129 2.662 .589 .537
a. R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .980)
Lampiran 8. Kuisioner uji perbandingan berpasangan
UJI PERBANDINGAN PASANGAN Nama : Tanggal : No. Hp : Instruksi : - Bandingkan aroma, rasa, kekentalan, warna, dan over all produk 874 yang disajikan terhadap produk pembanding A. Berilah tanda pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian Anda. - Dilakukan hal yang sama pada produk 295 terhadap produk pembanding B.
Aroma
Rasa 874
295
Sangat lebih enak Lebih enak Agak lebih enak Sama Agak lebih tidak enak Lebih tidak enak Sangat lebih tidak enak Kekentalan
874
295
Sangat lebih kental Lebih kental Agak lebih kental Sama Agak lebih encer Lebih tidak encer Sangat lebih encer Over all
Sangat lebih cerah Lebih cerah Agak lebih cerah Sama Agak lebih gelap Lebih gelap Sangat lebih gelap
874 Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Sama Agak lebih buruk Lebih tidak buruk Sangat lebih buruk
Keterangan : A = Saus ABC B = Saus Special
874
295
874
295
Sangat lebih enak Lebih enak Agak lebih enak Sama Agak lebih tidak enak Lebih tidak enak Sangat lebih tidak enak Warna
295
Lampiran 9. Hasil uji perbandingan pasangan terhadap kontrol saus ABC Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Aroma 1 -2 2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 0 -1 -3 -2 -1 -1 -1 1 -1 2 -2 -15 -0.75
Rasa -1 -2 -3 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -3 -2 -1 -1 1 1 -1 -3 -1 -26 -1.3
Keterangan : 3 = Sangat lebih baik 2 = Lebih baik 1 = Agak lebih baik 0 = Sama -1 = Agak lebih buruk -2 = Lebih buruk -3 = Sangat lebih buruk
Penilaian Kekentalan 1 -1 1 2 1 -1 1 0 -1 0 -1 3 2 0 0 1 1 1 2 2 14 0.7
Warna -1 -1 -3 -2 -1 -1 -1 -1 -1 1 -1 -2 -1 -1 -1 -1 2 -1 -2 -2 -21 -1.05
Overall -1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 1 -1 -2 -1 -1 -1 1 1 -1 -1 -1 -17 -0.85
Lampiran 10. Hasil uji perbandingan pasangan terhadap kontrol saus Special Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Aroma 0 0 2 1 1 1 1 1 0 0 2 0 2 1 2 -1 1 2 2 1 19 0.95
Rasa 0 2 2 1 1 1 1 2 2 1 -1 1 2 3 2 1 1 1 1 2 26 1.3
Keterangan : 3 = Sangat lebih baik 2 = Lebih baik 1 = Agak lebih baik 0 = Sama -1 = Agak lebih buruk -2 = Lebih buruk -3 = Sangat lebih buruk
Penilaian Kekentalan 1 1 0 1 0 0 0 0 -2 0 -1 0 0 2 0 2 1 -1 -1 -1 2 0.1
Warna -2 -1 1 1 1 1 -1 1 -1 2 2 2 1 1 2 1 2 1 1 2 17 0.85
Overall 1 2 1 0 1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 0 2 28 1.4