ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL DALAM PEMBUATAN COOKIES
Oleh : A’immatul Fauziyah I14062863
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT A’IMMATUL FAUZIYAH. Analysis of Potency and Nutrition Content of Rice Bran Cookies. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI and SRI ANNA MARLIYATI Rice bran, by product of rice milling, has a good nutrition content and potential as source of carbohydrate. The utilization of rice bran for human consumption is still limited. So far, it is used merely as feed. The objectives of this research were (1) to investigate the potency of rice bran,i.e. its availability and as source of carbohydrate, (2) to find the best formula of cookies, (3) to analyze nutrition content, fibre content, and antioxydant capacity of the best formula of cookies, and (4) to analyze cost production of cookies making . In 2009, rice bran availability in Indonesia was 8.700.290 ton or equal to 1.271.368 ton carbohydrate. The formula of cookies that accepted organoleptically is the cookies made by mixed of wheat flour : rice bran were 65 : 35%. Water, ash, protein, fat, and carbohydrate content (wet basis) of the best formula of cookies that made by substitution of wheat flour with conventional and functional rice bran were 3.21 and 2.94, 3.02 and 2.92. 7.32 and 6.46, 28.88 and 28.24, 56.26 and 58.31, respectively, and not different statistically except for carbohydrate content. Fibre content of both cookies formula were not significantly different and each was 9.78 and 10.53 (wet basis). Antioxydant capacity of its were 70.87% and 69.03%. AEAC of both formula of cookies was not significantly different and each was 27.06 and 32.13 mg. The price of its were Rp 58,837/kg and Rp 54,851/kg. Keywords : Rice bran, cookies, potency, fibre content, capacity of antioxydant
RINGKASAN A’IMMATUL FAUZIYAH. Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan SRI ANNA MARLIYATI Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies. Tujuan khususnya adalah : 1) mengetahui ketersediaan bekatul sebagai pangan sumber energi, 2) menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional, 3) mengetahui kandungan kimia formula cookies terpilih, 4) melakukan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul. Desain penelitian yang digunakan adalah experimental study. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Pangan, Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, serta di Laboratorium Pilot Plan, SEAFAST CENTER, Bogor. Adapun waktu pelaksanaan penelitian pada bulan September - November 2010. Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan dan alat dalam pembuatan tepung bekatul, analisis kandungan gizi tepung bekatul dan uji organoleptik. Selain itu, juga dilakukan penelusuran data terkait ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap satu faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti yaitu pengaruh konsentrasi substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional terhadap sifat kimia cookies. Ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies juga dilakukan untuk mengetahui harga jual cookies bekatul konvensional dan fungsional. Data hasil analisis sifat kimia cookies bekatul pada dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika hasil sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil pengujian organoleptik tepung bekatul dianalisis menggunakan sidik ragam. Data Hasil analisis kompisisi kimia dianalisis dengan menggunakan sidik ragan dan uji lanjut Duncan. Produksi padi dan bekatul di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan bekatul lebih dari 1 juta ton per tahun. Produksi bekatul menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi limbah dari hasil penggilingan padi karena masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai makanan. Peluang pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas. Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan dengan metode krim (creaming method), yaitu semua bahan tidak dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih dahulu kemudian bahan yang lain. Uji organoleptik cookies bekatul dilakukan melalui uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) terhadap 30 panelis semi terlatih untuk warna, aroma, rasa dan tekstur dari cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan lima tingkat substitusi tepung bekatul, yaitu 25% (F1), 30% (F2), 35% (F3), 40% (F4) dan 45% (F3), serta kontrol atau substitusi 0% (F0). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional pada cookies tidak berpengaruh nyata
(α>0,05) terhadap mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap warna, aroma dan rasa cookies tetapi tidak berpengaruh nyata untuk tekstur. Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi bekatul konvensional terhadap cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan t warna dan tekstur tetapi berpengaruh nyata untuk tingkat kesukaan terhadap aroma, rasa dan keseluruhan. Formula cookies bekatul konvensional terpilih adalah cookies F3. Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna, rasa dan keseluruhan cookies tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan pada aroma dan tekstur. Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional terpilih adalah 3,21% bb, 3,12% bk, 7,56% bk, 29,84% bk, 56,26% bk, 10,10% bk dan 33,19% bb. Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul fungsional terpilih adalah 2,94% bb, 3,01% bk, 7666% bk, 29,09% bk, 58,31% bk, 10,85% bk dan 32,64% bb. Kandungan energi per 100 gram cookies bekatul konvensional dan fungsional terpilih masing masing adalah 519 Kal dan 518 Kal. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis tepung yang digunakan dalam pembuatan cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar air dan protein, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar abu, lemak, karbohidrat, serat pangan serta kapasitas antioksidan cookies. Cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional memenuhi kriteria sebagai pangan tinggi atau kaya serat. Analisis pembuatan biaya yang digunakan menggunakan skala industri kecil yang didasarkan atas jumlah pegawai yang berjumlah 15 orang. Harga cookies bekatul fungsional lebih mahal Rp. (58.837,00 /kg) dari pada cookies kontrol (Rp 47.519,02/kg) dan cookies bekatul konvensional (Rp 54.851,40/kg) karena harga bahan baku tepung bekatul fungsional yang lebih mahal dari pada tepung terigu dan tepung bekatul konvensional. Harga serat per gram cookies bekatul konvensional lebih mahal dari pada cookies bekatul fungsional dengan selisih Rp 0,77/gram.
ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL DALAM PEMBUATAN COOKIES
Oleh : A’immatul Fauziyah I14062863
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
:Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies.
Nama : A’immatul Fauziyah NIM
: I14062863
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si NIP. 19600205 198903 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ahmad dan Ibu Siti Muyasaroh. Penulis dilahirkan di Rembang, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Oktober 1988. Pendidikan penulis dimulai dari SDN Pamotan 7 di Rembang pada tahun 1994 sampai tahun 2000, dilanjutkan di SLTPN 1 Pamotan Rembang sampai tahun 2003, pada tahun 2003-2006 penulis melanjutkan di SMAN 1 Rembang. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur USMI dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, penulis aktif di organisasi seperti staf divisi Klub Kulinari dan Organoleptik Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007/2008, anggota Klub Kulinari dalam Divisi Keprofesian HIMAGIZI periode 2008/2009 dan sekretaris II Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB). Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan HIMAGIZI, BEM FEMA dan Departemen Gizi Masyarakat baik tingkat perguruan tinggi maupun nasional. Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Profesi di desa Sukajadi, kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Selain itu, penulis pernah mengikuti Internship Dietetic (ID) di RS Karya Bhakti Bogor dengan topik “Studi Kasus Bedah Batu Ginjal (Nefrolitiotomi), Diabetes Mellitus Komplikasi Gagal Jantung Kongestif dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas komplikasi Diare. Penulis juga pernah mengajar kursus mata pelajaran Kimia kelas XI di SMA Dwi Warna, Parung, Bogor pada tahun 2010. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah, yaitu Ilmu Gizi Dasar periode 2009/2010 dan 2010/2011 (koordinator) dan mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi. Beasiswa yang pernah penulis dapatkan adalah beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2007 sampai 2010.
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies”. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayah, Ibu dan adik-adikku (Nuriyana A dan Nala KH) yang sudah mendoakan dan menyemangati penulis selama ini. 2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritikan, semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skrispi dan dosen pemandu seminar. 4. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama kegiatan belajar mengajar. 5. Bapak Mashudi selaku teknisi yang dengan sabar membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 6. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M. Si yang telah memperbolehkan menggunakan ide penelitian tentang penggunaan tepung bekatul konvensional dan fungsional dalam pembuatan cookies 7. Teman-teman “Koplag” (Eva, Tika, Irni, Yulaika, Risti, Dudung, Fitri, Reti, Mbak Ganesh, Dhita, Desy) atas semangat, saran, dan bantuannya. 8. Teman-teman “Wisma Seroja” (Ari, Wulan, Aci, Icha, Mbak Yesi, Dana) atas semangat, doa dan bantuannya. 9. Seluruh teman-teman GM angkatan 43, 41,42, 44 dan 45 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk kesempurnaan
dalam
penulisan.
Penulis
berharap
penelitian
ini
dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Maret 2011 A’immatul Fauziyah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan ................................................................................................... Kegunaan Penelitian ..............................................................................
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Bekatul (Rice Bran) ................................................................................ Diversifikasi Pangan ............................................................................... Cookies ................................................................................................... Pangan Fungsional.................................................................................. Antioksidan .............................................................................................. Analisis Biaya Pembuatan .......................................................................
3 3 9 10 14 15 16
METODE …. ……………………………………………………………………. Desain, Waktu, dan Tempat ................................................................... Bahan dan Alat ....................................................................................... Tahapan ................................................................................................. Rancangan Percobaan ........................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................
22 22 22 24 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat .............................................................................................. Pembuatan Cookies Bekatul ................................................................... Karakteristik Organoleptik Cookies Bekatul ............................................ Kandungan Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional …………………………………..… Analisis Biaya Pembuatan Cookies .........................................................
29 32 29 33 43 50
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 56 Kesimpulan .............................................................................................. 56 Saran ................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 58 LAMPIRAN .................................................................................................. 62
v
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi Kimia Bekatul menurut Berbagai Penelitian........................... 4
2
Komposisi Asam Amino Bekatul, tepung Terigu dan Beras (g/16gN) ..... 6
3
Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992 ............................ 10
4
Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional ....................... 25
5
Produksi Padi dan Bekatul Nasional ................................................. ….. 29
6
Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia ........ 30
7
Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional ..... 34
8
Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional ......... 37
9
Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Konvensional .............. 39
10 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional .................. 41 11 Kandungan Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies per 100 gram ........................................................................................... 43 12 Kadar Komponen Serat Pangan Cookies................................................ 47 13 Ringkasan Analisis Biaya Pembuatan Cookies ....................................... 51 14 Daftar Perbandingan Harga Cookies ...................................................... 53
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Penampang Membujur Biji Gabah........................................................... 3
2
Diagram Alir Tahapan Penelitian ............................................................. 24
3
Diagram Alir Pembuatan Cookies Bekatul .............................................. 26
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional dan Fungsional .........
62
2
Formulir Uji Organoleptik Cookies Bekatul .............................................
63
3
Prosedur Analisis Sifat Kimia ...................................................................
65
4
Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Uji Organoleptik ......................
70
5
Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Proksimat ................................. 74
6
Hasil Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul ................................... 76
viii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek informasi. Kemudahan dalam mengakses informasi tentang kesehatan berdampak pada kesadaran tentang pentingnya kesehatan juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang sering beredar di masyarakat adalah informasi tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan tersebut dapat berupa pangan kaya serat, pangan kaya antioksidan, pangan rendah kolesterol serta pangan dengan indeks glikemik yang rendah. Salah satu bahan pangan yang kaya serat adalah bekatul. Bekatul (rice bran)
merupakan salah satu hasil samping dari proses
pengolahan padi menjadi beras. Pemanfaatan bekatul adalah bentuk re-use (penggunaan kembali) hasil samping pengolahan padi. Pemanfaatan bekatul dapat berupa penggunaan kembali sebagai pangan fungsional alternatif disamping sebagai pakan ternak. Pemanfaatan sebagai pangan fungsional alternatif merupakan salah satu bentuk upaya diversifikasi pangan. Bekatul merupakan campuran lapisan pericarp dan aleuron yang terlepas selama proses penggilingan padi. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Produksi gabah kering giling (GKG) pada tahun 2009 sebesar 64,40 juta ton, maka dapat dihitung produksi bekatul tahun 2009 adalah sebesar 8,70 juta ton. Pemanfaatan bekatul terbatas sebagai pakan ternak dengan nilai ekonomis yang rendah. Pemanfaatan bekatul masih belum optimal jika dibandingkan dengan produksinya tersebut. Bekatul mempunyai kandungan gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Luh 1991). Bekatul juga mengandung senyawa fitokimia khususnya antioksidan sehingga bekatul berpotensi menjadi pangan sumber antioksidan. Gamma-oryzanol berfungsi sebagai antioksidan tubuh. Senyawa lainnya, yaitu senyawa fenolik tricin dan tokoferol dapat berfungsi sebagai penghambat kanker. Kandungan gizi serta manfaat yang baik dari bekatul belum diiringi dengan pemanfaatan yang optimal karena bekatul mudah rusak (tengik). Metode untuk mengatasi kelemahan bekatul tersebut sebenarnya sudah tersedia sehingga dapat diperoleh tepung bekatul dengan sifat yang tidak mudah tengik. Pemanfaatan tepung bekatul ini dapat berupa substitusi bahan baku beberapa produk pangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, misalnya cookies. Jenis
2 makanan berupa cookies sebagai makanan kesehatan dipilih karena praktis (mudah dibawa), mempunyai daya simpan yang lama dan sering dikonsumsi oleh masyarakat. Penggunaan bekatul sebagai bahan substitusi dalam pembuatan cookies merupakan salah satu upaya peningkatan nilai ekonomi bekatul yang merupakan hasil samping hasil pertanian. Penggunaan bekatul dalam pembuatan cookies akan meningkatkan kadar dietary fiber yang bermanfaat untuk kesehatan. Penelitian ini difokuskan pada upaya pemanfaatan bekatul
sebagai bahan
substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies sehingga akan mengurangi penggunaan tepung terigu dan meningkatkan kadar kandungan gizi cookies. Ketergantungan terhadap terigu diharapkan dapat dikurangi. Bekatul yang digunakan adalah bekatul fungsional dan bekatul konvensional. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi dan gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis potensi ketersediaan dan ekonomi bekatul sebagai bahan pangan alternatif sumber karbohidrat 2. Menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional 3. Menganalisis kandungan zat gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies 4. Menganalisis biaya pembuatan cookies Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan tepung bekatul konvensional dan fungsional sebagai sumber serat dalam pembuatan cookies sebagai pangan fungsional. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk Departemen Pertanian mengenai potensi pemanfaatan tepung bekatul, terutama untuk meningkatkan nilai ekonomis bekatul yang merupakan hasil samping pengolahan padi dalam rangka diversifikasi pangan. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi tentang pengembangan produk bagi industri pangan.
3
TINJAUAN PUSTAKA Bekatul Karakteristik bekatul Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan padi. Menurut FAO dalam Houston (1972), bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan selaput inti biji padi. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan aleurone. Proses penggilingan padi menjadi beras menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi adalah 8-12%. Menurut catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan pertanian Bogor dalam Nursalim dan Razali (2007), kegiatan penyosohan beras dapat mengikis 7,5% dari bobot beras awal berupa bekatul yang memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan beras. Bekatul merupakan dedak yang paling halus dengan komponen utamanya dalah endosperm. Penampang bujur biji gabah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Penampang membujur biji gabah Menurut David (2008), dedak dihasilkan pada proses penyosohan pertama,
sedangkan
bekatul
pada
proses
penyosohan
kedua.
Proses
penyosohan merupakan proses penghilangan dedak dan bekatul dari bagian endosperma beras. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Tujuan penyosohan untuk menghasilkan beras yang lebih putih dan bersih. Makin tinggi derajat sosoh, semakin putih dan
4 bersih penampakan beras, tapi semakin miskin zat gizi. Pada penyosohan beras dihasilkan dua jenis hasil samping, yaitu dedak dan bekatul. Komposisi Kimia dan Kegunaan Bekatul Bekatul mengandung air, protein, lemak, abu, serat kasar dan selulosa. Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses penggilingan, kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi, ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap kerusakan dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston 1972). Kisaran kandungan zat gizi makro dan mikro serta komponen kimia lainnya pada bekatul disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia bekatul menurut beberapa penelitian Komponen Juliano & Bechtel (1985) Protein (%) 11.3-14.9 Lemak (%) 15.0-19.7 Serat kasar (%) 7.0-11.4 Karbohidrat (%) 34.1-52.3 Abu (%) 6.6-9.9 Kalsium (mg/g) Magnesium (mg/g) Fosfor (mg/g) Silika (mg/g) Seng (μg/g) Thiamin (μg/g) Riboflavin (μg/g) Tokoferol (μg/g)
Luh (1991) 12.0-15.6 15.0-19.7 7.0-11.4 34.1-52.3 6.6-9.9 0.3-1.2 5.0-13.0 11.0-25.0 5.0-11.0 43.0-258.0 12.0-24.0 1.8-4.0 149-154
Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan. Selain zat gizi makro, bekatul juga mengandung zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam bekatul antara lain karoten (4,2 μg/g), thiamin (10,1-27,9 μg/g), riboflavin (1,7-3,4 μg/g), niacin (236-590 μg/g), piridoksin (10,3-32,1 μg/g), asam pantotenat (27,7-71,3 μg/g), biotin (0,160,60 μg/g), inositol (4,62-9,27 μg/g), kolin (1,28-1,70 μg/g), asam folat (0,5-1,46 μg/g), vitamin B12
(0,005 μg/g) dan tokoferol (149,2 μg/g) (Houston 1972).
5 Bekatul adalah sumber vitamin B kompleks dan tokoferol, tetapi rendah vitamin A dan vitamin C. Sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Vitamin B kompleks dan vitamin E (tokoferol) banyak ditemukan di dalam bekatul (220-320 ppm), sedangkan vitamin A (0.9-1.6 ppm) dan vitamin C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber 1980). Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol dan tokotrienol (220-320 ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0.9-1.6 ppm), vitamin B (tiamin, 2231 ppm) (Helal 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (Kahlon et al. 1994). Bakatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek hipokolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah kemampuan serat menyerap lipid pada jalur saluran pencernaan dan peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al. 1994). Selain itu, bekatul mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim angiotensin I-converting enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah 2004). Bekatul juga mengandung zat anti-gizi dan enzim yang sangat merugikan. Zat anti-gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan keberadaan enzim menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti-gizi di dalam bekatul meliputi fitin, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti-gizi tersebut mempunyai aktivitas yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Fitin yang terdapat pada lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2.3-2.6%, sedangkan fitinnya sebesar 1.8%. Tripsin inhibitor berupa protein albumin yang larut dalam air, tetapi tidak menghambat kimotripsin, pepsin dan papain. Hemaglutinin adalah zat yang mampu mengaglutinisasi sel-sel darah merah tipe A, B, AB, dan O (Juliano 1985). Kandungan
lemak
dalam
bekatul
cukup
tinggi.
Minyak
bekatul
mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 80% (Ciptadi dan Nasution 1979). Kandungan lemak yang tinggi menyebabkan mudahnya terjadinya ketengikan dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini
6 disebabkan karena hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji dan melintang pada gabah serta ketengikan oksidatif. Enzim lipase dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Jika enzim lipase tidak diinaktifkan maka asam lemak bebas akan meningkat satu persen setiap jam pada suhu kamar (Luh 1980). Enzim lipoksigenase mengoksidasi asam lemak bebas menjadi peroksida kemudian menjadi keton dan aldehid. Ketengikan akan mempengaruhi penerimaan bekatul sebagai bahan makanan. Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston 1972). Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap sehingga mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution 1979). Komposisi asam amino esensial bekatul lebih baik dibandingkan tepung terigu. Komposisi asam amino esensial bekatul disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Komposisi Asam Amino Bekatul, Tepung Terigu dan Beras (g/16 g N) Tepung Terigu Beras Asam (Juliano No Bekatul (Juliano 1985) (Suarni & Patong amino 1985) 1999) 0,49 5,6 1 Alanin 6,5-7,0 0,73 9,3 2 Arginin 8,6-9,1 0,56 4,6 3 Glisin 5,8-6,2 0,43 4,1 4 Isoleusin 2,9-4,5 0,88 8,2 5 Leusin 7,6-8,4 0,38 3,9 6 Lisin 5,3-6,0 0,61 5,1 7 Fenilalanin 4,9-5,3 1,51 4,7 8 Prolin 4,6-6,1 0,32 5,1 9 Serin 5,1-6,0 0,36 9,2 10 Threonin 4,2-4,6 0,39 5,2 11 Tirosin 3,5-3,8 0,55 5,8 12 Valin 5,4-6,6 Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%. Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh enzim pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat transit time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain itu serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Bahan pangan yang mempunyai serat yang tinggi juga cenderung mempunyai indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah tingkatan
7 pangan menurut efeknya terhadap peningkatan kada gula darah. Pangan dengan indeks glikemik yang tinggi cepat menaikkan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Serat dalam bentuk utuh bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan sehingga indeks glikemik cenderung rendah. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat. Dengan demikian respon glukosa darah juga lambat. Bekatul mempunyai beberapa manfaat bagi kesehatan. Penelitian pada binatang dan manusia, bekatul dan fraksi bekatul menunjukkan potensi efek penurunan level kolesterol. Beberapa senyawa yang mempunyai aktivitas menurunkan kadar koleseterol antara lain orizanol, hemiselulosa, fraksi serat, protein dan komponen lemak tidak jenuh ganda dan tunggal (Saunder dalam Malekian F et.al 2000). Pemanfaatan Bekatul Penggunaan bekatul sangat bervariasi, mulai dari bahan bakar sampai bahan makanan, termasuk pupuk, pharmaceutical, sabun dan makanan. Minyak bekatul kasar dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam olet dan asam stearat dan sabun (Salvador B dan Carmen BB 1980). Pemanfaatan bekatul antara lain sebagai bahan bakar, makanan, pupuk, obatobatan, sabun dan pakan (Barber S dan Barber CB 1980). Selain itu, bekatul juga dapat digunakan untuk minyak salad, bahan baku kosmetik dan suplemen kesehatan (Nursalim dan Razali 2007). Pangan Bekatul dapat digunakan sebagai bahan baku pangan. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan pencapur pada pembuatan biskuit dan kue. Pemanfaatan bekatul yang diawetkan dengan ekstruder antara lain dimanfaatkan sebagai sarapan sereal. Perbandingan antara tepung bekatul dengan tepung beras adalah 90:10 sampai dengan 30:70 yang dicampur kemudian diekstruksi pada kadar air 21%. Hasilnya adalah ekstrudat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks air larut dan densitas kamba (Damardjati dan Luh dalam damayanthi 2002).
8 Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 sebesar 45% terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memiliki penerimaan yang baik sedangkan substitusi pada risoles, nagasari dan cucur masing-masing sebesar 55% juga dapat diterima dengan baik (Damayanthi 2002). Substitusi sebesar 15% pada tepung terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan metode straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat makanan (hemiselulosa, selulosa dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. Dalam Damayanthi 2002). Bekatul juga dapat dikonsumsi dalam bentuk minuman bekatul. Minuman bekatul tersebut terdiri atas campuran bekatul 14 gram dan air sebanyak 220 ml (Damayanthi 2002). Penemuan lembaga Eykman Jakarta, dedak padi dapat diekstrak menjadi sumber vitamin B. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negri baru pada pengekstrakan dedak untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya dalam Damayanthi 2002). Minyak murni yang diekstraksi dari bekatul dapat digunakan untuk memasak. Bekatul juga dapat dikonsumsi secara langsung sebagai minuman dan campuran sup (Nursalim dan Razali 2007). Bekatul juga digunakan sebagai sumber vitamin B15 yang dapat dikonsumsi dalam bentuk kapsul. Pakan Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak. Penggunaan bekatul sebagai pakan dapat dikombinasikan dengan pakan lain. Bekatul mempunyai berbagai kelemahan sebagai pakan. Kelemahan tersebut antara lain kandungan serat yang tinggi, kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, proporsi Kalsium dan Fosfor berbeda dari yang disarankan sebagai pakan, kandungan gizi yang bervariasi antar jenis bekatul dan tingkat kestabilan yang rendah (Barber S dan Barber CB 1980). Industri lainnya Bekatul dapat digunakan dalam berbagai industri yaitu, industri kosmetik, sabun, pupuk, obat-obatan dan pembuatan kertas karbon. Minyak bekatul yang tidak termurnikan dapat dimanfaatkan untuk produksi sabun dari asam lemak. Minyak bekatul murni dapat digunakan sebagai pupuk pengganti insektisida. Minyak bekatul murni juga dapat dimanfaatkan dalam industri tekstil dan kulit. Produk sisa ekstraksi minyak bekatul yang berupa malam (wax) dapat digunakan dalam pembuatan kertas karbon (Nursalim dan Razali 2007).
9 Diversifikasi Pangan Undang-undang No. 7 tahun 1996 yang diatur pelaksanaanya di dalam peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Dalam kaitannya dengan diversifikasi pangan, dianjurkan untuk menggali potensi tanaman lokal yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Selain itu, juga dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi pangan yang dikonsumsi golongan miskin dengan tetap memperhatikan kandungan gizi (Soekartawi 1993 dalam Antara 2001). Salah satu potensi yang dapat digali adalah bekatul. Bekatul mempunyai nilai ekonomi yang rendah tetapi memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan komponen bioaktif oryzanol sehingga para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan pangan dari bekatul yang memiliki palatabilitas tinggi (Damardjati dalam Damayanthi 2002). Penganekaragaman konsumsi pangan sampai saat ini belum mencapai kondisi yang optimal, yang dicirikan oleh skor pola pangan harapan (PPH) yang belum sesuai harapan (75,7 pada tahun 2009), dan belum optimalnya peran pangan
lokal
dalam
mendukung
penganekaragaman
konsumsi
pangan.
Peraturan presiden No. 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengendalian percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Padi termasuk sumber daya lokal dengan hasil samping salah satunya adalah bekatul. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional alternatif pengganti berbagai jenis tepung termasuk tepung terigu. Kebijakan, strategi dan rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan kemampuannya. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi
10 ketergantungan terhadap beras dan impor pangan dengan meningkatkan konsumsi pangan baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan
lokal
dan
olahannya.
Diversifikasi
pangan
dilakukan
dengan
mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan dari sektor peraatan, mesin dan kredit penting pada saat tarnsformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan lebih efisien (Suryana 2005). Menururt Andyana (2005) diversifikasi pangan memiliki dua dimensi pokok,
yaitu
keragaman
keanekaragaman
bahan
pola
pangan
konsumsi yang
pangan
dikonsumsi
dimana
sehingga
terdapat memenuhi
kebutuhan gizi yang bermutu dan simbang serta keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis zat gizi, sumber protein dari hewan, ikan maupun nabati dan bersifat spesifik lokal. Menurut Suharjo (1998) menyebutkan bahwa diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang slaing berkaitan, yaitu diversifikasi produksi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan dan diversifikasi konsumsi pangan. Diversifikasi
produksi
pangan
adalah
usaha
penganekaragaman
usatatani, baik secara vertikal maupun horizontal. Diversifikasi secara horizontal adalah imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah. Diversifikasi secara vertikal adalah pengembangan produksi setelah panen termasuk kegiatan pengolahan hasil dan hasil samping pertanan yang merupakan inti industrialisasi pertanian (Antara 2001). Diversifikasi konsumsi pangan (derivasi diversifikasi vertikal) mempunyai peranan penting dalam mengurangi beban sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas pangan.
Diversifikasi
vertikal
mempunyai
keuntungan
tersedianya
keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai bahan pangan tersebut serta merubah selera konsumen. Menurut Effendi yang diacu dalam Antara (2001), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam diversifikasi konsumsi pangan adalah penyempurnaan teknologi pangan dapat meghasilkan pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan dari pangan yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makan seharihari (superior) khususnya kalangan menengah ke atas. Cookies Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan apabila dipatahkan penampang potongannya
11 bertekstur padat (BSN 1992). Menurut Departemen Perindustrian (1990) Biskuit didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Biskuit merupakan produk makanan kering yang mudah dibawa karena volume beratnya kecil dan umur simpannya relatif lama (Whiteley 1971). Biskuit dibuat dengan bahan dasar tepung (Vail et al 1978). Proses pemanggangan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Kadang-kadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya konvensional relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Menurut Vail et al (1978) mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Syarat mutu cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992 Komponen
Syarat Mutu
Normal, tidak tengik Keadaan (bau, rasa, warna, dan tekstur) Air (% b/b) Maksimum 5,0 Lemak (% bb) Minimum 9,5 Protein (% bb) Minimum 9,0 Abu (%bb) Minimum 1,5 Karbohidrat (%bb) Minimum 1,5 Kalori (kal/100 g) Maksimum 70 Kadar cemaran logam berbahaya Minimum 400 Cemaran mikroba Negatif TPC (koloni/g) Maksimum 104 Coliform (APM/g) Maksimum 20 E.coli (APM/g) <3 Maksimum 102 Kapang (koloni/g) Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992) Bahan Baku Cookies Thelen dalam Matz (1978) membagi mengelompokkan bahan pembuatan cookies menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikan dan pelembut. Bahan pengikat, yaitu bahan pembentuk adonan yang kompak antara lain tepung, air,
12 susu, putih telur, dan air. Bahan yang termasuk dalam kategori bahan pelembut yaitu gula, lemak, leavening agent, dan kuning telur. Bahan pelembut berfugsi untuk melembutkan adonan. Tepung Tepung berperan dalam membentuk struktur cookies (Matz 1978). Tepung yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu (Sunaryo 1985). Tepung terigu dengan kandungan protein 8-10% (tepung terigu lunak) tepat digunakan untuk pembuatan cookies. Semakin tinggi kadar protein tepung yang digunakan, maka semain banyak shortening dan gula yang diperlukan untuk mendapatkan tekstur yang diterima. Karbohidrat pada tepung berperan dalam meningkatkan cita rasa, mengikat air, dan membentuk tekstur (Parker 2003). Lemak Fungsi lemak dalam pembuatan cookies adaah memperbaiki struktur fisik seperti memperngaruhi volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, dan memberi flavor (Matz 1978). Lemak yang digunakan dalam pembuatan cookies dapat berupa margarin (lemak nabati) dan mentega (lemak hewani). Lemak nabati lebih banyak digunakan karena dapat memberikan tekstur yang lembut dan halus. Lemak nabati juga memberikan penampakan yang baik. Kuning Telur Kuning telur mengandung lesitin yang berperan sebagai emulsifier dalam pembuatan cookies. Emulsifier adalah bahan aktif yang mempengaruhi pembentukan dan stabilisasi emulsi. Lesitin dalam pembuatan cookies berperan mempengaruhi konsistensi cookies. Lesitin juga membuat adonan menjadi tidak lengket ketika dicampurkan. Lesitin mempercepat disperse lemak dan komponen cairan didalam adonan cookies.Selain didalam kuning telur, lesitin juga terdapat didalam kedelai. Produk yang menggunakan coklat memerlukan lesitin lebih banyak (Matz 1978). Gula Gula termasuk dalam kategori bahan pelembut karena membuat susunan dan butiran cookies menjadi halus dan lembut. Selain itu gula juga memberikan rasa manis. Fungsi gula yang lain adalah mengontrol penyebaran (Matz 1978). Gula yang baik untuk pembuatan cookies adalah gula halus karena tidak menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar. Komposisi gula dalam adonan harus tepat. Jika gula yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan
13 akan menjadi lengket, menempel pada cetakan dan membuat warna coklat. Selain itu, cookies akan menjadi lebih keras dan terlalu manis. Garam Garam berfungsi untuk membangkitkan cita rasa bahan yang lain didalam adonan cookies. Sebagian besar formula biscuit termasuk cookies menggunakan garam dengan persentase 1% atau kurang. Penggunaan garam juga disarankan 3% dari berat lemak (Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan sebenarnya tergantung jenis tepung yang dipakai dan kompleksitas bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies. Garam digunakan lebih banyak pada adonan yang menggunakan tepung dengan kadar protein yang rendah karena diperlukan untuk memperkuat protein dalam tepung. Bahan Pengembang (Leavening Agent) Bahan pengebang yang umum dipakai dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Bahan pengembang menghasilkan gas karbondioksida yang menyebakan adonan mengembang. Baking powder berasal dari campuran Natrium bikarbonat dengan asam tartarat atau garam fosfat. Pembentukan gas karbondioksida dipengaruhi oleh PH (Matz 1978). PH adonan biasanya adalah berkisar antara 5 sampai 6 sehingga optimum untuk pembentukan gas karbondioksida. Jika PH adonan basa maka pembentukan gas akan berkurang sehingga biasanya juga ditambahkan asam bersama dengan pengembang. Susu Susu digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan meningkatkan nilai gizi cokies. Penggunaan susu yang disarankan adalah 5% dari tepung (Matz 1978). Komponen protein dalam susu mengikat air dan membuat adonan lebih kaku dan lengket. Penggunaan susu dalambentuk bubuk lebih menguntungkan daripada susu cair. Proses Pembuatan Cookies Pembuatan cookies dikelompokkan menjadi dua berdasarkan
metode
dasar pencampuran adonan, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan cookies dengan metode krim dilakukan dengan mencampurkan lemak dan gula terlebih dahulu kemudian ditambahkan pewarna dan essens. Setelah adonan tercampur kemudian ditambahkan susu dan yang terakhir adalah bahan kimia untuk aerasi (Whiteley 1971). Pembuatan cookies dengan metode all in berbeda dengan metode krim. Metode all in dilakukan dengan mencampurkan semua bahan yang digunakan untuk membuat cookies dengan
14 tepung terigu. Adonan dicampur sampai mengembang (Whiteley 1971). Setelah adonan
mengembang
kemudian
cookies
dicetak
dengan
cetakan
dan
dipanggang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 2200C selama 12-15 menit (Sultan 1983). Pangan Fungsional Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Menurut Drummond (2007) dan DeBruyne (2008), pangan fungsional adalah pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan karena kontribusi zat gizi yang dikandungnya. Makanan utuh, makanan fortifikasi, dan makanan yang dimodifikasi termasuk ke dalam pangan fungsional. Pangan fungsional (functional food) mempunyai kaitan yang erat dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gaya hidup sehat. Pangan fungsional atau Food for Specified Health Use (FOSHU), didefinisikan sebagai makanan yang berdasarkan pengetahuan (bukti riset ilmiah) tentang hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan yang diharapkan mempunyai manfaat kesehatan tertentu. Karena sebagai makanan, maka pangan fungsional harus memiliki karakteristik sebagai makanan (sensori, warna, tekstur, citarasa, dan mempunyai zat gizi) (Ardiansyah 2004). Departemen Kesehatan Jepang mendefinisikan pangan fungsional sebagai Foods for Spesified Health Use (FOSHU), yaitu pangan yang diharapkan mempunyai pengaruh khusus terhadap kesehatan karena adanya suatu komponen di dalam pangan serta jenis pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan (Arai et al 2001). Ichikawa (1994) dalam Diana (2010) menyatakan suatu pangan dikatakan sebagai pangan fungsional jika dapat memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan 2. Manfaatnya bagi kesehatan dan pemenuhan gizi harus berdasarkan data ilmiah 3. Jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi 4. Aman dalam diet yang seimbang 5. Memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas, serta sifat kuantitatif dan kualitatif di dalam bahan pangan dapat ditentukan
15 6. Tidak mengurangi nilai gizi pangan 7. Dikonsumsi dengan cara yang wajar 8. Tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk 9. Berasal dari bahan-bahan alami Antioksidan Antioksidan adalah komponen dengan berat molekul kecil yang dapat menghambat atau menekan terjadinya proses oksidasi pada bahan yang mudah teroksidasi. Pokorny et al. (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan sumbernya, antioksidan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari sintesa menggunakan reaksi kimia. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi selama proses pengolahan atau berasal antioksidan yang diisolasi dari sumber alami lain dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Fungsi antioksidan dalam makanan yang mengandung lemak adalah meminimalkan ketengikan, menghambat pembentukan produk hasil oksidasi yang beracun, dan menjaga mutu gizi makanan serta meningkatkan shelf life makanan yang mengandung lemak (Jadhav et al. 1996). Pangan yang mengandung lemak tidak jenuh rentan terhadap proses autooksidasi yang diinisiasi oleh radikal bebas. Lama periode autooksidasi sensitif terhadap keberadaan antioksidan dna komponen prooksidan. Menurut Jadhav et al. (1996), proses autooksidasi lemak yang disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan senyawa radikal yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1).
Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal
bebas. Pembentukan radikal R* (reaksi 1.1) biasanya diperantarai oleh komponen logam, radiasi cahaya dan panas. Hidroperoksida lemak yang jumlahnya kecil juga membentuk antioksidan (reaksi 1.2 dan 1.3). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : Inisiasi
: RH : ROOH : 2ROOH
Propagasi
: R* + O2
R* + H* RO* + HO* RO* + ROO* + H2O ROO*
(1.1) (1.2) (1.3) (2.1)
16 : ROO* + RH Terminasi
ROOH + R*
: ROO* + ROO*
ROOR +O2
: R* + ROO* : R* + R*
(2.2) (3.1)
ROOR R
(3.2)
R
(3.3)
Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi inisiasi terbentuk menjadi radikal bebas bentuk yang lain pada tahap propagasi. Radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2.1). ROO* yang terbentuk menginisiasi reaksi berantai dengan molekul lain sehingga terbentuk hidroperoksida dan radikal bebas dari lemak. Reaksi yang terjadi berulang kali dapat menyebabkan akumulasi radikal bebas dan akan terus berlangsung sampai asam lemak tidak jenuh habis. Jika asam lemak jenuh habis, maka radikal bebas akan saling berikatan sehingga membentuk senyawa non radikal yang stabil dan reaksi rantai berakhir. Reaksi ini adalah reaksi terminasi dari reaksi oksidasi berantai. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami
terminasi
dengan
membentuk
kompleks
radikal
bebas.
Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida, keton dan alkohol. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH (2,2-dyphenyl-1picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yag stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi seyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α, α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Benabadji et al. 2004) Analisis Biaya Pembuatan Bartono (2005) menyatakan bahwa setiap kegiatan usaha yang dilakukan berusaha untuk meningkatkan aktivitasnya sehingga didapatkan revenue yang diharapkan. Pendapatan atau revenue mengandung profit tertentu. Profit diperoleh karena prosuk dijual dengan harga tertentu. Harga jual merupakan inti dari kegiatan usaha sehingga harga jual perlu untuk ditentukan. Penentuan
17 harga jual suatu produk pangan perlu memperhatikan total harga seluruh komponen bahan yang dipakai untuk membuat produk pangan, biaya produksi selama memproses bahan, kebijakan food cost yang ditentukan oleh manajemen sebagai faktor pembagi dalam perhitungan cost dan harga pokok penjualan serta harus meperhatikan nilai tertentu yang mungkin harus ditambahkan pada harga pokok penjualan, misalnya pajak (government tax). Biaya Produksi Biaya adalah pengorbanan yang rasional yang seharusnya dapat diduga lebih dahulu dan tidak dapat dihindarkan yang dapat dihitung dengan nilai uang dan yang berhubungan dengan produksi barang dan jasa (Sriyadi 1995). Biaya produksi adalah seluruh faktor produksi yang dikorbankan selama produksi berlangsung. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikorbankan untuk menghasilkan produk sehingga produk tersebut sampai di pasar atau sampai di konsumen. Dengan demikian, iaya penyimpanan, biaya iklan, pajak juga termasuk dalam biaya produksi (Ahman 2004) Nicholson (1990) menyatakan Biaya ekonomi adalah pembayaran yang diperlukan untuk mempertahankan masukan itu dalam penggunaannya saat ini. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Biaya produksi produk pangan timbul karena pemakaian energi seperti listrik, gas, steam, tenaga, da lainnya (Bartono 2005). Biaya produksi ini adalah total biaya (total cost) yang dikeluarkan untuk memproduksi produk pangan. Biaya total adalah hasil penjumlahan antara biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Menurut Sriyadi (1995), biaya dapat dibedakan menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya yang langsung dapat dihitung atau dapat langsung dibebankan pada produk (barang atau jasa). Sedangkan biaya tak langsung adalah biaya yang pembebanannya pada produk harus lebih dahulu melalui perhitungan sehingga ada beberapa cara pembebanan biaya tak langsung. Dalam hubungannya dengan produk, biaya langsung ini disebut dengan biaya produksi langsung, sedangkan biaya tak langsung disebut dengan biaya produksi tidak langsung atau biaya overhead pabrik. Menurut Haryanto (2002), biaya produksi dalam suatu perusahaan dapat dikategorikan menjadi: 1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
18 Biaya tetap merupakan biaya yang dalam kurun waktu tertentu jumlahnya tetap. Biaya ini tidak tergantung jumlah output yang dihasilkan. Contoh biaya tetap adalah biaya gaji pegawai tetap, manajer, sewa tanah, penyusutan mesin, bunga pinjaman bank. Biaya tetap ini dibedakan menjadi dua macam yaitu : a. Biaya tetap total (total fixed cost), merupakan jumlah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah tetap dalam jangka waktu tertentu. b. Biaya tetap rata-rata (average fixed cost), merupakan biaya tetap yang dibebankan pada setiap satuan output yang dihasilkan. 2. Biaya Variabel (Variabel Cost) Biaya variabel adalah biaya pengeluaran yang jumlahnya tidak tetap atau berubah sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Dalam hal ini, semakin banyak jumlah produk yang dihasilkan, semakin besar pula biaya variabelnya. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, bahan pembantu, bahan bakar, dan upah tenaga kerja langsung. Biaya variabel ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Biaya variabel total (total variabel cost), merupakan seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama masa produksi output dalam jumlah tertentu. b. Biaya variabel rata-rata (average variabel cost), merupakan biaya variabel yang dikeluarkan untuk setiap unit output. 3. Biaya Total (Total Cost) Biaya
total
merupakan
jumlah
seluruh
biaya
yang
dikeluarkan
untuk
memproduksi semua output, baik barang maupun jasa. Biaya ini dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya tetap total dengan biaya variabel total. 4. Biaya Rata-rata (Average Cost) Biaya rata-rata merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk setiap unit output. 5. Biaya Marginal (Marginal Cost) Biaya marginal merupakan kenaikan dari biaya total yang diakibatkan oleh diproduksinya tambahan satu unit output. Klasifikasi Industri Menurut Daud (2009) Industri adalah semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Istilah industri sering disebut sebagai manufaktur (manufacturing). Istilah industri juga diidentikkan dengan kegiatan yang mengolah barang mentah atau barang baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Pada umumnya semakin maju
19 perkembangan industri di dalam suatu negara, maka semakin banyak macam dan jumlah industrinya serta sifat kegiatan dan usahanya semakin kompleks. Pengklasifikasian industri dapat didasarkan pada criteria tertentu, yaitu bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga menentukan keanekaragaman industri. Semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beraneka ragam jenis industrinya. Klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing adalah sebagai berikut. Klasifikasi Industri Berdasarkan Bahan Baku Industri membutuhkan bahan baku sesuai produk yang akan dihasilkan. Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1.
Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Contoh industri ini adalah industri hasil pertanian, industri hasil perikanan dan industri hasil kehutanan.
2.
Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil dari industri lain. Contoh industri nonekstraktif adalah industri kain dan industri pemintalan.
3.
Industri fasilitatif atau industri tersier, yaitu industri yang kegiatannya adalah menjual jasa layanan untuk kepentingan pihak lain. Contoh industri tersier adalah industri perbankan, industri perdagangan, industri angkutan dan pariwisata.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Tenaga Kerja Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu: 1.
Industri Rumah Tangga. Industri rumah tangga adalah industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Industri ini juga mempunyai modal yang terbatas. Tenaga kerja biasanya berasal dai keluarga pemilik atau pengelola industri. Contoh industri rumah tangga antara lain industri temped an tahu, industri makanan ringan dan industri kerajinan.
2.
Industri kecil. Industri kecil memiliki tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang. Ciri lainnya adalah industri kecil memiliki modal yang relatif kecil. Tenaga kerja yang digunakan biasanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih
20 mempunyai hubungan saudara dengan pemilik industri. Contoh industri ini adalah industri genteng, industri batubara dan industri pengolahan rotan. 3.
Industri sedang. Industri sedang memiliki tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Industri sedang menggunakan modal yang cukup besar. Tenaga kerja yang digunakan memilki keterampilan tertentu dan pimpinan perusahaan memiliki kemampuan manajerial tertentu, contohnya adalah industri konveksi, industri border dan industri keramik.
4.
Industri besar. Industri besra meiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Industri besar memiliki modal yang besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham. Tenaga kerja harus memiliki keahlian khusus dan pemimpin perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan, contohnya industri tekstil, industri mobil dan industri pesawat terbang.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Proses Produksi Berdasarkan proses produksi, industri dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu: 1.
Industri hulu. Industri hulu adalah industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri hulu menyediakan bahan baku untuk industri lain, misalnya industri kau lapis, industri pemintalan dan industri baja.
2.
Industri hilir. Industri hilir mengolah barang setengah jadi menjadi barang atau bahan yang dapat langsung dipakai atau dimanfaatkan oleh onsumen, misalnya industri pesawat terbang, industri otomotif dan industri konveksi.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Modal yang Digunakan Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1.
Industri dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Industri ini memperoleh modal dari pengusaha atau pemerintah nasional (dalam negeri), misalnya industri kerajinan, industri pariwisata dan industri makanan.
2.
Industri dengan penanaman modal asing (PMA). Industri ini memperoleh modal dari penanaman modal asing, misalnya industri komunkasi, industri perminyakan dan industri pertambangan.
3.
Industri dengan modal patungan (Joint Venture). Industri ini memperoleh modal dari kerja sama antara PMDN dan PMA, misalnya adalah industri otomotif dan industri tarnsportasi.
21 Klasifikasi Industri Berdasarkan Subjek Pengelola Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu: 1.
Industri Rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat, misalnya industri kerajinan dan industri makanan tradisional.
2.
Industri Negara, yaitu idustri yang dikelola dan merupakan milik negara atau dikenal dengan istilah badan usaha milik negara (BUMN), misalnya industri baja, industri pertambangan dan industri transportasi.
22
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelusuran data ketersediaan bekatul, data harga bahan pembuatan cookies bekatul, data harga cookies dan data harga alat pembuatan cookies dilakukan di perpustakaan IPB, Bogor. Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional adalah bekatul. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan tepung bekatul fungsional adalah tepung bekatul konvensional, aquadest dan asam askorbat. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu, margarin, mentega, tepung bekatul konvensional, tepung bekatul fungsional, leavening agent, susu skim, bubuk coklat, kayu manis, gula halus, kuning telur dan bubuk vanili. Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah cookies dengan campuran bekatul sesuai dengan formula yang ditetapkan. Uji proksimat yang dilakukan adalah uji kadar abu, kadar air, kadar protein, kadar karbohidrat by difference dan kadar lemak. Bahan yang digunakan untuk uji kadar air dan uji kadar abu adalah sampel yang akan diteliti. Bahan yang digunakan untuk uji kadar protein sampel yang akan diteliti adalah campuran selenium (selenium mix), larutan H2SO4, larutan indikator PP 1%, larutan indikator BCG.MM (5:1), larutan NaOH 30%, larutan H3BO3 2%, larutan HCl 0,01 N, dan air suling. Bahan yang digunakan untuk uji kadar lemak adalah sampel yang akan diteliti, larutan heksana, air suling, larutan HCl 25% dan kertas pH. Bahan yang diperlukan untuk uji kapasitas antioksidan adalah sampel yang akan dianalisis, larutan DPPH dan methanol 95%. Bahan yang diperlukan untuk uji kadar serat pangan adalah sampel bebas lemak, kapas bebas lemak, enzim pepsin, enzim pankreatin, larutan heksana, air suling, ethanol 96% dan aseton.
23 Alat Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional adalah autoklaf, oven, discmill dan ayakan 60 mesh. Peralatan yang diperlukan untuk pembuatan tepung bekatul fungsional adalah autoklaf, oven, discmill, ayakan 60 mesh dan tray oven. Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan cookies adalah mixer, oven, cetakan, sendok dan loyang. Peralatan yang digunakan untuk uji kadar air antara lain botol cawan aluminium, desikator, oven dan neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram. Peralatan yang digunakan untuk uji kadar abu antara lain cawan porselen, tanur, pemanas listrik, neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, desikator, sudip, dan pipet tetes. Peralatan yang digunakan untuk uji kadar protein adalah neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, labu destruksi, tabung destilasi, pipet Mohr 10 mL, alat destruksi, erlenmeyer 250 mL, Kjeltec, buret shelbach 50 mL, labu semprot, sudip, pipet tetes, gelas ukur 100 mL, batu didih, labu ukur 250 mL, corong, dan pipet volumetrik 25 mL. Peralatan yang digunakan untuk analisis lemak antara lain neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, desikator, pinggan lemak, soxhlet, timbel ekstraksi, oven, kapas bebas lemak, kertas saring, corong, erlenmeyer 250 mL, gelas ukur 50 mL, batu didih, pemanas listrik, kaca arloji besar, pengaduk, labu semprot dan sudip. Peralatan yang digunakan untuk uji kapasitas antioksidan adalah spektrofotometer, pipet mikro, rotavorator, dan sentrifuge. Peralatan yang dibutuhkan untuk menganalisis kadar serat pangan adalah pompa vakum dan penyaringnya, sudip, water bath, soxhlet, alu, mortar, neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram dan labu lemak.
24 Tahapan Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2. Analisis ketersediaan bekatul
Pembuatan Tepung Bekatul konvensional dan fungsional
Formulasi cookies tepung bekatul konvensional
Formula cookies kontrol
Formula cookies Bekatul I
Formulasi cookies tepung bekatul fungsional
Formula cookies Bekatul II
Formula cookies Bekatul III
Formula cookies Bekatul IV
Formula cookies Bekatul V
Uji organoleptik
Formula terpilih
Analisis zat gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan
Analisis Biaya pembuatan cookies
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian 1. Analisis Ketersediaan Bekatul Sebagai Sumber Karbohidrat Analisis ketersediaan bekatul dilakukan dengan cara penelusuran data produksi padi dan kemudian dikonversi menjadi data produksi bekatul. Data yang dibutuhkan adalah data produksi padi dan data penggunaan bekatul. Data penggunaan bekatul tidak tersedia sehingga ketersediaan bekatul diasumsikan dari produksi gabah kering giling (GKG) dengan faktor konversi 13,51%
25 (Damardjati 1988). Produksi energi dari bekatul dihitung dengan mengkonversi energi yang dihasilkan dari karbohidrat, lemak dan protein bekatul. Metode pembuatan tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional disajikan pada Lampiran 1. 2. Penentuan Formula Cookies Bekatul Penentuan formula cookies bekatul dilakukan setelah semua bahan baku yang diperlukan untuk membuat cookies bekatul tersedia lengkap. Penetapan formula cookies bekatul dari bekatul konvensional dan bekatul fungsinal dilakukan secara trial and error, yaitu mencari perbandingan komposisi tepung terigu dan tepung bekatul yang tepat, sehingga diperoleh perbandingan yang paling disukai oleh panelis (konsumen). Penambahan tepung bekatul ke dalam formula cookies juga disesuaikan dengan kebutuhan serat pada orang dewasa, yaitu 20-30 gram per hari (Almatsier 2004). Formula cookies dengan lima tingkat substitusi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Jumlah (gram) Bahan
Tepung bekatul Tepung terigu Gula halus Margarin Mentega Kuning telur Susu skim vanili Soda kue Bubuk coklat Bubuk kayu manis Jumlah (g)
Kontrol (F0)
Substitusi 25% (F1)
Substitusi 30% (F2)
Substitusi 35% (F3)
Substitusi 40% (F4)
Substitusi 45% (F5)
0
25
30
35
40
45
100
75
70
65
60
55
60 50 25
60 50 25
60 50 25
60 50 25
60 50 25
60 50 25
20
20
20
20
20
20
13 1 0,5
13 1 0,5
13 1 0,5
13 1 0,5
13 1 0,5
13 1 0,5
5
5
5
5
5
5
2
2
2
2
2
2
276,5
276,5
276,5
276,5
276,5
276,5
Batas atas dan bawah ditetapkan berdasarkan trial and error . Kandungan serat yang tinggi pada tepung bekatul dapat mempengaruhi tekstur cookies. Berdasarkan hasil trial and eror yang dilakukan, diperoleh tingkat substitusi maksimum yang dapat digunakan dalam pembuatan cookies bekatul, yaitu sebesar 45%. Substitusi tepung bekatul yang melebihi 45% dari tepung terigu
26 memberikan aftertaste pahit yang berlebihan. Cookies yang dihasilkan juga menjadi lebih keras dan sukar dibentuk. Oleh karena itu, digunakan lima tingkat substitusi cookies bekatul yaitu 25%, 30%, 35%, 40% dan 45%. Proses pembuatan cookies bekatul terdiri dari beberapa tahap, yaitu penimbangan bahan, pencampuran bahan (mixing), pencetakan adonan, pemanggangan dengan oven, pendinginan (cooling) dan pengemasan (packing). Pencampuran bahan dilakukan dengan mixer. Pemanggangan dilakukan pada suhu 1600C selama 15 menit. Adapun skema proses pembuatan cookies bekatul dapat dilihat pada Gambar 3. margarin, mentega, gula halus, kuning telur
dicampur dengan mixer soda kue, susu skim, bubuk coklat, bubuk kayu manis
tepung bekatul, tepung terigu
dicampur dengan mixer
dicetak
dipanggang 1600C, 15 menit
didinginkan
cookies bekatul Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies bekatul (Modifikasi Saputra 2008) 3. Uji Organoleptik Cookies Bekatul Formula Cookies bekatul yang telah dibuat kemudian diuji organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) kepada 30 orang panelis yang agak terlatih (semi terlatih). Uji mutu hedonik tidak dapat menggunakan panelis konsumen karena bukan merupakan uji preferensi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian panelis terhadap produk cookies
27 bekatul yang dihasilkan. Uji mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan pada cookies bekatul. Kedua uji ini dilakukan menggunakan skala garis 1-9. Formulir uji organoleptik yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji hedonik digunakan untuk menentukan formula (produk) terpilih berdasarkan nilai rata-rata dan persentase penerimaan dari masing masing komponen rasa, warna, aroma, dan tekstur. Hasil formula terpilih akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, yaitu analisis zat gizi dan analisis ekonomi cookies formula terpilih. 4. Analisis Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Formula cookies bekatul yang terpilih dari substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional dianalisis secara kimia. Sifat kimia yang dianalisis meliputi kadar air dengan metode oven, kadar abu dengan metode pengabuan kering, kadar lemak dengan metode soxhlet, serat pangan dengan metode enzimatis, kadar protein metode mikrokjedahl dan analisis aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3. 5. Analisis Biaya Pembuatan Cookies Analisis biaya pembuatan cookies dilakukan untuk menentukan harga jual cookies formula terpilih. Analisis ini dilakukan untuk skala industri kecil. Analisis biaya pembuatan membutuhkan data harga bahan baku pembuatan cookies, harga kemasan, upah tenaga kerja dan harga alat untuk pembuatan cookies beserta kapasitas alat tersebut. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu substitusi tepung bekatul, baik tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional. Terdapat dua jenis cookies, yaitu
cookies tepung bekatul konvensional dan
cookies bekatul fungsional yang dianalisis secara terpisah. Peubah respon yang diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa dari cookies bekatul. Secara sistematis, bentuk umum dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut: Yij = μ + τi + εij Yij
:peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
μ
:nilai rata-rata umum
28 τi
:pengaruh tingkat substitusi tepung terigu dengan masing-masing tepung bekatul konvensional atau fungsional pada taraf ke-i
εij
:galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
:banyak taraf tingkat substitusi tepung bekatul terhadap tepung terigu (i=0%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%)
j
:banyak ulangan (j=1, 2..) Pengolahan dan Analisis Data Kandungan energi cookies ditentukan dengan cara menjumlahkan [(kadar
karbohidrat (g) x 4 + (kadar protein (g) x 4) + (kadar lemak (g) x 9)]. Hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan tingkat kesukaan panelis terhadap formula cookies. Analisis pengaruh masing-masing jenis formula terhadap mutu hedonik dan tingkat kesukaan panelis terhadap cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan dengan uji Analysis of Variance (ANOVA). Apabila hasil analisis ANOVA menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparison. Masing masing cookies dengan substitusi jenis tepung bekatul yang berbeda dianalisis statistik secara terpisah. Analisis biaya pembuatan dilakukan untuk menentukan harga cookies bekatul konvensional dan fungsional.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat Produksi padi di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berarti produksi bekatul juga mengalami peningkatan. Produksi padi pada tahun 2004 mencapai 54.088.468 ton atau menghasilkan bekatul sebesar 7.307.352 ton. Produksi ini terus mengalami penigkatan di tahun berikutnya. Hasil produksi padi dan bekatul dari tahun 2006-2009 serta angka pertumbuhannya disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional Tahun
Produksi Padi (ton)
2005 54.151.097 2006 54.454.937 2007 57.157.435 2008 60.325.925 2009 64.398.890 Sumber: Departemen Pertanian (2010)
Produksi Bekatul (ton) 7.315.813 7.356.862 7.721.970 8.150.032 8.700.290
Laju Pertumbuhan Produksi Bekatul (%) 0,11 0,56 4,96 5,54 6,75
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi bekatul cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup signifikan dimulai pada tahun 2007 dibandingkan pada tahun 2006 dan tahun 2005. Angka pertumbuhan produksi bekatul pada tahun 2007 adalah sebesar 4,96%. Angka tersebut meningkat pada tahun 2008 (5,54%) dan meningkat lagi pada tahun 2009 (6,75%). Potensi pemanfaatan bekatul masih sangat besar karena produksi bekatul cukup tinggi di Indonesia. Angka produksi bekatul juga cenderung meningkat setiap tahun sehingga peluang pemanfaatan bekatul juga sangat besar. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih sangat terbatas padahal bekatul bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung komponen fitokimia tokoferol (vitamin E) yang penting untuk menjaga kesehatan manusia serta bersifat antioksidan sehingga dapat melindungi dari kerusakan oksidatif. Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan bekatul lebih dari 1 juta ton per tahun. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur juga merupakan sentra produksi padi di pulau Jawa dengan jumlah produksi padi mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun. Daerah diluar pulau jawa, khususnya Sulawesi selatan, Sumatera selatan dan Sumatera utara juga mempunyai produksi padi dan bekatul yang cukup besar. Produksi bekatul yang besar
30 menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi hasil samping dari penggilingan padi. Masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai makanan tetapi menggunakannya sebagai bahan pakan ternak. Perkiraan produksi bekatul di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2010 Produksi Padi Produksi Bekatul Energi* No Nama Propinsi (ton) (ton) (juta Kal) Nanggroe Aceh 1 1.627.545,00 219.881,00 368.042,00 Darussalam 2 Sumatera Utara 3.586.861,00 484.585,00 811.109,00 3 Sumatera Barat 2.192.288,00 296.178,00 495.749,00 4 Riau 545.541,00 73.703,00 123.366,00 5 Jambi 658.271,00 88.932,00 148.856,00 6 Sumatera Selatan 3.249.334,00 438.985,00 734.783,00 7 Bengkulu 512.212,00 69.200,00 115.829,00 8 Lampung 2.701.699,00 365.000,00 610.945,00 9 Bangka Belitung 25.534,00 3.450,00 5.775,00 10 Kepulauan Riau 1.009,00 136,00 228,00 11 DKI Jakarta 11.760,00 159,00 266,00 12 Jawa Barat 11.650.160,00 1.573.937,00 2.634.491,00 13 Jawa Tengah 10.079.212,00 1.361.702,00 2.279.248,00 14 DI Yogyakarta 830.545,00 112.207,00 187.815,00 15 Jawa Timur 11.375.779,00 1.536.868,00 2.572.444,00 16 Banten 2.048.152,00 276.705,00 463.155,00 17 Bali 846.896,00 114.416,00 191.512,00 18 Nusa Tenggara Barat 1.779.187,00 240.368,00 402.333,00 19 Nusa Tenggara Timur 540.771,00 73.058,00 122.286,00 20 Kalimantan Barat 1.358.292,00 183.505,00 307.155,00 21 Kalimantan Tengah 644.781,00 87.110,00 145.807,00 22 Kalimantan Selatan 1.944.888,00 262.754,00 439.804,00 23 Kalimantan Timur 580.654,00 78.446,00 131.305,00 24 Sulawesi Utara 589.238,00 79.606,00 133.246,00 25 Sulawesi Tengah 986.126,00 133.226,00 222.997,00 26 Sulawesi Selatan 4.273.767,00 577.386,00 966.442,00 27 Sulawesi Tenggara 455.200,00 615,00 1.029,00 28 Gorontalo 255.215,00 34.480,00 57.713,00 29 Sulawesi Barat 364.670,00 4.927,00 8.247,00 30 Maluku 78.761,00 10.641,00 17.811,00 31 Papua 102.861,00 13.897,00 23.261,00 32 Maluku Utara 47.593,00 6.430,00 10.763,00 33 Papua Barat 35.868,00 4.846,00 8.111,00 Total 65.980.670,00 8.807.339,00 14.741.923,00 Sumber: Departemen Pertanian (2010) Keterangan: *)Dihitung dari kandungan karbohidrat, protein dan lemak bekatul Produksi bekatul untuk propinsi di pulau Kalimantan dan Papua lebih kecil daripada di pulau Jawa. Propinsi Kalimantan Selatan menghasilkan bekatul
31 paling besar daripada propinsi lainnya di pulau Kalimantan. Pemanfaatan bekatul masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan pakan untuk hewan ternak. Bekatul sebagai bahan pakan ternak, harganya masih relatif murah, yaitu Rp. 1500,00 per kg. Data penggunaan bekatul belum tersedia karena bekatul merupakan produk sisa atau hasil samping dalam produksi beras. Secara umum penggunaan bekatul adalah sebagai bahan pakan ternak. Salah satu penggunaan bekatul sebagai bahan pangan yang diketahui adalah penggunaan bekatul sebagai bahan pangan fungsional berupa tepung bekatul yang bermanfaat untuk kesehatan dengan pusat produksi di Bandung, Jawa Barat. Produksi bekatul yang besar juga menggambarkan potensi bekatul yang besar juga untuk dimanfaatkan selain sebagai pakan. Peluang pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan asumsi masyarakat yang masih menganggap bekatul sebagai bahan pakan ternak. Pengetahuan masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan masih terbatas. Dengan demikian pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan juga sebaiknya diiringi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan melalui berbagai media sehingga lebih efektif. Data penggunaan bekatul sebagai bahan pangan fungsional juga masih sangat terbatas. Bekatul apabila dimanfaatkan sebagai bahan pangan juga dapat memberikan sumbangan energi yang cukup besar. Sumbangan energi dari bekatul untuk seluruh propinsi di Indonesia dapat mencapai 14.741.923,00 juta Kal. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.556.363 (BPS 2010). Sumbangan energi dari bekatul per kapita untuk tahun 2010 adalah 62.056,00 Kal/kapita/tahun. Kandungan energi beras giling dan tepung terigu masing-masing adalah 360 Kal/100gram dan 365 Kal/100gram (DKBM 2004). Sumbangan energi dari bekatul per tahun dapat menggantikan 40.950,00 ton beras per tahun atau 40.405,27 ton tepung terigu per tahun. Angka tersebut menggambarkan potensi bekatul yang cukup besar sebagai bahan pangan sumber karbohidrat pengganti beras atau tepung terigu. Substitusi tepung terigu dari cookies sebesar 35% terhadap tepung terigu atau 12,66% terhadap seluruh total adonan dapat menyumbang energi per hari 32,04 Kal/hari untuk tepung bekatul konvensional atau 30,42 Kal/hari untuk tepung bekatul fungsional. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seluruh
32 kontribusi makanan selingan diperoleh dari cookies bekatul konvensional atau cookies bekatul fungsional. Sumbangan energi tepung bekatul baik tepung bekatul konvensional maupun tepung bekatul fungsional yang diperoleh dari cookies per hari jika diaplikasikan ke dalam konsep pola pangan harapan (PPH), maka dapat menyumbang energi sebesar 3,20% untuk tepung bekatul konvensional atau 3,04% untuk tepung bekatul fungsional terhadap skor PPH ideal. Hal ini didasarkan pada asumsi, skor PPH untuk golongan serealia idealnya adalah 50 atau setara dengan energi 1000Kal/hari. Pembuatan Cookies Bekatul Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan dengan metode krim (creaming method). Pada metode krim, semua bahan tidak dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih dahulu kemudian bahan yang lain. Adonan yang dibentuk dengan metode krim lebih lembut daripada menggunakan metode all-in. Metode all-in mempunyai keunggulan lebih
mudah
dan
cepat
dilakukan
daripada
metode
krim.
0
Pemanggangan cookies dilakukan pada suhu 160 C selama 15 menit dengan indikator cookies sudah harum dan keras. Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu. Tepung bekatul yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu adalah tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional 60 mesh. Ukuran ini lebih besar daripada ukuran tepung terigu, yaitu 100 mesh sehingga tepung bekatul tidak dapat tercampur dengan rata karena ukuran partikel yang berbeda. Tingkat subtstitusi yang digunakan dalam pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional ada 5 taraf, yaitu 25%(F1), 30%(F2), 35%(F3), 40%(F4) dan 45%(F5). Penentuan tingkat substitusi ini dilakukan dengan trial and error. Substitusi tepung terigu yang melebihi 45% menyebabkan rasa cookies menjadi sangat pahit dan teksturnya pecah dan keras. Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies bekatul adalah tepung terigu, tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional, gula halus, margarin, mentega, kuning telur, susu skim, vanili, soda kue, bubuk coklat dan bubuk kayu manis. Pada pembuatan cookies tidak dilakukan penambahan air. Vanili (0,4%), bubuk coklat (1,8%) dan bubuk kayu manis (0,7%) ditambahkan dengan tujuan untuk mengurangi aftertaste pahit dari tepung bekatul yang digunakan.
33 Tahapan pertama pembuatan cookies bekatul adalah pencampuran bahan penyusunnya. Lemak (margarin dan mentega) dan gula dicampur lebih dahulu dengan menggunakan mixer kemudian ditambahkan susu skim, soda kue, coklat bubuk, vanili. Setelah tercampur rata maka dapat ditambahkan tepung terigu dan tepung bekatul yang sebelumnya dicampur lebih dahulu. Adonan siap untuk dicetak kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan dengan ketebalan yang seragam (0,50 cm). Ketebalan yang berbeda membuat cookies menjadi tidak seragam sehingga tidak matang secara bersamaan atau merata. Pada saat pencetakan, semakin tinggi tingkat substitusi tepung bekatul, maka adonan akan semakin keras dan sukar dicetak. Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang tinggi pada tepung bekatul sehingga membuat adonan menjadi lebih mudah pecah. Tahap selanjutnya adalah tahap pemanggangan dengan menggunakan oven. Suhu yang digunakan adalah 1600C selama 15 menit. Setelah matang, cookies diangkat dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, cookies dikemas agar tidak terjadi reaksi dengan oksigen luar. Selain waktu juga digunakan parameter lain untuk menentukan kematangan cookies, yaitu kekerasan cookies dan aroma. Penambahan cookies bekatul berpengaruh terhadap waktu pemanggangan. Cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional memiliki waktu pemanggangan yang lebih lama dibandingkan cookies kontrol dan cookies bekatul fungsional. Hal ini disebabkan karena kadar air cookies bekatul konvensional jauh lebih tinggi (9,97%) dibandingkan tepung bekatul fungsional (2,34%) dan tepung terigu (1,9%). Karakteristik Organoleptik Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Uji organoleptik cookies bekatul dilakukan melalui uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) panelis terhadap mutu warna, mutu aroma, mutu rasa dan mutu tekstur cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan lima tingkat substitusi tepung bekatul, yaitu 25% (F1), 30% (F2), 35% (F3), 40% (F4) dan 45% (F5), serta kontrol atau substitusi 0% (F0). Panelis berjumlah 30 orang, yang semuanya berprofesi sebagai mahasiswa. Panelis mahasiswa ini termasuk dalam panelis semi atau agak terlatih. Hal ini didasarkan pada seringnya panelis menjadi panelis uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan menggunakan skala garis, 1 sampai 9. Makna dari masing-masing skala tersebut diasjikan pada Lampiran 2. Uji hedonik juga dilakukan untuk menentukan formula terpilih terutama dengan menggunakan tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan.
34 Jenis cookies yang akan dipilih adalah cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional paling besar yang tidak berbeda nyata dengan cookies kontrol secara statistik. Uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung bekatul konvensional maupung tepung bekatul fungsional terhadap mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Pada uji mutu hedonik parameter yang diuji meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Pada parameter warna digunakan skala 1=amat sangat coklat hingga 9=amat sangat kuning, untuk aroma digunakan skala 1=amat sangat apek (berbau bekatul) hingga 9=amat sangat harum, parameter rasa menggunakan skala 1=amat sangat pahit (terasa bekatul) 9=amat sangat terasa manis dan untuk parameter tekstur menggunakan skala 1=amat sangat keras hingga 9=amat sangat renyah. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik cookies bekatul konvensional untuk parameter warna, aroma, rasa manis dan rasa asin serta tekstur pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Uji Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Formula Warna Aroma Rasa Tekstur F0 3,93a 6,29a 6,11a 6,69a a a a F1 3,57 5,74 5,56 6,37a F2 3,86a 5,00a 5,44a 6,44a a a a F3 3,09 5,26 5,45 6,15a a a a F4 3,75 5,09 4,56 4,87a a a a F5 2,46 4,72 4,91 5,02a Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Warna adalah variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk pangan. Warna pada cookies bekatul ditentukan oleh komposisi bahannya. Cookies bekatul berwarna coklat karena warna bubuk coklat yang digunakan dalam pembuatan cookies. Hasil uji mutu hedonik terhadap mutu warna cookies bekatul konvensional berkisar antara 2,46-3,93. Nilai ini berkisar amat coklat sampai agak coklat. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu warna cookies yang semakin coklat. Cookies kontrol (F0) memiliki warna coklat mendekati agak coklat. Cookies yang
35 disubstitusi tepung bekatul konvensional 20% (F1), 25% (F2), 30% (F3) berwarna coklat sampai agak coklat. Cookies dengan substitusi tepung bekatul konvensional 35% (F4) memiliki warna sangat coklat. Warna coklat pada cookies kontrol (F0) dan cookies dengan substitusi tepung bekatul konvensional disebabkan oleh penambahan bubuk coklat. Warna sangat coklat pada cookies bekatul
konvensional
dengan
substitusi
35%
(F4)
disebabkan
karena
penambahan tepung bekatul konvensional yang paling besar komposisinya dibandingkan
dengan
formula
yang
lain.
Tepung
bekatul
konvensional
menyebabkan warna coklat semakin tua. Aroma. Aroma adalah bau yang ditimbulkan rangsangan kimia yang tercium olah syaraf-syaraf olfaktori dalam rongga hidung. Bekatul mempunyai aroma yang khas, yaitu apek. Aroma produk pangan ditimbulkan dari bahan pembuatannya. Cookies bekatul memiliki aroma yang khas, yaitu aroma kayu manis (harum) dan aroma dari lemak margarin dan mentega. Kayu manis juga ditambahkan untuk menutupi aroma apek pada bekatul. Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma cookies bekatul konvensional adalah 4,72-6,29 atau berada pada kisaran agak berbau apek sampai harum. Peningkatan substitusi tepung bekatul konvensional menyebabkan aroma apek bekatul semakin tercium. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu aroma cookies bekatul konvensional. Nilai rata-rata mutu aroma tertinggi (6,29) yaitu pada kisaran agak harum dimiliki oleh cookies kontrol (F0). Hal ini mengindikasikan bahwa menurut panelis, cookies F0 mempunyai aroma paling harum dibandingkan formula lainnya. Nilai rata-rata mutu aroma terendah dimiliki oleh formula cookies bekatul konvensional F5 yang mempunyai tingkat substitusi
tepung
bekatul
konvensional
yang
paling
tinggi.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa menurut panelis, cookies F5 mempunyai aroma bekatul paling kuat dibandingkan dengan formula lainnya. Rasa. Rasa adalah faktor penting yang menyebabkan makanan diterima atau ditolak dalam penilaian. Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu mempengaruhi rasa cookies. Tepung bekatul konvensioal dan fungsional mempunyai aftertaste pahit.
36 Hasil penilaian mutu organoleptik terhadap parameter rasa cookies bekatul konvensional berada pada kisaran 4,91-6,11, yaitu pada kisaran agak pahit sampai agak manis. Nilai rata-rata mutu rasa terendah (4,91) dimiliki cookies F5 dan nilai rata-rata mutu rasa tertinggi dimiliki oleh cookies bekatul konvensional formula F0. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul konvensional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu rasa. Tekstur. Tekstur adalah variabel yang berpengaruh terhadap penerimaan produk pangan. Tekstur makanan yang dapat dinilai dapat berupa kekerasan, kerenyahan dan keelastisan. Penilaian terhadap mutu tekstur cookies yang dilakukan adalah kekerasan cookies. Substitusi tepung bekatul konvensional maupun tepung bekatul fungsional memberikan pengaruh terhadap tekstur cookies karena tepung bekatul konvensional dan fungsional mempunyai serat yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. Hasil penilaian organoleptik mutu tekstur cookies berkisar antara 4,876,69 atau berada pada kisaran agak keras sampai agak renyah. Nilai mutu tekstur rata-rata terendah dimiliki oleh cookies bekatul konvensional F4, yaitu 4.87 atau berada dikisaran agak keras mendekati biasa (keras tidak renyah pun tidak). Nilai mutu rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies bekatul konvensional F0 (6,69) atau berada pada kisaran agak renyah mendekati renyah.
Hasil sidik
ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu tekstur cookies. Nilai rata-rata mutu tekstur cookies menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat substitusi tepung bekatul konvensional maka mutu tekstur cenderung semakin rendah (semakin keras). Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang tinggi pada tepung bekatul konvensional, yaitu 26.5% (Nurhayati 2009). Serat terdiri atas komponen serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Kandungan serat pangan berupa hemiselulosa mempunyai struktur yang kokoh sehingga membuat tekstur cookies menjadi lebih keras. Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Pada uji mutu hedonik cookies bekatul fungsional parameter yang diuji meliputi mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Pada parameter warna digunakan skala 1=amat sangat coklat hingga 9=amat sangat kuning, untuk aroma digunakan skala 1=amat sangat apek (berbau bekatul) hingga 9=amat sangat harum, parameter rasa menggunakan skala 1=amat sangat pahit (terasa
37 bekatul) 9=amat sangat terasa manis dan untuk parameter tekstur menggunakan skala 1=amat sangat keras hingga 9=amat sangat renyah. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik cookies bekatul konvensional untuk parameter warna, aroma, rasa manis dan rasa asin serta tekstur pada setiap formula disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Uji Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Formula Warna Aroma Rasa Tekstur b b bc F0 4,76 5,64 5,65 4,97a b ab abc F1 4,21 4,72 5,07 5,18a F2 4,23b 5,12b 5,51bc 4,74a b ab c F3 4,27 6,02 5,76 5,11a a ab ab F4 3,41 5,70 4,84 5,05a a a a F5 2,93 5,15 4,30 5,31a Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Uji mutu hedonik terhadap parameter warna cookies bekatul fungsional berkisar antara 2,93-4,76. Nilai ini berkisar sangat coklat sampai agak coklat. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu warna cookies yang semakin coklat. Cookies F0 memiliki warna agak coklat. Cookies yang disubstitusi tepung bekatul fungsional 45% berwarna sangat coklat mendekati coklat. Warna cookies bekatul fungsional F5 memiliki warna coklat paling tua. Cookies dengan substitusi bekatul fungsional 20% (F1), 25% (F2) dan 30% (F3) memiliki warna agak coklat. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi bekatul fungsional berpengaruh sangat nyata (α<0,01) terhadap mutu warna cookies bekatul fungsional. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa mutu warna formula cookies bekatul fungsional F0, F1, F2, F3 adalah tidak berbeda nyata, sedangkan mutu warna cookies F0 adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F4 dn F5. Demikian pula warna cookies F1, F2 dan F3 adalah berbeda nyata dengan warna cookies F4 dan F5. Mutu warna cookies F4 dan F5 adalah tidak berbeda nyata. Aroma. Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter aroma cookies bekatul fungsional menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma cookies adalah 4,726,02 atau berada pada kisaran agak berbau apek sampai agak harum. Peningkatan substitusi tepung bekatul fungsional menyebabkan aroma cookies semakin apek. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan
38 tingkat substitusi tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap mutu aroma cookies. Nilai rata-rata mutu aroma tertinggi (6,02) yaitu pada kisaran agak harum dimiliki oleh cookies kontrol (F0). Hal ini mengindikasikan bahwa menurut panelis,
cookies F0 mempunyai aroma paling harum
dibandingkan formula lainnya. Nilai rata-rata mutu aroma terendah dimiliki oleh cookies F5 yang mempunyai tingkat substitusi tepung bekatul konvensional yang paling tinggi yang mengindikasikan bahwa aroma cookies paling apek dibandingkan formula lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa menurut panelis, cookies F5 mempunyai aroma bekatul yang paling kuat dibandingkan dengan formula lainnya. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa mutu aroma cookies bekatul fungsional formula F0, F1, F2, F3, dan F4 adalah tidak berbeda nyata, sedangkan mutu aroma cookies bekatul fungsional F5 adalah berbeda nyata dengan cookies formula F0 (kontrol). Rasa. Hasil uji mutu hedonik terhadap mutu rasa cookies bekatul fungsional berada pada kisaran 4,30-5,84, yaitu pada kisaran agak pahit sampai biasa (pahit tidak manis pun tidak). Nilai mutu rata-rata terendah dimiliki oleh cookies F5 (4,30) yaitu pada kisaran agak pahit. Nilai mutu rasa tertinggi dimiliki oleh cookies F3. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap mutu rasa cookies. Cookies bekatul fungsional formula F0, F1, F2, F3 dan F4 adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 4). Cookies bekatul fungsional F5 adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F3 dan F0. Tekstur. Hasil penilaian organoleptik mutu tekstur cookies bekatul fungsional berkisar antara 4,74-5,31 atau berada pada kisaran agak keras sampai biasa. Nilai mutu rata-rata terendah dimiliki oleh cookies F2, yaitu 4,74 atau berada dikisaran agak keras. Nilai mutu rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies F5 (5,31) atau berada pada kisaran biasa (keras tidak renyah pun tidak). Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu tekstur cookies. Hedonik (kesukaan) Cookies Bekatul Konvensional Pada uji hedonik
cookies bekatul konvensional, parameter yang diuji
adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan (overall) cookies. Skala yang digunakan berkisar antara 1 sampai 9, yaitu berkisar antara amat sangat
39 tidak suka sampai amat sangat suka. Hasil uji hedonik cookies bekatul konvensional disajikan secara rinci pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Uji Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Formula Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan F0 6,07a 6,44a 6,35a 6,27a 6,54a a ab a a F1 6,07 5,95 6,13 6,60 6,51a a ab a a F2 5,94 5,78 5,95 6,35 6,23a a ab a a F3 5,37 6,06 5,55 6,24 5,85a a b a a F4 5,35 5,20 4,32 3,81 4,40b F5 5,22a 5,31b 4,55a 5,08a 5,04b Keterangan
:Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Hasil penilaian organoleptik menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat
kesukaan
panelis
terhadap
parameter
warna
cookies
bekatul
konvensional berkisar antara 5,22-6,07 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Cookies bekatul konvensional F0 dan F1 memiliki nilai kesukaan terhadap warna tertinggi (6,07) atau pada kisaran agak suka. Cookies bekatul konvensional F5 memiliki nilai kesukaan terendah (5,22) yaitu pada kisaran biasa. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi bekatul konvensional terhadap cookies adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk parameter warna pada cookies bekatul konvensional. Aroma. Penilaian organoleptik tingkat kesukaan panelis terhadap aroma cookies bekatul konvensional memiliki nilai rata-rata 5,31-6,44 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Cookies bekatul konvensional F0 mempunyai tingkat kesukaan tertinggi (6,44) sedangkan cookies bekatul konvensional F5 mempunyai tingkat kesukaan aroma terendah (5,31). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul konvensional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma pada cookies bekatul konvensional. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa cookies bekatul konvensional F0, F1, F2, F3, F4 adalah tidak berbeda nyata sedangkan cookies bekatul
konvensional F5 adalah berbeda nyata
dengan cookies bekatul konvensional F0. Rasa. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa cookies bekatul konvensional adalah 4,32-6,35 aau agak tidak suka sampai dengan agak
40 suka. Cookies bekatul konvensional F4 memiliki nilai kesukaan terendah yaitu 4,32 atau agak tidak suka sedangkan cookies F0 memiliki nilai kesukaan tertinggi yaitu 6,35 atau agak suka. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan terhadap rasa cookies bekatul konvensional Tekstur. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur cookies bekatul konvensional adalah 3,81-6,60 atau berkisar tidak suka sampai dengan agak suka. Nilai kesukaan terhadap tekstur terendah dimiliki oleh cookies bekatul konvensional F4 (3,81) atau tidak suka. Nilai kesukaan tertinggi dimiliki oleh cookies F1 (6,60) atau agak suka. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukan panelis terhadap tekstur cookies bekatul konvensional. Keseluruhan. Variabel keseluruhan adalah penilaian panelis yang yang berupa kombinasi variabel penerimaan panelis terhadap parameter warna, aroma, rasa dan tekstur. Nilai kesukaan terhadap keseluruhan adalah acuan yang digunakan untuk menentukan formula terpilih. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan cookies bekatul konvensional berada pada kisaran 4,04-6,54 atau pada kisaran agak tidak suka sampai agak suka. Cookies bekatul konvensional F0 memiliki nilai kesukaan tertinggi (6,54) secara keseluruhan sedangkan cookies F4 memiliki nilai kesukaan terendah (4,40). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukan panelis secara keseluruhan cookies bekatul Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa bekatul
konvensional. Hasil uji lanjut
tingkat kesukaan terhadap cookies
konvensional F0, F1, F2 dan F3 adalah tidak berbeda nyata tetapi
keempat formula tersebut adalah berbeda nyata dengancookies formula F4 dan F5. Cookies bekatul konvensional F5 dan F4 adalah tidak berbeda nyata. Hedonik (kesukaan) Cookies Bekatul Fungsional Parameter yang diuji hedonik adalah tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan cookies bekatul fungsional. Skala yang digunakan juga berkisar antara 1 sampai 9. Keterangan skala tersebut disajikan pada Lampiran 2. Parameter 1 sampai 9 berkisar antara amat sangat suka sampai amat sangat tidak suka. Hasil uji hedonik digunakan untuk melihat
41 penerimaan panelis terhadap cookies dan digunakan untuk menentukan formula cookies terpilih. Hasil uji hedonik cookies bekatul fungsional disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Uji Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Formula Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan F0 6,13a 5,75a 5,71ab 4,12a 4,93a ab a abc a F1 5,48 5,40 5,16 4,30 4,83ab ab a bc a F2 5,70 5,35 4,83 4,12 4,47ab ab a a a F3 5,79 6,08 5,79 4,86 5,75ab ab a abc a F4 5,66 5,54 5,02 4,53 5,15ab b a c a F5 5,10 4,92 4,75 4,10 4,71b Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)
Warna. Hasil uji hedonik terhadap mutu warna cookies bekatul fungsional berkisar antara 5,10-6,13. Cookies F0 mempunyai nilai rata-rata kesukaan tertinggi (6,13) atau pada skala agak suka sedangkan F5 memiliki nilai rata-rata kesukaan terendah (5,10) atau biasa. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan
perbedaan
tingkat
substitusi
tepung
bekatul
fungsional
berpengaruh sangat nyata (α<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna cookies. Uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan F0, F1, F2, F3 adalah tidak berbeda nyata, sedangkan F4 dan F5 adalah berbeda nyata dengan F0 (α<0,05). Aroma. Hasil penilaian organoleptik tingkat kesukaan panelis terhadap aroma cookies bekatul fungsional memiliki nilai rata-rata 4,92-6,08 atau berada pada kisaran agak tidak suka sampai agak suka. Nilai rata-rata tertinggi (6,08) atau agak suka dimiliki cookies F3. Cookies bekatul fungsional F5 memiliki tingkat kesukaan rata-rata terendah (4,92) atau berada pada kisaran agak tidak suka. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul fungsional adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan mutu aroma cookies bekatul fungsional. Rasa. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa cookies bekatul fungsional adalah 4,75-5,79. Nilai kesukaan terendah dimiliki oleh cookies F5 (4,75) atau agak tidak suka. Nilai kesukaan tertinggi (5,79) dimiliki cookies F3 atau biasa. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
42 tingkat kesukaan terhadap cookies bekatul fungsional F0, F1, F2 dan F3 adalah tidak berbeda nyata. Tingkat kesuaan cookies bekatul fungsional F4 adalah tidak berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F0 tetapi berbeda nyata dengan tingkat kesukaan cookies bekatul fungsional F3. Tingkat kesukaan cookies bekatul fungsional F5 adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F3 dan F0. Tekstur. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur cookies bekatul fungsional
adalah 4,10-4,86 atau pada kisaran tidak suka. Nilai
kesukaan tertinggi dimiliki cookies F3 sedangkan nilai kesukaan terendah dimiliki oleh cookies F5. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukan panelis pada tekstur cookies bekatul fungsional. Cookies bekatul fungsional cenderung memiliki tekstur yang lebih keras daripada cookies bekatul konvensional. Hal ini disebabkan oleh kandungan air tepung bekatul fungsional yang rendah tetapi memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga membuat teksturnya menjadi lebih keras. Meskipun bekatul mempunyai kandungan protein yang tinggi, tetapi tidak membuat tekstur cookies lebih mengembang dan lunak karena jenis proteinnya bukan gluten seperti pada tepung terigu. Protein yang berpengaruh terhadap pengembangan adonan cookies adalah gluten. Keseluruhan. Variabel keseluruhan adalah penilaian panelis yang berupa kombinasi variabel penerimaan panelis terhadap parameter warna, aroma, rasa dan tekstur. Nilai kesukaan terhadap keseluruhan adalah acuan yang digunakan untuk menentukan formula terpilih. Formula terpilih ditentukan berdasarkan hasil sidik ragam yang tidak berbeda nyata dengan cookies F0 tetapi memiliki tingkat substitusi tepung bekatul fungsional yang teringgi. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan cookies bekatul fungsional berada pada kisaran 4,47-5,75 atau pada kisaran agak tidak suka sampai agak suka. Cookies bekatul fungsional F3 memiliki nilai kesukaan tertinggi (5,75) secara keseluruhan sedangkan cookies bekatul fungsional F2 memiliki nilai kesukaan terendah (4,47). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukan panelis secara keseluruhan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan cookies bekatul fungsional F0, F1, F2, F4 dan F5 adalah tidak berbeda nyata. Cookies bekatul
43 fungsional F3 dan F4 berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 4) adalah tidak berbeda nyata. Kandungan Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Kandungan gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies kontrol dan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional formula terpilih disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan Gizi, Serat Pangan dan kapasitas Antioksidan Cookies F0 dan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Terpilih Cookies Bekatul Cookies Bekatul Cookies F0 Konvensional Fungsional Komponen SNI* %bb %bk %bb %bk %bb %bk Air 2,36a 3,21a 2,94a - Maks 5 Abu 1,75 1,79a 3,02 3,12b 2,92 3,01b Maks 1,5 Protein 6,99 7,16a 7,32 7,56a 6,46 6,66a Min 9 a a Lemak 26,14 26,78 28,88 29,84 28,24 29,09a Min 9,5 b a Karbohidrat - 61,91 - 56,26 - 58,31a Maks 70 Total Serat 3,30 3,38a 9,78 10,10b 10,53 10,85b Pangan 32,13 33,19b 31,68 32,64b AEAC 27,06 27,71a Kapasitas 60,58 70,87 69,03 - antioksidan Energi - 518,50 - 527,30 - 517,80 Min 400 (kkal) Keterangan
: * SNI 01-2973-1992 (biskuit) bb = basis basah; bk = basis kering Nilai rata-rata sebaris yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Nilai gizi suatu produk rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama dan sesudah proses pengolahan. Selama proses pengolahan terjadi kerusakan zat gizi dalam pangan. Kadar zat gizi yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Selain itu, juga dianalisis kadar serat pangan dan kapasitas antioksidan. Kadar karbohidrat ditentukan dengan mengurangkan nilai 100% dengan kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak dan kadar serat pangan. Kandungan zat gizi tersebut dibandingkan dengan SNI untuk biskuit yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Analisis proksimat juga digunakan untuk menentukan kandungan energi cookies. Kadar air Kadar air yang terdapat dalam produk pangan akan mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa. Kadar air cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional masing-masing adalah 3,21% bb dan 2,94% bb. Hasil
44 uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa substitusi tepung terigu dengan tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional dalam pembuatan cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar air cookies. Kadar air kedua jenis cookies ini masih memenuhi SNI, yaitu maksimum 5%. Kadar air pada cookies bekatul konvensioal dan fungsional cenderung lebih tinggi daripada kadar air cookies kontrol (2,36% bb). Hal ini disebabkan karena kadar air tepung bekatul konvensional dan fungsional yang digunakan untuk substitusi tepung terigu lebih tinggi daripada tepung terigu itu sendiri (Nurhayati 2010). Kadar air menentukan kerenyahan cookies sehingga akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Kandungan air yang tinggi akan membuat cookies menjadi tidak renyah. Kadar air yang berkisar antara 3-7% akan mencapai kestabilan optimum sehingga pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang merusak bahan dapat dikurangi (Winarno 1997). Kadar air umumnya berbanding lurus dengan aw, yaitu semakin kecil kadar air, maka semakin kecil aw sehingga semakin awet bahan pangan tersebut. Nilai aw yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sehingga bahan pangan menjadi lebih awet (Winarno 1997). Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi (Syarief & Khalid 1992).. Kadar Abu Abu merupakan bahan anorganik (mineral) dalam suatu bahan pangan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa kadar abu cookies F0 adalah 1,79% bk. Kadar abu cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional lebih tinggi daripada cookies bekatul kontrol, yaitu masing-masing 3,12% bk dan 3,01% bk karena mineral pada tepung bekatul lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Berdasarkan hasil uji sidik ragam (Lampiran 5), penambahan tepung bekatul memberi pengaruh sangat signifikan (α<0,01) terhadap kadar abu cookies yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa cookies kontrol berbeda nyata (α<0,05) dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional terpilih, sedangkan kadar abu cookies bekatul konvensional tidak berbeda nyata (α>0,05) dengan cookies bekatul fungsional. Kadar abu cookies kontrol dengan Kadar abu cookies bekatul fungsional sedikit lebih rendah daripada cookies bekatul konvensional. Hal ini sesuai
45 dengan penelitian Nurhayati (2010) yang menunjukkan bahwa kandungan abu pada tepung bekatul konvensional lebih tinggi daripada tepung bekatul fungsional. Kadar abu cookies bekatul konvensional dan fungsional lebih tinggi daripada batas SNI maksimum, yaitu 1,5% bb karena kadar abu tepung bekatul konvensional dan fungsional lebih tinggi daripada tepung terigu. Kadar Protein Kadar protein cookies bekatul konvensional (7,56% bk) dan cookies bekatul fungsional (6,66% bk), berdasarkan uji lanjut duncan adalah tidak berbeda nyata (α>0,05). Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5), Substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional terhadap tepung terigu adalah tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein cookies. Hasil penelitian Nurhayati (2010) menunjukkan bahwa kadar protein tepung bekatul konvensional adalah juga tidak berbeda nyata dengan tepung bekatul fungsional. Kadar protein cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional lebih rendah dari standar yang ditetapkan BSN (Badan Standarisasi Nasional), yaitu minimum 9%. Nurhayati (2010) mengungkapkan bahwa kadar protein tepung bekatul konvensional adalah 13,50% bk sedangkan tepung bekatul fungsional
adalah 12,72% bk. Kedua tepung ini mempunyai kadar
protein yang lebih tinggi daripada tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan cookies , yaitu tepung terigu jenis soft flour dengan kadar protein 10%. Adanya bahan lain selain tepung terigu dan tepung bekatul konvensional dan fungsional yang digunakan dalam pembuatan cookies dengan proporsi 63,83%
berpengaruh terhadap penurunan kadar protein. Hal tersebut
disebabkan karena adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan amina primer (Winarno 2008). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Rosenberg dan Rohdenburg (1951) yang menunjukkan bahwa pemanggangan dengan oven berpengaruh terhadap berkurangnya kadar asam amino lisin pada produk akhir.
Asam amino lisin
jumlahnya terbatas pada prosuk serealia. Penambahan susu skim (susu tanpa lemak) ke dalam adonan cookies dapat menyebabkan asam amino lisin semakin berkurang karena meningkatnya reaksi Maillard sebagai akibat dari tingginya konsentrasi gula pereduksi laktosa. Dengan demikian kadar protein dapat berkurang akibat pemanggangan dengan oven. Kadar Lemak
46 Kadar lemak cookies kontrol (26,78% bk) cenderung lebih rendah daripada cookies bekatul konvensional (29,84% bk) dan cookies bekatul fungsional (29,09% bk). Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 5), substitusi tepung bekatul tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar lemak cookies. Kadar lemak cookies bekatul konvensional adalah tidak berbeda nyata (α>0,05) dengan cookies bekatul fungsional. Kadar lemak cookies bekatul konvensional cenderung lebih tinggi daripada cookies bekatul fungsional. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurhayati (2010) yang mengungkapkan bahwa kadar lemak tepung bekatul konvensional adalah lebih tinggi (20,25% bk) sedangkan tepung bekatul fungsional lebih rendah, yaitu 17,35% bk.
Kadar lemak cookies bekatul
fungsional dan bekatul konvensional memenuhi standar SNI, yaitu minimum 9,50%. Kadar Karbohidrat Kadar
karbohidrat
dihitung
secara
by
difference,
yaitu
dengan
memperhitungkan jumlah karbohidrat dari pengurangan komponen total (100%) terhadap kadar air, lemak, protein dan abu. Kadar karbohidrat pada cookies bekatul kontrol (61,91% bk) lebih tinggi daripada cookies bekatul konvensional (56,26% bk) dan cookies bekatul fungsional (58,31% bk). Kadar karbohidrat cookies kontrol berbeda nyata dengan kadar karbhidrat cookies bekatul konvensional dan fungsional. Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa substitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional terhadap tepung terigu berpengaruh nyata (α<0,05)
terhadap kadar karbohidrat cookies. Kadar karbohidrat cookies F0
adalah tidak berbeda nyata dengan cookies bekatul konvensional terpilih. Kadar karbohidrat cookies bekatul konvensional terpilih adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional terpilih. Hal ini disebabkan oleh kadar air tepung bekatul konvensional (9,97%) lebih besar daripada tepung bekatul fungsional (2,34%). Kadar karbohidrat cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan fungsional memenuhi standar SNI untuk cookies, yaitu maksimum 70%. Kadar karbohidrat cookies bekatul fungsional terpilih lebih tinggi daripada cookies bekatul konvensional terpilih. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Nurhayati (2010) yang menyebutkan bahwa kadar karbohidrat tepung bekatul konvensional (44,85% bk) lebih rendah daripada tepung bekatul fungsional (58,07% bk).
47 Menurut Ramesh (1999), kandungan karbohidrat cenderung stabil dibandingkan dengan komponen lain ketika dilakukan pemanasan. Kadar Serat Pangan Kadar serat pangan total dihitung berdasarkan kandungan serat larut air dan serat tak larut air pada pangan. Kadar total serat pangan cookies kontrol (6,65%bk)
lebih
rendah
daripada
serat
pangan
pada
cookies bekatul
konvensional (10,10% bk) dan cookies bekatul fungsional (10,85% bk). Hal ini disebabkan karena kandungan serat pada tepung bekatul konvensional (29,15% bk) dan tepung bekatul fungsional (33,87% bk) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Kandungan serat pangan pada cookies bekatul konvensional lebih rendah daripada cookies bakatul fungsional. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan total. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kandungan serat pangan total cookies kontrol berbeda nyata (α<0,05) dengan
cookies
bekatul
konvensional
dan
cookies
bekatul
fungsional.
Kandungan serat pangan total cookies bekatul konvensional adalah tidak berbeda nyata (α>0,05) dengan cookies bekatul fungsional. Kadar komponen serat pangan disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Kadar Komponen serat pangan Cookies (%) Komponen Serat Cookies Bekatul Cookies Kontrol Pangan Konvensional Serat tak larut air 3,26 7,58 Serat larut air 3,39 2,52 Total serat pangan 6,65 10,10
Cookies Bekatul Fungsional 8,59 2,26 10,85
Serat pangan total terbagi menjadi dua, yaitu serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut terdiri atas glukan, pektin, dan musilase, sedangkan serat pangan tidak larut terdiri atas selulosa, lignin, dan beberapa hemiselulosa. Serat larut mudah difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar dan berhubungan dengan metabolisme karbohidrat dan lipid. Sementara serat tidak larut bekontribusi terhadap volume feses dan menurunkan waktu transit sisa makanan di dalam usus. Selulosa tidak larut di dalam air serta tahan hidrasi dan pengembangan. Sebaliknya, pektin siap larut di air dan memiliki kemampuan yang tinggi mengikat ion. Lignin dan hemiselulosa menyerap asam empedu, sedangkan selulosa sendiri memiliki kapasitas yang sangat rendah untuk penyerapan garam empedu.
48 Pengikatan garam empedu akan mengganggu penyerapan lemak di usus (Damayanthi et al. 2007). Hasil analisis serat pangan menunjukkan bahwa kandungan serat tak larut pada cookies kontrol lebih rendah daripada serat tak larut cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Serat pangan tidak larut terdiri atas selulosa, lignin, dan beberapa hemiselulosa. Cookies bekatul fungsional mempunyai kandungan serat tak larut yang lebih tinggi daripada cookies bekatul konvensional. Hal ini disebabkan kandungan serat tak larut tepung bekatul fungsional (29,77% bk) lebih tinggi daripada serat tak larut tepung bekatul konvensional (26,81% bk). Kapasitas antioksidan Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis (Helal 2005) sehingga perlu dilakukan pengujian analisis kapasitas antioksidan pada cookies tepung bekatul konvensional dan cookies tepung bekatul fungsional yang memiliki komposisi tepung bekatul masing-masing 35% dari tepung terigu. Metode yang digunakan dalam penetapan kapasitas antioksidan adalah metode DPPH (Kubo et al. 2002). DPPH (2,2-dyphenyl-1-picrylhydrazil), dengan berat molekul 394,33 merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi seyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,
α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Benabadji et al. 2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa cookies bekatul konvensional memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi (70, 87% bb) atau setara dengan aktivitas 33,19 mgvitamin C/100g cookies dibandingkan dengan cookies kontrol (setara 27,71 mg vitamin C) dan cookies bekatul fungsional (setara 32,64 mgvitamin C/100g cookies). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan cookies kontrol berbeda nyata dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata terhadap kapasitas antioksidan cookies. Hal ini disebabkan oleh kandungan antioksidan
49 yang lebih besar pada tepung bekatul konvensional dan fungsional dibandingkan dengan tepung terigu. Kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional tidak berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional. Kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional sebsar 70,87% berarti komponen antioksidan dalam cookies bekatul
konvensional
mampu
menangkal
70,87%
radikal
bebas
yang
mengoksidasinya. Nilai ini setara dengan 33,19 mg vitamin C/100 g yang berarti jumlah antioksidan dalam cookies bekatul konvensional setara dengan vitamin C 33,19 mgvitamin C/100g cookies. AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity) adalah kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin C (mg). Menurut Nurhayati (2010), Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional memiliki kapasitas antioksidan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 77.21% yang berarti komponen antioksidan dalam tepung bekatul konvensional mampu menangkal 77.21% radikal bebas yang mengoksidasinya. Nilai ini setara dengan AEAC 170.40 mgvitamin C/100g tepung bekatul konvensional. Kandungan Energi Kandungan energi dihitung berdasarkan kandungan protein, lemak dan karbohidrat. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 Kal energi per gram lemak. Karbohidrat dan protein masing-masing menghasilkan 4 Kal energi per gram. Berdasarkan hasil analisis kandungan zat gizi (Tabel 11), nilai energi pada cookies kontrol adalah 519 Kal per 100 gram cookies. Kandungan energi pada cookies bekatul konvensional sebesar 527 Kal dan cookies bekatul fungsional sebesar 518 Kal per 100 gram cookies. Kandungan energi tersebut memenuhi standar SNI untuk cookies, yaitu minimum 400 Kal energi per 100 gram cookies. Saran penyajian untuk makanan selingan adalah 20% dari kebutuhan energi sehari. Asumsi kebutuhan energi sehari rata-rata untuk orang Indonesia adalah 2000 Kal. Dengan demikian, kebutuhan energi dari makanan selingan dalam sehari adalah sebesar 400 Kal. Saran konsumsi cookies per hari setara 400 Kal adalah 77 gram per hari untuk cookies kontrol, 76 gram per hari untuk cookies tepung bekatul konvensional dan 77 gram per hari untuk cookies tepung bekatul fungsional. Klaim Kesehatan
50 Klaim kesehatan harus memenuhi kriteria tertentu (Rolfes 2009). Klaim untuk kesehatan cookies bekatul dapat dilihat dari segi manfaat serat pangan untuk kesehatan. Lembaga kanker Amerika menganjurkan makan 20-30 gram serat per hari (Almatsier 2004). Kontribusi yang diharapkan dari makanan selingan adalah 20% dari anjuran konsumsi serat per hari, yaitu 4-6 gram. Cookies bekatul konvensional mengandung serat sebesar 10,10 gram/100 gram cookies atau mengandung 7,68 gram serat per serving size (76 gram). Cookies bekatul fungsional mengandung serat pangan sebesar 10,85 gram/100 gram cookies atau mengandung 8,35 gram serat pangan per serving size (77 gram). Rolfes (2009) menyatakan bahwa kontribusi minimum 20% termasuk dalam kategori “tinggi” atau “kaya” zat gizi. Cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional memenuhi kriteria sebagai pangan tinggi atau kaya serat berdasarkan kriteria tersebut. Analisis Biaya Pembuatan Cookies Analisis biaya pembuatan produk dilakukan untuk mengetahui harga jual produk cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Analisis biaya pembuatan dilakukan berdasarkan harga masingmasing komponen penyusun, peralatan yang digunakan, jumlah pekerja dan kapasitas produksi . Profit atau laba diperoleh karena produk dijual dengan harga tertentu. Dengan demikian, harga jual merupakan inti dari seluruh kegiatan usaha (Bartono 2005). Sebelum dilakukan biaya pembuatan cookies maka perlu dilakukan analisis ekonomi untuk mengetahui harga tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional. Berdasarkan analisis, harga untuk tepung bekatul konvensional adalah Rp 54.360,00/kg sedangkan harga untuk tepung bekatul fungsional adalah Rp 56.530/kg. Total biaya produksi adalah total biaya bahan per kg produk (biaya variabel) dan total biaya dasar produksi. Biaya seluruh bahan baku meliputi biaya tepung terigu, tepung bekatul, margarin, mentega, gula halus, telur, bubuk coklat, bubuk kayu manis, vanili, soda kue, susu skim. Biaya dasar produksi adalah penjumlahan dari total biaya penyusutan alat, harga sumber energi, upah pekerja, biaya pengangkutan per produk dan over head dalam satuan per kg produk. Biaya penggunaan peralatan meliputi biaya untuk pembelian oven, roller, pisau, loyang, kuas, dan gunting. Dalam penggunaan peralatan, terdapat perawatan, penyusutan alat sehingga juga perlu dipertimbangkan. Biaya untuk sumber energi yang digunakan adalah biaya pengeluaran untuk listrik dan gas.
51 Jenis profesi yang diperlukan dalam proses produksi adalah direktur, manajer, supervisor, QC (Quality control), operator, bagian produksi, supir, keamanan, sales dan cleaning service. Upah pekerja ditentukan berdasarkan upah minimum regional daerah yang bersangkutan, yang dalam hal ini ditetapkan adalah daerah Bogor, Jawa Barat untuk masing-masing jenis tingkat pendidikan. Upah pekerja untuk direktur diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 12.500.000,00/bulan, manajer diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 7.500.000,00/bulan, supervisor, sales, QC dan security diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 1.750.000,00/bulan, operator produksi sebesar Rp 1.150.000,00/bulan, bagian produksi diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 910.000,00/bulan, cleaning service dan supir diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 800.000,00/bulan. Selain itu juga diperlukan perkiraan untuk biaya pengangkutan dan biaya lain-lain yang kemungkinan muncul diluar biaya yang diperkirakan. Kapasitas produksi ditetapkan berdasarkan kapasitas alat utama, yaitu oven. Oven yang digunakan adalah oven dengan kapasitas produksi 160 kg. Persentase keuntungan perusahaan ditetapkan sebesar 30% dari biaya total produksi. Harga dasar atau harga pokok penjualan adalah penjumlahan dari biaya total produksi dan keuntungan perusahaan. Harga yang digunakan sebagai perbandingan terhadap cookies komersial adalah harga dasar. Tabel perhitungan analisis biaya pembuatan secara rinci terlampir (Lampiran 6). Perhitungan analisis biaya pembuatan secara ringkas disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Ringkasan Analisis Biaya Pembuatan Cookies Cookies Bekatul Cookies Jenis Biaya Kontrol Konvensional Harga bahan dasar 17.197,2 21.888,8 per kg Biaya dasar 13.131,7 13.131,7 produksi Total biaya produksi 30.339,2 35.020,5 Keuntungan 9.101,7 10.506,1 perusahaan Harga dasar per kg 39.440,9 45.526,6 Harga sesuai 47.519,2 54.851,4 rendemen/kg Harga per 100 gram 4.752 5.485
Cookies Bekatul Fungsional 24.433,6 13.131,7 37.131,3 11.269,6 48.834,9 58.837,2 5.884
Harga untuk cookies kontrol adalah Rp. 5.063 per kemasan 100 gram. Selain harga cookies komersil, harga cookies kontrol dijadikan acuan atau
52 patokan perbandingan dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Harga cookies kontrol menjadi lebih murah dibandingkan cookies bekatul konvensional atau cookies bekatul fungsional karena harga bahan baku tepung terigul lebih murah daripada tepung bekaul konvensional dan fungsional. Berdasarkan perhitungan, diperoleh harga cookies bekatul konvensional berdasarkan rendemen per kemasan 100 gram adalah Rp 5.485/kg. Harga ini merupakan harga dasar sesuai dengen rendemen cookies. Harga ini lebih mahal jika dibandingkan dengan harga produk cookies kontrol, yaitu 4.752 rupiah. Selisih dari kedua harga ini sebesar 733 rupiah per 100 gram atau dengan kata lain 7330 rupiah per kg. Harga dari komposisi bahan yang berbeda adalah pada harga tepung bekatul yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu. Harga tepung bekatul konvensional per kg adalah Rp. 47.251. Harga ini jauh lebih mahal dibandingkan harga tepung terigu, yaitu Rp. 11.000 ditingkat pengecer. Harga tepung bekatul konvensional yang jauh lebih mahal disebabkan karena rendemen pengolahan bekatul menjadi tepung bekatul konvensional adalah kecil (40,27%) (Nurhayati 2010). Selain itu, proses pengolahan bekatul menjadi tepung bekatul konvensional membutuhkan rangkaian proses yang panjang dan membutuhkan peralatan khusus seperti ayakan 60 mesh, autoklaf, oven serta kemasan. Bekatul yang diolah menjadi tepung bekatul konvensional juga harus berupa bekatul segar dari penggilingan padi. Bekatul mempunyai kandungan lemak yang tinggi sehingga mudah tengik dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini disebabkan oleh enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak akan dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi peroksida, keton dan aldehid yang menyebabkan bekatul menjadi tengik (Juliano 1985). Tepung bekatul memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi jika diolah lebih lanjut daripada hanya digunakan sebagai pakan ternak. Harga bekatul awal adalah
Rp
1500,00/kg
sedangkan
jika
diolah
menjadi
tepung
bekatul
konvensional harganya menjadi Rp 47.251,00/kg. Tepung Bekatul fungsional lebih mahal daripada tepung bekatul konvensional da tepung terigu. Harga tepung bekatul fungsional berdasarkan analisis adalah Rp 56.527,00/kg Setelah diolah menjadi tepung bekatul, bekatul menjadi lebih mudah diolah menjadi produk makanan lain dan mempunyai lebih banyak manfaat karena lebih praktis digunakan sebagai bahan pangan yang siap dikonsumsi. Selain itu, tepung
53 bekatul juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mensubstitusi tepung terigu dalam produk makanan. Harga cookies bekatul fungsional adalah Rp. 5.884,00 per kemasan 100 gram atau Rp. 58.837,00 /kg. Harga cookies ini lebih mahal daripada cookies kontrol (Rp 47.519,02/kg) dan cookies bekatul konvensional (Rp 54.851,40/kg) karena harga bahan baku tepung bekatul fungsional yang lebih mahal daripada tepung terigu dan tepung bekatul konvensional. Harga cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional tidak berbeda terlalu besar. Harga tepung bekatul bekatul fungsional juga tidak berbeda terlalu besar per kg. Substitusi tepung bekatul yang dilakukan adalah sampai 35% dari komposisi tepung terigu atau 35 gram dari 100 gram tepung terigu. Substitusi yang tidak terlalu besar tidak menyebabkan harganya banyak meningkat. Selisih harga cookies bekatul fungsional dengan cookies kontrol adalah 1132,00/100 gram atau 11.320,00/kg sedangkan selisih cookies bekatul konvensional dengan cookies bekatul fungsional adalah Rp 7330,00/kg. Daftar perbandingan harga cookies disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Daftar Perbandingan Harga dan Harga Serat Cookies Produk Cookies F0 Cookies bekatul fungsional F3 Cookies bekatul konvensional F3 Biskuit Komersil A Biskuit Komersil B
Setengah Takaran Saji 7 keping (39 g) 7 keping (38 g) 7 keping (39 g) 5 keping (25 g) 9 keping (36 g)
Harga Serat/g (Rp) 1.405, 92 543,0 7 542,3 0 309,5 2 3466, 67
Harga Cookies per Takaran saji (Rp)
Harga Cookies per gram (Rp)
1.853,28
47,52
2.235,92
58,84
2.139,15
54,85
928,57*
37,14
3466,67*
96,30
Keterangan: *) berdasarkan survei di pasaran
Cookies bekatul fungsional dan cookies bekatul konvensional memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan cookies komersil A tetapi lebih murah daripada cookies komersil B. Alat yang digunakan untuk membuat tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional cukup mahal sehingga harga cookies bekatul lebih mahal daripada cookies komersil. Biskuit komersil A termasuk biskuit komersil dengan harga murah. Biskuit komersil A adalah biskuit dengan komposisi bahan dari gandum utuh atau disebut biskuit gandum. Biskuit komersil B termasuk biskuit komersil dengan harga relatif mahal. Biskuit komersil
54 B juga termasuk dalam kategori biskuit gandum. Harga serat biskuit komersil B jauh lebih mahal karena kandungan serat pada biskuit komersil B lebih rendah atau komposisi tepung gandum utuhnya lebih rendah. Harga serat per gram cookies bekatul konvensional lebih mahal daripada cookies bekatul fungsional padahal harga cookies bekatul konvensional lebih murah dar pada cookies bekatul fungsional. Hal ini disebabkan karena kandungan serat pada cookies bekatul fungsional lebih tinggi daripada cookies bekatul konvensional. Selisih harga serat cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional adalah Rp 770/kg. Selisih harga per takaran saji antara biskuit komersil A dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional cukup besar. Biskuit komersil A mempunyai harga yang jauh lebih murah daripada cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Selisih harga cookies bekatul konvensional dengan biskuit komersil A adalah sebesar Rp 17,71/gram. Selisih cookies bekatul fungsional dengan biskuit komersil A adalah Rp 21,70/gram. Biskuit komersil A dan B adalah biskuit yang menggunakan tepung whole wheat atau tepung gandum utuh. Harga serat cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional juga lebih mahal dibandingkan biskuit komersil A. Harga serat biskuit komersil A adalah Rp 309,52/gram. Harga ini lebih murah dibandingkan harga cookies bekatul konvensional (Rp 542,30/gram) dan cookies bekatul fungsional (Rp 543,07/gram). Biskuit komersil B mempunyai harga yang lebih mahal dibandingkan dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Selisih harga cookies bekatul fungsional dengan cookies komersil B adalah Rp 37,46/gram. Selisih harga cookies bekatul konvensional dengan cookies komersil B adalah Rp 41,45/gram. Harga serat biskuit komersil B jauh lebih mahal dibandingkan harga serat cookies bekatul konvensional, cookies bekatul fungsional dan biskuit komersil A. Hal ini disebabkan karena kandungan serat biskuit komersil B juga jauh lebih rendah dibandingkan ketiga jenis biskuit tersebut. Biskuit komersil B juga terbuat dari tepung gandum utuh tetapi diduga proporsinya kecil sehingga kandungan seratnya juga rendah. Selisih harga cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional dengan biskuit komersil A lebih besar karena harga biskuit komersil A lebih murah daripada biskuit komersil B. Ukuran serving size biskuit komersil A lebih kecil daripada biskuit komersil B serta cookies bekatul konvensional dan
55 cookies bekatul fungsional. Hal ini juga mempengaruhi harga per takaran saji karena kuantitas cookies berbeda. Analisis pembuatan biaya yang digunakan menggunakan skala industri. Jenis industri yang digunakan termasuk dalam kategori industri kecil. Kategori industri tersebut didasarkan atas jumlah pegawai yang berjumlah 15 orang. Berdasarkan jumlah pegawainya, maka industri tersebut termasuk dalam kategori industri kecil. Klasifikasi industri berdasarkan bahan mentah yang digunakan, maka industri pembuatan cookies yang dibuat termasuk dalam industri pertanian karena menggunakan bahan mentah dari hasil pertanian. Berdasarkan proses produksi, maka industri pembuatan cookies termasuk dalam kategori industri hilir karena memproduksi bahan yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen. Berdasarkan subjek pengelola, maka industri tersebut termasuk dalam kategori industri rakyat karena dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Kadar serat dan antioksidan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional tidak berbeda nyata. Harga cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional juga tidak jauh berbeda. Dari segi kandungan gizi serat dan antioksidan menunjukkan bahwa cookies bekatul konvensional lebih efisien karena komponen biaya dari pembuatan tepung bekatul konvensional lebih murah dibandingkan tepung bekatul fungsional.
56
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bekatul masih mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan pangan. Produksi bekatul dari pendekatan produksi padi di Indonesia tergolong cukup besar dan cenderung mengalami pertumbuhan setiap tahunnya.
Kontribusi
Kal/kapita/tahun
pada
energi tahun
dari 2010.
bekatul
dapat
Kontribusi
mencapai
energy
62.056,00
tersebut
dapat
menggantikan 40.950,00 ton beras per tahun atau 40.405,27 ton tepung terigu per tahun. Formula pembuatan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional ada 6 formula, yaitu F1 (substitusi 25%), F2 (substitusi 30%). F3 (substitusi 35%), F4 (substitusi 40%), F5 (substitusi 45%) dan F0 (cookies kontrol). Formula cookies yang terpilih adalah cookies F3, masing-masing untuk cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional. Kadar air, abu, lemak, karbohidrat, serat pangan total, AEAC dan kapasitas antioksidan
cookies bekatul konvensional dan fungsional formula
terpilih masing-masing adalah 3,21% bb, 3,12% bk, 7,56% bk, 29,84% bk, 56,26% bk, 10,10% bk, 33,19 mg, 70,87% bb dan 2,94% bb, 3,01% bk, 6,66% bk, 29,09% bk, 58,31% bk, 10,85% bk, 32,64 mg, 69,03% bb. Kadar air, abu, lemak, karbohidrat, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional tidak berbeda nyata kecuali kadar protein. Kadar protein, karbohidrat, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies kontrol berbeda nyata dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Secara umum, cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional memiliki kadar serat dan kapasitas antioksidan yang lebih baik (lebih tinggi) daripada cookies kontrol. Harga cookies bekatul fungsional lebih mahal daripada cookies bekatul konvensional, cookies kontrol dan biskuit komersil dengan harga murah (biskuit komersil A). Cookies bekatul konvensional lebih mahal daripada cookies kontrol dan cookies komersil harga murah. Hal ini diiringi dengan peningkatan kadar serat dan kapasitas antioksidan pada cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional.
57 Saran Tingkat kesukaan panelis dari segi warna aroma dan tekstur cookies bekatul baik konvensional maupun fungsional perlu ditingkatkan melalui penambahan essence, toping serta bentuknya dibuat lebih menarik. Penggunaan tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional memberikan perbedaan yang nyata dari sisi kandungan protein, serat dan kapasitas antioksidan jika dibandingkan cookies kontrol. Oleh karena itu diperlukan penelitian
lanjutan
untuk
mengetahui
pengaruh
penyimpanan
terhadap
kandungan gizi. Selain itu, perlu dilakukan uji penerimaan konsumen di pasaran sebelum produk siap dijual ke pasaran.
58
DAFTAR PUSTAKA Ahman E. 2004. Ekonomi. Bandung : Grafindo Media Pratama. Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Edisi ke-5. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andyana MO. 2005. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Anonim.
2009. Kebangkitan Pangan Lokal Dalam Rangka Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. http://ngawikab.go.id//. [28 Maret 2011].
Antara M. 2001. Orientasi Penelitian Pertanian: Memenuhi Kebutuhan Pangan dalam Era Globalisasi. Media SOCA (Sosio Economic of Agriculture and Agribusiness). Apriantono A, D Fardiaz, N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. AOAC.
1995. Official Methods Gaithersburg: Maryland.
of
Analysis,
16th.
AOAC
International.
Arai et al. 2001. A Mainstay of Functional Food Science in Japan-History, Present Status, anf Future Outlook. Biosci.Biotechnol, Biochem. 65 (1): 113 Ardiansyah. 2005. Pangan Fungsional. http://ardiansyah.multiply.com/journal/ pangan_fungsional [8 April 2010]. Astawan M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Kompas, 22 Maret hal 36. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk 00.05.52.0685 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Jakarta: BPOM. www.pom.go.id. [19 Februari 2010]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah penduduk Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . www.bps.go.id. [29 Maret 2010]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI No. 01-2973-1992). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Barber S dan Carmen BB. 1980. Rice Bran: Chemistry and Technology. Di dalam: Luh BS. Rice: Production and Utilization. Wesport, USA: The Avi Publishing Company, Inc
59 Benabadji SH, Wen R, Zheng JB, Dong XC, dan Yuan SG. 2004. Anticarcinogenic and Antioxidant Activity of Diindolylmethane Derivatives. J. Acta Pharmacologica Sinica. 25 (5): 666-671. Damayanthi E. 2001. Rice Bran Stabilization and γ-Oryzanol Content of Two Local Paddy Varieties “IR 64” and “Cisadane Muncul”. J Teknologi dan Industri Pangan XV (1) : 11-19 . 2002. Karakteristik Bekatul Padi (Oryza sativa) Awet Serta Aktivitas Antioksidan dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker secara In Vitro dari Minyak dan Farksinya. [Tesis]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ,Tjing LT dan Arbianto L. 2007. Rice Bran. Depok : Panebar Swadaya. Daud S. 2009. Klasifikasi Industri. http://organisasi.org/. [19 Februari 2010]. David. 2008. Mengenal Manfaat Bekatul. http:// forum.dudung.net//. [28 Maret 2011]. Diana. 2010. Aktivitas Anti-Hiperglikemik dari Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI. Miq) secara In Vitro dan ex Vivo. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. Jakarta: LIPI Gordon MH. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Hudson BJF (ed). Food Antioxidant. London : Elsevier Applied Science. Hargrove KL. 1994. Processing and utilization of rice bran in the united state. Di dalam Marshall, Wayne E, dan James I. Wadsworth (Ed). Rice science and technology. New York : Marcel Dekker Inc. Helal AM. 2005. Rice bran in egypt. Cairo : Kaha for Environmental and Agricultural Projects. Harris RS dan Endel K. Nutritional Evaluation of Food Processing. 1975. Westport Connecticut: Avi Publishing Company Houston DF. 1972. Rice Chemistry and Technology. St. Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists, Inc. Jadhav et. al. 1996. Food Antioxidants. New York: Marcel Dekker, Inc. Juliano B O. 1985. Rice : Chemistry and Technology 2nd ed. St. Paul Minnesota: AACC. Kubo I, Masuda N, Xiao P, dan Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of deodecyl gallat. J Agriculture Food Chemistry. 50 : 3533-3539.
60 Luh BS, Barber S dan Barber CB. 1991. Rice, Production and Utilization. The Avi Publishing Company: Westport Connecticut. Matz SA dan TD Matz. 1978. Cookies and Cookies Technology. Texas: The AVI Publishing Co., Inc.
Malekian F, Ramu MR, Witoon P, Wayne EM, Marlene W dan Mohammed A. 2000. Lipase and Lipoxigenase Activity, Functionality, and Nutrient Losses in Rice Bran During Storage. Bulletin number 870, Lousiana State University Agricultural Center. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Mulyadi. 1992. Akuntansi Biaya. Yogyakarta: STIE YKPN Nicholson W. 1991. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan edisi ke-5. Amherst, Massachussets: Binarupsa Aksara. Nurhayati E. 2010. Optimasi Perendaman Asam Askorbat terhadap Tingkat Kecerahan dan Kandungan Vitamin C Tepung Bekatul Fungsional. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Nursalim Y dan Razali ZY. 2007. Bekatul Makanan yang Menyehatkan. Jakarta: PT Agro Media Pustaka. Pokorny J, Yanishlieva, dan Gordon M. 2008. Antioxidants in Food : Practical Application. London : Woodhead Publishing Limited. Ramesh MN. 1999. Food Presevation by Heat Treatment. Di dalam Handbook of Food Preservation. Rahman MS. Ed. 1999. New York : Marcell Dekker Inc. Rolfes SR, Kathryn P, dan Ellie W. 2009. Understanding Normal and Clinical Nutrition 8th edition. USA: Wadsworth Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya: 2004. Saputra I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sriyadi. 1995. Pengantar Ilmu Perusahaan Modern. Jakarta: Dirjen Dikti. Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian. 23(4): 146.
61 Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef. Westport: The Avi Publishing Co. Inc Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk dan Biji-bijian. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Suryana. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Syarief R dan Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: PAU Rekayasa Proses Pangan, IPB. Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold, dan M Justin. 1978. Foods 7th edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of In-live Production. London: Applied Science Publishers. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. .2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
62 Lampiran 1 Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional dan Fungsinal Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional Bekatul segar Pengayakan 60 mesh Autoklaf 1210C, 5 menit Pengeringan 1050C, 1 jam Tepung bekatul konvensional Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung bekatul konvensional (Nurhayati 2010)
Proses Pembuatan Tepung Bekatul Fungsional Tepung bekatul konvensional Perendaman asam askorbat 1000 ppm, 1 jam Disentrifuse 3000 rpm, 15 menit Dipisahkan filtratnya Residu dikeringkan dalam oven tray suhu 600C, Penggilingan dan penyaringan 60 mesh Bekatul Fungsional Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung bekatul fungsional (Nurhayati 2011)
63 Lampiran 2 Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies bekatul Nama Panelis : Tgl Pengujian : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : cookies bekatul Dihadapan saudara/i disajikan sampel produk cookies bekatul. Saudara diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Berikan tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 di bawah ini yang tepat berdasarkan persepsi Saudara/i. 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Saudara/i menilai sampel berikutnya. 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Saudara/i melakukan penilaian. 4. Komentar WAJIB diisi. Mutu Hedonik Warna 1
5
Amat sangat coklat
Biasa (krem)
9 Amat sangat kuning
Aroma 1
Amat sangat apek (berbau bekatul)
5
9
harum
Amat sangat harum
5
9
biasa
amat sangat manis
Rasa 1
amat sangat terasa bekatul
Tekstur 1
Amat sangat keras
5 Biasa
9 Amat sangat renyah
Keseluruhan
1 Amat sangat tidak enak
5
9
Biasa
Amat sangat enak
Komentar:………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………..… TERIMAKASIH
64 Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies bekatul Nama Panelis : Tgl Pengujian : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : cookies bekatul Dihadapan saudara/i disajikan sampel produk cookies bekatul. Saudara diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut: 5. Berikan tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 di bawah ini yang tepat berdasarkan persepsi Saudara/i. 6. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Saudara/i menilai sampel berikutnya. 7. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Saudara/i melakukan penilaian. 8. Komentar WAJIB diisi. Hedonik Warna 1
5
Amat sangat tidak suka
Biasa
9 Amat sangat suka
Aroma 1
Amat sangat tidak suka
5
9
biasa
Amat sangat suka
5
9
biasa
Amat sangat suka
Rasa 1
Amat sangat tidak suka
Tekstur 1
Amat sangat tidak suka
5 Biasa
9 Amat sangat suka
Keseluruhan
1 Amat sangat tidak suka
5
9
Biasa
Amat sangat suka
Komentar:………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………..… TERIMAKASIH
65 Lampiran 3 Prosedur Analisis Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan
1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995) Analisis kadar air dengan metode oven (AOAC 1995) dilakukan dengan mengoven cawan alumunium dalam oven bersuhu 1000C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama satu jam dan kemudian ditimbang sampai beratnya tetap. Sejumlah sampel (kurang lebih 3 g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta sampel dimasukan ke dalam oven bersuhu 100°C selama tiga jam. Cawan berisi sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakuakan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:
Kadar air(%bb) =
a − (c − b) × 100% a
Keterangan : a = berat sampel awal (g) b = berat cawan (g) c = berat cawan dan sampel akhir (g)
2. Analisis Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995) Kadar abu dianalisis dengan mengeringkan cawan porselendalam tanur bersuhu 400-600°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dibakar dengan pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Sampel yang sudah dibakar kemudian diabukan dengan tanur listrik bersuhu 400-600°C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar Abu (% bb ) =
c−b × 100 % a
Keterangan: a = berat sampel awal (g) b = berat cawan (g) c = berat cawan dan sampel akhir (g)
3. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal (AOAC 1995) Analisis kadar protein dengan metode mikro-kjeldahl dilakukan dengan menimbang sampel sekitar 0.1 gram dan diletakan dalam labu kjeldhal 30 ml.
66 Sampel ditambahkan selenium mix dan H2SO4. Sampel didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel yang sudah didestruksi kemudian dimasukan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades dan ditambahkan larutan NaOH. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 subset merah metil 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl yang sudah diketahui kadar (normalitas)nya sampai berubah warna menajadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar N (%) = (ml HCl sampel – HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar Protein (% bb) = %N x faktor konversi (6.25)
4. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak yang akan digunakan untuk analisis lemak metode ini dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Sampel dalam bentuk halus (sudah dihomogenisasi) ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksan). Alat soxhlet dinyalakan untuk melakukan refluks selama 5 jam (minimum) atau sampai larutan heksan berwarna putih. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100°C selama satu jam dan didinginkan dalam desikator serta ditimbangsampai beratnya konstan.
Kadar Lemak (% bb ) =
a−b × 100 % c
Keterangan: a = berat sampel awal (g) b = berat labu kosong (g) c = berat labu dan sampel akhir (g)
5. Analisis serat pangan, metode multienzim (Asp et al 1983) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0,1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian diaduk. Selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim termamyl, erlenmeyer kemudian ditutup
67 dengan alumunium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 1000C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur 1,5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahnkan 100 mg enzim pepsin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 400C selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 6,8 dengan NaOH lalu tambahkan 100 mg pankreatin, tutup erlenmeyer dan inkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 400C selama 60 menit. Kemudian pH diatur menjadi 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 1) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2x10 ml air destilata. Residu (serat tidak larut) Cuci dengan 2x10 ml etanol 95% dan 2x10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (D1). Diabukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator, ditimbang (I1). Filtrat (serat larut) Volume filtrat diatur menjadi 100 ml. Kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 28 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2x10 ml etanol 78%, 2x10 ml etanol 95%, dan 2x10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalm desikator kemudian ditimbang (D2). Diabukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator, ditimbang I2). Blanko Blanko diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 & B2). Perhitungan : % Serat tidak larut (IDF) = (D1-I1-B1) x 10F0 Berat sampel % Serat larut (SDF)
= (D2-I2-B2) x 10F0 Berat sampel % Serat pangan (TDF) = %IDF + SDF
Keterangan : D = berat setelah pengeringan I = berat setelah pengabuan B = berat blanko bebas abu
68
6. Analisis aktivitas antioksidan (Kubo et al. 2000) Langkah-langkah meode analisis aktivitas antioksidan disajikan dalam diagram alir berikut. 2,5 g sampel Ditambah methanol 25 ml Vortex selama 2 jam Simpan selama 24 jam Sentrifuse 4000 rpm, 10 menit Filtrat +
Residu Ditambah 25 ml methanol Vortex selama 2 jam
Filtrat
4X
Sentrifuse 4000 rpm, 10 menit Residu
Pemekatan Kering Ditambah 1 ml DPPH 10 mM Ditambah deionized water (∼ 5 ml) Diamkan 30 menit, T = 370C
Dibaca λ = 517 nm Gambar 3 Diagram alir analisis aktivitas antioksidan
29
69 Persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus: % aktivitas antioksidan = (abs. blanko-abs sampel) X 10F0 Abs. blanko AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity) masing-masing ekstrak sampel yaitu kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin c (mg). rumus perhitungannya adalah: AEAC (mg vit C/100ml) = [(% aktivitas antioksidan – b) X faktor pengenceran] X . 1 X 100 a 1000 BS y = ax-b a = 28.76 b = -0.166 faktor pengenceran = 250 Langkah-langkah pembuatan standar vitamin C adalah sebagai berikut: 10 ml aquabides + 0.05 gram vitamin C murni bubuk kemudian dikocok dan dimasukkan ke kulkas ↓ Buat konsentrasi vitamin C (0, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100, 150, 200) ppm ↓ Ambil masing2 100 µL kemudian masukkan ke tabung reaksi Kemudian tambahkan DPPH 3.9 ml pada masing-masing perlakuan ↓ Di vortex dan diamkan 30 menit ↓ Baca spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm Gambar 4 Diagram alir pembuatan standar vitamin C
70 Lampiran 4 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Uji Organoleptik a. Hasil Analisis Statistik mutu hedonik cookies bekatul kovensional Tabel 1 Hasil Uji Sidik Ragam Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Perlakuan Warna Galat Total Perlakuan Aroma Galat Total Perlakuan Rasa Galat Total Perlakuan Tekstur Galat Total
Jumlah kuadrat 15.151 322.238 337.389 19.821 286.173 305.994 25.560 366.502 392.062 12.055 294.007 306.062
df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi 5 3.030 1.411 .224 150 2.148 155 5 3.964 2.078 .071 150 1.908 155 5 5.112 2.092 .069 150 2.443 155 5 2.411 1.230 .298 150 1.960 155
b. Hasil Analisis Statistik hedonik cookies bekatul Konvensional Tabel 2 Hasil Uji Sidik Ragam Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi Perlakuan 21.286 5 4.257 1.843 .108 warna Galat 360.398 156 2.310 Total 381.684 161 Perlakuan 29.573 5 5.915 2.514 .032 aroma Galat 366.958 156 2.352 Total 396.531 161 Perlakuan 97.707 5 19.541 8.362 .000 rasa Galat 364.569 156 2.337 Total 462.276 161 Perlakuan 156.161 5 31.232 13.206 .000 tekstur Galat 368.940 156 2.365 Total 525.101 161 Perlakuan 101.877 5 20.375 9.843 .000 keseluruhan Galat 322.917 156 2.070 Total 424.794 161
71 Tabel 3 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Aroma Cookies Bekatul Konvensional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 Cookies F4 27 5.2037 Cookies F5 27 5.3148 Cookies F2 27 5.7778 5.7778 Cookies F1 27 5.9537 5.9537 Cookies F3 27 6.0556 6.0556 Cookies F0 27 6.4444 Signifikansi .070 .149 Tabel 4 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Cookies Bekatul Konvensional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 Cookies F4 27 4.3241 Cookies F5 27 4.5463 Cookies F3 27 5.5463 Cookies F2 27 5.9537 Cookies F1 27 6.1296 Cookies F0 27 6.3519 Signifikansi .594 .078 Tabel 5 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Tekstur Cookies Bekatul Konvensional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 3 Cookies F5 27 3.8148 Cookies F4 27 5.0833 Cookies F3 27 6.2407 Cookies F0 27 6.2685 Cookies F2 27 6.3519 Cookies F1 27 6.6019 Signifikansi 1.000 1.000 .440
72 Tabel 6 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Secara Keseluruhan Cookies Bekatul Konvensional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 Cookies F4 27 4.3981 Cookies F5 27 5.0370 Cookies F3 27 5.8519 Cookies F2 27 6.2315 Cookies F1 27 6.5093 Cookies F0 27 6.5370 Signifikansi .105 .113 c. Hasil Analisis Statistik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Tabel 7 Hasil Uji Sidik Ragam Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Perlakuan Galat Total Perlakuan aroma Galat Total Perlakuan rasa Galat Total Perlakuan tekstur Galat Total warna
Jumlah kuadrat 57.853 253.565 311.418 29.545 360.969 390.514 41.008 315.945 356.953 4.906 325.108 330.014
df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi 5 11.571 6.845 .000 150 1.690 155 5 5.909 2.455 .036 150 2.406 155 5 8.202 3.894 .002 150 2.106 155 5 .981 .453 .811 150 2.167 155
Tabel 8 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Warna Cookies Bekatul Fungsional perlakuan
N
Cookies F5 Cookies F4 Cookies F1 Cookies F2 Cookies F3 Cookies F0 Signifikansi
26 26 26 26 26 26
Subset untuk alfa = 0.05 1 2 2.9327 3.4135 4.2115 4.2308 4.2692 4.7596 .184 .170
73 Tabel 9 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Aroma Cookies Bekatul Fungsional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 Cookies F5 26 4.7212 Cookies F4 26 5.1154 5.1154 Cookies F3 26 5.1538 5.1538 Cookies F1 26 5.6442 5.6442 Cookies F2 26 5.7019 F0 26 6.0192 Signifikansi .050 .062 Tabel 10 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Rasa Cookies Bekatul Fungsional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 3 Cookies F5 26 4.2981 Cookies F4 26 4.8365 4.8365 Cookies F1 26 5.0673 5.0673 5.0673 Cookies F2 26 5.5096 5.5096 Cookies F0 26 5.6538 5.6538 Cookies F3 26 5.7596 Signifikansi .072 .065 .119 d. Hasil Analisis Statistik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Tabel 11 Hasil Uji Sidik Ragam Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Analisis Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi Perlakuan 15.151 5 3.030 1.411 .224 warna Galat 322.238 150 2.148 Total 337.389 155 Perlakuan 19.821 5 3.964 2.078 .071 aroma Galat 286.173 150 1.908 Total 305.994 155 Perlakuan 25.560 5 5.112 2.092 .069 rasa Galat 366.502 150 2.443 Total 392.062 155 Perlakuan 12.055 5 2.411 1.230 .298 tekstur Galat 294.007 150 1.960 Total 306.062 155 Perlakuan 25.470 5 5.094 2.598 .028 keseluruhan Galat 294.053 150 1.960 Total 319.522 155
74 Tabel 12 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Secara Keseluruhan (overall) Cookies Bekatul Fungsional Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 Cookies F2 26 4.4712 Cookies F5 26 4.7115 Cookies F1 26 4.8269 Cookies F0 26 4.9327 Cookies F4 26 5.1538 5.1538 Cookies F3 26 5.7500 Signifikansi .121 .127 Lampiran 5 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Analisis Proksimat Cookies Bekatul Tabel 13 Hasil Uji Sidik Ragam Proksimat Cookies Bekatul Jenis Analisis Jumlah Kuadrat kuadrat df tengah Kadar air perlakuan .748 2 .374 Galat .146 3 .049 Total .894 5 Kadar abu Perlakuan 2.192 2 1.096 (% bk) Galat .005 3 .002 Total 2.198 5 Kadar protein Perlakuan .824 2 .412 (% bk) Galat 2.776 3 .925 Total 3.600 5 Kadar lemak Perlakuan 10.198 2 5.099 (% bk) Galat 1.818 3 .606 Total 12.016 5 Karbohidrat Perlakuan 32.717 2 16.358 (% bk) Galat 3.162 3 1.054 Total 35.879 5 SM total (% bk) Perlakuan 20.090 2 10.045 Galat 1.625 3 .542 Total 21.715 5 AEAC (% bb) Perlakuan 36.396 2 18.198 Galat 2.768 3 .923 Total 39.164 5
Fhitung Signifikansi 7.681 .066
625.839
.000
.445
.677
8.415
.059
15.522
.026
18.542
.020
19.720
.019
75 Tabel 14 Hasil Uji Lanjut Duncan kadar Abu Cookies Bekatul Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 cookies F0 2 1.7877 Cookies bekatul fungsional F3 2 3.0072 Cookies bekatul konvensional F3 2 3.1246 Signifikansi 1.000 .067 Tabel 15 Hasil Uji Lanjut Duncan kadar Karbohidrat (% bk) Cookies Bekatul Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 cookies F0 2 56.2649 cookies bekatul fungsional F3 2 58.3046 cookies bekatul konvensional F3 2 61.9127 Signifikansi .141 1.000 Tabel 16 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Serat Makanan Total (% bk) Cookies Bekatul Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 cookies F0 2 6.6506 cookies bekatul konvensional F3 2 10.1013 cookies bekatul fungsional F3 2 10.8532 Signifikansi 1.000 .382 Tabel 17 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar AEAC (% bb) Cookies Bekatul Subset untuk alfa = 0.05 Perlakuan N 1 2 cookies F0 2 27.7133 cookies bekatul fungsional F3 2 32.6408 cookies bekatul konvensional F3 2 33.1914 Signifikansi 1.000 .607
76 Lampiran 6 Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul a.
Analisis Biaya Pembuatan Cookies F0 untuk Skala Industri kecil
Tabel 17 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies F0
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bahan
Terigu tepung bekatul magarin mentega gula halus telur *) bubuk coklat bubuk kayu manis vanili soda kue susu skim kemasan Jumlah
Berat Dalam Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram
%
Rupiah
Rupiah
100,0 0 50,0 25,0 60,0 120,0 5,0 2,0 1,0 0,5 13,0 376,5
26,6 0 13,3 6,6 15,9 31,9 1,3 0,5 0,3 0,1 3,5
11.000,0 0 16.000,0 35.000,0 12.000,0 14.000,0 20.000,0 140.000,0 120.000,0 80.000,0 82.500,0 480.000,00 100,0 1.374.502,0
Tabel 18 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies F0 Biaya per Kapasitas No Rincian hari Produksi Biaya Susut 160 1 28.336,3 Alat/kg 825.000,0 160 2 Biaya energi/kg Biaya Tenaga 880.769,2 160 3 Kerja/kg Biaya 160 4 40.000,0 Pengangkutan/kg Biaya Over 160 5 349.187,2 head/kg Jumlah
3.123,8 0 2.337,3 2.556,4 2.103,6 4.908,4 292,2 818,1 350,6 116,9 500,0 1.920,0 17.197,2
Biaya Dasar Produksi/kg 177,10 5156,25 5.504,8 250,00 2182,42 13.131,7
Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen = (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over head/kg) + laba)) =(83/100) X (17.197,2 + 13.131,7 + 9.101,7) = 39.440,9 /kg
77 b.
Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih untuk Skala Industri kecil
Tabel 19 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bahan
Terigu tepung bekatul magarin mentega gula halus telur *) bubuk coklat bubuk kayu manis vanili soda kue susu skim kemasan Jumlah
Berat Dalam Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram
%
Rupiah
Rupiah
65,0 35,0 50,0 25,0 60,0 120,0 5,0 2,0 1,0 0,5 13,0 376,5
17,3 9,3 13,3 6,6 15,9 31,9 1,3 0,5 0,3 0,1 3,5
11.000,0 31.127,0 16.000,0 35.000,0 12.000,0 14.000,0 20.000,0 140.000,0 120.000,0 80.000,0 82.500,0 480.000,00 100,0 1.041.627,0
2.089,0 3.183,0 2.337,3 2.556,4 2.103,6 4.908,4 292,2 818,1 350,6 116,9 500,0 1.920,0 21.888,8
Tabel 20 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih Biaya per Kapasitas Biaya Dasar No Rincian hari Produksi Produksi/kg Biaya Susut 160 1 28.336,3 177,10 Alat/kg 825.000,0 160 5156,25 2 Biaya energi/kg Biaya Tenaga 880.769,2 160 5.504,8 3 Kerja/kg Biaya 160 4 40.000,0 250,00 Pengangkutan/kg Biaya Over 160 5 349.187,2 2182,42 head/kg 13.270,6 Jumlah Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen = (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over head/kg) + laba)) =(83/100) X (21.888,8 + 13.131,7 + 10.506,1) = 54.851,4 /kg
78 c.
Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional Terpilih untuk Skala Industri kecil
Tabel 21 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional Terpilih
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bahan
Terigu tepung bekatul magarin mentega gula halus telur *) bubuk coklat bubuk kayu manis vanili soda kue susu skim kemasan Jumlah
Berat Dalam Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram
%
Rupiah
Rupiah
65,0 35,0 50,0 25,0 60,0 120,0 5,0 2,0 1,0 0,5 13,0 376,5
17,3 9,3 13,3 6,6 15,9 31,9 1,3 0,5 0,3 0,1 3,5
11.000,0 37.237,0 16.000,0 35.000,0 12.000,0 14.000,0 20.000,0 140.000,0 120.000,0 80.000,0 82.500,0 480.000,00 100,0 1.041.627,0
2.089,0 3.807,8 2.337,3 2.556,4 2.103,6 4.908,4 292,2 818,1 350,6 116,9 500,0 1.920,0 21.800,1
Tabel 22 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional Terpilih Biaya per Kapasitas Biaya Dasar No Rincian hari Produksi Produksi/kg Biaya Susut 160 1 28.336,3 177,10 Alat/kg 825.000,0 160 5156,25 2 Biaya energi/kg Biaya Tenaga 880.769,2 160 5.504,8 3 Kerja/kg Biaya 160 4 40.000,0 250,00 Pengangkutan/kg Biaya Over 160 5 349.187,2 2182,42 head/kg 13.131,7 Jumlah Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen = (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over head/kg) + laba)) =(83/100) X( 21.800,1 + 13.131,7 + 10.479,5) = 54.712,5 /kg