SKRIPSI
MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA
oleh MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Maria Dewi Puspitasari Tirtaningtyas Gunawan Putri. F24101125. Modifikasi Pengasaman Kimiawi dalam Pembuatan Tempe yang Didasarkan pada Aspek Citarasa. Di bawah bimbingan Hanny Wijaya dan Harsi D. Kusumaningrum. RINGKASAN Pengasaman merupakan salah satu tahap penting dalam pembuatan tempe yang dilakukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen serta memberikan kondisi optimum pertumbuhan kapang. Pengasaman alami dilakukan dengan perendaman kedelai dalam air selama semalam. Air rendaman kedelai hasil pengasaman alami sering menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Pengasaman alami dapat digantikan dengan pengasaman kimiawi, namun penggunaan asam dalam bahan pangan mempengaruhi citarasa. Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode pengasaman kimiawi untuk menggantikan metode pengasaman tradisional tanpa menurunkan kualitas citarasa tempe yang dihasilkan. Penelitian ini terdiri atas empat tahap yaitu seleksi awal metode pengasaman kimiawi, modifikasi proses pengasaman, modifikasi jenis pengasam, dan perbaikan citarasa metode pengasaman kimiawi terpilih. Seleksi awal memilih metode pengasaman terbaik dari metode-metode pengasaman yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain. Berdasarkan skor kesukaan dan hasil pengamatan subjektif, metode pengasaman terpilih adalah pengasaman yang dilakukan dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman laktat menunjukkan perlunya pengembangan metode pengasaman untuk menekan atribut rasa asam. Modifikasi proses pengasaman pada dasarnya merupakan usaha untuk mereduksi residu asam laktat pada akhir pengasaman. Modifikasi proses pengasaman yang terpilih adalah pengasaman yang dilakukan dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit dilanjutkan dengan perebusan kedelai dalam air bersih selama 20 menit. Pengamatan subjektif, uji afektif, dan uji deskriptif menunjukkan bahwa citarasa tempe yang dihasilkan dari pengasaman ini kurang memuaskan sehingga dilakukan pengembangan metode pengasaman lebih lanjut dengan modifikasi jenis pengasam. Modifikasi jenis pengasam pada dasarnya merupakan substitusi asam laktat dengan bahan pengasam lain yang memiliki rasa lebih netral. Bahan pengasam yang diuji adalah asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X serta kombinasi dari asam laktat, asam asetat, dan asam sitrat. Berdasarkan karakteristik visual dan citarasa hasil pengamatan subjektif, tempe yang terpilih pada tahap modifikasi jenis pengasam adalah tempe pengasaman X. Tempe pengasaman X termasuk dalam kelompok tempe dengan skor kesukaan paling tinggi dan karakter citarasa keseluruhan tidak berbeda nyata dengan tempe kontrol. Atribut langu tempe pengasaman X lebih kuat bila dibandingkan kontrol. Atribut langu timbul pada tahap pengupasan kedelai karena rusaknya jaringan kotiledon dalam kondisi air berlebih. Reduksi atribut langu dilakukan dengan modifikasi pengolahan sebelum pengupasan. Tempe pengolahan X2 memiliki skor kesukaan tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan tempe pengolahan X3 memiliki skor kesukaan lebih rendah dibandingkan kontrol. Berdasarkan uji deskriptif dan analisis PCA tempe pengolahan X3 memiliki karakteristik lebih mendekati tempe kontrol.
MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125 Dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1984 di Semarang Tanggal Lulus: .....................................
Menyetujui Bogor,
2006
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr. Dosen Pembimbing I
Diketahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 Juli 1984 sebagai putri ketiga dalam tiga bersaudara dari ayah Drs. Ranu Gunawan Uripwibowo, MBA dan ibu Emmy Susanti Widjajanti. Penulis lulus dari SMU Kolese Loyola Semarang pada tahun 2001 dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri IPB untuk jurusan Teknologi Pangan dan Gizi yang kemudian dikenal dengan nama Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis terlibat dalam beberapa kegiatan organisasi selama masa studi di IPB, yaitu Kemaki 2002, NSPC 2004, dan kepanitiaan lainnya. Pada tahun 2003, penulis memenangkan The 2nd National Student Paper Competition IPB sebagai juara II dan pada tahun 2004 memperoleh beasiswa untuk mengikuti program Hokkaido University Short Term Exchange Program selama 11 bulan di kota Sapporo, Hokkaido, Jepang. Penulis mengikuti praktikum terpadu yang dilaksanakan pada tahun 2004 di PT Fits Mandiri dan program Distant Learning hasil kerjasama SEAFAST IPB dengan Texas A&M University. Sebagai tugas akhir, penulis menyusun skripsi dengan
judul
“MODIFIKASI
PENGASAMAN
KIMIAWI
DALAM
PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc.
PRAKATA Penulis memanjatkan rasa syukur kepada Allah Bapa di surga atas segala rahmat-Nya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di laboratorium ITP, laboratorium SEAFAST, dan pengrajin tempe Warung Jambu selama lima bulan, yaitu dari Mei 2006-September 2006 Penulis menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan karena bantuan, kerja sama, dan dukungan banyak pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr. dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. selaku pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, pencerahan, dan dukungan terhadap penulis. 2. Ir. Budi Nurtama, MAgr. selaku dosen penguji atas waktu yang diberikan untuk mendiskusikan rancangan percobaan dan pengolahan data. 3. Para pengrajin tempe Sukasari yang telah mengijinkan penulis untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman produksi tempe serta masukan yang telah diberikan termasuk ide yang melandasi penelitian ini. 4. Fierminich dan Dio atas bantuan flavor yang diberikan. 5. Bu Tati atas pertemanan, konsultasi, sikap keibuan yang telah diberikan selama pengujian bersama. 6. CAMO Software Asia Pvt. Ltd. atas ijin penggunaan perangkat lunak The Unscrambler® 8.0. 7. Inggrid, Pretty, Karen, Steisi, Fenni, Shinta, Eva, Randy, Mumus, Herold, Uli, Inda
sebagai panelis terlatih dan panelis-panelis tidak terlatih lain yang
bersedia meluangkan waktu dan tenaga dalam begitu banyak uji-uji organoleptik. 8. Pak Rozak, Mas Edi, Pak Mul, Mbak Sri, Mbak Ari, Pak Koko, Pak Wachid, Pak Taufik, Teh Ida, Pak Solikin, Pak Sobirin atas segala bantuan, keramahan, dan canda tawa di laboratorium. 9. Xun, papah, mamah, cicik, dan ooh atas segala doa, kasih sayang, dan pertanyaan “Kapan sidang? Kapan lulus?” yang berikan pada penulis selama
iii
penelitian. Terutama ooh yang selalu memberikan kata-kata positif dan dukungan serta menjadi tempat mengeluh kala-kala mati lampu saat mengetik. 10. Pustakawan di perpustakaan Fateta dan perpustakaan PAU atas segala layanan literatur dan fotokopian. 11. Teman-teman kost di Perwira 12, terutama Inge, Felis, Hadi, Kak Sapto, Kak Nona, dan Kak Meis. 12. Herold, Aponk, Vivi, Maya atas kebersamaan kita dalam penelitian dan bimbingan. 13. Inggrid, Pretty, Karen, Steisi, Herold, Tukep, Mel, Fenni atas waktu-waktu yang menyenangkan di L2. 14. Para pendamping yang telah memberikan banyak doa dan dukungan selama penelitian. 15. Seluruh pihak lain yang terlibat dalam memberikan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga skripsi ini menjadi salah satu karya ilmiah yang bermanfaat.
Bogor, September 2006 Penulis
iv
DAFTAR ISI
PRAKATA ......................................................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEMPE.................................................................................................... 4 B. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE.................................................. 5 C. CITARASA TEMPE............................................................................... 8 D. PENGASAMAN ALAMI ....................................................................... 9 E. LIMBAH INDUSTRI TEMPE ............................................................... 12 F. PENGASAMAN KIMIAWI ................................................................... 14 G. ANALISIS SENSORI ............................................................................. 19 1. Uji Diskriminatif ............................................................................... 20 2. Uji Deskriptif .................................................................................... 23 3. Uji Afektif ......................................................................................... 25 H. PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS (PCA) ...................................... 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN ............................................................................. 28 B. METODE PENELITIAN ........................................................................ 28 1. Seleksi Awal Metode Pengasaman Kimiawi ..................... 30 2. Modifikasi Proses Pengasaman .......................................... 31 3. Modifikasi Jenis Pengasam ................................................ 33 4. Reduksi Atribut Aroma Langu Tempe Pengasaman X ...... 34 C. ANALISIS SENSORI ............................................................................. 35 1. Uji Afektif ......................................................................................... 35 2. Uji Diskriminatif ............................................................................... 36
v
3. Uji Deskripsi ..................................................................................... 36 a. Persiapan panelis terlatih ............................................................ 36 b. Pengujian produk ........................................................................ 38 c. Pengolahan data .......................................................................... 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE.................................................. 41 B. SELEKSI AWAL METODE PENGASAMAN KIMIAWI ................... 44 C. MODIFIKASI PROSES PENGASAMAN ............................................. 47 D. MODIFIKASI JENIS PENGASAM ....................................................... 51 E. REDUKSI ATRIBUT AROMA LANGU TEMPE PENGASAMAN X ................................................................................. 55 F. KARAKTERISTIK CITARASA TEMPE PENGASAMAN KIMIAWI TERPILIH ............................................................................. 59 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ....................................................................................... 63 B. SARAN ................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Komposisi rata-rata air rendaman kedelai..................................... 13
Tabel 2.
Bahan pengasam yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan dan karakteristiknya.......................................................... 19
Tabel 3.
Larutan sampel dalam penentuan rasa dasar ................................. 37
Tabel 4.
Deskriptor yang digunakan dalam pengenalan aroma standar ...... 38
Tabel 5.
Standar citarasa yang digunakan dalam pengujian akhir QDA .... 39
Tabel 6.
Hasil pengamatan subjektif pada tahap seleksi pengasaman kimiawi.......................................................................................... 45
Tabel 7.
Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi proses pengasaman ................................................................................... 49
Tabel 8.
Bahan pengasam yang digunakan untuk modifikasi jenis pengasam ....................................................................................... 52
Tabel 9.
Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi jenis pengasam ....................................................................................... 53
Tabel 10.
Hasil pengamatan subjektif pada tahap reduksi aroma langu tempe pengasaman X .................................................................... 58
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Beberapa metode pembuatan tempe tradisional ............................ 7
Gambar 2.
Bagan alir teknologi pembuatan tempe pengrajin tempe Sukasari ......................................................................................... 29
Gambar 3.
Seleksi awal metode pengasaman kimiawi ................................... 31
Gambar 4.
Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 ............................................. 31
Gambar 5.
Seleksi modifikasi proses pengasaman ......................................... 32
Gambar 6.
Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 ............................................. 32
Gambar 7.
Seleksi modifikasi jenis pengasam ............................................... 33
Gambar 8.
Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X ................................. 34
Gambar 9.
Pengolahan untuk reduksi aroma langu tempe pengasaman X ..... 35
Gambar 10. Air rendaman usia 22 jam dan kedelai prefermentasi ................... 42 Gambar 11. Pembuangan limbah cair tempe pengrajin tempe Gg. Wahir ....... 43 Gambar 12. Spider web tempe laktat 1 dan tempe kontrol ............................... 47 Gambar 13. Spider web tempe laktat 4, tempe laktat 1, dan tempe kontrol .... 50 Gambar 14. Spider web tempe pengasaman X dan tempe kontrol ................... 54 Gambar 15. Spider web tempe pengolahan X2, pengolahan X1, dan tempe kontrol ........................................................................................... 56 Gambar 16. Spider web tempe pengolahan X3, pengolahan X1, dan tempe kontrol ........................................................................................... 57 Gambar 17. Grafik residual variance komponen utama citarasa tempe pengasaman kimiawi terpilih ........................................................ 60 Gambar 18. Grafik plot scores PC1 dan PC2 ................................................... 60 Gambar 19. Grafik plot x-loading PC1 dan PC2 .............................................. 61 Gambar 20. Grafik bi-plot PCA untuk PC1 dan PC2 ....................................... 62
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh formulir uji kesukaan ....................................................... 69 Lampiran 2. Contoh formulir simple different test ............................................ 70 Lampiran 3. Contoh formulir uji penentuan rasa dasar ..................................... 71 Lampiran 4. Contoh formulir uji segitiga rasa................................................... 72 Lampiran 5. Contoh formulir uji deskripsi aroma ............................................. 73 Lampiran 6. Contoh formulir uji segitiga aroma ............................................... 74 Lampiran 7. Contoh formulir pengenalan standar aroma .................................. 75 Lampiran 8. Contoh formulir pelatihan penskalaan .......................................... 76 Lampiran 9. Contoh formulir pelatihan intensitas rasa ..................................... 77 Lampiran 10. Contoh formulir pelatihan intensitas aroma .................................. 78 Lampiran 11. Contoh formulir quantitative descriptive analysis rasa ................ 79 Lampiran 12. Contoh formulir quantitative descriptive analysis aroma ............. 80 Lampiran 13. Contoh formulir quantitative descriptive analysis tekstur ............ 81 Lampiran 14. Data uji simple different test pada tahap seleksi pengasaman kimiawi.......................................................................................... 82 Lampiran 15. Analisis data uji simple different test pada tahap seleksi pengasaman kimiawi ..................................................................... 83 Lampiran 16. Data uji kesukaan pada tahap seleksi pengasaman kimiawi ......... 84 Lampiran 17. Analisis data uji kesukaan pada tahap seleksi metode pengasaman kimiawi ..................................................................... 85 Lampiran 18. Data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman ................................................................................... 87 Lampiran 19. Analisis data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman ........................................................................ 88 Lampiran 20. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman ...... 89 Lampiran 21. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman ................................................................................... 90 Lampiran 22. Data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam ....................................................................................... 92 Lampiran 23. Analisis data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam ....................................................................................... 93 Lampiran 24. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam ............ 94 Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam 95
ix
Lampiran 26. Data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut aroma langu tempe pengasaman X ............................................................................... 97 Lampiran 27. Analisa data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut aroma langu tempe pengasaman X .......................................................... 98 Lampiran 28. Data QDA tempe kontrol .............................................................. 100 Lampiran 29. Data QDA tempe laktat 1 .............................................................. 101 Lampiran 30. Data QDA tempe laktat 4 .............................................................. 102 Lampiran 31. Data QDA tempe pengasaman X/pengolahan X1......................... 103 Lampiran 32. Data QDA tempe pengolahan X2 ................................................. 104 Lampiran 33. Data QDA tempe pengolahan X3 ................................................. 105 Lampiran 34. Rangkuman data QDA tempe pengasaman kimiawi terpilih ........ 106
x
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tempe didefinisikan sebagai suatu massa hasil fermentasi kapang dengan bahan baku biji-bijian yang terikat bersama oleh miselium kapang tersebut (Nout dan Kiers, 2005). Pada umumnya tempe Indonesia terbuat dari kedelai sehingga orang cenderung menyebut tempe kedelai dengan tempe saja (Yeong, 1999). Teknologi pembuatan tempe seperti halnya teknologi pembuatan makanan tradisional lainnya berkembang secara turun temurun, dari mulut ke mulut dan berubah karena pengalaman. Meskipun demikian, ada hal-hal dasar yang diterapkan oleh semua pengrajin, salah satunya adalah pentingnya pengasaman kedelai sebelum inokulasi kultur starter (Hermana & Karmini, 1996). Pengasaman kedelai dalam pembuatan tempe memberikan kontribusi terhadap keamanan dan penerimaan tempe yang dihasilkan. Fungsi utama proses pengasaman adalah mendukung pertumbuhan kapang dan menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dan pembusuk (Kuswanto, 2004). Pengasaman kedelai di Indonesia umumnya dilakukan secara alami dengan perendaman kedelai selama semalam pada suhu 28-31oC, yang merupakan suhu ruang di negara tropis, sampai air rendaman berbusa dan berbau asam (Yeong et al., 1999). Proses pengasaman alami merupakan proses biologis yang mengubah komponen dalam kedelai serta mempengaruhi citarasa, daya cerna, nilai gizi dan daya simpan tempe yang dihasilkan (Hermana & Karmini, 1996). Bakteri asam laktat (BAL) yang mendominasi selama pengasaman alami menghasilkan asam-asam organik yang menghambat pertumbuhan patogen dan mikroba pembusuk pada tempe. Proses perendaman juga menurunkan zat-zat inhibitor pertumbuhan kapang sehingga memberikan kondisi pertumbuhan kapang yang lebih baik (Kuswanto, 2004). Permasalahan yang sering timbul dalam proses pembuatan tempe dengan pengasaman alami adalah limbah air rendaman hasil dari pengasaman
1
alami seringkali menyebabkan masalah lingkungan yang cukup serius. Hal ini terutama karena sampai saat ini pembuangannya dilakukan begitu saja oleh sebagian besar pengrajin tempe (Yeong et al., 1999). Limbah cair hasil perendaman bersifat asam (Liu, 1997), mempunyai bau yang asam serta banyak mengandung bahan-bahan organik terlarut dan bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus sp. serta bakteri lain seperti bakteri pembusuk (Yeong et al., 1999). Survei di empat pengrajin tempe di daerah Bogor (Sukasari, Cimanggu, Caringin, dan Warung Jambu) menunjukkan bahwa limbah cair industri tempe yang berasal dari air rendaman hasil pengasaman alami dicirikan sebagai larutan kental, kuning keruh, berbuih yang memiliki bau asam yang tajam. Karena pengolahan limbah belum diterapkan di keempat pengrajin tempe tersebut, beberapa dari para pengrajin tersebut mengakui bahwa masyarakat sekitar masih mengeluhkan kualitas air yang dicemari oleh limbah cair industri tempe tersebut. Steinkraus et al. (1965) serta Nout dan Kiers (2005) menyatakan bahwa pengasaman alami dapat digantikan dengan pengasaman kimiawi. Seperti limbah cair hasil perendaman alami, limbah hasil pengasaman kimiawi memiliki keasaman yang tinggi sehingga bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Namun demikian limbah hasil pengasaman kimiawi dapat digunakan kembali sebagai bahan pengasam untuk proses pengasaman berikutnya. Selain itu, limbah hasil pengasaman kimiawi tidak mengandung bahan organik dan mikroorganisme sebanyak limbah cair hasil perendaman alami (Yeong et al., 1999) yang menghabiskan oksigen terlarut dalam air. Suplai oksigen yang menurun akan mengganggu keseimbangan ekologi air (Jenie dan Rahayu, 1989). Pengasaman kimiawi ini pada mulanya dikembangkan untuk pembuatan tempe di negara beriklim sub tropis (Liu, 1997). Di negara beriklim subtropis, karena suhu lingkungan yang terlalu rendah untuk memicu aktivitas fermentasi BAL, pengasaman alami selama perendaman ini tidak terjadi atau berlangsung sangat lambat (Liu, 1997). Pengasaman kimiawi menguntungkan untuk produksi tempe skala industri karena memperpendek waktu pengasaman
2
hingga 2-3 jam bila dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu perendaman 20-30 jam (Hermana dan Karmini, 1996). Steinkraus et al. (1965) mengemukakan tentang proses pengasaman kimiawi yang dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam laktat 0.85% selama 2 jam pada suhu 25oC dan 30 menit pada suhu 100oC. Sedangkan Nout dan Kiers (2005) menyatakan bahwa asam asetat hingga konsentrasi 0.25% juga umum digunakan dalam pengasaman kimiawi. Doores (1983) mengemukakan bahwa penggunaan bahan pengasam dapat mempengaruhi citarasa bahan pangan. Citarasa didefinisikan sebagai persepsi yang diterima oleh alat indera dari produk yang terletak di dalam mulut. Berdasarkan definisi tersebut, yang termasuk di dalamnya adalah aroma, rasa, faktor stimulasi kimia dan mouthfeel (Meilgaard et al., 1999; Civille dan Lyon, 1996). Bahan pengasam pada umumnya berkontribusi terhadap rasa asam dan getir dari produk. Bahan pengasam dan hubungannya dengan citarasa seringkali membatasi penggunaannya dalam bahan pangan. Penggunaan bahan pengasam harus menyeimbangkan antara kepentingannya sebagai senyawa antimikroba dengan karakteristik citarasa yang dimilikinya pada suatu konsentrasi (Doores, 1990).
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode pengasaman kimiawi yang mampu menggantikan metode pengasaman alami tanpa menurunkan kualitas citarasa tempe yang dihasilkan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEMPE Tempe didefinisikan sebagai suatu massa hasil fermentasi kapang dengan bahan baku biji-bijian yang terikat bersama oleh miselium kapang tersebut (Nout dan Kiers, 2005). Tempe juga diklasifikasikan sebagai salah satu contoh produk fermentasi kacang-kacangan dan/atau serealia yang menghasilkan protein nabati bertekstur pengganti daging (Steinkraus, 2002). Tempe dihasilkan dengan pemasakan dan pengupasan kedelai serta inokulasi beberapa galur Rhizopus yang berbeda (R. oligosporus, R. oryzae, dan R. stolonifer). Fermentasi tempe merupakan fermentasi kultur padat yang melibatkan kapang, bakteri, dan khamir (Denter et al., 1998). Tempe yang baik dicirikan oleh permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang secara merata, kompak dan berwarna putih, antara butiran kacang atau serealia dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang kuat dan merata sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur (Yeong et al., 1999). Fermentasi pada tempe merupakan jenis fermentasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas nilai gizi dan karakter organoleptik (Nout dan Kiers, 2005). Tempe Indonesia pada umumnya terbuat dari kedelai. Tempe yang dibahas pada penulisan selanjutnya adalah tempe yang terbuat dari kacang kedelai. Brata-Arbai (1996) menyatakan bahwa tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kedelai. Isoflavon kedelai yang dilaporkan dapat mencegah carcinoma payudara manusia dan sel kanker lambung meningkat jumlahnya pada tempe (Wang dan Murphy, 1996). Komponen isoflavon tempe yang lain, asam 3-hidroksiantranilat (HAA), efektif dalam mencegah autooksidasi kedelai dan memiliki aktivitas antioksidatif yang tinggi baik di dalam air, alkohol, maupun membran eritrosit. HAA tidak ditemukan dalam kedelai namun diproduksi selama inkubasi Rhizopus oligosporus. Tempe sangat stabil terhadap ketengikan. Minyak mentah yang diekstrak dengan hexan : alkohol (2:1) dari tempe dilaporkan lebih stabil
4
terhadap oksidasi daripada minyak yang diekstrak dari kedelai (Esaki et al., 1996). Fermentasi tempe merombak protein menjadi asam-asam amino bebas dan meningkatkan kadar peptida sehingga protein tempe memiliki kuantitas dan kualitas lebih baik serta lebih mudah diserap dibandingkan protein kedelai. Protein tempe merupakan salah satu alternatif protein hewani yang sangat memadai (Nout dan Kiers, 2005). Di samping itu tempe juga menghasilkan antibakteri yang tidak dimiliki kedelai. Fermentasi tempe juga meningkatkan kualitas dan kuantitas zat-zat gizi kedelai asalnya antara lain vitamin B2, vitamin B12, niasin, asam pantotenat, asam amino bebas, asam lemak bebas, fosfor, dan zat besi (Yeong, et al., 1995). Metabolisme kapang dan bakteri selama fermentasi meningkatkan kandungan grup vitamin B, terutama riboflavin, niasin, vitamin B6, dan vitamin B12. Beberapa galur Rhizopus memproduksi betakaroten sehingga tempe yang difermentasi dengan kultur terseleksi dapat menjadi alternatif solusi di berbagai negara-negara yang penduduknya mengalami kekurangan vitamin A. Tempe juga mengandung ergosterol, prekursor vitamin D2, hasil aktivitas kapang Rhizopus sp. yang tidak terdapat pada kedelai asalnya (Denter et al., 1998). Tempe dapat menanggulangi anemia gizi besi dan berpotensi mencegah kanker (Astuti, 1996a dan Astuti, 1996b). Brata (1999) juga mengemukakan bahwa tempe mampu mencegah dan menanggulangi hiperkolesterolemia serta penyakit-penyakit yang terkait seperti penyakit jantung dan atherosclerosis. Konsumsi tempe yang memiliki sifat anti-infeksi dan merupakan sumber protein dengan kualitas, kuantitas, dan daya cerna yang tinggi juga telah terbukti mampu menanggulangi diare (Karmini, 1999).
B. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE Teknologi pembuatan tempe, seperti halnya teknologi pembuatan makanan tradisional lainnya, berkembang secara turun temurun, dari mulut ke mulut dan berubah karena pengalaman. Teknologi pembuatan tempe tradisional sangat beragam (Hermana dan Karmini, 1996). Selain urutan dalam
5
tahap produksi yang bervariasi, pada perkembangannya terjadi modifikasi pada setiap tahap produksi tempe. Modifikasi tersebut antara lain waktu dan teknik perendaman, jenis dan cara penambahan ragi tempe, waktu perebusan dan tambahan proses pemanasan pada tahap lain, jenis bahan pembungkus dan cara membungkus, serta waktu dan cara memeram (Hermana dan Karmini, 1996). Perendaman yang dilakukan dalam teknologi pembuatan tempe tradisional ini dilakukan dengan tujuan pengasaman kedelai secara alami. Pengasaman ini dapat dilakukan pula secara kimiawi dengan perendaman atau perebusan kedelai dalam bahan pengasam (Nout dan Kiers, 2005). Pengelompokan metode pembuatan tempe tradisional dapat dilakukan berdasarkan asal daerah pengembangannya (Hermana dan Karmini, 1996) maupun urutan langkah produksi tempe (Kuswanto, 2004). Berbagai metode pembuatan tempe tradisional dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan asal daerah pengembangannya, metode pembuatan tempe dibagi menjadi teknologi pembuatan tempe Malang (metode 8), tempe Purwokerto (metode 9), dan tempe Magelang (metode 10). Urutan langkah produksi tempe yang seringkali membedakan metode pembuatan tempe tradisional diantaranya adalah pencucian, perendaman, perebusan, pengupasan, inokulasi, pengemasan, dan jumlah pemanasan yang diterapkan (metode 1 – 7). Pembagian metode pembuatan tempe ini juga dapat dilakukan berdasarkan cara pengupasannya yaitu metode pengupasan basah dan metode pengupasan kering. Metode pengupasan kering dilakukan untuk produsen dan industri tempe skala menengah dan besar, sedangkan pengrajin tempe skala kecil umumnya menggunakan metode pengupasan basah (Yeong et al., 1999). Kedelai merupakan sumber nutrisi rendah biaya yang kaya protein. Nilai nutrisi kedelai dibatasi oleh beberapa komponen antinutrisi dan komponen toksik. Perendaman, pengupasan, dan perebusan secara efektif meningkatkan nilai nutrisi kedelai. Pemanasan basah menghancurkan tripsin inhibitor. Pengupasan menghilangkan kandungan tanin. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe mereduksi fitat hingga 30.7%. Kombinasi perlakuan perendaman, pengupasan, pemanasan, dan fermentasi oleh R. oligosporus menghilangkan hampir semua stakiosa, yaitu oligosakarida kedelai yang sering menyebabkan flatulensi (Egountley dan Aworh, 2003).
6
Metode 11) Metode 21) Kupas Rebus ↓ ↓ Cuci Rendam ↓ ↓ Rebus Kupas ↓ ↓ Tiriskan Cuci ↓ ↓ Dinginkan Tiriskan ↓ ↓ Inokulasi Inokulasi ↓ ↓ Kemas Kemas ↓ ↓ Inkubasi Inkubasi
Metode 31) Rendam ↓ Kupas ↓ Cuci ↓ Rebus ↓ Tiriskan ↓ Dinginkan ↓ Inokulasi ↓ Kemas ↓ Inkubasi
Metode 41) Metode 51) Metode 61) Metode 71) Rebus Rebus Rendam Rendam ↓ ↓ ↓ ↓ Rendam Dinginkan Rebus Rebus ↓ ↓ ↓ ↓ Kupas Kupas Cuci Dinginkan ↓ ↓ ↓ ↓ Cuci Cuci Rebus Kupas ↓ ↓ ↓ ↓ Rebus Rendam Dinginkan Cuci ↓ ↓ ↓ ↓ Tiriskan Rebus Kupas Rendam ↓ ↓ ↓ ↓ Dinginkan Tiriskan Cuci Rebus ↓ ↓ ↓ ↓ Inokulasi Dinginkan Tiriskan Tiriskan ↓ ↓ ↓ ↓ Kemas Inokulasi Inokulasi Dinginkan ↓ ↓ ↓ ↓ Inkubasi Kemas Kemas Inokulasi ↓ ↓ ↓ Inkubasi Inkubasi Kemas ↓ Inkubasi
Metode 82) 3) Rebus ↓ Kupas ↓ Rendam ↓ Cuci ↓ Rebus ↓ Tiriskan ↓ Dinginkan ↓ Inokulasi ↓ Kemas ↓ Inkubasi
Metode 93) Metode 103) Rebus Rebus ↓ ↓ Kupas Kupas ↓ ↓ Rendam Rendam ↓ ↓ Cuci Cuci ↓ ↓ Tiriskan Direndam Bersama ↓ Inokulasi Inokulum ↓ ↓ Kemas Tiriskan ↓ ↓ Inkubasi Kemas ↓ Inkubasi
Keterangan: 1)Kuswanto (2004); 2)Winarno (1989); 3)Hermana dan Karmini (1996) Gambar 1 Beberapa metode pembuatan tempe tradisional
7
C. CITARASA TEMPE Fermentasi merupakan salah satu proses pembentukan citarasa dalam bahan makanan (Heath dan Reineccius, 1994). Kapang Rhizopus oligosporus yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe memiliki kemampuan untuk tumbuh pesat, menghasilkan enzim-enzim proteolitik dan lipolitik yang mengubah komponen-komponen kedelai dan menghasilkan aroma yang khas (Mital dan Garg, 1990). Salah satu faktor penghambat kedelai sebagai makanan, khususnya untuk bangsa Barat adalah aroma dan rasa kedelai atau “beany flavor and taste”. Oleh adanya aktivitas mikroorganisme aroma kedelai diubah menjadi aroma khas tempe yang lebih dapat diterima (Pawiroharsono, 1996). Peranan fermentasi tempe dalam pembentukan citarasanya ditunjukkan dengan perubahan komponen volatil selama fermentasi tempe baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Nurjannah, 1999). Enzim yang dihasilkan kapang tempe memacu perubahan kimia yang terjadi selama fermentasi tempe (Varzakas, 1998). Nurkori (1999) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komponen volatil pada kedelai yang teridentifikasi dengan jumlah cukup tinggi berasal dari golongan asam karboksilat, senyawa ester alifatik, alkohol alifatik, aldehid alifatik, terpenoid, hidrokarbon, dan beberapa senyawa pyrazin. Degradasi komponen volatil tersebut sangat berkontribusi terhadap aroma tempe yang dihasilkan (Owens et al., 1997) . Winarno et al. (1986) menyebutkan bahwa tempe segar memiliki penampakan putih bersih dan tidak memiliki aroma kacang-kacangan seperti pada kedelai. Tempe tidak umum dikonsumsi dalam bentuk mentah melainkan setelah mengalami pengolahan. Menurut Mottram (1994), pengolahan panas mempengaruhi citarasa bahan pangan melalui reaksi Maillard. Martoyo (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan tidak menghilangkan deskripsi rasa asam dan pahit tempe. Tempe mentah dan tempe rebus tidak bergaram terdapat dalam kelompok atribut rasa yang sama dan kelompok atribut aroma yang berbeda. Tempe rebus digambarkan dengan atribut aroma yang sama dengan tempe mentah tetapi dengan intensitas lebih
8
rendah dan aroma rebus lebih dominan (Nurkori, 1999). Hasil deskripsi tempe oleh panelis terlatih dan tidak terlatih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Martoyo, 2001).
D. PENGASAMAN ALAMI Meskipun teknologi pembuatan tempe sangat beragam, ada hal-hal dasar yang diterapkan oleh semua pengrajin, salah satunya adalah pengasaman (Hermana dan Karmini, 1996). Di Indonesia, pengasaman biasanya dilakukan secara alami yaitu dengan perendaman kedelai beserta kulitnya, sehingga bakteri yang ada pada kulit kedelai tumbuh dan menghasilkan berbagai asam seperti asam sitrat, asam laktat, dan asam asetat. Yang penting dalam proses pengasaman ini adalah proses penurunan pH sehingga keasaman biji kedelai dan air rendaman mencapai nilai pH 3.5-5 (Yeong et al., 1999). Proses mengeliminasi
pembuatan
tempe
melibatkan
tahap
sebagian
besar
mikroorganisme,
perebusan namun
yang
demikian
kemungkinan terjadi rekontaminasi tetap ada. Rhizopus oligosporus dapat menghambat sebagian besar mikroorganisme, namun bakteri patogen tertentu masih dapat hidup apabila digunakan kultur murni R. oligosporus. Bakteri asam laktat (BAL) memberikan kontribusi penting dalam proses fermentasi dan menjamin keamanan tempe yang dihasilkan (Feng et al., 2005). Selama pengasaman alami berlangsung, terjadi fermentasi asam laktat yang menghambat pertumbuhan patogen dan mikroba pembusuk pada tempe. Pada proses pengasaman alami ini jenis mikroorganisme yang umum ditemukan adalah jenis-jenis bakteri pembentuk asam-asam organik yaitu bakteri dari kelompok Enterobacillus seperti Lactobacillus sp., L. plantarum dan sebagainya (Pawiroharsono, 1996). Penelitian Feng et al. (2005) menunjukkan bahwa Lactobacillus plantarum dan BAL yang lain menghambat pertumbuhan bakteri patogen selama fermentasi tempe dan mempunyai efek inhibisi yang lebih tinggi pada kondisi asam. BAL yang mendominasi selama perendaman ini meningkatkan asam-asam organik secara signifikan (Nout dan Kiers, 2005).
9
Pengasaman kedelai terjadi secara alami selama proses perendaman pada daerah tropis. Selama periode perendaman pertumbuhan bakteri banyak berperan dan menurunkan pH hingga mencapai nilai pH 4.5-5.3 (Kuswanto, 2004; Yeong et al., 1999). Fungsi utama pengasaman adalah mendukung pertumbuhan bakteri dan menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dan pembusuk. Namun demikian, proses pengasaman alami yang dilakukan dengan perendaman kedelai dalam air selama semalam juga dapat menurunkan zat-zat inhibitor pertumbuhan kapang (Kuswanto, 2004) dan mempermudah pencernaan atau hidrolisis protein kedelai pada tahap fermentasi berikutnya (Hermana dan Karmini, 1996). Proses fermentasi pada pengasaman alami ini penting dalam menghasilkan tempe dengan flavor, daya cerna, nilai nutrisi/gizi dan keawetan yang baik (Yeong et al., 1999). Hal lain yang mendasari pentingnya aplikasi pengasaman terhadap kedelai yang akan digunakan dalam pembuatan tempe adalah karena kapang tempe memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi. Deaminasi yang mengikuti hidrolisis melepaskan amonia yang akan meningkatkan nilai pH. Nilai pH lebih dari 7.0 merupakan kondisi di mana amonia bebas terdapat dalam jumlah yang cukup untuk membunuh kapang. Nilai pH awal yang lebih rendah memerlukan waktu fermentasi yang lebih lama sebelum amonia dibebaskan dalam jumlah yang cukup besar untuk membunuh kapang (Steinkraus, 1996). Fermentasi bakteri selama perendaman mengubah senyawa isoflavon kedelai menjadi antioksidan yang lebih aktif. Proses perendaman yang panjang juga memungkinkan pertumbuhan bakteri-bakteri lain penghasil vitamin seperti vitamin B2, B6, niasin, biotin, asam folat, asam pantotenat dan bahkan vitamin B12 (Hermana dan Karmini, 1996), vitamin dengan struktur molekul sangat kompleks yang umumnya terdapat pada produk-produk pangan hewani dan jarang ditemukan pada produk pangan nabati (Yeong et al., 1999). Kemampuan BAL memproduksi senyawa-senyawa antimikroba telah lama digunakan dalam pengawetan pangan. Fermentasi oleh BAL mengurangi jumlah karbohidrat yang tersedia dan menghasilkan komponen organik dengan bobot molekul rendah yang menunjukkan aktivitas antimikroba
10
(Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Asam laktat, salah satu agen inhibisi yang dihasilkan BAL, merupakan produk akhir utama dari katabolisme karbohidrat. Karena dari proses konversi sumber karbon ini dihasilkan setidaknya 50% asam laktat, maka grup bakteri ini dinamakan bakteri asam laktat (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Fermentasi yang melibatkan BAL dikarakterisasi dengan akumulasi asam-asam organik yang menyebabkan penurunan pH (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Komponen-komponen tersebut pada umumnya berupa asam laktat, asam asetat, dan asam propionat (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Prinsip pengawetan dari fermentasi asam laktat terutama hasil dari aktivitas antimikroba asam-asam organik yang dihasilkan selama metabolisme BAL (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Pengasaman dan efek inhibisi yang lain dari BAL menekan mikroflora alami seperti koliform, Klebsiella pneumoniae, dan khamir sehingga dengan demikian memperpanjang masa simpan tempe (Nout dan Kiers, 2005). Fermentasi asam laktat pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu homofermentasi dan heterofermentasi. Homofermentasi memproduksi asam laktat sedangkan heterofermentasi memproduksi asam laktat, asam asetat, karbondioksida, dan/atau etanol (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Selama pembuatan tempe pada iklim tropika seperti di Indonesia, heterofermentasi asam laktat berlangsung sangat aktif. Hal ini ditandai dengan terbentuknya buih dari gas CO2 (Yeong et al., 1999). Karbondioksida (CO2) terbentuk sebagai hasil heterofermentasi BAL terhadap heksosa. Gas CO2 memiliki
efek
antimikroba
ganda karena
selain
memiliki
aktivitas
antimikroba, gas CO2 juga memberikan kondisi lingkungan anaerobik yang menghambat pertumbuhan mikroba aerofilik. Dalam kondisi aerobik, BAL mampu membentuk hidrogen peroksida. Apabila dalam media tidak tersedia heme, BAL tidak akan memproduksi katalase untuk menghilangkan hidrogen peroksida dan dengan demikian menyebabkan akumulasi hidrogen peroksida. Efek bakterisidal dari hidrogen peroksida disebabkan oleh efek oksidasi terhadap sel bakteri, protein sel yang
11
memiliki grup sulfihidril, dan struktur lipid membran sel (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Menurut Sparringa dan Owens (1999) asam organik utama yang ditemukan setelah tahap perendaman adalah asam laktat yaitu sekitar 80% dari seluruh asam organik yang ditemukan dalam air rendaman. Demikian pula menurut Nout dan Kiers (2005) setelah perendaman selama 24 jam pada suhu 30oC, asam organik utama yang ditemukan dalam air rendaman kedelai hasil pengasaman alami teknologi backsloping adalah asam laktat (2.1% w/v air rendaman), sedangkan asam asetat (0.3% w/ v air rendaman) dan asam sitrat (0.5% w/ v air rendaman) ditemukan pula dalam jumlah lebih sedikit. Pengasaman alami dengan perendaman kedelai tidak mempengaruhi citarasa tempe yang dihasilkan karena kapang Rhizopus memproduksi amonia dalam jumlah yang cukup untuk menetralisir asam (Yeong et al., 1999). Namun demikian Nout dan Kiers (2005) menyarankan proses pemasakan dalam air (kedelai : air = 1 : 6.5) setelah perendaman untuk menurunkan konsentrasi asam laktat dan asam asetat hingga 45% dan 51%.
E. LIMBAH INDUSTRI TEMPE Limbah
industri
pangan
dapat
menimbulkan
masalah
karena
mengandung sejumlah besar nutrisi sehingga dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Umumnya limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit. Akan tetapi limbah industri pangan dapat berperan sebagai pasokan makanan yang berlimpah bagi mikroorganisme, yang bila berkembang biak dengan cepat akan mereduksi oksigen terlarut dalam air dan menimbulkan bau yang tidak diinginkan (Jenie dan Rahayu, 1989). Berdasarkan data yang diperoleh oleh Yeong et al. (1999), konsumsi kedelai yang diolah menjadi tempe di Kabupaten Bogor sekitar 13 ton per tahun. Dari jumlah ini limbah padat yang dihasilkan sekitar 9.36 ton per tahun dan limbah cairnya diperkirakan sekitar 130 m2 per tahun.
12
Limbah padat berupa kulit kedelai dihasilkan pada tahap pengupasan, sedangkan limbah cair dihasilkan pada tahap perebusan, perendaman (pengasaman alami), dan pencucian (Yeong et al., 1999). Limbah padat industri tempe telah mulai dimanfaatkan sebagai medium fermentasi dan makanan ternak yang baik dan ekonomis karena nilai proteinnya (Murti dan Nasution, 1996). Limbah cair yang merupakan limbah utama industri tempe dibuang secara langsung ke saluran yang ada atau ke sungai, kolam, maupun danau (Yeong et al., 1999). Limbah cair hasil pengasaman alami berupa air rendaman kedelai mempunyai bau yang asam (Yeong et al., 1999) sehingga tidak jarang limbah produksi tempe ini menjadi sumber protes masyarakat sekitar pabrik (Murti dan Nasution, 1996). Air limbah rendaman kedelai banyak mengandung bahan-bahan organik terlarut seperti gula dan protein (Tabel 1). Air limbah rendaman kedelai mengandung bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus sp. dan bakteri lain seperti bakteri pembusuk yang secara alami terdapat dalam air rendaman (Yeong et al., 1999). Kandungan bahan organik dan mikroorganisme dalam air limbah rendaman kedelai meningkatkan nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan menghabiskan oksigen terlarut dalam air. Apabila suplai oksigen terus menurun, keseimbangan ekologi air terganggu bahkan dapat menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya (Jenie dan Rahayu, 1989). Tabel 1. Komposisi Rata-rata Air Rendaman Kedelai* Komponen Komposisi Rata-rata Gula pereduksi (ppm) 599.2 Besi (ppm) 1.9 Kalsium (ppm) 97.0 Magnesium (ppm) 23.6 Fosfat (ppm) 14.3 Protein (%) 0.46 * Yeong et al., 1999 Air limbah rendaman kedelai juga bersifat asam (pH 3.5-5.2), karena pada tahap perendaman terjadi proses pengasaman (Liu, 1997). Peningkatan keasaman tersebut selain mengganggu kehidupan hewan air di sekitarnya juga
13
bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Konsep perlindungan lingkungan yang dianut oleh industri selama ini adalah penanganan dan pembuangan limbah yang disebut konsep End of Pipe Treatment (EOPT). Konsep EOPT memiliki kelemahan yaitu kebutuhan akan biaya yang tinggi dan teknologi yang canggih sehingga sulit untuk diterapkan di industri kecil dan menengah (Suprihatin, 1999). Suprihatin (1999) mengemukakan kemungkinan konsep alternatif yang lebih murah dan relatif lebih mudah yang disebut konsep teknologi produksi bersih. Konsep teknologi produksi bersih mencegah pencemaran lingkungan sejak pada sumber asalnya. Menurut Modak (1995), keberhasilan penerapan teknologi produksi bersih dapat dicapai dengan lima jalur yaitu penerapan house keeping yang baik, modifikasi peralatan, substitusi, bahan baku, modifikasi produk, dan inovasi teknologi. Pengasaman kimiawi dapat digolongkan dalam usaha aplikasi teknologi bersih dengan cara inovasi teknologi sebagai alternatif solusi untuk masalah lingkungan yang ditimbulkan pengasaman alami. Bahan pengasam juga memiliki keasaman yang tinggi sehingga bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Namun demikian limbah hasil pengasaman kimiawi dapat digunakan kembali sebagai bahan pengasam untuk proses pengasaman berikutnya. Selain itu, limbah hasil pengasaman kimiawi tidak mengandung bahan organik dan mikroorganisme sebanyak limbah cair hasil perendaman alami (Yeong et al., 1999). Bahan organik dan mikroorganisme menghabiskan oksigen terlarut dalam air dan meningkatkan BOD sehingga mengganggu kehidupan biota air (Jenie dan Rahayu, 1989).
F. PENGASAMAN KIMIAWI Keunggulan nutrisi dan sifat fungsional tempe telah menarik perhatian dunia sehingga permintaan akan tempe di dunia internasional juga semakin meningkat. Ketertarikan dunia internasional bersama dengan sifat tempe yang
14
sangat mudah rusak mendorong negara industri, seperti Jepang untuk memulai produksi tempe di negaranya sendiri (Kozaki, 2004). Di negara beriklim subtropis, pengasaman alami selama perendaman tidak selalu terjadi atau sangat lambat (Liu, 1997; Yeong et al., 1999). Pada kondisi suhu yang cukup dingin, fermentasi asam laktat pada umumnya kurang dapat berjalan dengan baik, sehingga untuk mencapai pH yang diinginkan perlu dilakukan pengasaman kimiawi dengan penambahan bahan pengasam (Yeong et al., 1999). Berkembangnya proses pengasaman kimiawi didasarkan pada tujuan utama pengasaman kedelai dalam proses pembuatan tempe yaitu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk dan memberikan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan kapang (Kuswanto, 2004). Hal ini dapat dicapai dengan menambahkan bahan pengasam yang merupakan bahan tambahan pangan (BTP) yang diperbolehkan oleh peraturan (Doores, 1983). Efek antimikroba asam tidak hanya diperoleh dari penurunan pH (Doores, 1990). Aktivitas antimikroba dari asam organik ditentukan oleh nilai pH, konstanta disosiasi (pKa) dan konsentrasi asam (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Penggunaan asidulan secara efektif tergantung pKa atau pH dimana 50% dari total asam terdisosiasi. Pada umumnya, asam-asam organik memiliki pKa 3-5 (Doores, 1983). Oleh karena itu asam organik umumnya memiliki aktivitas antimikroba yang lebih kuat pada pH rendah daripada pH netral (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Asam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu asam lipofilik dan asam karboksilat. Asam lipofilik seperti asam asetat dan turunannya, asam propionat, asam laktat, dan asam kaprilat merupakan komponen yang relatif nonpolar. Komponen ini umumnya ditambahkan ke dalam bahan pangan karena properti antimikroba yang dimilikinya. Asam karboksilat lebih polar daripada asam lipofilik dan umumnya digunakan karena efek secondary (rasa, pengkelat ion logam, reaksi sinergis dengan antioksidan, mengkontrol pembentukan
gel
pektin,
mencegah
pencoklatan)
daripada
efek
antimikrobanya (Doores, 1983).
15
Efek antimikroba dari asam sangat bergantung pada pH dan pada bentuk tidak terdisosiasi asam tersebut (Doores, 1990). Bagian yang tidak terdisosiasi dari suatu molekul dipercaya merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap efek antimikroba (Doores, 1983; Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Bentuk terdisosiasi asam lemah, tidak dapat menembus dinding sel mikroorganisme. Bentuk tidak terdisosiasi dari asam lemah dapat menembus bagian dalam sel dengan cepat karena kelarutannya dalam lemak sehingga mampu berdifusi melewati plasma membran dan berdisosiasi di dalam sel (Doores, 1990). Asam lipofilik dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba, dan pada pH intaseluler yang lebih tinggi, terdisosiasi memproduksi ion hidrogen, dan menggangu fungsi metabolisme esensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif, serta menurunkan pH intraseluler mikroba (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Oleh karena itu penggunaan asam yang bertujuan untuk pengawetan lebih baik digunakan pada nilai pH yang mendekati pKa (Doores, 1983). Pada suatu nilai pH, asam yang memiliki nilai pKa tertinggi, akan memiliki bentuk tidak terdisosiasi lebih banyak dan dengan demikian memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Selama ini asam laktat merupakan pilihan utama sebagai bahan pengasam dalam pembuatan tempe. Jika tidak mungkin memperoleh asam laktat, asam cuka dapat digunakan (Hermana dan Karmini, 1996). Jumlah asam yang ditambahkan beragam tergantung suhu dan nilai pH akhir kedelai prefermentasi (Yeong et al., 1999). Penggunaan bahan pengasam menambah biaya produksi namun mempersingkat waktu produksi tempe. Pengasaman kimiawi menguntungkan untuk produksi tempe skala industri karena hanya membutuhkan waktu 2-3 jam bila dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu 2030 jam (Hermana dan Karmini, 1996). Steinkraus (1965) mengemukakan bahwa di negara-negara subtropis pengasaman ini dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam laktat 0.85% selama 2 jam pada suhu 25oC dan 30 menit pada suhu 100oC.
16
Asam laktat merupakan inhibitor bakteri pembentuk spora pada pH 5.0. Asam laktat tidak efektif terhadap khamir dan kapang sehingga penggunaannya untuk mengasamkan kedelai tidak menggangu fermentasi kapang dalam pembuatan tempe (Doores, 1983). Selain menurunkan pH, asam laktat meningkatkan permeabilitas membran dan dengan demikian memicu aktivitas komponen antimikroba lain (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Berdasarkan status regulasinya, asam laktat dinyatakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP) Generally Recognized as Safe (GRAS) untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1061). Nilai asupan harian yang dapat diterima untuk asam laktat tidak dibatasi (Doores, 1983). Nout dan Kiers (2005) menyatakan bahwa perendaman kimiawi dengan asam asetat (< 0.25%) juga umum digunakan untuk menggantikan metode pengasaman alami, meskipun menurut De Reu, Rombouts, dan Nout (1995) asam asetat menunjukkan efek inhibisi terhadap pertumbuhan kapang. Asam asetat merupakan antimikroba spektrum luas dengan properti bakterisidal dan mikosidal. Aksi antimikroba asam asetat dicapai pada pH yang lebih tinggi dibandingkan HCl (Doores, 1983). Penggunaan utama asam asetat adalah untuk membatasi pertumbuhan bakteri dan khamir daripada kapang, namun pada pH 3.5 mempunyai aktivitas antifungal yang biasa digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang roti (Doores, 1983). Dalam kondisi dimana asam laktat dan asam asetat terdapat bersamaan, asam laktat berperanan menurunkan pH sedangkan asam asetat dalam bentuk tidak terdisosiasinya berperan sebagai antimikroba aktual (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Karakteristik rasa asam asetat seringkali membatasi penggunaannya (Doores, 1990). Berdasarkan status regulasinya, asam asetat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1005). Nilai asupan harian yang dapat diterima untuk asam asetat tidak dibatasi (Doores, 1983) Asam sitrat merupakan salah satu asam yang ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada air rendaman kedelai hasil pengasaman alami (Nout dan Kiers, 2005). Asam sitrat merupakan komponen asam utama pada kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan. Asam sitrat merupakan senyawa yang terjadi
17
secara alami sehingga nilai asupan harian yang dapat diterima tidak dibatasi. Asam sitrat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1033). Asam sitrat memiliki efek inhibisi paling baik pada salmonellae sehingga umum digunakan dalam pengawetan daging (Doores, 1983). Asam malat merupakan asam nonhigroskopik dengan rasa asam yang terasa secara perlahan-lahan namun persisten, tidak menyengat seperti kebanyakan bahan pengasam lain. Asam malat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1069). Efek antimikroba asam malat terhadap khamir dan bakteri diperkirakan merupakan efek langsung dari manipulasi pH yang ditimbulkannya. Asam malat umumnya digunakan sebagai flavoring (Doores, 1983). Asam anorganik seperti asam fosfat dapat pula digunakan sebagai bahan pengasam. Asam fosfat memiliki rasa datar, berbeda dengan rasa tart yang tajam kebanyakan asam organik. Asam fosfat dapat menyebabkan iritasi kulit sehingga memerlukan penanganan yang hati-hati (Reineccius, 1994). Bahan pengasam X merupakan senyawa anorganik yang juga umum digunakan sebagai BTP dan memiliki status regulasi GRAS. Keamanan penggunaan bahan pengasam X telah terbukti secara empiris pada produk pangan lain. Pengasam X ini ditemukan dalam tubuh manusia dan dapat diperoleh dari fermentasi bahan pangan. Penggunaan utama dari bahan pengasam adalah sebagai antimikroba untuk mencapai keamanan pangan (Doores, 1990). Bahan pengasam yang umum digunakan sebagai BTP dapat dilihat pada Tabel 2. Pemilihan bahan pengasam yang digunakan selain bergantung pada efek antimikrobanya juga harus mempertimbangkan status regulasi dan efeknya terhadap citarasa bahan pangan (Doores, 1983). Bahan pengasam berkontribusi terhadap rasa asam dan getir dari produk (Doores, 1983). Tingkat keasaman yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengawetan dapat mempengaruhi citarasa bahan pangan. Bahan pengasam dan hubungannya dengan citarasa ini seringkali menjadi batasan penggunaan asam dalam bahan pangan (Doores, 1990).
18
Tabel 2. Bahan pengasam yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan dan karakteristiknya* No
Nama Asam
Struktur
pKa
Bentuk fisik
4.75 4.43 5.41 4.17 11.57 4.89 3.14 4.77 6.39 3.03 4.44 3.08
Cairan bening jernih Bubuk kristal
1 2
Asam asetat Asam adipat
C2H4O2 C6H10O4
3
Asam askorbat
C6H8O6
4 5
Asam kaprilat Asam sitrat
C8H16O2 C6H8O7
6
Asam fumarat
C4H4O4
7
Asam laktat
C3H6O3
8
Asam malat
C4H6O5
9
Asam fosfat
10
Asam tartarat
C4H6O6
11 12 13
Asam propionat Asam sorbat Asam suksinat
C3H6O2 C4H6O4
Cairan bening jernih Bubuk kristal
Granula atau bubuk kristal Cairan atau bubuk kering 3.40 Bubuk kristal 5.11 2.12 Cair 7.21 12.67 2.98 Bubuk kristal 4.34 4.87 Oily liquid Kristal putih 4.16 5.61
Kelarutan (g/100ml air) Sangat larut 1.9g (20oC) 83g (90oC)
181g (25oC) 208g (25oC) 0.5g (20oC) 9.8g (100oC) Sangat larut 62g (25oC) Sangat larut dalam air panas 147g (25oC) Sangat larut Sedikit larut
*Doores, 1983; Doores, 1990; Reineccius, 1994
G. ANALISIS SENSORI Analisis sensori didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang digunakan untuk memunculkan, mengukur, menganalisis, dan menginterpretasi persepsi terhadap produk yang diterima oleh indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba. Atribut sensori yang dianalisis dengan penginderaan ini antara lain adalah penampilan, aroma, tekstur dan konsistensi, citarasa, serta suara (Meilgaard et al., 1999). Citarasa didefinisikan sebagai persepsi yang diterima oleh alat indera dari produk yang terletak di dalam mulut. Berdasarkan definisi tersebut, yang termasuk di dalamnya adalah aroma, rasa, faktor stimulasi kimia dan mouthfeel (Meilgaard et al., 1999; Civille dan Lyon, 1996). Umumnya
19
karakteristik sensori produk pangan hanya dapat diukur dengan baik, lengkap, dan berarti bila menggunakan manusia sebagai subjek pengukuran. Dalam bahasa analisis sensori, subjek manusia biasa disebut panelis (Poste et al., 1991). Panelis analisis sensori ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu kelompok expert yang sangat terlatih, panelis terlatih skala laboratorium, panelis penerimaan skala laboratorium, dan panelis konsumen skala besar. Expert yang sangat terlatih (1-3 orang) digunakan untuk evaluasi kualitas yang membutuhkan derajat ketepatan yang tinggi seperti anggur, teh, dan kopi. Panelis terlatih (8-20 orang) digunakan untuk evaluasi perubahan karakteristik produk tanpa instrumentasi yang lengkap. Analisis sensori oleh panelis penerimaan skala laboratorium (25-50 orang) digunakan untuk prediksi reaksi konsumen terhadap produk. Panelis konsumen skala besar (lebih dari 100 orang) digunakan menetukan reaksi konsumen terhadap produk (Poste et al.,1991 dan Meilgaard et al., 1999). Berbagai metode analisis sensori telah dikembangkan dengan keuntungan
dan
kelemahan
masing-masing.
Situasi
yang
berbeda
membutuhkan metode berbeda. Tidak ada satu metode yang dapat selalu digunakan secara umum. Sebelum digunakan, penguji harus menentukan tujuan dari suatu pengujian dan informasi yang ingin dilihat dari pengujian tersebut (Poste et al., 1991). Pada dasarnya, jenis analisis sensori terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu uji diskriminatif atau uji beda, uji deskriptif, dan uji afektif (Poste et al., 1991; Meilgaard et al. 1999). Uji diskriminatif digunakan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan diantara sampel-sampel yang diujikan. Uji deskriptif digunakan untuk menentukan karakter dan intensitas perbedaan tersebut. Uji afektif didasarkan pada evaluasi preferensi atau penerimaan untuk menentukan preferensi relatif (Poste et al., 1991). 1. Uji Diskriminatif Analisis sensori seringkali dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan di antara sampel-sampel yang diujikan (Poste et al.,
20
1991). Secara umum uji diskriminatif terbagi menjadi uji diskriminatif keseluruhan (overall difference test) dan uji diskriminatif atribut tertentu (attribute difference test). Uji diskriminatif keseluruhan seperti uji segitiga dan uji duo-trio, dirancang untuk menunjukkan apakah panelis dapat mendeteksi perbedaan yang terdapat pada sampel. Uji diskriminatif keseluruhan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya uji segitiga, uji duo-trio, uji two out of five, simple different test, uji A bukan A, uji different from control (Poste et al., 1991, Meilgaard et al., 1999). Kelima metode pertama yang disebutkan memiliki tujuan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori akibat perubahan bahan baku, pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan serta untuk menentukan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori secara keseluruhan dimana tidak ada atribut spesifik yang diketahui telah berubah (Meilgaard et al., 1999). Uji different from control dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan diantara satu atau beberapa sampel dengan kontrol. Namun demikian uji ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan seberapa jauh perbedaan tersebut. Uji segitiga dan uji two out of five dapat dilakukan untuk menyeleksi dan melatih kemampuan panelis dalam memilah perbedaan yang ada dalam sampel. Simple different test merupakan metode yang paling sederhana dan paling sering digunakan untuk menentukan keberadaan perbedaan karakteristik sensori di antara pasangan sampel yang disajikan (Meilgaard et al., 1999). Uji
diskriminatif
atribut
tertentu
meminta
panelis
untuk
berkonsentrasi pada satu atau beberapa atribut tertentu saja sementara atribut sensori yang lain tidak dihiraukan. Yang perlu diperhatikan dalam pengujian ini adalah tidak adanya perbedaan suatu atribut diantara sampelsampel yang diujikan tidak menunjukkan bahwa diantara sampel tersebut juga tidak ada perbedaan atribut sensori secara keseluruhan. Metode pengujian dalam uji ini terbagi menjadi dua berdasarkan penyajian sampel
21
yang diuji yaitu paired comparison design dan multisample difference test (Meilgaard et al., 1999). Metode pengujian yang termasuk paired comparison design diantaranya adalah directional difference test dan pairwise ranking test. Directional difference test merupakan bentuk lain simple different test dan uji preferensi pasangan untuk analisis perbedaan atribut tertentu suatu produk pangan. Pairwise ranking test merupakan metode yang membandingkan atribut tertentu dari semua pasangan sampel yang mungkin dengan menggunakan panelis tidak terlatih (Meilgaard et al., 1999). Multisample
difference
test
umumnya
dilakukan
dengan
membandingkan 3-6 sampel yang disajikan sekaligus. Namun demikian, pengujian dengan jumlah sampel yang terlalu banyak bila disajikan sekaligus dapat menggunakan rancangan pengujian balanced incomplete block. Pengujian ini merupakan rancangan penyajian dimana seorang panelis hanya menerima sebagian sampel yang diujikan, namun semua sampel mendapatkan jumlah evaluasi panelis yang sama (Meilgaard et al., 1999). Metode pengukuran respon dalam uji diskriminatif multisample difference test yang umum digunakan adalah ranking atau rating. Ranking pada
dasarnya
merupakan
pengembangan
dari
pengujian
paired
comparison. Panelis menerima tiga sampel atau lebih kemudian diminta untuk mengurutkan sampel berdasarkan intensitas atribut sensori tertentu. Metode ini umumnya digunakan bukan untuk menguji semua sampel melainkan untuk memilih satu atau dua sampel dari suatu kelompok sampel. Data uji ranking tidak menunjukkan besar perbedaan diantara sampel-sampel yang diuji (Poste et al., 1991). Rating merupakan salah satu bentuk dalam teknik penskalaan (scaling). Penskalaan adalah pengukuran respon evaluasi sensori yang menggunakan angka atau kata-kata untuk menunjukkan intensitas atau reaksi terhadap atribut sensori yang diterima oleh panelis. Respon dalam
22
teknik penskalaan dikelompokkan menjadi skala kategorial (rating), skala garis (skoring), dan skala magnitude estimation (ratio scaling). Rating merupakan metode yang menggunakan kata-kata untuk menunjukkan intensitas atribut sampel. Skoring meminta panelis untuk memberikan tanda pada suatu garis horisontal sehubungan dengan intenstitas atribut yang dirasakan. Ratio scaling merupakan teknik penskalaan dimana panelis diminta memberikan nilai secara bebas pada suatu produk (Meilgaard, 1998). 2. Uji Deskriptif Analisis sensori deskriptif merupakan identifikasi, deskripsi, dan kuantifikasi parameter sensori suatu produk dengan instrumen manusia yang telah mengalami pelatihan (Einstein, 1991). Hasil aplikasi uji deskripsi dapat memetakan atribut citarasa produk yang diuji (Meilgaard et al., 1999). Uji deskriptif hanya menggunakan lima sampai sepuluh panelis untuk produk dengan variasi tinggi seperti produk pertanian. Panelis dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pula untuk uji deskriptif produk yang diproduksi secara massal di mana perbedaan yang sangat sedikit sangat penting (Meilgaard et al., 1999). Panelis merupakan instrumen analisis dalam analisis sensori. Kualitas dari instrumen ini bergantung pada objektivitas, presisi dan kemampuan repetisi dari panelis itu sendiri. Sebelum seorang panelis dapat digunakan, kemampuan seorang panelis untuk membuat penilaian harus ditentukan terlebih dahulu. Panelis untuk pengujian deskripsi harus terlebih dahulu diseleksi dan dilatih (Poste et al., 1991). Menurut Poste et al. (1991) seleksi panelis dilakukan berdasarkan karakter personal dan kemampuan panelis. Kemampuan panelis yang dimaksud antara lain status kesehatan, minat, ketersediaan waktu, kemampuan menepati waktu, dan kemampuan verbal. Pelatihan panelis secara umum dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas dan kemampuan
23
mengingat panelis untuk memberikan pengukuran sensori yang tepat, konsisten, dan terstandarisasi. Panelis uji deskriptif terseleksi harus melalui pelatihan sehingga memiliki kemampuan untuk mendeteksi perbedaan karakteristik atau intensitas, kemampuan menggambarkan karakteristik secara verbal dan skala intensitasnya, serta kemampuan untuk mengingat reference (Einstein, 1995). Uji deskriptif dapat digunakan untuk mendefinisikan properti sensori dari produk target dalam pengembangan produk baru atau kontrol untuk aplikasi quality assurance, quality control, atau riset dan pengembangan. Uji deskriptif dapat pula digunakan untuk melacak perubahan sensori selama penyimpanan. Sebelum dilakukan uji konsumen, deskriptif dapat membantu menseleksi atribut sensori yang perlu dimasukkan
dalam
kuesioner
kepada
konsumen
dan
membantu
menjelaskan hasil yang diperoleh dari uji konsumen tersebut (Meilgaard et al., 1999). Uji deskriptif yang umum digunakan antara lain Flavor Profile Method, Texture Profile Method, Quantitative Descriptive Analysis (QDA)® Method, SpectrumTM Descriptive Analysis Method, Time-Intensity Descriptive Analysis, Free Choice Profiling (Meilgaard et al., 1999). Flavor Profile Method merupakan analisis karakteristik aroma dan flavor, intensitas, penampilan, dan aftertaste suatu produk hasil penilaian 4-6 panelis terlatih. Texture Profile Method dikembangkan untuk menilai atribut spesifik deskriptor produk-produk seperti pangan semi-solid, minuman, dan produk-produk yang diperuntukkan untuk kulit, serta bahan kain dan kertas. SpectrumTM Descriptive Analysis Method pada prinsipnya meminta panelis untuk memberikan skor terhadap intensitas stimulasi yang diterima bila dibandingkan referensi yang memiliki skala intensitas absolut dan telah dipelajari sebelumnya. Free Choice Profiling merupakan teknik
baru
yang
mengijinkan
panelis
untuk
menciptakan
dan
menggunakan istilah mereka sendiri sebanyak yang dibutuhkan untuk
24
mendeskripsikan karakteristik sensori sampel yang diujikan (Meilgaard et al., 1999). Time-Intensity Descriptive Analysis adalah analisis deskripsi produk-produk tertentu dimana persepsi yang diterima dapat bervariasi seiring dengan periode waktu penginderaan. Contoh penggunaan metode ini adalah untuk mengukur intensitas warna lipstik setelah beberapa jam penggunaan, efek pahit dari bir, atau aftertaste yang ditinggalkan pemanis (Meilgaard et al., 1999). Metode
QDA
menggambarkan
karakteristik
sensori
secara
matematis (Zook and Pearce, 1988) sehingga analisis statistik pada data yang diperoleh dapat diinterpretasikan lebih baik. Data QDA diolah secara sistematik dan hasilnya harus dapat ditampilkan dalam bentuk yang mudah dimengerti (Zook and Pearce, 1988). Hasil QDA umumnya dilaporkan dalam bentuk spiderweb dengan nilai nol pada titik pusat untuk setiap atribut (Meilgaard et al., 1999). 3. Uji Afektif Uji afektif digunakan untuk mengevaluasi kecenderungan subjektif suatu produk berdasarkan properti sensorinya. Hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Uji afektif umumnya dilakukan menggunakan responden tidak terlatih dalam jumlah besar untuk
mengetahui indikasi daya tarik suatu produk
dibandingkan produk lainnya (Poste et al., 1991). Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif kualitatif dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatif terdiri dari focus group, focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan metode uji afektif kuantitatif terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji penerimaan (Meilgaard, 1998). Uji afektif kualitatif mengukur respon subjektif panelis terhadap properti sensori suatu produk dengan menanyakan perasaan mereka terhadap sampel dalam wawancara atau suatu kelompok kecil. Salah satu fungsi analisis sensori dengan metode ini
adalah untuk memberikan
25
praduga terhadap konsep atau prototipe suatu produk (Meilgaard et al., 1999). Kata hedonik didefinisikan sebagai “terkait dengan kesenangan”. Uji kesukaan yang disebut juga uji preferensi ini merupakan metode pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel bila dibandingkan sampel lain (Poste et al., 1991). Sedangkan uji penerimaan merupakan metode uji afektif kuantitatif untuk menentukan status kesukaan suatu produk yaitu sejauh mana produk tersebut disukai oleh konsumen.
H. PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS (PCA) PCA adalah suatu analisis peubah jamak yang dapat mengurangi data yang komplek menjadi data yang mudah diinterpretasikan. Prinsipnya adalah transformasi berbagai dimensi ke dalam sistem koordinat dengan dimensi yang lebih kecil (Esbensen et al., 1994). Masing-masing dimensi baru harus memaksimalkan jumlah keragaman yang dijelaskan (Carpenter et al., 2000). Tujuan PCA adalah menentukan komponen-komponen utama untuk menerangkan keragaman data semaksimal mungkin. Komponen utama yang diperoleh diurutkan berdasarkan penurunan keragamannya. Komponen utama pertama (PC1) adalah komponen utama dengan keragaman terbesar yang paling informatif dan paling berpengaruh. Bila informasi dari variabel yang diinput dianalisis kembali akan muncul komponen utama pelengkap dengan keragaman kedua terbesar setelah PC1, disebut PC2, dan demikian seterusnya (Afifi dan Clark, 1996). Tahapan dasar dalam analisis ini adalah mentransformasikan variabel asli yang kurang berhubungan ke dalam variabel baru yang disebut komponen utama. Variabel baru tersebut merupakan kombinasi linear dari variabel aslinya. Setiap komponen dalam model PCA mempunyai tiga set karakteristik atribut yaitu keragaman, loadings, dan skor (Esbensen et al., 1994). Keragaman memberikan informasi-informasi untuk digunakan pada komponen utama yang dapt dinyatakan dengan residual variance dan explained variance. Loadings menyatakan gambaran hubungan antara variabel
26
sedangkan scores menggambarkan sampel. Gabungan plot loadings dan scores merupakan hasil analisis berupa grafik biplot yang menggambarkan hubungan antara variabel dan sampel secara keseluruhan (Esbensen et al., 1994).
27
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah adalah kacang kedelai putih Finna, laru LIPI, asam laktat, asam asetat, asam sitrat, asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X, dan bahan pengemas plastik PP. Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian tempe yang dihasilkan adalah air, akuades, propilenglikol (PG), glukosa, NaCl, kafein, MSG, flavor meaty, hexanal, asam oktanoat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, baskom, tampah, saringan, ember, alat uji organoleptik, gelas ukur, toples kaca, pipet Mohr, pipet tetes, gelas piala, sealer, dan pHmeter.
B. METODE PENELITIAN Secara umum penelitian ini terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama merupakan seleksi metode pengasaman kimiawi dari metode-metode terdahulu yang bervariasi dalam hal perlakuan (perebusan 30 menit atau perendaman 2 jam dalam bahan pengasam) maupun jenis asam (asam asetat dan asam laktat). Metode pengasaman kimiawi terpilih dalam seleksi awal, yaitu perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit (pengasaman laktat 1), dikarakterisasi citarasanya untuk menentukan arah modifikasi yang akan dilakukan. Penelitian tahap kedua merupakan modifikasi proses pengasaman dari pengasaman laktat 1. Metode pengasaman yang diuji pada tahap ini adalah pengasaman laktat 1 dengan pengurangan konsentrasi asam laktat menjadi 0.3% (pengasaman laktat 3) dan pengasaman laktat 1 yang diikuti perebusan dalam air bersih selama 20 menit (pengasaman laktat 4). Karakterisasi citarasa dilakukan terhadap metode pengasaman kimiawi terpilih dalam modifikasi proses pengasaman, yaitu pengasaman laktat 4. Karakterisasi citarasa tempe terpilih dalam modifikasi proses pengasaman ini belum memuaskan sehingga
28
dilakukan modifikasi jenis pengasam yang digunakan pada penelitian tahap berikutnya. Tahap ketiga merupakan seleksi metode pengasaman kimiawi yang telah dimodifikasi bahan pengasamnya (asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X, serta kombinasi asam laktat, asam asetat, dan asam sitrat). Karakterisasi citarasa dilakukan terhadap metode pengasaman kimiawi terpilih dalam modifikasi jenis pengasam, yaitu pengasaman X. Tahap keempat hanya merupakan finishing atau perbaikan proses pengolahan kedelai sebelum pengupasan dalam pembuatan tempe menggunakan pengasaman X supaya produk tempenya memiliki citarasa yang lebih mendekati kontrol. Teknologi pembuatan tempe tradisional yang menjadi basis metode pembuatan tempe secara umum pada penelitian ini adalah teknologi pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe Sukasari, Bogor. Tempe yang dihasilkan dari teknologi ini disebut tempe Bogor atau tempe Magelang. Secara umum teknologi pembuatan tempe ini digambarkan dalam bagan alir Gambar 2.
Gambar 2. Bagan alir teknologi pembuatan tempe pengrajin tempe Sukasari
29
Proses pencucian dilakukan dengan merendam kedelai kering dalam wadah yang berisi air bersih kemudian mengaduknya dengan tangan berulangulang sampai air pencuci menjadi bening. Pemanasan awal dilakukan dengan memanaskan kedelai dalam air berlebih sampai mendidih, kemudian tetap dipanaskan dengan api kecil selama 10 menit, dan dibiarkan dalam air rebusan tersebut selama 1 jam. Tahap pengasaman kedelai dilakukan hingga keasaman biji kedelai dan air rendaman turun mencapai nilai pH antara 3.5 sampai 5. Pengasaman yang dilakukan di pengrajin Sukasari dilakukan secara alami teknologi backsloping yaitu perendaman kedelai dalam air yang ditambah dengan 5% air asam hasil pengasaman alami sebelumnya selama semalam (Kuswanto, 2004). Tempe yang diproduksi dengan pengasaman alami backsloping digunakan sebagai tempe kontrol dalam penelitian ini. Metode pengasaman yang diuji yaitu pengasaman kimiawi dilakukan dengan perebusan atau perendaman kedelai dalam bahan pengasam.. Pengupasan
dilakukan
sekaligus
dengan
pencucian
kedelai
prefermentasi. Setiap 1 kg kedelai ditambahkan 1 sendok teh laru LIPI. Kedelai yang telah diinokulasi dengan kultur starter kemudian didiamkan selama 40-44 jam. Masa inkubasi kedelai ini merupakan tahap fermentasi kedelai. 1. Seleksi Awal Metode Pengasaman Kimiawi Seleksi awal metode pengasaman kimiawi ini dilakukan dengan membandingkan tempe kontrol dengan tempe dari metode-metode pengasaman kimiawi yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu perendaman kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85%, selama 30 menit (Steinkraus, et al., 1965) serta perendaman kedelai dalam asam asetat 0.25% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asetat 0.25%, selama 30 menit (Nout dan Kiers, 2005). Pengamatan subjektif dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Metode analisis yang digunakan untuk seleksi adalah uji diskriminatif dengan metode simple different test dan uji afektif dengan
30
metode uji kesukaan. Seleksi awal metode pengasaman kimiawi dapat dilihat pada Gambar 3. Metode pengasaman kimiawi yang terpilih untuk dimodifikasi pada seleksi awal adalah pengasaman laktat 1.
Gambar 3. Seleksi awal metode pengasaman kimiawi Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe laktat 1 dengan tempe kontrol. Analisis sensori
yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe
terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 dapat dilihat pada Gambar 4. KEDELAI
Pengasaman Kontrol (Alami, backsloping)
Pengasaman Laktat 1 (rebus laktat 0.85%, 30')
Pengupasan Fermentasi
TEMPE
Analisis sensori: Uji deskriptif
Gambar 4. Karakterisasi citarasa tempe laktat 1
31
2. Modifikasi Proses Pengasaman Modifikasi pengasaman laktat 1 dilakukan dengan perebusan kedelai selama 30 menit dalam asam laktat 0.3% dan perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit dilanjutkan pemasakan dalam air selama 30 menit. Seleksi modifikasi proses pengasaman dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Seleksi modifikasi proses pengasaman Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Seleksi modifikasi proses pengasaman dilakukan dengan analisis sensori
produk tempe yang
dihasilkan terhadap tempe kontrol dan tempe laktat 1 sebagai pembanding. Metode analisis yang digunakan adalah uji diskriminatif metode simple different test dan uji afektif metode uji kesukaan. Metode pengasaman kimiawi hasil modifikasi proses yang terpilih adalah pengasaman laktat 4. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe laktat 4 dengan tempe kontrol. Analisis sensori
yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe
terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe dari pengasaman laktat 4 dapat dilihat pada Gambar 6.
32
Gambar 6. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 3. Modifikasi Jenis Pengasam Pada tahap ini dilakukan pengasaman kimia dengan substitusi jenis pengasam untuk menggantikan laktat. Pengasam yang digunakan meliputi asam fosfat 0.6%, asam malat 0.1%, dan bahan pengasam X, serta kombinasi asam laktat 2.1%, asam asetat 0.3%, dan asam sitrat 0.5%. Seleksi modifikasi jenis pengasam dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Seleksi modifikasi jenis pengasam Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Seleksi modifikasi jenis pengasam dilakukan dengan analisis sensori
produk tempe yang dari
metode pengasaman yang diuji terhadap tempe kontrol sebagai
33
pembanding. Metode analisis yang digunakan adalah uji diskriminatif metode simple different test dan uji afektif metode uji kesukaan. Metode pengasaman kimiawi hasil modifikasi proses yang terpilih adalah pengasaman X. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe pengasaman X dengan tempe kontrol. Analisis sensori yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X
dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X 4. Reduksi Atribut Aroma Langu Tempe Pengasaman X Tahap keempat hanya merupakan finishing atau perbaikan citarasa tempe pengasaman X supaya produk tempe pengasaman X memiliki citarasa yang lebih mendekati kontrol. Perbaikan modifikasi metode pengasaman kimiawi terpilih ini merupakan aplikasi proses pengolahan kedelai sebelum dilakukan pengupasan. Sebagai pembanding digunakan pengolahan tempe kontrol dan pengolahan tempe dengan bahan pengasam X yang dilakukan pada tahap penelitian sebelumnya (pengolahan X1). Pengolahan kedelai yang diuji dalam tahap perbaikan citarasa tempe pengasaman X ini adalah pengolahan X2 yaitu hasil modifikasi metode Wilkens et al. (1967) dan pengolahan X3 yaitu hasil modifikasi dari
34
Omura et al. (1991). Pengolahan untuk perbaikan citarasa tempe pengasaman X dapat dilihat pada Gambar 9. Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Analisis sensori dilakukan dengan membandingkan sampel-sampel tempe hasil aplikasi proses pengolahan tersebut di atas dengan tempe kontrol dan tempe pengolahan X1 dengan uji afektif metode uji kesukaan. Karakterisasi citarasa menggunakan analisis uji deskriptif metode QDA.
Gambar 9. Pengolahan untuk reduksi aroma langu tempe pengasaman X C. ANALISIS SENSORI Analisis yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan selama penelitian ini diantaranya adalah analisis sensori terhadap sampel tempe. Sampel tempe disajikan setelah dilakukan pengolahan minimal. Pengolahan yang dilakukan adalah perebusan selama 10 menit dalam air mendidih. 1. Uji Afektif Metode uji afektif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji kesukaan. Pengukuran respon uji kesukaan ini dilakukan dengan dengan menggunakan skala garis berukuran 15 cm dengan ujung sebelah kiri menyatakan “sangat tidak suka” dan ujung sebelah kanan menyatakan “sangat suka” (Lampiran 1). Panelis diminta untuk memberikan tanda
35
pada skala garis yang tersedia untuk mewakili kesukaan mereka terhadap sampel tempe yang diuji. Hasil pengujian skala garis kemudian dikonversi menjadi angkaangka yang menunjukkan panjang garis dari ujung kiri sampai ke tanda yang diberikan oleh panelis. Analisa data menggunakan ANOVA Oneway selang kepercayaan 95%dengan bantuan program SPSS 11.5 for Windows. Dari hasil uji ANOVA Oneway akan diketahui apakah perubahan metode pengasaman kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap skor kesukaan citarasa tempe yang dihasilkan. Bila perubahan metode pengasaman kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap skor kesukaan citarasa tempe yang dihasilkan, maka dilanjutkan uji lanjut dengan metode Duncan. 2. Uji Diskriminatif Metode uji diskriminatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah simple different test. Sampel diujikan secara berpasangan dengan empat kombinasi pasangan (A/A, B/B, A/B, B/A) dan responden diminta untuk menyatakan apakah pasangan sampel sama atau berbeda (Lampiran 2). Setiap responden menerima dua jenis pasangan sampel yaitu pasangan yang sama dan pasangan yang berbeda Analisis data dapat dilakukan dengan uji Mc Nemar’s T. (Meilgaard et al., 1999). Mc Nemar’s T dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Mc Nemar’s T= (b-c)2/(b+c) Dimana: b = jumlah responden yang menjawab benar baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda c = jumlah responden yang menjawab salah baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda 3. Uji Deskripsi a. Persiapan panelis terlatih Dalam
uji
deskripsi,
sebelum
pengujian
dilaksanakan,
diperlukan persiapan panelis yang meliputi tahap seleksi panelis dan
36
training panelis. Seleksi panelis bertujuan untuk menyeleksi calon panelis berdasarkan kepekaan sensori mereka. Seleksi ini dilakukan terhadap 38 calon panelis dengan uji penentuan rasa dasar (Lampiran 3), uji segitiga rasa (Lampiran 4), uji deskripsi beberapa aroma sederhana (Lampiran 5), dan uji segitiga aroma (Lampiran 6). Uji penentuan rasa dasar dan deskripsi aroma dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon panelis dalam mendeskripsikan rasa dan aroma yang dikenalinya dalam sampel. Pada uji penentuan rasa dasar, kandidat diminta menentukan rasa dasar dalam larutan uji yang tercantum pada Tabel 3, sedangkan pada uji deskripsi aroma calon panelis diminta mendeskripsikan flavor standar caramellic, coffee, chocolate, milk. Tabel 3. Larutan sampel dalam penentuan rasa dasar* Rasa dasar Larutan uji Manis Sukrosa 20g/L Asam As. Sitrat 0.5g/L Asin NaCl 20g/L Pahit Kafein 1.0g/L Gurih MSG 0.4g/L *Meilgaard et al., 1999; Martoyo, 2001
Uji segitiga dilakukan untuk menyeleksi panelis berdasarkan kemampuan dalam membedakan perbedaan jenis rasa dan aroma yang dekat satu sama lain. Sampel yang diujikan dalam uji segitiga rasa adalah rasa asin-umami dan pahit-asam, sedangkan sampel yang diujikan dalam uji segitiga aroma adalah aroma fruity pada isoamil asetat-etil butirat. Tahap pelatihan panelis terdiri dari pengenalan standar aroma (Lampiran 7), pelatihan penskalaan (Lampiran 8), pelatihan intensitas rasa (Lampiran 9) dan aroma (Lampiran 10). Pada tahap pengenalan aroma standar, masing-masing panelis mengenali dan mempelajari deskripsi lima macam aroma standar. Setelah pengenalan aroma standar, panelis memasuki pelatihan penskalaan. Tahap pelatihan panelis terdiri dari pelatihan bahasa flavor dan pelatihan penskalaan. Dalam pelatihan bahasa flavor, panelis
37
diperkenalkan dengan lima standar aroma yang digunakan dalam uji deskriptif kuantitatif produk tempe yang dihasilkan dan deskripsinya. Standar aroma yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Pelatihan penskalaan bertujuan agar panelis terbiasa dengan jenis penskalaan yang digunakan serta agar panelis mampu menentukan skor yang harus diberikan berdasarkan intensitas flavor yang teridentifikasi. Pelatihan penskalaan diambil dari Sensory Evaluation Techniques (Meilgaard et al., 1999). Pelatihan ini dilakukan unuk melatih panelis dalam memberikan penilaian intensitas pada skala garis. Tabel 4. Deskriptor yang digunakan dalam pengenalan aroma standar* Deskriptor Aroma Larutan Standar Pelarut Konsentrasi Langu, green Hexanal PG 70µL/10ml Tengik, rancid Octanoic acid PG 150µL/10ml Asam, soury Asam asetat PG 150µL/10ml Rebus-rebusan, boiled Kedelai direbus 30’ Gurih, meaty Flavor daging PG 100µL/10ml * Martoyo, 2001
Pelatihan intensitas rasa dan aroma merupakan tahap terakhir dalam pelatihan panelis. Pelatihan ini dilakukan untuk membiasakan panelis menilai intensitas rasa dan aroma sampel, serta membiasakan panelis dengan format isian pengujian sensori metode QDA. Penilaian dilakukan pada skala tidak berstruktur sama seperti format penilaian yang akan diberikan dalam pengujian sampel tempe yang sebenarnya, hanya sampelnya adalah larutan standar yang diubah konsentrasinya. Panelis yang baik akan memberikan nilai yang dekat dengan nilai target yang telah diketahui. b. Pengujian produk Metode uji deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Panelis sejumlah 12 orang diminta untuk menilai intensitas setiap atribut aroma tempe hasil percobaan pada skala garis sepanjang 15 cm dengan ujung sebelah kiri menyatakan
“lemah”
dan
ujung
sebelah
kanan
menyatakan
38
“kuat”(Lampiran 11-13). Penilaian dilakukan menggunakan atribut citarasa yang dapat dilihat pada Tabel 5. Data QDA tersebut ditransformasikan ke dalam nilai dengan skala 0-100. Pengujian dilakukan triplo dengan sampel yang disajikan adalah tempe yang telah direbus selama 10 menit. Pengujian rasa sampel dilakukan dengan pencicipan setelah mencicipi larutan rasa standar. Pengujian aroma sampel dilakukan dengan mencium sampel setelah mencium flavor standar langsung dari botol (Heath dan Reineccius, 1994). Pengujian tekstur sampel dilakukan dengan pengunyahan sampel setelah pengunyahan standar tekstur. Tabel 5. Standar citarasa yang digunakan dalam pengujian akhir QDA Deskriptor Rasa Asam Pahit Deskriptor Aroma Langu, green Tengik, rancid Asam, soury Rebus, boiled Gurih, meaty Deskriptor Tekstur Keempukan
Larutan Standar Asam Sitrat Kafein Larutan Standar Hexanal Octanoic acid Asam asetat Air rebusan kedelai Flavor daging
PG PG PG
Konsentrasi I 0.025% 0.025% Konsentrasi I 70µ/10ml 100µ/10ml 100µ/10ml
PG
Pelarut Air Air Pelarut
Standar
Pelarut
Tempe mentah Tempe rebus
-
Skor
70 40 20
Konsentrasi II 0.05% 0.05% Konsentrasi II 150µ/10ml 150µ/10ml
-
50
-
-
10µ/10ml Konsentrasi I -
50 Skor
100µ/10ml Konsentrasi II -
80 Skor
20 20 Skor
20 80
Skor 80 50 Skor 70 50
-
* Martoyo, 2001
c. Pengolahan Data Selanjutnya dilakukan validasi data dengan memperhatikan keragaman data. Setelah divalidasi, data QDA divisualisasikan dalam bentuk spider web untuk melihat profil flavor tempe hasil modifikasi bila dibandingkan tempe kontrol. Data diterima bila memenuhi persamaan berikut ini: X-SD < d < X+SD Dimana: X = rata-rata data intensitas atribut pada QDA SD = simpangan baku data intensitas atribut pada QDA d = data intensitas atribut pada QDA
39
Data yang telah divalidasi kemudian diolah dengan PCA. PCA merupakan pengolahan data hasil analisis QDA untuk melihat deskripsi komponen-komponen utama atau atribut citarasa yang berhubungan erat dengan tempe kontrol. PCA juga dilakukan untuk mengetahui kecenderungan pengelompokkan atribut citarasa sampel. Pengolahan
data
PCA
menggunakan
perangkat
lunak
The
Unscrambler 8.0 (CAMO).
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE Teknologi pembuatan tempe tradisional yang menjadi basis metode pembuatan tempe secara umum pada penelitian ini adalah teknologi pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe Sukasari, Bogor. Tempe yang dihasilkan dari teknologi ini disebut tempe Bogor atau tempe Magelang. Teknologi pembuatan tempe Bogor ini termasuk metode pembuatan tempe dengan pengupasan basah (Yeong et al., 1999). Sebelum kedelai dikupas, dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan, antara lain pencucian, pemanasan awal, dan perendaman (pengasaman alami). Pemanasan awal setelah pencucian sangat penting untuk mempermudah pengupasan kedelai. Pemanasan awal dapat dilakukan dengan merendam kedelai yang telah dicuci dengan air yang telah mendidih selama 8-22 jam sampai ukuran biji kedelai menjadi dua kali lebih besar dari ukuran awalnya (Yeong et al., 1999). Pengrajin tempe Sukasari melakukan pemanasan awal dengan perebusan kedelai hingga mendidih yang diteruskan dengan api kecil beberapa saat setelah mendidih. Menurut Yeong et al. (1999), metode pemanasan awal memang dapat diperpendek dengan memanaskan kedelai dalam air berlebih sampai mendidih, kemudian tetap dipanaskan dengan api kecil selama 10 menit, dan dibiarkan dalam air rebusan tersebut selama 1 jam. Pemecahan dinding sel kedelai yang terjadi selama pemanasan awal ini penting untuk memfasilitasi kecepatan pertumbuhan Rhizopus oligosporus. Difusi enzim ekstraseluler kapang dan degradasi substrat padat menjadi fragmen-fragmen terlarut merupakan tahap penting dalam fermentasi kultur padat seperti fermentasi tempe (Varzakas, 1998). Proses produksi tempe melibatkan dua proses fermentasi penting. Proses fermentasi pertama terjadi selama perendaman yaitu fermentasi bakteri yang meningkatkan keasaman dan mencegah pertumbuhan Bacillus cereus. Fermentasi kedua merupakan fermentasi kapang yang menghasilkan
41
pertumbuhan miselium R. oligosporus pada kotiledon kedelai (Varzakas, 1998). Pengasaman dilakukan dengan perendaman kedelai selama semalam hingga keasaman biji kedelai dan air rendaman turun mencapai nilai pH antara 3.5 sampai 5 (Nout dan Kiers, 2005). Metode fermentasi awal yang dilakukan oleh pengrajin Sukasari adalah perendaman kedelai dalam air bersih yang ditambah dengan sebagian kecil air asam hasil perendaman alami produksi tempe sebelumnya. Kuswanto (2004) menyebutkan bahwa pengasaman alami semacam ini merupakan
teknologi
dikembangkan
untuk
backsloping meningkatkan
yaitu
teknologi
kualitas
sederhana
perendaman.
yang
Teknologi
backsloping ini merupakan teknik pengasaman alami yang digunakan sebagai kontrol pada penelitian ini. Berakhirnya pengasaman alami yang aktif ditandai dengan terbentuknya air rendaman yang kuning keruh, kental, berbau asam, dan berbuih akibat terbentuk gas CO2 selama perendaman (Gambar 10).
Gambar 10. Air rendaman setelah 22 jam dan kedelai prefermentasi Kedelai yang telah melalui proses pengasaman biasa disebut kedelai prefermentasi. Pengupasan dilakukan sekaligus dengan pencucian kedelai prefermentasi. Pengupasan dimaksudkan untuk mempermudah penetrasi miselium kapang selama fermentasi dan mengurangi kadar asam yang dihasilkan selama perendaman (Hedger, 1982).
42
Setelah pencucian, kedelai ditiriskan kemudian dicampur dengan kultur starter dan diinkubasi selama 40-44 jam. Kultur starter yang digunakan adalah kultur campuran komersial atau biasa disebut laru LIPI. Setiap 1 kg kedelai ditambahkan 1 sendok teh laru LIPI. Limbah cair yang merupakan limbah utama industri tempe masih dibuang secara langsung ke saluran yang ada atau ke sungai, kolam, maupun danau (Yeong et al., 1999). Demikian pula limbah cair yang dihasilkan dari pengrajin tempe yang diamati di Sukasari (Gambar 11). Menurut para pengrajin tempe itu sendiri, limbah cair ini seringkali dikeluhkan oleh masyarakat sekitar karena menimbulkan bau tidak sedap dan mencemari sungai. Selain itu, menurut Fardiaz (1992) dan Yeong et al. (1999) limbah industri ini dapat mengganggu kehidupan biota air dan bersifat korosif. Pengasaman kimiawi dapat digolongkan dalam usaha aplikasi teknologi bersih dengan cara inovasi teknologi (Modak, 1995). Bahan pengasam, meskipun juga bersifat asam dan korosif, dapat digunakan kembali dan bila dibuang mengandung jauh lebih sedikit bahan organik. Selain itu air rendaman hasil pengasaman kimiawi tidak kental, tidak berwarna, dan relatif tidak berbau dibandingkan air rendaman hasil pengasaman alami.
Gambar 11. Pembuangan limbah cair tempe pengrajin tempe Sukasari Doores (1983) mengemukakan bahwa penggunaan bahan pengasam dapat mempengaruhi citarasa bahan pangan. Penggunaan asam harus menyeimbangkan antara kepentingannya sebagai senyawa antimikroba dengan karakteristik citarasa yang dimiliki dari asam pada suatu konsentrasi (Doores, 1990). Penelitian ini mempelajari metode pengasaman kimiawi yang dapat
43
menggantikan metode pengasaman alami namun tidak menurunkan kualitas citarasa tempe yang dihasilkan.
B. SELEKSI AWAL METODE PENGASAMAN KIMIAWI Dalam penelitian tahap pertama dilakukan seleksi awal metode-metode pengasaman kimiawi yang telah dilakukan. Proses pengasaman ini antara lain adalah perendaman kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85%, selama 30 menit (Steinkraus, et al., 1965) serta perendaman kedelai dalam asam asetat 0.25% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asetat 0.25%, selama 30 menit (Nout dan Kiers, 2005). Gambaran umum citarasa dan penampilan tempe yang dihasilkan dari pengasaman-pengasaman kimiawi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Analisis sensori yang dilakukan pada tahap ini adalah uji diskriminatif dengan metode simple different test dan uji afektif dengan metode uji kesukaan. Uji diskriminatif bertujuan mengetahui kedekatan karakteristik citarasa sampel tempe perlakuan dengan tempe kontrol secara objektif. Metode simple different test dipilih karena kesederhanaanya bagi panelis yang menguji yaitu hanya menentukan apakah suatu pasangan sampel berbeda atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: Ho = citarasa keseluruhan tempe perlakuan sama dengan kontrol H1 = citarasa keseluruhan tempe perlakuan berbeda dengan kontrol Jika Mc Nemar’s T > 3.84, maka Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Hasil analisis data dengan metode Mc Nemar's T menunjukkan bahwa semua tempe perlakuan pada tahap seleksi awal ini memiliki nilai Mc Nemar's T > 3.84 (Lampiran 15). Hal ini berarti Ho ditolak dan keempat sampel tempe berbeda dengan kontrol. Metode uji kesukaan menghasilkan data berupa data interval antara 0-15 yang disebut skor kesukaan. Rata-rata skor kesukaan masing-masing tempe dapat dilihat pada Tabel 6. Analisis skor kesukaan dilakukan dengan metode ANOVA Oneway dan uji Post Hoc Duncan.
44
Tabel 6. Hasil pengamatan subjektif pada tahap seleksi pengasaman kimiawi Jenis Pengasaman Penampilan visual Rasa Aroma
Tekstur
Rata-rata Skor Kesukaan 6.8
Kontrol (Alami teknologi backsloping)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Empuk, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
Laktat 1 (Asam laktat 0.85%, rebus 30’)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Asam
Bau khas tempe Bau lebih menyengat
Lebih empuk dari kontrol, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
7.4
Laktat 2 (Asam laktat 0.85%, rendam 2 jam)
Miselium cukup banyak, tidak sepenuh kontrol dan laktat 1 Miselium cukup banyak, tidak sepenuh kontrol dan laktat 1 Miselium kurang penuh, banyak bagian tidak tertutup miselium
Asam
Bau agak asam
Tidak seempuk kontrol dan laktat 1, waktu dipotong rontok sedikit
4.4
Asam, Bau agak asam aftertaste asam pahit
Lebih keras dari laktat 1, tidak sekeras laktat 2, waktu dipotong rontok sedikit
3.7
Asam, Bau asam yang aftertaste kuat asam pahit
Agak berair tapi keras. Tekstur kedelainya terasa sekali. Lebih keras dari laktat 2, dipotong rontok
3.1
Asetat 1 (Asam asetat 0.25%, rebus 30’)
Asetat 2 (Asam asetat 0.25%, renda, 2 jam)
45
Hasil Duncan menunjukkan bahwa tempe laktat 1 memiliki skor kesukaan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sedangkan tempe yang lain memiliki skor kesukaan yang lebih rendah dengan kontrol (Lampiran 17). Sampel laktat 1 yang memiliki skor kesukaan yang paling tinggi dipilih untuk dikembangkan lagi ke arah kontrol. Asam laktat ditemukan setelah tahap perendaman dalam pengasaman alami sebagai asam organik utama yaitu 80% dari total asam yang ditemukan dalam air rendaman (Sparringa dan Owens, 1999). Hermana dan Karmini (1996) menyebutkan bahwa selama ini asam laktat merupakan pilihan utama sebagai bahan pengasam dalam pengasaman buatan atau kimiawi. Asam ini cocok digunakan dalam produk pangan fermentasi yang menggunakan kapang seperti tempe karena menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk spora namun tidak efektif terhadap khamir dan kapang (Doores, 1983). Skor kesukaan tempe hasil pengasaman mengunakan asam asetat sebagai bahan pengasam kurang disukai karena pengaruh karakteristik rasa asam asetat terhadap tempe yang dihasilkan. Menurut Doores (1990) asam asetat bila dilarutkan air memiliki karakteristik rasa antara lain tart yang didefinisikan sebagai rasa asam atau getir yang tajam (Encarta Dictionary tools), pungent yang didefinisikan aroma yang kuat (Encarta Dictionary tools) dan menusuk serta rasa asam yang kuat. Selain karena karakteristik citarasa asamnya, citarasa tempe yang kurang baik hasil pengasaman dengan asam asetat juga disebabkan oleh proses fermentasi tempe yang kurang sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan miselium kapang yang tidak menutupi seluruh permukaan dan tekstur tempe yang kurang kompak. Menurut De Reu, Rombouts, dan Nout (1995) hal ini disebabkan karena asam asetat memiliki efek inhibisi terhadap pertumbuhan kapang Rhizopus dan Aspergillus. Sampel tempe laktat 1 dianalisis secara deskriptif kuantitatif (triplo) menggunakan metode QDA dengan 12 panelis terlatih (Lampiran 29). Setelah divalidasi, data QDA tempe laktat 1 ditampilkan dalam spider web bersama data QDA tempe kontrol (Lampiran 28) untuk membandingkan karakteristik citarasa (Gambar 12).
46
Tempe laktat 1 memiliki atribut juiciness dan boiled yang lebih tinggi dari tempe kontrol karena mengalami proses pemanasan lebih banyak dibandingkan tempe kontrol. Atribut aroma langu tempe laktat 1 juga lebih tinggi daripada tempe kontrol karena pengasaman kimiawi merupakan pengasaman yang tidak melalui proses fermentasi alami oleh BAL. Sedangkan menurut Pawiroharsono (1996) fermentasi yang terjadi pada pengasaman alami memiliki peranan penting dalam perubahan komponen citarasa kedelai menjadi komponen citarasa tempe.
Asam 80.0 Juiciness 60.0 40.0 20.0 Soury
Pahit Boiled Meaty
Langu Rancid
Kontrol Laktat 1
Gambar 12. Spider web tempe laktat 1 dan kontrol Atribut rasa asam dan pahit tempe laktat 1 juga lebih tinggi daripada tempe kontrol karena residu asam yang tetap melekat pada kedelai meskipun setelah pencucian. Meskipun hasil QDA menunjukkan beberapa karakteristik citarasa tempe laktat 1 yang masih perlu diperbaiki, pengembangan metode pengasaman selanjutnya dilakukan terutama untuk mereduksi rasa asam tempe laktat 1 yang sangat menonjol perbedaannya dengan tempe kontrol.
C. MODIFIKASI PROSES PENGASAMAN Rasa asam yang terdapat pada tempe yang dihasilkan dari pengasaman kimiawi diperkirakan merupakan rasa residu asam yang tetap melekat pada kedelai meskipun setelah pencucian. Oleh karena itu, modifikasi proses pengasaman dilakukan untuk menurunkan jumlah residu asam setelah pengasaman kimiawi. Modifikasi
proses pengasaman pada penelitian ini
47
dilakukan dengan mengurangi penggunaan jumlah asam dan penambahan tahapan proses. Modifikasi proses pengasaman pertama mengurangi penggunaan asam laktat hingga 0.3% (pengasaman laktat 3), yaitu konsentrasi minimal di mana pH larutan asam laktat mendekati namun masih sedikit lebih rendah dari pKanya. Modifikasi proses pengasaman kedua dilakukan dengan perebusan kedelai dalam air bersih selama 20 menit segera setelah perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit (pengasaman laktat 4). Menurut Nout dan Kiers (2005) proses pemasakan setelah perendaman dapat menurunkan konsentrasi residu asam laktat hingga 45%. Hermana dan Karmini (1996) menyebutkan bahwa semakin banyak tahap pemanasan dalam proses pembuatan tempe tekstur tempe yang dihasilkan akan semakin lunak. Pemanasan selain mempermudah pengupasan, memperlunak kedelai sehingga memudahkan penetrasi miselium kapang selama fermentasi kapang tempe. Pemanasan yang cukup diperlukan untuk menghasilkan tempe dengan kualitas tekstur yang baik (Yeong, et al., 1999). Winarno et al. (1986) menyebutkan bahwa tempe segar memiliki penampakan putih bersih dan tidak memiliki aroma kacang-kacangan seperti pada kedelai. Antara butiran kacang kedelai dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang kuat dan merata sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur (Yeong et al., 1999). Berdasarkan kriteria tersebut, tempe laktat 3 termasuk tempe gagal fermentasi karena tidak memiliki cukup miselium untuk mengikat biji-biji kedelai. Sampel tempe laktat 3 tidak dianalisis lebih lanjut. Gambaran umum citarasa dan penampilan tempe yang dihasilkan dari tahap modifikasi ini dapat dilihat pada Tabel 7. Kedekatan karakteristik citarasa sampel tempe hasil modifikasi dengan tempe kontrol dianalisis secara objektif dengan uji diskriminatif metode simple different test. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: Ho = citarasa keseluruhan tempe perlakuan sama dengan kontrol H1 = citarasa keseluruhan tempe perlakuan berbeda dengan kontrol
48
Tabel 7. Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi proses pengasaman Jenis Pengasaman Penampilan visual Rasa Aroma
Tekstur
Kontrol (Alami teknologi backsloping)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Empuk, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
Laktat 1 (Asam laktat 0.85%, rebus 30’)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Asam
Bau khas tempe Bau lebih menyengat
Lebih empuk dari kontrol, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
Laktat 3 (Asam laktat 0.3%, rebus 30’)
Miselium sangat sedikit, berlendir, kedelai tidak terikat miselium
-
Bau sangat asam
Hancur, kedelai masih pisah-pisah.
Laktat 4 (Asam laktat 0.85%, rebus 30’+ rebus air bersih 20’)
Miselium kurang penuh, masih ada yang tidak tertutup miselium
Asam
Bau tengik sangat menyengat
Empuk sekali, agak hancur waktu diiris
Rata-rata Skor Kesukaan 3.3
4.5
-
3.1
49
Jika Mc Nemar’s T > 3.84, maka Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Tempe pengasaman laktat 4 memiliki nilai Mc Nemar's T 5.5385 (Lampiran 19). Hal ini berarti Ho ditolak dan tempe laktat 4 memiliki citarasa yang berbeda nyata dengan kontrol. Uji afektif dilakukan dengan metode uji kesukaan dan analisis data metode ANOVA. Rata-rata skor kesukaan masing-masing tempe dapat dilihat pada Tabel 7. Uji afektif ini menunjukkan bahwa modifikasi pengasaman laktat tidak mempengaruhi skor kesukaan sampel tempe (Lampiran 21). Sampel tempe laktat 4 dianalisis secara deskriptif kuantitatif (triplo) menggunakan metode QDA dengan 12 panelis terlatih (Lampiran 30). Setelah divalidasi, data QDA tempe laktat 4 ditampilkan dalam spider web bersama data QDA tempe laktat 1 (Lampiran 29) dan data QDA tempe kontrol (Lampiran 28) untuk membandingkan karakteristik citarasa (Gambar 13). Asam 80.0 Juiciness
60.0
Pahit
40.0 20.0 Soury
Boiled
-
Langu
Meaty
Rancid
Kontrol Laktat 1 Laktat 4
Gambar 13. Spider web tempe laktat 4, tempe laktat 1 dan tempe kontrol Secara umum, perebusan kedelai dengan air bersih setelah pengasaman menurunkan atribut rasa asam namun masih tetap lebih tinggi dibandingkan tempe kontrol. Juiciness dan aroma boiled tempe laktat 4 juga jauh lebih tinggi dibandingkan tempe kontrol. Tempe laktat 4 memiliki miselium yang kurang penuh dan ciri fisik terlalu lembek dan berair. Perubahan yang muncul dengan pengasaman laktat 4 bila dibandingkan pengasaman laktat 1 adalah peningkatan atribut aroma soury dan boiled tempe yang dihasilkan. Hasil modifikasi pengasaman yang
50
menggunakan asam laktat tidak menunjukkan hasil yang memuaskan oleh karena itu pada tahap modifikasi selanjutnya asam laktat tidak lagi digunakan sebagai bahan pengasam.
D. MODIFIKASI JENIS PENGASAM Pada penelitian ini dilakukan substitusi asam laktat dengan bahan pengasam yang merupakan bahan tambahan pangan (BTP) dengan status keamanan generally recognized as safe (GRAS). Bahan pengasam yang digunakan pada tahap penelitian ini adalah asam fosfat, asam malat, dan bahan pengasam X. Substitusi asam laktat juga dilakukan dengan kombinasi asam-asam yang biasa terdapat pada air rendaman setelah pengasaman alami. Menurut Nout dan Kiers (2005) setelah perendaman selama 24 jam pada suhu 30oC, asam organik yang ditemukan adalah asam laktat (2.1% w/v air rendaman), asam asetat (0.3% w/v air rendaman), dan asam sitrat (0.5% w/v air rendaman). Oleh karena itu kombinasi asam yang digunakan adalah asam laktat 2.1%, asam asetat 0.3%, dan asam sitrat 0.5%. Konsentrasi yang digunakan dari bahan pengasam yang digunakan ditentukan terlebih dahulu (kecuali untuk bahan pengasam dalam pengasaman kombinasi). Penentuan konsentrasi dilakukan agar larutan pengasam mencapai kondisi di mana pH mendekati pKa asamnya. Nilai pKa adalah nilai pH di mana 50% asam terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi (Hart, 1983). Asam lemah dalam bentuk tidak terdisosiasi mampu melakukan penetrasi ke dalam sel dan mengganggu fungsi sel. Dengan kata lain, asam lemah dalam bentuk tidak terdisosiasi memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi (Doores, 1990). Penambahan bahan pengasam pada tahap penelitian memerlukan tahap persiapan yaitu pencarian konsentrasi pengasam yang harus ditambahkan. Persiapan ini dilakukan dengan membuat 10 jenis konsentrasi (0.05%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, 0.6%, 0.7%, 0.8%, 0.9%) untuk masing-masing asam dan diukur pHnya. Konsentrasi yang diambil adalah konsentrasi asam yang memiliki nilai pH kurang dari dan mendekati nilai pKa asamnya.
51
Konsentrasi, nilai pH, dan nilai pKa bahan pengasam yang digunakan dalam tahap penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Bahan pengasam yang digunakan untuk modifikasi jenis pengasam Jenis asam pKa* Konsentrasi Nilai pH Asam Fosfat 2.12 0.60% 2.05 Asam Malat 3.40 0.10% 3.19 Pengasam X Kombinasi: -Asam laktat 2.10% -Asam asetat 0.30% -Asam sitrat 0.50% *Doores, 1983
Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, tempe hasil pengasaman fosfat, pengasaman X dan pengasaman Kombinasi dianggap menjalani proses fermentasi dengan baik. Tempe hasil pengasaman malat tidak dianalisis sensori karena proses fermentasinya dianggap gagal. Tempe malat ini memiliki ciri fisik masih seperti kumpulan kedelai namun berlendir dan berbau sangat asam. Gambaran umum citarasa dan penampilan tempe yang dihasilkan dari tahap modifikasi ini dapat dilihat pada Tabel 9. Kedekatan karakteristik citarasa sampel tempe hasil modifikasi dengan tempe kontrol dianalisis secara objektif dengan uji diskriminatif metode simple different test. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: Ho = citarasa keseluruhan tempe perlakuan sama dengan kontrol H1 = citarasa keseluruhan tempe perlakuan berbeda dengan kontrol Jika Mc Nemar’s T > 3.84, maka Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Tempe pengasaman kombinasi memiliki nilai Mc Nemar's T 7.3478. Hal ini berarti Ho ditolak dan tempe pengasaman kombinasi memiliki citarasa yang berbeda nyata dengan kontrol. Tempe pengasaman Fosfat dan pengasaman X memiliki nilai Mc Nemar's T secara berturut-turut 3.5714 dan 2.1304 (Lampiran 23). Hal ini berarti Ho diterima dan kedua tempe tersebut memiliki citarasa yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.
52
Tabel 9. Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi jenis pengasam Jenis Pengasaman Penampilan visual Rasa
Aroma
Tekstur
Rata-rata Skor Kesukaan 7.5
KONTROL (Alami teknologi backsloping)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Empuk, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
FOSFAT (Asam fosfat 0.6%, rebus 30’)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tawar, Bau khas tempe Ada Bau kedelai aftertaste asam
Lebih empuk dari Kontrol, juicy, waktu diiris kenyal dan sedikit rontok
8.1
MALAT (asam malat 0.1 %, rebus 30’)
Biji-bijian masih utuh, berlendir
-
Bau asam kuat, bau alkohol
Masih dalam bentuk biji-biji yang terpisah
-
Pengasaman X
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Lebih empuk dari Kontrol, juicy, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
8.6
KOMBINASI (asam laktat 2,1 %, asam asetat 0.3%, dan asam sitrat 0.5%, rebus 30’)
Miselium cukup banyak, masih ada bagian yang tidak tertutup miselium
Asam
Bau asam
Waktu diiris cukup banyak yang rontok
5.5
53
Uji afektif dilakukan dengan metode uji kesukaan dan analisis data metode ANOVA Post Hoc Duncan. Rata-rata skor kesukaan masing-masing tempe dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil uji Duncan mengelompokkan skor kesukaan tempe fosfat dan tempe pengasaman X ke dalam satu kelompok yang memiliki skor kesukaan paling tinggi (Lampiran 25). Tempe fosfat dan tempe pengasaman X memiliki citarasa tidak berbeda nyata dengan kontrol dan memiliki skor kesukaan yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Satu dari kedua sampel tersebut ditentukan untuk dikembangkan lagi mendekati kontrol. Sampel yang dipilih adalah tempe pengasaman X karena dilihat dari pengamatan subjektif memiliki karakteristik fisik dan sensori paling baik. Selain itu penggunaan fosfat juga memiliki self limiting factor, karena fosfat memiliki rasa agak pahit pada konsentrasi >0.5% (Ranken, 1989) Sampel tempe pengasaman X dianalisis secara deskriptif kuantitatif (triplo) menggunakan metode QDA dengan 12 panelis terlatih. Setelah divalidasi, data QDA tempe pengasaman X (Lampiran 31) ditampilkan dalam spider web bersama data QDA tempe kontrol (Lampiran 28) untuk dibandingkan karakteristik citarasanya (Gambar 14).
Asam 80.0 Juiciness
60.0
Pahit
40.0 20.0 Soury
Boiled
-
Meaty
Langu Rancid
Kontrol X
Gambar 14. Spider web tempe pengasaman X dan tempe kontrol
54
Hasil QDA menunjukkan bahwa meskipun sudah sangat berkurang, atribut rasa asam tempe pengasaman X masih lebih tinggi dibandingkan kontrol, namun demikian uji diskriminatif menunjukkan bahwa panelis sudah tidak dapat lagi membedakan perbedaan citarasa keseluruhan antara tempe pengasaman X dengan tempe kontrol oleh karena itu modifikasi untuk menurunkan rasa asam ini dinilai sudah cukup. Atribut juiciness tempe pengasaman X lebih tinggi dari tempe kontrol terkait dengan proses pemanasan yang lebih banyak pada pembuatan tempe pengasaman X bila dibandingkan tempe kontrol. Atribut aroma langu tempe pengasaman X juga lebih tinggi dibandingkan tempe kontrol (Gambar 14). Perbedaan atribut aroma langu antara tempe pengasaman X dengan tempe kontrol dinilai cukup jauh sehingga diperlukan perbaikan citarasa lebih lanjut untuk menekan atribut aroma langu tempe pengasaman X.
E. REDUKSI ATRIBUT AROMA LANGU TEMPE PENGASAMAN X Secara umum atribut aroma langu dapat diperbaiki dengan tiga cara yaitu aplikasi metode pengolahan tertentu, penggunaan bahan baku kedelai tanpa lemak (defatted), dan teknik deodorisasi (Liu, 1997). Tahap perbaikan citarasa ini dilakukan dengan aplikasi metode pengolahan tertentu sebelum pengupasan kedelai. Sebagai pembanding digunakan pengolahan tempe kontrol dan pengolahan tempe dengan bahan pengasam X yang dilakukan pada tahap penelitian sebelumnya (pengolahan X1). Pengolahan kedelai yang diuji dalam tahap perbaikan citarasa tempe pengasaman X ini antara lain pengolahan X2 yaitu hasil modifikasi dari metode Wilkens et al. (1967) dan pengolahan X3 yaitu hasil modifikasi dari Omura et al. (1991). Liu (1997) menyebutkan bahwa atribut aroma langu terjadi pada saat jaringan kotiledon kedelai dirusak pada tahap penggilingan basah. Kerusakan jaringan dan keberadaan air membebaskan substrat lipid dan enzim lipoksigenase sehingga memunculkan atribut aroma yang kurang disukai pada kedelai.
55
Menurut Baker dan Mustaka (1973) enzim lipoksigenase sangat sensitif terhadap pemanasan basah dan medium asam. Namun demikian, pemanasan yang tidak cukup dan tidak kontinu sebelum penggilingan tidak efektif untuk menghilangkan aroma langu. Khaleque et al. (1970) menyatakan bahwa apabila aktivitas enzim sudah dimulai, sudah terlambat untuk menghilangkan aroma langu. Wilkens et al. (1967) mempelajari bahwa aktivitas enzim dapat dicegah dengan menjaga suhu tetap panas selama penggilingan dan mengembangkan metode pengupasan yang disebut metode Cornell. Pengolahan kedelai X2 yang dilakukan dalam perbaikan citarasa tempe pengasaman X ini merupakan kombinasi pengasaman kimiawi menggunakan bahan pengasam X dengan metode pengolahan kedelai hasil modifikasi dari metode Wilkens et al. (1967). Sampel tempe pengolahan X2 dianalisis secara deskriptif kuantitatif (triplo) menggunakan metode QDA dengan 12 panelis terlatih. Setelah divalidasi, data QDA tempe pengolahan X2 (Lampiran 32) ditampilkan dalam spider web bersama data QDA tempe pengolahan X1 (Lampiran 31) dan data QDA tempe kontrol (Lampiran 28) untuk dibandingkan karakteristik citarasanya. Tempa pengolahan X2 memiliki atribut rasa asam dan aroma langu lebih rendah serta atribut aroma boiled lebih tinggi bila dibandingkan tempe pengolahan X1 (Gambar 15). Asam 80.0 Juiciness
60.0
Pahit
40.0 20.0 Soury
Boiled
-
Meaty
Langu Rancid
Kontrol X1 X2
Gambar 15. Spider web tempe pengolahan X1, pengolahan X2 dan kontrol
56
Kebanyakan produk dari aktivitas enzim lipoksigenase merupakan komponen volatil dengan flavor yang kurang disukai. Diantara produk aktivitas enzim lipoksigenase tersebut, hexanal adalah penanggung jawab utama aroma langu pada produk kedelai pada konsentrasi yang sangat kecil sekalipun (Fujimaki et al., 1965). Omura et al. (1991) mengembangkan metode perendaman kedelai yang dapat mereduksi kandungan n-hexanal hingga 1% dari kontrol perlakuan. Pengolahan X3 merupakan kombinasi pengasaman kimiawi menggunakan bahan pengasam X dengan metode pengolahan kedelai hasil modifikasi dari Omura et al. (1991). Gambaran umum karakteristik visual dan citarasa tempe yang diproduksi pada tahap penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Sampel tempe pengolahan X3 dianalisis secara deskriptif kuantitatif (triplo) menggunakan metode QDA dengan 12 panelis terlatih. Setelah divalidasi, data QDA tempe pengolahan X3 (Lampiran 33) ditampilkan dalam spider web bersama data QDA tempe pengolahan X1 (Lampiran 31) dan data QDA tempe kontrol (Lampiran 28) untuk dibandingkan karakteristik citarasanya (Gambar 16).
Asam
80.0 Juiciness
60.0
Pahit
40.0 20.0 Soury
Boiled
-
Meaty
Langu Rancid
Kontrol X1 X3
Gambar 16. Spider web tempe pengolahan X3, pengolahan X1 dan kontrol
57
Tabel 10. Hasil pengamatan subjektif pada tahap reduksi aroma langu tempe pengasaman X Jenis Pengolahan Penampilan visual Rasa Aroma
Kontrol (Pengasaman alami teknologi backsloping + pengupasan)
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Pengolahan X1
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Pengolahan X2
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Pengolahan X3
Miselium penuh, kacang kedelai hampir tidak terlihat
Tekstur
Rata-rata Skor Kesukaan
Bau khas tempe Bau kedelai
Empuk, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
6.73
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Lebih empuk dari kontrol, juicy, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
7.0
Tawar
Bau khas tempe Bau kedelai
Lebih empuk dari kontrol, juicy, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
7.1
Bau khas tempe Bau kedelai
Lebih keras dari kontrol, juicy, waktu diiris kenyal dan tidak ada yang rontok
5.2
Tawar
Tawar
58
Tempe pengolahan X3 memiliki atribut rasa asam, aroma langu dan aroma soury yang lebih rendah dibandingkan tempe pengolahan X1. Tidak seperti pengolahan X1 dan pengolahan X2, proses pengolahan X3 tidak melibatkan proses perebusan, sehingga juiciness tempe pengolahan X3 terlihat lebih rendah dibandingkan tempe pengolahan X1, meskipun demikian terlihat bahwa atribut aroma boiled dinilai oleh para panelis lebih tinggi dibandingkan tempe pengolahan X1 dan kontrol. Secara umum terlihat bahwa tempe pengolahan X3 memiliki karakteristik citarasa yang lebih dekat dengan kontrol dibandingkan tempe pengolahan X1. Uji afektif dilakukan dengan metode uji kesukaan dan analisis data metode ANOVA Post Hoc Duncan. Rata-rata skor kesukaan masing-masing tempe dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa tempe pengolahan X3 memiliki skor kesukaan yang lebih rendah dibandingkan tempe pengolahan X1 dan tempe kontrol (Lampiran 27).
F. KARAKTERISTIK CITARASA PENGASAMAN KIMIAWI TERPILIH Data QDA tempe modifikasi pengasaman kimiawi diolah dengan Principal Component Analysis (PCA) menghasilkan deskripsi komponen utama atau principal component (PC). Deskripsi PC ditunjukkan oleh empat buah grafik yaitu grafik residual variance, grafik scores, grafik x-loading, dan grafik bi-plot. Grafik residual variance memberikan saran pemakaian empat buah PC untuk interpretasi data (Gambar 17). Meskipun demikian, jumlah PC yang digunakan adalah dua buah yaitu PC1 dan PC2. Kedua PC ini digunakan karena sudah dapat menerangkan lebih dari 70% total keragaman data, yaitu minimal total keragaman data yang harus diterangkan (Sharma, 1996). PC1 menerangkan 57% total keragaman data, sedangkan PC2 menerangkan 20% total keragaman data. PC 3 dan PC 4 hanya akan menerangkan 23% total keragaman data sehingga tidak efektif digunakan untuk interpretasi data. Pada grafik scores, grafik x-loading, dan grafik bi-plot PC1 digambarkan searah sumbu x, sedangkan PC2 digambarkan searah sumbu y.
59
Gambar 17. Grafik residual variance komponen utama citarasa tempe pengasaman kimiawi terpilih Grafik scores menjelaskan relasi antar sampel tempe. Sampel tempe laktat 1 dan tempe laktat 4 terdapat dalam kuadran 1. Sampel kontrol dan tempe pengolahan X3 terdapat dalam kuadran 2, sedangkan sampel tempe pengolahan X1 dan tempe pengolahan X2 berada dalam kuadran 4 (Gambar 18).
X3
X2
X1
Gambar 18. Grafik plot scores PC1 dan PC2 Grafik x-loading PC1 dan PC2 menjelaskan relasi antar atribut citarasa. Atribut rasa asam, aroma boiled, aroma soury dan tekstur juicy berada dalam
60
kuadran 1. Atribut rasa pahit, aroma rancid, dan aroma langu terletak pada kuadran 3. Atribut aroma meaty terletak pada kuadran 4. PC1 memisahkan atribut rasa asam dan aroma boiled dengan atribut aroma langu. Grafik PC2 memisahkan atribut aroma meaty dari atribut citarasa lainnya (Gambar 19).
Gambar 19. Grafik plot x-loadings PC1 dan PC2 Grafik bi-plot adalah gabungan grafik scores dan grafik x-loadings yang menunjukkan relasi antar sampel berdasarkan atribut citarasanya. Dengan menggunakan grafik bi-plot PC1 dan PC2, diketahui bahwa tempe laktat 1 dan sampel tempe laktat 4 memiliki karakteristik rasa asam, aroma soury, aroma boiled dan tekstur juicy sedangkan tempe pengolahan X1 dan tempe pengolahan X2 memiliki karakteristik aroma langu, aroma rancid, dan rasa pahit. Tempe kontrol dan tempe pengolahan X3 tidak memiliki karakteristik citarasa yang menonjol, namun atribut citarasa yang paling mendekati kedua sampel tempe ini adalah aroma meaty (Gambar 20). Analisis PCA menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengasam X (X1,X2, X3) memberikan kontribusi cukup tinggi pada reduksi atribut citarasa asam tempe yang dihasilkan. Pengolahan X2 menurunkan atribut citarasa langu, hal ini terlihat dari lokasi X2 terhadap atribut langu yang memiliki jarah lebih jauh bila dibandingkan dengan lokasi X1 terhadap atribut langu. Dilihat dari jarak X3 terhadap atribut langu, pengolahan X3 mereduksi atribut langu lebih banyak lagi. Sampel yang paling mendekati standar adalah tempe pengolahan X3. Tempe pengolahan X3 berada di kuadran yang sama dan
61
memiliki lokasi paling mendekati standar. Karakter citarasa tempe pengolahan X3 yang jauh dari atribut citarasa asam dan langu inilah yang diperkirakan mendekatkan karakter citarasanya dengan tempe kontrol (Gambar 20).
X3
X2
X1
Gambar 20. Grafik biplot PCA untuk PC1 dan PC2 Hasil yang diperoleh dengan PCA maupun QDA memberikan hasil yang saling mendukung. Hasil analisis ANOVA untuk tempe pengasaman X juga menyatakan bahwa pengasaman X dan modifikasi pengolahannya memberikan pengaruh nyata terhadap skor kesukaan. Dengan demikian uji kesukaan secara tidak langsung juga mendukung data PCA yang diperoleh. Meskipun tempe pengolahan X3 memiliki karakteristik citarasa paling mendekati kontrol, tempe pengolahan X3 memiliki skor kesukaan yang lebih rendah dibandingkan tempe pengolahan X1 maupun tempe pengolahan X2.
62
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pengasaman dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit yang memiliki skor kesukaan paling tinggi dipilih untuk dikembangkan lagi ke arah kontrol. Modifikasi dari pengasaman tersebut terutama diperlukan untuk menekan atribut rasa asam. Modifikasi yang dilakukan adalah modifikasi proses pengasaman dan modifikasi jenis pengasam. Modifikasi proses pengasaman yang dilakukan dengan reduksi konsentrasi asam yang digunakan menjadi 0.3%tidak berhasil memberikan kondisi fermentasi yang baik untuk pertumbuhan kapang tempe. Modifikasi proses pengasaman yang terpilih adalah pengasaman yang dilakukan dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit dilanjutkan dengan perebusan kedelai dalam air bersih selama 20 menit. Pengamatan subjektif, uji afektif, dan deskriptif menunjukkan bahwa citarasa tempe yang dihasilkan dari pengasaman ini kurang memuaskan sehingga pada tahap pengembangan pengasaman kimiawi berikutnya asam laktat tidak digunakan lagi. Hasil modifikasi jenis pengasam menunjukkan bahwa tempe fosfat dan tempe pengasaman X merupakan kelompok tempe dengan skor kesukaan paling tinggi dan karakter citarasa keseluruhan tidak berbeda nyata dengan tempe kontrol. Tempe yang terpilih pada tahap modifikasi ini adalah tempe pengasaman X karena hasil pengamatan subjektif menunjukkan bahwa tempe ini memiliki karakteristik visual dan citarasa yang lebih baik. Atribut langu tempe pengasaman X lebih kuat dibandingkan tempe kontrol. Reduksi atribut langu dilakukan dengan modifikasi pengolahan kedelai yang diasamkan dengan bahan pengasam X. Tempe pengolahan X2 memiliki skor kesukaan tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan tempe pengolahan X3 memiliki skor kesukaan lebih rendah dibandingkan kontrol. Berdasarkan uji deskriptif dan analisis PCA tempe pengolahan X3 memiliki karakteristik lebih mendekati tempe kontrol.
63
B. SARAN Penelitian ini dapat lebih disempurnakan lagi dengan analisis lebih lanjut menggunakan parameter nilai gizi, biaya aplikasi, dan dampak lingkungan. Perbaikan citarasa tempe pengasaman X dapat disempurnakan dengan percobaan modifikasi pengolahan lain untuk menghasilkan tempe yang memiliki skor kesukaan lebih baik dan karakteristik mendekati tempe kontrol.
64
DAFTAR PUSTAKA Afifi, A dan V. Clark. 1996. Computer-aided multivariate analysis. Chapman & Hall, New York. Astuti, M. Tempe dan ketersediaan besi untuk penanggulangan anemia gizi besi. Di dalam Sapuan dan Soetrisno, N (eds.). 1996a. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Astuti, M. Tempe dan antioksidan. Di dalam Sapuan dan Soetrisno, N (eds.). 1996b. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Brata-Arbai, A.M. Tempe dan hiperkolesterolemia. Di dalam Sapuan dan Soetrisno, N (eds.). 1996. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Carpenter, R.P., D.H. Lyon, dan T.A. Hasdell. 2000. Guidelines for sensory analysis in food product developmentand quality control. Aspen Publ. Inc., Maryland Civille G.V. dan Lyon, B.G. 1996. Aroma and flavor lexicon for sensory evaluation: terms, definitions, references, and examples. American Society for Testing and Materials. De Vuyst, L. dan E.J. Vandamme. Antimicrobial potential of lactic acid bacteria. Di dalam De Vuyst, L. Dan E.J. Vandamme (Eds.). 1994. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology, Genetics and Applications. Blackie Academic & Professional, Chapman & Hall, London. Denter, J., H. Rehm, dan B. Bisping. 1998. Changes in the contents of fat-soluble vitamins and provitamins during tempe fermentation. International Journal of Food Microbiology 45, 129-134 Doores, S. Organic acids. Di dalam Branen, A.L dan P.M. Davidson (eds.). 1983. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker, New York. Doores, S. pH control agents and acidulants. Di dalam Branen, A.L., P.M. Davidson, dan S. Salminen. 1990. Food Additives. Marcel Dekker, New York. Egounlety, M. dan O.C. Aworh. 2003. Effect of soaking, dehulling, cooking, and fermentation with Rhizopus oligosporus on the oligosaccharides, Trypsin inhibitor, Phytic acid, and Tannins of Soybean (Glycine max Merr.), Cowpea (Vigna unguiculata L. Walp.) and Groundbean (Macrotyloma geocarpa Harms). Journal of Food Engineering 56, 249-254. Einstein, M.A. 1991. Descriptive technique and their hybridisation. Di dalam
65
Lawless, H.T. dan B.P. Klein (eds.). Sensory Science Theory and Application in Foods. Marcel Dekker Inc., New York. Esaki, H., H. Onozaki, S. Kawakishi, danT. Osawa. 1996. New antioxidant isolated from tempeh. J. Agric. Food Chem. 44, 696-700. Esbensen K., S. Schonkopf dan T. Midtgaard. 1994. Multivariate analysis in practice. Wennergs Trykkeri, AS, Trondheim. Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan polusi udara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hart, H. 1983. Kimia organik: suatu kuliah singkat (Alih bahasa oleh A. Suminar). Penerbit Erlangga, Jakarta. Heath, H.B. dan G. Reineccius. 1994. Flavor chemistry and technology. Avi Book, New York. Hedger, J.N. 1982. Production of tempe, an Indonesian fermented food. The Society for General Microbiology 87, 597-602. Hermana & M. Karmini. 1996. Pengembangan teknologi pembuatan tempe. Di dalam Sapuan & N. Soetrisno (eds.). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Huang, A.S., O.A.L Hsieh. dan S.S Chang. 1981. Characterization of the nonvolatile minor constituents responsible for the objectionable taste of defatted soybean flour. J. Food Sci. 47:19. Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1989. Penanganan limbah industri pangan. Kanisius, Jogjakarta. Karmini, M. Tempe and infection. Di dalam Sapuan, N. Soetrisno, dan J. Agranoff (eds.). 1999. The Complete Handbook of Tempe The Unique Fermented Soyfood of Indonesia. The American Soybean Association. Kuswanto, K.R. Industrialization of tempe fermentation. Di dalam Steinkraus, K.H (ed.). 2004. Industrialization of Indigenous Fermented Foods. 2nd ed. Marcel Dekker, New York. Kozaki, M. Tempe production in Japan. Di dalam Steinkraus, K.H. 2004. Industrialization of Indigenous Fermented Foods. 2nd ed. Marcel Dekker, Inc., New York. Lawrie, R.A. 1995. Meat science. Pergamon Press Oxford. London. Edinburg, New York.
66
Liu, K. 1997. Soybean chemistry, technology, and utilization. Chapman & Hall, International Thomson Publ., New York. Martoyo, P.Y. 2001 Analisis deskripsi sensori flavor tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Matsura, M. A. Obata, D. Fukushima. 1989. Objectionable flavor of soymilk developed during the soaking of soybeans and its control. J. Food Sci 45:32 Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory evaluation techniques. CRC Press, Boca Raton. Mital, B.K. dan S.K. Garg. 1990. Tempeh technology and food value. Food Review International 6 (2), 213-224. Modak, P. 1995. Waste minimization: a guide to cleaner production and enhanced profitability. Environmental Management Standards ISO14000 Training Centre. Murti, T.H. dan H. Nasution. 1996. Kopti dan skala usahanya. Di dalam Sapuan & N. Soetrisno (eds.). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Nout M.J.R. and J.L. Kiers. 2005 A review tempe fermentation, innovation, and fuctionality: update into the third millenium. Journal of Applied Microbiology 98, 789-805 Nurjannah, S. 1999. Mempelajari perubahan komponen volatil selama fermentasi tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Nurkori. 1999. Identifikasi dan karakterisasi flavor tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Ouwehand A.C. dan S. Vesterlund. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di dalam Salminen, S., A. Von Wright, dan A. Ouwehand. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiological and Functional Aspects. 3rd ed. Marcel Dekker, New York. Owens, J.D., N. Allagheny, G. Kipping, dan J.M. Ames. 1997. Formation of volatil compounds during Bacillus subtilis fermentation of soya beans. J.Sci Food Agric 74, 132-140 Pawiroharsono, S. 1996. Aspek mikrobiologi tempe. Di dalam Sapuan & N. Soetrisno (eds.). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta. Poste, L.M., D.A. Mackie, G. Butler, dan E. Larmond. 1991. Laboratory methods for sensory analysis of food. Canada communication Group-Publishing
67
Centre, Ottawa. Ranken, M.O. 1989. Water holding capacity of meat and its control. Chem and Ind 24:1502. Reineccius, G. (Ed). 1994. Source book of flavors. 2nd edition. Chapman and Hall, New York. Sarwono, B. dan Y.P. Saragih. 2004. Membuat aneka tahu. Cet. III. Penebar Swadaya, Jakarta. Sparringa, R.A. dan J.D. Owens. 1999. Cause of alkalinization in tempe solid substrate fermentation. Enzyme and Microbial Technology 25, 677-681. Steinkraus, K.H., J.P. van Buren, L.R. Hackler, dan D.B. Hand. 1965. A pilot-plan process for the production of dehydrated tempeh. Food Tech. 19(1):63. Steinkraus, K.H. 2002. Fermentations in world food processing. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 1, 23-29 Suprihatin. 1999. Penerapan teknologi bersih pada agroindustri: kemungkinan dan hambatannya. Di dalam Prosiding Seminar Teknik Kimia Soehadi Reksowardono, Bandung. Varzakas, T. 1998. Rhizopus oligosporus mycelial penetration and enzyme diffusion in soya bean tempe. Process Biochemistry Vol. 33, No. 7, 741-747. Wang, H. Dan P.A. Murphy. 1996. Mass balance study of isoflavones during soybean processing. J. Agric. Food Chem. 44, 2377-2383. Winarno, F.G.. 1989. Production and utilization of tempeh in indonesian foods. Di dalam Applewhite, T.H. (Ed.). Proceedings of The World Congress: Vegetable Protein Utilization in Human Food and Animal Feedstuffs. American Oil Chemists Society, Champaign. Yeong B.Y., A.A. Basry, dan A. Puruhita (Eds.). 1999. Wacana tempe indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Zook, K. Dan H.J. Pearce. 1988. Quantitative descriptive analysis of foods.Di dalam Moskowitz, H.R. (ed.) Applied Sensory Analysis of Foods. CRC Press, Florida
68
Lampiran 1. Contoh formulir uji kesukaan UJI KESUKAAN/PREFERENSI TEMPE REBUS Nama
:
Telp/HP
:
Tanggal
:
No. Booth :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menentukan intensitas kesukaan Anda terhadap masingmasing sampel berdasarkan citarasa sampel. PERHATIKAN bahwa
CITARASA TERMASUK RASA, AROMA, dan TEKSTUR. Instruksi Khusus: 1. Di hadapan Anda terdapat 5 SAMPEL untuk diuji intensitas kesukaan 2. Kunyah sampel dan biarkan di dalam mulut selama 5 detik, dan tentukan INTENSITAS
KESUKAAN Anda BERDASARKAN CITARASA (Rasa, Aroma, Tekstur) 3. Berikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini berdasarkan intensitas kesukaan Anda. 4. Netralkan aftertaste dengan air putih dan istirahatlah selama 5 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. Kode sampel
.............. Sangat Tidak suka
Sangat suka
Sangat Tidak suka
Sangat suka
Sangat Tidak suka
Sangat suka
Sangat Tidak suka
Sangat suka
Sangat Tidak suka
Sangat suka
.............. .............. .............. ..............
Komentar:
TERIMA KASIH-Maria-XOX
69
Lampiran 2. Contoh formulir simple different test SIMPLE DIFFERENT TEST Nama
:
Telp/HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi Umum: Anda diminta untuk MENYATAKAN apakah suatu pasangan sampel SAMA ATAU BERBEDA Instruksi Khusus: 1. Di hadapan Anda terdapat 3 PASANG SAMPEL untuk diuji apakah pasangan sampel tersebut sama atau berbeda 2. Kunyah sampel dan biarkan di dalam mulut selama 5 detik, netralkan dengan air minum yang disediakan dan istirahatlah selama 5 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. 3. Berikan tanda (√) pada kolom SAMA kalau Anda menyatakan pasangan sampel tersebut sama dan berikan tanda (√) pada kolom BEDA kalau Anda menyatakan pasangan sampel tersebut berbeda Kode Sampel
SAMA
BEDA
TERIMA KASIH-Maria-XOX
70
Lampiran 3. Contoh formulir uji penentuan rasa dasar UJI DESKRIPSI RASA Nama
:
Telp./HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi umum: Anda diminta untuk mengidentifikasi dan menuliskan rasa yang terdapat pada 5 larutan sampel pada set I kemudian mencocokkan larutan sampel pada set II yang memiliki rasa sama dengan larutan sampel pada set I. Instruksi khusus: 1. Ciciplah satu sendok larutan pada set I selama 3 detik, lalu telan. 2. Tuliskan rasa yang berhasil anda identifikasi di kolom jenis rasa. 3. Netralkan dengan air, istirahatlah selama 30 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. 4. Setelah semua sampel pada set I diidentifikasi, ulangi dengan set II 6. Tuliskan kode sampel tersebut di sebelah jenis rasa yang teridentifikasi pada kolom kode sampel dengan rasa identik. Kode sampel set I
Jenis rasa
Kode sampel dengan rasa identik ........................
862
........................
245
........................
........................
458
........................
........................
396
........................
........................
522
........................
........................
TERIMA KASIH-Maria-XOX
71
Lampiran 4. Contoh formulir uji segitiga rasa UJI SEGITIGA RASA Nama
:
Telp./HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi umum: Anda diminta untuk menentukan satu sampel yang berbeda dari tiga sampel yang disajikan pada setiap set. Instruksi Khusus: 1. Ciciplah satu sendok sampel pada set I selama 3 detik, lalu telan. 2. Minumlah seteguk air putih sebagai penetral. 3. Istirahatlah selama 30 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. 4. Setelah semua sampel pada set I diidentifikasi tentukan sampel mana yang berbeda dari tiga sampel yang disajikan pada setI tersebut. 5. Berikan tanda (√) di sebelah kode sampel yang berbeda pada kolom respon. 6. Ulangi kegiatan 1-6 untuk sampel-sampel pada set berikutnya. Set Pengujian I II III
Kode sampel 539 881 529 664 594 199 113 941 933
Respon
TERIMA KASIH-Maria-XOX
72
Lampiran 5. Contoh formulir uji deskripsi aroma UJI DESKRIPSI AROMA Nama
:
Telp./HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi umum: Anda diminta untuk mengidentifikasi dan menuliskan aroma yang terdapat pada 4 larutan sampel Instruksi khusus: 1. Hiruplah aroma flavor-flavor standar. 2. Deskripsikan aroma flavor standar tersebut dengan kosakata Anda sendiri. 3. Netralkan indera penciuman Anda dengan balsem sebelum beralih ke flavor standar berikutnya. Kode Flavor Standar
Deskripsi Aroma
TERIMA KASIH-Maria-XOX
73
Lampiran 6. Contoh formulir uji segitiga aroma UJI SEGITIGA AROMA Nama
:
Telp./HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi umum: Anda diminta untuk menentukan satu sampel yang berbeda dari tiga sampel yang disajikan pada setiap set. Instruksi Khusus: 1. Hiruplah aroma flavor-flavor sampel. 2. Netralkan indera penciuman Anda dengan balsem sebelum beralih ke flavor standar berikutnya. 3. Tentukan sampel mana yang berbeda dari tiga sampel yang disajikan pada set tersebut. 5. Berikan tanda (√) di sebelah kode sampel yang berbeda pada kolom respon. 6. Ulangi kegiatan 1-6 untuk sampel-sampel pada set berikutnya. Set Pengujian I II III
Kode sampel 539 881 529 664 594 199 113 941 933
Respon
TERIMA KASIH-Maria-XOX
74
Lampiran 7. Contoh formulir pengenalan standar aroma PENGENALAN AROMA STANDAR Nama
:
Telp./HP
:
Tanggal
:
No. Booth : Instruksi umum: Anda diminta untuk mengidentifikasi dan menuliskan aroma yang terdapat pada lima larutan sampel sesuai kesepakatan Instruksi khusus: 1. Hiruplah aroma flavor-flavor standar. 2. Deskripsikan aroma flavor standar tersebut menggunakan deskripsi atribut yang sudah disepakati. 3. Netralkan indera penciuman Anda dengan balsem sebelum beralih ke flavor standar berikutnya. Kode Flavor Standar
Deskripsi Aroma
TERIMA KASIH-Maria-XOX
75
Lampiran 8. Contoh formulir pelatihan penskalaan
76
Lampiran 9. Contoh formulir pelatihan intensitas rasa PELATIHAN INTENSITAS RASA Nama : Telp/HP Tanggal
: :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menilai intensitas rasa sampel berikut ini dengan membandingkannya terhadap intensitas rasa standar Instruksi Khusus: 1. Ciciplah satu sendok rasa standar selama 3 detik (yang memiliki nilai intensitas yang lebih kecil terlebih dahulu) 2. Ciciplh contoh dan biarkan di dalam mulut selama 5 detik, 3. Berikan penilaian terhadap intensitas rasa sampel dengan memberikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini. 4. Netralkan aftertaste dengan air putih dan cracker, kemudian istirahatlah selama 5 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
TERIMA KASIH-Maria-XOX
77
Lampiran 10. Contoh formulir pelatihan intensitas aroma PELATIHAN INTENSITAS AROMA Nama : Telp/HP Tanggal
: :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menilai intensitas aroma sampel berikut ini dengan membandingkannya terhadap intensitas aroma standar Instruksi Khusus: 1. Buka tutup botol larutan standar (yang memiliki nilai intensitas yang lebih kecil terlebih dahulu) 2. Baui contoh selama 5 detik dan bandingkan intensitas bau sampel dengan intensitas bau standar 3. Berikan penilaian terhadap intensitas aroma sampel dengan memberikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini. 4. Hiruplah mentol yang disediakan sebelum mencium sampel yang lain untuk menghindari fatique aroma Kode Sampel : ........... Aroma: Meaty _ 0
50
80
100
Aroma: Rancid 0
40
70
100
Aroma: Soury _ 0
20
50
100
Aroma: Langu _ 0
70
100
Kode Sampel : ........... Aroma: Meaty _ 0
50
80
100
Aroma: Rancid 0
40
70
100
Aroma: Soury _ 0
20
50
100
Aroma: Langu _ 0
70
100
TERIMA KASIH-Maria-XOX
78
Lampiran 11. Contoh formulir quantitative descriptive analysis rasa QUANTITATIVE DESSCRIPTIVE ANALYSIS-RASA Nama: Telp/HP Tanggal
: :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menilai intensitas rasa sampel berikut ini dengan membandingkannya terhadap intensitas rasa standar Instruksi Khusus: 1. Ciciplah satu sendok rasa standar selama 3 detik (yang memiliki nilai intensitas yang lebih kecil terlebih dahulu) 2. Ciciplh contoh dan biarkan di dalam mulut selama 5 detik, 3. Berikan penilaian terhadap intensitas rasa sampel dengan memberikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini. 4. Netralkan aftertaste dengan air putih dan cracker, kemudian istirahatlah selama 5 detik sebelum mencicip sampel berikutnya. Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
Kode Sampel : ........... Rasa : Asam Lemah
20
80
Kuat
Rasa : Pahit Lemah
20
50
Kuat
TERIMA KASIH-Maria-XOX
79
Lampiran 12. Contoh formulir quantitative descriptive analysis aroma QUANTITATIVE DESSCRIPTIVE ANALYSIS-AROMA Nama: Telp/HP Tanggal
: :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menilai intensitas aroma sampel berikut ini dengan membandingkannya terhadap intensitas aroma standar Instruksi Khusus: 1. Buka tutup botol larutan standar (yang memiliki nilai intensitas yang lebih kecil terlebih dahulu) 2. Baui contoh selama 5 detik dan bandingkan intensitas bau sampel dengan intensitas bau standar 3. Berikan penilaian terhadap intensitas aroma sampel dengan memberikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini. 4. Hiruplah mentol yang disediakan sebelum mencium sampel yang lain untuk menghindari fatique aroma Kode Sampel : ........... Aroma: Meaty _ 0
50
80
100
Aroma: Rancid 0
40
70
100
Aroma: Soury _ 0
20
50
100
Aroma: Langu _ 0
70
100
Kode Sampel : ........... Aroma: Meaty _ 0
50
80
100
Aroma: Rancid 0
40
70
100
Aroma: Soury _ 0
20
50
100
Aroma: Langu _ 0
70
100
Kode Sampel : ........... Aroma: Meaty _ 0
50
80
100
Aroma: Rancid 0
40
70
100
Aroma: Soury _ 0
20
50
100
Aroma: Langu _ 0
70
100
TERIMA KASIH-Maria-XOX 80
Lampiran 13. Contoh formulir quantitative descriptive analysis tekstur QUANTITATIVE DESSCRIPTIVE ANALYSIS-TEKSTUR Nama: Telp/HP Tanggal
: :
Instruksi Umum: Anda diminta untuk menilai intensitas tekstur sampel berikut ini dengan membandingkannya terhadap intensitas rasa standar Instruksi Khusus: 1. Kunyahlah standar tekstur (yang memiliki nilai intensitas yang lebih kecil terlebih dahulu) 2. Kunyahlah contoh selama 10 detik 3. Berikan penilaian terhadap intensitas keempukan sampel dengan memberikan tanda (X) pada skala garis di bawah ini. Kode sampel: ........ Tekstur: juiciness _ 0
20
80
100
20
80
100
20
80
100
Kode sampel: ........ Tekstur: juiciness _ 0
Kode sampel: ........ Tekstur: juiciness _ 0
TERIMA KASIH-Maria-XOX
81
Lampiran 14. Data uji simple different test pada tahap seleksi metode pengasaman kimiawi Panelis Panelis 1 Panelis 2 Panelis 3 Panelis 4 Panelis 5 Panelis 6 Panelis 7 Panelis 8 Panelis 9 Panelis 10 Panelis 11 Panelis 12 Panelis 13 Panelis 14 Panelis 15 Panelis 16
Kontrol vs Laktat 1 Sampel Sampel sama beda 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1
Kontrol vs Laktat 2 Sampel Sampel sama beda 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1
Kontrol vs Asetat 1 Sampel Sampel sama beda 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0
Kontrol vs Asetat 2 Sampel Sampel sama beda 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1
Panelis 17
0
0
1
1
1
0
1
1
Panelis 18
0
1
1
1
0
1
0
0
Panelis 19
1
0
0
0
0
1
1
0
Panelis 20
1
1
1
1
1
1
1
1
Panelis 21
0
1
1
0
1
1
0
1
Panelis 22
1
1
0
1
1
1
1
0
Panelis 23
1
1
1
1
0
0
1
1
Panelis 24
0
0
1
0
0
1
1
1
Panelis 25
1
1
0
1
1
0
0
1
Panelis 26
0
1
1
1
0
0
1
1
Panelis 27
1
1
0
1
1
1
1
0
Panelis 28
0
1
1
0
1
1
0
1
Panelis 29
1
0
1
1
0
1
1
1
Panelis 30
1
1
1
0
1
0
1
1
Panelis 31 Panelis 32 Panelis 33 Panelis 34 Panelis 35 Panelis 36 Panelis 37 Panelis 38 Panelis 39 Panelis 40
1 0 0 1 0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 0 0 1 0 1
0 1 1 1 0 1 1 0 0 1
1 1 0 1 0 1 0 1 0 1
1 1 0 0 1 1 0 1 1 0
1 1 1 0 0 1 1 1 1 1
1 0 1 1 0 1 0 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0 1
82
Lampiran 15. Analisis data uji simple different test pada tahap seleksi metode pengasaman kimiawi Simple Different Test laktat 1 vs kontrol Respon sama Sampel sama Respon beda Total respon 40 Mc Nemar's T = 3.857142857 b+c = 21 Simple Different Test laktat 2 vs kontrol Respon sama Sampel sama Respon beda Total respon 40 Mc Nemar's T = 5.761904762 b+c = 21 Simple Different Test asetat 1 vs kontrol Respon sama Sampel sama Respon beda Total respon 40 Mc Nemar's T = 4.5454545 b+c = 22 Simple Different Test asetat 2 vs kontrol Respon sama Sampel sama Respon beda Total respon 40 Mc Nemar's T = 4.2631579 b+c = 19
Sampel beda Respon sama Respon beda 8 15 6 11
Sampel beda Respon sama Respon beda 9 16 5 10
Sampel beda Respon sama Respon beda 7 16 6 11
Sampel beda Respon sama Respon beda 7 14 5 14
Mc Nemar’s T = (b-c)2/(b+c) b = jumlah responden yang menjawab benar baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda c = jumlah responden yang menjawab salah baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda
83
Lampiran 16. Data uji kesukaan pada tahap seleksi pengasaman kimiawi Panelis Panelis 1 Panelis 2 Panelis 3 Panelis 4 Panelis 5 Panelis 6 Panelis 7 Panelis 8 Panelis 9 Panelis 10 Panelis 11 Panelis 12 Panelis 13 Panelis 14 Panelis 15 Panelis 16 Panelis 17 Panelis 18 Panelis 19 Panelis 20 Panelis 21 Panelis 22 Panelis 23 Panelis 24 Panelis 25 Panelis 26 Rata-rata
Kontrol 8.5 11.7 8.6 7.5 8.7 5.8 6.3 0.7 7.0 1.6 6.0 7.7 5.2 9.0 6.6 5.9 4.0 5.0 5.4 9.2 7.1 11.5 2.5 5.6 7.2 12.0 6.8
Laktat 1 6.4 8.9 6.0 0.2 9.3 9.8 12.0 3.4 0.9 5.6 12.3 9.2 4.8 12.7 8.9 6.7 3.2 6.2 10.5 8.3 4.0 6.2 8.7 7.2 9.3 12.0 7.4
Laktat 2 3.5 6.6 9.6 6.5 2.9 7.7 3.7 1.4 4.2 2.0 1.8 2.8 1.2 2.5 3.9 5.0 2.2 7.9 10.5 2.7 1.6 6.2 1.8 4.0 8.3 3.3 4.4
Asetat 1 4.4 7.1 11.6 0.4 3.9 5.5 2.8 0.2 5.2 1.6 0.1 8.3 0.7 1.0 2.0 2.0 1.4 4.0 1.5 7.0 2.7 3.6 8.7 2.7 7.8 0.3 3.7
Asetat 2 1.5 0.3 0.7 1.8 3.8 0.2 4.1 2.4 1.6 2.1 4.1 5.6 0.1 0.4 2.7 4.9 3.7 5.9 12.5 0.6 3.0 3.2 0.9 6.1 3.7 4.8 3.1
84
Lampiran 17. Analisis data uji kesukaan pada tahap seleksi pengasaman kimiawi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
SAMPEL
N
1
5
2
5
3
5
4
5
5
5
6
5
7
5
8
5
9
5
10
5
11
5
12
5
13
5
14
5
15
5
16
5
17
5
18
5
19
5
20
5
21
5
22
5
23
5
24
5
25
5
26
5
1
Kontrol
26
2
Laktat 1
26
3
Laktat 2
26
4
Asetat 1
26
5
Asetat 2
26
85
Lampiran 17. Analisis data uji kesukaan pada seleksi pengasaman kimiawi (Lanjutan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type IV Sum of Squares 4068.222a 337.831 379.622 742.938 4811.160
df 30 25 4 100 130
Mean Square 135.607 13.513 94.905 7.429
F 18.253 1.819 12.774
Sig. .000 .020 .000
a. R Squared = .846 (Adjusted R Squared = .799)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan Subset SAMPEL Asetat 2
N 26
1 3.104
2
Asetat 1
26
3.712
Laktat 2
26
4.377
Kontrol
26
6.781
Laktat 1
26
7.412
Sig.
.115 .406 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 7.429. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b Alpha = .05.
86
Lampiran 18. Data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman Kontrol vs Laktat 4 Sampel sama Sampel beda Panelis Panelis 1 1 0 Panelis 2 1 1 Panelis 3 0 0 Panelis 4 1 1 Panelis 5 1 1 Panelis 6 1 0 Panelis 7 0 1 Panelis 8 1 1 Panelis 9 0 0 Panelis 10 1 1 Panelis 11 0 0 Panelis 12 0 0 Panelis 13 1 1 Panelis 14 1 1 Panelis 15 1 0 Panelis 16 0 0 Panelis 17 1 1 Panelis 18 0 0 Panelis 19 0 1 Panelis 20 1 1 Panelis 21 1 1 Panelis 22 1 0 Panelis 23 0 1 Panelis 24 1 1 Panelis 25 1 0 Panelis 26 1 1 Panelis 27 1 0 Panelis 28 1 1 Panelis 29 0 0 Panelis 30 1 0 Panelis 31 1 1 Panelis 32 1 0 Panelis 33 1 1 Panelis 34 1 1 Panelis 35 1 0 Panelis 36 1 1 Panelis 37 1 1 Panelis 38 1 1
87
Lampiran 19. Analisis data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman Simple Different Test laktat 4 vs kontrol Respon sama Sampel sama Respon beda Total respon 38 Mc Nemar's T = 5.538461538 b+c = 26
Sampel beda Respon sama Respon beda 9 19 7 3
Mc Nemar’s T = (b-c)2/(b+c) b = jumlah responden yang menjawab benar baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda c = jumlah responden yang menjawab salah baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda
88
Lampiran 20. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman Panelis Kontrol Laktat 1 Laktat 4 Panelis 1 3.2 3.4 1.5 Panelis 2 4.5 9.6 0.3 Panelis 3 2.3 1.1 0.7 Panelis 4 2.5 2.7 1.8 Panelis 5 3.9 5.3 3.8 Panelis 6 0.2 2.8 0.2 Panelis 7 5.6 10.3 4.1 Panelis 8 1.5 5.6 2.4 Panelis 9 1.2 0.8 1.6 Panelis 10 3.0 7 2.1 Panelis 11 5.6 6.6 4.1 Panelis 12 7.5 3.5 5.6 Panelis 13 1.5 0.1 0.1 Panelis 14 0.5 0.1 0.4 Panelis 15 1.7 9.5 2.7 Panelis 16 2.0 7.8 4.9 Panelis 17 2.7 5.8 3.7 Panelis 18 6.0 8 5.9 Panelis 19 3.9 7.3 12.5 Panelis 20 7.7 0.4 0.6 Panelis 21 1.9 4 3 Panelis 22 1.9 0.5 3.2 Panelis 23 0.5 9.4 0.9 Panelis 24 6.8 2.7 6.1 Panelis 25 3.8 6.3 3.7 Panelis 26 5.9 1.8 4.8 Panelis 27 1.2 0.9 2 Rata-rata 3.3 4.5 3.1
89
Lampiran 21. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
3
2
3
3
3
4
3
5
3
6
3
7
3
8
3
9
3
10
3
11
3
12
3
13
3
14
3
15
3
16
3
17
3
18
3
19
3
20
3
21
3
22
3
23
3
24
3
25
3
26
3
27 SAMPEL
N
1
3
1
Kontrol
27
2
Laktat 1
27
3
Laktat 4
27
90
Lampiran 21. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman (Lanjutan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 1384.699a 302.018 30.039 269.541 1654.240
df 29 26 2 52 81
Mean Square 47.748 11.616 15.019 5.183
F 9.212 2.241 2.898
Sig. .000 .007 .064
a. R Squared = .837 (Adjusted R Squared = .746)
91
Lampiran 22. Data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam Panelis Panelis 1 Panelis 2 Panelis 3 Panelis 4 Panelis 5 Panelis 6 Panelis 7 Panelis 8 Panelis 9 Panelis 10 Panelis 11 Panelis 12 Panelis 13 Panelis 14 Panelis 15 Panelis 16 Panelis 17 Panelis 18 Panelis 19 Panelis 20 Panelis 21 Panelis 22 Panelis 23 Panelis 24 Panelis 25 Panelis 26 Panelis 27 Panelis 28 Panelis 29 Panelis 30 Panelis 31 Panelis 32 Panelis 33 Panelis 34 Panelis 35 Panelis 36 Panelis 37 Panelis 38
Kontrol vs Fosfat Sampel Sampel sama beda 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1
Kontrol vs Kombinasi Sampel Sampel sama beda 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
0
1
0
0 0 1 0 1 1 1 1
0 0 1 0 1 1 0 1
1 1 0 1 0 1 0 1
0 1 0 1 0 1 1 1
Panelis Panelis 1 Panelis 2 Panelis 3 Panelis 4 Panelis 5 Panelis 6 Panelis 7 Panelis 8 Panelis 9 Panelis 10 Panelis 11 Panelis 12 Panelis 13 Panelis 14 Panelis 15 Panelis 16 Panelis 17 Panelis 18 Panelis 19 Panelis 20 Panelis 21 Panelis 22 Panelis 23 Panelis 24 Panelis 25 Panelis 26 Panelis 27 Panelis 28 Panelis 29 Panelis 30 Panelis 31 Panelis 32 Panelis 33 Panelis 34 Panelis 35 Panelis 36 Panelis 37 Panelis 38 Panelis 39 Panelis 40
Kontrol vs Pengasam X Sampel Sampel sama beda 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0 1 1 0 1 0 1 1 0 1
0 1 0 0 1 0 1 0 1 0
92
Lampiran 23. Analisa data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam Sampel beda Simple Different Test Respon sama Respon beda Kontrol vs Fosfat Respon sama 5 19 Sampel sama Respon beda 9 5 Total respon 38 Mc Nemar's T = 3.571428571 b+c = 28 Sampel beda Simple Different Test Kontrol vs Pengasam X Respon sama Respon beda Respon sama 13 15 Sampel sama Respon beda 8 4 Total respon 40 Mc Nemar's T = 2.130434783 b+c = 23 Sampel beda Simple Different Test Respon sama Respon beda Kontrol vs Kombinasi Respon sama 7 18 Sampel sama Respon beda 5 8 Total respon 38 Mc Nemar's T = 7.347826087 b+c = 23 Mc Nemar’s T = (b-c)2/(b+c) b = jumlah responden yang menjawab benar baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda c = jumlah responden yang menjawab salah baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda
93
Lampiran 24. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam Uji Kesukaan Kontrol Fosfat Pengasam X Kombinasi Panelis Panelis 1 6.7 7.4 7.2 6 Panelis 2 9.8 9 9.7 8.6 Panelis 3 5.8 0.93 9.5 5.7 Panelis 4 10.9 7.26 8 4.5 Panelis 5 5.65 5.68 8.65 5.62 Panelis 6 12.45 12.06 12.25 10.8 Panelis 7 7.5 10.9 8.4 4.1 Panelis 8 10.8 12.41 11.2 9.19 Panelis 9 3.2 6.47 8 1.1 Panelis 10 8 9.35 7.4 6.65 Panelis 11 5.6 5.7 2.1 5.5 Panelis 12 9.4 13.6 8.1 5.2 Panelis 13 7.25 14.41 11.95 0.09 Panelis 14 9.4 2.5 6.9 6.3 Panelis 15 8.95 4.59 12.5 13.31 Panelis 16 8.2 5.7 8.2 6.4 Panelis 17 12.15 11.1 12 10.2 Panelis 18 5.95 5.38 7.45 6.52 Panelis 19 5.7 6.7 2.5 4.7 Panelis 20 6.3 6.95 7.8 5.65 Panelis 21 9.9 15.56 12.2 4.24 Panelis 22 4.5 5.95 6.6 3.05 Panelis 23 7.5 6 13.9 5.5 Panelis 24 7.8 10.22 9 5.38 Panelis 25 3.8 1.35 3.3 1.2 Panelis 26 5.4 7.42 10.8 3.38 Panelis 27 10.2 10.5 10.2 9.9 Panelis 28 5.3 5.1 5.3 5.5 Panelis 29 8.4 6.75 12.1 7.5 Panelis 30 11 12.3 12.5 9.7 Panelis 31 2.1 3.2 5.8 1 Panelis 32 10.2 12 12 8.4 Panelis 33 7.6 12.9 10.6 2.3 Panelis 34 12.1 13.5 11.9 10.7 Panelis 35 4 8 4.9 0 Panelis 36 5.3 10.1 5.7 0.5 Panelis 37 5 1.5 9.8 2.9 Panelis 38 4.9 10.3 4.3 3.1 Panelis 39 5.3 5.7 5.3 4.9 Panelis 40 9.8 8.4 9.8 4.2 Rata-rata 7.5 8.2 8.6 5.5
94
Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
4
10
4
11
4
12
4
13
4
14
4
15
4
16
4
17
4
18
4
19
4
2
4
20
4
21
4
22
4
23
4
24
4
25
4
26
4
27
4
28
4
29
4
3
4
30
4
31
4
32
4
33
4
34
4
35
4
36
4
37
4
38
4
39
4
4
4
40
4
5
4
6
4
7
4
8
4
9 SAMPEL
N
1
4
1
Kontrol
40
2
Fosfat
40
3
Pengasam X
40
4
Kombinasi
40
95
Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada modifikasi jenis pengasam (Lanjutan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 10048.388a 971.095 229.196 609.982 10658.371
df 43 39 3 117 160
Mean Square 233.683 24.900 76.399 5.214
F 44.823 4.776 14.654
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .943 (Adjusted R Squared = .922)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan SAMPEL
N
Subset 1 5.487
2
Kombinasi
40
Kontrol
40
7.495
Fosfat
40
8.119
Pengasam X
40
3
8.119 8.645
Sig.
1.000 .224 .305 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.214. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 40.000. b Alpha = .05.
96
Lampiran 26. Data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut langu tempe pengasaman X Panelis Kontrol Pengolahan X1 Pengolahan X2 Pengolahan X3 Panelis 1 0.6 4.4 3.2 8.6 Panelis 2 0.5 11.2 13.4 13.4 Panelis 3 9.9 7.3 8.1 2.1 Panelis 4 3.8 10.2 6.6 4.8 Panelis 5 5.4 6.1 7.4 5.4 Panelis 6 0.2 4.3 3.4 5.2 Panelis 7 5.3 11.5 9.2 10.3 Panelis 8 4.4 3.0 1.2 2.1 Panelis 9 11.0 5.4 6.0 5.0 Panelis 10 2.1 6.6 7.5 5.8 Panelis 11 11.2 12.4 9.0 12.3 Panelis 12 7.6 7.5 7.4 5.3 Panelis 13 6.7 2.1 5.3 0.1 Panelis 14 4.0 1.9 4.5 5.7 Panelis 15 11.3 2.8 8.5 2.5 Panelis 16 5.0 11.8 5.4 1.7 Panelis 17 5.5 2.2 5.1 2.2 Panelis 18 5.3 7.1 8.5 8.5 Panelis 19 9.8 9.6 8.3 6.7 Panelis 20 4.5 12.0 11.7 6.2 Panelis 21 10.3 2.0 5.9 2.6 Panelis 22 8.0 10.2 11.8 1.8 Panelis 23 7.1 13.7 13.2 2.3 Panelis 24 9.4 8.4 9.3 4.1 Panelis 25 4.3 7.1 1.1 2.0 Panelis 26 5.7 4.2 3.8 6.5 Panelis 27 5.5 4.9 6.1 6.2 Rata-rata 6.7 7.0 7.1 5.2
97
Lampiran 27. Analisis data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut langu tempe pengasaman X
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
4
10
4
11
4
12
4
13
4
14
4
15
4
16
4
17
4
18
4
19
4
2
4
20
4
21
4
22
4
23
4
24
4
25
4
26
4
27
4
3
4
4
4
5
4
6
4
7
4
8
4
9 SAMPEL
N
1
4
1
Kontrol
27
2
Pengolahan X1 Pengolahan X2
27
3 4
Pengolahan X3
27
27
98
Lampiran 27. Analisis data uji kesukaan reduksi atribut langu tempe pengasaman X (Lanjutan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 5311.196a 681.995 66.201 481.824 5793.020
df 30 26 3 78 108
Mean Square 177.040 26.231 22.067 6.177
F 28.660 4.246 3.572
Sig. .000 .000 .018
a. R Squared = .917 (Adjusted R Squared = .885)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan SAMPEL
N
Subset 1 5.163
2
Pengolahan X3
27
Kontrol
27
6.733
Pengolahan X2
27
7.033
Pengolahan X1
27
7.070
Sig.
1.000 .643 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.177. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 27.000. b Alpha = .05.
99