ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN WONOSOBO (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)
SKRIPSI
JOKO NOVIANTO H34080098
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 1
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN WONOSOBO (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)
SKRIPSI
JOKO NOVIANTO H34080098
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN JOKO NOVIANTO. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah). Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI) Kentang merupakan salah sau komoditas unggulan subsektor hortikultura. Hal ini dibuktikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011) yang menunjukkan bahwa kentang termasuk salah satu komoditi yang memiliki ratarata produksi relatif besar bila dibandingkan dengan beberapa jenis sayuran lain. Namun, produksi yang besar tidak menjamin mampu memenuhi permintaan kentang di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia tetap melakukan impor kentang untuk memenuhi perminataan pasar akan kentang. Namun tidak menutup kemungkinan bagi Kabupaten Wonosobo sebagai salah satu sentra produksi kentang di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan dan menjadi pengekspor kentang. Produksi kentang di Kabupaten Wonosobo sangat dipengaruhi oleh tingkat ketinggian, curah hujan, dan jenis tanah. Tingkat ketinggian dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya distorsi pasar atau kegagalan pasar. Semakin tinggi suatu daerah maka tingkat distorsi pasar atau kegagalan pasarnya akan semakin tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi suatu daerah maka akan semakin jauh dari pasar dan pada akhirnya pasar cenderung menjadi tidak sempurna. Pasar yang tidak sempurna merupakan salah satu jenis kegagalan pasar atau distorsi pasar yang akan berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif kentang. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo, (2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo, dan (3) Menganalisis keunggulan kompetitif dan komperatif kentang apabila terjadi perubahan nilai mata uang, harga output, harga pestisida, dan harga pupuk di Kabupaten Wonosobo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Anaysis Matrix (PAM), dengan pertimbangan metode ini dapat menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai. Daya saing kentang dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki kedua lokasi penelitian. Berdasarkan hasil analisis PAM diketahui nilai Rasio Biaya Privat (PCR) di Desa Sigedang lebih rendah daripada nilai PCR di Desa Dieng. Artinya, komoditas kentang di Desa Sigedang memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar dari usahatani kentang di Desa Dieng pada musim penghujan. Sedangkan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) di Desa Sigedang sebesar 0,76 lebih kecil daripada nilai DRC di Desa Dieng yakni sebesar 0,84. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas kentang di Desa Sigedang memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar bila dibandingkan dengan Desa Dieng. Dampak kebijakan terhadap pengusahaan kentang di Kabupaten Wonosobo dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen
(SRP). Berdasarkan nilai koefisien proteksi efektif yang kurang dari satu menunjukkan bahwa tidak adanya proteksi atau perlindungan pemerintah terhadap petani menyebabkan petani tidak memiliki nilai tambah terhadap harga produknya. Berdasarkan nilai transfer bersih yang negatif menunjukkan adanya surplus produsen atau keuntungan petani yang hilang sehingga penerimaan yang diterima petani menjadi berkurang. Koefisien Keuntungan yang bernilai kurang dari satu mengindikasikan kebijakan pemerintah yang berlaku mengakibatkan keuntungan yang diterima petani kentang lebih kecil daripada tanpa adanya kebijakan. Demikian pula dengan nilai rasio subsidi produsen yang bernilai negatif mengartikan bahwa petani harus membayar lebih tinggi untuk berproduksi daripada nilai tambah keuntungan yang dapat diterimanya. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang kemungkinan terjadi dalam sistem ekonomi. Dalam penelitian ini terdapat empat perubahan variabel, yakni perubahan nilai mata uang, perubahan harga output, perubahan harga pestisida, dan perubahan harga pupuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika, harga output kentang naik, harga pestisida menurun, dan harga pupuk mengalami penurunan, memiliki dampak positif terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif kedua sistem usahatani. Sebaliknya jika nilai mata uang terapresiasi, harga output kentang turun, harga pestisida dan harga pupuk naik, maka akan menyebabkan keunggulan komparatif dan kompetitif kedua sistem usahatani menurun.
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN WONOSOBO (Kasus : Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)
JOKO NOVIANTO H34080098
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)
Nama
: Joko Novianto
NIM
: H34080098
Disetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Harmini, M.Si NIP. 19600921 198703 2 002
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Joko Novianto H34080098
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karangsari pada tanggal 28 November 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supomo dan Ibunda Sri Astuty. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 091262 Karangsari Pematangsiantar pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SLTP Negeri 1 Pematangsiantar. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 3 Pematangsiantar diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Himpunan Porfesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) IPB pada Career and Creativity Development Departemen (CCDD) periode tahun 2009-2010 dan sebagai Ketua Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (BP HIPMA) IPB periode tahun 2010-2011.
KATA PENGANTAR Puji syukur kapada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keuntungan pengusahaan komoditas kentang, menganalisis daya saing komoditas kentang, dan menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo. Penulis menyadari bahwa pada skripsi ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2012 Joko Novianto
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan , penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Ir. Harmini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing atas semua bimbingan, arahan, waktu, motivasi, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Dr.Ir.Suharno, M.Adev sebagai Dosen Penguji Utama yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3.
Yeka Hendra Fatika, SP sebagai Dosen Penguji Akademik yang telah memberikan masukan yang berguna untuk penyempurnaan skrupsi ini. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah mendidik, memberikan pengalaman dan kasih sayang kepada penulis.
4.
Ayahanda Supomo dan Ibunda Sri Astuty yang telah memberikan nasihat, semangat, dan doa yang diberikan. Semoga skripsi ini bisa menjadi persembahan terbaik.
5.
Dwi Putra Ananda dan Awish Falah yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan pemecah suasana ketika penulis sedang jenuh.
6.
Bapak Subarkah dan Bapak Agus beserta keluarga yang telah bersedia memberikan bantuan berupa tempat tinggal dan kasih sayang kepada penulis selama melakukan penelitian di Kecamatan Kejajar.
7.
Ibu Lestari Dwi beserta keluarga yang telah banyak direpotkan oleh penulis selama berada di Kabupaten Wonosobo.
8.
Anggarini Dianing Safitri, SE dan Steffi Fikri, SE yang telah bersedia membantu penulis ketika penelitian.
9.
Okky P Dewanata, SE yang telah bersedia membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Tommy, Dharma, Ryan Satria, Luky, Julia, Linda Rosalina, dan agriTRASH yang telah memberikan kekacauan dan semangat kekeluargaan. 11. Herawati,SE, Emil Fatmala, SE, Risty Puspitasari, SE, Vaudhan Fuadi, Andi Facino, Syajaroh Duri, Aklima Dhiska, Jauhar Samudra, Listia Nur Isma, dan
teman-teman HIPMA lainnya yang telah memberikan nasihat dan rasa kekeluargaan. 12. Restika Raditya, Farah Ratih, dan Tsamaniatul sebagai teman satu bimbingan atas masukan, bimbingan, dan dukungan berupa semangat dan diskusi bersama sehingga penullis dapat menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman-teman seperjuangan dan teman-teman Agribisnis 42, 43, 44, 45, 46 dn 47 atas semangat dan persaudaraan yang terjalin selama melakukan studi di Departemen Agribisnis. 14. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2012 Joko Novianto
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xvi
I.
PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................
1 18 23 26 26 26
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1 Studi Empiris Dayasaing ......................................................... 2.2 Studi Empiris Kentang ............................................................
28 28 34
III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................ 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 3.1.1 Konsep Dayasaing ........................................................ 3.1.2 Keunggulan Komparatif ............................................... 3.1.3 Keunggulan Kompetitif ................................................ 3.1.4 Kebijakan Pemerintah .................................................. 3.1.5 Teori PAM ................................................................... 3.1.6 Teori Sensitivitas .......................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................
40 40 40 41 43 44 51 54 55
IV. METODE PENELITIAN ............................................................. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 4.2 Metode Penentuan Sampel ...................................................... 4.3 Jenis dan Sumber Data ............................................................ 4.4 Analisis Data ........................................................................... 4.5 Policy Analysis Matrix (PAM) ................................................ 4.5.1 Analisis Keuntungan .................................................... 4.5.2 Analisis Efisiensi .......................................................... 4.5.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ..................... 4.6 Identifikasi Input Output ......................................................... 4.6.1 Alokasi Komponen Input Tradable dan Non Tradable 4.6.2 Alokasi Biaya Produksi ................................................ 4.7 Penentuan Harga Bayangan atau Harga Sosial ....................... 4.7.1 Harga Bayangan Output ................................................. 4.7.2 Harga Bayangan Input .................................................. 4.8 Analisis Sensitivitas .................................................................
58 58 58 59 59 60 62 63 64 68 68 68 69 70 71 79
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................ 5.1 Kabupaten Wonosobo .............................................................
82 82
5.2 Kecamatan Kejajar .................................................................. 5.2.1 Desa Sigedang .............................................................. 5.2.2 Desa Dieng ................................................................... 5.3 Karakteristik Petani Responden .............................................. 5.4 Gambaran Umum Usahatani Kentang di Lokasi Penelitian.....
83 84 85 85 88
VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ...... 6.1 Analisis Dayasaing .................................................................. 6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif ............................................. 6.3 Analisis Keunggulan Komparatif ............................................ 6.4 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ................................. 6.4.1 Dampak Kebijakan Output ........................................... 6.4.2 Dampak Kebijakan Input ............................................. 6.4.3 Dampak Kebijakan Input-Ouput .................................. 6.5 Analisis Sensitivitas ................................................................
96 96 97 99 101 101 103 105 107
VII.KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 7.1 Kesimpulan .............................................................................. 7.2 Saran ........................................................................................
113 113 113
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
98
LAMPIRAN ..........................................................................................
102
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Indonesia Tahun 2005 -2009 .......................................................
1
2. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005-2010 (Ton) .............
2
3. Perkembangan Neraca Perdagangan Kentang Indonesia, Tahun 2008-2010 ....................................................................................
3
4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang Tahun 20092010 ..............................................................................................
4
5. Luas dan Produksi Tanaman Sayuran Kabupaten Wonosobo (Ton/Ha) .......................................................................................
5
6. Studi Empiris Yang Berkaitan dengan Penelitian ........................
22
7. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas .....................................
27
8. Sebaran Petani Sampel di Kecamatan Kejajar .............................
42
9. Policy Analysis Matrix (PAM) ....................................................
44
10. Alokasi Biaya Produksi Komoditas Kentang di Lokasi Penelitian ......................................................................................
52
11.Penggunaan Lahan Di Kabupaten Wonosobo .............................
66
12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia .............................
69
13. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Tingkat Pendidikan Formal ..........................................................................................
70
14. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani ...........
70
15. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan .............................
71
16. Sebaran Penggunaan Pupuk Petani berdasarkan Jenis Pupuk di Lokasi Penelitian .........................................................................
73
17. Sebaran Tenaga Kerja Berdasarkan HOK di Lokasi Penelitian ..
75
18. PAM Untuk Sistem Usahatani Kentang di Kecamatan Kejajar ...
79
19. Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar .................................
80
20. Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar .....
82
21. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) .........................................................................
85
22. Nilai Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) ..........................................................................................
86
23. Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) ............................................................................................
89
24. Perubahan Nilai Keuntungan dan Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Kejajar ............
91
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Dampak Pajak Terhadap Produsen Komoditas Ekspor ..............
29
2. Subsidi Positif Produsen Untuk Barang Impor ............................
31
3. Subsidi Positif Konsumen Untuk Barang Impor .........................
32
4. Pengaruh Kebijakan Input Tradable ............................................
33
5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable .................
34
6. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
40
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Luas Panen Sayur dan Buah Semusim (SBS) Tahun 2010 .........
103
2. Produksi dan Produktivitas Tanaman Sayuran Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 ................................................................
104
3. Perhitungan Harga Bayangan ......................................................
105
4. Perhitungan Harga Bayangan Kentang di Kecamatan Kejajar (Output) .........................................................................................
106
5. Perhitungan harga Bayangan Pupuk Anorganik di Kecamatan Kejajar ..........................................................................................
107
6. Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Kentang di Desa Sigedang (1500 – 1800 dpl) – Musim Hujan ...................
110
7. Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Kentang di Desa Dieng (lebih dari 2200 dpl) – Musim Hujan ....................
111
8. Tabel Input Output Komoditi Kentang Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan ........................................
112
9. Budget Privat dan Budget Sosial Komoditi Kentang Desa Sigedang (1500 – 1800 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan .................................................................. .........................
113
10. Budget Privat dan Budget Sosial Komoditi Kentang ( lebih dari 2200 dpl) Desa Dieng, Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan ............................................................................................
114
11. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Desa Sigedang (1500 – 1800 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan ............................................................................................
115
12. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Desa Dieng (lebih dari 2200 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan ............................................................................................
116
13. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Berdasarkan Analisis Sensitivitas- Musim Hujan ............................................
117
PENDAHULUAN
I. 1.1
Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan
perekonomian di Indonesia. Pertanian juga dipandang sebagai suatu sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan yang berkualitas. Hal ini ditunjukkan bahwa sekitar 45 persen tenaga kerja bergantung pada sektor pertanian primer maka tidak heran pertanian dapat menjadi basis pertumbuhan terutama di pedesaan (Daryanto, 2009). Kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) sektor pertanian juga menunjukkan bahwa pentingnya membangun pertanian yang berkelanjutan secara konsisten untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahap awal periode 2005-2009 pertumbuhan PDB masih di bawah target, tetapi pertubuhan PDB terus meningkat, bahkan di tahun 2008 berhasil melampaui target yang ditetapkan (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Indonesia Tahun 2005 -2009 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Target (%) 3,20 3,40 3,60 3,60 3,80 3,52
Capaian (%) 2,50 3,20 3,40 5,16 3,57* 3,30
Sumber : Kementrian Pertanian, 2009 *angka sementara
Beberapa subsektor yang tergabung dalam sektor pertanian antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Salah satu subsektor yang dikembangkan yakni subsektor hortikultura. Berdasarkan
pertumbuhan
pendapatan
nasional,
kontribusi
hortikultura
memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik pada keseluruhan PDB hortikultura maupun pada PDB kelompok komoditas hortikultura. Pada tahun 2005, PDB hortikultura sebesar Rp. 61,79 trilyun naik menjadi Rp 89,057 trilyun
pada tahun 20091). Komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditi yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Namun tingkat konsumsi sayuran tahun 2009 besarnya 40,90 kg/ kapita/tahun. Angka tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan rekomendasi FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun2). Subsektor hortikultura merupakan subsektor potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman baik hortikultura tropis ataupun hortikultura subtropis. Subsektor hortikultura memiliki 323 jenis komoditas, diantaranya 60 jenis buah-buahan, 80 jenis sayuran, 66 biofarmaka, dan 117 tanaman hias (Direktorat Jendral Hortikultura, 2008). Salah satu komoditas produk hortikultura yang menjadi unggulan adalah tanaman kentang (Solanum tuberosum L). Kentang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000). Hal ini dibuktikan dengan data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan bahwa kentang termasuk salah satu komoditi yang memiliki rata-rata produksi yang relatif besar dibandingkan dengan beberapa jenis sayuran lain (Tabel 2). Tabel 2. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005-2010 (Ton) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Bawang Merah 732,609 794,931 802,810 853,615 965,164 1,048,934
Kentang
Kubis
Cabai
Wortel
1,009,619 1,011,911 1,003,733 1,071,543 1,176,304 1,060,805
1,292,984 1,267,745 1,288,740 1,323,702 1,358,113 1,384,044
1,058,023 1,185,057 1,128,792 1,153,060 1,378,727 1,328,864
440,002 391,371 350,161 367,111 358,014 403,827
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011a
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produksi kentang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya kecuali pada tahun 2010 produksi kentang 1
Pengendalian OPT Hortikultura Melaui Pemberdayaan Pelaku Perlindungan. www.sinartani.com (1 Februari 2012) 2 Konsumsi Sayur Masyarakat Indonesia Di bawah Rekomendasi FAO http://aseibssindo.org (di akses tanggal1 Februari 2012)
mengalami penurunan. Penurunan produksi ini disebabkan karena faktor cuaca, biaya produksi yang semakin mahal, lahan pertanian yang semakin tidak subur dan tidak sehat, serta pengunaan pestisida yang kurang bijaksana menjadi penyebab turunnya produktivitas kentang3). Akan tetapi peningkatan produksi kentang tidak menjamin mampu memenuhi permintaan kentang di Indonesia. Indonesia tetap melakukan impor kentang untuk memenuhi permintaan pasar akan kentang. Tabel 3 akan memaparkan perkembangan neraca perdagangan kentang Indonesia tahun 2008–2010. Tabel 3. Perkembangan Neraca Perdagangan Kentang Indonesia, Tahun 20082010 No
Uraian
2008
Tahun 2009
Ekspor - Volume (ton) 7.958 6.320 - Nilai (000 US$) 2.340 2.160 2 Impor - Volume (ton) 5.345 11.727 - Nilai (000 US$) 2.880 6.698 3 Neraca Perdagangan - Volume (ton) 2.613 -5.407 - Nilai (000 US$) -540 -4.538 Sumber : Badan Pusat Statistik diolah Pusdatin, 2011bc
2010
Rata-rata
1
6.771 2.426
7.016 2.309
24.204 14.591
11.977 8.056
-17.433 -12.165
-6.742 -5.748
Rata-rata volume neraca perdagangan kentang dari tahun 2008-2010 mengalami penurunan sebesar 6.742 ton per tahun dengan rata-rata volume ekspor dan volume impor masing-masing sebesar 7.016 ton dan 11.977 ton per tahun. Vomule impor kentang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 impor kentang mencapai 24.204 ton tertinggi dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Sementara pertumbuhan nilai rata-rata neraca perdagangan sebesar 5,748 juta US Dollar per tahun dengan pertumbuhan rata- rata nilai ekspor sebesar 2,309 juta US Dollar dan pertumbuhan rata-rata nilai impor 8,056 juta US Dollar per tahun. Dalam periode 2008 – 2010 surplus neraca perdagangan hanya terjadi pada tahun 2008 sebesar 2.613 ton dengan nilai sebesar 540 ribu US Dollar. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 neraca perdagangan kentang mengalami defisit sebesar 5407 ton dan 17.433 ton dengan nilai masing-masing 45,38 juta US Dollar dan 12,16 juta US Dollar. 3
Anomali Iklim Turunkan Produktivitas Pertanian www.antaranews.com (diakses tanggal17 November 2011)
Indonesia memiliki daerah-daerah sentra produksi kentang. Sentra produksi kentang terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat dengan kontribusi ratarata sebesar 33,99 persen dari total produksi kentang Indonesia diikuti Provinsi Jawa Tengah sebesar 21,07 persen, Sulawesi Utara 11,73 persen, Sumatera Utara 11,18 persen dan Jawa Timur 9,20 persen (Pusdatin, 2009). Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi penghasil kentang terbesar kedua setelah Jawa Barat kemudian diikuti oleh Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya produksi kentang provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 dan tahun 2010 masing-masing sebesar 288,654 dan 265,123 setelah Provinsi Jawa Barat (Tabel 4). Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2009-2010 Tahun 2009 Provinsi
Luas panen (Ha)
Produksi (Ton)
Sumatera 8,013 129,587 Utara Jambi 5,296 94,368 Jawa Barat 15,344 320,542 Jawa 18,655 288,654 Tengah Jawa Timur 9,529 125,886 Sulawesi 8,740 142,109 Utara Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011d
Tahun 2010
Produktivitas (Ton/Ha)
Luas panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
16.17
7,972
126,203
15.83
17.82 20.89
4,860 13,553
84,794 275,101
17.45 20.3
15.47
17,499
265,123
15.15
13.21
8,561
115,423
13.48
16.26
8,555
126,210
14.75
Penyebaran dan pengembangan kentang di Indonesia tergantung pada daerah dan kondisi agroklimatnya, lahan dataran tinggi atau pegunungan, serta iklim sangat mendukung baik untuk pengembangan kentang (Sunaryono,2007). Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu penyumbang produksi kentang terbesar di Jawa Tengah. Produksi kentang Kabupaten Wonosobo selama sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 49,481 ton/tahun, dengan luas lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman kentang adalah 2950 hektar4). Berdasarkan Tabel 5, produksi kentang Kabupaten Wonosobo sangat berfluktuatif. Pada tahun 2006 produksi kentang cenderung menurun hingga pada tahun 2010 mengalami 4
Kabupaten Wonosobo www.kabupatenwonosobo.com (17 November 2011)
kenaikan produksi mencapai 48,1661 ton. Selain itu produksi kentang di Kabupaten Wonosobo dalam beberapa tahun belakangan ini kalah bersaing dengan jumlah produksi kubis, dimana jumlah produksi kentang tidak pernah melebihi jumlah produksi kubis. Luas dan jumlah produksi tanaman sayuran di Kabupaten Wonosobo dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas dan Produksi Tanaman Sayuran Kabupaten Wonosobo Tahun 2006 – 2010 (Ton/Ha) Bawang Kentang Kubis Merah Tahu Luas Luas Luas Produk Produk Produk n pane pane pane si si si n n n 2006 1 3,5 3000 47,970 3613 70,374 2007 2639 39,676 3934 72,370 2008 2826 44,768 3221 59,686 2009 3013 44,467 3638 64,009 2010 35 7,0 3187 48,166 3445 59,961 Sumber :Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo,2011
Cabai Luas pane n 2153 2132 2485 803 898
Produk si 9,674 10,187 11,498 5,692 6,580
Wortel Luas pane n 167 268 394 321 354
Produ ksi 2,537 4,141 5,116 4,731 5,238
Kentang dapat dijadikan sebagai komoditas hortikultura unggulan seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat atau Kabupaten Wonosobo untuk mendorong meningkatkan dayasaing kentang. Namun yang terjadi pada komoditas kentang di Indonesia adalah berfluktuatifnya volume ekspor dan meningkatnya impor (Tabel 3). Dengan kata lain menunjukkan bahwa jumlah impor kentang lebih besar daripada ekspor kentang. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran bagi petani kentang karena akan terjadi persaingan dengan produkproduk kentang impor. Selain itu juga memungkinkan produk kentang impor dapat menguasai pasar kentang di Indonesia, sehingga akan mengancam produksi kentang dan petani kentang, karena yang akan menerima dampak karena adanya impor kentang ini adalah petani kentang. Rendahnya ekspor kentang Indonesia daripada impor kentang tidak menutup kemungkinan Indonesia dapat menjadi pengekspor kentang. Kabupaten Wonosobo sebagai salah satu sentra produksi kentang di Jawa Tengah bahkan Indonesia diharapkan mampu untuk memenuhi dan mensubstitusi produk kentang impor tersebut. Berdasarkan hal tersebut langkah awal yang dilakukan adalah
menganalisis dayasaing kentang terlebih dahulu untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki. 1.2
Perumusan Masalah Sektor hortikultura merupakan salah satu penggerak utama (prime mover)
perekonomian daerah dan nasional. Produksi kentang di Indonesia cenderung mengalami peningkatan selama tahun 2005 – 2010 (Tabel 2). Adanya perdagangan bebas membuka peluang untuk menembus pasar internasional. Namun, untuk dapat bersaing dalam pasar Internasional, petani atau produsen dituntut untuk menghasilkan tanaman kentang yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik agar mampu bersaing dengan produk sejenis yang ada di pasar internasional. Dalam kurun rentang waktu yang sama impor kentang juga meningkat tajam. Impor kentang masih dilakukan untuk memenuhi permintaan beberapa konsumen yang membutuhkan kentang dengan karakterstik tertentu karena produsen dalam negeri belum bisa memenuhi karakteristik yang diminta (Sailah, 1999). Kentang merupakan salah satu komoditi hortikultura unggulan Kabupaten Wonosobo yang memiliki angka produksi yang cukup tinggi selain bawang merah, kubis, cabai, dan wortel. Kentang biasanya diperdagangkan dalam bentuk segar ke beberapa wilayah di Indonesia. Produksi kentang di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2010 mencapai 48,17 ton dengan produktivitas sebesar 15,11 ton per hektar (Lampiran 1). Namun pada tahun 2009 produksi kentang sempat mengalami penurunan sebesar 44,47 ton meskipun pada saat itu terjadi peningkatan luas panen (Tabel 5). Berfluktuatifnya produksi dan produktivitas kentang disebabkan beberapa kendala diantaranya rendahnya kualitas dan kuantitas bibit kentang, yang merupakan issue utama dalam usaha peningkatan produksi kentang, teknik budidaya yang masih konvensional, faktor topografi yakni daerah dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk penanaman kentang, dan Indonesia merupakan daerah tropis yang sangat mendukung perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000). Selain itu perbedaan dalam penggunaan input usahatani juga akan berpengaruh terhadap produktivitas dan produksi kentang. Penggunaan input pada musim hujan juga akan berbeda dengan
penggunaan input pada musim panas. Dalam penelitian ini juga melihat pengaruh penggunaan input pada musim hujan terhadap produksi dan produktivitas kentang yang akan berpengaruh terhadap dayasaing kentang. Pemerintah memiliki peran penting dalam mengembangkan pengusahaan kentang melalui kebijakan-kebijakan yang nantinya akan menentukan apakah kebijakan tersebut bermanfaat atau memberikan dampak negatif terhadap dayasaing kentang. Terdapat tiga kebijakan yang mempengaruhi dayasaing sektor pertanian yaitu, kebijakan harga, kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik (Pearson, 2005). Kebijakan
harga
yang
diterapkan
pemerintah
melalui
intervensi
pemerintah berdasarkan peraturan menteri keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang kenaikan pajak impor sebesar lima persen atas bahan baku produksi pertanian seperti pupuk, bibit, dan obat-obatan menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani menjadi lebih tinggi. Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa akan adanya subsidi yang diberikan pemerintah kepada petani untuk mengurangi beban biaya produksi petani, seperti subsidi pupuk. Namun kebijakan subsidi pupuk ini kenyataannya tidak menguntungkan petani. Hal ini didukung oleh Falatehan (2012) yang menyebutkan bahwa kebijakan subsidi pupuk hasilnya belum optimal, dikarenakan di lapangan harga pupuk terjadi di atas harga eceran tertinggi. Tingginya produksi kentang di Kabupaten Wonosobo seharusnya mampu menyejahterahkan masyarakat khususnya petani kentang. Akan tetapi peningkatan produksi ini tidak diiringi dengan meningkatnya pendapatan para petani. Petani masih harus dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang seringkali merugikan petani, seperti kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif bea masuk impor kentang. Pada Juni tahun 2011, kentang impor yang beredar di Indonesia mencapai 50 ribu ton yang berasal dari Cina dan India dengan harga di bawah standar5). Dengan banyaknya jumlah kentang yang beredar di pasaran dengan harga yang jauh lebih murah mengakibatkan kentang lokal tidak mampu bersaing dengan kentang impor. Kebijakan makroekonomi seperti ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan harga. Contoh lain seperti kebijakan nilai tukar, secara tidak 5
Impor Kentang, Menteri Pertanian Akui Tak Koordinasi Dengan Mendag www.tempo.co (17 November 2011)
langsung akan berpengaruh terhadap biaya produksi terutama untuk faktor produksi yang masih diimpor dan secara langsung akan berpengaruh terhadap harga kentang yang akan diekspor. Masalah permodalan dan karakteristik komoditas pertanian yang mudah rusak (perishable) juga membutuhkan penanganan yang baik agar tidak menurunkan kualitas dari produk pertanian itu sendiri. Permasalahan yang sudah dikemukakan semestinya ditanggulangi oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan membuat rumusan dan implementasi kebijakan yang mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi keberlangsungan kegiatan produksi kentang di Kabupaten Wonosobo. Sementara itu di luar konteks kebijakan yang dibuat pemerintah, Molua (2005) menyebutkan bahwa terdapat beberapa karakteristik dalam sosial ekonomi pertanian yang mempengaruhi maksimalisasi pendapatan usahatani antara lain, yakni tenaga kerja terampil, sumber kredit pertanian, jumlah tanaman per luas lahan, agro-ekologi (jenis tanah dataran tinggi atau dataran rendah), dan curah hujan. Sebagian besar keadaan georafis Kabupaten Wonosobo adalah dataran tinggi. Tingkat ketinggian dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya distorsi pasar atau kegagalan pasar. Semakin tinggi suatu daerah maka tingkat distorsi pasar atau kegagalan pasarnya akan semakin tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi suatu daerah maka akan semakin jauh dari pasar dan pada akhirnya pasar cenderung menjadi tidak sempurna. Pasar yang tidak sempurna merupakan salah satu jenis kegagalan pasar atau distorsi pasar yang akan berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif kentang. Untuk membuktikan hal diatas, pada penelitian ini akan dilihat daerah mana yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lebih besar satu sama lain. Dengan asumsi untuk usahatani kentang pada ketinggian diantara 1500 – 1800 meter dpl (di atas permukaan laut) merupakan daerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan pasar dan usahatani kentang pada ketinggian lebih dari 2200 meter dpl (di atas permukaan laut) merupakan daerah tinggi dan semakin jauh dari pasar. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana pengaruh tingkat ketinggian usahatani kentang terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif di Kabupaten Wonosobo?
2.
Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo?
3.
Bagaimana keunggulan kompetitif dan komperatif kentang apabila terjadi perubahan nilai mata uang, harga output, harga pestisida, dan harga pupuk di Kabupaten Wonosobo?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis
keunggulan
kompetitif
dan
keunggulan
komparatif
komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo. 2.
Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo.
3.
Menganalisis keunggulan kompetitif dan komperatif kentang apabila terjadi perubahan nilai mata uang, harga output, harga pestisida, dan harga pupuk di Kabupaten Wonosobo.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini merupakan analisis dayasaing komoditas kentang
dengan mempertimbangkan kebijakan pemerintah baik dalam produksi maupun pemasaran. Analisis dayasaing ini dihasilkan dari kegiatan usahatani kentang yang dilakukan di salah satu Kecamatan sentra produksi kentang di Kabupaten Wonosobo. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi petani kentang maupun bagi para peneliti yang selanjutnya dijadikan bahan perbandingan. Sementara hasil dampak kebijakan dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah
pusat
mengimplementasikan
ataupun
kebijakan
yang
daerah lebih
dalam
merumuskan
dan
efektif
dan
bagi
efisien
pengembangan komoditas kentang khususnya maupun pertanian pada umumnya. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan pada permasalahan dan tujuan penelitian serta adanya
keterbatasan sumberdaya menimbulkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu : (1) Komoditas yang dianalisis adalah kentang yang merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Wonosobo di wilayah Kecamatan Kejajar,
(2) Analisis dilakukan pada tingkat usahatani, (3) Penelitian ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usahatani kentang yang ada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Studi Empiris Dayasaing Pada dasarnya cakupan dayasaing tidak hanya pada suatu Negara,
melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam untuk meningkatkan dayasaing memberikan banyak manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan
aktivitas
pertanian
dan
perdagangan
sehingga
mampu
meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan dayasaing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal. Seperti daerah Sukabumi yang memiliki potensi alam dalam sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya (Fadillah, 2011), atau daerah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang memiliki potensi tanaman pangan jagung (Mantau, Bahtiar, Aryanto, 2009). Adapun metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas pertanian antara lain Revealed Competitive Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual. Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode Berlian Porter digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan analisis dayasaing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Pendekatan untuk meningkatkan dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi perusahaan dilihat dari dua indikator yakni
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dengan analisis perbedaan harga harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya dayasaing pada umumnya terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Feryanto, 2010). Penelitian tentang dayasaing bukanlah yang pertama kali, Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang Analisis Dayasaing dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini antara lain menganalisis pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif jeruk siam di Kabupaten Garut, Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut, Menganalisis keunggulan kompratif dan keunggulan kompetitif jeruk siam apabila terjadi perubahan nilai tukar rupiah, harga jual jeruk siam domestik, dan kenaikan harga pupuk di Kabupaten Garut. Penelitian ini menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix) untuk mengukur keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas jeruk siam memiliki keunggulan kompetitif dengan menggunakan teknologi tradisional dibandingkan menggunakan teknologi modern. Hal ini ditunjukkan oleh nilai PRC dengan teknologi tradisional (0,80) lebih kecil dibandingkan nilai PRC dengan teknologi modern (0,84). Akan tetapi penggunakan teknologi tradisional tidak mempunyai keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan teknologi modern, karena nilai
DRC teknologi modern (0,71) lebih kecil dibandingkan dengan DRC teknologi tradisional (0,76). Kebijakan pemerintah juga belum mendukung dalam hal pengembangan dan peningkatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Pemerintah tidak memberikan proteksi terhadap sistem produksi sehingga harga jual jeruk berada di bawah harga efisien. Selain itu kebijakan terhadap faktor input-output menyebabkan petani kehilangan keuntungan. Pupitasari (2011) meneliti tentang Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Permerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok. Dengan tujuan antara lain, manganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok, menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di kota depok, dan menganalisis dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk, dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Penelitian ini juga menggunakan PAM (Policy Analysis Matrix) sebagai alat analisis untuk mengukur dayasaing belimbing dewa melalui indikator kompetitif dan komparatif serta dampak kebijkan pemerintah pada suatu sistem komoditas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas belimbing dewa di kota depok memiliki keunggulan kompetif dan komparatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai keunggulan privat dan sosial yang bernilai positif. Selain itu komoditas belimbing dewa juga memiliki peluang ekspor yang cukup besar serta mampu bersaing di pasar internasional dan pasar domestik yang dipenuihi oleh produk impor sejenis. Kebijakan output yang dilakukan pemerintah mampu meningkatkan keunggulan kompetitif yang dimiliki komoditas belimbing dewa, sedangkan kebijakan input berpengaruh negatif terhadap keunggulan komparatif belimbing dewa. Kebijakan pemerintah terhadap input output dinilai mampu mendukung pengembangan dan peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok yang ditunjukkan oleh nilai transfer bersih yang bernilai positif. Penelitian Dewanata (2011) dan Pupitasari (2011) menggunakan metode analisis PAM, berbeda dengan Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori
Berlian Porter untuk menganalisis Dayasaing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi, menganalisis kondisi sistem agribisnis komoditas unggulan perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi, dan Menganalisis kondisi dayasaing komoditas unggulan perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk analisis deskriftif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan Teori Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi belum memiliki dayasaing yang optimal karena masih terdapat kendala dalam tiap komponen dayasaing. Kendala tersebut dapat di atasi dengan adanya peran pemerintah dan faktor kesempatan yang mendukung kemajuan sektor perikanan. Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen utama disimpulkan bahwa sebagian keterkaitan antar komponen utama saling mendukung dan sebagian tidak mendukung. Sedangkan pemerintah memiliki peran yang mendukung semua komponen utama dan peran kesempatan juga mendukung semua komponen utama kecuali tidak terkait dengan struktur pasar, persaingan, dan strategi perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Oguntade (2009) dengan judul penelitian Assessment Of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria, memiliki tujuan
untuk menentukan seberapa besar nilai tambah
teknologi pengolahan padi menjadi beras giling dan pengaruhnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengolahan beras di Nigeria dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai EPC lebih besar dari satu, dengan kata lain, bahwa kebijakan untuk melindungi produsen sangat baik. Namun dari segi keunggulan bersaingnya, bahwa teknologi pengolahan padi di Nigeria ini
hanya memiliki keunggulan kompetitif, karena memiliki keuntungan privat yang lebih besar dari nol, yakni 9,445 dan didukung dengan nilai PCR yang kurang dari satu, yakni 0,78. Namun pengolahan padi ini tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilai keuntungan sosial yang dimiliki bernilai negatif, -26,256 dengan DRC mencapai 4,88, dengan kata lain untuk memberikan nilai tambah sebesar satu satuan dibutuhkan sumberdaya ada faktor input tambahan sebesar 4,88. tidak memiliki keunggulan komparatif. Bermula dari masalah yang terjadi yakni pasar-pasar sekunder kekurangan infrastruktur dan tidak sistematisnya pemasaran, sehingga pemasaran domba dan kambing dihadapkan dengan distorsi pasar berupa infrastruktur dan transportasi. Babiker et.al (2010) menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) sebagai alat analisis untuk memeriksa dayasaing domba yang dijual hidup berasal dari Sudan di Pasar Internasional. Hasil analisis PAM berdasarkan nilai NPCO domba lebih dari satu, yakni 1,023 yang menunjukkan bahwa harga pasar lebih besar daripada harga perbatasannya atau harga ekspornya. Hal ini didukung dengan Keuntungan Private (KP) domba yang bernilai lebih dari nol dan nilai Coefficient In International Competitiveness (CIC) ekspor domba hidup yang kurang dari nilai tukar (1 US $ = 256 SD), yakni sebesar 46196,74 US Dollar, dan 249, 83. Hal ini mengisyaratkan bahwa ekspor domba dan hidup menguntungkan dan kompetitif secara internasional. Policy Analysis Matrix (PAM) juga dapat menganalisis dari segi yang berkaitan dengan sumberdaya domestik. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2005) dan Yao (1997) menganalisis permasalahan dari segi Faktor Sumberdaya Domestik (DRC) untuk mengetahui keunggulan komparatif. World Bank (2005), menuangkan hasil penelitiannya dalam catatan kebijakan (policy paper) agar dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan fungsi pasar pertanian untuk meningkatkan kontribusi sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus mengentaskan kemiskinan di Moldova. Peningkatan kinerja perdagangan internasional dan investasi langsung dijadikan dasar untuk memperkuat keunggulan komparatif pertanian agar terciptanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pendapatan meningkat, dan kemiskinan berkurang. Dengan tersedianya sumberdaya domestik dan tingkat ekonomi pada saat itu,
berberapa komoditas pertanian dijadikan unggulan agar dapat bersaing, seperti Gandum, Jagung, Bunga matahari, Tomat, Apel, dan Anggur. Nilai Domestic Resource Cost (DRC) dalam Policy Analysis Matrix (PAM) dijadikan dasar untuk menghitung dampak kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya domeestik. Tingginya distorsi pasar akibat biaya transportasi, pemerintah Moldova memutuskan untuk menanggung semua biaya transportasi dan pemasaran hingga sampai dijual di luar negeri. Hasil dari Analisis PAM yang dilakukan bahwa nilai DRC untuk Gandum, Jagung, Bunga matahari, Tomat, Apel, dan Anggur pada tahun 2004 bernilai kurang dari satu, yakni 0,34, 0,37, 0,39, 0,23, 0,21, dan 0,19. Dengan rendahnya biaya input yang harus dikeluarkan, keuntungan sosial yang diterima bernilai positif dan memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan, Yao (1997) menggunakan matriks PAM untuk menganalisis keunggulan komparatif produksi beras dibandingkan dengan tanaman kedelai dan kacang hijau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab penurunan produksi padi secara ekonomis dan menganalisis dampak kebijakan pemerintah yang menyarankan untuk mengganti tanaman beras yang tidak menguntungkan secara ekonomis dengan tanaman kedalai dan kacang hijau. Analisis PAM digunakan untuk melihat keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing komoditas. Penelitian dilakukan di dua lokasi yang merupakan sentra produksi padi, serta kedelai dan kacang hijau, yakni Nakonsawan dan Phitasanulok. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa padi tidak menghasilkan keuntungan ekonomis karena terjadi penurunan produksi. Penurunan produksi itu disebabkan beberapa faktor, antara lain perubahan harga yang terjadi, kelangkaan air yang meningkat, kesuburan tanah, dan efek produksi terhadap lingkungan. Sedangkan hasil analisis PAM menunjukkan bahwa padi masih memiliki keunggulan komparatif, ini dibuktikan dengan nilai Keuntungan Sosial yang lebih besar dari nol, yakni 2050,0 bath. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai DRC padi yang lebih kecil daripada satu daripada kedelai dan kacang hijau. DRC padi di daerah Nakonsawan sebesar 0,856, lebih kecil dari DRC kedelai dan kacang hijau yang masing-masing sebesar 1,204 dan 1,1811. Hal yang sama juga terjadi di daerah Phitasanulok, DRC padi kurang dari satu, yakni 0,915, dan DRC untuk
kedelai dan kacang hijau masing-masing sebesar 1,454 dan 1,162. Hal ini menunjukkan bahwa padi masih memiliki keunggulan komparatif. Berdasarkan
perbandingan
terhadap
penelitian
terdahulu
yang
menganalisis dayasaing diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran dayasaing dapat menggunakan PAM, selain itu dapat mengidentifikasi dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani. Kebijakan masih sangat dibutuhkan para petani maupun konsumen domestik dan juga mengingat bahwa komoditas pertanian memiliki karakteristik yang unik dan memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Dayasaing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak lepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal tersebut, maka penelitian tentang dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditi kentang penting untuk dilakukan. Hasil studi empiris dayasaing yang berkaitan dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. 2.2
Studi Empiris Kentang Sunaryono (2007) menyebutkan bahwa tanaman kentang dalam taksonomi
tumbuhan termasuk dalam Divisi Spermatopyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledanae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberesum L. Tanaman kentang termasuk jenis tanaman sayuran. Tanaman sayuran adalah tanaman sumber vitamin, garam mineral dan lain-lain yang di konsumsi dari bagian tanaman yang berupa buah, biji, bungan, daun, batang, dan umbi. Pada umunya berumur kurang dari setahun, baik ditanam di daerah dataran tinggi atau rendah maupun di ditanam di lahan sawah atau kering. Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi, setalah itu mati. Tanaman kentang tergolong tanaman yang tidak dapat tumbuh di sembarang tempat. Keadaan lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kentang disamping teknis penanaman yang benar. Kentang dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 500 – 300 meter di atas permukaan laut. Namun idealnya kentang ditanam antara 1000 – 1500 di atas permukaan laut dengan suhu udara sekitar 18 – 21 derajat Celcius dan kelembaban udara sekitar 80 – 90 persen. Suhu
dan kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan kentang. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 1500 milimeter per tahun dengan panjang penyinaran sekitar sepuluh jam per hari Sunaryono (2007). Budidaya kentang secara umum dimulai dari tahap persiapan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Jumlah bibit yang diperlukan tergantung jarak tanam. Pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan cara menaman meruapakan hal-hal yang berpengaruh selama kegiatan penanaman kentang. Kegiatan pemeliharaan meliputi pemupukan, pengairan, penyiangan, pembumbunan, pengaturan pola tanam, dan pemangkasan bunga. Pemeliharaan tanaman diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan tanaman kentang tetap sehat dan normal. Kentang dipanen pada usia 90 – 120 hari dengan cara menggali menggunakan cangkul dan sebaiknya dilakukan pada pagi dan sore hari saat cuaca cerah (Samadi, 2007 dalam Utami, 2011) Sailah (1999) dalam penelitiannya tentang kajian pasar kentang mendapatkan bahwa petani kentang di Pulau Jawa pada umumnya menjual hasil produksi kentangnya kepada pedagang pengumpul. Namun pedagang pengumpul yang datang ke petani, bukan petani yang membawa hasil produksi ke pedagang. Petani biasanya berhubungan dengan pedagang tertentu dan didasarkan atas dasar kepercayaan. Tidak semua petani menjual hasil produksi kepada pedagang pengumpul, beberapa petani memiliki kontrak dengan industri pengoleh seperti Indofood. Ada juga petani yang menjual kepada petani besar dengan sistem titip jual yang umumnya sudah memiliki jaringan pemasaran yang baik. Ada juga petani yang langsung menjual ke pasar tradisional namun jumlahnyaa relatif sedikit. Sunaryono (2007) juga menyebutkan bahwa perkembangan kentang di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni (1) Peluang pasar dan permintaan konsumen, (2) Lahan dan kondisi agroklimat, (3) Tingat keuntungan, dan (4) Ketersedian bibit dan modal. Andrawati (2011) dalam penelitiannya tentang Efisinesi Teknis Usahatani Kentang dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara menyebutkan bahwa usahatani yang dilakukan dilakukan secara turun-temurun dan dengan tingkat intensitas yang tinggi akan berpotensi
menurunkan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini untuk mengetahui efisiensi teknis usahatani kentang dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani kentang di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Analisis yag digunakan yaitu fungsi produksi Stochastic Frontier. Dari hasil Stochastic Frontier diperoleh bahwa varibel yang bernilai positif dan berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang yakni benih dan pupuk organik. Sedangkan berdasarkan model inefisiensi teknis pengalaman usahatani, pendidikan formal, dan luas lahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh negatif dan faktor umur merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Imamudin (2003) dan Haris (2007) menggunakan metode IFE, EFE, matriks IE, dan analisis SWOT untuk menganalisis secara kualitatif. Imamudin (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Strategi Perusahan dan Pemasaran Bibit kentang PT Dafa Teknoagro Mandiri melihat permasalahan yang dihadapi yakni tidak tercapainya target penjualan perusahaan sehingga tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi, memformulasi, dan memilih strategi pemasaran untuk meningkatkan volume penjualan bibit kentang perusahaan. Berdasarkan analisis menggunakan metode tersebut ditetapkan prioritas operasional strategi pemasaran pada produk premium dengan meningkatkan mutu kentang, harga yang tinggi, meningkatkan promosi langsung petani kentang dan para penangkar bibit, dan distribusi dengan ketepatan waktu produksi dan service yang baik merupakan strategi positioning untuk produk bibit kentang perusahaan. Haris (2007) yang meneliti Pengembangan Usaha Benih Kentang Bersertifikat di Harry Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani benih kentang bersertifikat yang diperoleh Harry farm, menganalisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal Harry Farm, dan merumuskan strategi pengembangan usaha benih kentang bersertifikat pada Harry Farm. Harry Farm merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi kentang dan bibit kentang bersertifikat, untuk menemukan gambaran bisnisnya ke depan Harry Farm harus memilki strategi sehingga dapat menembangkan usahanya dengan baik. Perbedaan antara dua penelitian ini yakni
penggunaan metode Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C) untuk menganalisis aspek usahatani. Berdasarkan Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C) kegiatan usahatani yang dilakukan sudah efisien dan perlu ditingkatkan, sedangkan analisis SWOT menjabarkan strategi S-O antara lain mempertahankan dan meningkatkan mutu produk dan mempertahankan dan menarik pelanggan potensial, memperluas wilayah pemasaran, memberikan layanan purna jual, mempertahankan dan meningkatkan product image dan delivery on time. Strategi W-O antara lain, pembenahan manajemen SDM, mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk meningkatkan profesionalisme, dan meningkatkan promosi secara efektif dan efisien serta kinerja divisi keamanan. Strategi S-T yaitu, meningkatkan keunggulan produk dan citra produk untuk menghadapi ancaman pesaing dan produk
subsitusi,
dan
meningkatkan
efisiensi
dengan
memanfaatkan
perkembangan teknologi. Untuk strategi W-T, mengoptimalkan kegiatan produksi, meningkatkan kerjasama dengan distributor dan pemasok untuk menjaga kontinuitas produksi. Hakim (2002) meneliti tentang Analisis Pendapatan dan Risiko dalam Diversifikasi Usaha Agribisnis Kentang di perusahaan keluarga PD Hikmah Kecamatan Pangalengan Kabupaten Jawa Barat. Perkembangan dan pola permintaan komoditas kentang yang tidak stabil serta ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan dan risiko usaha agribisnis kentang PD Hikmah. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk menganlisis tingkat pendapatan dan risiko dalam usaha agribisnis kentang sayur dan kentang olahan, menghitung tingkat korelasi pendapatan antara usaha agribisnis kentang sayur dan kentang olahan, serta menentukan alternatif komposisi diversifikasi antara komoditas kentang sayur dan kentang olahan yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan dan risiko yang optimal. Metode yang digunakan antara lain R/C, analisis risiko dan analisis portofolio. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbedaan perlakuan budidaya dan pemasaran mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan. Kentang olahan lebih efisien dibandingkan kentang sayur, karena R/C kentang
olahan (1,44) lebih besar dibandingkan kentang sayur (1,38). Selain itu kentang olahan juga memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan usaha kentang sayur. Namun pengusahaan kentang sayur dan olahan masih memiliki peluang kerugian, dikarenakan kedua jenis budidaya tersebut memiliki nilai batas bawah yang negatif. Dan diversifikasi yang diterapkan dengan kombinasi budidaya kentang sayur dengan olahan belum dikatakan efektif untuk menghasilkan tingkat pedapatan usaha yang aman. Hasil studi empiris kentang yang berkaitan dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Studi Empiris Yang Berkaitan dengan Penelitian Studi Empiris Mengenai Kentang No. 1.
2.
3.
4 5 6
Penulis
Judul
Al Haris (2007)
Pengembangan Usaha Benih Kentang Bersertifikat di Harry Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat Andrawati Efisinesi Teknis Usahatani Kentang (2011) dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara Hakim Analisis Pendapatan dan Risiko dalam (2002) Diversifikasi Usaha Agribisnis Kentang, Kasus pada PD Hikmah, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Imamuuddin Analisis Strategi Perusahaan dan (2003) Pemasaran Bibit Kentang PT Dafa Teknoagro Mandiri Sunaryono Petunjuk Praktis Budidaya Kentang (2007) Sailah Kajian Pasar Kentang (1999)
Alat Analisis (1) (2) (3) (1)
R/C IFE, EFE, IE SWOT Stochastic Frontier
(1) R/C (2) Analisis Risiko (3) Analisis Portofolio (1) IFE, EFE, IE (2) SWOT
Studi Empiris Mengenai Dayasaing 1.
2.
Dewanata (2011) Pupitasari (2011)
3.
Fadillah (2011)
4.
Oguntade (2007)
5. 6 7
Babiker, et.al (2010) World Bank (2005) Yao (1997)
Analisis Dayasaing dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut Jawa Barat Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Permerintah Terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis Dayasaing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi Assessment Of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria Sudanese Live Sheep and Mutton Export Competitiveness Moldova Agricultural Policy Notes: Agricultural Market Rice Production in Thailand Seen Through a Policy Analysis Matrix.
(1) PAM (2) Analisis Sensitivitas (1) PAM (2) Analisis Sensitivitas (1) Location Quotient (2) Metode Berlian Porter (1) PAM (1) PAM (1) PAM (1) PAM
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Konsep Dayasaing Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang terjadi antara
suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan internasional terjadi karena beberapa hal, diantaranya perbedaan dalam keragaman sumberdaya dan pengelolaannya, perbedaan selera (preferensi) masing-masing negara, dan perbedaan biaya. Perbedaan dalam keragaman sumberdaya berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah dimiliki oleh negara tertentu. Selain itu perdagangan dapat saling menguntungkan atas dasar perbedaan selera (preferensi) dimasing-masing negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang menyebabkan
setiap
negara
akan
berspesialisasi
dalam
memproduksi
komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomi akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah. Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang lain dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting. Namun dayasaing tidak hanya mencakup suatu negara, melainkan juga dapat ditetapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Esterhuizen et.al (2008) dalam Daryanto (2009) mendefinisikan “Dayasaing sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan”. Dengan kata lain, dayasaing merupakan suatu konsep yang menyatakan suatu produsen untuk menghasilkan produk sesuai dengan permintaan konsumen dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi rendah. Dengan asumsi biaya produksi rendah sehingga produk dapat di produksi dan di pasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan keberlangsungan produksinya. Wignaraja (2000) menyatakan bahwa konsep dayasaing terdiri dari dua aspek yang berbeda, yakni konsep dayasaing ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dayasaing mikro secara umum didefinisikan sebagai kemampuan suatu
perusahaan atau usahatani bertambah besar, baik dari segi pangsa pasar dan profit. Sedangkan konsep dayasaing makro koheren dengan dayasaing suatu negara atau perekonomian. Sehingga mendefinisikan dayasaing adalah kemampuan suatu negara dalam pasar terbuka untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan selera konsumen asing dan mempertahankan dan memperluas tingkat pendapatan domestiknya. Sedangkan Cockburn et.al.(1998) dalam Babiker
(2010)
mendefinisikan dayasaing adalah kemampuan untuk menjual produk yang menguntungkan dan untuk menjadi kompetitif, produsen harus melemahkan harga atau menawarkan produk-produk yang lebih baik dari segi kualitas atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan kompetitornya. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif. Berdasarkan hal tersebut konsep dayasaing yang digunakan adalah dayasaing menurut Esterhuizen et.al (2008) dalam Daryanto (2009), dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditi dapat memiliki keunggulan komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena ada intervensi dari pemerintah suatu komoditi memiliki keunggulan kompetitif namun tidak memiliki keunggulan komparatif. 3.1.2
Keunggulan Komparatif Sudaryanto dan Simpatupang (1993) dalam Daryanto (2009) menyebutkan
bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial dalam artian dayasaing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi. Istilah keunggulan komparatif (Comparative Adventage) pertama kali dikenalkan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih
dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada komoditi tersebut tidak sama (Salvaltore, 1997). Kelemahan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi yang berpengaruh dalam menentukan keunggulan komparatif melainkan masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Teori keunggulan komparatif disempurnakan dengan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Teory). Teori ini berdasarkan biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama, artinya setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam kondisi kedua (Salvaltore, 1997). Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditi yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka (Salvaltore, 1997). Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran dayasaing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Pearson et.al. (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai
aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa meliihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. 3.1.3
Keunggulan Kompetitif Konsep keunggulan kompetitif (Competitive Adventage) dikembangkan
oleh M. Porter. Menurut Porter dalam Daryanto (2009), dalam era persaingan global saat ini suatu negara yang memiliki competitive adventage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu yakni, pertama, factor conditions yakni posisi negara dalam pengusaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur. Kedua, Demand Conditions, berupa besarnya permintaan pasar domestik untuk produk-produk dan jasa-jasa industri. Ketiga, Relating and supporting industries, berupa kehadiran industri pemasok atau pendukung dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan dayasaing industri-industri di pasar internasional. Keempat, Firm strategy, structure and rivalary,yakni kondisi permerintahan di dalam suatu negara begaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola, sebaik persaingan domestik secara ilmiah. Keunggulan kompetitif (Competitive Adventage) juga dapat didefinisikan sebagai alat bantu untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan perekonomian aktual atau harga pasar. Hal ini berbeda dengan konsep keunggulan komparatif yang mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Keunggulan kompetitif dalam perkembangannya merupakan konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial. Sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan untuk menggantikan konsep keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu sama lain. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan secara kompetitif dan komparatif, maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Akan tetapi jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan komparatif namun tidak memiliki kunggulan kompetitif, dapat
diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi seperti administrasi, perpajakan dan lain-lain. Sebaliknya jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif berarti pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan, dan lainnya. 3.1.4
Kebijakan Pemerintah Kebijakan
pemerintah
diharapkan
dapat
meningkatkan
dayasaing
komoditas pertanian pada umumnya termasuk untuk komoditas kentang baik di pasar domestik maupun internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri ataupun meningkatkan ekspor agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk input dan output sehingga terjadi perbedaan harga yang diterima produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi (harga sosial). Kebijakan yang diterapkan pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu substitusi dan kebijakan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan perdagangan berupa tarif dan kuota. Klasifikasi dari kebijakan harga kooditas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Dampak Pada Konsumen Subsidi kepada produsen Subsidi kepada Kebijakan Subsidi a. Tidak merubah harga a. Pada barang impor (S + konsumen PI ; S – PI) a. Pada barang impor (S pasar dalam negeri b. Merubah harga pasar b. Pada barang ekspor (S + CI ; S – CI) dalam negeri + PE ; S – PE) b. Pada barang ekspor (S + CE ; S – CE) Hambatan pada barang Hambatan pada barang Kebijakan Perdagangan (merubah harga pasar impor (TPI) ekspor (TCE) dalam negeri) Instrumen
Dampak Pada Produsen
Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan : S+ S-
: Subsidi : Pajak
PE PI CE CI TPE TPI
: Produsen untuk barang ekspor : Produsen untuk barang impor : Konsumen untuk barang ekspor : Konsumen untuk barang impor : Hambatan kepada produsen untuk barang ekspor : Hambatan kepada produsen barang impor
a)
Kebijakan Output Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat
diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO). Tabel 7 menunjukkan bahwa kebijkan harga di atas dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa substitusi atau kebijakan perdagangan, kedua kelompok penerimaan, meliputi produsen dan konsumen, dan ketiga tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor. 1)
Tipe Instrumen Kebijakan tipe instrumen mencakup pada substitusi dan kebijakan
perdangan. Substitusi merupakan bentuk pembayaran dari dan atau untuk pemerintah. Jika dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan jika dibayarkan untuk pemerintah disebut subsidi negatif atau pajak. Pada umumnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat berupa pembatasan terhadap harga komoditas atau pembatasan jumlah komoditas (kuota) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional sehingga dapat mengendalikan harga internasional dengan harga domestik.
P
S A
B
C
D
Pw E
Pd
F G Dw
Q1
Q2
Q3
Q4
Q
Gambar 1. Dampak Pajak Terhadap Produsen Komoditas Ekspor Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Kebijakan terhadap output dapat berupa subsidi maupun pajak. Subsidi terhadap komoditas ekspor akan berdampak positif sedangkan penerapan pajak akan berdampak negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada perdagangan bebas harga yang diterima petani dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia yaitu Pw. Tingkat output yang dihasilkan sebesar Q4 sedangkan permintaan sebesar Q1 sehingga terjadi excess supply dalam negeri sebesar ADG. Oleh karena itu output yang dapat diekspor adalah sebesar Q4-Q1. Adanya subsidi negatif atau pajak mengakibatkan harga yang diterima petani dan konsumen menjadi lebih rendah dibandingkan harga dunia yaitu Pd sehingga konsumsi dalam negeri menurun dari Q1-Q4 menjadi Q2-Q3. Hal ini menyebabkan surplus yang diterima konsumen sebesar PwAEPd dan transfer output yang terjadi kepada pemerintah sebesar BCFE. 2)
Kelompok Penerima Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah kebijakan yang
dimaksudkan untuk produsen atau konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan maka konsumen mengalami kerugian, sebaliknya ketika produsen mengalami kerugian maka konsumen memperoleh keuntungan. Kondisi ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan
oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami oleh pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita, oleh karena itu manfaat yang didapatkan dari kelompok tertentu baik itu konsumen, produsen atau keunangan pemerintah adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok lain. 3)
Tipe Komoditas Tipe komoditas mengklasifikasikan antara komoditas yang dapat diekspor
dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga maka harga domestik sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga FOB (Free On Board) dan untuk barang impor digunakan CIF (Cost, Insurance, and Freight). Kebijakan harga yang diterapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen, dan surplus konsumen berubah. Misalnya, subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat (Q1 - Q2) sedangkan konsumsi tetap (Q3) dan harga yang diterima konsumen tetap sama dengan harga yang ada di dunia (Pw). Subsidi dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi. Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun Q3-Q1 menjadi Q3Q2, dan barang yang diimpor diproduksi sendiri dengan biaya dikorbankan hilang (CAB).
P
S
A
Pd Pw
C B
Q1
Q2
D Q3
Q
Gambar 2. Subsidi Positif Produsen Untuk Barang Impor. Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Subsidi positif untuk konsumen bagi output yang diimpor, jumlah subsidi yang akan dikeluarkan menyebabkan produksi turun (Q1-Q2) dan konsumsi naik (Q3-Q4) sehingga menyebabkan impor naik dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer yang terdiri dari transfer dari pemerintah kepada konsumen (ABGH) dan transfer dari produsen ke konsumen (PwAPd), sehingga kehilangan efisiensi terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi. Disisi produksi terjadi penurunan output (Q2Q1) menyebabkan kehilangan pendapatan (Pw x (Q2 – Q1)) sehingga terjadi kehilangan efisiensi (AFB), sedangkan disisi konsumsi oppportunity cost terjadi peningkatan konsumsi (Pw x (Q4 – Q3)) dan menyebabkan hilangnya efisiensi sebesar EGH (Gambar 3). Kebijakan hambatan perdagangan pada barang-barang impor maupun ekspor merupakan kebijakan selain subsidi yang dapat diterapkan pada output. Hambatan pada barang impor yang terdapat tarif sehingga meningkatkan harga dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Peningkatan output domestik serta konsumsi yang mengalami penurunan menyebabkan impor juga turun. Dengan demikian, transfer pendapatan terjadi dari konsumen kepada produsen dan transfer keuangan pemerintah kepada produsen. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan opportunity cost dari perubahan konsumsi dengan willingness to pay.
P
Pw
S
A
Pd
F
E
B Q2
G
H Q1
Q3
D Q4
Q
Gambar 3. Subsidi Positif Konsumen Untuk Barang Impor. Sumber : Monke and Pearson (1898) b)
Kebijakan Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input
non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. 1)
Kebijakan Input Tradable. Kebijakan pada input tradable memiliki relevansi langsung pada petani
dan intervensi pada kelembagaan pertanian dan pemasaran komoditas pertanian. Pengaruh kebijakan subsidi terhadap input akan mengurangi biaya produksi sehingga meningkatkan keuntungan petani. Sebaliknya, pajak menyebabkan peningkatan biaya produksi sehingga petani akan mengurangi penggunaan input. Hal tersebut akan membebani petani dan akan berimbas penurunan jumlah output yang akan mengurangi keuntungan petani. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable ditunjukkan pada Gambar 4.
P
P
S’
S S’
S
C A
Pw
Pw
B D
C
A
B
Q
Q Q1
(a) S +
Q2
Q2
D
Q1
(b) SGambar 4. Pengaruh Kebijakan Input Tradable Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Gambar 4a menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Harga yang berlaku adalah harga dunia. Dengan adanya subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergesar ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yang merupakan
perbedaan
antara
biaya
produksi
yang
bertambah
setelah
meningkatnya output dengan peningkatan nilai output. Sedangkan Gambar 4b menjelaskan adanya pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama terjadi penurunan permintaan dari Q1 menjadi Q2 dan kurva pnawaran bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1. 2)
Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak
dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
C
Pp
Pc
S A
Pd Pc
B
Pd
E
Pp
S
C B
A
E
D
D Q1
Q2
Q
Q2
(a) S + N
Q1
Q
(b) S – N
Gambar 5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Sumber : Monke and Pearson (1898)
Harga sebelum ditetapkan pajak dan subsidi berada pada tingkat Pd. Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi adalah sebesar Pc serta Pp adalah harga pada tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Kondisi keseimbangan sebelum subsidi pada Gambar 5a berada pada titik A dengan tingkat harga Pd dan output sebesar Q1. Setelah adanya subsidi, terjadi peningkatan produksi output menjadi Q2 sehingga harga yang diterima produsen menjadi Pp dan harga pada tingkat konsumen turun menjadi Pc. Keadaan ini memberikan keuntungan bagi produsen maupun konsumen. Pada Gambar 5b keseimbangan awal berada pada titik A dengan tingkat output sebesar Q1 dan pada tingkat harga Pd. Adanya pajak berakibat pada penurun output menjadi Q2, harga yang diterima produsen menurun menjadi Pp dan harga yang harus dibayar konsumen meningkat mejadi Pc. Penerapan pajak atau subsidi negatif terhadap input non tradable selalu berdampak negatif baik kepada produsen maupun konsumen dibandingkan pemberian subsidi positif. 3.1.5
Teori PAM Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas dapat dipengaruhi melalui empat aktivitas yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan serta
pemasaran (Monke and Pearson, 1989). Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial (finansial), analisis dayasaing yang membahas keunggulan komparatif dan kompetitif, serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Dalam metode PAM terdapat asumsi-asumsi yang digunakan, antara lain : a.
Perhitungan berdasarkan Harga Privat (Privat Cost), yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.
b.
Perhitungan berdasarkan Harga Sosial (Social Cost) atau harga bayangan (Shadow Price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan pada komoditas yang diperdagangkan (Tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.
c.
Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (Tradable) dan domestik (Non Tradable).
d.
Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. Menurut Pearson et.al. (2005), metode PAM membantu pengambilan
kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pemerintah. Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem usahatani memiliki dayasaing atau tidak pada tingkat harga dan teknologi yang ada yakni apakah petani, pedagang, dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output atau biaya input dan keuntungan privatnya (private profitability). Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas dayasaing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil seperti investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.
Isu ketiga sangat berkaitan dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih, teknik budidaya, atau teknik pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan, dan juga akan meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani, dan teknologi. Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom, dimana baris pertama adalah perhitungan harga privat atau harga aktual yang terjadi di pasar untuk mengestimasi keuntungan privat. Keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat atau selisih antara pendapatan dan biaya berdasarkan harga aktual yang terjadi di pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio merupakan indikator keuntungan atau dayasaing (keunggulan kompetitif) dari usahatani berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan yang ada. Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan harga sosial atau harga yang menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya dan hasil, dimana efek distorsi kebijakan dan kegagalan pasar tidak ada. Dengan kata lain keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan sosial dengan biaya sosial. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Divergensi menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial. Divergensi sendiri disebabkan karena kegagalan pasar (market failure) atau kebijakan pemerintah. Market failure atau pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif, yang mencerminkan social oppportunity cost, yang menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Jenis kegagalan pasar yang biasa terjadi yakni monopoli, externality, dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Sedangkan kebijakan pemerintah yang terdapat divergensi antara lain pajak atau subsidi dan hambatan perdagangan baik itu tarif atau kuota. Jika diasumsikan bahwa kegagalan pasar sebagai faktor yang
tidak berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya kebijakan pemerintah (Pearson et.al, 2005). Matriks PAM memiliki empat kolom, kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable), kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non tradable), dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan dari selisih antara penerimaan dengan biaya. Penggunaan harga privat dan harga sosial dalam analisis matriks PAM menunjukkan bahwa metode tersebut mengandung analisis ekonomi dan finansial. Analisis ekonomi akan meninjau aktivitas dari sudut masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dapat dilihat dari individu atau pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yaitu petani kentang. 3.1.6
Teori Sensitivitas Analisis sensitivitas meruapakan alat analisis yang digunakan secara
sistematis untuk melihat dan menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat terhadap dayasaing kentang. Menurut Kadirah (1988) dalam Nurmalina et.al. (2010), analisis sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara: (1) Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan (2) menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur penting yang berperan dalam menentukan hasil akhir. Analisis sensitivitas mengubah suatu faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah: 1)
Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada saat tertentu.
2)
Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
Analisis sensitivitas dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Analisis ini juga dilakukan untuk mensubsitusi kelemahan metode sebelumnya yaitu Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya tingkat harga yang berlaku untuk input dan output sangat bervariatif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas penting untuk dilakukan. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian
ini adalah menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif kentang di Kabupaten Wonosobo, dan menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing pengusahaan kentang di Kabupaten Wonosobo. Untuk mengukur analisis daya siang kentang pada penelitian ini menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Dalm Matriks PAM, analisis dilakukan dari segi finansial dan ekonomi. Penggunaan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis dayasaing kentang berdasarkan keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif, dampak kebijakan pemerintah. Keunggulan kompetitif tercermin dari nilai Keunggulan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR), sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari Keuntungan Sosial (KS) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC). Dampak kebijakan pemerintah berkaitan dengan kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input-output. Kebijakan Input ditunjukkan oleh Transfer Input (TI), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Kebijakan output berupa nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Sedangkan kebijakan Input-Output ditunjukkan oleh nilai Transfer Bersih (TB), Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Tahap analisis selanjutnya adalah analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan keunggulan kompetitif dan komparatif dari usahatani kentang. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah variabel input atau output berdasarkan asumsi kondisi yang mungkin terjadi di lokasi penelitian. Ada pun skenario yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1)
Apresiasi (nilai mata uang rupiah menguat) dan Depresiasi (nilai mata uang melemah) sebesar 5,2 persen6). Hal ini ditetapkan berdasarkan kondisi kurs mata uang rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun 2011.
2)
Kenaikan dan penurunan harga kentang sebesar 15 persen. Penentuan besarnya proporsi kenaikan dan penuruan berdasarkan kondisi fluktuasi harga kentang di lokasi penelitian.
3)
Kenaikan dan Penurunan harga pestisida cair sebesar 15 persen dan harga pestisida padat sebesar 10 persen. Penentuan besarnya persentasi didasarkan pada Produsen obat-obatan dan pembasmi hama yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Pestisida Nasional (HMPN)7).
4)
Kenaikan harga pupuk bersubsidi urea sebesar 10 persen, dan pupuk nonUrea rata-rata sebesar 30 persen. Kenaikan harga pupuk ditetapkan berdasarkan perubahan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi8). Rangkaian proses penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
6
Volatilitas Nilai Tukat Rupiah Masih Terkendali http://www.tempo.co/read/news/2011/11/22/087367933/Volatilitas-Nilai-Tukar-Rupiah-MasihTerkendali (diakses tanggal 23 April 2012). 7 Produsen Naikkan Harga Pestisida Tahun Depan www.antaranews.com ( di akses tanggal 23 April 2012) 8 Peraturan Menteri Pertanian No 32/Permentan/SR.130/4/2010
1. Potensi Kentang di Kabupaten Wonosobo 2. Persaingan kentang lokal dengan kentang impor 3. Peran Pemerintah dalam pengembangan kentang
Analisis Finansial dan Ekonomi Kentang Usahtani Kentang di Kecamatan Kejajar
Policy Analysis Matrix
Analisis Keunggulan Kompetitif (KP,PCR)
Analisis Keunggulan Komparatif (KS, DRC)
Dampak Kebijakan Pemerintah (Input, Output, Input-Output)
Dayasaing Kentang dan Dampak Kebijakan
Analisis Sensitivitas
Implikasi Kebijakan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. 4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,
Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu sentra produksi kentang di Indonesia, khususnya provinsi Jawa Tengah. Pemilihan Kecamatan Kejajar juga dilakjukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Kejajar merupakan daerah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi kentang Kabupaten Wonosobo. Kecamatan Kejajar merupakan salah satu Kecamatan yang memberikan pengaruh besar terhadap total produksi kentang di Kabupaten Wonosobo. Tahun 2010 Kecamatan Kejajar menghasilkan sekitar 85 persen kentang dari total produksi kentang di seluruh Kabupaten Wonosbo dengan luas panen 2695 hektar mampu memproduksi kentang sebanyak 40,708 ton. Selebihnya produksi kentang berada di Kecamatan Garung, Sapuran, Kalikajar, dan Kepil dengan produksi masing-masing Kecamatan sebesar 5,26 ton, 3,65 ton, 1,74 ton dan 0,89 ton (Lampiran 2). Dengan demikian, Kecamatan Kejajar merupakan sentra produksi kentang yang dapat dijadikan contoh daerah yang tepat untuk melakukan analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2012. 4.2
Metode Penentuan Sampel Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan metode acak (simple
random sampling). Sampel merupakan petani yang mengusahakan kentang, pedagang pengumpul, serta pedagang input-input pertanian. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 57 orang yang mewakili dua desa yang berada di Kecamatan Kejajar, yakni Desa Sigedang dan Desa Dieng. Sedangkan untuk pedagang pengumpul dan pedagang input pertanian masing-masing
berjumlah 5 dan 2 orang. Tabel 8 menyajikan sebaran petani sampel di Kecamatan Kejajar. Tabel 8. Sebaran Petani Sampel di Kecamatan Kejajar Desa Sigedang Dieng Total 4.3
Jumlah Petani Sampel (Orang) 27 30 57
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden ataupun dalam bentuk memberikan kuisioner. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode sampling, dimana penelitian difokuskan pada pemecahan masalah yang aktual dengan pengambilan sampel secara aktual. Data sekunder dapat diperoleh dari penelitian terdahulu dan instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan FEM IPB, Perpustakan LSIIPB, internet dan dinas pertanian daerah ataupun kantor kelurahan. 4.4
Analisis Data Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yakni analisis dayasaing dengan
menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM), dan kedua analisis dayasaing dengan adanya kebijakan menggunakan analisis sensitivitas. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian ini antara lain, pertama adalah penentuan input usahatani kentang, berupa lahan, bibit, pupuk organik dan anorganik, obat-obatan, tenaga kerja, serta peralatan yang diperlukan dalam budidaya kentang. Langkah kedua adalah pengidentifikasian input kedalam komponen input tradable dan non tradable. Input tradable yakni input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional baik ekpor maupun impor. Sedangkan input non tradable adalah input yang dihasilkan pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Langkah ketiga adalah penentuan harga bayangan input dan output, kemudian dianalisis menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Dan tahap terakhir adalah analisis sensitivitas untuk mengukur
dampak perubahan yang kemungkinan akan terjadi akibat kebijakan yang dibuat. Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Ms. Excel. Dalam kerangka pemikiran disebutkan bahwa PAM merupakan alat analisis yang kaku, sehingga untuk mengatasinya dengan melakukan analisis sensitivitas. Analisis ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan PAM yang dalam analisisnya hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal keadaan sebenarnya harga tersebut sangat bervariatif. Selain itu analisis ini juga digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kondisi dayasaing kentang di Kabupaten Wonosobo. Hasil analisis PAM digunakan untuk mengidentifikasi petani yang memiliki dayasaing atas kebijakan yang berlaku, dan bagaimana pendapatan mereka jika terjadi perubahan kebijakan. PAM digunakan untuk mengetahui suatu wilayah apakah memiliki tingkat efisiensi yang tinggi atau rendah yang pada akhirnya mempengaruhi suatu wilayah atau negara akan melakukan impor atau memproduksi sendiri. Selain itu PAM juga digunakan untuk menunjukkan suatu kebijakan dapat memperbaiki dayasaing melalui penciptaan efisiensi usaha dan pertumbuhan pendapatan. 4.5
Policy Analysis Matrix (PAM) Terdapat banyak metode pendekatan dan teori untuk menganalisis
dayasaing komoditi, yang masing- masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Salah satu cara yang dapat digunakan dan dipandang efisien adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang telah dikembangkan oleh Monke dan Pearson sejak tahun 1987. Policy Analysis Matrix (PAM) mengukur tiga analisis yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Oleh karena itu penggunaan metode ini didasarkan pada pendekatan keunggulan kompetitif dan komparatif model PAM dengan formulasi Tabel 9.
Tabel 9. Policy Analysis Matrix (PAM) Keterangan
Penerimaan
Harga privat
A
B
Biaya Input Non Tradable (faktor domestik) C
Harga Sosial Efek Divergensi
E
F
G
H
I
J
K
L
Input Tradable
Keuntungan D
Sumber : Pearson et.al (2005)
Keterangan : Keuntungan Privat Keuntungan sosial Transfer Output Transfer Input Transfer Faktor Transfer Bersih Rasio Biaya Privat Rasio Biaya Sumbedaya Domestik Koefisien Proteksi Output Nominal Koefisien Proteksi Input Nominal Koefisien Proteksi Efektif Koefisien Keuntungan
: (D) = (A) – (B) – (C) : (H) = (E) – (F) – (G) : (I) = (A) – (E) : (J) = (B) – (F) : (K) = (C) – (G) : (L) = (D) – (H) = I – (J + K) : (PCR) = C / (A - B) : (DRCR) = C / (E - F) : (NPCO) = A / E : (NPCI) = B / F : (EPC) = (A - B) / (E - F) : (PC) = D / H
Kelebihan model PAM ini adalah diketahuinya indikator komparatif yang diperoleh dari koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio). Analisis ini juga menghasilkan beberapa indikator lain yang terkait dengan variabel dayasaing seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on Tradable Output), NCPI (Nominal Protection Coefficient on Tradable Input), dan PC (Profitablity Coefficient).
Untuk
mendapatkan nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan kedalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Selisih dari kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak kebijakan pemerintah. Penggunaan PAM sebagai metode analisis dalam penelitian ini karena memiliki banyak keunggulan (Pearson et.al, 2005) yaitu : a)
PAM merupakan metode analisis yang efektif sehingga digunakan secara luas dalam analisis kebijakan pertanian
b)
PAM merupakan metode analisis yang sederhana sehingga mudah diaplikasikan dalam analisis kebijakan pertanian
c)
PAM merupakan metode analisis yang fleksibel sehingga dapat digunakan untuk menganalis proyek maupun kebijakan pemerintah
d)
PAM merupakan metode analisis yang dapat digunakan untuk mengukur dampak kebijakan dan kegagalan pasar dalam sistem perekonomian
e)
PAM merupakan metode analisis yang dapat digunakan untuk menilai proyek investasi publik dan kebijakan publik di sektor publik
f)
Hasil analisis PAM mudah dikomunikasikan kepada pembuat kebijakan (Policy Maker)
g)
Hasil analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan
h)
PAM dapat memberikan informasi dasar (Base Line Information) yang penting bagi Benefit-Cost Analysis.
4.5.1
Analisis Keuntungan Kuntungan didefinisikan sebagai penerimaan dikurangi biaya yang
dikeluarkan. Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan privat (KP) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan harga atau biaya aktual yang terjadi di pasar. Nilai KP yang lebih besar dari nol berarti kebijakan pemerintah atau komoditi yang diusahakan secara finansial menguntungkan. Sebaliknya jika KP kurang dari nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi intervensi pemerintah terhadap input dan output. Berdasarkan Tabel 9 diperoleh rumus perhitungan keuntungan privat, yakni: Kuntungan Privat (KP) ; D = A – (B + C) Keterangan: D = Keuntungan Privat A = Penerimaan Privat B = Biaya Input Tradable Privat C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat Keuntungan sosial (KS) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dinilai dengan harga sosial. Jika nilai KS lebih besar dari nol, kondisi pasar yang terjadi yakni persaingan sempurna, kegiatan pengusahaan komoditi dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau dengan kata lain memiliki keunggulan komparatif. Jika nilai KS kurang dari atau sama dengan nol maka
kegiatan usaha tidak menguntungkan secara ekonomi. Adapun rumus untuk menghitung keuntungan sosial berdasarkan Tabel 9 yakni: Keuntungan Sosial (KS) ; H = E – (F + G) Keterangan: H = Keuntungan Sosial E = Penerimaan Sosial F = Biaya Input Tradable Sosial G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial 4.5.2 Analisis Efisiensi Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Private (Private Cost Ratio atau PCR) yakni rasio anatara biaya input domestik privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu, berarti untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Dengan kata lain pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat kebijakan pemerintah. Sebaliknya jika nilai PCR lebih besar atau sama dengan satu maka untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya daktor domestik lebih besar dari satu satuan. Private Cost Ratio (PCR) = C / (A – B) Keterangan: PCR = Rasio Keuntungan Privat C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat A = Penerimaan Privat B = Biaya Input Tradable Privat Keunggulan komparatif dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Jika nilai DRC lebih kecil dari satu maka pengusahaan komoditi efisen secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif pada kondisi tanpa adanya kebijakan atau nilai tambah yang dihasilkan melebihi biaya sumberdaya domestik yang digunakan. Sedangkan jika nilai DRC lebih dari satu maka penggunaan sumberdaya tidak efisien atau dengan kata lain nilai sosial faktor domestik yang digunakan untuk memproduksi
komoditas tersebut melebihi nilai yang digunakan utnuk memproduksi komoditas tersebut melebihi nilai tambah sosialnya. Domestic Resource Cost Ratio (DRC) = G / (E – F) Keterangan: DRC = Rasio Keuntungan Sosial G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial E = Penerimaan Sosial F = Biaya Input Tradable Sosial 4.5.3
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak kebijakan dalam penerapan PAM meliputi dampak kebijakan
pemerintah terhadap output, input dan dampak kebijakan terhadap input-output. 1)
Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh Nilai Transfer
Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO). Transfer output adalah selisih pendapatan privat dengan pendapatan sosial. Nilai transfer output yang positif menyebabkan timbulnya implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah keuntungan. Dengan kata lain masyarakat membeli produk dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima. Jika nilai transfer output bernilai negatif menyebabkan implisit pajak atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kebijakan subsidi negatif pada output yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukkan bahwa kebijakan menyebabkan harga yang output yang diterima oleh produsen di dalam negeri lebih kecil dari harga di pasar dunia. Berdasarkan matrik PAM pada Tabel 9, nilai TO dapat dirumuskan sebagai berikut : Transfer Output (TO) = A – E Keterangan: TO = Transfer Faktor A = Penerimaan Privat E = Penerimaan Sosial
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) merupakan rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer (TO) serta menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Berdasarkan analisis PAM pada Tabel 9, bila NPCO lebih besar dari satu atau positif, berarti harga domestik lebih tinggi daripada harga impor atau ekspor dan pengusahaan komoditi tersebut menerima proteksi. NPCO yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan produsen output memberikan transfer kepada pemerintah. Dengan kata lain, harga domestik atau privat tidak di proteksi oleh pemerintah. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) = A / E Keterangan: NPCO = Rasio Proteksi Output Nominal A = Penerimaan Privat E = Penerimaan Sosial 2)
Dampak Kebijakan Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan dengan
Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), sedangkan dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh Transfer Faktor (TF) (Tabel 9). Nilai Transfer Input menujukkan biaya input tradable berbeda dengan biaya sosialnya. Nilai TI positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Transfer Input (TI) = B – F Keterangan: TI = Transfer Input B = Input Tradable Privat F = Input Tradable Sosial NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. Rasio ini juga menunjukkan besarnya harga domestik atau privat dari input tradable dengan harga sosialnya. Bila nilai NPCI lebih dari satu menunjukkan biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat dunia. Dengan kata lain,
kegiatan usaha seolah-olah dibebani pajak yang sangat merugikan produsen. Bila NPCI lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah atau sama dengan harga dunia, atau adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input lokal. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B / F Keterangan: NPCI = Rasio Proteksi Input Nominal B = Input Tradable Privat F = Input Tradable Sosial Nilai Transfer Faktor menunjukkan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Bila nilai transfer faktor negatif berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable. Transfer Faktor (TF) = C – G Keterangan: TF = Transfer Faktor C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial 3)
Dampak Kebijakan Input – Output Pengaruh kebijakan Input-Output dapat dijelaskan melalui analisis
Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coeffisien atau EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan rasio antara nilai tambah pada harga privat dengan nilai tambah harga sosial atau analisis gabungan proteksi output dengan proteksi input. Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan kebijakan untuk melindungi produsen domestik berjalan dengan efektif. Jika EPC lebih kecil dari satu maka kebijakan untuk melindungi produsen domestik tidak berjalan dengan baik. Effective Protection Coeffisien (EPC) = (A – B) / (E – F)
Keterangan: EPC = Koefisien Proteksi Efektif A = Penerimaan Privat B = Biaya Input Tradable Privat E = Penerimaan Sosial F = Biaya Input Tradable Sosial Transfer bersih (Net Transfer atau NT) menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai NT juga menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input. Jika nilai NT lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Sebaliknya NT lebih kecil dari nol maka yang terjadi adalah sebalikya. Berdasarkan Tabel 9 diperoleh rumus net transfer yakni: Net Transfer (NT) = D – H Keterangan: NT = Transfer Bersih D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient atau PC) adalah rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Sebaliknya jika nilai PC lebih dari satu maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar dibandingkan tanpa ada kebijakan. Profitability Coefficient (PC) = D / H Keterangan: PC = Koefisien Keuntungan D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial Rasio subsidi bagi produsen (Subsidi Ratio to Producers atau SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur semua dampak transfer. SRP dirumuskan sebagai berikut : Subsidy Ratio to Produce (SRP) = L / E
Keterangan: SRP = Rasio Subsidi Produsen L = Keuntungan Efek Divergensi E = Penerimaan Sosial Subsidi Ratio to Producers (SRP) menunjukkan sejauhmana pendapatan dari usaha meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Nilai SRP negatif menunjukkan
kebijakan
pemerintah
yang
berlaku
membuat
produsen
mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika Nilai SRP positif, menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. 4.6
Identifikasi Input Output
4.6.1 Alokasi Komponen Input Tradable dan Non Tradable Dalam Policy Analysis Matrix (PAM), input yang digunakan dalam proses produksi dapat dibedakan menjadi tradable dan non tradable. Kedua komponen di atas merupakan bagian dari pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya kedalam komponen domestik dan asing, yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik yang diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan jika tambahan permintaan input tradable dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang bersumber dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi barang non tradable
dihitung
sebagai
komponen
biaya
asing.
Pendekatan
total
mengasumsikan bahwa setiap biaya input tradable dibagi kedalam biaya domestik dan asing, penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan diproduksi di dalam negeri. 4.6.2 Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun sudah diperhitungkan untuk menghasilkan produk akhir yang siap di pasarkan ataupun dikonsumsi. Penentuan alokasi biaya produksi kedalam komponen asing
dan domestik didasarkan atas jenis input, penilaian biaya input asing dan domestik dalam biaya total input. Data alokasi biaya produksi komoditas kentang di lokasi penelitian pada Tabel 10
menunjukkan bahwa input produksi bibit kentang, pupuk organik,
tenaga kerja, penyusutan peralatan, bunga modal, sewa lahan, dan PBB tidak mengandung komponen asing dalam usahatani kentang. Sedangkan input produksi yang mengandung komponen asing (tradable) yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk anorganik dan pestisida. Adanya komponen biaya asing (tradable) pada input pupuk anorganik dan pestisida karena bahan baku yang digunakan untuk memproduksi input tersebut masih diperoleh dengan mengimpor dari negara lain. Tabel 10. Alokasi Biaya Produksi Komoditas Kentang di Lokasi Penelitian No 1 2
3 4 5 6 7 8 9
Biaya Benih Pupuk* Urea TSP KCL NPK ZA Pupuk Organik Pestisida** Biaya Tenaga Kerja Penyusutan Peralatan Bunga Modal Sewa Lahan Pajak
Domestik (%) 100
Asing (%) 0
95 95 95 95 95 100 0 100 100 100 100 100
5 5 5 5 5 0 100 0 0 0 0 0
Sumber : * Arsanti, dkk (2001) ** Saptana, dkk (2001)
4.7
Penentuan Harga Bayangan atau Harga Sosial Dalam analisis ekonomi, harga yang digunakan adalah harga sosial atau
harga bayangan, karena harga pasar tidak mencerminkan biaya imbangan sosialnya dan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumberdaya tersebut dipakai untuk kegiatan lain. Harga bayangan dilakukan dengan cara menyesuaikan terhadap penyimpangan harga yang terjadi akibat kebijakan pemerintah (subsidi, pajak, tarif, kebijakan harga) maupun distorsi pasar.
Menurut Gitinger (1986), harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada kondisi pasar persaingan sempurna dan dalam keadaan kesimbangan sosial yang sama dengan harga pasar aktual. Namun dalam kenyataannya sulit ditemukan kondisi pasar dalam kondisi keseimbangan. Jika diasumsikan bahwa perdagangan di pasar internasional adalah bersaing sempurna, maka harga bayangan untuk input dan output yang bersifat tradable dapat menggunakan harga batas atau harga bayangan (shadow price). Untuk komoditi yang diekpor atau potensial ekspor akan digunakan harga FOB (Free on Board) dan untuk barang yang diimpor akan menggunakan CIF (Cost, Insurance, and Freight). Sedangkan penggunaan Harga bayangan untuk input non tradable menggunakan biaya imbangan (opportunity cost). 4.7.1 Harga Bayangan Output Harga bayangan output adalah harga output yang terjadi di pasar dunia apabila diberlakukan pasar bebas dan harga yang digunakan adalah harga batas (border price). Harga bayangan output untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan FOB. Sedangkan harga bayangan output untuk komoditas impor digunakan harga perbatasan CIF. Penelitian ini dalam menghitung harga bayangan kentang menggunakan harga CIF karena volume ekspor kentang lebih rendah dibandingkan volume impornya. Harga CIF ini akan dikonversi dengan SER dan dikurangi biaya tataniaga berupa transportasi dan handling dari pelabuhan ke lokasi penelitian. Penentuan harga CIF dapat dihitung dari harga FOB kentang ditambah dengan biaya Freight and Insurance. Harga kentang FOB yang digunakan berdasarkan harga yang diperoleh Gaomi Youning Primary Product Co., Ltd., yakni 700 US Dollar per Ton9). Harga FOB tersebut kemudian dijumlahkan dengan biaya Freight and Insurance dari China ke Indonesia yang ditentukan dari besarnya pajak yang harus dikeluarkan berdasarkan keputusan Direktorat Jendral Pajak sebesar 10 persen dari harga FOB untuk komoditas yang berasal dari Asia
9
Gaomi Youming Primary Product Co., Ltd. 2011 Fresh Chinese Potato www.alibaba.com/product-gs/417797731/Chinese_fresh_potato_kentang.html (di akses tanggal 8 April 2012)
yang bukan negara anggota Asean10), sehingga nilai CIF yang diperoleh sebesar 770 US Dollar per Ton. Harga CIF dalam mata uang domestik sebesar Rp 6697,03 per kilogram. Harga tersebut sudah dikonversi dengan besarnya harga bayangan nilai tukar (SER) sebesar Rp 8697,44 per US Dollar tahun 2011. Hasil tersebut dikurangi dengan biaya distribusi ke tingkat petani sebesar Rp 800,00 per kilogram kentang, sehingga didapat harga paritas di tingkat petani untuk kentang sebesar Rp 5777,03 per kilogram. Biaya distribusi merupakan jumlah keuntungan yang diperoleh suplier dan biaya distribusi dari provinsi ke desa (Lampiran 3,4). Diasumsikan harga bayangan yang digunakan untuk kedua lokasi penelitian adalah sama. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang pengumpul di wilayah penelitian tingkat harga yang ditawarkan adalah sama. 4.7.2 Harga Bayangan Input Perhitungan harga bayangan input yang tradable sama dengan perhitungan harga bayangan output, yaitu dengan menggunakan harga perbatasan (border price), yaitu komoditi ekpor menggunakan harga FOB dan komoditi impor menggunakan CIF. Sedangkan untuk perhitungan harga bayangan input yang non tradable digunakan harga domestik setelah mengeluarkan beberapa faktor domestik. a)
Harga Bayangan Bibit Kentang. Penentuan harga bayangan bibit kentang didasarkan pada harga yang ada
di
pasar
tempat
penelitian.
Bibit
yang
digunakan
merupakan
bibit
pengembangbiakan sendiri yang dilakukan oleh petani berdasarkan dari hasil panen sebelumnya. Bibit digunakan hingga produktivitas kentang menurun ketika panen. Sumber bibit sendiri berasal dari penangkaran kentang daerah Kledung, yakni Kebun Benih Hortilutura (KBH) Kledung. Dilain pihak juga tidak ada campur tangan pemerintah atau kebijaan pemerintah yang mengatur produksi bibit kentang tersebut secara langsung. Sehingga harga bayangan bibit kentang diasumsikan sama dengan harga privat bibit kentang di lokasi penelitian. Untuk Desa Sigedang harga bayangan bibit kentang sebesar Rp 9.648,15 per kilogram. 10
Contoh Perhitungan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor dan Impor Sementara. http://www.duniacyber.com/freebies/planning/contoh-perhitungan-bea-masuk-dan-pajak-dalamrangka-impor-dan-impor-sementara/. (di akses tanggal 8 April 2012)
Sedangkan harga bayangan untuk bibit kentang di Desa Dieng adalah sebesar Rp 5.933,33 per kilogram. Perbedaan harga ini dikarenakan sebagian besar petani di Desa Sigedang menggunakan bibit kentang kualitas yang lebih baik dengan harga yang relatif lebih mahal daripada harga bibit kentang yang berasal dari panen sebelumnya, sehingga harga rata-rata untuk bibit yang digunakan menjadi lebih mahal daripada harga rata-rata bibit kentang di Desa Dieng. b)
Harga Bayangan Pupuk Anorganik Berdasarkan peraturan menteri pertanian No. 06/Permentan/SR.130
/2/2011, pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia, fisika dan atau biologi, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Pupuk yang digunakan dalam usahatani kentang terdiri dari beberapa jenis pupuk, diantaranya pupuk Urea, TSP/SP-36, KCL, Za dan NPK. Berdasarkan pertimbangan dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 06/Permentan/SR.130/2011, bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan adanya subsidi pupuk. Jenis pupuk yang mendapat subsidi dari pemerintah yakni, pupuk Urea, SP-36, Za, dan NPK. Penentuan harga bayangan pupuk anorganik didasarkan pada pendekatan harga internasional. Hal ini dikarenakan besarnya subsidi masing-masing pupuk tersebut tidak diketahui. Asumsi lain yang digunakan dalam perhitungan harga bayangan pupuk anorganik yakni, harga paritas impor di tingkat pedagang akan ditambah dengan biaya ditribusi hingga ke tingkat petani. Namun pada pupuk Urea harga paritas yang digunakan adalah harga paritas ekspor di tingkat pedagang dikurangi dengan biaya distribusi ketingkat petani karena Indonesia telah mampu mengekspor pupuk Urea ke negara lain. Penentuan harga bayangan pupuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. i.
Pupuk Urea Harga bayangan pupuk urea dalam penelitian ini menggunakan harga
paritas ekspor karena Indonesia telah mampu mengekspor Urea ke negara lain. Berdasarkan Keputusan Menteri Kuangan RI No 356/KMK.06/2003 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Subsidi Pupuk, besaran subsidi untuk pupuk urea dihitung berdasarkan selisih harga gas sesuai kontrak dengan harga gas yang
dibebankan kepada produsen pupuk kemudian dikalikan volume pemanfaatan gas. Penentuan harga bayangan pupuk urea didasarkan pada harga FOB urea rata-rata di Black Sea tahun 2011 sebesar 420,96 US Dollar per Ton11), karena jumlah dan tempat terbesar bahan baku Urea berasal dari negara-negara anggota Black Sea. Nilai tersebut kemudian ditambahkan dengan biaya Freight and Insurance sebesar 63,14 US Dollar per Ton yang berasal dari besarnya pajak yang ditentukan dirjen pajak sebesar 15 persen dari FOB urea rata-rata12). Rata-rata harga bayangan pupuk urea adalah sebesar Rp 3945,09 per kilogram. Nilai tersebut diperoleh setelah di konversi dengan SER dan dikurangi biaya tataniaga. ii.
Pupuk TSP/SP-36 Pada penelitian ini data mengenai besaran subsidi pupuk non urea yang
diberikan pemerintah sangat sulit diperoleh, sehingga penentuan harga bayangan pupuk TSP/SP-36 berdasarkan pada harga rata-rata TSP di Tunisia. Seperti Black Sea, Tunisia merupakan salah satu negara penghasil bahan baku pupuk TSP di dunia, sehingga penentuan harga bayangan pupuk TSP berdasarkan FOB rata-rata pada tahun 2011 sebesar 538,26 US Dollar per Ton13). Nilai tersebut kemudian ditambahkan nilai pengapalan dan asuransi sebesar 80,74 US Dollar per Ton, selanjutnya dikalikan nilai tukar bayangan tahun 2011 sebesar Rp 8697,44 per US Dollar, diperoleh Harga CIF sebesar Rp 5383,71 per kilogram. Hingga tingkat pedagang besar harga paritas impor diperoleh sebesar Rp 5472,71 per kilogram, namun setelah ditambah dengan biaya distribusi hingga ke tingkat desa diperoleh harga bayangan sebesar Rp 5618,09 per kilogram. iii.
Pupuk KCL Penentuan harga bayangan pupuk KCL berdasarkan harga FOB rata-rata
Potassium Chloride pada tahun 2011 yakni 435,28 US Dollar per Ton. Penentuan FOB rata-rata di Vancouver ini dikarenakan informasi mengenai subsidi harga tersebut sulit diperoleh. Vancouver merupakan daerah penentuan standard grade Potassium chloride yang merupakan bahan baku pupuk KCL. Harga CIF pupuk 11
Worldbank.org Contoh Perhitungan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor dan Impor Sementara. http://www.duniacyber.com/freebies/planning/contoh-perhitungan-bea-masuk-dan-pajak-dalamrangka-impor-dan-impor-sementara/. (di akses tanggal 8 April 2012) 13 Worldbank.org 12
KCL yakni sebesar Rp 4353,69 per kilogram. Nilai tersebut didapatkan dengan menambahkan nilai FOB rata-rata dan kegiatan pengapalan dan asuransi 15 persen dari nilai rata-rata FOB, kemudian dikonversi dengan nilai SER pada tahun 2011 sebesar Rp 8697,44 per US Dollar. Setelah ditambah dengan biaya ditribusi dari provinsi ke desa, harga bayangan pupuk KCL di tingkat petani diperoleh sebesar Rp 4577, 12 per kilogram. iv.
Pupuk Za Harga bayangan pupuk Za hingga di tingkat petani adalah sebesar Rp
1916,97 per kilogram. Penentuannya didasarkan pada harga FOB rata-rata Ammonium Sulphate di Jiaocheng Sanxi Chemical Co., Ltd., China pada tahun 2011 sebesar 180 US Dollar per Ton. Nilai tersebut ditambah dengan biaya pengapalan dan asuransi (Freight and Insurance) 10 persen dari FOB rata-rata, sehingga didapatkan harga CIF Indonesia sebesar 198 US Dollar per Ton. Selanjutnya nilai tersebut dikalikan nilai tukar bayangan pada tahun 2011 sebesar Rp 8697,44 per US Dollar. Nilai tersebut kemudian ditambahkan dengan biaya disstribusi dari tingkat provinsi ke tingkat desa, sehingga di dapatkan harga bayangan pupuk Za. Penggunaan FOB dari negara China karena China merupakan salah satu negara pengekspor pupuk Za terbesar untuk Indonesia. v.
Pupuk NPK Pabrik-pabrik pupuk di Indonesia sebenarnya mampu memproduksi pupuk
NPK, namun sulitnya memperoleh data jumlah pupuk NPK yang beredar di pasar dan harga rata-rata pupuk NPK yang beredar di pasar. Penentuan harga bayangan pupuk NPK berdasarkan harga FOB rata-rata di Planer Chemical Fertilizer Industries Co., Ltd., sebesar 350 US Dollar per Ton. Selanjutnya nilai tersebut ditambahkan dengan nilai pengapalan dan asuransi sebesar 10 persen dari harga FOB rata-rata. Nilai yang di peroleh tersebut kemudian dikalikan dengan nilai SER atau nilai tukar bayangan pada tahun 2011 sebesar Rp 8597,44 per US Dollar, sehingga diperoleh harga bayangan pupuk NPK sebesar Rp 3699,19 per kilogram yang sebelumnya terlebih dahulu ditambahkan biaya transportasi dari provinsi hingga ke desa.
c)
Harga Bayangan Pupuk Organik. Pupuk organik yang digunakan dalam usahatani kentang biasanya berupa
pupuk kandang. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 06/Permentan/SR.130/2011, pupuk Organik termasuk salah satu jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah. Namun penentuan harga bayangan pupuk organik akan ditentukan berdasarkan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada campur tangan dari pihak pemerintah. Harga bayangan pupuk ditentukan berdasarkan mekanisme pasar (pasar bebas), sehingga pendekatan harga bayangan pupuk organik sama seperti harga aktual yang terjadi di pasar. Harga bayangan pupuk organik untuk Desa Sigedang sebesar Rp 325,07 per kilogram, sedangkan Desa Dieng sebesar Rp 340,43 per kilogram. d)
Harga Bayangan Pestisida Pada dasarnya dalam menentukan harga bayangan input produksi yang
termasuk komoditi tradable tidak berbeda dengan penentuan harga bayangan input pupuk anorganik. Pestisida merupakan salah satu input yang termasuk dalam input tradable. Sehingga harga bayangan seharusnya ditentukan berdasarkan harga border price. Meskipun sudah ada pestisida yang diproduksi di dalam negeri, namun sebagian besar bahan bakunya didatangkan atau diimpor dari luar negeri, sehingga harga bayangan pestisida ditentukan berdasarkan harga CIF. Penentuan harga bayangan pestisida akan didasarkan pada rata-rata harga yang ada di pasar sekitar lokasi penelitian. Hal ini berdasarkan pada saat ini perdagangan pestisida telah diserahkan kedalam mekasnisme pasar dan tidak ada campur tangan pemerintah ditambah subsisdi untuk pestisida sudah tidak berlaku. Dengan demikian harga sosial atau harga bayangan pestisida sama dengan harga privat atau harga aktualnya. Dalam penelitian ini pestisida dikategorikan kedalam jenis pestisida padat dan cair, karena penggunaan pestisida tiap petani berbeda satu sama lain. Kondisi tanaman yang terjadi pada saat budidaya berbeda tiap petani sehingga menuntut perlakuan yang berbeda. Harga bayangan pestisida Cair untuk Desa Sigedang dan Desa Dieng masing-masing sebesar Rp 353.142,36 per liter dan Rp 301.698,33 per liter, sedangkan pestisida padat masing-masing desa sebesar Rp 123.143,52 per kilogram dan Rp 108.266,67 per kilogram.
e)
Harga Bayangan Peralatan Peralatan termasuk ke dalam input non tradable. Sehingga penentuan
harga bayangan menggunakan harga domestik. Peralatan yang digunakan untuk menunjang kegiatan usahatani kentang antara lain, cangkul, terpal, ember, sabit, kerangjang, sprayer tank, dan mulsa. Penentuan harga bayangan diserahkan kedalam mekanisme pasar, yakni berdasarkan harga pasar. Selain tidak adanya campur tangan pemerintah, kondisi pasar yang mendekati persaingan sempurna juga berpengaruh karena distorsi pasar akan relatif lebih kecil. f)
Harga Bayangan Tenaga Kerja Penentuan harga bayangan tenaga kerja budidaya kentang di lokasi
penelitian mengacu pada penelitian Dewanata (2011) yang mengatakan jika terdapat pengangguran disuatu tempat maka harga bayangan tenaga kerjanya sama dengan nol. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Pearson, 2005) bahwa harga sosial untuk tenaga kerja diestimasi dengan prinsip social opportunity cost. Karena faktor sumberdaya domestik tidak diperdagangkan secara internasional, maka faktor tersebut tidak ada harga dunianya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa social opportunity cost untuk tenaga kerja yang menganggur adalah nol. Dalam penelitian ini faktor tenaga kerja di klasifikasikan menurut gender, yakni pria dan wanita. Dimana produktivitas tenaga kerja berbeda nyata dalam kategori tersebut yang bisa menyebabkan perbedaan tingkat upah. Penentuan upah bayangan tenaga kerja secara umum dapat di formulasikan sebagai berikut :
ℎ
Dimana :
= ( 100% − %
HB : harga bayangan HA : harga aktual
)
ℎ
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Wonosobo sebesar 3,62 persen, sehingga harga bayangan upah kerja tidak terdidik dilokasi penelitian sebesar 96,38 persen dari upah finansialnya14). Upah finansial atau privat di Desa Sigedang untuk pria dan wanita masing-masing Rp 22.795,44 per HOK dan Rp 11.245,85 per HOK. Upah finansial berasal dari rata-rata upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang berasal dari luar 14
Kabupatenwonosobo.com
keluarga selama kegiatan usahatani berlangsung. Sehingga harga bayangan upah tenaga kerja pria dan wanita untuk Desa Sigedang diperoleh masing-masing sebesar Rp 21.970 per HOK dan Rp 10.839 per HOK. Sedangkan Desa Dieng dengan upah finansial sebesar Rp 20.639,73 per HOK untuk pria dan Rp 12.604,17 per HOK untuk wanita, diperoleh harga bayangan upah tenaga kerja di Desa Dieng masing-masing sebesar Rp 19.839 per HOK dan Rp 12.148 per HOK. g)
Harga Bayangan Lahan Lahan merupakan faktor produksi terpenting dalam kegiatan usahatani
yang termasuk kedalam input faktor domestik (non tradable). Menurut Gitinger (1986), bahwa menentukan harga bayangan lahan adalah dengan memakai nilai sewa yang diperhitungkan setiap musim. Sedangkan menurut Monke dan Pearson (1989), harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan pendapatan dari tanah untuk tanaman alternatif terbaik. Dalam penelitian ini harga sosial atau bayangan lahan akan mengacu pada Gitinger (1986), yaitu memakai nilai sewa yang diperhitungkan setiap musim. Lokasi lahan dan kemudahan akses transportasi dan infrasruktur akan memberikan perbedaan yang signifikan terhadap harga sewa lahan. Harga bayangan lahan untuk Desa Sigedang dan Desa Dieng masingmasing sebesar Rp 3.015.151,52 per hektar dan Rp 1.937.000 per hektar. h)
Harga Bayangan Modal Analisis PAM mengkategorikan biaya modal kedalam dua kategori, yaitu
modal kerja dan modal investasi. Modal investasi merupakan pengeluaran atas aset yang memberikan kegunaan dan manfaat (benefit) dalam periode panjang atau lebih dari satu tahun. Sedangkan modal kerja adalah biaya tunai yang harus dibayar petani seperti upah tenaga kerja dan pembelian input dalam kurun waktu satu tahun. Tingkat suku bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang dikeluarkan pada proses usahatani mulai tanam hingga pascapanen (Pearson et.al. 2005). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lokasi peneltian bahwa seluruh modal yang digunakan untuk kegiatan usahatani kentang berasal dari modal pribadi. Sehingga, penentuan tingkat suku bunga modal privat berasal dari tingkat suku bunga doposito di bank BRI yang terletak dilokasi penelitian, dimana tingkat suku bunga depositonya sebesar enam persen.
Penentuan harga bayangan modal menggunakan pendekatan arbitrary rule of thumb (pendekatan kira-kira), yaitu pengalaman peneliti lain untuk negara berkembang dengan tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia. Berdasarkan pendekatan itu diduga tingkat bunga sosial untuk modal kerja di Indonesia sekitar 15 persen per tahun ditambah dengan tingkat inflasi (Pearson et.al. 2005). Tingkat inflasi di Indoensia menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 mencapai 3,8 persen. Sehingga harga bayangan modal yang digunakan di lokasi penelitian sebesar 18,80 persen per tahun. i)
Harga Bayangan Nilai Tukar Nilai tukar rupiah ditetapkan berdasarkan atar perkembangan nilai tukar
mata uang asing. Acuan mata uang asing tersebut yakni US Dollar pada tahun 2011. Rumusan formula dalam menentukan harga bayangan nilai tukar mata uang, yakni :
=
Keterangan : SCR : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCF : Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut.
=
(
−
+ ) + (
+
)
Keterangan : SCFt : Faktor Konversi Standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai Ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai Impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan Pemerintah dari pajak ekpor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan Pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp)
Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode di atas yang didasarkan pada informasi total nilai ekpor dan impor Indonesia tahun 2011, serta total nilai penerimaan pemerintah dari pajak ekpor dan impor Indonesia tahun 2011. Berdasarkan nilai yang diperoleh nilai ekspor Indonesia (Xt) pada tahun
2011 sebesar Rp 1.477.622.984.462.190,00, nilai impor Indonesia (Mt) sebesar Rp 1.267.712.621.792.520,00, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) sebesar Rp 28.270.000.000.000,00, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) adalah sebesar Rp 24.680.000.000.000,0015). Menurut Saptana (1999) dalam Feryanto (2010) dengan adanya kebijakan makro yang diterapkan di Indonesia bahwa sejak tahun 1996 Indonesia menerapkan nilai tukar bebas atau mengambang (floating exchange rate), serta kebijakan deregulatif berupa penurunan tarif bea masuk dan pajak ekspor maka diasumsikan nilai tukar mata uang yang terjadi di pasar uang dapat menggambarkan harga bayangan nilai tukar mata uang. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 8708,85 per US Dollar (Bank Indonesia, 2011). Berdasarkan data di atas, nilai faktor konversi standar pada tahun 2011 sebesar 1,00, sehingga diperoleh nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) sebesar Rp 8697,44 per US Dollar (Perhitungan nilai tukar bayangan dapat dilihat pada Lampiran 3). 4.8
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan perhitungan
biaya dan manfaat dari perubahan input dan output dari hasil analisis suatu efektivitas ekonomi. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian nasional maupun internasional dapat mempengaruhi penerimaan. Analisis senstivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga sedangkan dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat bervariatif. Penggunaan analisis sensitivitas juga memiliki kelemahan. Kelemahan analisis sensitivitas adalah: (1) analisis sensitivitas tidak dapat digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya merubah parameter pada suatu saat tertentu, dan (2) analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan menentukan layak atau tidak layak suatu proyek. Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dengan mengubah besarnya nilai mata uang, harga output,
15
Detikfinance. (http://finance.detik.com/read/2011/12/27/081005/1800030/4/bea-cukai-yakinbisa-setor-rp-129,35-triliun-ke-kas-negara (diaskes pada 4 Februari 2012)
harga kentang, dan harga pupuk. Dasar perubahan kebijakan yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini, diantaranya adalah: 1) Perubahan terhadap Nilai Mata Uang. Bila terjadi penguatan (apresiasi) dan pelemahan (depresiasi) nilai mata uang rupiah terhadap US Dollar dan faktor lain dianggap tetap, cateris paribus. Hal ini didasarkan pada fluktuasi tingkat nilai tukar rupiah terhadap UD Dollar pada tahun 2011 sebesar 5,2 persen. Berdasarkan asumsi tersebut penelitian ini ingin melihat bagaimana dampak penguatan dan pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap keuntungan dan dayasaing pengusahaan kentang di lokasi penelitian. 2) Perubahan terhadap Harga Output. Asumsi yang digunakan dalam perubahan terhadap harga output ini yakni, kenaikan dan penurunan harga kentang sebesar 15 persen, dan faktor lain dianggap tetap, cateris paribus. Penentuan besarnya proporsi kenaikan dan penurunan berdasarkan kondisi fluktuasi harga kentang di lokasi penelitian tahun 2011. Tidak berbeda dengan perubahan terhadap nilai mata uang, perubahan harga output juga ingin melihat dampak kenaikan dan penurunan harga kentang terhadap keuntungan dan dayasaing pengusahaan kentang di lokasi penelitian. 3) Perubahan terhadap Harga Pestisida. Bila terjadi kenaikan dan penurunan harga pestisida cair sebesar 15 persen dan harga pestisida padat sebesar 10 persen, dan faktor lain dianggap tetap, cateris paribus. Penentuan besarnya persentasi didasarkan pada Produsen obat-obatan dan pembasmi hama yang tergabung dalam Himpunan masyarakat Pestisida Nasional (HMPN), dimana perubahan ini di dasarkan pada kenaikan harga minyak mentah dunia. Bahan aktif untuk membuat pestisida merupakan derivatif atau produk turunan minyak bumi, sehingga kenaikan harga minyak bumi akan mempengaruhi besarnya biaya bahan baku pestisida tersebut. 4) Perubahan terhadap Harga Pupuk Bila terjadi kenaikan harga pupuk bersubsidi urea sebesar 10 persen, dan pupuk non-Urea rata-rata sebesar 30 persen. Kenaikan harga pupuk
ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 32/Permentan/SR.130/4/2010 tentang perubahan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi. Kenaikan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi terkait dengan turunnya anggaran subsidi pupuk dalam APBN sekitar 40 persen, dimana subsidi pupuk hanya dianggarkan sebesar Rp 11,3 triliun dari usulan anggaran subsisi pupuk sebesar Rp 20,2 triliun16).
16
HET Pupuk Bersubsidi Akhirnya Naik! http://www.penyuluhpertanian.com/het-pupukbersubsidi-akhirnya-naik (diakses tanggal 8 April 2012)
V. 5.1
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kabupaten Wonosobo Secara geografis Kabupaten Wonosobo terletak di provinsi Jawa Tengah
dengan luas wilayah sebesar 984,68 km2 pada koordinat 7o21’ LS (Lintang Selatan) – 109o53’BT (Bujur Timur). Kabupaten Wonosobo berbatasan dengan Kaupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di sebelah Timur, sebela selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen, dan sebelah Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal. Wilayah Kabupaten Wonosobo terdiri dari 15 Kecamatan yang terbagi lagi atas sejumlah desa dan 265 kelurahan. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Wonosobo merupakan daerah pegunungan. Bagian Timur terdapat dua gunung berapi, Gunung Sindoro (3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Sebelah Selatan terdapat Waduk Wadaslintang, serta daerah Utara yang merupakan bagian Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Jumlah penduduk menurut sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo pada tahun 2010 berjumlah 758.078 jiwa, dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki sebesar 385.113 jiwa dan perempuan sebesar 372.965 jiwa. Sebagian besar penduduk yang berdomisili di Kabupaten Wonosobo bergerak dalam sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Wonosobo, dan sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 47,45 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau sekitar Rp 1.863.397,76. Berdasarkan penggunaan tanah di Kabupaten Wonosobo, penggunaannya antara lain untuk areal persawahan dan areal bukan sawah. Areal persawahan didominasi pada teknis pengairan sederhana dan areal bukan sawah kebanyakan digunakan untuk Tegalan dan Hutan Negara. Tanaman kentang di Kabupaten Wonosobo lebih banyak dibudidayakan pada lahan tegalan. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Kabupaten Wonosobo yang sebagian besar merupakan dataran
tinggi dan sebagian daerah tidak memungkinkan untuk dibangun sistem irigasi. Daftar penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 11. Sebaran Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Uraian Sawah Pengairan Teknis Pengairan Setengah Teknis Pengairan Sederhana Tadah Hujan Bukan Sawah Bangunan Pekarangan Tegalan/Kebun Padang Rumput Kolam Waduk/ Rawa Hutan Negara Hutan Rakyat Perkebunan Lain-lain Jumlah
Luas Lahan (Ha)
Proporsi (%)
799 2.116 10.418 3.803
0,81 2,15 10,58 3,86
7.964 42.080 3 226 1.463 16.837 7.509 2.625 2.611 98.454
8,09 42,74 0,003 0,23 1,49 17,10 7,63 2,67 2,65 100,00
Sumber: Kabupaten Wonosobo
5.2
Kecamatan Kejajar Kecamatan Kejajar memiliki luas wilayah 5.762 ha atau 5,85 persen dari
luas Kabupaten Wonosobo dengan ketinggian wilayah antara 1.360 – 2.302 m di atas permukaan laut dan terletak antara 7o11’20” sampai 7o18’00” Lintang Selatan (LS) dan 109o51’11” sampai 109o59’52” Bujur Timur (BT). Secara administratif Kecamatan Kejajar berbatasan langsung dengan Kabupaten Batang di sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Garung, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara. Jumlah penduduk Kecamatan Kejajar pada tahun 2010 sebanyak 40.925 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 20.987 jiwa dan perempuan 19.938 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 710 per km2. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat dominan yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Kejajar. Hal ini merujuk pada pembagian komposisi tata guna lahan, lahan tanah kering seluas 3.066,306 hektar atau sekitar 53,21 persen, diikuti hutan negara seluas
2.309,808 ha atau 40,08 persen, perkebunan negara/swasta sebesar 155,850 hektar atau 2,7 persen dan lainnya seluas 232,669 hektar atau sekitar 4,01 persen. 5.2.1
Desa Sigedang Desa Sigedang merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo terdiri dari 8 Rukun Warga. Wilayah administratif desa Sigedang sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Sibajag, Kecamatan
Temanggung, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Butak, sebelah Selatan Desa Buntu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bukit Kulon. Dengan total luas wilayah sebesar 108,6 hektar yang penggunaannya terbagi atas pemukiman, perkebunan, tempat pemakaman, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Desa Sigedang berada di ketinggian antara 1500 – 1800 dpl (di atas permukaan laut). Sehingga Desa Sigedang merupakan daerah yang cocok untuk pertanian terutama hortikultura. Menurut jenis komoditas tanaman, tanaman yang dapat dibudidayakan antara lain, kacang tanah, kacang panjang, kacang merah, cabai, bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, buncis, kangkung, umbiumbian, wortel dan seledri. Potensi lain yang dimiliki Desa Sigedang adalah peternakan. Populasi ternak yang terdapat di Desa Sigedang antara lain sapi, ayam kampung, ayam broiler, kambing, angsa dan domba. Jumlah penduduk sumberdaya manusia pada tahun 2011 sebanyak 3241 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1572 orang, dan perempuan sebesar 1669 orang, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 949 kepala keluarga, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1,7 per kilometer. Mata pencarian penduduk sebagian besar sebagai petani dan buruh tani, selebihnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang keliling, peternak, montir, dan pembantu rumah tangga. Selain itu berdasarkan tingkat pendidikan, sebanyak 719 orang yang manamatkan pendidikan sekolah dasarnya (SD), 202 dan 112 orang menamatkan pendidikan SMP dan SMA, dan 30 orang menamatkan pendidikan Perguruan Tinggi.
5.2.2
Desa Dieng Desa dieng dapat dikatakan sebagai salah satu desa yang terletak di
dataran tertinggi di Jawa Tengah. Dieng sendiri merupakan salah satu desa di Kecamatan Kejajar yang menjadi salah satu tujuan objek wisata di Kabupaten Wonosobo. Secara administrasi Dieng memiliki batas wilayah dengan Kabupaten Banjarnegara untuk sebelah Utara dan sebelah Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Patakbanteng, dan sebelah timur berbatasan kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang masih termasuk kawasan Kabupaten Wonosobo. Desa Dieng terletak pada posisi geografis 12’ Lintang Selatan dan 109’ 54’ Bujur Timur, berada pada ketinggian 6802 kaki atau sekitar 2093 dpl (di atas permukaan laut) dengan suru rata-rata 15 – 20 derajat pada siang hari, dan 10 derajat pada pagi hari. Dengan luas wilayah sebesar 2,82 km2 penggunaan lahan sebagian besar merupakan lahan pertanian, sebagian besar lagi merupakan pemukiman penduduk, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Jumlah penduduk Dieng mencapai 2820 orang. Sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah petani, buruh tani, pedagang, dan bekerja di sektor pariwisata. 5.3
Karakteristik Petani Responden Dalam penelitian ini identitas responden yang diperoleh meliputi beberapa
aspek yang dapat dilihat dari usia responden, tingkat pendidikan, pengalaman bertani dan luas lahan. Karakteristik tersebut dianggap penting karena mempengaruhi pelaksanaan usahatani kentang di lokasi penelitian. Bertani kentang merupakan mata pencarian utama penduduk di Desa Sigedang dan Desa Dieng. Sumber modal berasal dari petani responsen itu sendiri, dan keuntungan dari hasil panen kentang akan digunakan sebagai modal untuk musim tanam yang berikutnya. Begitu pula dengan kepemilikan lahan, sebagian petani memiliki status lahan pertaniannya sebagai pemilik, dan hanya sedikit yang menyewa lahan untuk kegiatan usahatani. Khusus untuk lahan, baik di Desa Sigedang dan Desa Dieng, pasar sewa menyewa sangat aktif. Kegiatan sewa menyewa lahan sudah umum dilakukan. Ada petani yang menyewakan lahannya pada suatu musim tanam dan kemudian menyewa untuk musim tanam berikutnya.
1)
Usia Faktor usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
petani dalam bertani. Pada umumnya petani yang memiliki usia lebih muda dapat bekerja lebih optimal dan memiliki produktivitas yang tinggi. Sebaran petani responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia No 1. 2. 3. 4. 5.
Usia 17 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 > 55 Jumlah
Desa Sigedang Jumlah % Petani 6 22,22 11 40,74 8 29,63 2 7,41 0 0 27 100
Desa Dieng Jumlah % Petani 3 10,00 13 43,33 9 30,00 4 13,33 1 3,33 30 100
Total (n = 57) Jumlah % Petani 9 15,79 24 42,11 17 29,82 6 10,53 1 1,75 57 100
Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa usia petani dari total responden paling dominan ada pada rentang 26 – 35 tahun dengan proporsi sebesar 42,11 persen, dimana baik di Desa Sigedang maupun Desa Dieng masingmasing memiliki proporsi sebesar 40,74 persen dan 43,33 persen. Sedangkan untuk responden yang memiliki proporsi terkecil berada pada rentang usia lebih dari 55 tahun sebesar 1,74 persen. 2)
Tingkat Pendidikan Formal Faktor tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik yang akan
berpengaruh terhadap proses pembentukan pola pikir dan sikap terutama terhadap penyerapan atau mengadopsi teknologi baru. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan lebih cepat dalam mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Sebaran responeden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihar pada Tabel 13. Tingkat pendidikan formal petani responden di lokasi penelitian di kedua desa didominasi hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 31 orang dengan persentasi sebesar 54,39 persen. Untuk lulusan Perguruan Tinggi hanya mencapai 5,26 persen dari total keseluruhan atau hanya 3 orang. Sedangkan
besarnya responden yang mempunyai pendidikan formal SMP dan SMA masingmasing sebesar 17,54 persen dan 22,81 persen. Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal No 1. 2. 3. 4.
3)
Tingkat Pendidikan SD SMP SMA D3/S1 Jumlah
Desa Sigedang Jumlah % Petani 17 22,96 6 22,22 4 14,81 0 0 27 100
Desa Dieng Jumlah % Petani 14 46,67 4 13,33 9 30,00 3 10,00 30 100
Total (n = 57) Jumlah % Petani 31 54,39 10 17,54 13 22,81 3 5,26 57 100
Pengalaman Usahatani Pada umumnya semakin lama bertani semakin banyak pengalaman
usahatani kentang yang dimiliki petani dan dapat diterapkan sekaligus sebagai pembelajaran musim tanam berikutnya. Berdasarkan Tabel 14, dari kedua desa di lokasi penelitian, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing memiliki 18 orang yang telah berpengalaman usahatani kentang diantara 5 – 16 tahun dengan proporsi rata-rata untuk kedua desa sebesar 63,16 persen. Sedangkan untuk petani yang memiliki pengalaman kurang lebih atau sama dengan 4 tahun dan lebih dari 30 tahun sebanyak 10 orang dan 7 orang dengan proporsi masing-masing sebesar 17,54 persen dan 12,28 persen. Tabel 14 memaparkan besarnya sebaran responden berdasarkan pengalaman usahatani kentang. Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Kentang No 1. 2. 3. 4.
4)
Pengalaman Usahatani Kentang ≤4 5 – 16 17 – 29 > 30 Jumlah
Desa Sigedang Jumlah % Petani 8 29,53 18 66,67 1 3,60 0 0 27 100
Desa Dieng Jumlah % Petani 2 6,67 18 60,00 3 10,00 7 23,33 30 100
Total (n = 57) Jumlah % Petani 10 17,54 36 63,16 4 7,02 7 12,28 57 100
Luas Lahan Petani responden di lokasi penelitian sebagian besar memiliki luasan lahan
sebesar kurang dari 0,29 hektar, dengan proporsi 64,91 persen. Sebanyak 19,30
persen petani memiliki luas lahan seluas 0,3 – 0,9 hektar, 10,53 persen petani memiliki luasan lahan 1,0 – 1,7 hektar, dan sebanyak 1,75 persan dan 3,25 persen petani memiliki luas lahan sekitar 1,8 – 2,5 hektar dan lebih dari 2,5 hektar. Berdasarkan pada Tabel 15, bahwa petani di Desa Sigedang dan Desa Dieng memiliki skala luas lahan terbesar ada pada luasan kurang dari 0,29 hektar dengan proporsi masing-masing 59,26 persen dan 70,00 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pengusahaan kentang dilakukan pada skala yang hampir sama. Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan No 1. 2. 3. 4. 5.
5.4
Pengalaman Usahatani Kentang ≤ 0,29 0,3 – 0,9 1,0 – 1,7 1,8 – 2,5 > 2,5 Jumlah
Desa Sigedang Jumlah % Petani 16 59,26 7 25,93 4 14,81 0 0,00 0 0,00 27 100
Desa Dieng Jumlah % Petani 21 70,00 4 13,33 2 6,67 1 3,33 2 6,67 30 100
Total (n = 57) Jumlah % Petani 37 4,91 11 19,30 6 10,53 1 1,75 2 3,51 57 100
Gambaran Umum Usahatani Kentang di Lokasi Penelitian Kegiatan usahatani kentang pada umumnya berupa proses pembenihan,
pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Kegiatan pemeliharaan berupa pengairan, penyiangan (matun), dan pemupukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2011, kondisi usahatani yang dijadikan acuan adalah usahatani pada musim sebelumnya. 1)
Jenis Benih dan Penyedian Benih Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, benih kentang
yang digunakan petani di lokasi penelitian, Desa Sigedang dan Desa Dieng, adalah benih kentang Granola. Benih yang digunakan merupakan benih dari hasil seleksi panen sebelumnya atau membeli dari Kebun Benih Hortikultura (KBH) di daerah Kledung. Pada umumnya, rata-rata penggunaan benih hasil seleksi musim sebelumnya hanya dapat digunakan hingga generasi ke 10 (G-10). Setelah itu petani akan membeli benih baru dengan produktivitas yang lebih baik, yakni benih generasi ketiga atau keempat (G3-G4). Namun di kedua desa, Desa
Sigedang dan Desa Dieng, penggunaan benih hasil seleksi musim sebelumnya akan diganti dengan benih yang baru jika produktivitas kentang yang menggunakan bibit hasil panen sebelumnya turun. Penggunaan benih kentang yang berasal dari hasil panen sebelumnya dilakukan dengan menyeleksi benih kentang ketika panen berdasarkan ukurannya, karena pada saat panen, berbagai ukuran umbi akan diperoleh. Dalam proses pembenihan hingga menjadi bibit, biasanya membutuhkan waktu hingga 120 hari. Dengan kata lain, penggunaan bibit ini merupakan benih hasil seleksi panen dua musim sebelumnya. Pada umumnya benih kentang yang siap ditanam memiliki ciri tunas yang muncul pada kentang sekitar 2 – 3 cm. Pemilihan benih kentang ini berdasarkan pada bentuk fisik. Kentang akan disortir berdasarkan ukuran besar, sedang, dan kecil. Kentang yang berukuran besar dan sedang biasanya dijual, sedangkan kentang yang dijadikan benih adalah kentang dengan ukuran kecil. 2)
Pengolahan Lahan dan Penanaman Bibit Pengolahan lahan merupakan tahap awal dalam pengusahaan kentang di
lokasi penelitian. Kegiatan dalam pengolahan lahan antara lain, membuat bedengan, membuat jarak tanam, dan pemberian pupuk dasar. Ukuran lebar bedengan dalam pengolahan lahan sekitar 30 – 40 cm dengan jarak antar bedengan sekitar 20 – 30 cm. Selain itu juga ada pembuatan bedengan sekaligus melakukan pemasangan mulsa. Ukuran lebar bedengan biasanya disesuaikan dengan ukuran mulsa. Mulsa dengan satu lubang tanam memiliki lebar 30 cm dan 40 cm untuk lubang tanam, mulsa dua lubang tanam memiliki ukuran lebar 60 cm dan 80 cm, dan 120 untuk tiga lubang tanam. Di lokasi penelitian mulsa dengan satu dan dua lubang tanam merupakan jenis mulsa yang sering digunakan. Rata-rata total luas lahan yang dimiliki masing-masing Desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, sebesar 0,40 hektar dan 0,54 hektar. Status kepemilikan lahan ada yang kepemilikan pribadi dan ada lahan sewa. Dari total keseluruhan luas lahan petani responden di Desa Sigedang (10,55 hektar), sebesar 4,9 hektar diantaranya adalah lahan sewa dengan rata-rata biaya sewa per hektar per musimnya sebesar Rp 3.015.152. Sedangkan Desa Dieng luasan lahan sewa sebesar dua hektar dari total keseluruhan luas lahan petani responden di Desa
Dieng sebesar 16,16 hektar, dengan rata-rata biaya sewa per musim sebesar Rp 1.937.000 per hektar. Pemberian pupuk merupakan tahap selanjutnya dalam pengolahan lahan. Pemberian pupuk sebaiknya dilakukan dua kali selama satu musim, sesuai dengan anjuran umum pemupukan berimbang, yakni pemberian pupuk dasar dan pemberian pupuk kedua yang biasanya dilakukan 30 hari setelah tanam17). Pupuk dasar yang diberikan merupakan pupuk kandang ditambah dengan pupuk kimia Urea atau pupuk majemuk Phonska. Di lokasi penelitian, banyaknya penggunaan pupuk disesuaikan dengan banyaknya jumah bibit yang akan ditanam. Semakin banyak jumlah bibit yang ditanam, kebutuhan akan penggunaan pupuk juga akan semakin banyak. Sebaran penggunaan pupuk petani berdasarkan jenis pupuk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Penggunaan Pupuk Petani Berdasarkan Jenis Pupuk di Lokasi Penelitian. Jenis Pupuk Pupuk Organik: Kandang Pupuk Anorganik: Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL
Desa Sigedang Jumlah Harga (Kg/ha) (Rp/Kg)
Desa Dieng Jumlah Harga (Kg/ha) (Rp/Kg)
5.760
325,07
3958
340,43
238 72 170 178 400
1.847,14 2.160,00 2.106,32 2.397,62 2.480,00
72 0 67 280 0
1.870,00 0,00 2.166,67 2.372,73 0,00
Berdasarkan Tabel 16, penggunaan pupuk terbesar di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masih di dominasi pupuk kandang yang merupakan pupuk dasar sebelum kentang ditanam dengan harga per kilogramnya masingmasing sebesar Rp 325,07 untuk Desa Sigedang dan Rp 340,43 untuk Desa Dieng. Sedangkan rata-rata penggunaan pupuk anorganik di Desa Sigedang yakni pupuk KCL sebanyak 400 kilogram per hektar dengan harga sebesar Rp 2.480,00 per kilogram. Sedangkan di Desa Dieng, rata-rata menggunakan pupuk majemuk 17
Anjuran umum pemupukan berimbang menggunakan pupuk majemuk www.petrokimiagresik.com (diakses tanggal 10 April 2012)
NPK sebanyak 280 kilogram per hektar dengan harga sebesar Rp 2.372,73 per kilogram. Tahap selanjutnya yakni penanaman bibit kentang. Penamanan bibit kentang juga disesuaikan dengan bedengan yang menggunakan mulsa atau tidak menggunakan mulsa. Jika menggunakan mulsa, bibit kentang ditanam setelah mulsa selesai dipasang, sedangkan jika tidak menggunakan mulsa kentang ditanam setelah sebelumnya telah diberi pupuk dasar. Untuk tingkat kedalaman penanaman bibit kentang, baik menggunakan mulsa atau tidak, bibit ditanam pada kedalaman sekitar 8 – 10 cm. Rata-rata penggunaan bibit di lokasi penelitian di Desa Sigedang dan Desa Dieng masing-masing sebesar 890 kilogram per hektar dan 459 kilogram per hektar dengan harga rata-rata sebesar Rp 9.648,15 per kilogram dan Rp 5.933,33 per kilogram. Perbedaan ini dikarenakan petani responden di Desa Sigedang sebagian besar menggunakan bibit kentang kualitas yang lebih baik dengan harga yang relatif lebih mahal sehingga harga rata-rata untuk bibit yang digunakan menjadi lebih mahal daripada harga rata-rata bibit kentang di Desa Dieng. Perbedaan dari segi jumlah penggunaan bibit di Desa Dieng lebih dipengaruhi oleh faktor alam. Penelitian ini menganalisis usahatani yang terjadi pada musim hujan, berdasarkan paparan petani responden Desa Dieng, pada musim hujan hama dan penyakit kentang lebih banyak dan lebih mudah berkembang biak, sehingga petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pestisida. Selain itu curah hujan yang tinggi risiko kentang menjadi rusak akan lebih tinggi, karena hujan dapat menyebabkan batang atau daun kentang patah. Batang atau daun kentang yang patah akan menyebabkan panen kentang dilakukan lebih dini, harga kentang yang diterima petani menjadi lebih rendah dari harga seharusnya. Namun kondisi ini tidak berlaku untuk usahatani kentang di Desa Sigedang, curah hujan yang terjadi tidak terlalu besar seperti di Desa Dieng, sehingga risiko patah batang dan daun kentang lebih kecil. Sedangkan untuk hama dan penyakit masih dapat ditanggulangi dengan pemberian pestisida. Dapat disimpulkan perbedaan penggunaan bibit kentang antara Desa Sigedang dan Desa Dieng untuk mengantisipasi risiko-risiko usahatani yang muncul pada musim hujan. Perbedaan penggunaan bibit ini pada akhirnya akan mempengaruhi hasil
yang akan diterima petani dan berpengaruh langsung terhadap pendapatan yang akan diterima petani ketika panen nanti. Berdasarkan tabel 16, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk lebih banyak digunakan di Desa Sigedang daripada Desa Dieng. Penggunaan pupuk di Desa Sigedang lebih banyak dan merata daripada Desa Dieng. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan bibit mempengaruhi penggunaan pupuk. Dari segi tenaga kerja, pengolahan lahan biasanya menggunakan tenaga kerja borongan mulai dari proses pembuatan bedengan hingga proses penanaman selesai. Namun ada juga petani yang melakukan kegiatan penanaman bibit dengan tenaga kerja harian. Rata-rata HOK untuk pengolahan lahan di Desa Sigedang dan Desa Dieng sebesar 162 HOK per hektar dan 70 HOK per hektar. Sedangkan untuk penanaman, rata-rata HOK Desa Sigedang sebesar 45 HOK per hektar dan Desa Dieng sebesar 15 HOK per hektar. Tabel 17 akan memaparkan sebaran tenaga kerja berdasarkan HOK di lokasi penelitian. Tabel 17. Sebaran Tenaga Kerja Berdasarkan HOK di Lokasi Penelitian Tenaga Kerja Pengelolahan Lahan Penanaman Penyiangan (Matun) Pemupukan II Pengendalian HPT Panen
3)
Satuan HOK HOK HOK HOK HOK HOK
Desa Sigedang 162 45 77 12 104 31
Desa Dieng 70 15 74 2 69 15
Penyiangan Pada lokasi penelitian kegiatan penyiangan disebut matun oleh para petani
setempat. Matun merupakan kegiatan membumbun tanah atau menimbun bedengan tempat kentang ditanam dengan tanah, dan menyiangi gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Bagi petani yang menggunakan mulsa, kegiatan matun hanya dilakukan sekali selama satu musim tanam, dan biasanya dilakukan pada saat tanaman memasuki hari ke 30 – 40 hari. Sedangkan petani yang tidak menggunakan mulsa, kegiatan matun dilakukan sebanyak 2 kali. Penyiangan dilakukan dengan metode pengerjaan yang sederhana, yakni menggunakan cangkul. Untuk penyiangan rata-rata HOK yang dibutuhkan di Desa Sigedang yakni 77 HOK per hektar dan Desa Dieng sebesar 74 HOK per hektar (Tabel 17).
Untuk penyiraman tanaman kentang, pada umumnya kentang disiram sejak umur 15 hari hingga kentang dapat dipanen, namun pada penelitian ini musim sebelumnya memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga tanaman kentang tidak disiram seperti pada musim kemarau. 4)
Pemupukan dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Pemupukan kentang di lokasi penelitian pada umumnya dilakukan
sebanyak dua kali, yakni pada saat pengolahan yang merupakan pemberian pupuk dasar, dan pemupukan kedua biasanya dilakukan berbarengan pada saat matun. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian hanya sekitar 14,04 persen yang melakukan pemupukan kedua dan selebihnya 85,96 persen petani melakukan pemupukan pada saat pengolahan lahan. Kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan oleh kedua desa. Pada saat musim hujan, pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan hingga 14 – 25 kali penyemprotan dalam satu musim tanam. Sedangkan penyemprotan pada saat musim kemarau hanya 5 – 13 kali penyemprotan dalam satu musim tanam. Hal ini dikarenakan hama dan penyakit kentang lebih banyak muncul ketika musim hujan dibandingkan pada saat musim kemarau. Hama yang sering muncul menyerang tanaman kentang antara lain yakni hama trip, kutu daun, lalat, ulat, cacing emas. Pengendaliannya dilakukan dengan penyemprotan obat kimia seperti Agrimac, Demolish, Marshal, Bazooka, dan Buldok. Sedangkan untuk penyakit yang muncul berupa busuk daun yang disebabkan bakteri Phytopthora, layu daun disebabkan oleh bakteri Pseudomonas, dan busuk umbi. Pencegahan yang dilakukan petani dilakukan dengan menyemprotkan fungisida seperti Acrobat, Wendri, dan Ditane. Obat-obatan ini diperoleh petani dengan membeli di kios obat yang ada di desa masing-masing. Bentuk obat-obatan ini ada yang berupa serbuk dan cair. Penggunaan jenis obatnya setiap musim tidak sama, tergantung keadaan dan kondisi kentang yang ditanam, dengan kata lain perlakuan pemberian jenis obat tergantung kondisi tanaman pada saat itu. Penggunaan tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit pada usahatani kentang di Desa Sigedang sebesar 104 HOK per hektar, sedangkan pada pengusahaan kentang di Desa Dieng sebesar 69 HOK per hektar (Tabel 17).
5)
Penen Kentang pada umumnya dipanen ketika mencapai umur 100 – 120 hari.
Kentang yang siap panen biasanya memiliki ciri fisik warna daun dan batang yang mulai menguning. Kegiatan panen dilakukan bersamaan dengan penyortiran kentang berdasarkan ukuran besar (A), sedang (B), dan kecil (C). Selain penyortiran ukuran atau grade dilakukan juga penyeleksian kentang yang akan digunakan untuk bahan bibit musim berikutnya. Desa Sigedang memiliki rata-rata produksi kentang sebanyak 9.347 kilogram per hektar dengan harga rata-rata sebesar Rp 4.148,15 per kilogram. Sedangkan rata-rata produksi yang dimiliki Desa Dieng sebanyak 4.325 kilogram per hektar dengan harga rata-rata sebesar Rp 4.471,67 per kilogram. Berdasarkan harga dan jumlah produksi kentang tersebut diperoleh rata-rata pendapatan hasil panen di Desa Sigedang mencapai Rp 15.732.235,94 per hektar sedangkan pendapatan di Desa Dieng mencapai Rp 10.418.938,33 per hektar. Tingkat pendapatan yang diterima petani sedikit menyimpang dari seharusnya, Gunandi (1997) dalam Susmayasanti (2003) bahwa produktivitas kentang meningkat dengan semakin tingginya lokasi, namun di lokasi penelitian hasil yang diperoleh justru sebaliknya. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, tingginya tingkat curah hujan membuat petani di Desa Dieng cenderung menghindari risiko patah daun dan batang tanaman, serta banyaknya hama penyakit yang muncul, dengan mengurangi jumlah tanaman kentang yang ditanam. Selain itu di daerah yang ketinggiannya mencapai lebih dari 2000 dpl (di atas permukaan laut) suhu udara dapat mencapai nol derajat, faktor ini menyebabkan tanaman kentang tidak dapat bertahan pada saat suhu udara mencapai nol derajat. Kegiatan pemanenan biasanya akan dikerjakan dalam waktu sehari, jika lebih dari satu hari maka petani akan dibebani biaya tambahan untuk tenaga kerja. Selain itu, tenaga kerja dari dalam keluarga cenderung lebih banyak pada saat panen. Rata-rata tenaga kerja untuk panen yaitu sebanyak 31 HOK per hektar untuk Desa Sigedang dan 15 HOK per hektar untuk Desa Dieng (Tabel 17). Hasil penen ini kemudian langsung dijual kepada pengumpul yang datang ke lokasi penelitian. Harga jual kentang di tingkat petani juga masih berfluktuatif, selain tergantung dari kualitas kentang, jumlah kentang yang ditawarkan petani, petani
juga berlaku sebagi pricetaker. Sehingga petani tidak memiliki bergaining position untuk menentukan harga, dan menyebabkan petani tidak puas atau rugi dengan harga kentang yang tidak sesuai harapan mereka.
ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG
VI. 6.1
Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem
usahatani memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif dengan fokus penelitian, yaitu usahatani kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng. Kedua sistem usahatani ini adalah sistem usahatani pada musim penghujan. Alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi pada pada musim hujan yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Perhitungan dan uraian finansial dan sosial dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 10. Selanjutnya data yang diperoleh akan digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang menjadi indikator dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing kentang di Kecamatan Kejajar. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. PAM untuk Sistem Usahatani Kentang di Kecamatan Kejajar. Uraian Sigedang Privat Sosial Divergensi Dieng Privat Sosial Divergensi
Penerimaan (Rp/Hektar) 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49) 19.342.172,03 24.988.509,27 (5.646.337,24)
Biaya (Rp/Hektar) Faktor Input Tradable Domestik 1500 ≤ DPL ≤ 1800 2.317.073,35 35.179.935,25 2.424.556,72 39.286.335,36 (107.484,37) (4.106.400,11) DPL ≥ 2200 1.143.312,71 18.248.115,43 1.180.864,35 19.968.097,75 (37.551,64) (1.719.982,32)
Keuntungan (Rp/Hektar) 1.274.378,55 12.285.110,56 (11.010.732,01) (49.256,11) 3.839.547,17 (3.888.803,28)
Tabel 18 memperlihatkan hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk kedua sistem usahatani. Secara keseluruhan analisis privat dan eknomi di Desa Sigedang menguntungkan. Hal ini dikarenakan memiliki penerimaan privat dan sosial yang positif. Sedangkan di Desa Dieng, analisis privat dan sosialnya tidak menguntungkan secara finansial dan hanya menguntungkan secara ekonomi karena penerimaan privat yang dimiliki bernilai negatif, sedangkan penerimaan sosialnya bernilai positif.
Untuk memudahkan pembahasan maka hasil matriks PAM juga akan disajikan dalam tabel-tabel yang lebih sederhana untuk menjelaskan secara rinci pembahasan. Tabel-tabel pembahasan tersebut terdiri dari: indikator dayasaing yang dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif, sedangkan dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari dampak kebijakan output, dampak kebijakan input, dan dampak kebijakan input-output. 6.2
Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan
finansial usahatani. Analisis keunggulan kompetitif dari kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dapat dilihat dari Keuntungan Privat (KP) yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku di pasar (harga aktual), dan Rasio Biaya Privat (PCR) yang merupakan indikator yang menunjukkan bahwa komoditi yang dihasilkan efisien dalam menggunakan sumberdaya dan menguntungkan. Tabel 19 menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) di kedua sistem usahatani kentang. Keuntungan privat yang positif di Desa Sigedang menunjukkan bahwa petani yang menjalankan usahatani kentang memperoleh keuntungan diatas nol. Sebaliknya keuntungan privat di Desa Dieng yang negatif atau lebih kecil dari nol tersebut memiliki arti bahwa usahatani kentang yang dilakukan oleh petani mengalami kerugian. Tabel 19. Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar No 1. 2.
Uraian Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar)
Keuntungan Privat
PCR
1.274.378,55 (49.256,11)
0,97 1,00
Berdasarkan Tabel 19, keuntungan privat yang diperoleh dari usahatani kentang di Desa Sigedang sebesar Rp 1.274.378,55 per hektar. Artinya, bahwa keuntungan yang diterima petani dengan ada kebijakan pemerintah pada saat penelitian adalah sebesar Rp 1.274.378,55 per hektar. Penerimaan petani berdasarkan nilai rpivat lebih besar dari pengeluaran biaya input tradable dan
input domestik. Sedangkan keuntungan privat yang diperoleh petani di Desa Dieng bernilai negatif atau kurang dari nol yakni
Rp 49.256,11 per hektar.
Dengan kata lain pengusahaan kentang di Desa Dieng merugikan petani sebesar Rp 49.256,11 per hektar. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan harga yang diterima oleh petani di kedua desa. Disisi lain adanya perbedaan dalam penggunaan bibit kentang dan perbedaan perlakuan dalam pemeliharaan tanaman kentang di lokasi penelitian juga mempengaruhi besarnya penerimaan atau keuntungan yang diperoleh petani. Perbedaan dalam penggunaan bibit akan berpengaruh terhadap produksi kentang pada saat panen, dan perlakuan dalam pemeliharaan tanaman akan berpengaruh terhadap nilai biaya-biaya yang dikeluarkan biaya tradable dan faktor domestik. Keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) yang merupakan indikator bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi dalam usahatani kentang. Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Nilai aktual PCR di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masingmasing sebesar 0,97 dan 1,00. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambahan output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0,97 dan 1,00. Namun untuk usahatani kentang di Desa Dieng tidak layak secara finansial karena nilai PCR yang dimiliki sama dengan satu. Nilai PCR di Desa Sigedang yakni 0,97 lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR di Desa Dieng yakni 1,00, ini menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di Desa Sigedang lebih efisien dan memiliki keunggulan kompetitif. Namun nilai PCR di kedua desa yang mendekati satu dan bernilai satu menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan relatif tidak efisien. Hal ini
disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kentang, terutama dalam biaya pupuk, peralatan, dan tenaga kerja. 6.3
Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan
secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Analisis keunggulan komparatif dapat dilihat menggunakan nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) yang merupakan indikator dayasaing tanpa bantuan pemerintah. Perbedaan analisis Keuntungan Sosial (KS) dengan Keuntungan Privat (KP) yakni komponen input dan output dalam Keuntungan Sosial (KS) dinilai menggunakan harga bayangan. Tabel 19 menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya (DRC) di kedua sistem usahatani kentang. Tabel 20. Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar No 1. 2.
Uraian Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar) Berdasarkan
Tabel
20,
nilai
Keuntungan Sosial
DRC
12.285.110,56 3.839.547,17
0,76 0,84
keuntungan
sosial
menggambarkan
keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna. Nilai keuntungan sosial (KS) di Desa Sigedang dan Desa Dieng masing-masing sebesar Rp 12.285.110,56 per hektar dan Rp 3.839.547,17 per hektar. Nilai KS yang positif atau lebih dari nol tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di lokasi penelitian menguntungkan secara ekonomi tanpa adanya campur tangan dari kebijakan pemerintah. Perbedaan nilai KS di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan masing-masing petani di lokasi penelitian, terutama biaya penggunaan pupuk, obat-obatan dan penggunaan tenaga kerja (besarnya penerimaan dan pengeluaran setiap desa dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 10).
Nilai KS di Desa Sigedang lebih besar daripada Desa Dieng, dikarenakan produksi usahatani kentang yang berbeda. Perbedaan ini dikarenakan besarnya bibit kentang yang ditanam petani berbeda di kedua lokasi sehingga mempengaruhi hasil yang diterima petani ketika panen. Disisi lain harga sosial kentang berpengaruh terhadap besarnya keuntungan sosial yang diperoleh karena harga sosial kentang lebih besar daripada harga privatnya, sehingga keuntungan sosial yang diperoleh lebih besar. Berdasarkan infomasi yang telah disampaikan bahwa nilai keuntungan privat (KP) usahatani kentang di lokasi penelitian nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai keuntungan sosial (KS). Hal ini disebabkan karena harga sosial kentang lebih tinggi daripada harga privatnya. Artinya, kebijakan pemerintah yang ditetapkan pemerintah saat ini seperti kebijakan tarif impor belum mampu meningkatkan keuntungan pengusahaan kentang. Selain dari Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif kentang juga dapat diketahui dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DCR). Rasio Biaya Sumberdaya Domestik merupakan rasio antara biaya non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga bayangan atau harga sosial. Nilai DRC yang diperoleh dari pengusahaan kentang di Desa Sigedang sebesar 0,76 dan di Desa Dieng sebesar 0,84. Nilai DRC yang masing-masing kurang dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di lokasi penelitian efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif tanpa ada bantuan atau intervensi pemerintah. Nilai DRC di Desa Sigedang sebesar 0,76 lebih kecil daripada nilai DRC di Desa Dieng yakni sebesar 0,84. Nilai sebesar 0,76 menjelaskan bahwa untuk memproduksi atau menambah nilai tambah output sebesar satu satuan di Desa Sigedang dibutuhkan tambahan sumberdaya domestik sebesar 0,76. Sedangkan nilai 0,84 di Desa Dieng meskipun efisien karena nilainya kurang dari nol, namun bila dibandingkan keunggulan komparatif yang dimiliki tidak sebesar Desa Sigedang. Dengan kata lain, biaya produksi yang dikeluarkan petani di Desa Dieng lebih besar dibandingkan dengan Desa Sigedang. Nilai DRC yang kurang dari satu menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditas kentang mengindikasikan lebih baik
diproduksi di dalam negeri daripada harus mengimpor kentang. Namun kenyataan yang terjadi impor kentang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak terkait agar kentang lokal dapat mensubtitusi kentang impor, seperti peningkatan produksi kentang dan kebijakan pemerintah yang mendukung pengusahaan kentang. Nilai DRC yang lebih kecil dari nilai PCR memiliki arti bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi petani dalam memproduksi kentang. Beberapa hal yang menjadi penyebab diantaranya kebijakan subsidi pupuk yang merugikan petani karena harga pupuk yang beredar di pasar lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu adanya kebijakan melalui peraturan menteri keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang kenaikan pajak impor sebesar lima persen atas bahan baku produksi pertanian seperti pupuk, bibit, dan obat-obatan menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani menjadi lebih tinggi. Dilihat dari perbedaan antara keuntungan privat dan keuntungan sosial dan nilai DRC yang lebih kecil daripada nilai PCR yang diperoleh petani di kedua sistem usahatani dapat disimpulkan bahwa keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah dari keuntungan sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa harga input yang dibayarkan petani lebih tinggi atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya adanya pengaruh pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik bagi petani kentang sehingga keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah daripada keuntungan sosialnya terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. Adanya distorsi pasar dapat dilihat kebijakan penurunan tarif impor menjadi nol persen yang menyebabkan konsumen yang cenderung membeli kentang impor karena harganya lebih murah, selain itu dampak yang muncul yakni harga kentang akan turun karena untuk dapat bersaing produsen harus menurunkan harga kentang. 6.4
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
6.4.1
Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer
Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Transfer Output (TO) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial.
Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Koefisien Output Nominal (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya berbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor/impor. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usahatani kentang di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NO
1. 2.
Uraian
Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar)
Transfer Output (15.224.615,49) (5.646.337,25)
NPCO
0,72 0,77
Berdasarkan Tabel 21, nilai transfer output (TO) yang negatif menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat output kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Hal ini berarti bahwa konsumen atau masyarakat dapat membeli produk kentang dengan harga yang lebih murah dari harga sebenarnya. Berdasarkan nilai TO, kerugian terbesar dialami petani di Desa Sigedang yakni sebesar Rp 15.224.615,49 per hektar daripada kerugian yang dialami petani di Desa Dieng sebesar Rp 5.646.337,25 per hektar. Hal ini terjadi karena harga sosial kentang yang dihitung berdasarkan harga di pasar internasional lebih tinggi daripada harga kentang lokal. Disisi lain rendahnya harga kentang lokal membuat kentang lokal dapat bersaing dengan kentang impor, namun efeknya pendapatan dan keuntungan yang diperoleh petani akan berkurang. Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi besarnya Transfer Output. NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1), menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari harga dunia.
Berdasarkan Tabel 21, nilai NPCO kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing lebih kecil dari satu, yakni 0,71 dan 0,77. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan yang menyebabkan harga privat kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Nilai NPCO yang bernilai kurang dari satu juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk petani kentang belum berjalan efektif sehingga terjadi pegurangan penerimaan petani. Pada lokasi penelitian, baik Desa Sigedang maupun Desa Dieng tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah terhadap komoditas kentang. Hal ini dikarenakan komoditas kentang bukanlah komoditas pangan utama seperti beras. Rendahnya harga jual kentang yang diterima petani daripada harga bayangannya disebabkan karena petani menjual hasil panennya secara individual sehinggi tidak memiliki kekuatan tawar (bergaining position) dalam menntukan harga, sehingga penetapan harga jual kentang berdasarkan harga yang ditetapkan oleh tengkulak atau pembeli besar yang datang ke lokasi penelitian. 6.4.2
Dampak Kebijakan Input Interpretasi dampak kebijakan input adalah sama seperti dampak kebijakan
kebijakan output karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga privat dan harga sosial. Kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Tabel 22. Nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) NO
1. 2.
Uraian
Desa Sigedang Desa Dieng
Transfer Input
(Rp/hektar) (107.484,37) (37.551,64)
NPCI
TF (Rp/hektar)
0,96 0,97
(4.106.400,11) (1.719.982,32)
Nilai transfer input (TI) merupakan selisih biaya input tradable dengan biaya bayangannya. Nilai TI yang positif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah berupa pajak atau subsidi yang akan mengurangi tingkat keuntungan petani atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya nilai TI yang negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada harga input sehingga
menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi
lebih
rendah
daripada
tingkat
harga
sosialnya.
Hal
tersebut
mengisyaratkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen atau petani kentang. Berdasarkan Tabel 22, nilai TI masing-masing di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, sebesar Rp 107.484,37 per hektar dan Rp 37.551,64 per hektar. Hasil TI yang negatif mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi untuk mengurangi biaya input tradable menyebabkan petani kentang menerima harga yang lebih rendah daripada harga sosial. Seperti kebijakan penetapan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea dan non Urea. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) merupakan rasio yang mengukur transfer input tradable yang menunjukkan besarnya harga privat dari input tradable dengan harga sosial nput tradable. Nilai NPCI juga menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input tradable. Dengan kata lain menunjukkan bahwa biaya input tersebut lebih mahal daripada biaya input pada tingkat dunia, sehingga menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut dibebani pajak dan akan meningkatkan biaya produksi. Sebaliknya, bila nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) menunjukkan adanya subsidi atas input tersebut yang menyebabkan harga input tradable lebih rendah dari harga dunia. Nilai NPCI yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing sebesar 0,96 dan 0,97. Nilai NPCI yang bernilai kurang dari satu mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI bernilai kurang dari satu, namun nilai NPCI relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan. Seperti subsidi pupuk, dilapangan harga pupuk bersubsidi yang dijual lebih mahal dari harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah.
Selain input tradable, petani kentang juga menggunakan input non tradable (faktor domestik) seperti peralatan, biaya modal, lahan, dan input domestik lainnya. Nilai transfer faktor (TF) menunjukkan besarnya intervensi pemerintah terhadap input non tradable. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai TF pada pengusahaan kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga privat lebih rendah daripada biaya input non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi atau sosial. Artinya, ada implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada petani sehingga petani menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari harga sosialnya. Salah satu penyebab perbedaan biaya faktor domestik privat dengan biaya faktor domestik sosial yakni modal kerja. Modal kerja faktor domestik menggunakan tingkat suku bunga deposito lembaga keuangan dilokasi penelitian sebesar enam persen, namun asumsi yang digunakan dalam penentuan modal kerja sosial pada faktor domestik melalui arbitary rule of thumb (pendekatan kirakira), yaitu pengalaman peneliti lain untuk negara berkembang dengan tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia. Didasarkan pada pendekatan bahwa tingkat bunga sosial untuk modal kerja sekitar 15 persen per tahun ditambah dengan tingkat inflasi. Dengan tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2011 sebesar 3,8 persen18), diperoleh besarnya modal kerja sosial faktor produksi sebesar 18,80 persen. Perbedaan modal kerja privat dan sosial ini akan menyebabkan perbedaan biaya faktor domestik yang akan dikeluarkan. 6.4.3
Dampak Kebijakan Input-Ouput Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-ouput merupakan gabungan
dari kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Tebel 23 menyajikan nilai-nilai dari Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih
18
Bank Indonesia (www.bi.go.id)
(TB), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) di Kecamatan Kejajar. Tabel 23. Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) Uraian Desa Sigedang Desa Dieng
NT (Rp/hektar) (11.010.732,01) (3.888.803,28)
EPC 0,71 0,76
PC 0,10 -0,01
SRP -0,20 -0,16
Nilai Koefisien Protektif Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas di dalam negeri. Berdasarkan Tabel 23, nilai EPC disetiap desa masing-masing bernilai kurang dari satu, yakni Desa Sigedang sebesar 0,71 dan Desa Dieng sebesar 0,76. Nilai EPC kurang dari satu menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan atau proteksi pemerintah terhadap petani. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki nilai tambah untuk produknya dan harga privat cenderung lebih kecil daripada harga sosialnya. Transfer bersih (NT) menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap petani apakah merugikan atau menguntungkan. Transfer bersih ditujukkan dengan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial atau selisih antara transfer output dengan transfer input. Nilai NT di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar dan Rp 3.888.803,28 per hektar. Artinya, ada surplus produsen atau keuntungan petani yang hilang sebesar nilai transfer besih, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar untuk Desa Sigedang dan Rp 3.888.803,28 per hektar untuk Desa Dieng. Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan keuntungan bersih privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dari analisis PAM masing-masing adalah sebesar 0,1 dan -0,01. Artinya nilai 0,1 menunjukkan bahwa petani tidak mengalami kerugian yang besar, namun keuntungan yang diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Sedangkan nilai PC sebesar -0,01, berarti bahwa petani mengalami kerugian, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif
kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) merupakan indikator yang
menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan Tabel 23, nilai SRP di kedua desa bernilai negatif yakni sebesar 0,20 (Desa Sigedang) dan 0,16 (Desa Dieng). Nilai ini secara umum berarti kebijakan pemerintah terhadap input dan output merugikan petani, karena petani diharuskan membayar lebih tinggi dari biaya imbangannya (opportunity cost) untuk berproduksi sebesar 20 persen untuk Desa Sigedang dan 16 persen untuk Desa Dieng. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing kentang di Kabupaten Wonosobo. 6.5
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas diperlukan untuk mengetahui perubahan-perubahan
yang kemungkinan terjadi dalam sistem ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat analisis PAM merupakan analisis yang statis, yakni hanya memberlakukan satu tingkat harga berlaku pada tahun bersangkutan. Dalam penelitian ini terdapat empat perubahan variabel, yakni perubahan nilai mata uang, perubahan harga output, perubahan harga pestisida, dan perubahan harga pupuk. Hasil lengkap PAM berdasarkan analisis sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 24 dan Lampiran 12.
Tabel 24. Perubahan Nilai Keuntungan dan Indikator Dayasaing Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Kejajar. Perubahan Desa Sigedang Normal Depresiasi mata uang 5,2 persen Apresiasi mata uang 5,2 persen Harga kentang naik 15 persen Harga kentang turun 15 persen Harga pestisida naik (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga perstisida turun (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga pupuk naik (10 persen urea, 30 persen non urea) Desa Dieng Normal Depresiasi mata uang 5,2 persen Apresiasi mata uang 5,2 persen Harga kentang naik 15 persen Harga kentang turun 15 persen Harga pestisida naik(10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga perstisida turun (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga pupuk naik (10 persen urea, 30 persen non urea)
1)
Indikator PCR KP (Rp/hektar)
DRC
1.274.378,55
0,965
12.285.110,56
0,762
1.274.378,55
0,965
15.269.179,76
0,721
1.274.378,55 7.090.086,63 (4.541.329,52)
0,965 0,832 1,148
9.301.096,27 12.285.110,56 12.285.110,56
0,808 0,762 0,762
1.010.780,48
0,972
11.989.681,78
0,766
1.537.976,63
0,958
12.580.539,35
0,757
746.650,09
0,980
12.285.110,56
0,762
(49.256,11)
1,003
3.839.547,17
0,839
(49.256,11)
1,003
5.247.059,56
0,793
(49.256,11) 2.852.069,69 (2.950.581,92)
1,00 0,865 1,193
2.432.060,67 3.839.547,17 3.839.547,17
0,840 0,839 0,839
(171.388,29)
1,009
3.702.666,95
0,844
72.876,06
0,996
3.976.427,38
0,834
(109.472,95)
1,006
3.839.547,17
0,839
KP (Rp/hektar)
Perubahan Nilai Mata Uang Perubahan nilai mata uang didasarkan pada perkembangan nilai mata uang
rupiah terhadap dollar pada tahun 2011 sebesar 5,2 persen, cateris paribus. Perubahan nilai mata uang hanya berpengaruh terhadap harga sosial kentang dan harga sosial pupuk. Apabila nilai mata uang turun (terapresiasi) maka terjadi penurunan keunggulan komparatif. Artinya, terjadi penurunan penerimaan yang seharusnya diterima petani dikarenakan turunnya harga kentang sosial meskipun disaat bersamaan terjadi penurunan biaya input tradable sosial. Terapresiasinya nilai mata uang tidak berpengaruh terhadap keuntungan privat usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 24, besarnya keuntungan sosial yang dimiliki Desa Sigedang
mengalami penurunan sebesar diantara Rp 9.301.096,27 per hektar - Rp 12.285.110,56 per hektar. Sedangkan Desa Dieng mengalami penurunan sebesar Rp 2.432.060,67 per hektar – Rp 3.839.547,17 per hektar. Dengan demikian, terapresiasinya nilai mata uang tidak mempengaruhi keunggulan kompetitif, namun menurunkan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Sebaliknya, keunggulan komparatif akan meningkat jika mata uang terdepresiasi. Keuntungan sosial yang dimiliki kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing meningkat menjadi Rp 15.269.179,76 per hektar dan Rp 5.247.059,56 per hektar. Artinya, terjadi peningkatan penerimaan petani secara ekonomi dikarenakan harga kentang meningkat. Perubahan nilai keuntungan dan indikator dayasaing berdasarkan analisis sensitivitas pada usahatani kentang dapat dilihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, pada Tabel 24 nilai DRC dikedua desa mengalami peningkatan jika nilai mata uang terapresiasi, yakni 0,808 untuk Desa Sigedang dan 0,840 untuk Desa Dieng. Artinya, untuk menambah nilai tambah output sebesar satu satuan dibutuhkan tambahan sumberdaya domestik sebesar 0,808 (Desa Sigedang) dan 0,840 (Desa Dieng). Sebaliknya, nilai DRC akan semakin kecil apabila mata uang terdepresiasi, yakni 0,721 untuk Desa Sigedang dan 0,793 untuk Desa Dieng. Dengan kata lain, tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya domestik meningkat apabila mata uang terdepresiasi. 2)
Perubahan Harga Output Kentang tergolong salah satu tanaman musiman, sehingga harga jual di
pasar juga sering berfluktuatif. Untuk mengetahui kepekaan perubahan keuntungan privat dan sosial, nilai output kentang akan ditingkatkan dan diturunkan sebesar 15 persen, cateris paribus. Berdasarkan Tabel 24 peningkatan harga kentang akan meningkatkan keuntungan privat yang diterima oleh petani dikedua desa, yakni sebesar Rp 7.090.086,63 per hektar (Desa Sigedang) dan Rp 2.852.069,69 per hektar (Desa Dieng). Artinya, terjadi peningkatan harga jual kentang yang meningkatkan keuntungan petani secara finansial. Sebaliknya jika terjadi penurunan harga kentang maka keuntungan privat yang diterima petani akan menurun atau bernilai negatif. Nilai KP untuk Desa Sigedang menjadi
sebesar Rp 4.541.329,52 per hektar dan untuk Desa Dieng sebesar Rp 2.950.581,92 per hektar. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, kenaikan harga kentang akan meningkatkan keunggulan kompetitif usahatani kentang di kedua desa. Hal ini terlihat dari nilai PCR yang diperoleh kedua desa menjadi lebih kecil, yakni 0,832 untuk Desa Sigedang dan 0,865 untuk Desa Dieng. Artinya penggunaan sumberdaya domestik menjadi lebih sedikit (efisien) untuk menambah nilai tambah output sebesar satu satuan. Sebaliknya penurunan harga kentang menyebabkan usahatani di kedua desa tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini tercermin dari nilai PCR yang lebih besar dari satu, yakni 1,148 (Desa Sigedang) dan 1,193 (Desa Dieng). Artinya penggunaan faktor sumberdaya menjadi tidak efektif sehingga petani harus mengeluarkan biaya produksi lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh. 3)
Perubahan Harga Pestisida Analisis sensitivitas yang ketiga adalah melihat kepekaan perubahan
Keuntungan Privat (KP) dan Keuntungan Sosial (KS) usahatani kentang dengan melakukan perubahan terhadap harga pestisida. Perubahan harga pestisida sebesar 15 persen untuk jenis pestisida cair dan 10 persen untuk jenis pestisida padat, cateris paribus. Perubahan harga pestisida menunjukkan adanya perubahan terhadap keuntungan privat (KP) dan keuntungan sosial (KS) dari pengusahaan kentang di kedua desa. Kenaikan harga pestisida pada pengusahaan kentang di kedua desa menyebabkan keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diperoleh menurun. Nilai KP yang diperoleh di Desa Sigedang menjadi sebesar Rp 1.010.780,48 per hektar, namun di Desa Dieng nilai KP bernilai negatif, yakni sebesar Rp 171.388,29 per hektar. Hal ini berarti jika ada kenaikan harga pestisida akan menurunkan keunggulan kompetitif usahatani kentang di kedua desa karena biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih besar daripada penerimaan yang diterima petani. Hal ini terlihat dari nilai PCR yang dimiliki kedua desa menjadi lebih besar, yakni 0,972 untuk Desa Sigedang dan 1,009 untuk Desa Dieng. Artinya dibutuhkan tambahan biaya faktor sumberdaya domestik yang lebih besar untuk meningkatkan nilai tambah output.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada keuntungan sosial, dimana nilai KS yang dimiliki kedua desa juga mengalami penurunan, yakni Rp 11.989.681,78 per hektar (Desa Sigedang) dan Rp 3.702.666,95 per hektar (Desa Dieng). Hal ini berarti terjadi penambahan pengeluaran biaya produksi pada tingkat harga sosial dan penurunan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Hal ini tercermin dari nilai DRC sebesar 0,766 untuk Desa Sigedang dan 0,844 untuk Desa Dieng. Sebaliknya, jika harga kentang mengalami penurunan maka keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diperoleh akan bertambah. Nilai KP di Desa Sigedang sebesar Rp 1.537.976,63 per hektar dan Desa Dieng sebesar Rp 72.876,06 per hektar. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh petani meningkat karena biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif yang dimiliki kedua usahatani kentang mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR yang dimiliki kedua desa, yakni 0,958 untuk Desa Sigedang dan 0,996 untuk Desa Dieng. Nilai
keuntungan
sosial
berdasarkan
hasil
analisis
sensitivitas
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai KS jika terjadi penurunan harga pestisida, yakni Rp 12.580.539,35 per hektar dan Rp 3.976.427,38 per hektar. Hal ini dikarenakan biaya input yang dikeluarkan petani menjadi lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh, sehingga meningkatkan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Hal ini didukung nilai DRC yang menurun menjadi 0,762 (Desa Sigedang) dan 0,834 (Desa Dieng). (Nilai keuntungan privat dan sosial, serta indikator dayasaing dapat dilihat pada Tabel 24). 4)
Perubahan Harga Pupuk Kenaikan harga pupuk didasarkan pada peraturan menteri pertanian No
32/2010 bahwa kenaikan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea sebesar 10 persen, dan pupuk non-Urea rata-rata sebesar 30 persen, cateris paribus. Kenaikan harga pupuk hanya akan menyebabkan perubahan nilai pada Keuntungan Privat. Peningkatan harga pupuk menyebabkan nilai keuntungan privat menurun di kedua desa. Nilai KP di Desa Sigedang sebesar Rp 746.650,09 per hektar, sedangkan nilai KP di Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 109.472,95 per hektar. Hal ini berarti biaya input yang dikeluarkan petani akan
bertambah tanpa diimbangi dengan kenaikan harga output yang menyebabkan penerimaan petani berkurang bahkan mengalami kerugian. Hal ini didukung dengan nilai PCR di kedua desa yang menigkat menjadi 0,980 untuk Desa Sigedang dan 1,006 untuk Desa Dieng. Dengan kata lain kenaikan harga pupuk hanya akan membuat keunggulan kompetitif kedua usahatani akan berkurang.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1.
Pengusahaan kentang di Kecamatan Kejajar dengan sistem usahatani di ketinggian 1500 – 1800 dpl memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dan dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) kurang dari satu (PCR, DRC < 1). Namun, pada ketinggian lebih dari 2200 dpl hanya memiliki keunggulan komparatif tanpa memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini dikarenakan nilai DRC kurang dari satu dan nilai PCR yang dimiliki sama dengan satu (DRC<1; PCR≥1)
2.
Kebijakan pemerintah yang dibuat untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan komparatif kentang di Kecamatan Kejajar tidak sepenuhnya menguntungkan petani. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) kedua sistem usahatani masih lebih kecil daripada satu (NPCI<1).
3.
Perubahan variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga kentang, harga pestisida, dan harga pupuk bersubsidi memberikan pengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif pada kedua sistem usahatani. Terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika, harga output kentang naik, harga pestisida menurun, dan harga pupuk mengalami penurunan, memiliki dampak positif terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif kedua sistem usahatani. Sebaliknya jika nilai mata uang terapresiasi, harga output kentang turun, harga pestisida dan harga pupuk naik, maka akan menyebabkan keunggulan komparatif dan kompetitif kedua sistem usahatani menurun.
7.2
Saran Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, maka dicoba merumuskan
beberapa kebijakan yang relevan untuk dipertimbangkan bagi pengembangan komoditas kentang di lokasi penelitian:
1.
Kebijakan untuk mengantisipasi kegagalan pasar, baik input atau output. Seperti meninjau kembali kebijakan subsidi pupuk karena dinilai tidak efektif dan merugikan petani. Meskipun pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi, namun petani masih harus membayar lebih tinggi dari harga eceran yang ditetapkan. Menetapkan kebijakan subsidi pupuk harus diimbangi dengan perbaikan struktur pasar yang menyebabkan tingginya biaya transportasi. Perbaikan struktur pasar dapat berupa mengaktifkan kembali subterminal agribisnis, pasar, dan menghapuskan pungli (pungutan liar) yang membebani produsen kentang.
2.
Kebijakan
insentif
pemberdayaan
kelembagaan
pertanian,
seperti
kelompok tani, koperasi, dan kemitraan agar petani dapat meningkatkan posisi tawarnya (bergaining position).
DAFTAR PUSTAKA Andrawati, Arini Ungki.2011. Efisinesi Teknis Usahatani Kentang dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara.[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Arsanti dkk. 2001. Analisis Dayasaing Pola Tanam Komoditas Sayuran Utama di DAS Serayu Bagian Hulu Kabupaten Wonosobo. Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Babiker, et.al .2011. Sudanese Live Sheep and Mutton Export Competitiveness. Journal of The Saudi Society of Agricultural Sciences 10 : 25 - 32 Bank Indonesia. 2011. Kurs Nilai Tukar Tahun 2011. www.bi.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011a. Statistk Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan. Jakarta : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011b. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor). Jakarta : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011c. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Impor). Jakarta : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011d. Statistik Hortikultura (Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang, Tahun 2009-2010). Jakarta : Badan Pusat Statistik Daryanto, Arif. 2009. Posisi Dayasaing Pertanian Indonesia Dan Upaya Peningkatannya. Di dalam Seminar Nasional :Peningkatan Dayasaing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor, 14 Oktober 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Dewanata, Okky Pandu. 2011. Analisis Dayasaing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo.2011. Luas Tanam, Panan dan Produksi Tanaman Sayuran (SBS) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo tahun 2010. Wonosobo : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo.
Direktorat Jendral Holtikultura.2008.Membangun Holtikultura Berdasarkan Enam Pilar Pengembangan. http ://www.holtikulturadeptan.go.id [17 November 2011] Fadillah, Achmad.2011. Analisis Dayasaing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap Kabupaten Sukabumi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Falatehan, A Faroby. 2012. Alternatif Kebijakan Subsidi Padi Yang Komprehensif Serta Pengalaman Kebijakan Subsidi Padi Malaysia. Di dalam Refleksi Pangan Rakyat : Soal Hidup atau Mati 60 Tahun Kemudian. Prosiding Stadium General dan Seminar Mahasiswa; Bogor 26 April 2012. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Feryanto.2010. Analsis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Susu Sapi Lokal di Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor. Gitinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian Edisi 1986 (Terjemahan). UI-Press. Jakarta Hakim, Muhammad Lukman.2002. Analisis Pendapatan dan Risiko dalam Diversifikasi Usaha Agribisnis Kentang, Kasus pada PD Hikmah, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Haris, Al. 2007. Pengembangan Usaha Benih Kentang Bersertifikat di Harry Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Imamudin. 2003. Analisis Strategi Perusahaan dan Pemasaran Bibit Kentang PT Dafa Teknoagro Mandiri. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kementrian Pertanian.2009. Rancangan Rencana Strategis kementrian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta : Kementrian Pertanian Kuntjoro, A. S. 2000. Produksi Umbi Mini Kentang G0 Bebas Virus melalui Perbanyakan Planlet secara Kultur Jaringan di PT. Intidaya Agrolestari (Inagro) Bogor – Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Mantau. Zulkifli, Bahtiar, Aryanto. 2009. Analisis Dayasaing Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Dalam Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian, mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara.
Molua. L Ernest. 2005. The Economic of Tropical Agroforesty System: The Case of Agroforesty Farm in Cameroon. Foresty Policy and Economic 7 : 199 – 211. Monke, E.A. and S.R. Pearson.1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University, Ithaca. Nurmalina et.al. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Oguntade, Adegboyega. 2011. Assessment Of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria.. Jurnal Departement of Agricultural and Extension, Federal University of Technology, Akure, Nigeria. Vol 11 (2). Pearson, et.al.2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pusdatin. 2009. Kinerja Perdagangan Kentang. Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1:1-35-56. Jakarta : Pusdatin Puspitasari, Eka. 2011. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Permerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sailah, Illah.1999. Laporan Akhir : Kajian Pasar Kentang. Canadian Coorperative Association with Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Salvaltore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Kelima. Prentice Hall – Erlangga. Saptana, dkk. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo Jawa Tengah. Soca 3 (1) : 83 -98. Siggel, Eckhard. 2003. Consepts and Measurements of Competitiveness and Comparative Adventage Toward an Integrated Approach. (www.iso.neu.edu/lloo2003/paper/siggel.doc). Sunaryono, H Hendro.2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. Jakarta :Agromedia. Susmayasanti, Linda Ari. 2003. Penentuan Ukuran Rumpun Optimum Untuk Menduga produktivitas Tanaman Kentang. [Skripsi]. Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Utami, Rahma Gina. 2011. Penanganan Budidaya Kentang (Solanum tuberosum L.) di Hikmah Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat.[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wignaraja, G.2000. Competitiveness in a Rapidly Globalizing Economy :Lessons of Experience. (www.ilo.org/dyn/empent/docs/F111pub78.htm) Wattimena, G. A. 2000. Pengembangan Propagul Kentang Bermutu dan Kultivar Kentang Unggul dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kentang di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. World Bank, 2005. Moldova Agricultural Policy Notes : Agricultural Market. Europe and Central Asia Region Environmentally and Socially Sustainable Development. The World Bank. Yao, Shujie. 1997. Rice Production in Thailand seen Through a Policy Analysis Matrix. Food Policy. Vol 22 (6) : 547 - 560
LAMPIRAN
Lampiran 1. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Sayur dan Buah Semusim (SBS) di Kabupaten WonosoboTahun 2010 No
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah Bawang Putih Bawang Daun Kentang Kubis Kembang Kol Petsai/Sawi Wortel Lobak Kacang Merah Kacang Panjang Cabe Besar Cabe Rawit Paprika Jamur Tomat Terung Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam Melon Semangka Blewah Stoberi
Luas Panen (ha/bulan) Jan
Feb
Mar
Aprl
Mei
Jun
Jul
0 9 214 227 238 7 85 25 0 21 12 54 322 0 0 42 20 48 3 25 0 0 0 0 0 0
0 12 175 228 291 6 64 15 0 42 9 80 287 0 0 40 23 49 5 11 1 0 0 0 0 0
0 9 227 172 391 9 77 43 1 26 6 40 352 0 0 49 23 44 1 22 1 0 0 0 0 0
0 0 211 310 214 9 49 21 0 49 7 75 122 0 0 31 17 70 2 33 0 1 0 0 0 246
0 1 233 199 286 10 54 14 0 27 5 43 55 0 0 26 4 37 2 12 1 4 0 0 0 0
0 15 188 232 263 15 83 47 0 57 11 64 54 0 0 55 12 30 6 30 0 0 0 1 0 0
0 15 242 321 335 9 66 37 0 237 12 60 50 0 0 49 23 49 2 15 0 0 0 0 0 0
Agst
Sep
Okt
0 3 188 264 269 23 69 19 0 59 6 67 57 0 0 53 17 32 4 9 0 0 0 0 0 0
1 3 201 297 278 29 78 27 0 98 8 77 71 0 0 53 6 65 7 12 0 0 0 2 0 0
1 8 215 274 286 8 57 38 0 99 8 90 124 0 0 49 24 71 7 72 0 1 0 0 0 0
Nov 0 0 241 282 327 12 75 44 1 41 8 77 73 0 50 51 16 47 4 14 0 0 0 0 0 0
Des 0 0 156 381 268 8 54 24 0 78 15 171 469 0 358 153 43 103 8 129 3 2 0 0 0 0
Jumlah Satu Tahun 2 75 2491 3187 3446 145 811 354 2 834 107 898 2036 0 408 651 228 645 51 384 6 8 0 3 0 246
Produktivitas Ton/Ha 3,50 5,31 11,59 15,11 17,40 13,77 10,30 14,79 4,50 4,05 3,96 7,33 3,44 0,00 1,47 14,42 10,01 10,06 11,38 17,21 10,40 3,19 0,00 14,47 0,00 0,00
Produksi Ton /Ha 7 397,95 28868,199 48165,131 59960,4 1996,36 8349,245 5234,952 9 3376,032 423,185 6579,646 6993,66 0 599,76 9384,816 2282,052 6488,055 580,584 6608,9472 62,4 25,504 0 43,401 0 0,246
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo, 2011
120
Lampiran 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Sayuran Kabupaten Wonosobo Tahun 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bawang Merah Kentang L.Panen Protas Produksi L.Panen Protas Produksi (Ha) (Ton/Ha) (Ton) (Ha) (Ton/Ha) (Ton) Wadaslintang 0 0 0 0 0 0 Kepil 0 0 0 7 12,843 89,901 Sapuran 0 0 0 26 140,54 3654,04 Kaliwiro 0 0 0 0 0 0 Leksono 0 0 0 0 0 0 Sukoharjo 0 0 0 0 0 0 Selomerto 0 0 0 0 0 0 Kalikajar 2 3,5 7 115 15,117 1738,455 Kertek 0 0 0 0 0 0 Wonosobo 0 0 0 0 0 0 Watumalang 0 0 0 0 0 0 Mojotengah 0 0 0 0 0 0 Garung 0 0 0 344 15,3 5263,2 Kejajar 0 0 0 2695 15,105 40707,975 Kalibawang 0 0 0 0 0 0 Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo, 2011 Kecamatan
L.Panen (Ha) 0 16 179 0 0 0 0 321 194 26 63 99 461 2086 0
Kubis Protas (Ton/Ha) 0 173 17,463 0 0 0 0 17,404 17,448 17,404 17,443 173,31 17,463 17,387 0
Produksi (Ton) 0 2768 3125,877 0 0 0 0 5586,684 3384,912 452,504 1098,909 17157,69 8050,443 36269,282 0
L.Panen (Ha) 8 31 98 15 42 16 53 208 23 53 36 99 177 24 15
Cabai Protas (Ton/Ha) 7,063 6,935 7,047 6,773 7,321 7,225 7,574 7,004 8,413 7,494 7,661 8,646 6,983 7,363 6,633
Produksi (Ton) 56,504 214,985 690,606 101,595 307,482 115,6 401,422 1456,832 193,499 397,182 275,796 855,954 1235,991 176,712 99,495
L.Panen (Ha) 0 0 0 0 0 0 0 59 24 0 0 0 196 75 0
Wortel Protas (Ton/Ha) 0 0 0 0 0 0 0 14,831 14,792 0 0 0 14,762 14,82 0
121
Produksi (Ton) 0 0 0 0 0 0 0 875,029 355,008 0 0 0 2893,352 1111,5 0
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun 2011 (Rp/ US $) 8.992,38 8.868,00 8.717,48 8.608,30 8.512,80 8.251,00 8.490,29 8.489,21 8.712,55 8.850,81 8.970,14 9.043,19 8.708,85
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember rata-rata
Sumber : Bank Indonesia,2011
Konversi Ekspor dan Impor Dalam Mata Uang Rupiah Tahun US$ Rp Ekspor $ 169.183.462.558,00 Rp 1.473.392.692.967.140,00 Impor $ 145.566.088.326,00 Rp 1.267.712.621.792.520,00
Nilai Tukar Bayangan (SER) Xt Mt Txt tmt SCF OER SER
Rp 1.473.392.692.967.140,00 Rp 1.267.712.621.792.520,00 Rp 28.270.000.000.000,00 Rp 24.680.000.000.000,00 1,001311408 Rp 8.708,85 Rp 8.697,44
122
Lampiran 4. Perhitungan Harga Bayangan Kentang di Kecamatan Kejajar (Output). FOB Kentang di China (US$/Ton)1) Freight and Insurance (US$/Ton)2) Harga CIF Indonesia (US$/Ton) Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) Harga CIF dalam mata uang domestik (Rp/Ton) Harga CIF (Rp/Kg) Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg)3) a. Pelabuhan - Provinsi (Rp/Kg) b. Penanganan (Bongkar Muat) (Rp/Kg) 8 Harga Paritas Ekspor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) 9 Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg)4) a. Provinsi - Desa (Rp/Kg) 10 Keuntungan Supplier (Rp/Kg) 11 Harga Paritas Ekspor tingkat Petani (Rp/Kg) 1 2 3 4 5 6 7
700,00 70,00 770,00 8.697,44 6.697.028,75 6.697,03 60,00 60,00 6.577,03 300,00 500,00 5.777,03
Sumber : 1)
Gaomi Youming Primary Product Co., Ltd. 2011 Fresh Chinese Potato (Kentang) www.alibaba.com/product-gs/417797731/Chinese_fresh_potato_kentang_.html
2)
10% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Asia Non-Asean (Dirjen Pajak)
3)
Mengacu pada perhitungan harga paritas kakao dalam Dewanata (2011)
4)
Pedagang Pengumpul Lokal (2012)
Keterangan : Harga Paritas Ekspor tingkat Petani = (( FOB Negara Pengekspor + Freight and Insurance) x Nilai Tukar Bayangan )) - Transportasi dan Handling Eksportir – Biaya distribusi ke Tingkat Petani – Keuntungan Supplier.
Lampiran 5. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Anorganik di Kecamatan Kejajar. No. 1 2 3 4 5 6 7
8 9
11
Keterangan FOB (US$/Ton) 1) Freight and Insurance (US$/Ton)2) Harga CIF Indonesia (US$/Ton) Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) Harga CIF dalam mata uang domestik (Rp/Ton) Harga CIF (Rp/Kg) Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg)3) a. Pelabuhan - Provinsi (Rp/Kg) b. Penanganan (Bongkar Muat) (Rp/Kg) Harga Paritas Impor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg)4) a. Provinsi - Kabupaten (Rp/Kg) b. Kabupaten - Desa (Rp/Kg) c. Penyalur/KUD (Rp/Kg) d. Pengecer/KUD (Rp/Kg) Harga Paritas Ekspor tingkat Petani (Rp/Kg)
Urea 420,96 63,14 484,10 8.697,44 4.210.469,63 4.210,47 70,00 19,00 4.121,47 81,25 81,25 3,75 10,13 3.945,09
Sumber : 1)
World Bank, Commodity Price Data (2011)
2)
10% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Asia Non-Asean (Dirjen Pajak) 15% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Afrika (Dirjen Pajak)
3)
Mengacu pada perhitungan harga paritas kakao dalam Dewanata (2011)
4)
SK Menteri Keuangan RI Nomor 328/KMK.01/1998 dan SK Menteri Keuangan RI Nomor 362/KMK.01/1998
Keterangan: Harga Paritas Ekspor tingkat Petani = (( FOB Negara Pengekspor + Freight and Insurance) x Nilai Tukar Bayangan )) - Transportasi dan Handling Eksportir – Biaya distribusi ke Tingkat Petani
124
Lanjutan Lampiran 5. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Anorganik di Kecamatan Kejajar. No. 1 2 3 4 5 6 7
8 9
11
Keterangan FOB (US$/Ton)1) Freight and Insurance (US$/Ton) 2) Harga CIF Indonesia (US$/Ton) Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) Harga CIF dalam mata uang domestik (Rp/Ton) Harga CIF (Rp/Kg) Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg) 3) a. Pelabuhan - Provinsi (Rp/Kg) b. Penanganan (Bongkar Muat) (Rp/Kg) Harga Paritas Impor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg) 4) a. Provinsi - Kabupaten (Rp/Kg) b. Kabupaten - Desa (Rp/Kg) c. Penyalur/KUD (Rp/Kg) d. Pengecer/KUD (Rp/Kg) Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg)
TSP a)
ZA b)
538,26 180 80,74 18,00 619,00 198,00 8.697,44 8.697,44 5.383.710,79 1.722.093,11 5.383,71 1.722,09
NPK c) KCL d) 350 435,28 35,00 65,29 385,00 500,57 8.697,44 8.697,44 3.348.514,38 4.353.694,91 3.348,51 4.353,69
70,00 19,00 5.472,71
70,00 19,00 1.811,09
70,00 19,00 3.437,51
70,00 19,00 4.442,69
65,75 65,75 3,75 10,13 5.618,09
46 46 3,75 10,13 1.916,97
116,4 131,4 3,75 10,13 3.699,19
60,275 60,275 3,75 10,13 4.577,12
Sumber : 1)
2) 3) 4)
(TSP, KCL, SP-36) World Bank, Commodity Price Data (2011) TSP - Tunisian origin, granular, fob; previously US origin, f.o.b. US Gulf, (ZA) Jiaocheng Sanxi Chemical Co., Ltd.. Ammonium Sulphate.( http://www.alibaba.com/product-gs/226928046/Ammonium_sulfate.html) NPK - Planter Chemical Fertilizer Industries Co., Ltd. ( http://www.alibaba.com/product-gs/338909242/compound_fertilizer_NPK_15_15_15.htmlgs/551008173/NPK.html?s=p 10% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Asia Non-Asean (Dirjen Pajak) 15% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Afrika (Dirjen Pajak) Mengacu pada perhitungan harga paritas kakao dalam Dewanata (2011) SK Menteri Keuangan RI Nomor 328/KMK.01/1998 dan SK Menteri Keuangan RI Nomor 362/KMK.01/1998
125
Keterangan : a, b, c, d) Harga Paritas Impor tingkat Petani = (( FOB Negara Pengekspor + Freight and Insurance) x Nilai Tukar Bayangan )) + Transportasi dan Handling Eksportir + Biaya distribusi ke Tingkat Petani
126
Lampiran 6. Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Kentang di Desa Sigedang (1500 – 1800 dpl) – Musim Hujan INPUT INPUT TRADABLE Pupuk Anorganik Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL FAKTOR DOMESTIK Obat-Obatan Padat Cair Bibit Pupuk Organik Pupuk Kandang Peralatan Power Sprayer Hand Sprayer Cangkul Terpal Sabit Ember Keranjang Mulsa Bahan Bakar / Bensin Sewa Lahan Modal Modal Kerja Modal Investasi Tenaga Kerja* Pria Wanita PBB OUTPUT Kentang
1 HOK = 8 Jam 1HKW= 0,49 HOK
Satuan
Privat
Sosial
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg
1.847,14 2.160,00 2.106,32 2.397,62 2.480,00
3.945,09 1.916,97 5.618,09 3.699,19 4.577,12
Rp/Kg Rp/L Rp/Unit
123.143,52 353.142,36 9.648,15
123.143,52 353.142,36 9.648,15
Rp/Kg
325,07
325,07
Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/L Rp/Ha
4.155.869,57 381.000,00 120.038,46 121.839,74 32.780,00 10.074,07 19.145,83 468.142,86 4.500,00 3.015.151,52
4.155.869,57 381.000,00 120.038,46 121.839,74 32.780,00 10.074,07 19.145,83 468.142,86 4.500,00 3.015.151,52
6,00 -
18,80 -
22.795,44 11.245,85 196.250,00
21.970,25 10.838,75 -
4.148,15
5.777,03
% % Rp/HOK Rp/HOK Rp/Ha/Th Rp/Kg
Lampiran 7. Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Kentang di Desa Dieng (lebih dari 2200 dpl) – Musim Hujan. INPUT INPUT TRADABLE Pupuk Anorganik Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL FAKTOR DOMESTIK Obat-Obatan Padat Cair Bibit Pupuk Organik Pupuk Kandang Peralatan Power Sprayer Hand Sprayer Cangkul Terpal Sabit Ember Keranjang Mulsa Bahan Bakar / Bensin Sewa Lahan Modal Modal Kerja Modal Investasi Tenaga Kerja* Pria Wanita PBB OUTPUT Kentang
1 HOK = 8 Jam 1HKW= 0,61 HOK
Satuan
Privat
Sosial
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg
1.870,00 2.166,67 2.372,73 -
3.945,09 1.916,97 5.618,09 3.699,19 4.577,12
Rp/Kg Rp/L Rp/kg
108.266,67 301.698,33 5.933,33
108.266,67 301.698,33 5.933,33
Rp/Kg
340,43
340,43
Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp/L Rp/Ha
3.678.800,00 355.000,00 108.645,83 176.025,00 28.269,23 8.107,14 9.692,31 436.666,67 4.500,00 1.937.000,00
3.678.800,00 355.000,00 108.645,83 176.025,00 28.269,23 8.107,14 9.692,31 436.666,67 4.500,00 1.937.000,00
6,00 -
18,80 -
20.639,73 12.604,17 196.250,00
19.892,57 12.147,90 -
4.471,67
5.777,03
% % Rp/HOK Rp/HOK Rp/Ha/Th Rp/Kg
Lampiran 8. Tabel Input Output Komoditi Kentang Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan INPUT INPUT TRADABLE Pupuk Anorganik Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL FAKTOR DOMESTIK Obat-Obatan Padat Cair Bibit Pupuk Organik Pupuk Kandang Peralatan Power Sprayer Hand Sprayer Cangkul Terpal Sabit Ember Keranjang Mulsa Bahan Bakar / Bensin Sewa Lahan Modal Modal Kerja Modal Investasi Tenaga Kerja* Pengolahan lahan Penanaman Penyiangan (Matun) Pemupukan II Pengendalian HPT Panen PBB OUTPUT Kentang
Satuan
Desa Sigedang 1500 ≤ DPL ≤ 1800
Desa Dieng DPL ≥ 2200
Kg Kg Kg Kg Kg
237,86 75,00 170,47 177,76 400,00
72,06 66,67 280,00 -
Kg L Unit
13,16 1,63 890,00
9,09 0,37 459,17
Kg
5.760,19
3.958,33
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Ha
1,26 1,27 3,77 2,81 2,00 2,26 61,46 5,00 0,76 0,45
1,16 1,31 3,67 1,75 1,42 1,25 37,19 2,19 0,68 0,35
161,58 45,23 76,82 12,02 104,49 30,60
70,43 14,71 74,47 2,48 68,63 15,39
9.346,67
4.325,50
% % HOK HOK HOK HOK HOK HOK
Kg
Lampiran 9. Budget Privat dan Budget Sosial Komoditi Kentang Desa Sigedang (1500 – 1800 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan INPUT INPUT TRADABLE Pupuk Anorganik Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL FAKTOR DOMESTIK Obat-Obatan Padat Cair Bibit Pupuk Organik Pupuk Kandang Peralatan Power Sprayer Hand Sprayer Cangkul Terpal Sabit Ember Keranjang Mulsa Bahan Bakar / Bensin Sewa Lahan Modal Modal Kerja Modal Investasi Tenaga Kerja* Pengolahan lahan Penanaman Penyiangan (Matun) Pemupukan II Pengendalian HPT Panen PBB OUTPUT Kentang
Satuan
Budget Privat
Budget Sosial
Rp Rp Rp Rp Rp
439.356,12 162.000,00 359.071,41 426.205,33 992.000,00
938.368,94 143.772,61 957.735,78 657.574,95 1.830.847,96
Rp Rp Rp
1.620.876,56 577.265,14 8.586.851,85
1.620.876,56 577.265,14 8.586.851,85
Rp
1.872.486,87
1.872.486,87
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
5.240.009,45 482.600,00 452.452,66 342.088,51 65.560,00 22.759,95 1.176.671,01 2.340.714,29 3.416,67 1.343.112,95
5.240.009,45 482.600,00 452.452,66 342.088,51 65.560,00 22.759,95 1.176.671,01 2.340.714,29 3.416,67 1.343.112,95
Rp Rp
976.104,98
3.395.774,49
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
3.683.320,60 1.031.098,56 1.751.062,42 274.090,22 2.382.006,71 697.576,34 196.250,00
3.549.984,40 993.772,79 1.687.673,96 264.168,15 2.295.778,07 672.324,08 196.250,00
Rp
38.771.387,15
53.996.002,64
-
Lampiran 10. Budget Privat dan Budget Sosial Komoditi Kentang Desa Dieng (lebih dari 2200 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan INPUT INPUT TRADABLE Pupuk Anorganik Urea ZA TSP/SP-36 NPK KCL FAKTOR DOMESTIK Obat-Obatan Padat Cair Bibit Pupuk Organik Pupuk Kandang Peralatan Power Sprayer Hand Sprayer Cangkul Terpal Sabit Ember Keranjang Mulsa Bahan Bakar / Bensin Sewa Lahan Modal Modal Kerja Modal Investasi Tenaga Kerja* Pengolahan lahan Penanaman Penyiangan (Matun) Pemupukan II Pengendalian HPT Panen PBB OUTPUT Kentang
Satuan
Budget Privat
Budget Sosial
Rp Rp Rp Rp Rp
134.750,00 144.444,44 664.363,64 -
284.278,88 374.539,05 1.035.773,03 -
Rp Rp Rp
984.023,70 112.111,10 2.724.388,89
984.023,70 112.111,10 2.724.388,89
Rp
1.347.548,61
1.347.548,61
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
4.267.408,00 464.230,77 398.368,06 308.043,75 40.229,29 10.133,93 360.479,29 958.240,74 3.075,00 685.698,00
4.267.408,00 464.230,77 398.368,06 308.043,75 40.229,29 10.133,93 360.479,29 958.240,74 3.075,00 685.698,00
Rp Rp
508.012,21 -
1.698.395,86 -
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
1.453.589,11 303.599,10 1.537.138,92 51.161,46 1.416.426,04 317.714,09 196.250,00
1.400.969,19 292.608,82 1.481.494,49 49.309,41 1.365.151,41 306.212,84 196.250,00
Rp
19.342.172,03
24.988.509,27
Lampiran 11. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Desa Sigedang ( 1500 – 1800 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49)
Keunggulan Kompetitif 1. Keuntungan Privat (PP) 2. Rasio Biaya Privat (PCR) Keunggulan Komparatif 1. Keuntungan Sosial (PS) 2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Kebijakan Output 1. Transfer Output (TO) 2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Kebijakan Input 1. Transfer Input (TI) 2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 3. Transfer Faktor (TF) Kebijakan Input-Output 1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 2. Transfer Bersih (TB) 3. Koefisien Keuntungan (PC) 4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 2.317.073,35 35.179.935,25 2.424.556,72 39.286.335,36 (107.483,37) (4.106.400,11)
Keuntungan 1.274.378,55 12.285.110,56 (11.010.732,01)
1274378,55 0,97 12285110,56 0,76 (15224615,49) 0,72 (107483,37) 0,96 (4106400,11) 0,71 (11010732,01) 0,10 (0,20)
132
Lampiran 12. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Desa Dieng (lebih dari 2200 dpl), Kabupaten Wonosobo - Musim Hujan Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 19.342.172,03 24.988.509,27 (5.646.337,24)
Biaya Input Faktor Domestik Tradable 1.143.312,71 18.248.115,43 1.180.864,35 19.968.097,75 (37.551,64) (1.719.982,32)
Keunggulan Kompetitif 1. Keuntungan Privat (PP) 2. Rasio Biaya Privat (PCR) Keunggulan Komparatif 1. Keuntungan Sosial (PS) 2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Kebijakan Output 1. Transfer Output (TO) 2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Kebijakan Input 1. Transfer Input (TI) 2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 3. Transfer Faktor (TF) Kebijakan Input-Output 1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 2. Transfer Bersih (TB) 3. Koefisien Keuntungan (PC) 4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
Keuntungan (49.256,11) 3.839.547,17 (3.888.803,28)
(49256,11) 1,00 3839547,17 0,84 (5646337,24) 0,77 (37551,64) 0,97 (1719982,32) 0,76 (3888803,28) (0,01) (0,16)
Lampiran 13. Policy Analysis Matrix (PAM) Komoditi Kentang Berdasarkan Analisis Sensitivitas- Musim Hujan a.
Nilai Tukar Rupiah Terdepresiasi 5,2 persen, cateris paribus. -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 38.771.387,15 57.250.971,15 (18.479.584,01)
Biaya Input Tradable 2.317.073,35 2.435.958,20 (118.884,85)
Keuntungan Faktor Domestik 35.179.935,25 1.274.378,55 39.545.833,19 15.269.179,76 (4.365.897,94) (13.994.801,21)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 19.342.172,03 1.143.312,71 18.248.115,43 26.494.858,02 1.185.024,13 20.062.774,33 (7.152.685,99) (41.711,42) (1.814.658,89)
Penerimaan Output
Keuntungan (49.256,11) 5.247.059,56 (5.296.315,67)
b. Nilai Tukar Rupiah Terapresiasi 5,2 persen, cateris paribus. -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 38.771.387,15 2.317.073,35 35.179.935,25 50.741.094,03 2.413.155,44 39.026.842,31 (11.969.706,88) (96.082,09) (3.846.907,06) Penerimaan Output
Keuntungan 1.274.378,55 9.301.096,27 (8.026.717,72)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 19.342.172,03 1.143.312,71 18.248.115,43 23.482.188,25 1.176.704,65 19.873.422,92 (4.140.016,22) (33.391,94) (1.625.307,49)
Penerimaan Output
Keuntungan (49.256,11) 2.432.060,67 (2.481.316,79)
134
c. Harga Output Naik 15 Persen, cateris paribus -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 44.587.095,22 53.996.002,64 (9.408.907,42)
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 2.317.073,35 35.179.935,25 2.424.556,72 39.286.335,36 (107.483,37) (4.106.400,11)
Keuntungan 7.090.086,63 12.285.110,56 (5.195.023,94)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 22.243.497,83 24.988.509,27 (2.745.011,44)
Biaya Input Tradable 1.143.312,71 1.180.864,35 (37.551,64)
Faktor Domestik 18.248.115,43 19.968.097,75 (1.719.982,32)
Keuntungan 2.852.069,69 3.839.547,17 (987.477,48)
d. Harga Output Turun 15 persen, cateris paribus. -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 32.955.679,08 53.996.002,64 (21.040.323,57)
Biaya Input Tradable 2.317.073,35 2.424.556,72 (107.483,37)
Faktor Domestik 35.179.935,25 39.286.335,36 (4.106.400,11)
Keuntungan (4.541.329,52) 12.285.110,56 (16.826.440,08)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 16.440.846,23 24.988.509,27 (8.547.663,05)
Biaya Input Tradable 1.143.312,71 1.180.864,35 (37.551,64)
Faktor Domestik 18.248.115,43 19.968.097,75 (1.719.982,32)
Keuntungan (2.950.581,92) 3.839.547,17 (6.790.129,09)
135
e. Harga Pestisida Naik -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49)
Biaya Input Tradable 2.565.750,77 2.673.234,14 (107.483,37)
Faktor Domestik 35.194.855,90 39.333.086,72 (4.138.230,82)
Keuntungan 1.010.780,48 11.989.681,78 (10.978.901,30)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 19.342.172,03 24.988.509,27 (5.646.337,24)
Biaya Input Tradable 1.258.531,74 1.296.083,39 (37.551,64)
Faktor Domestik 18.255.028,58 19.989.758,93 (1.734.730,36)
Keuntungan (171.388,29) 3.702.666,95 (3.874.055,24)
f. Harga Pestisida Turun -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49)
Biaya Input Tradable 2.068.395,92 2.175.879,29 (107.483,37)
Faktor Domestik 35.165.014,60 39.239.584,01 (4.074.569,40)
Keuntungan 1.537.976,63 12.580.539,35 (11.042.562,72)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output 19.342.172,03 24.988.509,27 (5.646.337,24)
Biaya Input Tradable 1.028.093,67 1.065.645,32 (37.551,64)
Faktor Domestik 18.241.202,29 19.946.436,58 (1.705.234,28)
Keuntungan 72.876,06 3.976.427,38 (3.903.551,32)
136
g. Harga Pupuk Naik -
Desa Sigedang
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
-
Penerimaan Output 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49)
Biaya Keuntungan Input Faktor Tradable Domestik 2.341.966,20 35.682.770,86 746.650,09 2.424.556,72 39.286.335,36 12.285.110,56 (82.590,52) (3.603.564,51) (11.538.460,47)
Desa Dieng
Uraian Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi
Penerimaan Output
Biaya Input Tradable
19.342.172,03 1.146.153,13 24.988.509,27 1.180.864,35 (5.646.337,24) (34.711,23)
Faktor Domestik 18.305.491,85 19.968.097,75 (1.662.605,90)
Keuntungan (109.472,95) 3.839.547,17 (3.949.020,11)
137
138