TANGGUNG JAWAB PENJUAL DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI PULSA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Jo. UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Disusun Oleh : Nama
: Faizal Hudansyah
NPM
: 061000135
Program Kekhususan
: Hukum Keperdataan
Di bawah bimbingan Hj. Rukiah, S.H.,M.H NIP.130.902.195
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan dunia telekomunikasi sekarang ini sangat pesat sekali, ditandai dengan menjamurnya sarana komunikasi seperti telepon genggam, dalam bahasa Inggris (hand phone), yang dapat dibawa kemana-mana, dan penggunaannya pun bukan hanya sekedar untuk komunikasi bahkan untuk berbagai hiburan seperti musik, radio, televisi, internet dan lain sebagainya. Telepon genggam dikenal sebagai salah satu produk teknologi yang sangat penting dan bermanfaat. Ditemukannya telepon genggam, dapat memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain walaupun jaraknya berjauhan, untuk menggunakan telepon genggam diperlukan pulsa. Pulsa adalah sebuah sistem perhitungan untuk pentaripan pelanggan atau biaya yang dikeluarkan untuk melakukan panggilan telepon.1 Dalam perkembangannya sesuai dengan kebutuhan konsumen yang semakin tinggi, ditemukan metode baru cara pembayaran pulsa yang dikenal dengan nama pengisian pulsa elektronik. Cara pengisian pulsa baru ini lebih digemari oleh masyarakat karena harganya lebih murah, serta kemudahan yang di dapat konsumen. Konsumen tidak perlu lagi memasukan sendiri digit-digit nomor yang ada, karena secara otomatis pulsa akan masuk dengan sendirinya ke 1
Tim pulsa elektronik, Pulsa Elektronik,
diakses pada bulan Juni 2010.
1
dalam telepon genggam konsumen, setelah konsumen melakukan pembayaran atas pulsa tersebut, maka penjual akan mengirimkan pulsa tersebut ke telepon genggam konsumen. Dalam kenyataannya proses pengiriman pulsa elektronik tidak selamanya berjalan lancar, banyak para konsumen pulsa yang merasa dirugikan karena pulsa yang dibeli terlambat bahkan sampai tidak masuk ke telepon genggam pembeli pulsa tersebut. Hal di atas disebabkan karena proses pengiriman pulsa elektronik yang dilakukan oleh penjual ternyata tidak langsung dikirim oleh penjual kepada pembeli, melainkan oleh pihak lain. Dalam perekonomian yang telah maju, sebagian besar produsen tidak langsung menjual kepada konsumen sebagai pemakai akhir dari barang. Oleh karena itu, diantara produsen dan konsumen akhir, terdapat perantara-perantara yang memerankan berbagai fungsi dan memakai bermacam-macam nama. Beberapa perantara seperti pedagang besar dan pengecer yang membeli, memiliki, dan menjual kembali barang dagangannya disebut perantara. Pada umumnya perusahaan bekerjasama dengan perantara pemasaran untuk menyalurkan produk-produknya ke pasaran. Para perantara akan membentuk saluran pemasaran, disebut saluran dagang atau saluran distribusi untuk memasarkan produk, hingga sampai ke tangan konsumen.
2
Pengisian pulsa elektronik termasuk ke dalam ruang lingkup jual beli. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.” Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, “Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan.” Dengan melihat bagian di atas, dapat dilihat bahwa distribusi pulsa dengan cara elektronik tidak langsung dari tangan produsen ke tangan konsumen, melainkan melewati beberapa rantai distribusi. Dengan adanya tingkatan-tingkatan pelaku usaha di dalam distribusi pulsa elektronik, tentu saja akan menimbulkan masalah jika pulsa tersebut tidak sampai ke telepon genggam konsumen. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penulis tertarik untuk mengemukakan sebagai karya tulis dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Penjual Dalam Perjanjian Jual-Beli Pulsa Elektronik Dihubungkan Dengan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jo. Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”
3
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian masalah tersebut, penulis mengemukakan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian jual-beli pulsa elektronik di Indonesia? 2. Bagaimana tanggung jawab penjual atas keterlambatan pulsa elektronik? 3. Tindakan hukum apa yang dilakukan konsumen apabila pulsa elektronik tidak sampai kepada konsumen?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ingin dibahas penulis dalam identifikasi masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis, ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian jual-beli pengisian pulsa elektronik. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis, bagaimana tanggung jawab penjual apabila terjadi keterlambatan pengisian pulsa kepada konsumen pembeli pulsa. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis, tindakan hukum yang dapat dilakukan apabila pulsa elektronik tidak sampai kepada konsumen.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara Teoritis maupuin Praktis, sebagai berikut :
4
1. Kegunaan Teoritis Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis khususnya, dan mahasiswa Fakultas Hukum pada umumnya mengenai Pengisian Pulsa Elektronik, juga dapat melengkapi hasil penelitian penulisan hukum yang dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama. 2. Kegunaan Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum perdata pada umumnya dan Hukum Perjanjian pada khususnya, mengenai transaksi dan pengisian pulsa elektronik.
E. Kerangka Pemikiran Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, oleh sebab itu sesuai dengan Pasal 28 d ayat (1) Undang-undang dasar 1945 menyebutkan “setiap warga Negara Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum”, maka dalam menegakkan hukum setiap warga negara menginginkan adanya suatu ketertiban, keadilan, ketentraman, dan keamanan. Negara telah mengatur suatu keadaan yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan, yang didasarkan pada suatu keadilan yang hakiki, dalam menjalankan hak dan kewajiban diantara para pihak yang bersangkutan.
5
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya” Buku III KUHPerdata mempergunakan judul “Tentang Perikatan”, namun tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Hofmann berpendapat “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu, terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu”. Dari defini tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. 2 Objek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya, berupa menyerahkan barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan, bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
2
Setiawan, R., Pokok-Pokok Perikatan, Binacipta, Bandung , 1994, hlm. 2.
6
Menurut Hartkamp hukum perjanjian adalah “Hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah (semua) pihak bertimbal balik”.3
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu perjanjian yang dilakukan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya, dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis, dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan. Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, di samping harus dapat menunjukkan saksi-saksi, juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.4 Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan, bahwa “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.” Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu diperlukan suatu perbuatan hukum yang timbal balik atau bersegi banyak, sebab dalam
3
Asser Hartkamp 4-11, Deventer, 1997, nr 8 dilihat dari buku Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Adya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 139. 4 Purwahid Patrik, Dasar – Dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 47.
7
mengadakan perjanjian diperlukan dua atau lebih pernyataan kehendak yang sama, yaitu kehendak yang satu sama lainnya cocok5 Menurut Subekti jual beli adalah ”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam salah satu Pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga itu berupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar menukar atau barter.”6
Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, bahwa: “Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan.” Perjanjian itu dapat dikatakan mempunyai suatu tujuan yang jelas, yaitu sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum untuk menjaga hak dan kewajiban para pihak agar terciptanya suatu keadaan yang seimbang. Perjanjian jual beli dapat dibatalkan apabila si penjual telah menjual barang yang bukan miliknya, atau barang yang akan dijual tersebut telah musnah pada saat penjualan berlangsung.7 Perjanjian dalam buku III menganut asas kebebasan berkontrak, yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1), yang menyebutkan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
5
Moch. Chidir Ali, Achmad Samsudin, dan Mashudi, Pengertian – Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung 1993, hlm. 13. 6 Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Cet.13, Jakarta, 1991, hlm. 79. 7 Anggara, Perjanjian Jual – Beli
diakses bulan Mei 2010.
8
yang membuatnya”. Subekti berpendapat tentang Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatakan, bahwa :8 “Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua pihak Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus buku III.”
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, menyebutkan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut Subekti “itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian”, hal ini dapat dipahami, karena itikad baik merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. 9 KUHPerdata, tidak berarti memberikan kekuasaan absolut namun ada pembatasan-pembatasan untuk membatasi kebebasan tersebut, seperti apa yang telah diatur dalam Pasal 1337, bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1254 KUHPerdata juga memberikan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak, yang menyatakan, bahwa : “Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undangundang, adalah batal, dan berakibat bahwa perjanjian yang digantungkan padanya, tak berdaya.”
8 9
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 127. Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, P.T. Alumni, 2004,
hlm. 247.
9
Syarat sahnya suatu perjanjian agar dapat diakui oleh hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : (1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3). Suatu hal tertentu, (4). Suatu sebab yang halal.”
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian termasuk kedalam unsur subjektif, jadi apabila dilanggar akibat hukumnya yaitu perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan karena adanya unsur cacat kehendak. Setiawan menyatakan syarat pertama dan kedua menyangkut subjeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai objeknya. Terdapatnya cacad kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian. 10 Suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal mengandung unsur objektif, sehingga apabila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum. Melihat banyaknya suatu kecurangan kesepakatan dalam praktek perjanjian yang sering dilakukan para pihak, maka dibuatlah syarat-syarat kesepakatan agar suatu kesepakatan itu sah dalam perjanjian. Syarat-syarat kesepakatan itu dapat dilihat dalam Pasal 1321 KUHPerdata, bahwa, “Tiada
10
Setiawan, R., op. cit, hlm. 57.
10
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” KUHPerdata dalam Pasal 1267 juga memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan, karena salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi suatu prestasi yang sudah diperjanjikan, Pasal 1267 mengatakan, bahwa : “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
Penggantian biaya kerugian serta bunga tidak dapat dilakukan semaunya, dengan hanya melihat bahwa salah satu pihak telah tidak melakukan suatu prestasi, tetapi harus ada unsur kelalaian yang diketahuinya. Dengan kata lain ia mengetahui bahwa ia telah lalai tetapi ia tetap lalai dalam memenuhi prestasi, seperti apa yang dikatakan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, bahwa : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.“
Perjanjian jual beli pulsa elektronik selain masuk dalam ranah perjanjian pada umumnya, juga masuk ke dalam ranah transaksi elektronik. Pasal 1 angka 2 Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai transaksi elektronik,
11
yaitu “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.” Pasal 5 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan apa yang dimaksud alat bukti dalam transaksi elektronik, yaitu: (1). (2).
(3).
(4).
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum Acara yang berlaku di Indonesia, Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system Elektonik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini, Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akte notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 17 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan, bahwa : (1). (2).
(3).
Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat, Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung, Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
12
Pasal 19 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan, bahwa “Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”. Soemarno Partodihardjo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan disepakati dalam Pasal ini juga mencakup disepakati prosedur yang terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan.11 Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab dalam transaksi elektronik, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengaturnya dalam Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, bahwa : “Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi, b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa, atau c. Jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.”
Selain memasuki ranah hukum transaksi elektronik, yang diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengisian pulsa elektronik juga memasuki ranah hukum perlindungan konsumen, yang diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
11
Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm. 101.
13
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”
Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
14
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.”
Pasal 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : “Hak pelaku usaha adalah: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
15
Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa: Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hakhak konsumen. Walaupun sangat beragam, secara garis besar hak-hak konsumen dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :12 1. Hak-hak yang dimaksud untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan, 2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar, 3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen harus dipenuhi, baik oleh Negara maupun pelaku usaha karena
12
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010 hlm.
25.
16
pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima prinsip dalam pembangunan nasional, yaitu :13 1. Prinsip manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruha, 2. Prinsip keadilan, yang dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dam memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, 3. Prinsip keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, 4. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan, 5. Prinsip kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen di mana negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.
Pasal 19 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha, yaitu : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
13
Ibid, hlm. 25.
17
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan, 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Undang-undang Perlindungan konsumen memberi dua macam cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen menyebutkan : “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”
Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Penyeleseaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen . Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
penyelesaian
sengeketa
konsumen
di luar
pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu penyelesaian ganti rugi
18
secara seketika dan penyelesaian tuntutan ganti rugi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dengan Demikian terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:14 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, 2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan melakukan tuntutan seketika, dan 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
F. Metode Penelitian Untuk dapat mengetahui dan membahas suatu permasalahan, maka diperlukan adanya pendekatan metode-metode tertentu yang bersifat ilmiah. Metode merupakan suatu proses atau tata cara untuk mengetahui masalah melalui langkah-langkah yang sistematis, sedangkan penelitian merupakan penyelidikan secara hati-hati dan kritis untuk mencari fakta dan prinsip-prinsip yang jelas melalui langkah-langkah sistematis, metodologis, dan konsisten. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan usulan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :15 1. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Deskriftif Analitis, yaitu untuk menggambarkan fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer, yaitu Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 145. 15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 11.
19
Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan teori-teori hukum yang relevan dan praktik pelaksanaannya untuk selanjutnya dihubungkan dengan permasalahan yang sedang diteliti. 2. Metode Pendekatan Penulis dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan
Yuridis
Normatif,
yakni
penelitian
yang
dilakukan
berdasarkan data sekunder. Data sekunder itu sendiri terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lainnya. 3. Tahap penelitian Adapun penelitian yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan, dengan melakukan pengkajian terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
20
Perlindungan Konsumen. Bahan hukum sekunder berupa pendapat ahli hukum, hasil penelitian, laporan, internet dan hasil penelitian tentang aspek hukum perjanjian dalam pengisian pulsa elektronik. Sebagai penunjang dan pelengkap
data
sekunder
penulis
melakukan pencarian data ke pihak-pihak yang terkait, dengan melakukan wawancara kepada Bapak Candra Permana sebagai pemilik toko Deff Cell tempat pengisian pulsa dan konsumen pengguna pulsa elektronik. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang penulis peroleh dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Data lain diperoleh dari beberapa penelitian yang menyangkut perjanjian pengisian pulsa elektronik, dilihat dari segi hukum positif Indonesia dan penelitian-penelitian lainnya. Data lainnya penulis dapatkan dari hasil
penelaahan terhadap
media masa maupun elektronik serta dengan menggunakan
sarana,
misalnya internet, yang pada dasarnya pengumpulan data dilakukan terhadap berbagai literatur (kepustakaan) yang diiventarisir, selanjutnya dilakukan pencatatan secara teliti dan sistematis, sehingga mendapat gambaran tentang permasalahan hukum yang sedang penulis adakan dalam penelitian ini.
21
5. Alat Pengumpul Data Di dalam penelitian pada umunya dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau obervasi, dan wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat digunakan masing-masing atau bersama-sama.16 Penulis menggunakan alat pengumpul data dalam penelitian ini berupa wawancara dan alat yang digunakan berupa catatan lapangan tentang beberapa peristiwa yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan melalui kegiatan observasi. Selanjutnya dari catatan lapangan tersebut penulis menghimpun secara sistematis sebagai bahan yang akan mendukung dalam
penulisan dan penelitian. Dalam penelitian ini
menggunakan alat wawancara berupa tape recorder. 6. Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis kualitatif, yaitu data yang telah diperoleh disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan dalam bentuk skripsi berdasarkan hasil penelitian data sekunder untuk mencapai kejelasan masalah, sehingga dapat mengetahui bagaimana seharusnya norma dan undang-undang itu dilaksanakan kemudian disusun secara sistematis kemudian ditarik suatu kesimpulan.
16
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Cet. 3, 1986, hlm. 21
22
7. Lokasi Penelitian Penelitian ini secara umum dilakukan di Wilayah Bandung dan sekitarnya yang meliputi : a. Perpustakaan 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, beralamat di Jalan Lengkong Dalam No. 17 Bandung, 2) Perpustakaan Universitas Pasundan, beralamat di Jalan Taman Sari No. 6-8 Bandung, 3) Perpustakaan
Universitas
Katolik
Parahyangan
Bandung,
beralamat di Jalan Ciumbuleuit No. 94 Bandung. b. Perusahaan Toko Deff Cell tempat pengisian pulsa yang beralamat di Jalan Rancamanyar No. 98. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan, bahwa lokasi tersebut memiliki keterkaitan terhadap penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yang mengangkat tema mengenai aspek hukum perjanjian pengisian pulsa elektronik dihubungkan dengan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No.
8
Tahun 1999
tentang
Perlindungan Konsumen, sehinggga dirasakan toko tersebut sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TERHADAP ASPEK PERJANJIAN PENGISIAN PULSA ELEKTRONIK
A. Pengertian perjanjian pada umumnya 1. Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu diperlukan suatu perbuatan hukum yang timbal balik atau persegi banyak, sebab dalam mengadakan perjanjian diperlukan dua atau lebih pernyataan kehendak yang sama-sama lainnya cocok.17 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Mengenai
syarat
sahnya
suatu
perjanjian
mengaturnya dalam Pasal 1320, yaitu :
17 18
Moch. Chidir Ali, Achmad Samsudin, dan Mashudi, loc cit. Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm.1.
24
KUHPerdata
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2). Kecakap untuk membuat suatu peikatan, 3). Suatu hal tertentu, 4). Suatu sebab yang halal.”
Berikut akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya perjanjian itu.19 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa, para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Perjanjian dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Ada empat teori yang mencoba memberikan penyelesaian persoalan itu sebagai berikut: 1). Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan), Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaan. 2). Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan), Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat dikirimkan.
19
Riduan syahrani, op. cit, hlm. 205.
25
3). Ontvangs theorie (teori saat penerimaan surat penerimaan), Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai di alamat si penawar. 4). Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu. Para ahli hukum dan yurisprudensi di Negeri Belanda semuanya sama menolak uitings-theorie dan verzend-theorie, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kedua teori lainnya. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundangundangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, telah dibicarakan pada Bab II mengenai Hukum Orang, namun ada hal lain yang perlu dikemukakan disini yakni, mengenai orang-orang yang kurang sehat akal pikirannya. Dalam sistem hukum perdata barat, hanya mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja, yang dianggap tidak dapat melakukan atau tidak sehat akal pikirannya, yang tidak berada di bawah pengampuan (curatele) tidak demikian. Perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidak sah, kalau hanya didasarkan Pasal 1320 nomor (2) KUHPerdata, tetapi perbuatan hukum itu dapat
26
dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlukan, juga untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 nomor (1) KUHPerdata. Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat
suatu
perjanjian
ini
mengandung
kesadaran
untuk
melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya. c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan
ditentukan,
jenisnya,
asalkan
saja
sedangkan
jumlahnya
tidak
perlu
kemudian
dapat
ditentukan
atau
diperhitungkan. Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan, bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Wirjono Prodjodikoro, barang yang belum ada yang dijadikan objek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi). d. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan, bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah
27
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Yang menjadi pengertian pokok dalam hal ini adalah, apakah pengertian perkataan sebab itu sebenarnya? Dari sejumlah interprestasi dan penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut: 1. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian, adalah sebab dalam pengertian ilmu pengetahuan hukum, yang berbeda dengan pengertian ilmu pengetahuan lainnya. 2. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu), karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum. 3. Perkataan sebab secara letterjilk berasal dari perkataan oorzaak (bahasa Belanda) atau causa (bahasa Latin), yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan, yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian, dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri. 4. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat yang harus diisi.
28
Kemudian yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah,
apa yang dinyatakan Pasal 1336 KUHPerdata yang
menyebutkan “Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah”. Para ahli mengatakan bahwa sebab dalam Pasal 1336 KUHPerdata itu adalah kejadian yang menyebabkan adanya hutang, misalnya perjanjian jualbeli barang atau perjanjian peminjaman uang dalam Pasal 1336 KUHPerdata itu tidak lain adalah surat pengakuan hutang, bukan perjanjiannya sendiri. Oleh karena itu, surat pengakuan hutang yang menyebutkan
sebabnya
(causanya)
dinamakan
cautiodiscreta,
sedangkan yang tidak menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautioindiscreta. Akhirnya Pasal 1337 KUHPerdata menentukan, bahwa suatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undangundang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 3. Asas-asas perjanjian Adapun asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu: 1). Asas kebebasan berkontrak Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian
29
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.20 Pasal-pasal
dari
hukum
perjanjian
merupakan
hukum
pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu.21 2). Asas konsesualisme Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian, yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:22 a. Teori Pernyataan (Utingstheorie), yang menyebutkan kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori
20
Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm. 13. Ibid, hlm. 13. 22 M. Hariyanto,
diakses pada bulan Oktober 2010. 21
30
ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis. b. Teori
Pengiriman
(Verzendtheorie),
yang
menyebutkan
kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie),
yang menyebutkan
kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d. Teori
Penerimaan
(Ontvangstheorie),
yang
menyebutkan
kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 3). Asas pacta sunt servanda Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah, perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
31
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.23 4). Asas itikad baik Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:24 1. Itikad baik dalam arti subjektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subjektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. 2. Itikad baik dalam arti objektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya, bahwa kepastian untuk mendapatkan apa
yang
telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
23 24
Ibid, diakses bulan Oktober 2010 Ibid, diakses bulan Oktober 2010
32
5). Asas kepribadian Asas ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti, bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian, bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.25 4. Macam-macam perikatan Menurut Undang-undang, perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu : 26
25 26
Ibid, diakses bulan Oktober 2010 Riduan syahrani, op.cit, hlm. 214.
33
a. Perikatan positif dan negatif Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan positif, yaitu memberi sesuatu dan berbuat sesuatu, sedangkan perikatan negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa sesuatu perbuatan yang negatif, yaitu tidak berbuat sesuatu. b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja, dalam waktu yang singkat
tujuan
perikatan
telah
berkelanjutan adalah perikatan
tercapai,
sedangkan
perikatan
yang prestasinya berkelanjutan
beberapa waktu, misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa-menyewa dan perburuhan (perjanjian kerja). c. Perikatan alternatif Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian. Namun, debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari bagian yang lain, dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan berakhir. d. Perikatan fakultatif Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai satu objek prestasi, dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain, bilamana debitur tidak mungkin memenuhi
34
prestasi yang telah ditentukan semula, misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan sejumlah beras, diganti dengan sejumlah uang, dengan demikian penyerahan uang merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuh prestasi dengan sempurna. e. Perikatan generik dan spesifik Perikatan generik adalah perikatan dimana objeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur. Misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton (bagaimana kualitetnya tidak disebutkan), sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana objeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri-ciri khususnya, misalnya debitur diwajibkan menyeahkan beras sebanyak 10 ton dari Cianjur kualitet ekspor nomor satu. f. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Perikatan yang dapat dibagi, adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu, sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan yang presetasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi prestasi itu ditentukan oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya dan dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan. Perikatan untuk menyerahkan 10 ton beras, karena sifatnya beras menjadi objek perikatan dapat dibagi, perikatan ini merupakan perikatan yang dapat dibagi, akan tetapi perikatan untuk menyerahkan seekor kuda adalah
35
perikatan yang tidak dapat dibagi, karena kuda yang tersangkut dalam perikatan ini tidak dapat dibagi. Persoalan apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi baru timbul jika debitur dan/atau kreditur lebih dari satu orang, sebab dalam Pasal 1299 KUHPerdata dinyatakan, bahwa jika dalam suatu perikatan tidak dapat dibagi, kreditur dapat menuntut setiap saat debitur untuk memenuhi seluruh prestasi dan debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan. g. Perikatan tanggung-menanggung (tanggung renteng) Perikatan tanggung-menanggung, adalah perikatan dimana debiturnya yang beberapa orang (dan ini paling lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi, sedangkan jika krediturnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi, dengan dipenuhinya seluruh prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur, perikatan menjadi hapus. Selanjutnya mengenai perikatan tanggung-menanggung ini lihat (dapat dilihat) Pasal 1749 dan 1836 KUHPerdata serta Pasal 18 Kitab Undangundang Dagang (KUHDagang). h. Perikatan pokok dan tambahan Perikatan pokok adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain. Misalnya perjanjian peminjaman uang, sedangkan perikatan tambahan
36
adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan tambahan daripada perikatan pokok, misalnya perjanjian gadai dan hipotik. Perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung kepada perikatan pokok, sehingga apabila perikatan pokok berakhir, perikatan tambahan ikut berakhir. i. Perikatan bersyarat Perikatan
bersyarat
adalah
perikatan
yang
lahirnya
maupun
berakhirnya (batalnya) digantungkan kepada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Ada perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya A berjanji akan memberikan buku-bukunya kepada B bila ia lulus ujian. Ada juga perikatan dengan syarat batal. Misalnya perjanjian sewa menyewa rumah akan berakhir apabila anaknya pulang dari luar negeri, karena akan dipakai anaknya. j. Perikatan dengan ketetapan waktu Perikatan
dengan
ketetapan
waktu
adalah
perikatan
yang
pelaksanaanya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua buku-bukunya kepada B pada tanggal 1 Januari tahun depan. Perikatan dengan ketetapan waktu yang tidak dapat ditentukan. Misalnya dalam perjanjian asuransi kematian (matinya orang pasti, tetapi tidak dapat ditentukan kapan kematian itu tiba).
37
k. Perikatan dengan ancaman hukuman Perikatan dengan ancaman hukuman adalah perikatan dimana ditentukan bahwa debitur akan dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak melaksanakan perikatan. Penetapan hukuman ini sebetulnya sebagai ganti daripada penggantian kerugian yang diderita kreditur karena debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Maksudnya adalah untuk mendorong debitur supaya memenuhi kewajibannya. Selain itu juga untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarnya kerugian yang diderita, sebab besarnya kerugian harus dibuktikan oleh kreditur. 5. Wanprestasi dan Ganti Rugi Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi daripada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi (kelalaian). Wanprestai seorang debitur dapat berupa 4 macam, yaitu :27 1). 2). 3). 4).
Sama sekali tidak memenuhi prestasi, Tidak tunai memenuhi prestasi, Terlambat memenuhi prestasi , Keliru memenuhi prestasi.
Dalam praktek hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seorang debitur wanpestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan
27
Ibid, hlm. 218.
38
dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual-beli sesuatu misalnya ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kapan pembeli harus membayar harga yang dibelinya itu kepada penjual, lain halnya dalam menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sehingga begitu debitur membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sejak itu ia dalam keadaan wanprestasi.28 Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi itu, sehingga untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu
diberi teguran (sommatie/ingebrekestelling) agar ia
memenuhi kewajibannya. Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang dijual dan barang yang akan diserahkan sudah ada, prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika, tetapi kalau prestasinya dalam perjanjian itu tidak dapat dipenuhi seketika, misalnya barang yang harus diserahkan masih belum berada di tangan debitur, kepada debitur (penjual) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut.29 Tentang
bagaimana
caranya
memberikan
teguran
(sommatie/ingebrekestelling) terhadap debitur agar jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238 28 29
Ibid, hlm. 218. Ibid, hlm. 219.
39
KUHPerdata yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis. Yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut, adalah peringatan resmi oleh jurusita pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram, yang tujuannya sama yakni untuk memberikan peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam seketika atau dalam tempo tertentu.30 Mahkamah Agung RI dengan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 antara lain menyatakan, Pasal 1238 KUHPerdata itu tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung dalam surat edaran tanggal 5 September 1963 itu menyatakan, bahwa pengiriman turunan surat gugatan dapat dianggap sebagai penagihan,
karena
tergugat masih
dapat menghindarkan
terkabulnya gugatan dengan membayar utangnya sebelum hari sidang pengadilan, namun masalahnya apakah tenggang waktu antara hari diterimanya turunan surat gugatan oleh debitur sebagai tergugat sampai pada hari sidang pengadilan selamanya dapat dianggap sebagai yang pantas bagi debitur untuk memenuhi segala macam prestasi. 31 Menurut Riduan Syahrani, tidak semua turunan surat penagihan, melainkan harus dilihat secara kasustis, sehingga dengan demikian akan dipertimbangkan, apakah tenggang waktu antara diterimanya turunan surat gugatan oleh debitur selaku tergugat sampai pada hari sidang pengadilan
30 31
Ibid, hlm. 219. Ibid, hlm. 220.
40
dapat atau tidak dipandang sebagai waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya.32 Mengenai ketentuan tentang ganti rugi dalam KUHPerdata diatur pada Pasal 1243 sampai dengan 1252. Dari Pasal-Pasal itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur, sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau diperhitungkan.33 Code Civil Perancis merinci ganti rugi itu dalam 2 unsur, yaitu dommages dan interest. Dommages meliputi apa yang dinamakan biaya dan rugi sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan interest sama dengan bunga
dalam
arti
keuntungan
diperhitungkan.34
32
Ibid, hlm. 220. Ibid, hlm. 222. 34 Ibid, hlm. 223. 33
41
yang
diharapkan
yang
sudah
6. Keadaan Memaksa (Overmacht) Overmacht sering juga disebut force majeure yang lazim diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada pula yang menyebutnya dengan sebab kahar. 35 Walaupun pengertian overmacht tidak dirumuskan dalam Pasal Undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang terkandung dalam pasal-pasal
KUHPerdata
mengatur
overmacht
tersebut,
dapatlah
disimpulkan bahwa overmacht adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya. 36 Dulu para sarjana berpendapat, bahwa keadaan memaksa itu secara mutlak, dalam arti sama sekali sudah tidak mungkin lagi bagi si debitur untuk memenuhi kewajibannya. Pikiran mereka tertuju pada bencanabencana alam atau kecelakaan-kecelakaan yang sebegitu hebatnya, hingga menyebabkan debitur tidak mungkin menepati janjinya, tetapi lambat laun timbul suatu pengertian, bahwa keadaan memaksa itu tidak usah bersifat mutlak.37 Kini para sarjana biasanya membedakan overmacht atas 2 macam, yaitu :
35
Ibid, hlm. 232. Ibid, hlm. 234. 37 Subekti, R., Hukum Prjanjian, op.cit, hlm. 56. 36
42
a. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) Overmacht yang bersifat absolut adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak mungkin bisa dilaksanakan. Contoh klasik yang sering dikemukakan oleh para sarjana adalah seseorang menjual seekor kuda tertentu, tetapi ketika kuda tersebut dibawa untuk diserahkan kepada pembeli, di tengah jalan kuda itu disambar petir sehingga mati seketika, karena itu penjual kuda itu bagaimanapun tidak mungkin memenuhi prestasinya. 38 b. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif) adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan yang demikian besarnya, sehingga tidak lagi sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut. Untuk menetapkan sifat memaksa dari overmacht yang bersifat nisbi ini ada 2 macam ukuran, yaitu ukuran objektif dan ukuran subjektif. Dimaksudkan dengan ukuran objektif adalah ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Bilamana suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak dapat melaksanakan perikatan, keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang diukur secara objektif. Misalnya, seorang pedagang A di Banjarmasin berjanji melever beras kepada seorang pembeli B di Surabaya. Sebelum beras tersebut dilever A, tanpa diduga-duga sama sekali keluar Peraturan Daerah Kalimantan Selatan, yang berisi larangan pengiriman beras dari Kalimantan
38
Riduan, op.cit, hlm. 235.
43
Selatan ke daerah lain, dengan ancaman yang berat bagi siapa yang melanggarnya. Di sini A masih mungkin melever beras tersebut ke Surabaya, tetapi pengorbanannya sangat besar dimana ia akan dihukum dengan sanksi yang berat bilamana diketahui. 39 Sedangkan yang dimaksud dengan ukuran subjektif, adalah ukuran bagaimana keadaan seseorang tertentu yang berbeda dengan orang lain. Ukuran ini menentukan apabila suatu keadaan menyebabkan orang tertentu tidak dapat melaksanakan perikatan, karena hal-hal melekat pada diri orang yang bersangkutan. Keadaan tersebut merupakan keadaan memaksa menurut ukuran subjektif. Misalnya X berjanji menyerahkan TV yang ada di rumahnya kepada seseorang. Belum sempat TV tersebut diserahkannya, suatu malam ia didatangi seorang perampok bersenjata pisau yang mengancam akan menusuk X kalau tidak mau menyerahkan TV itu, atau bilamana X berteriak atau mencoba untuk melawan pada saat itu, X sebenarnya juga memegang sebilah pisau, tetapi TV tersebut dibiarkannya saja diambil oleh perampok itu. Secara objektif X sebenarnya masih bisa untuk melawan perampok tersebut, setidaknya berteriak minta tolong, tetapi tidak dilakukannya karena ia terkenal sebagai seorang yang amat penakut.40 Overmacht dalam hubungannya dengan pelaksanaan perjanjian dapat dibedakan antara overmacht yang lengkap, dan overmacht yang sebagian, overmacht yang tetap dan overmacht yang sementara. 39 40
Ibid, hlm. 235. Ibid, hlm. 236.
44
Overmacht yang lengkap adalah overmacht yang menyebabkan suatu perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksankan sama sekali. Sedangkan overmacht yang sebagian adalah overmacht yang mengakibatkan sebagian dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Overmacht yang tetap adalah overmacht yang mengakibatkan suatu perjanjian terus-menerus atau selamanya tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang disebut overmacht yang sementara adalah overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda daripada waktu yang ditentukan semula dalam perjanjian.41 Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi, dan bunga (dalam bahasa Belanda : kosten, schalden en interesten). Apakah yang dimaksud dengan unsur-unsur ini? Yang dimaksudkan dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata dikeluarkan pleh satu pihak. Jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan, dan pemain ini kemudian tidak datang, sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi-kursi dan lain-lain.42 Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya, dalam hal jual-beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu penyakit
41 42
Ibid, hlm. 236. Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm. 47.
45
yang menular kepada sapi-sapi yang lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut, ataupun rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusakkan segala perabot rumah.43 Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa Belanda: winstdeving), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual-beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.44 7. Berakhirnya perjanjian Berakhirnya perjanjian berbeda dengan berakhirnya perikatan, karena suatu perikatan dapat berakhir. Sedangkan perjanjian yang sumbernya masih tetap ada. Misalnya pada perjanjian jual-beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan perjanjianya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Jika semua perikatan dari perjanjian telah hapus seluruhnya, maka perjanjiannya pun akan berakhir.45 Berakhirnya perjanjian, karena:46 a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu, b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) KUHPerdata bahwa para ahli
43
Ibid, hlm. 47. Ibid, hlm. 47. 45 Setiawan, R., op.cit, hlm. 68. 46 Ibid, hlm. 69 44
46
waris bisa mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu, untuk tidak melakukan pembagian harta waris. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh ayat 4 Pasal 1066 KUHPerdata diabatasi berlakunya hanya lima tahun. c. Para pihak atau undang-undang, dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir. Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht), yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :47 1). Keadaan memaksa absolut, adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) : a) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata),
47
Aldian Harikhman, Perjanjian,
47
b) Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontrak prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUHPerdata 2). Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban risiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur. d. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak saja. Opzegging hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, misalnya : 1). Perjanjian kerja, 2). Perjanjian sewa-menyewa. e. Perjanjian berakhir karena putusan hakim, f. Tujuan Perjanjian telah tercapai, g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
48
B. 1. Perjanjian Jual-beli a. Pengertian jual-beli Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan membeli, sedangkan pihak lainya dinamakan menjual. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jualbeli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “kauf” yang berarti “pembelian”. Barang yang menjadi objek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu. Setidaktidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saaat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengena barang-barang yang basanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat tangguh.48 b. Saat Terjadinya Jual-Beli Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian menurut KUHPerdata. Perjanjian jual-beli
48
Subekti, R., Aneka Perjanjian, op.cit, hlm. 1.
49
itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensualis dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi : “Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Konsensualisme berasal dari perkataan “konesensus” yang berarti sepakat, dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan misalnya setuju. c. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli 1). Hak dan kewajiban penjual Hak penjual, yaitu : a) Hak untuk menerima uang atas pembayaran barang yang telah dijualnya. b) Hak untuk membeli kembali barang yang telah dijualnya, yang diatur dalam Pasal 1519 KUHPerdata: “Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, mana si penjual diberikan hak untuk mengambil kebali barang yang dijualnya, dengan
50
mengembalikan harga pembelian asal, dengan penggantian yang disebutkan dalam Pasal 1532”
disertai
Kewajiban penjual, yaitu : Pasal 1474 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Ia mempunyai dua kewajiban
utama,
yaitu
menyerahkan
barangnya
dan
menanggungnya”. Subekti menjelaskan mengenai isi Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu : a). Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan, Kewajiban menyerahkan hak milik, meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan segala perbuatan, yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena itu, KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu : 1. Barang bergerak Barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu. 2. Barang tetap (tidak bergerak) Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan “balik nama”. 3. Barang tak bertubuh Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”.
51
b). Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacad-cacad yang tersembunyi. Kewajiban
untuk
menanggung
kenikmatan
tenteram
merupakan konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli, bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. 2). Hak dan kewajiban pembeli Hak pembeli ialah a) Menerima sejumlah barang yang telah dibayar atau dibeli dari penjual. b) Menerima jaminan atas keadaan dan hak pemilikan barang yang dibelinya. Kewajiban pembeli ialah Membayar harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.49 d. Risiko dalam jual beli Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. 50 Mengenai risiko dalam jual-beli ini KUHPerdata membagi menjadi tiga peraturan, yaitu :
49 50
Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm. 86. Subekti, R., Aneka Perjanjian, op.cit, hlm. 24.
52
1). Mengenai barang tertentu Mengenai barang tertentu ditentukan oleh Pasal 1460 KUHPerdata, bahwa barang itu sejak saat pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya. Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh si pembeli.51Dengan adanya Surat Edaran M.A No. 3 Tahun 1963, telah menyatakan Pasal 1460 sudah tidak berlaku lagi. 52 Subekti menyebutkan, “selama belum dilever, macam barang apapun, risiko harus dipikul oleh penjual”.53 2). Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlahnya atau ukuran Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1461 dan 1462 KUHPerdata risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlahnya atau ukuran diletakkan pada pundaknya si penjual hingga barangbarang itu telah ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli. Barang-barang yang masih harus ditimbang dahulu, dihitung atau diukur dahulu sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-
51
Ibid, hlm. 25. Ibid, hlm 27. 53 Ibid, hlm. 38. 52
53
barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Baru setelah dipisahkan itu merupakan barang yang disediakan untuk dikirimkan kepada pembeli atau untuk diambil oleh pembeli.54 3). Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan Barang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula disendirikan (dipisahkan) dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. 55
2. Transaksi Elektronik a. Pengertian Informasi dan Transaksi elektronik Pengertian informasi elektronik, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tetang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu : “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Pengertian transaksi elektronik, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
54 55
Ibid, hlm. 27. Subekti, R., loc.cit.
54
Elektronik,
yaitu
“Perbuatan hukum
yang
dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya”. b. Penyelenggara Tansaksi Elektronik Penyelenggara Transaksi Elektronik, dapat dilakukan dalam ruang lingkup publik ataupun privat. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaski Elektronik memberikan peluang terhadap pemanfaatan teknologi informasi oleh penyelenggara Negara, orang, Badan Usaha dan/atau masyarakat.56 Pemanfaatan teknologi informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, agar transaksi elektronik dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik, dan/atau dokumen
elektronik
selama
transaksi
berlangsung.
Ketentuan
mengenai penyelenggara transaksi elektronik diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).57 Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik Internasional. Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam
56
Soemarno Partodihardjo, op. cit, hlm 99
57
Soemarno Partodihardjo, loc.cit.
55
kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut. Pilihan hukum dalam transasksi elektronik, dapat dilakukan jika dalam kontraknya harus sejalan dengan prinsip Hukum Perdata Internasional.58 Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional, yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut. Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa kontrak internasional yang dibuatnya. Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik. 59 Jika para pihak tidak melakukan pilihian forum, penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya, yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Asas tersebut dikenal dengan nama asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence), yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada.60
58
Soemarno Partodihardjo, loc.cit. Ibid, hlm 100. 60 Ibid, hlm 100. 59
56
Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati, maksud disepakati mencakup disepakati prosedur yang terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan.61 c. Asas-asas Informasi dan Transaksi elektronik Pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas-asas:62 1). Asas kepastian hukum Berarti berlandaskan hukum bagi pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik, serta segala sesuatu yang mendukung. 2). Asas manfaat Asas bagi pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik, diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3). Asas kehati-hatian Landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik. 4). Asas itikad baik Asas yang digunakan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan 61 62
Ibid, hlm 101. Ibid, hlm. 80.
57
norma-norma, kepatutan, kesusilaan, dan berjalan diatas rel yang benar? Juga menjauhkan diri dari praktek yang menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. 5). Asas kebebasan Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi, berarti asas pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu, sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
3. Perlindungan Konsumen a. Pengertian Konsumen Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai akhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjual belikan lagi.63Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen,
karena
membutuhkan
barang
dan
jasa
untuk
mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya. Persoalan hubungan 63
Janus Sidabalok ,loc.cit.
58
produsen dengan konsumen biasanya dikaitkan dengan produk barang atau jasa yang dihasilkan teknologi. Semakin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang memungkinkan semua masyarakat terlibat dengan perlindungan konsumen. 64 b. Pengertian Produsen dan Pelaku Usaha Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam hal ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap barang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsen. 65 Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.66 Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian pelaku usaha yaitu : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
64
Ibid, hlm. 32. Janus Sidabalok, op. cit, hlm. 16. 66 Janus Sidabalok ,loc.cit. 65
59
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha harus tanggung jawab atas akibat-akibat negatif, berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya, yaitu konsumen. 67 c. Asas-asas Perlindungan Konsumen Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menjelaskan mengenai asas-asas perlindungan konsumen, yaitu: 1). Asas manfaat Asas manfaat dimaksudkan, untuk mengamanatkan segala upaya dalam
penyelenggaraan
memberikan
manfaat
perlindungan sebesar-besarnya,
konsumen, bagi
harus
kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas manfaat menghendaki pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain, atau sebaliknya. Tetapi untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen, dan konsumen, apa yang menjadi haknya.68 2). Asas keadilan Asas keadilan dimaksudkan, agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
67 68
Ibid, hlm. 17. Janus Sidabalok ,loc.cit.
60
konsumen dan pelaku usaha, untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya
secara
adil.
Asas
keadilan
menghendaki, bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang.69 3). Asas keseimbangan Asas
keseimbangan
dimaksudkan,
untuk
memberikan
keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas keseimbangan menghendaki, agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum pelindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing, dalam berbangsa dan bernegara.70 4). Asas keamanan Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum, bahwa konsumen akan memperoleh 69 70
Janus Sidabalok ,loc.cit. Janus Sidabalok ,loc.cit.
61
manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.71 5). Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Artinya undang-undang perlindungan konsumen mengharapkan, bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan.72 d. Hak dan Kewajiban Konsumen 1). Hak konsumen Dalam Pasal 4 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam b) c) d) e)
71 72
mengkonsumsi barang dan/atau jasa, Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,
Janus Sidabalok ,loc.cit. Ibid, hlm. 33.
62
f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian, konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan memberi keselamatan. Konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya. Setiap produk baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain, dan konstruksi, maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan
dan
mencantumkan
keselamatan label
produksi,
konsumen.
Produsen
wajib
sehingga
konsumen
dapat
mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan, dan keselamatan dirinya atau produsen menerangkan secara lengkap perihal produknya, sehingga konsumen dapat memutuskan produk yang akan dibelinya. 73 Konsumen yang telah menentukan pilihannya atas suatu produk, berdasarkan infomasi yang telah tersedia, konsumen berhak untuk mendapatkan produk tersebut, sesuai dengan kondisi serta jaminan yang tertera di dalam informasi. Apabila setelah mengonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan, 73
Ibid, hlm. 40.
63
karena ternyata produk yang dikonsumsi tidak sesuai dengan informasi yang diterima, produsen seharusnya mendengarkan keluhan konsumen dan memberikan penyelesaian yang baik. Hak konsumen untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya, setelah mengonsumsi produk tersebut, atau jika produk tidak sesuai dengan perjanjian, dan jika produk tidak sesuai sebagaimana mestinya. 74 Produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining power, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Hak-hak konsumen perlu ditegaskan dalam suatu perundang-undangan, sehingga semua pihak, baik konsumen, produsen, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam mewujudkannya. Hal tersebut berkaitan dengan upaya hukum dalam mempertahankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan prosedur yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Menurut Janus Sidabalok, “Bagian inilah yang paling penting, yaitu bagaimana seorang konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat memperoleh haknya kembali. Ini
74
Ibid, hlm. 41.
64
merupakan inti dari penyebutan dan penegasan tentang adanya hakhak konsumen. Mentetapkan hak-hak konsumen dalam suatu perundang-undangan, tanpa dapat dipertahankan atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidak cukup karena hanya berfungsi sebagai huruf-huruf mati saja dan tidak bermanfaat bagi konsumen”.75 Konsumen
juga,
berhak
mendapat
pembinaan
dan
pendidikan mengenai bagaimana berkonsumsi yang baik. Produsen pelaku usaha wajib memberi informasi yang benar dan mendidik, sehingga konsumen makin dewasa dalam memenuhi kebutuhannya, bukan sebaliknya mengeksploitasi kelemah-kelemahan konsumen terutama wanita dan anak-anak.76 Dalam memperoleh pelayanan, konsumen juga berhak untuk diperlakukan secara benar dan jujur, serta sama dengan konsumen lainnya, tanpa ada pembeda-bedaan berdasarkan ukuran apapun, misalnya suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya. 77 Akhirnya, konsumen berhak mendapatkan hak-hak lainnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini membuka kemungkinan berkembangnya pemikiran tentang hak-
75
Ibid, hlm. 42. Janus Sidabalok ,loc.cit. 77 Janus Sidabalok ,loc.cit. 76
65
hak baru dari konsumen di masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan zaman. 78 2). Kewajiban Konsumen Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “Kewajiban konsumen adalah: a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan, barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.” Membaca atau mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan, barang dan/atau
jasa,
demi
kemananan dan keselamatan, mengandung arti bahwa konsumen harus mengikuti informasi dan prosedur pemakaian barang/atau jasa demi kemananan konsumen. Misalnya, konsumen membeli obat, konsumen harus mengikuti prosedur meminum obat yang ada pada bungkus obat tersebut. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, mengandung arti bahwa, konsumen beritikad baik membeli barang dan/atau jasa, bukan untuk mencari kesalahan atau cacat produk yang dilakukan produsen.
78
Ibid, hlm. 43.
66
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati mengandung arti bahwa, konsumen membayar barang dan/atau jasa sesuai dengan harga yang disepakati dengan pihak penjual barang dan/atau jasa. Misalnya, ketika tawar-menawar harga barang di pasar, maka konsumen wajib membayar barang tersebut sesuai dengan kesepakatan antara konsumen dan penjual. Mengikuti
upaya
penyelesaian
hukum
sengketa
perlindungan konsumen secara patut mengandung arti bahwa, apabila terjadi sengketa konsumen, konsumen harus mengikuti prosedur penyelesaian sengketa konsumen yang diatur oleh undang-undang, konsumen tidak boleh main hakim sendiri, misalnya, melakukan penganiayaan.
C. Pulsa elektronik 1. Pengertian Pulsa Elektronik Pulsa adalah sebuah sistem perhitungan untuk pentarifan pelanggan atau biaya yang dikeluarkan untuk melakukan panggilan telepon. Frase pulsa elektronik dibangun dari dua buah kata, yaitu; pulsa, dan elektronik. Kata “pulsa” sendiri memiliki beragam definisi (bersifat ambigu), antara lain:79 a. Secara umum, pulsa berarti denyut.
79
Tim pulsa elektonik,loc.cit.
67
b. Dalam terminologi elektronika, pulsa merupakan perubahan yang sangat cepat pada beberapa karakteristik sinyal. (misal: frekuensi). c. Dalam terminologi industri telekomunikasi, pulsa dapat diartikan sebagai: (a) sebuah satuan (misal: 1 pulsa = N menit). (b) sebuah sistem perhitungan untuk pentaripan pelanggan. (c) biaya yang dikeluarkan
untuk
melakukan
panggilan
telepon,
dan
tidak
menunjukkan berapa lama waktu yang dapat digunakan untuk berbicara di telepon. Dalam bahasa Inggris, padanan kata pulsa yang merujuk pada terminologi industri telekomunikasi adalah “prepaid credits” atau kadang disingkat dengan “credits” saja. Sedangkan satu diantara definisi untuk kata “elektronik” adalah hal-hal yang berhubungan dengan teknologi yang berkaitan erat dengan listrik, magnet dan/atau elektromagnetik, digital, nirkabel, optik, dan sejenisnya. Sebagai tambahan, kata “voucher” atau lebih tepat “voucher” isi ulang, dalam terminologi industri telekomunikasi dapat dikatakan sebagai media yang berfungsi untuk menambah nilai kredit pulsa, bila telah habis atau dirasakan kurang untuk melakukan komunikasi. Voucher isi ulang memiliki nilai nominal yang bervariasi dan dapat diperoleh dalam bentuk fisik atau elektronik. 80 2. Mekanisme Pengisian Pulsa Elektronik Mekanisme pengisian pulsa elektronik ialah :
80
Ibid, diakses pada bulan Juni, 2010.
68
Produsen pulsa menjual kepada agen, lalu agen menjual ke toko pengisian pulsa, dan toko pulsa menjual kepada konsumen. a. Produsen pulsa Produsen pulsa adalah perusahaan atau operator yang memproduksi pulsa untuk dijual kepada para distributor atau agen. Perusahaan yang memproduksi pulsa, seperti Indosat, Telkomsel, Exelcomindo, Mobile8, Bakrie Telecom, AXIS, dan lain sebagainya. b. Agen pulsa Agen pulsa adalah pihak yang memasarkan pulsa yang telah diproduksi oleh produsen pulsa. Agen membeli pulsa dengan kepada para operator dan menjualnya ke toko pulsa. c. Toko pulsa Toko pulsa adalah tempat penjualan pulsa. Toko pulsa termasuk pemakai aktif, selain dipakai atau dikonsumsi untuk dirinya sendiri. Toko pulsa juga menjual menjual pulsa tersebut untuk kepentingan bisnis. Biasanya pembeli pulsa yang membeli ke toko pulsa ialah para pengecer pulsa atau pemakai pasif.
d. Konsumen pulsa Konsumen pulsa ialah para pemakai pulsa atau pemakai pasif. Pemakai pasif adalah sejumlah individu yang memiliki kebiasaan rutin mengisi pulsa, dengan tujuan mencari harga murah dan kemudahan melakukan
69
pengisian pulsa 24 jam. Pemakai pasif tidak memiliki kepentingan bisnis.81
81
Alif, http://jutawan-silver.blogspot.com/2009/04/kategori-perilaku-konsumenpulsa.html diakses pada bulan Oktober 2010
70
BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA TOKO PENJUAL PULSA ELEKTRONIK DAN PEMBELI PULSA
A. Hak dan Kewajiban Penjual Pulsa Elektronik 1. Hak penjual dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik ini adalah a. Hak untuk menerima uang atas pembayaran pulsa elektronik dari pembeli. b. Hak untuk menarik kembali atau membatalkan pulsa yang telah dikirim, apabila terjadi gangguan dalam proses pengiriman pulsa elektronik. 2. Kewajiban penjual dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik ini adalah mengirimkan pulsa yang telah dibeli oleh pembeli pulsa, dan bertanggung jawab apabila pulsa terlambat dan tidak sampai kepada pembeli pulsa.
B. Hak dan Kewajiban Pembeli Pulsa Elektronik 1. Hak pembeli dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik ini adalah a. Menerima pulsa yang telah dibayar atau dibeli dari penjual atau konter pulsa. b. Menerima jaminan atas pembelian pulsa tersebut, apabila pulsa elektronik tersebut terlambat atau tidak sampai kepada pembeli pulsa elektronik.
71
2. Dalam perjanjian jual-beli pengisian pulsa elektronik, kewajiban pembeli pulsa elektronik ini membayar sesuai dengan harga pulsa elektronik pada saat pembelian pulsa di konter pulsa.
C. Risiko Perjanjian Jual-Beli Pulsa Elektronik Pada bab sebelumnya, disebutkan bahwa risiko dalam jual-beli adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. 82 Risiko dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik berdasarkan wawancara dengan Bapak Candra, selaku pemilik konter pulsa Deef Cell, yaitu: 1. Kesalahan mencantumkan nomor telepon genggam yang akan diisi, sehingga terjadi kesalahan pengisian pulsa. 2. Apabila jaringan mengalami gangguan, pengiriman pulsa akan lambat sampai kepada pembeli, kadang saldo pulsa tidak akan sampai kepada pembeli. 3. Apabila terjadi kesalahan atau gangguan server komputer di agen, maka transaksi tidak akan berjalan.83
D. Diatribusi Pulsa Elektronik Pulsa yang dijual di Konter Deef Cell ada dua macam, yaitu fisik dan pulsa elektronik. Pulsa fisik memiliki kelebihan praktis dan cepat sampai ke
82 83
Subekti, R., Aneka Perjanjian, loc.cit. Wawancara dengan Bapak Candra Pemilik Konter Pulsa Deef Cell, 11 Oktober
2010.
72
telepon genggam konsumen, tetapi harganya lebih mahal daripada pulsa elektronik, sedangkan pulsa elektronik lebih murah tetapi prosesnya kadang cepat dan kadang lambat. Cara pembelian pulsa elektronik, yaitu pembeli menuliskan nomor telepon yang akan diisi dalam nota pembelian yang disediakan oleh konter pulsa, lalu konter pulsa akan mengimkan sms ke agen supaya nomor telepon tersebut diisi pulsa. Distribusi pulsa elektronik ini, dimulai dari provider. Misalkan, Telkomsel, lalu kemudian kepada agen pulsa, kemudian ke konter pulsa. Apabila terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pulsa kepada pembeli, konter akan menghubungi agen distributor pulsa tersebut, menanyakan bagaimana status pemasukan pulsanya. Apabila gagal atau tidak masuk pulsa tersebut, penjual akan mengembalikan uang kepada pembeli.
73
BAB IV ANALISIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL-BELI PULSA ELEKTRONIK
A. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Mengenai Perjanjian Jual-beli Pengisian Pulsa Elektronik Di Indonesia Perjanjian jual-beli pengisian pulsa elektronik diatur dalam tiga undang-undang, yaitu KUHPerdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik, dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik masuk ke dalam ranah hukum perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata memberikan pengertian mengenai perjanjian, Pasal 1457 KUHperdata memberikan pengertian mengenai jualbeli. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik, adalah hasil dari asas kebebasan berkontrak, yang membuat para pihak bebas melakukan perjanjian asal tidak melanggar hukum. Syarat sahnya suatu perjanjian agar dapat diakui oleh hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
74
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : (1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3). Suatu hal tertentu, (4). Suatu sebab yang halal.”
Sepakat dalam perjanjian pulsa elektronik, adalah ketika pembeli pulsa mengisi atau mencantumkan nomor telepon genggam yang akan diisi di catatan penjual pulsa, lalu penjual akan mengirimkan pulsa tersebut kepada nomor telepon genggam pembeli. Dari hasil wawancara, para pembeli atau konsumen pulsa elektronik bukan hanya seorang laki-laki atau orang yang cakap, banyak juga para anakanak atau wanita yang membeli pulsa elektronik. Suatu hal tertentu dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik adalah para pihak melakukan perjanjian jual-beli pulsa elektronik. Misalnya, pembelian pulsa Mentari, Simpati, XL, IM3, Esia, Flexi, Fren. Suatu sebab yang halal dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik, yaitu keinginan untuk melakukan jual-beli pulsa elektronik. Pembeli ingin mengisi pulsa dengan cara membeli kepada konter pulsa, sebagai penjual pulsa elektronik. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, karena perjanjian jual-beli pulsa elektronik objeknya adalah pulsa, bukan barang yang dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik juga diatur dalam Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
75
Elektronik memberikan pengertian mengenai transaksi elektronik, yaitu “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.,” dan Pasal 19 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan, bahwa “Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati” Dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 19 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menggunakan alat elektronik yang disepakati, yaitu melalui telepon genggam penjual yang mengirimkan pesan kepada agen, supaya mengirimkan saldo pulsa kepada pembeli. Undang-udang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga, mengatur mengenai tanggung jawab dalam jual-beli pulsa elektronik, yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memberikan pengertian mengenai konsumen. Konsumen di dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik, adalah pembeli pulsa elektronik. Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian mengenai pelaku usaha. Pelaku usaha dalam perjanjian jual-beli pulsa adalah penjual konter pulsa atau penjual pulsa elektronik. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian mengenai barang, barang
76
yang diperjual-belikan di dalam perjanjian jual-beli pulsa elekronik, adalah pulsa elektronik. Pasal 19 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengharuskan pelaku usaha memberikan ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa, yang sejenis atau setara nilainya. Pemberian ganti rugi dilaksankan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah transaksi. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana, berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Ganti rugi tidak berlaku, apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu penyelesaian ganti rugi seketika dan penyelesaian tuntutan ganti rugi.
B. Tanggung Jawab Penjual Atas Keterlambatan Pulsa Elektronik Berdasarkan ketentuan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jis. Pasal 19 Undangundang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka yang bertanggung jawab adalah konter atau penjual pulsa elektronik.
77
Dari hasil wawancara kepada bapak Candra sebagai pemilik salah satu konter pulsa, bahwa sudah diterangkan di dalam nota pembelian apabila pulsa tidak masuk 1x24 jam, maka ia akan bertanggung jawab dengan cara menghubungi agen pulsa, apakah pengiriman pulsa tersebut terkirim atau gagal? Apabila gagal maka akan dikirim ulang pulsa yang belum sampai tersebut. Akan tetapi bila ada gangguan jaringan, uang pembeli atau konsumen pulsa tersebut akan dikembalikan.84
C. Tindakan Hukum Yang Dilakukan Konsumen Apabila Pulsa Tidak Sampai Kepada Konssumen Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Menyelesaikan sengketa di luar pengadilan ada dua cara, yaitu dengan cara penyelesaian sengketa dengan melakukan tuntutan seketika dan dengan melakukan tuntutan melalui Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK). Dalam perjanjian jual-beli pulsa elektronik, menurut hasil wawancara dengan Bapak Candra selaku penjual pulsa elektronik dan Saudara Herbowo selaku salah satu konsumen pulsa elektronik. Apabila terjadi sengketa konsumen, konsumen melakukan tuntutan seketika dengan cara mendatangi konter/penjual pulsa elektronik untuk segera mengisi kembali atau
84
Ibid, 11 Oktober 2010.
78
mengembalikan uang pembeli apabila terjadi gangguan jaringan yang menyebabkan pulsa tidak sampai kepada konsumen.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, penulis dapat menyampaikan beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik, diatur di dalam Buku III KUHPerdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Mengenai tanggung jawab penjual apabila terjadi keterlambatan pulsa, penjual sudah menerangkan di dalam nota pembelian, disebutkan apabila pulsa tidak masuk 1x24 jam, maka ia akan bertanggung jawab dengan cara menghubungi agen pulsa. Apakah pengiriman pulsa tersebut terkirim atau gagal? Apabila gagal, maka akan dikirim ulang pulsa yang belum sampai tersebut. Akan tetapi bila terjadi gangguan jaringan uang pembeli atau konsumen pulsa tersebut akan dikembalikan. 3. Tindakan hukum yang dilakukan konsumen pulsa elektronik, apabila pulsa tidak sampai kepada konsumen, maka konsumen melakukan tuntutan seketika dengan cara mendatangi konter atau penjual pulsa elektronik untuk segera mengisi kembali atau mengembalikan uang mereka. Apabila terjadi gangguan jaringan yang menyebabkan pulsa tidak sampai kepada konsumen.
80
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut : 1. Perjanjian jual-beli pulsa elektronik telah diatur dalam hukum positif Indonesia. Kepada penjual maupun pembeli pulsa elektronik dapat mengimplementasikan undang-undang yang telah mengatur mengenai perjanjian jual-beli. 2. Kepada penjual pulsa elektronik, jika mau bertanggung jawab tidak hanya dalam jangka waktu 1x24 jam, karena dapat merugikan pembeli. Bagaimana jika pembeli baru menyadari keesokan harinya atau lebih dari 1x24? Maka, saran penulis sebaiknya pembeli masih bertanggung jawab walaupun lebih dari 1x24 jam. 3. Apabila terjadi gangguang jaringan, penjual pulsa harus memberitahu kepada pembeli pulsa sebelum terjadinya transaksi, karena apabila tidak memberitahu, maka pembeli harus kembali lagi untuk menanyakan pulsa yang telah dibeli. Pembeli lebih baik bertanya dahulu sebelum membeli pulsa elektronik.
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Adya Bakti, Bandung, 2006. Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik, PT. Alumni, Bandung, 2010. Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT. Citra Adya Bakti, Bandung, 2010. M. Isa Arief, Hukum Perdata Dan Hukum Dagang, P.T. Alumni, Bandung, 1983. Moch. Chidir Ali, Achmad Samsudin, dan Mashudi, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung, 1993. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, P.T. Alumni, Cet. 4, Bandung, 2004. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994. Subekti, R., Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.10, Bandung, 1995. ________, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Cet.13, Jakarta, 1991. ________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984. ________, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Cet. 8, Jakarta, 1987.
82
Sooemarno Partodihadjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Cet.3, Jakarta, 1986. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung, 1989. Yahya Ahmad Zaeni, Kontrak Eletronik & Penyelesaian Sengketa Bisnis E-Commerce, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009.
B. Peraturan Perundangan-undangan Undang-undang Dasar 1945. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
C. Sumber Lain Alif, http://jutawan-silver.blogspot.com/2009/04/kategori-perilaku-konsumenpulsa.html diakses pada bulan Oktober 2010. Anggara, Perjanjian Jual-Beli, diakses bulan Mei 2010. Aldian
Harikhman, Perjanjian, , diakses pada bulan Nopember 2010.
Hariyanto, M diakses pada bulan Oktober 2010.
83
Tim
Pulsa Elektronik, Pulsa Elektronik diakses bulan juni 2010.
Tanpa Nama, Informasi Dan Transaksi Elektronik, Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, volume 5 No. 4, 2008.
84