TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA (WNI) DENGAN WARGA NEGARA ASING (WNA) BERBEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI SUDUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh : Nama
: Hendri Djuanda
NPM
: 031000077
Program Kekhususan
: Kepentingan Individu Dalam Masyarakat
Di bawah Bimbingan : Nurhasan, S.H., M.Hum NIPY : 151.103.15
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2010
Pelajarilah Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah khasyah, Menuntutnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah Tasbih, mencarinya adalah Jihad, Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah Shadaqah, menyerahkan kepada ahlinya adalah Taqarrub. Ilmu adalah teman dekat dalam kesendirian dan sahabat dalam kesunyian. – Muadz bin Jabal Radhiyyallahu anhu
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini ; Nama
: Hendri Djuanda
NPM
: 031000077
Program Kekhususan : Kepentingan Individu Dalam Masyarakat Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah : 1. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen pembimbing. 2. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah di tulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau dicantumkan dalam daftar pustaka. Demikian pernyataan ini di buat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Pasundan. Yang Membuat Pernyataan,
Hendri Djuanda
ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Perkawinan beda agama di Indonesia terdapat kontradiksi dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebabkan pasangan berbeda keyakinan tidak dapat lagi dengan mudah menikah karena disebutkan bahwa perkawinan akan menjadi sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis dalam pengumpulan datanya menggunakan spesifikasi penelitian berupa deskriptif analitis yaitu metode penelitian yang menggambarkan atau melukiskan fakta yang berupa data tentang perkawinan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, sedangkan metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis normatif sebagai pendekatan yang utama, dan ditunjang dengan pendekatan Hukum Perdata Internasional, tahap penelitian dilakukan melalui dua tahapan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi literatur dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif, yaitu dengan memperhatikan tata urutan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak boleh bertentangan dan dianalisis tanpa menggunakan rumus dan angka. Hasil penelitian yang diperoleh penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam menangani perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri tersebut belum berjalan dengan baik. Perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan dapat disahkan tetapi itupun hanya perkawinan beda warga negara, dilangsungkan di luar negeri, tetapi untuk perbedaan agamanya tidak dapat disahkan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Maka dari itu masyarakat sangat dibingungkan dengan aturan yang sulit, jika dilihat dari unsur HAM (Hak Asasi Manusia) jelas melanggar, namun bagaimana cara menyikapinya, hal yang paling mudah yang dilakukan pasangan yang akan menikah biasanya salah satu pihak akan pindah agama untuk memudahkan proses perkawinan agar perkawinannya sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci : Pernikahan, Berbeda Agama, Hukum Perdata Internasional Indonesia.
i
ABSTRACT Indonesia is one of the country with society pluralistik with various tribe and religion. This is seen from Indonesian slogan that is unity in diversity. In a condition kind like this, can happen social interaction between different society groups then continue in marriage connection. Related to marriage, lately often get about in so many media the happening of marriage that assume problematis in societal life. For example, mixture marriage, marriage of a kind, marrying contract, and marriage between pair that has confidence (religion) different. Although mixture marriage and marriage difference religion absolutely differ, it is not impossible at the (time) of same also causes marriage difference religion. Marriage difference religion in Indonesia found contradiction in section 1 and 2 marriage law number 1 year 1974 that causes pairs differ confidences can not again easily get married because be mentioned that marriages be been valid when has done has to followed laws each religions and the believes. Based on troubleshoot above, so author in the data collecting uses watchfulness spesification shaped analytical descriptive that is watchfulness method that describes or describe fact shaped Indonesia citizen connubial budle with foreign citizen differ religion is performed beyond the sea and has analyzed by using primary law ingredient, secondary law ingredient, and tertiary law ingredient, while method approaches that used in this watchfulness juridical normatif as has been approached prima facie, and at support with approach international civil law, watchfulness stage does to pass two stages that is literatures watchfulness and fields watchfulness. Budle collecting technique that used shaped literature study and field study. budle analysis does qualitative juridical, that is with pay attention order sequence legislation one with other may not againts and be analyzed without be used formula and number. Watchfulness result that got number law applications 1 year 1974 in handle Indonesia Citizen Marriage (WNI) with Foreign Citizen (WNA) differ religion performed beyond the sea not yet has walked well. Marriage differ religion and differ citizenship can appointed but that also only marriage difference citizen, performeding beyond the sea, but for the religion difference can not appointed follow number law applications year 1974 connubial. So from that is society very stumped with difficult rule, if see from ham element (human basic right) clear break, but how does manner receive it, matter easiest that do pair that will get married usually one of the parties will move religion to make easy marriage process so that lawful the marriage operative in Indonesia. Key Words : Marriage, Different Religion, Indonesian International Civil Law.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelengkapan ujian memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) Dengan Warga Negara Asing (WNA) Berbeda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Ditinjau Dari Sudut Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihadapkan pada berbagai masalah yang kesemuanya itu tidak terlepas dari kekurangan wawasan dan kemampuan berfikir dari penulis, namun karena adanya pertolongan dan dukungan dari orang-orang yang penulis cintai, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku (H. E Djuanda dan Hj. Apong Dedeh), yang telah memberikan perhatian, do’a serta dorongan baik secara moril maupun materil, kepada saudarasaudara tertuaku Ervan Fauzi Rachmat, Euis “nonon” Saniati, Ade Kusnandar, Dewi Yulianti, Cecep Nurhidayat, SE, Pupung Saidah, Amd, Hendra Djuanda, Miasari Jamilah, yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan program S1 ini, kepada tunanganku Ani Setiani terima kasih atas cinta, kasih sayangnya dan kesetiaanmu yang menemani penulis selama pembuatan skripsi ini.
iii
Pada kesempatan ini pula, penulis dengan segala kerendahan hati, menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Nurhasan S.H., M.Hum yang telah membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini, dengan sabar dan tanpa mengenal lelah memberikan saran serta motivasinya. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Dr. Jaja Ahmad Jayus S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 2. Bapak Dr. Anthon Freddy Susanto S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 3. Bapak Yudistiro S.H., M.H. selaku Dosen Wali; 4. Ibu Tuti Rastuti, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Program Kekhususan Penegakan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 5. Dosen-dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 6. Staff KSBA Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 7. Staff Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada : 1. Bapak Idang Hasan, SH., M.H, selaku Hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung; 2. Seluruh staff Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung; 3. Bapak Cecep Rasman, selaku staff Dinas Kependudukan Kota Bandung;
iv
4. Seluruh staff Dinas Kependudukan Kota Bandung; Terakhir ucapan terima kasih kepada : 1. Angga Triyawan, S.H yang telah memberikan sumbangsih pikiran dan ide-idenya sehingga skripsi ini dapat selesai; 2. Teman-teman seperjuangan kelas B angkatan 2003 Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung (Asep Kurnia, Arnas Casandra, Aryuda, Gilang, Roy, Yudianto, Fitra, Aryuda, Dadan, Agus, Sabri, Eddo, Angga Azhari, Rika, Ika, Dewi Astri, Dewi Ambu, Yeni, Hady Setiadi, Indra, Regia, Ridwan Prayuda, Wiwi, Lina, Tyas Ayu, Anissa, Lis Handayani, Lirih). 3. Teman-teman seperjuangan jurusan hukum perdata/pidana Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung (Yogie Rachmat, S.H, Devi, S.H, Lirih, Hadi setiadi, S.H, Boma, Mahmud dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu); 4. Teman-teman dan rekan kerja CV. POETRA KEMBAR (Dadang Ramdani, Iwa Junior, Mang Ujang, Teh Rina); 5. Teman-teman Fibonachi Group
(Hendra, Cepy Ramdani, Ramandhika Putra
Asmara) yang telah bersama-sama hidup memperjuangkan kemampuan skill individu selama lebih dari 10 tahun; 6. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung Angkatan 2003, terima kasih atas kebersamaannya selama menuntut ilmu di almamater kita ini; 7. Dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
v
Akhir kata semoga ALLAH SWT berkenan melimpahkan rahmat serta balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan bantuan yang telah di berikan kepada penulis. Semoga skripsi ini secara umum dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan khususnya bagi perkembangan ilmu hukum. Aamiien
Bandung,
2010
Hendri Djuanda
vi
DAFTAR ISI Halaman
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK…………………………………………………….…………………
i
ABSTRACT…………………………………………………….……………….
ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….…….
iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian………………………………….…....
1
B. Identifikasi Masalah…………………………………….………
8
C. Tujuan Penelitian………………………………………….…….
9
D. Kegunaan Penelitian……………………………………….……
9
E. Kerangka Pemikiran……………………………………….……
10
F. Metode Penelitian………………………………………….……
15
1. Spesifikasi Penelitian…………………………………………
15
2. Metode Pendekatan…………………………………………...
15
3. Tahap Penelitian……………………………………………...
16
4. Teknik Pengumpulan Data…………………………………...
17
5. Alat Pengumpul Data…………………………………………
17
vii
BAB II
6. Analisis Data………………………………………..………...
17
7. Lokasi Penelitian………………………………………..……
18
TINJAUAN UMUM TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN PENGATURAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan …………......................
19
1. Pengertian Perkawinan……………………………………….
19
2. Hakikat,
Asas,
Syarat,
Tujuan
Perkawinan
Menurut
Peraturan Perundang-undangan………………………………
21
a. Hakikat Perkawinan………………………………………
21
b. Asas Perkawinan………………………………………….
22
c. Syarat Sahnya Perkawinan……………………………….
22
d. Akta Perkawinan…………………………………..……...
24
B. Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Perkawinan Dalam Hukum Perdata Internasional…………………………………...
26
1. Pengertian Hukum Perdata Internasional………………….....
26
2. Pranata Tradisional Hukum Perdata Internasional…………...
29
a. Titik Taut Primer (Primary Points of Contact) ………….
31
b. Titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact) …….
31
viii
3. Validitas
Esensial
Perkawinan,
Validitas
Formal
Perkawinan, dan Akibat-akibat Perkawinan…………………
31
a. Validitas Esensial Perkawinan……………………………
31
b. Validitas Formal Perkawinan…………………………….
32
c. Akibat-akibat Perkawinan………………………………..
33
C. Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Perkawinan Dalam Hak
BAB III
Asasi Manusia……………………………………………...........
33
1. Pengertian Hak Asasi Manusia……………………………….
33
a. Hak Kebebasan……………………………….………….
35
b. Hak Demokrasi……………………………….………….
35
c. Hak Sosial……………………………….……………….
35
2. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Umum………………..
36
3. Sumber Hukum Perkawinan Dalam Hak Asasi Manusia.........
37
a. Berdasarkan Sumber Hukum Internasional………………
37
b. Berdasarkan Sumber Hukum Nasional…………………...
40
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA (WNI) DENGAN WARGA NEGARA ASING (WNA) BERBEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI SUDUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA A. Perkawinan Berbeda
Agama Dan Perkawinan
ix
Berbeda
Negara...........................................................................................
44
1. Dasar Hukum Kehidupan Beragama…………………...…….
44
2. Agama Dan Perkawinan…………………...…………………
45
3. Perkawinan Beda Agama…………………...………………...
46
4. Pengaturan Mengenai Perkawinan Yang Mempunyai Unsur Asing Menurut Hukum Perkawinan Indonesia Belum Jelas…………………...………………...…………………....
47
B. Beberapa Contoh Kasus Perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) Dengan Warga Negara Asing (WNA) Dan Berbeda Agama Yang Berlangsung Di Luar Negeri……………………..
50
1. Perkawinan Campuran Antara Berdger Dengan Astrie……...
50
a
Bagaimana Dengan Prosedur Di Catatan Sipil dan Prosesi pernikahannya……………………..…………......
51
b
Bagaimana Status Kewarganegaraan Anak Berdger……..
52
c
Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Berdger Dengan Astrie Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958....................................................................
d
52
Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Berdger Dengan Astrie Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006....................................................................
x
57
2. Perkawinan Campuran Antara David Handi dan Arissa Reunion……………………..……………………...………… BAB IV
ANALISIS
TERHADAP
HUKUM
NEGARA INDONESIA DENGAN
PERKAWINAN
60
WARGA
WARGA NEGARA ASING
DAN BERBEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI A. Apakah Pengaturan Perkawinan Dalam Hukum Perdata Internasional
Indonesia
Sudah
Mencukupi
Dalam
Menyelesaikan Persoalan Yang Dialami Warga Negara Indonesia……………………..……………………...………….. B. Bagaimanakah
Keabsahan
Perkawinan
Warga
67
Negara
Indonesia Dengan Warga Negara Asing Berbeda Agama Yang Di Langsungkan Di Luar Negeri Menurut Perundang-Undangan Tentang Perkawinan Yang Berlaku Di Indonesia………………
71
C. Apakah Hak Yang Telah Diperoleh (Vested Rights) Pasangan Warga Negara Indonesia Dengan
Warga Negara Asing
Berbeda Agama Yang Menikah Di Luar Negeri Dapat Diakui Di Indonesia…………………………………………………….. BAB V
74
PENUTUP A.
Kesimpulan ……………………………………………………
77
B.
Saran……………………………………………………..…….
78
xi
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….......
xii
79
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pria dan wanita diciptakan oleh Tuhan untuk hidup berpasang-pasangan sehingga dapat memperoleh keturunan. Proses tersebut ditempuh melalui suatu lembaga yang dinamakan perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu hak yang hakiki yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hak yang hakiki dan berasal dari Tuhan ini dinamakan Hak Asasi Manusia 1. Hak Asasi Manusia memiliki dasar Hak Kebebasan, yaitu hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk ditahan secara sewenang-wenang, dan hak atas perlindungan hukum. Salah satu instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku secara universal adalah Universal Decleration of Human Rights (1948). Instrumen hukum Hak Asasi Manusia ini mempunyai asas anti-diskriminasi dengan alasan semua manusia dilahirkan sama dan bebas dalam martabat dan hak. Setiap orang berhak atas hak dan kebebasan yang dimuat didalamnya tanpa perbedaan apapun. 1
Hak Asasi Manusia menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah : “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi negara hukum, pemerintah dan setiap orang”.
1
2
Pasal 16 Universal Decleration of Human Rights mengandung makna bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk menikah dan berkeluarga tanpa memandang kebangsaan, kewarganegaraan maupun agama, yang penting memiliki rasa suka sama suka. Hak untuk menikah adalah hak yang paling mendasar dan bergantung sepenuhnya pada pilihan setiap individu. Pengaturan pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap perkawinan tidak di batasi perbedaan agama, sehingga dalam pelaksanaannya perkawinan yang berbeda agama dapat disahkan 2. Sesuai dengan Piagam Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak melarang pernikahan beda agama. Pada Pasal 2 undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan ini berarti, bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah haruslah melewati lembaga agamanya masing-masing dan tunduk kepada aturan pernikahan agamanya. Lalu apabila keduanya memiliki agama yang berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah satunya mengikuti agama lain.
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, hlm 474. Salah satu bentuk anti-diskriminasi dari deklarasi ini adalah dalam hal perkawinan Pasal 16 Universal Decleration of Human Rihts 1948 dinyatakan : 1) Orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak di batasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala perceraian. 2) Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai. 3) Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
3
Tetapi undang-undang Indonesia tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti dituntut, jika ingin melaksanakan perkawinan, haruslah didasari atas ikatan lahir batin. Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara
4
seluruh Warga Negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat, seperti perkawinan antara Berdger dengan Astrie menikah di Jerman, David Handi dengan Arissa Reunion menikah di Jepang, Tjok Krishna Putra Sudharsana dengan Catherine Putri Sudharsana menikah di Australia, artis Anne J. Cotte dengan Mark Hanusz menikah di Amerika Serikat dan masih banyak lagi. Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan di luar negeri. Yang menjadi pokok permasalahan ialah perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri, dimana hal tersebut menjadi kasus yang rumit untuk melakukan pencatatan sipil di Indonesia. Jika memerhatikan Pasal 8 butir (f) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, tentang larangan perkawinan yang berbunyi : perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Melihat kepada pendapat ini, maka dapat di uraikan dalam beberapa hukum yang ada di Indonesia.
5
Pertama, Agama Islam, yang melarang dengan perkawinan antar agama bagi wanita Islam. Sedangkan bagi pria Islam terdapat perbedaan di antara para ahli Hukum Islam ke dalam tiga golongan, yang diantaranya : ada yang melarang secara mutlak, ada yang memperkenankan secara mutlak dan ada yang memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu. Kedua, Agama Kristen Protestan, yang pada dasarnya memandang perkawinan sebagai persekutuan pria dan wanita yang berasaskan ciptaan Tuhan serta untuk
meneruskan
keturunannya.
Gereja
Protestan
umumnya
menghindari
perkawinan beda agama. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat dihindari Gereja akan mengijinkannya dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Sikap dan syarat-syarat untuk masing-masing Gereja Protestan adalah berbeda-beda. Ketiga, Agama Kristen Katolik, yang mempunyai kesamaan dengan agama Protestan, sedapat mungkin menghindari perbedaan agama. Hanya dalam hal tertentu, dalam keadaan yang tidak dapat dihindari, Gereja dapat mengijinkan perkawinan beda agama, dengan memberikan dispensasi dari Bapak Uskup. Keempat, Agama Budha, dalam ajaran agama Budha setiap agama adalah baik dan setiap manusia bebas untuk memeluk agamanya masing-masing menurut keyakinannya, sehingga tidak menjadi persoalan apabila seseorang yang beragama Budha hendak menikah dengan seseorang yang bukan beragama Budha. Kelima, Agama Hindu, melarang perkawinan beda agama, terutama jika pihak laki-laki yang beragama Hindu, karena berbeda agama berarti berbeda prinsip hidup. Namun, bila kedua calon mempelai tetap bersikukuh untuk melangsungkan
6
perkawinannya, upaya penyelesaian yang ditempuh menurut agama Hindu adalah salah satu calon mempelai yang bukan beragama Hindu harus disucikan terlebih dahulu sesuai ajaran agama Hindu, yang didasarkan kepada Kitab Suci Weda. Keenam, Agama Kong Hu Chu, dapat dikatakan bahwa agama Kong Hu Chu tidak ada perbedaan dengan Agama Budha, jadi artinya memperkenankan perkawinan beda agama. Ketujuh, Aliran Kepercayaan, dalam Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama, sehingga tidak berada di bawah naungan Departemen Agama, tetapi di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian perkawinan antara sesama penganut aliran kepercayaan yang berbeda aliran bukanlah perkawinan beda agama, demikian pula antara penganut aliran kepercayaan dengan pemeluk agama tertentu. Sehingga dalam hal ini pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 3 secara tegas dikatakan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan Agama. Sedangkan pencatatan merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga negara. Pada sisi lain, perkawinan di luar Indonesia yang hanya memperhatikan aspek keperdataannya saja,
3
Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menentukan : 1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Indonesia atau seorang Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Indonesia tidak melangggar ketentuan Undang-Undang ini. 2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
7
maka sahnya perkawinan hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan dan seterusnya dicatat secara administratif. Tanpa mengabaikan kemungkinan bahwa sahnya perkawinan di luar Indonesia, berdasarkan hukum setempat adalah juga berdasarkan agama, tetapi sejumlah indikasi telah menunjukan bahwa maksud utama perkawinan di luar Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia, pada umumnya terbentur pada persoalan di Indonesia. Artinya, bagi Warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi keduanya berbeda agama, ternyata dapat diselesaikan secara cepat dan sederhana di luar wilayah Indonesia. Namun demikian atas terjadinya perkawinan dan dinyatakan sebagai sah antara Warga Negara Indonesia berbeda agama di luar negeri hanya berdasarkan pencatatan, menjadi pertanyaan apakah memiliki legitimasi kuat untuk dianggap sah mengingat di Indonesia hanya aspek agama saja yang dapat mengesahkan perkawinan. Lalu bagaimana pasangan WNI dengan WNA yang berbeda agama yang menikah di luar negeri ingin mendaftarkan perkawinan mereka. Kantor catatan mana yang dapat mendaftarkan perkawinan tersebut. Selain itu, aturan mana yang dijadikan pedoman untuk keabsahan perkawinan tersebut. Apakah perkawinan tersebut dapat disahkan dan diakui di Indonesia mengingat mereka mempunyai “hak-hak yang telah diperoleh” atau vested rights akibat perkawinan yang telah mereka lakukan, dimana Hukum Perdata Internasional Indonesia menganut prinsip yaitu hukum nasional mengakui hak-hak yang telah diperoleh secara sah akibat perbuatan hukum yang dilakukan di luar negeri, apakah hak-hak yang telah diperoleh secara sah akibat
8
perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tidak akan melanggar ketertiban umum sebagai salah satu prinsip umum Hukum Perdata Internasional. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk memilih judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) Dengan Warga Negara Asing (WNA) Berbeda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Di Tinjau Dari Sudut Hukum Perdata Internasional Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah Dengan tujuan lingkup pembahasan lebih terarah dan tidak melampaui dari yang seharusnya dijadikan pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan pada hal-hal sebagai berikut : 1. Apakah pengaturan perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia sudah mencukupi dalam menyelesaikan persoalan yang dialami Warga Negara Indonesia? 2. Bagaimanakah keabsahan perkawinan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri menurut perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia? 3. Apakah hak yang telah diperoleh (Vested Rights) Pasangan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang menikah di luar negeri dapat diakui di Indonesia?
9
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh secara lebih mendalam mengenai : 1. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji bagaimana pengaturan Hukum Perdata Internasional Indonesia tentang perkawinan yang mempunyai unsur asing. 2. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji bagaimana perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri ditinjau dari hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. 3. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji apakah pasangan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang berbeda agama yang telah menikah di luar negeri diakui di Indonesia berdasarkan hak yang telah diperoleh (Vested Rights).
D. Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat baik dari segi teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis a. Memberikan masukan-masukan baru atau informasi dengan mengkaji dampak positif dan negatif yang timbul dalam perkawinan beda agama di Indonesia. b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Perdata Internasional Indonesia dan bermanfaat sebagai sumbangan dalam khasanah perpustakaan ilmu Hukum Perdata.
10
2. Kegunaan Praktis a. Bagi masyarakat dan pihak-pihak terkait, penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan masukan untuk dikaji lebih lanjut. b. Diharapkan dapat menunjang rekan mahasiswa pada khususnya untuk dapat memperluas pengetahuannya. E. Kerangka Pemikiran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan landasan yuridis bagi perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas tersebut, ditarik kesimpulan, bahwa terdapat dua peraturan yang harus diakui oleh pasangan menikah yaitu agama dan negara. Menurut aturan agama mengharuskan perkawinan dilakukan sesuai dengan kepercayaan atau tata cara yang dilakukan oleh masing-masing agama, misal apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum. Untuk itu perkawinan harus memenuhi unsur materil dan unsur formil yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat materil tersebut antara lain : perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai, mendapat izin orang tua atau wali (apabila orang tua mempelai sudah meninggal)
11
bagi yang berumur di bawah 12 tahun. Untuk syarat formil adalah bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan harus mengikuti tata cara yang ditetapkan oleh agama masing-masing. Sedangkan dari sisi administrasi negara, perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undangundang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai perkawinan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu : 1.
Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
2.
Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur
12
oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran. 3.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 undang-undang perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama undang-undang perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas
bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pengertian tersebut prinsip perkawinan adalah antara pria dan wanita, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia ini secara implisif makna memperoleh keturunan (anak), serta prinsip keluarga yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan tidak diaturnya mengenai perkawinan beda agama dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka yang bersangkutan mengambil cara khusus dengan melakukan pernikahan di luar negeri, di negara-negara yang mengesahkan dan mengakui perkawinan beda agama. Hal tersebut merupakan ruang lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI). HPI menurut Gaverson adalah 4: “Bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang didalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan 4
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Buku ke I edisi keempat, PT. Citra Aditya Bakti, hlm 8
13
perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.” Perkawinan tersebut merupakan lingkup HPI karena dilangsungkan di luar negeri sehingga terdapat dua sistem hukum yang berbeda, yaitu hukum Indonesia dan hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Dalam pelaksanaan perkawinan di luar negeri, Hukum Perdata Internasional Indonesia merujuk pada Pasal 16 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving), dimana Indonesia memakai prinsip Nasionalitas, yaitu para Warga Negara Indonesia yang hendak menikah harus memenuhi semua syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Indonesia sebagai hukum nasionalnya. Mengenai perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri diatur dalam Pasal 56, yang menyebutkan : 1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melangggar ketentuan undangundang ini. 2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Mengingat pasangan tersebut melangsungkan perkawinan di luar negeri karena hukum Indonesia tidak mengatur perkawinan beda agama, maka terjadi suatu
14
penyelundupan hukum, yaitu pemakaian hukum asing dengan mengenyampingkan hukum nasional. Namun, hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum. Dalam Hukum Perdata Internasional juga dikenal vested rights (hak-hak yang telah diperoleh), yaitu sekumpulan hak yang dimiliki seseorang berdasarkan status hukum yang telah diperolehnya berdasarkan sistem hukum yang lain daripada sistem hukum lex fori. Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang secara sah berdasarkan suatu kaidah hukum haruslah dihormati siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat-akibat yang bertentangan dengan public order (ketertiban umum) dari masyarakat forum. Dalam bukunya Dr. Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, mendefinisikan vested rights, yaitu 5: An act done outside of the forum may give rise to the existence of a right, which the plaintiff carries with him, and which will be enforced of otherwise recognized by the forum when put into issue there. Batasan tersebut dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: Suatu perbuatan yang dilakukan di luar forum dapat menerbitkan suatu hak yang melekat pada pihak penggugat dan akan dilaksanakan atau diakui oleh forum tempat hak itu diajukan sebagai berikut.
5
ibid 138
15
Dalam arti yang terbatas, maka vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan berarti6: Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaidah hukum asing dapat diakui di dalam yurisdiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat lex fori.
F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu penelitian, demikian pula hubungannya dengan penulisan skripsi ini, langkah-langkah yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi
ini
adalah
sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu metode penelitian yang menggambarkan atau melukiskan fakta yang berupa data tentang perkawinan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 2. Metode Pendekatan Permasalahan pokok dalam penelitian ini ditempuh dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif sebagai pendekatan yang utama, dan di tunjang dengan pendekatan Hukum Perdata Internasional.
6
ibid 139
16
3. Tahap Penelitian Berkenaan dengan digunakannya metode pendekatan Yuridis normatif, maka penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: a. Penelitian kepustakaan (Library Research) Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yang diambil dari: 1)
Bahan-bahan hukum primer Bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundangundangan, yurisprudensi yang berkaitan dengan masalah perkawinan beda agama antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang dilangsungkan di luar negeri.
2)
Bahan-bahan hukum sekunder Bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah dan hasil penelitian para pakar di bidang ilmu hukum.
3)
Bahan-bahan hukum tersier Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedi hukum, majalah, kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, internet, koran dan lain sebagainya.
17
b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yang diperlukan untuk menunjang dan melengkapi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk mengumpulkan data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri, dengan cara observasi langsung ke Kantor Catatan Sipil. 5. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data dilakukan melalui penelaahan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu data yang dapat diperoleh dalam peraturan perundang-undangan, buku teks, hasil penelitian, wawancara, dan studi kepustakaan. 6. Analisis Data Sesuai dengan metode pendekatan yang diterapkan, maka data yang diperoleh untuk penulisan skripsi ini di analisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan
18
memperhatikan tata urutan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak boleh bertentangan dan dianalisis tanpa menggunakan rumus dan angka. 7. Lokasi Penelitian Data dalam skripsi ini diperoleh dari berbagai perpustakaan, sebagai berikut : a. Perpustakaan 1)
Perpustakaan Hukum Universitas Pasundan Bandung Jl. Lengkong Dalam No. 68 Bandung;
2)
Perpustakaan Hukum Universitas Padjajaran Bandung Jl. Imam Bonjol No. 21 Bandung;
3)
Perpustakaan Universitas Islam Bandung Jl. Taman Sari No. 1 Bandung.
b. Instansi 1)
Dinas Kependuduka n Kota Bandung Jl. Ambon No. 1 B Bandung;
2)
Departemen Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat Jl. Jakarta No. 27 Bandung;
3)
Pengadilan Agama Kota Bandung Jl. Jakarta No. 5 Bandung.
c. Media Cetak dan Elektronik 1)
Media cetak a) Kompas; b) Pikiran rakyat.
2)
Media elektronik a) Internet.
19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN PENGATURAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA
A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hanya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
1. Pengertian Perkawinan Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama
20
manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, disebut perkawinan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam tentang perkawinan tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa definisi, baik menurut para ahli maupun menurut hukum positif Indonesia. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
di
dalam
ketentuan
pasal-pasal
KUHPerdata,
tidak
memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa 7: “Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan” Dan menurut Scholten perkawinan adalah 8: “Hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”
7
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 94 8 Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985, hlm. 31
21
Jadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata 9. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, sedangkan syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibatakibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
2.
Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundangundangan a. Hakikat Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang 9
Pasal 26 Kitab undang-undang Hukum Perdata, “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”
22
wanita sebagai suami istri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan istri. Dalam KHI Pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan
menurut
KUHPerdata
hakikat
perkawinan
adalah
merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat. b. Asas Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya
boleh sepanjang hukum dan agamanya
mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut
asas monogami mutlak karena ini
berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja). c. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam Pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam Pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
23
ketertiban perkawinan. Kemudian dalam Pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda. Sedangkan syarat perkawinan menurut
KUHPerdata adalah syarat
material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Menurut Pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan istri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
24
d. Akta Perkawinan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku 10. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Pasal 100 KUHPerdata, menentukan : Bahwa sebuah perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain, kecuali dengan akta perkawinan yang dibuat pegawai catatan sipil yang melangsungkan perkawinan tersebut. Akta perkawinan itu dianggap sah, kecuali kalau dapat dibuktikan adanya kepalsuan. Sebagai alat bukti maka akta perkawinan itu mempunyai 3 (tiga) buah sifat 11: 1. 2. 3.
Sebagai salah-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak, Sebagai alat bukti penuh, artinya di samping akta perkawinan itu tidak dapat dimintakan alat-alat bukti lain, Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawanya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu.
Dalam undang-undang perkawinan, ketentuan tentang akta perkawinan diatur dalam Pasal 11 dan 12 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 :
10
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, op. cit, hlm. 59
25
Pasal 11 : 1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. 3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Pasal 12 : Akta perkawinan memuat : 1. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu ; 2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; 3. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) undang-undang; 4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang; 5. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 undangundang; 6. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) undang-undang; 7. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata; 8. Perjanjian perkawinan apabila ada; 9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ; 10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
26
Adapun akibat hukum jika tidak dicatatkannya suatu perkawinan ke Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil, diantaranya 12: 1.
Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. 2. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 undang-undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. 3. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
B. Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Perkawinan Dalam Hukum Perdata Internasional 1.
Pengertian Hukum Perdata Internasional Dalam penjelasan mengenai Hukum Perdata Internasional ini, harus membedakan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, membedakan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional bahwa 13:
12
Hasil wawancara di Dinas Kependudukan Kota Bandung Jl. Ambon No. 1 B Bandung, dengan Bapak Cecep Rasman, 5 Maret 2009.
27
“Hukum Internasional Publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata” Sedangkan, “Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang belainan” Dari pengertian Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa tampak persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (objeknya). Pengertian Hukum Perdata Internasional mempunyai banyak pendapat dari para ahli selain oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Bayu Seto Hardjowahono dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, bahwa 14: “Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidahkaidah, asas-asas, dan atau aturan-aturan hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur ekstrateritorial)”
13
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, 2003, Alumni, hlm 1 14 Bayu Seto Hardjowahono, op. cit, hlm 11
28
Menurut Sunaryati Hartono dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional, bahwa 15: “Hukum Perdata Internasional mengatur setiap peristiwa/hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik di bidang hukum publik maupun hukum privat. Karena inti dari Hukum Perdata Internasional adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka Hukum Perdata Internasional sebenarnya dapat di sebut Hukum Pergaulan Internasional” Menurut S. Gautama merumuskan Hukum Perdata Internasional sebagai berikut 16: “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik-pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal” Menurut Gaverson Hukum Perdata Internasional adalah 17: “Bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang didalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.”
15
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Bandung, 1976, Binacipta,
hlm 29 16
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung, 1987, Binacipta, hlm 21 17 Bayu Seto Hardjowahono, loc.cit.
29
2.
Pranata Tradisional Hukum Perdata Internasional Persoalan-persoalan Hukum Perdata Internasional pada dasarnya muncul pada suatu perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu yuridiksi hukum dan hukum intern dari yuridiksi-yuridiksi itu berbeda satu sama lain. Hukum Perdata Internasional juga dipahami sebagai proses dan aturan-aturan yang digunakan oleh pengadilan untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada perkara yang sedang dihadapi. Dalam persoalan Hukum Perdata Internasional terdapat interaksi transnasional yang meyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa dengan lebih dari satu sistem hukum atau kaidah hukum negara-negara yang berbeda. Dalam kesimpulannya oleh Bayu Seto Hardjowahono mengungkapkan bahwa ada persoalan-persoalan khas yang dapat dianggap sebagai masalahmasalah pokok Hukum Perdata Internasional, yaitu 18: 1. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. 2. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan/atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing. 3. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memerhatikan dan mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan hukum atau putusan pengadilan asing. Proses penyelesaian perkara Hukum Perdata Internasional sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah mengalami
18
ibid, hlm 22
30
proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang bersangkutan. Secara sederhana, titik-titik taut didefinisikan sebagai Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat di negara tertentu, dan karena itu menciptakan relevensi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern dari tempat itu. Prof.E.J. Cohn, berpandangan bahwa 19: Salah satu objek dari Hukum Perdata Internasional adalah untuk meletakkan aturan-aturan dalam rangka memilih hukum yang akan diberlakukan (rules for the choice of law). Choice of Law Rules itu adalah aturan-aturan yang menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang mengandung unsure asing. Usaha pemilihan hukum ini, hampir selalu bergantung pada titik-titik taut yang akan menunjukkan sistem hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang tengah dihadapi. Menurut Cohn, beberapa titik taut lain yang penting adalah 20: 1. Hukum dari tempat dilaksanakannya perbuatan (lex loci actus) 2. Hukum dari tempat dimana benda-benda tetap terletak (lex rei sitae) 3. Tempat pembuatan dan atau pelaksanaan kontrak (locus contractus/locus solutionis)
19 20
ibid, hlm 60 ibid
31
Dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua jenis titik taut, yaitu 21: a.
Titik Taut Primer (Primary Points of Contact) Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign elements) dan peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional, bukan peristiwa hukum intern/domestic semata.
b.
Titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact) Yaitu fakta-fakta dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan Hukum Perdata Internasional yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder ini sering disebut dengan titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam menyelesaikan suatu perkara.
3.
Validitas Esensial Perkawinan, Validitas Formal Perkawinan, dan Akibatakibat Perkawinan a. Validitas Esensial Perkawinan Asas-asas
utama
yang
berkembang
dalam
Hukum
Perdata
Internasional tentang hukum yang harus digunakan untuk mengatur validitas materil suatu perkawinan adalah 22: 21
ibid, hlm 61
32
1.
Asas lex loci celebrations yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan diresmikan/dilangsungkan.
2.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicile sebelum perkawinan dilangsungkan.
4.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (locus celebrationis), tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.
b. Validitas Formal Perkawinan Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis 23.
22 23
Ibid, hlm 275 Ibid, hlm 276
33
c. Akibat-akibat Perkawinan Beberapa
asas
yang
berkembang
di dalam Hukum Perdata
Internasional tentang akibat-akibat perkawinan (seperti masalah hak dan kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta kekayaan perkawinan, dan sebagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan tunduk pada 24: 1. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis) 2. Sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi
warga
negara
setelah
perkawinan
(gemeenscapelijke nationaliteit/joint nationality) 3. Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama
setelah
perkawinan
(gemeenscapelijke
woonplaats/joint residence), atau tempat suami istri berdomicile tetap setelah perkawinan C. Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Perkawinan Dalam Hak Asasi Manusia 1.
Pengertian Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252
24
Ibid, hlm 276
34
yang kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Menurut Franz Magnis Suseno dkk, mencoba memberikan batasan tentang HAM, dalam bukunya Mudiarti Trisnaningsih yang berjudul Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, sebagai 25: “Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak dimiliki manusia dikarenakan ia manusia”
25
Mudiarti Trisnaningsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Bandung, 2007, Utomo, hlm 66
35
Akumulasi dari berbagai pemikiran dan perkembangan pemikiran HAM dalam kurun waktu yang lama, sekurangnya tercatat 3 (tiga) hak dasar yang seyogyanya mendapat perlindungan secara sungguh, yaitu 26: a.
Hak Kebebasan Adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk ditahan sewenang-wenang, dan hak atas perlindungan hukum.
b.
Hak Demokrasi Adalah hak berdasarkan keyakinan atas kedaulatan rakyat. Termasuk di dalamnya antara lain: kebebasan untuk memilih wakil rakyat, hak untuk menentukan pemimpin negara, hak mengemukakan pendapat, kebebasan pers, dan hak berkumpul dan berserikat.
c.
Hak Sosial Adalah hak berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan pihak-pihak dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas upah yang wajar, hak perlindungan atas pengangguran, hak atas pendidikan, dan hak atas kesederajatan antara pria dan perempuan. 26
Ibid, hlm 65
36
2.
Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Umum Prespektif HAM sungguh disadari oleh banyak kalangan sebagai suatu konsep yang tidak pernah bebas dari perselisihan pendapat. Diantara berbagai persoalan yang melatar belakangi persoalan perspektif HAM, maka yang paling sukar adalah berkaitan dengan perbedaan budaya dan agama dalam menginterprestasikan HAM. Kenyataan ini sungguh ironis jika pada sisi lain muncul pengakuan dari masyarakat bahwa HAM bersifat universal. Daniel S Lev mengatakan 27: “Tradisi-tradisi agama besar dari mana sebagian pemikiran modern mengenai HAM dapat ditelusuri sudah pasti mengakui prinsip kemanusiaan yang umum. Islam, Buddha, Katolik, Protestan, Jahudi, Hindu, Taoisme, dan kebanyakan aliran mengakui juga status manusiawi ini” Perspektif HAM secara umum yang meliputi pemahaman atas nilai, konsep, maupun norma, seyogyanya dapat membantu proses pemahaman atas universalitas HAM. Pemahaman universalitas HAM atas nilai, konsep, dan norma HAM, di dalam konteks Indonesia tentunya dapat dipakai sebagai indikator dalam memformulasikan HAM pada produk hukum. Hukum sebagai salah satu produk budaya yang secara normatif akan memberikan legitimasi atas perlindungan terhadap HAM, telah memberi makna tentang universalitas budaya manusia terutama pada kebenaran praktis. Dalam kesempatan ini Van Peursen mengatakan 28:
27 28
Ibid, hlm 68 Ibid, hlm 70
37
“Yang dipertaruhkan disini bukanlah kebenaran teoritis, melainkan kebenaran praktis (kebijaksanaan, moral dan nilainilai lainnya). Dan justru kebenaran ini menuntut tantangan komunikasi lintas budaya”
3.
Sumber Hukum Perkawinan Dalam Hak Asasi Manusia a. Berdasarkan Sumber Hukum Internasional Sejarah perjuangan untuk mengukuhkan gagasan Hak Asasi Manusia sudah dimulai sejak abad ke-13, yaitu sejak ditandatanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland. Memang, Magna Charta sendiri saat itu hanya sekedar jaminan perlindungan bagi kaum bangsawan dan Gereja dan belum merupakan perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang didengungkan saat ini. Namun, dilihat dari segi perjuangannya, momen ini dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam sejarah hak-hak asasi manusia 29. Perjuangan yang nyata seputar Hak Asasi Manusia baru dimulai dengan ditandatanganinya Bill of Rights oleh Raja Wilhem III pada tahun 1689 yang dianggap sebagai kemenangan parlemen atas raja. Perkembangan selanjutnya, kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke dan Rousseau. Dasar
pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari
dijadikan sebagai landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan kehidupan bernegara yang merupakan hasil
29
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 307.
38
dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak kebebasan 30. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan 31: “Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak asasi” Selanjutnya secara sektoral berbagai dokumen berupa deklarasi maupun konvensi PBB, pada dasarnya menunjukkan kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan, meskipun belum secara optimal menciptakan kesetaraan. Beberapa dokumen diantaranya: 1)
The International Convenants on Economic, Social and Culktur Rights and on Civil and Political rights.
2)
The Universal Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination.
3)
The International on The Suppresion and Punishment of The Crime of Apartheid. Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, sebuah deklarasi mengenai Hak
Asasi Manusia disepakati di Paris pada tahun 1948, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). 30 31
Ibid, hlm 309 Mudiarti Trisnaningsih, Ibid, hlm 86
39
Kemudian,
deklarasi
ini
dipertegas
kembali
dengan
dilahirkannya
International Covenant on Civil and Polticial Rights (ICCPR) yang dipengesahannya oleh Indonesia dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang pengesahannya dilakukan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005. Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini, pria dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat. Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari
40
mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain. Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal 10 ICESCR). b. Berdasarkan Sumber Hukum Nasional Sejak perubahan UUD 1945 (UUD 1945 Amandemen), kedudukan HAM di Indonesia menjadi sangat penting. Hal ini tercermin dari meluasnya pengaturan terkait HAM dan pengelompokannya ke dalam satu bab tersendiri. Selain UUD 1945, sebelumnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) telah memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap HAM di Indonesia. Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
41
penghormatan, perlindungan atau pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum Undang-Undang HAM). Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam Undang-Undang HAM berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Terkait dengan perkawinan, Pasal 28 B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang HAM. Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak Asasi Manusia lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa
42
dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran ham terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada kita sendiri. Dalam
Hukum
Perdata
Internasional,
persoalan
perkawinan
transnasional adalah salah satu bidang yang paling vulnerable terhadap persoalan-persoalan hukum perdata internasional 32. Ikatan semacam itu yang berlangsung antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda tentunya
akan
memunculkan
persoalan-persoalan
Hukum
Perdata
Internasional dalam bidang hukum keluarga. Persoalan-persoalan tersebut meliputi masalah validitas perkawinannya sendiri. Kekuasaan orang tua, status anak, dan konsekuensi-konsekuensi yuridik lainnya dari perkawinan itu. Menurut Pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara Warga Negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara
tersebut
dan
tidak
melanggar
ketentuan-ketentuan
dalam
KUHPerdata 33. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri
32
ibid, hlm 274 Pasal 83 KUHperdata menyebutkan : Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama Warga Negara Indonesia, maupun antara Warga Negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian 1 Bab ini. 33
43
tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka 34. Pada Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama Warga Negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah Warga Negara Indonesia sedang yang lain adalah Warga Negara Asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar UndangUndang ini 35. Pasal 56 ayat (2) menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka 36.
34
Pasal 84 KUHperdata menyebutkan : Dalam waktu satu tahun setelah kembalinya suami istri ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka. 35 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, hlm. 56 36 Ibid
44
BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA (WNI) DENGAN WARGA NEGARA ASING (WNA) BERBEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI SUDUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA
A. Perkawinan Berbeda Agama Dan Perkawinan Berbeda Negara Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa, kebudayaan dan agama yang telah hidup secara beriringan sesuai dengan perkembangan, sejak jaman kerajaan sampai Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan merdeka sejak tahun 1945.
1.
Dasar Hukum Kehidupan Beragama Pengaturan kebebasan beragama di Indonesia tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 45 yang berbunyi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Hal ini berarti bahwa negara menjamin sepenuhnya mengenai kebebasan dalam memilih dan menjalankan suatu agama yang didasari oleh kebebasan memeluk agama juga diatur keyakinan tiap-tiap warga negaranya serta melaksanakannya, Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 dan surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/805/sj dikeluarkan tanggal 31 maret 2000 yang mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/774054 telah ditentukan dengan peraturan tersebut mengakui 6 agama di Indonesia
45
seperti agama Islam, Kristen katolik, Kristen protestan, Hindu, Budha, dan agama Konghucu yang telah berumur lebih dari 5000 tahun. Pengaturan mengenai kebebasan memeluk agama tidak hanya di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia menghormati juga, kebebasan memeluk agama juga diatur didalam pernyataan umum tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2 yang berbunyi : “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam pernyataan ini tanpa perkecualian apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan, atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain” Pasal di atas memberikan makna bahwa tidak ada diskriminasi terhadap setiap individu dalam hal yang meliputi, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan, atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain. Pasal 2 HAM ini memberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang berlaku bagi semua negara dan wajib untuk dipatuhi oleh setiap negara guna menegakan suatu perlindungan yang bersifat asasi bagi setiap individu.
2.
Agama Dan Perkawinan Agama merupakan suatu pondasi bagi setiap individu untuk dapat menyikapi setiap peristiwa dengan cara yang telah di ajarkan oleh masing-
46
masing agama kepada umatnya. Ketakwaaan dari setiap umat beragana terhadap agamanya adalah suatu bentuk dari yakinnya seorang umat terhadap tuhannya. Perkawinan merupakan salah satu bentuk dari ibadah yang harus dilakukan bagi setiap individu untuk melanjutkan keturunannya.
3.
Perkawinan Beda Agama Masyarakat Indonesia saat ini sebagian melaksanakan perkawinan beda agama, meskipun perkawinan tersebut tidak diatur dalam undang-undang perkawinan nasional, keanekaragaman Indonesia menjadi salah satu faktor untuk dapat terjadinya suatu perkawinan antar agama (beda agama) interaksi sosial antar masyarakat dapat dijadikan suatu faktor bahwa perkawinan beda agama diminati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia, tanpa memperhatikan adanya perbedaan agama antara calon suami istri. Dalam memahami perkawinan beda agama
menurut undang-undang
perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 (f). Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik beratkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga
47
mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. 37
4.
Pengaturan Mengenai Perkawinan Yang Mempunyai Unsur Asing Menurut Hukum Perkawinan Indonesia Belum Jelas Perkawinan yang didalamnya mengandung unsur asing (Foreigen element) termasuk kedalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional. Perkawinan seperti ini meliputi perkawinan campuran dan perkawinan warga Indonesia di luar negeri. Adanya unsur asing dalam suatu perkawinan termasuk dalam perkawinan campuran menurut Pasal 57 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa “yang dimaksud perkawinan campuran dalam undangundang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Sejak di undangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terjadi unifikasi terhadap peraturan-peraturan mengenai perkawinan
37
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 17-18
48
yang berlaku di Indonesia dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 inipun berlaku secara efektif di seluruh Indonesia. Syarat sahnya perkawinan antara dua orang Warga Negara Indonesia diluar negeri maupun perkawinan campuran diluar negeri diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang isinya : a) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. b) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Syarat sah perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri seperti yang dinyatakan Pasal 56 diatas, tidak secara materil
dan syarat formil untuk
melangsungkan perkawinan diluar negeri, apakah harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu dibutuhkan kaidah Hukum Perdata Internasional yang lebih jelas untuk mendukung pengaturan tersebut.
49
Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Internasional Indonesia termasuk kedalam bidang status personil. Status personil adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi 38. Terdapat dua macam prinsip dalam status personil di dunia ini, yaitu prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Prinsip nasionalitas adalah perinsip yang mengaitkan seseorang kepada hukum nasionalnya berdasarkan kewarganegaraan orang tersebut, sedangkan prinsip domisili adalah prinsip yang mengaitkan status personil seseorang berdasarkan domisili orang tersebut (tempat dimana orang tersebut berada). Pada awalnya Indonesia menerapkan prinsip domosili baru setelah ada peraturan kewarganegaraan tersendiri dalam bentuk “wet op het nederland onderdaanschap” dari 1910 (S.1910 No. 296) maka dirasa perlu untuk meninjau kembali prinsip domisili yang tadinya dipergunakan dalam status personil. Akibat dari kurang jelasnya pengaturan mengenai perkawinan campuran maupun perkawinan antar Warga Negara Indonesia diluar negeri ini dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apa yang menjadi syarat formil dan syarat materil, maka untuk solusinya dilakukan analogi dengan kaidah yang terdapat dalam Pasal 10 S.1898 No. 156 tentang perkawinan campuran yang berbunyi 39: “perkawinan campuran yang dilangsungan diluar Indonesia, atau didalam Indonesia yang masih terdapat swapradja, adalah sah jika dilangsungkan menurut formalitas dari tempat 38 39
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, opcit, hlm 3. Sudargo Gautama,ibid,hlm 205.
50
perkawinan dilangsungkan, asal saja tidak ada pihak yang bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat menurut hukum yang berlaku baginya untuk menikah” B. Beberapa Contoh Kasus Perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) Dengan Warga Negara Asing (WNA) Dan Berbeda Agama Yang Berlangsung Di Luar Negeri Masalah perkawinan berbeda agama dan yang berbeda kewarganegaraan, sering kali tidak disadari oleh pasangan suami/istri terhadap agama dan keturunan yang dihasilkan dari perkawinan beda agama dan yang beda kewarganegaraan, masalah warisan yang diperoleh dari perkawinan apabila terjadi cerai. Contoh kasus 40: 1.
Perkawinan Campuran Antara Berdger Dengan Astrie Perkawinan
beda
berkewarganegaraan Jerman
warga
negara
dan
beda
agama,
berdger
beragama khatolik, sedangkan istrinya yang
bernama Astrie berkewarganegaraan Indonesia beragama islam. Berdger adalah seorang pelaku pernikahan antar agama. Berdger seorang khatolik, sedang istrinya seorang muslimah yang berjilbab. Kendala awalnya terjadi ketika melamar. Sebetulnya berdger sudah dekat dengan calon mertuanya sebelum menikah. Tetapi ketika berdger melamar, situasinya menjadi serius sekali. Ketika berdger melamar, mertua berdger mengharuskan berdger pindah
40
www.hukumonline.com/klinik_detail.asp, www.scribed.com
51
agama dahulu untuk dapat menikahi anaknya. Berdger sendiri menolaknya, karena tidak mau masuk islam hanya formalitas untuk menikah saja. akhirnya, saat pernikahan, orang tua istri berdger tidak bisa hadir. Ini kesulitannya dan merupakan yang paling berat bagi istri berdger.
a. Bagaimana dengan prosedur di catatan sipil dan prosesi pernikahannya Berdger menikah diluar negeri, karena permasalahan hukum di Indonesia yang
tidak
membolehkan
perkawinan
beda
agama,
apalagi
berdger
berkewarganegaraan Jerman. Jadi mereka berdua menikah secara Kristen Khatolik di Jerman. Disana ada dispensasi untuk menerima istri berdger yang tetap beragama Islam. Yang menjadi persoalan besar dalam pernikahan antar agama ini adalah persoalan anak. Status agama anak berdger berbeda agama. Pernikahan mereka kini telah melewati masa hampir tujuh tahun. Kesepakatannya memang terserah pada anak itu mau memilih agama apa. Tapi kemudian berdger melihat kenyataan bahwa dirumah anak-anak lebih banyak waktu dengan istrinya. Istri berdger beragama dengan baik, shalat lima waktu dan berjilbab. Kemudian anak berdger di didik secara Islam dan berdger sendiri berpikir, kalau anaknya beragama Islam secara baik, kenapa tidak? Sementara karena berdger lebih banyak waktu dikantor, tidak normal juga kalau berdger menuntut
anaknya
beragama
Khatolik
sementara
mencurahkan waktu untuk mendidik anak secara Khatolik.
berdger
tidak
bisa
52
b. Bagaimana Status Kewarganegaraan Anak Berdger Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Oleh karena itu, apabila sang ibu berkewarganegaraan Indonesia, maka sang anak mengikuti warga negara dan hukum sang ibu. Bila sang ibu berkewarganegaraan asing, maka si anak akan ikut warga negara ibunya yang Warha Negara Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan (undang-undang kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf (g), mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai Warga Negara Indonesia, yaitu: “anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia”.
c. Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Berdger dengan Astrie Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 1) Permasalahan dalam perkawinan campuran Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya : a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 62 tahun 1958, seorang perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan seorang Warga Negara Asing bisa kehilangan kewarganegaraannya,
53
apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami Warga Negara Asing bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi Warga Negara Asing biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki-laki Warga Negara Asing sementara istri Warga Negara Indonesia tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan, dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan. b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI) Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan Warga Negara Asing menikah dengan pria Warga Negara Indonesia, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati, maka permohonan untuk menjadi Warga
54
Negara Indonesia harus
mengikuti persyaratan yang berlaku bagi
Warga Negara Asing biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan Warga Negara Asing ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas setiap kali melakukan perjalanan keluar negeri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor. Bila suami meninggalkan tanah hak yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita Warga Negara Asing tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan hanya sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari Warga Negara Indonesia, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pendapatan rumah tangga. 2) Anak hasil perkawinan campuran Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai Pasal 13 ayat (1) UndangUndang No. 62 Tahun 1958 : “anak yang berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu kewarganegaraan Republik Indonesia, turut
55
memperoleh kewarganegaraan Repubik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan” Dalam ketentuan undang-undang kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara Indonesia dan bisa menjadi Warga Negara Asing : a. Menjadi Warga Negara Indonesia Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita Warga Negara Asing dengan pria Warga Negara Indonesia (Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang No. 62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anakanak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak-anaknya yang menjadi Warga Negara Indonesia di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meninggal tidak jelas apakah istri (Warga Negara Asing) dapat memperoleh pensiun suami. b. Menjadi Warga Negara Asing Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Anak
56
tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai Warga Negara Asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada Pasal 3 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu Warga Negara Indonesia yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih dibawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UndangUndang No. 62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan
hilangnya
kewarganegaraan
anak-anaknya
yang
memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
57
d. Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Berdger dengan Astrie Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 1) Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran Undang-undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: a. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang
ini
pada
dasarnya
tidak
mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian.
58
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. 2) Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan undang-undang ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Indonesia, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan
baru
di
kemudian
hari
atau
tidak.
Memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia
memiliki
sistem
Hukum
Perdata
Internasional
peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal Indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 AB.
59
(mengikuti Pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari Pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan Pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Bila
dikaji
dari
segi
Hukum
Perdata
Internasional,
kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban
60
umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memenuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (Pasal 8 Undang-Undang No.1 tahun
1974),
namun
berdasarkan
hukum
dari negara
pemberi
kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya. Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli Hukum Perdata Internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli Hukum Perdata Internasional. 2.
Perkawinan Campuran Antara David Handi dan Arissa Reunion David
berkewarganegaraan
Indonesia
menikah
dengan
Arissa
berkewarganegaraan Prancis di Jepang. Mereka berbeda agama, David beragama Islam sedangkan Arissa beragama Kristen khatolik, tetapi mereka tidak
61
melangsungkan perkawinan meunurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinannya telah didaftarkan di Kedutaan Besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang dalam minimal 1-2 tahun mendatang. Setelahnya, mereka masih belum memutuskan, tetapi mereka berdua sepakat bahwa anak dikemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis. Sehubungan dengan ini, timbul dua permasalahan yang akan dibahas : Pertama, mengenai status keabsahan perkawinan David menurut hukum perkawinan di Indonesia : a. Dengan kondisi di atas, menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Bab 1, Pasal 2, Ayat (1) dan (2), apakah perkawinan tersebut belum sah karena belum di daftarkan di catatan sipil di Indonesia (walaupun telah di daftarkan di Kedubes Indonesia di Jepang)? Apakah proses pencatatan sipil hanya bisa diadakan di Indonesia, dan harus dihadiri kedua belah pihak yang menikah? b. Apakah kerugian dan keuntungan david jika mendaftarkan catatan sipil di Indonesia? Jika david tidak mendaftarkan catatan sipil, apa saja konsekuensi negatifnya, khususnya terhadap anak yang dilahirkan kelak, terutama dalam kejadian misalkan perceraian atau salah satu pihak meninggal? Kedua, mengenai pembuatan surat kontrak/perjanjian perkawinan : a. Dengan kondisi di atas berdasarkan hukum negara mana sebaiknya mereka
membuat perjanjian perkawinan? Misalnya Indonesia, apakah
62
betul bahwa hal tersebut hanya bisa dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan pendaftaran catatan sipil? Dengan kata lain, jika david sudah mendaftarkan catatan sipil, lalu setelahnya ingin membuat perjanjian perkawinan, ini tidak dapat dilaksanakan menurut hukum di Indonesia? Selanjutnya apakah perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Indonesia hanya dapat dibuat di Indonesia, dan di hadiri/tanda tangani di Indonesia? Atau apakah sebaiknya di buat berdasarkan hukum Prancis? Atau di jepang karena mereka menikah di Jepang dan masih berdomisili di Jepang dalam beberapa tahun mendatang? b. Apakah perjanjian pernikahan yang dibuat di negara A berdasarkan hukum negara tersebut, hanya efektif dan sah selama digunakan di negara A tersebut? Tanpa kepastian tentang di negara mana masalah yang memerlukan penggunaan perjanjian perkawinan terjadi, bagaimana masing-masing pihak melindungi hak dasar dirinya dan anaknya di kemudian hari, misalnya dalam kasus perceraian atau kematian salah satu pihak lainnya? c. Apakah perjanjian pernikahan tersebut (terlepas dibuat di mana pun, berdasarkan hukum negara mana pun) adalah yang paling kuat secara hukum dibanding hukum perkawinan negara tertentu? d. Atau apakah ada hukum internasional yang mengatur pernikahan dan perjanjian pernikahan? Sejak diberlakukan Undang-undang No.1 Tahun 1974, perkawinan beda
63
agama dilarang, tapi perkawinan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan Pasal 57 - 62 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pertama-tama harus ketahui atas perkawinan Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan Warga Negara Indonesia di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini hukum Jepang. Hukum perkawinan Jepang, lewat Horei law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan tersebut secara formil telah sah. Tapi pelaksanaan Pasal 56 tersebut harus didahului oleh pelaksanaan Pasal 60 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan untuk setiap Warga Negara Indonesia yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Konsepsi perkawinan yang harus dianut adalah bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena konsepsi ini, perkawinan di Indonesia haruslah sah menurut hukum agama.
64
Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan Besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah catatan sipil Jepang, bukan catatan sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinan ini harus didaftarkan ke buku pendaftaran di perwakilan RI dan dilaporkan ke catatan sipil Indonesia. Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal Warga Negara Indonesia. Untuk melaporkan perkawinan tersebut di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut Pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 16 Tahun 2005 diperlukan dokumendokumen Bukti Pengesahan Perkawinan di Luar Indonesia, Kutipan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, Paspor Kedua Mempelai, dan Pas Foto berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak empat lembar. Sebaiknya pelaporan memang dihadiri oleh kedua mempelai secara langsung. Namun jika tidak ada rencana kembali ke Indonesia dalam waktu dekat, mungkin pemberian kuasa khusus kepada advokat atau konsultan hukum dapat dipertimbangkan sebagai opsi. Keuntungan melaporkan perkawinan tersebut di Indonesia baru terasa kelak jika ingin bercerai. Jika perkawinan tersebut sah dan telah dilaporkan,
65
pengadilan Indonesia akan tanpa ragu menerima permohonan cerai. Jika tidak dilaporkan, ada kemungkinan Pengadilan Indonesia menyatakan tidak berwenang terhadap permohonan cerai sehingga terpaksa harus kembali ke Jepang hanya untuk bercerai. Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status dwikewarganegaraannya
diketahui.
Lalu
dengan
diketahuinya
status
dwikewarganegaraan, anak tersebut nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya seperti misalnya memiliki tanah. Jika status Warga Negara Indonesianya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apapun yang dibatasi untuk orang asing. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami istri untuk mengatur akibat perkawinan mengenai harta kekayaan. Pada dasarnya, perjanjian hukum perkawinan dibuat untuk mengadakan penyimpangan tentang persatuan harta kekayaan dalam KUHPerdata. Tapi dalam Pasal 29 UndangUndang No. 1 tahun 1974, perjanjian kawin diatur secara sederhana agar dapat dikembangkan. Tapi, walaupun dapat dikembangkan, perjanjian kawin hanya boleh mengatur tentang harta kekayaan. Hal ini disebabkan karena ingin menyimpangi ketentuan tentang persatuan harta setelah perkawinan. Untuk alasan ini, perjanjian perkawinan harus dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
66
Pasal 1395 Code Civil Perancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Perancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak. Secara Internasional, Perancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait. Di Jepang, Hukum Horei memperbolehkan pasangan yang menikah di Jepang untuk memilih hukum yang berlaku atas harta kekayaan mereka setelah menikah. Namun pilihan terbatas pada hukum tempat tinggal tetap, hukum asal kewarganegaraan, atau menyangkut benda tidak bergerak seperti tanah, hukum tempat kedudukan tanah. Perjanjian perkawinan yang sah tetap valid walaupun pasangan mempelai telah pindah ke negara lain jika telah didaftarkan di Jepang.
67
BAB IV ANALISIS TERHADAP HUKUM PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING DAN BERBEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI
A. Apakah Pengaturan Perkawinan Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia Sudah Mencukupi Dalam Menyelesaikan Persoalan Yang Dialami Warga Negara Indonesia Dalam Hukum Perdata Internasional persoalan pokok perkawinan adalah sistem hukum manakah yang harus diberlakukan terhadap persoalan-persoalan yang dialami Warga Negara Indonesia, masyarakat khususnya Warga Negara Indonesia sering tidak bisa menuntut haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia pengaturan perkawinan belum mencukupi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi atau yang dialami oleh Warga Negara Indonesia, masyarakat sering dibingungkan dengan aturan-aturan, yang sering menjadi masalah dalam perkawinan berbeda kewarganegaraan dan berbeda agama adalah masalah kewarganegaraan ganda, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak yang hasil dari perkawinan tersebut berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan
68
mengikuti kaidah negara yang mana. Berdasarkan hasil wawancara antara penulis dengan beberapa sumber yaitu 41: Ani,
Menurut saya peraturan masalah perkawinan campuran
sangat
berbelit
dan
terlalu
mempersulit, saya sendiri telah melangsungkan pernikahan
dengan
suami
saya
yang
berkewrganegaraan Jepang dengan agama yang berbeda.
Menurut
saya
hukum
perdata
Internasional sampai saat ini belum mencukupi untuk menyelesaikan persoalan perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan, padahal perkawinan merupakan hak setiap orang tanpa harus dibatasi oleh apapun, karena seseorang ingin melakukan suatu perkawinan merupakan
itikad
keuntungan
dan
perkawinan
baik.
Ada
beberapa
dari
Peraturan
Hukum
Perdata
kerugian
Menurut
Internasional : 1. Kerugiannya kami dirugikan dalam hal biaya yang terlalu besar, karena hampir
41
Wawancara dengan beberapa orang yang melangsungkan perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan yang dilangsungkan di luar negeri. tgl 12 Mei 2009.
69
satu bulan harus mengurus, dan yang anehnya lagi suami saya harus pindah agama. Apakah itu tidak bertentangan dengan Undang-undang yang mengatur tentang kebebasan memeluk agama. 2. Keuntungannya kami bisa diakui baik itu di negara suami saya ataupun di negara Indonesia,
karena
setelah
kami
melangsungkan perkawinan di Jepang, langsung melapor kepada kantor catatan perkawinan atau yang kita kenal KUA. Jadi pada intinya Hukum Perdata Internasional belum bisa mencukupi persoalan Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan berbeda agama dan berbeda Kewarganegaraan. Essy
Menurut saya Hukum Perdata Internasional sangat membantu sekali karena orang-orang Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran bisa melaksanakan perkawinannya dengan sah. Walaupun hukum perkawinan di Indonesia sangat membingungkan.
70
Sumber : hasil wawancara dengan sebagian orang yang melangsungkan perkawinan campuran dan perkawinan antar negara. Berdasarkan hasil wawancara dengan sumbernya langsung atau masyarakat yang merasakan langsung apakah hukum perkawinan di Indonesia telah memudahkan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan campuran dan yang berbeda kewarganegaraan, dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa orang di atas menerangkan bahwa, masyarakat masih disulitkan dengan aturan-aturan yang membingungkan masyarakat itu sendiri, hal ini jelas bahwa peraturan perkawinan di Indonesia belum mencukupi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang di alami Warga Negara Indonesia dalam perkawinan campuran dan atau perkawinan berbeda kewarganegaraan. Mengenai perkawinan campuran dan perkawinan berbeda kewarganegaraan banyak perbedaan presepsi berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Kelas I A Bandung yaitu Bapak. Idang Hasan, SH.,M.H beliau mengatakan bahwa 42: “Jadi peraturan perkawinan berbeda kewarganegaraan sudah mencukupi, namun untuk perkawinan campuran atau berbeda agama belum cukup yang mengesahkan perkawinan berbeda agama hanya hubungan hukum antara hukum luar negeri dengan hukum yang berlaku di Indonesia, perkawinan campuran secara tidak tertulis sah menurut negara, namun berdasarkan hukum Islam perkawinan berbeda agama apapun alasannya tetap tidak sah”
42
Wawancara dengan Bapak. Idang Hasan, SH.,M.H, selaku hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung, Tgl 29 Juli 2009.
71
B. Bagaimanakah Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Berbeda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Menurut Perundang-Undangan Tentang Perkawinan Yang Berlaku Di Indonesia Pengaturan mengenai perkawinan yang mempunyai unsur asing menurut hukum perkawinan Indonesia belum jelas, Perkawinan yang didalamnya mengandung unsur asing (Foreigen element) termasuk kedalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional. Perkawinan seperti ini meliputi perkawinan campuran dan perkawinan Warga Negara Indonesia di luar negeri Adanya unsur asing dalam suatu perkawinan termasuk dalam perkawinan campuran menurut Pasal 57 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa “yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Sejak di undangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terjadi unifikasi terhadap peraturan-peraturan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 inipun berlaku secara efektif di seluruh Indonesia. Syarat sahnya perkawinan antara dua orang Warga Negara Indonesia diluar negeri maupun perkawinan campuran diluar negeri diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
72
Syarat sah perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri seperti yang dinyatakan Pasal 56 diatas, tidak secara abovemateril
dan syarat formil untuk
melangsungkan perkawinan diluar negeri, apakah harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu dibutuhkan kaidah Hukum Perdata Internasional yang lebih jelas untuk mendukung pengaturan tersebut. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Internasional Indonesia termasuk kedalam bidang status personil. Status personil adalah kelompok kaidahkaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi43. Terdapat dua macam prinsip dalam dalam status personil di dunia ini, yaitu prinsip nasionalitas (lex Patriae) dan prinsip domisili (domicile). Prinsip nasionalitas adalah perinsip yang mengaitkan seseorang kepada hukum nasionalnya berdasarkan kewarganegaraan orang tersebut, sedangkan prinsip domisili adalah prinsiip yang mengaitkan status personil seseorang berdasarkan domisili orang tersebut (tempat dimana orang tersebut berada). Pada awalnya Indonesia menerapkan prinsip domosili baru setelah ada peraturan kewarganegaraan tersendiri dalam bentuk “wet op het nederland onderdaanschap” dari 1910 (s. 1910 no.296) maka dirasa perlu untuk meninjau kembali prinsip domisili yang tadinya dipergunakan dalam status personil. Akibat dari kurang jelasnya pengaturan mengenai perkawinan campuran maupun perkawinan antar Warga Negara Indonesia diluar negeri ini dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 apa yang menjadi syarat formil dan syarat materil, maka 43
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, opcit, hlm 3.
73
untuk solusinya dapat dilakukan analogi dengan kaidah yang terdapat dalam Pasal 10.s 1898 No. 156 tentang perkawinan campuran yang berbunyi 44: “Perkawinan campuran yang dilangsungan diluar Indonesia, atau didalam Indonesia yang masih terdapat swapradja, adalah sah jika dilangsungkan menurut formalitas dari tempat perkawinan dilangsungkan, asal saja tidak ada pihak yang bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat menurut hukum yang berlaku baginya untuk menikah” Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung bapak. Idang Hasan, SH.,M.H bahwa 45: Mengenai keabsahan perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) dan yang berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri menurut perundangundangan yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipungkiri jika perkawinan berbeda agama dan perkawinan berbeda kewarganegaraan semakin marak dilakukan. Hal ini akan timbul persoalan-persoalan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan berbeda agama keabsahannya tidak bisa di akui namun perkawinan berbeda kewarganegaraan bisa di akui di Indonesia karena Indonesia mengakui Hukum Perdata Internasional, tetapi hanya hukumnya saja kita menghormati, sebetulnya yang saya ketahui bahwa tiap agama ada yang melarang perkawinan berbeda agama ada yang tidak melarang, seperti : 1. Agama Islam melarang dengan mutlak perkawinan antar agama bagi wanita islam, sedangkan bagi pria islam terdapat perbedaan antara para ahli hukum islam yang dapat di bagi tiga yaitu : a. Melarang secara mutlak; b. Memperkenankan secara mutlak; c. Memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu.
44
Sudargo Gautama, ibid,hlm 205. Wawancara dengan Bapak. Idang Hasan, SH.,M.H, selaku hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung, Tgl 29 Juli 2009. 45
74
2.
Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antar agama, kecuali dalam hal-hal tertentu dengan syaratsyarat tertentu. 3. Agama Protestan membolehkan dilakukan perkawinan antar agama dengan syarat tertentu. 4. Agama Hindu dan Budha melarang dilakukannya perkawinan antar agama. Namun jika ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan seperti ini tidak sah. Berdasarkan hasil wawancara diatas sangatlah jelas bahwa keabsahan perkawinan seperti di atas masih diragukan karena masing-masing undang-undang berbeda penafsiran hal ini sangat merugikan masyarakat, karena tidak ada kepastian mengenai sah atau tidaknya perkawinan seperti ini khusunya perkawinan berbeda agama.
C. Apakah Hak Yang Telah Diperoleh (Vested Rights) Pasangan Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Berbeda Agama Yang Menikah Di Luar Negeri Dapat Diakui Di Indonesia Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa perkawinan campuran seperti perkawinan yang didalamnya mengandung unsur asing (Foreigen element) termasuk kedalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional. Perkawinan seperti ini meliputi perkawinan campuran dan perkawinan warga Indonesia di luar negeri ini diakui di Indonesia. Perkawinan campuran yang dilangsungan diluar Indonesia, atau didalam Indonesia yang masih terdapat swapradja, adalah sah jika dilangsungkan menurut formalitas dari tempat perkawinan dilangsungkan, asal saja tidak ada pihak yang bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat menurut
75
hukum yang berlaku baginya untuk menikah. Jika pasangan Warga Negara Asing (WNA) dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berbeda agama sah, maka hak yang telah diperoleh ialah status perkawinannya tidak ilegal dan status anak yang dihasilkan dari perkawinannya itu dilindungi oleh negara. Menurut hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A Bandung, Bapak. Idang Hasan. SH.,M.H Bahwa 46: “Hak perkawinan secara hukum dihormati adanya, namun jika ditelaah secara Undang-undang Perkawinan tetap tidak sah, karena jika disah kan perkawinan ini kedepannya akan timbul persoalan-persoalan di dalam perkawinannya”. Menurut hasil wawancara di atas dapat kita telaah bahwa perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan dapat disahkan tetapi itupun hanya perkawinan beda warga negara, dilangsungkan di luar negeri, tetapi untuk perbedaan agamanya tidak dapat disahkan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Maka dari itu masyarakat sangat dibingungkan dengan aturan yang sulit, jika dilihat dari unsur HAM (Hak Asasi Manusia) jelas melanggar, namun bagaimana cara menyikapinya, hal yang paling mudah yang dilakukan pasangan yang akan menikah biasanya salah satu pihak akan pindah agama untuk memudah proses perkawinan agar perkawinannya sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
46
ibid
76
Dengan kata lain, “Hak-hak yang diperoleh” dapat diakui selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup di dalam masyarakat forum. Asas ketertiban umum dan asas pemberlakuan mandatory laws/rules di satu pihak dan asas hak-hak yang diperoleh di lain pihak, sebenarnya merupakan dua sisi dari satu persoalan Hukum Perdata Internasional yang sama, yaitu pemberlakuan dan atau pengakuan oleh lex fori terhadap hukum asing yang seharusnya diberlakukan, baik karena dipilih oleh para pihak maupun karena secara objektif ditunjuk oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lex fori sendiri. Status hukum atau hak-hak yang diperoleh berdasarkan hukum asing itu akan diakui selama dianggap tidak bertentangan atau melawan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat nasional dari forum atau selama mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang sifatnya memaksa. Jika asas “ketertiban umum” merupakan pengecualian terhadap kewajiban untuk memberlakukan kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku berdasarkan proses penentuan lex causae berdasarkan pendekatan Hukum Perdata Internasional, pemberlakuan mandatory laws merupakan pemberlakuan aturan-aturan hukum yang tidak dapat disampingi oleh para pihak melalui perjanjian, tetapi yang pemberlakuannya tidak mengesampingkan berlakunya sistem hukum asing yang seharusnya berlaku. Lebih jauh lagi, di lain pihak, asas “hak-hak yang diperoleh” merupakan pengakuan terhadap berlakunya suatu kaidah hukum intern asing atau hak-hak yang terbit darinya.
77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengaturan perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional sudah mencukupi dalam menyelesaikan persoalan yang dialami Warga Negara Indonesia, tetapi untuk perkawinan berbeda agama masyarakat masih di sulitkan dengan aturanaturan yang membingungkan masyarakat, hal ini jelas bahwa peraturan perkawinan di Indonesia belum mencukupi untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dialami Warga Negara Indonesia dalam perkawinan campuran dan atau perkawinan berbeda kewarganegaraan. 2. Akibat dari kurang jelasnya pengaturan mengenai perkawinan campuran maupun perkawinan antar Warga Negara Indonesia diluar negeri ini dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 apa yang menjadi syarat formil dan syarat materil, maka untuk solusinya dapat dilakukan analogi dengan kaidah yang terdapat dalam Pasal 10.s 1898 No. 156 tentang perkawinan campuran. 3. Perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan dapat disahkan tetapi itupun hanya perkawinan beda warga negara, dilangsungkan di luar negeri, tetapi untuk perbedaan agamanya tidak dapat disahkan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Maka dari itu masyarakat sangat dibingungkan
78
dengan aturan yang sulit, jika dilihat dari unsur HAM (Hak Asasi Manusia) jelas melanggar, namun bagaimana cara menyikapinya, hal yang paling mudah yang dilakukan pasangan yang akan menikah biasanya salah satu pihak akan pindah agama untuk memudah proses perkawinan agar perkawinannya sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. B. Saran 1.
Perlu adanya suatu pasal tambahan mengenai perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan yang dilangsungkan di luar negeri, yang dapat memudahkan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan tersebut, dan supaya masyarakat dapat dilindungi hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
2. Perlu adanya suatu sosialisasi tentang perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, supaya masyarakat lebih dapat memikirkan kembali jika akan melangsungkan perkawinan berbeda agama yang juga berbeda kewarganegaraan dan terdapat unsur hukum asing.
79
DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996. Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986. Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku ke satu edisi keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Bunyamin, Perkembangan Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2005. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996. Darwin Prist, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan HAM, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Edisi revisi 2007. Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas, 1986. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Fakultas Filsafat UGM, Paradigma, Yogyakarta, 2003. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakara, Haji Masagung, 1993. Mudiarti Trisnaningsih,
Relevansi
Kepastian
Hukum Dalam Mengatur
Perkawinan Beda Agama Di Indonesia. CV. Utomo, Bandung, 2007. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni. Bandung, 2003.
80
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988). Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Bumi Aksara, Jakarta, 1995. P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000. Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya, CV. Pioner Jaya, Bandung, 2000. Satjitpto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000. Soedharyo, Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002. Soejono & Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2003. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 1986. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2003. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991. Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta Bandung, 1976. Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta, Liberty, 1989.
81
B. Sumber Lain Universal Decleration of Human Rihts 1948. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974. Peraturan Tentang Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Regeling). Dewi Fortuna, Perkawinan Campuran dalam Hukum Positif di Indonesia, www.psikologiuinjkt2004.wordpress.com, ,tanggal akses, September 23, 2007. Seminar
tentang Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar Negeri di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 18 Mei 2008. www.hukumonline.com (30/05/06).
www.scribed.com. www.hukumonline.com/klinik_detail.asp.