PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI SEBAGAI BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN PENERAPAN HUKUMNYA (STUDI KASUS No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM
PERDINAN MARKOS SIANTURI NIM : 040200248 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI SEBAGAI BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN PENERAPAN HUKUMNYA (STUDI KASUS No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM
PERDINAN MARKOS SIANTURI NIM : 040200248 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana:
( Abul Khair, SH.M.Hum ) Nip: 131 842 845 Pembimbing I
Pembimbing II
( Nurmalawaty, SH.M.Hum.) Nip: 131 803 347
( Rafiqoh Lubis,SH.M.Hum ) Nip: 132 300 076
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa Yang terus memberkati dan memberikan anugerahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulisan
skripsi ini merupakan syarat bagi setiap mahasiswa untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan. Sehubungan dengan syarat tersebut maka penulis telah memilih judul yang menjadi pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tentunya mempunyai kekurangan dan kelemahan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan literatur yang dimiliki oleh penulis.Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang konstruktf bagi diri penulis demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapakan terima kasih yang setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada orang-orang yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................
i
DAFTAR ISI............................................................................................
ii
DAFTAR TABEL....................................................................................
v
ABSTRAKSI............................................................................................
vi
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................
1
A. Latar Belakang.........................................................................
1
B. Ruang Lingkup Permasalahan.................................................
6
C. Keaslian Penulisan...................................................................
7
D. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan................................
8
E. Tinjauan Pustaka......................................................................
9
a) Pengertian Tindak Pidana....................................................
9
b) Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.....................
11
c) Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga...............
13
F. Metode Penelitian.....................................................................
15
G. Sistematika Penulisan..............................................................
17
BAB II. TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No.23 TAHUN 2004...................................................................
19
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
No.23 Tahun 2004...................................................................
18
B. Bentuk-bentuk Penelantaran Istri Dalam Rumah Tangga........
26
C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Tindak Pidana...........................................................................
28
C.1. Para Pelaku Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga..............................................................................
38
C.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penelantaran Istri.................
41
C.3. Sistem Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penelantaran Istri..............................................................
43
BAB III. KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN LAIN YANG TERKAIT DENGAN TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI.................................................................
49
A. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam......
49
B. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia...................................................................
56
BAB IV. IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA TERHADAP TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DALAM PUTUSAN PENGADILAN.......................................
63
A. Kasus Posisi.............................................................................
63
B. Analisa Kasus...........................................................................
72
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................
78
A. Kesimpulan..............................................................................
78
B. Saran.........................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI Keluarga merupakan hubungan yang dibina atas dasar cinta dan kasih sayang, namun dalam kenyataan sehari-hari terdapat beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang salah satu bentuknya adalah tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh suami karena menelantarkan keluarganya. Adanya kesadaran dan tuntutan para kalangan Feminis untuk mendapat legitimasi perlindungan dari ancaman bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang salah satunya adalah penelantaran dalam rumah tangga melatarbelakangi lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kriminaslisasi tindakan penelantaran rumah
tangga
menimbulkan
pembahasan lebih lanjut terhadap beberapa permasalahan tentang pengaturan tindak pidana penelantaran istri oleh suami menurut Undang-undang No.23 Tahun 2004, dan melihat tentang pengaturan ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur hal tersebut serta penerapan hukumnya. Dengan menggunakan metode penelitian yang yuridis normatif dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan studi pustaka dan mengembangkan teori-teori yang telah ada dengan melihat data yang didapat dari pengadilan Negri Medan. Dari metode tersebutlah penulis akan membahas lebih lanjut mengenai permasalahan yang timbul dalam penulisan. Dalam pembahasan permasalahan tersebut maka dapat disimpilkan bahwa tindakan penelantarn rumah tangga telah diatur terlebih dahulu dalam perturan lain yaitu hukum islam dan Undang-undang Hak asasi manusia, namun lgitimasi tindakan penelantaran istri oleh suami sebagai tindak pidana hanya diatur lebih khusus dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004. Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini berbagai peristiwa yang terjadi cukup kiranya untuk mengambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya dijumpai dalam novel, dan dinegara-negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang menciptakan korban-korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun ekonomis. 1 Rumah tangga seharusnya adalah tempat yang aman bagi para anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar ikatan lahir batin diantara keduanya. Akan tetapi, pada kenyataannya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindak kekerasan. Menurut Pasal 33 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: “Antara suami-istri mempunyai kewajiban umtuk saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Bahkan, suami-istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup didalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 Undang-undang Perkawinan). Adapun tujuan dari Undang-undang Perkawinan mengatur hal tersebut adalah
1
Harkristuti Harkrisnowo.,Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Perspektif Sosio-Yuridis, Yogyakarta:Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001,hal.157 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
agar rumah tangga terhindar dari perselisihan dan tindakan kekerasan. Namun, kenyataannya berbicara lain karena semakin banyak kekerasan dalam rumah tangga. Berkaitan dengan fenomena ini Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan: “Fenomena yang memprihatinkan adalah bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan yang sudah diangkat isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Menguak kuasa dari ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit untuk mengakui adanya masalah.” 2 Untuk menanggapi fenomena tersebut maka pada tahun 1997 sebagai respon terhadap dekade perempuan Internasional, untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia memasukan kebijakan perempuan dalam GBHN yang populer dengan kebijakan ganda perempuan. Selanjutnya berdasarkan Undangundang No.5 Tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang tentang pengesahan “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment” (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Dengan disahkannya konvensi ini, maka pemerintah Republik Indonesia menyatakan akan melaksanakan konvensi dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara, terutama dalam hal perlindungan bagi perempuan akan semakin membantu memberikan rasa keadilan terhadap tindakan kekerasan yang dialami perempuan.
2
Harkristuti., Ibid 158
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Tentunya hal ini juga semakin menunjukan keseriusan pemerintah dalam memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka. Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. 3 Ideologi gender dan budaya patriarki kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal misalnya: relasi suami-isteri, keluarga dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat domestik dan privat ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat/ individu lain dan negara. Akibat budaya patriarki dan ideologi gender tersebut juga berpengaruh pada ketentuan didalam Undang-undang perkawinan yang membedakan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 Undang-undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termaksuk melalui kekerasan. Kondisi tesebut menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan yang terjadi didalam ruang lingkup privat/domestik ini
3
Niken Savitri,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,Bandung:PT Refika Aditama, 2008, hal 20 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
menjadi tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang melanggar hak perempuan dan seharunya menjadi tanggung jawab negara dan aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu, juga ada kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbannya. Hal ini dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum para pelaku sering mengalami kegagalan, khususnya terhadap perempuan tidak pernah dianggap sebagai masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia. 4 Padahal, Kekerasan dalam Rumah Tangga sebenarnya merupakan kejahatan terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu rumah tanggga. Anggapan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan urusan rumah tangga timbul diantara suami-isteri yang hubungan hukum antara individu tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan hukum antar individu tersebut, penegakan hukumnya dilakukan dengan cara mengajukan gugatan kepengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Undangundang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (pidana). Dengan seringnya muncul berita dalam media masa tentang kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan bagi korban, menyebabkan 4
Ita F.Nadia,Kekerasan Terhadap Perempuan dari Perspektif Gender (Kekerasan Terhadap Perempuan, Program Seri Loka Karya Kesehatan Perempuan) , Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation, 1998 , hal 3 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
sebagian masyarakat menghendaki agar pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dipidana. Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan Pasal 90, tetapi kekerasan yang dimaksud dalam KUHP tersebut hanya ditujukan pada kekerasan fisik. Selain itu juga tidak mengatur kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga yang termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004. Berdasarkan kelemahan yang dimiliki Undang-undang Perkawinan dan KUHP maka diperlukan aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini berarti dibutuhkan aturan hukum yang jelas dan kebijakan publik mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga karena ketiada aturan hukum dan kebijakan publik yang jelas akan semakin menyuburkan praktik Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut. Upaya untuk mengatur Kekerasan dalam Rumah Tangga ke dalam suatu perundang-undangan telah dilakukan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 untuk menghapus segala bentuk kekerasan di bumi Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, juga sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diretifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Dengan demikian, terlihat ada perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi dirumah tangga bukan semata-mata merupakan Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
urusan privat, melainkan juga masalah publik, dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur melalui Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Meski demikian, lahirnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak serta-merta akan memenuhi harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan, baik kekuasaan ekonomi, sosial, maupun budaya. 5 Dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 telah dipaparkan beberapa lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana salah satu bentuk kekerasan tersebut adalah “penelantaran rumah tangga” dimana tidak terdapat penjelasan yang pasti mengenai apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga. Dengan hal-hal yang dipaparkan diatas, dan didorong oleh keinginan untuk mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga dan melihat bagaimana penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran rumah tangga tersebut, maka akan diulas dalam skripsi ini. Dan sebagai tambahan alasan pemilihan judul tersebut adalah masih kurangnya pengertian masyarakat umum dan kalangan akademis untuk memahami penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran rumah tangga, dimana penelantaran Isteri oleh suami sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
5
Arief sidharta, HAM Permpuan Kritik Teori Feminis Terhadap KUHP, Bandung:Reflika Aditama, 2008, hal 3 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
B. Ruang Lingkup Permasalahan Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
diuraikan
diatas,
maka
permasalahan dalam skripsi dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana mentelantarkan isteri oleh suami ditinjau menurut Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga? 2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dengan tindakan penelantaran isteri oleh suami? 3. Bagaimana implementasi ketentuan pidana terhadap tindakan penelantaran istri oleh suami dalam putusan pengadilan?
C. Keaslian Penulisan Adapun hasil dari penulisan skripsi ini merupakan hasil buatan sendiri tanpa ada bentuk jiplakan dari karya tulis mananpun. Dimana untuk menunjukan bahwa tulisan ini adalah asli adanya, dapat dilihat dari rangkaian judul tulisan ini dan dari hasil penelusuran terhadap perpustakaan Fakultas Hukum Maupun Perpustakaan Universitas Sumatera Utara menyangkut judul”penelantaran istri oleh suami sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dan penerapan hukumnya.” Dalam pembahasan tulisan skripsi ini, penulis juga mengambil permasalahan dari berita hangat yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, dan juga penulis menggunakan perbandingan analisa kasus tahun 2005 dengan kasus tahun 2007. Dan apabila ada kemiripan dari tulisan skripsi ini dengan hasil tulisan yang lain, maka hal tersebut bukanlah merupakan kesengajaan yang dibuat oleh
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
penulis, dan apabila dikemudian hari ditemukan skiripsi yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan. Dari segi ilmiahnya pembahasan ditujukan pada beberapa hal yaitu: 1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana mentelantarkan isteri oleh suami ditinjau menurut Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. 2. Untuk mengetahui ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dengan tindakan penelantaran isteri oleh suami. 3. Untuk mengetahui implementasi ketentuan pidana terhadap tindakan penelantaran istri oleh suami dalam putusan pengadilan. Dari keempat hal yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini secara ilmiah, maka dapat diambil beberapa hal yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini yaitu: 1. Manfaat teoritis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan bagi kalangan akademis akan pemahaman lebih lanjut terhadap tindakan penelantaran rumah tangga. Penulisan ini juga diharapkan memberi pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan hukum pidana khususnya mengenai penerapan sanksi pidana terhadap tindakan suami menelantarkan istri sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. 2. Manfaat praktis Penulisan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran para pembaca dan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pelaksanaan penegakan hukum Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
demi terciptanya masyarkat yang tertib, hukum yang adil dan memberi kepastian hukum bagi masyarkat. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan solusi terhadap problematika dalam masyarakat yaitu tindakan penelantaran rumah tangga dalam masyarkat.
E. Tinjauan Kepustakaan Untuk lebih mempermudah pembaca mengetahui isi skripsi ini dan untuk menjaga tidak terjadi kesalahpahaman, maka perlu kiranya diberikan beberapa uraian sebagai berikut: a) Pengertian Tindak Pidana Istilah
tindak
pidana/pristiwa
pidana/perbuatan
pidana/perbuatan-
perbuatan yang dihukum/ strafbar feit mempunyai arti yang sama, seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut: 6 1. Mezger menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. 2. J.Bauman menyatakan tidak pidana adalah kesluruhan syarat untuk adanya pidana. 3. Karni menyatakan perbuatan pidana adalah delik yang mengandung perbuatan perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dan dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. 4. wirjono prodjodikoro menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. 6
Sudarto, Hukum Pidana I,Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hal 41-43
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
5. W.P.J Pompe menyatakan bahwa menurut hukum positip strafbar feit adalah tindakan daripada feit yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-undang. Didalam teori beliau menyatakan bahwa strafbar feit adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbar feit, kadang-kadang juga delik yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara anglosaxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu sraffbar feit. Timbulah masalah dalam menterjemahkan istilah strfbaarfeit ke dalam bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit itu. Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjukan kepada suatu kejadian saja, misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Sekarang ini semua Undang-undang telah memakai istilah tindak pidana, seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Undang-undang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Istilah tindak pidana itupun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang-undangan yang
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
memakai kata “tindak pidana” baik dalam Pasal-Pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “Perbuatan”. 7 Tetapi A. Z. Abidin menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah padananya saja, yang umum dipakai oleh para sarjana saja, yaitu delik. Memang jika diperhatikan hampir semua penulis memakai istilah “delik” disamping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh disamping memakai “Perbuatan Pidana” juga memakai istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, disamping memakai istilah “tindak pidana” juga memakai istilah “delik”. 8 Melihat hal tersebut ternyata masih ada kontroversi antara pengertian tindak pidana dan delik pidana akan tetapi penulis akan menggunakan bahasa yang lebih sering digunakan oleh aparat penegak hukum yaitu istilah tindak pidana dengan alasan agar lebih menyesuaikan dengan penggunaan bahasa dalam realita peradilan yang ada saat ini. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah setiap pebuatan-perbuatan seseorang yang melanggar hukum baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut. Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenal adanya mengenal adanya delik aduan, yang mana delik tersebut juga ada dua jenis yaitu: 9 1. Delik aduan yang absolut
7
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana, Jogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1959, hal 8 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Jakarta : Aksara Baru,1983, hal 9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,Jakarta: PT Grafindo Persada,2002, hal 129 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Yaitu tiap delik yang dalam keadaan apapun hanya dapat dilakukan penuntutan apabila telah adanya pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana. 2. Delik aduan yang relatif Yaitu tiap delik yang memberikan kesempatan kepada pemerintah dalam melakukan penuntutan apabila tidak adanya pengaduan. b) Pengertian Kekerasan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Secara umum pengertian kekerasan adalah: “Perihal yang bersifat, berciri keras:Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan atau barang orang lain: Paksaan.” 10 Dalam kenyataan ditengah masyarakat, sejumlah besar kekerasan terhadap perempuan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam sistem hukum, termasuk aparat hukumnya sendiri dan juga budaya hukum yang ada di dalam masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan makna kekerasan atau persepsi mengenai tindak kekerasan itu sendiri dalam masyarakat. Tindak kekerasan atau Violence pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat bergantung pada masyarakat itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi Dikutip dari Michael Levi (1994 Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu: “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunkan kekerasan.”
10
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka,edisi ketiga,2001, hal 425 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, yang dimaksud tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang tiadak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi pada dirinya.
Pengertian
kekerasan
seperti
tersebut
diatas
dapat
dikatakan
penganiayaan. 11 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Pasal 1 UandangUndang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebenarnya adalah: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama permpuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut draft Usulan Perbaikan Atas Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga. Dari dua definisi tersebut diatas terlihat untuk siapa Undang-undang ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi. Dikutip dari
11
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeae, 1993, hal 98 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Schafer dan Caentano (1998) dalam Elizabet Kandel Englander menyatakan bahwa pihak yang mengalami suberdinasi dalam kenyataanya bukan hanya perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak, melainkan juga laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak. Hanya saja selama ini fakta menunjukan bahwa korban yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagian besar adalah perempuan. c) Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undangundang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: “Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.” Jika dibandingkan dengan draft Rancangan Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, kekerasan fisik diartikan sebagai: “sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang. Dari kedua definisi di atas terdapat perbedaan-perbedaan, bahkan dalam penjelasan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dimasud dengan rasa sakit adalah: “kondisi seseorang mengalami penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1 x 24 jam. Kemudian yang dimasud dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
“Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada sesorang.” Contoh-contoh perbuatan yang dikategorikan kekerasan psikis adalah sebagai berikut: menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan kehendak, mengisolasi istri dari dunia luar. Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hanya memberi penjelasan pada Pasal 8 huruf a bahwa: “Yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.” Kemudian, untuk penjelasan Pasal 8 huruf b hanya disebutkan cukup jelas. Jika dicermati, penjelasan huruf a ini seharusnya diperuntukan untuk huruf b. Selanjutnya, penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkungan rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelataran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Menurut Soerjono soekamto sebagaimana dikemukakan oleh Burhan Ashofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa: 12 1. Inventaris hukum positif; 2. Penemuan azas hukum; 3. Penemuan hukum in concreto; 4. Perbandingan hukum; 5. Sejarah hukum. Soetandyo
Wignjosoebroto
sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Bambang Soegono, membagi penelitian hukum doktrinal sabagai berikut: 13 1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif; 2. Penelitian yang berupa usaha penemuan azas-azas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrinal) hukum positip; 3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan, alasan dipilihnya kota medan dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana penelantaran
12 13
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rieneka Cipta, 1996, hal 14 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, hal 43
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
rumah tangga yang mana dalam hal ini korbannya adalah perempuan sebagai istri yang mana dalam penyelesaiannya belum memuaskan. 3. Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah: Data sekunder, diperoleh melalui pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan ijazah. 14 1. Metode Pengumpulan Data Penelitian Kepustakaan (Library Research) adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, pendapat sarjana dan bahan kuliah dan penerapannya dalam praktek di Indonesia. 2. Analisis data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data skunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G.Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembaca maka penulis akan memnguraikan sistematika penulisan yang dimulai dari Bab I sampai Dengan Bab V antara lain: 14
Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI-Press,1984 hal 12
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pada Bab I Penulis memulai dengan pendahuluan yang berisikan pemaparan judul, latar belakang , keaslian penulisan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka dan metode penelitian yang digunakan. Pada Bab II beirsikan tentang pembahasan terhadap topik “tindakan penelantaran istri oleh suami ditinjau dari Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga”, yang terdiri dari beberapa sub-sub bahasan yaitu dimulai dari latar belakang lahirnya Undang-undang kekerasan dalam
rumah
tangga,
selanjutnya
tentang
bentuk-bentuk
penlantaran istri oleh suami dalam rumah tangga, penelantaran istri oleh suami sebagai bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, para pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga, unsur-unsur tindak pidana menelantarkan istri, sistem sanksi terhadap pelaku tindak pidana menelantarkan istri. Pada Bab III Pembahasan dilajutkan dengan topik bahasan “ketentuan perundangundangan lain yang terkait dengan tindakan menelantarkan isteri oleh suami” yang terdiri dari tindakan menelantarkan istri oleh suami sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut hukum islam, dan penelantaran istri oleh suami menurut Undangundang Hak Asasi Manusia. Pada Bab IV mengakhiri dari pembahasan dari tulisan berupa bentuk implementasi Penelantaran istri oleh suami dalam putusan pengadilan yang terdiri dari kasus posisi dan analisa kasus yang
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
disusun oleh saya selaku penulis. Dan Akhirnya penulis mengakhiri tulisan ini Pada Bab V yang mana terdiri dari Kesimpulan dan saran.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB II TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki ditengah-tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang layak dikorbankan dan dipandang sebatas alas kaki diwaktu siang dan alas tidur diwaktu malam. Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada semisal Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan rancangan
perubahannya,
Undang-undang
Perkawinan
dan
rancangan
amandemennya, Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi dan Undang-undang lainnya memang dari awal tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, melainkan hanya untuk memihak dan melindungi nilainilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kasus perkosaan, perdangangan perempuan dan kasus pornografisme sebagai persoalan kesusilaan bukan dalam rangka melindungi integritas tubuh perempuan Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
yang justru sering menjadi korban. Implikasinya selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jka pada tataran tertentu hukum-hukum tersebut
justru
dianggap
sebagai pengukuh
marjinalisasi
perempuan. Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga mereka merasa perlu melakukan pembaharuan institusional dan hukum yang lebih memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Pembaharuan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma, dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Adapun pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melelui legislasi produk hukum yang lebih bersifat jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang pertama kali mereka lakukan adalah mendesak Pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No.181 Tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diantaranya adalah melalui penyusunan Undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
sekaligus melalui pemberian advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ketengah-tengah masyarakat. Hasilnya adalah disahkannya Rancangan Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi UndangUndang. Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan bukti konkret sikap formal negara yang menyatakan kekerasan di dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi. Pandangan ini linier dengan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maupun amandemennya. Sebagai rujukan hukum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terbukti tidak mampu memberikan perlindungan optimal bagi korban, karena kedua aturan tersebut masih bersifat umum, tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarki dan feodal, serta adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya disparatis sosial dan bias gender. 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dan Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana merupakan landasan dalam menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana, namun kedudukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak bisa terlepas dari sistem hukum kebiasaan dalam masyarakat, dimana Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak dapat memberikan adanya perlindungan hukum terhadap para korban kekerasan dalam tangga dan para pencari keadilan yang menyangkut adannya kekerasan 15
J.Kartini Soedjendro, Pelembagaan Sosialisasi PKDRT,Jakarta: Suara Merdeka, 2005
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
dalam rumah tangga, hal tersebut karena budaya patriarki dan feodal, meskipun dibeberapa daerah menganut budaya matrilineal namun negara Indonesia yang terdiri dari beberapa suku bangsa ini hampir seluruhnya menganut budaya partiarki, dan adanya anggapan bahwa tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan privat juga didukung oleh adanya disparatis sosial membuat sulitnya para aparat penegak hukum menempatkan posisinya dalam membantu masyarakat dalam tindakan preventif dan represif sebelum keluarnya Undangundang Nomor 23 Tahun 2004. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Pengertian ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang dianut masyarakat selama itu dan dianggap persoalan privat. Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tegas hadir untuk menetang adanya tindankan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan memberikan definisi tentang apa yang dikategorikan dengan kekerasan tersebut beserta variannya. Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk mengakses perlindungan hukum bukan fenomena baru. Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan mengatakan 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama diderah pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 16 Kendala untuk mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek struktural lebih banyak disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan perlakuan feodal masyarakat. Dalam budaya patriarki, korban Kekerasan dalam 16
J.Kartini Soedjendro, Ibid
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Rumah Tangga menghadapi kendala yang berlapis untuk mengakses hukum, seperti: 17 1. Adanya nilai sosial masyarakat yang menganggap Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah urusan suami istri sehingga campur tangan pihak luar dianggap tidak lazim/tabu. 2. Melaporkan kejadian Kekerasan dalam Rumah Tangga berarti membuka aib keluarga. 3. Ketergantungan ekonomi, dalam arti bahwa keluarga miskin atau keluarga yang dilanda masalah ekonomi memiliki peluang terjadinya kekerasan dlam rumah tangga. 4. Respon aparat polisi dalam menangani pengaduan Kekerasan dalam Rumah Tangga kurang serius. Secara struktural belum adanya perangkat hukum yang secara khusus dijadikan rujukan hukum. Selama ini dalam menyelesaikan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah Undang-undang perkawinan, yang tidak sesuai dan tidak akomodatif, karena secara tegas tidak mampu memberikan definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu oleh undangundang. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sangat luas dan terperinci. Bagaimana cara kekerasan itu dilakukan, jenis kekerasan itu dilakukan dan dan akibat yang ditimbulkan. Disamping itu ukuran waktu dari dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan juga dikategorikan untuk menentukan bobot pelanggaran/kejahatan.
17
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
1999, hal 8 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dari berbagai jenis/bentuk kekerasan yang dimaksud dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 bukan tidak mungkin terdapat satu atau lebih jenis kekerasan yang universal/lazim dilakukan oleh kelompok/golongan masyarakat, tetapi masyarakat justru mengamininya karena terdapatnya dukungan tatanan sosio-kultural setempat yang memberikan pembenaran bahwa hal itu diwajarkan, misalnya suami karena sebagai kepala rumah tangga berhak memukul atau menghardik istrinya bila dianggap tidak tunduk dengannya. Atau diwajarkan lelaki yang memiliki kekuasaan atau kekuatan ekonomi tinggi untuk merendahkan eksistensi perempuan dengan mengulurkannya dengan ukuran material seperti pemberian uang atau barang. Masih begitu kuat tatanan nilai sosial-kultural dan perlakuan feodal mengisyaratkan bahwa sebagai perangkat hukum, efektifitas Undang-undang tersebut dilapangan masih harus melalui proses sosialisasi yang kompeherensif dan bulat. Agar proses sosialisasi Undang-undang 23 Tahun 2004 benar-benar melahirkan pandangan sosial yang dapat merekonstruksi tata nilai sosial yang keliru (korektif), maka sosialisasi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, dan melibatkan seluruh unsur dinamika masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini dilakukan untuk menadapatkan dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat agar substansi materi yang disosialisasikan dapat diyakini kebenarannya secara melembaga pula. Pola sosialisasi mencakup dua aspek, yakni: 18
18
Arief Gosita,Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman Perempuan Dan Kekerasan, Jakarta: PT Bhuwana Ilmu Populer, 2002, hal 2 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
1. Aspek material adalah memberikan penjelasan mengenai definisi serta kriteria Kekerasan dalam Rumah Tangga beserta varianya. Dalam memberikan penjelasan hendaknya menitikberatkan pada pemberian pemahaman yang dikaitkan dengan nilai-nilai sosial-kultural setempat atau religi yang selama ini diyakini. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak merasa takut/bersalah untuk meyakini nilai-nilai sosial baru, yang selama inidianggap melanggar aturan adat atau agama. 2. Aspek ketepatan objek sasaran. Dimana sosialisasi target sasaran hendaknya diarahkan pada kelompok masyarakat yang tersubordinisir atau rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.seperti permpuan miskin atau yang memiliki latar belakang pendidikan formal rendah. Target sasaran juga perlu memperhatikan aspek wilayah, karena data empiris menunjukan frekuensi kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga banyak terjadi dipedesaan atau wilayah kemasyarakatan yang masih kuat memegang aturan adat sebagai tatanan nilai sosial bermasyarakat. Undang-undang No.23 Tahun 2004 adalah Undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga di dalamnya memuat unsur lex special yaitu unsur korektif, preventif dan korektif. Namun sebagai instrumen hukum Undang-undang No.23 Tahun 2004 tingkat efektivitas penerapanya akan berhadapan dengan sikap resistensi dari sebagian masyarakat akibat masih diyakini cara pandang yang bermuara pada budaya patriarki dan feodal. Berpijak dari kenyataan empiris fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga serta masih begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang masih belum mengerti dan memehami konsep tentang kekerasan dalam rumah tangga, maka Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
guna mengefektifkan Undang-undang No.23 Tahun 2004 perlu dilakukan sosialisasi
secara
terpadu
dan
melembaga.
Sosialisasi
ini
diharapkan
terekonstruksi tata nilai sosial baru yang dapat diyakini masyarakat bahwa Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga
merupakan
perbuatan
yang
perlu
dikriminalisasikan dan bukan lagi hanya urusan suami-istri/keluarga(privat). Karena secara substansi telah melanggar hak azasi manusia dan juga sebagaimana tindakan yang dilarang oleh agama dimana pengaturannya terdapat juga dalam hukum perkawinan islam.
Bentuk-Bentuk Penelantaran Istri Dalam Rumah Tangga. Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberi pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Pusat komunikasi kesehatan berprespektif gender menambahkan bahwa bentuk penelantaran rumah tangga selain tidak memberikan nafkah kepada istri, tetapi juga membiarkan istrinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai istri dan memanfaatkan ketergantugan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupannya. Jika dibandingkan dengan rumusan kekerasan Rancangan Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diajukan oleh Lembaga Bantuan Hukum
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, istilah yang digunakan adalah kekerasan ekonomi yang berarti: “Setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau diluar yang menghasilkan uang, barang dan atau jasa, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga.” Istilah kekerasan ekonomi juga digunakan di dalam usulan perbaikan atas Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif dewan perwaklan rakyat, tanggal 6 Mei 2003. Dalam Pasal 1 angka 6 usulan tersebut disebutkan bahwa kekerasan ekonomi adalah: “Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang utnuk bekerja di dalam atau diluar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.” Dari definisi yang diberikan oleh badan legislatif diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan digunakannya istilah penelantaran rumah tangga dalam Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tampak bahwa pembuat Undang-undang
cenderung
untuk
mempersempit
tindakan-tindakan
yang
sebenarnya dapat dikatakan sebagai kekerasan ekonomi 19. Penelantaran rumah tangga akan menimbulkan ketergantungan secara ekonomi hanya merupakan dua dari sekian banyak jenis kekerasan ekonomi, seperti mengeksploitasi istri dengan cara menyuruh istri bekerja, tetapi penghasilanya tersebut kemudian diminta suami dan istri tidak memiliki akses
19
R.Saraswati,Perempuan dan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga, Citra Aditya, Bandung.2006, hal 27 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
apapun atas penghasilannya tersebut, memakai dan menjual barang-barang milik istri untuk keperluan yang tidak jelas.
C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Keberadaan Undang-undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi sangat penting karena tanpa aturan hukum yang jelas atau kebijakan publik akan semakin menyuburkan praktik Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut. Ketiadaan kebijakan publik terlihat dari tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah terhadap koraban kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga belum dipandang sebagai persoalan publik, melainkan dianggap sebagai persoalan sepele yang terjadi ditingkat domestik. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah kekerasan didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum memberikan perlindungan yang memadai bagi korban kekerasan karena kekerasan yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya ditujukan pada kekerasan fisik, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 89 dan 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Rumusan tersebut belum menjangkau bentuk-bentuk kekerasan selain kekerasan fisik, seperti kekerasan emosional/psikologis,seksual dan terutama dalam hal ekonomi yaitu berupa penelantaran rumah tangga. Penelantaran dalam rumah tangga tersebut yang ditujukan adalah penelantaran istri oleh suami. Keterbatasan lain didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah tidak adanya pidana minimum sehingga seringkali hukuman yang dijatuhkan oleh hakim tidak sesuai dengan harapan korban. Seperti ketentuan Pasal 351 ayat 1, Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
ayat 2, ayat 3, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 356 Kitab Undangundang Hukum Pidana yang sering digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga, mengatur hukuman selama dua sampai dengan dua belas tahun pidana penjara bagi pelaku penganiayaan. Namun, dalam kenyataannya pelaku kekerasan sering dihukum percobaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh persepsi aparat penegak hukum (Hakim atau Jaksa) yang melihat bahwa penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya berbeda dengan penganiayaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai hubungan suami istri. Dengan kata lain pendekatan yang dilakukan oleh hakim atau jaksa cenderung menekankan konsep harmoni dalam keluarga. Untuk melihat pergeseran dari hukum perdata ke hukum publik terhadap kekerasan dalam rumah tangga, akan ditinjau berdasarkan teori Pitlo Yang menyatakan bahwa: “Pada awalnya setiap orang memeiliki kebebasan untuk menentukan posisi yuridis. Disini ada kebebasan individu yang utama dalam melakukan hubungan hukum dalam masyarakat, namun ternyata pengutamaan kebebasan individu dalam lalu lintas hidup bermasyarakat menyebabkan kesenjangan yang tajam dalam kehidupan masyarakat. Akhirnya, tumbuh suatu kesadaran dimana kepentingan masyarakat umum yang utama. Hal ini dilandasi adanya kenyataan bahwa kebebasan yuridis dan ketidaksamaan ekonomi menimbulkan peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan yang berakhir pada pembelengguan dan penindasan kepada pihak yang lemah secara ekonomi. Selanjutnya, penguasa atau (pemerintah)
melakukan
tindakan-tindakan
dengan
tujuan
untuk
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
melindungi silemah dalam bentuk mengeluarkan peraturan perundangundangan. Hal ini menyebabkan dengan sendirinya terjadi pembatasan kebebasan individu.” 20 Dari pendapat pitlo diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam hubugan manusia, hukum yang pertama sekali berlaku adalah hukum privat, dimana dalam hubungan manusia tersebut telah terjadi perjanjian yang menjadi ketentuan peraturan bagi orang-orang yang melakukan perjanjian. Tindakan penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri sebelum keluarnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih menjadi masalah hukum Privat atau penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Agama. Dalam beberapa kasus sebelum lahirnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terlihat bahwa budaya patriarki selalu menekan wanita dalam mendapatkan perlindungan hukum. Banyak terjadi penelantaran rumah tangga oleh para suami dimana akhirnya para istrilah yang akhirnya menjadi tulang punggung dalam menafkahi keluarga yang ditinggalkan oleh sang suami. Hal tersebut diatas terjadi karena pengertian didalam masyarakat yang menyatakan bahwa masalah yang terjadi didalam keluarga adalah masalah yang harus diselesaikan oleh orang-orang didalam keluarga tersebut. Karena sebelumnya didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tindakan penelantaran
20
Pitlo,Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata Jilid III (Disadur Djasadin Saragih), Bandung: Alumni Bandung, 1973, Hal 90 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
istri oleh suami tidak termaksud ke dalam tindakan kekerasan seperti yang tertulis didalam Pasal 89 dan 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Paul Scholten, hukum perdata harus dianggap sebagai hukum umum yang mengatur segalanya kecuali hukum publik telah mengatur secara menyimpang. Semantara itu menurut Mr. L.J.Van apeldoorn mengatakan bahwa: “Hukum sipil adalah peraturan hukum yang mengatur kepentingan orang perseorangan (Bijzondere Belagen) yang pelaksanaannya terserah kepada maunya yang berkepentingan, sedang hukum publik adalah peraturan hukum yang mengatur kepentingan umum.” 21 Ditegaskan pula oleh Mr.Van Apeldoorn bahwa hal tersebut perbedaan bukan perpisahan. Artinya kepentingan orang perorangan tidak dapat dipisahkan dari kepentingan umum oleh karena seorang manusia bersama-sama adalah orang perseorangan dan juga anggota masyarakat maka antara dua macam hukum itu sebetulnya tidak mungkin diadakan perbedaan yang terang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu yang cepat serta bertanbah kompeksnya masyarakat dapat dikatakan membawa difrensiasi dan spesialisasi dalam seluruh bidang pemikiran manusia yang menampakan dirinya dalam semakin kompleksnya hukum. Hal ini berarti, perundang-undangan semakin bertambah luas dan terperinci undang-undangnya. Hal tersebut akan menciptakan problema baru sebagai akibat adanya prumusan yang rumit. Dalam periode ini dianggap bahwa pertimbangan-pertimbangan para hakim yang bijaksana dan didasarkan pada kepatutan dan keadaan lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan bagi pencari hukum daripada penyelesaian suatu persoalan konkret yang 21
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum perdata, Bandung: PT Bale Bandung , 1990, hal 8
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
banyak sedikitnya selalu digantungkan pada ketentuan undang-undang yang terperinci. Dari hal tersebut maka terlihat bahwa: 1. Hukum bergeser dari suasana hukum perdata kehukum publik. Dalam bidang yang tetap dikuasai oleh suasana hukum perdata, kebebasan hakim lebih besar. Pergeseran kehukum publik membawa serta perluasan ketentuan-ketentuan hukum memaksa terhadap ketentuan-ketentuan hukum pelengkap. Gejala ini berarti pembatasan kebebasan individu. 2. Dengan semakin intensifnya lalu lintas hukum, bentuk-bentuk pun semakin berkurang. Berhadapan dengan itu, sebagai salah satu akibat dari sosialisasi hukum dan juga bertambah intensifnya lalu lintas hukum, ialah bertambah banyaknya tindakan-tindakan hukum yang dikenakan syarat publikasi. Dengan lebih seringnya setiap orang berurusan dengan setiap orang lain dan posisi hukum seseorang semakin ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh orangorang lain, maka Undang-undang pun harus menjaga agar orang-orang lebih banyak saling mengetahui perbuatan masing-masing. 3. Pemikiran manusia mengalami proses pertumbuhan yang abadi juga karena itu hukum bergerak sebab hukum adalah produk dari pemikiran manusia. Menganggap diri sendiri lebih leluasa terhadap naskah undang-undang, menciptakan ruang gerak untuk mengakui etika didalam hukum, untuk menerapkan pengertian-pengertian tentang kepatutan dan itikad baik, juga hal ini bertentangan dengan bunyi harfiah undang-undang. Pergeseran masalah hukum perdata tersebut juga dapat dilihat pada Undang-undang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dibuat oleh Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
pemerintah untuk membatasi hubungan antara suami-istri meskipun hubungan antara suami-istri tersebut awalnya adalah hubungan perdata yang berarti memberikan kebebasan
individu,
namun Undang-undang
tersebut
telah
mengalami Permasyarakatan hukum atau sosialisering proses. Menurut Pitlo, permasyarakatan hukum atau sosialisering proses merupakan suatu perkembangan dimana hukum publik mendesak hukum perdata yang disebabkan oleh adanya campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan keperdataan. 22 Pemerintah melalui aturan-aturan hukum membatasi kebebasan individu, artinya kebebasan individu dalam lapangan hukum keperdataan dibatasi demi kepentingan umum. Pembatasan kebebasan individu ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Jadi pergeseran masalah hukum perdata pada hukum publik terhadap tindakan suami mentelantarkan istri adalah dalam rangka menghormati pihak yang lemah atau tersubordiansi dilakukan dengan menghormati hak-hak azasi kaum wanita atau para istri. Adanya campur tangan pemerintah dalam memberikan keadilan dan perlindungan hukum terhadap para korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam hal kekerasan ekonomi yaitu penelantaran rumah tangga oleh suami yang tidak mau bertanggung jawab atas istri yang telah memiliki oleh ikatan yang sah, hal ini telah memberikan tindakan represif dan preventif terhadap tindakan penelantaran rumah tangga yang menjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbagi dalam tiga buku, yaitu buku 1 tentang peraturan umum, Buku II tentang kejahatan dan buku III 22
Pitlo, Ibid, hal 94
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
tentang pelanggaran. Buku I berisi tentang aturan-aturan umum yang menjadi acuan baik bagi keseluruhan penerapan Pasal di dalam buku II dan buku III dari KUHP ini, maupun bagi Undang-undang Pidana lainya yang berdiri sendiri, kecuali apabila diatur tersendiri dalam Undang-undang tersebut. Seperti dikatakan oleh R.Tresna title (maksudnya bab) I sampai dengan VIII dari buku I ini berlaku juga terhadap perbuatan-perbuatan pidana yang ditetapkan di dalam peraturanperaturan lain, kecuali jikalau dalam Undang-undang tersebut ditetapkan lain. 23 Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana berisi rumusan atas perbuatan yang dilarang dan harus dilakukan, yang dikategorikan sebagai kejahatan dan buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana berisi perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran. Pembuat Undang-undang waktu itu bebas menentukan suatu perbuatan terlarang apakah akan dikategorikan sebagai pelanggaran atau kejahatan. Namun menurut Bambang Poernomo, ada perbedaan antara kategori kejahatan dan pelanggaran dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kejahatan atau crimineel onrecht merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan Tuhan atau membahayakan kepentingan umum. Sedangkan pelanggaran atau politie onrecht adalah perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa. 24 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pengertian kekerasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 89 hanya menggambarkan kekerasan pisik saja, sebagaimana dimasukannya definisi kekerasan tersebut dalam Pasal 285, 23 24
R.Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara, 1959, hlm 195 Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983,
hlm.96 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
286, 287, 288, dan 289 dimasukan ke dalam Bab XIV dibawah judul kejahatan terhdap kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan. Yang mana dalam bab ini khusus bagi korban yang berjenis kelamin perempuan. Namun dalam perkembangan kasus yang ada dalam masyarakat seriring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum maka semakin dipertanyakan apakah kekerasan lainya yang mencakup dalam keluarga hanya berupa kekerasan pisik saja. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kaum perempuan indonesia maka lahirlah Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana membagi tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga menjadi empat bentuk seperti yang dicantumkan dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut. Dengan lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka definisi mengenai kekerasan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus bagi kekerasan yang ada dalam rumah tangga telah digantikan sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 1 Undangundang No.23 Tahun 2004. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut menjadi hal yang berbeda bila dibandingkan dengan dengan definisi kekerasan menurut Pasal 85 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun dalam proses peradilan tentu saja saat ini yang dipergunakan untuk setiap Kekerasan dalam Rumah Tangga maka yang dipergunakan adalah Undang-undang No.23 Tahun 2004 hal ini juga sesuai dengan bunyi Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang bunyinya “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain.” Dalam memenuhi rasa keadilan terhadap kaum perempuan dengan lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 2004 maka Budiono mengatakan bahwa”rasa keadilan tidak sama bagi setiap orang dan senantiasa relatif sifatnya. 25 Karena relatif tersebut maka rasa keadilan tidak dapat diterapkan dan diberlakukan secara umum, dan setiap orang memiliki perasaan yang subjektif yang membedakan adil dan tidak adil. Dan begitu pula dengan isi Pasal-Pasal yang ada dalam Undang-undang 23 Tahun 2004 mengenai yang mana membagi bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi empat bentuk dimana salah satunya adalah penelantaran rumah tangga. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penafsiran hukum secara analogi adalah hal yang tidak dapat dilakukan diNegara Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Jan Rammelink yang menyatakan bahwa “dengan alasan apapun penafsiran analogi tetap harus dilarang penggunaanya dengan argumenargumen sebagai berikut:26 1. larangan penggunaan analogi mendukung kepastian hukum 2. pengembangan hukum (perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim 3. kemungkinan untuk tetap dapat menjangkau ‘terdakwa’ diluar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan secara 25
Boediono Kusumohamidjojo, filasafat hukum/ problematika ketertiban yang adil,. Jakarta: Grasindo, 2004,hlm 196 26 Jan Rammelink, Hukum Pidana/Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka utama,2003,hlm 355 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media dan dari golongan lainya 4. sejarah perundang-undangan memunculkan penolakan atas penggunaan penafsiran ini. Sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 mengenai bentuk dari penelantaran rumah tangga telah ditentukan dalam Pasal 9 Undang-undang tersebut dan tidak ada penjelasan terhadap bunyi Pasal tersebut dimana hanya dilampirkan kata ‘cukup jelas’ pada Pasal tersebut maka tentunya hanya dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk penelantaran rumah tangga yang dimaksud adalah hanya yang tersirat dalam Pasal 9 Undang-undang tersebut dan tidak ada lagi maksud lain selain dari Undang-undang tersebut karena dilarangnya penafsiran analogi. Dewasa ini hukum pidana semakin banyak digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Dinamika hukum dapat dilihat dari adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab tentang ‘ketentuan pidana’ pada bagian akhir produk perundang-undanganya. Salah satunya adalah Undangundang No.23 Tahun 2004, yang mana dalam undang-undang tersebut juga dicantumkannya ketentuan pidana terhadap tindakan ‘penelantaran rumah tangga’. Hal tersebut merupakan bentuk kriminalisasi tindakan penelantaran rumah tangga dalam hal ini yang banyak menjadi korban adalah kaum istri yang ditelantarkan oleh suaminya.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Menurut Barda Nawawi Arief, proses kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut: 27 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spritual berdasarkan Pancasila; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan spritual) atas warga masyarakat; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benafit principles) juga sosial cost atau biaya sosial; 4. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas. Dari pertimbangan tersebut diatas maka alasan kriminalisasi pada umumnya meliputi: 28 1. Adanya korban; 2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. harus berdasarkan asas ratio principle, dan 4. Adanya kesepakatan sosial (public support). Berdasarkan klasifikasi diatas menunjukan bahwa kriminalisasi tindakan penelantaran rumah tangga merupakan bentuk realisasi dari banyaknya korban yaitu istri yang telah ditelantarkan oleh suaminya. 27
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, , Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002,hlm.30 28 Yenti Ganarsiah, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Program Pascasarjana FH-UI, , 2003, hlm.72 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
C.1. Para Pelaku Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Dari banyaknya pengalaman perempuan akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga menunjukan bahwa para pelaku kekerasan pada umumnya adalah suami sendiri, ayah, anggota keluarga lainnya, sesama pekerja, mandor, agen ataupun majikan. 29 Pelaku yang mentelantarkan rumah tangga sebenarnya sulit untuk diidentifikasi tetapi penulis lebih menitik beratkan pelaku dalam hubungan personal atau umum saja, dimana dalam keluarga yang menjadi kepala rumah tangga adalah suami. Latar belakang keadaan pelaku sangat beragam mulai dari usia, tingkat penduduk, suku, agama, status, dan jenis pekerjaan menunjukan bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan merefleksikan keadaan umum masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, masalah Penelantaran rumah tangga sebagai tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga semakin hari semakin bertambah, namun yang terlihat hanya sebagian kecil. Pelaku penelantaran rumah tangga tidak hanya suami saja melainkan istri juga dapat melakukannya. Dalam Pasal 9 Undang-undang No.23 Tahun 2004 disebutkan: 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantugan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tesebut.
29
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta: Ameepro,2003 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dari bunyi pasal tersebut dapat diuraikan beberapa hal yang menentukan bahwa yang menjadi para pelaku tindak pidana Penelantarkan rumah tangga yaitu: 30 1. Setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, dalam hal ini, setiap orang tersebut adalah orang yang melakukan perbuatan penelantaran
yaitu
tidak
memberikan
kehidupan,
perawatan,
atau
pemeliharaan kepada orang lain yang memang sudah sepatutnya untuk dilakukan hal tersebut. 2. Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditentukan bahwa setiap orang yang umurnya masih belum cukup enam belas tahun maka terhadapnya tidak dapat dijatuhi ketentuan pidana maka, pelaku yang menelantarkan rumah tangga sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tidaklah mungkin setiap orang yang masih belum cukup umurnya enam belas tahun. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan pada Pasal 7ayat (1)menyebutkan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
30
Rika saraswati, Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bandung: PT.Citra Aditya, 2006, hal 27 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dari bunyi pasal tersebut maka dapat juga diambil keputusan bahwa yang menjadi pelaku penelantaran rumah tangga adalah suami atau istri yang melalaikan kewajibannya dalam keluarga dan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya ia wajib memberikan kehidupan atau pemeliharan kepada orang tersebut. Dan satu hal yang pasti pelaku yang diancam hukuman atas tuduhan penelantaran rumah tangga tersebut sudah pasti telah dewasa dalam membina rumah tangga seperti yang diatur Undang-undang perkawinan. C.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penelantarkan Istri Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal ini adalah konsekuensi dari azas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti, didalamnya harus dapat diketahui apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Namun unsurunsur tindak pidana secara keseluruhan pada umumnya dapat dibagi atas: 31 1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan) 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melawan hukum yang Objektif 5. Unsur melawan hukum yang Subjektif. 31
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,2002, hal 59
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dalam Pasal 9 Undang-undang No.23 Tahun 2004 disebutkan: 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantugan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tesebut. Penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan bahwa unsur-unsur tindak pidana menelantarkan istri adalah sebagai berikut: 32 a. Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-undang No.23 Tahun 2004 adalah perbuatan menelantarkan rumah tangga dimana kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Sedangkan unsur akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah dibangun atas dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan. b. Unsur hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strfbaar feit, sekalipun tambahan. Sehingga unsur ini lebih condong untuk memandangnya sebagai elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran istri adalah suami tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada istri.
32
Rika saraswati, Ibid, hal 29
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
c. Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9 dan Pasal 49 Undang-undang No.23 tahun 2004 tidak mengatur hal-hal yang dapat memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran istri. d. Tindakan menelantarkan istri setelah keluarnya Undang-undang No.23 Tahun 2004 sudah menjadi perbuatan melawan hukum pidana dimana ada sanksi pidana yang mengaturnya secara khusus dalam Undang-undang tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum objektif yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-undang No.23 Tahun 2004 adalah “Setiap orang dilarang....” e. Unsur melawan hukum yang subjektif merupakan sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Pengetahuan tentang sifat melwan hukum yang subjektif ini relatif belum lama dan pertama timbul dijerman. Dapat disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran istri yang menjadi unsur melawan hukum yang subjektifnya adalah niat suami
C.3. Sistem Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Menelantarkan Istri Dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap tindakan suami menelantarkan istri dapat dilihat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, antara lain: Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1): b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pasal 50 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku: b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Dari kedua Pasal tersebut dapatlah ditentukan bahwa sistem sanksi terhadap pelaku penelantaran istri berupa sistem Double track system merupakan dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana disatu pihak dan jenis sanksi tindakan dipihak lain. Walaupun ditingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan sering agak samar, namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan mendasar. Keduanya berasal dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan” sedangkan sanksi itu bertolak dari ide dasar:”untuk apa diadakan pemidanaan itu”. 33 Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
33
Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana/ ide dasar double track system dan implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. hal 2 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarkat dan pembinaan atau perawatan sipembuat. 34Atau seperti yang dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititik beratkan pada yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial. 35 Berdasarkan tujuannya maka kita dapat melihat beberapa bentuk teori pemidanaan didunia yaitu: 36 1. Teori Retributif Pencetus teori ini adalah Immanuel Kant dan Hegel yang mana teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehinga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. 2. Teori Deterrence teori ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan dengan dua orang tokoh yaitu Cessare Beccaria dan Jeremy Bentham. Beccaria menegaskan “bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat. Dan 34
Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A, Semarang: Badan Penyelidikan Kuliah FH-UNDIP, ,1973,hlm.7 35 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT.Bina Aksara, 1987, hlm 350 36 Addami Chazawi,Politik Hukum Pidana,Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002. Hal 14 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
berbeda dengan Beccaria maka Jeremy Bentham memberikan pandangan yang lebih radikal, dimana beliau berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat, dan untuk mencapai kebahagiaan tersebut maka tujuan pemidanaan adalah untuk deterrence, incapacitation, dan rehabilitaion. 3. Teori Treatment Teori Teatment sebagai tujuan dari pemidanaan dikemukakan oleh aliran positip yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya,namun pemidanaan yang dimaksud aliran ini adalah untuk memberikan tindakan perawatan (treatment) dan Perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari hukumannya. Dimana argumen dari aliran positip ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Aliran positip ini lahir pada abad ke 19 yang dipelopori oleh Caesare Lamroso, Enrico Feri dan Raffaele Garofalo
4. Teori Sosial Defence Sosial defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatika, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat. Teori ini berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Tujuan hukum pidana yang ada sekarang adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Dari beberapa teori diatas dapatlah ditarik sebuah konklusi bahwa sanksi pidana dari tindakan penelantaran rumah tangga yang menganut sistem Double track system adalah merupakan bentuk sanksi yang mana tetap berlandaskan bahwa tujuan pemidanaan adalah sebagai alat pembalasan, sebagai alat yang dapat mencegah sesorang untuk tidak dapat melakukannya, dan sebagai alat untuk tindakan perawatan dan rehabilitasi terhadap pelaku sebagaimana dicantumkannya pidana tambahan pada Pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004. Dalam hal penentuan sanksi pidana haruslah dilihat dari empat aspek yaitu: 1. Penetapan perbuatan yang dilarang; 2. Penetapan ancaman sanksi pidana terhdapa perbuatan yang dilarang; 3. Tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); 4. Tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan yang lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana. 37 Dari empat aspek tersebut bagian terpenting dari pemidanaan keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakan berlakunya norma. Disisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena 37
Mudzakir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: diselenggarakan oleh fakultas hukum UII, 15 Juli 1993, hal.2 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Dalam hal sanksi pidana yang ditetapkan terhadap tindakan penelantaran rumah tangga dalam pasal 49 dan pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tak dapat dipungkiri bahwa masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan Undangundang yang diajukan kelembaga legislatif tersebut. Pengaruh yang paling menonjol adalah keberagaman jenis dan bentuk sanksinya. Menurut Barda Nawawi Arief: “strategi
kebijakan
pemidanaan
dalam
kejahatan-kejahatan
berdimensi baru harus memperhatikan hakikat permasalahanya” .
yang
38
Jadi dalam hal permasalahan tindak pidana penelantaran rumah tangga maka penggunaan sanksinya adalah pidana pokok berupa hukuman penjara dan pidana tambahan. Sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan yang istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan sipelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. 39 Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dari sudut ide dasar Double Track System, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan sanksi 38
Barda nawawi Arief, loc.,cit Muladi dan Barda Nawawi arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni Bandung, 1992,hal.5 39
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. Dengan sistem dua jalur ini (doble track system) pada Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terutama pada Pasal 49 dan 50 untuk pengaturan tindakan penelantaran rumah tangga. Sistem sanksi pidana tersebut akan membuka peluang bagi difungsikannya sanksi-sanksi yang bersifat retibutif dan teologis secara seimbang dan proporsional. Dengan demikian tujuan pemidanaan yang bersifat plural dapat tercapai. Yakni; pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara soilidaritas masyarakat, menegakan perlindungan hak asasi manusia ,mencegah seseorang untuk melakukan tindak pidana, dan memberikan efek jera terhadap pelaku tersebut agar tidak mengulanginya.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB III KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN LAIN YANG TERKAIT DENGAN TINDAKAN MENELANTARKAN ISTERI OLEH SUAMI
A. Tindakan Menelantarkan Istri Oleh Suami Sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Hukum Islam. Di Indonesia, hukum Islam merupakan bagian dari hukum positip. Artinya, hukum Islam merupakan hukum yang pada saat ini berlaku di Indonesia. Hukum Islam berlaku secara Normatif dan Yuridis. 40 Hukum Islam yang berlaku secara Normatif adalah bagian dari hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar.”Kuat-tidaknya sanksi kemasyarakatan itu tergantung pada kuat lemahnya kesadaran umat Islam akan norma hukum Islam yang bersifat normatif itu”. 41 Hampir semua bagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan bersifat normatif. Pelaksanaannya diserahkan kepada keinsyafan orang-orang Islam yang bersangkutan. Hukum Islam yang berlaku secara yuridis adalah “(Bagian) dari hukum Islam yang mengatur manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat”. 42 Bagian hukum Isalam yang bersifat yuridis ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh Peraturan Perundang-Undangan, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan,dan hukum perwakafan yang telah dikompilasikan pada tahun 1988.
40
Mohammad Daud Ali, Azas-azas Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1990, hal. 5-6 Ibid., hal.6. 42 Ibid., hal.6-7. 41
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Hukum perkawinan Islam menjadi hukum positif di Indonesia karena ditunjuk oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 Undang-undang ini pada pokoknya menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Berdasarkan hal ini orang-orang Islam yang melangsungkan perkawinan harus tunduk kepada hukum Islam. Sebab menurut Undang-undang ini sah atau tidak sahnya perkawinan yang dilangsungkan oleh orang-orang Islam ditentukan oleh ketentuan dalam hukum Islam. Hukum perkawinan Islam menjadi hukum positif di Indonesia karena ditunjuk oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal ayat 91 Undang-undang ini berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan: b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam: c. Wakaf dan sedekah.” Menurut hukum islam yang berlandaskan pada Al-Quran melarang tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Pergaulan di dalam rumah tangga, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan terpuji: “Ma’ruf seperti ternyata dalam ayat ini:
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
“Bergaulah dengan istrimu menurut pergaulan yang Ma’ruf” (cara terpuji dan baik).” 43 Sang suami jangan menyakiti hati istrinya, dengan cara apapun, dengan perkataan maupun dengan perbuatan jangan bermuka masam dan membentakbentak, karena yang demikian itu bukan cara yang baik dan terpuji. Sebaliknya sang istri harus pula bersikap baik dan terpuji terhadap suaminya. Suatu perkawinan maksudnya mendirikan suatu rumah tangga yang baik, aman dan damai. Dengan marah dan muka masam tidak didapati suatu rumah tangga yang aman dan damai. Nabi Muhammad S.A.W. menjelaskan di dalam hadis seperti berikut: “Manusia mukmin yang paling sempurna imannya adalah manusia yang lebih baik di dalam perangainya, yang paling baik diantaramu ialah yang paling baik bersikap dan berlaku terhadap istrinya.” 44 Kedua belah pihak suami dan istri selamnya mesti bersikap sabar. Jika sang suami melihat cacat istrinya, misalnya ada hal yang tercela dan tidak siap pada waktunya hendaklah sang suami berlapang dada dan berhati sabar. Janganlah segera mengahardik, menegluarkan perkataan keras serta memarahinya. Tidak ada wanita yang sempurna, tidak ada wanita yang tidak bercacat. Sebab itu carilah jalan untuk memeprbaiki kesilapan dan keteledoran sang istri dengan cara lemah lembut, dan suri tauladan yang baik. Di dalam Al Quran perhubungan sang suami dengan sang istri diganbarkan sebagai dua jiwa dalam satu tubuh: 43 44
Quran 4 : 19 Joenes Mahmoed,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1959
hal.159 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
“Dan sebahagian dari keterangan-keterangan bahwa ia jadikan bagi kamu dari jenis (diri) kamu jodoh-jodoh yang kamu bersenang-senang kepadanya dan dia jadikan diantara kamu percintaan dan kasih sayang. Dialah yang jadikan kamu dari diri yang satu dan ia jadikan daripadanya istri, supaya dia bersenang-senang dengan dia” 45 Ayat tersebut diatas menggambarkan bagaimana rapatnya perhubungan seorang suami dengan seorang istri. Dia terdiri dari dua nyawa dalam satu tubuh. Rumah tangga adalah suatu kesatuan dengan ditengah-tengah kesatuan masyarakat yang besar. Didalam suatu masyarakat yang besar ada orang yang menentukan pendapat yang acap kali mesti diterima pendapatnya itu, maka didalam suatu rumah tangga yang kecilpun peraturan yang demikian itu harus ada. Rumah tangga dimana suami mengepalai istri penghuni rumah tersebut, maka sang istri juga mengepalai rumah dari suaminya dan mengepalai anak-anak. Rumah itu sesungguhnya adalah suatu pemerintahan di dalam bentuk kecil, dimana kekuasaan dilaksanakan oleh sang suami dan sang istri. Jika seorang di antara mereka tidak memiliki derajat yang lebih tinggi, maka pemerintahan itu akan kacau. Itulah sebabnya maka kepada sang suami diberikan derajat yang lebih tinggi daripada sang istri, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Al Quran seperti berikut: “Laki-laki pengurus atas perempuan-perempuan, karena Allah telah melebihkan kepada mereka belanjakan dari harta-harta mereka.” 46
45 46
Quran 2 : 187 Quran 4 : 34
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Kata-kata “pengurus atas perempuan” yang disebut di dalam ayat tersebut adalah “Qawwamun” yang berarti menjadi pemimpin, pelindung, pengawal dan penjaga. Jadi sang suami adalah menjadi pemimpin, pelindung, pengawal dan penjaga dari istri dan rumah tangga. Artinya sang suami memikul semua belanja dari sang istri, mengurus semua urusan dan memimpin sang istri itu pula. Sebabnya suami di berkan kekuasaan yang lebih besar terletak didalam kata-kata “Qawwamun”. Kepada suami diwajibkan memberi belanja dan nafkah dan oleh sebab itulah dia beroleh kekuasaan yang lebih tinggi dalam rumah tangga. Semua belanja untuk rumah tangga, yaitu untuk istri dan anak-anak baik istri itu kaya atau miskin semuanya mesti dipikul dan ditanggung oleh sang suami. Berapa jumlah yang mesti dibayar oleh sang suami kepada istri berbeda-beda pendapat didalam berbagai mazhab. Menurut mazhab syafi’i, suami yang kaya diwajibkan membayarkan nafkah istrinya sebanyak dua cupak makanan sehari, suami yang miskin secupak dan suami yang pertengahan satu setengah cupak ditambah dengan seganap remah-rempah dan lauk-pauk. Menurut mazhab yang lain nafkah untuk istri tidak ditentukan jumlahnya, hanyalah sekedar berapa yang cukup. Didalam Quran dijelaskan sebagai berikut: “Laki-laki yang punya anak memberi makanan dan pakaian bagi ibu itu dengan cara yang patut.” Hukum islam tidaklah sama dengan hukum pidana dimana hukum Islam tidak memiliki sanksi pidana, tetapi dalam hal tindakan yang dilakukan oleh suami kepada istri hukum Islam mengatur beberapa hal yaitu:
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
“atas permintaan sang istri, Pengadilan Agama dapat memfasak suatu perkawinan dengan berbagi sebab, antara lain: a. Karena sang suami melanggar taklik yang diucapkan setelah selesai upacara akad nikah. b. Sang suami tidak sanggup membiayai sang istri, tidak sanggup memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. c. Sang suami sakit, seperti gila, lepra, sakit hingga tidak dapat melakukan coitus, dan sebagainya.” 47 Dasar hukum sang suami tidak sanggup memberikan nafkah kepada sang istri dapat difasak adalah sebagai berikut: “Nabi S.A.W. menemui seorang laki-laki yang tidak mempunyai apa-apa untuk
dibelanjakan
kepada
istrinya.
Nabi
Muhamad
S.A.W.
berkata:”ceraikanlah diantara keduanya.” 48 Menurut hadis tersebut jika seorang laki-laki tidak sanggup membiayai istrinya, dia dapat difasakh, jika sang Istri mengadu kepada hakim. Didalam ketidak sanggupan sang suami membelanjai istrinya didalam mazhab syafi’i, hakim mestilah memberi tempo 3(tiga) hari kepada sang suami untuk berusaha mencari biaya untuk belanja sang istri. Apabila pada hari yang keempat sang suami masih tidak sanggup membiayai istri tersebut, Hakim dapat memfasakh sang istri karena ketiadaan nafkah dari sang suami. Menurut mazhab Hanbali, menangguhkan tiga sampai
47
T.Jafizman, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : C.V. Percetakan Mestika, , 1977, hal 321 48 Joenes Mahmoed, Ibid, hal 164 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
empat hari itu tidak perlu, Pengadilan Agama (Hakim) dapat memfasakh sang istri ketika itu juga, jika sang suami tidak sanggup membiayai sang istri. Dalam kasus yang menimbulkan arrest tanggal 8 Juli 1939, Hof Van Islamitiche Zaken menetapkan bahwa suatu perkawinan tidak segera dapat difasakh, karena sang suami tidak sanggup memberi nafkah, selama tidak sanggupnya sang suami belum dipastikan, untuk persoalanya perlu dilakukan pemerikasaan apakah sang suami sanggup atau tidak memberikan perumahan yang laya. Jika ternyata sang suami berkesanggupan, maka sang istri diwajibkan tha’at kepada sang suami. Kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada istrinya tidak berhenti meskipun adanya perceraian. Istri yang diceraikan menurut hukum islam masih istri juga. Dia oleh sebab diceraikan mesti mendapat belanja (nafkah), pakaian dan tempat tinggal selama sang istri masih dalam masa iddah. Diasamping itu tiap-tiap peceraian sang suami mesti memberikan uang atau barang kepada sang istri, yang disebut dalam hukum islam “mut’ah”, suatu pemberian berupa benda atau uang sebagai hadiah untuk bekal hidup kepada bekas istrinya setelah lepas iddah, Belanja untuk pemeliharaan anak-anak dan biaya untuk pendidikan dipikul pada sang suami. Landasan bagi persoalan diatas dapat dilihat pada bunyi ayat berikut: “perempuan yang dithalak wajib mendapat mut’ah dengan cara yang baik dan patut yaitu suatu kewajiban atas orang-orang yang takwa”. 49 Ayat tersebut memberi pengertian bahwa tiap-tiap perceraian sang suami wajib memberikan mut’ah, yaitu hadiah demi untuk meringankan duka cita sang 49
Quran 2:241
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
istri atau untuk menggembirakannya. Mut’ah itu boleh berupa uang, pakaian, dan apa-apa yang mempunyai nilai dan harga. Dalam hukum islam sang suami yang menolak menyerahkan mut’ah itu kepada sang istri, dapat dimajukan kemuka Pengadilan Agama. Demikian juga jika sang suami menolak memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal selama dalam masa iddah, sang istri juga dapat memajukan persoalan ini kemuka Pengadilan Agama. Diadalam persoalan ini Quran menjelaskan seperti berikut:”berilah mereka tempat tinggalmu, menurut kemampuanmu, janganlah kamu serahkan mereka.........maka kalau mereka menyusukan anak-anakmu hendaklah kamu memberikan mereka upah”. 50 Ayat tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa sang suami wajib menyediakan rumah tempat tinggal untuk istrinya yang diceraikan selama menjalani masa iddah. Jikalau sang suami diwajibkan menyediakan rumah berdasarkan ayat tersebut maka sang suami wajib menyediakan pakaian dan makanan... ini berdasarkan Ijtihad dari para Mujtahid, bahwa tidak mungkin rumah saja yang disediakan tanpa menyediakan pakaian dan makanan. Sang suami wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya. Ayat tersebut memberikan pengertian meski sang ibu menyusukan anaknya sendiri, hukum islam mewajibkan kepada suami untuk membayar upah menyusukan kepada ibu, sebab sang suami berkewajiban membayar membayar belanja makanan anaknya. Kewajiban membelanjai anak terpikul kepada sang suami tidak kepada sang istri. Tetapi jika sang istri mau dengan rela menyusukan anaknya tanpa bayar dan tidak
50
Quran 65 : 6
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
meminta upah, karena sang suami banyak baiknya kepada sang istri, itu adalah hal lain dan untuk itu sang istri mendapat balasan jasa/pahala diakhiri.
B. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Menurut Undang-undang Hak Azasi Manusia. Hak Azasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa: “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Atas dasar hal tersebut maka hak-hak asasi yang melekat pada seseorang, misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, hak untuk pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dan persamaan dimuka hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun harus dihormati dan dilindungi. Jika tidak terjadilah pelanggaran hak asasi manusia. 51 Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia menurut Pasal 6 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah:
51
Saraswati Rika, Ibid, hal 4
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.” Berdasarkan hal tersebut maka penganiayaan dan kekerasan yang mengurangi hak-hak asasi manusia adalah kejahatan. Berarti jika terjadi tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam bentuk apapun termasuk juga tindakan penelantaran rumah tangga, dalam hal ini juga yang lebih condong terpaku pada tindakan suami menelantarkan istri lebih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka tindakan tersebut harus diakui sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan seseorang. Tindakan suami menelantarkan istri sebagai bentu Kekerasan dalam Rumah Tangga juga merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pengertian diskriminasi terdapat pada Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut: Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia, dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual, maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Adapun
alasan
pembuat
Undang-undang
menggolongkan
kaum
perempuan sebagai kaum yang secara eksplisit dan khusus dijamin hak azasinya adalah karena perempuan dalam kajian dalam pengaturan beberapa kenvensi internasional dimasukan ke dalam kelompok yang Vulnerable. Bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok yang rentan lainya. Kelompok perempuan dimasukan ke dalam kelompok yang lemah, tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi daripada laki-laki. 52 Selain itu derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun setelah terjadinya kekerasan pada kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki. Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia membagi secara khusus tentang Hak Asasi Wanita, yang mana dapat dilihat dalam Pasal 51 sebagai berikut:
1. Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. 2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. 3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
52
Hakristuti Hakrisnowo.Op, Cit
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pasal tersebut hanyalah sebahagian dari Hak Asasi Wanita yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun dalam hal kedudukan wanita dalam perkawinan dapat terlihat jelas hak wanita dalam statusnya sebagai seorang istri. Meskipun dalam penjelasan Undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak. Yang dimaksud dengan "Kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak). Namun dalam ayat tersebut penjelasan yang pasti tentang hak istri atas pemilikan dan harta bersama tidak dicantumkan sehingga dapat kita lihat kembali dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 34 “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”Dan dalam Pasal 41 (c)”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”
Theo Huiybers mengatakan bahwa: “makna hak-hak asasi menjadi lebih jelas bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang telah digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat dan tugasnya didunia. Sejarah kebudayaan adalah juga sejarah humanisasi hidup dibidang moral,sosial, dan poitik melalui hukum”. 53
53
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Jakarta: kanisius, 1995, hlm 101
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Melalui hukum pula prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengakuan manusia sebagai subjek hukum dirumuskan sebgai suatu bagian integral dari tata hukum. Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki dan terlebih kaum wanita sebagai kelompok yang vulnerable diakui dan dilindungi. Karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk mengakomodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia warganya terlebih kaum hawa.
Komitmen negara untuk melindungi hak asasi warganya dapat dilihat dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Komnas HAM dalam Pasal 75 Undang-undang Hak Asasi Manusia bertujuan:
1. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: dan 2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hal adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam lingkup keluarga Komnas HAM biasanya mengambil tindakan sebagai berikut:
a. perdamaian kedua belah pihak: b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli: c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan: d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya: dan Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti
Meskipun langkah yang diambil oleh pemerintah merupakan tindakan nyata akan penegakan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu kewajiban pemerintah untuk melindungi Hak asasi warganya, namun pemerintah juga mengharapkan partisipasi masyarakat yang dituangkan dalam Pasal 100 Undangundang Hak Asasi Manusia “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat,
lembaga
swadaya
masyarakat,
atau
lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.”
Untuk itu dalam hal penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suami ataupun tindakan kekerasan lainnya oleh suami terhadap istri maka setiap lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam hal melindungi korban dan memberikan laporan kepada komnas HAM dan aparat penegak hukum disekitar lingkungan tersebut.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA TERHADAP TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DALAM PUTUSAN PENGADILAN
A. Kasus Posisi Secara sistematis maka kedua kasus posisi yang dijadikan perbandingan oleh penulis disajikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut: Tabel 1 Dakwaan dan Putusan Hakim dalam Kasus Tindak Pidana Penelantaran Istri No
Terdakwa
Dakwaan
Barang Bukti
Putusan Hakim
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
1
Ardian Syam, SE.AKT.MSI
Terdakwa didakwa melanggar Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Berupa 1(satu) buah buku nikah warna hijau No.933/10/XI/2 004 an. Ardian Syam SE, AKT dan Rahmah Hasyim
Terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 2(dua) bulan dengan masa percobaan 4(empat) bulan
2
Heri Irawan
Terdakwa didakwa dengan Pasal 304 KUHP
Akta Nikah No.397/02/VIII/ 2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Area
terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 6(enam) bulan dengan masa percobaan 9(sembilan) bulan.
Dari tabel diatas maka dapat diuraikan lagi kasus posisi yang dapat membantu agar dapat lebih memahami kasus yang ada yaitu, sebagai berikut: 1. Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan Dalam kasus ini Pada tanggal 3 Oktober 2006 Rahmah Hasyim, Perempuan, pekerjaan ibu rumah tangga bertempat tinggal dikompleks Johor Indah Permai I Blok IX No.15 Medan, mengadukan mantan suaminya Ardian Syam, SE.AKT.MSI. pekerjaan pegawai telkom bertempat tinggal di Jl. Srikandi Gg Swadaya 3/8 Kel tegal Sari Mandala III Kec. M.Permai. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti sebagai berikut: A. Keterangan Saksi Korban a. Rahmah Hasyim Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Setelah disumpah sesuai dengan agama yang dianut, menerangkan sebagai berikut: •
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa karena pada saat kejadian terdakwa masih suami saksi.
•
Bahwa saksi membenarkan semua isi Berita Acara Pemeriksaan(BAP)
•
Bahwa benar saksi dan terdakwa menikah pada sekitar tahun 2004 di Jakarta
•
Bahwa benar saat menikah dengan terdakwa, saksi memiliki seorang anak perempuan yang bernama Keshia Sabrina yang berumur 5 tahun dari hasil perkawinan saksi sebelumnya.
•
Bahwa benar setelah saksi menikah, saksi korban tinggal dijakarta, sedangkan terdakwa dimedan karena terdakwa bertugas dikota medan
•
Bahwa benar saksi tidak memiliki keluarga dikota medan selain terdakwa sebagai suami yang sah
•
Bahwa benar saksi sebagai istri terdakwa yang sah meninggalkan sluruh pekerjaan dan kegiatanya dijakarta dan mulai tinggal dimedan bersama terdakwa dirumah kontrakan dikompleks Johor Indah Permai I Blok IX No.15 Medan
•
Bahwa benar dari hasil perkawinan saksi dengan terdakwa belum dikaruniai anak
•
Bahwa benar sejak saksi tinggal dengan terdakwa sering terjadi percekcokan.
•
Bahwa benar karena percekcokan tersebut, beberapa kali terdakwa tidak pulang kerumah dan menginap dikantor, namun oleh saksi berusaha membujuk agar terdakwa mau pulang kerumah
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
•
Bahwa benar setelah terjadi pertengkaran hebat terjadi antara saksi dan terdakwa pada tanggal 4 mei 2006 terdakwa meninggalkan rumah kontrakan yang ditinggali terdakwa dengan saksi dan mulai saat itu terdakwa tidak pernah lagi kembali kerumah
•
Bahwa benar terdakwa meninggalkan ATM yang berisi uang tunai sejumlah lebih kurang Rp.10.000.000,-
•
Bahwa benar sejak terdakwa meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali, saksi yang hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan, mengurus rumah tangga nya sendiri tanpa suami, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya yang masih berusia 5 tahun hanya bisa bergantung pada uang yang ditinggalkan terdakwa sebagaiaman termasuk diatas.
•
Bahwa benar mulai sekitar bulan Oktober 2006 saksi tidak memiliki uang lagi untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya saksi terpaksa harus berhutanghutang pada orang lain. Selain itu karena tidak mampu lagi membayar iuran listrik,air dan telepon akhirnya baik listrik, air dan telepon dirumah kontrakan tersebut telah diputus
•
Bahwa benar saksi pernah meminta tanda tangan terdakwa sebagai suami untuk mendapatkan biaya perbaikan kacamata dari kantor terdakwa, namun ditolak terdakwa tanpa alasan yang jelas. Padahal saksi sebagai istri yang sah berhak untuk itu.
•
Bahwa benar sejak kepergian terdakwa saksi tidak memiliki sanak keluarga dimedan, selalu merasa ketakutan, terutama pada malam hari
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
•
Bahwa saksi juga merasa malu dan depresi karena para tetangga selalu menanyakan pada saksi mengapa terdakwa tidak pernah pulang kerumah
•
Bahwa benar sejak kepergian terdakwa saksi korban pernah beberapa kali menemui terdakwa dikantornya untuk menyelaesaikan masalah yang ada dan juga mengantarkan baju bersih kepada terdakwa. Namun secara kasar terdakwa mengusir saksi dari kantornya.
•
Bahwa benar pada tanggal 14 Mei 2006, saksi disuruh oleh terdakwa untuk datang kerumah kakak kandung terdakwa dijalan Later Pres No.28 Kompleks Wartawan Medan untuk membicarakan masalah antara saksi dan terdakwa. Dimana saat itu saksi merasa diintrogasi oleh pihak keluarga terdakwa dan terdakwa meminta saksi untuk menandatangani Surat Pernyataan Cerai antara Terdakwa dengan Saksi, namun saksi menolak menandatanganinya.
b. Rasyif Tanjung Setelah disumpah sesuai dengan agama yang dianut, menerangkan sebagai berikut: •
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa namun tidak punya hubungna keluarga
•
Bahwa benar saksi satu kantor dengan terdakwa
•
Bahwa saksi membenarkan semua isi BAP dikepolisian
•
Bahwa benar saksi mengetahui bahwa saksi dan terdakwa adalah suami-istri
•
Bahwa benar awalnya saksi tidak mengetahui masalah yang terjadi antara saksi dan terdakwa, namun setelah terdakwa menceritakan pada saksi barulah saksi mengetahui kalau diantara saksi dan terdakwa sering terjadi percekcokan
•
Bahwa benar pada tanggal 14 Mei 2006, saksi disuruh oleh terdakwa untuk menemani terdakwa kerumah kakak kandung terdakwa dijalan Later Pres
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
No.28 Kompleks Wartawan Medan untuk membicarakan masalah antara saksi dan terdakwa. Dimana saat itu saksi melihat saksi korban Rahmah Hasyim diminta menandatangani surat pernyataan cerai antara terdakwa dengan saksi, namun saksi korban menolak untuk menandatanganinya •
Bahwa benar saksi mengetahui kalau tanggal 19 Februari 2007 telah jatuh putusan cerai antara terdakwa dengan saksi korban di Pengadilan Agama Medan.
b. Keterangan Terdakwa •
Bahwa terdakwa kenal dengan saksi Rahmah Haasyim karena pada saat itu terdakwa masih suami saksi
•
Bahwa terdakwa membenarkan semua isi BAP dikepolisian
•
Bahwa benar terdakwa dan saksi Rahmah Hasyim menikah pada sekitar tahun 2004 di Jakarta
•
Bahwa benar setelah menikah Rahmah Hasyim tinggal dijakarta sedangkan terdakwa bertugas dikota medan. Namun sejak bulan Februari 2006 saksi Rahma Hasyim sebagai istri yang sah dari terdakwa tinggal bersama terdakwa dirumah kontrakan dikompleks Johor Indah Permai I Blok IX No.15 Medan
•
Bahwa benar terdakwa memiliki satu orang anak dari hasil perkawinan sebelumnya
•
Bahwa benar dari hasil perkawinan dengan saksi Rahmah Hasyim terdakwa belum dikaruniai anak
•
Bahwa sejak tinggal bersama, terdakwa kerap bertengkar dengan saksi Rahmah Hasyim terutama mengenai anak terdakwa dari perkawinan terdahulunya
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
•
Bahwa sejak tanggal 4 Mei 2006 terdakwa meninggalkan rumah dan tidak pernah lagi kembali
•
Bahwa benar terdakwa ada meninggalkan ATM yang berisikan uang sejumlah lebih kurang Rp.10.000.000,-
•
Bahwa benar kebutuhan terdakwa dan saksi Rahmah Hasyim setiap bulanya adalah sebesar Rp. 2.500.000,-
c. Barang Bukti Berupa 1(satu) buah buku nikah warna hijau No.933/10/XI/2004 an. Ardian Syam SE, AKT dan Rahmah Hasyim Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maka Penuntut Umum menuntut terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukkan tindak pidana sesuai dengan Pasal 49 a Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004 dengan ancaman hukuman penjara selama 3(tiga) bulan penjara dalam masa percobaan 6(enam) bulan penjara. Dan hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa menyebabkan saksi korban terlantar, sedangkan hal yang meringankan bahwa terdakwa belum pernah dihukum. Dari hal-hal tersebut diatas Majelis Hakim memutuskan menjatuhkan pidana terdakwa dengan pidana penjara selama 2(dua) bulan dalam masa percobaan 4(empat) bulan.
2. Kasus No.1921/PID.B/2005/PN-Medan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dalam kasus ini Rika Mayumi mengadukan mantan suaminya yang bernama Heri Irawan yang bertempat tinggal di Jl.H.M.Yamin Gang Wasliyah No.4 Medan dengan pekerjaan wiraswasta. Dari keterangan saksi-saksi dan alat bukti maka Jaksa Penuntut Umum Mengajukan tuntutannya dengan dakwaan Yaitu: Pertama •
Bahwa terdakwa Heri Irawan sejak bulan November 2004 sampai dengan sekarang atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 bertempat di Jl.Denai gang.Kapur No.10 kelurahan Tegal Sari Kecamatan. Medan Area, Kota Madya Medan, ataupun stidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, telah menelantarkan orang lain dalam linkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-undang No.23 Tahun 2004, perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
•
Bahwa terdakwa dengan saksi korban Rika Mayumi alias Rika telah menikah secara sah menurut hukum pada tanggal 31 Juli 2004 dirumah orang tua Rika Mayumi di Jl.Denai gang Kapur No. 10 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Area, Kotamadya Medan
•
Bahwa pernikahan antara saksi korban dengan terdakwa dilakukan dengan sukarela dan sebelum menikah terdakwa dengan saksi korban telah melakukan pertunangan
•
Bahwa tugas dan tanggung jawab terdakwa sebagai suami terhadap istri yang dinikahi secara sah menurut hukum Agama Islam dan hukum Perkawinan di
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Indonesia adalah memberikan nafkah lahir maupun nafkah batin kepada istrinya •
Bahwa sesuai dengan kutipan Akta Nikah No.397/02/VIII/2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Area yang menerangkan bahwa telah dilangsungkan akad nikah seorang laki-laki yang bernama Heri Irawan bin Anas Pilly dengan seorang wanita bernama Rika Mayumi bin Binti Marsaleh Berdasarka fakta-fakta tersebut perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kedua •
Bahwa terdakwa Heri Irawan sejak bulan November 2004 sampai denga sekarang atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, di Jl.Denai gang Kapur No. 10 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Area, Kotamadya Medan ataupun setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang yaitu saksi korban Rika Mayumi dalam kesengsaraan sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, perbuatan mana dilakukan terdakwa sebagai berikut
•
Bahwa terdakwa dengan saksi korban Rika Mayumi telah menikah secara sah menurut hukum pada tanggal 31 Juli 2004 dirumah orang tua Rika Mayumi di Jl.Denai gang Kapur No. 10 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Area, Kotamadya Medan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
•
Bahwa pernikahan antara saksi korban dengan terdakwa dilakukan dengan sukarela dan sebelum menikah terdakwa dengan saksi korban telah melakukan pertunangan
•
Bahwa tugas dan tanggung jawab terdakwa sebagai suami terhadap istri yang dinikahi secara sah menurut hukum Agama Islam dan hukum Perkawinan di Indonesia adalah memberikan nafkah lahir maupun nafkah batin kepada istrinya
•
Bahwa sejak menikah terdakwa dan saksi korban tinggal dirumah orang tua saksi korban di Jl.Denai gang Kapur No. 10 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Area, Kotamadya Medan dan selama terdakwa membina rumah tangga bersama dengan saksi korban, terdakwa tidak pernah memberikan nafkah batin kepada saksi korban selaku istri sah terdakwa
•
Bahwa sejak pertengahan bulan November 2004 terdakwa meninggalkan saksi korban dan tinggal bersama orang tuannya dan sejak terdakwa kembali kerumah orang tuannya maka terdakwa tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun nafkah batin kepada saksi korban selaku istri sah terdakwa
•
Bahwa sesuai dengan kutipan Akta Nikah No.397/02/VIII/2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Area yang menerangkan bahwa telah dilangsungkan akad nikah seorang laki-laki yang bernama Heri Irawan bin Anas Pilly dengan seorang wanita bernama Rika Mayumi bin Binti Marsaleh Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jo Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Rumah Tangga. Namun terdakwa juga memberikan pembelaan lewat nota pembelaan yang dibacakan oleh pengacara terdakwa dan berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan yang merigankan terdakwa beserta alat-alat bukti yang sah maka Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa sacara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menelantarkan orang lain dengan pidana penjara 6 (enam) bulan dan masa percobaan 9 (sembilan) bulan.
B. Analisa Kasus Sebelum melakukan analisa pada kedua kasus tersebut maka telah disajikan bentuk putusan dan pertimbangan hakim yang disusun secara sistematis dalam bentuk tabel berikut: Tabel 2 Pertimbangan Hakim dalam Putusan Kasus Tindak Pidana Penelantaran Istri No 1
2
Putusan Menyatakan bahwa Ardian Syam, SE.AKT.MSI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 49 huruf a UU RI No.23 Tahun 2004 yaitu menelantarkan istri. Terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 2(dua) bulan dengan masa percobaan 4(empat) bulan Heri Irawan
Pertimbangan Hakim Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim yaitu: Hal yang memberatkan: Perbuatan terdakwa menyebabkan saksi korban terlantar Hal yang meringankan: Terdakwa belum pernah dihukum
Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim yaitu: Hal Yang memberatkan: • Perbuatan terdakwa tidak layak dilakukan oleh seorang suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
kepada istrinya Perbuatan terdakwa yang sering menceritakan kepada tetangga tentang tingkah laku saksi korban sebagai istrinya juga tidak layak dilakukan. Hal yang meringankan: • Terdakwa belum pernah dihukum • Terdakwa masih berusia muda dan diharapkan dapat memperbaiki tingkah lakunya dikemudian hari. •
Dalam kasus pertama yaitu pada kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan dapat dilihat dari tuntutan saksi korban dahwa saksi korban telah mengalami kekerasan ekonomis. Kekerasan ekonomis yang dialami saksi korban berupa penelantaran dalam hal terdakwa tidak lagi pulang kerumahnya dan terdakwa tidak bersedia menafkahi saksi korban meskipun status daripada saksi korban adalah masih istri yang sah menurut hukum perkawinan yang berlaku. Keputusan saksi korban untuk mengajukan pengaduan kepada terdakwa yang masih suami daripada saksi korban sendiri memiliki alasan yang pantas diterima oleh akal dan hati nurani setiap orang. Hal tersebut penulis tanggapi demikian karena memang jika melihat dari tindakan terdakwa yang telah menelantarkan istrinya dan anak yang seharusnya juga ia sayangi seperti anaknya sendiri adalah tidak pantas jika terdakwa membiarkan istri dan seorang balita yang masih membutuhkan kasih sayang dan asupan nutrisi yang cukup. Kekerasan ekonomi yang dilakukan terdakwa dapat disimpulkan dari dalildalil yang diajukan saksi korban bahwa tergugat telah meninggalkan rumah dan selama proses gugatan perceraian tidak pernah datang untuk melihat keadaan Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
saksi korban dan anak yang juga masih membutuhkan seorang anak. Kekerasan yang dilakukan saksi korban sebenarnya juga merupakan kekerasan psikologis, penulis berpendapat demikian karena dari fakta-fakta yang terungkap dari persidangan dapat dilihat bahwa terdakwa pernah mengajukan surat cerai kepada saksi korban dirumah kakak terdakwa dan saat saksi korban tidak mau menandatangani surat cerai tersebut terdakwa dan keluarga terdakwa memakasa sambil melakukan introgasi yang menyudutkan saksi korban. Tekanan psikologis juga dialami oleh saksi korban dilingkungan sekitar saksi korban, dimana saksi korban sering mendapat guncingan dari tentangga terdakwa dan setiap saat saksi korban sering mengalami ketakutan karena ancaman dari para penagih hutang, saksi korban juga terpaksa memiliki hutang karena terdakwa tidak lagi menghidupi/menafkahi saksi korban. Terdakwa sebagai suami dari saksi korban seharusnya menafkahi saksi korban bahkan selama berlangsungnya proses perceraian, seperti yang diatur dalam bunyi ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut: selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas tergugat, pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak: c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dalam putusan hakim sungguh hal yang aneh jika melihat bunyi Pasal 49 Undang-undang No.23 Tahun 2004 dimana hukuman maksimal terhadap tindakan penelantaran rumah tangga adalah 3(tiga) tahun Penjara atau denda maksimal Rp.15.000.000,00(lima belas juta rupiah) dan juga melihat Pasal 50 Undangundang No.23 Tahun 2004 seharusnya hakim juga memberikan hukuman tambahan. Dalam kasus No.1921/PID.B/2005/PN-Medan juga masih mengenai penelantaran istri yang dilakukan oleh suami. Fakta-fakta yang didapat selama persidangan telah meyakinkan hakim bahwa terdakwa dinyatakan bersalah. Namun apabila dibandingkan dengan kasus pertama dapat dilihat perbedaan bahwa terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan bentuk surat dakwaan biasa, namun terdiri dari dua dakwaan yaitu: Dakwaan pertama, terdakwa didakwa melanggar Pasal 49 huruf a Undangundang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dakwaan kedua, terdakwa didakwa dengan Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada umumnya dakwaan yang benar adalah dakwaan pada kasus kedua dengan rincian dakwaan melanggar Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jo Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004. Jika dibandingkan antara kasus pertama dengan kasus kedua dapat dilihat perbedaan yang menonjol yaitu dalam putusan Majelis Hakim yang mengadili. Dalam kasus yang pertama terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 2(dua) bulan dengan masa percobaan 4(empat) bulan sedangkan dalam kasus kedua Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 6(enam) bulan dengan masa percobaan 9(sembilan) bulan. Perbedaan tersebut dikarenakan pada kasus pertama hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah: Terdakwa tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada saksi korban yang menjadi tanggung jawabnya. Terdakwa sering menceritakan kepada tetangga tingkah laku saksi korban sebagai istrinya. Sedangkan pada kasus yang kedua terdakwa dikenakan hal-hal yang memberatkan berupa perbuatan yang menyebabkan saksi korban terlantar. Namun, menurut penulis dalam kasus kedua ini hakim tidak memberikan putusan yang adil dimana dari fakta-fakta persidangan seharusnya terdakwa juga ditutut telah melakukan kekerasan psikologis akibat tindakan dari terdakwa kepada saksi korban. Sehingga dari analisis kasus yang didapat oleh penulis dapat diambil suatu pendapat bahwa Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 belum memberikan perlindungan kepada korban Kekerasan dalam Rumah Tangga terlebih bagi para istri yang mengalami kekerasan ekonomi, perlindungan yang dimaksudkan adalah tidak adanya kepastian bagi para korban kekerasan ekonomi dalam keluarga terutama bagi para istri untuk mendapatkan nafkah daripara suami.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari uraian penulisan skripsi ini, maka dapatlah penulis mengambil beberapa kesimpulan yang merupakan perpaduan pengertian atau sistem dari pengembangan yang merupakan kajian yang bersifat menyeluruh dan terpadu: Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
1. Pengaturan tindakan penelantaran istri oleh suami sebagai tindak pidana merupakan sebuah peralihan kasus privat menuju kasus publik dimana adanya kesadaran hukum dalam masyarakat yang menuntut adanya perlindungan dan tindakan antisipasi terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga terutama bagi kaum perempuan yang sering menjadi korban. Kaum perempuan merupakan kaum yang tergolong sering menjadi korban apalagi adanya budaya patriarki hampir diseluruh daerah di Indonesia. Tindakan penelantaran rumah tangga juga sering menimbulkan korban yang lagi-lagi korbannya adalah perempuan dalam hal ini adalah para istri yang ditelantarkan oleh suaminya. Pengaturan tindak pidana penelantaran istri dalam Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga diposisikan sebagai suatu delik aduan. 2. Pada dasarnya tindakan penelantaran rumah tangga sebagai hal yang dilarang telah diatur sebelumnya dalam hukum islam, dan dengan keluarnya sebuah dekade perempuan internasional oleh PBB telah mendesak pemerintah dalam meindungi hak-hak wanita sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi. Dalam ketentuan hukum islam penyelesaian tindakan penelantaran istri diselesaikan dalam pengadilan agama yang mana bentuk putusannya hanya berupa gugatan perceraian dan tuntutan terhadap suami untuk membiayai kehidupan istri dan anak yang harus ditanggungnya. Sedangkan dalam Undang-undang HAM hanya mengatur bentuk perdamaian antara istri dan suami atas alasan guna melindungi masa depan anak. 3. Dalam hal penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran istri oleh suami dalam proses pradilan masih belum memberikan kepuasan bagi kaum wanita dalam hal ini para istri yang mana tuntutan pidana yang diberikan pada sumi Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
yang menelantarkan istri tidak memberikan efek jera malah semakin mendesak para istri yang telah ditelantarkan dalam himpitan ekonomi belum lagi terhadap nasib anak-anak yang harus menjadi tanggungan para istri setelah ditelantarka oleh suaminya.
B. Saran 1. Budaya patriarki yang pada hampir setiap daerah di Indonesia sering menyudutkan kaum wanita dalam hal ini para istri yang sering menjadi korban kekerasan terutama tindakan penelantaran yang dilakukan oleh suaminya haruslah dirubah dalam persepsi masyarakat dimana diharapkan adanya penyuluhan kepada seluruh lapisan masyarakat oleh pemerintah tentang adanya Undang-undang yang telah melarang tindakan tersebut. Penyuluhan tersebut diharapkan dilakukan hingga kepelosok daerah terpencil dan pedesaan. Pengaturan tindak pidana penelantaran rumah tangga yang sering kali korbannya adalah perempuan atau para istri sebagai delik aduan sering memposisikan para istri dalam keadaan yang terdesak, karena disatu sisi adanya anggapan bahwa pengaduan terhadap aparat penegak hukum justru akan mencoreng nama baik keluarga dan membuka aib keluarga kepada masyarakat umum. Oleh sebab itu maka diharapkan bagi seluruh kalangan untuk turut berpartisipasi membantu para istri untuk mengadukan adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini tindakan penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh para suami. 2. Penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran rumah tangga dalam hal ini penelantaran istri oleh suami masih belum memberikan perlindungan terhadap Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
kepentingan para istri dalam hal ini perlindungan secara ekonomi, oleh sebab itu diharapkan adanya perpanjangan tangan oleh pemerintah dalam membantu para istri dimana adanya sosialisasi terhadap para istri yang telah ditelantarkan oleh suaminya untuk dapat hidup mencari nafkahnya hingga para istri tersebut dapat mandiri dalam menafkahi hidupnya apalagi adanya anak yang menjadi tanggungan baginya setelah ditelantarkan oleh suaminya. Juga dalam hal putusan hakim seharusnya memberikan putusan agar para suami yang menelantarkan istrinya tetap untuk menafkahi istri yang telah ditelantarkan beserta anak yang ditinggalkannya.
DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,Jakarta: PT Grafindo Persada,2002 Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, , Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Arief sidharta, HAM Permpuan Kritik Teori Feminis Terhadap KUHP, Bandung:Reflika Aditama, 2008. Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rieneka Cipta, 1996 Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka,edisi ketiga,2001 Harkristuti Harkrisnowo.,Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Perspektif Sosio-Yuridis, Yogyakarta:Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001 Ita F.Nadia,Kekerasan Terhadap Perempuan dari Perspektif Gender (Kekerasan Terhadap
Perempuan,
Program
Seri
Loka
Karya
Kesehatan
Perempuan) , Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation, 1998 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT.Bina Aksara, 1987. Joenes Mahmoed,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1959 Jan Rammelink, Hukum Pidana/Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka utama,2003. Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta: Ameepro,2003. Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana, Jogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1959 Mansour Fakih,Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta:Jakarta,2002. Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
Mudzakir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam
Pembaharuan
Hukum
Pidana
Indonesia,
Yogyakarta:
diselenggarakan oleh fakultas hukum UII, 15 Juli 1993. Muladi dan Barda Nawawi arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni Bandung, 1992. Mohammad Daud Ali, Azas-azas Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1990. Niken Savitri, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,Bandung:PT Refika Aditama, 2008R.Saraswati,Perempuan dan penyelesaian
kekerasan
dalam
rumah
tangga,
Citra
Aditya,
Bandung.2006. Pitlo,Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata Jilid III (Disadur Djasadin Saragih), Bandung: Alumni Bandung, 1973. R.Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Tiara, 1959. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Jakarta : Aksara Baru,1983 Rika saraswati, Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bandung: PT.Citra Aditya, 2006 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeae, 1993 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A, Badan Penyelidikan Kuliah FHUNDIP,Semarang,1973. Sudarto, Hukum Pidana I,Semarang: Yayasan Sudarto, 1990 Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI-Press, 1984.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009
T.Jafizman, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : C.V. Percetakan Mestika, , 1977. Sumber Perundang-undangan: UNDANG-undang No: 1 TAHUN 1974 Tentang: Perkawinan Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang: Hak Asasi Manusia Undag-undang No.23 Tahun 2004 Tentang: Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Sumber lainnya: Suara Merdeka, 23 April 2005. Kitab Suci Al-Quran.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009