SKPRIPSI PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI PERTAMBANGAN EMAS DI DESA BONTO KATUTE KABUPATEN SINJAI
A. HAMZAH KURNIAWAN E51109256
Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
HALAMAN PENGESAHAN JUDUL
:
NAMA NIM
: :
PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI PENAMBANGAN EMAS DESA BONTO KATUTE KABUPATEN SINJAI A. HAMZAH KURNIAWAN E 511 09 256
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I danPembimbing II Untuk diajukan pada Tim Penguji Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA__ NIP. 19611104 198702 1 001
Dr. TasrifinTaharaM.Si___ NIP. 19750823 200212 1 002
Mengetahui, Ketua Jurusan Antropologi FISIP UNHAS
Dr. Munsi Lampe, MA____ NIP. 19561227 198612 1 001
HALAMAN PENGESAHAN JUDUL
:
PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI PENAMBANGAN EMAS DESA BONTO KATUTE KABUPATEN SINJAI
NAMA
:
A. HAMZAH KURNIAWAN
NIM
:
E 511 09 256
JURUSAN
: ANTROPOLOGI
PROGRAM STUDI : ANTROPOLOGI SOSIAL Menyetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA__
Dr. TasrifinTaharaM.Si___
NIP. 19611104 198702 1 001
NIP. 19750823 200212 1 002
Mengetahui: Ketua Jurusan Antropologi Fisip Unhas
Dr. Munsi Lampe, MA NIP. 195612271986121001
HALAMAN PENERIMAAN
Telah diterima oleh panitia ujian skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar, pada hari Jumat, tanggal 17 bulan oktober tahun 2013 dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). Makassar, 17 Oktober 2013
Panitia Ujian Ketua
: Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA
(………………………..)
Sekretaris
: Dr. Tasrifin Tahara M.Si
(………………………..)
Anggota
: 1. Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA (………………………..)
2. Drs. Yahya MA
(………………………..)
3. Safriadi, S.IP, M.Si
(………………………..)
ABSTRACK Department of nthropology Faculty of Social and PoliticalSciences UniversitasHasanuddin Thesis, Juny 2013
A. HamzahKurniawan "Persistence and Resistance Community to existence Gold Mining in BontoKatute, Sinjai" The result of research indicated that after established exploration permits of mining, commonly the Bonto Katute villagers and the existence of gold mining which entered the stage of exploration. This research uses descriptive qualitative method to gather material information or data systematically about the way of life, reason and various forms of activity (response) relating to the existence of gold mining in Bonto Katute. These results indicate that once established mining exploration permits in general society divided Bonto Katute community groups that support the (persistence) and the people who resist (resistance) against mining. Those who support mining is the entire apparatus of the village along with his immediate family. With a variety of reasons like, because this activity is still limited to exploration, and because it was an order from the local government. While those who refuse divided into two citizens and actively involved (discussions, campaigns and actions), and who reject the passive position (declined to comment for fear).the reason they refused mining fricative, ranging from economic, social, and cultural values that will eventually be degraded. Keywords: Persistence, Resistance, and Mining.
ABSTRAK JurusanAntropologi FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik UniversitasHasanuddin Skripsi, Mei 2013
A. Hamzah Kurniawan “Persistensi dan Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute, Kabupaten Sinjai” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa faktor dan bentuk dari persistensi dan resistensi masyarakat desa Bonto Katute terhadap eksistensi penambangan emas yang sudah memasuki tahap eksplorasi Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan bahan keterangan atau data secara sistematik mengenai cara hidup, alasan serta berbagai bentuk aktivitas (respon) masyarakat yang berkaitan dengan eksistensi penambangan emas di Desa Bonto Katute. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah ditetapkan izin eksplorasi penambangan secara umum masyarakat Desa Bonto Katute terbagi manjadi dua kelompok yakni masyarakat yang menerima kemudian mendukung (persistensi) dan masyarakat yang menolak (resistensi) terhadap eksplorasi penambangan emas. Mereka yang mendukung penambangan adalah seluruh aparatur Desa beserta keluarga dekatnya. Dengan berbagai alasan seperti, karena kegitan ini masih sebatas eksplorasi, dan karna ini sudah merupakan perintah dari pemerintah daerah. Sementara mereka yang menolak terbagi menjadi dua yakni warga dan terlibat secara aktif (diskusi, kampanye dan aksi), dan yang menolak dalam posisi passif (menolak berkomentar karena takut). alasan mereka menolak penambangnpun berfaritif, mulai dari faktor ekonomi, sosial, dan nilai-nilai budaya yang kelak akan mengalami degradasi. Kata Kunci
: Persistensi,Resistensi,dan.Penambangan,
KATA PENGANTAR Segala puji senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya menganugerahkan rahmat serta hidayah kepada hamba-Nya. Salam salawat dan taslim tidak lupa penulis kirimkan kepada junjungan nabi besar Mmuhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya. Merupakan nikmat yang tiada ternilai manakala penulisan skripsi yang berjudul “Persistensi dan Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai” ini dapat terselesaikan dengan baik yang sekaligus menjadi salahsatusyarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Banyak kendala yang dihadapi dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan baik itu tenaga, moril dan materi dari berbagai pihak sehingga Syukur Alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan. Sujud hormat dan sayang yang sebesar-besarnya kupersembahkan skripsi ini terkhusus kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. H Abdul Karim, dan Ibunda saya Dra, Hj. Siti Ramlah Kantao. Terima kasih atas segala kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, dukungan, semangat, dan do’a restu disetiap langkah ini, yang tak ternilai hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, kiranya amanah yang diberikan kepada penulis tidak tersia-siakan. Dalam
kesempatan
ini
dengan segala
kerendahan
hati,
penulis
menyampaikan penghargaan dengan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Hamka Naping MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin yang juga sebagai Penasehat Akedemik penulis selama penulis mengikuti pendidikan di Universitas hasanuddin serta sebagai Pembimbing I dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Dr, Munsi Lampe MA sebagai Ketua jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. 3. Bapak Dr. TasrifinTahara M.Si, sebagai pembimbing II penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, atas segalaketulusan dan semangat serta kesabaran yang rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya penulisan skripsi ini penulis ucapkan banyak terima kasih. 4. Jajaran Dosen FISIP UNHAS dan terutama Dosen Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan di FISIP UNHAS. 5. Kepada saudara-saudarasayakakak dr. A. Muh. Akram Kastiran dan adikadik saya A. Ayudiah Mutmainnah dan A. Ainun Mahatma Karim, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama penyelesaian studi di FISIP UNHAS 6. Kepala Desa Bonto Katute beserta warga Desa Bonto Katute yang telah memberikan bantuan selama masa penelitian,. 7. Kepada Saudara-Saudara Seangkatan di Jurusan Antropologi UNHAS 2009, yang telah banyak memberikan cerita dan semangat dalam penyelesaian study di FISIP UNHAS
8. Kawan-kawan SRM (Sanggar Rakyat Merdeka), yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. 9. Kepada sahabat penulis Radinal Saputra SP yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk menemani penulis selamaberada di lokasi penelitian 10. Tidak terlupakan buat semua orang yang tidak sempat penulis sampaikan yang telah mendukung, membantu serta memberikan motivasi selama ini. Semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Akhirnya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik penulis sangat harapkan demi penyempurnaan penulisan ini.
Makassar, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
ABSTRACT
iii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR GAMBAR
x
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 . Latar Belakang
1
1.2 . Rumusan Masalah
5
1.3 . Tujuan Penelitian
5
1.4 . Manfaat Penelitian
5
1.5 . Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian
6
1.5.2. Penentuan Lokasi Penelitian
7
1.5.3. Teknik Pemilihan Informan
8
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
11
1.6.
Analisis Data
14
1.7.
Defenisi dan Batasan Operasional
15
1.8.1. Sistematika Penulisan
16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Persistensi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam
17
2.2.
Resistensi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam
19
2.3.
Eksistensi Penambangan Emas
23
2.3.1. Definisi Tambang
24
2.3.2. Tahapan Tambang
25
2.3.3. Penggolongan Hasil Tambang
26
2.4.
Masyarakat Sekitar Pengelolaan Sumber dayaAlam
28
2.5.
Penelitian Terdahulu
31
2.6.
Kerangka Konseptual
34
BAB III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1.
Letak dan Kondisi Geografis Desa Bonto Katute
36
3.2.
Kondisi Demografi Desa Bonto Katute
37
3.2.1. Kondisi Pendidikan Masyarakat
38
3.2.2. Kondisi Perkonomian Masyarakat
43
3.2.3. Kesehatan Masyarakat
44
3.2.4. Pranata Sosial
45
Rencana Penambangan Emas Desa Bonto Katute
48
3.3.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Sejarah Masuknya Penmbangan Emas
54
4.2.
Persistensi Terhadap Penambangan
75
4.2.1. Faktor-faktor Persistensi
78
4.2.2. Bentuk-bentuk Persistensi
80
Persistensi Terhadap Penambangan
82
4.3.1. Faktor-faktor Resistensi
83
4.3.2. Bentuk-bentuk Resistensi
88
4.3.
BAB V. DAFTAR PUSTAKA 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
\
105 107 xi xii
DAFTAR GAMBAR No.
Uraian
Halaman
Gambar 1.
: Kerangka Konsep
35
Gambar 2.
: PAUD dan TPK Buah Katute Sinjai Borong
39
Gambar 3.
: SD Negeri 250 Maroanging Sinjai Borong
40
Gambar 4.
: Pustu Bonto Katute.
45
Gambar 5.
: Lokasi TMMD ke 90 Desa Bonto Katute
52
Gambar 6.
: Kegiatan Kerja bakti
61
Gambar 7.
: Galian Eksplorasi Pertambangan
68
Gambar 8.
: Posko Penolakan Tambang
87
Gambar 9.
: Perkampungan Desa Bonto Katute
88
Gambar 10.
: Acara Silahturahmi Antar Warga
90
Gambar 11.
: Aksi Demonstrasi Penolakan Tambang
91
Gambar 12.
: Aksi Demonstrasi Front Gertak
93
Gambar 13
: Dialog Terbuka di Kantor DPRD KabupatenSinjai
94
Gambar. 14.
: Aksi Demonstrasi oleh Mahasiswa Sinjai
95
Gambar 15
: Aksi Demonstrasi di Pusat Kota Kabupaten Sinjai
96
Gambar 16
: Aksi Demonstrasi di Jalan A.P.Petta Rani Makassar
97
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan hidup beserta sumber daya alam yang terkandung didalamnya seyogyanya merupakan faktor utama yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses dinamika bermasyarakat, Sebab hubungan manusia dengan alam sekitar sangatlah erat kaitannya, bagaimana keadaan alam berpengaruh terhadap berbagai hal dalam kehidupan manusia seperti misalnya tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, pola makan, kesehatan, laju kematian, tingkat fertilitas dan lain-lain. Keadaan alam dan tanah juga berhubungan erat dengan sistem mata pencaharian penduduk (Koentjaraningrat, 1990). Oleh karenanya itu pemanfaatan sumeber daya alam haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan kemanusiaan yang adil dan beradab, guna untuk mensejahterakan masyarakat. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Sumber daya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi (Fauzi, 2004). Kekayaan sumberdaya alam Indonesia ini pula yang menyebabkan negara kita dijajah selama berabad-abad oleh Negara Belanda dan juga selama tiga setengah tahun oleh Negara Jepang. Salah satu sumberdaya alam yang kita miliki adalah mineral emas dan perak, yang termasuk dalam golongan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui
(non renewable). Sektor pertambangan merupakan salah satu andalan untuk mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara. Kegiatan pertambangan pada dasarnya merupakan proses pengalihan sumberdaya alam menjadi modal nyata ekonomi bagi negara dan selanjutnya menjadi modal sosial. Modal yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan nilai kualitas insan bangsa untuk menghadapi hari depannya secara mandiri. Dalam proses pengalihan tersebut perlu memperhatikan interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sehingga dampak yang terjadi dapat diketahui sedini mungkin (Soelistijo, 2005). Dampak dari kegiatan pertambangan menurut Muhammad dalam Sulto (2011) dapat bersifat positif bagi daerah pengusaha pertambangan, sedangkan Noor dalam Sulto (2011) mengatakan bahwa kegiatan pertambangan bersifat negatif terhadap ekosistem daerah setempat. Munculnya dampak positif maupun negatif dari usaha pertambangan, terjadi pada tahap eksplorasi, eksploitasi hingga apa yang akan terjadi setelah penambangan selesai tidak akan bisa terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan oleh karenanya itu dalam proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan kelak, seperti yang telah dipesankan oleh
Ir. Soekarno, Mantan Presiden Republik
Indonesia dalam pidato Tri Sakti 1963 yang menganjurkan agar kekayaan alam Negara ini tetap tersimpan di perut bumi,
hingga Saat putra-putri bangsa
indonesia sudah mampu untuk mengelolahnya sendiri. Selain itu sejak era reformasi dengan adanya otonomi daerah, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan ekonomi kebijakan dalam sumberdaya alam di wilayahnya (Soelistijo, 2008). Melalui otonomi tersebut juga diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan setiap kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat dan dengan jelas telah memberikan pengaruh yang sangat berbeda dibandingkan di era soekarno hingga era sentralisasi ordebaru sebelumnya. Pemerintah daerah yang kini memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam di daerahnya, dengan pertimbangan bahwa pemerintah daerah akan jauh lebih tahu bagaimana cara memperlakukan wilayahnya, dengan hak otonomi tersebut pemerintah setempat kiranya berhak dengan kebijakan menerima atau menolak semua pihak swasta atau industri yang ingin berinfestasi didaerahnya, dan dalam proses pengelolaan dan pemanfaatkan sumberdaya alam wilayahnya pun dapat sekaligus mengontrol jalannya proses pertambangan tersebut. Seperti yang ada disebagian wilayah di Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai yang sejak tahun 2008 lalu. Izin eksplorasi terhadap wilayah ini sebagai area penelitian kandungan mineral bumi (tembaga mulia/emas) yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi sudah dikeluarkan. kemudian diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai November 2013 (SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010), yang sejak awal kegitan eksplorasi ini sudah
menuai protes dari warga setempat yg tidak setuju kalau lahan garapannya dijadikan sebagai tempat penelitian eksploitasi, sebab lokasi yang kelak dijadikan tempat pertambangan tersebut dianggap oleh warga sekitar sebagai hutan adat, tanah nenek moyang yang diberikan secara turun temurun dan dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian warga sekitar, yang oleh pemerintah setempat sudah ditetapkan sebagai hutan lindung sejak bulan agustus 1995 silam, tanpa sepengetahuan masyarakat sekitar ini telah memberikan beberapa pengaruh yang cukup signifikan terhadap polah tingkahlaku interaksi antar masyarakat di kecamatan Sinjai borong seperti sikap persistensi dan resistensi terhdap sesuatu yang baru. Proses eksplorasi penambangan emas di Kecamatan Sinjai Borong yang telah dilakukan sejak bulan november 2008 ini telah memberikan beberapa dampak atau pengaruh padah polah tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosialnya yang disebabkan oleh pemahaman dan kepentingan yang berbeda dan teremplementasikan pada sikap presistensi dan risestensi terhadap eksistensi sesuatu yang baru dalam lingkungannya. inilah yang menjadi alasan penulis tertarik untuk dijadikan sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dengan mengangkat judul “Persistensi dan Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute, Kabupaten Sinjai”
1.2. Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa masyarakat menerima keberadaan tambang di Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai? 2. Mengapa masyarakat menolak keberadaan tambang di Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai? 3. Apa bentuk-bentuk persistensi dan risestensi masyarakat tehadap eksistensi penambangan emas? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui mengapa masyarakat menerima keberadaan tambang di Desa Bonto Katute KabupatenSinjai 2. Mengetahui mengapa
masyarakat menolak keberadaan tambang di
Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai 3. Mengetahui bentuk-bentuk
persistensi dan risestensi masyarakat
tehadap eksistensi penambangan emas 1.4. Manfaat Penelitian Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah :
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan bentuk persistensi dan resistensi
masyarakat di Desa Bonto Katute,
Kabupaten Sinjaiterhadap eksistensi pertambangan emas. 2. Sebagaibahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. 3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat di daerah pedesaan. 4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1.
Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan (dalam Suwardi, 2003) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sama dengan penelitan etnografi yang pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan peristiwa
yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka yang menjadi pelaku-pelakunya. Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi penambangan emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat 1.5.2. Penentuan Lokasi Penelitian, Lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan asumsi bahwa Desa Bonto Katute merupakan salah satu desa di Kabupaten Sinjai yang memiliki jumlah penduduk yang paling banyak di KecamatanSinjai Borong ini dan karakter penduduk yang sesuai dengan kebutuhan data yang diinginkan dalam penulisan, sebab seluruh wilayah di desa ini sudah ditetapkan sebagai daerah eksplorasi penambangan. Dengan pertimbangan tersebut dan juga karena penulis adalah warga asli Kabupaten Sinjai sehingga memudahkan bagi penulis untuk meneliti dan lebih mudah mengakses tempat yang potensial karena penulis sendiri sudah banyak mengenal daerah tersebut. Dan dari masalah pembiayaan, peneliti juga tidak perlu mengeluarkan banyak anggaran, dengan kemudahan ini, diharapkan peneliti dapat melakukan
penelitian dengan penuh kemudahan dan punya semangat serta motivasi untuk menyelesaikannya.
1.5.3.
Teknik Pemilihan Informan Informan yang merupakan sumber data dari informasi yang diinginkan untuk kebutuhan penulisan. Untuk mendapatkan informan, peneliti memilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwasanya informan yang terpilih nantinya kelak bisa memberikan informasi yang dapat mewakili sebagian aspirasi, perasaan dan pertimbangan masyarakat secara objektif. Informan yang di wawancarai juga nantinya, tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan data yang dinginkan, jika data yang didapat sudah dianggap cukup, dengan pertanyaan dan jawaban yang relevan dengan masalah, wawancara pada saat itu dihentikan. Tetapi jika data yang didapatkan tidak cukup relevan dengan masalah, peneliti akan mencari informasi yang relevan dari informan lain, sesuai dengan kebutuhan dari penelitian ini. Informan yang penulis butuhkan akan dikelompokkan dengan beberapa kategori yakni: a. Informan dari sebagian masyarakat Desa Bonto Katute yang memberikan informasi dan alasan mendukung adanya eksplorasi penambangan emas: 1. Warga Desa Bonto Katute atas nama Salim (43 tahun), sebagai Kepala Dusun Bolalangiri di Desa Bonto Katute, pernah
menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat yang setara dengan SD (sekolah dasar). 2. Mare (43 tahun), pernah menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat, yang saat ini bekerja sebagi ibu rumah tangga dan berkebun, lokasi rumahnya tebat berseblahan dengan rumah Kepala Desa Bonto Katute. 3. Masri (36 tahun) , terakhir menempuh pendidikan di SMK Negeri 1 Bulukumba dan lulusan pada tahun 1997 , beliau adalah Mantan Kepala Desa Bonto Katute sejak 2001-2011 yang tidak lain adalah suami dari kepala desa yang menjabat sekarang. 4. Aco (40 tahun) adalah seorang pamong desa, atau yang paling disegani di Desa Bonto katute, selain berkebun, beliau juga memilikih banyak lahan pertanian, tidak pernah menempuh pendidikan, dan merupakan keluarga dekat kepala Desa Bonto Katute 5.
Iwan (25 tahun) adalah mahasiwa STIP Muhammadiayah Sinjai, iwaan merupakan warga, asli Desa Bonto Katute yang saat ini berdomisili di ibu kota Kabupaten Sinjai
6. Darmawati (33 tahun), Pendidikan Akhir pernah menempuh pendidikan di SMA Neg 1 Sinjai Selatan, yang saat ini menjabat sebagai kepala Desa Bonto katute sejak 2011sekarang
b. Informan dari sebagian masyarakatDesa Bonto Katute yang memberikan informasi terkait dengan penolakan adanya eksplorasi penambangan emas. 1. Warga Desa Bonto Katute atas nama Rudi (40 tahun), pernah dan lulus di SMEA Neg 1 Sinjai Utara, beliau adalah mantan kepala dusun Bolalangiri, selain aktif bersosialisasi dengan warga yang menolak tambang, dia juga merupakan salah satu pengurus Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) AMAN Sulawesi Selatan 2. Yusuf (39 tahun), pendidkan akhir adalah Sekolah Dasar pekerjaan sehari-hari adalah petani 3. Rahma (38 tahun), adalah sebuah ibu rumahtangga yang juga adalah ipar dari pak Rudi (Mantan Kepala Dusun Bolalangiri) 4. Samiati (32 tahun), pendidikan akhir adalah Sekolah Dasar sekarang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan berkebun 5. Hamzah (27 tahun), lulus di Sekolah Dasar Maroanging, sekarang bekerja sebagai seorang petani. Dan selain itu saat ini dia aktif di Komomonitas Masyarakat Penolakan Tambang Katute. 6. Saleh (24 tahun), adalah warga asli Desa Bonto Katute yang saat ini menjalai pendidika di STISIP Muhammadiah Sinjai dan Sekarang berdomisili di Ibu Kota Kabupaten Sinjai.
7. Rusdi (27 tahun), warga asli Desa Bonto Katute yang berprofesi sebagai betani dan pernah bersekolah di PAUD Desa Bonto Katute selama 3 (tiga) tahun, dan saat ini menjadi Ketua Komonitas Masyarakat Desa Penolak Tambang di Desa Bonto Katute. 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data A. Studi Kepustakaan Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji berbagai literature-literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian dengan fokus “strategi adaptif”. Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan dengan masalah ini, seperti: a. Harian Fajar Tanggapan-tanggapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai terkait masalah penambangan dengan mengakses melalui internet situs www.fajar.co.id b. Tribun Timur Tanggapan Masyarakat dan dokumentasi aksi demonstrasi penolakan tambang yang dilakukan oleh masyarakat bersama dengan mahasiswa Kabupaten Sinjai yang di akses melalui situs www. makassar.tribunnews.com
c. AMAN Sulawesi Selatan Artikel mengenai dampak penambangan dan reklamasi hutan adat yang diakses melalui www.aman_sulsel.or.id d. WALHI Sulawesi Selatan Artikel mengenai pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) Hutan,
yang
diakses
melalui
situs
www.walhi-
sulsel.blogspot.com/ e. BPS Kabupaten Sinjai 2012 Data-data mengenai kondisi kependudukan Desa Bonto Katute yang diperoleh diKantor Statistik Kabupaten Sinjai, dalam sebuah buku statistik (Sinjai Dalam Angkah 2012). f. Front GERTAK (Gerakan Tolak Tambang Katute) Artkel dan dokumentasi aksi penolakan penambangan selain mengakses melalui internet di situs www.facebook.com/gerta.k juga diperoleh dari kunjungan sekretariat Frot GERTAK Kabupaten Sinjai di Jalan Teratai lorong II, nomor 14, Kabupaten Sinjai. B. Pengamatan (observation) Pengamatan ini dilakukan untuk melihat atau mengamati peristiwa-peristiwa dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi yang
terjadi
pada
mengidentifikasieksistensi
saat
melakukan
pertambangan
penelitian, emas
yang
seperti sudah
direncanakan oleh pemerintah setempat yang saat ini telah memasuki
tahap eksplorasi. aktifitas eksplorasi pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan November 2008, kemudian diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai November 2013 berdasarkan SK Bupati Sinjai No: 402
Tahun
2010,
kini
sudah
mulai
melakukan
perbaikan
infrastruktur, seperti pelebaran jalan untuk mempermudah akses menuju perkampungan dan atau lokasi eksplorasi penambangan ini. Selain itu agar peneliti dapat memahami situasi-situasi yang berkenaan dengan penelitian ini, pengamatan juga dilakukan pada prilaku sosial, dan untuk lebih meyakinkan lagi peneliti turut serta perpartisipasi aktif dalam kegitan-kegiatan masyarakat, sehingga peneliti dapat memahami masyarakat yang di teliti dengan baik. Seperti pada kegiatan kerja bakti yang rutin dilakukan tiapa minggu selama penelitian berlangsung peneliti turut ikut serta dalam kegiatan ini. C. Wawancara Mendalam (depth interview) Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi dari informan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari penelitian ini, wawancara dalam penelitian kali ini dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang informan menerima atau menolak keberadaan penambangan, lalu kemudian dari jawaban informan inilah pertanyaan-pertanyaan perikutnya muncul. Dalam penelitian ini peneliti sengaja tidak menggunakan pedoman
wawancara (depth interview) dengan maksud untuk menciptakan suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan informan pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan informasiinformasi berkenaan data-data yang diperluka dalam penelitian. 1.6. Analisis Data Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu peneliti merupakan instrument utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan. 1.6.1
Reduksi Data Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan rapi, terinci
secara sistematis setiap selesai mengumpulkan data.Laporan lapangan direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan masalah penelitian, selanjutnya dirangkum sesuai dengan kebutuhan informsi yang spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar tingkat relevansi dan kaitannya dengan setiap kelompok data, (2) menyusun data dalam satuan-satuan sejenis. Pengelompokkan data dalam satuan yang sejenis ini juga dapat diekuivalenkan sebagai
kegiatan kategorisasi/variabel, (3) membuat koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian 1.6.2. Pengambilan Kesimpulan Sejak dimulainya penelitian, peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperolehnya, sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif yang dikatakan oleh Bungin (2008) yakni untuk mencari ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, dan hal-hal yang sering muncul maka ditarik kesimpulan, kemudian dilakukan verifikasi secara terus-menerus setiap kali memperoleh data baru, hingga kesimpulan yang diambil menjadi semakin jelas. 1.7. Definisi dan Batasan Operasional 1. Persistensi(persistency) adalah suatu sikap tidak mudah mengalah terhadap sebarang halangan, dugaan, cabaran dan masalah dalam merealisasikan sesuatu matlamat atau dalam kata lain mendukung. 2. Resistensi adalahResistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya. 3. Eksistensi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwo Darminto (2002) adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan.
4. Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan bertempat tinggal di wilyah pedesaan (Soedjatmoko dalam Sulto 2011) 5. Pertambangan adalah industri dimana bahan mineral yang ada dalam perut bumi diproses dan dipisahkan dari material yng tidak diperlukan. 1.8. Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bab, dan setiap, bab terdiri sub-sub bab, dan disusun sebagai berikut Bab I
: Memuat bab pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan
dan
kegunaan
penelitian,
metode
penelitian,
dan
sistematika penulisan. Bab II : Berisi kajian pustaka yang memaparkan studi-studi atau tulisantulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan penelitian yang akan dikaji Bab III: Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian yang mencakup lokasi penelitian, keadaan geografi dan alam, keadaan deografi, keadaan sosial budaya dan ekonomi, dan sistem kepercayaan Bab IV: Memuat pembahasan dan hasil penelitian berisikan hasil-hasil penelitan yang didapatkan di lokasi penelitian serta penjelasan dan data-data yang didapatkan. Bab V :Berisi kesimpulan dan saran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Persistensi Terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam Persistensi (persistency) adalah suatu sikap tidak mudah mengalah
terhadap sebarang halangan, dugaan, cabaran dan masalah dalam merealisasikan sesuatu matlamat. Persistensi hamper sama dengan dengan konsistensi, yaitu melakukan sesuatu dengan cara terus menerus, namun dalam persistensi ini mengupayakan bagai mana cara untuk mempertahankan konsistensi tersebut, Melakukan pertahan atau bertahan dengan segala macam halangan dan penolakan merupakan tujuan utama dari sikap persistensi, hal ini banyak dan sering digunakan untuk mereka yang sedang mempertahankan kekuasaan, menggapai suatu ambisi, dan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan pemanfaatan dan pengaturan sumberdaya alam tidak dapat terlepaskan dari konsep siapa berhak atas sumber daya tersebut (Purwanto, 2007), dalam hal ini berdasarkan kewenangan yang tadinya didominasi oleh pemerintah pusat, sebagian besar telah dideligasikan kepada pemerntah daerah, oleh kerenanya itupemerintah setempat harus memiliki sumber keuangan yang cukup, yang oleh pemerinta setempat sering dipersepsikan kecukupan sumber-sumber penerimaan bagi mereka atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan porsi yang lebih besar dibandingkan Dana Alokasi Umum (DAU). Orientasi PAD sering menjadi alasan pemerintah setempat untuk mengelolah sumber daya alamnya oleh pemerintah yang terkadang “menutup mata” pemerintah terhadap sumberdaya alam yang dimilikinya misalnya
implementasi kebijakan yang dilaksanakan dilapangan tidak sesuai dengan komitmen yang dikemukakansaat perencanaan , contohnya pada Juni 2006 lalu telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban jiwa 214 orang dan korban hilang mencapai 45 orang dikabupaten sinjai. Sedangkan jumlah pengungsi Tertanggal 26 Juni 2006 mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi Selatan), ini adalah salah satu akibat dari ketidak sigapan pemerintah dalam mengantisipasi peluang bencana sejak dini. Dalam pembangunan dewasa ini, pemerintah dihadapkan kepada dua tugas berat, yang kedua-duanya memerlukan penanganan yang arif dan bijaksana. Kedua tugas berat itu adalah penegakan dan pelaksanaan pembangunan. Kedua tugas berat itu, haruslah diletakkan pada titik keseimbangan dan keserasian yang saling menunjang Sejauh ini pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk menjalankan kewajibannya sehubungan dengan isi ayat pasal tersebut. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen alam milik bumi Indonesia. Contohnya saja negara kita memiliki beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengurusi hal-hal tersebut seperti, PAM (Perusahaan Air Minum), Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas), Pertamina, PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan lain sebagainya. Ini semua menunjukan negara sudah menjalankan kewajibannya sesuai amanah ayat pasal di atas untuk tahap pertama. Bila mendasarkan aspek kekuasaan oleh pemerintah agar tetap persisten terhadap pemanfaatan dan pengaturan sumberdaya alam yang berlandaskan dan bersumber dariinstrumen hukum yang kuat dan jelas dapat pula telihat pada UUD
1945 pasal 33ayat 3 yakni kuasaan negara yang luas terhadap bumi, air, udara dan segala yang terkandung didalamnya sesuai dengan asas konstitusional, tentu pula merefleksikan adanya tanggung jawab yang sangat besar pula. Kekuasaan negara harus pula diikuti dengan pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan berisi kepentingan rakyat banyak, pemeliharaan alam dan lingkungan, pencegahan pencemaran, perlindungan terhadap segala ancaman yag merusak dan berpotensi merugikan alam dan lingkungan, serta bertanggung jawab atas hal-hal yang merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan lingkungan termasuk bencana alam. 2.2.
Resistensi Terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam sejarah peradaban manusia, bentuk-bentuk perlawanan merupakan
hal yang umum dan dapat ditemukan dalam setiap babak sejarah.Resistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihakpihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya. Globalisasi sendiri dinilai sebagai sebuah proses yang telah banyak mengubah berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya antara globalisasi dan resistensi adalah apabila globalisasi mentransformasikan aspek-aspek kehidupan masyarakat, maka resistensi sebagai sebuah fenomena yang kemunculannya terikat dengan situasi dalam masyarakat terpengaruh oleh globalisasi pula. Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar
karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentuk resistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentuk organisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi muncul dari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksi membentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melalui kelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat perekonomiannya, secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksi masyarakat. Resistensi juga memimiliki konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada
dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub
baltern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi pengetahuan atau kekuasaan. Menurut Scott definisi resistensi adalah setiap semua tindakan para
anggota kelas
masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutantuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini. Bentuk resistensi sangat beragam dan dapat dilihat adalah suatu bentuk ketidakpatuhan, penolakan terhadap kondisi yang mereka tidak sukai. Berbagai
upaya mereka lakukan untuk tetap bertahan dan mencari penghidupan yang layak. Resistensi yang mereka lakukan bermacammacam, resistensi secara terbuka atau terang-terangan; resistensi secara
terselubung atau secara diam-diam dan
tersembunyi; dan secara negosiasi. Bentuk
resistensi secara diam-diam atau
terselubung dari eksploitasi adalah lebih umum daripada melawan secara terangterangan (Alisjahbana:2005). Resistensi rakyat menurut Scott dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.resistensi secara sembunyi-sembunyi
mamapu mencapai hasil yang lebih besar
dibandingkan resistensi yang dilakuakn secara terang-terangan. Dari segala bentuk resistensi di sepanjang sejarah, perlu digaris bawahi bahwa pada dasarnya resistensi muncul sebagai usaha untuk mencapai demokrasi yang secara nyata memberikan kebebasan dan equality (Hardt & Negri: 2004). Keberagaman yang ada dalam pihak-pihak yang turut serta dalam protes WTO di Seatte, Amerika Serikat tahun 1990 menjelaskan bahwa seluruh kelompok ini mmemiliki tujuan yang sama yaitu demokrasi beserta freedom dan equality. Hal ini mengindikasikan bahwa perjuangan ideologi didalam globalisasi masih relevan karena keseluruhan kelompok resistensi ini memperjuangkan ideologi liberalisme yang mempromosikan demokrasi, kebebasan dan equality.Globalisasi dengan fitur networks-nya, menyediakan jaringan resistensi yang luas dan tak terbatas dan
dengan demikian tidak membuat usang kesempatan untuk melakukan revolusi bagi kaum resistensi namun justru semakin memberikan kesempatan baru bagi kelompok-kelompok resistensi untuk melakukan revolusi untuk mewujukan demokrasi secara murni seperti yang pernah dikemukakan oleh
Hardt &
Negri(2004) “The distributed network structure provides the model for an absolute democratic organizations and is also the most powerful weapon against the ruling power structure”, bahwa struktur jaringan terdistribusi menyediakan model untuk organisasi demokratis mutlak dan juga senjata yang paling ampuh melawan struktur kekuasaan yang berkuasa. Bentuk resistensi dalam globalisasi yang sangat terdistribusi dan berbasiskan
pada networks dan
tidak
memiliki
suatu center menjadikan
kelompok-kelompok resistensi dengan mudah terhubung antara satu sama lain. Prospek solidaritas dalam globalisasi dengan demikian menjadi sangat tinggi antara satu sama lain selama setiap kelompok masih berada dalam basis yang sama
yaitu
untuk
demokrasi,
kebebasan
danequality sehingga
tidak
menghancurkan otonomi kelompok tertentu dan melarang perbedaan yang ada. Kesimpulannya adalah bahwa bentuk resistensi selalu berubah dari waktu ke waktu dan perubahan ini sejalan dengan perubahan yang ada dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat. dalam globalisasi, kontur resistensi menjadi sangat menyebar, terdistribusi dan berbasis pada networksserta tidak memiliki center. Perjuangan ideologi masih relevan dalam globalisasi karena resistensi-resistensi yang muncul selama ini pada dasarnya sama yaitu untuk mewujudkan demokrasi yang murni dan nyata dengan kebebasan dan
kesetaraan yang dimana nilai-nilai ini dipromosikan oleh ideologi liberalisme. Kemungkinan
untuk
revolusi
justru
menjadi
sangat
besar
karena
basis networks yang digunakan oleh kelompok-kelompok resistensi memberi jangkauan yang sangat luas dan tidak terbatas untuk memobilisasi masyarakat. Tentu saja hal ini mengindikasikan prospek solidaritas yang sangat tinggi, namun hal ini akan tetap terjaga apabila seluruh kelompok resistensi disini memiliki tujuan yang sama untuk demokrasi, kebebasan dan kesetaraan dimana dengan demikian, tidak adanya keinginan untuk menguasai satu sama lain. Sejauh ini, fakta bahwa globalisasi memiliki prospek solidaritas yang tinggi dapat dilihat melalui protes WTO di Seattle, Amerika Serikat pada tahun 1999 dimana seluruh kelompok masyarakat bergabung untuk sama-sama menentang kebijakan yang diambil. 2.3.
EksistensiPertambangan Emas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Purwo Darminto (2002: 357)
eksistensi adalah
keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan.
Abidin (2007) sebagai mana yang dikutip yusuf (2011) mengemukakan bahwa eksistensi adalah proses yang dinamis, suatu menjadi atau mengada, ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni existere yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensipotensinya.
Lebih jelas Graham dalam yusuf (2011) mengemukakan bahwa eksistensi merupakan istilah yang diturunkan dari kosakata latin existere yang berarti lebih menonjol daripada (stand out), muncul, atau menjadi.
Eksistensi dengan
demikian berarti kemunculan, sebuah proses menjadi ada, atau menjadi, daripada berarti kondisi mengada (state of being). Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi adalah proses atau gerak untuk menjadi ada kemudian melakukan suatu hal untuk tetap menjadi ada. 2.3.1. Definisi Pertambangan Pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak diperlukan. Dalam industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineralmineral dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Mineral-mineral yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang diperlukan oleh umat manusia diseluruh dunia (Noor dalam Sulto 2011). Sementara sumber daya mineral itu sendiri dapat diartikan sebgai sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor dalam Sulto 2011). 2.3.2. Tahapan Penambangan Salim (dalam Sulto 2011) menyatakan bahwa dalam usaha pertambangan ada beberapa tahap yang harus dilaluli terlebih dahaulu sebelum menuai hasil ekonomis dari kegiatan penambangan yaitu, 1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya. 2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian. 3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya. 4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian. 5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian. 6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahan galian.
2.3.3. Penggolongan Hasil Tambang Dalam penggolongan hasil tambang, Ngadiran dalam Sulto (2011) menjelaskan
bahwa
izin
usaha
pertambangan
meliputi
izin
untuk
memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi indonesia. Dari sekian jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) bahan galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahanbahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah); (2) bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat
secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan
rakyat
merupakan
aktivitas
penambangan
dengan
menggunakan alat-alat sederhana. Emas sebagai salah satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis maka suatu saat akan habis. Selain itu sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang. Sebagai basis dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara optimal adalah model Hotteling yang telah dikembangkan oleh Harold Hotteling (1931). Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral, apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak
lingkungan, social, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat. 2.4.
Masyarakat Sekitar Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan
bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip dalam Sulto (2011), yang dicirikan sebagai masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih. Didalam suatu kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam aspek yang dapat mempengaruhi pola kehidupan sehingga membentuk kondisi social yang berbeda dari desa satu dan desa yang lainnya. Untuk memahami memahami mengenai kondisi social, terlebih dahulu kita harus tahu apa pengertian sosial itu sendiri, dimulai dari pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Selain itu untuk dapat mengetahui atau memahami tentang kondisi social yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah- masalah social, pertama kita harus mengetahui keadaan dari msalah social dalam berinteraksi. Berdasarkan pendapat menurut soekanto (1982), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk,
yaitu asosiatif dan disosiatif dimana Interaksi asosiatif, akan diuraikan sebagai berikut: 1. Interaksi sosial yang bersifat asosiatif, merupakan bentuk interaksi sosial yang menguatkan ikatan sosial, jadi bersifat mendekatkan atau positif yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti : a. Kerja sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. b. Akomodasi adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi dan kelompok - kelompok manusia untuk meredakan pertentangan. c.
Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran.
d. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur- unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur- unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.
2.
Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, merupakan bentuk interaksi yang merusak ikatan sosial, bersifat menjauhkan atau negatif
dan
yang mengarah kepada bentuk - bentuk pertentangan atau konflik, seperti : a. Persaingan adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik di pihak lawannya. b. Kontravensi adalah bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok atau terhadap unsur - unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik. c. Konflik adalah proses sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut.
2.5.
Penelitian Pendukung Sebelumnya Hadi (2004) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Komunitas
Setempat Terhadap Perusahaan Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten Sumbawa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan diskusi kelompok terarah.Populasi penelitian adalah anggota komunitas di sekitar lokasi pertambangan Batu Hijau yang meliputi Kecamatan Jereweh dan Kecamatan Taliwang, dengan jumlah responden seluruhnya 150 orang.Persepsi tentang perusahaan diukur dari pengamatan dan pengalaman responden menyangkut keberadaan perusahaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berbasiskan tabulasi, dan setelah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota komunitas yang memiliki persepsi negatif terhadap perusahaan lebih banyak dari yang bersikap positif, sehingga dari keragaan persepsi komunitas tersebut dapat disimpulkan bahwa program pengembangan komunitas yang dilaksanakan perusahaan belum mampu menciptakan persepsi positif komunitas terhadap perusahaan.Hal ini disebabkan karena dalam program pengembangan komunitas perusahaan lebih berorientasi pada kegiatan fisik daripada mengupayakan perubahan perilaku komunitas melalui pendekatan budaya dan psikologis. Siregar (2007) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Pembukaan Pertambangan Emas di Hutan Batang Toru (Studi Kasus di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan). Penelitian dilaksanakan dengan metode deskriptif, pada tingkat persepsi menggunakan skala likert dan
untuk melihat hubungan sosio-ekonomi terhadap persepsi masyarakat setempat tentang pembukaan pertambangan emas di Kawasan Hutan Batang Toru dengan menggunakan korelasi Spearman Rank. Jumlah sampel sebanyak 80 KK. Pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner, wawancara, observasi dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Aek Pining dan Desa Napa belum memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang pertambangan dan hutan. Masyarakat juga memandang positif keberadaan pertambangan di Kecamatan Batang Toru karena mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi pengangguran meskipun hal tersebut baru dirasakan sebagian masyarakat. Suriansyah (2009), melakukan penelitian dengan judul: Dampak Pertambangan
Terhadap
Fungsi
Ekonomi
Lingkungan
dan
Pendapatan
Masyarakat (Studi Kasus Pertambangan Bijih Besi PT Juya Aceh Mining di Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi). Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang merupakan kombinasi dari “descriptive research” dan “problem solving research”. Jumlah responden sebanyak 91 orang yaitu (20% dari populasi). Analisis data dilakukan secara kuantitatif, dan deskriptif dengan menggunakan
teknik
triangulasi.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pertambangan yang telah mengubah manfaat sumberdaya bersifat common pool goods yaitu sumberdaya yang dikuasai bersama yang mampu menghasilkan tambahan pendapatan yang cukup nyata, menjadi sumberdaya alam bersifat private goods yaitu sumberdaya apabila dimanfaatkan oleh individu-individu secara sendiri akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Dengan
berubahnya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, hal ini terbukti sebelum adanya pertambangan pendapatan
rata-rata
pertambangan
masyarakat
menjadi
Rp1.253.571/KK/bulan
Rp1.193.565/KK/bulan,
setelah
penurunan
adanya
pendapatan
masyarakat dikarenakan oleh hilangnya lahan perkebunan dan pertanian serta akses pemanfaatan hutan.Kenyataan menunjukkan bahwa konversi lahan perkebunan dan hutan untuk KP (Kuasa Pertambangan) oleh PT Juya Aceh Mining bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar pertambangan tidak menguntungkan. Demikian juga dapat dilihat dari segi persepsi terhadap kehadiran pertambangan, sebesar 56,1% masyarakat menunjukkan sikap setuju dan 35,2% masyarakat tidak setuju. Persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat sangat tergantung pada dampak yang dirasakan dari hadirnya pertambangan. Masyarakat yang setuju karena merasakan dampak positif, atau tidak merasa dirugikan dengan kehadiran pertambangan.Sedangkan yang tidak setuju karena besarnya dampak negatif yang mereka rasakan seperti hilangnya lahan perkebunan dan pertanian, lapangan kerja serta akses ke hutan akibat dari kegiatan pertambangan. Tahara
(2010),
Reproduksi
Stereotype
dan
Resistensi
Orang
Katobengkedalam Struktur Masyarakat Buton, didalam Penelitian ini membahas tentang bagai mana
sikap resisten suatu masyarakat (Katobengke) terhadap
stereotipe yang melekat dalam kehidupan masyarakat umum (Buton) yang kemudian berlanjut pada sikap persistensi masyarakat secara umum (Buton). Selain itu didalam penelitian ini juga membahas beberapa jalur atau langkah yang
ditempuh masyarakat katobengke dalam melakukan resistensiterhadap stereotype yang telah melekat pada masyarakat buton selama bertahun-tahunlamanyasejak masa kesultanan yang terus menerus diproduksi hingga era 1980, seperti melalui jalur pendidikan dengan kesadran masyarakat untuk menempuh pendidikan agar dapat menyamaratakan stratifikasi sosial masyarakat buton yang ada, selain itu mereka beberapa langkah menarik seperti resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalurpolitik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. 2.6.
Kerangka Konseptual Sumber daya alam merupakan salah satu faktor yang jika dikembangkan
akan mnunjang pembangunan disuatu daerah, dan oleh karenanya itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) untuk mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam yang merekamiliki, Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang bagaimana dalam pemanfaatan sumberdaya alam tambang ada pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta atau pihak perusahaan. Pemerintah sebagai institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam tambang, swasta sebagai pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan orang yang berada di sekitar lokasi penambangan dan sebagai pihak penerima pengaruh langsung dari adanya aktivitas pertambangan seperti perubahan polah tingkahlaku yang disebabkan oleh adanya pemahaman dan kepentingan yang berbeda mengakibatkan terjadinya
pengelompokan berdasarkan sikap persistensi dan risestensi terhadap sesuatu yang baru.
Masyarakat Lokal
Pemerintah
Sumberdaya Alam
Perusahaan Pertambangan
_________AKTIFITAS PERTMBANGAN________
SIKAP MASYARAKAT
PERSISTENSI
RESISTENSI
Gambar 1. Kerangkap Konsep
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Kondisi Geografis Desa Bonto Katute adalah sebuah desa tua di Kecamatan Sinjai borong, Kabupaten Sinjai, dengan jarak sekitar 60 km dari pusat kota Sinjai dan kiranya dapat ditempuh dalam waktu ±4 jam oleh karna akses medan yang terjal dan jalan yang masih dalam tahap pengerasan. dan dari segi betang alam, Desa Bonto Katute ini berada pada ketinggian 1000 M dari permukaan laut, dengan kemiringan ± 20% (45˚) (BPS Kabupaten Sinjai 2012). Bonto Katute adalah hulu dari 3 Sungai besar (Sungai Aparang, Sungai Barehangang, dan Sungai Bihulo), dan beberapa sungai kecil lain-nya (berdasarkan interpretasi peta topografi yang dilakukan oleh Front GERTAK, terdapat ± 28 anakan sungai, sungai besar yang dikategori sebagai benrikut: 1.
Sungai Aparang yang mengaliri daerah persawahan dan perkebunan warga di Kecamatan Sinjai Borong sampai di Kecamatan Sinjai Selatan. Sungai Aparang merupakan sungai yang juga melewati beberapa objek wisata, misalnya Air Terjun Kembar Barambang, Baruttung, dan lain-lain. Biji Nangka, Desa Palangka, Kelurahan Sangiasseri, Desa Alenangka.
2.
Sungai Barehangang yang mengaliri daerah persawahan di Desa Batu Belerang, Desa Puncak dan Desa Songing.
3.
Sungai Bihulo yang mengaliri daerah lumbung padi mulai dari Desa Gantarang (Sinjai Barat), sepanjang Kecamatan Sinjai Tengah (DesaPattongko, Desa Saotengnga, Kel. Lappadata,Desa Saotanre, dan Desa Baru) kemudian masuk ke Bendungan Kalamisu yang merupakan akses utama pengairan di Beberapa Desa di Kecamatan Sinjai Timur diantaranya Desa Kampala dan Desa Kaloling
Dalam satu kesatuan ruang/wilayah, 30% diantaranya adalah ruang terbuka hijau (Undang-undang Penataan Ruang). Kabupaten Sinjai sendiri baru memiliki 24% ruang terbuka hijau (Disbunhut Kabupaten Sinjai), sedangkan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini akan mencaplok hutan lindung di Desa Bonto Katute, Desa Barambang, Desa Polewali, dan Desa Palangka. Jika di eksploitasi, maka luas lahan hijau Sinjai akan merosot menjadi ± 19% (AMAN Sulawesi Selatan 2012) Di Kecamatan Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Sinjai Barat, dan Sinjai Tengah, terdapat 14 retakan pada daerah dataran tinggi. 4 daerah tersebut adalah daerah rawan bencana, pada 21 Juni 2006 telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban jiwa 214 orang dan korban hilang mencapai 45 orang. Sedangkan jumlah pengungsi per tanggal 26 Juni 2006 mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi Selatan). Jika eksploitasi tambang tersebut tetap dipaksakan maka tidak menutup kemungkinan akan memicu kejadian serupa dengan eskalasi yang lebih besar.
3.2. Kondisi Demografi Seperti halnya masyarakat diperkampungan tua lainnya, masyarakat Desa Bonto Katute ini hidup dengan rukun dan damai dalam bingkai kekeluargaan yang kuat dan dengan budaya gotong royongnya yang tinggi, dengan sektor pertanian dan perkebunan aren yang menjadi sumber mata pencaharian yang dominan digeluti oleh warga masyarakatnya dan dari sisi demografi Desa Bonto Katute adalah Desa dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Sinjai Borong dengan jumlah penduduk 2.746 jiwa (laki-laki 1447 dan perempuan 1299), dimana terdiri dari 576 Rumah Tangga, Luas (km) : 15,63 km, jarak desa dari ibu kota kabupaten : 63,5 km, dengan Ketinggian ±1000dari air laut (BPS Kabupaten Sinjai 2012). Saat ini Desa Bonto Katute dipimpin oleh kepala desa yaitu ibu Darmawati (33 Tahun), beliau melanjutkan kepemimpinan suaminya Masri (36 Tahun) sejak 2011 lalu untuk bersama kembali melanjutkan pembangunan desa berdasarkan tiga pilar pembangunan yang dicanangkan oleh Bupati Kabupaten Sinjai, Andi Rudianto Asapa, yakni Pendidikan, Kesehatan dan Agama. 3.2.1. Kondisi Pendidikan Masyarakat Pendidikan merupakan hal pokok yang sangat perlu diperhatikan dalam
kehidupan bermasyarakat. Melalui pendidikan inilah yang
menjadikan masyarakat siap
dalam menghadapi perubahan-perubahan
dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, seperti membaca dan berhitung yang merupakan kemampuan dasar yang mutlak diperlukan untuk semua
warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Khusus di Desa Bonto Katute Pendidikan untuk masyarakat dapat diperoleh sejak usia dini, dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) telah berdiri di desa ini untuk membiasakan anak didik yang masih berusia dini untuk belanjar, desiplin sambil bermain. selanjutnya untuk tingkat sekolah dasar di Desa Bonto Katute ini pun tedapat SD Negeri 250 Maroanging, sama halnya dengan program pendidikan dasar yang umumnya diterapkan pada siswa SD lainnya yakni menciptakan dan meningkatkan kemampuan membaca dan berhitung selain itu masih banyak ilmu pengetahuan lainnya yang diwajibkan kepada semua siswa yang bersekolah, guna untuk menambah wawasan dan kreatifitas siswa.
Gambar 2. PAUD dan TPK Buah Katute Sinjai Borong. Anak usia Sekolah Dasar (kurang lebih 6-12 tahun) merupakan masa pembentukan sikap, watak, dan cara berpikir. Anak pada masa ini mempunyai motivasi yang tinggi dalam mencari pengalaman dan ilmu
pengetahuan.
Anak pada usia ini diupayakan dapat mandiri dalam
menghadapi kendala dalam proses belajarnya (Sudjoko, 1983).
Gambar 3. SD Negeri 250 Maroanging Sinjai Borong. Peran seorang guru dalam proses belajar mengajar pun sangatlah penting.
Kedudukan
guru
dijadikan
sebagai
pembimbing
dalam
mengarahkan kegiatan belajar siswa. Selain itu, guru juga dijadikan sebagai fasilitator sehingga siswa menjadi kritis, kreatif, dan mampu mengeksplorasi alam sesuai dengan kemampuannya. Guru harus mempunyai metode pengajaran yang menarik agar siswa termotivasi dalam belajarnya. Guru pun turut membantu siswa dalam mengembangkan pola pikirnya . Karena itu, guru harus selalu memperhatikan sikap dan perilaku siswa agar berkembang ke arah yang positif. Tercatat ada 17 (tujuh belas) orang PNS (Pegawai Negri Sipil) yang 15 ( lima belas) diantaranya berprofesi sebagai guru di SD Negeri 250 maroanging,sama halnya dengan tenaga pengajar lainnya, Mereka masing-masing dituntut untuk mempunyai kemampuan yang mencakup pengetahuan dan
ketrampilan dalam mendidik, yang bukan hanya sekedar mengajar tapi juga mendidik siswa-siswanya. Berkaitan dengan hal tersebut seorang guru harus mempunyai komponen-komponen dalam proses belajar mengajarnya yang meliputi bahan pengajaran, alat dan bahan, metode dan evaluasi (Sudjoko, 1983). 3.2.2.
Kondisi Perkonomian Masyarakat Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
pembangunan di daerah. Ada berbagai indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu daerah diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi, tingkat pendapatan perkapita (PDRB), dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan kontribusi dari pertumbuhan berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi dapat digunakan untuk mengukur kinerja dari pelaksanaan suatu proses pembangunan, sehingga pembangunan yang berhasil salah satunya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil. Melalui pertumbuhan ekonomi, dapat diketahui adanya peningkatan skala produksi barang dan jasa. Dalam aktivitas ekonomi masyarakat Desa Bonto Katute sangat erat kaitannya dengan system mata pencaharian masyarakatnya.
Mata pencaharian meliputi segala upaya yang bernilai ekonomi, yang dilakukan manusi secara terus menerus untuk memperoleh penghasilan tetap dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Sadono Sukirno (1994) yang didefinisikan bahwa ekonomi adalah kegiatan seseorang, suatu perusahaan atau suatu masyarakat untuk memproduksi barang dan jasa maupun mengkonsumsi atau menggunakan barang dan jasa tersebut. Dalam melakukan kegiatan ekonomi seorang individu atau masyarakat secara keseluruhan akan memiliki beberapa pilihan atau alternatif untuk melakukannya. Berdasarka dari alternatif-alternatif yang tersedia tersebut, mereka perlu mengambil keputusan untuk memilih alternatif yang terbaik untuk dilaksanakan. Kebutuhan manusia yang utama adalah kebutuhan akan makanan, kebutuhan ini juga dikenal sebahai kebutuhan primer yang bersifat mendesak dan harus segera dipenui dan berlangsung secara terus menerus selama manusia tersebut masih hidup. Dari aktifitas ini munculah aktifitas yang dinamakan mata pencaharian. Hal ini pulalah yang dikemukan oleh Mutakin dalam Fauzi (2004) yakni untuk mendapatkan makanan maka manusia akan berusaha untuk mendapatkannya, hanya cara untuk mendapatkan makanan ini tidak dilakukan satu kali saja.tetapi secara terus menerus, selama manusia itu masih hidup, akibat dari kebutuhan hidup tersebut maka manusia berusaha untuk memperolehnya secara terusmenerus, sehingga muncullah aktifitas yang berhubungan dengan mendapatkan bahan makanan sebagai kebutuhan dasar yaitu mata
pencaharian. Pada masyarakat Desa Bonto Katute, kondisi objektif masyarakat Desa Bonto Katute berdasarkan BPS Kabupaten Sinjai 2012 terdapat sekitar 975 orang yang bekerja pada sektor perkebunan, 561 orang adalah petani (sawah), 212 orang beternak, 100 orang buruh kasar (kuli bangunan), dan 7 orang pedagang. Sekilas deskripsi dari kondisi masyarakat di desa berdasarkan sumber mata pencahariannya ini tergolong cukup, namun kenyataan yang ada dilapangan memberikan gambaran bahwa kodisi ekonomi masyarakat di Desa Bonto Katute sangatlah memprihatinkan, sebab hasil bumi seperti dari perkebunan, pertanian dan peternakan masih sangat sulit untuk dipasarkan sebab akses menuju pasar tempat jual beli atau sekedar melakukan Barter/tukar menukar barang sangat jauh di desa sebelah (Desa-Bihulo) dan harus melalui medan yang sulit (terjal dan bebatuan), hal ini terjadi karena khusus untuk Desa Bonto Katute belum terdapat pasar. 3.2.3.
Kesehatan Masyarakat Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan
ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan dalam Undangundang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan umur angka harapan hidup. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (2002–2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (Susenas 1999) menjadi 66,2 tahun (2003).Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 27,5 persen (2004). Kondisi umum kesehatan seperti dijelaskan di atas dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Sementara itu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain ketersediaan dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, tenaga kesehatan, pembiayaan dan manajemen kesehatan. Dikecamatan dikecamatan Sinjai Borong terdapat sebuah Puskesmas dan 4 (empat) Pustu yang satu diantaranya terdapat di Desa Bonto Katute.
Gambar 4. Pustu Bonto Katute. Fasilitas pelayanan kesehatan dasar, yaitu Puskesmas yang terdapat dikecamatan Sinjai Borong ini diperkuat dengan adanya Puskesmas Pembantu, telah didirikan di Desa Bonto Katute. Meskipun fasilitas pelayanan kesehatan dasar tersebut sudah ada, namun pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan masih menjadi kendala. Fasilitas ini belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat oleh karna akses medan yang sulit, selain itu kesadaran masyarakat akan pengobatan secara medis oleh tenaga ahli dan berpendidikan (dokter, perawat dan bidan), tidak sedikit dari mereka yang masih bergantung pada metode pengobatan secara tradisional. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya adalah Rumah Sakit yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan belum dapat berjalan dengan optimal terutama terkait dengan biaya dan jarak transportasi.
3.2.4. Pranata Sosial Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktifitasaktivitas untuk memenuhi komplek-komplek kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam sebuah pranata sosial terdapat 2 (dua) hal yang utama, yakni aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan norma yang mengatur aktifitas tersebut, di dalam pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang berpedoman pada kebudayaan. Oleh karena itu pranata sosial bersifat abstrak karena merupakan seperangkat aturan. Adapun wujud dari pranata sosial adalah berupa lembaga (institute) Sebagai suatu system norma, pranata sosial mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan suatu system norma , seperti bagaiman hubungan masusia dengan manusia, manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan
alamnya. Ciri-cirihubungan manusia dengan alamnya
adalah sebagai berikut : 1.
Pranata sosial merupakan pola pemikiran dan pola perilaku yang tersusun berstruktur yang
terwujud melalui kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Masyarakat Desa Bonto Katute yang telah mengelola aset leluhurnya secara turun-temurun membagi wilayah adat mereka menjadi dua bagian yaitu wilayah yang bisa dikelola dan wilayah larangan untuk dikelola.
Masyarakat Adat Bonto Katute menetapkan hutan larangan sebagai hutan ada t(AMAN Sulawesi Selatan2011) .2.
Pranata sosial terdiri dari adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan lainnya. Di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai hutan adat atau hutan larangan ini yang diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat atau rotan.Sekitar tahun 50an wilayah larangan diperjelas dengan adanya perjanjian antara pihak masyarakat yang diwakili oleh kepala Sikki, Pahamalang dan Jappa sedangkan dari pihak kehutanan diwakili oleh Karaeng Daming.Mereka sepakat untuk membagi dua wilayah dengan menanam bambu sebagai batas.Kesepakatan ini sampai sekarang masih dijaga dan dihormati oleh masyarakat setempat.
3.
Pranata sosial mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu. Sebuah aturan dibuat dengan berbagai macam pertimbangan seperti
untuk
menjaga
kearifan
local
daerahnya
dan
mempertahankan kesuburan tanah dan perairannya, oleh karenya itu mereka membagi wilayahnya menjadi dua bagian yaitu tanah siap dikelolah dan tanah larangan 4.
Pranata
sosial
mempunyai
suatu
pola
bertindak
yang
meningkat.Penggunaan alat yang masih sangat tradisional dan beberapa tindakan yang dilakukan saat tanah adatnya ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah setempat yang tanpa
sepengetahuan warga sekitar, seperti aksi protes dan musyawarah warga. 5.
Pranata sosial mencakup kebutuhan dasar (basicneed) warga masyarakat. Wilayah adat mereka di bagi menjadi dua bagian yaitu wilayah yang bisa dikelola dan wilayah larangan untuk dikelola. Masyarakat Adat Bonto Katute menetapkan hutan larangan sebagai hutan adat di dalam wilayah larangan ini yang diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat atau rotan, dan untuk daerah yang dapat dikelolah mereka mengelolahnya dan cara dan alat yang masih tradisional yang diperolehnya secara turun temurun.
6.
Pranata sosial mempunyai alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapaitujuan. Berbagai macam alat yang digunakan ini masih sanyat bersifat tradisional, seperti cangkul, sabit, dan sapi untuk menggarap sawah
7.
Usia pranata sosial lebih panjang daripada usia orang-orang yang membentuknya
dan
atau
mengubahnya.
Masyarakat
Desa
Bontokatute juga telah mengelola aset leluhurnya secara turuntemurun dengan konsep pengetahuan asli yang mengedepankan keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam antar generasi. 8.
Setiap pranata sosial memiliki adat istiadat, tata kelakuan, nilainilai dan unsur-unsur kebudayaan. Tanda bukti kepemilikan lahan masyarakat Barambang katute yaitu kuburan Barambang Pertama,
rumah adat “Balla Lompoa ri Katute” dan kampung tua di Bontolasuna.Dengan
adanya
bukti-bukti
ini
menandakan
masyarakat adat Barambang Katute sudah menempati wilayah ini sejak ratusan tahun lalu. Namun pada tahun 1994-1995, wilayah Bonto Katute oleh pemerintah setempat ditetapkan sebagai hutan lindung meski proses penetapan hutan lindung ini tidak diketahui oleh masyarakat. Setelah ada pengumuman baru masyarakat mengetahui dan sempat diprotes oleh warga namun tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah Kabupaten Sinjai (AMAN Sulawesi Selatan 2011). 3.3 Rancangan Penambangan Emas Desa Bonto Katute Perencanaan
adalah
penentuan
persyaratan
dalan
mencapai
sasaran,kegiatan serta urutan teknik pelaksanaan berbagai macam kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang diinginkan. Pada dasarnya menurut William Hustrulid and Mark Kuchta (1995), perencanaan dibagi atas dua bagian utama, yaitu: 1.
Perencanaan
strategis
yang
mengacu
kepada
sasaran
secara
menyeluruh, strategi pencapaiannya serta penentuan cara, waktu, dan biaya. 2.
Perencanaan
operasional,
menyangkut
teknik
pengerjaan
dan
penggunaan sumber daya untuk mencapai sasaran. Dari dasar perencanaan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan akan berjalan dengan menggunakan dua pertimbangan yaitu
pertimbangan ekonomis dan pertimbangan teknis. Untuk merealisasikan perencanaan tersebut dibutuhkan suatu program-program kegiatan yang sistematis berupa rancangan kegiatan yang dalam perencanaan penambangan disebut rancangan teknis penambanganRancangan teknis ini sangat dibutuhkan karena merupakan landasan dasar atau konsep dasar dalam pembukaan suatu tambang khususnya tambang bijih emas. 1.
Pertimbangan Ekonomis Pertimbangan ekonomis ini menyangkut anggaran. Data untuk
pertimbangan ekonomis dalam melakukan perencanaan tambang batubara berdasarkan teori dan wawancarayaitu: a. Nilai (value) dari endapan per ton, hasil survey penelitian dari Kanada menemukan bahwa kandungan emas di Desa Bonto Katute ini masih sangat sedikit. Didalam satu ton material, terdapat sekitar 0,2 gram kandungan emas. b. Ongkos
produksi,
yaitu
ongkos
yang
diperlukan
sampai
mendapatkan produkberupa bijih emas diluar ongkos stripping.Hal ini belum dapat ditentukan mengingat proses penambangan emas di Desa Bonto Katute ini masih dalam tahap eksplorasi. c.
Keuntungan yang diharapkan dengan mengetahui Economic Stripping Ratio berdasarkan kondi pasar, Hal ini belum dapat ditentukan sebab pertambangan emas di Desa Bonto Katute ini belum memasuki tahap pengelolaan hasil.
2. Pertimbangan Teknis Yang termasuk dalam data untuk pertimbangan teknis adalah: a. Menentukan “Ultimate Pit Slope (UPS)” Ultimate pit slope adalah kemiringan umum pada akhir operasi penambangan yang tidak menyebabkan kelongsoran atau jenjang masih dalam keadaan stabil. Untuk menentukan UPS ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: - Stripping ratio yang diperbolehkan. - Sifat fisik dan mekanik batuan - Struktur Geologi - Jumlah air dalam di dalam batuan b. Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir operasi, Dalam satu kesatuan ruang/wilayah, 30% diantaranya adalah ruang terbuka hijau (Undang-undang Pantaan Ruang). Kabupaten Sinjai sendiri baru memiliki 24% ruang terbuka hijau (Disbunhut Kab. Sinjai), sedangkan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini akan mencaplok hutan lindung di Desa Bonto Katute, Desa Barambang, Desa Polewali, dan Desa Palangka. Jika di eksploitasi, maka luas lahan hijau Sinjai akan merosot menjadi ± 19%. (GERTAK 2012). c. Pemilihan sistem penirisan yang tergantung kondisi air tanah dan curah hujandaerah penambangan.Bonto Katute adalah hulu dari 3 Sungai besar (Sungai Aparang, Sungai Barehangang, dan Sungai Bihulo), dan
beberapa sungai kecil lain-nya (berdasarkan interpretasi peta topografi, ± 28 Anakan Sungai) (GERTAK, 2012). d. Kondisi geometrik jalan yang terdiri dari beberapa parameter antara lain lebar jalan, kemiringan jalan, jumlah lajur, jari-jari belokan, superelevasi, cross slope, dan jarak terdekat yang dapat dilalui oleh alat angkut. Saat ini, melalui kegiatan TMMD 90 KODIM 1424 yang bekerja sama dengan masyarakat Kabupaten Sinjai, kondisi jalan poros penghubung Kecamatan Sinjai Borong ke Kecamatan Sinjai Barat yang melintasi Desa Bonto Katute ini, telah mengalami perbaikan dan pelebaran jalan, sejak 13 maret 2013 sampai dengan 3 juni 2013.
Gambar 5 Lokasi TMMD ke 90 Desa Bonto Katute. Kegiatan TMMD ini kembali dilaksanakan di Kabupaten Sinjai ini yang sebelumnya juga telah dilakukan tiga tahun lalu di di Desa Lappa Cendrana, Kecamatan \Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. e. Pemilihan peralatan mekanis yang meliputi:
- Pemilihan alat dengan jumlah dan type yang sesuai. - Koordinasi kerja alat-alat yang digunakan. f. Kondisi geografi dan geologi - Topografi Topografi suatu daerah sangat berpengaruh terhadap sistem penambanganyang digunakan. Dari faktor topografi ini,dapat ditentukan cara penggalian, tempat penimbunan overburden, penentuan jenis alat, jalur-jalur jalan yang dipergunakan,dan sistem penirisan tambang. -
Struktur geologi Struktur geologi ini terdiri atas lipatan, patahan, rekahan, perlapisan dan gerakan-gerakan tektonis.
-
Penyebaran batuan Bagaimna letak bebatuan yang terdapat pada permukaan dan kondisi didalam tanah - Kondisi air tanah terutama bila disertai oleh stratifikasi dan rekahan. Adanya airdalam massa ini akan menimbulkan tegangan air pori.
Dalam rencana penambangan ada satu hal yang sangat penting yakni bagaimana melibatkan masyarakat setempat mulai dari awal perencanaan kegiatan pertambangan di suatu daerah (sebelum kegiatan pertambangan itu berjalan), bukan setelah diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan telah beroperasi. Jika ada perencanaan suatu proyek pertambangan atau kegiatan usaha
lainnya eksplorasi penambangan yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup disekitarnya, seperti penggalian, maka pertama yang wajib dan harus dilakukan adalah mengkaji AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), atau oleh karena proses penambangan di Desa Bonto Katute ini masih dalam tahap eksplorasi maka seharusnya telah mengantongi rancangan AMDAL yang akan disepakati bersama masyarakat dan pihak pemerintah nantinya, seperti Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, dikatakan bahwa salah satu pihak yang terlibat dalam penyusunan AMDAL adalah masyarakat yang berkepentingan dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL, dimana AMDAL berfungsi sebagai alat bantu dalam proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan pengelolaan, dan memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang akan ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan industry pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Sejarah Masuknya Penambangan Emas Kegiatan usaha pertambangan adalah suatu kegiatan besar yang berada
ditengah masyarakat, dimana nantinya kegiatan ini akan berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada. Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak yang mungkin akan dirasakan oleh masyarakat, seperti tragedi di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 24 Desember 2011 lalu, karena masyarakat menolak izin eksplorasi tambang emas yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan, sebab masyarakat itu sendiri adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dengan suatu kegiatan usaha yang akan beroperasi di daerahnya. Seperti yang ada dalam artikel VOA (Voice of America) 2012, dijelaskan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk mengadakan pendekatan persuasif kepada masyarkat, misalnya merekrut masyarakat menjadi pegawai tambang, atau dilibatkan sebagai sub kontraktor dan investor pada penambangan, sehingga masyarakat juga dengan sendirinya akan menjaga kelestarian lingkungannya. Seperti suatukebijakan yang telah ditetpkan oleh PT. SEMEN TONASA di PangkepSulawesi Selatan sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) selain membagun fasilitas sosial dilingkungan pertambangan, perusahaan juga menetapkan bahwa 30 % dari
pegawai PT. SEMEN TONASA adalah penduduk lokal, hal yang sama juga akan terjadi di Desa Bonto Katute kabupaten Sinjai, berdasarkan ulasan Bupati Sinjai kepada Fajar, 29 Oktober 2012 lalu, bahwaAda Tiga syarat yang harus dipenuhi investor jika ingin melanjutkan dari tahap Eksplorasi ketahap Eksploitasi. Tiga syarat tersebut adalah jaminan warga berhak dalam kepemilikan saham, ganti rugi lahan yang rasional, dan didahului dengan negosiasi, serta memprioritaskan warga menjadi tenaga kerja. Selain itu dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Sinjai No. 402 (Poin: 32, Huruf g) tahun 2010 tentang perpanjangan izin eksplorasi juga dikatakan bahwa kebutuhan
tenaga
kerja
tetap
di
sandarkan
pada
tenaga
kerja
non-
lokal/asing.Perbedaannya adalah diDesa Bontokatute belum ada kejelasan mengenai persentase pembagian atau perbandingan peluang kerja yang diberikan pada tenaga kerja lokal tehdap tenaga kerja asing. Tahapan penambangan emas di Desa Bonto Katuteyang saat ini telah memasuki tahap eksplorasi, yakni penelitian atau survey mengenai adanya kandungan mineral bumi. izin eksplorasi pertambangan inipun dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan November 2008, kemudian diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai November 2013 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010, yang sejak awal ditetapkannya sudah menuai protes beberapa kalangan seperti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, sebagian masyarakat di Kabupaten Sinjai dan beberapa pihak pemerintah dan legislatif daerah di Kabupaten Sinjai, namun tidak sedikit pula sebagian dari masyrakat dan pihak birokrasi daerah yang
menerima dan mendukung aktifitas penambangan emas yang kini sudah memasuki tahap eksplorasi. Informasi bahwa di Desa Bonto Katute ini memiliki kandungan mineral bumi (emas) sebenarnya sudah ada sejak lama, pada masa gerilia sekitar 1960, pada pemerintahan sukarno, seperti yang pernah diungkapkan oleh salim (43 tahun) bahwa: “kabar bahwa disini ada kandungan emasnya sudah ada sejak masa gerombolan, waktu itu orang tuaku yang jadi kepala Desa disini, tapi sampai sekarang tidak adapi hasilnya” (wawancara 12 april 2013) Kegiatan
penelitian
terhadap
kandungan
mineral
alam
penambangan sebenarnya Sudah beberapa kali dilakukan,
atau
eksplorasi
seperti yang
diungkapkan oleh Masri (36 tahun) sebagai mantan kepala desa dua periode sejak 2001 silam yang kemudian dilanjutkan oleh ibu Darmawati (33 tahun) yang tidak lain adalah istri dari pak Masri itu sendiri, beliau menginformasikan bahwa: “telah banyak peneliti yang sudah berdatangan, mulai dari dalam negri, seperti Bandung Jawa Barat, Palu Sulawesi Tengah, dan dari Bombana Sulawesi Tenggara,dan ada juga yang dri luar negri seperti kanada, Australia dan yang terakhir dari korea,” Selanjutnya Masri (36 tahun) juga menambahkan bahwa: “para peneliti yang datang juga nda terlalu lama disini, hanya ambil batu-batuji baru pulang karna diusir sama masyarakat, nanti yang dari korea ini yang lama, tiga bulanki disini baru pulang minggu lalu, nanti bulan enam inipi baru datang gare lagi” Beranjak dari keterangan pak Masri diatas dapat terlihat jelas ada perbedaan dari respon masyarakat terhadap kehadiran tim peneliti dari korea bila dibandingkan dengan peneliti-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dengan berasumsi bahwa ada cara atau metode yang mungkin digunakan oleh peneliti dari
korea sehingga masyarakat bisa “menerima” kehadirannya para peneliti yang berasal dari korea ini. seperti yang juga diungkapkan oleh salim (43 tahun), “banyakmi yang datang disini untuk meneliti, selain tidak lamaji jg disini karna diusirki sama warga, nda adaji hsilnya, semua bilang tima hitamji yang banyak, padahal kalau diliatki batunya, lebih mengkilatki yang disini gare”(wawancara 12 april 2013) Kemudian salim melanjutkan “adajuga peneliti yang dari kanada, dan dari hasil penelitiannya mereka menemukan emas, tapi sangat sedikit. Didalam satu ton material, terdapat sekitar 0,2 gram kandungan emas.”(wawancara 12 april 2013) Perosesi masuknya penambangan di Desa Bonto Katute ini,yang sudah merupakan bagian dari rentetan peristiwa atau tahapan dari sejarah penambangan di Desa Bonto Katute, yang pada awal masuknya kedaerah ini dengan melalui jalur independen yakni tanpa didampingi oleh pemerintah setempatdalam hal ini yang dimaksudkan adalah aparatur desa, yangkemudian ditolakdengan tegasoleh seluruh masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat adat barambang katute, seperti yang diungkapkan oleh salah satu masyarakat Desa Bonto Katute Haseng (40 tahun) pada AMAN Sulawesi Selatan bahwa mereka masyarakat adat barambang katute dengan tegas menolak semua bentuk intimidatif terhadapkami, mulai dari pengkalaiman tanah adat kami menjadi menjadi hutan lindung dansegala bentuk penambangan yang ada didaerah mereka (AMAN Sulawesi Selatan 2012). Namun sejak dikeluarkannya izin eksplorasi oleh pemerintah setempat, mengenain izin eksplorasi pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan November 2008, kemudian diperpanjang
pada November 2010 berlaku sampai November 2013 (SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010), yang dalam perencanaannya sama sekali tidak melibatkan masyarakat lokal, bahkan kebijakan itu sama sekali tak tersosialisasi pada seluruh masyarakat desa. sehingga sebagian besar masyarakat Bonto Katute baru mengetahui kegiatan eksplorasi pertambangan didaerahna pada bulan Februari 2011, rentang waktu yang sangat jauh tentunya. (AMAN Sulawesi Selatan 2012). Hal ini pulalah yang mengakibatkan perubahan kondisi sosial dalam masyarakat Desa Bonto Katute seperti hubungan antar masyarakat, kehadiran tambang terhadap nilai-nilai budaya yang ada terhadap perkembangan wilayah sosial yang merupakan akibat dari dampak ekplorasi penambangan emas. Kondisi sosial masyarakat yang bersifat dinamis terus berkembang, maju kearah yang lebih kompleks baik dalam waktu yang singkat (revolusi) atau dengan memakan waktu yang cukup lama (evolusi) ini dapat terjadi malalui beberapa faktor baik dari dalam derah (internal) maupun dari luar masyarakat (eksternal) itu sendiri, perubahan kondisi ini dapat jelas terlihat dilihat pada Perkembangan wilayah, interaksi masyarakat dan eksistensi budaya suatu masyarakat itu sendiri. Untuk mendiskripsikan mengenai kondisi, keadaan atau fenomena sosial yang ada dalam Masyarakat Desa Bonto Katute pasca ditetapkan nya izin eksplorasi penambangan dapat terlihat pada pola interaksi masyarakat itu sendiri, mulai dari hubungan antara sesame masyarakat, kehadiran penambangan dan nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya, hingga menuju pada perkambangan wilayah selanjutnya yang tidak terlepas dari dampak atau pengaruh dari kehadiran penambangan dewasa ini.
4.1.1. Hubungan Antar Masyarakat. Seperti halnya kondisi masyarakat diperkampungan tua lainnya, masyarakat Desa Bonto Katute ini hidup dengan rukun dan damai dalam bingkai kekeluargaan yang kuat dan dengan budaya gotong royongnya yang sangat tinggi, seperti yang dikatakan oleh Rusdi (27 tahun): “ almarhuma nenekku sering bilang kalau di Desa Bonto Katute, ambi, sama biholo itu semua bersaudara, pendatangji itu yang bukan keluarga” (wawancara, 28 maret 2013) Rasa kekeluargaan itu terus melekat yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal yang serupa juga sempat diungkapkan oleh Ramah (38 tahun) : “ dari ujung jalan sini sampai ujung jalan sana keluargajeka semua, bahkan sama ibu desa juga keluargaja”(wawancara, 29 maret 2013) Kondisi masyarakat desa yangterikat dalam hubungan dan rasa kekeluargaan ini memupuk kebersamaan dan kedekatan masing-masing individu masyarakat, dan hal inipun dapat jelas terlihat diberbagai kegiatan yang sering atau rutin mereka lakasanakan.Hal ini juga terbukti dengan pengakuan ibu desa yang menjabat sebagai kepala Desa Bonto Katute saat ini: “Disini kita melakukan kerja bakti bersama setiap satu minggu sekali, dihari selasa, dan mengatur jadwal giliran kerja bukti tiap dusun” (wawancara 12 april 2013) Kegiatan kerja bakti bersama yang rutin dilakukan masyarakat Desa Bonto Katute merupakan salah satu contoh betapa harmonisnya hubungan masyarakat dengan masyarakat, saat bekerja bersama,
bergotong royong dalam berbagai hal, seperti merenovasi mas’jid dan memperbaiki jalanan.
Gambar 6. kegiatan kerjabakti Gambar diatas mejelaskan bagai mana antosias masyarakat saat merapikan jalanan dan bergotong royong dalam mengangkat batu, saling opor dan saling bercanda satu sama lain, tua muda ikut bersama walaupun sebenarnya sebagian dari mereka saat itu dalam kondisi yang was-was, hal ini dikarna oleh adanya sebuah rencana pemerintah yang ingin melakukan eksplorasi kandungan mineral alam didaerahnya yang mengakibatkan kontrafersi antara masyarakat Desa Bonto Katute dan melahirkan dua kubuh yakni masyarakat yang pro atau menerima adanya eksplorasi penambangan dan masyarakat yang menolak
eksplorasi
penambangan. Mantan kepala Desa Bonto Katute priode 2001-2011 ini mengungkapkan bahwa: “meski sudah berapa kali diberi pengertian tentang survey yang dilakukan slama ini, mereka semua tidak mau mendengar, hanya ada sebagian yang mau untuk di survey lahannya”(wawancara, 12 april 2013)
Perbedaan pemahaman dan kepentingan antar masyarakat ini adalah sebuah lanjutan dari rentetan masalah yang bermula dari kasus sengketa lahan agraris yang menimpa masyarakat adat di Desa Bonto Katute yang telah
berates-ratus
tahun
dikelolah
secara
turun-temurun
untuk
pemenuhan kebutuhannya, hal ini dibuktian dengan peninggalanpeninggalan masa lalu, seperti kuburan tua, batas hutan larangan (hutan adat), perkampungan tua, situs perjanjian adat (lempangang) dan buktibukti lainnya, yang tiba-tiba pada tahun 1994/1995 melalui program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dengan jumlah dana 167 juta rupiah yang diambil dari anggaran APBN 2005. Untuk menanami lahan sekitar 84 ha dengan jenis tanaman yang ditanam adalah pohon Pinus, Mahoni, Gamelina, Kayu manis. Wilayah adat, lokasi perkebunan dan rumah mereka diklaim secara sepihak oleh dinas perkebunan dan kehutanan kabupaten Sinjai sebagai kawasan hutan lindung. Keputusan tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat, baik rencana, penetapan, dokumen-dokumen, tujuan apa dan semua hal terkait pengklaiman tersebut. masyarakat baru mengetahuinya pada saat ada pengumuman dan kegiatan kehutanan (pengukuran dan penghijauan) (GERTAK 2012). Hal ini menimbulkan keresahan karena ketidakjelasan nasib tanah mereka dan efek traumatik dari program GNRHLini yang terus menerus menjadikan masyarakat sebagai korban. Oleh Rudi (42 tahun) mantan kepala dusun yang pada saat itu masih menjabat
sebagai kepala dusun didusun batulempangang memberikan tanggapan mengenai sengketa agrarian yang selama ini masih dipersengkatakan: “dulunya, masyarakat hanya dibagikan bibit pohon secara cumaCuma, maka dari itu dengan senang hati masyarakat menanam dikebunnya masing-masing, dan setelah itu pemerintah menetapkanmi itu lahan yang ada pohonnya seperti hutan lindung”(wawancara 13 april 2013) Kemudian Rudi juga menambahkan bahwa: “dan saya harap semoga masyarakat tidak dibodoh-bodohi lagi, karna saya melihat cara seperti ini kembali mau dipake lagi sama perusahaan tambang,”(wawancara 13 april 2013) Saat itu Rudi dan sebagian masyarakat beranggapan bahwa strategi yang digunakan pemerintah pada saat mengklaim wilayah perkebunan masyarakat menjadi hutan adat kembali dipraktekkan tetapi dengan modus yang sedikit berbeda, yakni dengan pendekatan kepada aparatur desa khususnya kepala desa untuk memberikan himbauan dan tawaran bagi yang mau pekarangannya untuk disurvey agar segera mendaftarkan namanya, dan pihak perusahaan memberikan sejumlah uang pembeli rokok sebagai bentuk ucapan terimahkasih mereka sebab lahannya bersedi untuk dilakukan suvey penambangan. 4.1.2
Pertambangan dan Nilai-nilai Budaya Bonto Katute salah satu perkampungan tertua yang ada
dikabupaten sinjai dan diliputi oleh beberapa tanda bukti kepemilikan lahan masyarakat Barambang katute yaitu Kuburan Barambang Pertama, rumah adat “Balla Lompoa ri Katute” dan kampung tua di Bontolasuna. Dengan adanya bukti-bukti ini menandakan Masyarakat Adat Barambang
Katute sudah menempati wilayah ini sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kegiatan usaha pertambangan adalah suatu kegiatan besar yang berada ditengah masyarakat, dimana tentunya kegiatan ini akan berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada. Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak yang mungkin akan dirasakan oleh masyarakat. Pada bulan Februari 2011 izin ekplorasi diserahkan kepad PT. Galena Sumber Energy oleh Kapedalatam dan didampingi oleh disbunhut dalam memperlancar eksplorasi di Bonto Katute dan penyerahan izin tersebut tidak di ketahui oleh masyaraka Bonto Katute lagi hal ini membuat masyarakat geram. Berdaulat atas wilayah dan sumberdaya sendiri adalah salah satu visi/misi AMAN yang tercantum dalam Pasal 5 visi AMAN adalah terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang adil dan sejahtera. Kemudian Pasal 6 Misi AMAN adalah mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Kedaulatan, kemandirian dan martabat merupakan hak dasar bagi komunitas adat untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada di wilayah adat adalah hak asasi yang di bawa sejak lahir oleh Masyarakat Adat. Atas dasar inilah
Lembaga Suadaya Masyarakat menganggap seluruh Masyarakat Adat berhak atas berbagai sumber daya alam yang ada di wilayahnya yang sudah merupakan keyakinan dan kebenaran yang tidak dapat diukur yang dapat disetarakan dengan sertifikat tanah atau sejenisnya yang dikeluarkan belakangan setelah sistem hukum negara berlaku. Hak itu merupakan hak bawaan yang di jamin oleh UUD 1945 sejak masyarakat adat lahir dan menjadi anggota dari komunitas adatnya. Didalam perkembangannya, negara pun memberikan hak bawaan itu, sehingga hal-hal pokok yang merupakan kepentingan bersama dalam komunitas adat harus diatur secara bersama-sama oleh warga adat dan pemerintah setempat. Meski keputusan kelak untuk tujuan bersama, namun untuk menetapkannya harus berdasarkan nilai-nilai yang tidak terpisahkan dalam kehidupan warga adat itu sendiri. Dalam UU Dasar 1945 pasal 18B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28I ayat 3: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini menunjukan pengakuan konstitusi negara terhadap sistem adat yang didalamnya termasuk Hak komunitas adat untuk mengatur dirinya sendiri, menentukan masa depannya dan hak
untuk
menjaga
keberlangsungan
sistem
kehidupannya
sendiri
berdasarkan nilai-nilai yang di anut oleh komunitas adat tersebut. Kemudian pasal 33Ayat (1) menyebutkan bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukan bahwa tujuan utama dari pengelolaan SDA adalah untuk kesejahteraan rakyat, oleh karena itu hak untuk Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya dalam bingkai kekeluargaan, merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh Negara dan dijamin oleh konstitusi sebagai hak untuk mengelola SDA yang dimiliki oleh masyarakat adat dengan kata lain apapun SDA yang ada di wilayah adat, merupakan hak bagi komunitas masyarakat
adat
untuk:
menjaga,
mengelola,
memelihara
dan
memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bersama seluruh warga masyarakat adat. 4.1.3. Dampak Eksplorasi Penambangan Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan
dengan
kepentingan
usaha
melestarikan
kualitas
lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih dianggap kurang tepat karena yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak
negatif.Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para pemilik atau pengusul proyek. Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak negatifnya saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot analisis yang sama. Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak adalah setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan karena adanya proyek, karena proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja, sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada, tetapi dampaknya besar.Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja dampak proyek terhadap lingkungan, melainkan juga dampak lingkungan terhadap proyek (Kristanto, 2004). Mengenai rencana penambangan yang terlebih dahulu harus melalui berbagai macam tahap sebelum menuai hasil ekonomis dari kegiatan penambangan dimulai dari usaha penyelidikan secara umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan hingga pada penjualan hasil galian ini dapat terlihat bahwa dari semua tahap yang mesti dilalui dalam proses penambangan
itu,
tahap
kelangsungan
kegiatan
eksplorasilah
pertambangan,
yang karna
sangat pada
menentukan tahap
inilah
penyelidikan atau penelitian menganai kelayakan eksploiatasi dan letak hingga luas daerah yang memiliki kandungan mineral bumi yang akan siap untuk dikelola. Menurut Noor (dalam Sulto 2011) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya
mineral adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi air. Di Indonesia dapat kita jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau Bangka, tambang batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua. Di Desa bonto Katute yang notabene tahapan penambangannya sudah memasuki tahap eksplorasi kandungan mineral bumi oleh PT. Galena Sumber Energi sejak Bulan November 2008 yang kemudian diperpanjang pada Bulan November 2010 berdasarkan SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010 ini juga dapat terlihat pada bentuk fisik lainnya, seperti galian dibeberapa titik lokasi pengambilan sampel tanah untuk keperluan penelitian, dan disekita galian-galian tersebut diberikan kodekode Khusus.
Gambar 7. Galian Eksplorasi Pertambangan
Galian dengan kode TO1201 ini terletak di tengah hutan yang menurut pengakuan Yusuf (39 tahun) yang bertempat tinggal sekitar 40 meter dari galian tersebut mengatakan bahwa: “Galian disitu sudah lamami, waktu bulan puasa ada orang korea yang membuat tenda disitu, ditemani sama puang aco” (Wawancara tanggal 14 apil 2013) Bekas galian untk eksplorasi masih tetap ada, para peneliti yang melakukan galian untuk keperluan eksplorasi telah kembali kenegara asalnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tanpa melakukan perbaikan terlebih dahulu seperti penimbunan kembali bekas galian. Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah memacu kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk
mendapatkan
lokasi-lokasi
sumberdaya
mineral
yang
baru.Konsekuensi dari meningkatnya eksp lorasi hingga eksploitasi sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006). oleh karenanya itu dalam proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara
keberadaan
dan
kemampuan
dalam
mendukung
berlanjutnya
pembangunan, melalui pembuatan AMDAL (anlis mengenai dampak lingkungan) Praktek Industri tambang yang ada saat ini telah menimbulkan banyak masalah dan konflik, akibat tumpang tindihnya peraturan dan surat keputusan Menteri terkait. Ini bisa kita lihat dengan banyaknya jumlah pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bawaan masyarakat adat yang sebenarnya telah melenceng dari konstitusi Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Praktek-praktek pengelolaan pertambangan oleh perusahaan besar maupun kecil tak membawa dampak kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan bagi masyarakat adat seperti apa yang selama ini digembar-gemborkan pihak perusahaan dan pemerintah. Terutama menyangkut nasib pewaris wilayah adat yang telah turuntemurun bermukim di wilayah tersebut. Praktek pertambangan hingga saat ini telah membuktikan dengan jelas bahwa hasilnya bagi masyarakat adat adalah: menjadi penonton di atas tanah sendiri, tidak mendapatkan keuntungan dari hasil tambang itu. Sementara sifat serakah pertambangan yang melakukan ekploitasi mineral tambang secara besar-besaran, menghasilkan kerusakan Lingkungan, kerusakan hutan, pencemaran air, tanah dan udara, perubahan sosial budaya, rusaknya tatanan adat, dan dampak-dampak negatif lainnya. Sementara itu , komunitas masyarakat adat semakin terdesak oleh kebijakan-kebijakan baik itu tingkat lokal maupun nasional yang justru melindungi praktek-praktek buruk yang
dilakukan oleh pihak perusahaan tambang. Contoh yang paling nyata dari praktek pertambangan emas oleh perusahaan besar ada di Papua, Sumbawa, Halmahera, dan masih banyak lagi lokasi-lokasi dimana perusahaan pertambangan emas mendapat izin ekploitasi.Perlu diketahui bahwa praktek dan pelanggaran seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara di seluruh belahan bumi ini. Selain praktek industri pertambangan emas skala besar, praktek pertambangan yang buruk juga dapat ditemukan dalam pertambangan emas illegal yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, dimana orang sudah tidak menerapkan prinsip-prinsip kerja pertambangan emas yang baik dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Pertambangan Ilegal atau sering disitilahkan PETI telah memberikan dampak buruk juga bagi Lingkungan, kesehatan, dan keselamatan manusia sebagai pelaku itu sendiri. Meskipun kerusakan lingkungan dan dampak negatif dari pertambangan ilegal ini jauh lebih kecil ketimbang dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan skala besar. Hal yang sama mengenai dampak dari eksplorasi penambangan juga sudah terlihat di Desa Bonto Katute kecamatan sinjai borong kabupaten sinjai seperti yang diungkapkan oleh ismail kepada tribun 26 september 2012 lalu sebagai salah satu tokoh masyarakat Barambang Katute, menurutnya telah muncul berbagai masalah yang mendera warga sejak adanya eksplorasi tambang mulai dari konflik antarwarga yang pro
dan kontra atas eksplorasi dan pengklaiman lahan mereka menjadi Hutan Lindung oleh Pemerintah Kabupaten Sinjai. intimidasi terhadap warga yang menolak, pemecatan sepihak Kepala Dusun Bolalangiri, hingga merusak tiga hulu sungai besar yakni Bihulo, Barihangeng, dan Aparang. 4.2. Persistensi Terhadap Penambangan Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumber daya alam adalah kegiatan penambangan bahan galian, tetapi kegiatan-kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama berubahnya estetika lingkungan, habitat flora dan fauna menjadi rusak, penurunan kualitas tanah, penurunan kualitas air atau penurunan permukaan air tanah, timbulnya debu dan kebisingan. Jaga dapat memberikan
dampak positif jika dikelola dengan baik, seperti
dapat
peninggkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), menciptakan lapangan kerja, dan memanfaatkan lahan semi produktif menjadi lebih produktif, hal ini jugalah yang menjadi perhatian pemerintah setempt agar dapat mengembangkan daerahnya, sekaligus menjadi alasan mengapa harus mengetahui kanduangan alam daerahnya dengan observasi dan eksplorasi, A. Rudianto Asapa selaku Bupati Kabupaten Sinjai yang mengesahkan surat izin eksplorasi penambangan di Daerah Bonto Katute, menyatakan dalam harian Fajar 12 September 2012 bahwa permintaan sejumlah kalangan untuk menghentikan eksplorasi menurutnya lebih disebabkan karena belum memahami lebih dalam manfaat eksplorasi penambangan, Andi
Rudianto juga menjelaskan bahwa jika eksplorasi dihentikan, maka kandungan tambang di areal tersebut tidak akan diketahui. Disini dijelaskan bahwa alasan utama pemerintah memberikan izin eksplosi diDesa Bonto Katute ini adalah untuk mengetahu kandungan alam yang ada didaerahnya, meski ada beberapa kalangan masyarakat sinjai yang tidak menerima eksplorasi penambangan tersebut, karna berbagai macam alasan kekhawatiran dan Warga menilai, rencana pertambangan tidak demokratis dan cenderung dipaksakan. Didalam harian Fajar.20 Oktober 2012, A. Rudianto Asapa bahkan berani menggaransijika penambangan tersebut mencapai tahap eksploitasi maka harus bisa memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Sinjai. Investor bebernya, telah menjamin ekploitasi kelak tidak menimbulkan dampak lingkungan maupun sosial. Bahkan Andi Rudiyanto, Pemerintah Kabupaten Sinjai mengatakan bahwa akan mensyaratkan kepada pihak investor untuk memberikan prioritas kepada masyarakat setempat untuk menjadi tenaga kerja. Lahan yang diambil untuk diekploitasi pun katanya, tidak akan diserobot begitu saja akan ada ganti rugi itu selain itu warga akan dipekerjakan pada perusahaan tambang nantinya. Sejalan dengan stegmen bupati diatas Sekretaris Kabupaten Sinjai, Taiyeb A Mappasere juga pernah mengemukan pada wartawan fajar bahwa,eksplorasi tambang Bonto Katute sudah dalam tahap analisa. Adapun terkait permintaan warga agar izin dicabut juga sedang dipelajari, dan jika memang dianggap merugikan akan dihentikan. Lagi pula baru ekplorasi sekadar mencari potensinya.Nanti kalau memang ada, maka harus ada amdalnya.
Meski telah beberapa kali mendapat desakan untuk mencabut izin eksplorasi, pemerintah terus menerus memberikan ruang dan kesempatan bagi para investor yang ingin melakukan eksplorasi. Menurut Arman (25 tahun) salah satu anggota Mapala kepada harian tribuntimur 03 september 2012, pemerintah daerah dianggap tetap ngotot memberikan peluang bagi investor untuk melakukan eksplorasi di Daerah Bonto Katute tanpa mempertimbangkan kondisi real yang terjadi sampai saat ini, dalam tahap eksplorasi telah mengundang berbagai masalah dan intimidasi terhadap Masyarakat Bonto Katute. Pemerintah Kabupaten Sinjai pun memberikan jaminan pada masyarakat tentang dampak yang sering dikhawatirkan oleh kelompok masyarakat yang menolak tambang bahkan jika tahap eksplorasi terus berlanjut ketahap eksploitasi masyarakat akan menjadi prioritas utama untuk disejahtarahkan. Didalam Fajar 12 Oktober 2012
Bupati Sinjai menyatakan bahwa jika penambangan tersebut
mencapai tahap eksploitasi, maka harus bisa memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Sinjai. Investor bebernya, telah menjamin ekploitasi kelak tidak menimbulkan
dampak
lingkungan
maupun
sosial.
Bupati
Sinjai
juga
menambahkan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi investor jika ingin melanjutkan dari tahap Eksplorasi ketahap Eksploitasi. Tiga syarat tersebut adalah jaminan warga berhak dalam kepemilikan saham, ganti rugi lahan yang rasional, dan didahului dengan negosiasi, serta memprioritaskan warga menjadi tenaga kerja. Terkait penambangan ini pada Harian Fajar, 29 Oktober 2012 Beliau (Bupati Sinjai) juga menyayangkan jika munculnya penolakan warga karena ada
oknum tertentu yang melakukan provokasi. Pasalnya, kata dia, sejak awal pemberian izin eksplorasi sudah ada perhitungan matang dari pemerintah daerah yang dipastikan tidak merugikan masyarakat. 4.2.1. Faktor-faktor Persitensi Terhadap Penambangan Penambangan sumber daya alam mineral di Indonesia memang bukan hal yang baru lagi, sebut saja Freeport di Timika, penambangan emas yang ada di Bombana, dan lain sebagainya yang tersebar diseluruh seantero Negara Indonesia, seluruh penambangan ini sepatutnya sudah mampu untuk mensejahterahkan seluruh warga Negara Indonesa, namun seperti yang kita liat sekarang, setiap penambangan yang ada disetiap daerah sama sekali belum bisa mensejahterahkan warga sekitarnya, malahan penambangan inilah yang membuat masyarakat local menjadi pihak yang termarjinalkan dan memperoleh dampak negative dari limbah yang dihasilkan oleh perusahaan tambang ini, namun meski begitu menurut kepala Desa Bonto Katute , “kita tidak boleh melihat yang buruk2nya saja, kita hanya jalankan perintah, dan kalau seumpanya hasil surveynya orang korea ini bilang ada emasnya, disitu lagi orang baru tawar menawar” (wawancara 12 april 2013) Suatu
cara
pandang
atau
pikiran
yang
positif
dengan
memperhitungkan untung rugi juga disertai oleh sikap loyalitas, patuh terhadap perintah atasannya, memberikan gambaran bahwa sikap kepala Desa Bonto Katute ini sangatlah patuh dan cenderung tidak ingin mengambil resiko.
Mengenai respon atau tangapan dari masyarakat lokal terhadap eksplorasi penambangan emas didaaerahnya yang dikategorikan sebagai masyarakat yang persisten, mendukung, atau dalam kata lain tidak menolak eksistensi penambangan tersebut
ternyata memiliki respon yang sedikit
berbeda dengan aparatur pemerintah desa hingga jajaran pemerintah Kabupaten Sinjai, seperti tanggapan salah satu warga desa saat dimintai alansan mengapa mendukung penambangan, mare (43 Tahun) berpendapat bahwa: “saya ini nda mendukung, hanya menerimaji, kalau memang ada saya terimaji, nda mauja pusing saya loh de” Dari pengakuan ibu Mare diatas dapat dilihat bahwa peran ibu mare ini hanya menerima penambangan, bukan sebagai pendukung ekplorasi penambangan. Sejalan dengan itu pengakuan Rudi (42 Tahun) mantan kepala dusun pun menguatkan pernyataan ibu Mare diatas: “kondisi di Desa Bonto Katute tidak serunyam yang kita bayangkan. ada pihak yang sengaja memprovokasi masyarakat diluar Desa, ini, dengan menciptakan isu akan adanya dua kubuh antara yang pro dan kontra terhadap penambangan.” Kemudian Rudi kembali melanjutkan bahwa: “sebenarnya masyarakat, hanya menerima bukan berarti mendukung, kecuali kepala Desa , kalau itu iyya, jelas-jelas mendukung.” Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pernyataan Rudi diatas memang ada benarnya bahwa kondisi yang ada dilapangan memang sedikit berbeda dengan isu yang telah beredar dalam masyarakat pada umumnya.
4.2.2. Bentuk-bentuk Persistensi Terhadap Penambangan Jika merujuk ke Eksistensitas pertambangan yang ada di Indonesia, seperti PT.Freeport McMoran IndonesiadiTimika Papua, PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), PT. Newmont Minahasa Raya diMinahasa Sulawesi Utara, PT Lapindo Brantas Inc yangBerlokasi di Blok Brantas, Jawa Timur, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dikalimantan timur, PT. Inco di soroako Sulawesi Selatan, masih belum bisa mensejahterahkan seluruh rakyat diIndonesia, belum lagi yang ada pertambangan yang diMorowali Sulawesi Tengah dan Bombana Sulawesi Tenggara yang telah jelas memberikan pengaruh negative terhadap kehidupan masyarakat, baik pada sector social, ekonomi dan ekologis daerahnya. Sejalan dengan itumantan Kepala Desa Bonto Katute priode 2001-2011, Masri (36 tahun) bahwa: “kita tidak boleh melihat yang buruk-buruknya saja, kita hanya jalankan perintah, dan kalau seumpanya hasil surveynya orang korea ini bilang ada emasnya, disitu lagi orang baru tawar menawar” (wawancara 12 april 2013) Selain itu untuk bertahan dari pengaruh pihak – pihak yang tidak mendukung akan adanya penambangan tersebut, pemerintah daerah beserta aparatur desa menugaskan kepada, beberapa warga (utamanya yang algojoalgojo kampung) yuang kemudian dipekerjakan sebagai Security (lebih tepatnya tameng) bagi pihak birokrasi dan korporasi penambangan dengan tujuan meredam aksi protes warga, meredam segala upaya-upaya perlawan rakyat, dan tentunya dengan sokongan aparatur negara seperti Polisi dan
TNI. Seperti pengakuan warga desa, saat dimintai tanggapan mengenai alas an mengapa dia menolak penambangan, saniati (32 tahun): “nda adami baenya ini penambangan disini, belum apa-apa nasessamki, sudah habismi lahan diambil, dimarahi lagi orang masuk dikawasan” (wawancara 13 april 2013) Selanjutnya Saniati menambahkan, bahwa: “orang-orangnya ibu desa, keluarganya puang Aco juga, banyak pokoknya yang penting yang diakkitai (dihormati) disini, jadi biasa orang takut kalau mau bicara” (wawancara 12 april 2013) Penggunaan jasa para algojo-algojo kampung sebagai tameng untuk mempertahankan apa yang menjadi harapan atau untuk menggapai capaian yang ingin dicapai oleh mereka yang mendukung akan aktifitas eksplorasi penambangan adalah
salah satu langkah yang ditempuh agar dapat
bertahan, selain power dari para masyrakat yang memiliki pengaruh dalam kehidupan social syrakat, kepala
Desa Bonto Katute juga melakukan
diskriminasi, seperti uangkapan Darmawati (33 tahun) Kepala Desa Bonto Katute, bahwa: “yang tidak mau tanda tangan untuk menerima eksplorasi penambangan, belum saya kasi beras raskin, sampainya setuju” Sejalan dengan ungkapan kepala Desa diatas saniati (32 tahun), juga mengungkapkan perasaan yang kecewa dan menderita oleh karna intimidasi dan diskriminasi yang dirasakannya : “nda ada sekalimi yang bisa kita harapkan disini de’ kalau bukan usahata sendiri nda makanmi orang, tidak adami beraspembagian, habismi juga lokasi yang mau na kerja suamiku”
Campur tangan aparatur negara seperti TNI (Tentara Negara Indonesia) juga terlihat dalam kegiatan perbaikan jalan. kegiatan TMMD (Tentara Masuk Desa) yang dilakukan oleh kodam 1424 menyebabkan sebagian
masyarakat
yang menolak penambangan
merasa was-was.
Seperti yang diungkapkan wawan (25 tahun) warga sinjai. “dulu saya sering kesana tapi setelah banyak tentara yang masuk menjaga disana, nda pernahma kesana lagi. Bahaya karna nakira irang profokator belah, padahal mauji orang jalan” Setelah aparat pemerintah dari kodim 1424 meramaikan Desa Bonto Katute dengan program TMMD yang ke 90 ini, masyarakat umum merasa Desa Bonto Katute menjadi terisolir. 4.3. Resistensi Terhadap Penambangan Konflik agrarian dan sumber daya yang menjadikan masyarakat sebagai korban terus menerus terjadi dinegeri ini, kuatnya penetrasi modal untuk mengekspansi telah menjadikan pereangkat-perangkat negara berpaling dari rakyat dan berbalik menindasnya dengan proses-proses formal, dengan berbagai regulasi yang tak sedikitpun memikirkan kelangngsungan hidup rakyat. Hal serupa-pun menimpa Masyarakat Adat Barambang-Katute yang telah berpuluh tahun di gilas berbagai kasus untuk memaksa mereka mengakui keperkasaan Negara, untuk mengakui bahwa mereka bersalah, untuk mengakui bahwa mereka tak punya apa-pun dikampungnya selain tenaga dan pikirannya (AMAN 2012). Selain itu jika melihat sejarah yang pernah ada pada 21 Juni 2006, saat itu telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban jiwa 214 orang dan korban hilang mencapai 45 orang. Sedangkan jumlah
pengungsi per Tanggal 26 Juni 2006 mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi Selatan). Jika eksploitasi tambang tersebut tetap dipaksakan maka tidak menutup kemungkinan akan memicu kejadian serupa dengan eskalasi yang lebih besar. Hal ini juga lah yang dilihat oleh warga yang menolak proses penambangan itu terus dilanjutkan. Ditengah hingar-bingar perlawanan rakyat bersama LSM yang menolak tambang terhadap rencana eksploitasi pertambangan oleh PT. GALENA SUMBER ENERGY di kampung mereka, masyarakat kembali dikejutkan dengan tiba-tiba munculnya surat panggilan dari kejaksaan Negeri Sinjai untuk 11 orang warga dalam rangka menjalankan eksekusi badan terkait keputusan mahkamah agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/2011. Tanggal 01 Mei 2012. 4.3.1. Faktor–faktor Adanya Resistensi Terhadap Penambangan Menarik untuk meninjau kembali kronolgi kasus yang dilalui masyarakat adat Barambang-Katute: 1. Lahan masyarakat yang telah didiami selama beratus-ratus tahun dan dikelola secara turun-temurun untuk pemenuhan kebutuhannya, dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan masa lalu, seperti kuburan tua, batas hutan larangan (Hutan Adat), perkampungan tua, situs perjanjian adat (Lempangang) dan bukti lainnya tiba-tiba di tahun 1994/1995 dikalim secara sepihak oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai sebagai kawasan Hutan Lindung. Keputusan tersebut tidak diketahui oleh masyarakat, baik penetapan,
dokumen-dokumen, tujuannya apa dan semua hal terkait pengklaiman tersebut. Masyarakat baru mengetahuinya pada saat ada pengumuman dan kegiatan kehutanan (pengukuran lahan dan penghijauan). Masyarakat-pun langsung bereaksi dan menyatakan penolakan, selain karena tidak adanya transparansi juga karena masyarakat secara adat telah mendiami lahan tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka dan merasa bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tersebut.Namun reaksi masyarakat tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah daerah Sinjai, mereka sedikit-pun tak bergeming dengan reaksi masyarakat tersebut bahkan salah seorang warga bernama Muhammad Rustam Hamka sempat dipenjara selama dua bulan karena dituduh memfitnah pemerintah dengan memprotes penetapan kawasan hutan lindung tersebut. Masyarakat juga telah mengajukan surat keberatan kepada Bupati Sinjai dengan perihal: Keberatan Masyarakat terhadap Tim Tata Batas Hutan dari Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Provensi
Sulawesi Selatan, namun lagi-lagi suara masyarakat tak
ditanggapi. 2. Pemerintah Daerah Sinjai melaui Dinas Perkebunan dan Kehutaanan pada tahun 2005 mencanangkan lagi lahan masyarakatsebagai lokasi pelaksanaan program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dengan jumlah dana 167 juta rupiah yang diambil dari anggaran APBN 2005. Untuk menanami lahan sekitar 84 ha dengan jenis tanaman yang ditanam adalah pohon Pinus, Mahoni, Gamelina,
Kayu manis. Penanaman pohon tersebut kembali ditentang oleh masyarakat dan melarang menanam dilahan mereka, sebab pelaksanaan penanaman dilakukan oleh orang dari luar kampung mereka dan tanpa melalui sosialisasi terlebih dahulu. Sebagian masyarakat yang diimingimingi upahpun terlibat dalam penanaman pohon tersebut, menanam bibit yang telah disediakan pemerintah daerah dilahan mereka senidiri namun Setelah pohonnya besar dan dapat dimanfaatkan kayunya, mereka tidak hanya dilarang menebang kayu yang mereka tanam sendiri namun juga sudah dilarang masuk ke kebun mereka sendiri. Program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) inilah yang menjadi titik balik perlawan warga secara frontal, sebagai akibat dari keputus-asaan sebab sumber-sumber penghidupan mereka dirampas satu demi satu. Mereka semakin terjepit.Inilah awal dari konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan Pemda Sinjai bersama Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai. 3. Perlawanan masyarakat sebagai bentuk perjuangan mempertahankan hidup ini justru dianggap sebagai dosa besar oleh pemerintah daerah Sinjai dan melakukan segala cara untuk membungkam perjuangan tersebut.Hal ini kemudian terbukti ditahun 2009 ketika 11 warga yang mengerjakan lahannya (sebagai syarat utama pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup) yang telah dikalim sebagai kawasan hutan lindung di nyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan merambah hutan
lindung, mencabut pohon pinus sebanyak 44.000 pohon di lahan seluas 40 Ha. 4. Belum lagi selesai kasus hutan lindung tersebut, masyarakat kembali di gegerkan dengan rencana pertambangan Emas dan Timah hitam yang telah mencapai proses/tahap IUP Eksplorasi. Hal ini lagi-lagi tak diketahui
masyarakat,
mereka
semakin
dihimpit
dengan
penetapan/kebijakan sepihak dan tidak demokratis.izin eksplorasi pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada bulan November 2008, kemudian diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai dengan November 2013 (SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010).Masyarakat semakin dilemahkan dengan upaya-upaya formal yang ditopang oleh regulasi ala borjuis, tindakan intimidasi yang dirasakan warga tak terhitung, dimulai dengan pemecatan Kepala Dusun mereka, diskriminasi dalam pelayan publik, ancaman pembubaran aksi, penghadangan dan upaya kriminalisasi semakin massif di rasakan oleh warga. 5. Ditengah pergolakan warga menolak rencana pertambangan, tiba-tiba muncul surat perintah eksekusi badan dari Mahkamah Agung terhadap 11 warga yang dituduh telah merambah dan merusak hutan lindung bertanggal 28 Februari 2013. Resistensi juga terlihat dengan tetap dilakukannya aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan hasil alam daerahnya secara diam-diam. Hal ini kemudian terbukti ditahun 2009 ketika 11 warga yang mengerjakan lahannya
(sebagai syarat utama pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup) yang telah dikalim sebagai kawasan hutan lindung di nyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan merambah hutan lindung, dan mendapat surat panggilan dari kejaksaan Negeri Sinjai untuk menjalankan eksekusi badan terkait Dengan keputusan mahkamah agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/2011. Tanggal 01 Mei 2012. Faktor pemicu tindakan resistensi itu salah satunya disebabkan oleh beberapa intimidasi oleh aparatur desa yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu ancaman yang sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh Rudi (42 tahun) bahwa: “Masyarakat kontra tambang tidak akan di bagikan Raskin kecuali bersedia bertanda tangan mendukung keputusan aparat Desa itu Statement Kepala Desa, waktu tanggal 16 Juli 2012 saya ingat sekali itu” (wawancara,14 april 2012) Selain itu Larangan mengelola hutan yang telah diklaim sebagai hutan lindung sejak 1995, yang baru diketahui warga beberapa tahun setelah penetapan, terbukti dengan ketidak tahuan warga sekitar kalau lahan, bahkan rumah yang mereka tinggali bersama keluarga sejak lamapun masuk dalam daerah kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan saleh (24 tahun) bahwa: “itupi baru kutau kalaw dikasi jadiki lahanku ini dalam kawasan, termasukmi juga rumahku, masuk tommi disitu, dikawasang” (wawancara,14 april 2012) Berikut tuduhan sebagai profokator bagi mereka yang dengan sepenuh hati iklas mengakomodir gerakan rakyat yang menolak tambang sering dijadikan topik pembicaraan di kantor desa. Mengenai kebijakan pemerintah
yang dianggap cenderung dari atas ke bawah (Top – Down) tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga dianggap tidak transparan dan melahirkan resistensi komunitas terhadap suatu kebijakan. Selain itu Kegiatanberburuh dan meramu, berkebun dan bertani telah dilakukan Masyarakat Desa Bonto Katute selama berates-ratus tahun lamanya, seperti yang diungakpkan oleh, hamzah (27 tahun) bahwa: “saya masih bisa hidup dengan bertani, dengan menanam, massaring tua, membuat gula mera, nda usahmi ditambang, biarmi hidup damai seperti sebelum kalian datang. Lagian iniji yang bisa sa kerja memang.” (wawancara 14 april 2013) Selain itu hamzah juga menambahkan bahawa: “Telah Banyakmi juga kelurga yang meningggalkan kampung ini untuk mencari nafkah untuk bertahan hidup di daerah lain dengan menjadi buruh tani, buruh bangunan, bahkan menjadi TKI di Malaysia.(wawancara 14 april 2013) Bertani membuat gula merah dari air aren secara tradisional dengan alat tradisional pula merupakan suatu keaklian dengan kearifan khusus yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya, Hamzah juga mengakui
bahwa
setelah
adanya
informasi
mengenai
eksplorasi
pertambangan, kehidupannya mulai terusik, dan berharap semoga semuanya dihentikan. 4.3.2. Bentuk-Bentuk Resistensi Terhadap Penambangan Dalam
sejarah
peradaban
manusia,
bentuk-bentuk
perlawanan
merupakan hal yang umum dan dapat ditemukan dalam setiap babak sejarah. Resistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat
kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya.Di Desa Bonto Katute khususnya setelah izin eksplorasi diterbitkan telah memberikan dampak pada system social masyarakat daerah ini, seperti yang diungkapkan oleh Rudi (40 tahun) warga Bonto Katute, yang juga merupakan mantan kepala dusun didesa itu, bahwa: “Izin Eksplorasi penambangan emas yang dikeluarkan oleh pemerintah ini sangat jelas merugikan masyarakat, karna sebelum izin eksplorasi ini dikeluarkan, sama sekali tidak ada sosialisasi dari pemerintah dan perusahaan, izin itu langsung saja disahkan secara sepihak padahal seharusnya, rencana itu harus disepakti juga sama masyarakat setempat.” (wawancara 13april 2013) Selanjutnya Rudi menambahkan: “dan lokasi yang dijadikan sebagai kawasan itu adalah lahan yang sebenarnya adalah tanah milik rakyat, tempat mereka tinggal”(wawancara 13 april 2013) Baberapa alasan inilah yang membuat sebagian masyarakat merasa dirugikan, dan dengan tegas menolah segala bentuk aktifitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Galena Energy. Selain itu Rudi (42 tahun) juga mengemukan bahwa : “ada bermacam usaha yang telah dilakukan masyarakat bersama LSM dan organisasi mahasiswa untuk membuktikan dirinya kalau mereka menolak dengan tegas segala bentuk aktifitas penambangan, seperti, membentuk komonitas, malakukan aksi demontrasi, dan melalui jalur diplomasi, tapi sampai saat ini izin eksplorasi belum dicabut”(wawancara 13 april 2013) Beberapa langkah yang telah dilakukan masyarakat seperti membentuk suatu komonitas penolakan tambang Bonto Katute, melakukan aksi demonstrasi dan melalu jalur diplomasi sampai saat ini belum membuahkan hasil.
4.3.2.1. Membentu Komonitas Penolak Tambang Komunitas sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti kesamaan, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti sama, (Forsdale :1981)Terbentuknya sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni dari diri sendiri atau juga secara kebetulan.Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga tertentu.Seperti yang diungkapkan oleh Rusdi (27 tahun): “ almarhum nenekku sering bilang kalau di Desa Bonto Katute, ambi, sama biholo itu semua bersaudara, pendatangji itu yang bukan keluarga” (wawancara 13 april 2013) Menurut pengakuan Rusdi ini yang mengatakan semua masyarakat yang bermukim di desa ini sebenarnya adalah sutu rumpun kelurga, kekeluarga itu juga jelas terlihat disetiap acara seperti hajatan perkawinan, kerja bakti, aqikah, dan pada saat ada anggota masyarakat yang meninggal.
Gambar 7. Posko Penolakan Tambang
Secara umum ada dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan Masyarakat Desa Bonto Katute tersebut untuk membentuk suatu perkumpulan atau komoditas yaitu faktor kedekatan geografis dan faktor kesamaan idiologi, Dan untuk menyatukan aspirasi tersebut didirikanlah sebuah posko sebagai wadah fisik untuk menfasilitasi seluruh warga yang menolak penambangan. a. Kondisi Geografis Pengaruh kondisi dan letak geografis terhadap keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk kelompok, bergabung dengan kelompok kegiatan sosial yang ada di sekitar kita. Kelompok tersusun atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial.
Gambar 8. Perkampungan Desa Bonto Katut
Keberadaan Desa terpencil dan sangat sulit terjangkau oleh karna jarak, dan kondisi medan jalan yang masih sangat jauh dari kelayakan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, kuda dan kendaraan roda dua ini, mengakibatkan seluruh masyarakat disana hidup dengan madiri bersama dalam suatu ikatan kekeluargaan dan resiprositas (timbal balik atau pertukaran) yang tinggi. b. Kesamaan Ideologi Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada kedekatan
fisik,
tetapi
juga
kesamaan
di
antara
anggota-
anggotanya.Sudah menjadi kebiasaan atau hal yang lumlah terjadi jika orang lebih suka berhubungan dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakterkarakter personal lain. Kesamaan inijuga yang merupakan faktor utama dalam memilih calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut komonitas. Kesamaan ideologi atau pemahaman inilah yang menjadi indikator utama sehingga terbentuknya komonitas penolak tambang Desa Bonto Katute, yang seluruh pengurus didalamnya ini melibatkan seluruh warga Desa Bonto Katute yang menolak tambang. Komonitas ini terbentuk sejak dikeluarkan izin perpanjangan eksplorasi oleh pemerintah kabupaten sinjai, dan sampai saat ini mereka masih rutin melakukan diskusi terkait masalah yang mereka hadapi didaerahnya
atau sekedar pertemuan silahturahmi di posko yang telah mereka bangun bersama. Selain itu poskoini juga difungsikan sebagai serambi atau teras rumah bagi para pendatang yang ingin sekedar melihat kondisi Desa, atau dengan sengaja diundang oleh warga Desa ini.
Gambar 9 Acara Silahturahmi Antar Warga 4.4.2.2.Aksi Demonstrasi Merupakan suatu rentetan peristiwa dari kesemerautan kebijakan pemerintah kabupaten sinjai saat itu yang dianggap oleh sebagian masyarakat sinjai, mahasiswa dan lembaga-lembaga social masyarakat yang tergabung dalam forum GERTAK untuk melakukan aksi demonstrasi guna untuk menolak eksplorasi penambangan di Kabupaten Sinjai itu. Kebijakan pemerintah setempat yang dianggap bertolak belakang dengan cita-cita untuk mensejahterakan rakyat sinjai seperti yang diungkapkan oleh Arman (25 tahun) salah satu pengunjuk rasa kepada Tribun bahwa Pemerintah daerah dianggap tetap ngotot memberikan
peluang bagi investor untuk melakukan eksplorasi di daerah Bonto Katute tanpa mempertimbangkan kondisi real yang terjadi sampai saat ini, dalam tahap eksplorasi telah mengundang berbagai masalah dan intimidasi terhadap Masyarakat Bonto Katute, " ( Harian Tribun 03 September 2012)
Gambar 10. Aksi Demonstrasi Penolakan Tambang Masyarakat, Mahasiswa dan Lembaga social Masyarakat (LSM) yang kerap kali menggelar aksi demonstrasi terkait berbagai macam masah
yang
dianggpnya
menyimpang
dari
cita-cita
untuk
mensejahterahkan warga sinjai ini, mualai dari pengklaiman hutan adat yang dilakukan tanpa melalui sosialisasi terhadap masyarakat yang bermukim didaerah itu, kemudian penetapan surat izin eksplorasi penambangan emas yang sekali lagi dengan tanpa melibatkan warga masyarakat daerah itu dalam pengukuran lahan dan penetapan lokasi. Sampai pada penangkapan warga yang dituduh merambah hutan bahkan tuduhan sebagai sorang profokator bagi mereka yang dengan
sepenuh hati iklas mengakomodir gerakan rakyat yang menolak tambah, tidak hanya itu, beberapa intimidasi oleh aparatur desa dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu ancaman yang sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh Rudi (42 tahun) bahwa: “Masyarakat kontra tambang tidak akan di bagikan Raskin kecuali bersedia bertanda tangan mendukung keputusan aparat Desa itu Statement Kepala Desa, waktu tanggal 16 Juli 2012 saya ingat sekali itu” (wawancara,14 april 2012) Selainitu Larangan mengelola hutan yang telah diklaim sebagai hutan lindung sejak 1995, yang baru diketahui warga beberapa tahun setelah penetapan, terbukti dengan ketidak tahuan warga sekitar kalau lahan, bahkan rumah yang mereka tinggali bersama keluarga sejak lamapun masuk dalam daerah kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan Yusuf (39 tahun): “itupi baru kutau kalaw dikasi jadiki lahanku ini dalam kawasan, termasukmi juga rumahku, masuk tommi disitu, dikawasang” (wawancara,14 april 2012) Kepedihan yang dirasakan waarga Desa Bonto Katute, membuat masyarak sinjai, khususnya mahasiswa dan LSM (lembafa Suadaya Masyarakat) melakukan berbagai macam aksi terkait dengan eksistensi penambangan di Desa Bonto Katute. Diantaranya 1. 12 januari 2012, kembali organisasi mahasiswa dan LSM (lembaga social masyarakat)yang tergabung dalam front GERTAK (Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute) yg terdiri dari beberapa
Organisasi antara lain:MAPALA PTM SINJAI, HIMARA, HIPMIL, BEM STAIM, HIMASDAP, DHK PPRM SINJAI, PEMBEBASAN KOL-KOT SINJAI, MAHARDIKA SINJAI, SRM, BUMI.Turun kejalan mengkampanyekan penolakan tambang Bonto Katute Aksi tersebut di dukung oleh beberapa organisasi dari daerah yang akan terkena dampak dari kegiatan pertambangan. Diantaranya STAPAL INDONESIA yg merupaka organisasi pencinta alam di Kecamatan Sinjai Tengah. Selain itu, dukungan-pun datang dari para pemuda Sinjai Selatan yaitu KONAK (Komunitas Anak Kreatif) yg juga bersawah dengan mengandalkan air dari sungai yg berhulu di Bonto Katute tersebut.
Gambar 11. Aksi Demonstrasi Front Gertak Aksi unjuk rasa ini dimulai di depan kampus STAIM Sinjai, dilanjutkan long march ke perempatan lampu merah bakominfo sinjai
untuk bagi-bagi selebaran. Selanjutnya, massa aksi bergeser ke kantor DPRD Kabupaten Sinjai untuk menyampaikan aspirasi dan menDesak segera diadakannya dialog terbuka yg melibatkan semua pihak yg terkait dengan rencana tambang tersebut diantaranya: Kapedaltam, Disbunhut, Camat Sinjai Borong, Kepala Desa Bonto Katute dan tentunya dihadiri oleh GERTAK.dan akhirnya Akhirnya dicapai sebuah kesepakatan bahwa DPRD Kabupaten Sinjai akan segera menindak lanjuti hal ini dan menerima desakan dari para demonstran. 2. 13 Februari 2012 Melakukan konsuldasi yang merupakan tindaklanjut untuk menghadiri dialog secara terbuka di kantor DPRD dengan mengundang masyarakat Barambang Katute dan pihak istansi yang terkait bersama Gertak maka pada tanggal, dengan Mengangkat Tiga isu sentral yg dibawa fron GERTAK yaitu: 1. Tolak tambang Bonto Katute, 2. Hentikan tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga dusun Bola Langiri yang kontra tambang, 3. Mendesak segera diakuinya eksistensi masyarakat adat Barambang-Katute
Gambar 12. Dialog Terbuka Di Kantor DPRD Kabupaten Sinjai
3. 14 Februari 2012 sebuah aksi demonstrasi bersama masyarakat Desa Bonto Katute
untuk
menolakan perencanaan tambang di Bonto
Katute, masyarakat yang bergabung bersama Front GERTAK (Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute) berama-sama menuju kantor DPRD. Namun perencanan dialog itu gagal karna DPRD rapat secara tertutup dan hanya perwakilan yang di perbolehkan masuk, sedangkan dari hasil kesepakatan pada tanggal 12 Februari 2012 mereka janji akan melakukan dialog secara terbuka“hal ini membuat kawan bentrok karna tidak sesuai dengan hasil kesepakatan DPRD untuk berdialog secara terbuka, dan DPRD kembali memungkiri kalau mereka tidak tau dengan adanya tambang di Bonto Katute dan membuat kesepakatan kalau mereka akan secara langsung ke lapangan melihat kondisi yang terjadi dan mengadakan dialog bersama masyarakat.
Gambar 13. Aksi Demonstrasi oleh Mahasiswa Sinjai
Aksi ini merupakan klimaks dari dari tindakan yang provokatif oleh pemerintah Desa Bonto Katute dan Camat Sinjai Borong yang semakin intens mengintimidasi masyarakat secara psikologis. 4. 26 juni 2012 front gertak kembali melakukan unjuk rasa terkait dengan intimidasi dan pencabutan izin eksplorasi penambangan Bonto Katute Dengan masih mengangkat tema yang sama saat
aksi13 Februari
2012 lalu yaitu: a. Tolak tambang Bonto Katute. b. Mengecam tindakan Camat Sinjai Borong yang melakukan pemecatan terhadap Kepala Dusun Bola Langiri dan intimidasi serta kriminalisasi terhadap warga Dusun Bola Langiri. c. MenDesak segera dibentuknya Masyarakat Adat BarambangKatute.
Gambar 14. Aksi Demonstrasi Di Pusat Kota Kabupaten Sinjai
5. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute (GERTAK-Makassar), Kamis (13 September 2012) melakukan aksi unjuk rasa menolak adanya pertambangan di Desa Bonto Katute, (wilayah Adat Barambang Katute), Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai.Aksi yang berlangsung di pertigaan jalan AP. Pettarani – Sultan Alauddin Makassar ini diwarnai dengan pembakaran ban bekas. Aksi tersebut bertepatan dengan pendaftaran Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa menjadi calon Gubernur dalam Pimilihan Gubernur Sulawesi Selatan priode 2013-2018
Gambar 15. Aksi Demonstrasi Di jalan A.P Petta Rani Makassar 6. Ratusan warga Desa Bonto Katute yang tergabung dalam Gerakan Rakyat
Tolak
Tambang
Bonto
Katute
(GERTAK)
Sinjai
kembali berunjukrasa, Selasa, 26 September 2012. Mereka menolak adanya aktivitas tambang di Desa Bonto Katute, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai. Ratusan mahasiswa dari Sekolah Tinggi
Ilmu Sosial Politik dan Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Sinjai, ambil bagian dalam aksi tersebut. Massa mengepung Kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai. Pengunjukrasa menDesak Pemkab Sinjai untuk mencabut delapan izin eksplorasi tambang yang dikeluarkan Bupati Sinjai Andi Rudiyanto Asapa, khususnya izin eksplorasi di Desa Bonto Katute. Warga menilai, rencana pertambangan tidak demokratis dan cenderung dipaksakan. Menurut Ismail, salah satu tokoh masyarakat Barambang Katute menjelaskan mengenai berbagai masalah yang telah mendera warga sejak adanya eksplorasi tambang, mulai dari konflik antar warga yang pro dan kontra penambangan, intimidasi terhadap warga yang menolak, pemecatan sepihak Kepala Dusun Bolalangiri, hingga merusak tiga hulu sungai besar yakni Bihulo, Barihangeng, dan Aparang, (Harian Fajar, 03 Oktober 2012) Setelah berorasi, para pengunjukrasa diarahkan masuk ke Ruang Pola Kantor Bupati Sinjai untuk melakukan dialog dengan pemerintah kabupaten dialog tersebut dipimpin Sekretaris Kabupaten Sinjai, Anwar Tayyeb lantaran Andi Rudiyanto Asapa tak berada di tempat. 4.4.2.3. Jalur Diplomasi Protes warga Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai Borong soal aktivitas eksplorasi tambang di daerah tersebut mendapat respons dewan.Fraksi Kebangkitan Hati Nurani Rakyat (FKNR) mendorong
dibentuknya panitia khusus (pansus) di DPRD untuk mencari solusi masalah itu. Ketua Fraksi Kebangkitan Hati Nurani Rakyat (FKNR) DPRD
Sinjai,
Andi
Takdir
Hasyim
mengatakan,
persoalan
penambangan yang di Desa Bonto Katute tidak bisa dipandang remeh. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan masalah itu akan menimbulkan dampak sosial yang tidak diharapkan. Bahkan, kata dia, potensi konflik horizontal mulai terlihat meskipun baru tahap eksplorasi, dengan indikator bahwa telah terjadinya pengelompokkan yang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Takdir juga menyarankan untuk membentuk PANSUS (Panitia Khusus) karena selama ini DPRD juga sama sekali buta dengan konsep pengembangan tambang di daerah tersebut, selain itu menurut dia ekplorasi yang
dilakukan ini
sebenarnya tanpa diketahui model dan bentuk izinnya, termasuk progres ekplorasi dan luasan wilayahnya oleh DPRD Kabupaten Sinjai. Hal senada disampaikan anggota DPRD lainnya, Muhammad Arifin. Ketua Komisi III DPRD ini mengatakan Pansus akan menjadi langkah tepat untuk memberikan titik terang terkait polemik tambang tersebut. Hanya saja, dalam kesempatan itu Arifin menyarankan perlu dilakukan pertemuan internal guna memastikan apakah harus pansus atau cukup PENJA (Panitia Kerja) saja yang dibentuk. Legislator dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Ahmad Sidin ikut memberi dukungan. Pansus menurutnya penting, namun katanya, pansus
nantinya harus bekerja dan membuahkan hasil konkret, selain itu Sekretaris Kabupaten
(Sekkab) Sinjai, Taiyeb A Mappasere
mengatakan kepada harian fajar 03 0ktober 2012 bahwa eksplorasi tambang Bonto Katute sudah dalam tahap analisa.Adapun terkait permintaan warga agar izin dicabut juga sedang dipelajari. Belia Jika memang dianggap merugikan akan dihentikan. Lagi pula baru ekplorasi sekadar mencari potensinya nanti kalau memang ada, maka harus ada amdalnya. Selain itu pada Tanggal 21 Januari 2012, berlangsung Musrembang di Desa Bonto Katute yg dihadiri oleh beberapa unsur antara lain seperti Kepala Desa Bonto Katute, BPD Bonto Katute, Kepala Dusun, Disbunhut Kabupaten Sinjai, Kapedaltam Kabupaten Sinjai, Babinsa, Kepolisian, PT. Galena dan sebagian Masyarakat Desa Bonto Katute, untuk membicarakan masalah penambangan tersebut. Setelah acara musrembang selesai, dilanjutkan dengan acara diskusi tentang rencana tambang Bonto Katute dan keinginan masyarakat untuk membentuk struktur Masyarakat Adat. Dalam acara ini, terjadi perdebatan antara aparatur desa bersama unsur lain melawan kepala dusun bola langiri dan warganya yang konsisten menolak tambang dalam acara ini pula, kepala dusun bolalangiri di adili dan di intimidasi bahkan samapi disuruh untuk berhenti menjadi kepal dusun hanya karena mempertahankan aspirasi masyarakat dusunnya untuk menolak tambang ditanah leluhur mereka sekaligus
sebagai lahan pertaniannya untuk bertahanhidup. Akhirnya disepakati bahwa setiap tindakan PT. Galena Sumber Energi dalam hal eksplorasi ini harus sepengetahuan kepala dusun mereka dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam pelaksanaannya serta ganti rugi jika ada kerugian masyarakat akibat eksplorasi dilahannya dan setelah pertemuan itu pada Tanggal 24 Januari 2012, PT. Galena dengan Pengawalan Babinsa menuju lokasi warga dengan maksud melanjutkan kegiatan eksplorasi dengan agenda pengambilan sampel.
BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang di lakukan di Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan disesuaikan dengan tujuan penelitian, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kehadiran tambang di Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai telah menimbulkan dampak atau pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat di Desa Bonto Katute. Terbentuknya dua kelompok antara peristen dan resisten terhadap penambangan emas yang merupakan sebuah kelanjutan dari pengklaiman Hutan Adat mereka menjadi Hutan Lindung oleh pemerintah setempat. Berdasarkan teori dan penelitian kondisi objektif dilapangan memang terdapat perlawanan/ penolakan (resistensi) warga terhadap penambangan dan terlibat secara aktif (diskusi, kampanye dan aksi), sebagian pula menolak (resistensi) namun dalam posisi passif dengan diam (menolak berkomentar karena takut) dan selebihnya (aparat Desa dan keluarga dekatnya) yang mendukung (persistensi) perencanaan pertambangan emas di Desa Bonto Katute. 2. Bagi mereka yang mendukung adanya penambangan emas di Desa Bonto Katute ini disebabkan karna rancangan penambangan emas yang masih pada tahap eksplorasi (SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010), dan
mengetahui kanduangan alam yang ada didaerah melalui ekplorasi tidaklah merugikan masyarakat sama sekali, dan oleh karena eksplorasi ini adalah perintah langsung dari pemerintah daerah Kabupaten Sinjai maka haruslah dipatuhi. 3. Setelah pemerintah menetapkan kawasan hutan adat barambang katute menjadi hutan lindung, mereka,para masyarakat Desa Bonto Katute tak lagi di izinkan untuk masuk dalam kawasan hutan lindung tersebut yang kini juga telah menjadi kawasan eksplorasi penambangan, beberapa warga (utamanya yang algojo-algojo kampung) kemudian dipekerjakan sebagai Security (lebih tepatnya tameng) dengan tujuan meredam aksi protes warga, menghentikan upaya-upaya perlawan rakyat, dan dengan sokongan aparatur negara (Polisi dan TNI). 4. Resistensi terhadap kebijakan pemerintah yang mengesplorasi daerah di Desa Bonto Katute ini yang berawal dari pengklaiman wilayah adat barambang katute menjadi hutang lindung oleh pemerintah setempat, menimbulkan implikasi upaya penolakan dari masyarakat adat. Seperti membentuk komonitas Penolakan Tambang, dan melakukan
protes
melalui jalur diplomasi dan aksi demonstrasi, bersama mahasiswa dan beberapa LSM. 5. Meski telah ditetapkan sebagai hutan lindung, dan sebelas temannya telah ditetapkan sebagai tersangka perambah hutan lindung berdasarka surat keputusan Mahkama Agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/201, Masyarakat
yang menolak penambangan masih memasuki hutan secara diam-diam untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. 2. SARAN Setelah melakukan penelitian tentang respoan masyarakat terhadap eksistensi penambangan di Desa Bonto Katute Kabupaten sinjai, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah agar kiranya mengadakan sosialisasi terlebih dahulu dsebelum menetapkan kebijakan, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam konsulidasi. Khususnya pada kasus pertambangan. 2. Kepada masyarakat agar tidak terpancing dengan kondisi dan upaya-upaya provokasi yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab . 3. Kepda steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) agar kiranya harus memperhatikan kondisi ekologis dan sosial dalam suatu daerah sebelum melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di dalam suatu daerah.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku, Jurnal dan Dokument Agus Purbathin. 2004. Persepsi Komunitas Setempat Terhadap Perusahaan Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten Sumbawa. Skripsi. Universitas Dipanegara 2004 Amri Marzali, 2006, Ilmu Antropologi Terapan bagi Indonesia yang sedang Membangun. Jurnal antropologi, UI. Jakarta. BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Sinjai Dalam Angka, 2009. BPS
kabupatenSinjai, 2012.Kab.SinjaidalamAngka.Sinjai: kabupaten Sinjai.
Kantor
Statistik
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Dr. Alisjahbana, MA, Sisi Gelap Perkembangan Kota Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2005. Elbert Bandau 2012 Peranan Masyarakat dalam Suatu Usaha Pertambangan yang diakses pada situs http://elbertbandau.wordpress.com/2012/01/06/ peranan-masyarakat-dalam-suatu-usaha-pertambangan/ Fauzi Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Harold hotelling the journal of political economy, volume 39, issue 2 (april, 1931) 137-175 Haviland A. William. 1984. Antropologi, Edisi Keempat, jilid 1 dan 2. Erlangga. Jakarta. Hidayat, Herman. 2007. Persepsi stakeholder dalam pengelolaan tamannasional kerinci ciseblat diera otonomi daerah, jurnaltengahtahunantropologi UI. Jakarta Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. 1990. Koentjaraningrat. 1991. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Maleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Remaja Rusda Karya. Bandung. Michael Hardt and Antonio Negri War and Democracy in the Age of Empire, Penguin Press, 2004) Munandar,Utami. 2002. Kreatifitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Pujileksono, Sugeng. 2006. Muhammadiyah. Malang.
Petualangan
Antropologi.
Universitas
Purwanto Aji Sumiarto. 2007. Taman nasional, hak-hak Masyarakat setempat dan pembangunan regional, jurnal antropologi UI, jakarta Sadono Sukirno. (1994). Pengantar Teori Makroekonomi: Edisi Kedua. Jakarta : Rajawali Press Scott, James, 1985. Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance; Yale University Press. Siregar , Fachruddin Fahmy, 2009Persepsi Masyarakat Terhadap Pembukaan Pertambangan Emas Di Hutan Batang Toru, skripsi. USU Repository  Soekanto Soerjono 1982, sosiologi suatu pengantarJakarta, raja gafindo persada 2006 Soelistijo, U.W., (2008). “Beberapa Aspek Penerapan Manajemen Moderen Dalam Rangka Menunjang engembangan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Di Indonesia”, Seminar Intern Fakultas Teknik Bandung: Unisba. Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafmdo Persada. 2002 Suawardi. Endaswara 2003 metode penelitian sastra, Jakarta pt buku seru Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung : PT. Refika Aditama. Sulto, Ali, Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C Terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa, skrpsi 2011, Institut pertanian bogor
Suriansyah, Erlan Aan 2009 Dampak Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi Lingkungan dan Pendapatan Masyarakat, institut pertanian bogor Syaefudin yusuf, eksistensi pancasila dalam konteks modern dan global pasca reformasi makalah 2011 stmik amikom yogyakarta Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi LKiS, Yogyakarta Tahara, Tasrifin 2010, Reproduksistereotype dan Resistensi Orang Katobengke dalam Strukturm Masyarakat Buton. Disertasi. uiversitas Indonesia, Depok Tangdilintin, Paulus, 1999. Pembangunan Sosial: Respon Dinamis dan Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta W.J.S. PurwoDarminto.2002, Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka Wahab, Solichin Abdul, dkk., 2002. Masa Depan Otonomi Daerah. Malang: Percetakan SIC. William Hustrulid and Mark Kuchta, “Open Pit Mine Planning & Design”, Vol I , A.A. Balkema/ Rotterdam/Brockfield, 1995.Design”, Vol I, A.A. Balkema/ Rotterdam/Brockfield, 1995 B. Situs Internet http://adat.fwi.or.id/id/database.html?idkom=161 http://anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/authors.htm http://anthropology.ui.ac.id/jurnal.html http://geospasial.bnpb.go.id/2010/03/20/peta-indeks-rawan-bencana-provinsisulawesi-selatan/ http://journal.ui.ac.id/jai http://jurnal-celebes.blogspot.com/ http://makassar.tribunnews.com/2012/09/03/tokoh-masyarakat-sinjai-tolak-adapertambangan-di-bonto-katute http://pembebasan-pusat.blogspot.com/2012/11/tanggapan-terhadap-pernyataanbupati.html http://prasetijo.wordpress.com/2008/01/28/adaptasi-dalam-anthropologi/
http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/03/perubahan-bentuk-produksi-orangrimba-strategi-adaptasi/ http://regional.kompas.com/read/2012/09/26/15393448/Warga.Sinjai.Demo.Tuntu t.Tambang.Besi.Ditutup http://varianwisatabudayasundakecil.blogspot.com/p/varian-tenunikat.html?zx=f075efcd21f3a4f http://www.bimkes.org/masalahkesehatan/001 http://www.mongabay.co.id/2012/04/23/walhi-penambangan-rusak-kawasanhutan/ http://www.sinjaikab.go.id/v1/berita-277-bidang-pertambangan.html http://www.sinjaikab.go.id/v1/berita-368-kabupaten-sinjai-dalam-angka2012.html http://www.unila.ac.id/articles/sains--teknologi/penelitian-strategis-adaptif-untukkebijakan-pembangunan.html\ https://jurnalbumi.wordpress.com/tag/antropologi-ui/