45
BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA 5.1. Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa Pada zaman kerajaan sampai menjadi kabupaten, wilayah Maluku Utara memiliki 4 (Empat) KPS 1, yakni KPS Bacan, KPS Sanana, KPS Jailolo dan KPS Tobelo. Sebagimana diketahui bahwa batas KPS Tobelo dan Jailolo adalah Tanjung Tabobo Loloda. Dengan demikian maka wilayah enam desa adalah merupakan bagian dari KPS Jailolo. Sebelum PP 42 tahun 1999 di keluarkan oleh pemerintah, di era tahun 1970-an, tepatnya pada tahun 1975 di wilayah Kabupaten Maluku Utara di adakan trasmigrasi lokal, yaitu penduduk dari berapa desa di Kecamatan Makian Pulau, yakni (1. Desa Ngofakiaha; 2. Desa Ngofagita; 3. Desa Samsuma; 4. Desa Tahane; 5. Desa Matse; 6. Desa Tiowor; 7. Desa Bobawa; 8. Desa Talapao; 9. Desa Tafasoho; 10. Desa Sabale; 11. Desa Ngofabobawa; 12. Desa Malapa; 13. Desa Mailoa; 14. Desa Peleri; 15. Desa Tagono; 16. Desa Soma) yang dipindahkan ke wilayah Kecamatan Kao, sebagai akibat bahaya meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara. Perpindahan ini dilakukan secara bedol kecamatan atau mengangkat semua sarana dan prasarana baik perangkat pemerintahan maupun masyarakat untuk dipindahkan ke daratan Halmahera yang merupakan bagian dari tanah adat masyarakat Kao secara total. Sejak mendiami wilayah baru di daratan Halmahera masyarakat Makian Pulau telah menjalin hubungan baik dengan warga disekitarnya, termasuk dengan masyarakat Kao, kondisi ini terpelihara dengan baik karena diantara masyarakat sudah ada ikatan kekeluargaan akibat perkawinan yang terjalin antar komunitas. Selain itu masyarakat Makian yang terkenal dengan keuletannya dalam bekerja di sektor pertanian memanfaatkan lahan pertanian yang ada di sekitar, sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun kondisi yang sudah terjalin secara baik ini pada akhirnya harus sirna ditelan zaman akibat kepentingan 1
Kepala Pemerintahan Setempat (KPS)/Pembantu Bupati yang membawahi beberapa Kecamatan pada zaman dulu
46
elite politik lokal untuk kekuasaan dan penguasaan dengan mendorong sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kecamatan Malifut dan selanjutnya akan diperjuangankan menjadi Kabupaten Malifut masa depan. Selanjutnya dalam rangka pembentukan dan penataan beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara, maka Kecamatan Malifut di bentuk dengan jumlah 27 (dua puluh tujuh) desa yang berasal dari desa-desa transmigrasi lokal Kecamatan Makian Pulau, sebagian desa dari Kecamatan Kao serta sebagian desa dari Kecamatan Jailolo. Desa-desa yang merupakan desa dari Kecamatan Makian Pulau adalah, desa Ngofakiaha, Ngofagita, Samsuma, Tahane, Matse, Tiowor, Bobawa, Talapao, Tafasoho, Sabale, Ngofabobawa, Malapa, Mailoa, Peleri, Tagono dan Desa Soma. Sementara desa yang merupakan desadesa Kecamatan Kao adalah Desa Tabobo, Balisosang, Sosol/Malifut, Wangeotak dan desa Gayok. Sementara desa yang merupakan desa dari Kecamatan Jailolo adalah desa Bobane Igo, Tetewang, Pasir Putih, Akelamo Kao, Gamsungi/Ake Sahu dan Desa Dum-Dum. Dengan terbentuknya Kecamatan Malifut, maka secara otomatis penantian panjang selama kurang lebih 25 tahun tidak memiliki status penduduk yang tidak jelas pun ikut berakhir. Namun berakhirnya ketidakjelasan status masyarakat malifut dengan hadirnya PP No. 42 Tahun 1999, justru memunculkan polemik berkepanjangan, yakni penolakan masyarakat enam desa (eks. Kecamatan Jailolo) untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut. Hal yang sama pula ditunjukkan oleh masyarakat lima desa (eks. Kecamatan Kao). Penolakan ini dilakukan dengan alasan proses penggabungan wilayah enam dan lima desa tidak melalui sebuah mekanisme pemekaran dan atau penggabungan wilayah yakni jaring aspirasi masyarakat. Bahkan jauh sebelum itu, penolakan masyarakat untuk bergabung ke Kecamatan Makian Malifut sudah dilakukan dan sampai mengirimkan delegasinya untuk melakukan konsultasi ke Jakarta pada tahun 1998, namun tidak membuahkan hasil yang signifikan, melainkan pemerintah memaksakan mengeluarkan PP No. 42 tahun 1999 dengan memasukkan desa-desa yang dimaksudkan diatas.
47
Alasan lain dilakukannya penolakan adalah terjadi pencaplokan ganda tanah masyarakat Kao. Artinya sebagai masyarakat tempatan masyarakat Malifut harus menjadi bagian dari Kecamatan Kao dan/atau Kecamatan Jailolo, bukan menjadi wilayah otonom baru untuk menancapkan kekuasaannya di tanah yang bukan miliknya dan kemudian memerintah penduduk asli setempat. Alasan ini berkaitan erat dengan rencana menjadikan Kecamatan Malifut sebagai kabupaten di masa mendatang. Berbagai permasalahan inilah yang pada akhirnya menambah potensi skala penolakan sehingga tepatnya di penghujung tahun 1999 terjadi konflik komunal di Provinsi Maluku Utara dengan mengusir secara paksa penduduk Makian Malifut keluar dari daratan Halmahera. Karena langkah untuk meredam konflik terlambat dilakukan oleh aparat keamanan dan negara, maka konflik-pun kemudian berlanjut menjadi konflik dengan tidak lagi membawa isu teritorial melainkan isu etnis dan pada akhirnya agama. Dan tak dapat dielakkan bahwa banjir darahpun kemudian mengaliri daratan Halmahera dan seluruh pelosok desa di Jazirah Almamlakatul Mulkiyah (negeri para raja-raja).
5.2.
Issu Penolakan/Konflik Masyarakat Enam Desa
5.2.1. Pelayanan Publik Dengan melakukan wawancara dan observasi lapang ditemukan berbagai data bahwa sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara, maka kedua pemerintah daerah yakni pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat membangun kesepakatan secara tertulis – namun tidak dalam bentuk PERDA – tentang pengelolaan wilayah enam desa. kesepakatannya adalah sebelum permasalahan tapal batas enam desa antara pemerintah daerah Kabupaten Hamahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara terselesaikan,
maka pengelolaan wilayah enam desa
dikendalikan sebagaimana biasa, artinya pengelolaannya tetap dipercayakan kepada kabupaten induk, yakni Kabupaten Halmahera Barat. Dengan demikian, maka segala bentuk pelayanan pemerintahan dilaksankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat.
48
Kondisi ini dapat dilihat pada akses pembuatan KTP oleh masyarakat di enam desa yang hampir kurang lebih 80 % (hasil wawancara) memiliki KTP domisili Kabupaten Halmahera Barat, walaupun terdapat sebagian masyarakat yang juga memiliki KTP Kabupaten Halmahera Utara, tetapi hal itu lebih karena untuk akses pelayanan kesehatan di Kabupaten Halmahera Utara dan juga bantuan-bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara melalui dana community development dari PT. NHM berupa, seng rumah, semen dan beras. Sikap dari pemerintah Kabupaten Halmahera Utara inilah yang kemudian dinyatakan membuat polarisasi pilihan masyarakat enam desa yang semula secara total berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat atau Jailolo. Sebagai manifestasi pelayanan pemerintahan di enam desa, maka pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat membangun sebuah kantor camat di Jailolo Timur dengan ibukotanya di desa Akelamo Kao, dan membangun SD, SMP dan SMA di Bobane Igo. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara yang membangun Kantor Camat Kao Teluk di Dum-Dum yang juga adalah ibukota kecamatannya. Selain itu berbagai pelayanan pemerintahan dilakukan juga oleh kedua kabupaten, diantaranya pelayanan kesehatan, pendidikan dan sarana fasilitas publik lainnya. 5.2.2. Fasilitas Kesehatan Sarana kesehatan merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk. Karena disadari begitu pentingnya aspek kesehatan, maka pemerintah pada berbagai level selalu memberi perhatian khusus pada dimensi ini. Tak terkecuali kedua pemerintah daerah, yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat di enam desa. Pelayanan dalam bidang kesehatan ini dilakukan sebagai bagian dari perwujudan keberpihakan kedua pemerintah daerah Kabupaten atas masyarakat di wilayah enam desa sengketa. Pelayanan kesehatan yang dilakukan kepada masyarakat
dengan
membangun berbagai sarana infrastruktur di wilayah enam desa. Realitas ini mencerminkan adanya ketimpangan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat.
49
Hal ini dikarenakan, Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat juga turut memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat enam desa melalui pembangunan fasilitas kesehatan. Padahal faktanya wilayah ini adalah bagian dari wilayah administratif pemerintah
Kabupaten
Halmahera
Utara,
sehingga
alokasi
dana-dana
perimbangan dari pusat sudah tentu terdistribusi kepada pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Data-data dibawah memberikan penjelasan atas ketimpangan pelayanan tersebut, sebagai berikut : Tabel.5.1. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Utara, 2007 No
Kecamatan
Rumah
Poliklinik
Puskesmas
Sakit
Puskesmas
Posyandu
Pembantu
1
Tobelo
1
2
1
1
24
2
Tobelo Tengah
-
-
-
-
12
3
Tobelo Utara
-
-
-
2
10
4
Tobelo Selatan
-
-
1
3
10
5
Tobelo Timur
-
-
-
2
9
6
Tobelo Barat
-
1
-
3
9
7
Galela
-
-
1
1
7
8
Galela Utara
-
-
1
3
12
9
Galela Selatan
-
-
-
1
7
10
Galela Barat
-
-
-
1
9
11
Kao
-
-
1
2
16
12
Kao Utara
-
-
-
2
6
13
Kao Barat
-
-
-
2
20
14
Kao Teluk
-
-
-
2
6
15
Malifut
-
-
1
2
22
16
Loloda Utara
-
-
-
6
15
17
Loloda Kepulauan
-
-
1
2
10
18
Morotai Selatan
1
-
1
3
15
19
Morotai timur
-
-
-
3
7
20
Morotai selatan Barat
-
-
1
5
19
21
Morotai Utara
-
-
1
2
12
22
Morotai Jaya
-
-
3
11
2
3
51
268
Jumlah
10
Sumber : Dinas Kesehatan Halmahera Utara, 2007 Penyediaan dan penyebaran fasilitas kesehatan di wilayah Kabupaten Halmahera Utara diperlukan guna menunjang pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan wilayah Kabupaten Halmahera Utara cukup luas, sehingga akses
50
pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah enam desa sengketa sangat jauh. Fasilitas-fasilitas tersebar dengan jumlah sarana kesehatan yang terdapat di Kabupaten Halmahera Utara adalah 10 unit puskesmas, 51 unit puskesmas pembantu, 268 unit Posyandu,3 unit poliklinik/balai pengobatan dan 2 unit rumah sakit. Fasilitas Rumah sakit terdapat 2 buah, 1 di Kecamatan Tobelo dan 1 di Kecamatan Morotai Selatan. Tabel. 5.2. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat 2008 No
Kecamatan
Puskesmas
Pustu
BKIA
Posyandu
1
Jailolo
1
3
-
32
2
Jailolo Selatan
1
3
-
22
3
Jailolo Timur
1
1
-
12
4
Sahu
1
1
-
19
5
Sahu Timur
1
2
-
12
6
Ibu Utara
-
-
-
43
7
Ibu
1
5
-
-
8
Ibu Selatan
1
1
-
-
9
Loloda
1
4
-
31
Jumlah
8
20
-
171
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat,2008
Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa presentase keberpihakan pelayanan kesehatan di enam desa lebih tinggi dilaksankan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan banyaknya fasilitas 14 yang terbagi dari 1 puskesmas, 1 pustu dan 12 posyandu, sementara Kabupaten Halmahera Utara dengan jumlah 8 unit yang terbagi 2 puskesmas pembantu dan 6 posyandu. 5.2.3. Fasilitas Pendidikan Pendidikan merupakan sektor yang memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan. Pendidikan yang bermutu merupakan jaminan atas terbentuknya kualitas generasi mendatang yang handal dan berkualitas, sehingga mampu melaksanakan program pembangunan yang memiliki konsep dan target untuk mensejahterakan masyarakat seutuhnya. Upaya untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, maka pemerintah dituntut untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang signifikan sehingga mampu membiayai pembangunan
51
fasilitas pendidikan dan juga para tenaga pengajarnya, serta memberikan penguatan kapasitas para staf pengajar. Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan keberpihakan kedua pemerintah kabupaten dalam dunia pendidikan di wilayah enam desa sengketa.
Tabel. 5.3. Jumlah Guru Kabupaten Halmahera Barat Untuk Enam Desa No
Kecamatan
SD
MI
SLTP
MTs
1
Jailolo
419
9
152
24
2
Jailolo Selatan
521
17
51
34
3
Jailolo Timur
14
12
-
-
4
Sahu
98
-
91
-
5
Sahu Timur
116
-
-
-
6
Ibu Utara
81
-
-
-
7
Ibu
87
-
88
-
8
Ibu Selatan
77
-
-
-
9
Loloda
124
-
38
-
Jumlah
1.537
38
458
58
Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008
Tabel. 5.4. Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Halmahera Barat No
Kecamatan
TK
SD
SLTP
SLTA
1
Jailolo
15
9
11
4
2
Jailolo Selatan
1
25
10
2
3
Jailolo Timur
-
9
-
1
4
Sahu
7
14
8
6
5
Sahu Timur
6
13
-
-
6
Ibu Utara
-
12
-
-
7
Ibu
5
14
8
2
8
Ibu Selatan
3
10
-
-
9
Loloda
2
25
4
1
Jumlah
39
154
41
16
Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008
52
Tabel. 5.5. Fasilitas Pendidikan Kab. Halmahera Utara Untuk Enam Desa Jenis Fasilitas Pendidikan No
Kecamatan
SD/MI N
SMP/MTs
S
N
S
SMA/K/MA
Poltek/PT
N
N
S
S
1
Tobelo
9
11
1
6
3
6
-
2
2
Tobelo Tengah
3
3
1
-
-
-
-
-
3
Tobelo Utara
5
3
2
1
-
1
-
-
4
Tobelo Selatan
5
8
2
-
1
-
-
5
Tobelo Timur
4
3
-
-
-
-
-
-
6
Tobelo Barat
6
-
1
1
-
-
-
-
7
Galela
5
4
1
2
1
1
-
-
8
Galela Selatan
5
4
1
2
1
-
-
9
Galela Barat
4
6
2
1
-
2
-
-
10
Galela Utara
11
1
2
1
-
-
-
-
11
Kao
9
3
1
-
1
-
-
-
12
Kao Utara
6
5
1
2
-
1
-
-
13
Kao Barat
12
3
2
1
-
-
-
-
14
Kao Teluk
7
-
1
-
-
-
-
-
15
Malifut
17
1
1
1
2
1
-
-
16
Morotai Selatan
15
5
3
1
1
3
-
-
17
Morotai Timur
6
3
-
3
-
2
-
-
18
Morotai Selatan Brt
15
8
2
2
-
1
-
-
19
Morotai Utara
8
3
1
1
1
1
-
-
20
Morotai Jaya
6
4
1
-
-
-
-
-
21
Loloda Utara
10
8
1
3
-
1
-
-
22
Loloda Kepulauan
9
2
1
2
-
1
-
-
177
88
Jumlah
28
30
11
21
-
2
Sumber :Dinas Pendidikan Kab. Halmahera Utara, 2007 Ket : N = Negeri; S = Swasta
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa keberpihakan atas dunia pendidikan di enam desa lebih signifikan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Hal ini dapat dilihat dengan sebaran fasilitas pendidikan yang ada di lokasi penelitian sebagaimana secara jelas termaktub dalam data diatas.
53
5.3.
Pandangan Masyarakat Enam Desa Dengan Penggabungan Wilayah Menjadi Bagian Kecamatan Malifut. Dari data lapang yang ditemukan melalui wawancara, dari 108 responden
masyarakat enam desa yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian, terlihat semua responden berpandangan bahwa pemekaran dan/atau penggabungan wilayah penting dilakukan karena untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, namun
harus
melalui
tahapan-tahapan
terutama
mendengarkan
aspirasi
masyarakat. Terlebih untuk penggabungan dan/atau pemekaran wilayah dalam lingkup enam desa. Karena dalam rangka mengantisipasi gejolak sosial yang ditimbulkan akibat pemekaran dan/atau penggabungan yang mengabaikan aspirasi masyarakat setempat. Selanjutnya dari data yang diambil melalui wawancara mendalam dengan para responden terutama dengan para tokoh perjuangan pembebasan enam desa di simpulkan bahwa dari jumlah enam desa yang berada di Kecamatan Kao Teluk dan Kecamatan Jailolo Timur, dapat diklasifikasikan bahwa 4 desa memiliki kecenderungan lebih besar bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat dan 2 desa bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Tabel dibawah ini dapat menjelaskan kondisi dimaksud. Tabel. 5.6. Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kedua Kabupaten Desa Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao/Raya Ake Sahu/Gamsungi Dum-Dum Jumlah Total Sumber : Hasi FGD, 2009
Perkiraan Jumlah KK Yang Pro Halbar Yang Pro Halut 30 63 409 33 73 25 162 38 50 20 41 69 765 248
Jumlah KK 93 442 98 200 70 110 1.013
Asumsi : setiap saat bisa berubah pilihan masyarakat enam desa ke kedua kabupaten dan cenderung memiliki data yang berbeda-beda antara yang pro dan kontra.
54
Dari data diatas, dibawah ini digambarkan grafik keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing kabupaten.
Yang Pro Halbar
Yang Pro Halut
450 400
jumlah KK
350 300 250 200 150 100 50 0
Nama-Nama Desa di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Gambar. 5.1. Enam Desa di Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara yang Mengalami Dualisme Orientasi dan Membentuk Kecamatan Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara dan Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat yang Realitas Menunujukkan Secara Fisik Masih Tetap Berada di Wilayah Kecamatan Malifut.
Dari data diatas menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam pengelolaan administratif wilayah, tata kehidupan demokrasi dan politik serta pelayanan publik antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini dikarenakan wilayah enam desa secara administratif adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara, namun keberpihakan masyarakat enam desa lebih banyak ke Kabupaten Halmahera Barat. Pada sisi yang lain pelayanan pemerintahan juga dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Penolakan masyarakat enam desa sesungguhnya pada penggabungan wilayah enam desa menjadi bagian Kecamatan Malifut dengan alasan bahwa penggabungan enam desa hanyalah kepentingan elite politik lokal dan penguasaan sumberdaya alam serta alasan ikutan lainnya seperti kedekatan emosional dan harga diri serta masa depan generasi. Isu yang juga menjadi alasan kuat bagi
55
masyarakat enam desa dan terutama lima desa eks wilayah Kecamatan Kao yang menolak bergabung ke Kecamatan Malifut tetapi menerima bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara adalah isu atas identitas wilayah yang dianggap oleh mereka sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh pemerintah. Data diatas apabila di persentasikan maka keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing Kabupaten sebagai berikut :
Gambar.5.2. Persentase Keberpihakan Masyarakat Masing-Masing Desa di Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Adapun sebaran masyarakat yang memilih untuk bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat maupun yang berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara sebagaimana data diatas dilandasi oleh berbagai alasan, namun alasan-alasan penolakan tersebut lebih dialamatkan pada keengganan masyarakat untuk tidak menjadi bagian dari Kecamatan Malifut. Alasan-alasan dimaksud diantaranya sebagai berikut : •
Emosional, yakni karena dibesarkan oleh Jailolo, maka ingin tetap bergabung di Kecamatan Jailolo
•
Alasan Historis, yakni karena merupakan bagian dari Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Jailolo.
56
•
Pencaplokan ganda, yakni sebagai penduduk asli mereka telah kehilangan identitas wilayah juga kehilangan identitas harga diri.
•
Skenario
pembentukan
Kabupaten
Malifut,
yakni
adanya
upaya
pemerintah dengan memindahkan Kecamatan Makian Pulau ke daratan halmahera adalah merupakan langkah awal untuk selanjutnya mendirikan sebuah abupaten baru dengan nama malifut •
Sosio-Kultural, yakni masih kuatnya sentimen etnis dan masa depan generasi ( adanya kekhawatiran adanya hegemoni atas suku asli)
•
Tuntutan PP No. 42 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003
Selain data diatas terdapat data sekunder yang diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat tentang keberpihakan masyarakat enam desa yang berkeinginan menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, tetapi berada dalam wilayah Kecamatan Kao Teluk. Data dimaksud, sebagai berikut : Tabel. 5.7. Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Utara Desa
Jumlah KK
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah Jiwa
Pasir Putih
56
123
117
240
Bobane Igo
100
198
199
397
Tetewang
139
250
237
487
Akelamo Kao
110
186
178
364
Ake Sahu/Gamsungi
75
157
133
290
Dum – Dum
75
140
131
271
Jumlah
555
1054
995
2049
Sumber : Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2008
Data diatas menunjukkan terjadinya peningkatan keberpihakan masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbeda dengan data yang didapatkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Realitas tersebut menunjukkan terjadinya ketimpangan yang sangat signifikan, terutama dalam proses pendataan penduduk.
57
5.4.
Derajat konflik dan resistensi penolakan masyarakat enam desa Penelitian yang berkaitan dengan konflik, sangat menjadi penting untuk
mengkaji berbagai aspek yang dipandang menjadi variabel penentu dalam mendorong terjadinya konflik, sehingga dapat merumuskan berbagai langkah konkrit dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan pertarungan wilayah di kawasan studi. Salah satu diantaranya yang harus dikaji adalah derajat konflik itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, sehingga dapat mengetahui secara jelas variabelvariabel dari derajat konflik seperti demonstrasi, provokasi, huru-hara dan perang sudah berlangsung sejauhmana. Pada konteks, konflik perebutan wilayah enam desa yang disengketakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, derajat konfliknya meliputi aksi-aksi yang mengarah pada kekerasan, sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ekonomi, serta aspek-aspek lainnya. Sebagaimana kasus pemblokiran jalan di wilayah dum-dum yang mengakibatkan terjadinya kemandekan aktivitas masyarakat yang menuju dan keluar dari kota Tobelo ibukota Kabupaten Halmahera Utara, serta aksi pemogokan para sopir angkutan umumTobelo dengan terminal pertama di wilayah Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat berpindah ke Terminal Kota Sofifi Ibukota Provinsi Maluku Utara. Pemogokan ini diawali dengan sikap perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh sebagian sopir di sidangoli kepada para sopir angkutan umum dari tobelo – cerita seorang informan-. Dimana perlakuan ini juga terkait dengan konflik perebutan wilayah enam desa antara kedua kabupaten. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes sipil masyarakat kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang dianggap tetap berjuang mempertahankan wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayahnya. Selain itu disinyalir bahwa bentuk-bentuk perlakuan tidak adil juga datang dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Dampak dari konflik perebutan wilayah atas enam desa, sesungguhnya sangat signifikan – walaupun hanya berlangsung sesuai dengan momentum -. Dengan demikian, agar konflik perebutan wilayah dan penolakan warga diwilayah enam desa sengketa dapat berakhir, maka dibutuhkan solusi strategis guna
58
menjembatani proses penyelesaian konflik ini. Karena di khawatirkan, apabila konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak segera diselesaikan, maka akan berimplikasi secara signifikan pada aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi, politik, keamanan serta aspek sosial. Terutama pada aspek pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya pemerintah Provinsi Maluku Utara memfasilitasi kedua pemerintah kabupaten untuk membicarakan solusi penyelesaian konflik perebuatan wilayah ini, namun belum menghasilkan keputusan yang dapat menghentikan aksi-aksi penolakan masyarakat enam desa. Tabel. 5.8. Derajat Konflik/Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa,2009 Tahun 1999
Demonstrasi Protes masyarakat enam & lima desa atas penggabungan ke Kec. Malifut
1999-2000
2000-2002 2003-2005
Provokasi
Huru-Hara
Antar masyarakat Asli sendiri saling memprovokasi untuk menolak bergabung ke kec. Malifut
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (masih secara total)
2006-2007
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut mengalami polarisasi pilihan)
Antar sesama masy. Saling provokasi utk menggunakan pilihan politik pada pemilu Gubernur tahun 2007
2008-2009
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (sudah mengalami polarisasi pilihan)
Antar sesama masy. Saling provokasi menggunakan pilihan politik pada pemilu legislatif dan melalui dana Comdev oleh Pemda Halut
Sumber : Data Primer, 2009
Perang
Suku Kao Melawan Suku Makian dan Ummat Islam Melawan ummat Kristen Pemblokiran jalan utama menuju Tobelo (Halut) dilakukan masyarakat, sehingga terjadi ketegangan antar warga yg berdemo dengan masy, yang ke Tobelo dan keluar dari Tobelo Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan yang menetukan pilihan utk ke Halut Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan untuk ke Halut. Jarak antar TPS hanya 300 meter
59
5.4.1.
Demonstrasi Demonstrasi masyarakat enam desa dengan tuntutan menolak bergabung
dengan Kecamatan Malifut telah berlangsung lama, yakni dimulai sejak adanya upaya paksa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memasukkan enam desa ke Kecamatan Malifut melalui PP No 42 Tahun 1999, gerakan ini berlangsung mulai dari tahun 1998 dan tidak hanya dilakukan dalam wilayah enam desa, melainkan aksi demonstrasi juga dilakukan di depan kantor Bupati Maluku Utara dan selanjutnya sampai ke pemerintah pusat. Namun upaya keras ini tidak membuahkan hasil yang signifikan. Walaupun demikian upaya-upaya kritis terus dilakukan oleh masyarkat enam desa untuk tetap menolak bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat – setelah adanya polarisasi pilihan masyarakat -, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 2003 tentang pemekaran kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara.
5.4.2.
Provokasi Permasalahan enam desa tak lepas dari upaya-upaya provokatif yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu tokoh kunci perjuangan enam desa (baca: bendahara tim perjuangan enam desa) mengatakan bahwa bentuk-bentuk provokasi yang dilakukan adalah dengan caracara memberikan bantuan ke masyarakat enam desa sebagai bentuk menarik perhatian masyarakat untuk bergabung dengan kabupaten tertentu. Kondisi ini cenderung dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan memanfaatkan dana commdev dari NHM, selanjutnya di level masyarakat terdapat tokoh-tokoh tertentu yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat, baik dengan cara-cara yang sedikit memaksa sampai pada cara-cara persuasif. 5.4.3. Huru-Hara Derajat konflik dan/atau resistensi penolakan ini juga terjadi pada wilayah enam desa. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pemisahan perkampungan yang
60
semula satu perkampungan atau desa kemudian harus berpisah karena perbedaan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Misalnya pada desa Akelamo Kao, telah terjadi dua perkampungan yakni masyarakat Akelamo Kao yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan desa Togosi perkampungan masyarakat yang memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Hal yang sama juga terjadi pada desa Dum-dum. Dimana sebagian masyarakat yang memilih bergabung ke Kabuapetn Halmahera Barat dan masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara pemetaan domisilinya sangat jelas. Juga yang terjadi di desa Tetewang adanya pemisahan perkampungan yang walaupun tidak berjauhan, tetapi lebih untuk memberikan kejelasan bahwa wilayah ini adalah masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halamhera Barat dan pada wilayah lainnya masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai bentuk pemisahan ini terjadi bermula dari terjadinya huru-hara, baik yang menyangkut dengan pilihan untuk bergabung maupun saat terjadi pembagian bantuan. Sehingga cara ini ditempuh guna memberikan kejelasan keberpihakan masyarakat.
5.4.4. Perang/Pemberontakan Derajat konflik dan/atau penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa terkait dengan keengganan bergabung dengan Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke kedua kabupaten ini juga berbuntut pada konflik. Halmana kondisi ini dapat dilihat pada konflik komunal yang terjadi di Provinsi Maluku Utara tahun 1999, dimana konflik terjadi akibat dari keengganan digabungkannya masyarakat lima desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Kao dan enam desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Jailolo ke Kecamatan Malifut. Bahkan dalam hasil wawancara ditemukan bahwa konflik di Provinsi Maluku Utara yang berawal dari wilayah ini telah diskenariokan. Hal ini karena dalam pertemuan para tokoh – tidak diketahui dari mana saja asal para tokoh-tokoh dimaksud - di enam desa melahirkan perjanjian bahwa dari enam desa hanya empat desa yang harus dikorbankan 2 desa diantaranya akan dilindungi yakni desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dan hal ini terbukti
61
ketika konflik menerjang wilayah Maluku Utara kawasan utara dan barat halmahera, hampir semua perkampungan muslim diratakan dengan tanah kecuali kedua desa tersebut diatas. Skenario
ini
dilakukan
dalam
kerangka
mengukuhkan
kenginan
masyarakat untuk tetap tidak mau bergabung dengan Kecamatan Malifut karena dianggap sebagai kecamatan yang lahir dengan membawa sebuah persoalan besar yakni konflik komunnal di Maluku Utara. Oleh karena itu, maka persoalan enam desa proses penyelesaiannya tidak mesti dengan cara – cara pemaksaan karena akan menimbulkan konflik babak baru di Maluku Utara. Dapat dikatakan bahwa dengan memaksakan enam desa yang dari sisi prosentase 4 (empat) desa lebih besar masyarakatnya memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara yang secara otomatis memaksa mereka untuk mengakui untuk menjadi bagian dari desa-desa Kecamatan Malifut, maka akan sangat berpotensi untuk terjadinya gesekan dan gejolak sosial yang dapat mengantarkan pada konflik komunnal. Selain itu jika dipaksakan untuk menggabungkan dengan Kabupaten Halmahera Barat, maka hal ini akan bersentuhan dengan wibawa pemerintah yang telah memproduk 2 (dua) keputusan yakni PP No. 42 dan UU No. 1. Sehingga akan sangat sulit untuk merumuskan langkah solutifnya ditengah arogansi masingmasing pemerintah di berbagai level pemerintahan daerah dewasa ini. Dalam pada itu dibutuhkan sebuah kajian mendalam guna merumuskan sebuah kebijakan yang strategis dan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama kepentingan masyarakat di enam desa. Karena fakta lapangan menunjukkan bahwa sangat sulit memaksakan wilayah enam desa untuk bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara, karena wilayah lima desa yang notabene adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara sendiri-pun pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak mampu mempengaruhi masyarakatnya untuk bersedia bergabung dengan Kecamatan Malifut. 5.5.
Skala Konflik Resistensi penolakan masyarakat enam desa dan konflik perebutan wilayah
enam desa sudah mencapai skala konflik yang tidak sekedar konflik antar desa
62
saja, tetapi sudah pada level konflik desa dan kabupaten bahkan yang lebih tragis adalah konflik antar kabupaten. Hal mana konflik masyarakat dengan masyarakat dapat terlihat dengan hadirnya perkampungan baru dan juga adanya dua pemerintahan desa di masing-masing desa dalam wilayah enam desa. Pada level konflik desa (masyarakat) dan kabupaten adalah dapat dilihat pada polarisasi keberpihakan masyarakat untuk bergabung dengan kedua kabupaten. Selanjutnya konflik dalam skala kabupaten dengan kabupaten – dalam hal ini konflik di level pemerintahan – dapat dilihat pada ketiadaan keinginan kuat menyelesaikan permasalahan enam desa dengan landasan an-sich memikirkan kepentingan rakyat. Melainkan hal yang terjadi adalah arogansi masing-masing pemerintahan untuk tetap mempertahankan wilayah enam desa masuk menjadi bagian dari wilayahnya. Dalam mana dapat terlihat pada upaya pemerintah provinsi dalam memfasilitasi permasalahan ini, dihadiri oleh salah satu pemerintah kabupaten, maka pemrintah kabupaten lainnya tidak hadir. Dapat dikatakan (melalui hasil wawancara) bahwa konflik di level kabupaten dengan kabupaten adalah pertentangan (perebutan) sumberdaya alam pertambangan yang dikelolah oleh PT. NHM, dengan sebagian wilayah konsesinya adalah wilayah enam desa yang merupakan bagian dari teluk kao Kabupaten Halmahera Utara. Tetapi konflik ini tidak terjadi untuk konflik di level masyarakat. Sebab, konflik yang terjadi di level masyarakat merupakan konflik dengan alasan identitas wilayah yang dicaplok oleh masyarakat eks eksodus dan alasan historis maupun kedekatan emosional serta berbagai alasan lainnya seperti eks KPS Jailolo.
5.6.
Aktor Konflik Setiap konflik atau gejolak sosial yang muncul seringkali ditimbulkan oleh
tidak terakomodasinya kepentingan berbagai pihak yang berkonflik atau yang lebih dikenal dengan aktor konflik. Dalam konteks konflik wilayah enam desa aktor konflik yang dikaji dalam penelitian ini adalah masyarakat dan negara. Dengan sedikit melibatkan aktor konflik swasta secara tidak langsung (baca: perusahaan NHM). Jadi konflik wilayah antara Pemerintah Kabupaten Halmahera
63
Barat dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sebenarnya adalah konflik multi-level. Artinya, sebab-musabab konflik di level pemerintah daerah dan di level masyarakat, berbeda dan seringkali tidak saling berhubungan satu sama lain.
5.6.1. Negara Secara teoritik konflik memiliki aktor konflik dan dalam berbagai konflik kecederungan negara dalam menjadi aktor konflik sangat signifikan. Dalam konteks perebuatan wilayah enam desa, aktor konflik di level negara adalah pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melawan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kedua pemerintah kabupaten, baik melalui pertemuan yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara, maupun pertemuan yang diinisiasi oleh kedua kabupaten sendiri untuk proses penyelesaian permasalahan ini, namun hingga kini tak kunjung selesai. Kondisi ini kemudian memunculkan berbagai pernyataan di level masyarakat bahwa baik pemerintah provinsi maupun kedua kabupaten tidak memiliki keinginan kuat untuk segera menyelesaikan permasalahan ini, bahkan cenderung menjadikan wilayah ini (baca: enam desa) sebagai wilayah yang ditinggalkan sebagai “Bom Waktu” yang dalam waktu tertentu dapat meledak dan memunculkan gejolak sosial. Hingga kini belum ada satu penelitian pun yang dapat secara jelas menemukan motif inti dari permasalahan konflik kepentingan kedua kabupaten ini, tapi kecenderungan besarnya adalah eksistensi PT. NHM dengan wilayah konsensinya yang terletak di sebagian wilayah enam desa, sehingga membuat kedua pemerintah kabupaten bersikeras untuk mengambil alih pengelolaan pemerintahan wilayah tersebut. Dengan kondisi seperti diatas, maka sepatutnya segera dirumuskan sebuah langkah solusi guna mengantisipasi berbagai gejolak sosial yang ditimbulkan akibat berlarutnya penyelasaian masalah enam desa. Perumusan strategi penyelesaian konflik perebutan wilayah enam desa ini sangatlah penting, mengingat konflik di Maluku Utara yang kemudian mengakibatkan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, baik dikalangan kaum muslim maupun nasrani berawal dari konflik wilayah yang juga melibatkan enam desa didalamnya.
64
5.6.2. Masyarakat Masyarakat enam desa dalam kasus konflik perebuatan wilayah enam desa oleh kedua kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara adalah aktor konflik yang hanya bermain pada level tuntutan pengembalian harga diri sebagai penduduk setempat dan juga pada aspek kedekatan emosional dan historis. Karena itu dapat dilihat pada materi tuntutan masyarkat enam desa yang hanya memiliki tuntutan untuk tidak bergabung dengan Kecamatan Malifut sebagaimana yang dipaksakan melalui PP No. 42 tahun 1999. Masyarakat enam desa tidak pernah menyentuh wilayah sumberdaya alam yang di kelolah oleh PT. NHM, karena dari sisi mata pencaharian masyarakat hanya sebagian masyarakat Akelamo Kao yang menjadi buruh tambang di PT. NHM, itu pun hanya menjadi buruh liar. Upaya masyarakat atas tuntutan mereka tidak bergabung ini nampak jelas dengan tuntutan mereka pada tahun 1998 di pemerintah Kabupaten Maluku Utara dan pemerintah pusat, tahun 2004 dengan pemerintah pusat dan tahun 2007 juga dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2007 juga tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bertemu dengan tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Utara di Jakarta. Namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang maksimal, karena oleh pemerintah pusat isyu konflik tersebut dikembalikan ke daerah dengan alasan bahwa hal ini adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh pemerintah daerah yakni pemrintah Provinsi Maluku Utara. Namun hal dan perlakuan yang sama juga ditemukan oleh masyarkat enam desa ketika bertemu dengan pemerintah provinsi, dimana argumentasinya adalah nanti disampaikan ke pemerintah
pusat.
Alasan-alasan
inilah
yang
pada
akhirnya
membuat
permasalahan konflik wilayah enam desa oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara hingga detik ini belum terselesaikan dengan baik.
5.7.
Keadaan Pasca konflik Konflik yang melanda Maluku Utara di penghujung tahun 1999, perlahan
mulai mengalami situasi yang kondusif. Halmana dinamika konflik yang terjadi
65
dalam perebutan wilayah enam desa juga mengalami hal yang sama. Namun kondisi ini belum sepenuhnya dapat dikatakan normal, manakala perebutan wilayah ini tidak dengan segera terselesaikan secara bijaksana. Walaupun demikian, kesadaran masyarakat mulai tumbuh, bahwa konflik yang terjadi beberapa waktu lalu adalah bagian dari design elite lokal yang tak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan perang antar agama. Keraguan akan issu perang antar agama dan justifikasi bahwa konflik ini di design adalah dapat dilihat, pada kondisi 2 (dua) desa muslim yang berada di wilayah enam desa yang abai dari amukan massa. Desa yang dimaksud adalah desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dari hasil observasi lapang, ditemukan bahwa jauh sebelum konflik ini terjadi telah terjadi pertemuan beberapa elite lokal di wilayah enam desa untuk menskenariokan konflik di wilayah utara Halmahera. Pertemuan itu menemukan kesepakatan bahwa 2 (dua) desa muslim diatas akan dilindungi. Hal mana, kondisi ini diciptakan untuk membangun gugatan kolektif masyarkat bahwa dampak dari hadirnya Kecamatan Malifut melahirkan konflik di Maluku Utara, sehingga masyarakat tidak respek dan memprotes eksistensi Kecamatan Malifut. Skenario ini didasari kecurigaan adanya kecenderungan untuk membentuk Kabupaten Malifut di masa depan, sehingga oleh penduduk setempat dianggap sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh masyarakat pendatang/tempatan. Pada konteks itu, maka menjadi penting untuk dirumuskan strategi penyelesaian konflik wilayah enam desa secara segera. Karena walaupun protes dan gejolak sosial belum mencuat secara jelas – letupannya masih dalam skala yang relatif kecil-, namun dapat dikatakan bahwa bukan tidak mungkin konflik sebagaiman terjadi pada penghujung tahun 1999 tidak akan terjadi kembali. Realitas itu dapat dilihat pada tingginya polarisasi masyarakat dalam menentukan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Data lapang menunjukkan bahwa dari 6 (enam) desa yang diperebutkan oleh dua kabupaten terdapat 2 (dua) desa yang sebagian masyarakatnya memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara dan 4 (empat) desa sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Bahkan dari hasil investigasi Badan Intelejen
66
Negara (BIN) menunjukkan bahwa 85% masyarakat memilihi ke Kabupaten Halmahera Barat dan 15 % masyarakat memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara.