PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ZIARAH MAKAM DATOK RI TIRO DI KECAMATAN BONTO TIRO KABUPATEN BULUKUMBA 3(23/(3(5&(37,2162)3,/*5,0$*(727+(720%2)'$72.5,7,52 ,1%21727,52',675,&7%8/8.80%$5(*(1&< Rahayu Salam Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimilie (0411) 865166. Pos-el:
[email protected] Handphone: 081355645935 Diterima: 18 Agustus 2015; Direvisi: 16 Oktober 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVUHVHDUFKZDVFRQGXFWHGLQ+LODKLOD(ND7LUR9LOODJH%RQWR7LUR'LVWULFW%XOXNXPED5HJHQF\7KLVVWXG\ DLPHGWRH[SODLQWKHSHROSHSHUFHSWLRQVRISLOJULPDJHWRWKHWRPERI'DWRNUL7LUR7KLVUHVHDUFKXVHGTXDOLWDWLYH PHWKRGV ZLWK SDUWLFLSDQW REVHUYDWLRQ DQG LQWHUYLHZ WHFKQLTXHV 7KH UHVHDUFK UHVXOW VKRZHG WKH GLIIHUHQFH SHUFHSWLRQEHWZHHQWKHSLOJULPVDQGWKHORFDOSHRSOHDVVRFLDWHGZLWKWKHWRPESLOJULPDJHSURFHVVLRQ7KH JUHDWHVWGLIIHUHQFHFRXOGEHVHHQIURPWKHWRPESLOJULPDJHSURFHVVLRQE\LVODPLFDQGQRQLVODPLFZD\RUWKH PL[LQJRIERWKEXWGLGQRWVSXUDFRQÀLFW7KHFRQÀLFWFDQEHDYRLGHGZLWKWKHORFDOSHROSHE\XQGHUVWDQGLQJWKH FRQFHSWRIWKH'DWRNUL7LURWKDWVLOHQWLVJROG,WPHQDVWKDWLIWKHUHLVDGLIIHUHQWWKLQJDQGGLI¿FXOWWRFKDQJH VLOHQWLVWKHEHVW8QGHUVWDQGLQJWRWKHFRQFHSWPDGHWKHSLOJULPDJHWUDGLWLRQZKLFKZDVPRVWO\GRQHE\SHRSOH ZKRFDPHIURPRXWVLGHUXQQLQJVDIHO\ZLWKRXWSURKLELWLRQRUUHVWULFWLRQIURPWKHORFDOSHRSOH Keywords: perception, pilgrimage, tomb. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Dusun Hila-Hila, Desa Eka Tiro, Kecamatan Bonto Tiro, Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persepsi masyarakat terhadap tradisi ziarah makam Datok ri Tiro. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik observasi partisipasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara peziarah dengan masyarakat setempat terkait dengan prosesi ]LDUDKPDNDP3HUEHGDDQ\DQJVLJQL¿NDQGDSDWGLOLKDWGDULSURVHVL]LDUDKPDNDPPHQXUXW,VODPGDQQRQ,VODP DWDX SHQFDPSXUDQ GDUL NHGXDQ\D QDPXQ KDO WHUVHEXWWLGDN PHPLFX VXDWX NRQÀLN .RQÀLN GDSDW GLKLQGDUL dengan adanya pemahaman masyarakat setempat terkait dengan ajaran Datok ri Tiro bahwa diam itu adalah emas. Artinya, jika ada hal yang berbeda dan sulit diubah, maka diam adalah hal yang lebih baik. Pemahaman tersebut membuat tradisi ziarah makam, yang sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari luar, tetap berjalan aman tanpa larangan atau pembatasan dari masyarakat setempat. Kata kunci: persepsi, ziarah makam, makam.
PENDAHULUAN Kebudayaan meliputi semua hal yang didapatkan dan dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat melalui proses belajar dari pola-pola perilaku normatif, mencakup VHJDOD FDUD DWDX SROD EHU¿NLU PHUDVDNDQ GDQ bertindak. Dalam kebudayaan terkandung beragam unsur-unsur yang terdapat dalam
masyarakatnya salah satunya mengenai sistem keperayaan pada suatu masyarakat. Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dianggap lebih tinggi dari pada kekuatan manusia. Sebelum agama Islam dianut dan disebarkan di Indonesia, beberapa sistem kepercayaan dianut oleh masyarakat yang selalu menyertakan simbol simbol tertentu dalam ritual kepercayaannya. Kepercayaan 463
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 terhadap ajaran Islam di Indonesia memberikan pengaruh terhadap sistem kepercayaan masyarakat sebelumnya. Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan agama umumnya didasarkan pada suatu getaran jiwa yang biasanya disebut sebagai emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini pada umumnya pernah dialami oleh setiap orang, yang akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat agama. Suatu sistem agama dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan ini di antara para pengikutnya. Aktivitas ini dapat dilihat dari fenomena berziarah di lingkungan masyarakat. Wujud dari emosi keagamaan yang dilatar belakangi oleh setiap kelakuan religi manusia menimbulkan sikap keramat, yang terwujud dalam berbagai situs keagamaan (Koentjaraningrat, 1998:102). Sikap religi ini dapat terwujud dalam berbagai ritus keagamaan. Motivasi dari tingkah laku manusia di timbulkan dari simbol-simbol sakral dalam diri mereka. Situasi itu terbentuk dalam kesadaran spiritual sebuah masyarakat. Salah satunya di makam Datok ri Tiro yang terletak di Dusun Hila-hila Desa Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba, menjadi makam yang biasa dikunjungi oleh para peziarah. Makam tersebut berhubungan dengan kesejarahan Datok ri Tiro sebagai salah satu tokoh penyebar Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada masyarakat yang mempercayai adanya arwah leluhur, maka arwah leluhur tersebut sering dianggap masih tetap secara aktif menaruh perhatian kepada masyarakat dan bahkan menjadi anggotanya (Haviland, WA, 1993:198). Datok ri Tiro adalah seorang ulama Khatib Bungsu Abdul Jawab atau ahli tasawuf dan melakukan syiar Islam di wilayah selatan Pulau Sulawesi, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia dan kelompoknya selalu mempunyai kepercayaan tentang adanya wujud yang Maha Tinggi dan mereka mengembangkan cara tertentu untuk memuja dan menyembah-Nya sebagai bentuk ekspresi ritualnya.Tradisi tersebut terjadi di sekitar masyarakat kita sudah sejak lama. Kepercayaan akan Dewa yang sakti tidak lepas dari pengaruh 464
kepercayaan-kepercayaan terdahulu. Kepercayaan orang Bugis dan Makassar sebagai perwakilan masyarakat di Kecamatan Bonto Tiro khususnya Kabupaten Bulukumba memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan keyakinan terhadap ziarah makam-makam kuno di sana. Adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi, kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah 'HZDWD6HXZD( (Dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (Dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Mereka pula mempercayai adanya Dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang Dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama 'HZDWD0DWWDQUXH. Dihikayatkan bahwa Dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. 'HZD3DWRWR( kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru (Faidi, 2014:42). Berbagai macam persepsi mengenai ziarah makam di sekitar kita merupakan salah satu wujud dari emosi keagamaan dalam tiap diri manusia. Manusia membutuhkan agama dalam mengatur lalu lintas kehidupannya. Keterbatasan pengetahuan yang di miliki oleh manusia, menyebabkan manusia tidak dapat mengatur lalu lintas kehidupannya. Karena itu, manusia membutuhkan aturan-aturan berupa nilai-nilai yang dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang di sebut (Shihab, 1992:129). Sejalan perkembangan zaman, dewasa ini banyak yang mempersepsikan akan keberadaan makam-makam kuno sebagai tempat suci. Keberadaan makam-makam tersebut sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah. Diposisinya sebagai hal yang tidak dilupakan sehingga dijaga kelestariaannya. Makam-makam kuno orang yang diposisikan sebagai orang suci kala itu, dipersepsikan sebagai tempat yang suci pula. Sikap keramat terhadap para leluhur juga memiliki dampak legitimasi secara politis dan pengaruh secara sosial. Segi-segi politik dari berbagai kultur leluhur itu memiliki arti penting
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
dalam praktik, juga bila kultur-kultur tersebut tidak dapat menjelaskan mengapa orang percaya akan roh-roh para leluhur. Dalam arti umum kita bisa saja menegaskan bahwa setiap agama sama seperti jenis-jenis ideologi lainnya, mesti secara serempak melegitimasi suatu tatanan politik dan menyajikan suatu cara pandang atas dunia yang sarat makna bagi penganutnya, seperti rekonsialisasi dengan kematian yang tak terelakkan (Eriksen, T.H, 2009:2) Adanya kepercayaan akan kekuatan sakti yang dapat mengabulkan segala permohonan atau nazar bagi para peziarah yang berkunjung menjadikan Makam Datok ri Tiro sebagai tempat yang menarik untuk dikaji dan menjadi fokus permasalahan dalam tulisan ini dan menggambarkan persepsi masyarakat terhadap makam Datok ri Tiro di Dusun Hila-Hila Desa Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba. Di dalamnya telah digunakan pendekatan kualitatif melalui penelitian deskriptif. Di mana penelitian dalam tulisan yang telah diperoleh ini telah menggambarkan fenomena pelaksanaan tradisi religi di makam Datok ri Tiro dan persepsi masyarakat tentang berziarah di makam tersebut. METODE Lingkup penulisan yaitu menjelaskan tentang persepsi-persepsi yang mendorong atau mencegah sebuah aktivitas berziarah dan perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya, di mana pada makam tersebut terdapat kepercayaan akan kekuatan sakti yang dapat mengabulkan segala permohonan atau nazar bagi para peziarah yang berkunjung. Ruang lingkup operasional penelitian ini difokuskan Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba, mengingat daerah tersebut adalah salah satu wilayah penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Adapun data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui literatur yang telah ada untuk dijadikan tinjauan pustaka. PEMBAHASAN ,GHQWL¿NDVL/RNDVL3HQHOLWLDQ Kecamatan Bonto Tiro adalah salah satu dari 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba. Kecamatan Bonto Tiro memiliki 13 desa atau kelurahan yang terdiri atas, Desa Eka Tiro, Dwi Tiro, Tri Tiro, Caramming, Paku Balaho, Buhung Bundang, Lamanda, Batang, Bonto Bulaeng, Tamalanrea, Bontotangnga, Bonto Barua, dan Bonto Marannu. Terdapat beberapa objek wisata di Kecamatan Bonto Tiro antara lain; makam Datok ri Tiro, Permandian Alam Samboang, dan Permandian Alam Limbua. Pantai Samboang terletak di Desa Eka Tiro dengan panorama yang indah dan lekukan bibir pandai yang landai, dilengkapi dengan terumbu karang yang tak jauh dari pantai. Permandian Alam Limbua terletak di Dusun Hila-Hila yaitu 1 km dari Makam Datok ri Tiro. Permandian ini dikelilingi pohon yang rindang, dan kicauan burung seakan menyatu dengan suara di laut, dan airnya tetap tawar. Luas wilayah kecamatan ini pada tahun 2012 berkisar 78.34 km2 dengan letak tanah yang berbukit-bukit dan dekat dari pantai. Meliputi: Desa Caramming berkisar 718 Ha, Tri Tiro 700 Ha, Eka Tiro: 570 Ha, Dwi Tiro: 485 Ha, Tamalanrea: 933 Ha, Batang: 462 Ha, Bontotangnga: 531 Ha, Bontobarua: 541 Ha, Paku Balaho: 600 Ha, Buhun Bundang: 515 Ha, Bonto Bulaeng: 463 Ha dan Bonto Marannu mencapai 560 jiwa. Jumlah lingkungan atau dusun mencapai 47 dari 13 desa atau kelurahan (Kecamatan Bonto Tiro dalam Angka Tahun 2012). Pada Tahun 2012 jumlah penduduk di Kecamatan Bonto Tiro mencapai 29.16 namun jumlahnya meningkat di awal tahun 2013 sebanyak 29.910 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebesar 8.122 jiwa. Menurut jenisnya di awal tahun 2013, penduduk berjenis kelamin laki-laki berjumlah sebanyak 14.413 jiwa, perempuan sebanyak 15.497 jiwa, yang meningkat dari sebelumnya di tahun 2012 mencapai jumlah laki-laki sebesar 10.850 jiwa sedang perempuan 13.096 jiwa. Serta jumlah kepala keluarga yang berjumlah 8.122 jiwa di awal 465
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 tahun 2013 meningkat yang sebelumnya berjumlah 7.602 jiwa (Kecamatan Bonto Tiro Dalam Angka Tahun 2012). Dari segi mata pencaharian di Kecamatan Bonto Tiro, tercatat luas lahan sawah tadah hujan sebesar 180.25 Ha, sedang luas lahan kering menurut perairan diperinci sebagai berikut: luas tanah kering untuk kebun seluas 4.552,88 Ha, empang seluas 39 Ha, perkebunan 2.059,85 Ha, hutan rakyat seluas 274,95 Ha, lainnya tercatat seluas 129,53 Ha dan total keseluruhan seluas 7.056,2 Ha. Sedangkan luas lahan kering meurut penggunaan tidak untuk perairan di Kecamatan Bonto Tiro mencapai, sebagai berikut: tanah untuk bangunan dan halaman seluas 431,75 Ha, lainnya 165,8 dan total keseluruhan seluas 597,55 Ha (Kecamatan Bonto Tiro Dalam Angka, 2012). Dalam agama terdapat seperangkat aturan yang akan membuat para penganutnya hidup dalam suasana keteraturan pada saat yang bersamaan. Keteraturan itu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh manusia untuk menjadi jalan tercapainya suatu kehidupan yang selamat dan sejahtera.Tercatat penduduk di Kecamatan Bonto Tiro yang beragama Islam berjumlah 23.946. Di sana tidak terdapat pemeluk agama lain selain Islam sehingga 100 persen memeluk Agama Islam. Jumlah mesjid tercatat 70 buah dan Langgar atau Musallah sebanyak 26 buah (Kecamatan Bonto Tiro Dalam Angka, 2012). Dalam hal kepercayaan, penduduk di Kecamatan ini berasal dari suku Bugis dan Makassar. Orang Bugis dan Makassar sejak dahulu kala percaya kepada satu Dewa yang tunggal, Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah 'HZDWD 6HXZD( (Dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (Dewa yang menentukan nasib). Sedang orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Kepercayaan Pra Islam Meskipun penetrasi Islam sudah berlangsung lama di Sulawesi Selatan, namun kepercayaan tradisional (sinkretisme) masih bertahan pada sebagian besar masyarakat Bugis tradisional. Kepercayaan tradisional
466
yang mereka anut dapat diolongkan menjadi 2 jenis: “Sinkretisme esoterik” dan “sikretisme praktis”, yang dapat dimasukkan ke dalam kategori sinkretisme esoterik adalah ajaran aliran kepercayaan yang berada dari periode awal islami sesuai yang disebarkan melalui teks-teks yang sebagian besar lisan (meskipun ada beberapa yang tertulis) oleh para pengikut ajaran tersebut yang antara lain terdapat di kalangan bangsawan Luwu atau dalam tradisi To-Lotang di Sidendreng (Pelras, 2006:216) Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinannya, sehingga sampai hari ini kita masih menemukan praktek ritual kuno yang ditujukan kepada kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal. Islamisasi di Bonto Tiro Masuknya agama Islam di Bonto Tiro dimulai dengan kedatangan seorang ulama yang bernama Datok ri Tiro dengan kedua temannya Datok Sulaeman Khatib Sulung gelar Datok Patimang dan Abdul Makmur Khatib gelar Datok Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Tiro V Laundru Daeng yang kemudian mendarat di daerah Bua Kerajaan Luwuk pada tahun 1601 Masehi. Atas saran Datok Luwu XV La Pattiware Daeng Parebbug Sultan Muhammad, yang merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam, menyarankan kepada ketiga muballig tersebut menyebarkan Agama Islam kearah selatan dengan tujuan kerajaan Gowa pada tahun 1604 (Departemen Agama RI, 1992/1993:244). Penyebaran agama Islam di Tiro berjalan dengan baik melalui tasawuf dan kajian-kajian Islam. Sistem penyebarannya langsung terhadap raja sehingga sangat mudah untuk menghimbau rakyat untuk memeluk Islam. Hal ini dimanfaatkan oleh ketiga muballig tersebut untuk bisa lebih mudah menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. La Unru Daeng Biasa adalah raja pertama yang memeluk Islam pada tahun 1013 H atau 1604 M (Departemen Agama RI, 1992/1993:245). Datok ri Tiro memilih daerah Bonto Tiro pesisir sebagai pusat penyebaran agama Islam karena daerah ini adalah daerah tandus
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
dan berbatu. Beliau kemudian mencari sumber air (karena ternyata daerah ini dialiri oleh sungai bawah tanah dengan kapasitas yang besar), dengan menancapkan tongkat beliau pada batu dan memancarlah air. Sumber air ini kemudian menganak-sungai, yang kemudian disebut dengan Sungai Salsabila, mengambil nama salah satu sungai yang terdapat di Surga. Setelah mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat di Bonto Tiro melalui “keajaiban” yang ditampilkannya, beliau kemudian menghadap pada Karaeng Tiro, raja yang berkuasa di daerah ini dengan maksud mengislamkan sang raja. Tapi karena Karaeng Tiro dalam keadaan sakaratul maut, maka Datok ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; “Asyhadu allaa hila hila hilaa”, dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, dusun tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Dusun Hila-hila. Sampai akhir hayatnya, Datok ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini. Sistem dakwah yang dibawakan oleh Datok ri Tiro dalam penyebaran Agama Islam, tidak sama dengan yang ditempuh oleh kedua temannya. Penyebarannya lebih mudah karena para raja yang petama memeluk Islam, sehingga para rakyatnya juga mengikuti titah beliau. Hal ini dimanfaatkan oleh ketiga muballig tersebut untuk bisa lebih mudah menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Datok ri Tiro memilih kerajaan Tiro sebagai tempat menyebarkan agama Islam dengan pertimbangan untuk memperluas wilayah penyiarannya, misalnya jika kerajaan Gowa penyebarannya di bagian barat, sedang kerajaan Luwu untuk bagian selatan, sementara Bulukumba dapat berpengaruh di bagian selatan, karena letak ketiga kerajaan ini berdekatan. Selain itu, letak Tiro sangat strategis karena memiliki pelabuhan yang baik serta aman untuk disinggahi kapal-kapal dari Pulau Jawa, Maluku, Melayu dan sebagainya. +DO LQL VDQJDW EDJXV NDUHQD OHWDN JHRJUD¿V LQL menjadikan penyebarannya sangat mudah karena sarana tranformasi yang lancar. Secara perlahan Islam juga mulai menyebar ke wilayah Kabupaten
Sinjai, dan Kabupaten Bantaeng. Kerajaankerajaan di Sinjai seperti Tondong, dan Lamatti juga mulai tertarik terhadap Islam. Datok ri Tiro adalah salah satu dari tiga orang Datok penyebar agama Islam awal di Sulawesi Selatan. Bersama dua rekannya yang lain, Datok ri Bandang dan Datok Patimang, mereka merintis jalan penyebaran Islam disalah satu jantung kebudayaan nusantara. Nama asli beliau adalah Al Maulana Khatib Bungsu Syaikh Nurdin Ariyani. Mereka bertiga kemudian membagi wilayah Sulawesi Selatan menjadi tiga bagian; Datok Patimang menyebarkan Islam di daerah utara (Suppa, Soppeng, Luwu), Datok ri Bandang menyebarkan Islam di daerah tengah (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng), kemudian Datok ri Tiro menyebarkan Islam di daerah selatan (Bulukumba dan sekitarnya). Setiap orang ini menyebarkan Islam dengan metode masing-masing yang disesuaikan dengan budaya setempat. Datok ri Tiro, sesuai dengan budaya dibagian selatan ini, kemudian menyebarkan Islam yang lebih bercorak tasawuf. Dalam penerapannya, beliau tidak terlalu mementingkan keteraturan syariat. Salah satu ajaran beliau yang terkenal adalah “Dalam menyusun lima telur, yang pertama diletakkan tidak selalu yang menempati urutan pertama”. Artinya, penerapan lima rukun Islam tidak lah harus berurutan mulai dari syahadat sampai haji. Setiap kita boleh memilih apa yang kita rasa lebih memudahkan. Puasa, jika pun dirasakan lebih mudah daripada shalat, dapat dilakukan terlebih dahulu, demikian pula dengan syariat-syariat yang lain. Adapun peninggalan-peninggalan beliau adalah Sungai Salsabila yang terus diziarahi pengunjung sampai sekarang, Sumur Limbua di pantai Tiro, serta Makam Datok ri Tiro yang juga tetap diziarahi sampai hari ini. Peninggalan beliau yang dalam bentuk social capital adalah ikatan persaudaraan yang beliau bentuk antara orang Tiro dan orang Kajang; “.DOXNXDWWLPER UL.DMDQJEXDQDD¶GDSSRUL7LUR”, yang artinya “Pohon kelapa yang tumbuh di Kajang, buahnya dinikmati di Tiro”. Karena itu, upacara akil baligh orang-orang Kajang disyaratkan untuk mandi di Sungai Salsabila di Hila-hila. 467
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Perlu disampaikan pula bahwa masyarakat daerah ini sangat kuat memegang kepercayaan dinamisme, dan banyak memiliki kesaktian dan jampi-jampi yang mujarab. Kekentalan akulturasi Islam dan budaya lokal juga terlihat pada kesulitan dalam PHPEHGDNDQ VX¿VWLN ,VODP GDQ WUDGLVL ORNDO Namun pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan dengan pembacaan %DUDVDQML. Dalam tradisi lokal, telur memiliki makna sehingga dalam perayaan Maulid, untuk lebih mengenalkan Nabi Muhammad Saw., pada masyarakat, dan di masjid dipasang telur yang dihias kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari nabi. Makam Datok ri Tiro Makam Datok ri Tiro terletak di Dusun Hila-hila Desa Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba. Lokasi makam berada di daerah perbukitan, kurang lebih sekitar 40 km jaraknya dari kota Kabupaten Bulukumba. Melewati daerah pinggiran pantai dan tambak disepanjang jalan. Kendaraan hanya sesekali yang terlihat menelusuri jalan karena hanya sedikit mobil angkutan umum yang lewat menuju kesana. Beberapa kilo menuju Kecamatan Datok ri Tiro jalan mulai berbukit-bukit dan aspal jalan sudah mulai tidak bagus, sesekali terlihat kerusakan di sana sini. Fasilitas di sekitar makam meliputi antara: bangunan yang berisi ruangan, tempat ziarah yang terdapat makam Datok ri Tiro, ruangan administrasi pengambilan karcis (salah satu prasyarat) , dapur yang dijadikan sebagai tempat 468
masak seserahan yang di bawah oleh peziarah dan beberapa makam pejabat daerah setempat yang terlihat di area belakang.Selain itu terdapat juga kolam Hila-hila yang letaknya kearah timur makam dan sebuah mesjid yang berada di depannya. Ada juga beberapa makam selain makam Datok ri Tiro yang terletak di sebelah barat makam di bagian belakang bangunan makam. Makam-makam itu adalah makam orang-orang yang terpandang di daerah setempat seperti makam keluarga petinggi adat atau petinggi. Terdapat dapur tempat memasak sesajen yang biasanya di bawah oleh para peziarah di bagian belakang bangunan makam. Ada juga ruangan kosong di dalam bangunan sekitar 1x2 m persegi. Di dalamnya terdapat struktur kepemimpinan kesejarahan Datok ri Tiro yang dipajang di dinding. Di bagian pintu masuk bangunan. makam, nampak prasyarat dan jam waktu beroperasinya ziarah makam. Panitia makam menyediakan tempat duduk yang disemen dan ditehel di sekeliling ruangan awal disaat kita memasukinya. Setelah itu, di depan pintu masuk bangunan terdapat ruangan yang dijadikan sebagai pengambilan karcis bagi para peziarah dan tempat konsultasi administrasi sebagai pelayanan panitia makam. Di dekat kompleks makam, arah sebelah timur makam terdapat kolam Hila-hila yang dijadikan sebagai objek wisata bagi peziarah. Di depan kolam Hila-hila terdapat Mesjid Nurul Hilal. Kadang peziarah juga dapat mengerjakan shalat di sana. Kolam Hila-hila hanya memiliki lebar sekitar 2-3 m, dibangun pagar besi di
)RWR%DQJXQDQ\DQJPHQDXQJL0DNDP 'DWRNUL7LURWDPSDNGHSDQ
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
)RWR6DODKVDWXVXGXWUXDQJDQEHULVWLUDKDWEDJL SH]LDUDK0DNDP'DWRN5L7LUR
)RWR0DNDQ'DWRNUL7LUR
sekeliling kolam. Mata air kolam ini berasal dari gunung yang tidak pernah kering selama 5 abad terakhir ini. Di bagnun tempat-tempat beristirahat bagi pada peziarah dan umumnya mereka membawa makanan yang dimakan di sekitar permandian. Ke arah bagian timur terdapat kantor Desa atau Kelurahan Hila-hila. Kompleks perumahan di sana tergolong sebagai rumah panggung kayu, walaupun ada juga yang rumah batu. Sepanjang komplek dikelilingi dengan perkebunan, tanah lapang dan ada pangkalan ojek di depan area makam. Pos-pos tempat warga berkumpul juga ada di sekitar kompleks makam, dan ke arah sebelah barat makam sekitar beberapa meter terdapat jurang yang terjal dan indah, walaupun sepanjang jalan tertutup oleh perkebunan. Makam Datok ri Tiro menggunakan dua nisan kayu yang terbuat dari kayu passé (kayu Lombok), tingginya sekitar 90 cm dari dasar permukaan lantai bangunan. Di bagian dalam nisan, terdapat nisan lagi yang lebih pendek dari nisan sebelumnya, tingginya sekitar 60 cm, Warna nisa adalah hitam pekat tertancap menghadap ke arah barat. Ukuran makam lebih rendah dari lantai bangunan yang bertegel putih dengan adanya taburan bunga di atas makam. Kolam Hila-hila yang letaknya ke arah timur makam dan sebuah mesjid yang berada di depannya hanya memiliki luas sekitar 2-3 m, dibangun pagar besi di sekeliling kolam.
Praktik Ziarah Kubur di Makam Datok ri Tiro Ziarah kubur dapat diartikan oleh sebagian orang sebagai pelajaran akan kematian, dengan berziarah akan menjadikan seseorang mengenal kematian. Sehingga semasa hidupnya akan selalu ingat kepada Allah dan tidak akan menjalankan maksiat serta berprilaku sombong. Sebab, pada akhirnya manusia tidak berdaya setelah ia mati. Sebagian juga menganggap bahwa berkunjungnya para peziarah ke makam Datok ri Tiro menandakan adanya kepedualian terhadap sejarah penyiar agama Islam di Bulukumba. Eksistensi keberadan dirinya masih dapat dianggap bertahan tatkala makam beliau masih terus dikunjungi. Adanya juga kepedulian terhadap salah satu pewarisan budaya bagi masyarakat setempat akan peninggalan yang dibawah oleh ulama tersebut. Sebagian orang befikir kalau ziarah kubur hanya sebatas mengunjungi orang yang sudah berada di alam lain. Sesungguhnya perilaku ini juga dapat berfungsi sosial. Dengan melaksanakannya, semua orang yang hadir dapat berkumpul dan dapat memperkuat hubungan kekeluargaan. Sebagaimana pendapat Durkhein dan R.Brown bahwa upacara itu dianggap mempertebal perasaan kolektif dan integrasi sosial (dikutip oleh R.M. Keesing, 1992:109). Pelaksanaan upacara tentunya akan terjadi interaksi dan komunikasi di antara para anggota yang hadir, tak terkecuali keluarga luas. Hal ini merupakan komponen utama dalam penyatuan sebuah keluarga, setidaknya dapat berfungsi dalam menyelesaikan masalah-masalah internal keluarga luas karena pertemuan tersebut, tanpa
469
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 melibatkan pihak luar atau pengadilan, di samping menyatukan perasaan kekeluargaaan. Dalam kegiatan inilah silaturahmi antar anggota keluarga dijalin dan diperbaharui (Salam, 2005:229-230). Salah satunya pelaksanaan tradisi ziarah makam di makam Datok Tiro. Makam dikunjungi untuk memohon doa restu kepada nenek moyang, terutama bila seseorang menghadapi tugas berat, akan bepergian jauh atau bila ada keinginan yang sangat besar untuk memperoleh suatu hal. Dengan kata lain berkunjung ke makam yaitu sama-sama untuk mencapai sesuatu yang diinginkan (agar keinginannya dapat terkabul). Para peziarah di makam Datok ri Tiro datang untuk memanjatkan doa-doa, hajat dan keperluan lainnya dengan harapan akan mendapat berkah dan keselamatan dari Allah Swt. melalui perantara Datok ri Tiro sebagai tokoh suci yang memiliki otoritas spiritual dan sakral. Ziarah dianggap sebagai usaha memohon “berkah” kepada Datok ri Tiro yang direpresentasikan dengan berdoa pada objek makam (Mahmud, 2012:102). Di dalam prosesnya, ziarah juga dipahami sebagai perjalanan batin seseorang sehingga memiliki muatan emosi keagamaan. Emosi ini yang membentuk prilaku yang menjadi kebiasaan dalam menyalurkan keyakinan bagi tiap manusia. Kebiasaan mengunjungi makam Datok ri Tiro bagi para peziarah mengharuskan mereka mematuhi segala mekanisme dalam berziarah. Mekanisme itu seperti tidak menggunakan alas kaki (sepatu, sandal dll) apabila masuk ke dalam makam, tidak diperbolehkan wanita yang sedang menstruasi (haid) untuk berziarah. Selain itu masyarakat memiliki kepercayaan yang bersifat religi melalui keyakinan yang diwujudkan dalam melakukan budaya spiritual seperti percaya terhadap benda-benda yang bersifat mistik (makam-makam leluhur, pepohonan, batu-batu suci, dll) yang dianggap memiliki kekuatan. Hal ini juga terlihat di makam Datok ri Tiro. Makam tersebut selalu ramai dikunjungi para peziarah. Adapun syarat-syarat dalam berziarah ke makam Datok ri Tiro, sebagai berikut: 1. Mendahulukan kaki kanan pada saat memasuki kompleks makam dan member salam.
470
2. Mengingat mati. 3. Menziarahi karena Allah dan keinginan lainnya. 4. Mendoakan kepada ahli kubur 5. Bagi perempuan yang datang bulan haram berziarah 6. Kalau meninggalkan kubur kaki kiri di dahulukan Emosi keagamaan yang dibahasakan oleh Koentjaranigrat (dalam Sutardi, 2009:53) dapat mendorong manusia melakukan tindakantindakan yang bersifat agama. Suatu sistem agama dalam suatu kebudayaan selalui mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan ini diantara pada pengikutnya. Salah satu unsur penting di dalamnya adalah upacara keagamaan, yang dibagi menjadi empat aspek khusus, seperti tempat upacara, benda-benda dan alat-alat yang digunakan dalam upacara dan orang-orang yang telibat di dalam upacara. Proses tradisi dalam ziarah makam ini dilakukan di komplek Makam Datok ri Tiro, makam yang berukuran kurang panjang lebih 200 cm (2 meter) dan lebar sekitar 60 cm. Makam ini dijadikan objek utama dalam proses tradisi religi masyarakat setempat. Dengan jarak sekitar 30 cm antara ujung atas makam dengan nisan, makam tersebut biasanya ramai dikunjungi oleh para peziarah di waktu-waktu tetentu. Hari-hari raya merupakan moment yang paling ramai di kunjungi, termaksud juga hari minggu. Walaupun hari-hari biasa seperti hari senin hingga sabtu juga masih terlihat para peziarah yang datang, namun jumlahnya tidak sebanyak seperti pada hari raya. Makam menjadi objek utama di Kecamatan Bonto Tiro setelah permandian Hilahila, dikunjungi oleh peziarah dengan membawa sendiri peralatan dan perlengkapan berziarah seperti hewan yang akan atau sudah dikorbankan, minyak wangi, alat-alat tradisional (bagi orang Kajang), kain kafan, berbagai kembang dan dedaunan, dsb, tergantung keinginan peziarah. Hari-hari biasa selalu saja ada peziarah yang datang, meskipun yang paling ramai adalah pada hari minggu. Setiap hari Minggu, makammakam tersebut ramai dikunjungi masyarakat sekitar, bahkan juga dari daerah lain. Jumlah
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
peziarah pada hari minggu mencapai ratusan orang sedang hari-hari biasa hanya sekitar 20an orang saja. Mereka umumnya datang secara berombongan dengan mencarter kendaraan umum, walaupun ada juga yang hanya datang berdua atau bertiga. Bulan-bulan yang ramai kunjungan adalah Rajab, Sya’ban dan Maulid, serta menjelang keberangkatan haji. Seminggu setelah hari raya Idul Fitri juga merupakan harihari yang sangat ramai di kunjungi oleh peziarah. Pada hari-hari tertentu peziarah sangat banyak dan membludak, terlebih lagi pada saat hari-hari raya Agama Islam dilaksanakan. Mengingat hari-hari tersebut adalah hari suci yang dipercaya dapat lebih mujarab untuk dikabulkan. Ramainya para pengunjung ke makam tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai kepercayaan khusus. Kepercayaan itu biasanya berpangkal dari keyakinan tentang kekeramatan (karamah) dari pribadi yang dimakamkan. Kegiatan berziarah dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penutup. x Tahap Persiapan Mengenai waktu/hari untuk melakukan ziarah makam ini ditentukan oleh para ulama dan anggota masyarakat.Di dalam rumah yang berlantai tegel tersebut tersedia dapur yang khusus disajikan untuk para peziarah yang ingin menggunakannya dalam prosesi upacara, ada juga ruang administrasi, ruang tunggu untuk para peziarah dan beberapa makam orang penting di Bonto Tiro. Sebelum melaksanakan aktivitas ziarah makam, terlebih dahulu peziarah harus membayar kontribusi sebesar Rp 7.000 perkepala di bagian administrasi, lalu dipanggilah tuan guru sebagai perantara pesan antara peziarah dengan Datok. x Tahap Pelaksanaan Pertama-tama dengan pembacaan surahsurah pendek dalam Alquran agar ritual mereka mendapat berkah. Seorang imam bertugas membacakan Surah Al-ikhlas, Surah Al-falaq dan Surah An-nas sebanyak 3 kali sesuai ketentuan, dan Al-Fatihah sebagai penutup. Setelah itu dilakukan pemotongan hewan korban dengan
)RWR5XDQJDGPLQLVWUDVL 0DNDP'DWRN5L7LUR tujuan melepaskan niat/nazar. Aktivitas ini dilakukan oleh kaum laki-laki yang dipimpin oleh seorang “tuan guru”, dan mempersiapkan peralatan masak-memasak seperti menyembelih kambing, menyiapkan tungku (biasanya juga sudah disediakan oleh panitia makam), bumbubumbu bahkan memasang tenda. Sebelum penyembelihan hewan korban ini harus didoakan terlebih dahulu oleh ulama atau tuan guru, biasanya juga dihadiri oleh orang yang akan melepaskan nazarnya. Setelah hewan tersebut disembelih, digantungkan ke batang kayu kemudian dibakar agar bulu-bulu yang melekat pada tubuh hewan tersebut hilang dan bersih, setelah itu dagingnya dipotong-potong kemudian dicuci. Setelah daging tersebut dicuci, para ibu-ibu menggiling bumbubumbu dan kaum laki- laki menyiapkan tempat untuk memasak x Tahap Penutup Pada acara penutupan, diakhiri dengan mandi-mandi di kolam permandian Hila-hila dan diikuti dengan pembacaan doa yang ditujukan kepada arwah Datok dengan tujuan agar peziarah dapat terhindar dari berbagai penyakit, atau agar nazar peziarah dapat lebih mudah terkabul. Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Makam Datok ri Tiro 1. Persepsi Masyarakat terkait dengan Pemahaman menurut Agama Islam Islam memandang bahwa ziarah kubur itu diperbolehkan dan dapat dikatakan amal ibadah selama yang diziarahi itu kaum muslimin. Para peziarah yang diperbolehkan itu adalah 471
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477
)RWR/RNDVLSHQ\HPEHOLKDQKHZDQ GLVHNLWDU0DNDP'DWRNUL7LUR
para peziarah yang memiliki akidah Islam yang kuat dan mengetahui hukum ziarah dan tujuannya. Salah satu tujuan dari ziarah kubur itu adalah bertawasuf kepada sesorang yang dianggap mempunyai karamah agar memiliki syafaat, keberkahan dan dikabulkan segala apa yang diminta. Jika pada peziarah itu tidak memiliki akidah yang kuat walhasil akan terjadi kekhawatiran bahkan cenderung berlebihan dan menyimpang dari norma-norma ajaran islam. Makam Datok ri Tiro dikunjungi oleh banyak peziarah, apalagi di waktu hari-hari libur/hari raya. Masyarakat mempercayai bahwa makam tersebut adalah makam orang suci yang telah berjasa bagi perkembangan Agama Islam kala penyebarannya di sekitar selatan Sulawesi Selatan. Masyarakat memiliki pemahaman bahwa dengan berziarah ke Makam Datok ri Tiro salah satu bentuk upaya permohonan kepada Allah SWT. agar Datok ri Tiro. Hal tersebut mereka lakukan terkait dengan keselamatan yang mereka dapatkan berkat jasa Datok ri Tiro kepada masyarakat setempat. Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum di tengah-tengah kehidupan mereka. Lebih penting lagi adalah kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam Hukum Syariah. Mengirimkan permintaan (turia’ra’na) kepada orang yang sudah mati tentu tidak diajarkan di dalam islam. Belum lagi menggunakan baca-baca dari dupa (kemenyan dibakar) dan menyiapkan hewan yang akan 472
dikorbankan seperti kambing pada saat berziarah ke makam. Semua mekanisme yang menjadi tradisi berziarah di makam tersebut tidak pernah diajarkan oleh Datok ri Tiro, yang ada hanya merupakan berziarah dengan mengirimkan doa kepada Tuhan untuk si mayit agar mendapat ketenangan di akhirat. Justru sebaliknya, yang terjadi adalah mekanisme permohonan doa kepada si mayit akan segala permintaan tertentu, sebagai orang yang disucikan oleh Tuhan. 2. Persepsi Masyarakat terkait dengan Pemahaman menurut Agama Islam Sesuai dengan Kepercayaan Animisme dan Dinamisme Sebelum Datok ri Tiro menyebarkan Islam, ajaran atau kepercayaan Animisme dan Dinamisme (kepercayaan lama) sudah ada pada hampir di seluruh Sulawesi Selatan. Sebaliknya, adanya ajaran yang dibawakan oleh Datok ri Tiro semasa hidupnya yakni memahakan kepada masyarakat akan pentingnya berziarah sebagai salah satu anjuran dalam \yariat Islam, dewasa ini telah mengalami pergeseran kepercayaan. Kepercayaan peziarah mengenai keberadaan makam tersebut dinyakini sebagai makam orang suci yang telah berjasa bagi perkembangan Agama Islam kala penyebarannya di sekitar selatan Sulawesi Selatan. Peziarah datang memohon kepada Allah Swt. agar Datok ri Tiro mendapatkan keselamatan berkat jasanya kepada masyarakat setempat. Adanya kepercayaan bahwa Datok ri Tiro adalah orang suci yang diutus oleh Allah dalam menyebarkan Agama Islam, sehingga para peziarah yang memiliki maksud dan keinginan melakukan permohonan kepada Allah Swt. melalui perantara Datok ri Tiro dengan harapan akan lebih cepat dan mudah dikabulkan. Para peziarah adalah orang-orang yang memiliki niat dan memahami akan kekuatan ilmu yang dimiliki oleh Datok ri Tiro. Adanya kepercayaan bahwa Datok ri Tiro adalah orang suci yang di utus oleh Allah dalam menyebarkan Agama Islam, sehingga permohonan mereka kepada Allah Swt. melalui perantara Datok ri Tiro dapat terkabul.
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
)RWR3H]LDUDKGLGHSDQPDNDP'DWRNUL7LUR Para peziarah di makam datang untuk memanjatkan doa-doa, hajat dan keperluan lainnya dengan harapan akan mendapat berkah dan keselamatan dari Allah Swt. melalui perantara Datok ri Tiro sebagai tokoh suci yang memiliki otoritas spiritual dan sakral. Ziarah dianggap sebagai usaha memohon “berkah” kepada Datok ri Tiro yang direpresentasikan dengan berdoa pada objek makam (Mahmud, 2012:102). Para peziarah di makam Datok ri Tiro datang untuk memanjatkan doa-doa, hajat dan keperluan lainnya dengan harapan akan mendapat berkah dan keselamatan dari Allah Swt. melalui perantara Datok ri Tiro sebagai tokoh suci yang memiliki otoritas spiritual dan sakral. Makam dikunjungi untuk memohon doa restu (pangestu) kepada nenek moyang, terutama bila seseorang menghadapi tugas berat, akan bepergian jauh atau bila ada keinginan yang sangat besar untuk memperoleh suatu hal. Dengan kata lain berkunjung ke makam berarti sama-sama memiliki niat untuk mencapai sesuatu yang diinginkan (agar keinginannya dapat terkabul). Kebanyakan peziarah yakin bahwa dengan mendatangi makam-makam tersebut mereka akan mendapatkan berkah atau keberuntungan sesuai yang dihajatkan. Mereka yang mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang teguh. Masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda-beda tergantung kebutuhan mereka. Secara umum, tujuan ziarah tersebut sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapat keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan syukur, kemudahan rezeki, jodoh, dan nasib baik.
Kunjungan peziarah ke makam selalu disertai dengan tradisi dan ritual tertentu sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Model ritual ini terkadang berbeda antara satu orang dengan orang lain atau satu rombongan dengan rombongan lainnya. Semuanya tergantung pada kebiasaan secara turun temurun atau keyakinan yang ada pada masing-masing pihak. Ada yang membawa kemenyan, kambing, ayam bahkan kerbau. Hal ini dimaksudkan sebagai seserahan kepada Datok ri Tiro dengan memasaknya di tempat yang disediakan oleh penjaga makam atau ada juga yang sudah memasaknya dari rumah lalu di bawahnya ke makam. Adanya seserahan berupa hewan yang dikorbankan dari para peziarah bertujuan agar supaya doa-doa mereka lebih mudah terkabul atau mendapat berkah. Biasanya para peziarah yang datang berombongan memakan seserahan tersebut secara beramai-ramai di lokasi makam setelah dimantrai oleh ahli kubur, yang biasa mereka sebut dengan istilh “bapak guru”. Ada juga yang memberikan seserahan setelah niat atau tujuan mereka terkabul, peziarah datang membawa hewan yang siap atau sudah di korbankan lalu menyerahkan kepada makam sebagai rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada Datok ri Tiro. Secara mekanismenya, setelah menyerahkan hewan seserahan, para peziarah mandi di dalam kolam Hila-hila dipercaya dapat mensucikan diri karena mendapat berkah. Walaupun sebelumnya berbeda dengan pemahaman orang terdahulu yang menganggap bahwa “mandi dulu untuk membersihkan diri baru pergi berziarah ke makam Datok ri Tiro”, namun peziarah sekarang melakukan sebaliknya. Dewasa ini, kolam Hila-hila dijadikan sebagai objek wisata di kawasan setempat. Banyak para peziarah menjadikan sebagai tempat hiburan dengan membawa bekal yang dimakan bersama-sama di area kolam dan berfoto-foto. Walaupun mungkin sekarang tidaklah sama seperti dulu, bahwa semua peziarah mengunjungi makam untuk berdoa, ada juga yang hanya ingin mandi-mandi saja di kolam Hila-hila atau sekedar memanjakan diri untuk refresing. Tidak ada aturan khusus dalam berbusana pada saat berziarah. Peziarah di makam tidak 473
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 harus mengenakan pakaian resmi dengan mengenakan pakaian adat mereka. Para peziarah yang datang juga harus ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan proses peziarahan berlangsung singkat. Hal ini berbeda dengan tradisi yang terjadi di Yogyakarta terhadap makam-makam para petinggi kerajaan Mataram. Dalam bukunya Java, Indonesia and Islam :RRGZDUG menjelaskan bahwa para peziarah harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pengelola makam misalnya hanya boleh berziarah pada hari tertentu atau jam-jam tertentu. Selain itu, para peziarah di makam keluarga keraton juga harus mengenakan pakaian resmi dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para lelaki membawa keris di belakang mereka. Sementara para perempuan tidak mengenakan penutup kepala. Para peziarah yang datang juga harus ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan proses peziarahan berlangsung singkat. Pada acara penutupan yang dilakukan pada pelaksanaan ritual ziarah makam, diakhiri dengan mandi-mandi di kolam permandian Hila-hila dan diikuti dengan pembacaan doa. Pembacaan doa ini ditujukan kepada arwah Datok. doa yang disampaikan agar peziarah dapat terhindar dari berbagai penyakit, bagi peziarah yang ingin sembuh dan terhindar dari peyakit. Atau agar nazar peziarah dapat lebih mudah terkabul. Di kompleks makam Datok ri Tiro terdapat Mesjid Nurul Hilal yang di tersedia untuk para peziarah. Pada prosesi ziarah, mesjid tersebut tidak digunakan dalam salah satu prasyarat, hanya disediakan bagi peziarah yang ingin mengerjakan shalat. Mesjid terebut juga dijadikan sebagai tempat shalat masyarakat setempat. Bentuk dan ukurannya seperti mesjid pada umumnya. Tersedia berbagai peralatan shalat, seperti sajdah, mimbar, dan mukenah. Terdapat juga sumber mata air di kompleks makam Datok ri Tiro, tetapi tidak seperti sumur, melainkan kolam besar yang diairi oleh air. Airnya berasal dari mata air gunung yang jernih. Mengalir hingga ke hulu sungai melewati semaksemak perumahan masyarakat sekitar. Sumber mata airnya tidak pernah kering, padahal sudah 474
digunakan sejak lama. Makam dimaksudkan sebagai tempat untuk menyimpan mayat tetapi juga tempat untuk berkumpul, berdoa dan mencari berkah. 3. Persepsi Masyarakat Terkait dengan Pemahaman Percampuran Antara Ajaran Agama Islam dengan Kepercayaan Animisme dan Dinamisme Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan.Islam merupakan suatu normatif yang ideal, sedangkan tradisi merupakan suatu hasil budi daya manusia.Tradisi bisa bersumber dari ajaran agama nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil pemikirannya sendiri.Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal.Islam dari segi pemeluknya dituduh anti kemajuan, karena menghalangi atau menghambat pembangunan. Pembangunan dan kemajuan dunia modern menekankan segi material menurut Islam menghalangi pemenuhan kebutuhan rohani. Pencampuran keyakinan agama Islam dengan kepercayaan animisme dan dinamisme dapat telihat pada aktivitas ziarah makam Datok ri Tiro. Salah satu prasyarat dalam tata cara berziarah ke makam Datok ri Tiro adalah membaca surah-surah dalam Alquran. Seseorang yang diistilahkan dengan sebutan “tuan guru” bertugas membacakan Surah Al-ikhlas, Surah Al-falaq dan Surah An-nas sebanyak 3 kali sesuai ketentuan. Mengenai tatacara itu, dipercaya bahwa dengan mengirimkan bacaaan surah-surah yang terdapat dalam Alquran tersebut maka proses ritual mereka dapat lebih mudah terkabul atau lebih berkah. Setelah itu, ditutuplah proses ritualnya dengan membaca surah Al-Fatihah secara bersama-sama. Kepercayaan mereka terhadap dilarangnya seorang wanita yang sedang menstruasi (haid) untuk menginjakkan kaki di area makam merupakan pantangan besar yang telah disepakati semenjak makam Datok ri Tiro menjadi objek ziarah di sana. Terdapat hal yang sama dalam tatacara berziarah di makam Datok ri Tiro seperti yang terdapat di dalam ajaran Agama Islam, misalnya tidak menggunakan alas kaki selama berada di area makam serta adanya kenyakinan dalam diri mengenai kematian. Pada
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
dasarnya, tacara ini bersumber dari ajaran Islam karena makam yang dikunjungi adalah makam penyiar Agama Islam yang terkenal kesalehan dan kesaktiannya, akan tetapi ajaran ini telah mengalami percampuran dengan keyakinan lama yang ada sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan terkhusus di Tiro. Peziarah menggunakan pakaian sopan, bersih dan umumnya menggunakan busana muslim. Tuan guru yang bertugas mendampingi peziarah untuk menjadi perantara ritual harus menggunakan pakaian muslim, songko’ di kepala dan mengenakan sarung sebagai pengganti celana. Mengenai warna sarung, baju dan songko’, tidak ada ketetapan di dalamnya namun biasanya songko’ yang dikenakan berwarna hitam. Karena dalam prosesinya seorang tuan guru bertugas membacakan surah-surah yang telah ditetapkan maka ia selalu membawa Alquran kecil ditiap ritual. Mekanisme tersebut sama dengan orang yang beragama Islam dalam mengerjakan ibadah (salat). Ziarah makam Datok ri Tiro bukan sekedar fenomena keagamaan atau suatu fenomena yang mengandung unsur wisata. Lebih dari itu, fenomena ini merupakan hal yang memberikan banyak makna yang dapat dipelajari, terutama tentang berjalannya berbagai cara pandang atau persepsi, pemahaman serta praktek secara beriringan dalam sebuah wadah yang sama dimana cara pandang tersebut berbeda namun dapat berjalan dengan damai seakan-akan tidak mengandung masalah sedikit pun. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikemukakan beberapa alasan yang bersifat analitik, mengapa perbedaan persepsi dikalangan masyarakat Bonto Tiro tetap berjalan beriringan dan dipertahankan hingga saat ini. Pertama, berbagai aktivitas peziarah tidak menjadi masalah bagi masyarakat setempat, karena pihak masyarkat tidak merasa terganggu atau tidak merasa terancam dengan keberadaan pihak pihak peziarah. Kedua, kunjungan para peziarah merupakan hal yang menguntungkan.Retribusi dikenakan Rp 7.000 yang mana Rp 2.000 untuk Dinas Pariwisata dan Rp 5.000 untuk Yayasan Datok Tiro. Dengan adanya retribusi atau sumber
dana lainnya yang dikelola dan dipercayakan kepada satu lembaga dapat dialokasikan pada halhal yang bermanfaat sesuai kesepakatan pengelola dengan masyarakat setempat. Ketiga, penduduk setempat memahami bahwa negara mendukung perbedaan atau memberi kebebasan untuk menganut keyakinan masing-masing.Oleh karena itu, perbedaan persepsi dan tindakan dalam hal tradisi ziarah makam tidak menjadi hal yang diresahkan apalagi PHQJXQGDQJNRQÀLN Keempat, masyarakat Tiro memahami bahwa warisan Datok Tiro yang penting adalah berdamai dengan sesuatu yang sulit untuk diubah atau membahayakan. Pemahaman atas Binheka Tunggal Ika telah dirasakan dan menjadi lebih kuat dengan adanya pemahaman masyarakat yang bersumber dari ajaran Datok Tiro bahwa “diam lebih baik jika sesuatu perbedaan lebih besar dan tidak dapat di ubah”, walaupun hal itu sangat berbeda dengan keyakinan yang mereka miliki. Hal ini serupa dengan pepatah “diam adalah emas”.Hal ini memungkinkan berjalannya berbagai macam persepsi dan tindakan atau kebijakan yang berbeda dengan persepsi tindakan serta prinsip masyarakat setempat. Kelima, Datok Tiro bukanlah milik orang Tiro walaupun menurut sejarah ia tinggal dan meninggal di Tiro. Datok Tiro sebagai tokoh penyiar Agama Islam disadari sebagai pemimpin bagi umat Islam yang ada di sekitarnya. Keenam, keyakinan lama masih memiliki pengaruh atas keyakinan baru (Islam) di mana hal ini bercampur sehingga pemahaman Islam yang murni tidak dapat diterapkan sepenuhny,dimana pencampuran tersebut dianggap sebagaipenengah atas perbedaan yang ada. Dari ke enam alasan diatas, alasan ke lima yaitu pepatah “diam adalah emas” nampaknya merupakan alasan yang paling kuat dalam memungkinkannya berjalannya berbagai persepsi, keyakinan, prinsip, tujuan dan praktek yang terkait dengan tradisi ziarah makam. Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut pandang pembangunan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat sangat menarik dan terbuka untuk di kembangkan menjadi cagar budaya yang dapat menarik perhatian berbagai pihak. 475
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 463—477 PENUTUP Tradisi ziarah makam Datok ri Tiro di Bonto Tiro merupakan budaya yang sakral yang mendapat dukungan dalam masyarakat hingga saat ini, dimana terdapat berbagai macam persepsi masyarakat terkait dengan ziarah makam yang pada akhirnya mempengaruhi tata pelaksanaan ziarah makam. Pemahaman masyarakat terkait dengan keyakinan dan agama menjadi sumber perbedaan yang ada. Datok ri Tiro adalah seorang tokoh penyebar Agama Islam di Bonto Tiro dan sekitarnya, namun pada prosesi ziarah makam beliau terdapat beberapa hal dalam pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan nilainilai dalam agama Islam. Prosesi ziarah makam diidentifikasi merupakan hasil pencampuran antara tradisi lama sebelum Islam masuk dengan ajaran Islam. Meskipun prosesi dan pemahaman ziarah makam pada masyarakat berbeda-beda, tidak PHQLPEXONDQ SHUVHOLVLKDQ DWDX NRQÀLN NDUHQD masyarakat berpegang teguh pada pendirian masing-masing sehingga aktivitas ziarah dapat berjalan secara damai dan tak ada larangan antara satu dengan yang lain. Pemahaman untuk saling menghormati sebagai warga negara kesatuan Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan keyakinan, berbeda namun tetap satu, menjadi penengah diantara mereka. Hal ini juga didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat Bonto Tiro yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan masyarakat lain. Selain LWX NRQÀLN MXJD GDSDW GLKLQGDUL GHQJDQ DGDQ\D pemahaman masyarakat setempat terkait dengan ajaran Datok ri Tiro yaitu “diam itu adalah emas, jika ada hal yang berbeda dan sulit untuk diubah, maka diam adalah hal yang lebih baik”. Pemahaman tersebut membuat tradisi ziarah makam, yang sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari luar, tetap berjalan dengan aman tanpa larangan atau pembatasan dari masyarakat setempat. Sebagaimana halnya tradisi-tradisi yang ditemukan di tempat lain selain Bonto Tiro, tradisi ziarah makam di sini juga memiliki fungsi tersendiri. Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji fungsi dan nilai-nilai budaya ziarah 476
makam . Fungsi yang mungkin dapat muncul antara lain fungsi kekeluargaan, fungsi gotong royong, fungsi pendidikan, fungsi pariwisata, dan fungsi ekonomi. Pengkajian nilai-nilai dalam budaya ziarah makam tersebut disesuaikan pengembangan pariwisata dalam program pembangunan nasional dan daerah, dimana budaya ini dapat menjadi penahan masuknya budaya asing.sehingga dapat mempertahankan jati diri bangsa. Nilai sebuah tradisi dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang terkait didalam tradisi tersebut, dan selanjutnya diperlukan pemahaman dan pengarahan ke hal-hal positif untuk mendukung pengembangan pariwisata. DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama RI. 1992/1993. Ensiklopedia Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN. Eriksen, Thomas, Hylland. 2009. Antropologi 6RVLDO %XGD\D 6HEXDK 3HQJDQWDU Yogyakarta: Titian Galang Printika. Faidi A.2014. 0DNDVVDU 3HQMDJD .HMD\DDQ Imperium. Makassar: Arus Timur Haviland, WA. 1993. Antropologi : Edisi keempat, jilid 2. Alih bahasa R.G. Soekadijo Kecamatan Bonto Tiro Dalam Angka Tahun, 2012 Keesing, Roger. M, 1992. Antropologi Budaya, 6XDWX 3HUVSSHNWLI .RQWHPSRUHU Edisi ke 2, Alih Bahasa R.G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga. Koentajraningrat. 1998. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineke Cipta: Jakarta Mahmud, M. Irfan. 2012. 'DWRNUL7LUR3HQ\LDU ,VODPGL%XOXNXPED0LVL$MDUDQGDQ-DWL 'LULYogyakarta: Ombak. Pelras, Christian, 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris Salam, Rahayu. 2005. Nilai-nilai Budaya
Persepsi Masyarakat Terhadap ... 5DKD\X6DODP
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Alquran. Jakarta. Mizan. Sutardi T. 2009. Antropologi: Mengungkap .HUDJDPDQ%XGD\D, Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
477