PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP SINETRON RELIGI DI TELEVISI (Studi Terhadap Masyarakat Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat) Marliyah Kata Kunci: sinetron, religi, persepsi Saat ini muncul fenomena tayangan sinetron yang bersifat religius. Bagai jamur yang tumbuh di musim hujan, sinetron religius sedang mengalami masa kejayaannya. Hampir setiap stasiun televisi memiliki sinetron dengan tema religius. Hal ini wajar, karena televisi telah menjadi komoditas bisnis yang sangat potensial disebabkan televisi saat ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.setiap acara yang diminati masyarakat berarti memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kemunculan sinetron dengan mengusung topik yang bermuatan religius agak melegakan pemirsa televisi, khususnya muslim, namun jika diperhatikan lebih seksama akan dijumpai beberapa kejanggalan, di antaranya alur cerita yang tak logis dan penafsiran agama yang membuat umat terikat pada simbol-simbol formal tanpa pemaknaan lebih mendalam. Edy Kuntjoro, Kepala SMA Al-Hikmah Surabaya, menuturkan bahwa sinetron religi tersebut mencitrakan kehidupan sehari-hari, bukan sepenuhnya berdasarkan nilainilai keislaman. Beliau merasa khawatir masyarakat yang menonton tersebut malah mengalami pendangkalan nilai-nilai agama. Beliau mencontohkan seorang rentenir yang semasa hidupnya bertindak kejam terhadap tetangga yang memminjam uang. Ketika rentenir tersebut meninggal dunia, tak ada tetangga yang mau menyucikan dan menyalati jenazahnya. Azabnya tidak hanya itu. Ketika hendak dikebumikan, air keluar terus-menerus dari lubang kuburnya meskipun telah dikuras sehingga sepereti banjir. Di sinetron tersebut diceritakan seakan-akan bumi menolak jenazah rentenir tersebut Dari adegan tersebut orang bisas menyimpulkan bahwa menjadi rentenir membuiat jenazahnya tak bias segera dimakamkan. “Itukan kesimpulan yang tak sepenuhnya benar. Harus ditelaah benar-benar mengapa hal tersebut bias terjadi”, ungkapnya. Halhal seperti itu seharusnya diluruskan sehingga tak muncul salah persepsi di kalangan masyarakat.1 Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti masalah persepsi masyarakat terhadap tayangan sinetron religi di televisi. Rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pengertian masyarakat Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat tentang sinetron religi dan bagaimana persepsi masyarakat di Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat tentang tayangan sinetron religi di televisi. Metode Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat. Sumber informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa wawancara mendalam (indepth interview) dengan beberapa informan yang berasal dari masyarakat Kecamatan Hinai. Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian ini (sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif itu sendiri). Dalam penelitian ini, Peneliti sendiri yang terjun langsung ke site penelitian sebagai ”tangan pertama”.
1
Harian Jawa Pos, terbitan 9 Januari 2009.
2
Dalam analisis data digunakan teknik analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data, interpretasi data, dan kesimpulan. Untuk memperkuat keabsahan data hasil temuan, digunakan standar Lincoln dan Guba yang meliputi: kredibilitas (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan, dan ketegasan (confirmability). Kajian Teoritis
1. Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (sensasi), yaitu suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima, yaitu alat indra. Stimulus tersebut diorganisasikan dan diinterpretasi sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya. Dengan demikian, persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang intergrated dalam diri individu.2 Menurut McMahon, persepsi adalah proses menginterpretasikan rangsang (input) dengan menggunakan alat penerima informasi (sensory information), sedangkan William James menyatakan bahwa persepsi terbentuk atas dasar data-data yang diperoleh dari pengolahan ingatan (memory) yang diolah kembali berdasarkan pengalaman yang dimiliki3 Menurut Walgito, hasil persepsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah keadaan individu, baik yang berhubungan dengan jasmani maupun psikologis. Bila sistem fisiologis terganggu, hal tersebut akan mempengaruhi persepsi seseorang. Sedangkan psikologis terkait dengan pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi.4 Persepsi meliputi : • Penginderaan (sensasi), melalui alat-alat indra (indra perasa, indra peraba, indra pencium, indra pengecap, dan indra pendengar). Makna pesan yang dikirimkan ke otak harus dipelajari. Semua indra mempunyai andil bagi berlangsungnya komunikasi manusia. • Atensi atau perhatian adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan, dan proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Atensi dapat merupakan proses sadar maupun tidak sadar. • Interpretasi adalah, proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan).
2
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar, 2003, (Yogyakarta: Andi), h. 53. Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasardasar Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 105-106. 4 Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar, h. 54-55 3
3
2. Sinetron Religi Salah satu acara yang banyak ditonton oleh masyarakat adalah sinetron. Menurut Kuswandi, sinetron banyak ditonton pemirsa karena isi pesannya sesuai dengan ralitas sosial, isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya masyarakat (pemirsa), dan isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan. Untuk membuat sinetron ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu terdapat permasalahan sosial dalam cerita sinetron yang mewakili realitas sosial dalam masyarakat dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam sinetron secara positif dan responsif (ending cerita). Beliau juga menjelaskan bahwa paket sinetron yang tampil di televisi adalah salah satu bentuk untuk mendidik masyarakat dalam bersikap dan berprilaku yang sesuai dengan tatanan norma dan nilai budaya masyarakat setempat. Masalah krusial dalam isi pesan sinetron adalah soal kualitas dan objektivitas, artinya tidak selamanya sinetron yang berkualitas dapat menunjukkan atau mengungkapkan objektivitas sosial.5 Sinetron religi dianggap sebagai sinetron yang di dalamnya terdapat unsur pendidikan spiritual. Memang sulit untuk membuat sinetron religi yang benar-benar bermutu tinggi dengan misi dakwah yang murni. Menurut Gumilar, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh stasiun televisi dalam membuat sinetron religi, yaitu cerita, kostum dan aurat, sutradara, pemeran/pemain, produser, kru, sponsor, tayangan iklan, waktu tayang, dan konsultan syari’ah.6 2. Media Televisi Munculnya media televisi dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa jelas melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya manusia, sekaligus juga akan mempengaruhi pembentukan persepsi dan minat massa terhadap acara yang disajikan oleh media televisi. Peran media televisi sebagai saluran komunikasi manusia mencirikan bahwa proses interaksi manusia merupakan hal penting bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan terhadap informasi yang berkembang. Selain itu, tingkat kepentingan dan kebutuhan masyarakat menjadi terpenuhi secara terarah dan jelas. Menurut Jalaluddin Rakhmat, efek komunikasi massa yang salah satunya adalah televisi dapat dikaji melalui dua sudut pandang, yaitu efek kehadiran media massa televisi dan efek pesan media massa televisi.7 Efek media massa televisi dapat merubah kondisi kehidupan masyarakat, yaitu efek ekonomi (dapat menumbuhkan berbagai produksi, distribusi, dan konsumsi jasa media massa), efek sosial (berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat kehadiran televisi), efek terhadap jadwal aktivitas harian, efek hiburan (hilang perasaan tidak nyaman), dan efek menumbuhkan perasaan tertentu (muncul perasaan positif atau negative terhadap tayangan acara tertentu). Sedangkan efek pesan media televisi secara sederhana ada 3 efek yang ditimbulkan, yaitu efek kognitif (pengetahuan dan pemahaman), efek afektif
5
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. 1996. (Jakarta: Rineka Cipta), h. 130. 6 Gumgum Gumilar, Menyikapi Tayangan di Televisi Indonesia, www.osun.org/menyikapipdf.html 7 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 20003. (Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 219.
4
(pembentukan dan perubahan sikap, dan efek behavioral (pembentukan dan perubahan perilaku). Menurut Nurudin, ada beberapa faktor yang ikut berperan dalam mempengaruhi proses penerimaan pesan media massa televisi, yaitu faktor individu dan faktor sosial. Faktor individu yang ikut mempengaruhi proses komunikasi antara lain selective attention (individu yang cenderung menerima pesan media massa televisi yang sesuai dengan pendapat dan minatnya), selective perception (individu secara sadar akan mencari media yang bias mendorong kecenderungan dirinya, baik berupa pendapat, sikap atau keyakinan), selective retention (kecenderungan seseorang hanya mengingat pesan yang sesuai dengan pendapat dan kebutuhan dirinya sendiri), motivasi dan pengetahuan, kepercayaan, pendapat, nilai dan kebutuhan, pembujukan, kepribadian, dan penyesuaian diri. Di lain hal, terpaan media massa akan lebih mudah diterima oleh orang-orang yang biasa menyesuaikan diri dengan hal-hal baru.8 Faktor sosial, Black dan Whitney seperti dikutip oleh Nurudin, menyebutkan bahwa umur dan jenis kelamin masuk sebagai faktor sosial dan merupakan faktor pertama yang mempengaruhi efek pesan. Jenis kelamin dan umur berkaitan dengan lingkup sosial lembaga di mana individu bergabung. Organisasi di mana individu bergabung akan ikut menentukan bagaimana pesan media massa televisi mempengaruhi perilaku individu.9 Temuan Penelitian Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sinetron religi tetap menjadi acara pilihan masyarakat untuk dilihat, meskipun frekuensi dan durasi menontonnya berbedabeda. Dalam seminggu, rata-rata masyarakat menyaksikan tayangan tersebut berkisar antara 1-4 kali. Bahkan di antara mereka ada yang menjadikannya sebagai tontonan ”wajib” untuk dilihat setiap hari dan merasa ada yang ”kurang” apabila tidak disaksikan. Kebanyakan mereka menyaksikan tayangan sinetron religi tersebut pada malam hari. Perhatian terhadap tayangan sinetron tersebut berbeda-beda, ada yang melihatnya dengan serius dan perasaan terharu, ada yang melihatnya sampai tuntas atau habis cerita, dan ada pula yang sekedar melihat-lihat saja, yaitu hanya menyaksikan jalannya cerita di awal, tengah, dan akhir cerita saja karena disertai dengan gonta-ganti channel untuk melihat acara yang ditayangkan di stasiun televisi yang lain. Motivasi menonton sinetron religi yang dapat dirangkum dari hasil wawancara adalah sebagai hiburan, acaranya menarik, penasaran dengan ceritanya, menambah wawasan, mengambil hikmah dan pelajaran, dan sekedar menonton saja. Secara umum sinetron religi didefinisikan sebagai sinetron yang berhubungan dengan cerita agama dan dakwah Islam. Kriteria sinetron religi menurut masyarakat dinilai berdasarkan alur cerita, adegan, dan atribut keagamaan yang ditampilkan, seperti penggunaan jilbab, baju koko, tasbih, dan sebagainya. Namun salah seorang informan berbeda pendapat bahwa atribut keagamaan yang ditampilkan belum tentu membuat sinetron tersebut masuk dalam kriteria sinetron religi. Menurutnya atribut keagamaan yang digunakan dalam suatu sinetron hanya sebagai ”pemanis” untuk meningkatkan rating acara tersebut.
8
Nurudin, Komunikasi Massa, 2004. (Malang: Cespur), h. 214-220. Ibid., h. 220-223
9
5
Materi cerita sinetron religi yang tersaji di televisi beragam, namun dapat disimpulkan kepada pahala dan siksa, akhlak, makhluk gaib, dan keinsyafan. Berkenaan dengan penilaian masyarakat terhadap jalan cerita sinetron religi, secara umum masuk akal karena merupakan gambaran realitas kehidupan pada umumnya. Berkenaan dengan pahala dan siksa Allah, cerita tersebut dapat dipahami dengan keimanan, karena orang awam pun mengetahui bahwa azab dan siksa Allah selain di akhirat terkadang juga diperlihatkan di dunia. Hal yang agak diragukan oleh akal sehat adalah cerita tentang makhluk gaib. Cerita tersebut dapat memicu salah pengertian. Dalam sinetron religi yang bercerita tentang remaja, sering terdapat adegan pacaran yang dibumbui dengan kegiatan keagamaan, seperti pergi ke masjid berdua, mengaji berdua, dan sebagainya. Pada umumnya dalam menanggapi hal tersebut, masyarakat menganggap adegan tersebut boleh saja dilakukan karena dianggap sebagai dakwah bagi kalangan remaja. Mengenai efek adegan tindak kekerasan atau pelecehan terhadap orang lain di dalam sinetron terhadap anak-anak, secara umum dinilai tidak berefek negatif selama mereka didampingi oleh orang tua ketika menyaksikan tayangan tersebut. Orang tua dapat memberikan penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sinetron tersebut, bahwa melecehkan atau menghina orang lain dan menindas yang lemah itu perbuatan yang tidak baik dan dilarang. Namun terbersit juga kekhawatiran akan efek negatif tayangan sinetron yang menampilkan adegan kekerasan dan pelecehan. Karena itu sebaiknya diperhatikan jam tayang sinetron yang didominasi oleh adegan-adegan yang mengandung kekerasan dan pelecehan. Manfaat yang diperoleh setelah menyaksikan sinetron religi adalah dapat dijadikan sebagai alat untuk mengintropeksi diri, mengingatkan diri pada ajaran agama, menyentuh hati guna melakukan perubahan sikap, menambah wawasan dan pengetahuan, dan memberikan ide untuk rencana ke depan. Pembahasan Media massa terutama media elektronika telah menjadi daya tarik ampuh bagi pemirsa yang kecanduan terhadap sinetron religi sehingga muncul perasaan ada yang ”hilang” atau tidak lengkap jika tidak menyaksikannya. Antusiasme pemirsa cukup bagus dengan adanya sinetron seperti ini. Hasil survey AC Nielsen menunjukan sinetron Rahasia Ilahi berhasil meraih rating 14,9 dan share 40,29%. Sinetron Takdir Ilahi (9,8 / 22,8 %) dan KDI-2 (9,4/28,3 %). AC Nielsen juga menempatkan sinetron Rahasia Ilahi sebagai tayangan dengan rating pertama untuk semua program di semua stasiun televisi. Sedangkan Takdir Ilahi meraih peringkat ketiga dalam daftar Top 50 Program Televisi di Indonesia. Yang menarik lagi, sinetron Rahasia Ilahi dan Takdir Ilahi mampu menjadi kontributor terbesar yang mendongkrak posisi TPI dari tujuh besar ke posisi tertinggi di Indonesia.10 Perhatian terhadap tayangan sinetron tersebut berbeda-beda, ada yang melihatnya dengan serius dan perasaan terharu, ada yang melihatnya sampai tuntas atau habis cerita, dan ada pula yang sekedar melihat-lihat saja, yaitu hanya menyaksikan jalannya cerita di awal, tengah, dan akhir cerita saja karena disertai dengan gonta-ganti channel untuk melihat acara yang ditayangkan di stasiun televisi yang lain. Motivasi menonton sinetron religi bermacam-macam, yaitu sebagai hiburan, acaranya menarik,
10
Gumgum Gumilar, Menyikapi Tayangan di Televisi Indonesia, www.osun.org/menyikapi-
pdf.html -
6
penasaran dengan ceritanya, menambah wawasan, mengambil hikmah dan pelajaran, dan sekedar menonton saja. Media khususnya televisi memiliki kekuatan yang sangat besar dalam menentukan penting atau tidaknya suatu tayangan untuk masyarakat. Agenda dari media akan menentukkan penting tidaknya informasi atau program televisi tersebut bagi khalayak. Seperti dilihat dalam teori agenda setting. Teori agenda setting pertama sekali diperkenalkan dan dikembangkan oleh McCombs dan Shaw. Teori ini berpendapat bahwa jika media massa memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.11 Secara umum sinetron religi didefinisikan sebagai sinetron yang berhubungan dengan cerita agama dan dakwah Islam. Kriteria sinetron religi menurut masyarakat dinilai berdasarkan alur cerita, adegan, dan atribut keagamaan yang ditampilkan, seperti penggunaan jilbab, baju koko, tasbih, dan sebagainya. Namun salah seorang informan berbeda pendapat bahwa atribut keagamaan yang ditampilkan belum tentu membuat sinetron tersebut masuk dalam kriteria sinetron religi. Menurutnya atribut keagamaan yang digunakan dalam suatu sinetron hanya sebagai ”pemanis” untuk meningkatkan rating acara tersebut. Materi cerita sinetron religi yang tersaji di televisi beragam, namun dapat disimpulkan kepada pahala dan siksa, akhlak, keinsyafan, dan makhluk gaib. Berkenaan dengan penilaian masyarakat terhadap jalan cerita sinetron religi, secara umum masuk akal karena merupakan gambaran realitas kehidupan pada umumnya. Berkenaan dengan pahala dan siksa Allah, cerita tersebut dapat dipahami dengan keimanan, karena orang awam pun mengetahui bahwa azab dan siksa Allah selain di akhirat terkadang juga diperlihatkan di dunia. Hal yang agak diragukan oleh akal sehat adalah cerita tentang makhluk gaib. Cerita tersebut dapat memicu salah pengertian. Ini terkait dengan pengetahuan masyarakat yang tidak semuanya memiliki pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut. Program acara televisi yang mengandung hal-hal mistik dan gaib telah melahirkan sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat manusia. Memang mendengar cerita dari dunia lain akan menarik untuk diketahui karena hal itu biasanya berbicara tentang hubungan antara manusia dan makhluk lain dan sesuatu yang berada di luar “kendali” manusia pasti selalu ingin diketahui. Masalahnya, belum tentu semua orang mau mengambil nilai-nilai positif dari tayangan mistis yang ditontonnya. Alat perpanjangan media massa, khususnya televisi memang disebut-sebut sebagai alat perpanjangan (the extension of man) dalam menjangkau informasi. Televisi merupakan perpanjangan dari mata dan telinga pemirsanya untuk melihat dan mendengar hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, bahkan peristiwa yang terjadi jauh dari jangkauan nalar, termasuk peristiwa-peristiwa alam gaib yang kemudian divisualkan dalam bentuk tayangan sinetron mistis.12 Memang tayangan sinetron keagamaan sebagaimana tayangan sinetron klenik dan mistik yang dianggap bagian dari bentuk keberagamaan di Indonesia merupakan peluang yang menjanjikan. Hal itu bisa terjadi, sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup di sebagian besar masyarakat dan itu menurut mereka sebagai sebuah pelipur lara
11
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), Cet. Ke-2, h. 287. 12 Dede Mulkan, “Menyikapi Tayangan Mistis di Televisi”. http://padekan.wordpress.com/2008/07/18/menyikapi-tayangan-mistis-di-televisi/.
7
dan sebagai upaya untuk mengurangi beban hidup. Memperhatikan keadaan itu, maka tidak mengherankan jika semua saluran televisi bersaing ketat dalam memproduksi dan menayangkan acara bernuansa keagamaan dalam rangka merebut pemirsa (umat Islam). Akibatnya, terjadilan eksploitasi terhadap sejumlah ajaran agama di mana lebih bermuara kepada mistikasi agama dibandingkan memberikan pencerahan kepada masyarakat. Konsekuensi lebih lanjut dari hal itu, agama tampil sebagai sosok yang menyeramkan di samping secara tidak sadar terjadi proses desakralisasi ajaran agama itu sendiri.13 Dalam sinetron religi yang bercerita tentang remaja, sering terdapat adegan pacaran yang dibumbui dengan kegiatan keagamaan, seperti pergi ke masjid berdua, mengaji berdua, dan sebagainya. Pada umumnya dalam menanggapi hal tersebut, masyarakat menganggap adegan tersebut boleh saja dilakukan karena dianggap sebagai dakwah bagi kalangan remaja. Namun ada yang berpendapat bahwa hal tersebut mencampur-adukkan antara yang hak dan yang batil. Ada anggapan masyarakat bahwa pergi berdua-duaan itu merupakan hal lumrah dan dibolehkan dalam agama. Padahal syariat Islam telah menetapkan rambu-rambu dan aturan yang harus dipatuhi dalam pergaulan dengan lawan jenis. Berdua-duaan dengan lawan jenis akan mengundang tipu daya setan yang selalu ingin dan berusaha menjerumuskan manusia ke jurang dosa dan penyesalan. Adegan sinetron religi yang dibumbui dengan kegiatan pacaran dapat menimbulkan efek pengaburan pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama tentang adab pergaulan dengan lawan jenis. Mengenai efek adegan tindak kekerasan atau pelecehan terhadap orang lain di dalam sinetron terhadap anak-anak, secara umum dinilai tidak berefek negatif selama mereka didampingi oleh orang tua ketika menyaksikan tayangan tersebut. Orang tua dapat memberikan penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sinetron tersebut, bahwa melecehkan atau menghina orang lain dan menindas yang lemah itu perbuatan yang tidak baik dan dilarang. Tayangan televisi ibarat dua sisi mata uang, salah satu sisi memberikan manfaat positif, tapi di sisi lain berdampak negatif. Keberadaan televisi di masyarakat seharusnya ada penyesuaian diri, dengan cara ini saat "mengonsumsi" berbagai tayangannya terdapat dimensi akal budi yang mendalam, yakni sikap kritis terhadap status quo, tapi sayangnya karena media televisi sudah demikian dekat dengan keseharian dan jadi kebutuhan primer masyarakat, kini terjadi hilangnya untuk menolak (menegasi) dari akal budi. Berbagai tayangan di televisi ditelan mentah-mentah tanpa dikritisi dan fatalis, padahal kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan sebagai imbangan terhadap suatu proses yang kerap membawa dampak negatif bagi masyarakat. Terlepas dari plus minusnya dampak tayangan sinetron religi, masyarakat menganggap sinetron religi perlu dilanjutkan dan diperpanjang waktunya. Namun hal tersebut dengan catatan agar adegan vulgar diminimkan dan cerita azab Allah jangan terlalu diekspos karena akan memicu munculnya anggapan bahwa Allah itu kejam. Cerita tentang siksa sebaiknya diganti dengan cerita kebaikan yang wajar terjadi secara umum di masyarakat. Selain itu, adegan perbuatan yang tidak baik, seperti cara berzina, mencuri, merampok, dan lain-lain jangan terlalu didetailkan karena sinetron tersebut dapat dianggap sebagai guru dan pemberi inspirasi untuk tindak kejahatan. Terakhir
13
Mahmudi Asyari, “Menakar Manfaat Sinetron Religi”, tanggal 27 Januari 2007, http://arsip.pontianakpost.com.
8
diharapkan agar sinetron yang ditayangkan pada saat semua keluarga berkumpul merupakan sinetron yang mendidik dan ceritanya diperuntukkan bagi semua umur. Penutup Tema sinetron religi masih tetap digemari masyarakat meskipun saat ini sudah agak menurun jam tayangnya di televisi. Sinetron religi dapat dipahami sebagai sinetron yang berhubungan dengan cerita agama dan dakwah Islam yang dapat dipandang dari aspek cerita, adegan, dan busana atau kostum yang dipakai oleh para pemainnya. Meskipun demikian, aspek cerita lebih menonjol dibandingkan aspek busana atau atribut keagamaan yang digunakan. Hal ini disebabkan simbol-simbol agama yang dipergunakan dalam suatu sinetron belum tentu membuat sinetron tersebut berpredikat sebagai sinetron religi. Simbol keagamaan, seperti pakaian koko, jilbab, terkadang hanya sebagai kamuflase dan ”pemanis” agar masyarakat tertarik untuk menyaksikannya. Alasan bisnis lebih banyak bermain dalam produksi suatu sinetron karena mereka mengejar rating. Kalau suatu acara rating-nya tinggi, berarti nilai ekonomis acara tersebut semakin tinggi pula. Dalam mengejar rating tersebut, terkadang aspek esensial terlupakan, seperti bagaimana efek sinetron terhadap pemirsa yang terdiri dari berbagai macam usia, latar pendidikan, pengetahuan, budaya, sosial, dan sebagainya. Sinetron religi yang ditayangkan televisi saat ini dapat disimpulkan lebih mengutamakan aspek bisnis daripada aspek religius dan pendidikan yang seharusnya tetap menjadi prioritas utama. Televisi tidak boleh melupakan kontribusinya terhadap pembentukan kognisi, afektif, dan behavioral masyarakat. Para pekerja seni (sineas) hendaknya bisa memadukan aspek bisnis, seni, dan nilai-nilai religius dalam setiap karya yang dihasilkannya. Penulis: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, menyelesaikan S.2 pada Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara.
9
Pustaka Acuan Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasar-dasar Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Asyari, Mahmudi. “Menakar Manfaat Sinetron Religi”. 27 Januari 2007. http://arsip.pontianakpost.com. Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Gumilar, Gumgum. Menyikapi Tayangan di Televisi Indonesia. www.osun.org/menyikapipdf.html Harian Jawa Pos, terbitan 9 Januari 2009. Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta. Mulkan, Dede. “Menyikapi Tayangan Mistis di Televisi”. http://padekan.wordpress.com/2008/07/18/menyikapi-tayanganmistis-di-televisi/. Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi.
10