Skenario I, pembiayaan pasca panen sebesar 5% dari pendapatan bea ekspor.
Skenario II, pembiayaan pasca panen sebesar 10% dari pendapatan bea ekspor, serta meningkatkan bea ekspor biji kopi sebesar 2% dan menurunkan bea ekspor kopi olahan sebesar 7%. Skenario III, pembiayaan pasca panen sebesar 10% dari pendapatan bea ekspor, serta menaikkan bea ekspor biji kopi menjadi 5%.
Analisa Hasil Simulasi
Existing: Rp. 878.000 per ton S I: Kenaikan 30% S II: Kenaikan 73% S III: Kenaikan 85%
Pendapatan existing: 1.147.160 per ton S I: Kenaikan 31% S II: Kenaikan 87% S III: Kenaikan 85%
Analisa Hasil Simulasi
Peningkatan Devisa melalui peningkatan nilai tambah ditunjukkan oleh adanya peningkatan kapasitas industri kopi olahan
Existing : Rp. 4 T S I: 6% S II: 71% S III: 35%
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kebijakan selama ini tentang sistem perkopian nasional dirasa masih belum efektif, ditinjau dari segi perolehan petani robusta dan petani arabica yang masih belum maksimal karena masih terdapat permasalahan seperti kualitas kopi yang buruk akibat penanganan pasca panen yang tidak memadai.
Skenario yang mampu meningkatkan perolehan petani kopi adalah dengan adanya peningkatan kualitas. Peningkatan kualitas dapat dilakukan melalui kebijakan pembiayaan yang diambil dari pendapatan bea ekspor untuk penanganan pasca panen kopi.
Kesimpulan Dari hasil running simulasi selama 25 tahun, peningkatan perolehan petani kopi robusta relatif sangat lamban, lebih-lebih petani arabica relatif tetap. Setelah diberikan skenario, peningkatan perolehan petani robusta mencapai 85% dari perolehan semula sekitar Rp. 878.000 per ton sedangkan petani arabica mengalami kenaikan sebesar 87% dari rata-rata pendapatan eksisting sekitar Rp. 1.147.160 per ton
Selain mengekspor dalam bentuk biji kopi, usaha-usaha untuk meningkatkan nilai tambah tetap perlu dilakukan. Nilai tambah ini tidak secara langsung dapat dinikmati oleh petani kopi, namun melalui pemerintah yang diperoleh dari meningkatnya jumlah devisa yang dimungkinkan untuk pembiayaan peningkatan kualitas, ataupun pembiayaan untuk peningkatan faktor lainnya agar kopi indonesia tetap berperan di pasar internasional.
Pada penelitian perkopian selanjutnya hendaknya dilakukan suatu studi mengenai peningkatan kapasitas industri dilakukan dengan perhitungan investasi, balik modal dan pembiayaan lainnya
Pada penelitian berikutnya diharapkan adanya kajian tentang evaluasi kinerja rantai pasok sistem perkopian nasional saat ini.
TERIMA KASIH
Anonim, 2001. ACPC Hentikan Program Retensi Kopi. Kopi Indonesia, Edisi 99/Th VIII/September 2001, p:4-5 Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. 2005. Statistik Kopi 1980-2005. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, Jakarta. Coyle, C. & Hall. 1996. System Dynamic Modelling. Cranfield University, UK. Direktorat Jenderal Perkebunan, 1989. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 1984-1989, Kopi. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2001. Statistik Perkebunan, Kopi Robusta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2003. Kebijakan dan Program Pemasaran dan Pengembangan Industri Kopi di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 19(1): 9- 21. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkopian Nasional. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 19(1): 1-8. Forrester, J. W. 1968. Principle of Sistem. Wright-Allen Press, Inc. Massachusetts. Herman, 2002. Perkembangan Agribisnis Kopi di Vietnam, Tinjauan Komoditas, 3(1):23-29.
International Coffee Organization, 2002. Coffee Market Report, Oktober 2002. http://www.ico.org. 6p. International Coffee Organization, 2002a. Coffee Market Report, Desember 2002. http://www.ico.org. 7p. International Coffee Organization, 2003. Coffee Market Report, Januari 2003. http://www.ico.org. 7p. International Coffee Organization, 2003a. Total Production of Exporting Members, Crop Years 1997/98 to 2002/03. http://www.ico.org. 2p. Media Indonesia (Jakarta). 2001. 28 Agustus. Media Indonesia (Jakarta). 2001. 21 September. Muhammadi, dkk. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Novitasari, Ratna. (2010). Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu : Sebuah Penghampiran Dinamika Sistem. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS Osorio Felipe Abaunza., Aramburo Santiago Arango. 2009. “A System Dinamics Model For The World Coffee Market”. National University of Colombia, Medellin. Retnandari dan Moeljarto Tjokrowinoto,1991. Kopi, Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Ridwan. (2004). Analisis Dampak Kebijakan terhadap Produksi dan Permintaan Kopi di Indonesia. IPB. Bogor.
Siswoputranto, P.S., 1993. Kopi Internasional dan Domestik. Kanisius, Jakarta. Simatupang, P., et al. 1998. Koordinasi Vertikal Sebagai Strategi Untuk Meningkatkan Daya Saing dan Pendapatan Dalam Era Globalisassi Ekonomi (kasus Agribisnis Kopi). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor Suryani, Erna . (2001). Skenario Kebijakan Pengembangan Pergaraman Nasional, suatu Penghampiran Model Sistem Dinamik. Thesis Jurusan Teknik Industri ITS. Sofyan, S. (2001). Aplikasi Sistem Dinamis dalam Merakit Kebijakan Perberasan Nasional yang Lebih Menguntungkan Petani. Thesis Jurusan Teknik Industri ITS. Sulaksono, Anugrah Pudji. (2003). Penentuan Kebijakan Produksi Padi untuk Pemenuhan Kecukupan Pangan di Kabupaten Mojokerto dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Thesis Jurusan Teknik Industri ITS. Wibisono, Rikki. (2002). Analisa Kebijakan Industri Gula Nasional Dengan Menggunakan Sistem Dinamik. Thesis Jurusan Teknik Industri ITS. Yahmadi, M. 2005. Pemasaran Kopi Indonesia di Pasaran Global. Buletin N0. 6. AEKI Jawa Timur.
1. 2.
3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kebijakan makro ekonomi yang mendukung pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Kebijakan pengembangan industri yang memberikan prioritas kepada pengembangan kluster industri (industy cluster ) agribisnis. Kebijakan perdagangan internasional yang netral baik secara sektoral domestik maupun antar negara dalam kerangka mewujudkan suatu free trade yang fair trade. Pengembangan infrastruktur daerah. Pengembangan kelembagaan baik lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan kelembagaan dan organisasi ekonomi petani. Pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan agribisnis daerah. Ketahanan pangan. Kebijakan khusus komoditi spesifik. Kebijakan penetapan bea ekspor. Kebijakan peningkatan kualitas biji kopi.
Efektif
Pengertian efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa : “Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”. Sedangkan pengertian efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35) adalah sebagai berikut :
“ Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Efisien
Pengertian efisiensi menurut Mulyamah (1987;3) yaitu: “Efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana penggunaan masukan dengan penggunaan yang direalisasikan atau perkataam lain penggunaan yang sebenarnya” Sedangkan pengertian efisiensi menurut SP.Hasibuan (1984;233-4) yang mengutip pernyataan H. Emerson adalah: “Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumbersumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan.”