SISTEM PERINGATAN DINI (EARLY WARNING SYSTEM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur)
DEWI KANIA MERDEKA WATI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sistem Peringatan Dini (Early Warnin System) dalam Upaya pencegahan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Dewi Kania Merdeka Wati NIM E44100077
ABSTRAK DEWI KANIA MERDEKA WATI. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Kebakaran (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO. Kerugian dan dampak negatif yang cukup besar akibat kebakaran hutan menyebabkan perlunya suatu usaha pencegahan kebakaran hutan sejak dini, salah satu contohnya adalah penentuan daerah rawan kebakaran hutan. Faktor manusia merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia yang oleh karenanya dapat dilakukan penentuan daerah rawan kebakaran hutan dengan mempertimbangkan variabel yang menjadi penyebab kebakaran hutan seperti: aksesibilitas menuju hutan, jarak antara areal hutan dengan pemukiman penduduk, dan potensi daerah terjadi konflik. Penentuan daerah rawan kebakaran hutan dilihat berdasarkan tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun dan Sistem Peringatan Dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Metode yang dilakukan adalah dengan melihat hasil rekapitulasi analisis data aksesibilitas dan tingkat persepsi, lalu dijelaskan secara deskriptif mengenai tingkat persepsi tersebut, kemudian menentukan daerah rawan kebakaran hutan. Hasil perhitungan tingkat kerawanan kebakaran hutan digunakan untuk penggambaran daerah mana yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran tergolong tinggi, sedang, ataupun rendah. Hasil rekapitulasi penentuan daerah rawan kebakaran hutan dari kuisioner yang diberikan kepada 120 responden di empat desa penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan tingkat kerawanan rendah terdapat di Desa Kaliabu dan Desa Kebonagung dan daerah dengan tingkat kerawanan sedang─tinggi terdapat di Desa Mojorayung dan Desa Sobrah. Kata kunci: kebakaran hutan, penentuan daerah rawan, sistem peringatan dini
ABSTRACT DEWI KANIA MERDEKA WATI. Early Warning System in Preventing The Forest Fire (A Case Study in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by BAMBANG HERO SAHARJO. Negative impact and losses from of forest fires lead to a need of fire preventionfrom earlier i.e. time within determination of fire prevention. Human factors are the main cause of the forest fires in Indonesia. Therefore determining fire fire prone areas could be done by using variables that contribute to forest fires, such as the accessibility towards the forest, forest distance between settlements, and potential conflict areas. Prone areas to forest fires could be determained by how society's perception on the existence of KPH Madiun and Early Warning System. This study is done by analyzing the data accessibility and the level of perception, to determine prone areas to forest fires. Analyze on forest prone areas then use to determine the risk of fires on the area; high level, moderate, or low level. The results showed that from 120 respondents in four villages the low level
fire risk is found in Kaliabu and Kebonagung Villages. While, high and medium level is found Mojorayung and Sobrah Villages. Keywords: forest fires, determination prone areas, early warning system
SISTEM PERINGATAN DINI (EARLY WARNING SYSTEM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur)
DEWI KANIA MERDEKA WATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Nama : Dewi Kania Merdeka Wati NIM : E44100077
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah tentang kebakaran hutan, dengan judul Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir FX. Istiono, MM selaku Adm KPH Madiun, Ibu Koes Nursanti, BFSC selaku pembimbing di lapangan, Bapak Rudi Setiawan selaku KAUR Lingkungan KPH Madiun, para Mandor dan Mantri di lapang, dan segenap staf KPH Madiun yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Ade Mukhlis S.A. sahabat, Silvikultur ‘47, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Dewi Kania Merdeka Wati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE PENELITIAN
3
Tempat dan Waktu Penelitian
3
Bahan
3
Alat
3
Prosedur Pengumpulan Data
3
Prosedur Analisis Data
5
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
6
Letak dan Luas Areal
6
Kondisi Fisik
8
Kondisi Sosial dan Ekonomi
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Kebakaran Hutan di KPH Madiun
13
Karakteristik Responden Terpilih di Sekitar KPH Madiun
16
Persepsi Masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di KPH Madiun 20 Penentuan Daerah Rawan Kebakaran
25
Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di KPH Madiun
28
SIMPULAN DAN SARAN
29
Simpulan
29
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14
Pembagian wilayah BKPH KPH Madiun Data demografi penduduk di Kabupaten Madiun, Magetan dan Ponorogo Klasifikasi tingkat pendidikan masyarakat keempat desa penelitian Klasifikasi jenis mata pencaharian keempat desa penelitian Distribusi responden berdasarkan kelompok umur di desa penelitian Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga di desa penelitian Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di desa penelitian Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian di desa penelitian Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan di desa penelitian Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan di desa penelitian Hasil Uji Spearman antara karakteristik responden dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Distribusi responden berdasarkan jarak dengan hutan, aksesibilitas ke hutan dan konflik dengan KPH Madiun Rekapitulasi penentuan daerah rawan kebakaran hutan
7 10 11 12 17 17 18 19 19 20
23 26 28
DAFTAR GAMBAR 1 Peta Petunjuk Lokasi KPH Madiun dalam Kerangka Wilayah Provinsi Jawa Timur 2 Frekuensi terjadinya kebakaran hutan tahun 2009─2013 3 Frekuensi terjadinya kebakaran hutan per bulan pada tahun 2009─2013 4 Luas areal terbakar di KPH Madiun tahun 2009─2013 5 Frekuensi kebakaran hutan tahun 2009─2013 di BKPH KPH Madiun 6 Luas areal terbakar tahun 2009─2013 di BKPH KPH Madiun 7 Dokumentasi kejadian kebakaran hutan 8 Alat pemadam kebakaran yang tersedia di setiap kantor BKPH 9 Tingkat persepsi masyarakat terhadap KPH Madiun 10 Tingkat persepsi masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) 11 Sarana dan prasarana pencegahan kebakaran hutan 12 Kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan 13 Penilaian daerah rawan kebakaran berdasarkan aksesibilitas
7 12 13 14 14 15 15 16 21 21 22 27 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data curah hujan bulanan kabupaten Madiun Jawa Timur 2009─2013 2 Contoh laporan kejadian kebakaran hutan di KPH Madiun 3 Sketsa lokasi kebakaran hutan
31 32 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia paling besar terjadi di tahun 1997/1998 yaitu seluas 10 juta ha dan pada tahun 1999 sampai awal tahun 2000 mencapai 0.2 juta ha (Wardhani 2001 dalam Wardhana 2003). Menurut Saharjo (2003), penyebab terjadinya kebakaran hutan terbagi menjadi dua yaitu alam dan manusia. Penyebab kebakaran hutan yang dipengaruhi oleh alam yaitu petir, batubara dan gesekan kayu, sedangkan kebakaran hutan yang terjadi akibat ulah manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan, pembukaan lahan serta pembalakan liar. Kebakaran hutan di Indonesia, seperti yang ditulis Pamungkas (2012) terjadi 99% akibat dari aktivitas manusia. Pembakaran hutan yang terjadi biasanya disebabkan oleh pembukaan dan konversi lahan untuk perladangan, perkebunan dan perumahan yang dianggap lebih mudah dan murah oleh masyarakat. Banyak akibat negatif yang terjadi karena dilakukannya pembakaran tersebut, antara lain menurunnya keanekaragaman hayati, terganggunya atau bahkan hilangnya tempat tinggal satwa dan spesies tanaman lokal, terganggunya proses ekologi hutan (suksesi alami, produksi bahan organik, proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi, dan pembentukan tanah), bahkan dapat menurunkan kualitas air dan udara disekitarnya. Kerugian dan dampak negatif yang cukup besar akibat kebakaran hutan ini menyebabkan perlunya suatu usaha pencegahan kebakaran hutan sejak dini. Dalam kegiatan perlindungan hutan dari kebakaran memang harus lebih diutamakan pada aspek pencegahan, sehingga dengan pencegahan yang baik tentunya diharapkan tidak akan terjadi kebakaran hutan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengetahuan tentang faktor penyebab kebakaran hutan yang dapat dijadikan indikator kerawanan suatu daerah terhadap kebakaran hutan. Penandaan lokasi rawan kebakaran hutan ini juga merupakan suatu dasar dalam penerapan sistem peringatan dini (early warning system) terhadap bahaya kebakaran hutan dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Adapun penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sistem peringatan dini yang diterapkan oleh KPH Madiun dalam mengatasi faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan yang mengacu pada aktivitas manusia sebagai penyebab kebakaran hutan dan juga melihat pandangan serta persepsi masyarakat tentang hal tersebut.
Perumusan Masalah Berdasarkan penyebabnya, kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang berkaitan dengan penyebab kejadian kebakaran seperti iklim, kondisi lahan dan sumber bahan bakar, sedangkan kebakaran yang disebabkan faktor manusia dapat terjadi karena disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan agar kebakaran hutan tidak terjadi, salah satunya adalah dengan diterapkannya sistem peringatan dini (Early Warning System). Apa saja yang menjadi faktor-faktor
2 penyebab terjadinya kebakaran hutan dan sistem peringatan dini yang diterapkan berdasarkan persepsi masyrakat sekitar KPH Madiun? Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dilihat bahwa upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk pencegahan kebakaran hutan adalah melalui sistem peringatan dini (Early Warning System). Sistem peringatan dini yang dapat digunakan antara lain adalah peta tingkat kerawanan kebakaran hutan. Pengetahuan tentang hal tersebut pada suatu wilayah dapat membantu keberhasilan kegiatan pencegahan kebakaran yang dilakukan. Bagaimana penerapan sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan yang sudah dilakukan di KPH Madiun? Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi pada 3 kondisi sebagai syarat atau yang lebih dikenal dengan segitiga api, yaitu tersedianya bahan bakar, sumber panas dan oksigen. Pemahaman dan pengetahuan mengenai penyebab terjadinya kebakaran sangat diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Bagaimana langkah-langkah pencegahan kebakaran hutan yang tepat di kawasan KPH Madiun?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui penyebab terjadinya kebakaran hutan serta faktor-faktor yang menjadi latar belakangnya dilihat dari persepsi masyarakat terhadap bahaya kebakaran hutan dan sistem peringatan dini. 2. Menganalisis sistem peringatan dini (early warning system) bahaya kebakaran hutan berdasarkan tingkat kerawanan yang diaplikasikan di kawasan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 3. Menentukan langkah-langkah pencegahan kebakaran hutan yang tepat di kawasan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Manfaat Penelitian Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sistem peringatan dini yang juga merupakan salah satu upaya pencegahan kebakaran hutan yang akan terjadi, khususnya di areal KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan tingkat kerawanan tinggi sampai rendah. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu dalam evaluasi pembuatan kebijakan dan tambahan data untuk perbaikan penerapan sistem peringatan dini oleh instansi yang terkait, serta dapat digunakan oleh kalangan akademisi untuk menambah literatur dan data empiris yang bisa djadikan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya.
3 Ruang Lingkup Penelitian Sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan dibuat berdasarkan keberadaan faktor penyebabnya. Dalam penelitian ini identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan lebih dititikberatkan pada faktor penyebab yang berasal dari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan hutan di sekitarnya, sehingga ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada kondisi sosial masyarakat yang mendukung terjadinya kebakaran hutan.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Mei 2014 di Desa Kaliabu dan Desa Kebonagung yang berada di BKPH Caruban serta Desa Mojorayung dan Desa Sobrah yang berada di BKPH Mojorayung.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Data kebakaran hutan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tahun 2009─2013 yang terjadi di lokasi penelitian (lokasi dan luas areal terbakar, penyebab dan waktu terjadinya kebakaran hutan). 2. Dokumen-dokumen yang terkait dengan bentuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan yang dilaksanakan di KPH Madiun. 3. Daftar kuisioner untuk mengumpulkan data dari masyarakat (identitas masyarakat, persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun, dan persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan), dan pengamatan langsung di lapangan.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat laptop, kamera, kalkulator, alat tulis, pedoman wawancara, perangkat computer seperti SPSS (Statistical Program for Social Science) 16.0, Microsoft Word dan Microsoft Excel.
Prosedur Pengumpulan Data Sumber Data Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi dua, yaitu:
4 1. Data Primer: data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pengelola KPH Madiun, data hasil kuisioner dengan masyarakat disekitar KPH Madiun. 2. Data sekunder: data kebakaran hutan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tahun 2009─2013 yang terjadi di lokasi penelitian, peta lokasi KPH Madiun, dan dokumen-dokumen yang terkait dengan bentuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan yang dilaksanakan di KPH Madiun. Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan dalam Upaya Perlindungan Hutan Pencegahan kebakaran hutan mencakup semua cara yang dilakukan untuk mengurangi atau meminimalisir kejadian kebakaran. Dalam penerapannya, langkah yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan pengurangan bahan bakar, pengurangan sumber api dan pembuatan peta daerah rawan kebakaran. Hal yang dapat dilakukan pada penelitian ini adalah penentuan peringkat daerah rawan kebakaran hutan dalam peta daerah rawan kebakaran. Hal tersebut juga merupakan hal mendasar dalam penerapan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) selain itu dapat meningkatkan kewaspadaan tiap daerah rawan kebakaran hutan. Perlu diingat juga, keberhasilan pencegahan kebakaran hutan juga tergantung pada keberhasilan penerapan 3E (Education, Enforcement, dan Engineering) baik oleh pengelola maupun dengan bantuan masyarakat sekitar hutan. Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Penentuan daerah rawan kebakaran hutan merupakan salah satu upaya pencegahan kebakaran hutan. Iklim tropis yang dimilik Indonesia secara umum menimbulkan dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Oleh karena itu kemungkinan faktor penyebab kebakaran hutan yang berasal dari alam sangat kecil menjadi penyebab. Faktor penyebab dari manusia merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan utama yang oleh karenanya dapat dilakukan penentuan daerah rawan kebakaran hutan dengan cara melihat variabel yang menjadi penyebab kebakaran hutan seperti: aksesibilitas menuju hutan, jarak antara areal KPH dengan pemukiman penduduk, dan potensi daerah terjadi konflik. Penentuan daerah rawan kebakaran hutan juga dapat dilihat berdasarkan tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun dan Sistem Peringatan Dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Metode yang dilakukan adalah dengan melihat hasil rekapitulasi analisis data aksesibilitas dan tingkat persepsi, lalu dijelaskan secara deskriptif mengenai tingkat persepsi tersebut, kemudian menentukan daerah rawan kebakaran hutan. Hasil perhitungan tingkat kerawanan kebakaran hutan digunakan untuk penggambaran daerah mana yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran tergolong tinggi, sedang, ataupun rendah. Penentuan Lokasi Contoh dan Penetapan Responden Penentuan lokasi contoh pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yang didasarkan pada tingkat kebakaran hutan dan kedekatan jarak dengan KPH Madiun. Penetapan responden sebagai objek penelitian dilakukan dengan metode snowball sampling technique. Dalam teknik sampling ini dicirikan oleh tidak tersedianya data jumlah populasi, sehingga tidak dimungkinkan untuk
5 membuat kerangka sampel. Dengan teknik ini, mula-mula peneliti mencari responden yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, kemudian dari responden ini akan menunjuk atau mengajak temannya yang lain untuk dijadikan sampel, dan seterusnya sehingga jumlah sampel semakin banyak seperti bola salju yang sedang menggelinding (Rianse dan Abdi 2009). Untuk jumlah responden minimal penelitian survey dalam mengumpulkan informasi dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi adalah sebanyak 30 orang (Singarimbun dan Effendi 1995). Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mengidentifikasi dan mendeskripsikan pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Jenis data yang dikumpulkan untuk penelitian ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu (1) data primer adalah data yang diperoleh secara langsung terhadap masyarakat sekitar hutan yang ada di lokasi penelitian; (2) data sekunder merupakan data yang berkaitan dengan penelitian namun diperoleh secara tidak langsung dari responden tetapi informasi diperoleh dari dokumen, arsip dan laporan. Metode Pengolahan Data Pengolahan data disajikan dalam bentuk deskriptif. Penyajiannya digunakan untuk menjelaskan tanggapan yang diberikan berdasarkan nilai persentase jumlah responden. Nilai persentase tersebut diperoleh dari pembagian jumlah responden berdasarkan tanggapan dengan jumlah keseluruhan responden, kemudian tanggapan responden tersebut dibandingkan dengan hasil wawancara dan studi pustaka, untuk mengetahui tingkat persepsi responden dilakukan skoring. Hasil skoring data yang diperoleh dari hasil kuisioner pada penelitan ini dapat dikelompokan dalam dua variabel, yaitu persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan, dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun. Pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa langkah yaitu skoring data, pembuatan tabel frekuensi dan tabulasi silang.
Prosedur Analisis Data Analisis data karakteristik responden adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner terhadap responden berupa karakteristik responden sekitar KPH Madiun. Selanjutnya data tersebut ditabulasikan dengan SPSS 16.0 dan dijelaskan secara deskriptif. Analisis data persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun dari data yang diperoleh dan hasil wawancara responden dengan menggunakan kuisioner berupa persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun diberi nilai dan ditabulasi dengan SPSS 16.0. Nilai akhir skor yang menentukan tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan KPH Madiun yang diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (0─16) dengan nilai 1, sedang (17─33) dengan nilai 2, dan tinggi (34─48) dengan nilai 3.
6 Analisis data persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan diperoleh dari hasil wawancara responden menggunakan kuisioner berupa persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan ditabulasikan dan diberi skor untuk dijelaskan secara deskriptif. Nilai akhir skor yang menentukan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan yang diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (0─41) dengan nilai 1, sedang (42─83) dengan nilai 2, dan tinggi (84─125) dengan nilai 3. Pengukuran keeratan hubungan antara potensi penyebab kebakaran hutan (karakteristik responden) terhadap tingkat persepsi perlu dilakukan maka digunakan analisis rank spearman (rs). Adapun nilai rs dirumuskan sebagai berikut:
rs = 1 Keterangan :
6∑𝐷𝐷2
𝑛𝑛(𝑛𝑛2 − 1)
rs = koefisien korelasi rank spearman D = selisih antara X dan Y 6 = angka konstan
Koeifisien korelasi rank spearman (rs) merupakan salah satu ukuran deskriptif untuk mengukur tingkat korelasi (interdependency) dua variabel, dengan syarat kedua variabel minimal mencapai pengukuran ordinal (Firdaus et al. 2011). Pengukuran keeratan hubungan antara potensi penyebab kebakaran hutan (karakteristik responden) terhadap tingkat persepsi perlu dilakukan dengan uji Spearman. Besar koefisien korelasi pada nilai 0 (tidak ada korelasi sama sekali), nilai negatif (korelasi negatif sempurna), dan nilai positif (korelasi positif sempurna) dengan pengujian signifikansi: H0 = tidak ada hubungan antara potensi penyebab kebakaran hutan dengan tingkat persepsi (nilai korelasinya 0) H1 = ada hubungan antara potensi penyebab kebakaran hutan dengan tingkat persepsi (nilai korelasinya tidak 0) Dasar pengambilan keputusan untuk pengujian ini adalah berdasarkan signifikansinya, jika signifikansi lebih besar 0.05, maka terima H0 dan jika signifikansinya kurang dari 0.05, maka tolak H0.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Areal Profil KPH Madiun Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun merupakan salah satu unit kelola sumberdaya hutan (SDH) di Pulau Jawa berada dalam lingkup Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) Unit II Jawa Timur, dengan kantor
7 Pusat berkedudukan di Jakarta, dimana Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 15 Tahun 1972 tentang Pendirian Perusahaan Umum Kehutanan Negara. KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur berlokasi di Jalan Rimba Mulya No 6 Madiun. Wilayah hutan yang dikelola KPH Madiun adalah seluas 31 MADIUN 219.70KPHha yang terdiri dari 2 kelas perusahaan LAUT JAWAyaitu kelas perusahaan jati seluas 27 483.60 ha dan kelas perusahaan kayu putih seluas 3 736.10 ha. Secara administratif, wilayah kawasan hutan KPH Madiun terletak di 3 wilayah administratif pemerintah daerah, yaitu Kabupaten Madiun dengan luas 15 953.8 ha, Kabupaten Ponorogo dengan luas 13 405.8 ha, dan Kabupaten Magetan dengan luas 1 860.10 ha (KPH Madiun 2013). 30000
20000
10000
50000
40000
60000
40000
40000
PETA PETUNJUK LOKASI
P BAWEAN
PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR SKALA 1 : 500.000
P KANGEAN
N
5
0
5 Kilometers
KAB TUBAN
KAB SUMENEP
KAB SAMPANG
KAB BANGKALAN
KAB PAMEKASAN
30000
30000
KAB LAMONGAN
KAB GRESIK
KOTA SURABAYA
KAB BOJONEGORO
KAB NGAWI
KAB SIDOARJO
KAB JOMBANG KAB MADIUN
SELAT MADURA
KAB MOJOKERTO
KAB NGAJUK
KAB MAGETAN
20000
20000
KAB PASURUAN KAB SITUBONDO KOTA BATU
KAB KEDIRI
KAB PROBOLINGGO
KAB PONOROGO
KAB PACITAN
KAB BONDOWOSO
KAB TRENGGALEK
KAB BLITAR KAB TULUNGAGUNG
KAB MALANG
KAB LUMAJANG KAB JEMBER
10000
P BALI
10000
KAB BANYUWANGI
LEGENDA : P NUASA BARUNG
BATAS PROPINSI BATAS KABUPATEN BATAS KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) SUNGAI / PANTAI BATAS HUTAN LOKASI KPH MADIUN
SAMUDERA HINDIA 0
0 10000
20000
30000
40000
50000
60000
Gambar 1 Peta Petunjuk Lokasi KPH Madiun dalam Kerangka Wilayah Propinsi Jawa Timur Secara geografis, KPH Madiun terletak pada Timur 111°17’51” dan Barat 111°42’43” BT Utara 7°34’36” dan Selatan 7°58’12” LS. KPH Madiun dibatasi dengan KPH Saradan di sebelah utara, KPH saradan dan KPH Lawu Ds di sebelah timur, KPH Lawu Ds di sebelah selatan, dan KPH Lawu Ds dan KPH Ngawi di sebelah barat. Secara Teritorial, KPH Madiun terbagi dalam 11 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang disajikan pada Tabel 3. Dalam unit terkecil pemangkuan hutan BKPH KPH Madiun memiliki 39 Resort Pemangku Hutan (RPH) (KPH Madiun 2013). Tabel 1 Pembagian wilayah BKPH KPH Madiun No 1 2 3 4 5 6 7
BKPH Mojorayung Caruban Dungus Ngadirejo Brumbun Dagangan Sampung
Luas (ha) 2 835.4 3 152.2 3 496.1 2 251.9 1 764.7 2 230.1 3 596.0
8 8 9 10 11
Sukun Sumoroto Pulung Bondrang Jumlah
3 701.0 2 589.7 2 207.4 2 925.5 30 750.0
Sumber: RPKH KP Jati Jangka 2011─2020 KPH Madiun
Keadaan Wilayah Desa Penelitian Desa Sobrah Desa Subrah termasuk Kecamatan Wungu RPH Bribis BKPH Mojorayung Kabupaten Madiun Jawa Timur memiliki luasan sebesar 143 889 ha. Batas-batas wilayah Desa Subrah adalah sebelah selatan berbatasan dengan Desa Nglambangan, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Betek, sebelah utara berbatasan dengan alur IA petak 168 RPH Bulu dan Desa Sirapan, dan sebelah timur berbatasan dengan petak 193 dan 167 RPH Bribis (Desa Sobrah 2013). Desa Mojorayung Desa Mojorayung termasuk Kecamatan Wungu RPH Bludru BKPH Mojorayung Kabupaten Madiun Jawa Timur memiliki luasan sebesar 409.89 ha. Batas-batas wilayah Desa Mojorayung adalah sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bantengan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Tempursari, sebelah utara berbatasan dengan Desa Nglanduk, dan di sebelah timur berbatasan dengan hutan BKPH Mojorayung (Desa Mojorayung 2013). Desa Kaliabu Desa Kaliabu termasuk Kecamatan Mejayan RPH Kaliabu BKPH Caruban Kabupaten Madiun Jawa Timur memiliki luasan sebesar 5 231 ha. Batas-batas wilayah Desa Kaliabu adalah di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pandean, di bagian selatan berbatasan dengan hutan KPH Madiun, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Plumpungrejo, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Klecorejo (Desa Kaliabu 2013). Desa Kebonagung Desa Kebonagung termasuk Kecamatan Mejayan RPH Wates BKPH Caruban Kabupaten Madiun Jawa Timur memiliki luasan sebesar 241 160 ha. Batas-batas wilayah Desa Kebonagung adalah sebelah selatan berbatasan dengan petak 8, 10,11 dan 13 RPH Wates, sebelah utara berbatasan dengan desa Darmorejo, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Dungbajul, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonorejo (Desa Kebonagung 2013).
9 Kondisi Fisik Topografi dan Jenis Tanah Wilayah kawasan hutan KPH Madiun mempunyai kemiringan lereng, landai, bergelombang sampai dengan bergunung-gunung. Sungai yang ada yaitu anak sungai Madiun yang memebentang dari arah selatan ke utara. Wilayah kawasan hutan KPH Madiun termasuk DAS Bengawan Solo dan merupakan salah satu penyangga kestabilan ekosistem pada sub DAS Bengawan Solo. Berdasarkan Peta Tanah Tinjau, Balai Penelitian Tanah, Tahun 1966, jenis tanah yang terdapat di wilayah KPH Madiun adalah Aluvial kelabu tua, aluvial coklat kekelabuan, litosol, asosiasi litosol dan mediteran coklat, grumusol kelabu tua, mediteran coklat kemerahan, dan latosol coklat kemerahan (KPH Madiun 2013). Curah Hujan dan Iklim KPH Madiun memiliki tipe iklim C berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan ferguson dengan tingkat curah hujan 1 966.9─3 471.7 mm/th dan rata-rata sebesar 2 575.7 mm/th. Data curah hujan di KPH Madiun tersebut diperoleh dari data Statistik Balai Klimatologi Kabupaten Madiun selama 5 tahun terakhir. KPH Madiun memiliki suhu minimum rata-rata sebesar 21.75 °C dan suhu maksimum rata-rata 31.68 °C dengan kelembaban udara berkisar antara 64─92 %. Kecepatan angin bulanan sebesar 10─18.27 knot yang diukur pada tahun 2008 (KPH Madiun 2013). Hidrologi KPH Madiun berada pada DAS Bengawan Solo dengan sub DAS Madiun. Pola DAS tersebut terbentuk karena adanya sungai-sungai yang membentuknya antara lain Sungai kedung Lumbung, Sungai Selogong, Sungai Urip, Sungai Tameng, Sungai Brangkal, Sungai Catur, Sungai Mriwung, Sungai Ngadirejo, Sunga Pucang, dan Sungai Sidowayah. Bentuk DAS yang ada di KPH Madiun tersebut seperti bulu burung (KPH Madiun 2013). Vegetasi dan Satwa Kondisi vegetasi utama yang ada dalam wilayah kawasan hutan Perum Perhutani KPH Madiun adalah jenis jati (Tectona grandis) yang mendominasi kawasan hutan dengan tersebar di 81.74% luas kawasan hutannya. Tanaman lain yang mempunyai persentase lebih dari 2% adalah tanaman Mahoni (5%), Mindi (2.6%), rimba campuran (5.9%), dan Sonobrit (2.2%). Jenis-jenis satwa liar di KPH Madiun yang biasa ditemui adalah berbagai jenis burung dan mamalia seperti Merak (Pavo muticus), Kijang (Muntiacus muntjac), Tupai (Tupaia minor), Landak (Hystrix brachyura), Bajing (Callosciurus sp), Tikus raksasa ekor panjang (Leopoldamys sabanus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Pijantung gunung jantan (Arachnothera affinis), Elang alap jambul (Accipiter trivirgatus), Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), Puyuh gonggong jawa/Gemak loreng (Arborophila javanica), Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Kucing hutan (Felis bengalensis), Landak (Hystrix brachyura), Tikus pohon (Lenothrix carus), Kelelawar (Macheiramphus alcinus), Luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan Biawak (Varanus salvatoris) (KPH Madiun 2011).
10
Kondisi Sosial dan Ekonomi Kependudukan KPH Madiun yang termasuk kedalam 3 wilayah pemerintahan administratif merupakan salah satu unit kerja dalam Perum Perhutani yang dikelilingi oleh desa hutan. Data dari BPS tahun 2006 & 2009 setiap kabupaten diketahui bahwa desa hutan yang terdapat di KPH madiun sebanyak 87 desa hutan dengan pembagian yaitu 38 desa hutan berada di Kabupaten Madiun, 7 desa hutan berada di Kabupaten Magetan, dan 42 desa hutan berada di Kabupaten Ponorogo (KPH Madiun 2013).
NO
Kecamatan
Luas Daerah (Km2)
Jumlah Penduduk (orang) L
P Total
Kab Madiun 1 Gemarang 2 Mejayan 3 Wonosari 4 Kare 5 Wungu 6 Dagangan 7 Dolopo 8 Geger 9 Madiun Total Kab Magetan 1 Parang 2 Lembayang Total Kab Ponorogo 1 Sooko 2 Pulung 3 Mlarak 4 Siman 5 Jenangan 6 Sawoo 7 Badegan 8 Sampung 9 Sukorejo Total TOTAL
Kepadatan Penduduk (Org/Km2)
Mata Pencaharian (%) Petani/ Buruh LainTani lain
101.97 55.22 33.93 190.85 45.54 72.36 48.85 36.61 35.93 621.26
18 269 25 446 17 714 17 920 30 947 26 834 31 023 33 289 19 884 221 326
17 600 25 538 17 183 17 210 31 960 26 988 31 808 34 315 19 919 222 521
35 869 50 984 34 897 35 130 62 907 53 822 62 831 67 604 39 803 443 847
351.76 923.29 1 028.5 184.07 1 381.36 743.81 1 286.2 1 846.6 1 107.79 714.43
85.00 22.00 80.00 20.00 52.00 78.00 89.00 78.00 64.00 50.00
15.00 78.00 20.00 80.00 48.00 22.00 11.00 22.00 36.00 50.00
71.64 54.85 126.49
22 379 19 776 42 155
23 662 21 412 45 074
46 041 41 188 87 229
642.63 750.97 689.61
88.00 77.00 80.00
12.00 23.00 20.00
55.33 127.55 37.2 37.95 59.44 124.71 52.35 80.61 59.58 634.72
11 231 23 902 20 460 21 320 25 993 29 390 15 231 19 169 25 560 192 256
11 839 24 671 17 132 21 191 26 680 30 852 15 553 20 013 25 546 193 477
23 070 48 573 37 592 42 511 52 673 60 242 30 784 29 182 51 106 385 733
416.95 380.82 1 010.54 1 120.54 886.15 483.06 588.04 486.07 857.77 607.72
92.29 67.33 56.54 65.6 84.42 78.17 84.3 80.67 54.48 75.58
7.71 32.67 43.46 34.4 15.58 21.83 15.7 19.33 45.52 24.42
1.382,47
455.737
461.072
916.809
663.17
65.2
34.8
Tabel 2 Data demografi penduduk di Kabupaten Madiun, Magetan, dan Ponorogo
11 Sumber: BPS Kab. Madiun, Magetan, Ponorogo tahun 2006 & 2009
Dari data pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa komposisi penduduk yang berada di KPH Madiun didominasi oleh perempuan dengan persentase 50.3% (461 072 orang) sedangkan kaum pria sebesar 49.7% (455 737 orang). Berdasarkan data statistik BPS tahun 2006, mata pencaharian penduduk yang berada di wilayah kerja KPH Madiun didominasi bidang pertanian (tani dan buruh tani). Dominasi penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian (65.2% dari total penduduk usia kerja) sangat besar dibandingkan penduduk dengan mata pencaharian lainnya. Hal ini didukung dengan kondisi lapangan penduduk yang berada di wilayah KPH Madiun yang sebagian berupa lahan pertanian dan hutan. Pendidikan Berdasarkan Tabel 3, tingkat pendidikan di Desa Sobrah mayoritas adalah tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan persentase sebesar 32.25%. Pendidikan yang ditempuh di Desa Kaliabu dengan jumlah terbesar pada tingkat Sekolah Dasar dengan persentase 39.52%. Tingkat pendidikan terbanyak di Desa Kebonagung berada pada tingkat Sekolah Dasar dengan persentase sebesar 72.62%, dan pada desa Mojorayung sebanyak 58.77% penduduk tidak merasakan bangku sekolah. Tabel 3 Klasifikasi tingkat pendidikan masyarakat keempat desa penelitian Jenis Pendidikan Belum Sekolah Tidak Sekolah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Perguruan Tinggi Total
Desa Desa Desa Sobrah Kebonagung Mojorayung Desa Kaliabu Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah (Jiwa) % (Jiwa) % (Jiwa) % (Jiwa) % 807 41.77 304 7.76 476 7.66 126 2.56 153 7.92 131 3.34 3 654 58.77 1 031 20.97 623
32.25
159
8.22
381
173
8.95
17 1 932
0.89 100
2 845 72.62
427
6.87
9.72
617
9.92
205
5.23
848
13.64
52 3 918
1.33 100
195 6 217
3.14 100
1 943 39.52
616
12.53
1 122 22.82 78 4 916
1.59 100
Sumber: Data Monografi keempat desa penelitian tahun 2013
Mata Pencaharian Klasifikasi jenis mata pencaharian keempat desa penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Desa Sobrah mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani/petani dan buruh ternak/peternak dengan persentase 57.53% dan 32.79%. Mata pencaharian penduduk di Desa Kebonagung dan Desa Kaliabu, mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh tani/petani dengan persentase 83.41% dan 79.98%. Mata pencaharian di Desa Mojorayung mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh bangunan dan buruh tani/petani dengan persentase 34.78% dan 27.56%.
12
Tabel 4 Klasifikasi jenis mata pencaharian keempat desa penelitian Desa Sobrah Jumlah (Jiwa) %
Jenis Mata Pencaharian
Desa Mojorayung Jumlah (Jiwa) %
Desa Kaliabu Jumlah (Jiwa) %
493
57.53
3 469
83.41
672
27.56
2 605
79.98
281 3 41 0 29 10 0 0 0 0
32.79 0.35 4.78 0.00 3.38 1.17 0.00 0.00 0.00 0.00
0 512 44 0 68 52 11 0 3 0
0.00 12.31 1.06 0.00 1.64 1.25 0.26 0.00 0.07 0.00
0 505 0 848 19 296 43 55 0 0
0.00 20.71 0.00 34.78 0.78 12.14 1.76 2.26 0.00 0.00
7 5 0 0 381 30 22 0 17 190
0.21 0.15 0.00 0.00 11.70 0.92 0.68 0.00 0.52 5.83
857 100 4 159 100 2 438 Sumber: 150Data Monografi keempat desa penelitian tahun 2013
100
3 257
100
Jumlah kejadian (kali)
Buruh Tani/Petani Buruh Peternakan/Peternak Pegawai Swasta Tukang Kayu/batu Buruh Bangunan Wirausaha PNS TNI/Polisi Pegawai BUMN Pensiunan 250 224 Pekerja Serabutan
Desa Kebonagung Jumlah (Jiwa) %
200 Total
100 31 HASIL6 DAN PEMBAHASAN 16
50
7
0 2009
2010
2011
2012
Kebakaran Hutan Tahun di KPH Madiun
2013
Frekuensi Terjadinya Kebakaran Hutan 5 Tahun Terakhir Kejadian kebakaran hutan pernah terjadi di seluruh BKPH dan beberapa RPH milik KPH Madiun. Menurut data kebakaran hutan KPH Madiun dalam kurun 5 tahun terakhir (Gambar 2), terlihat bahwa kebakaran terjadi hampir setiap tahun pada periode 2009─2013.
13
Gambar 2 Frekuensi terjadinya kebakaran hutan tahun 2009─ 2013
JUMLAH KEJADIAN (KALI)
Kejadian kebakaran hutan tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan frekuensi 224 kali, sedangkan kejadian kebakaran hutan terendah pada tahun 2010 dengan frekuensi 6 kali. Tahun 2009 menjadi tahun dengan tingkat kebakaran hutan tertinggi, hal ini terjadi karena banyaknya aktivitas manusia (pembukaan lahan, perburuan liar, ulah tidak bertanggung jawab membakar hutan dengan sengaja, serta kurangnya SDM baik dari petugas ataupun warga sekitar dalam pengawasan) dan didukung oleh musim kemarau panjang pada bulan Juli sampai dengan November (Gambar 3). Pada hutan yang disusun oleh pohon-pohon yang menggugurkan daun, maka pada musim kemarau pohon tersebut akan menggugurkan daun seluruhnya. Serasah yang menumpuk di lantai hutan akan menjadi bahan bakar yang sangat potensial. Dalam hutan yang demikian, apabila terjadi kebakaran maka api akan membakar areal yang luas dan tentu saja sangat membahayakan bagi vegetasi lain yang tidak tahan api. Bulan September adalah bulan yang paling banyak terjadi kebakaran yaitu sebanyak 117 kali kejadian kebakaran. Pada tahun 2010 dan 2013 merupakan tahun dengan jumlah kejadian kebakaran paling rendah pada 5 tahun terakhir, hal tersebut didukung oleh upaya KPH Madiun dalam melakukan kegiatan pengendalian kebakaran yang lebih efektif dan tingginya curah hujan pada musim kemarau (Lampiran 1). 120 100 80 60 40 20 0 2009
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
1
39
76
100
Okt
2010
3
1
2011
11
9
5
6
2012
4
1
7
4
1
5
1
2013
Nov
Des
2
Gambar 3 Frekuensi terjadinya kebakaran hutan per bulan pada tahun 2009─2013
14 Berdasarkan laporan kejadian kebakaran (Laporan Huruf A), kerugian yang dialami KPH Madiun akibat kebakaran hutan pada tahun 2009 sebesar Rp126 282 500 dengan luasan 730.6 ha (Gambar 4). Jenis tanaman yang hilang akibat adanya kebakaran hutan pada tahun 2009 adalah jenis Jati, rimba campuran (jenis yang ditanam di KPS atau tidak untuk produksi sepert Trembesi dan Kepuh), Mahoni dan Mindi. Kebakaran hutan di KPH Madiun pada tahun 2011 merupakan peringkat kedua tertinggi dengan frekuensi 31 kali dengan luasan 60.5 ha dan nilai kerugian sebesar Rp62 106 000. Selanjutnya kebakaran hutan tahun 2012 dengan frekuensi sebesar 16 kali, luasan yang terbakar sebesar 24.6 ha dengan total kerugian sebesar Rp32 887 500. Selanjutnya kebakaran hutan tahun 2013 dengan frekuensi sebesar 7 kali, luasan yang terbakar sebesar 8 ha dengan total kerugian sebesar Rp82 510 000. Selanjutnya kebakaran hutan pada tahun 2010 merupakan kejadian kebakaran yang memiliki frekuensi rendah dibandingkan yang lain yaitu 6 kali dengan luasan 17.5 ha dan total kerugian sebesar Rp24 380 000. Luas areal yang terbakar tidak selalu berbanding lurus dengan total kerugiannya, hal tersebut dikarenakan besarnya kebakaran yang terjadi dan banyaknya jumlah pohon yang ada di lokasi berbeda. 800
730.6
Luas areal (ha)
700 600 500 400 300 200 100
17.5
60.5
24.6
8
2012
2013
0 2009
2010
2011
Tahun
Gambar 4 Luas areal terbakar di KPH Madiun tahun 2009─2013 Frekuensi Terjadinya Kebakaran Hutan Tahun 2009─2013 Tingkat BKPH Gambar 5 menunjukkan bahwa frekuensi kebakaran hutan tertinggi pada tahun 2009─ 2013 terjadi di BKPH Mojorayung sebanyak 60 kali dengan luas areal yang terbakar 123.7 ha (Gambar 6). Kejadian kebakaran juga sering terjadi di RPH Bludru dan Bribis.
JUMLAH KEJADIAN (KALI)
60 50 40 30 20 10 0
BKPH 2009
2010
2011
2012
2013
15
Gambar 5 Frekuensi kebakaran hutan tahun 2009─ 2013 di BKPH KPH Madiun
300 239.6
Luas areal terbakar (ha)
250 200 150.4 150
123.7
105.25
100 50
69.9 37.55
36.6 12.5
15.2
14.25
31.7
0
BKPH
Gambar 6 Luas areal terbakar tahun 2009─2013 di BKPH KPH Madiun BKPH Caruban menempati peringkat kedua daerah rawan kebakaran hutan dengan frekuensi 58 kali dan luas areal yang terbakar sebesar 150.4 ha, khususnya terjadi di RPH Kaliabu dan Wates. Selanjutnya BKPH Ngadirejo dengan frekuensi 39 kali dengan luasan 239.6 ha dan BKPH Dungus 32 kali dengan luasan 105.25 ha. Menurut hasil wawancara dengan petugas dan masyarakat yang menjadi responden, diduga yang melatarbelakangi hal ini bukan berasal dari aktivitas pembukaan lahan dari masyarakat saja, tetapi dari banyaknya aktivitas perburuan liar, tindakan pembakaran yang tidak bertanggung jawab oleh penduduk dari luar desa serta kurangnya pengawasan petugas akibat minimnya SDM serta alat komunikasi.
16
a
b
Gambar 7 Dokumentasi kejadian kebakaran hutan a) BKPH Caruban b) BKPH Mojorayung KPH Madiun memiliki Standar Operational Procedur (SOP) mengenai pengendalian kebakaran hutan. Pihak yang bertanggung jawab dalam pengendalian kebakaran adalah Adm/KKPH, Wakil Adm, KBKPH/Asper, KRPH/Mantri dan Regu Pemadam Kebakaran. Pegendalian kebakaran hutan meliputi pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran dan monitoring dan evaluasi. Dalam penerapannya di lapangan, tindakan pemadaman yang dilakukan tidak diimbangi dengan kelengkapan alat seperti tidak adanya alat pelindung diri (APD) serta sarana dan prasarana pemadaman kebakaran. Menurut responden, saat memadamkan api di lokasi yang terbakar mereka menggunakan gepyok yang dibuat dari ranting-ranting pohon kering yang ada di lokasi dan alat seadanya. Terkadang, informasi tentang adanya kejadian kebakaran pun terlambat diketahui oleh petugas karena kurangnya sarana komunikasi baik antar petugas maupun antar pesanggem.
a
b
Gambar 8 Alat pemadam kebakaran yang tersedia di setiap kantor BKPH a) tabung apar b) gepyok Karakteristik Responden Terpilih di Sekitar KPH Madiun Karakteristik responden dilihat dari umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan formal, mata pencaharian, tingkat pendapatan dan luas lahan yang dimiliki/dikelola. Persepsi merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu (Dunia Psikologi 2012). Menurut Lockard (1977) diacu dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi oleh variabel-variabel yang berkaitan satu dengan yang lainnya,
17 seperti: (1) pengalaman masa lalu atau apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya atau penerjemahan apa yang telah dialami; dan (3) sikap pemahaman. Persepsi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor intern seperti bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan serta pengetahuan. Selain itu juga, persepsi dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti lingkungan tempat tinggal dan suku bangsa. Faktor sosial yang berhubungan dengan persepsi masyarakat adalah umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan (Sarwono 2002). Berdasarkan penelitian Bruner dan Godman dalam Rakhmat (1996) menunjukkan bahwa nilai sosial suatu objek atau persepsi seseorang tentang obyek bergantung pada kelompok sosial/status sosial orang yang menilai, sedangkan Krech et al (1976) dalam Herlina (1999) menyatakan faktor pribadi sebagai faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang baik itu yang sesaat seperti susasana kejiwaan, lapar atau dingin, maupun yang bersifat menetap seperti sikap, nilai, kebutuhan jangka panjang dan emosi. Komposisi Kelompok Umur Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa kelompok umur produktif yang menjadi responden tiap desa penelitian sebagian besar tergolong dalam kelompok umur sedang (45─60 tahun). Frekuensi responden umur kelompok sedang tertinggi terdapat pada Desa Sobrah dan Kebonagung sebesar 63.33%. Pada Desa Kaliabu sebanyak 18 responden dengan persentase 60% dan Desa Mojorayung sebanyak 17 responden dengan persentase 56.67% termasuk kelompok umur sedang. Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan kelompok umur di desa penelitian Desa Sobrah NO
Kelompok Umur
Desa Kebonagung
Desa Kaliabu
Desa Mojorayung
Jumlah (Jiwa)
%
Jumlah (Jiwa)
%
Jumlah (Jiwa)
%
Jumlah (Jiwa)
%
1
28─44
3
10.00
8
26.67
9
30.00
5
16.67
2
45─60
19
63.33
19
63.33
18
60.00
17
56.67
3
61─76
8
26.67
3
10.00
3
10.00
8
26.67
30
100
30
100
30
100
30
100
Total
Jumlah Anggota Keluarga Berdasarkan Tabel 6 responden pada Desa Kebonagung adalah sebanyak 25 laki-laki dan 5 orang wanita dengan jumlah anggota keluarga tergolong sedang (4─5 orang) dengan persentase 73.33%. Responden di Desa Sobrah sebanyak 30 orang atau 100% adalah laki-laki dengan jumlah anggota keluarga sedang dengan persentase 73.33%. Pada Desa Kaliabu responden yang didapat merupakan lakilaki dengan persentase 100% dengan jumlah anggota keluarga sedang. Pada Desa Mojorayung dari 30 responden dengan jenis kelamin laki-laki termasuk dalam keluarga sedang yaitu sebanyak 4─5 orang dengan persentase 73.33% dan 60% memiliki jumlah anggota keluarga tinggi sebanyak 6─ 8 orang.
18 Tabel 6
NO 1 2 3
Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga di desa penelitian
Jumlah Anggota Keluarga
Desa Sobrah
Desa Kebonagung Jumlah % (KK)
Jumlah (KK)
%
3
10.00
2
22
73.33
6─8 orang
5
Total
30
2─3 orang 4─5 orang
Desa Kaliabu
Desa Mojorayung Jumlah % (KK)
Jumlah (KK)
%
6.67
6
10.00
0
0.00
22
73.33
22
73.33
22
73.33
16.67
6
20.00
2
6.67
8
26.67
100
30
100
30
100
30
100
Tingkat Pendidikan Sebagian besar responden di desa penelitian memiliki tingkat pendidikan formal yaitu Sekolah Dasar (Tabel 7). Pada Desa Sobrah, sebanyak 83.33% responden memiliki tingkat pendidikan formal Sekolah Dasar (SD), begitu juga pada Desa Kebonagung (60%), Desa Kaliabu (63.33%), dan Desa Mojorayung (70%). Sarana dan prasarana pendidikan di keempat desa penelitian berupa tersedianya Sekolah Dasar (SD) dalam satu desa yang berjarak cukup dekat dari pemukiman warga. Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya ada 3─4 di di satu kecamatan yang berjarak sekitar 8 km dari desa. Tabel 7
NO
1 2
3
4 5
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di desa penelitian
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Perguruan Tinggi Total
Desa Sobrah
Desa Kebonagung Jumlah % (Jiwa)
Jumlah (Jiwa)
%
2
6.67
5
25
83.33
0
Desa Kaliabu
Desa Mojorayung Jumlah % (Jiwa)
Jumlah (Jiwa)
%
16.67
5
16.67
1
3.33
18
60.00
19
63.33
21
70.00
0.00
3
10.00
5
16.67
4
13.33
3
10.00
4
13.33
1
3.33
4
13.33
0 30
0.00 100
0 30
0.00 100
0 30
0.00 100
0 30
0.00 100
Mata Pencaharian Sebanyak 30 responden dari Desa Sobrah, 73.33% diantaranya bekerja sebagai pesanggem di lahan KPH Madiun dan 26.67% bekerja sebagai petani di sawah milik/sewa. Pada Desa Kebonagung, sebanyak 80% responden memiliki mata pencaharian sebagai pesanggem dan sisanya bekerja sebagai petani di lahan sendiri, buruh tani, tukang kayu dan berwirausaha. Mata pencaharian di Desa
19 Kaliabu, sebanyak 100% responden bekerja sebagai pesanggem di lahan perhutani dengan menanam singkong, kacang tanah dan ubi serta berjualan brem sebagai sampingan. Pada Desa Mojorayung, sebanyak 56.67% responden bekerja di areal persawahan milik sendiri dan sisanya bekerja sebagai buruh tani, pesanggem, wirausaha dan PNS.
Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian di desa penelitian NO 1 2 3 4 5 6 7 8
Mata Pencaharian Petani Buruh Tani Pegawai Swasta Pesanggem Tukang Kayu Wirausaha Tukang Bangunan PNS Total
Desa Sobrah
Desa Kebonagung Jumlah % (Jiwa) 1 3.33 1 3.33
Jumlah (Jiwa) 8 0
26.67 0.00
0 22
0.00 73.33
0 24
0 0
0.00 0.00
0 0 30
Desa Kaliabu
Desa Mojorayung Jumlah % (Jiwa) 17 56.67 3 10.00
Jumlah (Jiwa) 0 0
0.00 0.00
0.00 80.00
0 30
0.00 100.00
1 7
3.33 23.33
1 2
3.33 6.67
0 0
0.00 0.00
0 1
0.00 3.33
0.00 0.00
1 0
3.33 0.00
0 0
0.00 0.00
0 1
0.00 3.33
100
30
100
30
100
30
100
%
%
Tingkat Pendapatan Masyarakat yang menjadi responden di 4 desa yang menjadi objek penelitian ini memiliki tingkat pendapatan rendah atau < Rp1 100 000. Desa Sobrah memiliki responden dengan tingkat pendapatan rendah dengan persentase 93%. Tingkat pendapatan di Desa Kebonagung dengan persentase 87%, Desa Mojorayung sebesar 83% dan Desa Kaliabu sebesar 86.67%. Tingkat pendapatan di keempat desa penelitian ini tergolong rendah karena masih dibawah UMR (Upah Minimum Regional). Upah Minimum Regional di Kabupaten Madiun adalah sebesar Rp1 100 000 per bulan. Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan di desa penelitian NO
Tingkat Pendapatan
Desa Sobrah Jumlah (Jiwa) %
Desa Kebonagung Jumlah (Jiwa) %
Desa Mojorayung Jumlah (Jiwa) %
Desa Kaliabu Jumlah (Jiwa) %
20 1
< Rp1 100 000
28
93.00
26
87.00
25
83.00
26
86.67
2
Rp1 100 000
2
7.00
4
13.33
5
16.67
4
13.33
3
> Rp1 100 000
0
0.00
0
0,00
0
0.00
0
0.00
30
100
30
100
30
100
30
100
Total
Luas Kepemilikan Lahan Sebanyak 17 dari 30 responden dari Desa Sobrah memiliki luas lahan sebesar < 0.5 ha dengan persentase 57%. Luas kepemilikan lahan 28 dari 30 responden pada Desa Kebonagung sebesar < 0.5 ha dengan persentase 93%. Desa Mojorayung memiliki responden dengan persentase 57% luas lahan sebesar < 0.5 ha. Pada Desa Kaliabu, terdapat 23 orang yang memiliki lahan sebesar < 0.5 ha dengan persentase 77%. Lahan yang dimiliki responden sebagian besar adalah berupa lahan pertanian yang mereka tanami padi. Sebagian dari lahan yang mereka tanami adalah lahan milik orang lain yang mereka sewa dengan sistim bagi hasil. Untuk menambah penghasilan, masyarakat menanam tanaman palawija seperti singkong, ubi dan kacang tanah menggunakan lahan dibawah tegakan milik KPH Madiun. Tabel 10
Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan di desa penelitian Desa Kebonagung Jumlah (Jiwa) %
Desa Mojorayung Jumlah (Jiwa) %
NO
Luas Kepemilikan Lahan
1
< 0.5 ha
17
57
28
93
17
57
23
77
2
0.5─1 ha
13
43
2
7
12
40
5
17
3
> 1 ha
0
0
0
0
1
3
2
7
30
100
30
100
30
100
30
100
Total
Desa Sobrah Jumlah (Jiwa) %
Desa Kaliabu Jumlah (Jiwa) %
Persepsi Masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di KPH Madiun Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan KPH Madiun Berdasarkan Gambar 9, dari 30 responden pada Desa Sobrah sebanyak 22% memiliki tingkat persepsi yang cukup tinggi terhadap keberadaan KPH Madiun. Masyarakat merasakan manfaat keberadaan KPH Madiun dalam kehidupannya seperti membantu kehidupan masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan HHBK meskipun pemahaman mereka tentang KPH Madiun hanya sebatas Perum Perhutani yang ada di Madiun saja. Penghasilan masyarakat dirasa meningkat walaupun tidak terlalu signifikan seiring dengan diberikan ijin masyarakat untuk mengelola lahan di bawah tegakan walaupun dengan sistim kontrak selama 2 tahun. KPH Madiun dirasa telah membantu dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan adanya program PHBM, bantuan operasi bibir sumbing setiap tahunnya, serta banyaknya tenaga kerja yang diambil dari masyarakat itu sendiri oleh KPH Madiun. Namun, beberapa responden mengeluhkan tidak pernah adanya bantuan dari KPH dalam pengadaan alat bagi mereka untuk bertani. Pada
21
Persentase responden (%)
Desa Mojorayung sebanyak 24% responden memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap keberadaan KPH Madiun. Sebagian diantaranya berpendapat bahwa peran masyarakat dalam upaya pelestarian hutan adalah dengan cara mengelola dengan baik untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya. Dari segi perekonomian masyarakatnya, keberadaan KPH Madiun dirasa tidak terlalu membawa pengaruh yang signifikan karena sebagian besar warga desa usia muda memilih untuk bekerja di luar desa/merantau sedangkan usia lanjutnya memilih untuk mengelola lahannya sendiri. Sebanyak 30 responden dari Desa Kaliabu memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap keberadaan KPH Madiun. Hal tersebut dapat dilihat dari 100% responden bekerja sebagai pesanggem yang mengelola lahan di bawah tegakan KPH Madiun. Dari segi perekonomian dan kualitas SDM pun dirasa meningkat dengan adanya PHBM dan sosialisasi dari KPH Madiun kepada masyarakat. Hubungan timbal balik antara warga desa dengan KPH pun dirasa baik dan saling menguntungkan. Pada Desa Kebonagung, sebanyak 25% responden memiliki tingkat persepsi yang tnggi tentang keberadaan KPH Madiun. Masyarakat cukup paham bahwa KPH Madiun merupakan salah satu badan usaha negara yang bertugas untuk mengelola hutan. Keberadaan KPH Madiun di tengah-tengah warga desa tersebut juga dirasa cukup membawa pengaruh yang baik dari segi peningkatan penghasilan mereka. Responden dari keempat desa penelitian juga berpendapat bahwa keadaan hutan semakin baik semenjak ada KPH Madiun yang mengelolanya. Dari keempat desa penelitian, responden memiliki keluhan yang sama yaitu tidak pernah diberikannya bantuan berupa pengadaan alat bertani dan insentif bagi mereka apabila ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di areal KPH Madiun. 40 30 30
25
24
22 20 10
8
6
5
0 Desa Sobrah
Desa Mojorayung Desa Kaliabu Tinggi Sedang Rendah
Desa Kebonagung
Gambar 9 Tingkat persepsi masyarakat terhadap KPH Madiun Persepsi Masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) 30
28
26
Jumlah responden
23
23
20 10
7 4
4
3
2
0 Desa Sobrah
Desa Mojorayung Tinggi Sedang
Desa Kaliabu Rendah
Desa Kebonagung
22
Gambar 10 Tingkat persepsi masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning Sustem) Tingkat persepsi masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam upaya pencegahan kebakaran pada keempat desa penelitian tergolong sedang dengan responden sebanyak 26 orang pada Desa Sobrah, 23 orang pada Desa Mojorayung, 28 orang pada Desa Kaliabu dan 23 orang pada Desa Kebonagung. Mereka mengetahui maksud dan tujuan dari Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) sebagai salah satu upaya pencegahan kebakaran dari petugas kehutanan saat sosialisasi namun masih belum banyak mengetahui contoh penerapannya dalam pencegahan kebakaran hutan. Responden di keempat desa penelitian pada umumnya mengetahui mengenai kebakaran hutan, mereka juga mengetahui sebagian kejadian dan penyebab kebakaran yang terjadi di hutan KPH Madiun tersebut. Sumber informasi yang mereka peroleh berasal dari petugas Perhutani yang sedang patroli dan teman/kerabat yang bekerja di lahan milik KPH Madiun atau bahkan melihatnya sendiri. Sebagian responden juga mengakui bahwa pernah melakukan pembakaran saat membuka lahan, tetapi mereka melakukan pembakaran terkendali sehingga tidak pernah meluas keluar areal lain. Sebagian besar responden tidak mengetahui pengertian serta tujuan dari sistem peringatan dini dan penentuan tingkat bahaya kebakaran. Pencegahan kebakaran hutan yang telah dilakukan oleh KPH Madiun adalah dengan memasang papan larangan membakar hutan di lokasi-lokasi yang strategis di dalam hutan sehingga mudah diketahui oleh warga desa yang beraktivtas di dalam hutan, sosialisasi dengan pembentukan LMDH dan pertemuan yang membahas tentang pengamanan hutan, membuat sekat bakar dan ilaran di lokasi-lokasi yang rawan kebakaran, dan patroli rutin setiap awal musim kemarau. Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan adalah dengan ikut mengawasi/memantau kondisi hutan disela kegiatan mereka mengelola lahan dibawah tegakan hutan KPH Madiun. Beberapa responden mengaku mereka akan membantu memadaman kebakaran apabila lokasinya dekat dengan posisi mereka saat itu atau apabila lokasi kebakaran dekat dengan lahan garapannya saja. Ada juga responden yang mengaku tidak mau membantu karena tidak ada insentif yang akan diterimanya walaupun ikut membantu, jadi mereka hanya sebatas membantu memberikan informasi saja bila mengetahui ada kejadian kebakaran. Kejadian kebakaran yang biasanya terjadi berada di sekitar pinggir jalan utama atau lokasi yang jauh di dalam hutan. Kebakaran di sepanjang pinggiran jalan utama biasanya disebabkan oleh tindakan tidak bertanggung jawab orang yang kebetulan lewat, sedangkan kebakaran yang terjadi di dalam hutan biasanya disebabkan oleh ulah pemburu liar yang bermaksud untuk mengecoh petugas menjauh dari wilayah buruannya. Dalam pemadaman saat terjadi kebakaran hutan, biasanya petugas dibantu masyarakat yang kebetulan berada di dekat lokasi menggunakan gepyok yang dibawa dari pos jaga/kemantren serta menggunakan ranting-ranting pohon kering yang ada disekitar lokasi. Cara pemadaman yang dilakukan adalah dengan memukul-mukulkan gepyok langsung ke api apabila kebakaran tidak terlalu besar,
23 sedangkan apabila kebakaran cukup besar dibuatlah sekat bakar selebar 2 kali tinggi api dengan mempertimbangkan arah angin saat kejadian.
b
a
Gambar 11 Sarana dan prasarana pencegahan kebakaran hutan a) pos pantau kebakaran hutan b) papan larangan membakar hutan Tabel 11
Hasil Uji Spearman antara karakteristik responden dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)
Variabel Kelompok umur Jumlah anggota keluarga Tingkat pendidikan Mata pencaharian Luas kepemilikan lahan Pendapatan
Persepsi terhadap Sistem Peringatan Dini Desa Desa Desa Kaliabu Kebonagung Desa Sobrah Mojorayung a B a b a b a b -0.106 0.575 0.390* 0.033 -0.294 0.115 -0.343 0.064 -0.319
0.085
0.306
0.100
0.322
0.082
-0.223
0.236
0.133 0.000
0.483 -0.062 0.747 0.000 0.247 0.188
0.111 0.000
0.559 0.000
0.268 -0.216
0.153 0.252
0.133 0.105
0.484 0.035 0.853 0.581 -0.247 0.188
0.067 0.089
0.724 0.64
-0.057 0.342
0.763 0.064
a=nilai koefisien korelasi; b=signifikasi; * korelasi signifikan pada taraf nyata 0,05 (2-tailed) Hubungan antara kelompok umur dengan persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa kelompok umur dengan persepsi masyarakat pada Desa Kaliabu, Desa Sobrah dan Desa Mojorayung memiliki hubungan yang tidak searah (-). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi kelompok umur maka semakin rendah persepsinya atau sebaliknya. Hasil tersebut menjelaskan bahwa karakteristik responden pada Desa Kaliabu, Desa Sobrah dan Desa Mojorayung tergolong dalam kelompok umur sedang (45─ 60 tahun) yang terbilang tidak dapat merespon pertanyaan dengan baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman dan interaksi responden yang bervariasi terhadap kejadian kebakaran hutan dan sistem peringatan dini kebakaran hutan. Pada Desa Kebonagung hasil uji Spearman menunjukkan hasil yang searah (+). Hal tersebut menerangkan bahwa semakin tinggi kelompok umur maka semakin tinggi tingkat persepsinya terhadap sistem peringatan dini. Khusus
24 pada Desa Kebonagung dipengaruhi nyata oleh variabel jumlah anggota keluarga sebesar 39% dengan nilai peluang/signifikansi 0.033 maka diartikan bahwa ada korelasi diantara kedua variabel tersebut. Hasil uji signifikansi rs diperoleh nilai Sig.(2-tailed)=0.033 masih lebih besar dibandingkan dengan tarafnya 5%, sehingga disimpulkan tolak H0, artinya bahwa korelasi antara kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan. Untuk ketiga desa lainnya diperoleh hasil tidak berhubungan secara nyata pada taraf selang kepercayaan 95%, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas). Hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dengan persepsi masyarakat pada Desa Kaliabu dan Desa Mojorayung memiliki hubungan yang tidak searah (-). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga dari responden tersebut maka semakin rendah persepsinya atau sebaliknya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga yang dimiliki maka responden akan cenderung memikirkan permasalahan ekonomi keluarga seperti banyaknya pengeluaran. Berbeda dengan hasil uji Spearman pada Desa Kebonagung dan Desa Sobrah yang menunjukkan hasil searah (+). Hal tersebut menerangkan bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga yang dimiliki responden maka semakin tinggi tingkat persepsinya terhadap sistem peringatan dini. Untuk keempat desa penelitian ini diperoleh hasil tidak berhubungan secara nyata pada taraf selang kepercayaan 95%, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas). Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat dengan persepsi masyarakat pada Desa Kaliabu, Desa Sobrah dan Desa Mojorayung memiliki hubungan yang searah (+). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dari responden tersebut maka semakin tinggi persepsinya. Pada Desa Kebonagung memiliki hubungan yang tidak searah (-), hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dari responden maka semakin rendah persepsinya terhadap sistem peringatan dini ataupun sebaliknya. Tingkat pendidikan formal yang rendah dapat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan, maka tingkat persepsi masyarakatnya rendah pula (Harihanto 2001). Keempat desa penelitian ini tidak dipengaruhi nyata pada taraf selang kepercayaan 95% oleh tingkat pendidikan formal, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas). Hubungan antara mata pencaharian dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini
25 Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa mata pencaharian dengan persepsi masyarakat pada Desa Mojorayung memiliki hubungan yang tidak searah (-). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi intensitas mata pencaharian responden terhadap hutan maka semakin rendah persepsinya atau sebaliknya. Hasil tersebut terkait dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja/intensitas terhadap hutannya yang kecil sehingga tingkat persepsinya kurang. Pada Desa Kebonagung memiliki hubungan yang searah (+), hal tersebut menerangkan bahwa semakin tinggi intensitas mata pencaharian responden terhadap hutan maka semakin tinggi pula persepsinya terhadap sistem peringatan dini. Pada Desa Kaliabu dan Desa Sobrah diperoleh hasil 0 dikarenakan tidak adanya perbedaan mata pencaharian dari 30 responden yang diambil yang semuanya adalah pesanggem di lahan KPH Madiun. Untuk keempat desa penelitian diperoleh hasil tidak berhubungan secara nyata pada taraf selang kepercayaan 95%, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas). Hubungan antara luas kepemilikan lahan dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan dengan persepsi masyarakat pada Desa Kaliabu, Desa Sobrah dan Desa Kebonagung memiliki hubungan yang searah (+). Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dimiliki atau dikelola oleh masyarakat, maka semakin tinggi pula persepsi terhadap sistem peringatan dini. Semakin luas lahan yang dimiliki/dikelola oleh masyarakat maka kepentingan mereka untuk melindungi lahan mereka dari bahaya kebakaran juga semakin tinggi. Pada Desa Mojorayung menunjukkan hasil yang tidak searah (-), hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi luas kepemilikan lahan responden maka semakin rendah persepsinya terhadap sistem peringatan dini ataupun sebaliknya. Pada Desa Mojorayung, sebagian besar responden memiliki lahan sendiri/sewa yang tempatnya jauh dari hutan, sehingga masalah yang terjadi di hutan tidak akan mempengaruhi keadaan lahan mereka. Pada keempat desa penelitian diperoleh hasil tidak berhubungan secara nyata pada taraf selang kepercayaan 95%, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas). Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini Berdasarkan hasil uji Spearman (Tabel 11) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dengan persepsi masyarakat pada Desa Kaliabu, Desa Sobrah dan Desa Mojorayung memiliki hubungan yang searah (+). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh responden tersebut maka semakin tinggi pula persepsinya. Hal ini terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang rendah dan fokus responden hanya pada cara peningkatan jumlah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada Desa Kebonagung memiliki hubungan yang tidak searah (-). Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi penghasilan dari responden tersebut maka semakin rendah persepsinya ataupun sebaliknya. Untuk keempat desa lainnya diperoleh hasil tidak
26 berhubungan secara nyata pada taraf selang kepercayaan 95%, maka dapat diartikan bahwa variabel yang dicari korelasinya tersebut tidak mempunyai ikatan yang tegas atau kedua variabel tersebut cenderung untuk independen (bebas).
Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Penentuan Daerah Rawan kebakaran Hutan berdasarkan Aksesibilitas Penentuan daerah kebakaran hutan berdasarkan aksesibilitas dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu jarak antara pemukiman masyarakat dengan hutan, aksesibilitas menuju ke hutan dan konflik lahan antara masyarakat dengan KPH Madiun.
Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan jarak dengan hutan, aksesibilitas ke hutan dan konflik dengan KPH Madiun Variabel 1. Jarak < 2 km 2─5 km > 5 km 2. Aksesibilitas Baik Buruk 3. Konflik Ada Tidak ada
Desa Kaliabu Frekuensi %
Desa Kebonagung Frekuensi %
Desa Sobrah Frekuensi %
Desa Mojorayung Frekuensi %
10 18 2
33.33 60.00 6.67
15 11 4
50.00 36.67 13.33
23 6 1
76.67 20.00 3.33
28 2 0
93.33 6.67 0.00
28 2
93.33 6.67
26 4
86.67 13.33
28 2
93.33 6.67
30 0
100.00 0.00
0 30
0.00 100.00
0 30
0.00 100.00
0 30
0.00 100.00
0 30
0.00 100.00
Berdarkan Tabel 12 dapat terlihat bahwa setiap desa memiliki variasi jarak antara pemukiman/desa dengan hutan milik KPH Madiun. Persentase dari responden di Desa Kaliabu mengenai jarak antara pemukiman/desa dengan hutan adalah 60% dengan jarak ─2 5 km. Berbeda dengan responden di Desa Kebonagung, jarak dari pemukiman dengan hutan adalah sekitar < 2 km dengan persentase 50%. Pada Desa Sobrah, jarak pemukiman dengan hutan berjarak < 2 km dengan persentase responden 76.7%. Desa Mojorayung termasuk desa yang paling dekat dengan hutan dengan persentase 93.3% responden yang menjawab hanya berjarak 0.5 km dari hutan. Kedekatan jarak dengan hutan ini diduga dapat menjadi faktor sering terjadinya kebakaran hutan, akan tetapi pada kenyataannya kejadian kebakaran yang sering terjadi di keempat desa penelitian ini dikarenakan ulah tidak bertanggung jawab dari warga luar desa. Berdasarkan aksesibilitas menuju ke hutan KPH Madiun, sebagian besar dari responden keempat desa penelitian tersebut berpendapat bahwa akses menuju hutan itu adalah baik dengan persentase pada Desa Kaliabu sebesar 93.3%, Desa Kebonagung 86.67%, Desa Sobrah 93.33% dan Desa Mojorayung 100%. Akses
27 menuju hutan berupa jalan setapak yang cukup lebar, bisa diakses dengan mengendarai sepeda, kendaraan bermotor maupun berjalan kaki. Masyarakat dari keempat desa berpendapat bahwa tidak pernah terjadi konflik antara warga desa dengan KPH Madiun. Hal ini terbukti dengan persentase jawaban responden mengenai konflik dari keempat desa penelitian tersebut 100% tidak ada konflik. Hal ini terjadi dikarenakan selalu terbukanya masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya kepada Mandor ataupun Asper di lapangan mengenai kegiatan mereka di lahan, adanya sosialisasi rutin yang diberikan kepada masyarakat sebagai upaya mempererat hubungan sekaligus sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas SDM anggota LMDH, dan diizinkannya masyarakat mengelola lahan di bawah tegakan KPH Madiun tanpa dipungut biaya sedikitpun.
a
b
Gambar 12
Kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan a) masyarakat bercocok tanam di lahan KPH Madiun b) sosialisasi dan penyuluhan KPH Madun kepada masyarakat anggota LMDH
Persentase responden (%)
Penilaian terhadap kerawanan suatu daerah dari bahaya kebakaran dilakukan dengan cara menghitung total nilai masing-masing responden setiap desa yang beracuan pada nilai akhir tingkat kerawanan, diperoleh nilai rendah apabila total nilai 3, sedang dengan total ─ 4 5, dan tinggi dengan total 6─ 7. Berdasarkan hasil akhir yang didapatkan dari tingkat kerawanan kebakaran pada Gambar 13 terlihat bahwa keempat desa penelitian memiliki tingkat kerawanan hutan yang tergolong tinggi berdasarkan aksesibilitasnya. Desa Mojorayung adalah desa yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran tertinggi dengan persentase 100%. Peringkat kedua kerawanan hutan terhadap bahaya kebakaran berada pada Desa Sobrah dan Kaliabu dengan persentase 93.33%, dan pada posisi terakhir berada pada Desa Kebonagung. Tinggi 120 100 80 60 40 20 0
93.33
Sedang
100
93.33
86.67
6.67
Rendah
13.33
3.33 3.33
28
Gambar 13 Penilaian daerah rawan kebakaran berdasarkan aksesibilitas Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan berdasarkan Tingkat Persepsi Masyarakat Penentuan daerah rawan kebakaran selaain berdasarkan dengan aksesibilitas dapat juga dilihat berdasarkan tingkat persepsi masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitian mengenai tingkat persepsi masyarakat terhadap KPH Madiun tergolong tinggi dan mengenai sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dengan hasil sedang.
Tabel 13 Rekapitulasi penentuan daerah rawan kebakaran hutan Peringkat Aksesibilitas Tingkat Persepsi Keterangan 1 Mojorayung Sobrah Tinggi 2 Sobrah dan Kaliabu Kebonagung dan Mojorayung Sedang 3 Kebonagung Kaliabu Rendah
Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di KPH Madiun Berdasarkan kondisi masyarakat yang telah diketahui hasilnya, maka dapat disusun upaya pencegahan kebakaran hutan di KPH Madiun berdasarkan tingkat kerawanan daerah terhadap bahaya kebakaran hutan dari segi aksesibilitas dan persepsi masyarakat. Upaya pencegahan kebakaran hutan yang dapat dilakukan pada peringkat sedang ─ tinggi pada Desa Mojorayung dan Desa Sobrah dapat dilakukan dengan membangun membangun menara pengawas, penambahan alat pemadam kebakaran di pos penjaga, penyediaan alat pelindung diri dan alat komunikasi bagi petugas, memasang papan peringatan larangan membakar hutan, penyuluhan serta sosialisasi dan merangkul masyarakat untuk ikut serta dalam upaya perlindungan hutan terutama kebakaran hutan. Peningkatan rutinitas patroli oleh petugas Perhutani untuk daerah dengan tingkat kerawanan tinggi sebagai prioritas utama dalam pencegahan kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan pada daerah dengan tingkat kerawanan rendah di Desa Kaliabu dan Desa Kebonagung dapat dilakukan dengan lebih rutin memberikan penyuluhan mengenai kebakaran hutan dan bekerjasama dengan masyarakat dalam kegiatan perlindungan hutan. Karena masyarakat merupakan satu-satunya faktor penyebab kebakaran hutan di keempat desa penelitian, maka masyarakat merupakan bagian yang
29 penting dalam solusi kebakaran hutan. Beberapa upaya yang dapat disarankan antara lain optimalisasi penggunaan lahan, memberikan penyuluhan mengenai program penyiapan lahan tanpa bakar, membuat program pengelolaan berbasis kemitraan, mengoptimalkan peran LMDH, pembuatan sekat bakar dengan sistem agroforestry, pembentukan masyarakat peduli api (MPA), serta pemberian insentif berupa pemberian upah bagi masyarakat yang ikut membantu dalam berbagai kegiatan di wilayah KPH Madiun untuk meningkatkan minat masyarakat dalam kegiatan tersebut. Untuk KPH Madiun, upaya pencegahan kebakaran hutan yang perlu ditambahkan adalah dengan melakukan perhitungan Fire Danger Rating (FDR) sebagai salah satu contoh Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dan kegiatan pemantauan hotspot (titik api) dengan citra satelit. Perlu dibuatnya peta daerah rawan kebakaran hutan, peta sebaran hotspot, serta pengadaan media informasi mengenai kebakaran di sekitar hutan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat persepsi masyarakat terhadap sistem peringatan dini pada keempat desa penelitian tergolong sedang. Berdasarkan hasil uji Spearman pada Desa Kebonagung, kelompok umur memiliki hubungan yang searah dan berpengaruh nyata oleh variabel jumlah anggota keluarga sebesar 39% dengan nilai peluang/signifikansi 0.033. Dapat diartikan juga bahwa ada korelasi diantara kedua variabel tersebut terhadap tingkat persepsi masyarakat mengenai sistem peringatan dini. Berdasarkan hasil penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan membandingkan hasil antara aksesibilitas dan tingkat persepsi masyarakat, diperoleh hasil Desa Kebonagung dan Mojorayung dengan hasil tinggi dan Desa Sobrah dan Kaliabu dengan hasil sedang. Dalam penentuan daerah rawan kebakaran hutan, KPH Madiun hanya menggunakan data dari Laporan Huruf A tahun sebelumnya. Hal tersebut dirasa masih kurang efektif dibandingkan dengan penggunaan satelit untuk mendeteksi hotspot.
Saran Dalam upaya pencegahan kebakaran hutan di KPH Madiun, hal yang perlu dilakukan adalah dengan membangun menara pemantau api, penyediaan perlengkapan pemadaman kebakaran, alat komunikasi dan APD yang lebih lengkap bagi petugas, pemasangan papan peringatan larangan membakar hutan, serta meningkatkan rutinitas patroli di daerah dengan kerawanan kebakaran tinggi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan terkait dengan partisipasi masyarakat diantara berupa penyuluhan, pendekatan (sosial, ekonomi dan budaya), pembentukan forum dan kelompok pencegahan kebakaran hutan di desa dekat hutan, peningkatan peran masyarakat dan pemberian insentif.
30 Penggunaan citra satelit untuk mendeteksi hotspot (titik api) juga perlu dilakukan oleh KPH Madiun sebagai salah satu contoh penerapan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) yang lebih efektif. Pembuatan peta rawan kebakaran hutan dengan bantuan data sebaran hotspot perlu dilakukan secara rutin untuk penentuan lokasi yang rawan kebakaran pada periode berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Desa Kaliabu. 2013. Data Monografi Desa Kaliabu. Madiun (ID): Pemerintah Daerah Madiun. Desa Kebonagung. 2013. Data Monografi Desa Kebonagung. Madiun (ID): Pemerintah Daerah Madiun. Desa Mojorayung. 2013. Data Monografi Desa Mojorayung. Madiun (ID): Pemerintah Daerah Madiun. Desa Sobrah. 2013. Data Monografi Desa Sobrah. Madiun (ID): Pemerintah Daerah Madiun. BPS Madiun. 2009. Data BPS Kabupaten Madiun, Ponorogo dan Magetan. Madiun (ID): Pemerintah Daerah Madiun. Dunia psikologi. 2012. Dunia Psikologi [Internet]. [diunduh 2014 Juni 11]. Tersedia pada: http://www.duniapsikologi.com/persepsi-pengertian-definisidan-faktor-yang-mempengaruhi.html. Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press. Harihanto. 2001. Persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap air sungai [disertasi]. Bogor (ID): Program Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan, Program Pascasarjana IPB. Herlina L. 1999. Persepsi remaja terhadap sinetron di televisi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. KPH Madiun. 2011. RPKH KP Jati Jangka 2011-2020 KPH Madiun. Madiun (ID): KPH Madiun. KPH Madiun. 2013. Public Summary KPH Madiun 2013. Madiun (ID): KPH Madiun. Pamungkas A. 2012. Mencari Solusi di Tengah Kebakaran Hutan di Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Juni 11]. Tersedia pada: http:// http://www.wwf.or.id/?26222/Mencari-Solusi-Di-Tengah-Kebakaran-HutanDi-Indonesia.html. Rakhmat J. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): CV Remaja Karya. Rianse U dan Abdi. 2009. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi. Bandung (ID): Alfabeta. Saharjo BH. 2003. Pengertian kebakaran hutan. Di dalam: Suratmo FG, Surati JN, editor. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Sarwono SW. 2002. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Singarimbun, Masri, Sofian E. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3S.
31 Tampang. 1999. Persepsi masyarakat terhadap pencemaran udara dan kebisingan energi diesel (kasus Kabupaten Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB. Wardhana A. 2003. Penyusunan peringkat bahaya kebakaran hutan berdasarkan indeks kekeringan Keetch-Byram (Keetch-Byram drought index/KBDI) dan kode kekeringan (Drought Code/DC) di Provinsi Riau [skripsi]. 2003. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam IPB.
32 Lampiran 1 Data curah hujan bulanan kabupaten Madiun Jawa Timur 2009-2013
Bulan
2009
∑ Hari Hujan
2010
∑ Hari Hujan
Curah Hujan (mm) ∑ Hari 2011 Hujan
2012
∑ Hari Hujan
2013
∑ Hari Hujan
Januari
352.6
21
236.2
26
262.4
23
348.6
27
676.1
22
Februari
443.4
21
329.5
19
199.3
20
108.8
13
479.7
21
Maret
1 810
15
317.0
24
173.2
22
157.4
17
500.1
18
April
212.0
12
391.3
21
243.7
19
305.3
13
472.4
18
Mei
83.3
13
262.4
21
277.0
11
26.1
8
161.7
16
Juni
6.0
5
72.3
15
0
0
8.5
3
173.6
14
Juli
32.3
2
59.8
9
74.2
2
0
0
0
1
Agustus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
September
0
0
167.1
13
0.2
1
0
0
0
0
Oktober
28.4
3
290.3
20
78.5
7
43.1
8
14.0
5
November
251.1
13
275.2
18
310.7
22
441.8
14
192.5
15
Desember
252.6
13
195.9
23
347.7
20
533.7
21
199.5
17
Jumlah
3 471.7
118
2 597
209
1 966.9
147
1 973.3
124
2 869.6
147
33 Lampiran 2 Contoh laporan kejadian kebakaran di KPH Madiun
34 Lampiran 3 Sketsa lokasi kebakaran hutan
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 17 Agustus 1992 dari ayah Achmad Sulaeman dan ibu Sri Ratnaningdyah. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMP Negeri 1 Kragilan. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kibin dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Tree Grower Community (TGC) yaitu himpunan mahasiswa Silvikultur IPB periode tahun 2011─2013, Sekretaris Divisi Kelembagaan DPM-E periode tahun 2011─2012, serta Sekretaris Divisi Kesenian dan Kebudayaan KMB Banten periode tahun 2013─2014. Bulan Juli 2012 penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Cagar Alam Sancang dan Gunung Kamojang Jawa Barat. Bulan Juli─Agustus 2013 penulis melakukan Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, dan Perum Perhutani Cianjur. Bulan Februari─April 2014 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Perum Perhutani Unit II KPH Madiun Jawa Timur.