PERAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM MENGATASI MASALAH PENCURIAN KAYU Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
DWI ENDAH WIDYASIH
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM MENGATASI MASALAH PENCURIAN KAYU Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
DWI ENDAH WIDYASIH E 14080020
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRAK
DWI ENDAH WIDYASIH. Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing Oleh HANDIAN PURWAWANGSA Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Eksploitasi hutan yang berlebih seperti pencurian kayu disebabkan oleh besarnya potensi dan manfaat yang terkandung di dalam hutan yang ingin dimanfaatkan oleh manusia. Salah satu cara yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam mengatasi pencurian kayu adalah dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran PHBM dalam mengatasi masalah pencurian kayu di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan contoh dengan cara stratification of random sampling dengan stratifikasinya berdasarkan golongan pendapatan dan mata pencaharian. Metode penentuan desa ditentukan dengan cara purposive sampling. Data yang digunakan adalah data primer (studi lapangan, wawancara 90 responden) dan data sekunder (buku, dokumen, thesis,disertasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pencurian kayu di KPH Jember, antara lain: (a) jenis kayu sengon, jati dan mahoni, (b) diameter pohon sekitar 10-30 cm, (c) alasan pemilihan diameter sebagian besar menyatakan bahwa kayu mudah diangkut, dan (d) alasan sebagian besar masyarakat mencuri kayu dijual untuk memenuhi kebutuhan. Intensitas pencurian kayu tahun 2008-2011 mengalami penurunan dari 226 kasus menjadi 118 laporan kasus pencurian kayu, kecuali di RPH Mumbulsari mengalami peningkatan. Peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu di RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk dilakukan dengan cara melakukan patroli dan pembuatan pos penjagaan hutan. Tingkat efektivitas penerapan pola PHBM, RPH Mumbulsari dengan pola penanaman jati dan palawija tidak efektif mengurangi intensitas pencurian kayu, sedangkan pola PHBM dengan menanam pinus yang dipadukan dengan palawija atau kopi (RPH Garahan dan RPH Jelbuk) lebih efektif mengurangi tingkat pencurian kayu.
Kata Kunci: PHBM, illegal logging, hutan, Perum Perhutani
ABSTRACT
DWI ENDAH WIDYASIH. The Forest Management based of Community as an Effort to Cut-down Illegal Logging: Case study in KPH Jember Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by HANDIAN PURWAWANGSA Forest could simply be defined as a unified ecosystem in which the biological resources are dominated by trees that are tightly bound each other, in terms of environmental balances. Due to the various potential applications of any forestry resources, make forest prone to any missed-law exploitations (e.g., illegal logging). As a consequence, to negate the number of illegal logging, Perum Perhutani has initiated a program_Forest Management based of Community (PHBM). Hence, this study was aimed to evaluate the effectiveness of PHBM as an effort to cut-down illegal logging especially in the boundary of KPH Jember Perum Perhutani Unit II East Java. This research was conducted by employing such stratification-of-random-sampling method, with group classifications of monthly income and occupation. Additionally, selection of the villages was according to the purposive–sampling method. There were two distinguishable data utilized such as: (i) primary data (field studies and interview of 90 respondents) and (ii) secondary data (information found in books, scientific journals, thesis, dissertation and other documentary resources). The data showed several concluding remarks of illegal logging characteristics, such as (a) types of wood being stolen, likely sengon, teak and mahogany, (b) diameter of the tree of approximately 10-30 cm, (c) reason for selecting such diameter as it is easy to transport, and (d) the illegal logging becomes a major alternative way for the local people to fit out them necessaries. Furthermore, the number of the illegal logging in 2008-2012 decreased from 229 to 118 cases, except for the RPH Mumbulsari which was still increased. The main role of local people for tackling illegal logging located in RPH Mumbulsari, RPH Garahan and RPH Jelbuk was done by patrol activities including making such control-posts in certain locations. However, the data showed the effectiveness of PHBM program on the RPH Mumbulsari wherein a pattern of mixed-planting between teak and crops (palawija) implemented could not reduce the number of illegal logging significantly, whereas one that a pattern of mixed planting between pine and crops or coffee (RPH Garahan and RPH Jelbuk) carried out showed the positive impacts by the reduced number of illegal logging. Keywords: PHBM, illegal logging, forest, Perum Perhutani.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Dwi Endah Widyasih E14080020
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Dwi Endah Widyasih
NIM
: E14080020
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si NIP. 19790101 2005 011 003
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu” yang berlokasi di KPH Jember Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Falkutas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dan bahan pertimbangan dalam pemberian kebijakan kehutanan. Penyusunan skripsi ini bisa terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Ibu Poncodriyo, Eka Juangga, Karunia Magdalena, Trias Novita, Bagus Karyo dan Agung Kriswiyanto serta keluarga besar Soebardjo yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada penulis dalam mencapai kesuksesan. 2. Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si, selaku Pembimbing yang telah sabar membimbing dan memberikan arahan dan saran, serta segenap staf pengajar dan karyawan Fakultas Kehutanan IPB 3. KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur; RPH dan Kantor Desa Lampeji, Garahan dan Jelbuk; LMDH Lampeji, Artha Wana Mulya dan Suger Subur dan para kelompok tani hutan beserta narasumber atas bantuan dalam pengumpulan data 4. Bapak Agus Sulaiman, Bapak Lukman, Bapak Saged dan rekan-rekan PHBM, PSDH dan KAM selaku pendamping dan pembimbing yang telah membagikan ilmu di lapangan 5. Fandi Wijaya Poesoko yang selalu memberi dukungan dan motivasi 6. Rekan-rekan Youth of Nation Ministry yang selalu memberikan saran dan motivasi. 7. Sahabat-sahabatku Afif Safariyah, Agum G.S, Dwi Oki, Eharapenta, Dien Andini, Moch. Zainur R, Devy M.C dan Tandila Arlen atas dukungan, doa, kepedulian dan kerja samanya dan rekan-rekan Manajemen Hutan 45 IPB selaku sahabat seguru-seilmu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 3 Januari 1990 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari keluarga pasangan Poncodriyo dan Panca Handayani. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 9 Ampenan (tahun 1996-2000), SD Negeri Patrang 1 Jember (tahun 2000-2002), SMP Negeri 4 Jember (tahun 2002-2005), SMA Negeri 5 Jember (tahun 2005-2008), dan tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Forest Management Student Club (FMSC) Divisi Keprofesian tahun 2009-2011 dan Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB) Divisi Literatur (Desain, Fotografi dan Website) tahun 2009-2011. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan diantaranya divisi medis acara Forester Cup tahun 2010, divisi publikasasi, dekorasi dan dokumentasi acara Temu Manajer (TM) tahun 2010, bendahara acara Retreat Komisi Literatur tahun 2010, sekertaris acara Unlocking Potential College Conference (UPCC I) tahun 2010, divisi konsumsi acara Unlocking Potential College Conference (UPCC II) tahun 2011, dan divisi dana usaha acara Unlocking Potential College Conference (UPCC III) tahun 2012. Tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang-Kamojang, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi tahun 2011, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sarmiento Parakantja Timber (Sarpatim), Sampit, Kalimantan Tengah tahun 2012. Penulis juga mengikuti Magang Mandiri di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Bogor tahun 2011. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penyusunan skripsi yang berjudul Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu yang berlokasi di KPH Jember Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur dengan pembimbing Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3
Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2
1.4
Manfaat Penelitian ................................................................................................ 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan ..................................................................................................................... 4
2.2
Penebangan Liar .................................................................................................... 5
2.3
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat .............................................................. 7
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 12
3.2
Alat dan Bahan .................................................................................................... 12
3.3
Jenis Data ............................................................................................................ 12
3.4
Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 13
3.5
Analisis Data ....................................................................................................... 13
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Kesatuan Pemangkuan Hutan Jember ................................................................. 15
4.2
Lembaga Masyarakat Desa Hutan ...................................................................... 20
4.3
Karakteristik Masyarakat .................................................................................... 28
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .................................................................. 31
5.2
Intensitas Pencurian dan Kerugian Akibat Illegal Logging ................................ 34
5.3
Karakteristik Pencurian Kayu ............................................................................. 37
5.4
Peran Serta Masyarakat dalam PHBM dan Perlindungan Hutan ........................ 38
5.5
Penilaian Efektivitas PHBM ............................................................................... 42
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan ........................................................................................................ 46
6.2
Saran ................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 48 LAMPIRAN .......................................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL No
Halaman
1.
Kepadatan penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember .......................... 18
2.
Tingkat pendidikan penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember ............. 18
3.
Mata pencaharian penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember ................ 19
4.
Distribusi responden berdasarkan tingkat umur ........................................................ 28
5.
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ............................................... 29
6.
Mata pencaharian tetap responden ............................................................................ 31
7.
Mata pencaharian sampingan responden ................................................................... 31
8.
Tingkat pendapatan responden .................................................................................. 33
9.
Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 - 2011 (RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk) ................................................. 35
10.
Karakteristik Pencurian Kayu.................................................................................... 37
11.
Penilaian Efektifitas PHBM dengan pola jati dan palawija (desa Lampeji) ............. 43
12.
Penilaian Efektifitas PHBM dengan pola pinus dan kopi (desa Sidomulyo) ............ 43
13.
Penilaian Efektifitas PHBM dengan pola pinus dan palawija (desa Sukojember) .... 44
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Jumlah LA tahun 2007-2011 KPH Jember ............................................................... 34
2.
Jumlah pohon tahun 2007-2011 KPH Jember ........................................................... 34
3.
Besar Kerugian tahun 2007-2011 KPH Jember ........................................................ 34
4.
Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Garahan ...................................... 36
5.
Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Jelbuk ......................................... 36
6.
Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Mumbulsari ................................ 36
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1.
Peta Kawasan KPH JemberPerum Perhutani Unit II Jawa Timur ............................ 51
2.
Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 sampai 2011 ................................... 52
3.
Kuisioner ................................................................................................................... 54
4.
Dokumentasi penelitian ............................................................................................. 58
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hutan merupakan kekayaan alam sebagai aset multiguna yang tidak saja menghasilkan produk hutan seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, namun juga memiliki nilai lain seperti pelindung panas, pemecah angin dan penyelamat tanah terhadap bahaya erosi (Fauzi 2004, diacu dalam Wijanto 2008). Menurut UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ekosistem hutan memberikan banyak manfaat baik secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat. Hutan memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan wilayah dan membantu mempertahankan lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menurut pasal 50 ayat 3 mengenai pencurian kayu antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Pencurian kayu (illegal logging) meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat terjadi pada semua tahapan produksi kayu mulai dari tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu, tahap pemerosesan dan tahap pemasaran, serta pelanggaran dalam mendapatkan akses ke dalam kawasan hutan. Fenomena ini tentu saja menimbulkan kerugian baik pemerintah, pengusaha kehutanan maupun masyarakat. Tim Fakultas Kehutanan IPB (2003) menyatakan pencurian kayu yang dilakukan oleh masyarakat pun telah lama terjadi (termasuk pencurian jati di Pulau Jawa). Setelah kejatuhan rezim Soeharto (di era Reformasi), aktifitas pencurian kayu semakin marak. Masyarakat selama ini banyak mengetahui betapa kekayaan sumberdaya hutan Indonesia banyak dijarah oleh para pengusaha kehutanan yang berkolusi dengan para penguasa korup, dan didukung oleh (oknum) militer/polisi yang tentu saja juga mendapatkan rejeki dari kekayaan hutan Indonesia. Sementara itu, tingkat kesejahteraan penduduk di lokasi sekitar hutan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Berdasarkan Buku Statistik Perum Perhutani tahun 2002 hingga tahun 2006, tekanan masyarakat Pulau Jawa menunjukkan bahwa meskipun mengalami penurunan dari tahun ke
2 tahun, pencurian kayu masih cukup tinggi, yaitu pada tahun 2002 sebanyak 1.539.334 pohon dan pada tahun 2006 menjadi 126.024 pohon (Wijanto 2008). Kasus pencurian kayu pun masih dialami oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur di KPH Jember. Berdasarkan data pencurian kayu Perum Perhutani KPH Jember dalam lima tahun terakhir pada tahun 2007 sebanyak 741 pohon dan tahun 2011 menjadi 716 pohon yang hilang. Dalam mengatasi pencurian kayu maka Perum Perhutani KPH Jember melakukan upaya pengendalian pencurian kayu dengan pendekatan kepada masyarakat. Upaya pendekatan yang dilakukan Perum Perhutani KPH Jember, salah satunya melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Kegiatan dalam PHBM ini diadakan dalam rangka menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan, agar tercipta rasa ikut memiliki dan menjaga hutan sehingga masyarakat tidak menjadi pelaku kerusakan hutan serta menjadi rekan kerja dalam pengendalian masalah penebangan liar. Peran program PHBM ini perlu dikaji mengingat masih terjadi kasus pencurian kayu di KPH Jember, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan efektifitas diterapkannya program PHBM sebagai solusi dalam masalah pencurian kayu. Jika hasil penelitian ini terbukti efektif, maka program PHBM ini merupakan salah satu upaya pengendalian pencurian kayu yang sangat baik diterapkan dalam KPH Jember khususnya.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik pembalakan liar di KPH Jember? 2. Bagaimana intensitas terjadinya pembalakan liar/pencurian kayu pada kawasan hutan setelah penerapan program PHBM? 3. Bagaimana peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu? 4. Bagaimana efektifitas penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian pencurian kayu di KPH Jember?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mempelajari karakteristik pembalakan liar di KPH Jember. 2. Mengetahui intensitas terjadinya pembalakan liar pada kawasan setelah penerapan program PHBM. 3. Mengetahui peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu.
3 4. Menganalisis efektifitas penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian pencurian kayu di KPH Jember.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai intensitas dan karakteristik pencurian kayu di KPH Jember 2. Memberikan informasi mengenai efektifitas penerapan program PHBM dalam mengatasi pencurian kayu di KPH Jember
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan 2.1.1 Pengertian Hutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 pasal 1 ayat (2) “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Odum (1997) diacu dalam Wijanto (2008) mengemukakan bahwa hutan sebagai suatu ekosistem, bukan hanya terdiri dari komunitas dan hewan saja, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungannya. 2.1.2 Fungsi Hutan Sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999, fungsi hutan dibagi menjadi: a.
Hutan konservasi yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
b.
Hutan Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
c.
Hutan Produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan
Menurut Gregory (1972) diacu dalam Hutajulu (2010), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, juga berfungsi sebagai pelindung tanah, air, iklim, sumber plasma nutfah, dan biodiversitas.
5
2.1.3
Manfaat Hutan Hutan sebagai suatu ekosistem memberikan manfaat bagi hidup dan
kehidupan alam sekitarnya. Menurut Salim (2003) diacu dalam Wijanto (2008) manfaat hutan dibagi menjadi manfaat langsung dan tidak langsung. a.
Manfaat langsung memberikan pengertian bahwa hutan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Manfaat langsung dimaksud adalah bahwa masyarakat memanfaatkan hasil hutan secara langsung, misalnya mengambil kayu sebagai hasil utama hutan.
b.
Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang secara tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat. Manfaat secara tidak langsung antara lain dapat mengatur tata air, mencegah erosi, sebagai areal wisata, menyerap karbondioksida, meningkatkan devisa negara dan lainnya. Berdasarkan sifat manfaatnya, Darusman (1989) diacu dalam Santoso
(2008) manfaat hutan dibagi menjadi manfaat yang bersifat tangible dan intangible. Manfaat tangible adalah manfaat yang berbentuk material misalnya kayu, rotan, getah, daun dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible adalah manfaat yang berbentuk immaterial misalnya jasa lingkungan/pemandangan, pendidikan, tata air, plasma nutfah dan sebagainya. Menurut Barbier (1995) diacu dalam Hutajulu (2010), kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomi potensial dari hutan seperti: produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan.
2.2 Penebangan Liar Istilah penebangan liar (illegal-logging) muncul ketika banyak terjadi penebangan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap fungsi dan manfaat hutan. Illegal dalam bahasa Inggris artinya tidak sah atau dilarang atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan logging berarti menebang kayu dan selanjutnya dibawa ke tempat penggergajian. Dilain pihak illegal logging juga dapat diartikan sebagai kegiatan penebangan hutan liar, berarti bahwa melakukan penebangan hutan dengan tidak menggunakan kaidah atau norma yang berlaku dan mengabaikan kaidah silvikultur (Wijanto 2008).
6
Smith (2002) diacu dalam Wijanto (2008) menggunakan istilah illegal logging untuk menunjukkan adanya penebangan kayu yang dihubungkan dengan kegiatan yang tidak sesuai dengan hukum nasional dan daerah. Selanjutnya bahwa yang termasuk dalam kegiatan illegal logging adalah (1) melakukan perusakan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari hutan (2) melakukan penebangan tanpa ijin dan atau dari areal yang dilindungi (3) menebang spesies yang dilindungi dan atau kayu yang melebihi batas perjanjian dan (4) melakukan penebangan yang melanggar atau tidak sesuai dengan kewajiban didalam kontrak perjanjian. Sukardi (2005) diacu dalam Setianingsih (2009) mendefinisikan illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan hukum yang berlaku atau berpotensi merusak hutan. Conteras-Hermosilla (2002) diacu dalam Setianingsih (2009) menyebutkan beberapa faktor penyebab terjadinya pencurian kayu: a.
Kegiatan kehutanan melibatkan areal yang luas, dapat terjadi ditempat yang jauh, sehingga lolos dari keamanan publik dan badan pengawas. Walaupun adanya teknologi pengindraan jauh, tetapi kapasitas untuk memonitor dan menegakkan hukumnya rendah;
b.
Di negara yang kaya sumberdaya hutan tetapi pembangunan ekonominya rendah jarang ditemukan informasi akurat tentang volume pohon yang ada, kualitas sumberdaya hutan, distribusi spesies, dan lokasi geografis lainnya. Kegiatan inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan tidak sempurna dilakukan, sehingga monitoring sulit dilakukan;
c.
Pengelolaan sumberdaya alam lebih memprioritaskan aspek ekonomi, diantaranya dengan adanya pandangan bahwa keberadaan hutan kurang ekonomis dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian intensif;
d.
Hak kepemilikan lahan hutan yang kurang jelas serta batas lahan hutan di lapanganpun kurang jelas diketahui;
e.
Gaji pegawai pemerintah yang jauh lebih rendah harus mengawasi kayu yang bernilai ekonomi tinggi mendorong terjadi pelanggaran atas jabatan;
7
f.
Hukuman bagi pelaku illegal logging sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penyebab terjadinya pencurian kayu di Indonesia bukan ditentukan
oleh faktor tunggal, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Ketimpangan supply dan demand kayu, masalah sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, rendahnya apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, penegakan hukum dan tingkat ketaatan hukum yang masih lemah sampai maraknya korupsi dalam pembalakan liar merupakan beberapa faktor kunci terjadinya praktek illegal logging di Indonesia. Sukardi (2005) diacu dalam Setianingsih (2009) menyebutkan modus operasi yang sering dilakukan dalam pencurian kayu adalah sebagai berikut : a.
Modus di daerah hulu 1. Melakukan penebangan tanpa ijin, dilakukan oleh masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau oknum pengusaha industri kehutanan 2. Melakukan penebangan diluar ijin yang telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh oknum pemegang konsesi HPH dan HTI.
b.
Modus di jalur pengangkutan dan di daerah hilir 1. Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah. 2. Pengangkutan kayu dilengkapi dokumen palsu 3. Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam dokumen yang sah. 4. Penggunaan dokumen sahnya kayu yang berulang-ulang. 5. Penggunaan dokumen lain diluar dokumen yang telah ditetapkan, misalnya penggunaan faktur kayu sebagai pengganti dokumen sahnya kayu; hal ini disebabkan oleh terjadinya praktek kolusi antara oknum pejabat, pengusaha, dan penegak hukum.
2.3 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat 2.3.1
Sejarah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Sejarah pengelolaan hutan di Pulau Jawa bermula dengan pola pendekatan
8
polisional (security approach) atau pendekatan melalui penjagaan sistem keamanan yang kuat. Istilah ini sering digunakan Belanda saat menjajah Indonesia. Namun sejak abad 18 berubah menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) hal ini disebabkan tuntutan perubahan lingkungan dan sosial masyarakat. Salah satu tindakan yang dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan ini yaitu dengan dimulainya reboisasi dengan sistem tumpang sari. Tahun 1974 Perum Perhutani membuat program MA-LU (Mantri Lurah) yakni program yang bertujuan untuk menggalang kerjasama antara mantri dan lurah dalam memberikan informasi kepada pesanggem tentang agroforestery dan aspek pertanian lainnya. Tahun 1982 dikembangkan menjadi program pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), kemudian tahun 1995 disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) yang di dalamnya terdapat program pengembangan sumberdaya manusia secara terpadu. Merespon tuntutan perubahan, perkembangan situasi reformasi, maka tahun 2001 lahirlah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan ciri bersama, berdaya dan berbagi yang berbasis lahan dan bukan lahan. Tahun 2007 PHBM dikembangkan menjadi PHBM Plus hingga sekarang demi mewujudkan visi dan misi Perhutani dalam meningkatkan pelaksanaan yang fleksibel, akomodatif, partisipatif dengan kesadaran tanggung jawab sosial serta mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menuju “Masyarakat Desa Hutan Mandiri dan Hutan Lestari” (Perum Perhutani 2010) 2.3.2
Pengertian Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Menurut Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 682/KPTS/DIR/2009,
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan dengan pihak yang
berkepentingan
(stakeholders)
dengan
jiwa
berbagi.
Pihak
yang
berkepentingan (stakeholders) dalam PHBM adalah pihak-pihak diluar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM. Pihak lain tersebut diantaranya adalah Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta,
9
Lembaga Pendidikan, Lembaga Donor serta Forum komunikasi PHBM tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Prinsip-prinsip dasar Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang tertera di dalam keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 adalah : 1.
Prinsip keadilan demokratis
2.
Prinsip keterbukaan dan kebersamaan
3.
Prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami
4.
Prinsip kejelasan hak dan kewajiban
5.
Prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan
6.
Prinsip kerjasama kelembagaan
7.
Prinsip perencanaan partisipatif
8.
Prinsip kesederhanaan sistem dan prosedur
9.
Prinsip perusahaan sebagai fasilitator
10. Prinsip kesesuaian pengelolaan dan karakteristik wilayah Berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menyatakan bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Sedangkan tujuan adanya Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah untuk: a.
Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan
b.
Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan
c.
Memperluas akses masyarakat desa hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan
10
d.
Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan
e.
Meningkatkan sinergitas dengan Pemerintah Daerah dan stakeholder
f.
Meningkatkan usaha-usaha produktif menuju masyarakat desa hutan mandiri yang mendukung terciptanya hutan lestari.
g.
Mendukung keberhasilan pembangunan daerah dengan IPM melalui indikator utama yaitu tingkat daya beli, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan.
Kegiatan yang dilaksanakan PHBM terdiri dari kegiatan yang berbasis pada lahan hutan dan kegiatan berbasis bukan lahan hutan, yang dilakukan di dalam kawasan hutan negara serta dapat dikembangkan diluar kawasan hutan negara. Sistem kemitraan antara masyarakat desa hutan dengan Perhutani dilaksanakan dengan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang merupakan organisasi non-pemerintah berbasis desa. 2.3.3
Upaya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Upaya mewujudkan keberhasilan program PHBM dalam menangani
masalah gangguan hutan seperti pencurian kayu, memang sangat dibutuhkan adanya kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan dengan segenap pihak yang berkepentingan (stakeholder). Peran LMDH dalam masyarakat desa hutan sangat penting karena fungsi dibentuknya lembaga ini adalah untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya. Upaya pemberantasan illegal logging menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak illegal logging sangat merugikan bagi kelestarian hutan, kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan bangsa. Menurut Sanim (2000) diacu dalam Wijanto (2008) ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya efektivitas dari kebijakan itu. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektivitas suatu kebijakan adalah: 1.
Efisien, artinya bahwa kebijakan harus dapat meningkatkan efisiensi kondisi sekarang dibanding dengan kondisi yang lalu.
11
2.
Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Ketidakadilan akan menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat.
3.
Intensif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.
4.
Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan secara efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).
5.
Public acceptability, artinya dapat diterima masyarakat.
6.
Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan moral yang baik. Moral merupakan titik sentral dalam pengambilan suatu kebijakan dan moral merupakan aspek normatif yang dapat menciptakan aspek positif dari kebijakan.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di KPH Jember, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan di Desa Lampeji RPH Mumbulsari, Desa Sidomulyo RPH Garahan dan Desa Sukojember RPH Jelbuk.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, alat hitung, kuisioner, kamera, dan software pengolah data (software microsoft excell 2010). 3.2.2 Bahan Data diperoleh dari Buku Laporan Keamanan dan Perlindungan Hutan Perum Perhutani KPH Jember, Buku Laporan Hasil PHBM KPH Jember dan Data Monografi Desa Lampeji RPH Mumbulsari, Desa Sidomulyo RPH Garahan dan Desa Sukojember RPH Jelbuk.
3.3 Jenis Data Data yang dibutuhkan terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data-data yang diperoleh melalui wawancara serta pengamatan langsung di lapangan yang meliputi: kegiatan penanggulangan penebangan liar (illegal logging) di KPH Jember baik oleh LMDH sebagai pelaksana PHBM, maupun oleh pihak Perhutani sendiri, kondisi tegakan hutan serta masyarakat di salah satu BKPH di KPH Jember. Sedangkan data sekunder yang diperlukan antara lain: data statistik terjadinya pembalakan/penebangan liar di wilayah KPH Jember dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011, data-data mengenai kondisi kawasan KPH Jember, data kondisi sosial masyarakat sekitar hutan KPH Jember, perkembangan kegiatan LMDH, laporan pembalakan/penebangan liar dari BKPH serta data-data pendukung lainnya.
13
3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengambilan contoh golongan pendapatan dan mata pencaharian dilakukan dengan cara random sampling. Metode penentuan desa ditentukan dengan cara purposive sampling atau disengaja dengan 3 kriteria desa berdasarkan pola PHBM yang dikembangkan dan tingkat kerawanan akan pencurian kayu yaitu desa pertama dengan pola penanaman jati dan palawija (tingkat kerawanan tinggi), desa kedua dengan pola penanaman pinus dan kopi (tingkat kerawanan rendah), serta desa ketiga dengan pola penanaman pinus dan palawija (tingkat kerawanan sedang). Responden yang diambil berjumlah 90 responden dari 3 desa. Masing-masing responden di tiap desa yang diambil adalah 30 responden. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : 1.
Studi pustaka yang dilakukan demi menambah kelengkapan data yang diperoleh. Pengumpulan literatur dilakukan dengan cara mempelajari, mengutip buku dan laporan yang berkaitan dengan penelitian ini.
2.
Teknik wawancara yang dilakukan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan responden dan pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuisioner.
3.
Teknik observasi yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek peneliti.
3.5 Analisis Data Analisis data penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Datadata disajikan dalam bentuk tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif. Efektifitas PHBM dalam mengatasi illegal logging dianalisis berdasarkan variabel-variabel: (1) Manfaat yang dirasakan dengan adanya PHBM, (2) Program PHBM telah sesuai keinginan, (3) Perhutani memberikan manfaat bagi masyarakat, (4) Harapan masyarakat telah tercapai dan (5) Program PHBM dapat mencegah illegal logging. Menurut Wilder (2001) diacu dalam Sopar (2010) jawaban dari setiap pertanyaan dinilai dengan skoring berdasarkan tingkat kesesuaian antara harapan
14
yang ingin dicapai dengan kondisi di lapangan, seperti berikut: Sangat tidak sesuai
:1
Tidak sesuai
:2
Netral
:3
Sesuai
:4
Sangat Sesuai
:5
Skor dari setiap pernyataan dalam sebuah faktor dijumlahkan kemudian dicari rataannya. Skor ≥ 4,0
memperlihatkan
proses
program
telah
berjalan
baik
dan
kemungkinan sudah tidak memerlukan perhatian lagi Skor 3,0 – 3,9 merupakan garis batas dan perlu diadakan diskusi kelompok untuk melihat bilamana mereka membutuhkan perhatian Skor ≤ 2,9
memperlihatkan keprihatinan dan harus menjadi pusat perhatian
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur tanggal 20 November 2011 nomor : 81 Tahun 2012 perihal penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Timur Tahun 2012 untuk daerah Kabupaten Jember ditetapkan UMK sebesar Rp 920.000,00. Tingkat pendapatan responden dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu tingkat pendapatan kurang dari Rp 920.000,00 per bulan; antara Rp 920.000,00 - Rp 1.500.000,00 per bulan; dan lebih dari Rp 1.500.000,00 perbulan. Jika sebagian besar pendapatan responden diatas Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK ≥ Rp. 920.000,00), maka diasumsikan bahwa pola PHBM berhasil dalam memberdayakan masyarakat dan penurunan tingkat pencurian kayu/illegal logging. Sumber pendapatan atau mata pencaharian responden diklasifikasikan ke dalam 4 kategori, yaitu : (1) hasil hutan, (2) pertanian, (3) jasa perdagangan, dan (4) jasa lain. Dalam menganalisis mata pencaharian menggunakan satuan persentase (%). Asumsi dilihat dari perbandingan antara persentase total penduduk bermata pencaharian dari hasil hutan dengan persentase mata pencaharian pada sektor lainnya. Dapat diasumsikan bahwa semakin besarnya penduduk yang bermata pencaharian dari hasil hutan maka illegal logging yang terjadi akan semakin tinggi.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kesatuan Pemangkuan Hutan Jember 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis KPH Jember terletak pada 6˚27’29” - 7˚14’35” Bujur Timur dan 7˚59’6” - 8˚33’56” Lintang Selatan berbentuk dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas Utara dan Timur serta Samudera Indonesia. Luas KPH Jember adalah 71.556,34 ha, yang terbagi ke dalam 3 wilayah, yakni wilayah Lereng Yang Selatan (LYS) 24.725,54 ha, bagian Hutan Sempolan 18.305,8 ha dan wilayah Jember Selatan 28.525,0 ha. Hutan tersebut terbagi lagi atas tiga kelas perusahaan, yaitu Kelas Perusahaan Pinus, Kelas Perusahaan Jati dan Kelas Perusahaan Mahoni. Secara administratif seluruh wilayah hutan KPH Jember berada di Kabupaten Jember. Batas-batas KPH Jember adalah: Sebelah Timur
: KPH Banyuwangi Barat dan Selatan
Sebelah Barat
: KPH Probolinggo
Sebelah Utara
: KPH Bondowoso
Sebelah Selatan
: Samudera Indonesia
4.1.2 Pembagian Wilayah dan Topografi Wilayah KPH Jember terbagi ke dalam 7 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan terbagi lagi atas 23 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Rincian luas kawasan hutan per BKPH : 1.
BKPH Lereng Yang Barat
: 10.008,7 Ha
2.
BKPH Lereng Yang Timur
: 14.610,9 Ha
3.
BKPH Sempolan
: 11.072,4 Ha
4.
BKPH Sumberjambe
: 7.107,2 Ha
5.
BKPH Mayang
: 9.355,5 Ha
6.
BKPH Ambulu
: 13.053,6 Ha
7.
BKPH Wuluhan
: 6.085,3 Ha
Jumlah
: 71.293,6 Ha
16
Kabupaten Jember memiliki luas wilayah 3.293,34 km2 atau 329.333,94 Ha. Dari luas wilayah tersebut dapat dibagi menjadi berbagai kawasan : 1.
Hutan
:
121.039,61
Ha
2.
Perkampungan
:
31.877
Ha
3.
Sawah
:
86.568,18
Ha
4.
Tegal
:
43.522,84
Ha
5.
Perkebunan
:
34.590,46
Ha
6.
Tambak
:
368,66
Ha
7.
Rawa
:
35,62
Ha
8.
Semak/padang rumput
:
289,06
Ha
9.
Tanah rusak/tandus
:
1.469,26
Ha
:
9.573,30
Ha
:
329.333,94
Ha
10. Lain-lain Jumlah
Berdasarkan topografinya Jember di wilayah bagian Selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian Utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan. 4.1.3 Iklim dan Tanah Iklim di daerah Jember adalah iklim tropis, angka temperatur berkisar antara 23-31 ˚C, dengan musim kemarau terjadi pada Bulan Mei sampai Bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada Bulan September sampai Bulan Januari. Sedangkan curah hujan cukup banyak, yakni berkisar antara 1.969 - 3.394 mm. Wilayah KPH Jember dibagi menjadi tiga yaitu Wilayah Utara (Bagian Hutan Lereng Yang Selatan) memiliki iklim Tipe B, Wilayah Tengah (Bagian Hutan Sempolan) beriklim tipe C dan Wilayah Selatan (Bagian Hutan Jember Selatan) beriklim tipe D. KPH Jember berada pada ketinggian berkisar 10 – 1.500 m dpl, memiliki temperatur 24–26˚C dengan rata - rata curah hujan/th adalah 2.013 mm. Kondisi hidrologi di KPH Jember sangat dipengaruhi oleh air permukaan tanah dangkal, sumber-sumber mata air dan aliran-aliran sungai yang melintasinya. Sungai yang melintasi daerah Jember adalah Sungai Bedadung. Dataran wilayah Jember banyak dibentuk oleh jenis tanah litosol dan regosol coklat kekuningan. Kondisi ini sangat menentukan tingkat kesuburan dan
17
kedalaman efektif tanah, dimana tingkat kesuburan tersebut adalah berkisar di atas 90 cm. Tipe tanah Wilayah Utara adalah vulkanik dan Wilayah Selatan tipe tanah campuran. Adapun kekayaan alam yang terdapat di daerah Jember beserta luasannya adalah sebagai berikut: Young Quartenary Vulcanic Product
:
130.240,43 ha
Miosen Sedimentary Fasies
:
74.177,65 ha
Miosen Limentone Fasies
:
10.571,88 ha
Allumunium
:
112.941,88 ha
Granite
:
1.402,50 ha
Selain itu kekayaan alam berupa bahan galian terdapat juga pada wilayah Jember antara lain berupa: Batu gunung/vulkanik
:
terdapat di Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Kalisat
Mangaan dan batu gamping
:
terdapat di Kecamatan Puger dan Wuluhan
Tanah liat
:
terdapat di Kecamatan Ledokombo, Arjasa dan Rambipuji.
Batu kali/pasir
:
terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan.
Batu piring
:
terdapat di Kecamatan Kalisat dan Pakusari.
4.1.4 Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sebagai Daerah Otonom, Kabupaten Jember memiliki batas-batas teritorial, luas wilayah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik dan sosial budaya, serta sumber daya manusia. Kabupaten Jember pada dasarnya tidak mempunyai penduduk asli, hampir semuanya pendatang. Mayoritas penduduk Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku Madura, selain itu terdapat warga Tionghoa dan Suku Osing, disamping masih dijumpai suku-suku lain serta warga keturunan asing sehingga melahirkan karakter khas Jember yang dinamis, kreatif, sopan, dan ramah tamah. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Jawa dan Madura. Masyarakat Madura lebih banyak menetap di bagian Utara daerah Jember, sedangkan masyarakat Jawa lebih banyak menetap di bagian Selatan daerah Jember. Kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Jember merupakan perpaduan Budaya Jawa dan Madura.
18
Tabel 1 No
Kepadatan penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember. Desa
1
Desa Lampeji
2
Desa Sidomulyo
Luas Daerah (ha)
Laki-laki
Perempuan
Total
Kepadatan Penduduk Orang/ha
592
4.982
5.452
10.434
17,63
973,9
4.987
5.332
10.319
10,59
Jumlah Penduduk (orang)
3 Desa Sukojember 585,4 3.027 3.099 6.126 10,46 Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010
Berdasarkan data yang diperoleh, masyarakat penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo, dan Desa Sukojember mayoritas memiliki pendidikan terendah yaitu tamat SD. Tingkat pendidikan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tingkat pendidikan penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember. No
Tingkat Pendidikan
1
Belum sekolah Tidak pernah sekolah
2
Desa Lampeji Persen Orang (%) 206 1,97
Desa Sidomulyo Persen Orang (%) 1132 10,97
Desa Sukojember Persen Orang (%) 75 1,22
673
6,45
402
3,90
35
0,57
3
SD tidak tamat
653
6,26
1367
13,25
-
-
4
Tamat SD
1594
15,28
1894
18,35
930
15,18
5
SMP
1128
10,81
967
9,37
325
5,31
6
SMA
679
6,51
427
4,14
205
3,35
7
D1
-
-
17
0,16
-
-
8
D2
-
-
-
-
6
0,10
9
36 0,35 D3 10 2 0,02 8 0,13 S1 Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010
Sebagian besar penduduk Desa Lampeji memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani sebanyak 3.756 orang (36%). Penduduk Desa Sidomulyo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 5.162 orang (50,02%). Sebagian besar penduduk Desa Sukojember mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai peternak sebanyak 1.050 orang (17,14%). Mata pencaharian masyarakat desa di Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember dapat dilihat pada Tabel 3.
19
Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember.
Petani
Desa Lampeji Persen Orang (%) 2939 28,17
Desa Sidomulyo Persen Orang (%) 5162 50,02
Desa Sukojember Persen Orang (%) 450 7,35
2
Buruh tani/Buruh
3756
1413
725
3
Karyawan Swasta
1
0,01
30
0,29
-
-
4
PNS
38
0,36
74
0,72
6
0,10
5
Pedagang/Pengusaha
40
0,38
675
6,54
10
0,16
6
Peternak
11
0,11
1034
10,02
1050
17,14
-
-
1
0,02
1
0,02
No
Mata Pencaharian
1
36,00
13,69
11,83
7
Montir
-
-
8
TNI/POLRI
2
0,02
9
Penjahit
-
-
50
0,48
-
-
10
Sopir
4
0,04
-
-
3
0,05
11
Tukang Batu/Kayu
2
0,02
417
4,04
-
-
12
Tukang Cukur
15
0,14
10
0,10
1
0,02
13
Tukang Ojek
5
0,05
-
-
50
0,82
14
Tukang Becak
13
0,12
-
-
-
-
15
TKI
73
0,70
-
-
-
-
16 Pensiunan 5 0,05 103 1,00 1 0,02 Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010
Agama
yang
dianut
mayoritas
Islam,
yang
ditandai
dengan
berkembangnya pusat-pusat keagamaan khususnya pesantren. Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substansial. Terdapat empat wilayah penyebaran penduduk berdasarkan pengetahuan dan keterampilan bertani-berkebun di Kabupaten Jember : (1) bagian utara ke timur merupakan daerah perbukitan kaki lereng pegunungan dengan variasi dataran untuk persawahan, (2) bagian Tengah merupakan kecamatan kota tempat pusat bisnis atau administrasi, (3) bagian Barat ke Utara merupakan daerah dataran perkebunan tebu hingga lereng kaki pegunungan untuk perkebunan kakao dan kopi serta karet, (4) bagian Barat ke Selatan merupakan dataran untuk pertanian sampai pesisir yang didiami penduduk bermata pencaharian nelayan. Kabupaten Jember merupakan daerah yang mengalami perkembangan sangat pesat khususnya di bidang perdagangan, sehingga memberikan peluang bagi pendatang untuk berlomba-lomba mencari penghidupan di daerah ini.
20
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Jember mencapai 2.345.851 jiwa, dengan kepadatan penduduk 786 jiwa/km2, dengan sebagian besar penduduk berada pada kelompok usia muda. Sehingga kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia yang dimiliki Kabupaten Jember cukup memadai sebagai potensi penyedia dan penawar tenaga kerja di pasar kerja.
4.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan 4.2.1 Sejarah LMDH Lampeji Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lampeji terletak di Desa Lampeji yang berada dalam kawasan RPH Mumbulsari BKPH Mayang KPH Jember. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lampeji baru memiliki legalitas hukum pada tanggal 11 September 2003 setelah diterbitkannya Akte Pendirian LMDH Lampeji yang disahkan dihadapan Notaris Hariyanto Imam Salwawi, SH. Dengan akta Notaris Nomor : L. 970/Not/IX/2003. Pelaksanaan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disepakati bersama antara pihak Perhutani KPH Jember dengan pemerintah desa dan masyarakat Desa Lampeji
pada 17 Januari 2003 yang tertulis didalam
Keputusan Dewan Pengawas PT. Perhutani No: 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Kerjasama ini dilakukan atas dasar kebutuhan dan manfaat masing-masing pihak secara timbal balik atas dasar kebersamaan dan persamaan derajat, pemberdayaan, berbagi dan saling menghormati sesuai dan dalam batas kemampuan masing-masing dan perundangundangan yang berlaku. Dalam perjanjian kerjasama tersebut tercantum luas hutan pangkuan LMDH Lampeji adalah 479,6 ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Aturan-aturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan LMDH telah tercantum pada Akta Notaris dan Nota Kesepakatan Bersama/Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji. Pemilihan pengurus LMDH dilakukan oleh anggota LMDH Lampeji. Saat ini LMDH Lampeji memiliki 450 anggota. LMDH Lampeji memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari:
21
Penasehat
: A. Akarimullah
Ketua
: Sugiyono
Wakil Ketua : H. Imam Kurnaen Sekretaris
: 1. Soegiharto Aries. S 2. Kyai Laely Jamal
Bendahara
: 1. Pak Her Asmudin : 2. Suhartono
Seksi-seksi
:
a. Seksi Organisasi
:
1. P. Im Karyoto 2. Imam Safi’i 3. Ali Yasin
b. Seksi Usaha
:
1. Suripto 2. Abd. Muntahe 3. Suryadi
c. Seksi Umum
:
1. Ashuri 2. P. Lut
d. Seksi Perencanaan
:
1. P. Sri 2. Junaedi
e. Seksi Sarana Prasarana
:
1. P. Mar. Moch. Romli 2. P. Lim
f. Seksi Budidaya
:
1. P. Sawati
3. P. Tiarjo
2. P. Ilmi
4. P. Heri
Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Lampeji menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Lampeji dan warga Desa Sidomulyo adalah buruh tani. Dari responden di LMDH Lampeji 12 orang memiliki pekerjaan utama sebagai buruh tani, 8 orang sebagai petani, 4 orang sebagai petani hutan, 2 orang pedagang, 2 orang wiraswasta, 1 orang tukang bangunan dan 1 orang kepala dusun. Pembentukan LMDH Lampeji dilatarbelakangi oleh mayoritas masyarakat setempat yang memiliki aktivitas ekonomi dengan menggantungkan pada pemanfaatan hasil hutan yang menjadi wilayah pangkuan KPH Jember. Tentunya
22
aktivitas ekonomi tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap kelangsungan kelestarian hutan. Hal ini terbukti dengan adanya pencurian kayu hutan oleh oknum warga maupun oknum lainnya sebelum dilaksanakannya PHBM maupun sesudah dilaksanakannya program PHBM oleh pihak Perum Perhutani dan LMDH Lampeji. 4.2.2 Kegiatan LMDH Lampeji Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan LMDH Lampeji diantaranya adalah : 1.
Pengamanan Hutan a. Patroli secara aktif Kegiatan pengamanan hutan, seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani pada malam hari secara rutin. b. Patroli secara pasif Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi, serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan memantau apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani.
2.
Budidaya Palawija Budidaya tanaman palawija/hortikultura dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen menjadi hak anggota sebesar 92,5% dan 7,5% untuk fasilitator. Pembagian hasil tanaman pokok berupa jati 75% menjadi hak Perhutani, 20% menjadi hak anggota dan 5% menjadi hak pihak ketiga (Pemdes, fasilitator dan Pemkec). Sharing hasil tanaman hutan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah pohon per hektar dan dilakukan pada saat penjarangan dan pemanenan saat akhir daur tanaman.
23
3.
Penanaman Anggota LMDH Lampeji melakukan kegiatan penanaman yang dilakukan dengan sistem tumpang sari. Penanaman tanaman pokok berupa jati dengan jarak tanam 6 m x 2 m, tanaman pengisi kesambi dengan ukuran 6 m x 10 m, tanaman tepi berupa mahoni dengan ukuran 1 m, tanaman sela berupa rumput gajah dengan ukuran 6 m x 20 cm, tanaman pagar berupa tanaman nanas dengan ukuran 50 cm x 50 cm serta tanaman hortikultura dengan jarak 10 m.
4.2.3 Sejarah LMDH Artha Wana Mulya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Artha Wana Mulya terletak di Desa Sidomulyo yang berada dalam kawasan RPH Garahan BKPH Sempolan KPH Jember. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Artha Wana Mulya didirikan pada tanggal 22 Desember 2005 dan baru memiliki legalitas hukum pada tanggal 29 Desember 2005 setelah diterbitkannya Akte Pendirian LMDH Artha Wana Mulya yang disahkan dihadapan Notaris Elok Sunarningtyas. Dengan akta Notaris Nomor : C-579.HT.03.01-1999. Pelaksanaan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disepakati bersama antara pihak Perhutani KPH Jember dengan pemerintah desa dan masyarakat Desa Sidomulyo pada 17 April 2009 yang tertulis didalam Perjanjian Kerjasama Nomor: 26/Pengemb. Ush/JBR/II/2009. Dalam Perjanjian Kerjasama tersebut tercantum luas hutan pangkuan LMDH Artha Wana Mulya adalah 434,35 Ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Aturan-aturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan LMDH telah tercantum pada Akta Notaris dan Nota Kesepakatan Bersama/ Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Artha Wana Mulya. Pemilihan pengurus LMDH dilakukan oleh anggota LMDH Artha Wana Mulya. Saat ini LMDH Artha Wana Mulya memiliki 876 anggota. LMDH Artha Wana Mulya memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari: Pelindung
: Kades Sidomulyo
Penasehat
: 1. Asper/KBKPH Sempolan : 2. KRPH Garahan
24
Ketua
: Rudi Santoso
Wakil Ketua : Ali Prawoto Sekretaris
: 1. Veni Fitriana 2. Ponidi
Bendahara
: 1. H. Zaenol : 2. Ali Maki.
Seksi-seksi
:
a. Seksi Organisasi
b. Seksi Usaha
c. Seksi Umum
d. Seksi Produksi
e. Seksi Keamanan
:
:
:
:
:
1. Darmanto
3. Misdin
2. P. Sugik
4. Hanan
1. Samuji
3. Ningrat
2. Sisworo
4. Irwan Budianto
1. Suwarno
3. Romyono
2. Bunadi
4. Tohet
1. Yon
3. Sa’rawi
2. P. Basuni
4. Syafi’i
1. P. Ririn
5. Sinal
2. P. Misnan 6. P. Tin 3. Joko
7. P. Las
4. Salam
8. P. Lilik
9. P. Dul 10. P. Im
Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Artha Wana Mulya menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Artha Wana Mulya dan warga Desa Sidomulyo adalah sebagai petani kopi. Dari responden di LMDH Artha Wana Mulya 15 orang memiliki pekerjaan utama sebagai petani kopi, 5 orang sebagai penyadap getah pinus, 9 orang sebagai wiraswasta, dan 1 orang sebagai perangkat desa. Pembentukan LMDH Artha Wana Mulya dilatarbelakangi oleh sebuah tuntutan realitas bahwa Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa di Kecamatan Silo yang secara geografis merupakan desa pemangku hutan dan hampir 75% dari wilayah desa Sidomulyo berupa hutan pinus dan hutan heterogen yang mana dilihat dari aspek sosial, budaya, dan ekonomi, mayoritas masyarakat setempat mempunyai aktivitas ekonomi dengan menggantungkan pada pemanfaatan hasil
25
hutan yang menjadi wilayah pangkuan KPH Jember. Tentunya aktivitas ekonomi tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap kelangsungan kelestarian hutan. Hal ini terbukti dengan adanya pencurian kayu hutan oleh oknum warga sebelum dilaksanakannya PHBM oleh pihak Perum Perhutani dan LMDH Artha Wana Mulya. 4.2.4 Kegiatan LMDH Artha Wana Mulya Adapun program kerja yang dilaksanakan oleh LMDH Artha Wana Mulya antara lain: 1.
Mengembangkan ternak kambing sebagai upaya peningkatan kesejahteraan anggota LMDH.
2.
Melaksanakan kegiatan pengawasan hutan secara intensif bersama pihak Perum Perhutani.
3.
Melakukan evaluasi secara periodik terhadap seluruh hasil kegiatan yang telah dilaksanakan bersama pihak Perum Perhutani. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember
dengan LMDH Artha Wana Mulya
tentang penjagaan, perlindungan dan
pengamanan hutan, kegiatan LMDH Artha Wana Mulya diantaranya adalah : 1.
Pengamanan Hutan
a.
Patroli secara pasif Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan
memantau
apabila terdapat
orang-orang
yang
mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani. b.
Pembuatan gubug kerja Setiap anggota memiliki gubug kerja di setiap lahan andil mereka. Gubug Kerja ini digunakan sebagai tempat peristirahat sekaligus tempat untuk menjaga dan mengawasi lahan milik mereka masing-masing.
2.
Budidaya Kopi Budidaya tanaman kopi dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry sudah dilakukan sejak tahun 2000. Kegiatan penanaman kopi ini berawal dari masa penjarahan sekitar tahun 1999, ketika itu kawasan hutan di
26
sekitar desa banyak dijarah oleh masyarakat luar desa. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa kopi OC dari produksi tanaman kopi adalah 75% untuk pesanggem/petani kopi dan 25% untuk Perhutani. Besar bagi hasil didasarkan pada jumlah pohon dan jumlah produksi kopi per pohon setelah diadakan pendataan ulang kopi yang dipanen. Kegiatan budidaya kopi ini dilakukan di 7 petak yaitu di petak 2a, 2d, 13a, 15b, 17b, 129a, 129e dengan total luas seluruh lahan 434,35 Ha. Tanaman kopi yang ada di petak-petak tersebut bersifat sporadis/tidak merata. Masa tanam kopi adalah 3-4 kali dalam setahun dengan jarak tanam 1 m x 3 m. Tanaman kopi ini ditanam di bawah tegakan pada kelas hutan lindung. Petani dapat menghasilkan sekitar 2,5 kwintal OC (Beras kopi) per hektar dengan harga OC kopi rata-rata berharga Rp 20.000/kg. 4.2.5 Sejarah LMDH Suger Subur Desa Sukojember berada dalam kawasan RPH Jelbuk BKPH Lereng Yang Timur KPH Jember. Desa Sukojember merupakan desa yang belum ber-PHBM secara mandiri sehingga untuk pengelolaan hutan di desa ini diserahkan kepada LMDH Suger Subur yang berada di sebelah Desa Sukojember yaitu Desa Suger Kidul. Luas hutan yang berada dalam kawasan Desa Sukojember adalah 22,4 Ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Suger Subur menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Suger Subur dan warga Desa Sukojember adalah sebagai petani. Dari responden di LMDH Suger Subur 23 orang memiliki pekerjaan utama sebagai petani hutan, 3 orang sebagai buruh tani, 2 orang sebagai wiraswasta, 1 orang penyadap getah dan 1 orang sebagai tukang bangunan. Belum terbentuknya LMDH di Desa Sukojember dilatarbelakangi oleh pernyataan Kepala Desa Sukojember bahwa hutan seutuhnya adalah milik rakyat, baik pengelolaan dan seluruh hasilnya, sehingga beliau tidak ingin melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam membangun PHBM di sekitar desa hutan
27
tersebut. Beliau berpendapat bahwa hasil sharing PHBM hanya untuk keuntungan Perhutani dan tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat seutuhnya. 4.2.6 Kegiatan LMDH Suger Subur Kegiatan penjagaan, perlindungan, dan pengamanan hutan di LMDH Suger Subur Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember telah menjadi tanggung jawab LMDH Suger Subur serta pihak Perhutani, kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah : 1.
Pengamanan Hutan
a.
Patroli secara aktif Kegiatan pengamanan hutan, seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani pada pagi dan malam hari secara rutin yang dilakukan mulai pukul 07.00-19.00 WIB.
b.
Patroli secara pasif Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan
memantau
apabila terdapat
orang-orang
yang
mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani. c.
Pembuatan pos pengamanan Dalam mempermudah patroli dan penjagaan hutan, maka dibuatlah pos pengamanan atau biasa disebut sebagai pos bayangan. Letak pos pengamanan dapat berupa tempat tinggal anggota yang dekat dengan hutan maupun rumah dinas.
2.
Budidaya Palawija Budidaya tanaman palawija/hortikultura dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, kacang-kacangan, kedelai, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen sebesar 100% menjadi hak anggota dan pihak ketiga.
28
Kegiatan penanaman yang dilakukan dengan sistem tumpang sari. Penanaman tanaman pokok berupa pinus dengan jarak tanam 3 m x 3 m, tanaman pengisi berupa manting dan johor, tanaman tepi berupa sengon, tanaman sela berupa rumput gajah, serta tanaman hortikultura yang menjadi lahan andil masyarakat adalah seluas 0,15 Ha dengan ukuran 15 m x 10 m.
4.3 Karakteristik Masyarakat Karakteristik keanggotaan didasarkan pada karakteristik responden yang meliputi umur dan tingkat pendidikan. Responden merupakan anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dipilih secara acak, masing-masing 30 orang dari tiap LMDH. Jumlah anggota LMDH Lampeji sebanyak 450 orang, sedangkan jumlah anggota dari LMDH Artha Wana Mulya sebanyak 876 orang dan jumlah anggota LMDH Suger Subur sebanyak 90 orang. 4.3.1 Umur Dalam penelitian ini pengelompokkan kategori usia penduduk dibagi menjadi 3 kategori yaitu kategori muda (≤ 51 tahun), kategori menengah (52 – 63 tahun) dan kategori tua ( ≥ 64 tahun). Pengelompokkan responden berdasarkan kategori umur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan tingkat umur No
Lembaga Masyarakat Desa Hutan
Muda (≤ 51 tahun)
Menengah (52-63 tahun)
Tua (≥ 64 tahun)
1
LMDH Lampeji
21 (70%)
8 (26,7%)
1 (3,3%)
2
LMDH Artha Wana Mulya
24 (80%)
6 (20%)
0 (0%)
3
LMDH Suger Subur
20 (66,7%)
8 (26,7%)
2 (6,7%)
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa umur responden dari anggota LMDH Lampeji mayoritas berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun) sebanyak 21 orang (70%), sebanyak 8 orang (26,7%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 1 orang (3,33%) berada dalam kategori tua. Usia anggota LMDH Artha Wana Mulya sebagian besar berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun) sebanyak 24 orang (80%), sebanyak 6 orang (20%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 0 orang (0%) berada dalam kategori tua. Pada umumnya usia anggota LMDH Suger Subur mayoritas berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun)
29
sebanyak 20 orang (66,7%), sebanyak 8 orang (26,7%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 2 orang (6,7%) berada dalam kategori tua. Kategori usia penduduk dibagi menjadi 3 yaitu usia < 14 tahun (usia belum produktif), usia 14 - 64 tahun (usia produktif) dan usia > 64 tahun (usia tidak produktif). Masyarakat dari ketiga lokasi responden tersebut masuk dalam kategori usia produktif yang terlihat dari sebagian besarnya masyarakat yang masuk dalam kategori usia muda (≤ 51 tahun). Hal ini terlihat dari aktifnya masyarakat melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, pemeliharaan dan penjagaan hutan adalah masyarakat dari golongan yang masih produktif. 4.3.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang terakhir ditempuh responden dan pendidikan informal (kursus/pelatihan) yang pernah diikuti responden yang dikategorikan menjadi 3 yaitu rendah (tidak sekolah–tamat SD/sederajat), sedang (tamat SMP/sederajat) dan tinggi (tamat SMA/sederajatPerguruan Tinggi). Pengelompokan responden berdasarkan kategori tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan No
Lembaga Masyarakat Desa Hutan
1 2 3
LMDH Lampeji LMDH Artha Wana Mulya KTH Sukojember
Rendah (tidak sekolahSD) 28 (93,33%) 15 (50%) 27 (90%)
Sedang (SMP) 1 (3,33%) 6 (20%) 1 (3,33%)
Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) 1 (3,33%) 9 (30%) 2 (6, 67%)
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari ketiga lokasi responden tersebut tingkat pendidikan responden sebagian besar berada dalam kategori rendah (tidak sekolah-SD). Pada LMDH Lampeji mayoritas tingkat pendidikan berada dalam kategori rendah (tidak sekolah- SD) sebanyak 28 orang (93,33%), sebanyak 1 orang (3,33%) berada pada kategori Sedang (SMP) dan 1 orang (3,33%) berada dalam kategori Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Pada
LMDH Artha Wana
Mulya mayoritas tingkat pendidikan berada dalam kategori rendah (tidak sekolahSD) sebanyak 15 orang (50%), sebanyak 6 orang (20%) berada pada kategori Sedang (SMP) dan 9 orang (30%) berada dalam kategori Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Pada LMDH Suger Subur mayoritas tingkat pendidikan berada dalam
30
kategori rendah (tidak sekolah- SD) sebanyak 27 orang (90%), sebanyak 1 orang (3,33%) berada pada kategori sedang (SMP) dan 2 orang (6,67%) berada dalam kategori tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat disebabkan letak sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA yang jauh dari tempat tinggal warga serta tidak adanya dana untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 5.1.1 Mata Pencaharian Sumber pendapatan responden digolongkan menjadi empat yaitu sumber mata pencaharian yang berasal dari hasil hutan, pertanian, perdagangan dan bidang lainnya. Berikut ini kehidupan sosial masyarakat berdasarkan mata pencaharian pada RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk.
Tabel 6 Mata pencaharian pokok responden Sumber Pendapatan/ Pekerjaan Pokok Hasil hutan (Petani hutan, chainsawman/penebang, penyadap) Pertanian (Buruh tani, Petani, Pencari rumput gajah) Jasa perdagangan (Pedagang, pedagang kopi) Jasa lain (PNS, Perangkat desa, Wiraswasta, Peternak, Nelayan, Tukang bangunan, Kuli Pabrik)
Desa Lampeji RPH Mumbulsari Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 4 13
Desa Sidomulyo RPH Garahan Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 5 17
Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 24 80
21
70
15
50
3
10
2
7
0
0
0
0
3
10
10
33
3
10
Tabel 7 Mata pencaharian sampingan responden Sumber Pendapatan Pekerjaan Sampingan Hasil hutan (Petani hutan, chainsawman/penebang, penyadap) Pertanian (Buruh tani, Petani, Pencari rumput gajah) Jasa perdagangan (Pedagang, pedagang kopi)
Desa Lampeji RPH Mumbulsari Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 22 73
Desa Sidomulyo RPH Garahan Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 2 7
Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 1 3
1
3
9
30
10
33
2
7
9
30
11
37
32
Sumber Pendapatan/ Pekerjaan Sampingan Jasa lain (PNS, Perangkat desa, Wiraswasta, Peternak, Nelayan, Tukang bangunan, Kuli Pabrik) Tidak ada pekerjaan sampingan
Desa Lampeji RPH Mumbulsari Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 2 7
3
10
Desa Sidomulyo RPH Garahan Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 2 7
8
26
Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ Persen KK (%) 2 7
6
20
Masyarakat pada masing-masing RPH memiliki mata pencaharian ganda, yaitu pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Pada Desa Lampeji RPH Mumbulsari sebagian besar masyarakat bermata pencaharian pokok (70%) bekerja di bidang pertanian, dan sebagian besar (73%) mata pencaharian sampingan masyarakat berasal dari hasil hutan yaitu menebang hasil hutan kayu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat RPH Mumbulsari sebagian besar sangat bergantung pada keberadaan hutan, terlihat dari pekerjaan sampingan mereka sebagian besar bekerja mengelola lahan di dalam hutan sebagai petani hutan. Ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan di Desa Lampeji dikarenakan pola pikir masyarakat di Desa Lampeji masih belum mengerti manfaat dari adanya PHBM yang menyebabkan kondisi hutan di RPH ini tidak terjaga dengan baik. Pada Desa Sidomulyo RPH Garahan sebagian masyarakat bermata pencaharian pokok (50%) di bidang pertanian. Sebagian besar pekerjaan sampingan masyarakat di bidang pertanian dan perdagangan. Masyarakat di RPH Garahan sebagian besar bekerja tidak bergantung penuh pada hasil hutan. Hal ini sesuai dengan kondisi hutan di daerah ini yang jauh dari kerusakan hutan akibat pencurian kayu. Desa Sukojember RPH Jelbuk sebagian besar masyarakat bermata pencaharian pokok (80%) mengandalkan keberadaan hasil hutan. Hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah hasil hutan bukan kayu, seperti kayu bakar dan getah pinus. Pekerjaan sampingan masyarakat Desa Sukojember sebagian besar di bidang perdagangan (37%). Kondisi hutan yang baik di RPH ini karena adanya pendekatan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat serta pola pikir masyarakat yang mengerti manfaat dari adanya PHBM.
33
5.1.2 Tingkat Pendapatan Pendapatan masyarakat desa sekitar hutan di golongkan menjadi tiga berdasarkan UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) yaitu upah pendapatan kurang dari Rp 920.000,00 ; upah diantara Rp 920.000,00 - Rp 1.500.000,00 ; dan upah lebih dari Rp 1.500.000,00.
Tabel 8 Tingkat pendapatan responden Tingkat Pendapatan (Rp/KK/bulan)
Desa Lampeji RPH Mumbulsari Jumlah Pekerja/K Persen K (%)
Desa Sidomulyo RPH Garahan Jumlah Pekerja/K Persen K (%)
Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/K Persen K (%)
< 920000 920000-1500000
12 7
40 23,3
15 5
50 16,7
26 4
87 13
>1500000
11
36,7
10
33,3
0
0
Berdasarkan tingkat pendapatan, Desa Sukojember RPH Jelbuk memiliki tingkat pendapatan kurang dari Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK < Rp 920.000,00) lebih besar dari kedua RPH lainnya yaitu sebesar 87%. Pendapatan masyarakat di RPH Mumbulsari memiliki tingkat pendapatan (UMK > Rp 1.500.000,00) paling besar dari kedua daerah tersebut yaitu 36,7%. Tingkat pendapatan diatas UMK pada Desa Lampeji 60 %, Desa Sidomulyo RPH Garahan 50%, dan Desa Sukojember RPH Jelbuk 13%. Tingkat pendapatan tinggi belum tentu memberikan pengaruh yang baik pada keamanan hutan. Hal ini terlihat dari Desa Lampeji daerah yang rawan akan pencurian kayu memiliki pendapatan lebih besar dari Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember. Desa Lampeji memiliki tingkat pendapatan yang tinggi disebabkan mata pencaharian pokok masyarakat sebagian besar bekerja sebagai petani dan mata pencaharian sampingan mereka bergantung penuh pada hasil hutan berupa kayu sehingga pendapatan mereka lebih tinggi dan peluang terjadinya pembalakan liar pun dapat terjadi. Kelestarian hutan RPH Mumbulsari menjadi terganggu karena intensitas pemanfaatan hutan yang sering dilakukan di dalam hutan oleh masyarakat
34
5.2 Intensitas Pencurian dan Kerugian Akibat Pencurian Kayu Kerusakan hutan Indonesia akibat pencurian kayu hingga saat ini masih belum dapat diatasi secara tuntas, begitu pula dengan kondisi hutan yang dikelola oleh KPH Jember. Berdasarkan data kerusakan hutan Perum Perhutani KPH Jember akibat pencurian kayu dalam 5 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2011 total laporan pencurian kayu tertinggi (LA) terjadi pada tahun 2008 sebanyak 226 LA dengan total pohon yang telah dijarah adalah 1.133 pohon dengan total kerugian saat itu sebesar Rp 157.000.000,00. Secara garis besar intensitas kejadian pencurian kayu di KPH Jember mengalami penurunan dari tahun 2008 yang berjumlah 226 kasus menjadi 118 laporan kejadian kasus pencurian kayu di tahun 2011 (Gambar 2). Sedangkan untuk jumlah kayu yang hilang juga mengalami penurunan dari tahun 2007 sebanyak 741 pohon menjadi 716 pohon pada tahun 2011 (Gambar 3).
Gambar 1 Jumlah LA tahun 2007-2011 KPH Jember
Gambar 2 Jumlah pohon tahun 2007-2011 KPH Jember
Gambar 3 Besar kerugian tahun 2007-2011 KPH Jember Besar kerugian tertinggi akibat pencurian kayu yang dialami Perum Perhutani KPH Jember terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp 324.393.000,00 (Gambar 4). Kerugian pada tahun 2011 lebih besar dibandingkan pada tahun-
35
tahun sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena volume kubikasi pohon yang besar dan jenis kayu yang memiliki nilai komersial tinggi yang dicuri. Hasil hutan kayu yang menjadi produk utama dari KPH Jember yaitu produksi kayu jati dan kayu rimba. Harga jual jati lebih mahal dibandingkan kayu rimba, oleh karena itu oknum pencuri cenderung lebih menyukai jati dari pada kayu rimba. Berdasarkan data pencurian kayu yang terjadi dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2007-2011 (Tabel 6), jumlah kasus pencurian kayu tertinggi terjadi pada RPH Mumbulsari sebanyak 67 LA, RPH Jelbuk sebanyak 21 LA dan terendah adalah RPH Garahan sebanyak 18 LA. Jumlah pohon yang hilang sejak 20072011 pada RPH Mumbulsari adalah sebanyak 693 pohon, RPH Jelbuk sebanyak 106 pohon sedangkan RPH Garahan sebanyak 60 pohon. Adapun besar kerugian yang dialami oleh RPH Mumbulsari dalam 5 tahun terakhir adalah sebesar Rp 52.469.000,00. Kerugian yang dialami RPH Jelbuk sebesar Rp 10.915.000,00 dan kerugian RPH Garahan adalah sebesar Rp 19.439.000,00. Kasus illegal logging hanya terjadi pada RPH tertentu, yaitu daerah yang memiliki potensi kerusakan hutan tinggi, akibat aktifitas masyarakat yang masih bergantung pada hasil hutan (pola mata pencaharian masyarakat) dan oknum yang mendukung pencurian kayu.
Tabel 9 Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 - 2011 (RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk) RPH Mumbulsari
Tahun
RPH Garahan
RPH Jelbuk
LA
Pohon
Rp. (000)
LA
Pohon
Rp. (000)
LA
Pohon
Rp. (000)
2007
3
47
2.843
0
0
0
3
13
1731
2008
13
48
1.400
4
23
6.272
9
90
8.085
2009
8
13
755
5
14
5.588
8
3
1099
2010
26
347
20.565
7
18
1.625
0
0
0
2011
17
238
26.906
2
5
5.954
1
0
0
TOTAL 67 693 52.469 18 60 19.439 21 106 Sumber: Laporan Keamanan dan Perlindungan Hutan Perum Perhutani KPH Jember
10.915
RPH Mumbulsari merupakan salah satu daerah yang sangat rawan perusakan hutan akibat ulah manusia. Intensitas jumlah kasus pencurian kayu yang terjadi di RPH Mumbulsari tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah LA yang makin meningkat di tahun 2010 dan hanya mengalami sedikit penurunan di tahun 2011 (Gambar 7). Dari gambar grafik
36
perbandingan jumlah LA dan jumlah pohon yang hilang RPH Garahan dan RPH Jelbuk (Gambar 5 dan Gambar 6) mengalami penurunan yang signifikan dan membuktikan bahwa intensitas pencurian kayu pada kedua RPH ini rendah dibandingkan dengan RPH Mumbulsari. Jumlah
Jumlah
Tahun
Gambar 4 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Garahan Jumlah
Tahun
Gambar 5 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Jelbuk
Jumlah LA dan Jumlah Pohon RPH Mubulsari
Gambar 6 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Mumbulsari Terjadinya pencurian kayu memberi kerugian yang besar bagi Perum Perhutani KPH Jember. Selain merusak secara ekologi, pencurian kayu juga merugikan baik dari segi ekonomi dan sosial. Dalam mengatasi praktek illegal logging Perum Perhutani menerapkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah gangguan hutan dan peningkatan ekonomi sosial masyarakat sekitar hutan.
37
5.3 Karakteristik Pencurian Kayu Karakteristik kayu yang biasa dicuri oknum masyarakat dapat dilihat dari 5 kriteria, yaitu jenis kayu, diameter, alasan pemilihan diameter, bentuk kayu dan penggunaan kayu tersebut.
Tabel 10 Karakteristik Pencurian Kayu Karakteristik
Jumlah Responden
A. Jenis Kayu 1.
Sengon
9
(30%)
2.
Jati
9
(30%)
3.
Mahoni
2
(6,7%)
4.
Semua Jenis (sengon, jati,mahoni)
10
(33,3%)
B. Diameter 1.
< 10 cm
0
(0%)
2.
10 - 30 cm
18
(60%)
3.
> 30 cm
2
(6,7%)
4.
Seluruh Diameter
10
(33,3%)
C. Bentuk Kayu 1.
Log
30
(100%)
2.
Papan
0
(0%)
3.
Balok
0
(0%)
D. Alasan Pemilihan Diameter 1.
Mudah diangkut
15
(50%)
2.
Mudah ditebang
5
(16,7%)
3.
Kualitasnya baik dan mahal
10
(33,3%)
E. Alasan Mencuri Kayu 1.
Dijual
26
(86,7%)
2.
Digunakan sendiri
4
(13,3%)
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa jenis kayu yang umumnya dicuri adalah jenis sengon, jati dan mahoni, dengan bentuk kayu umumnya berupa kayu log. Sebagian besar diameter pohon yang dicuri sekitar 10-30 cm, karena dengan diameter 10-30 cm kayu mudah diangkut oleh pelaku. Alasan masyarakat mencuri kayu adalah untuk dijual, tetapi ada juga yang menggunakan kayu tersebut untuk kebutuhan sendiri seperti penyangga rumah, kusen dan kandang. Berdasarkan data karakteristik ini, dapat digunakan oleh pihak Perhutani dalam meningkatkan keamanan pada jenis dan diameter yang rawan dicuri.
38
5.4 Peran Serta Mayarakat dalam PHBM dan Perlindungan Hutan 5.4.1 Desa Lampeji RPH Mumbulsari Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif. Patroli secara aktif yaitu seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani. Patroli secara pasif yaitu anggota saling menjaga dan memantau saat melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi, serta hasil pertanian mereka. Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Lampeji adalah tanaman palawija/hortikultura dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen menjadi hak anggota sebesar 92,5% dan 7,5% untuk fasilitator. Pembagian hasil tanaman pokok berupa jati 75% menjadi hak Perhutani, 20% menjadi hak anggota dan 5% menjadi hak pihak ketiga (Pemdes, fasilitator dan Pemkec). Sharing hasil tanaman hutan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah pohon per hektar dan dilakukan pada saat penjarangan dan pemanenan saat akhir daur tanaman. Berdasarkan hasil wawancara responden, 93% masyarakat kurang memahami pentingnya PHBM meskipun mereka sudah terlibat aktif dalam kegiatan PHBM. Dari 30 orang responden, 97% masyarakat di desa ini tidak merasakan manfaat yang lebih baik dari adanya PHBM dan menganggap bahwa program PHBM belum dapat mengatasi pencurian kayu, dikarenakan belum adanya pemahaman yang benar tentang PHBM pada 93% masyarakat. Berdasarkan penjelasan yang diberikan ketua LMDH dan para stakeholder yang menyatakan bahwa pencurian kayu di Desa Lampeji memang sangat sulit diatasi meskipun telah dibentuk LMDH dan telah menerapkan pola PHBM sekalipun. Hal ini disebabkan oleh pola pikir dan perilaku masyarakat yang telah lama dan menjadikan sebagai suatu kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Menurut
39
warga setempat, mereka telah lama bekerja di dalam hutan dengan mengolah lahan serta mengambil segala jenis hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini pun diungkapkan oleh Pak Sugiono sebagai ketua LMDH Lampeji: “Warga ndek desa ini ya wes biasa ngambili kayu enggak ijin, istilahe jare wong madura iku neteli wit. Lah mau gimana lagi, wong menurut mereka ngambil kayu itu sudah jadi pekerjaan mereka sudah lama untuk makan mereka.” (Warga di desa ini sudah biasa mengambil kayu tanpa ijin, istilah dalam bahasa madura adalah menebang pohon. Hendak bagaimana lagi, karena menurut mereka menebang kayu telah menjadi pekerjaan mereka yang telah lama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka). Pencurian kayu di desa Lampeji tidak dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi oleh oknum. Hal ini diungkapkan oleh ketua LMDH Lampeji: “Yang nyuri kayu-kayu itu bukan dari warga saja mbak, tapi warga yang mencuri itu dibacking sama anggota baju hijau. Dulu itu mereka sering menggunakan hutan untuk latihan. Ketika sudah akrab sama warga sekitar, mereka mengajak warga buat kerjasama untuk ngangkut kayu-kayu itu mbak.” (Pelaku pencuri kayu tidak hanya dari warga saja, tetapi warga tersebut dibantu oleh oknum TNI. Hutan telah lama digunakan sebagai tempat latihan mereka. Ketika telah akrab dengan warga sekitar, mereka mengajak warga untuk bekerjasama mengangkut kayu-kayu tersebut). Kasus pencurian kayu di Desa Lampeji merupakan suatu kasus yang hingga saat ini belum dapat ditangani secara tuntas oleh Perhutani KPH Jember. Hal ini disebabkan kekuatan petugas keamanan yang terbatas sedangkan jangkauan pengamanan wilayah yang luas, kurangnya kemampuan yang kuat dalam menghadapi oknum pencurian, serta tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan masih kurang, sehingga saat ini kasus ini belum dapat terselesaikan. Hal ini diungkapkan oleh mantri dan polisi hutan RPH Mumbulsari: “Kasus di Lampeji ini memang susah ditangani mbak, karena pelakunya juga sama-sama abdi negara. Kekuatan mereka ya juga lebih besar dibandingkan kita, warga desa ini memang wataknya keras juga, sulit bisa ngerti. Lah wong kami ae pernah dikejar-kejar pake arit sama warga, kalau kami cegah mereka.” (Kasus di Desa Lampeji sukar ditangani, karena pelaku pencurian pun adalah petugas/abdi negara. Kekuatan mereka lebih besar dibandingkan dengan kami petugas Perhutani, serta karakter warga di desa ini pun keras dan sulit untuk mengerti. Kami pun pernah dikejar dengan senjata tajam oleh warga, jika kami mencegah mereka).
40
Dengan demikian kasus pencurian kayu yang terjadi di RPH Mumbulsari menjadi sulit ditangani. Kondisi sosial masyarakat yang didukung oleh kekuatan aparat negara yang juga menginginkan hasil hutan kayu, serta tidak ada kerjasama dalam memerangi pencurian kayu menjadi faktor utama pencurian kayu. 5.4.2 Desa Sidomulyo RPH Garahan Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Artha Wana Mulya tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif serta pembuatan gubug kerja. Pembuatan gubug kerja ini digunakan sebagai tempat peristirahat sekaligus tempat untuk menjaga dan mengawasi lahan milik mereka masing-masing. Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Artha Wana Mulya adalah tanaman kopi dengan pola agroforestry sudah dilakukan sejak tahun 2000. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa kopi OC (beras kopi) dari produksi tanaman kopi adalah 75% untuk pesanggem/petani kopi dan 25% untuk Perhutani. Besar bagi hasil didasarkan pada jumlah pohon dan jumlah produksi kopi per pohon setelah diadakan pendataan ulang kopi yang dipanen. Berdasarkan hasil wawancara responden, 60% masyarakat telah memahami pentingnya PHBM dan 50% dari mereka terlibat aktif dalam kegiatan PHBM. Dari 30 orang responden, 93% masyarakat di desa ini merasakan manfaat yang lebih baik dengan adanya PHBM dibandingkan sebelum adanya PHBM, dan 97% program PHBM dapat mengatasi pencurian kayu di daerah ini, dikarenakan manfaat dan pentingnya PHBM telah dipahami, diterima dan dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Desa Sidomulyo merupakan desa ber-PHBM yang sukses. Selain telah mampu menyejahterakan anggota dan warga sekitar hutan, tegakan hutan di sekitar desa pun sangat baik kondisinya. Hal ini diungkapkan oleh ketua LMDH dan warga sekitar hutan. Bapak Saget salah satu warga Desa Sidomulyo mengungkapkan perbedaan yang dirasakan dengan adanya PHBM: “Sebelum ada PHBM, hutane ya enggak bagus nduk. Ya ekonomine mbiyen juga gak sebaik sekarang. Gara-gara kopi ini, ternyata cocok dikembangkan disini, makanya orang-orang di desa ini jadi sejahtera,
41
bisa mencukupi kebutuhan, bisa bangun rumah dan beli motor”. (Sebelum adanya PHBM, kondisi hutan sangat buruk dan perekonomian masyarakat pun tidak sebaik sekarang. Setelah ada penanaman kopi ini, ternyata tanaman kopi ini cocok untuk dikembangkan di desa ini. Sekarang dapat dilihat hasilnya, desa ini menjadi sejahtera, untuk memenuhi kebutuhan, membangun rumah dan kendaraan bermotor pun telah mampu.” Tanaman kopi di Desa Sidomulyo merupakan tanaman yang sangat cocok dikembangkan di desa ini. Kehidupan masyarakat di desa ini sebagian besar bergantung penuh pada tanaman ini. Sebagian besar masyarakat di desa ini bermatapencaharian sebagai petani kopi. Tanaman kopi yang tumbuh di hutan dan kebun-kebun milik warga di desa ini tumbuh dengan sangat baik, bahkan para pemilik kopi sampai takut kehilangan kopi mereka jika dicuri. Menurut warga sekitar hutan, saat ini sudah tidak ada lagi pencurian kayu di hutan, tetapi yang mereka takutkan adalah pencurian hasil panen kopi mereka, karena pendapatan dari hasil kopi mereka jauh lebih menguntungkan dibandingkan menjual kayu curian. Kopi di Desa Sidomulyo merupakan produk yang patut dibanggakan, karena kualitas dan rasanya yang mampu menembus pasar baik di dalam maupun luar negeri sehingga kopi Desa Sidomulyo ini pun diangkat menjadi salah satu tanaman produksi khas dari Kabupaten Jember selain dari kakao. 5.4.3 Desa Sukojember RPH Jelbuk Kegiatan penjagaan, perlindungan, dan pengamanan hutan di LMDH Suger Subur Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember telah menjadi tanggung jawab LMDH Suger Subur serta pihak Perhutani, kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif serta pembuatan pos pengamanan. Pembuatan pos pengamanan ini dibuat untuk mempermudah patroli dan penjagaan hutan. Pos pengamanan ini biasa disebut sebagai pos bayangan. Letak pos pengamanan dapat berupa tempat tinggal anggota yang dekat dengan hutan maupun rumah dinas. Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Suger Subur adalah tanaman palawija/hortikultura dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, kacang-kacangan, kedelai, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang
42
diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen sebesar 100% menjadi hak anggota dan pihak ketiga. Berdasarkan hasil wawancara responden, 87% masyarakat di desa ini telah memahami pentingnya PHBM dan 97% dari mereka juga telah terlibat aktif dalam kegiatan PHBM dan perlindungan hutan. Dari 30 orang responden tersebut, 83% masyarakat di desa ini merasakan manfaat yang lebih baik dengan adanya PHBM dibandingkan sebelum adanya PHBM, dan 77% program PHBM dapat mengatasi pencurian kayu di daerah ini, dikarenakan manfaat dan pentingnya PHBM telah dipahami diterima dan dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Desa Sukojember merupakan desa yang belum memiliki LMDH. Permasalahan ini disebabkan karena belum tercipta kerjasama yang baik antara kepala desa dengan pihak Perhutani. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh asper dan mantri RPH Jelbuk, kepala Desa Sukojember sejak dulu berpandangan negatif tentang Perhutani begitupun dengan maksud didirikannya LMDH dengan pola PHBM bagi masyarakat. Dalam pengelolaan hutan agar tetap lestari di Desa Sukojember, pihak Perhutani KPH Jember menyerahkan tanggung jawab PHBM ini kepada LMDH Suger Subur Desa Suger Kidul yang berada di sebelah selatan Desa Sukojember. Kondisi hutan di Desa Sukojember dapat dikatakan baik bahkan pola PHBM yang diterapkan di desa ini berjalan dengan baik karena terciptanya kerjasama yang baik antara warga dan Perhutani.
5.5 Penilaian Efektivitas PHBM 5.5.1 Tingkat Keberhasilan PHBM Dalam membandingkan tingkat keberhasilan PHBM dalam mengatasi illegal logging maka dilakukan pemilihan tiga contoh desa pola PHBM yang dikembangkan dan melihat dari tingkat kerawanan akan pencurian kayu. Desa pertama adalah desa yang memiliki tingkat kerawanan pencurian kayu tertinggi dengan pola PHBM jati dan palawija yaitu Desa Lampeji BKPH Mumbulsari. Desa kedua adalah desa yang memiliki tingkat kerawanan pencurian kayu terendah yang menerapkan pola PHBM pinus dan kopi yaitu Desa Sidomulyo BKPH Garahan. Sedangkan desa ketiga adalah desa yang memiliki tingkat
43
kerawanan pencurian kayu sedang yang menerapkan pola PHBM pinus dan palawija. Menurut Wilder (2001) diacu dalam Sopar (2010) tingkat efektivitas suatu program dapat dilihat dari tingkat kesesuaian program tersebut dengan apa yang dialami dan di rasakan di lapangan. Berikut ini hasil penilaian masyarakat mengenai program PHBM yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani.
Tabel 11
Penilaian Efektivitas PHBM dengan pola jati dan palawija (desa Lampeji) Jumlah Nilai 64
Jumlah Responden 30
Rataan Nilai 2,1
Program PHBM sesuai keinginan
46
30
1,5
Perhutani memberikan manfaat bagi rakyat
57
30
1,9
Harapan masyarakat telah tercapai Program PHBM dapat mencegah illegal logging
41
30
1,4
34
30
1,1
Indikator Penilaian Manfaat yang dirasakan dengan adanya PHBM
Pada desa Lampeji RPH Mumbulsari untuk semua indikator penilaian memiliki skor ≤ 2,9 hal ini dapat menunjukkan bahwa program PHBM yang telah dijalankan di desa ini tidak berjalan sesuai harapan dan perlu adanya perhatian penuh pada daerah ini. Program PHBM dengan pola jati dan palawija tidak efektif diterapkan pada RPH Mumbulsari karena program PHBM dalam mengatasi pencurian kayu di daerah ini tidak berjalan baik dan tingkat kerawanan illegal logging pun masih tinggi.
Tabel 12
Penilaian Efektivitas PHBM dengan pola pinus dan kopi (desa Sidomulyo) Indikator Penilaian
Jumlah Nilai
Jumlah Responden
Rataan Nilai
Manfaat yang dirasakan dengan adanya PHBM
137
30
4,6
Program PHBM sesuai keinginan
125
30
4,2
Perhutani memberikan manfaat bagi rakyat
144
30
4,8
Harapan masyarakat telah tercapai Program PHBM dapat mencegah illegal logging
108
30
3,6
135
30
4,5
Pada desa Sidomulyo RPH Garahan indikator penilaian mengenai harapan masyarakat akan kehidupan yang lebih sejahtera dari program ini memiliki skor
44
3,6 yang berarti harapan dari program PHBM yang telah dijalankan di desa ini perlu didiskusikan bilamana mereka membutuhkan perhatian, sedangkan untuk indikator penilaian yang lainnya memiliki skor ≥ 4,0
yang artinya program
PHBM berjalan dengan baik dan memang memberikan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat serta program ini mampu mencegah terjadinya perusakan hutan akibat illegal logging di daerah ini dengan baik dengan pola pinus dan kopi, sehingga tingkat kerawanan pencurian kayu pun rendah.
Tabel 13 Penilaian Efektivitas PHBM dengan pola pinus dan palawija (desa Sukojember) Indikator Penilaian
Jumlah Nilai
Jumlah Responden
Rataan Nilai
Manfaat yang dirasakan dengan adanya PHBM
142
30
4,7
Program PHBM sesuai keinginan
131
30
4,4
Perhutani memberikan manfaat bagi rakyat
139
30
4,6
Harapan masyarakat telah tercapai Program PHBM dapat mencegah illegal logging
95
30
3,2
144
30
4,8
Pada indikator penilaian mengenai harapan masyarakat akan kesejahteraan di Desa Sukojember RPH Jelbuk memiliki skor 3,2 yang artinya harapan dari program PHBM yang telah dijalankan di desa ini perlu didiskusikan kembali bilamana mereka membutuhkan perhatian. Indikator penilaian yang lain memiliki skor ≥ 4,0
yang artinya program PHBM berjalan dengan baik dan memang
memberikan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat serta program PHBM dengan pola penanaman pinus dan palawija ini mampu mencegah terjadinya perusakan hutan akibat illegal logging di daerah ini dengan baik. 5.5.2 Efektivitas PHBM di KPH Jember Penerapan PHBM yang telah dilaksanakan oleh KPH Jember belum sepenuhnya efektif mengatasi kasus pencurian kayu (illegal logging) khususnya pada daerah yang rawan konflik. Terdapat beberapa masalah yang menyebabkan PHBM tidak berjalan efektif dan kurang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, antara lain; (1) karena masih adanya daerah-daerah rawan konflik seperti RPH Mumbulsari, yang merupakan salah satu RPH dengan karakter masyarakat yang keras dan sulitnya memahami pentingnya kelestarian hutan, (2) pembagian hasil sharing oleh Perhutani dalam menyejahterakan masyarakat
45
belum tepat pada sasaran, karena hasil sharing yang dibagikan tidak merata dan terkadang hanya dirasakan beberapa pihak (ketua LMDH dan pengurus LMDH), dan (3) kurangnya kerjasama dengan stakeholder lain seperti Pemda dan Aparat Penegak Hukum (Polri dan TNI) dalam menjaga kelestarian hutan. Penelitian dilakukan pada tiga RPH di KPH Jember. Dari ketiga RPH tersebut, PHBM kurang berjalan efektif pada RPH Mumbulsari dibandingkan dengan RPH Garahan dan RPH Jelbuk, yang disebabkan oleh karakter masyarakat yang sulit bekerjasama dengan pihak Perhutani sehingga kondisi hutan di daerah ini tidak dapat terjaga dengan baik, tetapi RPH Mumbulsari memiliki tingkat pendapatan masyarakat lebih tinggi daripada RPH Garahan dan RPH Jelbuk. Tingginya pendapatan RPH Mumbulsari disebabkan pada tingginya mata pencaharian sampingan masyarakat yang masih sering bekerja menebang kayu di dalam hutan. Hal ini yang menyebabkan efektifitas PHBM tidak dapat berjalan dengan baik.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Karakteristik pencurian kayu yang terjadi di KPH Jember, antara lain: (a) jenis kayu yang dicuri adalah kayu sengon, jati dan mahoni, (b) diameter pohon sekitar 10-30 cm, (c) alasan pemilihan diameter sebagian besar menyatakan diameter 10-30 cm mudah diangkut, dan (d) alasan sebagian besar masyarakat mencuri kayu untuk dijual memenuhi kebutuhan keuangan, tetapi ada juga yang menggunakan kayu tersebut untuk kebutuhan sendiri seperti membuat penyangga rumah, kusen dan kandang. 2. Secara garis besar intensitas pencurian kayu di KPH Jember mengalami penurunan dari tahun 2008-2011, yaitu dari 226 menjadi 118 laporan kasus pencurian kayu, kecuali RPH Mumbulsari yang mengalami peningkatan. 3. Peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu di RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk yaitu dilakukan dengan cara melakukan patroli dan pembuatan gubuk kerja dan pos penjagaan hutan. 4. Dari tingkat efektivitas penerapan pola PHBM, RPH Mumbulsari dengan
pola penanaman jati dan palawija tidak dapat mengurangi intensitas pencurian kayu. Pola PHBM di RPH Garahan dan Jelbuk dengan menanam pinus yang dipadu dengan kopi atau palawija lebih efektif mengurangi pencurian kayu.
6.2 Saran 1. Menambah kekuatan aparat penegak hukum kehutanan dalam menjaga dan melindungi hutan, melihat kawasan hutan yang sangat luas serta perlu memperhatikan karakteristik kayu yang sering dicuri sehingga dapat meningkatkan keamanan pada kayu-kayu tersebut. 2. Meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan, selain dari memanfaatkan hasil hutan agar taraf hidup meningkat.
47
3. Perlu adanya pembenahan program PHBM seperti pembagian hasil sharing, teknis sosialisasi, pola penanaman jenis tanaman serta pemberian pelatihan dan keterampilan bagi masyarakat. 4. Perlu adanya kerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum (Polri dan TNI), karena dalam meningkatkan keberhasilan PHBM pihak Perhutani tidak dapat berjalan jika tidak ada dukungan dan kerjasama dengan stakeholder lain.
DAFTAR PUSTAKA [Bapemas] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember. 2010. Daftar Isian Potensi Desa Lampeji Tahun 2010. Jember: Bapemas Kabupaten Jember [Bapemas] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember. Daftar Isian Potensi Desa Sidomulyo Tahun 2010. Jember: Bapemas Kabupaten Jember [Bapemas] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember. 2010. Daftar Isian Potensi Desa Sukojember Tahun 2010. Jember: Bapemas Kabupaten Jember Hutajulu H. 2010. Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPS) terhadap Masyarakat Distrik Sentani Jayapura. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. 2003. Penyusunan Kaji Ulang Efektifitas Penanganan Illegal Logging. Bogor: Proyek Kerjasama Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Perum Perhutani. 2001. Keputusan Ketua Dewan Pengawas PT. Perhutani. Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Perum Perhutani. Perum Perhutani. 2009. Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Perum Perhutani. Perum Perhutani. 2010. Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Perum Perhutani. Perum Perhutani KPH Jember. 2011. Laporan Keamanan dan Perlindungan Hutan Perum Perhutani KPH Jember. Jember: KPH Jember Perum Perhutani KPH Jember. 2012. Laporan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Jember: KPH Jember Santoso B. 2008. Kebocoran Hutan dan Anomali Illegal Logging. Jakarta. Wana Aksara. Setianingsih B. 2009. Kebijakan Pemberantasan Illegal Logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia. [Thesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
49
Sopar H. 2010. Efektifitas Hutan Kemasyarakatan Sebagai Wujud Kolaborasi Pengelolaan Hutan (Kasus Desa Air Naningan Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus Lampung. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Wijanto D. 2008. Analisis Dampak dan Formulasi Kebijakan Mengatasi Illegal Logging dalam Mencapai Sustainable Forest Management (Studi Kasus Hutan Jawa Barat). [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Kawasan KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
51
Lampiran 2 Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 sampai 2011 DATA PENCURIAN KAYU HUTAN KPH JEMBER NO
BKPH LA
1
2
I
LY BARAT
1
Karangbayat
2
3
2007 POHO N 4
Rp. (000)
LA
5
6
2008 POHO N 7
Rp. (000)
LA
8
9
2009 POHO N 10
Rp. (000)
LA
11
12
2010 POHO N 13
Rp. (000)
LA
14
15
2011 POHO N 16
Rp. (000) 17
1
11
361
8
47
8463
1
8
355
4
132
7226
4
16
4516
Tanggul
14
55
38670
7
20
7373
5
9
6661
6
60
10032
5
46
8881
3
Sumberklopo
10
17
6238
8
28
1022
2
4
493
6
26
6404
12
37
36053
4
Badean
4
14
1772
8
18
13581
14
83
7813
4
50
4411
4
26
15353
Jumlah
29
97
47041
31
113
30439
22
104
15322
20
268
28073
25
125
64803
1
7
1680
8
20
156938
9
20
156938
II
LY TIMUR
1
Suci
2
2
893
5
37
1945
5
32
3695
2
Jelbuk
3
13
1731
9
90
8085
8
3
1099
3
Arjasa
4
45
4570
6
10
8611
4
52
11283
2
2
2738
Jumlah
9
60
7194
20
137
18641
17
87
16077
3
9
4418
5
32
2965
1
III
SUMBERJAMBE
1
Slateng
1
2
807
2
24
5536
2
Cumedak
1
5
247
2
3
986
5
111
23845
3
17
893
1
5
396
3
Jambearum
5
29
19267
5
30
4645
2
3
243
3
12
6817
1
1
182
Jumlah
7
36
20321
9
57
11167
7
114
24088
11
61
10675
2
6
578
4
23
6272
5
14
5588
7
18
1625
2
5
5954
IV
SEMPOLAN
1
Garahan
2
Sumberjati
4
11
3028
8
25
4336
5
16
3561
3
7
1024
3
Sumbersalak
3
11
1785
7
20
3449
1
1
431
2
4
4248
1
1
848
Jumlah
7
22
4813
19
68
14057
11
31
9580
12
29
6897
3
6
6802
52
Lampiran 2 (lanjutan) Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 sampai 2011 DATA PENCURIAN KAYU HUTAN KPH JEMBER NO
BKPH LA
1
2
3
2007 POHO N 4
Rp. (000)
LA
5
6
V
MAYANG
1
Pace
1
53
15000
2
Seputih
2
4
2000
3
Silo
4
Mumbulsari
3
47
5
Baban Silosanen
4
Jumlah
2008 POHO N 7
7
54
Rp. (000)
LA
8
9
2397
2009 POHO N 10
5
Rp. (000)
LA
11
12
22
1956
4
2010 POHO N 13 43
Rp. (000)
LA
14
15
2011 POHO N 16
Rp. (000) 17
8015
11
112
24188
5
7
3904
4
6
2106
5
73
13368
10
18
8752
5
49
4142
8
20
6838
4
12
1832
2843
13
48
1400
8
13
755
26
347
20565
17
238
26906
7
2191
24
12
11531
2
5
3114
10
111
22034
53
169
21576
28
133
26031
44
420
39164
33
357
54998
VI
AMBULU
1
Mandiku
21
35
16335
28
264
30351
6
39
6509
7
11
3566
7
146
12970
2
Sabrang
22
255
33288
14
51
6327
12
10
3850
8
16
7944
11
36
16622
3
Curahtakir
19
52
17967
19
26
12278
13
33
16264
8
26
7412
21
6
2188
Jumlah
62
342
67590
61
341
48956
31
82
26623
23
53
18922
39
188
31780
VII
WULUHAN
1
Puger
9
13
4609
24
4
1128
2
3
996
3
7
2916
2
3
233
2
Grintingan
5
5
1511
6
10
2654
4
13
649
2
2
250
2
4
883
3
Glundengan
16
55
17997
3
234
8455
10
9
1873
3
6
288
3
7
7378
Jumlah
30
73
24117
33
248
12237
16
25
3518
8
15
3454
7
14
8494
JUMLAH TOTAL 154 741 193110 226 1133 157073 Sumber: Laporan Keamanan dan Perlindungan Perum Perhutani Hutan KPH Jember
132
576
121239
121
855
111603
118
716
324393
53
54
Lampiran 3 Kuisioner
KUISIONER
Hari/Tanggal
:
Desa/Kec./Kab.
:
I.
Karakteristik Responden 1.
Nama Responden
:
2.
Umur
:
3.
Jenis Kelamin
:
4.
Pendidikan Terakhir
:
5.
Pekerjaan Tetap
:
6.
Pekerjaan Sampingan
:
7.
Jumlah Tanggungan
:
8.
Jarak tempat tinggal ke lokasi
:
9.
Pendapatan 1 bulan
:
a. Pekerjaan Tetap
:
b. Pekerjaan Sampingan
:
10. Pengeluaran 1 bulan
:
a. Keperluan sehari-hari
:
b. Transportasi
:
c. Konsumsi
:
d. Biaya sekolah anak
:
e. Rekreasi
:
f. Tagihan (listrik, air, lainnya)
:
g. Lain-lain
:
55
Lampiran 3 (lanjutan) Kuisioner II. Partisipasi Responden 1.
Apakah bapak/ibu tahu tentang PMDH di desa bapak/ibu? -
2.
Apakah bapak/ibu ikut terlibat dalam kegiatan PMDH? -
3.
Jika ya, sebutkan apa saja kegiatan yang diikuti? -
4.
Adakah perbedaan yang dirasakan sebelum dan sesudah adanya PMDH? Jelaskan? -
5.
Manfaat apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya kegiatan PMDH tersebut? -
6.
Adakah manfaat yang bapak/ibu rasakan dengan adanya kegiatan PMDH terkait dengan penanggulangan illegal logging/pencurian kayu? Alasannya? -
56
Lampiran 3 (lanjutan) Kuisioner III. Karakteristik Pemanfaatan Hasil Hutan 1.
Adakah manfaat hutan bagi bapak/ibu ? (ya / tidak) Jika ya, apa manfaatnya bagi bapak/ibu ? -
2.
Hasil apa saja yang bapak/ibu peroleh dari hutan? -
3.
Apakah harus melapor sebelum ke hutan? (ya/tidak) Kepada siapa? Apa ada sanksi jika tidak melapor? (ya/tidak) -
4.
Apakah ada aturan tertentu apabila memanfaatkan hasil hutan? -
5.
Dalam
memanfaatkan
hasil
hutan
apakah
masing-masing
orang
mengambil di daerah miliknya atau bebas dimana saja? 6.
Apakah disekitar hutan masih sering terjadi pencurian kayu? (ya / tidak) Jika ya, kapan dan seperti apa peristwa pencurian terjadi? Alasan terjadi pencurian kayu? -
7.
Kriteria kayu yang dicuri seperti apa? a. Jenis kayu
:
b. Diameter
:
c. Bentuk (log,papan,balok)
:
d. Keunggulan atau keuntungan kayu
:
57
Lampiran 3 (lanjutan) Kuisioner IV.
1.
Persepsi Masyarakat Terhadap Perhutani
Adakah perbedaan yang dirasakan bapak/ibu dengan adanya Perhutani? a. sts
2.
d. s
e. ss
b. ts
c. n
d. s
e. ss
Apakah Perhutani memberi manfaat bagi kehidupan bapak/ibu? a. sts
4.
c. n
Apakah pelaksanaan program sesuai dengan keinginan bapak/ibu? a. sts
3.
b. ts
b. ts
c. n
d. s
e. ss
Apakah harapan bapak/ibu dari Perhutani telah tercapai? a. sts
b. ts
keterangan: ss
: Sangat setuju
s
: Setuju
n
: Netral
ts
: Tidak setuju
sts
: Sangat tidak setuju
c. n
d. s
e. ss
58
Lampiran 4 Dokumentasi penelitian
a. Tunggak sengon bekas pencurian kayu di RPH Mumbulsari (tahun tanam 2006)
b. Kondisi Hutan di RPH Mumbulsari
c. Tanaman kopi milik warga Desa Sidomulyo RPH Garahan
d. Produk hasil kopi dari Sidomulyo RPH Garahan
e. Hutan pinus yang berada di pinggir protokol jalan raya RPH Jelbuk
f. Rumput gajah tanaman pakan ternak yang dikembangkan dengan palawija di RPH Jelbuk
g. Proses wawancara langsung dengan stakeholder
h. Proses wawancara responden
Desa
dengan
59