SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT
:
SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
GIY AT MI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
2
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi, dalam bentuk salinan cetakan dan/atau dokumen elektronik program aplikasi komputer pendukungnya, yang berjudul : SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT : SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diserahkan untuk pencapaian prestasi akademik apapun melalui perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan dalam penyusunan disertasi ini, telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2005
GIYATMI P09600006/IPN
3 ABSTRACT GIYATMI, 2005. Development System for Marine Fishery Agroindustry : an Assessment for Feasibility and Development Strategy in the Province of Central Java. Under supervision: MUSA HUBEIS as the chief of the commission, with RIZAL SYARIF and AGUS HERI PURNOMO as the members of the commission. The objective of this study was to assess the feasibility and development strategy for marine fishery agroindustry and described as follows: (1) to assess and to formulate method for grouping of development area and determining of development center for marine fishery agroindustry, (2) to identify and to formulate selection methods for potential commodities and and lead products for marine agroindustry as well as financial feasibility in each area development, (3) to construct development strategy and empowerment technique of institution in marine fishery agroindustry, and (4) to formulate an alternative development model for marine fishery agroindustry based on Decision Supporting System (DSS). Development system was designed in decision support system (DSS) based on computer program package called as AGRIPAL. Grouping of marine agroindustry development area and determining of development center was carried out using Cluster Analysis Method. Selection of priority potential commodity and determination of lead product were performed using Independent Preference Evaluation Method in the norm of Fuzzy Group Decision Making. Criteria applied to find out feasibility level of the lead products were Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, Break Even Point and Pay Back Period. Strategic analysis performed using Analysis Hierarchy Process Method. Analysis of elements interrelationship using Interpretative Structural Modelling Method. Verification of the DSS AGRIPAL in Central Jawa Province showed that Central Java Province, in terms of marine fish resource, was divided into three development areas. Potential commodities for the City of Pekalongan (Development Area I) were scads, sardine and indian mackerel, with dried salted scads as a lead product. Potential commodities for Pati Regency (Development Area II) were scads, indian mackerel and marine catfish with boiled salted scads as a lead product. Cilacap regency (Development Area III) had tuna, skipjack and shrimp as potential commodities and canned tuna as a lead product. In terms of financial perspective, those lead products were suitable for condition and potency of the development areas and feasible to be implemented. Strategic analysis informed that development of marine fishery agroindustry was to strengthen existing agroindustry. Determinative factors in the development of marine fishery agroindustry were market, human resources, and finance. Meanwhile, the objective of marine fishery agroindustry development should be directed to provide job opportunity, to widen business and to increase the added value products. The key elements of the players in the development of marine fishery agroindustry were Local and Central Governments. Raw material availability, investment fund and educated and skillful human resource were the key element of program requirements. Investment fund limitation was the key element for development constrain. The measures of the achivement were the reduction of unemployment and poverty levels, the increase of production volume and the increase of local government income. Activities needed for action plan were identification of feasible product to be developed, coordination among sectors and formation of government regulation as development support. Keywords:
decision support system, marine fisheries, agroindustry, development area, potential commodity, lead product, feasibility, strategy, AGRIPAL
ABSTRAK GIYATMI, 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi Jawa Tengah. Di bawah bimbingan MUSA HUBEIS sebagai Ketua Komisi, dengan anggota RIZAL SYARIEF dan AGUS HERI PURNOMO. Agroindustri perikanan laut merupakan salah satu jenis industri pengolahan hasil perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan, mengingat potensi sumber daya ikan dari perairan laut nasional sangat besar. Namun demikian terdapat sejumlah persoalan yang menghambat pengembangannya, baik dari aspek produksi bahan baku (industri penangkapan) maupun aspek pengolahan produk (agroindustri). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengembangan agroindustri perikanan laut. Secara khusus tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Mengkaji dan merumuskan cara pengelompokan wilayah pada kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut; (2) Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masingmasing kawasan pengembangan; (3) Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri perikanan laut; dan (4) Mengembangkan alternatif model pengembangan agroindustri perikanan laut berbasis Sistem Penunjang Keputusan. Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dirancang dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL (Agroindustri Perikanan Laut). Sub Model Kawasan untuk pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut dan penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan dirumuskan dengan Metode Cluster Analysis; Sub Model Pemilihan untuk pemilihan prioritas komoditas potensial dan pemilihan produk unggulan dirumuskan berdasarkan Metode Independent Peference Evaluation (IPE) dalam kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM); Sub Model Kelayakan untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan kriteria Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP); Sub Model Strategi untuk memilih alternatif strategi pengembangan dirumuskan dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP); dan Sub Model Kelembagaan untuk menetapkan struktur elemen kelembagaan pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Berdasarkan verifikasi model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah, Sub Model Kawasan menunjukkan bahwa wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi perikanan laut dapat dikelompokkan menjadi tiga Kawasan Pengembangan, yaitu Kawasan Pengembangan I dengan Pusat Pertumbuhan di Kota Pekalongan; Kawasan Pengembangan II dengan Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Pati; dan Kawasan Pengembangan III dengan Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Cilacap.
1
Berdasarkan analisis pada Sub Model Pemilihan diketahui bahwa komoditas potensial di Kota Pekalongan (KP I) adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol, dengan produk unggulan agroindustri ikan layang asin. Komoditas potensial di Kabupaten Pati (KP II) adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru, dengan produk unggulan ikan layang pindang. Kabupaten Cilacap yang merupakan pusat pertumbuhan di Kawasan Pengembangan III, komoditas perikanan potensialnya adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang, serta produk agroindustri unggulan adalah ikan tuna kaleng. Pada perhitungan analisis kelayakan usaha produk unggulan (Sub Model Kelayakan), komoditas yang diperhitungkan merupakan campuran 2-4 komoditas potensial yang umumnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri terkait. Perencanaan produksi bagi industri ikan asin dan ikan pindang masing-masing 1.800 ton/th dan 1.200 ton/th. Dengan asumsi umur proyek dan bunga kredit perbankan masing-masing 10 tahun dan 18%, usaha ikan asin dan pindang dinyatakan layak dengan NPV Rp 719,7 juta dan Rp 470 juta; IRR masing-masing 48,63% ; Net B/C 1,95 dan 1,89; PBP 3,76 tahun dan 4,10 tahun; serta BEP 1.127 ton untuk ikan asin dan 912 ton untuk ikan pindang. Bahan baku industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna Baby Yellow Fin, tuna Albacore, cakalang dan tongkol Thunnus. Melalui perencanaan produksi sebesar 10.500 ton/th atau 35 ton/hari, umur proyek 20 tahun dan bunga kredit 18%, industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap dinyatakan sebagai industri yang layak. Keputusan kelayakan didasarkan pada nilai NPV sebesar Rp 51 milyar; IRR 45,16%; Net B/C 1,97; PBP 3,59 tahun dan BEP 6.308 ton/th (+ 21 ton/hr). Dari analisis sensitivitas didapatkan bahwa kelayakan finansial dari agroindustri ikan asin masih layak bila terjadi penurunan produksi sampai 55,56%, adanya kenaikan harga bahan baku tidak melebihi 3,63%, atau harga bahan produk turun sampai 3,06%. Usaha ikan pindang masih layak bila penurunan produksi tidak lebih dari 55,34%, kenaikan harga bahan baku maksimal 2,68% atau harga produk turun sampai 2,11%. Agroindustri ikan kaleng masih mampu menahan kelayakan bila terjadi penurunan produksi sampai 50,97% dan kenaikan harga bahan baku 19,51%, atau terjadi penurunan harga produk 10,36%. Berdasarkan analisis strategi (Sub Model Strategi) diketahui pengembangan agroindustri perikanan laut diprioritaskan untuk memperkuat agroindustri yang ada. Pada analisis ini diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut, yaitu penyerapan produk oleh pasar, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi pasca panen dan memiliki jiwa kewirausahaan, serta ketersediaan permodalan yang mendukung pengembangan usaha. Sedangkan tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut harus diarahkan pada peningkatan lapangan kerja, meluasnya kesempatan berusaha dan peningkatan nilai tambah yang berorientasi pada aplikasi teknologi yang sesuai dengan potensi bahan baku dan kondisi wilayah. Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan agroindustri (Sub Model Kelembagaan) diketahui bahwa pelaku yang memiliki peran sebagai elemen kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Jaminan kesinambungan bahan baku, permodalan dan tersedianya SDM terampil dan terdidik merupakan elemen kunci dari elemen kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan agroindustri
2
perikanan laut. Keterbatasan modal merupakan elemen kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan elemen kunci adalah penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, peningkatan volume produksi usaha dan peningkatan pendapatan daerah. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan dimulai dengan kemampuan mengidentifikasi produk agroindustri perikanan laut yang layak untuk dikembangkan, diikuti dengan melakukan koordinasi antar sektor terkait, serta perumusan peraturan-peraturan (pusat/daerah) yang relevan untuk mendukung pengembangan agroindustri perikanan laut. Model konseptual dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun pelaku usaha untuk mengembangkan agroindustri perikanan laut. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk mengkaji pembentukan klaster wilayah berdasarkan sumber daya alam atau bentuk klaster lainnya, membuat urutan prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan produk unggulan daerah dan strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya. Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model SPK AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat diaplikasikan di Provinsi Jawa Tengah, tetapi dapat juga diaplikasikan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penyesuaian dalam aplikasi model ini dapat dilakukan melalui serangkaian identifikasi awal terhadap potensi, kondisi dan harapan yang hendak dicapai oleh masing-masing wilayah. Implementasi dari alternatif model dan hasil penelitian ini masih membutuhkan kajian yang mendalam terhadap berbagai faktor pendukungnya, seperti model kemitraan antar wilayah berdasarkan tingkat kepentingan yang serupa dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki, tinjauan kritis terhadap potensi sumber daya ikan yang lebih akurat, serta dukungan kebijakan yang nyata dari pemerintah terhadap pengembangan agroindustri bernilai tambah.
3
SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT
:
SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
GIYATMI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
4
Judul Disertasi
:
Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut : Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
:
Giyatmi
Nomor Pokok
:
P09600006
Program Studi
:
Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
____________________________________________ Prof. Dr. Ir. H. MUSA HUBEIS, MS, Dipl. Ing., DEA Ketua
_________________________________ Prof. Dr. Ir. H. RIZAL SYARIEF, DESS Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
________________________________ Prof.Dr.Ir. B. SRI LAKSMI JENIE, MS. Tanggal Ujian : 30 Juni 2005
________________________________ Dr. Ir. AGUS HERI PURNOMO, MSc. Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
_______________________________________ Prof.Dr.Ir. Hj. SYAFRIDA MANUWOTO, MSc. Tanggal Lulus :
5
Persembahan untuk kedua orang tua yang tiada lelah mendoakan Serta suami dan buah hati tercinta yang penuh keikhlasan mendukung dan berkorban :
Dr. Ir. H. Hari Eko Irianto, Dipl. Tech., APU Husna Izz zzaahnisa Omegita, Muhammad Izz zzaahislam Masseyga, Shabira Nurulilizzzah Sahida
6
PRAKATA And if all the trees on earth were pens and the ocean (were ink), with seven oceans behind it to add to its (supply), yet would not the words of Allah be exhausted (in the writing) : for Allah is Exalted in power, full of Wisdom (The Holly Qur’an 31 : 27) Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang mencoba mengangkat setitik dari kalam Illahi yang dikaruniakan di negara tercinta ini. Karya ilmiah dalam bentuk disertasi merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor di Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini disusun berdasarkan serangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2002 hingga bulan Maret 2005 di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. Penghargaan dan ucapan terima kasih dari hati terdalam penulis sampaikan kepada ketiga pembimbing yang penuh kesabaran telah mencurahkan waktu dan perhatian bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian ini melibatkan begitu banyak pihak, diantaranya para praktisi, asosiasi, akademisi dan birokrat baik yang berada di pemerintahan pusat, maupun yang berada di Provinsi Jawa Tengah selaku pakar atau nara sumber. Nara sumber dari industri, diantaranya Ibu Esther Satyono (Dirut PT Ocean Mitramas), Bapak Ir. Tachmid WP (Dir. PT Bonecom), Bapak Hayono (Man. Prod. PT Juifa International Foods), Bapak Wukir Sudrajat (Man. Pengadaan PT Toxindo Prima), Bapak Ibrahim (Hasil Samudera), Bapak Wahirin (UD Mina Jaya Cipta Sentosa), Bapak Riswanto (SDP), dan Ibu Hj. Romlah Wagiman (Mina Artha). Dari pihak asosiasi, penulis diterima dengan sangat baik oleh Bapak Ir. Bambang Suboko (Dir. Eks. Gappindo) dan Bapak Hendri Sutandinata, MBA (Ka. APIKI). Dari pihak akademisi tercatat Bapak Prof. Dr. H. Suwarno T. Sukarto (TPG-FatetaIPB) dan Ibu Dr. Mita Wahyuni (PHP-FPIK-IPB). Bapak Dr. Achmad Poernomo (Ses Ditjen P2KP) dan Bapak Dr. Widodo Farid Ma’ruf (Ka. PRPPSE) merupakan birokrat di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan yang banyak memberi masukan mengenai keadaan agroindustri perikanan laut di Indonesia. Di tingkat Provinsi, penulis banyak mendapat masukan dari Bapak Prof. Dr. S. Budi Prayitno (Ka. Diskanlut Prov. Jateng), Bapak Drs. Danudojo Hastjarjo (Ka. Dinas Perindag Prov. Jateng), Bapak Ir. Boedi Setyana (Ka Sub Dit Pertanian Bappeda Jateng), dan Bapak Ir. Galih Rasiono, MPi (Ka Sub Dit Renbang Diskanlut Jateng). Penulis mengunjungi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi perikanan laut, dimana peran Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya sangat membantu penulis dalam mengakses data dan menemui berbagai pihak terkait. Secara intensif penulis mendapat bantuan dari Bapak Ir. Sofwan (Ka Diskanlut Rembang), Bapak Ir. Gunawan, MM (Ka Diskanlut Cilacap), Bapak Ir. Ashar (Ka Diskanlut Pati), Bapak Ir. Boediono (Ka Diskanlut Pekalongan), Bapak Sartono, APi (Ka LPPMHP Cilacap), Bapak Ir. Jumala Saragih (Diskanlut Pati), Bapak Ir. Nanang Kusbiyantoro (Diskanlut Cilacap), Bapak Ir. Sochib Rochmat, M.Pi (Diskanlut Pekalongan), Ketua KUD, dan Kepala TPI masing-masing Dati II.
7
Kepada seluruh nara sumber tersebut di atas, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. W. Farid Mar’ruf, MSc. dan Dr. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA yang meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji pada ujian terbuka, serta Dr. Ir. Sukarno selaku penguji pada ujian tertutup. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. H. Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Ibu Hj. Juliah Sukamdani, kedua orang tua kami yang tergabung di Yayasan Sahid Jaya, beliau berdua mengajarkan kepada penulis untuk tidak takut bermimpi untuk terus berkarya dan mengajarkan pada kami bagaimana membangun etos kerja dalam kerangka bahwa ‘hidup untuk saling menghidupi’. Penulis juga men yampaikan terima kasih atas restu dan ijin untuk meneruskan pendidikan di tengah tugas yang beliau amanahkan kepada penulis. Biaya pendidikan penulis diantaranya didukung oleh beasiswa dari Universitas Sahid, kepada Bapak Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sahid Jakarta penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga mendapat beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI dan dukungan dana selama pengambilan data dari Proyek APBN di lingkungan Pusris Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi, DKP, untuk kebaikan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pimpinan di kedua instansi tersebut. Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Ketua Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, serta seluruh pejabat, dosen dan karyawan di dalamnya yang terlibat, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu dan pelayanan administratif yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan tanpa kendala berarti. Memberikan spirit dan teman diskusi yang penuh kenangan, Ir. H. Farhat Umar, MSi., Ir. Rindam Latief, MSi., dan Dr. Ir. Kohar Sulistyadi, MSIE. Untuk rekan seperjuangan S2/S3 di IPN khususnya Sub Program Manajemen Industri Pangan dan untuk mas Roni Wijaya, terima kasih banyak atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan kerja di Fakultas Teknologi Industri Pertanian dan Fakultas Teknik, atas segala dukungan moral dan doanya. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang tiada terbilang jasanya dalam mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, kiranya tidak ada sesuatu yang pantas penulis berikan, kecuali doa dan harapan bahwa Allah SWT akan mencatat dan membalas semua kebaikan tersebut. Tak lupa permohonan maaf bila penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja atau tidak. Bogor, Juni 2005 PENULIS
8
RIWAYAT HIDUP GIYATMI, dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 6 Desember 1965 dari ayah pensiunan pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Sragen bernama Minto Pawiro dan ibu Siyem seorang pedagang yang ulet. Penulis merupakan anak keenam dari sembilan bersaudara. Pendidikan Dasar diselesaikan penulis di SD Negeri 3 Sragen dan tamat pada tahun 1977, melanjutkan studi di SMP N 1 Sragen dan tamat pada tahun 1981. Pendidikan selanjutnya dijalani di SMA N 1 Sragen hingga tamat pada tahun 1984. Pada tahun yang sama, melalui program PMDK penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun kedua, penulis menetapkan pilihan di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian hingga lulus pada tanggal 17 Desember 1988. Tahun 1995, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Ilmu Pangan, dengan mengambil kajian di bidang Mikrobiologi Pangan. Pendidikan Strata Dua tersebut diselesaikan pada tanggal 25 Mei 1998. Pada tahun 2000, penulis kembali mengambil pendidikan formal untuk Strata Tiga di Program Studi Ilmu Pangan. Penulis tertarik dengan bidang kajian Manajemen Industri Pangan. Tiga bulan setelah lulus dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi – FATETA - IPB, penulis diterima sebagai staf pengajar di Akademi Gizi Muhammadiyah Semarang hingga penulis pada pertengahan tahun 1990 memutuskan untuk mengundurkan diri karena harus mendampingi suami tugas belajar di New Zealand. Melalui SK Rektor USAHID tanggal 31 Januari 1994, penulis kembali mengabdikan diri di dunia pendidikan, yaitu sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Sahid Jakarta. Jabatan sebagai tenaga akademik Lektor Muda diperoleh penulis tanggal 1 Juli 1998, kemudian pada tanggal 9 Agustus 2000 meningkat menjadi Lektor Madya. Terhitung mulai tanggal 1 Juli 2002 hingga saat ini penulis meraih jabatan Lektor Kepala di bidang Mikrobiologi Pangan. Penulis mengawali karir dalam jabatan struktural sebagai Ketua Jurusan Teknologi Pangan pada bulan September tahun 1998, dan setahun kemudian pada bulan September 1999 diangkat untuk menduduki jabatan Dekan Fakultas Teknik. Kebijakan Universitas untuk mendirikan Fakultas Pertanian pada tahun 2001 (kini Fakultas Teknologi Industri Pertanian) membawa penulis pindah fakultas dengan tetap menduduki jabatan Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian hingga sekarang. Penulis menikah dengan Dr. Ir. H. Hari Eko Irianto, Dipl. Tech, APU. pada tanggal 25 Maret 1990 dan sampai saat ini telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Husna Izzahnisa Omegita (14 tahun), Muhammad Izzahislam Masseyga (12 tahun) dan Shabira Nurulizzah Sahida (7 tahun).
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xxi
I.
PENDAHULUAN
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1 B. Tujuan Penelitian..................................................................................... 7 6 C. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 6 A. Potensi dan Produksi Perikanan Laut ............ ..............………………….. B. Agroindustri Perikanan Laut .................................................................. 13 C. Penanganan Pascapanen Perikanan Laut ............................................... 18 D. Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut .......................................... E. Teori Sistem ............................................................................................... F. Sistem Penunjang Keputusan ................................................................. 32 G. Analisis Klaster ........................................................................................ H. Evaluasi Pilihan Bebas ............................................................................. I. Proses Hirarki Analitik ......................................................................... 34 J. Permodelan Struktural Interpretatif ........................................................... K. Analisis Kelayakan Finansial .................................................................... L. Konsep Strategi .......................................................................................... M. Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan ...................................................
III. METODOLOGI PENELITIAN A. B. C. D.
Kerangka Pemikiran .............................................................................. 44 Metode Penelitian ...................................................................................... Pendekatan Sistem.................................................................................. 45 Konfigurasi Model ....................................................................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
8 12 16 25 27 28 31 34 38 40 43 46 48 51 53 59 66
A. Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan ............................................................................................. 68 B. Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut ................................................................... 88 C. Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan laut ...........................................................................................119 D. Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut ..............................130 E. Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut ..............................................134 F. Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut ……………………………………………………………. 146
10
Halaman V.
KESIMPULAN DAN SARAN ........... ………………………………
153
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................157 LAMPIRAN .................................................................................164
11
DAFTAR TABEL Halaman 1. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 1993 – 2002 ......…………………………………………...
8
2. Potensi lestari dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia .....……………..............
10
3. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan pantai Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002 ……………………….
11
4. Kategori agroindustri berdasarkan tingkat transformasi bahan baku .....
12
5. Perlakuan produksi perikanan laut menurut cara perlakuan pada tahun 2002 ………………………………………….………………....
15
6. Bentuk-bentuk penanganan pascapanen perikanan laut ……………….
17
7. Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty ………………………...
40
8. Inventarisasi kebutuhan pelaku dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut .............................………………………...
61
9. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut ...................................................................................................................
74
10. Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1999 - 2003 ......................................................................................................
77
11. Kelompok wilayah dan pusat pertumbuhan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah ..........................................
82
12. Jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan nelayan di Kabupaten Pati pada tahun 1998 – 2002 ...........................................................................
86
13. Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial .........................
89
14. Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan .........................................................
91
15. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut
104
16. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan .............................................................................................
107
12
Halaman 17. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati ...............................................................................................
111
18. Data pengolah hasil perikanan laut di Kabupaten Pati ....................................
113
19. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap ..........................................................................................
114
20. Asumsi kelayakan usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut .........
120
21. Modal usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut ............................
121
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur dasar sistem penunjang keputusan ............................................................. 30 2. Ilustrasi transformasi-z ............................................................................................ 32 3. Pembentukan jarak euclideus .................................................................................. 33 4. Profil hirarki grup-grup hasil analisis klaster .......................................................... 34 5. Kerangka manajemen strategik ................................................................................ 47 6. Diagram alir tahapan penelitian pengembangan agroindustri perikanan laut .......................................................................................................... 56 7. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan agroindustri perikanan laut ........................................................................................................... 63 8. Diagram input-output sistem pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah ................................................................................... 65 9. Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan pengembangan agroindustri perikanan laut ....................................................................................... 66 10. Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah .......................................................... 70 11. Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 ......................................................................... 72 12. Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah .................... 76 13. Volume produksi perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 – 2003 .................................................................................. 78 14. Nilai produksi perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 – 2003 ................................................................................... 79 15. Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1998 – 2003 ...................................................................... 80
14
Halaman 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993 – 2002 ............................................... 81 17. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 .................................................................. 92 18. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 ...................................................................................... 93 19. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 ...................................................................................... 94 20. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 .............................................................................. 96 21. Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003 ....................................... 97 22. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 ...................................................................................... 98 23. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 ...................................................................................... 99 24. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ........................................................................100 25. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ........................................................................101 26. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ........................................................................102 27. Volume produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993 – 2002 ..............................................................107 28. Volume produksi hasil pengolahan perikanan laut di Kabupaten Pati pada tahun 1996 – 2002 ............................................................................112 29. Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun 2000 – 2004 ......................................................................116 30. Perkembangan volume dan nilai ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun 1997 – 2003 ...................................................118 31. Perubahan nilai IRR usaha ikan asin terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ............................................127
15
Halaman 32. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan asin ................123 33. Perubahan nilai IRR usaha ikan pindang terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ...............................125 34. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan 125 pindang ............................................................................................................ 35. Perubahan nilai IRR usaha ikan kalengterhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ............................................127 36. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan kaleng ...............................................................................................................127 37. Hasil peramalan volume bahan baku dan volume produksi ikan kaleng ...............................................................................................................129 38. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri perikanan laut ..................131 39. Hirarki elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut ................135 40. Grafik Dependence–Driver Power pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut ..............................................................................136 41. Hirarki elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut .....................................................138 42. Grafik Dependence–Driver Power kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut ......................................139 43. Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut ...................................................................................................140 44. Grafik Dependence–Driver Power kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut ..............................................................................141 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut ..............................................................................142 46. Grafik Dependence–Driver Power tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut ..........................................143
16
Halaman 47. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut .....................................144 48. Grafik Dependence – Driver Power aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut .................145 49. Elemen kunci yang mendukung strategi pengembangan agroindustri perikanan laut .............................................................................150
17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Teknis penggunaan model AGRIPAL ............................................................ 164 2. Batas-batas Provinsi Jawa Tengah .................................................................. 178 3. Kabupaten/Kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang memliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi pendaratan ikan .................................................................................................................. 179 4. Kabupaten/Kota di Pantai Selatan Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi 179 pendaratan ikan ............................................................................................... 5. Pengelompokan kawasan pengembangan daerah berpotensi produksi 180 perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah .......................................................... 6. Data produksi perikanan laut pada masing-masing kawasan dan kota 181 unggulan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 ............................. 7. Pelabuhan Perikanan dan Pusat Pendaratan Ikan di Provinsi Jawa Tengah ............................................................................................................. 182 8. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut .......................................................................................................
183
9. Data pendukung penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah .............................................................. 183 10. Penentuan pusat pertumbuhan antar kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah ..............................
187
11. Produksi perikanan laut di kabupaten/kota yang diunggulkan ............
188
12. Laju pertumbuhan volume produksi perikanan laut per kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993-2002 ……………………….
189
13. Laju pertumbuhan nilai produksi perikanan laut per kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993-2002 ……………………….
190
14. Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial ......................... 191 15. Volume produksi perikanan menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 ……………………………………….
192
18
Halaman 16. Nilai produksi perikanan menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 .............................................................
193
17. Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan .....
194
18. Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati ……..
195
19. Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap ….
196
20. Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003…………………………………...
197
21. Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003………………………………………......
198
22. Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ……………………………………....
199
23. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroinustri perikanan laut ........... 200 24. Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan …………………………………………………………...
201
25. Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002…………………………………...
203
26. Hasil analisis ikan layang segar, asin dan pindang …………………..
203
27. Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati ……………………………………………………….………..
204
28. Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002…………………………………...
206
29. Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap …………………………………………………….………..
207
30. Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun 2000 – 2004……………………………………..
209
31. Perkembangan volume dan ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun 1997 – 2003 ..........................................................
209
19
Halaman 32. Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan asin ........... 210 33. Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan pindang ……………………………………………………………….
213
34. Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan kaleng ………………………………………………………………...
216
35. Peramalan volume bahan baku dan produksi ikan kaleng …………
221
36. Perkembangan tingkat konsumsi ikan di Provinsi Jawa Tengah ….....
222
37. Reachability matriks dan interpretasinya dari elemen struktur kelembagaan ………………………………………………………....
223
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perspektif ketahanan pangan nasional, ikan dan produk perikanan memegang peranan penting sebagai penyedia bahan pangan sumber protein untuk pemenuhan gizi masyarakat.
Selain itu, kandungan asam lemak tidak jenuh
omega tiga yang tinggi dalam minyak ikan dilaporkan dapat memberikan banyak keuntungan di bidang kesehatan, khususnya dalam upaya pencegahan penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung koroner.
Asam lemak omega tiga,
eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahecsaenoic acid (DHA), diketahui dapat menurunkan kolesterol dalam darah (Kinsella, 1987). Kandungan rataan asam lemak omega tiga pada minyak ikan lemuru dan tuna yang banyak ditemukan di Indonesia masing-masing adalah 25,9% dan 29,5% (Irianto, 1992).
Dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat yang dicirikan oleh rendahnya kolesterol dan tingginya protein, telah memberikan kecenderungan permintaan atas produk perikanan yang semakin meningkat (Putro, 2002). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menggambarkan selama kurun waktu 2001 – 2003, kisaran persentase pengeluaran rataan per kapita/bulan untuk kebutuhan konsumsi ikan adalah 5,17 – 6,37%. Dalam kurun waktu yang sama, persentase ini lebih besar dibanding persentase pengeluaran sumber protein hewani lainnya, yaitu daging 2,29 – 3,43% serta telur dan susu 2,86 – 3,72% (BPS, 2004).
Meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan
kesadaran pada produk pangan yang lebih sehat diperkirakan akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan ikan. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 81.000 km dan sebagian besar (62%) wilayah kedaulatan Indonesia berupa laut yang memiliki luas total 5,8 juta km2, yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara ditambah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2 (Ismail et al., 2001; Suboko, 2001; Prasetyo, et al., 1996) merupakan sumber daya hayati perikanan yang sangat potensial untuk memenuhi kepentingan penyediaan sumber pangan tersebut,
2
karena memiliki potensi lestari sumber daya perikanan laut 6,7 juta ton per tahun, yaitu 4,4 juta ton pada perairan wilayah nusantara dan territorial, sekitar 2,3 juta ton per tahun pada perairan ZEE Indonesia . Dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan memiliki peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara. Lapangan kerja yang terkait langsung dengan industri perikanan adalah usaha produksi/penangkapan, usaha
penanganan/pengolahan produk perikanan dari
yang berskala kecil (rumah tangga) sampai industri besar/modern, serta usaha pelayanan jasa yang mendukung usaha produksi dan pengolahan. Jumlah nelayan Indonesia mengalami peningkatan 3,86%, yaitu dari 3,1 juta orang pada tahun 2000 menjadi 3,5 juta orang pada tahun 2003. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang disumbangkan sektor perikanan pada tahun 2003 adalah Rp 44.794 M. Nilai ini meningkat 26,04% dibanding tahun 2000 yaitu Rp 29.472 M. Dari sisi penerimaan devisa negara, pada tahun 2003 devisa yang disumbangkan dari ekspor hasil perikanan mencapai US$ 2,0 M dengan volume ekspor sebesar 696.290 ton. Volume ekspor tahun 2000-2003 mengalami peningkatan rataan per tahun sebesar 11,0% dengan peningkatan nilai ekspor rataan per tahun sebesar 7,1% (DKP, 2004a). Apabila sektor perikanan ini mampu terus tumbuh positif, pada
gilirannya
diharapkan
akan
dapat diandalkan
untuk
peningkatan
kesejahteraan nelayan, memperluas peluang kerja dan usaha sektor terkait, serta meningkatkan pendapatan asli daerah dan negara. Meskipun
sektor
perikanan
secara
keseluruhan
tumbuh
cukup
menggembirakan, tetapi masih menghadapi banyak permasalahan, baik dari sisi produksi maupun penanganan pasca panen. Dari sisi produksi, hambatan yang sering ditemui dalam pengembangan kinerja agroindustri perikanan laut secara umum adalah ikan merupakan bahan pangan yang mempunyai sifat sangat mudah rusak, sehingga tingkat kesegaran ikan yang menjadi prasyarat untuk pengolahan menjadi produk lanjutan sulit dipenuhi. Hasil tangkapan untuk beberapa jenis ikan bersifat musiman, sehingga mempersulit upaya untuk menjaga kontinuitas bahan baku yang diperlukan dalam usaha industri. Pada agroindustri perikanan tradisional, kendala yang dihadapi diantaranya adalah (1) penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen masih lemah, termasuk diantaranya kurangnya
3
keterampilan untuk melakukan diversifikasi produk olahan guna memperoleh nilai tambah yang lebih besar; (2) rendahnya mutu bahan baku dan adopsi teknologi menyebabkan mutu produk beragam dan cenderung rendah; (3) kurangnya kemampuan modal dan manajerial yang menyebabkan kegiatan pengolahan masih terbatas pada usaha-usaha kecil tradisional yang tersebar dengan target pemasaran lokal (Dahuri, 2003; DKP, 2004b). Pola usaha ini agak menyulitkan dalam proses pembinaan dan pengembangan (Nasution, 2002). Selain kontinuitas dan kualitas bahan baku, agroindustri perikanan modern juga tidak luput dari berbagai kendala lain, seperti (1) investasi yang dibutuhkan cukup besar, tetapi selama ini persepsi bisnis perikanan masih dianggap beresiko tinggi; (2) rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional; (3) lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan, diantaranya dikarenakan lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar dan selera, serta belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. Kondisi semacam ini, terutama sangat dirasakan di daerah terpencil di luar Jawa dan Bali (Dahuri, 2003; DKP, 2004b). Sejak diberlakukannya UU mengenai otonomi daerah No. 22/1999, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Nasution (2002) mengungkapkan bahwa keragaman kondisi tiap daerah dalam hal sosio-kultural tiap masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim serta heterogenitas ketersediaan sumber daya alam menyebabkan pengembangan pertanian dan agroindustri tidak dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas pertanian sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya.
Namun demikian, metodologi penentuan komoditas unggulan dan
produk unggulan daerah, serta penetapan wilayah pengembangan agroindustri pada suatu daerah, dari waktu ke waktu memiliki kelemahan dan bahkan belum jelas acuan konsensus untuk menemukan solusi pemecahannya. Metodologi
4
pengambilan keputusan dalam pengusahaan agroindustri banyak diwarnai oleh pengaruh birokrasi, seperti adanya perbedaan kriteria yang digunakan antar instansi. Akibat kelemahan metodologi pengambilan keputusan tersebut, maka muncul bias terhadap komoditas dan produk yang diunggulkan suatu wilayah. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian terpadu dan komprehensif tentang sistem pengembangan agroindustri yang mengolah hasil perikanan pada setiap daerah atau wilayah yang sesuai dengan komoditas/produk unggulannya. Adanya hubungan atau saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain dalam pemenuhan kebutuhan akan membuat persoalan semakin kompleks.
Oleh karena itu, dalam pemecahannya perlu dilakukan
dengan pendekatan sistem.
Metode pendekatan sistem merupakan suatu
metodologi pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasi yang efektif. Pada penelitian ini akan diformulasikan sebuah model yang mengintegrasikan berbagai alat bantu dalam sistem pengambilan keputusan yang terkait dengan masalah pengembangan agroindustri perikanan laut. Model yang dibangun diverifikasi di Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat kajian dikarenakan provinsi ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut yang cukup besar, yaitu 281.204 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 1.122 M
pada tahun 2002 (Diskanlut Prov. Jateng,
2003).
Hasil tangkapan laut
tersebut berkontribusi 6,90% terhadap produksi perikanan laut nasional. Kondisi perairan laut di sebelah utara Provinsi Jawa Tengah (perairan Laut Jawa) telah mengalami overfishing, sebaliknya di pantai selatan (perairan Samudera Hindia) tingkat pemanfaatannya baru mencapai 57,92% (Dahuri, 2003).
Profil
agroindustri perikanan laut di Jawa Tengah pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari total produksi sebesar 281.204 ton, sebanyak 32% ikan dipasarkan dalam bentuk
segar
dan
66%
diolah
secara
tradisional
dengan
perlakuan
penggaraman/pengeringan, pemindangan, fermentasi dan pengasapan (Diskanlut Prov. Jateng 2003).
Profil agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah
ini tidak jauh berbeda dengan kondisi agroindustri perikanan laut nasional yang secara umum didominasi oleh agroindustri perikanan laut tradisional (Dahuri,
5
2003; DKP, 2004b). Meskipun data nasional menunjukkan persentase kegiatan pengolahan hasil tangkapan lebih rendah (+ 40%) dibanding persentase kegiatan pengolahan di Provinsi Jawa Tengah (+ 70%), hal ini tidak dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan bahwa kegiatan agroindustri di Provinsi Jawa Tengah lebih baik, karena pada kenyataannya dominasi bentuk usaha olahan tradisional yang dilakukan diantaranya merupakan akibat kondisi hasil tangkapan yang kurang baik.
Di Provinsi Jawa Tengah, jenis agroindustri dengan olahan tradisional
merupakan usaha yang dominan di wilayah yang berada di pantai utara, dimana produk yang dihasilkan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Di wilayah pantai selatan Provinsi Jawa Tengah terdapat sejumlah usaha agroindustri perikanan modern, seperti pengalengan dan pembekuan untuk memenuhi pasar ekspor.
Disamping itu,
seperti pada umumnya, industri
pengolahan perikanan laut berada di dekat lokasi pendaratan ikan hasil tangkapan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota pantai. Profil agroindustri di Provinsi Jawa Tengah ini diharapkan dapat memberikan gambaran pembangunan agroindustri perikanan laut nasional yang diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan dan memperluas pemerataan pembangunan perikanan nasional. Indikator peningkatan pertumbuhan, diantaranya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Perikanan, peningkatan volume produksi, peningkatan volume dan nilai ekspor hasil perikanan, dan peningkatan konsumsi ikan. Indikator memperluas pemerataan, diantaranya adalah perluasan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha yang ditunjukkan dengan bertambahnya unit industri, dan distribusi pendapatan untuk peningkatan taraf hidup nelayan dan pelaku usaha agroindustri. Secara khusus, permasalahan pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimanakah perumusan cara pengelompokan kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut ?; (2) Bagaimanakah perumusan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan ?; (3) Bagaimanakah perumusan penyusunan strategi dan kelembagaan pengembangan agroindustri perikanan laut ?; dan (4) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa dalam sebuah model Sistem Penunjang Keputusan yang
6
mendukung rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan situasional ? B. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengkaji pengembangan agroindustri perikanan laut.
Secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai
berikut : 1
Mengkaji dan merumuskan cara pengelompokan wilayah pada kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut.
2
Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan.
3
Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri perikanan laut.
4
Mengembangkan alternatif model pengembangan agroindustri perikanan laut berbasis Sistem Penunjang Keputusan.
C. Ruang Lingkup Penelitian Agrondustri perikanan laut yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah usaha penanganan/pengolahan berbahan baku hasil perikanan tangkap dari laut oleh nelayan. Sistem agroindustri perikanan laut secara definitif adalah kumpulan elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan usaha penanganan/pengolahan yang berbahan baku hasil perikanan laut. Dalam sistem agroindustri perikanan laut, perlu ditekankan bahwa pentingnya peranan pascapanen bukan hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan agar produk ikan segar yang dihasilkan tidak menurun mutunya, atau seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan melalui penerapan teknologi pascapanen, namun juga merupakan suatu mata rantai penghubung antara kegiatan produksi primer (industri penangkapan) dengan kegiatan pemasaran.
7
Dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut perlu diperhatikan beberapa hal antara lain (1) tersebarnya wilayah yang memiliki potensi perikanan laut, (2) banyaknya ragam/jenis komoditas perikanan, sehingga jumlah rataan tiap komoditas menjadi relatif kecil, (3) terdapat berbagai ragam perlakuan (teknologi) pascapanen, tetapi terdapat sejumlah keterbatasan dalam pengusahaan,
diantaranya
kondisi
bahan
baku
(jumlah,
mutu
dan
kesinambungan), permodalan, sumber daya manusia dan pasar, (4) studi mengenai kelayakan yang menyangkut biaya – laba (cost-benefit) pada berbagai jenis usaha agroindustri perikanan laut sehingga prospek dan resiko usaha dapat diperhitungkan lebih baik, dan (5) penentuan fokus strategi dan elemen-elemen struktural yang penting dalam sistem agroindustri perikanan laut. Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut direkayasa melalui suatu model berbasis komputer yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan, baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, para pelaku usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut, maupun pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan agroindutri perikanan laut. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk mengkaji pembentukan klaster wilayah berdasarkan sumber daya alam ataupun bentuk klaster lainnya, membuat urutan prioritas pilihan kebijakan
dalam
pengembangannya,
menentukan
produk
unggulan
daerah
dan
strategi
determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta
membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Potensi dan Produksi Perikanan Laut Dalam periode sepuluh tahun terakhir (1993 – 2002), produksi perikanan tangkap Indonesia meningkat rataan 3,59% per tahun, yaitu dari 3.194.938 ton meningkat menjadi 4.378.496 ton.
Produksi penangkapan ikan di laut, pada
periode tersebut meningkat rataan 3,93% per tahun, atau meningkat dari 2.886.289 ton pada tahun 1993 menjadi 4.073.506 ton pada tahun 2002 (Tabel 1). Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa lebih dari 90% produksi perikanan nasional berasal dari perikanan laut.
Perkembangan produksi perikanan laut
merupakan akibat penambahan kuantitas dan mutu prasarana dan sarana penangkapan ikan. Tabel 1. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 1993 – 2002 (dalam ton) Tahun
Perikanan Laut
Perairan Umum
Jumlah
1993
2.886.289
308.649
3.194.938
1994
3.080.168
336.141
3.416.309
1995
3.292.930
329.710
3.662.640
1996
3.383.456
335.707
3.719.163
1997
3.612.961
304.258
3.917.219
1998
3.723.746
288.666
4.012.412
1999
3.682.444
327.627
4.010.071
2000
3.807.191
318.334
4.125.525
2001
3.966.480
310.240
4.276.720
2002
4.073.506
304.989
4.378.496
3,93 %
0,08%
3,59%
Rataan kenaikan
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004.
9
Menurut Prasetyo, et al., (1996), operasionalisasi pemanfaatan potensi sumber daya perikanan dibagi atas empat kelompok : 1. Sumber daya demersal, yaitu jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan.
Beberapa jenis ikan demersal merupakan jenis ikan bernilai
ekonomis tinggi, seperti kakap putih dan kerapu. Jenis ikan lainnya adalah petek, bawal putih, manyung, kakap merah atau bambangan dan beberapa jenis udang seperti udang jerbung, udang windu, udang dogol dan udang krosokan. 2. Sumber daya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berenang di permukaan atau dekat permukaan air. Jenis ikan ini, diantaranya ikan kembung, bentong, layang dan selar. 3. Sumber daya pelagis besar, yaitu jenis ikan permukaan yang berukuran besar dan mempunyai sifat ruaya (pengembara) yang sangat jauh. Berdasarkan ukurannya, ikan pelagis besar dibagi atas tuna besar dan tuna kecil. Kelompok tuna besar diantaranya adalah tuna mata besar, albakora, tuna sirip biru utara, tuna sirip hitam, sedangkan kelompok tuna kecil, diantaranya cakalang dan tongkol. 4. Biota laut lainnya, seperti kerang-kerangan, rumput laut, cumi-cumi dan teripang. Berdasarkan potensi dan penyebaran sumber daya ikan laut di perairan Indonesia yang disusun oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Tahun 1998, potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui, bahwa secara keseluruhan Selat Malaka dan Laut Jawa tingkat pemanfaatannya telah melebihi potensi lestarinya. Laut Banda lebih dari 80% potensi lestarinya juga telah dimanfaatkan, sedangkan wilayah pengelolaan perikanan lainnya, yaitu Laut China Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Arafura, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta Samudera Hindia masih sangat potensial untuk diusahakembangkan, karena tingkat pemanfaatannya masih di bawah 80%.
10
Potensi lestari adalah potensi sumber daya perikanan dimana pada saat dieksploitasi sumber daya perikanan tersebut tetap dalam kondisi lestari. Tabel 2.
Kelompok Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Potensi Produksi Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil Potensi Produksi Pemanfaatan Ikan Demersal Potensi Produksi Pemanfaatan Ikan Karang Konsumsi Potensi Produksi Pemanfaatan Udang Penaeid Potensi Produksi Pemanfaatan Lobster Potensi Produksi Pemanfaatan Cumi-cumi Potensi Produksi Pemanfaatan TOTAL Potensi Produksi Pemanfaatan
Potensi lestari dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 1
2
3
4
5
6
Potensi & Produksi : (103 ton/tahun) Perairan Indonesia 7 8 9
27,67 36,27 OE
66,08 35,16 UE
55,00 137,82 OE
193,60 85,10 UE
104,12 29,10 UE
50,86 34,56 UE
106,51 37,46 UE
175,26 153,43 FE
366,26 188,28 UE
1.165,36 756,17 UE
147,30 132,70 FE
621,50 205,53 UE
340,00 507,53 OE
605,44 333,35 UE
132,00 146,47 OE
468,66 12,31 UE
379,44 119,43 UE
384,75 62,45 UE
526,57 26,56 UE
3.605,66 1.764,33 UE
82,40 146,29 OE
364,80 54,69 UE
375,20 334,92 FE
87,20 167,38 OE
9,32 43,20 OE
202,34 156,60 UE
88,84 32,14 UE
54,86 15,31 UE
135,13 134,83 OE
1.365,09 1.085,50 UE
5,00 21,60 OE
21,57 7,88 UE
9,50 48,24 OE
34,10 24,11 UE
32,10 6,22 UE
3,10 22,58 OE
12,50 4,63 UE
14,50 2,21 UE
12,88 19,42 OE
145,25 156,89 OE
11,40 49,46 OE
10,00 70,51 OE
11,40 52,80 OE
4,80 36,91 OE
0,00 0,00 UE
43,10 36,67 FE
0,90 1,11 OE
2,50 2,18 FE
10,70 10,24 OE
94,80 259,94 OE
0,40 0,87 OE
0,40 1,24 OE
0,50 0,93 OE
0,70 0,65 FE
0,40 0,01 UE
0,10 0,16 OE
0,30 0,02 UE
0,40 0,04 UE
1,60 0,16 UE
4,80 4,08 FE
1,86 3,15 OE
2,70 4,89 OE
5,04 12,11 OE
3,88 7,95 OE
0,05 3,48 OE
3,39 0,30 UE
7,13 2,86 UE
0,45 1,49 OE
3,75 6,29 OE
28,25 42,51 OE
271,06 389,28 OE
1.057,05 379,90 UE
794,64 1.094,41 OE
929,72 655,45 UE
277,99 228,48 FE
771,55 263,37 UE
590,52 197,54 UE
632,72 287,11 UE
1.076,89 623,78 UE
6.409,21 4.068,42 UE
Keterangan : Keterangan WPP : 1. Selat Malaka, 2. Laut China Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut • Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Arafura, 7. Laut Seram dan Teluk Tomini, 8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 9. Samudera Hindia Kategori eksploitasi : Pemanfaatan 100% = over exploited (OE), Pemanfaatan 80-100% = full • exploited (FE), Pemanfaatan < 80% = under exploited (UE)
Sumber : DKP, 2004b
11
Secara khusus, perairan pantai Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam dua wilayah, yaitu perairan pantai utara Pulau Jawa yang menghadap Laut Jawa dan perairan pantai selatan Pulau Jawa yang menghadap Samudera Hindia. Perbedaan wilayah penangkapan ini mempengaruhi volume produksi dan jenis ikan yang dihasilkan. Pada Tabel 3 disajikan produksi perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan jenis ikan dan daerah perairan pantai yang merupakan lokasi pendaratan ikan. Tabel 3. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan pantai Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002 (dalam ton) Jenis ikan Pantai Selatan Jawa Pantai Utara Jawa Layang 56.260.600 Selar 15.204.800 Teri 3.671.400 Tembang 39.817.800 Lemuru 209.600 12.173.300 Kembung 6.500 16.662.400 Tengiri 171.600 5.492.200 Layur 274.400 3.236.100 Tuna 1.666.000 Cakalang 2.523.700 Tongkol 203.800 14.396.700 Peperek 15.728.800 Manyung 39.900 6.832.000 Beloso 1.374.100 Merah 3.921.800 Tigawaja 74.600 5.711.000 Cucut 412.700 2.886.100 Pari 143.400 3.653.100 Ikan lainnya 1.749.100 52.160.400 Udang 790.200 1.759.800 Cumi-cumi 58.800 3.111.100 Ubur-ubur 4.433.800 4.433.800 Lain-lain 1.536.600 695.900 Total 14.294.700 266.909.200 Sumber : Diskanlut Prov. Jawa Tengah, 2003.
Total 56.260.600 15.204.800 3.671.400 39.817.800 12.382.900 16.668.900 5.663.800 3.510.500 1.666.000 2.523.700 14.600.500 15.728.800 6.871.900 1.374.100 3.921.800 5.785.600 3.298.800 5.956.300 53.909.500 2.550.000 3.169.900 4.433.800 2.232.500 281.203.900
12
B. Agroindustri Perikanan Laut Menurut Austin (1992) dan Brown (1994), agroindustri adalah industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian yang berupa tanaman atau hewan, yang meliputi transformasi dan pengawetan yang melalui perubahan fisik atau kimiawi,
penyimpanan,
pengemasan
dan
distribusi.
Soekartawi
(2000)
menyatakan bahwa agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian (minimal 20% dari total bahan baku), dengan penekanan pada manajemen pengolahan pangan.
Hasil pertanian mencakup hasil pertanian
pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (Gumbira-Sai’id dan Intan, 2001; Hubeis, 2003) Austin (1992) mengkategorikan agroindustri dalam 4 (empat) level, yang digolongkan atas aktivitas proses yang dikerjakan, yaitu agroindustri level 1 (pembersihan, pengkelasan dan penyimpanan), agroindustri level 2 (pemisahan, penggilingan, pemotongan dan pencampuran), agroindustri level 3 (perebusan, pengalengan, pembekuan, ekstraksi dan pasteurisasi), dan agroindustri level 4 (pengubahan kandungan kimia dan teksturisasi). Kategori agroindustri tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kategori agroindustri berdasarkan tingkat transformasi bahan baku Level Agroindustri Aktivitas Proses Level 1 Pembersihan Pengkelasan Penyimpanan Level 2 Pemisahan Penggilingan Pemotongan Pencampuran Level 3 Perebusan Pasteurisasi Pengalengan Pembekuan Ekstraksi Dehidrasi Level 4 Pengubahan kimia Teksturisasi Sumber : Austin, 1992.
Contoh Produk Buah-buahan segar Sayuran segar Telur segar Daging Tepung Buah kaleng Sayuran kaleng Gula Daging rebus Makanan instan Sayuran yang diteksturisasi
13
Agroindustri merupakan salah satu subsistem dalam sistem agribisnis. Suatu sistem agribisnis yang lengkap terdiri atas (1) subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni kegiatan industri dan perdagangan yang menghasilkan sarana produksi usaha tani seperti pembibitan, agrokimia, agrootomotif dan agri-mekanik; (2) subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi usaha tani yang menghasilkan produk pertanian primer; (3) subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), yakni kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer
menjadi
produk
olahan
(intermediate/finished
product)
beserta
perdagangan dan konsumennya; dan (4) subsistem jasa penunjang (agroinstitution and agro-service), yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti perbankan, infrastruktur, litbang, pendidikan dan penyuluhan/ konsultasi, transportasi, dan lain-lain (Saragih, 2001). Subsistem agribisnis hilir lazim dikenal sebagai agroindustri (Gumbira-Sa’id dan Intan, 2001). Lebih lanjut Saragih (2001) mengungkapkan bahwa agroindustri dapat menjadi suatu sektor yang memimpin (leading sector) yang didasarkan pada pemikiran sebagai berikut : pertama, agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir. Agroindustri pengolah, yang menggunakan bahan baku hasil pertanian, memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau kegiatan industri lain. Keterkaitan yang erat ini merupakan hal logis dan sebagai konsekuensinya akan menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Kedua, produk-produk agroindustri, terutama agroindustri pengolah, umumnya memiliki nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi (elastis) jika dibandingkan dengan produk pertanian dalam bentuk segar atau bahan mentah.
Maka dapat dikatakan bahwa dengan semakin besarnya pendapatan
masyarakat, akan semakin terbuka pula pasar bagi produk agroindustri. Hal ini akan memberikan prospek baik bagi kegiatan agroindustri, dan dengan demikian akan memberikan pengaruh pula kepada seluruh kegiatan yang mengikutinya. Ketiga, kegiatan agroindustri umumnya memiliki basis pada sumber daya alam. Oleh karena itu, dengan dukungan potensi sumber daya alam Indonesia, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan
14
kompetitif di pasar dunia, disamping dapat memiliki pasar domestik yang cukup terjamin. Keempat, kegiatan agroindustri umumnya menggunakan masukan yang dapat diperbaharui, sehingga keberlangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin. Kelima, agroindustri merupakan sektor yang telah dan akan terus memberikan sumbangan besar. Data empiris menunjukan, terjadi kecenderungan peningkatan pangsa ekspor produk pertanian olahan, dan di lain pihak harga produk pertanian primer cenderung mengalami gejolak pasar yang lebih tidak pasti. Keenam, agroindustri yang memiliki basis di pedesaan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja yang berlebihan dari desa ke kota. Perkembangan agroindustri ke depan perlu diarahkan pada pendalaman struktur agroindustri lebih ke hilir, dengan tujuan menciptakan nilai tambah (added value) sebesar mungkin di dalam negeri, mendiversifikasi produk yang mengakomodir preferensi konsumen, dalam memanfaatkan segmen-segmen pasar yang berkembang, baik di dalam negeri maupun di pasar internasional (Saragih, 2001; Nasution, 2002), mampu menyediakan lapangan kerja yang khususnya mampu menarik tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri (agroindustri sebagai proses antara) dan memperbaiki pembagian pendapatan dan menarik investor untuk mendukung pembangunan sektor pertanian (Nasution, 2002). Menurut Poernomo, et al. (2001), tingkat pengusahaan sumber daya perikanan di Indonesia yang rataan telah mencapai 62%, ternyata belum diimbangi oleh kegiatan peningkatan nilai tambah secara sistematik melalui industri pengolahan hasil perikanan. Data nasional (Tabel 5) menunjukkan bahwa kurang lebih hanya 40% dari total produksi perikanan laut diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, dengan perincian 30,86% diolah secara tradisional dan hanya 12,03% yang diolah dalam bentuk modern seperti pembekuan, pengalengan dan pembuatan tepung ikan. Dari data tersebut terlihat bahwa industri pengolahan ikan didominasi tiga macam pengolahan, yaitu pengeringan/penggaraman 22,35%, pemindangan 4,05% dan pembekuan 9,27%. Salah satu kendala yang dihadapi industri perikanan, baik industri yang berteknologi maju maupun industri pengolahan tradisional adalah kesulitan memperoleh bahan baku, karena kedua jenis industri
tersebut hanya
mengandalkan bahan baku hasil tangkapan perikanan rakyat (Poernomo, et al.
15
2001). Ketersediaan bahan mentah merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. Bahkan bagi industri yang mengolah limbah perikanan, mutu bahan baku yang tinggi merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar lagi (Widiasto, 2000; Poernomo, et al. 2001). Banyak perusahaan yang tidak dapat beroperasi pada kapasitas produksi dan bahkan banyak diantaranya berhenti beroperasi, akibat tidak tesedianya bahan mentah yang memadai (Irianto, et al. 2001).
Salah satu penyebabnya, adalah corak perikanan rakyat
mendominasi (87%) armada perikanan Indonesia menghasilkan tangkapan bermutu rendah. Hal lainnya adalah banyaknya jenis yang dihasilkan dan dalam volume yang tidak terlalu besar, dianggap sebagai kendala
tersendiri dalam
menentukan prioritas jenis agroindustri. Tabel 5. Perlakuan produksi perikanan laut menurut cara perlakuan pada tahun 2002 (dalam ton) Jawa Tengaha)
Cara Perlakuan
Jumlah Total
%
281.267 100,00
Dipasarkan segar
Total Indonesia b) Jumlah
%
4.073.506 100,00
90.170
32,06
2.323.886
57,05
Pengeringan/penggaraman 126.641
45,02
910.581
22,35
Pemindangan
41.884
14,89
164.815
4,05
Terasi
142
0,05
29.884
0,73
Peda
44
0,02
6.849
0,17
0
0,00
9
0,00
10.108
3,59
69.262
1,70
7.577
2,69
75.946
1,86
Pembekuan
3.467
1,23
377.526
9,27
Pengalengan
1.027
0,36
66.333
1,63
206
0,07
48.415
1,19
Pengawetan Peragian
Kecap ikan Pengasapan Lain-lain
Pembuatan tepung ikan a) b)
Diskanlut Prov. Jateng, 2003. Ditjen Perikanan Tangkap, 2004.
16
Permasalahan yang dihadapi oleh industri perikanan tidak hanya pasokan bahan baku, melainkan juga ketersediaan dan keterbatasan akses kepada teknologi, sumber modal dan pemasaran, sumber daya manusia dan kultur, serta masalah-masalah kelembagaan, termasuk di dalamnya peraturan dan perundangan (Poernomo, et al., 2001; Nasution, 2002). Heruwati, et al. (2001) menyatakan bahwa salah satu kelemahan agribisnis perikanan adalah jauhnya jarak antara lokasi pengolahan ikan dengan lokasi produksi bahan baku. Kelemahan ini berdampak pada mengalirnya nilai tambah ekonomi perkotaan, yang biasanya merupakan lokasi pengolahan ikan, sementara produsen bahan baku selain tidak menikmati nilai tambah,juga menanggung resiko penurunan mutu kesegaran ikan. C. Penanganan Pascapanen Perikanan Laut Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable), sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat untuk mencegah proses pembusukan atau segera dilakukan pengolahan, yang sekaligus merupakan upaya untuk pengawetan.
Mengacu pada pengkategorian agroindustri
berdasarkan tingkat transformasi bahan baku yang dikemukakan oleh Austin (1992) dan bentuk-bentuk pemanfaatan hasil perikanan oleh Suparno dan Irianto (1995) dan Poernomo, et al. (1988), maka penanganan pascapanen perikanan laut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. 1. Penanganan ikan hidup Perdagangan ikan hidup untuk konsumsi merupakan trend baru dalam perdagangan dunia bagi komoditas hasil perikanan. Ikan hidup merupakan suatu jaminan mutu yang sangat prima, bila dibandingkan segala bentuk komoditas lain, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Oleh karena itu, komoditas ini dihargai tinggi di pasaran (Suparno dan Irianto, 1995). Penanganan atau transportasi ikan hidup umumnya dilakukan untuk hasil laut yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi, misalnya ikan kerapu dan udang. Prakteknya dilakukan dengan menggunakan kantong-kantong atau
17
tong-tong plastik dan tabung oksigen untuk sistem basah dan dikemas kering dengan serbuk gergaji, setelah ikan dilakukan pemingsanan terlebih dahulu. Tabel 6. Bentuk-bentuk penanganan pascapanen perikanan laut No Penanganan pascapanen 1. Penanganan ikan hidup
Cakupan - sistem basah - sistem kering 2. Penanganan ikan segar - tanpa es - pemberian es 3. Pengolahan tradisional - pengasinan - pengeringan - pemindangan - pengasapan - fermentasi 4. Pembekuan 5. Pengalengan 6. Surimi 7. Reduksi - penepungan - ekstraksi minyak 8. Lain-lain - kerupuk - dendeng - petis - dll Sumber : Modifikasi dari Austin, 1992, Suparno dan Irianto, 1995, serta Poernomo, et al., 1988.
2. Penanganan ikan segar Ikan segar, dalam hal ini adalah ikan yang telah mati dan pada keadaan tersebut mudah sekali busuk.
Dengan demikian, setelah ikan mati harus
secepatnya dilakukan penanganan untuk memperlambat atau mencegah proses pembusukan akibat proses autolisis, kimiawi dan bakterial (Suparno dan Irianto, 1995). Pemasaran segar adalah pemasaran hasil tangkapan dalam keadaan belum mengalami perubahan bentuk atau dalam bentuk belum diolah. Pada saat ini, praktek penanganan ikan laut segar sudah agak lebih maju. Kesadaran para nelayan maupun pedagang akan pentingnya es dalam menjaga kesegaran ikan sudah semakin meningkat. Di samping itu, fasilitas pendaratan ikan dan pabrik-pabrik es telah tersedia, meskipun belum dalam jumlah yang
18
ideal. Pengangkutan antar kota maupun antar Provinsi sudah menggunakan es, bahkan beberapa industri besar telah menggunakan truk yang dilengkapi dengan unit pendingin. Pada usaha ekspor, dipergunakan peti kemas yang dilengkapi dengan unit pendingin (Poernomo, et al., 1988). Praktek yang dilakukan pedagang kelas menengah atau kecil, umumnya dalam transportasi ikan segar adalah menyusun ikan dengan es selapis demi selapis dalam kotak kayu, keranjang bambu, tong/kotak dari bahan plastik.
Untuk keperluan penangkapan, nelayan menggunakan palka
ikan dan peti-peti berinsulasi dengan sistem air laut yang didinginkan sebagai sarana pendingin atau dengan membawa bongkahan es selama masa penangkapan. 3. Pengolahan tradisional Dalam penanganan pasca panen hasil perikanan laut, pengolahan tradisional menduduki tempat teratas dalam pemanfaatan ikan dalam bentuk olahan. Praktek pengolahan tradisional umumnya hampir sama di tiap daerah, dengan sedikit variasi sesuai dengan kebiasaan lokal. Praktek ini dilakukan secara turun temurun dan praktis tidak mengalami perubahan berarti. Penggaraman dan Pengeringan.
Penggaraman adalah salah satu
teknik pengawetan makanan yang paling awal diterapkan dalam kehidupan manusia.
Konsentrasi garam yang tinggi di sekitar ikan menghasilkan
pertukaran air dalam ikan dengan garam.
Pengurangan air dari ikan
menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan bakteri penyebab kebusukan ikan. Kandungan garam 6-7% atau lebih tinggi pada umumnya dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Bakteri halofilik
biasanya tidak dapat tumbuh pada kadar garam 3,5%, tetapi tumbuh dengan baik pada konsentrasi garam antara 12% sampai dengan jenuh (Motohiro, 1992). Pada dasarnya, ada 3 macam cara penggaraman, yaitu secara kering, basah dan kombinasi keduanya.
Penggaraman kering dilakukan dengan
mencampur ikan dengan garam dan menyusunnya secara berlapis. Cairan
19
yang dihasilkan dibuang melalui lubang di dasar wadah penggaraman. Hal tersebut
dilakukan
untuk
penggaraman
ikan-ikan
berukuran
besar.
Penggaraman basah merupakan cara penggaraman dengan merendam ikan dalam larutan garam. Cara ini sering dilakukan untuk ikan kecil seperti teri. Cara ketiga merupakan cara yang paling banyak dilakukan, yaitu menyusun ikan dan garam secara berlapis dalam wadah penggaraman dan kemudian dituangi dengan larutan garam. Cara ini cukup efektif, karena kejenuhan larutan garam akan terjaga dengan adanya kristal garam. Perbandingan antara kristal garam dengan berat ikan berkisar 20 – 30%. Larutan garam digunakan berkali-kali, bahkan sampai 25 kali, tergantung keadaan larutan.
Lama
penggaraman 4 – 24 jam, tergantung jenis ikan dan tingkat keasinan yang dikehendaki (Poernomo, et al., 1988). Setelah penggaraman selesai, ikan dicuci untuk menghilangkan kristal garam yang melekat di permukaan, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari (penjemuran) selama 1 – 3 hari. Pemindangan.
Pemindangan adalah suatu cara pengawetan ikan
jangka pendek yang telah digunakan di banyak negara, khususnya Asia Tenggara. Daya simpan produk bervariasi dari satu atau dua hari sampai beberapa bulan, tergantung pada metode pengolahan yang diterapkan (Clucas and Ward, 1996). Pada dasarnya, pemindangan merupakan kombinasi antara proses penggaraman dan perebusan. Pemindangan dilakukan dengan merebus ikan dalam media bergaram selama waktu tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam cara pemindangan, yaitu pemindangan kering dan basah. Pemindangan kering dilakukan dengan merebus ikan yang disusun berlapis-lapis dengan kristal garam dalam wadah perebus. Perbandingan antara garam dan ikan berkisar 30 – 50%. Perebusan dilakukan selama 3 – 5 jam. Produk pindang ini dapat tahan berminggu-minggu tergantung kadar garamnya. Pemindangan basah dilakukan dengan merebus ikan dalam larutan garam mendidih selama waktu tertentu (kurang lebih 10 – 30 menit tergantung dari jenis dan ukuran ikan). Produk pindang lebih disukai masyarakat daripada ikan asin kering, karena rasanya tidak terlalu asin. Jenis-jenis ikan yang dipindang sangat bervariasi, dari lemuru sampai tongkol, bahkan daging cucut (Poernomo, et al., 1988).
20
Pengasapan. Pengasapan adalah suatu proses pengawetan yang merupakan kombinasi dari pengeringan dan deposisi senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses dekomposisi thermal kayu (Motohiro, 1992). Suhu pengasapan bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung preferensi konsumen dan tipe tungku pengasapan yang tersedia. Produk hasil pengasapan biasanya memiliki rasa dan flavor yang disukai, serta menunjukkan daya simpan yang baik (Takunaga, 1992). Daya simpan yang lama lebih disebabkan oleh pengeringan dan pemasakan, daripada nilai pengawetan akibat senyawa-senyawa kimia dari asap yang terdeposit pada permukaan ikan (Clucas and Ward, 1996). Jenis proses pengasapan yang selama ini dikenal adalah pengasapan panas dan pengasapan dingin. Pada pengasapan panas, bara api kayu atau penghasil asap lainnya diletakkan langsung di bawah ikan yang disusun di rak-rak kayu atau digantung. Dengan cara ini, suhu asap pada saat mencapai ikan berkisar antara 65 – 80 °C. Pada pengasapan dingin, ruang pembuat asap terpisah dari ruang pengasap tempat ikan diletakkan, dan asap dialirkan melalui terowongan atau sejenisnya ke dalam ruang pengasap dari bawah. Dengan demikian, suhu asap tidak terlalu panas saat mencapai ikan (30 – 40 °C).
Secara tradisional, pengasapan ikan di Indonesia banyak dikerjakan
dengan pengasapan panas dan dilakukan pada barak-barak terbuka, sehingga banyak panas/asap yang hilang. Sebagai sumber asap, selain kayu, sering pula digunakan tempurung kelapa, sabut kelapa atau serbuk gergaji. Jenis-jenis ikan yang banyak di asap antara lain cakalang, tuna, belanak, tenggiri dan kakap (Poernomo, et al., 1988). Di Kepulauan Maluku dan sekitarnya dan di Sumatera Utara dikenal produk sejenis ikan asap yang disebut ikan kayu. Produk ini sangat keras, sehingga sebelum dimasak harus diserut terlebih dahulu. Ikan yang sering digunakan sebagai bahan mentah pembuatan ikan kayu adalah cakalang dan sejenisnya. Di Jepang, produk semacam ini disebut katsuobushi, yaitu ikan kayu hasil pengasapan yang diproses lanjut dengan proses penjamuran untuk mendapatkan citarasa yang lebih spesifik.
21
Fermentasi. Produk fermentasi yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat adalah terasi, peda dan kecap ikan. Proses pengolahannya hampir sama di tiap daerah dengan sedikit variasi metode dan bahan. Terasi umumnya dibuat dari udang kecil (rebon).
Proses
pengolahannya melibatkan pencampuran bahan ikan atau udang lumat kering dengan garam dan sumber karbohidrat.
Fermentasi berlangsung selama
kurang lebih 1 – 4 minggu (Poernomo, et al., 1988). Peda merupakan produk fermentasi yang khas dengan proses hampir sama dengan pembuatan ikan asin kering.
Perbedaannya adalah setelah
penggaraman kering selesai (1-2 hari), ikan dicuci untuk menghilangkan sisa kristal garam yang melekat di permukaan ikan, kemudian disimpan pada suhu kamar untuk memberi kesempatan terjadinya fermentasi. Proses fermentasi berjalan selama beberapa minggu dan dianggap selesai bila dagingnya berubah menjadi lembut dan berwarna merah kecoklatan. Jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan pembuat peda adalah ikan kembung. Pengolahan kecap ikan dimulai dengan pencampuran ikan dengan garam selapis demi selapis.
Sesudah 4 – 6 bulan, cairan garam yang
bercampur dengan ekstrak ikan dikeluarkan melalui lubang dari bagian bawah wadah penggaraman, serta selanjutnya cairan disaring dan disterilisasi. 4. Pembekuan Untuk mempertahankan kesegaran, ikan harus segera dibekukan. Jika pembekuan tidak dapat dilaksanakan dengan cepat atau bila ada penundaan, ikan harus disimpan dingin.
Proses pembekuan produk perikanan mulai
diterapkan di Indonesia sejak akhir tahun enam puluhan. Produk yang mulamula dibekukan adalah udang-udangan.
Namun saat ini, produk yang
dibekukan telah beragam, antara lain ikan tuna, cakalang, kakap dan lain-lain. Pada proses pembekuan, air yang ada pada ikan berubah bentuk menjadi kristal-kristal es yang membuat proses enzimatis dan mikrobiologis tidak dapat berlangsung. Ukuran kristal yang terbentuk tergantung cara pembekuan yang dilakukan, yaitu cara pembekuan lambat atau cepat (Suparno dan Irianto,
22
1995). Alat pembeku yang banyak diguna- kan di Indonesia adalah tipe pembeku pelat kontak (Contact plate freezer) dan tipe pembeku dengan udara dingin (Air blast freezer) (Poernomo, et al., 1988). Permintaan produk perikanan beku di dunia saat ini semakin meningkat. Realisasi ekspor produk perikanan beku dari Indonesia cukup tinggi. Namun demikian, sampai saat ini masih banyak produk perikanan beku Indonesia yang ditolak, ditahan atau diklaim oleh negara pengimpor, sehubungan
dengan
belum
terpenuhinya
persyaratan
produk
seperti
tercemarnya produk dengan bakteri Salmonella, logam berat dan lain-lain. 5. Pengalengan Pengawetan dengan proses pengalengan dapat mempertahankan cita rasa asli dari produk, yang menjadi salah satu keuntungan utama proses pengolahan dibandingkan metode seperti pengeringan, penggaraman dan pembekuan.
Keuntungan lain adalah produk kaleng lebih mudah
ditransportasikan dan disimpan dalam jangka waktu lama (Osada, 1992). Sebagaimana
halnya
pembekuan,
proses
pengalengan
produk
perikanan juga baru mulai diterapkan di Indonesia sejak akhir tahun enam puluhan. Namun, produk pengalengan ini lebih bervariasi, baik dari segi bahan mentahnya maupun pengolahannya. Ikan yang sering dikalengkan di Indonesia, antara lain jenis-jenis ikan pelagis kecil dan besar, udang-udangan, binatang lunak dan kerang-kerangan (Poernomo, et al., 1988). Dalam proses pengalengan, dilakukan pemotongan ikan untuk jenis ikan besar seperti tuna, tongkol, cakalang dan kembung. Untuk lemuru, tergantung jenis dan ukuran nya, biasanya hanya dipotong kepala dan ekornya saja. Bahan-bahan pengisi (medium) yang digunakan adalah air garam, minyak nabati atau saus tomat. 6. Surimi Surimi atau daging ikan lumat merupakan produk olahan setengah jadi yang untuk mengkonsumsinya memerlukan perlakuan atau pengolahan lebih
23
lanjut. Pada umumnya daging ikan lumat diolah dari ikan-ikan yang tidak atau kurang mempunyai nilai ekonomis atau dari ikan yang manfaatnya belum optimal. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meski begitu, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang akan memberikan hasil lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi, antara lain ikan cunang/mremang, tenggiri, kakap, tiga waja, beloso dan cucut. Proses pembuatan surimi ada 6 tahap, yaitu tahap pemisahan daging – tulang, pencucian atau pemutihan (dengan air dingin), penggilingan atau pelumatan, penambahan krioprotektan, pencampuran dan penyimpanan beku. Krioprotektan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan beku, bahan tersebut biasanya berupa campuran sukrosa, sorbitol dan polifosfat.
Untuk pengolahan surimi,
peralatan yang diperlukan dapat sederhana atau dengan mesin modern tergantung skala dan bentuk usahanya. Peralatan bermesin yang digunakan, diantaranya alat pemisah daging (meat separator), sentrifuse, dan pengaduk adonan (stone grinder). Dalam pengolahan skala kecil maupun besar, alat yang harus dimiliki adalah freezer. Dengan menggunakan bahan dasar surimi, dapat dibuat berbagai jenis produk olahan yang disebut surimi based product.
Beberapa keuntungan
penggunaan surimi adalah (1) dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk makanan seperti bakso, sosis, burger, kamaboko, dan artificial crab meat; (2) tidak berbau, bebas tulang dan duri, sehingga produk olahannya lebih mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia; (3) suplai dan harganya relatif stabil, karena surimi dapat disimpan lama dan ini memudahkan perencanaan produksi olahannya; (4) biaya penyimpanan, distribusi dan transportasi lebih murah, karena surimi merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja. Untuk industri lanjutannya masih mempunyai keuntungan dari segi penghematan waktu dan tenaga kerja, karena penanganannya lebih mudah dan limbah yang dihasilkan lebih minimal (Lanier and Lee, 1992).
24
7. Reduksi Dalam kelompok pengolahan reduksi tercakup pembuatan tepung ikan dan ekstraksi minyak ikan. Meskipun permintaan tepung ikan di dalam negeri cukup banyak, namun pabrik-pabrik tepung ikan dalam negeri saat ini belum mampu memenuhinya, akibat rendahnya mutu dan kalah bersaing dalam harga dengan produk impor (umumnya dari Thailand), selain karena persediaan bahan mentah tidak mencukupi atau karena bersaing dengan konsumsi manusia. Bahan baku pembuatan tepung ikan biasanya berasal dari sisa-sisa olahan, ikan bermutu rendah atau tidak ekonomis, serta hasil samping (by catch).
Selain memperoleh bahan baku dari pabrik pengalengan ikan,
penepung biasanya juga memperoleh pasokan dari para pengolah kecil berupa gaplek ikan, yaitu ikan yang bermutu rendah atau tidak bernilai ekonomis tinggi yang telah direbus dan dikeringkan. Proses pembuatan tepung ikan secara basah melibatkan perebusan, pengepresan, pencincangan, pengeringan dan penepungan. Pada proses pembuatan secara kering dilakukan pencincangan, pengepresan, pengeringan dan penepungan (Poernomo, et al., 1988). Ektraksi minyak ikan yang dihasilkan di Indonesia umumnya berasal dari hasil samping pengalengan, penepungan atau hati cucut. Minyak hati cucut sebenarnya mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dan telah banyak diproduksi secara tradisional oleh para nelayan/pengolah kecil. Namun demikian, masih dijumpai beberapa kesulitan, diantaranya mutu bahan baku, proses ekstraksi dan pemurnian yang baik, serta informasi pasar. 8. Lain-lain Dalam kelompok ini digolongkan beberapa jenis pengolahan yang spesifik seperti petis, kerupuk dan dendeng. Bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah udang atau ikan dan bahan lain, termasuk tapioka sebagai sumber karbohidrat. Ikan yang sering digunakan adalah tenggiri, kakap dan gabus, khususnya bagian ikan yang berdaging putih.
25
Untuk pembuatan petis biasanya digunakan sari (ekstrak) udang dari sisa-sisa pembuatan ebi atau sari ikan dari pembuatan pindang. Bumbu yang digunakan adalah gula, garam, dan bahan pengisi seperti tepung beras atau air tajin untuk menambah volume dan memperbaiki konsistensi. Pada pembuatan dendeng ikan, bumbu yang digunakan hampir sama dengan pembuatan dendeng daging. Perbedaannya adalah dalam pembuatan dendeng ikan, bumbu dibalurkan bahkan ditempelkan pada ikan dan ikut dijemur. Ikan yang sering digunakan sebagai bahan dendeng adalah tembang (Poernomo, et al., 1988). D. Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai lingkungan sosial,
yang disertai dengan
meningkatnya taraf hidupnya. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan industri perikanan tidak dapat dilepaskan dari pengembangan bisnis perikanan secara holistik, yaitu pemberdayaan industri pengolahan ikan tidak cukup jika hanya dilakukan dengan pembenahan salah satu subsistem saja, melainkan harus menyehatkan pula keseluruhan jaringan kelembagaan bisnis perikanan (Pranaji, 2000). Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya
adalah
(1)
pengembangan
prasarana
perikanan,
(2)
pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan,
(4)
pengembangan sistem informasi manajemen perikanan. Dalam pembangunan di sektor pertanian dalam skala industri, Hubeis (2003) mengungkapkan perlunya memperhatikan pengembangan kultur bisnis di semua tingkat pelakunya dan penguasaan informasi (teknologi dan pasar), keterkaitan antar aspek seperti ekonomi (skala usaha dan fokus komoditi),
26
teknologi (proses dan peralatan), geografis (iklim dan optimasi perwilayahan), pemasaran (orientasi konsumen dalam dan luar negeri) dan skema pendanaan yang memadai.
Sebagai kegiatan produktif, agroindustri harus mampu
mengakomodasi tujuan pembangunan nasional, yang dicirikan dari penyerapan tenaga kerja di berbagai tingkat pendidikan, menyumbang penerimaan pajak negara, memiliki potensi pasar yang tinggi di dalam dan luar negeri, menyerap bahan baku lokal dan memberikan aneka ragam produk, serta memberikan pendapatan yang layak bagi produsen. Nasution (2002) mengungkapkan bahwa keragaman kondisi tiap daerah dalam hal sosio-kultural tiap masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim serta heterogenitas ketersediaan sumber daya alam menyebabkan pengembangan pertanian dan agroindustri tidak dapat dilakukan secara terpusat.
Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap daerah
seharusnya mengembangkan komoditas pertanian sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Untuk penentuan komoditas/produk unggulan daerah diperlukan kriteria pemilihan, sebagaimana diungkapkan oleh Lukmana (1994), kriteria pemilihan jenis produk agroindustri prioritas adalah (a) menunjukkan kecenderungan yang meningkat di pasaran ekspor; (b) merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat luas yang harus dipenuhi; (c) mampu bersaing di tingkat pasar domestik, regional maupun global; (d) mempunyai dampak yang luas terhadap sektor ekonomi lainnya; (e) mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kebutuhan di dalam negeri sebagian besar dari impor; (f) memberikan nilai tambah yang tinggi terhadap hasil pertanian/perikanan; (g) meningkatkan gizi masyarakat luas; dan (h) mempunyai efek ganda terhadap peningkatan perekonomian rakyat. Sedangkan BAPPEDA Prop. Jawa Tengah (2000) dalam menentukan produk unggulan daerah dilakukan berdasarkan kriteria berikut (a) produk unggulan tersebut menggunakan sumber daya yang tersedia di kawasan tersebut, baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya fisik; (b) produk unggulan tersebut mempunyai nilai tambah yang tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan baik bagi investor mupun masyarakat sekitarnya; (c) produk unggulan tersebut mempunyai jaminan kelangsungan pemasaran, baik di
27
pasaran domestik maupun ekspor; (d) produk unggulan tersebut mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap produk-produk lain yang ada di wilayah kawasan dan wilayah sekitarnya; (e) produk unggulan tersebut memperhatikan kelestarian lingkungan hidup; dan (f) produk unggulan tersebut dikembangkan dengan memperhatikan upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai pemilik potensi dan sumber daya. E. Teori Sistem Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entitas atau komponen yang saling berhubungan dan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan (Manetsch and Park, 1979; Wetherbe, 1988). Sedangkan menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Falsafah
kesisteman
diperlukan
untuk
menyelesaikan
berbagai
permasalahan yang semakin kompleks sehingga diperoleh solusi yang komprehensif.
Pada tahun 1968, Bertalanffy memperkenalkan pemikirannya
tentang General System Theory (GST) yang mendefinisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan.
Paradigma GST
menekankan perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Dari sudut pandang inilah berkembang metode sintesis dan teknik sistem yang bersifat holistik (Pressman, 1992). Dalam pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach).
Dalam pendekatan sistem
umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno, 1999).
28
Dalam logika sistem (sistemologi) terdapat rangkaian proses transformasi yang mengolah masukan menjadi luaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sub-sistem adalah suatu elemen atau komponen fungsional suatu sistem yang berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tinggi, sedangkan elemen adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing subsistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar subsistem (disebut juga interface) terjadi karena luaran dari suatu sub-sistem dapat menjadi salah satu masukan bagi sub-sistem yang lain. Jika interface antar subsistem terganggu akan menyebabkan proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu pula, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bias dari tujuan yang ingin dicapai (Wetherbe, 1988). Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem, maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik : (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi permasalahan, yaitu (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan. F. Sistem Penunjang Keputusan Pada akhir abad ke-20, telah dikembangkan usaha manajerial untuk memisahkan informasi dari keinginan dan harapan institusional dan personal. Usaha ini didukung oleh falsafah bahwa dasar pengambilan keputusan adalah transformasi informasi menjadi usulan alternatif-alternatif.
Apabila informasi
dikembangkan secara teratur dan sistematik maka akan meningkatkan efektivitas proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan semakin efektif
29
digunakan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer untuk pengolahan data elektronik. Pendekatan proses tersebut telah melahirkan sistem berbasis komputer, antara lain : Electronic Data Processing (EDP) dan Management Information System (MIS).
Perkembangan tersebut kemudian
mendorong lahirnya Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support System (DSS) dan Expert System (ES). EDP adalah sistem yang digunakan untuk tingkat operasional yang memfokuskan pada penanganan data.
MIS adalah sistem yang dapat
menghasilkan informasi untuk digunakan oleh manajemen tingkat menengah untuk melaksanakan fungsi pengendalian. menghasilkan alternatif keputusan
DSS merupakan sistem yang
bagi manajemen tingkat atas untuk
melaksanakan fungsi perencanaan, dan ES adalah sistem yang memberikan satu keputusan untuk masalah yang sangat spesifik bagi manajemen tingat atas (Leigh and Doherty, 1986). Menurut Turban (1993), DSS merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer (Computer Based Information System) yang interaktif, fleksibel dan mudah diadaptasikan dengan menggunakan basis data dan basis model, serta persepsi pengguna dalam pengambilan keputusan. Minch dan Burns yang dikutip oleh Eriyatno (1999) menyatakan bahwa terminologi DSS adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik DSS adalah : 1. interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan 2. adanya dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda, 3. suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen dan kecerdasan buatan, 4. mempunyai kemampuan adaptif teradap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci dari elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. DSS dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada peningkatan efektivitas (akurasi, mutu dan kecepatan) pengambilan keputusan daripada efisiensinya
30
(Eriyatno, 1999).
Landasan utama dalam pengembangan DSS untuk model
manajemen adalah konsepsi model.
Konsepsi model ini diperlukan untuk
menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model dan (3) data (Gambar 1).
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna
Gambar 1. Struktur dasar Sistem Penunjang Keputusan (Eriyatno, 1999) Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem Manajemen Dialog merupakan program yang mengelola tampilan layar yang menerima masukan dari pengguna dan mengirim luaran ke pengguna atau semacam user interface. Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai penyimpanan dan pengolahan informasi dan data.
Sistem Manajemen Basis
Model merupakan paket program yang berisi perhitungan finansial statistik, model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang memiliki kemampuan analitik (Turban 1993; Eriyatno, 1999). Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh.
Sistem ini menerima masukan dari ketiga
31
subsistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan luaran ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku.
Fungsi utamanya adalah sebagai
penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antar subsistem (Eriyatno, 1999).
Menurut Keen and Morton (1978), kelayakan penerapan DSS dalam
suatu manajemen harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu adanya basis data, adanya keterbatasan waktu, adanya manipulasi dan komputasi, serta pentingnya pengembangan alternatif dan memilih solusi berdasarkan akal sehat. ES memiliki komponen inferensia yang berbeda dengan DSS, karena adanya perbedaan luaran yang dihasilkan. DSS menghasilkan keputusan yang masih perlu mendapatkan pertimbangan keahlian dari pengguna, sedangkan ES bertujuan untuk membuat keputusan tanpa adanya pertimbangan keahlian dari pengguna (Wetherbe, 1988).
Kemampuan lebih dari ES disebabkan adanya
komponen knowledge base yang dimasukkan ke dalam sistem berupa fakta dan aturan-aturan yang diperoleh dari ahli, dan program inference engine yang berfungsi untuk memformulasikan kesimpulan. G. Analisis Klaster Analisis klaster atau Cluster Analysis adalah sebuah teknik pengelompokan, klasifikasi, pengkategorian obyek-obyek yang diukur melalui tingkat kedekatan (kemiripan) karakteristik atribut-atributnya atau berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan.
Analisis klaster menghasilkan kelompok-kelompok kecil yang
anggotanya terdiri dari obyek-obyek itu sendiri dan secara terstruktur membentuk sebuah kelompok besar. Kaufman and Rousseeuw (1990) menyatakan, analisis klaster merupakan bagian nilai artistik dari sebuah metodologi pencarian grup dalam serangkaian analisis data. Sementara itu Anderberg (1973) menyatakan, tujuan operasional dari analisis klaster adalah menelusuri struktur kategori obyek dalam sebuah observasi atau mengurutkan obyek-obyek penelitian menjadi grupgrup dengan karakteristik yang sama. Analisis klaster sangat penting artinya dalam hampir semua jenis kegiatan manusia dan penggunaannya sudah diterapkan sejak awal berkembangnya sains. Seperti yang dikemukakan Kaufman and Rousseeuw (1990), pada abad ke 8
32
Linnaeus dan Sauvages menghasilkan teori yang sangat penting artinya bagi ilmu pengetahuan - klasifikasi makhluk hidup berdasarkan kemiripan karakteristiknya – merupakan implementasi dari metodologi klaster. Dewasa ini analisis klaster banyak digunakan untuk mengidentifikasi segmen pasar, pengelompokkan kawasan, klasifikasi penyakit, pengelompokkan elemen dan senyawa, dan sebagainya. Sebagian besar penelaahan analisis statistik (termasuk di dalamnya analisis klaster) didasarkan kepada asumsi bahwa peubah-peubah yang terlibat harus memiliki satuan unit yang sama dan biasanya bersifat kontinyu (real). Tetapi pada kenyataannya sifat-sifat masing-masing peubah tersebut sering kali tidak dapat memenuhi persyaratan ini, karena itu diperlukan prosedur matematik tambahan sebagai langkah penyetaraan atau standardisasi seperti konversi skala (indexing), transformasi-z, dan sejenisnya (Anderberg, 1973). V1 V2 V3 … Vn O1 x11 x 12 x13 … x1n O2 x21 x 22 x23 … x2n O3 x31 x 32 x33 … x3n … … … … … … Om x m1 xm2 x m3 … x mn
V1 V2 V3 … Vn O1 z11 z 12 z13 … z1n
zik =
xik − xk θk
O2 z21 z 22 z23 … z2n O3 z31 z 32 z33 … z3n … … … … … … Om z m1 zm2 z m3 … z mn
Gambar 2. Ilustrasi transformasi-z (Kaufman and Rousseeuw, 1990) Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penyelesaian analisis klaster adalah prosedur agregasi kriteria. Langkah ini ditujukan untuk mencari bentuk hubungan posisi relatif antar obyek yang dikatakan Anderberg (1973) sebagai jarak euclideus (euclidean distance).
Andaikan diketahui sebuah matriks
pendapat Xik yang mendeskripsikan penilaian pakar terhadap obyek ke-i pada kriteria ke-k, ditransformasi kedalam bentuk jarak euclideus (dij) dapat dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut : 2 d ij = ∑ xik − x jk k =1 m
1 2
33
Transformasi matriks pendapat menjadi bentuk jarak euclideus dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut : V1 V2
V3 …
O1 O2 O3 … Om
Vn
O1 x 11 x 12 x 13 … x 1n O2 x 21 x 22 x 23 … x 2n O3 x 31 x 32 x 33 … x 3n … … … … … … Om x m1 x m2 x m3 … x mn
O1 d11 d12 d13 … d1m Euclidean Transform
O2 d21 d22 d23 … d2m O3 d31 d32 d33 … d3m … … … … … … Om dm1 dm2 dm3 … dmm
Gambar 3. Pembentukan jarak euclideus (Kaufman and Rousseeuw, 1990)
Menurut Kaufman and Rousseeuw (1990), terkadang pada kasus-kasus tertentu setiap kriteria harus melibatkan bobot yang menerangkan tingkat kepentingan kriteria yang bersangkutan. Nilai-nilai bobot ini tentu saja akan mempengaruhi hasil perhitungan, tetapi sebetulnya akan menghasilkan nilai akhir yang ekuivalen karena penambahan elemen bobot pada masing-masing kriteria hanya memberikan efek penskalaan. Walaupun demikian, faktor bobot kriteria tetap harus dilibatkan apabila nilai hasil perhitungan dianggap cukup penting dalam analisis. Aturan Minkowski yang melibatkan bobot kriteria diformulasikan sebagai berikut :
d ij = wk ∑ xik − x jk k =1 m
2
1 2
Langkah berikutnya adalah proses aglomerasi matriks euclideus, yaitu proses penggabungan obyek berdasarkan tingkat kedekatan (kemiripan) nilai-nilai matriks yang bersangkutan. Proses aglomerasi pada prinsipnya merupakan proses penghapusan secara iteratif terhadap baris dan kolom pada matriks euclideus, baris dan kolom yang dihapus merupakan baris dan kolom yang dikatakan satu grup. Secara rinci, langkah-langkah proses aglomerasi menurut Anderberg (1973) adalah sebagai berikut : 1. Tandai semua objek (baris dan kolom) pada matriks euclideus (dij) yang nilainya paling kecil
34
2. Kemudian dibuat baris dan kolom baru yang isinya merupakan hasil operasi perbandingan minimum antara baris dan kolom yang bersangkutan. Baris dan kolom yang disisipkan tersebut dikatakan satu grup pada iterasi ke-i. 3. Baris dan kolom yang ditandai pada langkah pertama kemudian dihapus sehingga diperoleh matriks euclideus baru. 4. Lakukan langkah 1 - 3 secara berulang pada matriks euclideus yang baru tersebut, sehingga diperoleh matriks berukuran 1 x 1. Prosedur aglomerasi ini menghasilkan grup-grup yang secara hirarkis membuat sekat-sekat tingkat kedekatan mulai dari yang paling dekat sampai yang paling jauh.
Keluaran prosedur aglomerasi ini biasanya digambarkan dalam bentuk
diagram pohon seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. 1
C1
2 Cabang
3
Akar C2
C3
4 5
Gambar 4. Profil hirarkis grup-grup hasil analisis klaster (Anderberg, 1973) H. Evaluasi Pilihan Bebas Pengembangan
sistem
pengambilan
keputusan
didasarkan
pada
pengembangan hubungan logis persoalan keputusan kedalam suatu model matematik dan model informasi yang mencerminkan hubungan antar faktor yang terlibat. Pemodelan dan analisis pada dunia nyata harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang bersifat inheren. Pada banyak kasus ketidakpastian tidak sama dengan keacakan (randomness), tetapi bersifat fuzziness yang tidak dapat direpresentasikan secara matematis dalam teori peluang. Tidak semua masalah dalam dunia nyata dapat dinyatakan secara eksak dengan derajat kebenaran pada selang [0.1], yaitu antara” ya dan tidak. Hampir
35
semua masalah mengandung ketidakpastian yang dinyatakan dengan kata–kata “mendekati”, “kira–kira”, “hampir”, “sedikit lebih besar dari”, “sedikit lebih kecil dari” yang kenyataannya sulit dikuantifikasi dalam besaran eksak, sehingga dinamakan “fuzzy”.
Representasi himpunan fuzzy pada masalah antara ya dan
tidak digunakan pendekatan seperti probabilitas. Di dalam proses pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut memerlukan evaluasi semua alternatif berdasarkan kriteria yang dinilai oleh para pakar dengan menggunakan metoda evaluasi pilihan bebas (Independent Preference Evaluation atau IPE) dengan kaidah fuzzy. Metoda tersebut, dirancang berdasarkan kriteria ganda dan dinilai dalam bentuk label linguistic. Teknik evaluasi pilihan bebas mengevaluasi kesukaan atau pilihan yang dilakukan dengan metoda perhitungan non-numerik.
Label linguistik
dipresentasikan dalam 5 skala, yaitu (1) Sangat Rendah (SR); (2) Rendah (R); (3) Sedang (S); (4) Tinggi (T); (5) Sangat Tinggi (ST). Untuk mengidentifikasi faktor/kriteria digunakan metoda Ordered Weighted Averaging (OWA-Operators). Jika x adalah suatu keputusan yang terdiri atas beberapa alternatif A1, A2,…,An; dan n – kriteria. Setiap kriteria Aj, Aj (x) ∈ (0,1) menunjukkan seberapa besar x memenuhi kriteria yang bersangkutan. Untuk menunjukkan suatu kisaran nilai, maka Aj (x) ∈ I . Fungsi keputusan menyeluruh dari derajat x yang memenuhi persyaratan kriteria diinginkan dinyatakan D (x) ∈ I . Salah satu faktor utama penentuan struktur fungsi agregasi adalah keterkaitan antar kriteria yang terlibat. Ada dua kasus ekstrim yaitu (1) situasi yang diinginkan oleh semua kriteria dapat dipenuhi, maka disebut sebagai “and”operator dan (2) situasi yang diinginkan salah satu kriteria dapat memuaskan semua pihak yang disebut “or”-operator (Yager 1988). Pada kasus (1), x harus memenuhi A1 dan A2 dan A3…dan An , yang diformulasikan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh sebagai berikut. D(x) = T(A1 (x), A2 (x),…,An (xn)), dan T adalah operator t-norms operator, yang memenuhi syarat commutative, monotonic, dan associative yang dibutuhkan sebagai operator agregasi. Yager (1988) menunjukkan salah satu implikasi dari sifat operator t-norm untuk semua aj (j=1,2,.,n) dinyatakan
36
T (a1, a2, …, a n ) ≤ Min (a1, a2, …, a n ) untuk semua a ∈ I T(a,a) = a, menunjukkan sifat idempoten, dan T(1,a) = a, menunjukkan kondisi “allness” Pada kasus (2), x
memenuhi A1 atau A2 atau A3…atau An. yang
dirumuskan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh berikut : D(x) = S(A1 (x), A2 (x),…,An (xn)) Keterangan : S adalah operator co-t-norms operator, yang memenuhi syarat sebagai operator agregasi, kecuali bahwa untuk semua aj (j= 1,2,…,n) dinyatakan : S (a1, a2, …, an ) ≤ Max (a1, a2, …, an ), sehingga untuk semua a ∈ I .S(a,a) = a yang menunjukkan sifat idempoten dan S (0,a) = a, yang menunjukkan kondisi “at least one”. Pada persoalan Multi Expert Multi Criteria Decision Making (ME MCDM), proses agregasi berada pada posisi di antara kasus (2) dua ekstrim tersebut. OWA – operator merupakan operator agregasi yang dengan mudah dapat melakukan penyesuaian atau menggabungkan diantara “and” -operator dan “or” - operator. Untuk melakukan evaluasi preferensi Non-Numerik secara bebas Yager (1993) merumuskan suatu metode komputasi non-numerik untuk proses pengambilan keputusan kelompok secara fuzzy. Metode komputasi dilakukan secara bertahap yaitu (1) agregasi terhadap kriteria ganda, kemudian (2) agregasi terhadap semua pakar. Agregasi Terhadap Kriteria Ganda.
Untuk melakukan agregasi terhadap
kriteria ganda setiap proposal Pi , setiap pakar akan memberikan suatu himpunan yang terdiri dari n nilai, yaitu
[Pik (q1 ), Pik (q2 ),..., Pik (q n )] Keterangan : Pik (q j ) adalah rating dari proporsal ke-i pada kriteria ke- j oleh pakar Pik ( q j ) adalah elemen dalam himpunan S.dan tingkat ke- k. kepentingan setiap kriteria dinyatakan sebagai (q j ), dengan skala penilaian label linguistic.
37
Yager (1993) merumuskan formula agregasi kriteria, sehingga didapatkan unit skor setiap proposal oleh setiap pakar, sebagai berikut : Pik = Min j [ Neg (I (q j )) ∨ Pik (q j )
]
Agregasi Terhadap Semua Pakar. Pada proses agregasi semua pakar dilakukan penentuan suatu fungsi agregasi Q, yang menunjukkan generalisasi ide banyak pakar yang dibutuhkan untuk mendukung suatu keputusan. Untuk nilai Q(i) diambil dari skala S = {s1, s2, …,s n}, dimana i merupakan nilai dari 1 s/d m. Yager (1993) menunjukkan bentuk khusus dari Q apabila skala S hanya dua yaitu : “tidak ada’ dan “sempurna”. Jika diperlukan pa ling sedikit persetujuan m pakar untuk pengambilan keputusan , maka Q(i) =”tidak ada” untuk i < m, dan Q(i) =”sempurna ” untuk i ≥ m . Jumlah titik penilaian q pada skala kardinal S dan jumlah pakar r adalah (r=1,2,…k), maka untuk semua i = 0,1,2,…,r fungsi Q dapat digunakan rumus : q − 1 Q (k) = Sb ( k) dan b(k ) = Int 1 + k ∗ r Agregasi keputusan pakar dapat dirumuskan berdasarkan metode OWAoperator.
[
Pi = Max j =1,..,r Q( j ) ∧ B j
]
Keterangan : Pi adalah agregasi pendapat gabungan pakar terhadap proposal ke-i. Qj dapat dilihat sebagai petunjuk seberapa penting kelompok memandang jumlah pakar yang mendukung suatu nilai skor yang diputuskan. Bj adalah skor tertinggi ke – j di antara unit skor yang diberikan pakar untuk proporsal ke-i (Pik). Q ( j ) ∧ B j merupakan pembobot skor terbaik dari objek ke-j, dan terdapat sejumlah j pakar yang mendukung keputusan skor tersebut.
[
]
38
I. Proses Hirarki Analitik Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini digunakan dalam memodelkan problemaproblema dan pendapat-pendapat, dimana permasalahan telah benar-benar dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty, 1980).
AHP yang disampaikan oleh Saaty (1980) sebagai
pengkajian terhadap kondisi nyata tanpa melalui proses penyederhanaan, tetapi mempertahankan model yang kompleks seperti semula. Untuk itu masalah nyata yang kompleks, dan tidak terstruktur perlu dilakukan penyusunan beberapa bagian komponen atau peubah pada struktur bangunan secara hirarki Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke bawah dari sutu puncak (tujuan akhir), turun ke suatu sub tujuan (sub objective), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi sub tujuan tersebut, serta pelaku (actors) yang memberikan dorongan, turun ke tujuan-tujuan pelaku aktor dan
kebijakan-kebijakannya, strategi-strateginya dan hasil dari
strategi tersebut selanjutnya timbul pertanyaan yang berkaitan dengan hirarki ini, bagaimana dan berapa besar suatu faktor individu dari tingkat yang lebih rendah pada hirarki itu mempengaruhi faktor puncak, yaitu tujuan utama, karena pengaruh ini tidak akan seragam bagi semua faktor dan untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap intensitasnya, atau sering disebut dengan menyusun prioritas (Fewidarto, 1996). Teknik analisis AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah yang bersifat strategis dengan prinsip kerja : decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Decomposition.
Decomposition merupakan pemecahan permasalahan
yang utuh menjadi beberapa bagian komponennya. Untuk mendapatkan hasil
39
kajian yang teliti diperlukan proses penyusunan komponen pada beberapa tingkatan / hirarki. Comparative Judgement. Comparative Judgement merupakan penilaian terhadap masalah berdasarkan kepentingan reklatif dua (2) komponen pada tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian tersebut, merupakan faktor penting dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas komponen. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matrix pairwise comparation. Synthesis of Priority.
Synthesis of Priority merupakan penentuan
peringkat bebrapa komponen berdasarkan
penilaian kepentingan relatif.
Penentuan peringkat dilakukan berdasarkan nilai eigen vector pada setiap matrix pairwise comparation untuk mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis terhadap local priority. Proses pengurutan berdasarkan kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Logical Consistency.
Logical Consistency merupakan proses untuk
menjamin semua komponen dikelompokkan secara logis dan dilakukan prioritas secara konsisten sesuai kriteria yang logis. AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana yang terjadi dalam kondisi nyata dalam usaha mencapai konsesus. Langkah yang dilakukan pada metoda AHP, yaitu : (1) Mengidentifikasi sasaran/cita-cita utama (ultimate goals) pada puncak hirarki sebagai (focus), (2) Menyusun kekuatan pendorong (forces), (3) Menentukan pelaku (actors), (4) Menetapkan beberapa tujuan (objectives) yang dimungkinkan dan
(5)
Menentukan prioritas pilihan dalam berbagai alternatif (Alterniatives ). Semua problema sistem tidak dapat dipecahkan melalui komponen yang terukur seperti keadaan ya dan tidak (1 dan 0), karena ada kondisi perbedaan kepentingan. AHP mencoba memecahkan masalah dengan cara membandingkan masukan secara berpasangan berdasarkan skala yang dapat membedakan setiap
40
pendapat serta mempunyai keteraturan dalam nilai skala komparasi Saaty : 1 sampai dengan 9 yang ditunjukkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty
Nilai 1 3. 5 7 9 2,4,6,8 1/ (1-9)
Keterangan
Sama pentingnya Sedikit lebih penting Jelas lebih penting Sangat jelas lebih penting Mutlak lebih penting Jika terjadi keraguan jawaban antara 2 nilai yang berdekatan kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9
Saaty (1993) telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai dengan 9 merupakan pengambilan keputusan individual yang baik dalam pendekatan sistem dengan pertimbangan ketelitian yang ditunjukkan pada nilai RMS (Root Means Square) dan MAD (Mean Absolute Deviation). Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi (nxn). Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigenvector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigenvalue.
Revisi
Pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi (CR) pendapat cukup tinggi, dan dianggap konsisten jika mempunyai nilai < 0,1. J. Permodelan Struktural Interpretatif Teknik Permodelan Struktural Interpretatif (Interpretative Structural Modelling atau ISM)
merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana
model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis dan kalimat. Teknik ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim, namun bisa juga dipakai oleh seorang peneliti (Eriyatno, 1999). Metodologi dan
41
teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-sistem.
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu
sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji. Menentukan tingkat jenjang mempunyai banyak pendekatan, diantaranya dengan pendekatan lima kriteria. Pertama, kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat.
Kedua,
frekuensi relatif dari oskilasi (guncangan) dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang di atas. Ketiga, konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas. Keempat, liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah. Kelima, hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat di bawahnya (Eriyatno, 1999). Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen sampai dipandang memadai. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.
Menurut Saxena yang
dikutip oleh Eriyatno (1999), program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu : (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi; (2) kebutuhan dari program; (3) kendala utama; (4) perubahan yang dimungkinkan; (5) tujuan dari program; (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas; dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya, untuk setiap elemen dari program yang dikaji dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen menggunakan masukan dari pakar. Setelah itu hubungan kontekstual antar sub-elemen yang mengandung suatu pengarahan
42
seperti “apakah tujuan A lebih penting daripada tujuan B ?”, dan ”apakah lembaga A lebih berperan daripada lembaga B?”.
Perbandingan berpasangan yang
menggambarkan ada atau tidak adanya keterkaitan antar sub-elemen didapat berdasarkan pendapat pakar. Jika pendapat pakar lebih dari satu dilakukan agregasi. Hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan disusun structural self interaction matrix (SSIM). Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X, dan O. V adalah eij =1 dan eji =0 A adalah eij =0 dan eji =1 X adalah eij =1 dan eji =1 O adalah eij =0 dan eji =0 Pengertiannya adalah simbol 1 menunjukkan terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 menunjukkan tidak ada ubungan kontekstual antar sub-elemen ke –i dan ke -j. Hasil penilaian structural self interaction matriks (SSIM) selanjutnya dibuat tabel reachability matiks (RM) melalui perubahan VAXO menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks tersebut dikoreksi lebih lanjut menjadi matriks tertutup yang memenuhi aturan transitivitas. Klasifikasi sub-elemen mengacu pada hasil olahan RM yang memenuhi aturan transitivitas. Hasil olahan dari nilai driver power (DP) dan nilai dependence (D) digunakan untuk menentukan klasifikasi sub-elemen yang dibedakan menjadi empat sektor, dibawah ini : Sektor 1 : Weak driver-weak dependent variables (AUTONOMOUS). Sub-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Jika nilai DP < 0,5 jumlah sub-elemen, dan nilai D < 0,5 jumlah sub-elemen, maka akan diklasifikasikan sektor 1. Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (DEPENDENT). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya adalah sub-elemen yang tidak bebas. Jika nilai DP < 0,5 jumlah sub-elemen, dan nilai D > 0,5 jumlah sub-elemen, maka akan diklasifikasikan sektor 2.
43
Sektor 3 : Strong driver-strongly dependent variables (LINKAGE). Sub-elemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, karena hubungan antar sub-elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap sub-elemen yang lain dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Jika nilai DP > 0,5 jumlah sub-elemen, dan nilai D > 0,5 jumlah sub-elemen, maka akan diklasifikasikan sektor 3. Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (INDEPENDENT). Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Jika nilai DP < 0,5 jumlah subelemen, dan nilai D < 0,5 jumlah sub-elemen, maka akan diklasifikasikan sektor 4. K. Analisis Kelayakan Finansial Kelayakan adalah penelitian yang dilakukan secara mendalam untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan bisnis meliputi aspek hukum, aspek pasar dan pemasaran, aspek finansial, aspek teknis/operasional, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial serta aspek dampak lingkungan.
Dalam penelitian ini kriteria kelayakan secara khusus
ditekankan pada aspek finansial. Analisis kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Dalam tahap ini akan dianalisis biaya dan manfaat kegiatan agroindustri perikanan laut untuk menghasilkan produk.
Kriteria finansial yang digunakan adalah Net Present
Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR),
44
dan Break Even Point (BEP). Untuk membandingkan berbagai skenario kriteriakriteria ini, digunakan sebagai indikator kinerja usaha agroindustri perikanan laut. 1. NPV Nilai bersih sekarang (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan nilai sekarang dari biaya, yang besarnya dapat dihitung dengan rumus berikut (Kadariah, et al,. 1978; Djamin, 1993) : n
NPV =
Σ
(Bt - Ct ) ------------- - Ko (1 + i )t
t=1
Keterangan: Bt = benefit bruto proyek pada tahun ke –t Ct = biaya bruto proyek pada tahun ke –t n = umur ekonomis proyek i = tingkat bunga modal (persen) t = periode/tahun Ko = investasi awal (Initial Investment) Apabila dalam perhitungan NPV diperoleh lebih besar dari nol atau positip, maka proyek yang bersangkutan diharapkan menghasilkan tingkat keuntungan, sehingga layak untuk diteruskan.
Jika nilai hasil bersih lebih
kecil dari nol atau negatif, maka proyek akan memberikan hasil yang lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan atau akan merugi (ditolak). 2. Nisbah Bersih Manfaat dan Biaya (Net B/C) Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total dari hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih. Net B/C dapat dihitung dengan rumus (Kadariah, et al., 1978; Djamin, 1993) sebagai berikut :
45
n
Bt
t=1
------------(1 + i )t
n
Ct
Σ
Net B/C = ----------------------------
Σ
------------- + Ko t=1 (1 + i )t Jika Net B/C > 1, proyek dinyatakan layak; Net B/C = 1, proyek mencapai titik impas; dan jika Net B/C < 1, proyek dinyatakan tidak layak untuk dilanjutkan. 3. IRR IRR dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang membuat NPV proyek sama dengan nol (Djamin, 1993). IRR dapat dihitung dengan rumus berikut : n
∑
t=0 n
∑
t=0
Bt (1 + i)
t
Bt − C t (1 + i) t
=
n
∑
t=0
C t (1 + i)
t
= 0
Keterangan : Bt = total penerimaan pada tahun ke-t Ct = total biaya pada tahun ke-t i = IRR(%) n = umur ekonomi proyek
Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR > i), maka suatu perencanaan proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan, dan sebaliknya jika IRR < i, maka proyek ditolak.
46
4. PBP PBP
adalah jumlah
mengembalikan
(menutup)
periode (tahun) ongkos
yang
investasi
awal
diperlukan untuk dengan
tingkat
pengembalian tertentu. Perhitungannya dilakukan berdasarkan aliran kas baik tahunan maupun yang merupakan nilai sisa. Untuk mendapatkan periode pengembalian pada suatu tingkat pengembalian tertentu digunakan model formula berikut :
PBP = t2 - _
NPV2 ( t2 - t1 ) NPV2 – NPV1
Keterangan : NPV1 = Nilai NPV komulatif negatif NPV2 = Nilai NPV komulatif positif t1 = tahun umur proyek yang memiliki NPV komulatif negatif t2 = tahun umur proyek yang memiliki NPV komulatif positif Apabila nilai PBP lebih besar daripada umur proyek, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan, dan sebaliknya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. L. Konsep Strategi Menurut Allison dan Kaye (2005), strategi didefinisikan sebagai prioritas atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi.
Strategi
merupakan pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi atau mencapai kondisi masa depan yang diinginkan (Tripomo dan Udan, 2005).
Rumusan strategi yang baik akan memberikan gambaran pola
tindakan utama dan pola keputusan yang dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Apabila strategi telah ditetapkan, selanjutnya disusun rencana (plan), seperangkat kebijakan (policies), tahapan-tahapan pencapaian, organisasi dan personalia yang mengisinya, anggaran dan program aksi. Tahapan perumusan strategi tidak lepas dari pengertian tentang manajemen strategik.
David (2001) menyatakan bahwa manajemen strategik
47
adalah seni dan ilmu untuk ‘formulasi-implementasi dan evaluasi’ keputusan keputusan yang bersifat lintas fungsional agar organisasi dapat mencapai tujuannya. Kerangka manajemen strategik menyeluruh digambarkan dalam tiga tahapan seperti pada Gambar 5, yang meliputi identifikasi lingkungan (internaleksternal), perumusan/formulasi strategi (visi, misi dan tujuan), implementasi strategi (program, budgent dan proyek), serta monitoring dan evaluasi .
Umpan balik
Mel aksanakan Audit Eksternal
Menetapkan T uj uan Jangka Panj ang
Mengembangkan Visi & Misi
Membuat, mengevaluasi dan memil ih strategi
Membuat kebij akan dan tuj uan tahunan
Pengalokasian sumber daya
Mengukur dan Mengeval u asi kinerj a
Mel aksanakan Audit Internal
Formul asi strategi
Implementasi strategi
Eval uasi strategi
Gambar 5. Kerangka manajemen strategik Formulasi
startegi
termasuk
mengembangkan
visi
dan
misi,
mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, mengembangkan strategi-strategi alternatif dan memilih strategi untuk pelaksanaan. Implementasi strategi memerlukan suatu perangkat untuk menetapkan tujuan tahunan, merencanakan kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumberdaya sehingga strategi yang diformulasikan dapat dilaksanakan; implentasi strategi termasuk mengembangkan budaya pendukung strategi, menciptakan struktur organisasi
yang
efektif,
mengarahkan
kembali
usaha-usaha
pemasaran,
menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatan sistem informasi dan menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja organisasi.
Evaluasi
48
strategi adalah tahap akhir pada manajemen strategi. Tiga aktivitas penting untuk mengevaluasi strategi adalah me-review faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar penerapan strategi, mengukur kinerja dan mengambil tindakan perbaikan.
Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan
jaminan untuk kesuksesan hari esok. Allison dan Kaye (2005) menyatakan perencanaan strategik setiap organisasi berbeda tergantung pada besar dan kompleksitas organisasi, lingkup maupun peubah-peubah yang digunakan. Namun demikian perencanaan strategik memiliki kesamaan sebagai upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan menyadari terbatasnya sumber daya yang dimiliki.
Proses perencanaan
strategik yang berhasil selalu memiliki pertanyaan dan jawaban berikut : (1) Dimana kita sekarang ?; (2) Dimana kita ingin berada di masa mendatang ?; (3) Bagaimana kta mengukur kemajuan ?; (4) Bagaimana kita mencapai sasaran dan tujuan ?; dan (5) Bagaimana kita menelusuri kemajuan (Gaspersz, 2004). M. Tinjauan Studi Terdahulu Yang Relevan Beberapa studi terdahulu telah banyak yang membahas permasalahan yang terkait dengan industri perikanan, diantaranya Alhadar (1998) memformulasikan strategi industri pengolahan hasil perikanan laut di Kabupaten Maluku Utara, melalui metode analisis Strengths, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT), dimana diketahui bahwa sarana prasarana dan potensi sumberdaya alam mendukung, tetapi belum ada teknologi pengolahan yang memadai serta terdapat keterbatasan modal untuk membangun industri pengolahan hasil perikanan laut untuk memperluas pasar. Adapun strategi yang direkomendasikan adalah diperlukan fokus pada kegiatan-kegiatan utama yang berpengaruh secara langsung pada proses perencanaan produksi. Sarinah (1999) melakukan kajian pengembangan industri pengolahan hasil perikanan laut di Sulawesi Tenggara dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk menentukan produk unggulan di wilayahnya dan
Analytical
Hierarchy Process (AHP) untuk menganalisis strategi pengembangan.
Hasil
penelitian tersebut merekomendasikan diperlukannya pengembangan sarana dan
49
prasarana untuk menunjang tujuan utama pengembangan industri pengolahan ikan, yaitu pengembangan teknologi agar diperoleh produk bermutu tinggi. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Amanto (1999) yang melakukan kajian perencanaan pengembangan agroindustri perikanan rakyat di daerah Maluku, dimana diketahui bahwa besarnya potensi bahan baku tidak didukung dengan ketersediaan sarana prasarana.
Kondisi tersebut kurang mendukung untuk menjadikan produk
perikanan menjadi produk unggulan bagi Provinsi Maluku. Amanto (1999) juga melakukan pengelompokan kecamatan dengan cluster analysis dimana kriteria yang digunakan meliputi (1) ketersediaan bahan baku, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) jumlah industri kecil pengolahan, (4) aksesibilitas, (5) jumlah lembaga keuangan, dan (6) ketersediaan tenaga listrik. Agustedi (2001) membuat model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi ekspor, dalam hal ini produk yang menjadi bahan kajian adalah teri asin. Pada penelitian ini dirancang perangkat lunak (Sistem Pengambilan Keputusan/SPK) dengan model AGROSILA. Dalam model tersebut terdiri dari sub model pengadaan bahan baku dan perencanaan produksi (DAKUSI), sub model teknologi (TEKNO), sub model pembiayaan, kelayakan dan resiko usaha (PKRESIKU), sub model nelayan (NELAYAN), sub model mutu (MUTU), sub model produktivitas (PRITAS) dan sub model perkiraan harga (HARGA). Kajian lain yang terkait dengan bidang perikanan diantaranya dilakukan oleh Ihsan (2000), yang merumuskan model pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, melalui penentuan unit-unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan berdasarkan penilaian analisis aspek biologis, teknis, ekonomis, dan sosial.
Lukito (1999) mengkaji peran teknologi
penangkapan ikan bagi KUD Mina di Jawa Tengah dalam memperoleh hasil usaha. Namun demikian, hasil penelitian di atas belum memberikan gambaran yang
menyeluruh
komprehensif.
untuk
suatu
pengembangan
agroindustri
yang
lebih
Hasil-hasil di atas memberikan gambaran tentang perlunya
penguasaan informasi mengenai jenis-jenis ikan yang potensial secara bisnis (Sarinah, 1999), pilihan teknologi yang tepat (Alhadar, 1998), lokasi yang tepat
50
untuk pengembangan produk (Amanto, 1999), strategi/kebijakan yang terkait dengan masalah pengembangan (Sarinah, 1999; Alhadar, 1998; Amanto, 1999), dan bentuk industri perikanan yang layak dikembangkan baik yang memiliki keunggulan kompetitif maupun bersifat strategis (Agustedi, 2001; Ihsan, 2000; Lukito, 1999).
Berdasarkan pencapaian hasil-hasil penelitian tersebut, pada
penelitian ini dilakukan suatu kajian yang mengakomodasi kepentingan makro, seperti perlunya pengelompokan wilayah, perumusan prioritas komoditas dan produk dalam suatu wilayah, strategi dan kelembagaan, serta kepentingan mikro (tingkat perusahaan) dalam bentuk analisis kelayakan usaha dalam sebuah model pengembangan yang integratif.
51
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Agrondustri perikanan laut merupakan salah satu jenis industri yang sangat potensial untuk dikembangkan, mengingat potensi sumber daya ikan dari perairan laut nasional sangat besar. Digunakannya istilah agroindustri perikanan laut untuk menunjukkan pentingnya penanganan sektor perikanan berbasis industri yang tetap terkait dengan dengan pengertian pertanian dalam arti luas, dimana agroindustri sebagai subsistem agribisnis yang berbasis komoditas atau sumber daya terbaharukan. Namun demikian terdapat sejumlah persoalan menghambat pengembangan agroindustri perikanan laut, baik aspek produksi bahan baku (industri penangkapan) maupun aspek pengolahan produk (agroindustri). Persoalan yang dihadapi
oleh industri penangkapan, diantaranya
penangkapan berlebihan (overfishing) khususnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Jawa dan Selat Makasar, jarak penangkapan (fishing ground) yang semakin jauh, kasus pencurian ikan (illegal fishing) kapal asing dan pendaratan ikan (fish landing) kapal Indonesia di negara lain. Persoalan terkait lainnya yang menyangkut produksi adalah dari sisi permodalan untuk pengembangan industri penangkapan, baik dari sisi investasi atau modal operasional melaut, teknologi penanganan ikan di atas kapal (seperti penerapan rantai dingin) yang belum diterapkan secara benar, serta sarana pendaratan ikan yang belum memadai. Permasalahan ini secara langsung akan mempengaruhi industri pengolahan, seperti volume, mutu dan harga bahan baku. Agroindustri perikanan laut yang berkembang di Indonesia, secara umum dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu agroindustri perikanan tradisional dan agroindustri perikanan modern. Ciri umum agroindustri perikanan tradisional adalah bersifat padat karya, penanganan komoditas perikanan menggunakan teknologi pasca panen sederhana, skala usaha kecil dan pasar yang menjadi target utama adalah pasar lokal. Kendala umum pengembangan jenis agroindustri ini adalah permodalan dan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat didalamnya. Agroindustri perikanan modern memiliki ciri umum padat modal,
52
penanganan komoditas perikanan menggunakan mesin-mesin berteknologi relatif tinggi, skala usaha menengah atau besar, serta pasar target adalah regional atau internasional. Kelompok agroindustri ini dalam pengembangannya juga memiliki kendala umum seperti kesinambungan bahan baku (jumlah dan mutu), permodalan, kebijakan pemerintah dan kondisi pasar global. Saat ini industri pengolahan perikanan laut mampu bertahan ditengah kondisi perekonomian nasional yang belum sepenuhnya pulih dikarenakan kandungan masukan lokal (local input) produksi tinggi. Namun, apabila berbagai persoalan yang dapat menghambat kinerja pengembangan agroindustri perikanan laut diatas tidak ditangani secara komprehensif pada akhirnya akan memperlemah daya saing produk yang dihasilkan.
Sebagai contoh, banyak pelaku usaha
agroindustri perikanan laut yang usahanya realistis dikembangkan (feasible), tetapi tidak dapat memanfaatkan kredit karena dianggap tidak layak mengakses perbankan (unbankable) akibat tidak adanya agunan dan persepsi bahwa industri perikanan beresiko tinggi. Ketidakmampuan memperoleh kredit dapat menyebabkan pelaku usaha tidak mampu mengembangkan usahanya sesuai dengan tuntutan pasar, seperti menyediakan produk dengan mutu tinggi, aman dan harga murah. Keadaan umum yang dikemukakan diatas dijadikan pintu masuk (entry point) dalam pengembangan sistem agroindustri perikanan laut, sehingga dapat dirumuskan prioritas strategi pengembangan dengan memanfaatkan peluang sebagai bangsa yang dikaruniai keunggulan potensi sumber daya bahari. Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut dimulai dengan melihat potensi sumber daya dari masing-masing wilayah. Kepemilikan potensi yang berbedabeda untuk tiap daerah mengakibatkan adanya ragam pengelolaan terhadap hasil perikanan laut tersebut. Daerah yang memiliki kemiripan potensi dan dalam wilayah yang berdekatan dapat dikelompokkan dalam suatu wilayah pengembangan, sehingga diantaranya dapat dilakukan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan potensi bahan baku, pemanfaatan sarana dan prasarana, penguatan nilai tawar terhadap investor dalam mengeksploitasi potensi wilayah, pemasaran produk yang dihasilkan, serta proses pembinaan untuk pengembangan agroindustri tersebut. Mengingat komoditas ikan dan perlakuan pengolahan produk perikanan beragam, maka diperlukan rumusan dalam penentuan produk unggulan sehingga
53
pengembangan dapat lebih fokus, tentunya tanpa mematikan potensi lainnya. Sebagai model, produk unggulan dari masing-masing wilayah dilakukan analisis terhadap kelayakan finansialnya. Prioritas strategi dan elemen kunci dalam pengembangan ditetapkan agar perumusan kebijakan untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut didasarkan pada realitas masa kini dan probabilitas di masa mendatang. Mengingat komponen atau faktor yang terkait dalam pengembangan agroindustri perikanan laut bersifat kompleks dan mempunyai karakteristik dinamis sesuai dengan perubahan waktu, maka digunakan pendekatan sistem dan diformulasikan dalam model sistem penunjang keputusan. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil dalam pengembangan agroindustri perikanan laut menjadi lebih terarah, terencana, operasional dan berkesinambungan. B. Metode Penelitian 1. Tahapan Penelitian Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pelaksanaan penelitian ini melalui tahapan (1) Identifikasi elemen sistem pengembangan agroindustri perikanan laut, (2) Permodelan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut, (3) Pengumpulan data, dan (4) Perancangan sistem penunjang keputusan berbasis komputer. Identifikasi elemen sistem pengembangan mendapatkan
elemen-elemen
penting
sistem
dimaksudkan untuk
yang
digunakan
untuk
perancangan model pengembangan agroindustri perikanan laut. Permodelan sistem digunakan untuk merumuskan hubungan antara masukan dan keluaran dan memprediksi hasil yang dimungkinkan.
Pengumpulan data digunakan
untuk melakukan verifikasi model, yaitu di Provinsi Jawa Tengah. Perancangan sistem pengambilan keputusan berbasis komputer dimaksudkan untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang rasional dalam pengembangan agroindustri perikanan laut secara cepat dan efektif.
54
2. Metode Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan penelitian, data dikumpulkan melalui studi pustaka dan survei lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder.
Data
sekunder diperoleh dari beberapa literatur dan instansi terkait, baik di daerah maupun di tingkat pusat. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara mendalam (in-depth interview) atau dengan bantuan kuesioner terhadap pihak terkait, seperti nelayan, pelaku usaha agroindustri, tenaga kerja industri, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Teknik pengambilan contoh (expert survey) dilakukan dengan teknik pengambilan contoh purposif (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang keahlian sesuai bidang kajian. 3. Metode Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode yang tercakup dalam Model AGRIPAL.
Konfigurasi Model AGRIPAL terdiri dari Sub
Model Kawasan, Sub Model Pemilihan, Sub Model Kelayakan, Sub Model Strategi, Sub Model Kelembagaan dan Sistem Informasi AIPL Jawa Tengah. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Oktober 2002 dengan tahapan pengolahan data seperti pada Gambar 6. Kajian Potensi Hasil Perikanan Laut.
Analisis pengembangan
agroindustri perikanan laut diawali dengan studi keadaan umum dan potensi perikanan untuk nasional, khususnya di seluruh Wilayah Jawa Tengah, dan selanjutnya dirinci pada setiap kabupaten, terutama yang berhubungan dengan potensi bahan baku dari komoditi perikanan laut dan kesinambungan suplai, gambaran agroindustri yang telah berkembang, dan teknologi pasca panen yang digunakan.
Dalam Model AGRIPAL, data yang terkait dengan
agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah tersebut dikemas dalam Sistem Informasi Jawa Tengah.
55
MUL AI T idak
Sistem Inf ormasi AIPL Jawa T engah
Potensi & Kondisi AIPL Jateng Identifikasi Faktor dg OWA Operator
Verifi kasi Ok? Ya
F akt or -F akt or Pengembangan
Faktor, T uj uan, Al ternatif Strategi
Analisis Prioritas Strategi dg AHP
T idak Verifi kasi Ok? Ya
Pr ior itas St rategi AIPL Jarak antar daerah, peraturan pemda, tingkat investasi, bahan baku, pasar, biaya produksi, konfl ik sosial, tenaga kerj a, sumber air, sumber energi, transportasi, komunikasi
T idak
Verifi kasi Ok?
Pengelompokan kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan dengan Cl uster Anal ysi s Ya
Kawasan Pengembangan & Pusat Pertumbuhan
Kuantitas, konti nui tas, kual itas, nil ai ekonomis, pel uang diversifi kasi, keterpusatan pendaratan
T idak
Pemilihan komoditas potensial dengan IPE kaidah FGDM
Verifi kasi Ok?
Ya
Komoditas Potensial T er pilih
A
Pel aku, kebutuhan, kendala, tol ok ukur, aktivitas T idak
Analisis Kelembagaan dengan ISM
St ruktur Kelembagaan AIPL
B
Verifi kasi Ok?
Ya
56
A
B
Bahan baku, nil ai tambah, teknologi, pasar, tng kerj a, modal, dampak ganda, sarana prasarana, kebij akan pemda, lingkungan T idak
Pemilihan produk unggulan dengan IPE kaidah FGDM
Verifi kasi Ok?
Ya
Pr oduk Unggulan T er pilih
Investasi, biaya tetap, biaya variabel T idak
Analisis Kelayakan Finansial NPV, IRR, B/C,PBP,BEP
Verifi kasi Ok? Ya
Agr oindustr i PL L ayak Dikembangkan
Rekomendasi Kebij akan Pengembangan AIPL
SEL ESAI
Keterangan : AIPL : Agr oindustri Perikanan Laut OWA : Or der ed Wei ghted Aver agi ng IPE : Independent Pr efer ence Eval uati on FGDM : Fuzzy Gr oup Decisi on Maki ng AHP : Anal yti cal Hi er ar chy Pr ocess ISM : Inter pr etati ve Str uctur al Model l i ng
NPV IRR B/C PBP BEP
: : : : :
Net Pr esent Val ue Inter nal Rate of Retur n Benefi t Cost Rati o Pay Back Per i od Br eak Even Poi nt
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian pengembangan agroindustri perikanan laut
57
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan agroindustri perikanan laut diidentifikasi melalui pendapat pakar dan dianalisis melalui metode Ordered Weighted Averaging (OWA) Operator. Perumusan Cara Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan. Pengelompokan kawasan pengembangan menggunakan Analisis Klaster (Cluster Analysis) yang didasarkan pada kedekatan jarak antar Kabupaten/Kota yang memiliki potensi perikanan laut. Pada tiap-tiap kawasan pengembangan selanjutnya dipilih pusat pertumbuhan. Kriteria yang dibutuhkan dalam penentuan pusat pertumbuhan diantaranya
kebijakan/peraturan pemerintah
daerah,
tingkat
investasi,
kedekatan bahan baku dan pasar, biaya produksi, tingkat konflik sosial, ketersediaan tenaga kerja, aksesibilitas, dan sarana pendukung lainnya. Pembobotan kriteria dilakukan dengan OWA Operator, sedangkan penentuan pusat pertumbuhan ditentukan dengan mengelompokkan tiap wilayah melalui Analisis Klaster, yaitu wilayah kurang potensial, potensial dan sangat potensial. Perumusan Cara Pemilihan Prioritas Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut.
Penentuan prioritas
komoditas potensial merupakan proses yang sangat penting mengingat kontinuitas ketersediaan bahan baku dapat menjadi penentu keberlangsungan agroindustri.
Di dalam penentuan jenis komoditas potensial untuk
agroindustri hasil perikanan laut yang dikembangkan di tiap-tiap kawasan pengembangan didasarkan pada beberapa kriteria. Kriteria yang diperlukan dalam pemilihan komoditi potensial yang akan dikembangkan, diantaranya berupa volume produksi, kontinyuitas, mutu dan nilai ekonomis bahan baku, peluang diversifikasi produk dan keterpusatan lokasi pendaratan ikan. Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA Operator.
Pemilihan prioritas alternatif ditentukan dengan metode
Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation/IPE) dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM). Sebagai alternatif, akan
58
dipilih delapan belas jenis ikan berdasarkan rataan volume produksi selama sepuluh tahun terakhir.
Responden menilai setiap kriteria atau alternatif
dengan skala Sangat Rendah (SR), Rendah (R), (Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Pemilihan produk agroindustri perikanan laut berpedoman pada pilihan parameter-parameter dari setiap kriteria penentuan produk unggulan, diantaranya berdasarkan kontinuitas ketersediaan bahan baku, kualitas bahan baku, ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, nilai tambah produk, peluang pasar, penyerapan tenaga kerja, dampak ganda terhadap sektor lain, dampak terhadap lingkungan, dan kondisi produk agroindustri saat sekarang. Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA Operator. Pemilihan prioritas alternatif digunakan metode Evaluasi Pilihan Bebas/IPE dengan kaidah FGDM. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Sangat Rendah (SR), Rendah (R), (Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Alternatif produk merupakan kombinasi antara 3 jenis komoditas perikanan laut yang potensial di tiap-tiap kawasan pengembangan dan 12 jenis perlakuan pascapanen hasil perikanan laut. Dengan demikian terdapat 36 alternatif
produk
agroindustri
perikanan
laut
di
tiap-tiap
kawasan
pengembangan. Perumusan Kelayakan Finansial Agroindustri.
Pengambilan
keputusan untuk pengembangan agroindustri perikanan laut diantaranya dilakukan melalui perhitungan kelayakan finansial menurut kriteria-kriteria kelayakan seperti biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penyusutan dan penerimaan. Analisis kelayakan finansial menggunakan formulasi NPV, IRR, NetB/C, PBP, dan BEP. Perumusan
Analisis
Strategi
Pengembangan
Agroindustri
Perikanan Laut. Strategi pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan teknik pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Metode AHP digunakan untuk memodelkan prioritas
59
alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan laut.
Penyusunan
strategi pada penelitian dapat dilakukan di tahap awal (fase identifikasi) atau di akhir (fase setelah kelayakan) dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Dengan kata lain penyusunan strategi dapat bersifat kualitatif maupun deskriptif analitik. Fokus hirarki ini adalah Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut. Hirarki berikutnya merupakan faktor
yang
berpengaruh
dalam pengembangan, yaitu (1) Sumber Daya Ikan (SDI); (2) Sumber Daya Manusia (SDM); (3) Teknologi; (4) Permodalan; (5) Pasar; (6) Kebijakan Pemerintah; (7) Sarana dan Prasarana; (8) Informasi; dan (9) Kelembagaan. Struktur dibawahnya adalah Tujuan Pengembangan,
yaitu
(1)
Peningkatan Nilai Tambah; (2) Perluasan Lapangan Kerja; (3) Perluasan Kesempatan Berusaha; (4) Peningkatan Pendapatan Daerah; (5) Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi; dan (6) Peningkatan Konsumsi Ikan.
Alternatif
Strategi yang ditawarkan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut adalah (1)
Mendorong Pertumbuhan Agroindustri Baru; (2) Memperkuat
Agroindustri yang Ada; dan (3) Optimalisasi Penangkapan. Analisis Kelembagaan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut. Untuk mengkaji keterkaitan/hubungan kontekstual antar elemen dan sub elemen dalam pengembangan agroindustri perikanan laut digunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). pengembangan
mencakup
pelaku/lembaga
yang
Elemen sistem berperan
dalam
pengembangan, kebutuhan untuk pelaksanaan program, kendala program, tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. C. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasional yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan
60
sistem ini meliputi analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, dan identifikasi sistem. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya penggunaan model matematika, berfikir secara kuantitatif, optimasi dan dapat diaplikasikan dengan teknik simulasi serta dapat direkayasa dengan bantuan komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah. 1. Analisis Kebutuhan Dalam pengembangan sistem agroindustri perikanan laut melibatkan berbagai pihak (pelaku), baik yang secara langsung maupun yang tidak langsung terkait dalam sistem. Maing-masing pelaku/lembaga memiliki kebutuhan. Analisis kebutuhan masing-masing pihak merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisis sistem. Sistem pengembangan agroindustri dalam operasionalisasinya harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan pelaku/lembaga yang terlibat secara optimal.
Keterkaitan kebutuhan antar
pelaku diantaranya menyangkut permodalan, teknologi, pemasaran, sarana prasarana, dan kebijakan. Inventarisasi pelaku dan kebutuhan dari masingmasing pelaku tersebut dimuat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut terlihat adanya kebutuhan yang bersifat melemahkan atau menguatkan. Kebutuhan yang bersifat melemahkan seperti harga perlu diharmonisasikan untuk menjaga keberlangsungan usaha. Kebutuhan yang bersifat menguatkan perlu dioptimalkan melalui kerjasama yang saling menguntungkan. mensinkronkan
Rekayasa sistem harus diupayakan dapat
kebutuhan-kebutuhan
tersebut
menjadi
satu
kesatuan
kebutuhan sistem yang sinergis dalam mencapai tujuan yang dikehendaki.
61
Tabel 8. Inventarisasi kebutuhan pelaku dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut Aktor Nelayan
Pelaku usaha agroindustri
Tenaga kerja Pemerintah Daerah/Pusat Perbankan/Lembaga Keuangan Pedagang Pengusaha penunjang produksi Konsumen Perguruan Tinggi/ Lembaga Riset Koperasi Asosiasi Produsen
Rincian Kebutuhan • Harga jual ikan layak dan • Bantuan modal & teknologi stabil • Biaya produksi rendah • Pemasaran terjamin • Produktivitas tinggi • Pendapatan meningkat • Harga ikan rendah • Bantuan modal, teknologi dan manajemen usaha • Ketersediaan ikan kontinyu • Biaya produksi (alsin, energi, • Margin profit tinggi sarana produksi, kredit, pajak, • Limbah minimum dan upah) rendah • Pengembalian kredit lancer • Kesempatan berusaha • Pemasaran terjamin meningkat • Upah tinggi • Kesejahteraan meningkat • Perluasan lapangan kerja • Pendapatan daerah/negara • Terbukanya lapangan kerja Meningkat • Lingkungan hidup terjaga • Optimalisasi pemanfaatan • Pembangunan sarana & potensi SDA prasarana • Jumlah nasabah meningkat • Pengembalian kredit lancar • Margin profit tinggi • Kesempatan berusaha meningkat • Harga layak • Mutu produk terjamin • Ketrampilan SDM meningkat • Mutu produk meningkat • Kesejahteraan anggota Meningkat • Posisi tawar tinggi
• Usaha berkesinambungan • Margin profit tinggi • • • •
Adanya diversifikasi produk Konsumsi ikan meningkat Adopsi teknologi meningkat Manajemen industri meningkat • Iuran anggota lancar • Daya saing meningkat
2. Formulasi Permasalahan Keberhasilan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut memerlukan perencanaan yang baik, pengalaman, pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut, yaitu pemanfataan secara optimal sumber daya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti
62
peningkatan daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja, dan konsumsi ikan. Permasalahan
yang
paling
mendasar
dalam
pengembangan
agroindustri perikanan laut adalah menjaga kontinuitas bahan baku, dalam hal ini jenis, volume dan mutu ikan hasil tangkapan. Volume hasil tangkapan nelayan berfluktuatif dengan mutu yang juga tidak konsisten, sementara agroindustri selalu menginginkan kapasitas produksinya konstan dengan mutu yang prima, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi. Kurangnya
kemampuan
SDM
dalam
mengadopsi
teknologi
pengolahan produk perikanan menyebabkan produk hasil olahan (tradisional) mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar relatif terbatas di pasar domestik.
Sementara itu, kemampuan penanganan hasil perikanan
sesuai dengan standar mutu internasional juga masih rendah. Hal ini sering memperlemah daya saing produk di pasar internasional. Keterbatasan mutu SDM juga memperlemah proses manajerial untuk mengelola usaha secara professional, sehingga hal ini memperlemah kemampuan untuk mengakses modal untuk pengembangan usaha. Hal lain yang terkait hal ini adalah lemahnya kemampuan mempresentasikan potensi bisnis agroindustri perikanan laut di hadapan investor atau pemodal untuk menghilangkan persepsi bahwa bisnis perikanan beresiko tinggi. Kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur ataupun industri penunjang lain untuk pengembangan agroindustri. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku, sehingga akan memperlemah struktur industri. 3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu mata rantai hubungan antara pernyataan-pernyataan kebutuhan komponen aktor dalam sistem dengan permasalahan-permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram inputoutput. Dalam diagram sebab akibat digambarkan hubungan antar komponen
63
sistem yang terkait seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Melalui diagram lingkar sebab akibat sebagai suatu tahapan dalam konseptualisasi sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dapat ditunjukkan prediksi dan hipotesis tentang dinamika dan perilaku sistem.
+ +
+ +
+
Paj ak
SDM/T enaga Kerj a
+
+
+
Konsumsi ikan
+
Pembangunan Wilayah
Pendapatan Daerah
Pendapatan Negara
+
Ekspor +
Devisa
+
+
Manaj emen & T eknol ogi
Industri Lain . Agr oi ndus t r i P er i k anan L aut
+ +
+
.
. +
Pendapatan + Masyarakat
+
+
+
+
+ Sarana Prasarana
+
+ Industri Penangkapan
Koperasi +
+ Kesej ahteraan Masyarakat
+ +
-
+ +
+ Pendapatan Nel ayan
+
=
Modal +
+
-
Perbankan/ Lembaga permodal an +
+
Gambar 7. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan agroindutri perikanan laut Tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, permodalan, teknologi, sarana prasarana dan potensi bahan baku yang berkesinambungan. Sebaliknya, berkembangnya agroindustri perikanan laut akan memberi manfaat balik untuk pemenuhan kebutuhan bagi para pelaku, baik pelaku usaha agroindustri, pelaku usaha industri pendukung, masyarakat, maupun
64
pemerintah. Kendala-kendala yang menyertai dalam proses tersebut harus dipecahkan secara menyeluruh. Alternatif pemecahan masalah dalam pengembangan agroindustri diantaranya masing-masing wilayah mampu mengidentifikasi secara baik potensi yang dimiliki dan mampu membuat prioritas dalam pencapaian tujuan. Penetapan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut sebagai suatu sistem tertutup memberikan fasilitas adanya mekanisme pengendalian (kontrol) terhadap timbulnya suatu output sistem yang tidak dikehendaki. Visualisasi diagram input-output sistem pengembangan agroindustri perikanan laut ditunjukkan Gambar 8. Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan luaran (output) dari model yang dikembangkan. Input terdiri dari dua golongan, yaitu yang berasal dari luar sistem (eksogen) atau input eksternal dan overt input yang berasal dari dalam sistem (endogen) atau input internal. Input eksternal merupakan masukan yang mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem.
Dalam sistem pengembangan agroindustri yang
termasuk jenis input ini adalah globalisasi perekonomian, kebijakan negara tujuan ekspor, populasi penduduk, dan nilai tukar uang. Input internal yang berasal dari dalam sistem ini merupakan peubah yang sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsinya yang dikehendaki. Input internal yang berasal dari dalam sistem ini terdiri dari input yang terkendali dan input yang tak terkendali. Input internal tak terkendali dalam sistem ini adalah kebijakan pemerintah, potensi sumber daya perikanan laut, fluktuasi harga, dan permintaan pasar.
Input yang terkendali dapat bervariasi selama
pengoperasian sistem untuk menghasilkan kinerja sistem yang dikehendaki atau untuk menghasilkan output yang dikehendaki. Peran input ini sangat penting dalam mengubah kinerja sistem selama pengoperasian. Termasuk dalan jenis input ini adalah kawasan pengembangan, teknologi pengolahan, modal usaha, upah dan tenaga kerja, serta volume produksi.
65
INPUT EKSTERNAL Globalisasi perekonomian Populasi penduduk Nilai tukar uang Otonomi daerah OUTPUT DIKEHENDAKI Peningkatan volume produksi Peningkatan volume & nilai ekspor Peningkatan PAD & PDB Peningkatan konsumsi ikan Peningkatan kesempatan kerja Peningkatan jumlah unit usaha Meratanya distribusi pendapatan masyarakat Berkembangnya industri/lembaga pendukung Perkembangan pusat pertumbuhan & pengembangan
INPUT INTERNAL TAK TERKENDALI Potensi perikanan Fluktuasi harga Permintaan pasar
SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT INPUT INTERNAL TERKENDALI Kawasan pengembangan Teknologi pengolahan Modal usaha Upah dan tenaga kerja/nelayan Volume produksi
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Pengangguran dan kemiskinan tinggi Usaha tidak menguntungkan Kredit bermasalah Kontribusi PAD/PDB rendah Konsumsi ikan per kapita rendah
MANAJEMEN AGROINDUSTRI
Gambar 8
Diagram input-output sistem pengembangan agroindustri perikanan laut Output terdiri dari dua, yaitu output yang dikehendaki dan output tak
dikehendaki.
Output yang dikehendaki merupakan respon dari sistem
terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam analisis kebutuhan; dan output yang tidak dikehendaki merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output sistem yang dikehendaki adalah peningkatan volume produksi, peningkatan volume dan nilai ekspor, peningkatan PAD dan PDB, peningkatan konsumsi ikan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan jumlah unit usaha dan meratanya distribusi pendapatan masyarakat. Sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan kebalikannya. Manajemen
pengendali
merupakan
faktor
pengendalian
terhadap
66
pengoperasian sistem dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki dan berusaha meminimumkan output tidak dikehendaki dengan input terkendali. D. Konfigurasi Model Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan AGRIPAL. Paket program dirancang dengan menggunakan bahasa pemograman Microsoft Visual Basic Versi 6.0 yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu Sistem Manajemen Dialog, Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Basis Model. Konfigurasi Model Sistem Penunjang Keputusan dapat dilihat pada Gambar 9.
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
Sistem Informasi AIPL Jawa Tengah
Data Wilayah dan Potensinya Data Komoditas Potensial AIPL
Sub Model Kawasan
Data Produk Unggulan AIPL Sub Model Pemilihan Data Struktur Biaya Usaha AIPL
Sub Model Kelayakan
Data Strategi Pengembangan AIPL
Sub Model Strategi Sub Model Kelembagaan
Data Keterkaitan Kelembagaan AIPL
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA
Gambar 9.
Konfigurasi Model Sistem Pengambilan Keputusan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut
67
1. Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan luaran yang diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami. Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat. Input dari pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario. Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau grafik yang mudah dipahami. 2. Sistem Manajemen Basis Data Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data, menampilkan, menghapus
dan mengganti data.
Dalam konfigurasi
paket program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah Data Kawasan, Data Komoditas, Data Produk, Data Struktur Pembiayaan, Data Strategi dan Data Kelembagaan. 3. Sistem Manajemen Basis Model Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari lima sub model utama, yaitu Sub Model Kawasan, Sub Model Pemilihan, Sub Model Kelayakan, Sub Model Strategi, Sub Model Kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub sistem yang pada akhirnya membentuk suatu sistem pengembangan agroindustri perikanan laut.
68
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut.
Penggunaan Model AGRIPAL
didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat digunakan oleh Pemda Provinsi atau Kabupaten maupun pengusaha se-Jawa Tengah, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan.
Penggunaan Model AGRIPAL dapat mengikuti langkah-langkah
pada Lampiran 1. Hasil verifikasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah disajikan berurutan yaitu
(1) Pengelompokan Pengembangan dan Penentuan Pusat
Pertumbuhan; (2) Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (3) Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (4) Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut; (5) Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut; dan (6) Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut. A. Pengelompokan Pertumbuhan
Kawasan
Pengembangan
dan
Penentuan
Pusat
Sub model kawasan merupakan sub model yang dirancang untuk membantu proses klasterisasi kawasan dan pusat pertumbuhan. Sub model ini menggunakan metode meminimumkan jarak pada matriks euclidean distance. Operasionalisasi
sub
model
kawasan
pada
klasterisasi
kawasan
pengembangan dan klasterisasi pusat pertumbuhan secara teknis memiliki prosedur dan metodologi yang sama, hanya saja pada klasterisasi kawasan pengembangan masukan berupa jarak absolut antar wilayah yang diuji. Penggunaan model ini dengan asumsi bahwa kondisi antar wilayah kajian dianggap memiliki kemiripan karakteristik, seperti potensi sumber daya alam (perikanan), perkembangan wilayah, keadaan sosial kependudukan, dan sarana prasarana khususnya aksesibilitas masing-masing wilayah tidak jauh berbeda.
69
Pada klasterisasi pusat pertumbuhan masukan data dimulai dari pendapat pakar terhadap objek berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Pada penelitian ini perumusan pusat pertumbuhan dibangun dari 11 kriteria yang pada tahap sebelumnya dirumuskan oleh para pakar pada proses identifikasi faktor pengembangan. Pada proses identifikasi kriteria tersebut sekaligus ditetapkan nilai bobot masing-masing kriteria.
Adapun kriteria untuk menentukan pusat
pertumbuhan tersebut adalah (1) kebijakan dan peraturan pemda, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) biaya produksi, (6) konflik sosial, (7) tenaga kerja, (8) sumber air, (9) sumber daya energi/listrik, (10) sarana transportasi, dan (11) sarana komunikasi. Tingkat kepentingan atau bobot kriteria diformulasikan dengan aturan Minkowski, untuk kemudian diagregasi menjadi bentuk euclidean distance. Berikutnya matriks euclidean distance diolah dengan metodologi dan ditampilkan dengan keluaran yang identik. 1. Pengelompokan Kawasan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan total areal seluas 32.548,20 km2 yang terletak diantara 5°40’ - 8°30’ Lintang Selatan dan 108°30’ - 111°30’ Bujur Timur.
Wilayah ini berupa
daratan yang di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur dengan Provinsi Jawa Timur, di sebelah selatan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudera Hindia, serta di sebelah barat dengan Provinsi Jawa Barat (Lampiran 2). Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten (Daerah Tingkat II), yaitu
Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Selain itu terdapat enam Kota (Daerah Tingkat II), yaitu Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Pekalongan dan Tegal, serta Semarang sebagai ibukota provinsi.
Dalam
wilayah Dati I Jawa Tengah terdapat tiga kota administratif (kotif), yaitu Kotif Cilacap, Purwokerto, dan Klaten, serta 532 Kecamatan dan 8.496
70
kelurahan/desa.
Daerah yang memiliki potensi sumber daya kelautan
sebanyak 15 Kabupaten/Kota, yaitu 10 Kabupaten dan 3 Kota yang membentang di daerah Pantai Utara Jawa dan 2 Kabupaten di Pantai Selatan Jawa. Kabupaten dan Kota di Pantai Utara Jawa tersebut meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Kota Tegal, Pekalongan dan Semarang.
Dua Kabupaten yang
terletak di Pantai Selatan Jawa, meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen (Lampiran 3 dan 4). Daerah yang berada pada pesisir pantai utara Jawa memiliki keuntungan, yaitu berada pada jalur jalan arteri primer yang menghubungkan kota-kota utama di Pulau Jawa, yaitu kota Jakarta, kota Semarang dan kota Surabaya. Berdasarkan
kondisi
geografis
tersebut,
maka
perencanaan
pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu dengan membentuk kawasan pengembangan. Kesamaan potensi dan jenis komoditas yang dihasilkan dalam satu kawasan pengembangan, serta sifat komoditas perikanan
laut
yang
mudah
rusak
menjadi
pertimbangan
penting
diperlukannya pengelompokan suatu kawasan. Terbentuknya suatu kawasan pengembangan didasarkan pada kedekatan jarak antar wilayah, sehingga diharapkan
akan
memudahkan
dalam
pengembangan
industri
penanganan/pengolahan hasil perikanan laut. Selain itu, pembentukan kawasan pengembangan juga diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan sarana
dan
prasarana
pendukungnya.
Pengelompokan
Kawasan
Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut di Provinsi Jawa Tengah didasarkan kedekatan/jarak antar wilayah yang memiliki potensi perikanan laut.
Pengujian dilakukan berdasarkan metode Analisis Klaster (Cluster
Analysis) dalam sub model Kawasan, sub-sub model Kawasan Pengembangan dengan hasil pada Gambar 10 dan Lampiran 5.
71
Gambar 10. Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa berdasarkan jarak antar kabupaten/kota yang memiliki potensi perikanan laut, Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi dalam tiga kawasan pengembangan, yaitu dua kawasan di wilayah Pantai Utara Jawa dan satu kawasan di wilayah Pantai Selatan Jawa. Kawasan Pengembangan I meliputi 5 daerah, yaitu Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten/Kota Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A3), Kabupaten/Kota Pekalongan (A4) dan Kabupaten Batang (A5). Kawasan Pengembangan II meliputi 6 wilayah, yaitu Kabupaten Kendal (A6), Kota Semarang (A7), Kabupaten Demak (A8), Kabupaten Jepara (A9), Kabupaten Pati (A10) dan Kabupaten Rembang (A11). Kawasan Pengembangan III meliputi 2 daerah, yaitu Kabupaten Kebumen (A12) dan Kabupaten Cilacap (A13). Dilihat dari volume produksi ikan per kawasan pengembangan (Gambar 11) terlihat bahwa secara umum volume produksi terbesar berada di Kawasan Pengembangan I, diikuti dengan Kawasan Pengembangan II dan selanjutnya Kawasan Pengembangan III.
72
300,000 250,000 Volume (Ton)
Kawasan I 200,000
Kawasan II
150,000
Kawasan III
100,000
Jateng
50,000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004. Gambar 11. Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2003) ada kecenderungan terjadinya penurunan volume produksi di seluruh Kawasan Pengembangan, yaitu masing-masing dengan laju berturut-turut 2,53%, 0,55%, 0,24% untuk Kawasan Pengembangan I, II dan III (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Demikian pula total volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan 1,43% (Lampiran 6). Berdasarkan total volume produksi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003, yaitu 236.235 ton, persentase volume produksi ikan di masing-masing Kawasan Pengembangan I, II dan III pada tahun yang sama adalah 51,52%, 43,18% dan 5,21%. Total nilai produksi perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 tersebut adalah Rp 773,6 M (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Dari data tersebut terlihat hampir 95% hasil perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah diproduksi di 2 Kawasan Pengembangan yang terletak di wilayah pantai utara Jawa, yaitu oleh 13 Kabupaten/Kota yang keseluruhannya memiliki 68 tempat pelelangan/pendaratan ikan.
Kualifikasi tempat
pelelangan ikan tersebut terdiri dari 14 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan), 18 TPI Kelas II, 19 TPI Kelas III dan 17 TPI Kelas IV. Produksi perikanan laut Pantai Selatan Jawa Tengah hanya 5% dihasilkan oleh 2 Kabupaten yang memiliki 10 tempat pelelangan/pendaratan
73
ikan, yang terdiri dari 5 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap), 4 TPI Kelas II dan 1 TPI Kelas IV (Lampiran 7). 2. Penentuan Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Dari setiap kawasan pengembangan selanjutnya ditetapkan pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat produksi dan pintu keluar untuk memasarkan hasil-hasil produk agroindustri perikanan laut, serta wilayahwilayah pendukung yang berfungsi sebagai daerah produksi atau pemasok bahan baku ke pusat-pusat produksi. Daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan juga harus merupakan daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah. Daerah tersebut harus memiliki sektor unggulan yang mampu mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, baik dalam daerah itu sendiri dan daerah pendukungnya. Selain itu, daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan memungkinkan terbukanya pasar bagi produk-produk unggulnya dan keterkaitan ke belakang memungkinkan pusat pertumbuhan tersebut mendapat pasokan bahan baku untuk kegiatan produksinya. Ciri lain dari daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah harus memiliki sarana dan prasarana bagi pengembangan agroindustri perikanan laut yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya. Penentuan
pusat
pertumbuhan
masing-masing
kawasan
untuk
pengembangan agroindustri perikanan laut ditentukan berdasarkan 11 kriteria, yaitu (1) kebijakan/peraturan Pemerintah Daerah, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) tingkat biaya produksi, (6) tingkat konflik sosial, (7) ketersediaan tenaga kerja, (8) ketersediaan sumber air, (9) ketersediaan sumber energi/listrik, (10) ketersediaan sarana transportasi dan (11) ketersediaan sarana komunikasi. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode OWA Operator (Tabel 9 dan Lampiran 8) dengan data pendukung pada Lampiran 9.
74
Tabel 9. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut No 1 2
3 4 5
6 7 8 9 10
11
Kriteria Kebijakan/per aturan pemda
Deskripsi Kebijakan/peraturan pemerintah daerah yang terkait dengan RUTR/W, kemudahan perijinan dan kepastian hukum dalam berusaha Tingkat Besarnya investasi yang diperlukan dalam investasi pembangunan industri pasca panen perikanan laut di suatu daerah seperti biaya lahan dan bangunan Kedekatan Kedekatan lokasi usaha dengan lokasi pemasok bahan baku komoditas perikanan sebagai bahan baku industri Kedekatan Kedekatan lokasi usaha dengan pasar produk, pasar baik lokal, nasional dan pintu ekspor bagi produk yang dihasilkan Biaya Tingkat biaya produksi di suatu daerah yang produksi terkait dengan harga bahan baku, harga bahan pembantu, upah tenaga kerja, biaya transportasi, dan lain-lain Konflik sosial Tingkat konflik sosial yang muncul di suatu daerah akibat berdirinya suatu usaha industri Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja terampil di suatu daerah bagi industri pasca panen komoditas perikanan laut Sumber air Ketersediaan sumber air yang diperlukan dalam proses produksi, seperti pencucian bahan baku, proses pengolahan dan sanitasi Sumber daya Ketersediaan sumber daya listrik atau energi energi/listrik lain bagi mesin pengolah dan peralatan lain, penerangan dan peralatan administratif Sarana Ketersediaan sarana transportasi untuk transportasi pengangkutan bahan baku dan produk yang dihasilkan, serta diperlukan untuk mobilitas pekerja Sarana Ketersediaan sarana komunikasi untuk berbagai komunikasi keperluan seperti pemesanan bahan baku, pemasaran, dan sebagai alat bantu yang memudahkan dalam proses pengambilan keputusan yang diperlukan
Agregat Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi
Berdasarkan hasil pembobotan pada Tabel 9 terlihat bahwa kriteriakriteria yang diujikan memiliki bobot tinggi, kecuali kriteria tenaga kerja, yaitu dengan bobot sedang. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menentukan pusat pertumbuhan agroindustri, wilayah yang diuji harus memenuhi banyak
75
kriteria dengan tingkat kepentingan yang tinggi, agar industri yang akan dikembangkan dapat menjaga keberlangsungannya dalam berusaha. Kriteria tenaga kerja memiliki bobot sedang; hal ini sesuai dengan pendapat pakar terkait yang diwawancarai yang menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja bagi pengembangan agroindustri perikanan laut cukup tinggi terkait dengan tingginya angka pencari kerja. Adapun permasalahan yang terkait dengan ketrampilan bagi para pekerja dapat diberikan apabila diperlukan mengingat teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah hasil perikanan laut relatif sudah dikuasai dengan baik. Penilaian untuk penentuan pusat pertumbuhan terhadap masing-masing daerah dilakukan dengan memberikan nilai l - l0 (sangat rendah sekali – sangat tinggi sekali) terhadap 15 Kabupaten/Kota.
Pengujian dilakukan
menggunakan metode Cluster Anaysis dalam sub model Kawasan sub-sub model Pusat Pertumbuhan (Lampiran 10). Berdasarkan potensi dan kondisi yang dimiliki, wilayah-wilayah tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu sebagai wilayah kurang potensial (A), potensial (B) dan sangat potensial (C). Wilayah A meliputi Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A4), Kabupaten Pekalongan (A5), Kabupaten Batang (A7), Kabupaten Kendal (A8), Kabupaten Demak (A10), Kabupaten Jepara (A11) dan Kabupaten Kebumen (A14). Wilayah B meliputi Kota Semarang (A9) dan Kabupaten Cilacap (A15). Wilayah C meliputi Kota Tegal (A3), Kota Pekalongan (A6), Kabupaten Pati (A12) dan Kabupaten Rembang (A13) (Gambar 12). Pengkategorian wilayah secara khusus didasarkan atas potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki oleh kelompok wilayah tersebut. Besarnya volume produksi perikanan laut dari suatu daerah memperlihatkan ketersediaan bahan baku agroindustri untuk daerah tersebut juga besar (Tabel 10).
Dari Tabel 10 terlihat bahwa Kota Tegal, Kota Pekalongan,
Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang (Kelompok C) memperlihatkan potensi volume hasil tangkapan yang sangat besar dibanding kabupaten/kota lainnya, sehingga kelompok ini dikategorikan sebagai wilayah yang sangat potensial.
76
Gambar 12. Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah
Kelompok B, terdiri dari Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang, dikategorikan sebagai wilayah potensial.
Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa Kabupaten Cilacap memiliki potensi produksi perikanan laut yang cukup besar di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Potensi produksi perikanan laut di Kota Semarang kecil, akan tetapi memiliki nilai yang tinggi pada berbagai kriteria lain seperti ketersediaan sumber air, sumber energi, sarana transportasi dan sarana komunikasi yang sangat penting dalam memfasilitasi pengembangan agroindustri perikanan laut.
Besarnya
ketersediaan sarana prasarana dan kedekatan dengan pasar produk yang dimiliki oleh Kota Semarang menempatkan wilayah ini dalam kategori potensial. Wilayah lain yang tergabung dalam kelompok A, yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara dan Kebumen, dikategorikan sebagai wilayah yang kurang potensial.
Hal ini
disebabkan volume produksi hasil tangkapan tidak terlalu besar, sedangkan sektor penunjangnya juga tidak terlalu menonjol.
77
Tabel 10. Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1999 – 2003 (dalam Ton) Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 Kab. Brebes 2.375,0 2.403,9 2.568,9 3.742,8 5.269,6 Kab Tegal 677,7 649,6 723,9 845,3 1.106,9 Kota Tegal 22.172,3 44.819,1 36.849,0 34.513,3 29.564,4 Kab. Pemalang 6.095,3 7.226,4 8.592,1 11.279,8 9.925,2 Kab. Pekalongan 2.014,3 1.438,2 1.973,2 2.163,9 1.978,9 Kota Pekalongan 65.034,6 66.628,7 73.124,1 53.161,9 62.008,9 Kab. Batang 23.368,9 19.038,1 20.452,7 17.656,9 11.863,6 Kab. Kendal 1.819,9 1.601,9 1.245,2 1.111,4 1.055,2 Kota Semarang 602,1 652,0 566,0 331,6 174,3 Kab. Demak 2.559,6 2.264,2 1.598,7 1.181,5 1.208,6 Kab. Jepara 3.072,3 2.147,0 1.798,3 2.206,1 3.729,8 Kab. Pati 42.339,5 44.969,1 49.624,2 59.889,3 63.457,2 Kab. Rembang 35.953,7 50.783,3 60.200,1 78.825,7 32.370,7 Kab. Kebumen 3.226,3 1.470,8 1.988,2 5.349,8 4.180,0 Kab. Cilacap 10.100,1 15.153,2 13.123,9 8.944,6 8.140,1 Total 221.411,7 261.243,5 274.328,5 281.203,9 236.235,0 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.
Pertimbangan lanjut dalam penentuan pusat pertumbuhan untuk masing-masing kawasan adalah kuantitas dan kontinuitas produksi perikanan laut masing-masing wilayah dalam kategori yang sama (Lampiran 10). Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada Gambar 13 terlihat bahwa di Kawasan Pengembangan I, produksi perikanan Kota Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kota Tegal.
Namun demikian data series selama 10 tahun
(1994 - 2003) menunjukkan adanya penurunan laju produksi di Kota Pekalongan sebesar 5,95%, sedangkan Kota Tegal mengalami peningkatan laju produksi sebesar 2,84%. Wilayah yang memiliki potensi besar dalam produksi perikanan di Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati dan Rembang. Gambar 13 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1994 – 1999, volume produksi Kabupaten Pati lebih tinggi dibanding Kabupaten Rembang, kemudian pada tahun 2000 - 2002 volume produksi di Kabupaten Rembang sedikit mengungguli tingkat volume produksi Kabupaten Pati, tetapi pada tahun 2003 Kabupaten Pati kembali menjadi kabupaten dengan volume produksi terbesar
78
di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah. Selama 10 tahun (1994 - 2003), laju pertumbuhan produksi perikanan di Kabupaten Pati mengalami penurunan sebesar 1,98%, sebaliknya laju pertumbuhan produksi Kabupaten Rembang mengalami peningkatan sebesar 4,36%. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2002-2003, produktivitas ikan Kabupaten Pati hampir menyamai Kota Pekalongan yang sampai tahun 2001 mendominasi volume produksi ikan di Provinsi Jawa Tengah.
120,000
Volume (Ton)
100,000 80,000
Tegal Pekalongan
60,000
Pati
40,000
Rembang Cilacap
20,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 13. Volume produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Meskipun pada tahun 2000 – 2002 dari sisi volume produksi Kabupaten Rembang sempat mengungguli Kabupaten Pati, dari nilai produksinya Kabupaten Pati tetap lebih unggul dibanding Kabupaten Rembang (Gambar 14). Nilai produksi Kabupaten Rembang pada tahun 2002, yang menjadi puncak produksi selama kurun waktu 10 tahun (55.282 ton), adalah Rp 118,9 M, sedangkan volume produksi Kabupaten Pati pada tahun yang sama hanya 50.905 ton tetapi mampu menghasilkan nilai produksi sebesar Rp 165,1 M. Hal ini berarti bahwa ikan yang didaratkan di Kabupaten
79
Pati memiliki
nilai ekonomis yang lebih baik dibanding Kota Rembang
(Gambar 15). Pada
tahun 2002,
harga rataan ikan di
Kabupaten Pati
Rp 3.244,00 sedangkan di Kabupaten Rembang Rp. 2.152,00.
250,000,000 Nilai (x Rp. 1000)
200,000,000 T egal
150,000,000
Pekalongan Pati
100,000,000
R embang Cilacap
50,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 14. Nilai produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Gambar 14 menunjukkan selama tahun 1994 - 2003 seluruh wilayah yang diunggulkan mengalami peningkatan nilai produksi. Peningkatan laju nilai produksi tertinggi adalah Kota Tegal 28,15%, diikuti oleh Kabupaten Rembang, Pati, Cilacap dan Kota Pekalongan masing-masing 23,10%, 18,47%, 17,06% dan 16,88%. Diantara wilayah unggulan lain,
Kabupaten Cilacap yang berada di
Kawasan Pengembangan III menghasilkan volume produksi ikan yang paling kecil.
Secara keseluruhan selama 10 tahun (1994 - 2003), laju volume
produksi Kabupaten Cilacap juga mengalami penurunan 4,33%.
Namun
demikian, Gambar 15 menunjukkan bahwa harga rataan ikan hasil tangkapan Kabupaten Cilacap lebih besar dibandingkan harga ikan di kota-kota lain. Hal ini didukung dengan laju peningkatan harga rataan ikan Kabupaten Cilacap 45.28%, sedangkan Kota Tegal dan Pekalongan serta Kabupaten Pati dan Rembang, masing-masing 27,54%, 23,87%, 22,22% dan 19,76%.
80
10,000
Harga rataan (Rp/Kg)
8,000 Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap
6,000 4,000 2,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 15 Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Besarnya harga rataan ikan di Kabupaten Cilacap, yang terletak di Pantai Selatan Jawa, dikarenakan ikan yang didaratkan merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas ini menjadi andalan Kabupaten Cilacap sebagai komoditas ekspor, baik dalam bentuk gelondongan (segar) maupun bentuk olahan.
Jenis ikan hasil tangkapan di wilayah Pantai Utara Jawa pada
umumnya adalah pelagis kecil seperti layang, selar, tembang, kembung, tongkol dan lemuru, yang umumnya memiliki nilai ekonomis rendah. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (Lampiran 11 dan 12),
tingkat pertumbuhan volume produksi perikanan
masing-masing daerah di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 1994 – 2003 (10 tahun) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16,
secara keseluruhan
menunjukkan terjadinya penurunan produksi 1,43%. Tingkat pertumbuhan positif tertinggi dicapai oleh Kabupaten Kebumen (64,12%) dan terendah dengan laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh Kota Semarang (20,43%).
81
Laju Peningkatan Produksi
70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A14
A15 Total
Kabupaten/Kota
Keterangan : A1: Kab. Brebes; A2: Kab. Tegal; A3: Kota Tegal; A4: Kab. Pemalang; A5: Kab. Pekalongan; A6: Kota Pekalongan; A7: Kab. Batang; A8: Kab. Kendal ; A9: Kota Semarang; A10: Kab.Demak; A11: Kab. Jepara; A12: Kab. Pati; A13: Kab. Rembang; A14: Kab. Kebumen; A15: Kab. Cilacap
Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004. Gambar 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Selain Kota Semarang dan Pekalongan, laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh volume produksi Kabupaten Batang (3,14%), Kendal (7,25%), dan Demak (6,20%).
Salah satu penyebabnya adalah bahwa kapal
penangkap ikan laut yang didaratkan di wilayah tersebut pada umumnya merupakan kapal kecil dengan wilayah penangkapan di Laut Jawa.
Tingkat
eksploitasi perikanan laut di wilayah Laut Jawa diketahui telah mencapai ambang kritis, sementara pantai utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah yang padat nelayan (Atmadja
et al., 2003).
Kasus pendangkalan muara
sungai dan rusaknya dermaga tempat pelelangan ikan (TPI) juga menjadi kendala dalam proses pendaratan ikan.
Faktor kesulitan keuangan pada TPI
berkaitan dengan pembayaran nelayan (kekurangan pembayaran lelang ikan/KPLI) menjadi pemicu lain dari penurunan produksi perikanan laut di beberapa TPI di daerah-daerah tersebut. Peningkatan/penurunan volume produksi di tiap-tiap wilayah juga dipengaruhi oleh tingkatan harga ikan yang diterima oleh nelayan pada saat lelang dan banyaknya pembeli (bakul) yang sebagian besar sekaligus
82
bertindak sebagai pengolah. Dengan demikian apabila agroindustri perikanan laut di suatu daerah berkembang dengan baik akan memberi peluang bagi daerah tersebut untuk dijadikan tempat pendaratan ikan, sehingga volume produksi daerah tersebut juga akan meningkat. Peningkatan volume dan nilai produksi (raman) yang diikuti dengan pengembangan agroindustri akan memberikan kontribusi positif bagi PAD, baik yang secara langsung disumbangkan oleh industri perikanan (industri penangkapan dan pengolahan) maupun industri penunjangnya (penyedia sarana penangkapan, pengolahan, pengemasan, transportasi, komunikasi dan perdagangan). Berdasarkan kedua analisis yang dilakukan, yaitu pengelompokan kawasan pengembangan dan penentuan pusat pertumbuhan, maka wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi untuk pengembangan agroindustri perikanan laut dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Kelompok wilayah dan pusat pertumbuhan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah Kelompok Kawasan Pengembangan I
Kawasan Pengembangan II
Kawasan Pengembangan III
Wilayah 1 Kab. Brebes 2 Kab/Kota Tegal 3 Kab. Pemalang 4 Kab/Kota Pekalongan 5 Kab. Batang 1 Kab. Kendal 2 Kota Semarang 3 Kab. Demak 4 Kab. Jepara 5 Kab. Pati 6 Kab. Rembang 1. Kab. Kebumen 2. Kab. Cilacap
Pusat Pertumbuhan Kota Pekalongan
Kabupaten Pati
Kabupaten Cilacap
Kawasan Pengembangan I terdiri dari Kabupaten Brebes, Kab/Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten/Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang dengan pusat pertumbuhannya adalah Kota Pekalongan. Kawasan Pengembangan II terdiri dari Kabupaten Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang dan Kota Semarang dengan pusat pertumbuhan Kabupaten Pati.
83
Kabupaten Cilacap merupakan pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan III yang terdiri dari Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Persentase produksi perikanan laut terhadap total produksi di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2003 untuk Kota Pekalongan adalah 26,2%, Kabupaten Pati 26,9% dan Kabupaten Cilacap 3,4%. 3. Gambaran Umum Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Dari analisis sebelumnya diketahui bahwa pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan I adalah Kota Pekalongan, Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati, dan Kawasan Pengembangan III adalah Kabupaten Cilacap. Berikut ini merupakan gambaran umum dari masing-masing pusat pertumbuhan. Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I). Kota Pekalongan terletak diantara 6°50’42” - 6°55’44” Lintang Selatan dan 109 °37’55” 109°42’19” Bujur Timur. Batas wilayah admini stratif kota ini terdiri dari Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Pekalongan dan Batang di sebelah selatan, Kabupaten Pekalongan di sebelah barat, serta Kabupaten Batang di sebelah timur. Kota Pekalongan mencakup areal seluas 44,96 km2 yang terdiri dari 4 kecamatan. Tahun 2003, jumlah penduduk Kota Pekalongan adalah 271.418 jiwa, sehingga kepadatan penduduk Kota Pekalongan adalah 6.036 orang/km2. Jumlah angkatan kerja pada tahun yang sama adalah 124.405 orang (BPS Prov. Jateng, 2004). Untuk mendukung pembangunan sebuah daerah industri diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya adalah kelancaran transportasi.
Kota Pekalongan memiliki jalan darat dengan kondisi baik.
Selain itu, kebanyakan jalur kereta api rute Jakarta/Bandung yang menuju Jawa Tengah/Jawa Timur berhenti di stasiun Pekalongan. Untuk kegiatan ekspor, barang industri dikirim melalui Pelabuhan Laut Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Priok di Jakarta.
84
Potensi investasi di Kota Pekalongan yang paling besar adalah industri tekstil dan perikanan. Batik Pekalongan telah mampu menembus pasar ekspor dan pasar lokal di seluruh Indonesia. Sektor perikanan Kota Pekalongan mengha- silkan 54.956 ton ikan laut pada tahun 2003 dengan nilai raman Rp 168,4 M. Tempat pendaratan ikan satu-satunya di Kota Pekalongan adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP). Jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha produksi perikanan laut di Kota Pekalongan pada tahun 2002 berjumlah 22.999 orang yang pada umumnya tergabung dalam KUD Makaryo Mino, sedangkan nelayan luar daerah (pendatang) yang aktif bergiat di PPNP sebagai anak buah kapal (ABK) kurang lebih berjumlah 20.000 orang. Jenis alat tangkap pada kapal yang mendaratkan ikannya di Kota Pekalongan pada tahun 2003 adalah pukat cincin (purse seine) 538 unit dan jenis lainnya (gillnet dan cantrang/cotok) 132 unit. tangkapan alat tangkap purse seine,
Nilai produksi hasil
gillnet dan cantrang/cotok secara
berurutan berkontribusi 90,05% (Rp 151,6 M), 7,72% (Rp 13,0 M) dan 2,22% (Rp 3,7 M). Ukuran kapal penangkap ikan di Kota Pekalongan 17% di atas 100 GT, 38% berukuran antara 51-100 GT (Gross Tonnes) dan selebihnya berukuran lebih kecil dari 50 GT. Wilayah penangkapan (fishing ground) nelayan Kota Pekalongan pada umumnya adalah perairan Karimun, Bawean, Masalembo, Lumu-lumu, Matasiri dan Laut China Selatan. Bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di PPNP + 105 orang dengan 10% bermodal lebih dari Rp 25 juta/lelang, 40% bermodal Rp 5-25 juta/lelang, selebihnya merupakan bakul kecil dengan modal kurang dari Rp 5 juta/lelang. Dari 105 orang tersebut, 70 orang (70%) diantaranya merupakan bakul lokal yang berasal dari Kota Pekalongan. Ikan hasil lelang selanjutnya dilakukan penanganan dengan peng-es-an (dijual segar) oleh 20% bakul, 30% pemindangan dan 50% diolah menjadi ikan asin. Pada umumnya peserta lelang (bakul) sekaligus bertindak sebagai pengolah ikan.
85
Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II).
Kabupaten Pati
memiliki luas wilayah sebesar 1.491 km2 dan terbagi dalam 21 kecamatan. Secara geografis Kabupaten Pati terletak pada 110•50’ - 111•15’ Bujur T imur dan 6•25’ - 7•00’ L intang Selatan, dan sebagian wilayahnya merupakan daerah pantai dengan batas sebelah utara Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah selatan Kabupaten Grobogan dan Blora, sebelah timur Kabupaten Rembang dan Laut Jawa dan sebelah barat Kabupaten Kudus dan Jepara. Jumlah penduduk Kabupaten Pati pada akhir tahun 2003 adalah 1.187.646 jiwa, dengan 19.811 jiwa diantaranya bermata pencaharian di sektor kelautan dan perikanan. Kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan erat dengan pantai dan laut adalah nelayan, petambak ikan dan petambak garam. Kegiatan lain yang memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir adalah pariwisata, budidaya laut, pertambangan dan konservasi. Kabupaten Pati memiliki 7 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersebar di
4 kecamatan, yaitu Dukuhseti, Juwana, Batangan, dan Tayu.
Pelelangan ikan terbesar terdapat di PPI Bajomulyo – Juwana. Volume total produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 adalah 51.193 ton.
Volume
pelelangan tertinggi pada tahun 2003 terdapat di PPI Bajomulya - Juwana, yaitu 94,44% dari total produksi, diikuti TPI Banyutowo - Dukuhseti 3,35%, dan TPI Sambiroto - Tayu 1,97%, serta sisanya tersebar di TPI Pecangaan – Batangan, Margomulyo – Tayu, Puncel – Dukuhseti, dan Alasdowo – Dukuhseti. Peningkatan jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Pati tidak terlepas dari meningkatnya sarana dan prasarana penangkapan. Dalam kurun waktu 1998 – 2002, jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan jumlah nelayan mengalami peningkatan (Tabel 12).
Jenis alat tangkap yang terdapat di
Kabupaten Pati terdiri dari pukat cincin (purse seine), dogol, jaring insang (gill net), trammel net, cantrang, pancing dan bundes. Wilayah penangkapan nelayan yang mendaratkan ikannya di Kabupaten Pati adalah perairan Selat Karimata, Selat Makasar, Bawean, Masalembo dan Kep. Natuna. Untuk mendukung terwujudnya peningkatan nilai tambah industri perikanan di Kabupaten Pati dibuat sentra industri pengolahan ikan di
86
Kecamatan
Juwana.
Sentra industri ini selain diarahkan untuk efisiensi
produksi juga diharapkan dapat menjadi sarana pembinaan para industri pengolahan ikan skala rumah tangga dan menjadi pusat pemasarannya. Tabel 12. Jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan nelayan di Kabupaten Pati pada tahun 1998-2002 Tahun
Nelayan
1998
Armada Tangkap Alat Tangkap (Kapal Motor) 1.325 1.661
1999
1.751
2.085
5.225
2000
1.804
2.334
5.409
2001
2.410
2.422
5.711
2002
2.621
2.563
6.197
Pertumbuhan
2,88%
1,87%
2,23%
5.190
Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2003. Kabupaten Cilacap (Kawasan Pengembangan III). 2
Cilacap mempunyai luas wilayah 2.138 km
Kabupaten
merupakan daerah terluas
diantara 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap terbagi dalam 24 Kecamatan dan 11 Kecamatan diantaranya memiliki wilayah pantai. Pada tahun 2003, Kabupaten Cilacap berpenduduk 1.641.849 jiwa, mempunyai potensi industri besar seperti kilang bahan bakar minyak Pertamina, pabrik semen, industri pupuk kantong, biji coklat, bahan karet, tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu, dan pasir besi, serta sentra industri jamu tradisional terbesar di Jawa Tengah.
Potensi lain adalah
pertanian, perkebunan rakyat dan pariwisata. Potensi kelautan di Kabupaten Cilacap sangat besar, garis pantai + 201,9 km dan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia + 80 km. Potensi perikanan pantai 56.380 ton, dan pada tahun 2001 baru dimanfaatkan 29.841 ton (52,9%). Potensi perikanan lepas pantai 852.600 ton dan baru dimanfaatkan 13.508,9 ton (1,6%) (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003).
Daerah
penangkapan meliputi perairan Teluk Penyu, teluk Penunjang (Pangandaran)
87
dan selatan Yogyakarta sampai Pacitan. Luas daerah penangkapan + 5.200 km2. Jumlah nelayan di Kabupaten Cilacap + 21.348 orang. Sarana dan prasarana penangkapan yang ada di Kabupaten Cilacap adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dengan kapasitas 250 kapal, tempat pelelangan ikan sebanyak 11 unit (6 TPI Provinsi dan 5 TPI Kabupaten), pabrik es kapasitas 236 ton sebanyak 5 unit, cold storage kapasitas 75 ton sebanyak 3 unit, serta kawasan industri dan zona pengembangan seluas 16,81 ha. Armada penangkapan sebanyak 4.538 buah yang terdiri dari motor tempel 1.139 unit, perahu tanpa motor 649 unit, kapal motor 2.635 unit dan kapal longline 115 unit (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003). Pengolahan pasca panen produksi hasil perikanan di Kabupaten Cilacap dengan menggunakan teknologi modern dan tradisional.
Daerah
pemasaran produk yang dihasilkan adalah pasar lokal sampai ekspor. Jumlah pengolah yang menggunakan teknologi modern sebanyak 11 perusahaan, sedangkan secara tradisional yang dikelola oleh Kelompok Tani Wanita nelayan dan perorangan sebanyak 28 buah. Tahun 2002 perusahaan eksportir yang mendapat sertifikat kelayakan mutu dari LPPMHP Cilacap sebanyak 7 perusahaan. Hasil pengolahan produksi perikanan secara modern yang umumnya merupakan produk ekspor, diantaranya produk beku seperti tuna, udang, keong, dan layur; produk kering/asin seperti ubur-ubur, teri dan ebi; serta produk kaleng dari ikan cakalang dan tuna. Negara tujuan utama ekspor produk perikanan Cilacap adalah Amerika Serikat, Jepang dan China. Pada jenis ikan dan udang tertentu untuk komoditas ekspor, tidak diolah di Cilacap, tetapi diolah di luar daerah seperti Jakarta, sehingga mengurangi nilai jual dari produk tersebut, berkurangnya peluang kerja bagi warga Cilacap dan berkurangnya PAD.
88
B. Pemilihan Komoditas Perikanan Laut
Potensial
dan Produk Unggulan Agroindustri
Sub Model Pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan komoditas dan produk unggulan yang diunggulkan.
Sub Model
Pemilihan menggunakan metode Independent Preference Evaluation dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making, yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan dan bobot masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan / prioritas alternatif. Mengingat komoditas perikanan laut beragam jenisnya, penanganan pascapanen dan kriteria untuk menghasilkan produk unggulan agroindustri juga beragam, maka diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem agroindustri perikanan laut, komoditas perikanan akan menjadi bahan baku bagi kegiatan agroindustri sehingga jumlah dan kontinuitas menjadi faktor penting bagi keberlangsungan agroindustri yang dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan adalah dengan menentukan prioritas komoditas potensialnya.
Selain jumlah dan
kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga akan mempengaruhi keberlangsungan agroindustri adalah mutu dan nilai ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih tiga jenis komoditas potensial, selanjutnya dikombinasikan dengan 12 jenis penanganan pascapenen, sehingga terdapat 36 alternatif produk agroindustri. Sedangkan untuk menetapkan produk unggulan agroindustri perikanan laut pada suatu wilayah harus memenuhi berbagai kriteria agar agroindutri tersebut mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha agroindustri, juga bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat. Terdapat 10 kriteria untuk menentukan produk unggulan agroindustri. Kriteria pemilihan komoditas dan produk ditentukan oleh pakar, dan pembobotannya ditentukan melalui metode OWA Operator.
89
1. Pemilihan Komoditas Potensial Agroindustri Perikanan Laut Ketersediaan bahan baku merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. pengembangan
agroindustri
Berdasarkan alasan tersebut, untuk
perikanan
laut
di
suatu
daerah
perlu
memperhatikan komoditas potensial yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga diharapkan persoalan bahan baku dapat diatasi. Mengingat jenis komoditas perikanan laut sangat beragam, pemilihan komoditas yang dianggap potensial di suatu daerah harus didasarkan pada kriteria yang jelas. Pemilihan komoditas potensial di Provinsi Jawa Tengah ditentukan berdasarkan enam kriteria, yaitu (1) volume produksi, (2) kontinuitas produksi, (3) mutu hasil tangkapan, (4) nilai ekonomis komoditas, (5) peluang diversifikasi, dan (6) keterpusatan lokasi pendaratan. Pembobotan masingmasing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas potensial menggunakan OWA Operator dengan hasil seperti pada Tabel 13 dan Lampiran 14. Tabel 13 Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial No 1 2
Kriteria Volume Kontinuitas
3
Mutu
4
Nilai ekonomis
5
Peluang diversifikasi
6
Lokasi pendaratan
Deskripsi Volume hasil tangkapan Ketersediaan komoditas sepanjang tahun Kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan Harga jual komoditas dan kemudahan dalam pemasaran Peluang komoditas diproses menjadi berbagai ragam produk olahan Keterpusatan lokasi pendaratan komoditas
Agregat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
90
Berdasarkan hasil pada Tabel 13 diketahui bahwa mutu bahan baku mendapat nilai sangat tinggi,
artinya kesegaran dan keamanan konsumsi
komoditas hasil tangkapan merupakan kriteria terpenting bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Mutu bahan baku merupakan parameter yang sangat penting untuk menghasilkan produk bermutu tinggi.
Lima kriteria
lainnya memiliki derajat kepentingan yang sama tinggi.
Volume dan
kontinuitas bahan baku/komoditas merupakan faktor yang penting untuk keberlangsungan suatu industri agar dapat beroperasi sesuai kapasitas mesin terpasang sepanjang waktu. Faktor nilai ekonomis bahan baku merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan agroindustri. Pada pengembangan agroindustri diharapkan tidak hanya industri pasca panen saja yang diuntungkan, tetapi juga harus menguntungkan pihak nelayan sebagai penghasil bahan baku. Komoditas perikanan yang memungkinkan adanya diversifikasi produk mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan komoditas perikanan yang tidak mempunyai peluang diversifikasi. Hal ini penting untuk mengantisipasi adanya kejenuhan terhadap satu produk agroindustri, baik dari segi permintaan maupun harga. Komoditas yang berpeluang dilakukan diversi fikasi produk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan tuntutan pasar. Faktor keterpusatan lokasi pendaratan komoditas harus diperhitungkan di dalam pengembangan suatu agroindustri. Komoditas yang produksinya terpusat akan memudahkan dalam pengumpulan bahan baku sehingga, akan menghemat biaya transportasi; sedangkan komoditas yang produksinya tersebar akan menyulitkan di dalam pengumpulan, sehingga meningkatkan biaya transportasi. Terkait dengan sifat-sifat fisik dan kimiawinya, komoditas perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (perishable). Terpusatnya lokasi pendaratan dan kedekatannya dengan lokasi pengolahan akan mengurangi laju kerusakan ikan dan memudahkan penanganan hasil tangkapan, dengan asumsi bahwa ikan setibanya di tempat pengolahan langsung diolah atau diawetkan, misalnya dengan pengesan atau pendinginan. Dengan demikian, tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan, sekaligus akan menghemat biaya produksi yang dikeluarkan untuk proses pengawetan.
91
Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah dipilih 18 alternatif komoditas perikanan laut yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku agroindustri, yaitu (1) peperek, (2) manyung, (3) cucut, (4) pari, (5) layang, (6) tigawaja, (7) layur, (8) tuna, (9) cakalang, (10) selar, (11) teri, (12) tembang, (13) lemuru, (14) kembung, (15) tengiri, (16) tongkol, (17) udang dan (18) ubur-ubur. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun 1994 – 2002 disajikan pada Lampiran 15 dan 16. Prioritas komoditas potensial di masing-masing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Komoditas. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing kawasan pengembangan.
Proses pemilihan komoditas di masing-masing
kawasan dilaksanakan di kota/kabupaten yang menjadi pusat pertumbuhannya. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 14 serta Lampiran 17, 18 dan 19. Tabel 14. Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan No. Jenis Ikan Pekalongan (KP I) Pati (KP II) Cilacap (KP III ) 1 Peperek Sangat Rendah Rendah Rendah 2 Manyung Rendah Sedang (3) Sedang 3 Cucut Rendah Rendah Sedang 4 Pari Rendah Rendah Sedang 5 Layang Sedang (1) Sedang (1) Rendah 6 Tigawaja Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 7 Layur Rendah Rendah Sedang 8 Tuna Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (1) 9 Cakalang Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (2) 10 Selar Rendah Sedang (4) Rendah 11 Teri Sangat Rendah Rendah Rendah 12 Tembang Rendah Sedang (5) Rendah 13 Lemuru Sedang (2) Sedang (6) Rendah 14 Kembung Sedang (3) Sedang (2) Sedang 15 Tengiri Rendah Rendah Sedang 16 Tongkol Sedang (4) Rendah Sedang 17 Udang Sangat Rendah Rendah Tinggi (3) 18 Ubur-ubur Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan komoditas potensial terpilih
92
Komoditas
Perikanan
Laut
Potensial
Kota
Pekalongan.
Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan prioritas komoditas potensial, yaitu volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan bagi masing-masing komoditas diketahui bahwa komoditas potensial dari Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I/KP I) adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol.
Volume produksi keempat jenis ikan potensial yang menjadi
unggulan Kota Pekalongan tersebut selama tahun 1994 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 20.
120,000
Volume (Ton)
100,000 80,000 Layang
60,000
Kembung Lemuru
40,000
Tongkol
20,000
Total
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 17.
Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003
Gambar 17 menunjukkan bahwa produksi hasil tangkapan Kota Pekalongan dalam kurun waktu 10 tahun (1994 - 2003) mengalami penurunan dengan laju 5,95%. Dari keempat jenis ikan yang potensial, ikan layang mengalami laju penurunan terbesar 10,20%, diikuti ikan tongkol yang juga mengalami penurunan 3,04%. Volume produksi ikan kembung dan lemuru meningkat masing-masing dengan laju 3,09% dan 3,68%.
Meskipun
mengalami penurunan, ikan layang masih merupakan hasil tangkapan utama di Kota Pekalongan, yaitu 23% – 67% dari total tangkapan.
93
Meskipun secara kuantitatif volume produksi mengalami penurunan, pada kurun waktu yang sama, nilai produksi perikanan laut Kota Pekalongan mengalami kenaikan 16,88%.
Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar
adalah ikan layang 21,17%, diikuti ikan kembung 17,90% dan ikan tongkol 11,33%.
20,77%, ikan lemuru
Peningkatan nilai ekonomis hasil
tangkapan perikanan laut terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 18). Hal ini terkait dengan anjloknya nilai rupiah terhadap mata uang asing, yang terjadi pada saat krisis moneter pada tahun 1998.
Krisis tersebut
mengakibatkan terjadinya peningkatan harga-harga barang dan jasa, termasuk harga komoditas perikanan laut.
Nilai (Rp. 1000)
250,000,000 200,000,000
Layang Kembung
150,000,000
Lemuru Tongkol
100,000,000
Total 50,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 18.
Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003
Perkembangan harga rataan ikan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa harga ikan layang per kilogram meningkat dari Rp 622,00 (1994) menjadi Rp 1.958,00 pada awal krisis (1998) dan Rp 4.064,00 pada tahun 2003 (Gambar 19).
Laju peningkatan harga ikan layang adalah 31,35%.
Angka ini menunjukkan laju peningkatan harga ikan layang lebih besar dibanding harga ikan secara total sebesar 23,87%. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dinyatakan bahwa kenaikan nyata dari nilai produksi terjadi bukan disebabkan karena peningkatan volume pelelangan, tetapi lebih diakibatkan karena meningkatnya
94
nilai jual masing-masing ikan. Laju peningkatan nilai produksi sebanding dengan laju peningkatan harga komoditas perikanan yang dapat dilihat dari peningkatan harga ikan per satuan kilogram, yaitu ikan lemuru 25,63%, kembung 24,86% dan tongkol 16,41%. Pada tahun 2003, kontribusi nilai produksi ikan layang adalah Rp 51,9 M atau senilai 30,81% dari total nilai produksi Kota Pekalongan sebesar Rp 168,4 M.
Harga rataan komoditas (Rp/Kg)
5,000 4,000 3,000 layang Kembung
2,000
Lemuru Tongkol
1,000
Total
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 19 Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 Dari sudut pandang nelayan, peningkatan harga ikan sangat diharapkan untuk menutupi ongkos perbekalan melaut dan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, di sisi lain peningkatan harga ini dikhawatirkan akan menjadi beban tersendiri bagi usaha pasca panen, yaitu terjadinya peningkatan ongkos produksi sehingga harga produk agroindustri menjadi kurang kompetitif di pasaran. Berdasarkan wawancara dengan nelayan diketahui bahwa waktu melaut kapal-kapal dengan alat tangkap pukat cincin umumnya berkisar 30 40 hari.
Panjangnya masa melaut inilah yang mengakibatkan ongkos
perbekalan sangat tinggi. Kondisi ini sulit dihindari akibat Laut Jawa telah mengalami over fishing, sehingga wilayah penangkapan meluas sampai ke perairan Selat Makasar dan Laut China Selatan.
95
Namun demikian,
hal ini memberikan keuntungan tersendiri,
sebagaimana dinyatakan oleh Widodo (2003) bahwa kondisi tersebut secara tidak langsung merupakan pola penangkapan dengan “regulasi penangkapan” secara alamiah. Dengan tiadanya aktivitas di Laut Jawa tatkala sebagian besar nelayan pukat cincin menangkap ikan di Laut Cina Selatan dan Selat Makasar, telah memberi peluang bagi sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa untuk melakukan semacam “ recovery”. Dengan asumsi inilah pelagis kecil di Laut Jawa sepertinya berkesinambunga (sustained) selama lebih dari dua dekade.
Kondisi ini cukup menguntungkan bagi perikanan rakyat, dimana
nelayan yang hanya memiliki kapal kecil dan memiliki keterbatasan ongkos perbekalan masih dapat mencari tangkapan di Laut Jawa. Komoditas Potensial Kabupaten Pati. Hal yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh kinerja hasil tangkapan di Kabupaten Pati yang dalam periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan kecenderungan menurun, dengan laju 1,98%. Total volume produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 51.193 ton dengan nilai Rp 149,7 M (Diskanlut Kabupaten Pati, 2004). Komoditas potensial bagi pengembangan produk agroindustri yang menjadi prioritas
di Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II/KP II)
adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru. Ikan layang, kembung, selar, tembang dan lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil, sedangkan manyung merupakan jenis ikan demersal. Volume produksi ikan pelagis yang dilelang di Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 29.720 ton (58,06%). Ikan layang merupakan hasil tangkapan utama Kabupaten Pati, yaitu 14 992 ton (29,28 %) pada tahun 2003, namun demikian selama kurun waktu 1994 – 2003 volume produksi terus mengalami penurunan dengan laju 5,53% (Gambar 20 dan Lampiran 21).
Komoditas potensial lain yang juga
mengalami penurunan adalah ikan tembang (3,25%) dan lemuru (0,70%). Sedangkan volume produksi ikan kembung, manyung dan selar terjadi peningkatan sebesar 2,72%, 27,54% dan 2,62%.
96
80,000
Volume (Ton)
Layang Kembung
60,000
Manyung Selar
40,000
Tembang Lemuru
20,000
Total
1994
1995
1996
1997
1998
1999 2000
2001 2002
2003
Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 20. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Keberadaan jenis tangkapan yang hampir sama pada 2 (dua) wilayah (KP I dan KP II) yang terletak pada lokasi sejalur, yaitu Pantai Utara Jawa (pantura) diantaranya disebabkan oleh dominasi jenis alat tangkap yang sama, yaitu pukat cincin (purseine/mini purseine), serta
lokasi penangkapan
(fishing ground) yang hampir sama (Laut Jawa, Laut China Selatan, Selat Karimata, Selat Makasar, dan Kepulauan Natuna). Sumber daya ikan pelagis Laut Jawa, yang merupakan fishing ground terdekat dengan wilayah sepanjang pantai utara jawa, terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai dan ikan pelagis neritik dan oseanik, seperti ikan lemuru, selar, kembung, tongkol dan layang.
Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp) merupakan
komponen utama di perairan ini (Atmadja, et al., 2003). Atmadja, et al., (2003) menyatakan bahwa komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya adalah layang, bentong (selar), kembung, sero (lemuru) dan juwi (tembang).
Keenam spesies tersebut
memberi kontribusi lebih dari 90%, dan kelompok jenis ikan layang menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari total hasil tangkapan. Volume produksi ikan dengan menggunakan
alat tangkap pukat cincin
Kabupaten Pati tahun 2002 adalah 40.264 ton (79,19%) dengan nilai Rp 127,5 M (77,19%).
97
Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September – Februari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret – Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 0/00) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makasar dan Laur Flores, sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<320/00) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa (Veen dan Wyrki di dalam Atmadja, et al., 2003).
Kondisi ini menyebabkan kelompok ikan
oseanik, khususnya ikan layang dan kembung cenderung bergerak ke arah timur mengikuti pergerakan massa air bersalinitas tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Atmadja, et al. (2003), bahwa pada musim peralihan dari musim timur dan musim barat (September – November) di perairan bagian timur Laut Jawa hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan volume produksi Kabupaten Pati, yang termasuk dalam wilayah bagian timur Laut Jawa, dimana puncak produksinya pada tahun 2003 terjadi pada bulan Agustus – November (Gambar 21). 7000000 6000000
Volume (Kg)
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
Januari
M aret
M ei
Juli
September
November
Bulan
Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, 2004. Gambar 21. Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003
98
Ikan manyung yang merupakan jenis ikan demersal merupakan hasil tangkapan utama dari pancing (longline). Jenis ikan lain yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap pancing diantaranya adalah cucut, pari, kakap dan tongkol. Volume hasil tangkapan dengan alat tangkap pancing Kabupaten Pati pada tahun 2002 adalah 6.348 ton (12,47%) dengan nilai produksi sebesar Rp. 32,6 M. Lokasi penangkapan nelayan Kabupaten Pati yang menggunakan alat tangkap pancing adalah Laut Jawa (sekitar Pulau Bawean dan Kepulauan Masalembo), Selat Makasar dan Kepulauan Natuna. Dari sisi ekonomis nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati selama kurun waktu 1994 - 2003 mengalami kenaikan, yaitu 18,47%. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan manyung 46,13%, diikuti ikan kembung 30,95%, lemuru 27,96%, tembang 26,02%, selar 23,21% dan layang 19,67%. Peningkatan laju nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut Kabupaten Pati secara mencolok juga terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 22).
N ila i (R p . 1 0 0 0 )
2 0 0 ,0 0 0 ,0 0 0
L a ya n g Kem bung M a n yu n g S e la r Tem bang L e m u ru T o ta l
1 6 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 2 0 ,0 0 0 ,0 0 0 8 0 ,0 0 0 ,0 0 0 4 0 ,0 0 0 ,0 0 0 19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 22. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Laju kenaikan nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati tidak terlepas adanya peningkatan harga rataan ikan yang cukup nyata selama 10 tahun (1994 – 2003), yaitu 22,22%. Laju kenaikan harga ikan terbesar adalah ikan tembang 33,19%, diikuti oleh ikan layang 31,28%, selar 25,34%, lemuru 24,95%, kembung 19,88% dan manyung 19,37% (Gambar 23).
Harga rataan komoditas (Rp/Kg)
99
7,000 6,000
Layang
5,000
Kembung
4,000
Manyung Selar
3,000
Tembang
2,000
Lemuru
1,000
Total
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 23. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Berdasarkan grafik pada Gambar 23 terlihat bahwa ikan manyung memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibandingkan jenis ikan lainnya. Harga tertinggi ikan manyung terjadi pada tahun 2001, yaitu Rp. 5.942,00 per kilogram. Jenis ikan yang relatif memiliki nilai ekonomis rendah adalah ikan tembang dan lemuru. Komoditas Potensial Kabupaten Cilacap. Komoditas perikanan potensial di Kabupaten Cilacap dengan prioritas tinggi adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas perikanan tersebut dipilih, karena pada seluruh kriteria pemilihan didapatkan nilai tinggi – sangat tinggi, artinya memiliki dukungan besar terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut baik, dari sisi volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap (2004), data produksi Kabupaten Cilacap pada tahun 2003 menunjukkan total persentase ikan tuna, cakalang dan udang sebesar 67.81% dari total produksi 7.671,7 ton, yaitu ikan tuna
669,7 ton (8,73%), ikan
cakalang 3.756,1 ton (48,96%) dan udang 776,4 ton (10,12%). Namun demikian, produktivitas hasil tangkapan Kabupaten Cilacap selama periode
100
1994 – 2003 mengalami pertumbuhan negatif
4,39%.
Penurunan
produktivitas ini juga dialami oleh udang dengan laju 3% (Gambar 24 dan Lampiran 22).
25,000.0
volume (Ton)
20,000.0 Tuna
15,000.0
Cakalang Udang
10,000.0
Total
5,000.0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 24. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Data statistik ikan tuna sampai dengan tahun 2000 dijadikan satu data produksi dengan ikan cakalang. Mulai tahun 2001, data produksi ikan tuna dan cakalang dipisahkan.
Selama tiga tahun, produktivitas ikan tuna
mengalami penurunan cukup besar (40,17%), dan produksi ikan cakalang mengalami peningkatan dengan laju 3,76%. Puncak produksi perikanan laut Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, yaitu 23.149 ton. Meskipun puncak produksi di Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, tetapi puncak nilai produksi terjadi pada tahun 1998 yang diakibatkan penurunan oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terlebih komoditas perikanan laut hasil tangkapan Kabupaten Cilacap merupakan komoditas ekspor.
Secara umum nilai produksi Kabupaten Cilacap periode
1994 – 2003 meningkat dengan laju 11,87%. Dari total nilai produksi Rp 37,8 M pada tahun 2003, 71,69% disumbangkan oleh ikan tuna, cakalang dan udang.
Gambar 25 menunjukkan bahwa nilai ekonomis terbesar
disumbangkan oleh udang, dengan laju pertumbuhan 21,99%, kemudian
101
diikuti oleh ikan cakalang 8,44%.
Seiring dengan penurunan volume
produksi, nilai produksi ikan tuna selama 3 tahun 2001 – 2003 juga mengalami kemerosotan dengan laju 31,85%.
100,000,000
Nilai (Rp. 1000)
80,000,000 60,000,000
Tuna Cakalang
40,000,000
Udang Total
20,000,000 1994
1995 1996
1997
1998 1999
2000
2001 2002
2003
Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 25. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Udang yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomis tinggi, harga rataannya selama periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan laju kenaikan 23,70% dan secara nyata memperlihatkan nilai yang lebih besar dibandingkan kedua jenis komoditas lainnya (Gambar 26). Namun demikian, grafik pada Gambar 26 tersebut menunjukkan harga yang fluktuatif dengan nilai harga tertinggi per kilogramnya pada tahun 1998 dan 2000. Fluktuasi ini terjadi karena komposisi jenis udang hasil tangkapan yang bervariasi. Mengacu data statistik provinsi, ada 6 jenis udang produksi Kabupaten Cilacap yang dihitung dalam satu data statistik ini, terdiri dari udang jerbung, dogol, tiger, lobster, barat dan krosok.
Udang jerbung, tiger dan lobster
memiliki kisaran harga Rp 50.000 – Rp 75.000,00. Harga udang dogol berkisar Rp 25.000 - Rp 30.000,00. krosok rataan kurang dari Rp 10.000,00.
Sedangkan harga udang barat dan
102
Harga udang selain ditentukan oleh jenis, juga dipengaruhi oleh ukuran dan mutu udang tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya udang merupakan bahan baku industri yang produknya berupa udang beku untuk ekspor ke berbagai negara tujuan. Mutu udang menjadi faktor paling determinatif bagi bahan baku industri, diikuti oleh ukuran udang. Semakin segar dan semakin besar ukurannya, umumnya memiliki harga yang lebih tinggi. Grading dan sizing sangat selektif dilakukan dalam industri pembekuan udang, karena
Harga Rataan Komoditas (Rp./Kg)
proses tersebut akan menentukan harga masing-masing kelompok udang.
40,000 30,000 Tuna
20,000
Cakalang Udang
10,000
Total -
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 26. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Grafik harga rataan ikan cakalang relatif landai dengan laju kenaikan 11.08%. Kisaran harga ikan cakalang sejak tahun 1998 berkisar Rp 2.200 Rp 3.400,00. Sedangkan harga ikan tuna selama 3 tahun meningkat dengan laju 15,26%, dengan kisaran harga Rp 6.900 - Rp 9.200,00. Kabupaten Cilacap secara langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Samudera Hindia adalah salah satu Samudera terbesar di dunia, yang di dalamnya tersimpan kekayaan sumber daya ikan tuna yang besar. Sumber daya tersebut terdiri dari beberapa jenis, baik tuna besar (madidihang, mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan, tongkol abu-abu dan cakalang), tuna kecil (kawakawa, tongkol, lisong, tongkol gigi anjing, kenyar dan selengseng) dan paruh panjang (layaran, pedang, serta setuhuk hitam, biru dan loreng).
103
Ikan tuna umumnya ditangkap dengan kapal tuna longline yang ukurannya bervariasi. Kapal tuna kecil yang berukuran kurang dari 10 GT umumnya beroperasi untuk menangkap tuna segar untuk diekspor. Oleh karena itu, tripnya tidak lama (sekitar 10 hari) (Merta et al. 2003). Potensi sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia masih cukup besar dan armada kapal tuna longline yang beroperasi di perairan tersebut sebenarnya mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan tuna yang dilelang di Kabupaten Cilacap kemungkinan disebabkan oleh faktor tidak berkembangnya industri pasca panen tuna (khususnya pembekuan). Ikan tuna yang didaratkan di Cilacap umumnya langsung dibawa ke Jakarta untuk proses pengolahan lanjutan.
Penurunan produksi di
Kabupaten Cilacap kemungkinan juga disebabkan pertimbangan efisiensi dan menjaga kesegaran ikan, sehingga pendaratan ikan bergeser ke Muara Baru Jakarta atau ke Benoa Bali. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan dalam pelayanan proses pembongkaran ikan dengan wilayah lain, dimana kapal umumnya akan memilih TPI yang memberi pelayanan pembongkaran ikan secepatnya. 2. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut Penentuan jenis produk unggulan di setiap kawasan pengembangan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal dari jenis-jenis produk yang memungkinkan untuk dikembangkan. Bila suatu daerah memilki beberapa alternatif produk yang mungkin untuk dikembangkan, maka harus dipilih jenis produk yang didasarkan kepada jenis produk yang mampu memberikan nilai lebih berdasarkan berbagai kriteria. Kriteria
yang
digunakan
untuk
pemilihan
produk
unggulan
agroindustri perikanan laut (AIPL) adalah (1) volume, kontinuitas dan mutu bahan baku; (2) kesesuaian teknologi pasca panen; (3) nilai tambah produk; (4) daya serap pasar; (5) penyerapan tenaga kerja; (6) permodalan; (7) dampak ganda terhadap sektor lain; (8) ketersediaan sarana dan prasarana; (9) kebijakan pemerintah daerah; dan (10) dampak terhadap lingkungan. Hasil
104
pembobotan kriteria yang dianalisis dengan metode OWA Operator disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 23. Setelah proses pembobotan dari sepuluh kriteria tersebut, selanjutnya dilakukan proses pemilihan alternatif produk dengan memberikan penilaian (skor) pada masing-masing produk alternatif. Tabel 15. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut No Kriteria 1 Bahan baku
Agregat Tinggi
2
Tinggi
3
4 5 6 7 8 9
10
Deskripsi Kuantitas, kontinuitas dan mutu komoditas perikanan laut sebagai bahan baku industri Teknologi Kesesuaian dan tingkat penguasaan teknologi pasca panen pasca panen untuk menangani/mengolah komoditas menjadi produk agroindustri Nilai tambah Nilai tambah produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat keuntungan yang diperoleh akibat diterapkannya teknologi pasca panen terhadap komoditas Pasar Peluang dan daya serap pasar terhadap produk yang dihasilkan di pasar domestik dan global Tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja oleh kegiatan agroindustri Permodalan Ketersediaan fasilitas kredit untuk investasi dan operasional usaha Dampak Dampak ganda terhadap sektor lain (industri ganda penangkapan ikan, bahan penolong, pengemasan, transportasi, komunikasi, dll) Sarana dan Ketersediaan utilitas produksi (air, prasarana listrik/sumber energi lain, telepon) dan infrastruktur (transportasi, pergudangan, dll) Kebijakan Kebijakan pemerintah pusat dan daerah pemda dalam sistem insentif/tarif, kemudahan berinvestasi, kemudahan ekspor, UMR dan kepastian hukum Lingkungan Terjaganya mutu lingkungan hidup melalui hidup pengaturan eksploitasi sumber daya perikanan dan proses produksi berwawasan lingkungan
Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi
Dari pembobotan kriteria, terlihat bahwa seluruh kriteria yang disusun untuk pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut memiliki bobot tinggi.
Bahan
baku
merupakan
faktor
penentu
yang
akan
sangat
mempengaruhi kelangsungan agroindustri yang akan dikembangkan. Tanpa
105
didukung oleh pasokan bahan baku secara kontinyu, sulit bagi agroindustri dapat berlangsung dengan baik. Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (highly perishable), sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat untuk mencegah proses pembusukan atau segera dilakukan pengolahan yang sekaligus merupakan upaya untuk pengawetan.
Secara teknis, hasil
perikanan laut dimanfaatkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk segar dan olahan. Komoditas perikanan baik yang segar maupun olahan membutuhkan teknologi untuk penanganan yang tepat.
Kesesuaian teknologi pasca panen bagi
komoditas potensial sangat penting agar produk yang dihasilkan memberikan nilai tambah yang optimal bagi komoditas tersebut. Nilai tambah sangat penting untuk diperhatikan
bagi usaha
agroindustri, karena menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh apabila produk unggulan tersebut dikembangkan. Suatu usaha industri selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Keyakinan untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan suatu kegiatan usaha akan meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan agroindustri perikanan laut. Dalam hal ini, peluang pasar sangat penting karena dapat menunjukkan prospek kebutuhan akan produk agroindustri yang akan diunggulkan, baik pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor ini merupakan faktor yang sangat mendukung upaya pengembangan, mengingat nelayan selalu kesulitan dalam memasarkan hasil tangkapan, sementara produk perikanan sangat rentan dengan penyimpanan yang cukup lama tanpa perlakuan. Potensi pasar menjadi kriteria determinatif penting, karena akan menggambarkan prospek produk, baik pemenuhan kebutuhan dalam negeri (lokal) maupun untuk pasar ekspor. Besarnya peluang pasar bagi produk unggulan agroindustri dapat menggambarkan besarnya potensi untuk pengembangan dan investasi. Pemilihan produk unggulan di masing-masing pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan didasarkan pada tiga jenis komoditas pada urutan teratas pemilihan komoditas potensial. Prioritas produk unggulan di masingmasing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam
106
kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Produk. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing pusat pertumbuhan. Masing-masing jenis ikan dipasangkan pada alternatif perlakuan pasca panen yang umum diterapkan pada komoditas perikanan.
Berdasarkan
klasifikasi cara perlakuan dalam buku Statistik Perikanan Indonesia, studi pustaka dan wawancara dengan pakar, ditentukan 12 alternatif teknologi pasca panen yang dapat menghasilkan produk agroindustri perikanan laut, yaitu (1) penanganan hidup, (2) pendinginan (segar), (3) pembekuan (termasuk fillet dan loin), (4) pengeringan/pengasinan, (5) pemindangan (termasuk presto), (6) pengasapan/ pemanggangan, (7) fermentasi (terasi, kecap ikan, petis dan peda), (8) pengalengan, (9) pembuatan tepung ikan, (10) pembuatan surimi, (11) pengolahan produk dari daging lumat (bakso, otak-otak, nugget, kaki naga, dan lain-lain), dan (12) pembuatan kerupuk ikan. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I).
Pemilihan produk unggulan
Kota Pekalongan didasarkan pada tiga komoditas potensial, yaitu ikan layang, lemuru dan kembung. Hasil penilaian terhadap produk agroindustri unggulan yang potensial untuk dikembangkan di Kota Pekalongan yang berada diurutan pertama adalah Ikan Layang Asin (Tabel 16 dan Lampiran 24). Hasil penelitian ini didukung oleh data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan (2003) yang menunjukkan bahwa secara umum cara perlakuan dengan pendinginan (ikan segar) di Kota Pekalongan pada periode tahun 1993 – 2002 mengalami penurunan dengan laju 10%, sebaliknya pengasinan dan pemindangan mengalami peningkatan dengan laju 20% dan 4% (Gambar 27 dan Lampiran 25).
107
Tabel 16. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan No
Penanganan Pasca Layang Lemuru Kembung Panen 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang (4) Rendah Sedang (3) 3 Beku Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 4 Kering/Asin Sedang (1) Rendah Rendah 5 Pemindangan Sedang (2) Sedang (5) Sedang (6) 6 Pemanggangan/asap Rendah Rendah Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 8 Pengalengan Rendah Rendah Sangat Rendah 9 Tepung ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 10 Surimi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 11 Olahan daging lumat Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 12 Kerupuk ikan Sangat Rendah Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih
100,000 80,000 Volume (Ton)
Segar
60,000
Pindang
40,000
Asin
20,000 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2003. Gambar 27. Volume produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002 Komposisi produk agroindustri tersebut sesuai dengan komposisi bakul ikan yang menangani ikan hasil tangkapan Kota Pekalongan. Pada tahun 2002, terdapat 105 bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, dimana 70 orang bakul diantaranya berdomisili di Kota Pekalongan dan selebihnya berasal dari daerah lain, terutama dari Kabupaten Rembang.
Dari 70 orang tersebut,
16 orang
108
diataranya menangani dalam bentuk pendinginan (pengesan) dan dijual dalam bentuk segar, 24 orang melakukan pemindangan dan 30 orang melakukan proses pengeringan/pengasinan. Perlakuan pengasinan terhadap ikan layang tidak terlepas dari pengaruh mutu hasil tangkapan yang didaratkan di Kota Pekalongan. Kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan di Kota Pekalongan umumnya memiliki masa melaut rataan 30 – 40 hari. Karena keterbatasan perbekalan es selama melaut, maka untuk pengawetan ikan yang ditangkap lebih awal umumnya diperlakukan dengan proses penggaraman. Proporsi pengawetan ikan di kapal umumnya 1/3 bagian hasil tangkapan awal diberi garam, 1/3 bagian hasil tangkapan berikutnya diberi campuran garam dan es, dan 1/3 bagian hasil tangkapan terakhir diawetkan dengan es. Ikan yang diawetkan dengan garam selanjutnya diolah menjadi ikan asin (kering-asin), sedangkan ikan yang diberi campuran es dan garam diperlakukan sebagai bahan baku pemindangan,
sedangkan
ikan
yang
diawetkan
dengan
“pengesan”
selanjutnya dijual dalam bentuk segar. Ikan yang telah digarami dan disimpan dalam waktu lama di kapal memiliki mutu yang rendah. Alternatif pengolahan yang dilakukan terhadap ikan dengan mutu tersebut sangat terbatas, umumnya diperlakukan dengan pengeringan/pengasinan atau sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan. Pengolahan menjadi ikan asin merupakan upaya pengolahan sekaligus pengawetan ikan dengan teknologi dan peralatan sederhana dan modal relatif tidak besar. Ikan hasil tangkapan dari laut yang menjadi bahan baku industri ini umumnya telah digarami di kapal, sehingga proses lanjutannya adalah pencucian dan pengeringan.
Dengan cara tersebut, berarti metode
penggaraman yang dilakukan merupakan metode penggaraman kering, yaitu dengan cara menaburkan kristal garam pada ikan (Poernomo et al. 1988). Proses berikutnya adalah pencucian. Ikan layang dicuci tanpa melalui proses penyiangan terlebih dahulu, sehingga bentuk ikan utuh, karena ikan layang umumnya berukuran kecil, yaitu panjang 20 – 30 cm, lebar 4 – 6 cm, tebal 2025 mm dengan bobot 100 - 130 g. Proses pencucian dilakukan selain untuk menghilangkan kotoran dan lendir, juga untuk mengurangi deposit garam pada
109
permukaan daging ikan, sehingga ikan asin akan kelihatan lebih cemerlang. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan metode konvensional, yaitu penjemuran di lahan terbuka selama dua hari, dari jam 09.00 – 16.00 pada kondisi normal. Rendemen produksi ikan asin kurang lebih 67%. Di Kota Pekalongan, industri pengolahan ikan asin merupakan industri pengolahan tradisional yang dilakukan oleh berbagai tingkatan, mulai industri rumah tangga dengan kapasitas produksi 20-50 kg/hari dan modal kurang dari Rp. 100.000,00/hari sampai dengan kapasitas 4 – 5 ton/hari dan modal sampai Rp 20 juta dalam kegiatan lelang/hari. Namun demikian, baik industri yang bermodal kecil maupun besar umumnya dikelola sebagai usaha keluarga dengan manajemen tradisional dicirikan dengan tidak adanya struktur oragnisasi yang jelas dalam usaha tersebut.
Pemilik modal umumnya
sekaligus bertindak sebagai pengelola, peserta lelang, pengolah, sekaligus pemasar hasil produksi.
Proses pengambilan keputusan dilakukan secara
kalkulasi/pembukuan sederhana (cenderung intuitif) oleh pemilik modal. Meskipun merupakan industri tradisional, industri yang bergerak dalam pengolahan ikan asin mampu menyerap tenaga kerja cukup besar. Industri berkapasitas 20 – 50 kg/hari rataan menyerap tenaga kerja 2 – 4 orang, sedangkan industri berkapasitas 4 – 5 ton/hari umumnya mampu mempekerjakan 25 – 30 orang. Ikan layang asin, seperti halnya ikan asin pada umumnya, merupakan produk yang harganya tidak mahal, sehingga relatif terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Hal ini membuat ikan asin memiliki daya serap pasar besar. Daya awet ikan asin pada kondisi tanpa menggunakan proses pengemasan/penyimpanan yang rumit cukup tinggi, maka ikan asin memiliki jangkauan pasar yang luas, artinya pasar produk tersebut mampu menembus wilayah yang jauh dari sumber produksi, seperti masyarakat di daratan atau pegunungan yang jauh dari pantai/laut. Keawetan ikan asin disebabkan kadar air dan nilai aw yang rendah, tetapi memiliki kadar garam tinggi. Kadar air ikan layang asin kurang lebih 45,26%, nilai aw 0,772, garam 12,18%, protein 31,34%, lemak 6,74% dan abu 16,50% (Lampiran 26).
Dengan nilai Aw dan kadar air yang rendah, ikan
110
layang asin memiliki daya tahan tinggi terhadap kerusakan mikrobiologis. Kebanyakan bakteri pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,91, sedangkan khamir pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,88, dan kebanyakan kapang pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,80 (Fardiaz, 1992). Namun demikian, kadar garam yang tinggi pada ikan asin memungkinkan bakteri halofilik untuk tumbuh.
Bakteri halofilik dapat
tumbuh sampai aw 0,75, sedangkan kapang xerofilik yang pertumbuhan optimumnya pada kondisi kering dapat tumbuh sampai aw 0,65. Frazier and Westhoff (1981) menyatakan bakteri halofilik pada ikan asin antara lain dari jenis Serratia, Micrococcus, Bacillus, Alcaligenes dan Pseudomonas. Penelitian Pitt and Hocking (1985) pada 60 contoh ikan asin di Indonesia menyebutkan 50% sampel ditumbuhi kapang Polypaecilum pisce, 30% ditumbuhi Eurotium sp, khususnya E. rubrum, E. amstelodami dan E. repens. Selain itu juga ditemukan ikan asin yang ditumbuhi oleh A. penicilioides (24%), A. Niger (20%), A. flavus (18%), A. sydowii (16%) dan A. wentii (10%). Selain kerusakan mikrobiologis, kerusakan ikan asin diantaranya adalah munculnya warna coklat kotor pada permukaan tubuh ikan dan terdeteksinya bau tengik. Priono (1988) menyebutkan lemak yang dikandung ikan dapat teroksidasi menghasilkan senyawa aldehid, keton dan asam hidroksi yang merupakan penyebab bau tengik. Pembentukan warna coklat pada ikan asin disebabkan oleh berbagai reaksi kompleks, diantaranya adanya interaksi antara hasil degradasi lemak dengan senyawa amino yang dikenal sebagai reaksi karbonil-amino yang merupakan reaksi maillard (Eskin, et al., 1971). Ikan asin merupakan bahan pangan sumber protein hewani penting di Indonesia dan dimasukkan ke dalam sembilan kebutuhan pokok. Konsumen ikan asin terbesar hasil produksi pengolah Kota Pekalongan adalah Jakarta dan Jawa Barat. Selain untuk konsumsi dalam negeri, sebagian produk ikan asin diekspor, khususnya Sri Lanka. Ekspor ikan asin ini akan meningkat pada musim panen ikan, dimana bahan baku melimpah dengan harga yang rendah, sehingga harga produk menjadi lebih kompetitif.
111
Di Kota Pekalongan juga terdapat industri pengolahan hasil perikanan dengan teknologi modern yang memproduksi hasil perikanan untuk pasar ekspor, seperti PT Tirta Raya Mina dengan produk olahan berupa fillet kakap dan steak tuna dan PT Maya yang mengolah kepiting/rajungan. Jenis olahan kedua perusahaan tersebut beragam tergantung dari permintaan pasar. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II). Komoditas potensial yang dijadikan dasar pemilihan produk unggulan AIPL Kabupaten Pati adalah ikan layang, manyung dan kembung. Hasil analisis menunjukkan bahwa produk yang diunggulkan Kabupaten Pati pada urutan pertama adalah ikan layang pindang (Tabel 17 dan Lampiran 27).
Tabel 17. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati No
Penanganan Pasca Layang Manyung Kembung Panen 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang (5) Sedang (8) Sedang (2) 3 Beku Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 4 Kering/Asin Sedang (6) Rendah Sedang (7) 5 Pemindangan Sedang (1) Sangat Rendah Sedang (3) 6 Pengasapan/Panggang Rendah Sedang (4) Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 8 Pengalengan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 9 Tepung ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 10 Surimi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 11 Olahan daging lumat Sangat Rendah Rendah Sangat Rendah 12 Kerupuk ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih Ada tiga jenis olahan tradisional yang paling populer di Kabupaten Pati, yaitu ikan asin, ikan pindang dan panggang (asap).
Dilihat dari volume
produksinya, ikan layang pindang masih di bawah jenis olahan ikan asin, tetapi lebih besar dibandingkan ikan panggang (Gambar 28 dan Lampiran 28).
112
8,000,000
Volume (Kg)
6,000,000 Pemindangan Ikan asin
4,000,000
Pemanggangan 2,000,000 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2003. Gambar 28. Volume produksi hasil pengolahan perikanan laut di Kabupaten Pati pada tahun 1996 – 2002 Selama kurun waktu 1993 – 2002, masing-masing mengalami peningkatan volume produksi dengan laju peningkatan pada ikan asin 5,08%, ikan pindang 3,54% dan ikan panggang 3,2%. Pada tahun 2003, volume produksi ikan asin 4.358 ton, ikan pindang 2.972 ton dan ikan panggang 1.824 ton.
Meskipun dari sisi produksi ikan pindang masih di bawah ikan
asin, ikan pindang diunggulkan karena diusahakan oleh lebih banyak pengolah yang artinya memberikan nilai manfaat lebih terhadap penyerapan tenaga kerja dan perputaran modal (nilai ekonomi), sehingga mampu menggerakkan sektor lain (Tabel 18).
Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa industri
pemindangan di Kabupaten Pati merupakan industri pengolahan ikan secara tradisional yang dilakukan oleh industri rumah tangga dengan kapasitas 2 – 5 kg/hari, modal Rp 100.000,00 yang dikerjakan secara mandiri
sampai
berkapasitas 4 – 6 ton/hari, modal Rp 15 – 20 juta/hari dan menyerap tenaga kerja 90 - 100 orang. Bahan baku proses pemindangan membutuhkan ikan layang yang mempunyai
mutu
lebih
baik
(lebih
segar)
dari
bahan
baku
pengeringan/pengasinan, yang umumnya merupakan hasil tangkapan yang diawetkan dengan es atau campuran es dan garam. Seperti halnya, pengolahan menjadi ikan asin, pemindangan juga merupakan jenis pengolahan tradisional
113
yang menggunakan teknologi dan peralatan sederhana, sehingga modal yang dibutuhkan relatif tidak besar, sehingga dapat diusahakan baik dalam skala kecil maupun besar. Tabel 18. Data pengolah hasil perikanan laut di Kabupaten Pati No
Jenis Agroindustri
1 2
Segar Asin
3
Pindang
4
Panggang
5
Pindang/ Panggang
Kapasitas/ hari 1 ton 20-50 kg 4-5 ton 2 – 5 kg 20 – 100 kg 2 – 4 ton 4 – 6 ton 10 – 50 kg 50 – 400 kg 20-350 kg
Modal/hari (x Rp. 1.000) 500 40– 60 10.000 – 20.000 100 150 – 600 7.000 – 15.000 15.000 – 20.000 75 – 500 1.000 – 3.000 100 – 1.500
1 – 2 ton 2.500 – 15.000 6 Terasi 25-50 kg 500 – 1.000 200 – 500 kg 5.000 – 15.000 7 Kerupuk ikan 3 – 100 kg 150 – 4.500 8 Rajungan 15 – 30 kg 70 – 750 Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, 2004.
Tenaga kerja (org)
5 2-4 25 – 30 1 2-4 50-60 90-100 1-2 2-5 1 –3
Jumlah pengusaha (org) 2 5 7 2 40 7 5 116 14 31
2-3 1 –3 10 – 20 1 –6 2
22 17 2 25 19
Prinsip proses pemindangan adalah merebus ikan dalam suatu wadah. Setelah proses pemindangan selesai, biasanya wadahnya langsung digunakan sebagai wadah penyimpanan dan pengangkutan pindang untuk dipasarkan. Proses pemindangan dimulai dengan pencucian ikan tanpa dilakukan penyiangan, selanjutnya ikan diletakkan dalam wadah persegi empat yang dibuat dari bambu (reyeng) dan ditaburi garam kristal. Beberapa reyeng diikat menjadi satu, kemudian disusun vertikal pada suatu kerangka, lalu dicelupkan ke dalam air garam mendidih dalam wadah terbuka. Lama perebusan kurang lebih 10 – 15 menit. Selesai perebusan, produk pindang didinginkan dan siap untuk didistribusikan. Rendemen produksi ikan pindang kurang lebih 80%. Ikan pindang umumnya memiliki daya awet yang pendek sekali pada suhu kamar, yaitu 2 – 3 hari.
Dibandingkan ikan asin, produk pindang
memiliki rupa lebih bersih dan bercahaya dengan warna spesifik jenis ikan
114
yang masih kelihatan.
Bentuk fisik ikan pindang utuh dan tidak retak.
Rasanya tidak begitu asin dan aromanya seperti ikan rebus biasa. Sebagai sumber protein, ikan pindang dipandang lebih potensial dibanding ikan asin. Tidak seperti ikan asin, ikan pindang dapat dihidangkan sebagai makanan yang tidak banyak berbeda baik dalam rupa, tekstur, maupun rasa dengan makanan yang dibuat dari ikan segar. Rasa ikan pindang yang lebih tidak asin menjadikan produk ini lebih sesuai dengan selera, sehingga dalam satuan porsi makan akan lebih banyak jumlah yang dikonsumsi. Komposisi kimia ikan layang pindang adalah kadar air 70,06%, abu 2,51%, garam 1,22%, protein 25,79%, lemak 1,48% dan nilai aw 0,983. Ikan pindang dengan kadar garam yang secara nisbi rendah dan kadar air tinggi sangat cepat mengalami kerusakan.
Gejala awal kerusakan ikan pindang
umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan kulit ikan pindang setelah penyimpanan 2 - 3 hari pada suhu kamar.
Jenis bakteri
yang
menyebabkan lendir pada permukaan ikan pindang adalah Micrococcus colpogenes dan Micrococcus conglomeratus (Heruwati, 1985). Isolasi bakteri pada ikan pindang yang dilakukan Rahayu (1985) diketahui dari jenis Proteus sp, Staphylococcus sp, Acinetobacter sp, Micrococcus sp dan Bacillus sp. Karena memiliki keterbatasan daya awet produk, ikan pindang layang hasil produksi Kabupaten Pati umumnya dipasarkan selain ke pasar lokal juga di wilayah sekitar seperti Surakarta, Blora, Semarang, dan daerah lain di Jawa Tengah khususnya yang tidak memiliki sumber daya perikanan laut.
Di
Kabupaten Pati, pemindangan mendapat perhatian yang cukup baik dari Pemda, yaitu dibangunkannya sentra pemindangan, sehingga para pemindang tidak perlu berinvestasi lahan dan bangunan, tetapi cukup menyewa tempat yang dikelola Koperasi Unit Desa (KUD). Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kabupaten Cilacap (Kawasan Pengembangan III). Komoditas perikanan yang menjadi dasar pemilihan produk unggulan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna, cakalang dan udang.
Hasil penilaian yang dilakukan untuk
pemilihan produk agroindustri unggulan yang potensial untuk dikembangkan
115
adalah ikan tuna kaleng dan ikan cakalang kaleng dengan prioritas penilaian tinggi (Tabel 19 dan Lampiran 29). Tabel 19.
Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap
No
Penanganan Pasca Tuna Cakalang Udang Panen 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang Sedang Sedang 3 Beku Sedang Sedang Sedang 4 Kering/Asin Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 5 Pemindangan Rendah Rendah Sangat Rendah 6 Pemanggangan/asap Rendah Rendah Sangat Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 8 Pengalengan Tinggi (1) Tinggi (1) Rendah 9 Tepung ikan Rendah Rendah Rendah 10 Surimi Rendah Sangat Rendah Rendah 11 Olahan daging lumat Rendah Rendah Rendah 12 Kerupuk ikan Rendah Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih Produk ikan kaleng di Kabupaten Cilacap diproduksi oleh PT Jui Fa International Foods sejak tahun 2000.
Pengalengan ikan di Kabupaten
Cilacap menghasilkan produk ekspor yang volumenya terus meningkat secara nyata. Pada awal produksi ikan kaleng (tahun 2000), volume produksi 1.827 ton dengan nilai produksi US$ 5.375. 546 dan meningkat menjadi 6.919 ton dengan nilai US$ 16.891.671 pada tahun 2003 (Gambar 29 dan Lampiran 30). Negara tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat, diikuti oleh negara Taiwan, Jerman, Yunani, Jepang dan Inggris dengan jumlah relatif kecil. Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan cakalang dan tuna (Baby Yellowfin, bluefin, dan Albacore). Bahan baku tersebut
+ 40%
diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Cilacap, selebihnya bahan baku didatangkan dari berbagai daerah seperti Bali, Bitung, Kendari dan Pantura Jawa. Ikan cakalang hasil tangkapan Kabupaten Cilacap dengan mutu baik umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pengalengan, sebagian lain dengan mutu lebih rendah diproses menjadi ikan pindang.
Kecuali jenis
albacore yang umumnya berukuran lebih dari 20 kg, ikan tuna berjenis baby
116
yellowfin dan bluefin yang digunakan berukuran kecil, yaitu kurang dari 2 kg. Jenis ikan tuna tersebut sebagian besar didatangkan dari luar Kabupaten Cilacap.
18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000
Volume (kg)
8,000,000
Nilai (US$)
6,000,000 4,000,000 2,000,000 2000
2001
2002 Tahun
2003
2004
Sumber : LPPMHP Kab. Cilacap, 2005. Gambar 29. Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun 2000-2004 Proses pengalengan ikan memerlukan tahapan yang cukup panjang dan konsisten, peralatan beragam dan memenuhi persyaratan standar yang berlaku, baik standar bahan baku, proses, maupun standar produk jadi. Persyaratan bahan baku pengalengan ikan terkait dengan asal dan mutu bahan mentah. Standar proses adalah konsistensi proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan produk yang memiliki mutu baik dan konsisten. Perusahaan pengolah hasil perikanan, terlebih yang menghasilkan produk untuk pasar ekspor, umumnya telah menerapkan prinsip-prinsip Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) dalam proses produksinya untuk menjaga mutu dan keamanan produk yang dihasilkan.
Persyaratan
mutu ikan kaleng didasarkan pada SNI 01-2712.1-1992 mengenai Ikan Tuna Media Minyak Dalam Kaleng. Tahapan proses pengalengan ikan meliputi persiapan, pemasakan pendahuluan (precooking), penurunan suhu, pemberihan daging, pemotongan, pengisian dalam kaleng, penambahan medium, penutupan kaleng, sterilisasi, penurunan suhu dan pemberian label. Pada proses persiapan, apabila bahan mentah masih dalam keadaan beku, dilakukan pelelehan (thawing) dalam air
117
yang mengalir pada bersuhu 10 – 15 ºC. Selanjutnya dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Untuk ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai alat precooking. Potongan
ikan
ditempatkan
pada
rak
precooking,
kemudian
dimasukkan ke dalam alat pemasak dengan menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dbutuhkan tergantung ukuran ikan, umumnya 1-4 jam, dengan suhu pemasakan 100 – 105 ºC. Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya, sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 ºC) dalam waktu maksimum 6 jam. Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah dengan menggunakan pisau yang tajam, kemudian dipotong-potong dengan ukuran yang sesuai ukuran kaleng. Daging yang telah dipotong kemudian diisikan ke dalam kaleng, selanjutnya ditambahkan medium sesaat sebelum kaleng ditutup. vegetable broth.
Medium yang digunakan sesuai permintaan buyer adalah Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double
seamning. Sterilisasi dilakukan dalam retort. Setelah sterilisasi selesai, kaleng dikeluarkan dari retort dan dilakukan penurunan suhu. Apabila kaleng telah dingin, tahap berikutnya adalah pemberian label. Selain PT Jui Fa International Foods, di Kabupaten Cilacap terdapat beberapa perusahaan yang menghasilkan produk ekspor, yaitu PT Toxindo Prima (produk beku), PT Lautan Murti (produk beku), dan PT Kusuma Suisan Jaya (produk kering).
Jika volume produksi ikan kaleng mengalami
peningkatan, tidak demikian halnya produk beku, seperti udang dan tuna beku. Ekspor udang beku selama tahun 1997 – 2002 cenderung meningkat dari 99.271 kg
(US$ 310.495) pada tahun 1997 menjadi 436.034 kg (US$
4.037.923) pada tahun 2002, kemudian sedikit menurun pada tahun 2003 menjadi 380.410 kg (US$ 3.599.119). Ekspor tuna beku cukup fluktuatif, bahkan cenderung menurun sejak tahun 2002 (Gambar 30 dan Lampiran 31). Negara tujuan ekspor utama bagi produk udang beku adalah Jepang, sedangkan produk tuna beku diantaranya diekspor ke Hongkong, Belanda, Thailand, Amerika Serikat, dan Singapura.
118
5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun Vol.Udang Beku (kg)
Nilai Udang Beku (US$)
Vol.Tuna Beku (kg)
Nilai Tuna Beku (US$)
Sumber : LPPMHP Kab. Cilacap, 2005. Gambar 30. Perkembangan volume dan nilai ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun 1997-2003 Kabupaten Cilacap masih sangat potensial untuk mengembangkan pasar ekspor produk perikanan laut mengingat potensi komoditas bernilai tinggi yang terdapat di Samudera Hindia masih cukup tinggi. Sayangnya, ikan tuna yang didaratkan di Kabupaten Cilacap yang umumnya merupakan ikan tuna besar, justru langsung dikirim ke kota lain, seperti Jakarta untuk dijadikan bahan baku industri pembekuan atau steak tuna. Dengan demikian diperlukan dukungan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap terhadap perkembangan industri yang berorientasi pada pasar ekspor.
Pengembangan AIPL yang berorientasi pada pasar ekspor,
selain memberikan nilai tambah yang lebih besar pada komoditas hasil tangkapan, juga secara langsung akan berdampak positif terhadap pendapatan daerah, peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja lokal, alih teknologi serta mampu menggerakkan kegiatan ekonomi lainnya.
119
C. Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut Untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut di masing-masing pusat pertumbuhan perlu dilakukan analisis finansial. Kriteria yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP) dan Break Even Point (BEP). Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu NPV > 0, IRR > 18%, Net B/C > 1, PBP < 10 th untuk usaha ikan asin dan ikan pindang atau PBP < 20 th untuk usaha ikan kaleng. Sub Model untuk menghitung kelayakan finansial usaha agroindustri perikanan laut adalah Sub Model Kelayakan. Asumsi-asumsi untuk perhitungan kelayakan disajikan pada Tabel 20. Asumsi didasarkan pada data yang diperoleh melalui kuesioner seperti kebutuhan bahan baku, jumlah produksi, harga bahan baku, harga produk, target produksi dan pasar, serta kondisi umum yang berlaku seperti besar bunga bank, penyusutan dan pajak. Komoditas yang diperhitungkan merupakan campuran 2-4 komoditas potensial yang umumnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri terkait. Asumsi umur proyek bagi kegiatan pengolahan ikan asin di Kota Pekalongan dan ikan pindang di Kabupaten Pati adalah 10 tahun, sedangkan pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah 20 tahun.
Perbedaan ini
disebabkan usaha pengalengan membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga membutuhkan waktu pengembalian lebih lama. Modal diperoleh dari dari pinjaman perbankan sebesar 65% dari total anggaran dan 35% sebagai modal sendiri (Debt Equity Ratio/DER adalah 65 : 35). Total anggaran proyek meliputi modal investasi ditambah dengan modal kerja selama 1 bulan untuk usaha pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sedangkan usaha pengalengan ikan adalah modal investasi ditambah modal kerja selama 3 bulan. Bunga kredit masingmasing adalah 18%/th. Jangka waktu pengembalian kredit usaha ikan asin dan ikan pindang masing-masing adalah 2 tahun, sedangkan jangka pengembalian kredit industri pengalengan ikan selama 10 tahun.
Kondisi di lapangan
120
menunjukkan bahwa tidak ada pungutan pajak usaha di industri pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sehingga pajak hanya dihitung pada industri pengalengan ikan, yaitu 15%/th terhadap besarnya keuntungan usaha. Tabel 20. Asumsi kelayakan usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No 1 2 3 4 5
6
7 8 9 10 11
Asumsi Umur proyek (tahun) Volume bahan baku (ton/tahun) Rendemen (%) Jumlah hari kerja (hari/bulan) Harga bahan baku (Rp/kg) • Layang • Kembung • Lemuru • Cakalang • Tuna baby yellow fin • Tongkol Thunnus • Tuna Albacore Harga jual produk (Rp/Kg) • Layang • Kembung • Lemuru • Cakalang • Tuna baby yellow fin • Tongkol Thunnus • Tuna Albacore Debt Equity Ratio (DER) Bunga bank (%/tahun) Jangka pengembalian (tahun) Pajak (%/tahun) Produksi (%) • Tahun I • Tahun II • Tahun III – X/XX
Ikan Asin
Ikan Pindang
Ikan Kaleng
10 1.800
10 1.200
20 10.500
67 25
80 25
72 25
3.000 4.300 2.350 -
4.000 4.500 -
4.000 7.000 7.500 10.800
5.500 7.250 4.200 -
6.400 7.300 -
12.500 17.500 17.500 30.000
65 : 35 18 2 -
65 : 35 18 2 -
65 : 35 18 10 15
70 85 100
70 85 100
70 85 100
Jumlah hari kerja masing-masing usaha adalah 25 hari kerja atau 300 hari/tahun. Kapasitas produksi selama tahun pertama diperhitungkan hanya akan tercapai 70%, tahun kedua baru akan tercapai sebesar 85%, setelah tahun ketiga kapasitas produksi akan tercapai 100%.
121
Berbagai kebutuhan permodalan untuk kegiatan usaha agroindustri disajikan pada Tabel 21. Jenis permodalan dibedakan menjadi dua, yaitu modal investasi dan modal usaha/kerja. Modal investasi meliputi biaya atas tanah dan bangunan, serta biaya bagi pembelian mesin dan peralatan. Di Kabupaten Pati, modal tanah dan bangunan tidak diperhitungkan, mengingat pengolah pindang telah dibuatkan suatu sentra pengolahan yang pemakaiannya dilakukan dengan cara sewa yang dikelola oleh KUD setempat. Modal usaha meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap didasarkan pada kebutuhan untuk menggaji karyawan, utilitas dan perkantoran, serta untuk menyewa lahan dan bangunan. Sedangkan biaya tidak tetap
meliputi biaya pembelian bahan baku, bahan
penunjang, upah buruh dan pemasaran/transportasi.
Rincian masing-masing
pembiayaan dapat dilihat pada Lampiran 32, 33 dan 34. Tabel 21. Modal usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No Jenis permodalan A Modal Investasi (xRp 1000) 1 Tanah & bangunan 2 Mesin & peralatan Jumlah A B Modal Usaha (x Rp 1000) 1 Biaya Tetap a Gaji karyawan b Utilitas & perkantoran c Sewa lahan & bangunan Jumlah B.1 2 Biaya Tidak Tetap a Ikan b Bahan penunjang c Upah buruh d Pemasaran Jumlah B.2 Jumlah B
Ikan Asin
Ikan Pindang
Ikan Kaleng
202.500 29.200 231.700
9.950 9.950
12.500.000,00 14.613.127,50 27.113.127,50
58.500 2.400 60.900
93.000 1.800 1.500 96.300
617.500 960.000 1.577.500
5.595.000 96.480 315.000 211.050 6.217.530 6.278.430
4.950.000 600.000 240.000 300.000 6.090.000 6.186.300
69.930.000 28.965.825 3.557.450 600.000 103.053.275 104.630.775
Untuk mengetahui terjadinya berbagai kemungkinan selama umur proyek, dibahas skenario terjadinya berbagai perubahan yang diperkirakan akan mempengaruhi kelayakan usaha masing-masing produk unggulan agroindustri perikanan
122
laut. Beberapa kajian yang diduga paling besar pengaruhnya, diantaranya penurunan jumlah bahan baku, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk. Penurunan jumlah produksi dan peningkatan harga bahan baku sangat mungkin terjadi diantaranya apabila potensi ikan menyusut, musim yang tidak baik atau peningkatan harga bahan bakar yang menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. Penurunan harga produk kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar, khususnya pada produk hasil pengalengan ikan yang merupakan produk ekspor atau menurunnya daya beli masyarakat. Dalam analisis ini pengaruh tersebut diduga bersifat negatif yang membuat proyek menjadi tidak layak.
1. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Asin di Kota Pekalongan Komoditas yang umum diolah menjadi ikan asin adalah ikan layang, kembung dan lemuru. Dengan perencanaan produksi bagi industri ikan asin sebesar 1.800 ton/th atau 6 ton/hari, usaha ikan asin dinyatakan layak dengan NPV Rp 754.902.500; IRR 48,63%;
dan NetB/C 1,95.
BEP bagi
agroindustri ikan asin tersebut tercapai pada volume produksi 1.126.968,61 kg atau pada harga rataan produk Rp 5.209,66. Periode pengembalian (PBP) seluruh modal investasi usaha agroindustri ikan asin adalah 3,76 tahun. Dalam setahun, kebutuhan bahan baku yang tersedia agar target produksi selama setahun terpenuhi adalah 1.800 ton. Jumlah tersebut setara dengan 6,71% dari total produksi ikan layang, kembung dan lemuru di Kota Pekalongan pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Hal ini juga ditunjang hasil tangkapan lain yang juga digunakan sebagai bahan baku industri ikan asin seperti ikan selar, tembang dan tongkol. Dari uji sensitivitas untuk menganalisis resiko kelayakan usaha agroindustri ikan asin terhadap perubahan nilai IRR terlihat bahwa agroindustri ikan asin masih dapat dikatakan layak bila penurunan volume
123
produksi tidak melebihi 55,56%, atau peningkatan harga bahan baku tidak melebihi 3,63% atau penurunan harga produk tidak melebihi 3,06% (Gambar 31).
10 0 -10 Perubahan (%) -20 -30 -40 -50 -60 % Vol Bhn Baku
18
20
25
30
35
40
48.6
50
-55.56
-52.92
-45.73
-37.7
-28.81
-19.03
0
3.29
% Hrg Bhn Baku
3.63
3.39
2.78
2.18
1.58
0.99
0
-0.15
% Hrg Produk
-3.06
-2.86
-2.35
-1.84
-1.34
-0.84
0
0.13
Gambar 31. Perubahan nilai IRR usaha ikan asin terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk
50 40 IRR (%)
30 20 10 0
Vol Bhn Baku Hrg Bhn Baku (-) 50% (+) 3%
Hrg Produk (-) 3%
Layang
26.22
32.05
28.71
Kembung
47.29
42.56
41.92
Lemuru
48.51
45.29
44.72
Gambar 32. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan asin
124
Analisis sensitivitas juga dilakukan berdasarkan perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap IRR (Gambar 32).
Pengujian dilakukan pada batas rataan
perubahan yang memungkinkan agroindustri ikan asin menjadi tidak layak, yaitu penurunan volume bahan baku 50%, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk masing-masing 3%. Gambar 32 memperlihatkan bahwa pada batas kelayakannya, ikan layang memiliki nilai IRR paling rendah, diikuti ikan kembung dan paling tinggi adalah nilai IRR ikan lemuru. Hal ini disebabkan bahan baku ikan layang merupakan bahan baku utama dalam agroindustri ini (67%), sehingga perubahan pada ikan layang akan memberikan dampak paling besar terhadap nilai IRR, yang berarti nilai IRR menjadi lebih kecil. Pada tingkatan volume produksi yang sama antara ikan kembung dan lemuru, nilai IRR ikan kembung lebih kecil dari ikan lemuru dikarenakan tingkat keuntungan (selisih harga jual produk terhadap harga bahan baku) pengolahan ikan kembung lebih kecil dibanding ikan lemuru. 2. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Pindang di Kabupaten Pati Ikan layang dan kembung merupakan komoditas utama pada agroindustri pemindangan ikan. Dengan perencanaan produksi sebesar 1.200 ton/th atau 4 ton/hari, agroindustri ikan pindang dinyatakan layak dengan NPV Rp 470.048.022,88; IRR 48,63% dan Net B/C 1,89. BEP agroindustri ikan pindang tercapai pada volume produksi 912.422,64 kg atau pada tingkat rataan harga produk Rp 6.296,67. Jangka waktu pengembalian modal usaha (PBP) pemindangan ikan adalah 4,10 tahun. Kebutuhan bahan baku bagi pemindangan dengan skala produksi 1.200 ton/th tersebut setara dengan 6,50% dari total produksi ikan layang dan kembung di Kabupaten Pati pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan tingkat kecukupan berdasarkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Jenis ikan lain yang sering digunakan sebagai bahan baku industri pemindangan ikan adalah ikan tongkol.
125
Pada usaha ikan pindang, penurunan volume bahan baku masih bisa dikatakan layak kalau tidak lebih dari 55,34% dan peningkatan harga bahan baku hanya bisa dipertahankan kelayakannya tidak lebih dari 2,68%, sedangkan penurunan harga produk dapat ditahan sampai 2,11% (Gambar 33).
10 0 -10 Perubahan (%)
-20 -30 -40 -50 -60
% Vol Bhn Baku
18
20
25
30
35
40
48.63
50
-55.34
-53.34
-47.7
-40.94
-32.79
-22.9
0
4.54
% Hrg Bhn Baku
2.68
2.49
2.01
1.56
1.11
0.69
0
-0.1
% Hrg Produk
-2.11
-1.96
-1.59
-1.23
-0.88
-0.55
0
0.08
Gambar 33. Perubahan nilai IRR usaha ikan pindang terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk
50 40 IRR (%)
30 20 10 0
Vol Bhn Baku (-) 50%
Hrg Bhn Baku (+) 3%
Hrg Produk (-) 2%
Layang
40.55
23.22
26.97
Kembung
37.89
38.43
39.91
Gambar 34. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan pindang
126
Dari analisis sensitivitas terhadap perubahan volume bahan baku terlihat bahwa dampak lebih besar terhadap penurunan nilai IRR diakibatkan oleh berkurangnya 50% volume ikan kembung, artinya meskipun persentase volume ikan kembung lebih kecil
tetapi karena marjin keuntungan per
kilogramnya lebih besar akan memberi dampak yang lebih besar. Sebaliknya, peningkatan harga bahan baku sebesar 3% dan penurunan harga produk sebesar 2% menghasilkan nilai IRR ikan layang yang lebih besar dibanding nilai IRR ikan kembung (Gambar 34). 3. Analisis Kelayakan Finansial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Kaleng di Kabupaten Cilacap Bahan baku industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap yang diperhitungkan adalah ikan tuna Baby Yellow Fin, tuna Albacore, cakalang dan tongkol Thunnus. Melalui perencanaan produksi sebesar 10.500 ton/tahun atau 35 ton/hari, industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap dinyatakan sebagai industri yang layak diusahakan dengan umur proyek 20 tahun. Keputusan
kelayakan
didasarkan
pada
nilai
NPV
sebesar
Rp
51.445.416.951,24; IRR 45,16; dan Net B/C 1,97 tahun. PBP dan BEP bagi proyek tersebut adalah 3,59 tahun dan 6.307.846,16 kg/th (+ 21 ton/hari) atau Rp 15.018,68. Pada industri pengalengan, penurunan volume bahan baku sampai dengan 50,97% usaha masih layak diteruskan. Usaha juga masih dikatakan layak, apabila peningkatan harga bahan baku tidak lebih dari 19,51% atau penurunan harga produk sampai 10,40% (Gambar 35). Analisis
sensitivitas
terhadap
perubahan
volume
bahan
baku
menujukkan penurunan 50% volume ikan tuna Albacore berdampak paling besar terhadap penurunan nilai IRR diikuti ikan cakalang, tuna Baby Yellow Fin dan Thunnus Tongkol. Hal ini seiring dengan perubahan 2 peubah lain, yaitu peningkatan harga bahan baku 20% dan penurunan harga produk 10%.
127
20 0 -20 -40 -60
18
20
25
30
35
40
% Vol Bhn Baku -50.97 -47.55 -38.74 -29.64 -20.16 -10.37 % Hrg Bhn Baku 19.51 % Hrg Produk
45.16
50
0
9.95
17.98
14.23
10.61
7.09
3.61
0
-3.34
-10.36 -9.55
-7.58
-5.66
-3.79
-1.93
0
1.79
Gambar 35. Perubahan nilai IRR usaha ikan kaleng terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk
60 40 20 0
Vol Bhn Baku Hrg Bhn Baku (-) 50% (+) 20%
Hrg Produk (-) 10%
Cakalang
40.15
38.31
37.75
Baby Yellow Fin
41.68
39.15
39.96
Thunnus Tongkol
42.78
38.73
39.96
Albacore
31.08
35.88
36.23
Gambar 36. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan kaleng
Besarnya pengaruh ikan tuna Albacore disebabkan besarnya selisih harga produk dangan harga bahan baku yang disumbangkan oleh ikan tersebut dibanding ketiga jenis ikan lainnya. Pengaruh terbesar kedua adalah ikan cakalang, yang disebabkan ikan cakalang merupakan komoditas utama (40%)
128
industri pengalengan ikan tersebut, sehingga meskipun marginnya paling kecil dibanding ikan lainnya, tetapi karena dalam volume besar dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai IRR. Pada tahun 2003, total produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap hanya 4.425 ton. Dengan asumsi seluruh hasil produksi lokal masuk ke industri responden, jumlah tersebut hanya mampu memasok 42,15% kebutuhan bahan baku, sehingga diperlukan pasokan bahan baku dari luar Cilacap. Karena Kabupaten Cilacap merupakan produsen utama ikan tuna dan cakalang di Provinsi Jawa Tengah, maka bahan baku juga harus dipasok dari luar provinsi. Selama ini sebagian besar bahan baku diperoleh dari berbagai daerah, seperti Bitung, Kendari dan Bali. Produk yang dihasilkan lebih dari 90% diekspor ke Amerika Serikat.
Jenis bahan baku industri responden
mengikuti keinginan pembeli (negara pengimpor). Untuk industri pengolahan modern seperti pengalengan ikan, investasi yang dibutuhkan sangat besar, sehingga berbagai faktor yang mempengaruhi keberlangsungan industri tersebut harus diperhitungkan secara cermat. Salah satu faktor yang sangat penting adalah ketersediaan bahan baku, dari segi volume, kontinuitas dan mutunya.
Gambar 37 dan Lampiran 35
menunjukkan hasil peramalan antara produksi ikan kaleng oleh PT Juifa dan volume produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap. Peramalan pada Sub Model Kelayakan dan simulasi yang sesuai adalah dengan menggunakan metode Monte Carlo dengan Pola Distribusi Empiris. Dari simulasi tersebut terlihat bahwa volume produksi ikan kaleng sangat fluktuatif diatas ketersediaan bahan baku, yaitu dengan rataan produksi aktual 4.266.862 kg/th, sedangkan hasil peramalan rataan volume produksi adalah 4.627.638 kg/th.
Volume bahan baku aktual, yaitu ikan tuna
dancakalang sebagai bahan baku pengalengan yang dihasilkan di Cilacap adalah 3.619.411 kg/th, sedangkan hasil ramalan adalah 3.847.316 kg/th. Dengan memperhitungkan faktor rendemen 72%, maka volume bahan baku yang dibutuhkan untuk keberlangsungan industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah 6.427.274 kg/th.
Ketersediaan bahan baku
3.847.316 kg/th hanya memenuhi 59,86% dari total volume yang dibutuhkan.
Volume (Kg)
129
8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 1994
1999
2004
Bahan Baku Aktual Produksi Aktual
Gambar 37.
Tahun
2009
2014
2019
Bahan Baku Peramalan Produksi Peramalan
Hasil peramalan volume bahan baku dan volume produksi ikan kaleng
Mengingat
pula
bahwa
kapasitas
produksi
terpasang
industri
pengalengan tersebut adalah 60 ton/hari atau setara dengan 18.000 ton/th, maka pemda Kabupaten Cilacap perlu mempertimbangkan berbagai cara untuk mampu menarik kapal penghasil ikan tuna dan cakalang agar bersedia mendaratkan hasil tangkapannya di Kabupaten Cilacap, diantaranya dengan kemudahan lelang atau insentif dalam bentuk pengurangan biaya lelang pada volume atau nilai tertentu. Apabila agroindustri ini mampu terus tumbuh dengan baik, diharapkan akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal, pengembangan usaha baru dan pendukungnya, serta peningkatan pendapatan daerah, baik dari sisi besarnya lelang atau dari pajak usaha agroindustri.
130
D. Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut
Dengan menggunakan teknik AHP (Analytical Hierarchy Process) pada Sub Model Strategi, hirarki untuk pemilihan alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan laut atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif. Elemen faktor penting yang mempengaruhi pengembangan agroindustri perikanan laut adalah Sumber Daya Ikan, Sumber Daya Manusia, Teknologi, Permodalan, Pasar, Kebijakan Pemerintah, Sarana Prasarana, Informasi dan Kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah Peningkatan Nilai Tambah, Perluasan Lapangan Kerja, Perluasan Kesempatan Berusaha, Peningkatan Pendapatan Daerah, Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Konsumsi Ikan.
Untuk
pencapaian tujuan tersebut alternatif strategi yang ditawarkan adalah Mendukung Pertumbuhkan Agroindustri Baru, Memperkuat Agroindustri yang Ada, dan Optimalisasi Industri Penangkapan Ikan. Hasil analisis pendapat pakar menunjukkan (Gambar 38) bahwa faktor pasar (0,1577), sumber daya manusia (0,1533) dan ketersediaan modal (0,1276) masing-masing menempati urutan teratas, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut.
Faktor
pasar merupakan faktor determinatif, karena keberlangsungan usaha agroindustri sangat ditentukan oleh terserapnya produk yang dihasilkan oleh konsumen. Produk perikanan yang umumnya merupakan produk mudah rusak menjadi salah satu alasan diperlukannya upaya pemasaran yang cepat dengan tingkat keuntungan yang wajar.
Produk perikanan yang berpotensi menjadi produk
ekspor, seperti tuna kaleng, tuna dan udang beku, memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, seperti upaya promosi untuk memperluas pasar, menambah kuota atau penurunan tarif bea masuk. Secara umum, perdagangan hasil perikanan dunia sepanjang tahun 1990an terus mengalami peningkatan rataan sebesar 8,50% dengan nilai sekitar US$ 10,37 milyar. Negara-negara tujuan ekspor dunia, khususnya Indonesia masih didominasi Jepang (24,78%), Singapura (12,85%), USA (11,12%), Hongkong (6,61%), RRC (4,12%) dan Thailand (4,06%) (DKP, 2004). Permasalahan eksternal untuk pengembangan pasar ekspor diantaranya terkait dengan hambatan
131
tarif dan non tarif. Sebagai contoh, Uni Eropa mengenakan tarif bea masuk impor yang sangat tinggi terutama bagi “ value added products” seperti ikan kaleng (24%) dari Indonesia.
F okus
Pemilihan S t r at egi Pengembangan AI P L 1,00
F akt or Sumber Sumber T eknologi Modal Daya I kan 0,1185 (4)
T uj uan
Alt er nat if
Daya Manusia 0,1533 (2)
0,1165
0,1276
(5)
(3)
Pasar Kebijakan Sarana & I nformasi Kelembagaan 0,0554 0,1577 Pemerintah prasarana 0,0605 0,1047 0,1058 (1)
(7)
(8)
(6)
(9)
Nilai T ambah 0,1701
Lapangan Kerja 0,2034
Kesempatan Usaha 0,1997
Pendapatan Daerah 0,1659
Pertumbuhan Ekonomi 0,1502
Konsumsi I kan 0,1107
(3)
(1)
(2)
(4)
(5)
(6)
Mendukung pertumbuhan agroindustri baru 0,2827 (3)
Memperkuat agroindustri yang ada 0,3883
Optimalisasi industri penangkapan ikan 0,3290
(1)
(2)
Keterangan : angka dalam kurung merupakan urutan prioritas Gambar 38. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri perikanan laut
Hambatan non tarif yang bersifat teknis, tidak transparan dan diskriminatif, seperti pengenaan standar mutu dan sanitasi yang semakin ketat. Peran pemerintah dan asosiasi terkait diharapkan lebih proaktif untuk mengatasi hambatan tersebut.
132
Pasar domestik memiliki potensi yang besar untuk menyerap hasil perikanan nasional. Hal ini dapat diperkirakan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 250 juta pada tahun 2005. Bila tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita pada tahun 2003 mencapai 24,67%, maka jumlah produk perikanan yang diserap di pasar nasional pada tahun 2005 dapat mencapai 6,2 juta ton. Di Provinsi Jawa Tengah tingkat konsumsi ikan masih jauh dari target nasional, dimana pada tahun 2002, tingkat konsumsi ikan baru mencapai 12,09 kg/org/th (Lampiran 36). Sumber
daya
manusia
merupakan
faktor
penting
kedua
dalam
pengembangan agroindustri perikanan laut, dimana pelaku usaha dan tenaga kerja yang terlibat diharapkan lebih inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan hasil perikanan. Selain itu, pelaku usaha dan tenaga kerja juga bertanggung jawab langsung terhadap penanganan dan pengolahan ikan sesuai dengan kaidah-kaidah Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan prosedur Hazard Analitycal Critical Control Point (HACCP) untuk menjaga keamanan produk hasil perikanan. Saat ini, praktek pemakaian bahan tambahan yang dilarang digunakan untuk produk pangan, seperti formalin untuk pengawet dan rodhamin B untuk pewarna diindikasikan banyak dilakukan oleh pelaku usaha agroindustri tradisional. Faktor modal merupakan faktor utama ketiga yang menjadi prioritas pengembangan, karena agroindustri perikanan masih didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga, yang secara klasik memiliki kendala untuk mendapatkan akses permodalan dari perbankan.
Sebagai contoh, dari 105 orang pelaku
agroindustri perikanan laut di Kota Pekalongan hanya 12% yang memiliki modal di atas 25 juta per lelang, 42% bermodal Rp. 5-25 juta, 46 persen hanya bermodal kurang dari Rp 5 juta.
Di Provinsi Jawa Tengah terdapat sekitar
1.592 pelaku agroindustri perikanan laut yang mengelola usaha yang berkategori usaha padat karya ini (Diskanlut Jawa Tengah, 2001).
Meskipun produk yang
dihasilkan merupakan produk tradisional, beberapa pelaku usaha mengaku bahwa pasar eskpor ikan asin masih terbuka lebar, akan tetapi mereka kekurangan modal untuk memperbesar skala usahanya. Pelaku usaha tersebut juga membutuhkan
133
modal untuk memiliki cold storage yang dapat dipergunakan untuk menyimpan ikan pada saat musim panen, sehingga dapat dikeluarkan pada musim paceklik. Upaya tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas harga produk perikanan di pasaran. Analisis
AHP
tersebut
menunjukkan
bahwa
berdasarkan
skala
prioritasnya, tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut yang utama adalah peningkatan lapangan kerja (0,2034), perluasan kesempatan berusaha (0.1997) dan peningkatan nilai tambah (0,1701). Tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha sebagai prioritas pengembangan agroindustri mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis agroindustri padat karya dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sangat dibutuhkan untuk mengatasi pertambahan penduduk dan meningkatnya angka pencari kerja di Provinsi Jawa Tengah dengan rataan 6,78% selama 5 tahun terakhir, dari 867.226 orang pada tahun 1999 menjadi 912.513 orang pada tahun 2003. Peningkatan nilai tambah produk, selain merupakan upaya untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi, produk tersebut juga akan memberi manfaat lain seperti penyerapan tenaga kerja, menggerakkan usaha pendukung dan berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas alternatif strategi yang dibutuhkan untuk pengembangan agroindustri adalah memperkuat agroindustri yang ada (0,3883), selanjutnya diikuti dengan optimalisasi industri penangkapan ikan (0,3290) dan mendukung pertumbuhan agroindustri baru (0,2827).
Alternatif strategi yang memprioritaskan untuk
memperkuat agroindustri yang ada menunjukkan bahwa saat ini pengelolaan agroindustri yang ada belum optimal. Dari total produksi perikanan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002, 32,0% diantaranya diperdagangkan dalam bentuk segar; 45,0% diolah menjadi ikan asin; 14,9% diolah pindang; 0,1% difermentasi; 3,6% diasap dan 1,6% diolah modern untuk diekspor. Penguatan agroindustri perikanan laut yang ada tersebut dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas, seperti
pembinaan dalam peningkatan mutu produk, pembinaan manajerial,
peningkatan mutu SDM pengelola, dan mempermudah akses untuk mendapatkan modal usaha.
134
Optimalisasi industri penangkapan ikan merupakan upaya untuk menjaga kontinuitas pasokan komoditas perikanan sebagai bahan baku agroindustri perikanan yang ada, sekaligus untuk membuka peluang tumbuhnya agroindustri perikanan laut yang baru. Selain untuk menjaga kontinuitas dari sisi volume, optimalisasi pengangkapan juga dibutuhkan agar komoditas perikanan hasil tangkapan terjaga kualitasnya, diantaranya dengan penerapan rantai dingin dan menyegerakan proses pembongkaran ikan.
E. Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut Untuk
menganalisis
keterkaitan
elemen
yang
terlibat
dalam
pengembangan agroindustri perikanan laut digunakan metode ISM pada Sub Model Kelembagaan.
Analisis dilakukan terhadap elemen pelaku, kebutuhan
program, kendala, tolok ukur dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan.
Matrik agregat pendapat pakar, hasil Reachability
Matriks dan intepretasinya dapat dilihat pada Lampiran 37. 1. Elemen Pelaku Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut yang terdiri dari 15 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 39) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik Dependece–Driver Power (Gambar 40). Dari Gambar 39 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi dalam enam level. Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut adalah Pemerintah Daerah (E5) dan Pemerintah Pusat (E6), yaitu pada level 1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat merupakan dua pelaku yang memiliki peran yang lebih besar daripada pelaku lain dalam pengembangan agroindustri perikanan laut.
Peran pemerintah
daerah dan pusat tersebut menunjukkan tindakan atau kebijakan yang diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi
135
pengembangan agroindustri perikanan laut. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut, yaitu terciptanya lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha.
Level 6
E12
Level 5
E14
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
E15
E7
E2
E8
E4
E1
E13
E9
E10
E3
E5
E11
E6
Keterangan : E1 : Nelayan E2 : Bakul Ikan E3 : Pengusaha Agroindustri PL E4 : Tenaga Kerja AIPL E5 : Pemerintah Daerah E6 : Pemerintah Pusat E7 : Perbankan E8 : Lembaga Keuangan Non Bank E9 : Distributor/Agen Produk AIPL E10 : Pengusaha Alat Produksi E11 : Konsumen E12 : Perguruan Tinggi/Lemb Riset E13 : Koperasi E14 : Asosiasi E15 : Lembaga Swadaya Masyarakat
Pelaku
Gambar 39. Hirarki elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut Peran pemerintah daerah dan pusat selanjutnya akan mendorong pelaku lain yang berada pada level 2, yaitu Nelayan (E1), Pengusaha agroindustri perikanan laut (E3) dan Pengusaha alat produksi (E10) sebagai pelaku langsung dalam kegiatan produksi, penanganan hasil tangkapan dan menyediakan alat produksi atau penunjang produksi agroindustri perikanan laut. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik Dependence–Driver Power (Gambar 40) menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah (E5) dan Pemerintah Pusat (E6) menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai Driver Power (DP) yang tertinggi. Hal ini berarti Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi pelaku lain, sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Posisi ini diikuti oleh Nelayan
136
(E1), Pengusaha agroindustri perikanan laut (E3) dan Pengusaha alat produksi (E10), yang juga menempati sektor IV pada posisi DP cukup tinggi. Ketiga pelaku ini tampil bahu membahu dalam posisi sejajar sebagai pelaku aktif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Nelayan bertindak sebagai penyedia bahan baku, sedangkan pengusaha alat produksi bertindak sebagai penyedia teknologi yang mempengaruhi bentuk dan
mutu produk yang
dihasilkan.
Driver Power
Keterangan : E1 : Nelayan E2 : Bakul Ikan E3 : Pengusaha Agroindustri PL E4 : Tenaga Kerja AIPL E5 : Pemerintah Daerah E6 : Pemerintah Pusat E7 : Perbankan E8 : Lembaga Keuangan Non Bank E9 : Distributor/Agen Produk AIPL E10 : Pengusaha Alat Produksi E11 : Konsumen E12 : Perguruan Tinggi/Lemb Riset E13 : Koperasi E14 : Asosiasi E15 : Lembaga Swadaya Msyarakat
Dependence
Gambar 40. Grafik Dependence–Driver Power pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut Bakul ikan (E2), Tenaga kerja AIPL (E4), Distributor/agen produk AIPL (E9) dan Konsumen (E9) berada di sektor III (linkage), yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang cukup besar dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Bakul ikan dalam sistem agroindustri perikanan laut, seringkali berperan sekaligus sebagai pelaku pengusaha agroindustri.
Hal ini umumnya merupakan pengusaha
agroindustri PL yang bermodal cukup besar. Sedangkan untuk pelaku usaha agroindustri kecil akan mengandalkan bakul ikan sebagai perantara (peserta lelang), karena untuk menjadi peserta lelang dibutuhkan modal yang cukup besar. Tenaga kerja AIPL dalam sistem agroindustri perikanan laut bisa diartikan sebagai aset industri, yang diharapkan memiliki ketrampilan tinggi,
137
memiliki jiwa kewirausahaan, profesional dan berorientasi pada mutu, keunggulan, produktif dan menerapkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk mengelolaan sumber daya perikanan laut.
Distributor/agen produk
AIPL merupakan ujung tombak pemasaran produk ke konsumen, sedangkan konsumen
memiliki
peran
sebagai
pelaku
yang
menyerap
produk
agroinddustri dan melalui preferensinya akan mempengaruhi bentuk agroindustri yang akan dikembangkan. Pelaku lain berada di sektor II (dependent), yaitu Perbankan (E7), Lembaga keuangan non bank (E8), Koperasi (E13), Asosiasi (E14), Perguruan tinggi/Lembaga riset (E12) dan LSM (E15), yang berarti bersifat tergantung pada pelaku lain. Dari sejumlah pelaku tersebut, Perguruan tinggi/lembaga riset (E12) dan LSM (E15) dianggap merupakan pelaku yang memiliki kekuatan pendorong yang paling lemah dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. 2. Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Program Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program terdiri dari 11 sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar 41). Sub elemen Jaminan kesinambungan bahan baku (E5), Permodalam (E6) dan Sumber daya manusia terampil dan terdidik (E7) merupakan elemen kunci yang menempati level 1. Hasil tersebut memberi pengertian bahwa jaminan kesinambungan bahan baku, permodalan dan SDM merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan agroindustri perikanan laut. Ketiga sub elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberlangsungan agroindustri.
138
Level 4
E4
Level 3
Level 2
Level 1
E11
E8
E1
E10
E2
E5
Keterangan : E1 : Sarana dan Prasarana E2 : Standar mutu & keamanan produk E3 : Teknologi Tepat Guna E4 : Manajemen Usaha E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku E6 :Permodalan E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan
E3
E6
E9
E7 Kebutuhan
Gambar 41. Hirarki elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut
Level 2 yang terdiri dari sub elemen Sarana dan prasarana (E1), Standarisasi mutu dan keamanan produk (E2), Teknologi (E3) dan Pemasaran yang terjamin (E9) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang dibutuhkan bagi perkembangan agroindustri perikanan laut.
Kebutuhan berikutnya adalah
Stabilitas politik dan moneter (E8) dan Kemudahan birokrasi/perijinan (E10) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang juga harus diperhitung kan adalah Manajemen usaha (E4) dan Pelestarian SDI (E11). Hasil pengelompokan elemen kebutuhan dalam grafik Dependence– Driver Power (Gambar 42) menujukkan bahwa Jaminan kesinambungan bahan baku (E5), Permodalan (E6) dan SDM terampil dan terdidik (E7) berada dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini menunjukkan bahwa peubah-peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki sedikit ketergantungan terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut.
139
Driver Power
Keterangan : E1 : Sarana dan Prasarana E2 : Standar mutu & keamanan produk E3 : Teknologi Tepat Guna E4 : Manajemen Usaha E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku E6 :Permodalan E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan
Dependence
Gambar 42.
Grafik Dependence – Driver Power kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut
Sub elemen Sarana dan prasarana (E1), Standarisasi mutu dan keamanan produk (E2), Teknologi tepat guna (E3) dan Pemasaran yang terjamin (E9) yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Stabilitas politik dan moneter (E8), Kemudahan birokrasi/perijinan (E10), Manajemen usaha (E4) dan Pelestarian sumber daya ikan (E11) berada dalam sektor peubah tidak bebas/dependent (sektor II).
Dengan posisi
tersebut berarti keempat sub elemen mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya. 3. Elemen Kendala dalam Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut disusun dari 8 sub elemen yang terbagi menjadi 5 level (Gambar 43). Keterbatasan Modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengembangan agroindustri perikanan laut.
Dalam posisinya sebagai elemen kunci,
penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang
140
dapat menghambat upaya pengembangan agroindustri perikanan laut. Apabila kendala Keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala sub elemen Keterbatasan sarana dan prasarana (E2), Kuantitas, mutu dan kontinuitas bahan baku (E3), Kestabilan harga bahan baku (E4) dan Akses informasi terhadap teknologi pasca panen (E5) yang berada di level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaian masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal.
Level 5
E8
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
Keterangan : E1 : Keterbatasan Modal E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana E3 : Kuantitas, mutu &kontinuitas bh baku E4 : Kestabilan harga bh baku E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen E6 : Rendahnya mutu SDM terampil E7 : Kewirausahaan E8 : Hambatan kelembagaan/birokrasi
E7
E6
E2
E3
E4
E5
E1 Kendala
Gambar 43. Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut Berdasarkan plot pada grafik Dependence–Driver Power (Gambar 44) terlihat bahwa Keterbatasan modal (E1) berada dalam sektor peubah bebas/independent (sektor IV), yang berarti bahwa peubah ini mempunyai daya dorong kuat, tetapi memiliki sedikit ketergantungan bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah Keterbatasan sarana dan prasarana (E2), Kuantitas, mutu dan kontinuitas bahan baku (E3), Kestabilan harga bahan baku (E4) dan Akses informasi terhadap teknologi pasca panen (E5) yang berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani kendala tersebut. Dalam sektor II (peubah
141
terikat/dependent) terdapat kendala Rendahnya mutu SDM berketrampilan (E6), Kewirausahaan (E7) dan Hambatan kelembagaan/birokrasi (E8), yang berarti kendala tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain.
Driver Power
Keterangan : E1 : Keterbatasan Modal E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana E3 : Kuantitas, mutu &kontinuitas bh baku E4 : Kestabilan harga bh baku E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen E6 : Rendahnya mutu SDM terampil E7 : Kewirausahaan E8 : Hambatan kelembagaan/birokrasi
Dependence
Gambar 44. Grafik Dependence – Driver Power kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut 4. Elemen Tolok Ukur Untuk Penilaian Tujuan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut terdiri dari 9 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45). Pada level 1 terdapat sub elemen Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), Peningkatan volume produksi (E2) dan Peningkatan pendapatan daerah yang merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut yang diidentifikasikan sebelumnya, secara berurut yaitu peningkatan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan daerah. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan mendorong pemasaran produk,
142
baik yang merupakan Pasar produk domestik (E3) maupun Pasar ekspor (E4) untuk terus ditingkatkan (level 2).
Level 5
E9
Level 4
E8
Level 3
Level 2
Level 1
Keterangan : E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran E2 : Peningkatan Volume Produksi E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan
E1
E5
E6
E3
E4
E2
E7 Tolok Ukur
Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut Jika dilihat dari hubungan Dependence-Driver Power yang diplot pada Gambar 46, maka sub elemen Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), Peningkatan volume produksi (E2) dan Peningkatan pendapat daerah (E7) berada dalam sektor IV (peubah bebas/independent). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen tersebut mempunyai kekuatan pendorong yang besar dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Peningkatan pangsa pasar domestik (E3) dan ekspor (E4) memiliki daya dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain. Peningkatan keuntungan usaha (E5), Peningkatan harga ikan (E6), Peningkatan unit usaha (E8) dan Peningkatan konsumsi ikan (E9) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat/dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen di sektor II ini.
143
Driver Power
Keterangan : E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran E2 : Peningkatan Volume Produksi E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan
Dependence
Gambar 46.
Grafik Dependence–Driver Power tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut
5. Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut
disusun dari 16 sub elemen dengan hirarki yang terbagi
dalam 6 level (Gambar 47). Hirarki pada Gambar 46 menempatkan aktivitas Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan (E1), Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL (E2) dan Perumusan perda untuk mendukung
pengembangan
AIPL
sesuai
potensi
di
masing-masing
wilayah/kawasan (E3) pada level 1, yang sekaligus menempatkan ketiga elemen tersebut sebagai elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas lain. Kemudahan akses terhadap teknologi dan informasi (E5), Pemenuhan sarana dan prasarana (E6), Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan (E9) dan Kejelasan proses perijinan usaha agroindustri (E11) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada level berikutnya.
144
Level 6
E15
Level 5
E10
E4
Level 4
Level 3
E7
Level 2
E8
E5
Level 1
E12
E13
E6
E1
E14
E16
E9
E2
E11
E3 Aktivitas
Keterangan : E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan potensial pada masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana E7 :Pembinaan untuk penerapan cara penerapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk
Gambar 47.
Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut
Berdasarkan plot grafik Dependence–Driver Power (Gambar 48) menunjukkan sub elemen E1, E2 dan E7 serta E5, E6, E9 dan E11 berada pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain. Aktivitas
Pembinaan
untuk
penerapan
cara
penanganan
dan
pengolahan yang baik dan hiegenis (E7), Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri (E8), Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing (E13), Penerapan sistem kapal carrier (E14) dan Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk (E16) berada di
145
sektor III, yang berarti sub-sub elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan sub elemen yang saling terikat dengan sub elemen lain (linkage) dalam pengembangan agroindustri perikanan laut.
Sub elemen E7 dan E8 terkait dengan aktivitas dalam pengelolaan
kegiatan untuk menghasilkan produk yang bermutu baik dan aman dikonsumsi, sesuai standar pengolahan seperti Good Manufacturing Practice (GMP), Good Higienis Practices (GHP), Hazard Analytical Critical Control
Driver Power
Point (HACCP).
Dependence Keterangan : E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan potensial pada masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana E7 :Pembinaan untuk penerapan cara penerapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk
Gambar 48.
Grafik Dependence–Driver Power aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut
Aktivitas E13, E14 dan E16 merupakan aktivitas yang akan menjaga kesinambungan hasil tangkapan yang merupakan bahan baku agroindustri perikanan laut, baik melalui upaya pencegahan pencurian ikan di wilayah
146
perairan Indonesia (E13), maupun dalam upaya menjaga mutu komoditas hasil tangkapan melalui penerapan sistem kapal carrier, sehingga komoditas perikanan laut tidak perlu terlalu lama berada di dalam kapal. Tercapainya harga ikan yang wajar bagi nelayan dan pengusaha agroindustri dapat menjaga stabilitas kegiatan penangkapan, tingkat keuntungan yang wajar bagi usaha agroindustri dan harga produk yang tidak memberatkan konsumen. Pada sektor II, terdapat sub elemen Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan investasi (E4), Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (E12), Pendidikan dan pelatihan SDM yang terlibat dalam kegiatan agroindustri (E10) dan Promosi produk agroindustri (E15) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut mempunyai daya dorong yang lebih rendah dari sub elemen lain, serta aktivitas tersebut bersifat dependent atau bergantung pada aktivitas lainnya.
F. Implementasi Pengembangan Sistem Agroindustri Perikanan Laut Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Agar sumber daya alam tersebut dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan wilayah yang bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini mampu memberikan manfaat pembangunan agroindustri berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas (cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999). Produksi perikanan tangkap laut periode 2000-32003 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,58% per tahun, yakni 4.521 juta ton pada tahun 2000 menjadi 4.728 juta ton pada tahun 2003. Berdasarkan data badan pangan dunia FAO tahun 1994, disebutkan Indonesia menempati urutan ke 7 sebagai produsen perikannan dunia, setelah China, Peru, Jepang, Chile, USA dan India.
147
Sejak tahun 2002, dengan produksi 5,6 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen ikan terbesar ke-6 dunia, setelah China, Peru, India, Jepang dan USA (DKP, 2004c). Produksi perikanan tangkap yang besar tersebut tersebar di sepanjang pesisir pantai wilayah Indonesia yang panjangnya mencapai 81.000 km dengan jenis komoditas perikanan yang juga sangat beragam. Berdasar kondisi inilah maka pengembangan sistem agroindustri perikanan laut membutuhkan implementasi Sub Model Kawasan, yaitu dengan dibentuknya kawasan-kawasan pengembangan yang berbasis pada produksi perikanan laut. Tujuan pembentukan kawasan pengembangan ini lebih bersifat fungsional administratif, seperti pola pembinaan teknologi yang menyesuaikan komoditas potensial, pola pembinaan mutu, pola pembinaan manajerial usaha yang menggunakan prinsip usaha profesional tanpa meninggalkan sistem nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku, efektivitas penggunaan sarana prasarana, pengembangan riset dan membangun kemitraan dalam proses pemasaran di masing-masing kawasan pengembangan. Implementasi Sub Model Pemilihan terhadap komoditas dan produk dalam satu kawasan pengembangan diperlukan agar pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat direncanakan jenis agroindustri yang tepat bagi komoditas tersebut dan menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan nilai manfaat (benefit value) sebesar-besarnya. Implementasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa kemiripan produksi hasil perikanan laut di dua kawasan pengembangan yang terhampar di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, juga memberikan kemiripan dalam usaha agroindustri yang dijalankan. Komoditas potensial di kedua kawasan tersebut adalah ikan layang dan kembung, sedangkan jenis produk agroindustri yang diunggulkan adalah hasil olahan tradisional pengeringan/penggaraman di kawasan bagian barat dan pemindangan di kawasan bagian timur. Komoditas potensial di kawasan yang terbentang di pantai selatan Pulau Jawa adalah tuna, cakalang dan udang, sedangkan produk unggulannya dihasilkan menggunakan teknologi modern yang padat modal, yaitu industri pengalengan. Hingga saat ini usaha pengolahan hasil tangkapan di laut masih didominasi oleh pengolahan tradisional seperti penggaraman/pengeringan, pemindangan,
148
pengasapan dan fermentasi yang hampir mencapai 90% dari usaha pengolahan. Data nasional menyebutkan tercatat sebanyak 4.270 unit pengolahan tradisional (DKP, 2003).
Apabila dilihat dari nilai manfaat, pengolahan tradisional
merupakan upaya yang tepat untuk penyelamatan komoditas ikan yang ketika didaratkan mutu komoditas telah mengalami banyak kemundurun.
Hal ini
dikarenakan pengolahan tradisional menggunakan teknologi dan peralatan sederhana. Dari aspek keterbatasan permodalan, usaha ini juga dipandang tepat karena usaha ini tidak membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga dapat diusahakan oleh industri kecil dan rumah tangga yang merupakan usaha padat karya sehingga sekaligus memperluas peluang lapangan kerja.
Dari sisi
konsumen domestik, tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini daya beli masyarakat terhadap produk hewani masih sangat terbatas. Total pengeluaran per kapita untuk pangan kurang dari Rp 1 juta per tahun (BPS, 2004), sehingga ikan asin, ikan pindang atau hasil olahan tradisional lain bisa dijadikan prioritas alternatif sumber protein hewani.
Usaha pengolahan tradisional umumnya
merupakan usaha dengan skala kecil dengan tingkat keterampilan yang berasal dari warisan atau turun menurun dari keluarga. Tanpa pembinaan pola manajerial dan adopsi teknologi untuk perbaikan mutu produk akan berdampak negatif dalam upayanya untuk mengakses modal yang diperlukan untuk pengembangan usahanya.
Disini diperlukan dukungan pemerintah yang dapat diwujudkan
diantaranya dalam bentuk program pelatihan, kemitraan, konsultasi dan advokasi. Hasil analisis kelayakan finansial pada setiap jenis produk agroindustri menunjukkan bahwa baik usaha pengolahan tradisional maupun modern memberikan prospek kelayakan finansial.
Hasil ini penting diketahui oleh
investor dan lembaga keuangan sebagai penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai bisnis dengan resiko tinggi. Industri pengolahan modern memberi harapan besar bagi perolehan devisa negara. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat dua permasalahan besar yang menghambat profil industri ini yaitu dari aspek produksi terhambat dengan ketersediaan bahan baku dan aspek pemasaran dimana preferensi pasar atau konsumen global menuntut peningkatan kualitas dan ragam olahan.
149
Melalui analisis yang merupakan implementasi dari Sub Model Strategi teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan agroindustri perikanan laut, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut. Implementasi Sub Model Kelembagaan yang berfungsi dalam proses identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk merevitalisasi agroindustri perikanan laut menunjukkan elemen kunci dari pelaku, kebutuhan program, kendala yang dihadapi, tolok ukur pencapaian tujuan dan aktivitas yang diperlukan (Gambar 49). Prioritas utama alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan laut
adalah memperkuat agroindustri yang ada, diikuti dengan optimalisasi
industri penangkapan.
Prioritas keputusan ini dapat dipahami bahwa strategi
pengembangan harus mampu merevitalisasi dan merestrukturisasi industri yang bergerak di bidang usaha pascapanen perikanan laut sehingga akan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Daya saing produk perikanan laut dapat ditingkatkan melalui pengelolaan berbasis teknologi serta pengelolaan yang menekankan pada efisiensi produksi, sehingga tuntutan mutu dan harga yang kompetitif dapat terpenuhi. Penguatan agroindustri yang ada membutuhkan dukungan kesinambungan pasokan bahan baku yang berarti strategi optimalisasi industri penangkapan harus berjalan dengan baik. Terdapat banyak kasus industri pengolahan modern tidak mampu meneruskan usahanya karena kesulitan bahan baku. Disinilah diperlukan peran pemerintah pusat dan daerah yang menjadi elemen kunci pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut untuk bertindak sebagai fasilitator dan regulator dalam mengatasi kelangkaan bahan baku. Sejalan dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 24, opsi untuk mengatasi kelangkaan bahan baku tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan seperti : 1. Penetapan peraturan dengan mengatur sejumlah quota tertentu yang memprioritaskan agar ikan yang ditangkap di perairan Indonesia diproses pengolahannya di dalam negeri, sehingga ada pembatasan ijin ekspor ikan dalam bentuk gelondongan.
150
T ujuan Pengembangan : • Peningkatan Lapangan Kerj a • Peningkatan Kesempatan Berusaha • Peningkatan Nilai T ambah • Peningkatan Pendapatan Daerah • Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi • Peningkatan Konsumsi Ikan Pelaku Pengembangan : • Pemerintah Daer ah • Pemerintah Pusat • Nelayan • Pelaku Usaha AIPL • Pelaku Usaha Alat Produksi • Bakul Ikan • T enaga Ker j a AIPL • Distr ibutor Produk AIPL • Konsumen
Kendala dalam Pengembangan : • Keterbatasan Modal • Keterbatasan Sarana dan Prasarana • Kuantitas, Mutu dan Kontinuitas Bahan Baku • Kestabilan Harga Bahan Baku • Akses Informasi T erhadap T eknologi Pascapanen
PENGEMBANGAN AGROINDUST RI PERIKANAN L AUT
Kebutuhan untuk Pelaksanaan Pr ogr am : • Jaminan Kesinambungan Bahan Baku • Permodalan • SDM T erampil dan T erdidik • Sar ana dan Pr asarana • Standar Mutu dan Keamanan Produk • T eknologi T epat Guna • Pemasaran T erj amin
T olok Ukur untuk Pencapaian T ujuan Pengembangan : • Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran • Peningkatan Volume Produksi • Peningkatan Pendapatan Daerah • Peningkatan Pangsa Pasar Domestik • Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor
Str ategi Pengembangan : • Memperkuat AIPL yang Ada • Optimalisasi Industri Penangkapan • Menumbuhkan AIPL yang Baru
Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Per encanaan T indakan dalam Pengembangan : • Identifikasi Produk AIPL yang Layak Dikembangkan • Koordinasi antar Sektor yang T erlibat • Perumusan Perda Pendukung • Kemudahan Akses Informasi dan T eknologi • Pemenuhan Sarana dan Pr asana • Kemudahan Akses T erhadap Lembaga Permodalan • Kej el asan Proses Perij inan • Pembinaan Cara Pengolahan yang Baik dan Higienis • Pembinaan Manaj erial • Minimalisasi IUU Fishi ng • Penerapan Sistem Kapal Car r ier • Mendorong T erciptanya Harga yang Waj ar antara Bahan Baku dan Produk
Gambar 49. Elemen kunci yang mendukung strategi pengembangan agroindustri perikanan laut.
151
2. Pemberian insentif bagi industri penangkapan yang menjual ikannya di dalam negeri, misal dengan pengurangan pajak atau restribusi; 3. Penurunan tarif bea masuk bahan baku industri pengolahan modern juga perlu mendapat pertimbangan, khususnya bahan baku hasil tangkapan dan hasil produksinya ditujukan untuk pasar ekspor. Berkembangnya usaha pengolahan dalam negeri ini akan memberikan mulplier effect yang sangat besar, seperti penyerapan tenaga kerja dan terbukanya peluang usaha pendukung produksi, serta peningkatan pendapatan daerah dari pajak industri. Disamping memiliki fleksibilitas, implementasi Model AGRIPAL pada penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Sub Model Kawasan.
Sub Model Kawasan menggunakan metode
Analisis Klaster (Cluster Analysis) dapat diaplikasikan untuk pemetaan perwilayahan tertentu, baik berbasis jarak atau klasifikasi wilayah yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat diberikan atau tidak diberikan bobot.
Pada kajian ini keseluruhan penilaian terhadap
masing-masing alternatif dan kriteria diserahkan kepada interpretasi pakar yang dianggap kompeten dan memiliki kewenangan dalam menilai kondisi Jawa Tengah, yaitu BAPPEDA dan Diskanlut Jateng.
Namun demikian, bilamana
diperlukan sub model ini dapat menggabungkan sekaligus pendapat pakar pada kriteria kualitatif dan nilai/skor pada kriteria yang memiliki data kuantitatif. Sub Model Pemilihan.
Sub Model Pemilihan menggunakan metode
Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluastion/IPE) dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM) yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasar kriteria yang telah ditetapkan. prinsipnya
dapat
diaplikasikan
untuk
membuat
Model ini pada
prioritas
alternatif
komoditas/produk lebih dari 250 jenis/altenatif. Kriteria yang digunakan mampu mengakomodasi lebih dari 250 kriteria untuk masing-masing alternatif. Namun demikian, untuk menghindari kejenuhan pakar dalam proses penilaian, dalam kajian ini telah dilakukan seleksi awal terhadap komoditas/alternatif, yaitu
152
sebanyak 18 jenis. Seleksi awal ini dilakukan berdasarkan data produksi dan hal lain yang didiskusikan dengan pakar. Sub Model Kelayakan.
Sub Model Kelayakan ini mengintegrasikan
berbagai operasi dalam penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, IRR, Net B/C, PBP dan BEP. Selain itu, sub model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang, analisis sensitivitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan dapat dilakukan dengan cepat. Sub Model ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dapat digunakan untuk menganalisis maksimal 4 jenis komoditas/produk, dengan struktur biaya yang telah ditentukan pada program. Oleh karena itu, pengguna yang ingin melakukan input dengan jumlah komoditas/produk lebih dari 4 jenis atau ingin melakukan perubahan dalam struktur pembiayaan, maka perlu melakukan penyesuaian dengan membuka tombol designer yang kewenangannya pada program ini ditujukan bagi pengguna berkategori tertentu sebagaimana diatur dalam program. Sub Model Strategi. Sub Model Strategi dirancang dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pengguna dapat melakukan input hirarki dan elemen, sehingga keseluruhannya berjumlah lebih dari 250 elemen. Hirarki yang terlalu panjang atau elemen yang terlalu banyak dapat menimbulkan kejenuhan dalam proses penilaian. Untuk itu, diperlukan seleksi awal terhadap elemen-elemen penting di masing-masing hirarki yang dapat dilakukan melalui grup diskusi atau metode OWA Operator. Sub Model Kelembagaan. Sub Model Kelembagaan dirancang dengan metode Intepretative Structural Modelling (ISM) dan digunakan untuk melakukan identifikasi struktur elemen (unsur) dalam sistem.
Penetapan elemen yang
mengacu pada rumusan Saxena dalam Eriyatno (1999) meliputi 9 elemen, tetapi pada penelitian ini hanya dikaji 5 elemen, yaitu pelaku/lembaga yang terlibat dalam pengembangan, kebutuhan dari program, kendala, tolok ukur untuk menilai pencapaian tujuan dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Hal
153
ini didasarkan pada pertimbangan rasional dan kemudahan operasional dalam pengelolaan kelembagaan yang terkait dengan industrialisasi di sektor perikanan, terutama pelaku usaha/investor dan pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan berusaha dan pengembangan wilayah. Sistem Informasi Agroindustri Perikanan Laut Provinsi Jawa Tengah.
Pada bagian ini pengguna dapat memperoleh beberapa informasi
mengenai gambaran umum Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten/Kota yang memiliki potensi perikanan laut, produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan dan Kabupaten/Kota, kependudukan, sarana dan prasarana, serta data lain yang terkait dengan agroindustri perikanan laut.
154
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL berbasis komputer membantu peningkatan efisiensi mekanisme
pengambilan
keputusan,
sehingga
dapat
dengan
cepat
mengantisipasi dinamika perubahan dan informasi. Model AGRIPAL mampu mengakomodasi
kebutuhan
pengambil
mengidentifikasi
wilayah/permasalahan
keputusan yang
untuk
hendak
membantu
dikelompokkan;
mengidentikasi dan membuat prioritasi komoditas, produk, strategi ataupun permasalahan lain yang hendak difokuskan; membantu dalam analisis finansial beserta analisis resiko usaha yang dijalankan. 2. Berdasarkan potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki dan berbagai kriteria terkait dalam pengelompokan wilayah, Provinsi Jawa Tengah dibagi menjadi tiga kawasan pengembangan, yaitu Kawasan Pengembangan I meliputi
Kabupaten
Brebes,
Pemalang,
Kabupaten/Kota
Tegal
dan
Pekalongan, dengan Pusat Pertumbuhan Kota Pekalongan, Kawasan Pengembangan II meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang dan Kota Semarang, dengan Pusat Pertumbuhan Kabupaten Pati dan Kawasan Pengembangan III meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen, dengan Pusat Pertumbuhan Kabupaten Cilacap. 3. Komoditas potensial di Kota Pekalongan adalah ikan layang, lemuru dan kembung, Kabupaten Pati adalah ikan layang, kembung dan selar, serta Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna, cakalang dan udang. 4. Produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan adalah ikan layang asin, Kabupaten Pati adalah ikan layang pindang, dan Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna kaleng. 5. Berdasarkan analisis kelayakan finansial ketiga jenis agroindustri perikanan laut yang diunggulkan layak dikembangkan sesuai dengan kriteria kelayakan finansial yang meliputi NPV, IRR, Net B/C, PBP, dan BEP. Dari analisis sensitivitas didapatkan hasil bahwa usaha tersebut masih mampu menahan
155
berbagai kemungkinan perubahan seperti penurunan volume bahan baku (produksi), peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga jual produk sampai batas-batas tertentu. 6. Berdasarkan analisis strategi diketahui pengembangan agroindustri perikanan laut diprioritaskan untuk memperkuat
agroindustri yang ada.
Faktor
determinatif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut adalah penyerapan produk oleh pasar, ketersediaan SDM yang menguasai teknologi pasca panen dan memiliki jiwa kewirausahaan, serta ketersediaan permodalan yang mendukung. Tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut harus diarahkan pada peningkatan lapangan kerja, meluasnya kesempatan berusaha dan peningkatan nilai tambah. 7. Pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, diikuti dengan Nelayan, Pengusaha Agroindustri dan Pengusaha Alat Produksi. Jaminan kesinambungan bahan baku, permodalan dan tersedianya SDM terampil dan terdidik merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan agroindustri perikanan laut. Keterbatasan modal merupakan unsur kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci adalah penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, peningkatan volume produksi usaha dan peningkatan pendapatan daerah. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan
dimulai
dengan
kemampuan
mengidentifikasi
produk
agroindustri perikanan laut yang layak untuk dikembangkan, diikuti dengan melakukan koordinasi antar sektor terkait, serta perumusan peraturanperaturan (pusat/daerah) yang relevan untuk mendukung pengembangan agroindustri perikanan laut.
156
B. Saran 1. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, khususnya Pemda Jawa Tengah untuk pengembangan potensi perikanan laut yang dimiliki, khususnya pada tingkat penguasaan teknologi pasca panen dan peluang pasar bagi produk yang dikembangkan. Kesinambungan bahan baku, kemudahan memperoleh modal bagi pengolah tradisional dan tersedianya SDM terampil, terdidik dan memiliki jiwa kewirausahaan harus mendapat perhatian pemerintah daerah dan pusat untuk pengembangan agroindustri perikanan laut di masa mendatang. 2. Perlu kajian implementasi kemitraan antar wilayah berdasarkan tingkat kepentingan yang serupa dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki, sehingga pengalokasian sumber daya bagi proses pengembangan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. 3. Diperlukan
kebijakan
yang
jelas
untuk
mendukung
pengembangan
agroindustri bernilai tambah tinggi, mengingat besarnya multiplier effect yang ditimbulkan. Terkait hal tersebut juga diperlukan pembinaan terus menerus penerapan rantai dingin untuk menjaga mutu komoditas perikanan. 4. Diperlukan suatu kajian komprehensif mengenai sistem pembiayaan usaha berbasis sumber daya alam berdaya saing tinggi dan bersifat strategis, khususnya sebagai upaya untuk mengangkat usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di bidang perikanan. 5. Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam Model Sistem Penunjang Keputusan AGRIPAL ini, diperlukan pengembangan seperti memasukkan komponen manajemen berbasis pengetahuan (knowledge based management) sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan atau para analis dalam mengambil keputusan, serta penyesuaian-penyesuaian terkait dengan kondisi daerah kajian.
157
DAFTAR PUSTAKA
Agustedi. 2001. Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan Agroindustri Hasil Laut Kualitas Ekspor Dengan Pendekatan Wilayah. Disertasi TIP. PPS, IPB, Bogor Alhadar, M. 1998. Formulasi Strategi Industri Pengolahan Hasil Perikanan Laut di Kabupaten Maluku Utara. Tesis TIP. PPS, IPB, Bogor. Allison, M. dan J. Kaye. 2005. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba. (Terjemahan). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Amanto, B.S. 1999. Kajian Wilayah Pengembangan Agroindustri Perikanan Rakyat di Daerah Maluku. Tesis TIP. PPS, IPB, Bogor. Anderberg, M.R. 1973. Cluster Analysis for Applications. Academic Press, New York. Atmadja, S.B., D. Nugroho, Suwarso, T. Hariati, dan Mahisworo. 2003. Pengkajian Stok Ikan di WWP Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusris Perikanan Tangkap, BRKP, DKP, Jakarta 2224 Juli 2003. Austin, J.E. 1992. Agroindustrial Project Analysis. Critical Design Factors. EDI Series in Economic Development. The John Hopkins University Press, Baltimore and London. BAPPEDA Prop Jateng. 2000. Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Rawa Pening Prop Jateng. 2000. Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional – Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. BPS Prov. Jawa Tengah. 2004. Jawa Tengah Dalam Angka. Brown, J.G. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Economic Development Institute of The World Bank. The World Bank, Washington D.C. BPS. 2004. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Clucas, I.J. dan A.R. Ward. 1996. Post-Harvest Fisheries Development : A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Natural Resources Institute, Chtham Maritime, United Kingdom.
158
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK, IPB, Bogor. David, F.R. 2001. Strategic Management : Concept & Cases. Prentice Hall, New Jersey.
8th Edition.
Diskanlut Prov. Jateng. 2003. Perikanan Jawa Tengah dalam Angka. Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah. ---------------------------. 2004. Perikanan Jawa Tengah dalam Angka. Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah. Ditjen Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Dinas Perikanan Kota Tegal. 2004. Perikanan Kota Tegal Dalam Angka. Diskanlut Kota Pekalongan. 2003. Perikanan Kota Pekalongan Dalam Angka. ---------------------------------. 2004. Perikanan Kota Pekalongan Dalam Angka. Diskanlut Kab. Pati. 2003. Kelautan dan Perikanan Pati Dalam Angka. -----------------------. 2004. Kelautan dan Perikanan Pati Dalam Angka. Diskanlut Kab. Rembang. 2004. Buku Laporan Tahunan. Diskanlut Kab. Cilacap. Cilacap.
2003.
Profil Perikanan dan Kelautan Kabupaten
---------------------------. 2004. Profil Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap. Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. LP Fakultas Ekonomi UI, Jakarta DKP. 2004a. Kinerja Pembangunan 2000–2003. Perikanan, Jakarta. -------
Departemen Kelautan dan
2004b. Pencapain Kinerja Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
159
------
2004c. Rencana Strategis (Renstra) Transisi Tahun 2005 Departemen Kelautan dan Perikanan. Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Eskin, N.A., H.H. Henderson, and R.J. Townsend. 1971. Biochemistry of Food. Academic Press, New York. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Fewidarto, P.D. 1996. Proses Hirarki Analitik. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB, Bogor. Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1981. Food Microbiology. Tata Mc Graw Hill Publ. Co. Limited, New York. Gaspersz, V. 2004. Perencanaan Strategik untuk Peningkatan Sektor Publik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gumbira-Said, E. dan A.H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Heruwati, E.S. 1985. Pindang Bandeng Kudus, Suatu Kajian Tentang Penyebab Pelendiran. Disertasi. UGM, Yogyakarta. -----------------, et al. 2001. Kinerja Kelembagaan Industri Pengolahan Ikan di Jawa Timur. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Perikanan 2000. Pusris Perikanan Budidaya, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Hubeis, M. 2003. Pengembangan Agrobisnis Berbasis Teknologi. Bank & Manajemen Mei – Juni 2003. Ihsan. 2000. Kajian Model Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Secara Optimal Di Daerah Kabupaten Pinrang, Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis SPL. PPS, IPB, Bogor. Irianto, H.E. 1992. Fish Oils : Refining, Stability and Its Use in Canned Fish for the Indonesian Market. Dissertation. Massey University, New Zealand.
160
---------------, et al. 2001. Ketersediaan Bahan Baku Untuk Industri Perikanan dan Potensi Limbah yang Dihasilkan : Studi Kasus Di DKI Jakarta. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Perikanan 2000. Pusris Perikanan Budidaya, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ismail, W., et al. 2001. Organisasi Penelitian dan Pengembangan Eksploirasi Laut dan Perikanan Masa Depan. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Perikanan 2000. Pusris Perikanan Budidaya, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kadariah, L., Karlina, C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi, UI, Jakarta. Kaufman, L. and Rousseeuw. 1990. Finding Groups in Data : An Introduction to Cluster Analysis. John Wiley & Sons, Inc., New York. Keen, P.G.W. dan M.S.S. Morton. 1978. Decision Support System, An Organizational Perspective. Addison Wesley Publ. Co., USA. Kinsella, J.E. 1987. Seafoods and Fish Oils in Human Health and Disease. Marcel Dekker, Inc., New York. Lanier, T.C and C.M. Lee. 1992. Surimi Technology. Marcel Dekker, New York. Leigh, W.E. and M.E. Doherty. 1986. Decision Support and Expert Systems. South-Western Publ., Ohio. LPPMHP Kab. Cilacap. 2005. Laporan Kegiatan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Cilacap. Diskanlut Prov. Jawa Tengah. Lukito, H. 1999. Peran Teknologi Penangkapan Ikan Bagi KUD Mina di Jawa Tengah Dalam Memperoleh Hasil Usaha. Tesis. PPS, IPB, Bogor. Lukmana, A. 1994. Operasional Kultur Bisnis dan Struktur Usaha Agroindustri pada Pelita VI. Makalah pada Seminar Operasionalisasi Subsektor Agroindustri pada Pelita VI, Mei 1994, Jakarta. Manetsch, T.J and P.G. Park. 1979. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Science. Michigan State University, East Lausing.
161
Merta, I.G.S, K. Susanto, dan B.I. Prisantoso. 2003. Pengkajian Stok di Samudera Hindia (WWP 4). Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusris Perikanan Tangkap, BRKP, DKP, Jakarta 22-24 Juli 2003. Motohiro, T. 1992. General Aspect of Processing Marine Food. Science of Processing Marine Food Products Vol. II. Kanagawa International Fisheries Training Centre, Japan International Cooperation Agency. Nasution, M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan Untuk Agroindustri. IPB Press, Bogor. Osada, H. 1992. Canned Marine Products in Japan. Science of Processing Marine Food Products Vol. II. Kanagawa International Fisheries Training Centre, Japan International Cooperation Agency. Pitt , J.I. and A.D. Hocking. 1985. Fungi and Food Spoilage. Academic Press, Sydney. Poernomo, A., E.S. Heruwati, dan B.S.B. Utomo. 1988. Keragaan dan Program Penelitian Pascapanen Perikanan. Puslitbangkan, Dep. Pertanian, Jakarta. ------------------, et al. 2001. Pemberdayaan Industri Pengolahan Ikan di Indonesia : Sebuah Perspektif. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Perikanan 2000. Pusris Perikanan Budidaya, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Pranaji, T. 2000. Strategi Pengembangan Kelembagaan Agribisnis (Pengolahan Hasil) Perikanan. Makalah Seminar Pemberdayaan Industri Pengolahan Ikan di Indonesia. Puslitbang Perikanan Jakarta, 2 Agustus 2000 Prasetyo, H., et al. 1996. Profil Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Pan. Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta. Pressman, T.E. 1992. A Synthesis of System Inquiry and Easthern Mode of Inquiry. J. System Research, Vol. 9 (3), 47 :65. Priono, B. 1988. Pengaruh Penggunaan Larutan Garam Natrium Klorida dan Asam Cuka Terhadap Ketengikan dan Pencoklatan Ikan Asin Lemuru. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta. Putro, S. 2002. Global trends in fish processing and marketing. The 5th JSPS International Seminar Marine Products Processing Technology. Bogor, 20-21 August 2002.
162
Rahayu, S. 1985. Penghambatan Ekstrak Metabolik Streptococcus lactis Terhadap Salmonella Lexington dan Bakteri Ikan Pindang. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta. Saaty, T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. McGraw-Hill Inc., New York. ------------. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. (Terjemahan). Seri Manajemen No. 134. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Saragih, B. 2001. Agribisnis. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Mulia Persada Indonesia. Sarinah. 1999. Kajian Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan Laut di Sulawesi Tenggara. Tesis TIP. PPS, IPB, Bogor Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Suboko, B. 2001. Indonesia – Fisheries Sector Survives Economic Crisis. Infofish International 2/2001. Suparno dan H.E. Irianto. 1995. Transportasi ikan hidup dan teknologi pascapanen. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut, Jakarta, 12-13 April 1995. Puslitbangkan dan Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Agribisnis. Takunaga, T. 1992. Drying Products, Salting Products and Smoking Products of Fish. Science of Processing Marine Food Products Vol. II. Kanagawa International Fisheries Training Centre, Japan International Cooperation Agency. Tripomo, T. dan Udan. 2005. Manajemen Strategi. Penerbit Rekayasa Sains, Bandung. Turban, E. 1993. Decision Support and Expert System. Macmillan Publ. Co., Inc., New York. Wetherbe, J.C. 1988. System Analyis and Design. West Publ. Co., New York. Widiasto, T.P. 2000. Optimalisasi Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping Perikanan. Seminar Pemberdayaan Industri Pengolahan Ikan di Indonesia. Puslitbangkan, Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 2 Agustus 2000.
163
Widodo, J. 2003. Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Indonesia Tahun 2002. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusris Perikanan Tangkap, BRKP, DKP, Jakarta 23-24 Juli 2003 Yager, R.R. 1988. On ordered weighted aggregation operator in multicriteria decision making. J. IEEE Transactions on system, Man, and Cybernatics. V.18(1):183-190. --------------. 1993. Non numeric multi-criteria multi person decision making. J. Group Decision and Negotiation. V.2:81-93.
164
Lampiran 1. Teknis Penggunaan Model AGRIPAL
1. Prosedur Instalasi AGRIPAL Prosedur instalasi adalah langkah penting yang harus dilakukan sebelum aplikasi AGRIPAL dapat digunakan dengan baik. Prosedur instalasi sebenarnya merupakan proses registrasi model beserta pendukungnya pada lingkungan windows. Proses instalasi juga melakukan konfigurasi internal aplikasi AGRIPAL yang disimpan pada register windows untuk beberapa keperluan penting di dalam model. Akan tetapi sebelum instalasi dilakukan sebaiknya perlu diperhatikan terlebih dahulu beberapa persyaratan umum instalasi yang diuraikan pada Bagian 4. File-File instalasi model AGRIPAL disediakan dalam bentuk CD, masukkan CD tersebut ke dalam CDROM Drive – di sana disediakan 3 (tiga) buah file yang terdiri dari setup.lst, setup.exe, dan AGRIPAL.cab. Aktifkan prosedur instalasi dengan mengklik ganda file setup.exe, instalasi dimulai. Pada beberapa kasus terkadang prosedur ini meminta sistem untuk di-restart terlebih dahulu sebelum melanjutkan, ikuti permintaan ini dengan menekan tombol [Enter]. Ulangi prosedur instalasi setelah windows di-restart. Ikuti petunjuk – petunjuk berikutnya, secara default – biasanya pengguna hanya tinggal menekan tombol [Enter] pada semua dialog yang ditayangkan. Pada proses instalasi terkadang sistem tidak berhasil melakukan update file system dan menyatakan bentuk kesalahannya. Biasanya kesalahan ini disebabkan karena windows tidak menemukan dependency file yang ditransfernya atau file tersebut sedang digunakan aplikasi lain. Pilih tombol [Ignore] jika kesalahan ini ditayangkan. Jika prosedur instalasi berjalan dengan baik, sistem akan membuat sebuah program group dengan nama AGRIPAL dan sebuah shortcut (file penunjuk) untuk mengaktifkan aplikasi AGRIPAL yang dapat diakses pada Start|Programs|AGRIPAL. Catatan : Prosedur instalasi tidak secara otomatis menghapus aplikasi AGRIPAL yang telah diinstal pada waktu sebelumnya. Lakukan penghapusan aplikasi terlebih dahulu dengan langkah – langkah yang dapat dilihat pada bagian terakhir dokumen ini.
2. Mengaktifkan Model AGRIPAL AGRIPAL dapat diaktifkan dengan mengklik perintah pada menu Start|Programs|AGRIPAL (jika proses instalasi telah dilakukan. Jika sukses, berikutnya ditampilkan dialog registrasi aplikasi yang menanyakan jenis pengguna beserta password-nya. Tentukan jenis pengguna dan password pada kotak – kotak yang disediakan, kemudian tekan [Enter] atau klik [Lanjut] untuk melanjutkan. Tekan [Esc] atau klik [Batal] untuk membatalkan.
Gambar 1. Dialog registrasi penggunaan aplikasi
165
3. Teknis Penggunaan AGRIPAL Model AGRIPAL merupakan paket yang terdiri dari beberapa sub model dan fasilitas yang masing – masing memiliki fungsi dan prosedur penggunaan yang unik. Sub model – sub model tersebut diantaranya fasilitas Identifikasi, Sub Model Kawasan, Sub Model Pemilihan, Sub Model Kelayakan, Sub Model Strategi, Sub Model Kelembagaan, dan Sistem informasi. Masing – masing sub model dapat diaktifkan dengan mengklik salah satu perintah pada top navigation bar yang ditempatkan pada bagian kanan atas aplikasi. Berikut adalah visualisasi halaman utama model AGRIPAL beserta sistem manajemen dialog-nya.
Top Navigation Bar Left Navigation Bar
Lembar Kerja Aplikasi
Gambar 2. Visualisasi halaman utama model AGRIPAL Top Navigation Bar merupakan panel kontrol yang berguna untuk menampilkan sub model yang bersesuaian. Masing – masing sub model mungkin terdiri dari beberapa halaman yang dapat berupa input data, tetapan model, atau keluaran model. Halaman – halaman ini dapat diaktifkan menggunakan salah satu perintah yang dikumpulkan pada Left Navigation Bar. Dengan kata lain, Left Navigation Bar merupakan daftar halaman yang mungkin dapat disajikan pada setiap sub model. Halaman – halaman tersebut kemudian ditampilkan pada area Lembar kerja Aplikasi. a.
Fasilitas Identifikasi
Fasilitas Identifikasi dirancang untuk menentukan beberapa kriteria dalam analisis yang dikategorikan berdasarkan tingkat kepentingannya. Fasilitas identifikasi memerlukan masukan berupa pendapat satu atau lebih pakar / pengambil keputusan terhadap kriteria – kriteria yang ditetapkan. Pendapat ini kemudian diagregasi menjadi satu keputusan berupa urutan kriteria dengan nilai kepentingannya menggunakan metode OWA operator. Fasilitas Identifikasi memiliki beberapa tahap input data. Tahap – tahap ini harus diisi secara lengkap agar operasi berjalan dengan baik. Gunakan selalu tombol [Lanjut] untuk berpindah ke tahap berikutnya dan tombol [Kembali] untuk kembali ke tahap sebelumnya. Di samping itu pada beberapa halaman mungkin memerlukan kode misalnya pada halaman definisi skala dan inisialisasi pakar. Gunakan selalu nilai yang unik untuk kolom Kode pada halaman – halaman tersebut untuk menghindari konfliknya variabel dalam fasilitas ini.
166
Tahap pertama adalah penentuan jumlah skala penilaian, jumlah pakar, dan jumlah kriteria yang dikaji. Silahkan tetapkan masing – masing entitas sesuai keperluan kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter] pada keyboard. Tahap ke dua adalah tahap pengisian skala penilaian. Pada tahap ini pengguna harus menetapkan skala yang digunakan dalam penilaian pendapat pakar. Isilah pertama kali pada kolom Kode dengan nilai yang unik (berbeda satu dengan lainnya) kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter] pada keyboard. Kolom Nama adalah opsional dan hanya merupakan informasi tambahan untuk skala penilaian, kolom ini bisa dikosongkan. Pengisian skala penilaian harus diurut berdasarkan tingkat kepentingannya yakni mulai skala terkecil sampai skala terbesar. Tahap ke tiga adalah tahap registrasi pakar / pengambil keputusan. Tahap ini memiliki aturan pengisian yang identik dengan pengisian skala penilaian. Tahap ke empat merupakan tahap pendaftaran kriteria yang akan diurutkan. Pada tahap ini tidak memerlukan kode tetapi masukan tetap harus unik. Tahap ke lima merupakan tahap pengisian matriks pendapat pakar / pengambil keputusan. Pada tahap ini pengguna diharuskan mengisi pendapat masing – masing pakar terhadap semua kriteria yang didaftarkan pada kolom pakar yang bersesuaian. Pendapat pakar harus diisi dengan kode skala yang telah didaftarkan pada langkah sebelumnya. Setelah tahap – tahap tersebut dilengkapi secara benar, berikutnya dapat ditampilkan hasil pengolahan model identifikasi berupa daftar prioritas kriteria dengan skala-nya masing – masing. Daftar prioritas ini dapat dikategorikan, gunakan tombol [Filter...] untuk menampilkannya. Berikut adalah ilustrasi keluaran sub model identifikasi.
Gambar 3. Ilustrasi keluaran sub model identifikasi
b.
Sub Model Kawasan
Sub model kawasan merupakan sub model yang dirancang untuk membantu proses klasterisasi kawasan dan pusat pertumbuhan. Sub model ini menggunakan metode meminimumkan jarak pada matriks euclidean distance. Operasionalisasi sub model kawasan pada klasterisasi kawasan pengembangan dan klasterisasi pusat pertumbuhan secara teknis memiliki prosedur dan metodologi yang sama, hanya saja pada klasterisasi kawasan pengembangan masukan data pendapat pakar dimulai dari matriks euclidean distance. Sementara pada klasterisasi pusat pertumbuhan masukan data dimulai dari pendapat pakar terhadap objek berdasarkan kriteria yang ditetapkan untuk kemudian diagregasi menjadi bentuk euclidean distance. Berikutnya matriks euclidean distance diolah dengan metodologi serta ditampilkan dengan keluaran yang identik. Sub model kawasan terdiri dari beberapa halaman yang masing – masing memiliki fungsi tersendiri tetapi teknis penggunaannya hampir mirip. Setiap halaman dilengkapi dengan beberapa
167
tombol perintah yang dapat digunakan pengguna sesuai keperluannya, menampilkan halaman yang berkaitan atau melakukan prosedur agregasi serta dokumentasi. Langkah pertama sub model kawasan adalah penentuan definisi elemen. Pada tahap ini pengguna diminta mengisi definisi elemen yang dianalisa. Isilah pada kotak – kotak masukan yang disediakan sesuai keperluan, kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter] pada keyboard. Langkah ini sifatnya opsional, pengguna boleh melewatkan tahap ini. Tahap ke dua adalah pendaftaran pakar / pengambil keputusan. Tahap ini disediakan khusus untuk proses klasterisasi pusat pertumbuhan karena pada klasterisasi kawasan pengembangan hanya digunakan satu sumber (pendapat). Untuk menampilkannya, klik tombol perintah Tampilkan halaman identifikasi pakar. Adapun teknis operasionalisasi editing pakar disajikan pada bagian referensi teknis recordset navigation bar. Tahap ke tiga adalah definisi alternatif. Pada tahap ini pengguna diminta melengkapi alternatif – alternatif yang kemudian akan digrupkan berdasarkan tingkat kedekatan. Gunakan perintah Tampilkan halaman identifikasi alternatif untuk menampilkannya. Prosedur editing alternatif dapat dilihat secara lengkap pada bagian referensi teknis recordset navigation bar. Tahap berikutnya adalah penetapan kriteria penilaian. Tahap ini digunakan khusus untuk klasterisasi pusat pertumbuhan. Pada tahap ini pengguna diminta untuk melengkapi daftar kriteria yang dijadikan kriteria penilaian pakar terhadap alternatif. Penetapan kriteria penilaian juga memiliki prosedur editing yang identik dengan penetapan alternatif. Bedanya pada tahap definisi kriteria ini ditambahkan satu prosedur pembobotan yang merupakan definisi bobot untuk setiap kriteria yang dikaji. Daftarkan terlebih dahulu semua kriteria kemudian tetapkan bobotnya dengan menggunakan perintah Pembobotan.
Gambar 4. Ilustrasi dialog penentuan kriteria penilaian pada model kawasan. Tahap ke empat adalah tahap pengisian matriks pendapat. Pengguna pada tahap ini diharuskan mengisi formulir pendapat para pakar dengan nilai numerik yang bersesuaian. Pada klasterisasi kawasan pengembangan matriks pendapat ditampilkan berupa matriks jarak mutlak antar objek yang dianalisa (jarak antar lokasi), sementara pada klasterisasi pusat pertumbuhan pengguna diharuskan mengisi formulir pendapat para pakar dengan nilai – nilai objek (alternatif) berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan. Untuk menampilkan formulir pendapat pakar lainnya, gunakan Recordset Navigation Bar yang ditempatkan pada bagian kanan bawah matriks pendapat. Pada lembar matriks pendapat pakar disediakan beberapa tombol yang dapat digunakan untuk menampilkan matriks pendapat agregat dan grafis keluaran analisis klaster di samping fungsi –
168
fungsi perintah lainnya. Matriks pendapat agregat adalah visual pendapat agregat yang isinya merupakan nilai rataan geometris dari pendapat semua pakar. Sementara itu keluaran analisis adalah hasil pengolahan matriks pendapat individu maupun agregat yang dituangkan ke dalam grafik. Berikut adalah beberapa tombol - tombol perintah beserta fungsinya. Menampilkan matriks pendapat agregat / individu. Pada mode matriks pendapat agregat tombol ini berfungsi untuk menampilkan matriks pendapat individu, sebaliknya pada mode matriks pendapat individu. Tombol ini tidak disediakan pada klasterisasi kawasan pengembangan. Menampilkan keluaran analisis klaster dalam bentuk grafik. Tombol ini disediakan pada halaman matriks pendapat. Menutup tampilan keluaran analisis klaster untuk kembali ke halaman sebelumnya. Mengkopi halaman aktif (matriks pendapat atau grafik) ke memori Mengatur mode pengurutan elemen pada tampilan grafik
Gambar 5. Ilustrasi grafis keluaran sub model kawasan.
c.
Sub Model Pemilihan
Sub Model pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan komoditas dan produk unggulan yang diunggulkan. Sub model ini dapat diaktifkan dengan cara meng-klik perintah yang bersesuaian pada Left Navigation Bar. Sub Model Pemilihan menggunakan metodologi IPE dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making dengan label linguistik. Model Fuzzy group decision making merupakan model yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan / prioritas alternatif. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa aspek yang perlu didefinisikan dalam analisis fuzzy menggunakan group decision yakni skala penilaian, pakar / pengambil keputusan, alternatif yang akan diurutkan, dan kriteria penilaian beserta nilai bobot-nya. Semua perintah untuk menampilkan aspek – aspek tersebut disajikan hampir pada setiap halaman yang ditayangkan. Gunakan perintah yang bersesuaian untuk menampilkan halaman aspek – aspek tersebut, kemudian lakukan pendefinisian dengan menggunakan prosedur yang disajikan pada bagian operasional recordset navigation bar.
169
Setelah aspek – aspek didefinisikan pengguna diharuskan mengisi matriks pendapat masing – masing pakar terhadap semua alternatif berdasarkan kriteria yang ada dengan nilai skala penilaian yang telah ditetapkan pada langkah sebelumnya. Klik perintah [Tampilkan matriks pendapat pakar] untuk menampilkan halaman matriks pendapat masing – masing pakar. Salah satu contoh halaman matriks pendapat model fuzzy group decision making dapat dilihat pada Gambar 6.
Utilitas dokumentasi Membuat dokumen baru Membuka dokumen Menyimpan dokumen aktif Eksport ke format excel Kopi halaman aktif ke memori
Navigator matriks pendapat Navigator pakar
Gambar 6. Matriks pendapat pakar model fuzzy GDM Pada hampir semua dialog yang ditampilkan dalam model fuzzy GDM terdapat fasilitas yang dapat digunakan untuk kepentingan dokumentasi serta penayangan dialog – dialog lainnya. Teknis penggunaan fasilitas – fasilitas ini hampir sama dengan sub model lainnya.
Utilitas dokumentasi Membuat dokumen baru Membuka dokumen Menyimpan dokumen aktif Eksport ke format excel Kopi halaman aktif ke memori
Gambar 7. Contoh keluaran model fuzzy group decision making
d.
Sub Model Kelayakan
Sub Model kelayakan didesain untuk membantu pengguna dalam melakukan analisis kelayakan agroindustri perikanan laut secara finansial. Pada model ini pengguna dapat melakukan beberapa skenario usaha dengan memberikan nilai – nilai spesifik pada setiap variabel yang ada sekaligus melihat keluaran analisis secara langsung dalam bentuk NPV, IRR, payback periode, dan NetB/C. Berikut adalah salah satu contoh tampilan sub model kelayakan finansial.
170
Gambar 8. Salah satu contoh tampilan sub model kelayakan finansial Pada sub model kelayakan finansial terdapat beberapa buah tombol penting yang erat kaitannya terutama dengan operasi dokumentasi. Perintah – perintah tersebut ditempatkan pada bagian kakan – atas halaman, beberapa di antaranya adalah : Membuat dokumen baru, digunakan untuk membuat dokumen kelayakan finansial yang baru. Membuka dokumen, digunakan untuk membuka dokumen kelayakan finansial yang telah tersimpan dalam bentuk file pada waktu sebelumnya. Klik perintah ini jika anda ingin membuka dokumen yang ada kemudian tentukan lokasi dan nama dokumen pada dialog yang ditayangkan, kemudian tekan [Enter] atau klik tombol [OK] untuk melanjutkan. Tekan [Esc] atau klik [Cancel] untuk membatalkannya. Menyimpan dokumen, digunakan untuk menyimpan dokumen yang aktif. Sistem akan menanyakan nama dokumen melalui dialog Save jika dokumen yang aktif belum mempunyai nama file. Tentukan lokasi simpan dan berikan nama dokumen sesuai keinginan. Mengkopi seleksi ke memori, digunakan untuk mengkopi seleksi ke memori untuk kemudian ditempatkan pada aplikasi windows lainnya. Perintah ini penting artinya dalam kegiatan reporting karena AGRIPAL tidak menyediakan grafis yang fleksibel untuk reporting. Eksport ke format excel, digunakan untuk menyimpan dokumen kelayakan finansial dalam format microsoft excel. Gunakan perintah ini jika anda ingin membuka sistem kelayakan finansial menggunakan aplikasi microsoft excel. Sub model kelayakan finansial terdiri dari beberapa halaman penting di antaranya adalah halaman asumsi dan koefisien, biaya investasi, biaya operasional, perkiraan arus uang, dan analisis sensitifitas. Di samping itu sub model ini dilengkapi dengan 2 (dua) buah tool untuk membantu melakukan perhitungan – perhitungan rumit dalam sub model diantaranya optimasi variabel kritis dan perencanaan produksi. Semua perintah untuk menampilkan halaman tersebut dikumpulkan dalam left navigation bar yang diletakkan pada bagian kiri aplikasi. Utilitas optimasi variabel kritis pada sub model kelayakan finansial dirancang untuk membantu pengguna dalam melakukan perhitungan nilai – nilai break even dari beberapa variabel yang dianggap kritis untuk mencapai tingkat IRR yang diharapkan. Masukkan nilai IRR yang diharapkan pada dialog yang ditampilkan kemudian tekan [Enter] atau klik tombol [Lakukan
171
Perhitungan] – beberapa saat sistem akan melakukan prosedur break even, kemudian menampilkan hasilnya. Berikut disajikan tampilan utilitas optimasi variabel kritis. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam analisis analisis break even adalah bahwa prosedural optimasi ini memerlukan bantuan salah satu tools yang terdapat pada aplikasi microsoft excel yaitu solver. Pastikan utilitas tersebut telah terinstal dengan baik pada aplikasi microsoft excel. Tanpa solver utilitas optimasi variabel kritis tidak dapat dijalankan. Fasilitas pendukung lainnya dalam sub model kelayakan finansial adalah utilitas perencanaan produksi. Utilitas ini digunakan untuk melakukan analisis perencanaan volume maupun harga menggunakan berbagai metoda perkiraan antara lain ; simulasi monte carlo, model time series.
Gambar 9. Dialog optimasi variabel kritis
Utilitas perencanaan dimulai dengan mengisi seri data aktual pada kolom yang bersesuaian dengan data produksi atau harga sesuai kebutuhan, setelah itu pengguna menetapkan metoda perkiraan yang diinginkan – sistem secara otomatis akan melakukan perhitungan dan menampilkan hasilnya pada kolom Perkiraan. Di samping itu pengguna dapat memperoleh informasi mengenai nilai – nilai statistik dari metoda yang dipilih.
e.
Sub Model Strategi
Sub model strategi menggunakan metoda analisis hirarki proses. Pada sub model ini disediakan beberapa tombol perintah yang dapat digunakan sesuai fungsinya masing – masing diantaranya; 1) membuat dokumen baru, 2) membuka dokumen yang sudah ada, 3) menyimpan dokumen aktif, 4) menambahkan dan menghapus hirarki, elemen, dan pakar, 5) menghapus hirarki, pakar, dan elemen terseleksi, 6) menampilkan informasi hirarki, pakar, dan elemen yang aktif, 7) menampilkan matriks pendapat, 8) melakukan perhitungan vertikal, dan 9) mengkopi hasil perhitungan agregat ke memori untuk kemudian digunakan pada aplikasi lain. Fungsi – fungsi tersebut semuanya dapat diaktifkan dengan cara meng-klik tombol yang bersesuaian. Tombol – tombol tersebut ditempatkan secara terurut dari kiri ke kanan seperti dapat dilihat pada Gambar 10.
172
Tombol – tombol perintah 1) Membuat dokumen baru 2) Membuka dikumen 3) Menambah hirarki, elemen, dan 4) Menghapus hirarki, elemen, dan pakar pakar
5) Menampilkan informasi seleksi 6) Tampilkan matriks pendapat pakar 7) Lakukan agregasi vertikal 8) Kopi hasil perhitungan vertikal ke memori
Gambar 10. Ilustrasi tampilan sub model strategi pengembangan Berikut adalah beberapa fungsi tombol yang tersedia pada sub model strategi pengembangan. Fungsi – fungsi ini dibahas berdasarkan urutan dari kiri ke kanan. ::
Membuat dokumen baru, adalah tombol untuk memerintahkan sistem agar membuat dokumen dengan satu buah hirarki (tujuan utama) dan satu orang pakar / pengambil keputusan. Operasi pembuatan dokumen baru akan menutup dokumen yang sedang aktif, simpanlah terlebih dahulu dokumen yang sedang aktif jika anda memerlukannya.
::
Membuka dokumen, adalah perintah yang disediakan untuk operasi pembukaan dokumen jika pada waktu sebelumnya telah disimpan dalam bentuk file.
::
Menyimpan dokumen aktif, merupakan perintah yang dirancang untuk menyimpan dokumen yang sedang aktif ke dalam bentuk file. Simpanlah selalu setiap perubahan dalam dokumen sebelum anda menutup aplikasi atau berpindah ke sub model lainnya (jika diperlukan).
::
Tambahkan pakar/hirarki/elemen, digunakan untuk menambah hirarki, pakar, dan elemen pada hirarki terseleksi. Khusus untuk operasi penambahan elemen, sorotlah terlebih dahulu hirarki yang akan ditambahkan elemennya, kemudian gunakan perintah [Tambahkan Elemen]. Isilah semua entitas pada dialog yang ditampilkan, kemudian klik tombol [OK]. Gunakan tombol [Batal] untuk membatalkan operasi penambahan.
::
Hapus pakar/hirarki/elemen, digunakan untuk menghapus hirarki, pakar, dan elemen pada hirarki terseleksi. Sorotlah terlebih dahulu hirarki, pakar, atau elemen yang akan dihapus, kemudian gunakan perintah ini. Operasi penghapusan hirarki/pakar/elemen ini tidak dapat dibatalkan karena itu yakinkan terlebih dahulu jika anda akan melakukannya.
::
Tampilkan keterangan seleksi, digunakan untuk menampilkan informasi hirarki, elemen, atau pakar yang aktif. Gunakan tombol ini untuk melakukan editing terhadap informasi nama dan deskripsi hirarki, elemen, maupun pakar yang aktif.
::
Matriks pendapat, digunakan untuk melakukan pengisian pendapat pakar mengenai tingkat kepentingan antar elemen dalam model yang dikaji. Pengisian matriks pendapat dilakukan dengan membandingkan elemen – elemen baris terhadap elemen – elemen kolom berdasarkan skala perbandingan. Pada sub model ini skala perbandingan dibagi kedalam 9 (sembilan) tingkat kepentingan mulai dari yang terendah sampai kepentingan yang tertinggi. Berikut
173
adalah salah satu contoh tampilan matriks pendapat pakar pada sub model strategi pengembangan :
Gambar 11. Matriks pendapat pakar sub model strategi pengembangan Pada halaman matriks pendapat pakar disediakan beberapa tombol penting yang berkaitan dengan kegiatan editing pendapat pakar diantaranya tombol skala perbandingan, navigasi pakar, kopi ke memori, dan tombol untuk menutup lembar kerja. Tombol skala perbandingan digunakan untuk melakukan pengisian nilai pada sel yang aktif, klik tombol ini sesuai pendapat pakar – secara otomatis model akan melakukan perhitungan dan menampilkan hasilnya pada daftar nilai prioritas. Gunakan tombol navigasi pakar untuk menampilkan pendapat pakar lainnya. Salah satu persyaratan dalam metoda analisis hirarki proses adalah bahwa matriks pendapat pakar harus konsisten yaitu ditandai dengan batasan nilai rasio konsistensi maksimal (dalam sub model ini ditetapkan sebesar 0.1) karena itu pengisian matriks pendapat harus memperhatikan kriteria tersebut. Informasi mengenai rasio konsistensi ini dapat dilihat secara langsung setiap kali pengguna melakukan perubahan nilai – nilai perbandingan antar elemennya. Tombol [Kopi ke memori] pada dialog matriks pendapat pakar digunakan untuk menyimpan matriks pendapat beserta resume pengolahannya ke memori. Gunakan perintah ini jika anda ingin menyisipkan matriks pendapat pada aplikasi lainnya. :: Hasil pengolahan vertikal, digunakan untuk melakukan agregasi pendapat untuk kemudian dilakukan perhitungan hirarki secara vertikal. Operasi ini adalah operasi akhir dari sub model strategi, dengan menggunakan perintah ini pengguna dapat memperoleh informasi nilai – nilai semua elemen secara hirarkis. Gunakan perintah [Simpan hasil perhitungan vertikal ke memori] untuk menyimpan hasil perhitungannya ke memori. :: Simpan hasil perhitungan vertikal ke memori, digunakan untuk melakukan penyimpanan hasil perhitungan vertikal ke memori untuk kemudian digunakan pada aplikasi windows lainnya. Gunakan selalu perintah ini (jika anda memerlukannya) setelah perhitungan vertikal dilakukan. Kemudian tempelkan hasilnya pada microsoft excel atau aplikasi lainnya menggunakan operasi Paste. Operasi penyimpanan hasil perhitungan ini sangat berguna untuk kegiatan reporting karena model AGRIPAL tidak menyediakan fasilitas reporting.
174
f.
Sub Model Kelembagaan
Sub model kelembagaan digunakan untuk melakukan identifikasi struktur sistem kelembagaan pada model AGRIPAL. Klik [Kelembagaan] pada top navigation bar untuk mengaktifkannya, halaman utama sub model kelembagaan ditayangkan. Isilah kotak dialog nama dan deskripsi elemen kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter]. Klik perintah – perintah yang disajikan untuk menampilkan halaman – halaman yang diinginkan. Berikut adalah halaman utama sub model kelembagaan. Manajemen dialog serta operasionalisasi sub model kelembagaan pada prinsipnya sangat mirip dengan operasional sub model kawasan, hanya saja pada sub model ini kajiannya ditujukan untuk mempelajari interaksi sub elemen secara struktural. Langkah awal sub model kelembagaan adalah inisialisasi sub elemen dan definisi pakar. Inisialisasi ini penting artinya untuk membuat form yang nantinya Gambar 12. Halaman utama sub model digunakan untukmembuat kelembagaan matriks pendapat pakar. Adapun prosedur editing sub elemen dan definisi pakar dapat di lihat pada bagian operasional recordset navigation bar. Pengisian Matriks Pendapat Matriks pendapat pakar dalam sub model kelembagaan diisi dengan memberikan nilai – nilai kontekstual antar sub elemen. Nilai – nilai kontekstual tersebut antara lain digeneralisasi dalam bentuk V, A, X, dan O. Masukkan V jika sub elemen baris mempengaruhi / lebih tinggi dari sub elemen kolom, sebaliknya gunakan A jika sub elemen baris dipengaruhi / lebih rendah dari sub elemen kolom, atau O jika tidak ada hubungan kontekstual diantara sub elemen tersebut, dan X jika ke dua sub elemen saling membengaruhi atau sama – sama penting. Gunakan navigator pakar untuk berpindah ke matriks pendapat pakar lainnya atau matriks pendapat agregat.
Utilitas dokumentasi Membuat dokumen baru Membuka dikumen Menyimpan dokumen aktif Eksport ke format excel Kopi halaman aktif ke memori Navigator matriks pendapat Navigator pakar Tampilkan hasil analisis pendapat Switch matriks individu / agregat
Gambar 13. Matriks pendapat pakar sub model kelembagaan
175
Gambar 14. Contoh keluaran model kelembagaan
Utilitas dokumentasi Utilitas dokumentasi disediakan sebagai fasilitas untuk melakukan beberapa kegiatan diantaranya membuat dokumen, membuka dokumen, menyimpan dokumen aktif, eksport data ke format excel, dan kopi halaman aktif ke memori. Utilitas dikumentasi ini terdapat pada hampir semua halaman yang ditayangkan dengan tujuan untuk mempermudah penggunaan. Beberapa tombol penting diantaranya adalah : Membuat dokumen baru, digunakan untuk membuat dokumen yang baru. Membuka dokumen, digunakan untuk membuka dokumen yang telah tersimpan dalam bentuk file pada waktu sebelumnya. Klik perintah ini jika anda ingin membuka dokumen yang ada kemudian tentukan lokasi dan nama dokumen pada dialog yang ditayangkan, kemudian tekan [Enter] atau klik tombol [OK] untuk melanjutkan. Tekan [Esc] atau klik [Cancel] untuk membatalkannya. Menyimpan dokumen, digunakan untuk menyimpan dokumen yang aktif. Sistem akan menanyakan nama dokumen melalui dialog Save jika dokumen yang aktif belum mempunyai nama file. Tentukan lokasi simpan dan berikan nama dokumen sesuai keinginan. Mengkopi halaman aktif ke memori, digunakan untuk mengkopi seleksi ke memori untuk kemudian ditempatkan pada aplikasi windows lainnya. Perintah ini penting artinya dalam kegiatan reporting karena AGRIPAL tidak menyediakan grafis yang fleksibel untuk reporting. Eksport ke format excel, digunakan untuk menyimpan dokumen dalam format microsoft excel. Gunakan perintah ini jika anda ingin membuka data hubungan kontekstual menggunakan aplikasi microsoft excel.
g.
Sistem Informasi
Perintah umum terakhir pada model AGRIPAL adalah perintah untuk menampilkan sistem informasi perikanan Propinsi Jawa Tengah. Pada halaman ini pengguna bisa memperoleh beberapa informasi mengenai gambaran umum, produksi dan penjualan ikan, kependudukan, sarana dan pra sarana, serta potensi kelautan beberapa kawasan di propinsi Jawa Tengah. Berikut adalah salah satu tampilan sistem informasi perikanan di propinsi Jawa Tengah.
176
Gambar 15. Salah satu contoh keluaran sistem informasi perikanan Propinsi Jawa Tengah h.
Referensi Teknis Recordset Navigation Bar
Recordset Navigation Bar merupakan sebuah kontrol yang dirancang untuk memudahkan pengguna dalam operasi rekord seperti; berpindah rekord dan menambah serta menghapus rekord. Dalam model AGRIPAL recordset navigation bar digunakan untuk kepentingan antara lain; menambah dan menghapus pakar, elemen, alternatif, kriteria, dan sebagainya. Ada 6 (enam) tombol utama dalam recordset navigation bar, 4 (empat) tombol pertama digunakan untuk operasi perpindahan rekord (move first, move previous, move next, dan move last) dan 2 tombol berikutnya digunakan untuk menambah dan menghapus rekord. Berikut ini disajikan ilustrasi gambar recordset navigation bar. Menambah rekord baru Menghapus rekord aktif Gambar 16. Recordset navigation bar. Perintah menambahkan rekord baru dilakukan dengan mengklik tombol [Tambahkan rekord baru]. Perintah ini akan mengosongkan semua field, isilah semua field yang disediakan sesuai keperluan dan diakhiri dengan menekan tombol [Enter] pada keyboard anda. Gunakan tombol [Esc] jika untuk membatalkan atau mengakhiri perintah penambahan. Perlu diperhatikan, operasi penambahan rekord memerlukan kode yang unik (berbeda satu dengan lainnya) gunakan selalu kode yang unik untuk menghindari konflik variabel dalam model.
177
4. Sistem Operasi dan Aplikasi Pendukung Aplikasi AGRIPAL membutuhkan sistem operasi beserta aplikasi – aplikasi pendukung lainnya untuk dapat beroperasi dengan lancar. Instal-lah aplikasi AGRIPAL pada windows dengan spesifikasi minimal sebagai berikut : a.
Sistem Operasi : Microsoft Windows 9x atau versi yang lebih tinggi dengan RAM terpasang minimal 128 MB dan free disk space sebesar 10 MB.
b.
Aplikasi Microsoft Excel 9x atau versi yang lebih tinggi yang dilengkapi dengan tools solver untuk penyelesaian operasi – operasi spesifik pada sub model kelayakan finansial.
c.
Mtzdaver1.1.dll, MtzFourier.dll, dan untuk kepentingan analisis perkiraan dan simulasi monte carlo serta prosedur statistik lainnya.
d.
Msscript.ocx untuk operasi scripting run time.
e.
File – file lainnya yang terdapat pada path aplikasi
5. Menghapus Aplikasi Menghapus aplikasi AGRIPAL penting dilakukan sebelum menjalankan prosedur instalasi jika pada komputer anda telah terinstal pada waktu sebelumnya. Di samping itu kegiatan ini mungkin akan lebih berguna untuk kinerja windows jika aplikasi AGRIPAL memang tidak digunakan lagi. Aktifkan jendela control panel pada Start|Control Panel kemudian klik Add/Remove Programs. Pada dialog yang ditayangkan terdapat daftar aplikasi yang ter-registrasi dalam windows termasuk di dalamnya aplikasi AGRIPAL (jika ada), sorotlah AGRIPAL kemudian klik tombol [Add/Remove]. Ikuti semua petunjuk yang ada pada dialog – dialog yang ditayangkan. Jika ada pertanyaan mengenai share file, pilihlah tombol [Remove None].
Lampiran 2. Peta Provinsi Jawa Tengah
Lampiran 3. Kabupaten/Kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi pendaratan ikan
Lampiran 4. Kabupaten/Kota di Pantai Selatan Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi pendaratan ikan
Lampiran 5. Pengelompokan kawasan pengembangan daerah berpotensi produksi perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah JARAK ANTAR DAERAH BERPOTENSI PRODUKSI PERIKANAN LAUT Satuan : Km A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A1 A2 A3
1
A1
Kab. Brebes
13
43
78
85 149 178 204 248 253 289 330 197
A2
Kab/Kota Tegal
1
30
65
72 136 165 191 235 240 276 317 184
A3
Kab. Pemalang
1
35
42 106 135 161 205 210 240 291 214
A4
Kab/Kota Pekalongan
A4 A5
1
7
71 100 126 170 175 211 262 249
A5
Kab. Batang
1
64
93 119 163 168 204 255 256
A6
Kab. Kendal
29
56
99 104 140 191 320
A7
Kota Semarang
1
26
70
75 111 162 251
A8
Kab. Demak
1
44
49
A9
Kab. Jepara
A6
1
A7 A8 A9
1
85 188 277
93 129 232 321
A10
36 237 326
A11 Kab. Rembang
A11
1 273 362
A12 Kab. Kebumen
A12
1 94
A13
1
Visualisasi grafis pengembangan
1
A10 Kab. Pati
hasil
analisis
klaster
A13 Kab. Cilacap
pengelompokan
kawasan
Lampiran 6.
Data produksi perikanan laut pada masing-masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 Satuan : Ton
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kawasan I Kawasan II Kawasan III 159.288 104.223 20.416 141.622 94.970 15.176 134.684 98.439 16.874 136.391 105.245 27.287 139.022 114.189 12.155 121.738 86.347 13.326 142.202 102.418 16.624 144.284 114.933 15.112 123.364 143.546 14.294 121.717 101.996 12.320 -2,53% -0,55% -0,24% Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004 (data diolah).
Jateng 283.927 251.768 249.996 268.923 265.366 221.412 261.244 274.329 281.204 236.235 -1,43%
Lampiran 7. Pelabuhan Perikanan dan Pusat Pendaratan Ikan di Provinsi Jawa Tengah No. Kabupaten/Kodia PP/PPI 1 Kab. Brebes Sawojajar Pulolampas Kluwut Pangandaran Kaligangsa Krakahan Kaliwlingi Prapag Kidul 2 Kab. Tegal
Larangan Surodadi I Surodadi II Kd. Kesambi
3 Kodia Tegal
Muarareja Tegalsari Pelabuhan
4 Kab. Pemalang
Tanjungsari Widuri Asemdoyong Mojo Ketapang Tasikrejo
5 Kab. Pekalongan Wonokerto Jambean 6 Kodia Pekalongan Nusantara 7 Kab. Batang
8 Kab. Kendal
9 Kodia Semarang
10 Kab. Demak
Klidang Lor Celong Roban Siklayu Tawang Bandengan Pidodo Kulon Sindang Sikucing Tambak Lorok Mangunharjo Morodemak Betahwalang Wedung Bungo
Kelas No Kabupaten/Kodia PP/PPI IV 11 Kab. Pati Bajomulyo III C Pecangaan III C Margotuhu II B Sambiroto IV Banyutowo III C Puncel IV IV 12 Kab. Jepara Kedungmalang Panggung II A Demaan III C Bulu IV Jobokuto IV Mlonggo Bondo IV Ujungwatu IC Karimunjawa IA Tubanan Bandarharjo IB IV 13 Kab. Rembang Tasikagung IB Kabongan Lor III B Pasar Banggi II B Pacar IV Gegunung Wetan Tanjungsari II B Pangkalan III C Karanganyar Pandangan IA Tunggulsari Karanglincak IA Bakung III C Bajingmadura III B III C 14 Kab. Kebumen Argopeni Karangduwur IC Pasir II A IV 15 Kab. Cilacap Sentolokawat III B Lengkong Pandanaran II A Tegalkatilayu IV Sidakaya PPSC IB Bengawan Donon IV II A IV
Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2000.
Kelas IA II B III A II B IB II A III C IV III A II B II A II C III B II B IV III A III B IA IV II A II B II C IC III A IB III B II C III B IV IA II A II A II A IC IC IC II A IC IA IV
Lampiran 8. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut No Kriteria P1 P2 1 Kebijakan/peraturan pemda ST T 2 Tingkat investasi T T 3 Kedekatan bahan baku ST ST 4 Kedekatan pasar ST T 5 Biaya produksi S ST 6 Konflik sosial S ST 7 Tenaga kerja S ST 8 Sumber air T ST 9 Sumber daya energi/listrik ST T 10 Sarana transportasi S ST 11 Sarana komunikasi S T Keterangan : P1 : Ir. Bambang Suboko (Gappindo) P2 : Dr. Mita Wahyuni (PHP – FPIK - IPB) P3 : Dr. Achmad Poernomo (P2KP – DKP) P4 : Dr. W. Farid Ma’ruf (PRPPSE - DKP) P5 : Esther Satyono (PT Ocean Mitramas) P6 : Ir. Tachmid WP (PT Bonecom) Lampiran 9.
P3 T T T T T T S T T T T
P4 T T ST S ST T SR SR R S T
P5 S T T T T S S T T T T
P6 T ST ST T T R S ST ST ST S
Agregat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
SR : Sangat Rendah R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi
Data pendukung penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah
a. Jumlah penduduk angkatan kerja Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1997 - 2003 No. Kabupaten 1 Kab.Brebes 2 Kab.Tegal
1997 780.650
1998 825.293
1999 825.934
2000 2001 805.863 818.892
2002 833.378
2003 855.652
549.924
570.746
583.059
615.082 632.143
641.523
650.166 107.906
3 Kota Tegal
139.097
135.701
158.440
99.419 106.502
111.580
4 Kab.Pemalang
518.453
517.743
552.680
565.624 600.959
622.795
615.776
372.476 413.452
392.900
425.073 124.405
5 Kab.Pekalongan
357.345
348.720
340.102
6 Kota Pekalongan
154.474
165.578
184.139
111.420 116.112
123.904
7 Kab.Batang
302.162
323.583
312.697
342.627 323.450
324.652
342.727
383.967 405.840
430.271
441.099 651.137
8 Kab. Kendal 9 Kota Semarang 10 Kab. Demak 11 Kab. Jepara
374.892
410.530
423.709
577.392
641.359
672.628
631.242 614.687
696.939
403.761
437.038
462.342
451.404 494.146
485.588
513.853
472.455 486.708
527.651
468.302 647.360
399.777
441.720
468.193
12 Kab. Pati
571.144
575.329
581.790
593.324 606.856
612.036
13 Kab.Rembang
281.220
280.942
287.403
269.236 291.281
279.651
298.781 572.547 752.035
14 Kab.Kebumen
504.209
536.856
557.442
542.767 536.292
509.089
15 Kab.Cilacap
678.107
639.468
727.456
698.674 731.038
740.221
Sumber : BPS Prov. Jateng, 1998-2004.
b. Luas wilayah dan kepadatan penduduk pada tahun 2003 Luas Wilayah No Kabupaten/Kota (Km3) 1 Kab.Brebes 1.657,73 2 Kab.Tegal 879,70 3 Kota Tegal 34,49 4 Kab.Pemalang 1,011,90 5 Kab.Pekalongan 836,13 6 Kota Pekalongan 44,96 7 Kab.Batang 788,95 8 Kab. Kendal 1.002,27 9 Kota Semarang 373,67 10 Kab. Demak 897,43 11 Kab. Jepara 1.004,16 12 Kab. Pati 1.491,20 13 Kab.Rembang 1.014,10 14 Kab.Kebumen 1.282,74 15 Kab.Cilacap 2.138,51 Sumber : BPS Prov. Jateng, 2004.
Jumlah Penduduk 1.763.581 1.429.345 242.112 1.316.977 829.984 271.418 692.519 882.145 1.389.416 1.024.934 1.034.799 1.187.646 576.417 1.193.850 1.641.849
Kepadatan penduduk (Org/Km3) 1.063,85 1.624,81 7.019,77 1.301,49 992,65 6.036,88 877,77 880,15 3.718,30 1.142,08 1.030,51 796,44 568,40 930,70 767,75
c . Jumlah Industri Pengolah Ikan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 No. Kabupaten
Jenis Pengolahan Es-esan Ikan Asin Pindang Lain-lain 1 Kab.Brebes 21 34 2 32 2 Kab.Tegal 5 13 11 13 3 Kota Tegal 39 55 2 4 Kab.Pemalang 20 29 9 26 5 Kab.Pekalongan 7 46 5 15 6 Kota Pekalongan 20 45 25 20 7 Kab.Batang 34 58 22 48 8 Kab. Kendal 20 97 13 9 Kota Semarang 20 10 58 10 Kab. Demak 53 38 27 5 11 Kab. Jepara 40 15 1 121 12 Kab. Pati 30 24 41 6 13 Kab.Rembang 18 63 56 123 14 Kab.Kebumen 43 31 23 29 15 Kab.Cilacap 19 52 8 2 Jumlah 363 563 219 466 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.
Jumlah 89 42 96 84 73 110 162 130 88 123 177 101 260 126 81 1.742
d. Besar tenaga listrik Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1997 - 2003 Satuan : 1000 KWH No. Kabupaten 1 Kab.Brebes 2 Kab.Tegal 3 Kota Tegal 4 Kab.Pemalang 5 Kab.Pekalongan 6 Kota Pekalongan 7 Kab.Batang 8 Kab. Kendal 9 Kota Semarang 10 Kab. Demak 11 Kab. Jepara 12 Kab. Pati 13 Kab.Rembang 14 Kab.Kebumen 15 Kab.Cilacap
1997 1998 1999 127.811 149.930 178.493 88.897 97.238 108.865 167.458 130.695 130.061 157.547 140.284 154.621 67.957 112.303 115.676 39.318 67.067 98.754 64.739 85.364 88.455 471.467 551.663 722.740 1.152.125 1 047.775 1.093.669 84.478 80.006 89.329 91.374 112.469 128.706 126.395 137.162 150.678 43.367 45.647 49.566 96.219 111.018 141.897 230.474 363.452 394.079
Sumber : BPS Prov. Jateng, 1998-2004.
2000 2001 2002 2003 200.033 201.120 228.164 226.953 123.150 124.683 138.271 141.449 151.552 139.415 157.165 163.555 158.815 157.617 176.546 162.094 141.535 151.254 175.397 182.015 103.960 104.681 116.898 119.513 102.216 109.514 130.742 132.173 779.280 679.878 722.777 500.057 1.135.647 1.184.832 1.326.945 1.365.618 97.349 105.012 120.866 121.627 155.060 177.844 191.797 194.410 175.321 199.107 215.525 220.142 57.648 64.885 68.272 70.291 152.880 159.073 177.006 176.386 442.574 440.492 523 418 522.874
e . Kapasitas produksi maksimum air bersih Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1997 - 2003 Satuan : 1000 m3 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten Kab.Brebes Kab.Tegal Kota Tegal Kab.Pemalang Kab.Pekalongan Kota Pekalongan Kab.Batang Kab. Kendal Kota Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Pati Kab.Rembang Kab.Kebumen Kab.Cilacap
1997 2.714 1.733 3.039 1.535 335 4.815 1.170 3.124 9.630 2.822 1.786 2.779 3.096 2.826 5.710
1998 5.739 9.080 5.677 851 523 4.580 2.203 3.862 8.407 298 2.025 3.176 3.606 4.567 3.900
Sumber : BPS Prov. Jateng, 1998-2004.
1999 5.649 1.775 3.085 2.443 504 4.580 2.353 4.671 49.185 246 2.545 3.556 3.935 4.678 7.205
2000 3.648 9.761 5.590 3.002 548 4.580 2.650 5.503 51.210 3.873 2.943 3.705 3.430 4.275 7.890
2001 5.394 2.825 5.430 3.078 560 4.580 3.412 5.963 49.182 4.325 3.545 3.781 3.430 4.457 8.069
2002 5.683 9.198 6.447 3.495 681 4.135 3.768 2.558 62.767 4.249 4.896 3.842 5.103 4.320 8.939
2003 4.633 11.894 4.157 115 5.225 3.944 8.263 5.535 4.066 3.895 13.698 9.348
f. Jumlah kantor bank umum Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1997 - 2001 No. Kabupaten
1997
1998
1999
2000
2001
1 Kab.Brebes
16
9
15
15
15
2 Kab.Tegal
8
4
7
9
9
3 Kota Tegal
19
20
16
17
17
4 Kab.Pemalang
15
9
14
16
16
5 Kab.Pekalongan
8
1
8
9
9
6 Kota Pekalongan
21
20
19
20
24
7 Kab.Batang
10
7
10
12
12
8 Kab. Kendal
15
11
15
15
15
9 Kota Semarang
179
106
150
145
142
10 Kab. Demak
6
6
6
6
6
11 Kab. Jepara
14
10
14
14
14
12 Kab. Pati
16
7
16
16
16
13 Kab.Rembang
8
5
8
8
8
14 Kab.Kebumen
16
13
16
16
16
15 Kab.Cilacap
58
18
25
25
57
Sumber : BPS Prov. Jateng, 1998-2002.
g Jumlah kendaraan bermotor umum wajib uji Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1997 - 2001 No. Kabupaten 1 Kab.Brebes 2 Kab.Tegal
1997 941 888
1998 902 887
3 Kota Tegal
800
4 Kab.Pemalang
822
5 Kab.Pekalongan 6 Kota Pekalongan
1999
2000
2001
796 844
764 813
781 818
787
705
736
587
773
713
698
696
267
259
251
252
324
748
759
734
753
653
7 Kab.Batang
588
536
492
513
504
8 Kab. Kendal
769
753
712
703
839
5 320
4 174
4 039
4 358
4 540
9 Kota Semarang 10 Kab. Demak
378
385
354
362
459
11 Kab. Jepara
1 031
981
888
918
926
12 Kab. Pati
1 571
1 493
1 342
1 257
1 242
765
711
540
703
552
13 Kab.Rembang 14 Kab.Kebumen 15 Kab.Cilacap
812
772
752
754
793
1 541
1 563
1 530
1 416
1 897
Sumber : BPS Prov. Jateng, 1998-2002.
Lampiran 10.
Alter natif
Penentuan pusat pertumbuhan antar kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah
MATRIK PENDAPAT PAKAR P1
P2
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 A1 3 3 2 4 4 3 5 6 5 6 5 5 3 3 7 5 7 7 6 7 7 5 A2 3 4 2 4 5 4 5 5 5 6 5 5 4 2 6 5 6 5 5 7 7 5 A3 5 3 9 5 3 3 8 3 7 9 9 6 3 9 7 6 6 7 5 7 8 7 A4 5 5 3 4 5 4 4 5 5 6 6 5 4 4 7 5 3 7 5 7 8 7 A5 3 3 2 4 4 4 4 4 4 6 5 5 7 2 6 5 6 7 5 7 7 6 A6 5 3 9 6 4 3 9 4 7 9 9 6 3 9 9 4 7 8 5 7 9 7 A7 4 5 4 4 5 5 3 4 5 6 5 6 5 4 9 4 7 7 5 7 9 7 A8 4 3 2 5 4 3 5 3 6 8 7 6 3 2 8 5 7 7 5 7 8 6 A9 6 3 2 6 3 5 5 9 9 9 9 6 3 2 8 4 2 7 7 7 9 9 A10 5 4 2 6 3 5 5 3 7 8 7 5 5 3 8 5 2 6 5 7 8 7 A11 4 4 2 3 4 4 4 5 6 7 6 5 4 3 7 4 3 6 5 7 8 7 A12 3 3 9 5 4 4 5 5 7 7 7 7 5 9 9 5 6 7 4 7 8 8 A13 5 3 9 5 5 4 5 3 7 8 6 7 3 9 9 4 2 7 4 7 9 8 A14 3 6 3 3 3 7 3 5 4 4 5 5 5 2 5 6 6 7 5 7 5 5 A15 8 6 5 6 5 7 4 7 5 8 7 5 3 4 9 2 3 7 8 7 8 9 P1 : Ir. Boedi Setyana (Ka Subag Pertanian, Bappeda Prov. Jawa Tengah) P2 : Ir. Galih Rasiono, M.Pi (Ka. Sub.Din Perencanaan dan Pengembangan Perikanan dan Kelautan Prov. Jawa Tengah)
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
Alternatif :
Kab. Brebes Kab. T egal Kota T egal Kab. Pemal ang Kab. Pekal ongan Kota Pekal ongan Kab. Batang Kab. Kendal
A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15
Kota Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Kebumen Kab. Cil acap
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11
Kriteria :
Kebij akan Pemerintah daerah T ingkat investasi Kedekatan bahan baku Kedekatan pasar Biaya produksi T ingkat konflik sosial Ketersediaan tenaga kerj a Ketersediaan sumber air Ketersediaan sumber Energi/Listrik Ketersediaan sarana transportasi Ketersediaan sarana transportasi
VISUALISASI GRAFIS HASIL ANALISIS KLASTER PUSAT PERTUMBUHAN (AGREGAT)
Lampiran 11. Produksi perikanan laut di kabupaten/kota yang diunggulkan A Volume produksi (Ton)
Tahun
Tegal Pekalongan Pati 23.441 103.009 20.627 91.981 21.763 81.101 24.117 79.434 22.794 81.215 22.178 65.035 23.550 64.720 31.020 71.551 34.513 51.525 27.714 54.956 2,84 -5,95 % Pertumbuhan 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
66.738 56.806 59.053 59.214 53.265 41.226 37.587 39.931 50.905 51.193 -1,98
Rembang Cilacap 27.066 19.551 28.553 13.765 27.053 13.013 36.320 23.149 45.294 11.353 35.954 10.083 40.447 7.419 51.365 6.455 55.282 7.817 29.581 7.672 4,36 -4,39
B Nilai produksi (Rp. 1000) Tahun Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap 1994 12.993.637 62.228.127 46.791.590 19.514.978 24.460.487 1995 14.212.706 61.700.800 42.994.710 19.444.142 22.992.157 1996 16.277.043 65.943.099 52.332.279 23.842.428 21.154.284 1997 18.852.723 67.240.411 55.925.279 32.922.796 37.385.961 1998 41.667.754 151.328.787 120.976.231 71.183.542 77.781.497 1999 52.233.530 164.737.017 104.246.435 73.737.287 69.826.915 2000 65.470.171 151.727.810 101.393.483 87.334.855 68.753.120 2001 94.756.167 206.394.885 125.266.048 87.334.855 55.505.807 2002 97.325.563 165.815.071 165.144.651 118.954.569 53.612.220 2003 91.921.096 168.376.130 149.712.446 87.013.558 37.775.483 28,15 16,88 18,47 23,10 11,87 % Pertumbuhan C Harga rataan komoditas (Rp/Kg) Tahun Tegal Pekalongan Pati 1994 554 604 1995 689 671 1996 748 813 1997 782 846 1998 1.828 1.863 1999 2.355 2.533 2000 2.780 2.344 2001 3.055 2.885 2002 2.820 3.218 2003 3.317 3.064 26,43 23,87 % Pertumbuhan
701 757 886 944 2.271 2.529 2.698 3.137 3.244 2.924 22,22
Rembang Cilacap 721 1.251 681 1.670 881 1.626 906 1.615 1.572 6.851 2.051 6.925 2.159 9.267 1.700 8.599 2.152 6.858 2.942 4.924 19,76 37,07
Sumber : Diskanlut Kota Tegal dan Pekalongan, Kabupaten Pati, Rembang dan Cilacap (data diolah)
Lampiran 12.
Laju pertumbuhan volume produksi perikanan laut di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 - 2003
No. Kabupaten 1994 1995 1 Kab. Brebes 2.191 1.705 2 Kab Tegal 402 352 3 Kota Tegal 23.447 20.628 4 Kab. Pemalang 11.275 10.460 5 Kab. Pekalongan 899 936 6 Kota Pekalongan 103.009 91.995 7 Kab. Batang 18.066 15.545 8 Kab. Kendal 2.366 2.143 9 Kota Semarang 1.689 1.461 10 Kab. Demak 2.698 2.601 11 Kab. Jepara 3.276 3.234 12 Kab. Pati 66.738 56.806 13 Kab. Rembang 27.456 28.725 14 Kab. Kebumenn 865 1.411 15 Kab. Cilacap 19.551 13.765 Total 283.927 251.768 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.
1996 1.782 528 21.834 9.961 1.114 81.101 18.363 2.906 1.372 4.005 4.049 59.053 27.053 3.860 13.013 249.996
1997 1.662 515 24.046 9.727 1.243 79.434 20.214 2.466 888 3.313 3.046 59.214 36.319 4.138 23.149 268.923
1998 1999 2.451 2.375 746 678 22.712 22.172 8.221 6.095 1.698 2.014 81.215 65.035 21.980 23.369 2.459 1.820 751 602 2.853 2.560 3.432 3.072 53.265 42.340 51.429 35.954 838 3.226 11.318 10.100 265.366 221.412
2000 2.404 650 44.819 7.226 1.438 66.629 19.038 1.602 652 2.264 2.147 44.969 50.783 1.471 15.153 261.244
2001 2002 2.569 3.743 724 845 36.849 34.513 8.592 11.280 1.973 2.164 73.124 53.162 20.453 17.657 1.245 1.111 566 332 1.599 1.182 1.798 2.206 49.624 59.889 60.200 78.826 1.988 5.350 13.124 8.945 274.329 281.204
Satuan : Ton % Pertum2003 buhan 5.270 12,73 1.107 13,98 29.564 6,63 9.925 0,12 1.979 11,07 62.009 -4,53 11.864 -3,14 1.055 -7,25 174 -20,43 1.209 -6,20 3.730 5,19 63.457 0,22 32.371 8,48 4.180 64,12 8.140 -2,58 236.235 -1,43
Lampiran 13.
Laju pertumbuhan nilai produksi perikanan laut di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 - 2003 Satuan : Rp. 1000
No. Kabupaten 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1 Kab. Brebes 1.068.630 633.946 1.340.662 1.675.040 2.935.236 8.524.715 5.089.832 7.710 996 9.289.336 2 Kab Tegal 533.686 523.978 1.023.160 825.925 2.311.434 3.120.253 2.633.554 6.210 741 13.032.766 3 Kota Tegal 14.013.902 14.211.706 16.276.425 18.851.723 41.628.720 52.173.900 158.993.632 109.357 400 97.325.563 4 Kab. Pemalang 6.485.399 6.402.536 8.358.544 8.303.380 16.905.816 17.534.839 29.328.120 26.657 405 43.602.694 5 Kab. Pekalongan 385.474 494.899 920.338 1.464.665 3.139.275 3.585.092 3.589.978 5.493 037 4.727.595 6 Kota Pekalongan 62.228.127 61.703.144 65.343.099 59.577.929 151.228.788 164.737.017 167.265.863 214.343 474 180.851.510 7 Kab. Batang 14.532.688 14.074.166 18.570.773 21.438.855 27.812.957 48.630.955 56.370.917 59.798 230 47.736.320 8 Kab. Kendal 3.516.580 3.333.509 5.540.475 5.398.159 10.893.830 8.384.490 9.062.645 5.543 319 8.494.697 9 Kota Semarang 721.741 729.023 870.842 661.163 941.809 964.112 1.507.760 835 600 616.470 10 Kab. Demak 3.509.185 3.535.948 5.587.691 4.669.261 8.413.768 6.466.314 7.266.715 7.726 159 4.479.921 11 Kab. Jepara 2.080.199 2.154.651 3.577.508 3.174.328 6.747.829 8.360.452 7.986 199 8.010 816 12.297.916 12 Kab. Pati 46.791.590 42.994.710 52.332.279 55.925.279 120.981.226 104.246.440 214.494.140 180.937 802 208.467.971 13 Kab. Rembang 19.515.018 19.561.436 23.842.398 31.778.289 71.193.986 73.736.917 286.703.981 286.147 350 409.293.350 14 Kab. Kebumen 1.423.378 2.090.952 1.959.806 3.634.238 10.328.407 12.641.490 10.205.657 11.456 664 18.289.578 15 Kab. Cilacap 24.460.487 22.992.165 11.085.419 37.385.961 77.783.603 70.360.279 164.003.096 105.541 568 63.805.684 Total 201.266.083 195.436.769 216.629.419 254.764.196 553.246.684 583.467 262 1.124.502.089 1.035.770 563 1.122.311.371
Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.
% Pertum2003 buhan 11.705.094 46,56% 7.772.305 53,19% 87.960.978 36,76% 32.391.414 25,77% 5.040.226 38,65% 195.827.879 20,15% 26.449.334 11,78% 5.519.755 13,85% 477.763 0,48% 3.609.825 6,30% 13.100.075 27,85% 210.048.925 25,45% 112.997.626 49,14% 17.208.997 42,15% 41.160.116 33,38% 773.621.116 23,37%
Lampiran 14. Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial No 1 2 3 4 5 6
Kriteria Volume Kontinuitas Mutu Nilai ekonomis Peluang diversifikasi Lokasi pendaratan
P1 T T ST T ST T
P2 ST ST ST T ST ST
P3 S ST ST T T T
Keterangan : P1 : Ir. Bambang Suboko (Gappindo) P2 : Dr. Mita Wahyuni (PHP – FPIK - IPB) P3 : Dr. Achmad Poernomo (P2KP – DKP) P4 : Dr. W. Farid Ma’ruf (PRPPSE - DKP) P5 : Esther Satyono (PT Ocean Mitramas) P6 : Ir. Tachmid WP (PT Bonecom)
P4 SR S ST T T S
P5 T ST ST S S S
P6 ST ST ST S ST T
Agregat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
SR : Sangat Rendah R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi
Lampiran 15. Volume produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 Satuan : Kilogram No.
Jenis Ikan I PELAGIS 1 Layang 2 Selar 3 Belanak 4 Julung-julung 5 Teri 6 Japuh 7 Tembang 8 Lemuru 9 Kembung 10 Tengiri 11 Tuna 12 Cakalang 13 Layur 14 Tongkol SUB JUMLAH DEMERSAL 1 Peperek 2 Manyung 3 Beloso 4 Merah 5 Ekor Kuning 6 Kakap 7 Tigawaja 8 Cucut 9 Pari 10 Bawal Hitam 11 Bawal Putih 12 Lain-lain SUB JUMLAH
Tahun 1994
Tahun 1995
Tahun 1996
Tahun 1997
Tahun 1998
Tahun 1999
Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
90 708 982 17 643 935 156 303 8 431 4 213 843 58 893 31 442 855 28 282 600 22 926 765 2 346 185 0 6 104 872 1 744 262 15 315 159 220 953 085
87 092 263 15 771 097 557 355 44 735 2 259 563 188 885 35 049 896 23 231 655 18 794 612 1 197 940 172 238 5 048 376 1 050 183 12 255 663 202 714 461
88 403 085 14 183 317 184 277 43 734 4 703 584 604 573 28 310 408 21 867 747 16 890 391 1 350 713 225 662 5 686 707 1 188 528 11 581 055 195 223 781
107 767 332 13 130 181 23 840 2 431 064 3 115 390 6 665 25 985 234 14 952 848 17 495 156 1 801 347 53 4 362 007 1 463 639 10 877 763 203 412 519
99 917 060 16 088 739 63 323 1 346 557 3 161 013 136 305 26 547 213 14 944 753 22 414 858 2 021 483 662 444 818 936 4 824 615 10 415 568 203 362 867
89 016 866 10 681 582 18 161 1 136 864 4 365 696 303 524 12 250 765 5 918 567 16 892 761 1 701 726 2 950 1 875 795 2 741 928 10 020 785 156 927 970
63 753 000 12 368 100 678 700 75 600 3 611 600 53 900 29 955 700 12 908 900 15 730 800 4 891 700 5 083 500 1 387 000 4 226 300 12 789 600 167 514 400
59 821 700 13 988 300 565 600 6 800 3 368 600 0 38 830 700 19 989 700 20 948 000 5 155 000 4 577 100 1 284 700 3 313 100 11 822 800 183 672 100
56 260 600 15 204 800 29 900 11 700 3 671 400 2 100 39 817 800 12 382 900 16 668 900 5 663 800 1 666 000 2 523 700 3 510 500 14 600 500 172 014 600
8 409 490 2 400 054 2 236 699 2 688 545 6 838 1 026 195 1 920 805 3 240 801 2 955 550 1 158 095 847 169 10 838 050 37 728 291
8 249 199 1 897 438 1 954 897 2 128 598 66 476 1 022 374 2 062 763 2 705 408 1 437 283 1 033 083 142 091 13 136 511 35 836 121
9 179 798 1 869 937 1 959 699 1 246 882 714 788 917 614 2 820 591 2 678 426 2 549 703 567 246 272 784 14 301 101 39 078 569
9 696 880 2 107 886 754 947 1 510 033 153 802 280 421 1 811 114 2 286 581 3 200 536 435 722 343 497 26 616 776 49 198 195
8 985 721 1 228 389 667 684 1 714 127 178 577 71 413 2 213 183 1 478 971 1 989 073 2 393 481 1 402 844 9 060 842 31 384 305
12 517 092 1 203 782 724 594 1 032 451 737 173 91 167 2 406 590 1 370 970 1 875 003 1 169 116 454 540 19 992 019 43 574 497
10 716 700 4 997 700 2 105 200 3 969 200 438 700 96 200 6 748 500 3 012 600 3 304 600 2 013 600 426 200 39 122 300 76 951 500
10 298 500 6 420 700 2 497 900 3 761 800 663 300 566 600 5 541 000 3 111 200 4 238 600 1 269 300 4 106 700 38 311 300 80 786 900
15 728 800 6 871 900 1 374 100 3 921 800 833 500 596 700 5 785 600 3 298 800 5 956 300 3 796 500 4 571 100 44 068 000 96 803 100
1 895 552 6 079 980 578 271 2 711 360 13 980 152 25 245 315 283 926 691
2 180 359 417 348 944 154 1 841 652 7 833 849 13 217 362 251 767 944
1 924 327 935 588 1 046 038 3 983 055 7 804 754 15 693 762 249 996 112
1 667 265 861 836 2 727 504 3 244 003 7 811 503 16 312 111 268 922 825
8 768 270 554 714 1 398 613 261 911 19 635 436 30 618 944 265 366 116
2 432 287 1 275 652 1 273 458 1 770 760 14 157 084 20 909 241 221 411 708
5 189 600 2 336 800 4 602 400 302 700 4 346 100 16 777 600 261 243 500
2 467 800 1 957 800 3 547 700 808 200 1 088 000 9 869 500 274 328 500
2 550 000 1 961 600 3 169 900 4 433 800 270 900 12 386 200 281 203 900
II
III
LAIN-LAIN 1 Udang 2 Rebon 3 Cumi-cumi 4 Ubur-ubur 5 Lain-lain SUB JUMLAH JUMLAH TOTAL
Volume rata-rata 82 526 765 14 340 006 253 051 567 276 3 607 854 150 538 29 798 952 17 164 408 18 751 360 2 903 322 1 376 661 3 232 455 2 673 673 12 186 544 189 532 865 0 0 10 420 242 3 221 976 1 586 191 2 441 493 421 462 518 743 3 478 905 2 575 973 3 056 294 1 537 349 1 396 325 23 938 544 54 593 498 0 0 3 230 607 1 820 146 2 143 115 2 150 827 8 547 531 17 892 226 262 018 588
Lampiran 16. Nilai produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 Satuan : Rupiah No. Jenis Ikan I PELAGIS 1 Layang 2 Selar 3 Belanak 4 Julung-julung 5 Teri 6 Japuh 7 Tembang 8 Lemuru 9 Kembung 10 Tengiri 11 Tuna 12 Cakalang 13 Layur 14 Tongkol SUB JUMLAH II
Tahun 1995
Tahun 1996
Tahun 1997
Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Nilai Rata-rata
188 495 889 000 47 687 545 000
2 275 159 000 156 386 000
1 845 648 000 8 260 000
23 612 562 200 21 204 908 260 563 975 990 3 284 515 800 18 287 899 200 24 072 778 600 18 287 899 200 9 258 150 950 52 837 619 005 49 104 391 836 9 183 020 306 13 354 485 029 2 532 851 300 6 272 296 400 10 031 136 550 5 282 778 250
23 275 554 000 754 600 000
27 558 217 000 0
45 917 122 000 19 837 469 354 5 250 000 640 173 532
74 019 300 000 25 740 037 000
85 397 441 000 29 157 039 000
104 465 448 000 40 311 548 034 28 564 327 000 17 232 876 609
52 160 746 000 25 705 947 000
83 404 897 000 45 857 408 000
74 514 735 000 43 792 970 298 48 811 195 000 17 886 835 944
35 178 510 000 3 652 154 000
29 514 950 000 3 515 996 000
10 711 102 000 7 239 690 000
898 852 421 1 092 128 016 5 304 899 556 4 670 155 895 1 122 796 949 736 013 673 15 016 170 937 13 766 709 667 16 492 097 029 17 393 703 467 28 261 766 498 36 619 342 926 150 304 516 888 145 906 946 551 170 140 664 570 188 137 952 654 393 552 583 502 417 992 082 126
18 393 602 000 76 563 909 000
15 613 413 000 71 149 152 000
11 423 173 000 6 583 892 723 80 118 130 000 39 486 775 725
582 479 250 000
629 205 855 000
675 880 318 000 372 622 241 032
7 138 107 000 25 439 709 000 3 365 648 000 54 901 065 000
13 364 025 000 34 895 197 000 3 963 270 000 27 113 260 000
25 922 279 000 7 641 448 751 36 955 910 000 12 589 422 599 2 209 811 000 2 308 168 035 23 860 205 000 17 496 181 006
992 572 000 704 721 000 13 045 780 000 17 764 564 000
1 072 218 000 4 529 092 000 13 918 082 200 18 556 922 000
2 605 002 000 4 510 742 000 15 035 203 000 20 242 864 000
8 257 159 000 19 501 494 000 6 454 931 000 104 030 068 000
11 529 196 000 10 524 110 000 28 220 265 000 84 764 266 800
17 622 607 000 5 928 921 864 31 429 463 000 9 165 958 121 30 727 960 000 9 420 933 509 90 507 030 000 40 151 038 436
261 595 818 000
252 449 904 000
301 629 076 000 122 132 144 102
7 333 229 350 11 195 954 430 10 777 157 625 103 051 700 998 022 800 3 616 600 11 416 835 245 13 278 081 002 14 286 130 975 17 580 018 284 12 383 887 475 10 892 954 175 11 884 246 440 8 927 348 239 20 372 831 185 18 726 256 335 20 536 983 850 22 478 272 474 5 431 440 671 3 294 887 646 4 438 068 922 4 905 070 919 18 031 400 571 873 150 0 122 931 650 6 234 085 800 10 271 450 000 6 950 173 100 5 425 498 450 7 662 519 320 48 528 900
2 218 330 900 1 820 604 150 2 129 724 573 6 300 736 630
2 828 114 610 2 235 934 303 2 666 997 550 3 759 269 940
2 948 397 570 2 889 010 459
5 Ekor Kuning 6 Kakap 7 Tigawaja 8 Cucut
18 569 200 1 003 505 742 1 305 139 577 2 651 607 393
27 220 100 630 681 413 1 629 835 800 2 825 405 865
833 159 340 3 322 196 623 1 849 930 217 2 873 683 344
388 571 652 629 464 024
LAIN-LAIN 1 Udang 2 Rebon 3 Cumi-cumi
TAHUN 1999
210 223 550 000 34 375 469 000
2 010 332 060 2 472 112 857 2 225 315 540 6 944 942 630
SUB JUMLAH
Tahun 1998
58 591 782 090 60 758 721 436 71 680 773 650 78 224 760 549 190 178 370 730 210 456 750 300 11 182 868 680 10 717 223 563 11 341 609 550 12 212 892 304 28 995 302 500 29 606 529 180 80 315 815 25 421 980 157 756 492 121 462 836 736 391 104 60 304 750 55 491 488 3 674 239 047 1 890 149 975 4 744 693 950 3 219 500 14 996 800
DEMERSAL 1 Peperek 2 Manyung 3 Beloso 4 Merah
9 Pari 10 Bawal Hitam 11 Bawal Putih 12 Lain-lain
III
Tahun 1994
536 582 500 7 396 848 561
1 371 398 077 2 821 532 660
4 187 143 500 2 867 888 795
8 156 309 120 3 728 436 825 2 140 005 200 1 536 157 950 16 663 203 925 10 526 097 370 598 292 200 835 674 200 2 743 922 207 1 115 218 656 2 622 937 505 3 594 893 215
3 255 651 800 4 944 393 020
3 884 830 145 4 009 901 776 2 210 700 748 2 423 323 109 6 994 893 084 5 864 586 573 2 109 585 870 1 409 107 323 754 754 048 1 961 085 869 8 843 893 532 5 985 307 213 8 435 199 588 12 321 232 749 14 075 742 818 34 897 082 880 29 543 823 077 28 922 131 597 33 879 526 181 37 096 554 553 69 217 646 126 84 854 817 383 1 955 623 863 2 355 366 277 734 293 457 5 867 014 481
1 466 955 133 2 305 016 962 1 105 911 461 6 461 708 610
12 853 693 527 15 461 947 794 826 827 109 109 433 211 2 551 755 555 2 273 897 145
4 Ubur-ubur 483 193 700 492 138 352 5 Lain-lain 4 702 273 154 2 270 273 990 SUB JUMLAH 21 417 743 045 20 607 690 492 JUMLAH TOTAL 201 266 083 010 195 436 768 640
206 646 156 000 141 695 194 862 57 304 531 000 27 047 107 864 133 878 000 25 581 000
4 487 726 002 21 113 589 010 48 155 185 484 51 061 622 866 161 284 818 000 108 430 123 000 98 283 055 000 168 272 851 10 827 569 000 8 819 978 000 12 815 434 000 371 310 050 18 385 129 805 1 809 700 520 6 021 081 550 8 592 779 700 3 688 642 324 3 537 551 365 37 839 192 000 26 472 008 000 29 299 944 000 657 971 402 7 655 600 1 941 145 199 669 105 738 242 160 000 506 215 000 2 984 120 000 3 595 481 528 3 849 266 620 17 907 402 346 17 215 113 865 70 233 282 000 9 886 480 000 1 419 424 000 12 609 228 443 29 529 688 447 90 476 454 785 80 620 362 150 280 427 021 000 154 114 804 000 144 801 977 000 216 629 419 194 254 764 195 654 553 246 684 413 583 467 261 659 1 124 502 089 000 1 035 770 563 000 1 122 311 371 000
604 037 553 1 174 779 751
9 435 838 433 6 511 440 239
819 030 966 2 132 171 518 6 003 773 131 8 475 096 166
57 903 528 965 6 014 850 505 13 364 094 627 887 078 332 14 564 333 056 92 733 885 485 587 488 270 619
Lampiran 20. Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994 – 2003 A. Volume Produksi (Ton) No Tahun Layang 1 1994 40 297 2 1995 41 230 3 1996 43 074 4 1997 49 549 5 1998 54 415 6 1999 43 215 7 2000 27 021 8 2001 23 043 9 2002 18 633 10 2003 12 765 % Pertumbuhan
-10.20
B. Nilai Produksi (Rp. 1000) No Tahun Layang 1 1994 25 072 060 2 1995 28 147 765 3 1996 32 996 146 4 1997 33 871 915 5 1998 106 558 577 6 1999 111 388 318 7 2000 61 628 182 8 2001 64 189 025 9 2002 58 092 181 10 2003 51 875 396 % Pertumbuhan
21.17
C. Harga Rataan (Rp./Kg) No Tahun layang 1 1994 622 2 1995 683 3 1996 766 4 1997 684 5 1998 1 958 6 1999 2 578 7 2000 2 281 8 2001 2 786 9 2002 3 118 10 2003 4 064 % Pertumbuhan
31.35
Kembung 9 582 8 916 6 871 6 575 4 759 3 721 6 282 11 141 4 516 5 634
Lemuru 14 323 11 306 7 897 5 666 4 936 4 008 8 608 8 804 4 893 8 400
Tongkol Total 9 864 103 009 8 283 91 981 7 623 81 101 5 501 79 434 5 376 81 215 4 932 65 035 4 910 64 720 5 000 71 551 4 478 51 525 6 451 54 956
3.09
3.68
-3.04
Kembung 6 354 429 6 756 083 6 349 609 6 111 433 9 492 649 10 466 235 22 796 113 35 063 076 19 543 615 19 042 943
Lemuru 6 924 316 5 757 454 4 323 688 3 177 169 7 030 432 7 988 765 14 151 892 15 177 137 13 937 846 16 476 704
20.77
17.90
11.33
Kembung 663 758 924 929 1 995 2 813 3 629 3 147 4 328 3 380
Lemuru 483 509 548 561 1 424 1 993 1 644 1 724 2 849 1 962
Tongkol 931 1 030 1 357 1 373 2 499 3 403 3 869 4 612 3 648 2 700
24.86
25.63
16.41
-5.95
Tongkol Total 9 185 620 62 228 8 530 548 61 700 10 341 790 65 943 7 554 400 67 240 13 435 968 151 328 16 781 944 164 737 18 995 698 151 727 23 059 038 206 394 16 333 795 165 815 17 419 358 168 376
127 800 099 411 787 017 810 885 071 130
16.88 Total 604 671 813 846 1 863 2 533 2 344 2 885 3 218 3 064 23.87
Lampiran 21. Produksi komditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994 – 2003 A. Volume Produksi (Ton) No Tahun Layang Kembung Manyung 1 1994 27 933 6 128 684 2 1995 24 585 3 835 392 3 1996 25 162 4 283 317 4 1997 29 394 4 096 456 5 1998 22 611 8 629 262 6 1999 23 331 4 554 323 7 2000 17 119 2 577 726 8 2001 13 849 3 263 1 567 9 2002 15 482 3 825 2 204 10 2003 14 992 3 469 2 288 -5.53 2.72 27.54 % Pertumbuhan
Selar 5 252 5 182 5 341 5 011 5 125 2 710 1 919 2 243 4 436 3 878
2.62
Tembang 8 783 7 760 8 024 7 232 4 791 1 542 1 620 2 756 3 314 3 148
-3.25
Lemuru 10 921 10 289 10 661 6 920 4 938 993 2 089 2 709 3 199 2 602
-0.70
Total 66738 56 806 59 053 59 214 53 265 41 226 37 587 39 931 50 905 51 193
-1.98
B. Nilai Produksi (Rp. 1000)
N Tahun o Layang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
% Pertumbuhan
18 952 615 18 477 229 22 613 089 19 498 321 44 579 295 58 677 657 46 619 780 48 765 300 66 953 461 59 782 981
19.67
Kembung
Manyung
Selar
6 191 236 4 566 128 6 040 764 5 719 984 22 505 501 15 833 519 10 093 731 14 353 390 17 779 581 14 972 497
775 139 552 156 489 229 659 241 772 087 1 351 341 3 252 027 9 311 178 12 111 465 8 647 778
2 763 297 2 976 665 4 077 327 4 243 452 9 421 288 5 704 277 6 422 531 7 603 407 11 773 773 10 794 815
30.95
46.13
C. Harga Rataan (Rp/Kg) No Tahun Layang Kembung Manyung 1 1994 679 1 010 1 133 2 1995 752 1 191 1 409 3 1996 899 1 410 1 543 4 1997 663 1 396 1 446 5 1998 1 972 2 608 2 947 6 1999 2 515 3 477 4 184 7 2000 2 723 3 917 4 479 8 2001 3 521 4 399 5 942 9 2002 4 325 4 648 5 495 10 2003 3 988 4 316 3 780 31.28 19.88 19.37 % Pertumbuhan
23.21
Tembang 2 855 974 2 698 240 3 319 821 7 755 771 3 584 499 1 363 281 2 702 724 3 403 907 4 032 324 6 297 805
26.02
Lemuru 4 129 912 4 297 585 5 367 092 4 167 844 6 218 162 1 175 028 3 825 557 4 585 719 7 301 474 5 279 117
Total 46 791 590 42 994 710 52 332 279 55 925 279 120 981 226 104 246 435 101 393 483 125 266 048 165 144 651 149 712 446
27.96
18.47
Selar Tembang Lemuru 526 325 378 574 348 418 763 414 503 847 1 072 602 1 838 748 1 259 2 105 884 1 183 3 347 1 668 1 831 3 390 1 235 1 693 2 654 1 217 2 282 2 784 2 001 2 029 25.34 33.19 24.95
Total 701 757 886 944 2 271 2 529 2 698 3 137 3 244 2 924 22.22
Lampiran 22.
Produksi komditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994 – 2003
A. Volume produksi (Ton) No Tahun Tuna 1 1994 2 1995 3 1996 4 1997 5 1998 6 1999 7 2000 8 2001 1 966.7 9 2002 1 436.2 10 2003 669.7 % Pertumbuhan -40.17
Cakalang 6 085.9 5 048.0 3 537.2 4 360.6 3 338.9 2 072.0 1 466.6 1 077.8 2 184.8 3 756.1 3.76
Udang 1 439.2 1 660.9 1 437.5 1 137.8 1 542.8 1 877.3 1 141.4 868.1 1 109.7 776.4 -3.00
Total 19 551.4 13 765.2 13 013.2 23 149.4 11 352.7 10 082.9 7 419.3 6 454.6 7 816.6 7 671.7 -4.39
B. Nilai produksi (Rp.1000) No Tahun Tuna 1 1994 2 1995 3 1996 4 1997 5 1998 6 1999 7 2000 8 2001 13 605 891 9 2002 10 845 970 10 2003 6 137 988 % Pertumbuhan -31.85
Cakalang 6 933 924 5 424 933 3 992 246 5 914 602 8 340 204 5 281 363 3 906 744 3 669 816 6 213 905 8 351 048 8.44
Udang 9 772 856 10 054 313 9 024 042 13 655 417 49 565 840 39 109 180 38 010 205 25 645 086 24 755 347 12 590 907 21.99
Total 24 460 487 22 992 157 21 154 284 37 385 961 77 781 497 69 826 915 68 753 120 55 505 807 53 612 220 37 775 483 11.87
C. Harga rataan (Rp./Kg) No Tahun Tuna 1 1994 2 1995 3 1996 4 1997 5 1998 6 1999 7 2000 8 2001 6 918 9 2002 7 552 10 2003 9 165
Cakalang 1 139 1 075 1 129 1 356 2 498 2 549 2 664 3 405 2 844 2 223
Udang 6 790 6 054 6 278 12 002 32 127 20 833 33 301 29 542 22 308 16 217
Total 1 251 1 670 1 626 1 615 6 851 6 925 9 267 8 599 6 859 4 924
% Pertumbuhan
15.26
11.08
23.70
37.07
Lampiran 23. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kriteria Bahan baku Teknologi pasca panen Nilai tambah Pasar Tenaga kerja Permodalan Dampak ganda Sarana dan prasarana Kebijakan pemda Lingkungan hidup
P1 S S S T R R S S ST T
P2 ST ST T ST T ST ST T ST ST
Keterangan : P1 : Ir. Bambang Suboko (Gappindo) P2 : Dr. Mita Wahyuni (PHP – FPIK - IPB) P3 : Dr. Achmad Poernomo (P2KP – DKP) P4 : Dr. W. Farid Ma’ruf (PRPPSE - DKP) P5 : Esther Satyono (PT Ocean Mitramas) P6 : Ir. Tachmid WP (PT Bonecom)
P3 T T T ST S T T S T T
P4 ST T T T T T ST T S T
P5 ST T S T T S R S T R
P6 ST ST ST ST ST ST T T ST T
Agregat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
SR : Sangat Rendah R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi
Lampiran 25. Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993 - 2002 No Tahun 1 1993 2 1994 3 1995 4 1996 5 1997 6 1998 7 1999 8 2000 9 2001 10 2002 % Pertumbuhan
Segar 76 394 82 559 74 471 59 526 57 104 43 215 39 263 30 890 36 836 27 043 -10%
Pindang 6 330 10 895 8 840 10 200 9 950 17 850 9 816 7 723 6 886 4 772 4%
Asin 5 671 9 555 8 670 11 375 12 380 20 150 16 359 26 491 28 191 19 946 20%
Jumlah 88 395 103 009 91 981 81 101 79 434 81 215 65 438 65 104 71 913 51 761 -5%
Lampiran 26. Hasil analisis kimiawi ikan layang segar, asin dan pindang No 1 2 3 4 5 6
Kode
Aw 0.982
K. air (%) 75.54
K. abu (%) 0.90
K. garam (%) 0.27
K. Protein (%) 20.49
K. Lemak (%) 3.03
Ikan Segar (A1) Ikan Segar (A2) Ikan Asin (B1) Ikan Asin (B2) Ikan Pindang (C1) Ikan Pindang (C2)
0.986
75.46
0.83
0.24
19.75
2.88
0.768
45.83
16.35
11.00
30.55
7.10
0.775
44.68
16.64
13.36
32.12
6.38
0.981
70.48
2.66
1.01
25.31
1.28
0.985
69.63
2.36
1.43
26.27
1.67
Lampiran 28.
No 1 2 3 4 5 6 7
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kabupaten Pati pada tahun 1993 - 2002 Pemindangan 2 943 486 3 394 416 4 652 918 2 722 433 2 558 888 3 002 820 2 971 892
Pengeringan/ Pengasinan 4 099 134 4 461 222 6 431 102 3 568 801 3 363 111 3 946 563 4 357 576
Pengasapan/ Pemanggangan 1 676 434 1 842 679 1 249 615 1 477 924 1 389 110 1 630 826 1 823 837
Lampiran 30.
Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap tahun 2000 - 2004
Tahun
Volume (kg)
Nilai (US$)
2000
1.827.482
5.375.546
2001
2.867.971
7.438.017
2002
4.699.940
12.587.460
2003
6.918.676
16.891.671
2004
5.020.240
15.067.514
Lampiran 31. Perkembangan volume dan ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap tahun 1997 – 2003
Tahun 1997
Vol.Udang Nilai Udang Beku Beku (kg) (US$) 99.271 310.495
Vol.Tuna Beku (kg)
-
Nilai Tuna Beku (US$)
-
1998
237.753
2.091.183
157.267
518.725
1999
341.486
3.735.558
38.581
113.220
2000
391.871
4.627.948
280.598
676.941
2001
416.260
4.305.454
731.449
2.448.565
2002
436.034
4.037.923
362.238
764.145
2003
380.410
3.599.119
24.870
88.740
2004
434.934
4.051.968
29.640
81.270
Lampiran 36. Perkembangan konsumsi ikan perkapita Provinsi Jawa Tengah Jumlah Produksi No Tahun Penduduk (kg) 1 1993 29 277 947 308 174 030 2 1994 29 542 190 372 271 830 3 1995 29 801 523 335 260 002 4 1996 29 992 203 347 939 800 5 1997 29 907 476 390 564 000 6 1998 30 143 915 385 855 100 7 1999 30 761 221 361 789 200 8 2000 30 775 876 350 414 500 9 2001 30 957 155 376 341 700 10 2002 31 691 866 380 527 600 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2003
Ekspor Konsumsi (kg) kg/org/th 13 215 807 11.08 7 146 607 12.36 4 839 579 11.10 2 263 691 11.66 11 079 969 12.69 40 568 171 12.80 10 011 523 10.59 12 792 033 10.97 13 203 125 11.73 14 542 669 12.09
Kenaikan (%) 11.55 (10.20) 5.04 8.82 0.86 (0.17) 3.59 6.92 3.07
Lampiran 37. Reachability matriks dan intepretasinya dari elemen struktur kelembagaan A Elemen Pelaku Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15
E1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan :
E1 : Nelayan E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8
E9
: Bakul Ikan E10 : Pengusaha Agroindustri PL E11 : Tenaga Kerja AIPL E12 : Pemerintah Daerah E13 : Pemerintah Pusat E14 : Perbankan E15 : Lembaga Keuangan Non Bank
E12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0
E13 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0
E14 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0
DEP DRV E15 DEP Prior DRV Prior 0 5 5 13 2 0 9 4 10 3 0 5 5 13 2 0 9 4 10 3 0 2 6 15 1 0 2 6 15 1 1 12 3 6 4 1 12 3 6 4 0 9 4 10 3 0 5 5 13 2 0 9 4 10 3 0 14 1 1 6 0 12 3 6 4 1 13 2 3 5 1 14 1 1 6
: Distributor/Agen Produk PL
DEP
: Dependent
: Pengusaha Alat Produksi DEP Prior : Prioritas Dependent : Konsumen DRV : Driver Power : Perguruan Tinggi/Lemb Riset DRV Prior : Prioritas Driver Power : Koperasi Elemen Kunci : E5, E6 : Asosiasi : Lembaga Swadaya M asyarakat
B Elemen Kebutuhan
Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 E2 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 E3 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 E4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 E5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E7 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 E8 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 E9 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 E10 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 E11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
DEP DEP Prior 7 3 7 3 7 3 10 1 3 4 3 4 3 4 9 2 7 3 9 2 10 1
DRV DRV Prior 8 2 8 2 8 2 1 4 11 1 11 1 11 1 4 3 8 2 4 3 1 4
Keterangan : E1 : Sarana dan Prasarana E2 : Standar mutu & keamanan produk E3 : Teknologi Tepat Guna E4 : Manajemen Usaha E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku E6 : Permodalan E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan
DEP : Dependent DEP Pri or : Prioritas Dependent DRV : Driver Power DRV Prior : Prioritas Driver Power Elemen Kunci : E5, E6, E7
C Elemen Kendala DEP DRV Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 DEP Prior DRV Prior E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 8 1 E2 0 1 1 1 1 1 1 0 5 4 7 2 E3 0 1 1 1 1 1 1 0 5 4 7 2 E4 0 1 1 1 1 1 1 1 5 4 7 2 E5 0 0 1 1 1 1 1 1 5 4 7 2 E6 0 0 0 0 0 1 1 1 6 3 3 3 E7 0 0 0 0 0 0 1 1 7 2 2 4 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 8 1 1 5
Keterangan : E1 : Keterbatasan Modal E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana E3 : Kuantitas, kualitas &kontinuitas bh baku E4 : Kestabilan harga bh baku E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen E6 :Rendahnya kualitas SDM berketrampilan E7 : Kewirausahaan E8 : Hambatan kelembagaan/birokrasi
DEP : Dependent DEP Prior : Prioritas Dependent DRV : Driver Power DRV Prior : Prioritas Driver Power Elemen Kunci : E1
D Eleman Tolok Ukur Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9
E1 1 1 0 0 0 0 1 0 0
E2 1 1 0 0 0 0 1 0 0
E3 1 1 1 1 0 0 1 0 0
E4 1 1 1 1 0 0 1 0 0
E5 1 1 1 1 1 1 1 0 0
E6 1 1 1 1 1 1 1 0 0
E7 1 1 0 0 0 0 1 0 0
E8 0 1 1 1 1 1 1 1 0
DEP DRV E9 DEP Prior DRV Prior 0 3 5 9 1 1 3 5 9 1 0 5 4 6 2 1 5 4 6 2 1 7 3 4 3 1 7 3 4 3 0 3 5 9 1 1 8 2 2 4 1 9 1 1 5
Keterangan : E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran E2 : Peningkatan Volume Produksi E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan
DEP DEP Prior DRV DRV Pri or Elemen Kunci
: Dependent : Prioritas Dependent : Driver Power : Prioritas Driver Power : E1, E2, E7
E Elemen Aktivitas DEP DRV Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 DEP Prior DRV Prior E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E3 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 14 3 4 4 E5 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 7 5 13 2 E6 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 7 5 13 2 E7 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 12 4 9 3 E8 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 E9 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 7 5 13 2 E10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 15 2 2 5 E11 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 7 5 13 2 E12 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 14 3 4 4 E13 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 12 4 9 3 E14 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 E15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 16 1 1 6 E16 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 Keterangan : E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan AIPL sesuai potensi di masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana E7 :Pembinaan untuk penerapan cara peneraapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk DEP : Dependent DEP Prior : Prioritas Dependent
DRV : Driver Power DRV Prior : Prioritas Driver Power
Elemen Kunci : E1, E2, E3