Sistem Jaminan Sosial, Peluang dan Tantangan
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images Sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi dari Malaysia menjalani pemeriksaan kesehatan setibanya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (19/12). Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Karena itu, diperlukan adanya asuransi kesehatan nasional.
Senin, 22 Desember 2008 | 00:52 WIB
Yoga Prakasa Setelah menyaksikan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-44 pada 4 November 2008, kita disadarkan akan peristiwa serupa yang akan dilaksanakan tahun 2009 di Indonesia. Pada Pemilu 2009, untuk kedua kalinya, masyarakat Indonesia akan memilih kepala negara secara langsung. Namun, sudah kita ketahui bersama bahwa pertarungan kebijakan pada saat kampanye tidaklah mendominasi proses pemilihan umum di Indonesia. Pelayanan kesehatan, khususnya pengadaan asuransi kesehatan nasional, dapat diangkat menjadi isu penting dalam kampanye mengingat masih terbatasnya akses bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Tidak kurang dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menyebutkan, setidaknya 100 juta penduduk belum mendapatkan jaminan kesehatan melalui suatu skema jaringan pengaman kesehatan. Apabila mengasumsikan 45 juta pegawai negeri sipil dan TNI/Polri yang dilindungi Askes, Taspen, dan Asabri ditambah 8 juta pekerja yang dilindungi Jamsostek serta 36 juta masyarakat miskin yang dijamin pemerintah melalui Askes, tingkat penetrasi jaminan kesehatan hanya sekitar 40 persen dari total populasi yang diperkirakan mencapai 227 juta di tahun 2008.
Sisanya, sebesar 60 persen, harus menanggung sendiri biaya kesehatan secara langsung. Menurut TR Reid, koresponden senior The Washington Post dan kritikus kebijakan health care, ada empat model dasar dalam kebijakan pelayanan kesehatan. Pertama, model Beveridge, dinamai dari ekonom Inggris, William Beveridge, penemu Sistem Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS). Dalam sistem ini, setiap warga negara berhak menggunakan layanan kesehatan dan tidak akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai oleh pajak. Negara, sebagai pembayar tunggal (sole payer), menentukan pelayanan kesehatan yang bisa diberikan dokter dan harga yang dapat mereka tagihkan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis dimiliki oleh negara. Pihak swasta dapat menagih pelayanan yang mereka berikan langsung kepada pemerintah. Inggris, Spanyol, dan Selandia Baru adalah contoh negara yang menggunakan sistem ini. Kedua, model Bismarck, dinamai dari Kanselir Jerman pertama, Otto von Bismarck. Sistem ini menggunakan asuransi kesehatan yang didanai oleh penyedia kerja dan karyawan melalui pemotongan gaji. Asuransi ini wajib melindungi seluruh warga negara dan tidak diperbolehkan mengambil keuntungan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis boleh dimiliki oleh swasta dan jumlah penyedia asuransi pun tidak dibatasi. Sekalipun model ini tidak menggunakan sistem pembayar tunggal, regulasi yang ketat dapat memberikan kewenangan yang besar bagi negara layaknya dalam model Beveridge. Kompetisi terjadi, baik di antara lembaga asuransi nirlaba maupun penyedia layanan kesehatan, karena didorong oleh motivasi manajemen untuk mendapatkan kompensasi yang meningkat seiring dengan meluasnya cakupan asuransi dan layanan kesehatan yang diberikan. Model Bismarck di antaranya digunakan di Jerman, Perancis, Belanda, dan Jepang. Ketiga, model Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance) yang merupakan gabungan dari model Beveridge dan Bismarck. Sistem ini menggunakan pihak swasta sebagai penyedia layanan kesehatan, dengan pembayaran klaim yang didanai dari program asuransi nasional. Program asuransi ini dikelola pemerintah dan setiap warga negara wajib membayar premi. Dengan tidak adanya kebutuhan pemasaran dan perolehan keuntungan, program asuransi universal seperti ini cenderung lebih murah dalam biaya dan lebih mudah dalam administrasinya.>w 9736m<
Asuransi nasional sebagai pembayar tunggal punya kekuatan pasar yang besar untuk menegosiasikan harga yang lebih rendah kepada pihak swasta selaku penyedia layanan kesehatan. Sistem ini dapat ditemui di Kanada, Taiwan, dan Korea Selatan. Keempat, model biaya sendiri. Sebagian besar penduduk dunia tidak mendapatkan akses layanan kesehatan karena sebagian besar negara di dunia terlalu miskin dan tidak terkoordinasi untuk menyediakan layanan medis secara massal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, sistem jaminan kesehatan di Indonesia mengarah antara model Bismarck atau model Asuransi Kesehatan Nasional. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yang terbentuk pada bulan Oktober lalu, akan menjadi pengemban amanat SJSN dan akan menunjuk atau membentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Sekalipun RUU BPJS masih dalam pembahasan, PT Askes telah disebut sebagai salah satu BPJS dalam UU No 40/2004. Perlindungan asuransi DJSN menargetkan, pada tahun 2012 seluruh penduduk Indonesia akan mendapat perlindungan asuransi kesehatan. Menurut Data Statistik Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia sampai tahun 2005 adalah 219 juta jiwa. Apabila diproyeksikan dengan asumsi laju pertambahan penduduk per tahun sebesar 1,3 persen sesuai data BPS periode 2000-2005, sampai tahun 2012 akan terjadi pertambahan penduduk sebesar hampir 21 juta jiwa sehingga jumlah penduduk yang harus dilindungi menjadi 240 juta juta jiwa. DJSN akan memulai perluasan cakupan Jamkesnas pada tahun 2009 dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 5,9 triliun yang akan mencakup 76,4 juta penduduk. Dana ini adalah sebesar 0,11 persen dari perkiraan produk domestik bruto (PDB) tahun 2009 sebesar Rp 5.306 triliun. Sebagai perbandingan, data World Health Statistics yang diterbitkan WHO menunjukkan pengeluaran Pemerintah Indonesia untuk kesehatan pada tahun 2005 sebesar 0,98 persen dari PDB. Malaysia mengalokasikan 1,88 persen dari PDB, Filipina 1,17 persen, dan Thailand 2,24 persen. Ini menunjukkan kita masih sangat jauh, bahkan dari standar negara-negara tetangga DJSN menargetkan cakupan Jamkesnas yang menyeluruh bagi 240 juta penduduk Indonesia tahun 2012 dan akan mempersiapkan anggaran sebesar Rp 20 triliun. Apabila disetarakan, dana tersebut setara dengan iuran premi per tahun sebesar Rp 83.500 per orang, yang menunjukkan kenaikan rata-rata 2,6 persen per tahun sejak tahun 2009. Kenaikan premi ini tidak sebanding dengan inflasi rata-rata 5,8 persen pada periode yang sama, berdasarkan perkiraan Danareksa Research Institute.
Terlebih lagi secara historis biaya kesehatan mengalami laju kenaikan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi, seperti yang dialami Amerika Serikat di mana biaya kesehatan mengalami pertumbuhan dua hingga tiga kali inflasi tahunan. Dengan demikian, perlu dicermati terjadinya kemungkinan layanan kesehatan yang diberikan akan mengalami penurunan dari segi kuantitas dan/atau kualitas. Data World Health Statistics menunjukkan total pengeluaran di Indonesia pada tahun 2005 untuk kesehatan adalah 2,1 persen PDB atau setara dengan Rp 58,3 triliun. Pengeluaran sebesar ini dialokasikan antara lain kepada jasa kesehatan (dokter dan perawat) serta pembelian alat kesehatan dan obat-obatan (farmasi). Apabila pasar farmasi di tahun yang sama bernilai Rp 22,9 triliun sesuai data IMS Health, dapat diasumsikan bahwa rata-rata pengeluaran obat adalah sekitar 40 persen dari total biaya kesehatan. Dengan asumsi bahwa 40 persen dari kucuran dana asuransi kesehatan nasional (Rp 5,9 triliun) mengalir ke sektor farmasi, diperkirakan pada tahun 2009 akan terjadi penambahan nilai Rp 2,4 triliun pada sektor ini. Namun, jumlah ini hanya 8 persen dari nilai industri farmasi nasional tahun 2007 sebesar Rp 29,6 triliun. Ini menunjukkan bahwa kontribusi tambahan dengan adanya SJSN masih sangat terbatas terhadap pertumbuhan pendapatan sektor farmasi. Terlebih lagi dengan pertumbuhan premi yang hanya 2,6 persen per tahun yang masih di bawah inflasi tahunan sebesar 5,8 persen, maka akan semakin sulit mengharapkan kontribusi yang signifikan dari SJSN. Namun, meski industri farmasi secara umum akan mengalami perluasan pasar akibat naiknya permintaan, tidak semua perusahaan farmasi akan dapat merasakan keuntungan tersebut. Menilik potensi ketidakcukupan biaya premi untuk menutup pengeluaran kesehatan, pemerintah selaku regulator dapat mensyaratkan penggunaan obat generik secara eksklusif. Maka, yang paling banyak diuntungkan adalah BUMN farmasi karena obat generik dapat mencapai 70 persen dari porsi pendapatan mereka. Meski dampak langsung dari program SJSN tidak signifikan terhadap sektor farmasi, ini merupakan langkah awal yang baik menuju pembentukan sistem jaring pengaman sosial masyarakat. Sudah waktunya masyarakat Indonesia mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan yang layak dan terjangkau. Yoga Prakasa, Analis di Danareksa Sekuritas