SISTEM BAGI HASIL PEMBIAYAAN LINKAGE PROGRAM PADA BANK SYARIAH MANDIRI CABANG BANDA ACEH
Oleh Harisna Rais, S.HI1 Email:
[email protected]
Abstrak Akad mudharabah merupakan akad kerja sama yang keuntungannya belum pasti baik dari segi waktu maupun jumlah atau termasuk ke dalam Natural Uncertainty Contracts. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prinsip yang digunakan dalam sistem bagi hasil Pembiayaan Kemitraan Linkage Program antara Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh dengan BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar, kemudian menganalisa apakah sistem yang diterapkan sesuai dengan tinjauan hukum Islam. Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis, Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program pada Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh menggunakan sistem bagi hasil (revenue sharing) yaitu bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal), bukan sistem bagi untung (profit sharing) yang basis perhitungan bagi hasilnya dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal) dan biaya-biaya. A. PENDAHULUAN Linkage Program merupakan salah satu strategi yang ditempuh oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh sebagai upaya meningkatkan pembiayaan bagi hasil. Pembiayaan Linkage Program merupakan pembiayaan yang bersifat kemitraan atau kerjasama antara Bank Syariah dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan terhadap Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Bank Syariah Mandiri cabang Banda
1
Dosen Luar biasa pada fakultas ekonomi bisnis islam Universitas Islam negeri Ar-raniry Banda Aceh.
67
Aceh sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bank Pembiayaan Syariah (BPRS) Hareukat Lambaro Aceh Besar dalam Pembiayaan Linkage Program sejak tahun 2009 hingga sekarang dengan menggunakan akad Mudharabah wal Murabahah. BSM dengan BPRS Hareukat menggunakan akad mudharabah, sedangkan BPRS Hareukat dengan nasabahnya (end user) menggunakan skim murabahah. Akad mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, satu pihak bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, yakni pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Keuntungan yang diperoleh dari menjalankan usaha tersebut menjadi milik bersama atau dibagi berdasarkan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama bukan disebabkan kelalaian pengelola. Pemilik modal dalam akad mudharabah tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan. Adapun akad murabahah dalam fiqh muamalah diartikan sebagai jual beli barang dengan keuntungan ditetapkan setelah dijelaskan berapa harga pokok dari barang yang diperjualbelikan, atau transaksi jual beli barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Jual beli ini dilakukan secara kredit dimana uang sebagai alat pembelian belum diserahkan seluruhnya sedangkan barang sebagai objek telah diserahkan lebih awal. Praktik yang dilakukan BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar dalam pembiayaan linkage program, adalah menetapkan komponen-komponen yang termasuk ke dalam pendapatan adalah biaya administrasi yang dibebankan kepada
68
nasabah/end user BPRS Hareukat pada saat pencairan pembiayaan dilakukan, dan seluruh harga beli dan margin yang diperoleh. Komponen yang termasuk ke dalam harga jual BPRS Hareukat kepada nasabah/end user yang terkait dengan pembelian barang adalah seluruh biaya-biaya langsung yang timbul dari transaksi jual beli murabahah seperti biaya pengiriman barang dari suplier (penjual) kepada nasabah/end user. Biaya-biaya yang akan timbul dari transaksi jual beli murabahah bergantung dari jenis barang yang dibeli. (Rasyidin.2012) Misalnya, nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembelian furniture. Barang yang diinginkan oleh nasabah dikirim dari Indrapuri ke Lambaro. Pengiriman ini memerlukan biaya pengiriman barang dari suplier kepada nasabah, yang merupakan biaya langsung yang dimasukkan ke dalam harga jual dan dibebankan kepada para nasabah/end user. (Rasyidin.2012) Biaya-biaya langsung yang timbul dari transaksi jual beli murabahah ini tidak disebutkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli Murabahah antara BPRS Hareukat dengan nasabah, BPRS Hareukat hanya menetapkan unsur-unsur pendapatan BPRS Hareukat dalam jual beli murabahah dengan nasabah yaitu berupa biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah BPRS Hareukat pada saat pencairan pembiayaan dilakukan, dan seluruh harga beli dan margin (harga jual Bank) kepada nasabah. (Rasyidin.2012) Bagi Hasil (syirkah) dalam Pembiayaan Linkage Program pada Bank Syariah Mandiri dengan pihak BPRS Hareukat ini dilaksanakan setiap bulan dengan nisbah bagi hasil menggunakan sistem revenue sharing (Bagi Hasil) yaitu bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal), bukan sistem profit sharing (Bagi Untung) yang basis perhitungan bagi hasilnya
69
dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal) dan biaya-biaya, (BSM) dengan alasan karena pada dasarnya BSM ingin mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan pembiayaan linkage program, sedangkan dalam menjalankan usahanya, pihak nasabah yang mengajukan pembiayaannya ke pihak BPRS Hareukat belum tentu mendapatkan profit atau keuntungan. (Rosniar. 2012) Nisbah bagi hasil yang disepakati oleh masing-masing pihak adalah 20,62% dan 79,38% untuk Bank. Pelaporan keuntungan oleh BPRS Hareukat kepada pihak BSM Banda Aceh menggunakan sistem angsuran bulanan yang disalurkan melalui rekening BPRS Hareukat yang ada di BSM sebesar Rp. 4.376.757,479 (empat juta tiga ratus tujuh puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh tujuh koma empat ratus tujuh puluh sembilan rupiah). (Rosniar.2012) BPRS Hareukat akan melakukan rescheduling atau penjadwalan kembali terhadap kemampuan para nasabah apabila terjadi kegagalan usaha dan keterlambatan angsuran dari nasabah. Sedangkan komponen pendapatan yang ditetapkan oleh BSM Banda Aceh adalah seluruh penerimaan yang diperoleh dari hasil usaha yang dijalankan nasabah dengan menggunakan modal yang disediakan oleh BSM Banda Aceh sesuai dengan akad pada pembiayaan linkage program. B. TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD MUDHARABAH DAN PEMBIAYAAN LINKAGE PROGRAM 1. Akad Mudharabah Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya adalah safar (berjalan di muka bumi) untuk melakukan perdagangan.
70
(Azhim.2007) Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradh dengan: ًأَنْ ﯾَﺪْ ﻓَﻊَ اﻟﻤَﺎﻟِﻚُ إِﻟَﻰ اﻟْﻌﺎَﻣِﻞِ ﻣﺎَ ﻻً ﯾَﺘَﺠَﺮﱠ ﻓِﯿْﮫِ وَ ﯾَﻜُﻮْنُ اﻟﺮﱠﺑْﺢِ ﻣُﺸْﺘَﺮِ ﻛﺎ Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.(Haroen.2007) Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan
atau
kelalaian
si
pengelola,
maka
si
pengelola
harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut. (Antonio. 2001) Dasar hukum
akad mudharabah yaitu firman Allah dalam Q.S. Al-
Muzzammil ayat 20 yang artinya: Artinya: . . . dan sebagaian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah. . . (Q.S. Al-Muzammil: 20). Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari ayat tersebut adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha .(Antonio.2001) Sedangkan dalil sunnah adalah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hazam, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
71
Artinya: “Bersumber dari Hakim bin Hizam sahabat Rasulullah SAW. “sesungguhnya dia pernah memberi syarat kepada seseorang (yaitu) apabila ia memberi kepadanya harta pinjaman, maka dia menetapkan (syarat-syaratnya): “Hendaklah jangan kamu jadikan hartaku ini (untuk membeli ternak). Jangan kamu membawanya di laut. Dan jangan kamu membawanya ditempat yang berair. Kemudian apabila kamu lakukan salah satu dari padanya, maka berarti kamu bertanggung jawab atas hartaku tersebut”. (HR. Imam Daruquthni).” (As-syaukani. 1994)
Oleh sebab itu, berdasarkan ayat, hadis, dan praktek para sahabat, para ulama fiqh menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka hukumnya adalah boleh. 1.1. Rukun dan Syarat Akad Mudharabah Rukun mudharabah ada empat, yaitu: 1. Pelaku, terdiri atas: pemilik dana (shahib al-mal) dan pengelola dana (mudharib) yang disyaratkan harus cakap hukum dan baligh. 2. Objek Mudharabah, berupa: modal dan kerja Objek
mudharabah
merupakan
konsekuensi
logis
dengan
dilakukannya akad mudharabah. a.
Modal; yang dapat berbentuk uang atau aset lainnya yang harus jelas jumlah dan jenisnya, dan tunai bukan hutang.
72
b. Kerja; Konstribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
3. Ijab Kabul/Serah Terima Adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern. 4. Nisbah Keuntungan Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan, yang disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masingmasing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Para alim fiqh membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan mudharabah muqayyadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di daerah mana saja yang ia inginkan. Mudharabah muqayyadah, pekerja harus mengikuti syarat-syarat dan batasan-batasan yang dikemukakan oleh pemilik modal. Misalnya pengelola modal harus berdagang barang tertentu, di daerah tertentu, dan membeli barang pada orang tertentu. 1.2. Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil Akad Sistem bagi hasil dalam akad mudharabah meliputi:
73
a. Menentukan besarnya nisbah yang harus dinyatakan dalam bentuk prosentase, bukan dalam nilai nominal Rp tertentu, misalnya: 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. b. Bagi Untung dan Bagi Rugi. Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapatkan bagian yang kecil juga. Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan berdasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. 2. Pembiayaan Linkage Program 2.1. Pengertian dan Landasan Operasional Pembiayaan Linkage Program Linkage program adalah program kerjasama antara Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Umum Konvensional (BUK) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Lembaga Keuangan Mikro/Syariah (LKM/S) dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). (www.bi.go.id) Landasan Operasional pembiayaan Linkage Program adalah program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tanggal 26 Desember 2012 tentang kerja sama antara Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah dengan BPR/S yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit BPR/S dan efisiensi pelaksanaan skim kredit atau pembiayaan bank umum, terutama untuk pembiayaan usaha mikro dan kecil (UMK). Pihak yang terkait dalam anggota kelompok kerja Linkage Progam terdiri atas: Unsur Bank Indonesia (4
74
Direktorat), Unsur Perbankan (12 Bank), Unsur Asosiasi Perbankan (2 Asosiasi). (www.bi.go.id) 2.2. Perkembangan Pembiayaan Linkage Program Penyaluran dan Prospek Pengembangan dalam rangka Linkage Program terus mengalami peningkatan dari Rp 4,7 miliar (akhir tahun 2009), hingga mencapai hampir Rp 8,6 miliar pada akhir tahun 2011. Melalui Linkage Program, keterbatasan jaringan yang dialami oleh bank umum dalam menyalurkan pembiayaannya dapat diatasi. Sedangkan keterbatasan pembiayaan yang dirasakan oleh BPRS dapat pula teratasi melalui program ini, sehingga melalui Lingkage Program dapat tercipta sinergi yang akhirnya mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan syariah dan mengembangkan potensi Usaha Mikro Kecil (UMK). Jumlah keseluruhan nasabah dalam Pembiayaan Linkage Program pada BSM Cabang Banda Aceh adalah sekitar 30 nasabah yang terdiri dari lembaga Koperasi dan BPRS yang kemudian menyalurkan pembiayaan kembali kepada para nasabah, jika Koperasi berupa usaha simpan pinjam, dan jika BPRS akan disalurkan ke beberapa sektor yaitu sektor perdagangan, sektor jasa, sektor pertanian, dan sektor industri kecil. Jumlah keseluruhan pembiayaan adalah sebesar Rp 30.000.000.000 s/d Rp 40.000.000.000 (tiga puluh milyar rupiah sampai dengan empat puluh milyar rupiah). Keuntungan yang diperoleh oleh pihak BSM pada Pembiayaan Linkage Program pertahunnya rata-rata adalah 7,25% dari total plafond pembiayaan yang diberikan kepada satu nasabah. (Rosniar. 2013)
75
Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Hareukat Lambaro Aceh Besar khususnya dalam Pembiayaan Linkage Program sejak tahun 2009/2010 s/d sekarang dengan menggunakan akad Mudharabah wal Murabahah. Total pembiayaan selama tiga tahun telah mencapai Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah). Bank Syariah Mandiri memberikan batas maksimum modal yang boleh diberikan kepada setiap BPRS yang mengajukan pembiayaan adalah sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan melalui dua kali tahap pencairan pertahun. BPRS Hareukat menggunakan dana tersebut sebagai modal kerja para nasabah/ end user yang telah menjalankan usaha mereka disektor usaha produktif selama sekurang-kurangnya dua tahun. BPRS Hareukat memiliki sekitar 3095 nasabah yang sedang mengajukan pembiayaan. Jumlah pembiayaan BPRS Hareukat sampai dengan sekarang (tahun 2013) mencapai angka Rp. 6.758.229.000,- (enam milyar tujuh ratus lima puluh delapan juta dua ratus dua puluh sembilan ribu rupiah) sedangkan jumlah pembiayaan yang sudah tersalurkan sampai dengan kemarin yaitu sebesar Rp. 487,- (empat ratus delapan puluh tujuh rupiah). Keuntungan BPRS Hareukat pada tahun 2012 mencapai Rp. 151.953.839,- (seratus lima puluh satu juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah).(Rasyidin. 2013) Sedangkan jenis usaha yang dibiayai oleh BPRS Hareukat, jumlah nasabah serta jumlah pembiayaan dapat dilihat dari table berikut ini:
76
TABEL 2.3 PENYALURAN DANA PEMBIAYAAN LINKAGE PROGRAM PADA BPRS HAREUKAT No Jenis usaha yang dibiayai Jumlah nasabah 1 Sektor Perdagangan 231 2 Sektor Jasa 72 3 Sektor Pertanian 6 4 Sektor lain-lain (Industri Kecil) 91 Jumlah keseluruhan nasabah yang aktif 400 Sumber: BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar
Jumlah Pembiayaan (Rp) 3.000.000.000 1.700.000.000 410.000.000 1.600.000.000
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jenis usaha yang dibiayai oleh BPRS Hareukat terbagi ke dalam beberapa sektor, yaitu sektor perdagangan dengan jumlah nasabah sebanyak 231 orang dan jumlah pembiayaan adalah sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), sektor jasa memiliki jumlah nasabah sebanyak 72 orang dengan jumlah pembiayaan adalah sebesar Rp. 1.700.000.000,- (satu milyar tujuh ratus juta rupiah), sektor pertanian dengan jumlah nasabah 6 orang dan jumlah pembiayaan adalah sebesar Rp. 410.000.000,(empat ratus sepuluh juta rupiah), dan sektor lain-lainnya (sektor industri kecil) memiliki jumlah nasabah sebanyak 91 orang dengan jumlah pembiayaan adalah sebesar Rp. 1.600.000.000,- (satu milyar enam ratus juta rupiah). Keseluruhan nasabah BPRS Hareukat yang masih aktif hingga dengan sekarang berjumlah 400 (empat ratus) orang. BPRS Hareukat juga memiliki nasabah yang tidak aktif, yaitu berjumlah lebih kurang 50 Orang. Dalam hal pengembalian kembali pinjaman kepada pihak BPRS Hareukat dilakukan secara patuh dan jujur oleh para nasabah/end user. 2.2.3. Bentuk-bentuk Penyaluran Pembiayaan Linkage Program
77
Penerapan Linkage Program sesuai dengan Generic Model Linkage Program Bank Indonesia (BI) menggunakan tiga pola pembiayaan yaitu executing, channeling dan joint financing. 1. Pola executing adalah bank syariah memberikan pembiayaan kepada perusahaan mitra (BPRS) dimana kemudian perusahaan mitra meneruskannya kepada nasabah sebagai end user. Sehingga perusahaan mitra tercatat sebagai debitor Bank Syariah sedangkan pembiayaan kepada end user tercatat sebagai eksposur pembiayaan perusahaan mitra. Apabila terjadi kegagalan pembiayaan karena kerugian bisnis secara normal (normal bussiness loss), maka risiko ditanggung oleh Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). 2. Pola channeling adalah bank syariah memberikan pembiayaan secara langsung kepada nasabah sebagai end user atau Usaha Mikro Kecil (UMK) melalui perusahaan mitra (BPRS) yang bertindak sebagai agen. Pembiayaan kepada end user adalah eksposur pembiayaan bank syariah. Risiko pembiayaan kepada nasabah BPRS/end user/Usaha Mikro Kecil, apabila kegagalan pembiayaan karena kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung BUS/UUS. 3. Pola joint financing adalah pembiayaan bersama dimana sumber dananya merupakan sharing antara bank syariah dan perusahaan mitra (BPRS) dimana nisbah bagi hasil berdasarkan kesepakatan bersama. Risiko pembiayaan kepada BPRS, apabila kegagalan pembiayaan karena kegagalan bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung bersama antara BUS/UUS dan BPRS sesuai dengan porsinya.
78
C. Perhitungan Bagi Hasil Pada Pembiayaan Linkage Program Antara BSM Cabang Banda Aceh Dengan BPRS Hareukat 1. Akad dan Mekanisme Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Linkage Program pada Bank Mandiri Syariah Cabang Banda Aceh
Akad yang digunakan dalam Pembiayaan Linkage Program antara Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh kepada BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar pada pola executing adalah akad Mudharabah wal Murabahah. Mudharabah wal murabahah adalah bentuk akad mudharabah muqayyadah executing ketika bank syariah sebagai shahibul mal memberikan pembiayaan kepada mudharib antara lain, yaitu lembaga keuangan syariah atau LKS (BPRS, BMT, atau Koperasi Syariah), yang kemudian menyalurkan pembiayaan dengan akad murabahah kepada nasabah. Pada umumnya LKS ini memberikan pembiayaan untuk aneka (consumer goods), seperti untuk pembelian sepeda motor. (Ascarya. 2008) Pemberian modal dari Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh dengan pihak BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar menggunakan akad mudharabah, kemudian Bank Syariah Mandiri mensyaratkan agar BPRS Harekukat Lambaro Aceh Besar dalam melakukan perjanjian dengan nasabah mereka/end user menggunakan akad murabahah. Pembiayaan dengan akad mudharabah wal murabahah merupakan two step financing ketika financier atau shahibul mal pertama (bank syariah) memberikan pembiayaan kepada nasabah dengan akad murabahah. Bank syariah berbagi hasil dengan LKS, sedangkan LKS berjual beli dengan nasabah. Bank syariah akan memperoleh porsi bagi hasil apabila LKS menghasilkan keuntungan,
79
sedangkan LKS akan memperoleh margin keuntungan dari hasil jual belinya dengan nasabah.
3.1. Perhitungan Bagi Hasil pada Pembiayaan Linkage Program antara BSM dengan BPRS Mekanisme bagi hasil pada Linkage Program ditentukan dengan skema pola apa yang diterapkan oleh Bank Umum Syariah (BUS). Pembiayaan Linkage Program antara BSM dengan BPRS Hareukat menggunakan pola executing. Jadi, pada Perhitungan bagi hasil dalam Pembiayaan Linkage Program antara BSM dengan BPRS menggunakan skema bagi hasil dengan akad mudharabah. Skema bagi hasil dengan akad mudharabah ini sesuai kesepakatan antara pihak perbankan dengan peserta Linkage Program/perusahaan mitra yang dilakukan pada awal pembiayaan. 3.1.1. Prinsip Distribusi Bagi Hasil Pembiayaan Linkage Program pada BSM Sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program pada BSM menggunakan prinsip revenue sharing yang telah ditentukan oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) dengan ketentuan bahwa Nisbah dari masing-masing pihak adalah:
20,62% (dua puluh koma enam puluh dua persen) dari nilai angsuran nasabah/enduser BPRS perbulan (revenue) untuk NASABAH
79,38% (tujuh puluh sembilan koma tiga puluh delapan persen) dari nilai angsuran nasabah/end user BPRS perbulan (revenue) untuk BANK
80
Perhitungan bagi hasil menurut revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil yang berdasarkan pada revenue (pendapatan) dari pengelolaan dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut. Misal, pendapatan usaha Rp 1000,00 dan beban-beban usaha untuk mendapatkan pendapatan tersebut Rp 700,00 maka dasar untuk menentukan bagi hasil adalah Rp 1000,00 (tanpa harus dikurangi beban Rp 700,00). Sedangkan perhitungan bagi hasil menurut profit sharing adalah perhitungan bagi hasil yang mendasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut. Misal, pendapatan usaha Rp 1000,00 dan beban-beban usaha untuk mendapatkan pendapatan tersebut Rp 700,00 maka profit/laba adalah Rp 300,00 (Rp 1000,00-Rp 700,00). (Wiyono. 2005) Dalam Fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 yang dimaksud dengan: a. Bagi untung (Profit Sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal) dan biaya-biaya. b. Bagi Hasil (Net Revenue Sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal). (Karim.2010) 3.2. Perhitungan Bagi Hasil pada Pembiayaan Linkage Program antara BSM dengan BPRS Perhitungan bagi hasil pada Pembiayaan Linkage Program antara BSM dengan BPRS dapat di lihat pada struktur dan skim pembiayaan di bawah ini: Skim Pembiayaan
: Mudharabah wal Murabahah
81
Tujuan penggunaan
: Modal kerja pembiayaan untuk disalurkan kepada
nasabah
BPRS
penyaluran
pembiayaan kepada end user Pembiayaan Bank
: Rp 1.000.000.000,-
Expected Return Bank
: minimum 13% p.a
Jangka waktu pembiayaan
: 36 bulan
Total Plafond yang diberikan
: Rp 1.000.000.000,00
Akseptasi BPRS (30% eff. P.a)
: Rp
Total Angsuran yang diterima per bulan
: Rp 42.451.576,48
Jangka waktu
: 36 (tiga puluh enam) bulan
528.256.791,84
Pembiayaan BSM ke BPRS Skim Pembiayaan
: Mudharabahwal murabahah
Tujuan Pembiayaan
: Modal kerja BPRS untuk disalurkan kembali kepada nasabah BPRS/end user
Total Pembiayaan
: Rp 1.000.000.000,00
Akseptasi Bank (13% eff. P.a) (efektif 13% pertahunnya)
: Rp 212.982.271,72
Total angsuran yang diterima per bulan
: Rp 33.693.952,03
Jangka Waktu
: 36 (tiga puluh enam) bulan
Nisbah: - Keuntungan BPRS (Keuntungan BPRS diperoleh dari akseptasi BPRS – akseptasi Bank)
82
(Rp 528.256.791,84 – Rp 212.982.271,72)
= Rp 315.274.520,12
- Selisih angsuran per bulan (Total angsuran yang diterima oleh BPRS perbulan – total angsuran yang diterima oleh pihak Bank per bulan) (Rp 42.451.576,48 – Rp 33.693.952,03)
= Rp
8.757.7624,45
- Nisbah BPRS (Selisih angsuran per bulan/total angsuran yang diterima oleh BPRS perbulan x 100%) (Rp 8.757.7624,45/ Rp 42.451.576,48) x 100%
=
20,62%
dari
=
79,38%
dari
angsuran perbulan - Nisbah Bank (100% - 20,62%) angsuran perbulan Secara teoritis dan prosedur, dalam sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program dengan pola executing, apabila terjadi kegagalan pembiayaan karena kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pada praktiknya, dalam berbagi hasil dengan mitra nasabah BSM Cabang Banda Aceh menggunakan akad mudharabah. Sistem bagi hasil dalam akad mudharabah apabila terjadi kerugian, maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Dalam Akad Pembiayaan Mudharabah wal Murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh pada pasal 5 mengenai kesepakatan nisbah bagi hasil (syirkah) point ke-3 disebutkah bahwa:
83
BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung kerugian yang timbul dalam pelaksanaan Akad ini, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena ketidakjujran, kelalaian, dan/atau pelanggaran yang dilakukan NASABAH atas syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan/atau pelangaran yang dilakukan NASABAH atas syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Akad ini. Dari pemaparan penulis di atas terdapat ketidaksesuaian antara pola bagi hasil yang dipilih (pola executing) dengan pola penyaluran pembiayaan atau akad yang digunakan (akad mudharabah). 3.3. Sistem Pelaporan Laba Rugi Nasabah dan Proses Monitoring pada Pembiayaan Linkage Program 3.3.1. Sistem Pelaporan Laba Rugi Nasabah Laporan laba rugi nasabah diberikan dalam bentuk angsuran bulanan yang harus disetorkan oleh BPRS Hareukat kepada pihak BSM Cabang Banda Aceh setiap bulannya sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama. Dari jumlah pembiayaan, yang diberikan oleh BSM Cabang Banda Aceh kepada pihak BPRS Hareukat sebagai modal kerja, sudah ditentukan berapa keuntungan atau bagi hasil yang harus disetorkan kepada oleh BPRS Hareukat kepada pihak BSM Cabang Banda Aceh setiap bulannya dalam bentuk prosentasi. Pihak BSM Cabang Banda Aceh akan memotong via tabungan berapa bagian atau prosentasi yang harus disetorkan oleh BPRS hareukat kepada pihak BSM Cabang Banda Aceh. (Rasyidin.2013)
84
Total angsuran yang diterima oleh BSM Cabang Banda Aceh dari pihak BPRS Hareukat perbulan adalah sebesar Rp. 4.376.757,479 (empat juta tiga ratus tujuh puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh tujuh koma empat ratus tujuh puluh sembilan rupiah). Ini diperoleh dari hasil kali proyeksi angsuran enduser perbulan sebesar Rp 21.225.787, 97 x 20,62 % nisbah bagi hasil bagi BPRS dari angsuran enduser ke BPRS. 3.1.2. Proses Monitoring pada Pembiayaan Linkage Program Proses monitoring pada Pembiayaan Linkage Program akan dilakukan setiap bulan oleh BSM dengan cara melakukan pengawasan langsung kepada pihak BPRS Hareukat. Setelah pencairan dilakukan, BSM akan melakukan randoom 20% terhadap daftar nominatif nasabahnya, baru kemudian BSM menetapkan waktu (hari) untuk melakukan proses monitoring. (Rosniar.2013) Pada tahun 2013 proses monitoring dilakukan oleh BSM kepada pihak BPRS pada tanggal 14 Juni 2013. Dalam proses monitoring ini BSM melakukan pemeriksaan terhadap jalannya usaha nasabah BPRS Hareukat yang difasilitasi pembiayaan oleh BSM. Pihak BSM akan bertanya kepada pihak BPRS Hareukat apakah usaha yang dijalankan oleh nasabah mereka berjalan lancar atau mengalami kendala. Jika usaha nasabah mengalami kendala, maka terlebih dahulu dicari tahu penyebabnya dan setelah itu akan dilakukan upaya penyelesaian secara bersama. Proses monitoring ini sudah diperjanjikan pada awal akad antara BSM dengan pihak BPRS Hareukat, karena pendanaan pada Pembiayaan Linkage Program berasal dari BSM.
85
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Bagi Hasil Linkage Program Dalam transaksi Murabahah, para ulama sepakat menetapkan atau membolehkan biaya-biaya yang secara langsung berhubungan dengan pihak ketiga seperti biaya pengiriman barang (biaya transpor) termasuk kedalam aspekaspek keuntungan atau harga barang, dan biaya-biaya yang tidak langsung berhubungan dengan transaksi namun dapat menambah nilai guna barang seperti biaya pengemasan barang, dan mereka tidak membolehkan memasukkan ke dalam komponen harga jual, biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual seperti harga sewa toko. Pada praktiknya, komponen-komponen pendapatan yang ditetapkan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh dalam Pembiayaan Linkage Program adalah seluruh penerimaan yang diperoleh dari hasil usaha yang dijalankan nasabah dengan menggunakan modal yang disediakan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh sesuai dengan akad pada Pembiayaan Linkage Program. Sedangkan komponen-komponen yang termasuk ke dalam pendapatan yang ditetapkan oleh pihak BPRS Hareukat adalah biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah/end user BPRS Hareukat pada saat pencairan pembiayaan dilakukan, dan seluruh harga beli dan margin (harga jual). Komponen yang termasuk ke dalam harga jual BPRS Hareukat kepada nasabah/end user yang terkait dengan pembelian barang adalah seluruh biaya-biaya langsung yang timbul dari transaksi jual beli murabahah seperti biaya pengiriman barang dari suplier (penjual) kepada nasabah/end user. Biaya-biaya yang akan timbul dari transaksi jual beli murabahah belum tentu, tergantung dari jenis barang yang dibeli.
86
Contohnya, pembelian lemari dari nasabah dari Indrapuri ke Lambaro, memerlukan biaya pengiriman barang dari suplier kepada nasabah/end user, biaya (cos) pengiriman barang tersebut adalah biaya langsung yang dimasukkan ke dalam harga jual dan dibebankan kepada para nasabah/end user.(Rasyidin. 2013) Ditinjau dari hukum Islam, komponen-komponen pendapatan yang ditetapkan oleh BSM Cabang Banda Aceh dan pihak BPRS Hareukat dalam Pembiayaan Linkege Program sudah sesuai dengan pendapat para ulama seperti yang penulis sebutkan di atas yang membolehkan memasukkan biaya yang secara langsung berhubungan dengan pihak ketiga yaitu biaya pengiriman barang (biaya transpor) termasuk kedalam aspek-aspek keuntungan. Fatwa DSN-MUI tentang distribusi bagi hasil yang menjadi salah satu pedoman yang digunakan oleh Bank Syariah adalah Fatwa dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah: a. Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad. Fatwa Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya. b. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing). c. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
87
Pada pembiayaan mudharabah, telah terjadi perdebatan tentang apakah bagi hasil atas dasar revenue sharing ataukah profit sharing and loss sharing. Para ulama dan akademisi menghendaki bagi hasil atas dasar profit and loss sharing, namun karena masih tingginya moral hazart sehingga sulit mengawasi
dan
mengendalikan biaya, praktik perbankan sekarang masih menggunakan bagi hasil atas dasar revenue sharing. Sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program pada bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya menggunakan sistem bagi hasil (revenue sharing), yaitu bagi hasil usaha yang basis perhitungannya didasarkan atas pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al mal) bukan sistem bagi untung (profit sharing) yang basis perhitungan bagi hasilnya didasarkan atas pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al mal) dan biaya-biaya. Pembiayaan Linkege Program pada BSM Cabang Banda Aceh berjalan dengan cukup baik dan berkembang. Dari Pembiayaan Linkage Program ini baik BSM Cabang Banda Aceh maupun pihak BPRS Hareukat selalu mendapatkan keuntungan. Menurut hasil wawancara penulis dengan salah satu karyawan BSM Cabang Banda Aceh bagian Pelaksana Marketing Support (PMS), BSM Cabang Banda Aceh menggunakan prinsip revenue sharing dalam sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program dengan mitra nasabahnya dengan alasan karena pada dasarnya BSM Cabang Banda Aceh ingin mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan Pembiayaan Linkage Program, sedangkan dalam menjalankan
88
usahanya, pihak nasabah/end user dari BPRS Hareukat belum tentu mendapatkan profit atau keuntungan. Dalam penetapan prinsip bagi hasil usaha dengan mitra nasabah tidak ada larangan untuk menggunakan sistem revenue sharing maupun sistem profit sharing seperti yang terdapat dalam Fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah yang penulis sebutkan di atas. Namun dapat dilihat, bahwasanya Bank Syariah khususnya BSM Cabang Banda Aceh saat ini belum siap atau belum memilki keberanian untuk menjalankan sistem bagi hasil dalam pembiayaan Linkage Program dengan sistem bagi hasil yang semestinya atau sebagaimana yang dikehendaki oleh para ulama dan akademisi yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan atas profit and loss sharing karena disebabkan masih tingginya moral hazart yang berlaku pada perbankan. Penulis berasumsi hal ini dapat terjadi karena belum adanya pengetahuan yang memadai yang semestinya dimiliki oleh pejabat Bank Syariah agar dapat menjalankan sistem bagi hasil usaha dalam sebuah pembiayaan dengan tepat dan benar sebagaimana prinsip bagi hasil dalam hukum Islam atau sebagaimana yang dikendaki oleh para ulama dan akademisi yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan atas profit and loss sharing. Adapun sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program pada Bank Syariah Mandiri dilihat dari penetapan prinsip bagi hasilnya yaitu revenue sharing ditinjau dari hukum Islam sudah memenuhi semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam fatwa MUI No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah yang terdapat pada
89
poin a, b, dan c. Dalam hal pertanggungan kerugian, terdapat ketidaksesuaian antara pola bagi hasil yang dipilih (pola executing) dengan akad bagi hasil yang digunakan (akad mudharabah) dalam Pembiayaan Linkage Program. Pada pola executing, apabila terjadi kegagalan pembiayaan karena kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan dalam akad mudharabah apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Pihak BSM Cabang Banda Aceh penulis harapkan agar sekiranya lebih memerhatikan lagi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSNMUI No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah dan juga harapan para ulama dan akademisi tentang sistem bagi hasil usaha sehingga dapat benar-benar menerapkan sistem bagi hasil sebagaimana yang dikehendaki oleh ulama dan akademisi yaitu prinsip bagi hasil didasarkan atas profit and loss sharing (Bagi Untung).
90
KESIMPULAN Perhitungan bagi hasil pada Pembiayaan Linkage Program pada BSM menggunakan prinsip revenue sharing (Bagi Hasil) yaitu bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal) sebelum dikurangi dengan beban usaha atau biaya-biaya, bukan prinsip profit sharing (bagi untung). Perhitungan bagi hasil usaha ini telah disepakati di dalam akad dan akan dilaksanakan pada tanggal dua setiap bulannya. Proses monitoring pada Pembiayaan Linkage Program akan dilakukan setiap bulan oleh BSM Cabang Banda Aceh dengan cara melakukan pengawasan langsung kepada pihak BPRS Hareukat. Dalam proses monitoring BSM Cabang Banda Aceh akan bertanya dan melakukan pemeriksaan terhadap jalannya usaha nasabah BPRS Hareukat kepada pihak Direktur Utama, Direktur, dan Bagian Perkreditan BPRS Hareukat. Jika usaha nasabah mengalami kendala, maka terlebih dahulu dicari tahu penyebabnya dan setelah itu akan dilakukan upaya penyelesaian secara bersama. Sistem bagi hasil Pembiayaan Linkage Program pada Bank Syariah Mandiri ditinjau dari hukum Islam sudah sesuai dengan fatwa MUI No. 15/DSNMUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, yang menyebutkan bahwa pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya, dan juga dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing), dan yang terpenting
91
penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
92
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya, Special For Women. Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007. ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi. al Wajiz. Panduan Fiqih Lengkap. Penj. Team Tasfiyah. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007. Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Cet 2. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Al Imam Muhammad Asy Syaukani, Terjemah Nailul Authar, Jilid V. (terj. KH. Adib Bisri Musthafa dkk). Semarang: CV. Asy Syifa’, 1994. Bank Indonesia, Generic Model Linkage Program. Jakarta: BI, 2007. Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. Slamet Wiyono. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI. Cet ke-2. Jakarta: 2005 Adiwarman A Karim. Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamî wa-Adillatuh, jilid 5, (terj. Abdul Hayyie alKattani). Jakarta: Gema Insani, 2011. Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, jilid IV. Cet ke-4. (terj. Syed Ahmad Syed Hussain). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002. Wawancara dengan Bapak Rasyidin AR, Direktur Utama BPRS Hareukat Lambaro Aceh Besar, tanggal 12 Desember 2012. Wawancara dengan Rosniar SEI, bagian Pelaksana Marketing Support (PMS) PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh, tanggal 05 Oktober 2012.
93