SISTEM BAGI-HASIL MUSYARAKAH DALAM PERSPEKTIF AMANAH (Studi Pada Bank Muammalat Cabang Gorontalo) Wiwin Koni Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami sistem bagi-hasil musyarakah dalam perspektif amanah pada bank Muamalat cabang Gorontalo. Penelitian ini dilakukan pada konteks manajemen yang lebih kecil, yaitu pada manajemen cabang perbankan syariah, yaitu bank Muamalat cabang Gorontalo sebagai objek penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-interpretif dengan pendekatan fenomenologi dengan maksud untuk dapat lebih mendalami permasalahan dan realitas yang ada. Jenis data berupa data utama bersumber dari kata-kata dan tindakan, sedang untuk data pendukung bersumber dari dokumentasi baik berupa data laporan keuangan dan data arsip lainnya. Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengamatan aktivitas, dan penelaahan atas dokumen-dokumen. Hasil penelitian ini berdasarkan realitas (fenomena) dalam memahami sistem bagi-hasil perbankan syariah dalam produk musyarakah, yaitu: Pertama, menjaga kepercayaan dalam upaya peningkatan produk bagi hasil musyarakah. Kedua, menepati janji yaitu dalam bentuk bagi-hasil antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib). Ketiga, berbagi dengan adil yaitu setiap kesepakatan atau kerja sama (kemitraan) antara nasabah dalam produk pembiayaan musyarakah akan mendapatkan persentase bagi hasil sesuai yang telah disepakati sebelumnya. Keempat, berdasarkan realitas ketaatan terhadap etika syariah yaitu adanya komitmen atau ketaatan terhadap segala bentuk aktivitas bermuammalah yang berhubungan dengan kegiatan pembiayaan khususnya bagi hasil musyarakah. Berdasarkan pemahaman tersebut, setelah dianalisis melalui perspektif amanah dapat dimaknai bahwa manajemen perbankan syariah mengemban tiga jenis amanah, yaitu pertama, amanah sebagai organisasi bisnis yang berorientasi profit. Kedua, amanah sebagai organisasi sosial. Ketiga, amanah sebagai organisasi spiritual yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran dalam beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Islam). Kata Kunci: bagi-hasil, musyarakah, dan amanah
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran bank syariah di tengah publik, seperti yang diakui banyak para pendirinya, bukan semata dimotivasi oleh maraknya persaingan di dunia
139
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
perbankan Indonesia pasca krisis ekonomi, akan tetapi lebih karena menguatnya kesadaran baru di kalangan masyarakat muslim di Indonesia untuk memperkuat basis ekonomi ummat. Prinsip utama dari bank syariah ini yaitu melarang riba’ dalam bentuk transaksi, menjalankan bisnis dan aktivasi perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah. Bank syariah berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Al-Hadis yang didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam kedalam transaksi keuangan. Keberadaannya di tengah-tengah perbankan konvensional adalah untuk menawarkan sistem perbankan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan layanan jasa perbankan tanpa harus khawatir atas persoalan bunga (riba). Dalam praktek syariah, instrumen bagi-hasil (profit loss sharing) antara pihak bank dan nasabah merupakan sistem pengganti bunga pada bank konvensional dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi-hasil usaha antara pemilik dana (shahibul maal) yang menyimpan uangnya di bank, bank selaku pengelola dana (mudharib) dan masyarakat yang membutuhkan dana yang berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Berdasarkan pengertian di atas idealnya bank syariah adalah bank yang mengedepankan konsep profit and loss sharing (PLS) dalam pengembangan produknya, sebagai sarana kegiatan-kegiatan investasi yang lebih menekankan pada unsur kebersamaan dan kemitraan dalam berusaha, sehingga tercipta suatu mekanisme perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif serta pembukaan lapangan kerja baru yang lebih luas bagi masyarakat dan menggunakan konsep muamalah Islam yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional) yang pelaksanaannya diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah). Melalui keberadaan lembagalembaga tersebut diharapkan tercipta suatu mekanisme perbankan yang mampu memberi kemaslahatan objektif bagi pertumbuhan perekonomian umat (Siddiqi, 1984), (Antonio, 2001). Terlepas dari perdebatan tersebut, fenomena rendahnya penggunaan pembiayaan bagi-hasil pada bank syariah merupakan permasalahan penting yang perlu dibahas. Berbagai permasalahan ini perlu dicarikan solusi yang tepat dalam rangka peningkatan pembiayaan bagi-hasil sesuai dengan konsep dasar lahirnya perbankan syariah yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam yaitu, al-Qur’an dan Hadist yang mencerminkan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Terlebih lagi, pembiayaan yang di dominasi oleh prinsip jual beli (murabahah) merupakan masalah multidimensi yang telah terjadi sejak lama dan tidak ada kecenderungan untuk berubah, malahan terlihat seakan-akan pembiayaan bagi hasil seperti pembiayaan sekunder saja. Implikasi tingginya
140
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
pembiayaan dengan prinsip jual beli dapat membentuk persepsi publik bahwa perbankan syariah hampir tidak ada bedanya dengan perbankan konvensional. Di sisi lain Presley (2001) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa profit-loss sharing (PLS) telah mendominasi teori-teori keuangan Islam tetapi pada kenyataanya PLS tersebut termarjinalkan dalam praktiknya di perbankan syariah. Hal ini dibuktikan bahwa realisasi PLS hanya 20% dari investasi yang dilakukan bank Islam di dunia, bahkan Islamic Development Bank (IDB) justru tidak menggunakan profit loss sharing system (PLS) tersebut. Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Kamla (2009) tentang profit loss sharing syistem (PLS) yang diterapkan oleh bank-bank syariah, ternyata menemukan bahwa tidak semua bank yang berdasarkan nilai-nilai syariah menerapkan profit and loss sharing syistem tersebut. Hal ini dikarenakan sistem bagi hasil hanya merupakan simbol sebagai lembaga keuangan atau bank dengan prinsip syariah tetapi masih menggunakan paradigma konven1sional atau non syariah. Sedangkan Karim (2001) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat lima hal yang menyebabkan pembiayaan bagi-hasil menarik bagi bank Islam, maksudnya yaitu: (1) sumber dana bank Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi-hasil yang biasanya berjangka panjang, (2) pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tertinggi cenderung enggan menggunakan sistem bagi-hasil. Bagi mereka lebih menguntungkan kredit dengan bunga yang sudah pasti jumlahnya. Pada umumnya yang banyak meminta pembiayaan bagi-hasil adalah mereka yang tingkat keuntungannya rendah, (3) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah juga enggan meminta pembiayaan bagi-hasil. Kebanyakan yang memilih model bagi-hasil ini adalah mereka yang berbisnis dengan resiko tinggi termasuk misalnya mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, (4) untuk meyakinkan bahwa proyek akan memberikan keuntungan yang tinggi, pengusaha akan terdorong membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Hal ini akan menyulitkan bank di kemudian hari, dan (5) banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan. Pembukuan yang diberikan kepada bank adalah tingkat keuntungan yang kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil, padahal pada pembukuan yang sebenarnya si pengusaha membukukan keuntungan yang sebenarnya. Karim (2001:83) juga mengemukakan bahwa keberhasilan Negara Sudan dan Iran menerapkan pembiayaan bagi-hasil disebabkan oleh dua faktor utama yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kedua faktor utama tersebut adalah: Pertama, struktur masyarakat yang paternalistis dengan peran sentral ulama dalam kehidupan masyarakat. Kedua, adanya wilayatul hisba, yaitu semacam perangkat policy (kebijakan) ekonomi lengkap dengan pengadilan niaga yang segera menyelesaikan perselisihan bisnis.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
141
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
Adalah sebuah kenyataan bahwa perbankan syariah khususnya Bank Muammalat Indonesia (BMI) semakin unjuk gigi dan meneguhkan eksistensinya dalam percaturan ekonomi dewasa ini. Bahkan perbankan syariah (BMI) semakin menunjukkan performansi yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator, yaitu antara lain meningkatnya jumlah nasabah, baik yang menitipkan dananya pada bank syariah maupun nasabah berstatus peminjam dalam produk pembiayaan sebagai bukti kepercayaan masyarakat dalam bekerja sama dengan pihak bank. Melihat kondisi tersebut, hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah dan musyarakah yang bersifat jangka panjang. Secara objektif hal ini kembali menunjukkan kelemahan bank syariah yang mengedepankan prinsip bagi-hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya. Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut dapat merusak reputasi kehadiran bank syariah sebagai lembaga keuangan alternatif dengan pola bagi-hasil hanyalah sebatas wacana saja, selain itu pembiayaan dengan pola bagi-hasil merupakan esensi pembiayaan syariah, yang lebih cocok untuk menggiatkan sektor rill, karena meningkatkan hubungan langsung pembagian resiko antara investor dengan pengusaha. Walaupun demikian, bagaimana sekarang kalangan perbankan syariah meningkatkan kualitas kinerjanya dengan tetap memperhatikan berbagai kelemahan yang harus segera diperbaiki. Selain itu bank syariah mulai memikirkan cara-cara yang tepat dalam melakukan sistem bagi-hasil, khususnya pembagian hasil usaha dalam akad musyarakah. Fungsi bank syariah dalam hal ini adalah sebagai pihak yang memberikan informasi dengan melakukan dakwah kepada masyarakat, berkaitan dengan cara-cara yang terbaik untuk bermuamalat dalam Islam. Secara teknis, musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan kerugian berdasarkan kontribusi dana sedangkan dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak. Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan. Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Hal ini ditandai dengan pembiayaan bagi-hasil (musyarakah) yang seharusnya di tingkatkan akan tetapi masih di dominasi oleh jual beli. Bagihasil musyarakah merupakan prinsip dasar dalam usaha kemitraan yang dilakukan shahibul maal dan mudharib sebagai bentuk kepercayaan (amanah)
142
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
yang harus dilakukan. Ini menjadi suatu fenomena dari realitas sosial, dimana perbankan syariah yang berpraktik dengan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, bisa saja berdampak pada perilaku manajemennya dalam mengemban amanah tersebut. Amanah berasal dari bahasa arab, yang bermakna “yang harus ditepati” atau “titipan yang harus di tunaikan” (Maharani, 2008). Dari segi akhlak dan nilai, amanah berarti menghargai kepercayaan orang lain terhadap diri seseorang dengan melaksanakan tuntutan yang terdapat dalam kepercayaan itu. Atau dengan kata lain, amanah adalah tanggungjawab yang diterima seseorang yang kepadanya diberikan kepercayaan bahwa ia dapat melaksanakannya sebagaimana yang dituntut, tanpa mengabaikannya. Sedemikian pentingnya amanah dalam ajaran Islam, sehingga ia menjadi pemisah bagi orang yang beriman dan munafik serta menjadi salah satu indikator kesempurnaan iman seorang Muslim yang telah bersyahadat. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Anfaal 27) Ayat di atas mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa di antara indikator keimanan seseorang adalah sejauh mana dia mampu melaksanakan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikan amanahamanahnya. Amanah dari satu sisi dapat diartikan dengan tugas, dan dari sisi lain, diartikan kredibilitas dalam menunaikan tugas. Sehingga amanah sering dihubungkan dengan kekuatan. Firman Allah, “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bakerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Q.S. Al-Qhashash 26) Memperhatikan uraian di atas, maka penelitian ini akan melihat bagaimana nilai-nilai amanah dalam sistem bagi-hasil khususnya produk musyarakah di perbankan syariah yang memandang pemilik dana (shahibul maal) sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh Tuhan memiliki sumberdaya sedangkan pengelola dana (mudharib) adalah pihak yang dipercaya Tuhan untuk mengelola dana tersebut melalui operasional bank. Masing-masing pihak tidak dapat terpisahkan dari pemberi amanah yaitu Tuhan yang memerintahkan kedua pihak untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara benar, adil dan bertanggungjawab. Seperti yang dinyatakan oleh Triyuwono (1997) ketika individu melihat organisasi sebagai amanah maka konsekuensi paling penting adalah tujuan dan cara pencapaian tujuan (etika). Sistem bagi-hasil apabila dipandang sebagai amanah maka tujuan kemitraan tersebut tidak jauh dari makna amanah itu sendiri yaitu sebagai khalifatillah fil ardh atau menyebarkan rahmat bagi
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
143
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
seluruh alam. Tujuan menyebarkan rahmat ini dapat dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk yang lebih konkret sesuai dengan tipe organisasi, kebutuhan masyarakat dan lingkungan, serta kekuatan sosial lain tetapi semangatnya secara mutlak adalah nilai penyebaran rahmat dan pengabdian kepada Tuhan (Triyuwono, 2000). Untuk mencapai tujuan akhir yang sangat mulia tersebut maka proses pencapainya memerlukan acuan atau pedoman berupa etika yang bersumber dari nilai-nilai syariah. Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada sesorang untuk dilaksanakan dengan sebaiknya dan dengan penuh tanggungjawab (Maharani, 2008:40). Dengan adanya pihak yang menerima amanah maka sebenarnya pihak tersebut tidak memiliki hak secara mutlak terhadap sesuatu yang diamanahkan. Pihak tersebut wajib untuk memelihara dan menjaga amanah dengan sebaikbaiknya serta melaksanakan apa yang diamanahkan oleh si pemberi amanah. Perspektif ini pula menurut Niswatin (2008:27) bahwa amanah mendasari bagaimana tujuan dasar laporan keuangan berdasarkan akuntansi syariah, yaitu bukan hanya sebatas pertanggungjawaban kepada manusia dan alam yang selama ini dipahami pada akuntansi konvensional, namun yang lebih penting adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Agung sebagai pencipta alam semesta termasuk manusia. Penelitian ini dilakukan di perbankan syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Gorontalo. Perbankan syariah beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam (Wibowo dan Widodo, 2005:33). Bank syariah diatur berdasarkan prinsip-prinsip syariah tatacaranya mengacu pada AlQur’an dan As-Sunnah. Alasan pemilihan objek pada bank syariah, yaitu didasarkan pada keunikan karena bank syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Perbankan syariah diyakini memiliki nilai-nilai spiritual yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah (etika syariah) yang memiliki tanggungjawab stakeholders yang lebih luas, yaitu manusia, alam, dan Tuhan. Peneliti berharap akan menemukan pemahaman atas sistem bagi-hasil musyarakah yang didasarkan pada fenomena yang ada pada obyek penelitian dengan menggunakan perspektif ‘amanah’ sebagai alat analisisnya. Perspektif amanah sebagai alat analisisnya maka orientasi sistem bagi hasil musyarakah dalam hal pembagian hasil usaha tidak hanya berorientasi pada hasil (profit) terutama pada aspek keuangannya saja, namun juga pada proses aktivitas dan pertimbangan stakeholder yang luas, yaitu manusia, alam, dan Tuhan. Oleh karena itu, penelitian ini sangat berkaitan dengan niali-nilai amanah (syariah) berdasarkan realitas bisnis pada perbankan syariah yang tidak terlepas dari masalah sosial dan agama. Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka fokus penelitian ini adalah upaya memperoleh pemahaman tentang ‘Bagaimana sistem bagi hasil musyarakah di perbankan syariah dalam perspektif amanah?’.
144
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
Dalam hal ini bank syariah yang dimaksud adalah Bank Muamalat Cabang Gorontalo. Pembiayaan Musyarakah di BMI Cabang Gorontalo Dalam lingkungan bisnis, baik perbankan syariah ataupun konvensional dan lembaga keuangan lainnya, nasabah perlu ditempatkan sebagai peringkat pertama di antara stakeholder utama perusahaan. Demikian juga dengan bank Muamalat cabang Gorontalo, dalam upaya mencari nasabah baru dan sesuai dengan tugas yang diembannya, ternyata masih ada peluang untuk meraih nasabah melalui bermitra dengan pengusaha kecil dan menengah. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini, sebelum terjadi permasalahan pembiayaan pembiayaan musyarakah difokuskan hanya pada usaha menengah, mungkin dengan harapan akan mendapatkan hasil yang lebih baik, namun mulai tahun 2007 perhatian pembiayaan musyarakah juga diberikan kepada usaha kecil baik individu maupun kelompok: Adapun alur pembiayaan musyarakah yang dilakukan oleh nasabah dalam bentuk usaha kecil maupun menengah sebagaimana prosedur yang dilakukan oleh bank Muamalat Cabang Gorontalo selama ini sebagai lembaga keungan syariah, sebagaimana yang dijelaskan Rusdi (marketing funding) yaitu: “....Dalam pembiayaan musyarakah baik untuk usaha kecil maupun usaha menengah, prosedurnya atau prosesnya sama hanya bentuk usahanya saja yang berbeda yaitu dengan mengajukan permohonan pembiayaan dalam akad musyarakah...” Berdasarkan penjelasan di atas bahwa transaksi musyarakah di perbankan syariah dalam hal ini bank Muamalat Cabang Gorontalo dimulai dari pengajuan permohonan investasi musyarakah oleh nasabah dengan mengisi formulir permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank dan pihak bank melakukan evaluasi kelayakan investasi musyarakah yang diajukan nasabah dengan menggunakan 5C (Character, Capacity, Capital, Commitment, dan Collateral). Kemudian nalisis ini diikuti dengan verifikasi, apabila nasabah dan usahanya dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak musyarakah dengan nasabah sebagai mitra dihadapan notaris. Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hak untuk memastikan terpenuhinya rukun musyarakah. Selanjutnya, bank dan nasabah mengontribusikan dananya masing-masing dan nasabah sebagai mitra aktif mulai mengelola usahanya yang telah disepakati. Selanjutnya Rusdi (marketing funding) dalam penjelasannya: “....nah.., sementara nasabah ini menjalankan usahanya, kita pihak bank melakukan evaluasi dan peninjauan langsung atas usaha yang dibiayai tersebut, karena apabila usaha ini mengalami keuntungan ataupun rugi itu dibagi sesuai kesepakatan sebelumnya, tapi kerugian ini dilihat penyebabya apakah nasabah atau tidak...dalam bagi hasil ini juga nasabah
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
145
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
mengembalikan dana yang dijadikan modal kepada bank sehingga apabila nasabah telah selesai mengembalikan modal tersebut maka usaha tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya...” Dalam menjalankan usahanya, nasabah dan bank mengevaluasi hasil usaha berdasarkan kesepakatan. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank dengan nasabah sesuai dengan porsi yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah, maka kerugian ditanggung proporsional terhadap kontribusi masing-masing. Tetapi apabila kerugian karena kelalaian nasabah, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah. Setelah bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing, bank juga menerima pengembalian modalnya dari nasabah, dan jika nasabah telah mengembalikan semua kontibusi (modal) milik bank maka usaha selanjtnya menjadi milik nasabah sepenuhnya. Dalam wawancara ini juga peneliti menemukan bahwa pembiayaan musyarakah yang dilakukan bank Muamalat Cabang Gorontalo selain dengan musyarakah akad (syirkatul uqud)j juga dilakukan dalam akad musyarakah milik (syirkatul milk) yaitu nasabah dan bank melakukan perkongsian dalam kepemilikan barang dengan pihak ketiga (mitra) dengan salah satu sebab kepemilikan seperti jual beli, sewa, dan hibah. REALITAS AMANAH DALAM SISTEM BAGI-HASIL MUSYARAKAH Memelihara Kepercayaan Melihat konteks dan realitas yang ada di lapangan memang sulit rasanya menerapkan pembiayaan dengan sistem pola bagi-hasil mengingat kondisi masyarakat Indonesia seperti sekarang ini. Hal ini menunjukan bahwa dalam kontrak pembiayaan produk bagi hasil sangat sarat dengan resiko terutama dengan resiko agensi. Alasan ini dapat muncul karena disebabkan faktor eksternal bank yaitu; kondisi masyarakat atau nasabah dimana tingkat kejujuran dan keamanahan masyarakat dalam menjalankan kontrak bagi hasil sebagaimana yang dijelaskan Rukmin Ressa selaku Marketing Lending di Bank Muammalah Cabang Gorontalo: “...Dalam pembiayaan bagi hasil ini khususnya akad musyarakah, karena kedua pihak ini saling memberikan dana maka masing-masing pihak memiliki hak dalam pengawasan usaha terutama pada hasil yang diperoleh. Tetapi nasabah sering tidak terbuka dengan hasil yang didapat, pokoknya yang penting haknya bank sudah diberikan...” Dengan kata lain, disamping persyaratan teknik administratif, kontrak bagi hasil dapat berjalan jika terdapat keterbukaan (transparansi). Apalagi dalam penerapanya dibiarkan berkompetisi dengan bank konvensional yang sudah lama berkembang dan mapan. Kalaupun ada, sudah banyak mengalami pergeseran dan tidak seperti yang ditemukan dalam fikih. Sedikitnya penggunaan pembiayaan bagi hasil disebabkan karena banyaknya faktor resiko,
146
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
maka hal ini membuat bank syariah dalam pengelolaanya sangat hati-hati (prundent) dalam memberikan pembiayaan dengan sistem pola bagi hasil. Sehingga Rukmin Ressa (marketing lending) dalam penjelasannya pada peneliti yaitu: “...agar tetap terjadi saling percaya atau keterbukaan maka pihak bank melakukan pendekatan atau peninjauan langsung kelokasi nasabah yang dibiayai agar terkesan bahwa nasabah tersebut mendapat perhatian dari pihak bank. Terkait dengan masalah rendahnya penggunaan pembiayaan bagi hasil maka cara yang terpenting adalah tindakan atau komitmen dari pihak bank (shahibul mall) dan pihak-pihak yang melakukan kontrak mampu menerapkan kepercayaan dalam mekanisme operasional perbankan syariah melalui hubungan kerjasama yang baik yang didalamnya menganut nilai-nilai kejujuran, etika moral, dan keterbukaan yang terbangun dalam sistem. Kepercayaan ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pembiayaan bagi hasil agar sesuai dengan konsep dasar pendirian Bank Syariah sebagai bank alternatif pengganti sistem bunga. Dalam kesempatan yang sama pula peneliti sambil berbincang-bincang dengan salah seorang nasabah (Ibu Rina) yang katanya nasabah pembiayaan, dimana perbincangan nasabah dengan peneliti ini juga menyangkut kepercayaan nasabah terhadap bank syariah. Nasabah tersebut mengatakan bahwa semua pelayanan yang diberikan bank, baik yang bukan berlandaskan syariah ataupun non syariah sama saja. Yang membedakan kedua bank ini hanyalah pada syariahnya, karena sebagai peminjam atau nasabah pembiayaan yang membutuhkan dana harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan agar nasabah bisa mendapatkan dananya. “...kalo menurut saya, sebenarnya bank syariah dan bank yang lain sama saja. Bedanya cuma karena ada syariahnya tetapi kalo melihat proses dan pelayanannya sama saja apalagi dalam proses pembiayaan, kalo di bank lain dikenal dengan kredit...” Pernyataan-pernyataan di atas kemudian peneliti bahas dalam wawancara singkat dengan Rafsanjani selaku pelaksana operasi menyikapi kasus pertama yang ditemukan peneliti dimana hal ini menurut Rafsanjani: “...Semua ini karena adanya kesalahpahaman yang sudah banyak terjadi tetapi namanya kita pihak bank sama saja dengan perusahaan lain yang menginginkan adanya keuntungan, yang setelah mendapatkan dana kemudian disalurkan dalam bentuk pembiayaan dan dari hasil inilah yang akan dibagi hasilkan baik nasabah yang menyimpan uangnya di bank ini maupun nasabah sebagai peminjam atau nasabah pembiayaan...” Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa pembayaran imbalan bank syariah kepada pemilik dana (deposan) dalam bentuk bagi hasil besarnya sangat tergantung dari pendapatan yang diperoleh oleh bank
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
147
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
sebagai mudharib, semakin besar hasil usaha atau keuntungan yang didapat oleh bank maka semakin besar bagi hasil yang diberikan. Selanjutnya dalam kasus yang kedua yaitu pernyataan bahwa baik bank syariah maupun yang non syariah sama saja, menurut Rafsanjani secara umum proses pembiayaan di perbankan syariah tidak jauh berbeda dengan praktik proses perkreditan di perbankan pada umumnya, tetapi dalam bank syariah lebih mengedepankan nilai-nilai yang Islami. Proses tersebut terbagi dalam beberapa tahapan yang sudah diatur dalam ketentuan internal perbankan yaitu dari awal pembiayaan yang diajukan oleh calon nasabah hingga akhirnya permohonan tersebut disetujui dan direalisasikan. Setelah melalui tahapan-tahapan proses pembiayaan maka hal yang mendasar yang membedakan perbankan syariah dan perbankan umum lainnya yaitu selain terdapat akad kesepakatan juga memperhatikan halal tidaknya usaha yang akan dibiayai dan manfaat usaha tersebut. Sehingga nampak lebih jelas bahwa sistem yang ada dibank syariah sangat berbeda dengan bank-bank umum lainnya (konvensional) yang dalam segala aktifitasnya dilandasi oleh nilai-nilai Islami. Menepati Janji Berdasarkan fenomena ketidakpercayaan nasabah yang mempengaruhi perkembangan ataupun peningkatan transaksi dengan akad bagi hasil, peneliti dalam wawancara dengan Iskandar Fahmi (marketing lending), dijelaskan bahwa: “...keuntungan yang diperoleh dalam suatu usaha yang dibiayai dalam akad bagi hasil itu bukan saja dibagi antara pihak bank dan nasabah pembiayaan tetapi pihak bank tidak melupakan nasabah (deposan) yang menitipkan uangnya di bank. Hal ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara nasabah dan bank di saat pembukaan rekening, dimana bagi hasil yang akan didapatlkan oleh nasabah tersebut sesuai dengan persentase keuntungan bank yang disesuaikan dengan besarnya jumlah uang yang dititipkan tersebut. Jadi kita pihak bank secara tidak langsung sepakat untuk memberikan imbalan dalam bentuk bagi hasil, dan ini adalah janji yang harus ditepati...” Dengan kata lain bahwa besar kecilnya bagi-hasil yang diberikan kepada deposan sesuai dengan besarnya uang yang dititipkan. Jadi pihak bank dalam hal pembagian hasil tersebut tidak melupakan atau menepati janjinya kepada pihak deposan sebagai pemberi dana untuk disalurkan kepada nasabah pembiayaan misalnya dalam akad musyarakah. Selanjutnya Rusdi (marketing lending) dalam bagi hasil musyarakah dijelaskan bahwa: “...akad musyarakah intinya perkongsian artinya penanaman modal bersama dan hasilnya dibagi bersama sesuai porsi masing-masing tetapi hasil yang dibagikan tersebut merupakan keuntungan yang diperoleh, jadi keuntungan
148
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
itu memang benar-benar ada atau terjadi dalam usaha yang dibiayai dan dibagi berdasarkan akad sebelumnya...” Berdasarkan penjelasan tersebut peneliti memahami bahwa pihak bank bukan saja menepati janjinya kepada nasabah deposan tetapi juga kepada nasabah pembiayaan musyarakah dalam hal pembagian hasil usahanya direalisasikan berdasarkan akad yang telah disepakati sebelumnya. Dimana akad merupakan janji yang harus ditepati. Sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, ayat dan hadits tersebut dapat memperjelas dan memperkuat pemahaman makna amanah yang ditemukan pada bagian ini. Konteks amanah pada perspektif ini, dipahami sebagai suatu pemahaman khusus yang memiliki tanggung jawab berdasarkan realitas fisik, yaitu menyejahterakan dari segi materi kepada pemberi amanah berkaitan dengan titipan yang harus disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya. Berbagi dengan Adil Kata berbagi dalam Islam dinyatakan dalam banyak perintah Allah SWT melalui zakat, infak dan sedekah. Konsep berbagi dalam Islam mengajarkan bahwa dalam setiap harta kita ada bagian atau hak makhluk Allah yang lain. Prinsip “berbagi” merupakan manifestasi dari kesadaran akan adanya hubungan antara makhluk dan sang Khalik. Prinsip berbagi dalam hal ini terkait erat dengan konsep “keadilan” yang dikatakan Ahmad (2003) merupakan inti nilai dalam Islam. Dimana keadilan merupakan salah satu komponen penting yang membentuk cara pandang Islam mengenai masyarakat dalam menunaikan amanah dari pemberi amanah sebagaimana dalam surat An Nisaa’:58 yaitu : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan (melaksanakan) amanah (pertanggungjawaban) terhadap orang-orang yang memberikan amanah itu. Dan apabila kamu menghukum antara manusia, lakukanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang amat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Ka’bah (2004:153) menjelaskan bahwa adil adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau logika dan sesuatu yang sesuai dengan norma baik dan buruk. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar tempat ia berasal dan juga memberikan perlakuan yang sama kepada orang lain atau mencapai suatu keadaan berimbang dalam transaksi dengan orang lain. Fenomena berbagi dengan adil, Iskandar Fahmi (marketing lending) dalam wawancara dengan peneliti menjelaskan bahwa: “...dalam sistem bagi hasil ini sebenarnya ada hal yang perlu diperhatikan yaitu sikap adil dimana adil ini bukan saja dengan tidak membedakan pelayanan terhadap nasabah tetapi dalam hal pembagian keuntungan ataupun kerugian...”
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
149
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
Iskandar Fahmi lebih menegaskan lagi bahwa dalam hal keuntungan khususnya dalam akad musyarakah, Dewan Syariah Nasional (fatwa DSN Nomor 8 tentang musyarakah) mewajibkan para mitra untuk menghitung secara jelas keuntungannya untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan maupun ketika penghentian musyarakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah nominal yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Adapun aspek-aspek sistem pembagian keuntungan seperti dasar bagi hasil, persentase bagi hasil, dan peride bagi hasil harus tertuan jelas dalam akad. Selanjutnya dalam hal kerugian yaitu dibagi antara para mitra secara proporsional juga menurut bagian masing-masing. Apabila rugi disebabkan oleh kelalaian mitra pengelola, maka rugi tersebut ditanggung oleh mitra pengelola usaha musyarakah. Tetapi jika rugi karena kelalain mitra pengelola usaha maka diperhitungkan sebagai pengurang modal mitra pengelola usaha, kecuali mitra mengganti kerugian tersebut dengan dana baru. Sikap adil merupakan barometer dalam mengantisipasi segala bentuk penyimpangan yang mungkin saja terjadi. Dalam hal ini penyimpangan tidak akan mungkin terjadi tatkala nilai-nilai keadilan benar-benar diterapkan dalam bermuamalah, maka dapat dipastikan penyimpangan dan segala bentuk penyelewengan pasti akan terjadi. Realitas (fenomena) berbagi dengan adil dalam penelitian ini adalah kemampuan pihak pengelola dana dalam mengelola dana secara maksimal dan membagi hasilkan atau mendistribusikan dana tersebut secara adil sesuai kesepakatan sebelumnya, serta memberikan informasi yang sejujurnya kepada shahibul maal tanpa ada sedikitpun unsur rekayasa sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa terjalimi karena adanya bentuk ketidakadilan. Hal ini dapat dijelaskan dalam Proyeksi Pembayaran Bagi Hasil antara nasabah pembiayaan, bank, dan nasabah selaku deposan di bank Muamalat cabang Gorontalo. Dengan demikian realitas berbagi dengan adil yang menjelaskan bahwa bank merupakan media yang menjembatani antara pemilik dana dan pengguna dana melalui upaya penghimpunan atau penyaluran dana dengan prinsip bagihasil yaitu dengan membagi hasil berdasarkan kontribusi masing-masing. Sehingga menurut peneliti berbagi dengan adil dalam penelitian ini adalah kemampuan pihak pengelola dana dalam mengelola dana secara maksimal dan membagi hasilkan atau mendistribusikan dana tersebut secara adil sesuai kesepakatan sebelumnya PENUTUP Kesimpulan Perbankan syariah adalah solusi untuk menyelamatkan umat dari jeratan riba, salah satu hal yang paling dilarang oleh Islam dalam interaksi antar
150
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
manusia (muamalah). Bank syariah memperjuangkan hubungan kemitraan dengan bagi hasil dan resiko yang ditanggung bersama antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib), berlandaskan ketulusan, serta kejujuran dan keadilan berdasarkan etika syariah. Fenomena rendahnya penggunaan pembiayaan bagi-hasil pada bank syariah merupakan permasalahan penting yang perlu dibahas. Berbagai permasalahan ini perlu dicarikan solusi yang tepat dalam rangka peningkatan pembiayaan bagi hasil sesuai dengan konsep dasar lahirnya perbankan syariah yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam yaitu, al-Qur’an dan Hadist yang mencerminkan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Terlebih lagi, pembiayaan yang didominasi oleh prinsip jual beli (murabahah) merupakan masalah multidimensi yang telah terjadi sejak lama dan tidak ada kecenderungan untuk berubah, malahan terlihat seakan-akan pembiayaan bagi hasil seperti pembiayaan sekunder saja. Penelitian ini dilakukan pada konteks manajemen yang lebih kecil, yaitu pada manajemen cabang perbankan syariah, yaitu bank Muamalat cabang Gorontalo sebagai objek penelitian. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi yang telah dilakukan untuk mengungkap adanya fenomena berdasarkan realitas sosial berkaitan dengan sistem bagi hasil musyarakah perbankan syariah dalam perspektif amanah. Temuan realitas (fenomena) sebagai langkah awal memahami sistem bagi-hasil perbankan syariah dalam produk musyarakah, yaitu: Pertama, berdasarkan fenomena dalam menjaga kepercayaan dalam upaya peningkatan produk bagi hasil musyarakah, hal yang ditemukan adalah anggapan nasabah (deposan) yang seakan tidak menikmati bagi-hasil yang diberikan pihak bank tetapi justru mengurangi jumlah titipannya kepada bank dan anggapan lain bahwa proses pembiayaan bagi hasil di bank syariah sama saja dengan proses kredit di bank non syariah. Kedua, berdasarkan realitas dalam konteks menepati janji yaitu berangkat dari ketidak percayaan nasabah terhadap hasil atau keuntungan yang diperoleh misalnya dalam akad musyarakah sehinnga dapat direalisasikan dalam bentuk bagi-hasil antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib). Ketiga, berdasarkan realitas berbagi dengan adil yaitu setiap kesepakatan atau kerja sama (kemitraan) antara nasabah dalam produk pembiayaan musyarakah akan mendapatkan persentase bagi hasil sesuai yang telah disepakati sebelumnya. Keempat, berdasarkan realitas ketaatan terhadap etika syariah yaitu adanya komitmen atau ketaatan terhadap segala bentuk aktivitas bermuammalah yang berhubungan dengan kegiatan pembiayaan khususnya bagi hasil musyarakah melalui membangun spiritual kesadaran diri ”bekerja adalah ibadah”, selain itu ada upaya dakwah (penerangan agama) kepada masyarakat melalui praktik bisnis yang baik berdasarkan etika syariah (Islam), baik melalui pelayanan produk-produk maupun melalui pelayanan dengan memperlihatkan praktik ihsan dan taqwa.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
151
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
Berdasarkan pemahaman tersebut, setelah dianalisis melalui perspektif amanah sebagai cerminan sistem bagi-hasil musyarakah di perbankan syariah maka dapat dimaknai bahwa sistem ini mengemban tiga jenis amanah, yaitu pertama, amanah sebagai organisasi bisnis yang berorientasi profit (laba) untuk kepentingan shareholder dan kreditur, dalam hal ini adalah memiliki tanggung jawab kepada manajemen pusat dan capital provider. Kedua, amanah sebagai organisasi sosial, walaupun mungkin tidak murni sebagai organisasi sosial yang hanya melakukan usaha inti dalam pelayanan publik, namun dapat ditunjukkan kontribusi organisasi melalui tanggung jawab sosial manajemen dalam produk pembiayaan musyarakah, baik kepada pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib). Ketiga, amanah sebagai organisasi spiritual yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran para manajemen untuk beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Islam), dan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran manajemen untuk menumbuhkan dan mengembangkan spiritual para karyawan, nasabah, masyarakat luas sesuai dengan tuntutan syariah, sehingga dapat dijelaskan bahwa pada jenis amanah ketiga ini sistem bagi-hasil hanya sebatas pada spiritual yang bersumber pada syariah.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahannya . 2006. Penerbit Diponegoro: Bandung. Adnan, M. Akhyar. 2009. Dari Murabahah Menuju Musyarakah, Upaya Mendorong Optimalisasi Sektor Riel, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. UIN Sunan Kalijaga. Ahmad, K. 2000. Islamic Finance and Banking: The Challenge and Prospects. Review of Islamic Economics. 9: 57-82. Antonio, Muhammad Syafii. 2007. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia Arifin, Zainul. 2006. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Pustaka Alvabet: Jakarta London. UK. Chapra M.Umar.2000. Islam dan Tantangan Ekonomi, terj.Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Isnani Press. Creswell, Jhon W. 1994. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. SAGE Publications. International Educational and Professional Publisher. Thousand Oaks London, New Delhi. Daymon, Cristine dan Immy Holloway. 2008. Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Diterjemahkan oleh Cahya Wiratama. Penerbit Bentang: Yogyakarta
152
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Wiwin Koni
Ghafur, M. Abdul. 2004. Peranan Rasio Keuangan Bank terhadap Keputusan Pembiayaan, Pada Bank Muamalat Indonesia. Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam II. Universitas Brawijaya Malang. Harahap, Syofyan Syafri. 2001. Akuntansi Islam. PT. Bumi Aksara: Jakarta. Haron, S. dan Hisham B. 2003. Wealth Mobilization by Islamic Banks: The Malaysian Case, in International Seminar on Islamic Wealth Creation. University of Durham, United Kingdom. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat:Jakarta Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis: untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPEE Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press: Jakarta Manzilati, Asfi. 2001. Mudharabah. Pembiayaan Murabahah sebagai Prasyarat Pembiayaan Mudharabah dalam Kerangka The Generalized Othersi. Tesis. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Muhajir. N.H. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasih: Yogyakarta. Muhajir. N.H. 2007. Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Rake Sarasih: Yogyakarta. Muhammad. 2002. Pengantar Akuntansi Syariah. Salemba Empat: Jakarta. Muhammad. 2005a. Manajemen Bank Syariah. UPP AMP YKPN: Yogyakarta Muhammad. 2005b. Pengantar Akuntansi Syariah. Salemba Empat: Jakarta Muslich, 2004. Etika Bisnis Islam: Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif. Yogyakarta: FE.UII Moleong, Lexy, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Olson Mansur, 1993. The Rise and Decline of Nations New Haven: Yale University Parvez, Z. 2000. Building New Society: An Islamic Approach to Social Change. Leicaster, The Islamic Foundation. Presley, John.R and Humayon A. Dar. 2001. Lack of Profit Loss Sharing in Islamic Banking: Management and Control Imbalances. Economic Research Paper No. 00/24 Siddiqui, S.H. 2001. Islamic Banking: True Modes of Financing. New Horison. 109 (May-June). Sri Nurhayati, Wasilah. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia. Salemba Empat: Jakarta. Saeed Abdullah, 2003. Bank Islam dan Bunga, terj. M.Ufuqul Murbin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saeed Abdullah, 2004. Islamic Banking and Interest: A. Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, terj.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
153
Sistem Bagi-Hasil Musyarakah dalam Perspektif Amanah
Muhammad Ufuqul., Nurul Huda., Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Scott, William R. 2003. Financial Accounting Theory. Prentice Hall:Toronto Sukoharsono, Eko Ganis. 2006. Alternatif Riset kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Etnography, dan case study. Pelatihan Metodologi Penelitian. Program A3 Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Pengantar: Amri Marzali. Yogyakarta: Tiara Wacana. Statistik Perbankan Syariah Islamic Banking Statistics tahun 2004,2005,2006, 2007,2008 terbitan Bank Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Perbankan Syariah Triyuwono, Iwan. 1997. Akuntansi Syari’ah dan Koperasi: Mencari Bentuk Dalam Bingkai Metafora Amanah. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Vol.1 No. 1 Triyuwono, Iwan. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah. LKis: Jakarta Triyuwono, Iwan, dan Moh. As’udi. 2001. Akuntansi Syariah. Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat, Salemba Empat: Jakarta. Triyuwono, Iwan. 2002. Kearifan Lokal: Internalisasi “Sang Lain” Dalam Dekonstruksi Pengukuran Kinerja Manajemen. Disampaikan dalam acara Seminar Regional Sehari oleh Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. Triyuwono, Iwan. 2004. “Trust (Amanah), the Divine Syimbol: Interpretasions in The Context of Islamic banking and Accounting Practices”, Fourth Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting Conference. Singapore. Triyuwono, Iwan, 2006a. Akuntansi Syari’ah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawula-Gusti. Disampaikan pada Rapat Terbuka Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar bidang Ilmu Akuntansi Syari’ah pada FE Unibraw Triyuwono, Iwan, 2006b. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta. Wibowo, Edy dan Untung Hendy Widodo. 2005. Mengapa memilih Bank Syariah?. Ghalia Indonesia: Jakarta Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasar PSAK dan PAPSI. Grasindo; Jakarta. Yaya, Rizal dan Aji, Abdurahim. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah. Teori dan Praktik Kontemporer. Salemba Empat: Jakarta.
154
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab