SISTEM KEWARISAN MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
TIONGHOA
DALAM
MUHAMMAD ZAINUL FAIZIN Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstract: faraid science was a science that has a high status in Islam. Our Prophet advocated by his saying that Muslims learn faraid science and teach it to another person. faraid science in Indonesia was quite diverse. Of customary inheritance law, positive law, to inheritance law which is based on religious teachings. Among the many pluralism in Indonesia, the Chinese Muslims still used of Muslim thinkers, especially in the practice of the division of propert. cultural exchanges in social interaction, not least the ethnic Chinese community who later converted to Islam, especially in the area of Central Java and East Java. The government also set the pattern for the class division of inheritance foreign Asian (Chinese). Chinese Muslim communities felt acculturation including faraid system that had a provision respectively. Chinese customary in faraid system that became the identity pattern of Chinese society had a big hand in determining the division of the estate as well as parts of his heirs. Chinese Muslim communities tend to use the customary faraid system in their own custom. Chinese customary inheritance system system adheres to the provisions of the oldest boys get parts throughout the estate other than the family legacy in the form of jewelry. The oldest boy in traditional Chinese faraid system has the authority to hold deliberations in the division of inheritance and have the authority to divide or not to divide the inheritance. Keyword: Islamic Inheritance Law, Muslim Chinese, Traditional Chinese Inheritance Law.
A. PENDAHULUAN Ilmu faraid merupakan ilmu yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam, ilmu tersebut merupakan separo dari ilmu-ilmu yang ada. Nabi Muhammad saw menganjurkan melalui agar umat muslim mempelajari ilmu faraid dan mengajarkannya.1 Ilmu ini tidak hanya bermanfaat untuk pemahaman individu tetapi juga untuk kemaslahatan ummat karena terkait dengan hal yang sangat sensitif. Ilmu faraid merupakan ilmu yang terkait dengan masalah warisan. Warisan merupakan hal yang sangat unik karena melibatkan banyak orang dan terkadang bisa menghasilkan perpecahan dalam keluarga. Pengkajian dan pengembangan hukum kewarisan Islam yang berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah Rasul, berjalan secara intensif yang melahirkan banyak kesepakatan sekaligus perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para pengikutnya. Di Indonesia, penyebarluasan pandangan para ulama tersebut berjalan secara berkesinambungan dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Penyebarluasan pandangan dan pemahaman para ulama ini 'A. Rahman Ritonga dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-5, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 308.
1
menyebar baik melalui supra struktur politik termasuk legalisasinya dalam peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaannya. Selain itu, fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi keagamaan juga ikut andil dalam hal tersebut. Penyebarluasan melalui pranata pendidikan baik dalam lingkup pesantren, madrasah, dan sekolah juga di lakukan. Sosialisasi dan intitusionalisasi hukum warisan Islam juga sudah melalui proses yang panjang. Hubungan timbal balik antara keduanya mengalami satu bentuk penyesuaian dengan budaya yang hidup di lingkungan masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk termasuk dalam sistem kerabatannya menuntut hukum kewarisan Islam dalam hal penyelarasan dengan hukum kewarisan yang didasarkan pada hubungan kekerabatan. Terkadang hukum warisan Islam tidak sejalan dengan hukum warisan adat. Masyarakat Minangkabau memiliki hukum adat yang berbeda dengan hukum waris dalam Islam. Hukum waris adat masyarakat Minangkabau lebih kuat pengukuhannya pada pihak perempuan daripada pihak laki-laki. Persoalan hukum waris Islam di Indonesia banyak ditemukan di seluruh penjuru daerah di Indonesia. Dualisme hukum pembagian harta waris antara hukum adat dan hukum waris Islam menjadi dilema tersendiri, tidak jarang persoalan ini banyak menguras tenaga para pemikir-pemikir Islam untuk mencari solusi yang tepat dalam menangani masalah tersebut. Persoalan pembagian harta warisan ini merupakan identittas sosial masyarakat yang terbilang sangat penting dan rumit. Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu etnik kelompok yang menyebar di seluruh kota besar di Indonesia. Kelompok ini merupakan salah satu bagian dari kemajemukan Indonesia. Asal usul Nenek moyang mereka berasal dari Cina yang kemudian menetap dan tinggal di Indonesia. Status kependudukan merekapun beralih menjadi warga Negara Indonesia (WNI). Para imigran Tionghoa ini memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda dengan kelompok etnis masyarakat lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa memiliki budaya sendiri yang dibawa oleh nenek moyang mereka. Kepandaian dalam bidang perdagangan suku-bangsa Hokkien masih tampak jelas dewasa ini. Orang-orang Hokkien dan keturunannya banyak berasimilasi, paling banyak di daerah Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pantai Barat Sumatera.2 Sebelum pertengahan pertama abad ke-I5, di Jawa sudah bermukim muslim keturunan Tionghoa. Perjalanan Cheng Ho mendorong laju perkembangan dan penyebaran Islam masuk di tanah Jawa. Masyarakat muslim Tionghoa mendapat perrhatian khusus dari kaisar dinasti 2
Koentjan\ngrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet. Ke-5 (Sabdodai: Djambatan. ^80), hlm.
346.
2
Ming. Ia juga telah mengutus laksamana Heng Ho untuk berlayar ke-Asia-Afrika. Cheng Ho menjadi simbol penyebarluasan ajaran Islam sekaligus Muslim Tionghoa di Indonesia.3 Sebagian ulama yang dikenal dengan nama Wali Songo juga ada yang berasal dari keturunan Tionghoa, seperti Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Ciang), Sunan Ampel (Bong Swi Hoo), dan Sunan Gunung Jati (Toh A Bo).4 Terlepas dari semua itu, masyarakat Tionghoa Indonesia adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh. Satu dari sekian banyak ragam etnis cina menjadi corak identitas sosial Nusantara. Penulis memandang bahwa sistem
harta warisan muslim
Tionghoa dipandang penting untuk diteliti. Sistem kewarisan Islam dikaitkat dengan kondisi etnis Tionghoa yang memiliki sistem pembagian waris sendiri. Mereka juga telah membaur dengan suku-suku bangsa Indonesia seperti suku Jawa, suku Melayu, suku-suku yang tinggal di pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Saat ini telah banyak masyarakat Tionghoa yang beralih menjadi warga negara Indonesia, sangatlah penting dirasa untuk digali dan ditimbangkan terutama dalam sistem kewarisan muslim Tionghoa yang masih terbilang unik. Agama yang menjadi identitas sosial masyarakat jelas mempengaruhi interaksi sosial termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Hal ini juga ditemukan dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sekian lama etnis Tionghoa menetap di beberapa daerah di Indonesia dan tidak sedikit pula yang kemudian memeluk agama Islam. Namun sebagian masyarakat masih memandangnya sebelah mata. Oleh karena itu, pembahasan ini dianggap sebagai salah satu jembatan pemahaman antarumat muslim. Penelitian ini juga menegaskan bentuk dan pola pembagian harta waris dalam lingkup masyarakat muslim Tionghoa di Indonesia. Kemudian untuk menemukan titik kesesuaian ataupun sebaliknya antara sistem kewarisan muslim Tionghoa dengan Sistem kewarisan Islam.
B. HUKUM WARIS Di Indonesia, dalam literatur hukum digunakan beberapa nama yang semuanya diadopsi dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka, dan hukum warisan. Orientasi kata waris mengacu pada definisi subjek hukum, yakni orang yang berhak menerima harta warisan. Sedangkan kata warisan menitik beratkan pada harta warisan yang menjadi objek hukum. Nama lain dari objek hukum ini dibahasakan juga sebagai harta pusaka.
3
Kong Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, ikarta: Pustaka Populer Obor, 2005), hlm. 56-57. 4 H. J. De Graff dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historisitas dan Mitos, ogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 10.
3
Kata kewarisan digunakan dalam istilah hukum yang dianggap baku. Kata 'waris' didahului oleh prefiks 'ke' dan akhiran 'an'. Dalam konteks ini waris dapat berarti pewaris sebagai subjek dengan maksud "hal ihwal orang yang menerima harta warisan" dan bisa juga berarti sebagai proses "hal ihwal yang berarti peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup". Oleh karena itu, hukum kewarisan Islam dapat diartikan sebagai seperangkat hukum tertulis yang berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah Rasul tentang peralihan harta yang berwujud material "kebendaan" dari orang yang telah meniggal dunia kepada yang masih hidup atau diakui, diyakini, masih memiliki hubungan kekeluargaan. Turunnya Surat An-Nisa' ayat: 7 yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan harta warisan. Dalam konteks zaman, ketentuan hukum waris ini adalah sebuah hal yang ganjil dikalangan masyarakat. Dimana saat itu di jazirah Arab yang menjadi ahli waris adalah laki-laki dengan kriteria yang sanggup berperang dan cakap dalam mendapatkan harta rampasan dalam suatu peperangan. Bagi kalangan perempuan tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan harta warisan. Sahabat Rasulullah yang bernama Aws bin Shaamit al-Anshaary meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kahlah dan tiga orang anak perempuan. Merujuk pada adat dan kebiasaan zaman Jahiliyah dua orang saudara (Suwaidun dan 'Arfathah) putera Hantaman Aws mengambil seluruh kekayaan yang ditinggalkan. Ummu Kahlah mengadukan persoalan ini pada nabi Muhammad yang ditemuinya di masjid Al- Jirbadhih. Ummu Kahlah menyatakan bahwa dia tidak mampu membiayai ketiga anaknya karena seluruh harta yang ditinggalkan oleh suaminya diambil alih oleh dua orang saudara laki-laki suaminya dan tidak menyisakan apapun untuk Ummu Kahlah dan ketiga puterinya. Seketika Rasul memanggil kedua saudara laki-laki Aws, turunlah Surat An-Nisa' ayat 7 untuk menjawab persoalan tersebut. Kemudian, yang dimaksud dengan ijma' sebagai salah satu landasan hukum warisan adalah kaum muslim menerima ketentuan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah yang harus dilakukan sebagai bagian dari upaya newujudkan keadilan dalam masyarakat. Ijtihad, yaitu buah pikir sahabat tau ulama yang cukup memiliki kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab berbagai macam bentuk persoalan tentang kewarisan Islam dalam masyarakat. Namun titik pemahamannya bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, melainkan lebih kepada ijtihad dalam penerapan hukumnya.5
5
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 20-22.
4
At-tirkah atau harta pusaka adalah segala sesuatu yang ditinggalkan seorang yang meninggal dunia baik berupa harta atau hak.6 Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum berbicara tentang hak-hak terkait harta warisan diantaranya adalah apa yang dimiliki oleh pewaris semasa ia hidup dan ditinggalkan untuk ahli waris sebatas harta benda atau meninggalkan harta berupa barang yang bergerak atau semua hal yang menjadi milik si-mati. Biaya pengurusan jenazah sampai selesai harus didahulukan sebelum harta warisan dibagikan. Hutang piutang oarang yang mati kepada orang yang masih hidup wajib hukumnya diselesaikan oleh pihak keluarga yang masih hidup. Peralihan harta dari orang yang meninggal tanpa adanya suatu usaha dari yang meninggal waris. Dari segi peralihan harta, dimana proses peralihan itu bukan ketentuan siapapun kecuali kehendak Allah melalui ketentuannya dalam al-Qur'an. Segi jumlah harta yang beralih yaitu bagian ahli waris terikat pada apa yang telah ditentukan oleh Allah. Jadi ahli waris tidak memiliki hak untuk mengubah atau mengurangi ketentuan tersebut. Penerima peralihan harta yakni ahli waris berhak atas harta warisan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Sehingga tidak ada satu kehendak manusiapun yang dapat mengubah tatanan ahli waris dengan memasukkan orang luar atau mengeluarkan yang berhak sebagai penerima warisan. Berbicara tentang asas bilateral adalah berbicara tentang peralihan harta dikalangan ahli waris. Dimana ahli waris menerima harta warisan dari dua jalur garis kerabat, yaitu jalur atau garis kerabat pihak laki-laki dan perempuan. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam adalah harta warisan dapat dibagi dan dimiliki oleh perseorangan dimana setiap ahli waris menerima bagiannya masing-masing tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Keadialan dalam konteks hukum waris yang dimaksud adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dalam hal ini, perbedaan gender tidak mempengaruhi hak dalam hukum kewarisan Islam. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama kuat dalam mendapatkan harta warisan. Ketentuan porsi yang berbeda dalam hukum kewarisan antara laki-laki dan perempuan tidak mengingkari asas keadilan berimbang karena dalam hal kegunaan dan kebutuhan, laki-laki dalam ajaran Islam memikul beban ganda yaitu dirinya sendiri beserta keluarganya termasuk para wanita. Asas akibat kematian merupakan ketetapan dalam hukum kewarisan bahwa peralihan harta yang menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku ketika pewaris meninggal dunia. 6
Muhammad Ali Ash-shabuniy, Hukum Waris Islam. alih bahasa Sarmin Syukur, cet. Ke-I Surabaya: AlIkhlas, 1995), hlm. 49.
5
Segala bentuk peralihan harta benda selama pewaris masih hidup dan atau pelaksaannya setelah pewaris meninggal dunia tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan hukum kewarisan Islam. Lebih tepatnya Islam hanya mengenal istilah hukum kewarisan jika harta warisan beralih pada ahli waris setelah ia meninggal.7 Hukun pembagian harta warisan ada tiga: seorang yang meninggal dunia dengan bukti ada mayatnya, secara yuridis sesuai dengan ketentuan hakim yang menyatakan bahwa seorang telah meninggal dunia. Orang yang tidak jelas diketahui keberadaannya setelah sekian lama dan telah melalui serangkaian proses pencarian, atau berdasarkan perkiraan yang akan diwarisi hartanya oleh ahli waris. Misal seorang yang berangkat kemedan perang dan tidak kembali dalam waktu yang lama tanpa kejelasan keberadaannya. Ahli waris yaitu orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris baik itu secara hubungan darah, hubungan perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya. Adanya harta peninggalan orang yang telah meninggal setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Sistem kekerabatan patrilineal adalah sisitem kekerabatan yang hubungan keluarganya didasarkan pada hubungan kepada ayah (laki-laki). Sistem kekerabatan ini menimbulkan kesatuan-kesatuan keluarga besar, seperti klan, marga, dan suku. Bentuk perkawinannya adalah exogami, oleh karena itu, pernikahan hanya diperbolehkan dengan orang diluar marga/suku/klan. Jadi, perkawinan dalam satu suku (indogami) dilarang. Perkawinan indogami dapat pula didefinisikan sebagai perkawinan antara dua orang yang mempunyai garis keturunan yang sama. Contohnya, dua orang yang mempunyai ibu yang berasal dari keturunan yang sama (nenek). Selanjutnya, sistem kekerabatan ini berdasarkan hubungan keluarga pada garis keturunan ayah (laki-laki) dan garis keturunan ibu (perempuan) seperti Bugis, Sunda, dan Jawa. Sistem kekerabatan ini mungkin menimbulkan kesatuan- kesatuan keluarga besar. Sedangkan bentuk perkawinan mungkin terjadi Indogami, yakni perkawinan antar suku/klan/marga. Otomatis, boleh juga melkukan perkawinan exogami. Ada tiga macam bentuk sistem kewarisan yang dapat ditemukan di Indonesia. Pertama, sistem kewarisan individual. Sistem kewarisan individual adalah sistem kewarisan yang mengatur ahli waris untuk mendapatkan bagian dari harta waris dan menjadi hak miliknya secara penuh. Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepemilikannya kepada ahli waris. Baik laki-laki maupun perempan sama- sama mempunyai hak waris seperti bilateral Jawa atau patrilineal Batak. Selanjutnya, sistem kewarisan kolektif, dalam sistem kewarisan 7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 16-33.
6
kolektif ini harta warisan tidak dapat menjadi hak milik pribadi, tetapi menjadi hak milik bersama ahli waris. Harta peninggalan diwarisi oleh sejumlah ahli waris yang merupakan semacam badan hukum, disebut harta pusaka. Harta tersebut tidak boleh dibagi-bagikan kepemilikannya oleh ahli waris. Harta tersebut hanya boleh dibagi-bagikan secar pemakaiannya saja, seperti matrilineal Minangkabau. Sistem Kewarisan Mayorat Sistem kewarisan mayorat adalah sistem kewarisan di mana anak tertua berhak tunggal mewarisi seluruh harta peninggalan atau berhak tunggal mewarisi harta pokok. 8 Halangan menerima waris adalah hal yang menyebabkan gugurnya hak seorang ahli waris. Sesuai dengan kesepakatan para ulama, ada emapt perkara yang ^nyebabkan terhalangnya ahli waris dalam menerima harta warisan. a.
Pembunuhan Seorang ahli waris yang membunuh pewaris tidak memiliki hak sebagai ahli waris atas harta waris yang ditinggalkan oleh pewaris. Demikian kesepakatan mayoritas ulama kecuali Golongan Khawarij yang memisahkan diri dari Ali dan Muawiyah menentang kesepakatan ini dengan alasan al- Qur'an tidak mengecualikan seorang pembunuh.
b.
Berbeda Agama Apa bila seorang pewaris dan ahli waris berbeda agama semisal pewaris beragama Kristen dan ahli waris beragama Islam, maka ahli waris terhalang mendapatkan harta warisan. Dengan ketentuan perbedaan agama yang dijadikan tolak ukur terhalangnya ahli waris mendapatkan harta waris ketika pewaris meninggal. Dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim Perbudakan Seorang budak terhalang menjadi ahli waris karena status budak dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Jadi bukan karena status kemanusiaannya akan tetapi status formalnya. Islam memang sangat tidak menyepakati adanya perbudakan dan menganjurkan memerdekakan budak. Budak dianggap tidak cakap hukum karena hak kebendaannya berada ditangan tuannya dan hubungan kekerabatan dengan saudara atau keluarganya terputus, d. Berlainan Negara
c.
Apabila pewaris dan ahli waris berlainan kewarganegaraan dengan ketentuan negara yang menjadi domisili salah satunya bukan negara muslim. Kalau perbedaan negara
8
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, him. 87-91.
7
antara pewaris dan ahli waris masih sama-sama negara muslim maka tidak ada halangan bagi ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewaris.9
Sebab-sebab seseorang bisa menerima warisan adalah: a) hubungan kekerabatan; Sebelum Islam membawa hukum kewarisan yang berkeadilan, pada zaman jahiliyah hanya seorang laki-laki dewasa yang berhak menerima harta warisan. Ketika Islam datang dengan konsepsi hukum kewarisan tersendiri, tidak hanya laki-laki yang mendapatkan harta warisan. Perempuan, anak-anak bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun mendapat harta warisan asal hubungan kekerabatannya membolehkan. Hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum pembagian harta waris. a.
Biaya Perawatan Jenazah. Perawatan jenazah yang dimaksud adalah perawatan jenzah dari ketika ia meninggal sampai menguburkannya. Dengan kriteria biaya unutk perawatan jenazah tidak boleh berlebihan dan tidak boleh pula dianggap kurang. Cukup dilaksanakan sepantasnya dan sewajarnya. Biaya perwatan si mati ketika ia masih hidup dalam keadaan sakit juga temasuk.
b.
Pelunasan Hutang Apabila seorang pewaris meninggalkan hutang dan belum dilunasi, maka sudah menjadi kewajiban unutuk ahli waris membayarkan hutang pewaris dari harta peninggalan sebelum harta tersebut dibagikan.
Wasiat adalah tindakan menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain dimana proses pelaksaan peralihannya setelah yang menyerahkan meninggal dunia. Hal ini wajib dilaksanakan sebelum terjadinya pembagian harta warisan.10 Secara garis besar ada dua macam ahli waris yaitu ahli waris nasabiyah dan ahli waris ashab al-furud,. Ahli waris karena ada hubungan darah dan ahli waris sababiyah timbul karena perrkawinan yang sah, memerdekakan hamba sahaya atau karena perjanjian tolong menolong. Sedangkan jika berdasarkan bagian-bagian yang diterima, maka dapat dirumuskan sebagai berikut ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan, seperti 1/2 , 1/3, atau 1/6. 9 10
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hlm. 22-33. IbicL, hlm. 34-47.
8
Ahli waris 'asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian bisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli waris zawil al-arham, yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi tidak berhak menerima warisan menurut al-Qur'an. Jika digolongkan berdasarkan kekerabatan yang dilihat dari jauh dekatnya, kerabat yang dekat lebih berhak menerima harta warisa dari pada yang jauh dan dapat dibedakan sebagai berikut: a. Ahli waris hijab, yaitu ahli waris dalam artian yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan pewaris yang bisa menghalangi ahli waris yang jauh, atau garis keturunannya yang menyebabkan menghalangi orang lain. b. Ahli waris mahjub yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang hubungan kekerabatannya lebih dekat terhadap pewaris. Ahli waris ini bisa mendapatkan bagian harta waris jika yang menghalanginya tidak ada. Total jumlah ahli waris yang secara hukum berhak menerima harta warisan itu ahli waris nasabiyah atau sababiyah ada 17 orang. Terdiri atas 10 orang laki- dan tujuh orang perempuan. Namun jika diperinci secara menyeluruh sejumlah 25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 Orang perempuan. c. Ahli Waris Nasabiyyah, ahli waris nasabiyyah adalah ahali waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Jumlah keseluruhan 21 orang. Terdiri atas 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, diantaranya: 1. Anak laki-laki. 2. Cucu laki-laki dari garis keturunan laki-laki dan seterusnya kebawah. 3. Bapak. 4. Kakek dari bapak. 5. Saudara laki-laki sekandung. 6. Saudara laki-laki seayah. 7. Saudara laki-laki seibu. 8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 10. Paman, saudara bapak sekandung. 11. Paman seayah. 12. Anak lak-laki paman sekandung. 13. Anak laki-laki paman seayah Sedangkan 8 orang ahli waris perempuan. 14. Anak perempuan. 15. Cucu perempuan dari garis keturunan laki-laki.
Usul al-waris, yaitu ahli ahli waris leluhur pewaris. Kedudukan kelompok ahli waris ini setelah anak keturunan si mati. Kelompok ini terdiri atas: 9
1) Bapak 2) Ibu 3) Kakek dari garis bapak 4) Nenek dari garis ibu 5) Nenek dari garis bapak
C. ANALISI SISTEM KEW ARISAN MUSLIM TIONGHOA Tionghoa merupakan sebutan oleh masyarakat pribumi untuk orang Cina yang tinggal di Indonesia. Keberadaan orang Cina di Indonesia sendiri telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Ada kebiasaan-kebiasaan dari orang Cina yang dibawa dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya bisa dikatakan berlaku untuk orang Cina sendiri, bahkan beberapa kebiasaan yang dianggap baik oleh orang non Cina yang dipakai dalam kehidupan seharihari. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa di negara kita Indonesia masih belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional yang tanpa membedakan golongan penduduk, sekalipun pada masa sekarang ini penggolongan penduduk sudah tidak ada lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, akan tetapi dalam beberapa hal, penggolongan penduduk masih tetap dipergunakan. Salah satun dalam pelaksanaan hukum waris, yang mana hukum waris berdasarkan BW berlaku bagi golongan Tionghoa, hukum waris berdasarkan hukum Islam berlaku bagi yang beragama Islam, dan hukum waris adat berlaku bagi masing-masing masyarakat adat di wilayah adatnya sendiri.
D. PEMBAHASAN Pelaksanaan hukum waris muslim Tionghoa tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat sendiri dalam pembagian harta warisan. Mengingat keberadaan orang cina di Indonesia telah ada dari sebelum Indonesia merdeka, Analisis pertama, penulis cenderung melihat hubungan timbal balik anatarhukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat yang menjadi kesadaran hukum masyarakat muslim keturunan Tionghoa dalam pelaksanaan hukum kewarisan. Oleh karena itu, implementasi pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim keturunan Tionghoa dijadikan tolak ukur hubungan timbal balik antara kedua hukum tersebut. Hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dalam pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim keturunan Tionghoa. Persesuaian itu terjadi 10
sebagai akibat diterimanya hukum kewarisan Islam oleh masyarakat muslim Tionghoa yang menjadi kesadaran hukum dalam pembagian harta warisannya karena menjadi kewajiban , agama Islam baginya. Sebaliknya, perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat mempunyai dua bentuk, yaitu disatu pihak terjadi sebagai akibat keluwesan hukum Islam kepada budaya. Hukum yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam berbeda dalam pelaksanaannya dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah dan daerah lainnya. Dipihak lain, ketidaktahuan masyarakat muslim keturunan Tionghoa mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agamanya, sehingga kesadaran hukum kewarisannya memperlihatkan adanya perbedaan. Analisis kedua, penulis cenderung melihat pengetahuan dan pemahaman masyarakat muslim keturunan Tionghoa mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agamanya. Namun demikian, dari hasil penelitian, diperoleh fakta bahwa pernyataan responden ada yang tidak menunjukan hubungan implementasi sikap dan pola prilaku hukum kewarisan yang dilakukannya. Oleh karena itu. Apabila diamati secara pengetahuan dan pemahaman responden mengenai pentingnya hukum ke warisan Islam sebagai bahan dari ajaran agamanya yang tidak terpisahkan dari dimensi iman dan akhlak, relatif cukup. Hal yang demikian menurut data yang ditemukan oleh penulis adalah wajar berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut: 1-
Responden tidak pernah mendapatkan secara nyata pendidikan mengenai sistem hukum kewarisan Islam, sehingga aturan apa saja yang ditemukan mengatur masalah kewarisan dalam lingkungan adat masyarakat muslim dianggapnya suatu aturan yang baku yang sesuai dengan hukum kewarisan Islam.
2-
Pembagian harta warisan jarang dialami oleh responden dan bila itu pun terjadi pada dirinya, umumnya setiap responden hanya mengalami dua kali seumur hidup yaitu ketika orangtuanya meninggal dunia. Lain halnya aturan yang mengurusi urusan shalat, puasa, dan zakat yang mewajibkan setiap responden melaksanakannya setiap saat bila tiba waktunya.
Sistem kewarisan Islam merupakan kewajiban agama Islam yang termasuk dalam lingkungan hukum perdata Islam, sehingga peranan aparat hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada sengketa kewarisan yang diangkat. Selain itu, perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat yang dapat ditemukan bila menggunakan analisis yang tidak dipengaruhi oleh politik hukum kolonialis Belanda (politik hukum yang selalu mencari Pertentangan dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum 11
kewarisan adat). Namun, jika dilihat di antara keduanya mempunyai titik pertemuan, yakni harta peninggalan pewaris tidak dimiliki secara mutlak oleh setiap ahli waris berdasarkan asas individual, melainkan dinikmati bersama oleh semua kerabat pewaris. Sikap responden yang memilih sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat sebagai sistem hukum yang sebaliknya Mengatur masalah kewarisan. Pilihan responden tersebut, tidak menunjukan sikap yang konsisten atau sikap yang sebenarnya karena fakta yang ditemukan tidak menjamin terbuktinya pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Sebaliknya, di lapangan ditemukan adanya pertentangan antara pilihan dengan sikap. Menurut alur pikir penulis, sikap responden tersebut hanya didasari pemikiran logis sebagai orang yang beragama, tetapi tidak mencerminkan pengetahuan dan pemahaman kukum kewarisan Islam. Mereka sebagai orang muslim seyogyanya tunduk kepada sistem hukum kewarisan Islam, jadi pengetahuan dan pemahaman dengan sikap terhadap hukum kewarisan Islam rendah dan salah. Penyimpangan dari pelaksanaan hukum kewarisan Islam yang dilakukan oleh masyarakat muslim Tionghoa, dapat berubah menjadi kesadaran hukum dalam melakukan pembagian harta warisannya. Jika diamati fakta dalam pelaksanaannya, tampak bahwa mayoritas responden memilih hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat. Namun demikian jika diperhatikan masing-masing responden, ditemukan dua bentuk fakta yaitu responden yang mengetahui dan memahami betul sistem hukum kewarisan Islam, maka yang dimaksudkan pilihan hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat adalah hukum kewarisan Islam yang diterima menjadi kesadaran adat. Kedua, jika responden mengetahui dan memahami hukum kewarisan melalui imitasi negatif, maka yang dimaksud pilihan hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat adalah hukum kewarisan adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum kewarisan Islam yang menjadi kesadaran hukum kewarisannya. Dengan demikian, dirasakannya sebagai hukum kewarisan adat dan dianggap hukum-hukum kewarisan Islam karena mereka mengimitasi dari orang muslim yang melakukan pembagian harta warisan. Analisis ketiga atau terakhir adalah pola perilaku responden mengenai hukum kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim Tionghoa yang mempunyai kasus kewarisan, maka perlu memperhatikan pelaksanaan hukum Pewarisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di luar kelompok Tionghoa terutama di dalam Pengadilan Agama. Perlu diperhatikan bahwa responden yang mempunyai masalah kewarisan tahun 1992 sampai tahun 2009 ditemukan 185 orang menyelesaikan kewarisannya (penetapan ahli waris, penentuan pembagian warisan setiap ahli waris) melalui musyawarah para ahli waris. 12
Apabila orang Tionghoa berpindah kepercayaan, dari non Islam ke agama Islam, maka dengan sendirinya melepaskan kebiasaan-kebiasaan atau ajaran-ajaran Tionghoa termasuk didalamnya ajaran kewarisan.11 Adapun dalam pembagian harta warisan masyarakat Tionghoa secara otomatis tunduk pada ajaran serta aturan yang berlaku dalam hukum Islam termasuk didalamnya mengenai pewarisan. Masyarakat Tionghoa sendiri dalam hal pewarisan, pembagiannya mengikuti ajaran kewarisan patrilinial. Sistem patrilinial pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan nenek moyangnya dari pihak lakilaki.
E. SIMPULAN Sistem hukum di Indonesia diberikan sesuai dengan masing-masing kemampuan bertanggungjawabnya.3 Kalau masyarakat muslim keturunan Tionghoa yang mendiami kota Surabaya membagi harta warisan melalui Pengadilan Negeri, berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil) membagi harta warisannya melalui musyawarah diantara mereka. Penyebab kegagalan tersebut disebabkan oleh kesalah pahaman mengenai harta yang diperoleh oleh seorang ahli waris ketika pewaris atau orang tua mereka masih hidup, dan ada juga yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya. Kalau diperhatikan masyarakat keturunan Tionghoa yang sudah beragama Islam atau dengan berpindah kepercayaan maupun agama dari non Islam ke kepercayaan dan agama Islam, maka dengan sendirinya melepaskan kebiasaan-kebiasaan atau ajaran-ajaran Tionghoa termasuk didalamnya ajaran kewarisan.4 Adapun dalam pembagian harta warisan masyarakat Tionghoa secara otomatis tunduk pada ajaran serta aturan yang berlaku dalam hukum Islam termasuk didalamnya mengenai pewarisan. Masyarakat Tionghoa sendiri dalam hal pewarisan, pembagiannya mengikuti ajaran kewarisan patrilinial. Sistem patrilinial pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia
Tionghoa Indonesia, Dewan Perwakilan Cabang Surabaya, Selasa 3 juni 2014 pukul 10.30 WIB
13
BIBLIOGRAFI
Departemen Agama RI. Al Qur 'an danTerjemah. Kudus: Menara. 2006 Dimasyqi, Syaikh al-'AUamah Muhammad bin 'Abdurrahman Ad-. Fiqih Empat Mazhab, alih bahasa Abdullah Zaki Alkaf, cet. Ke-I3. Bandung: Hasyimi. 2012 Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006 Shiddieqy, T.M. Hasbi. Ash-, Fiqhul Mawaris: Hukum2 Warisan Dalam Syari 'at Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973 Bisri [ed], Cik hasan. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. 1998 Hasan, Warkum Sumitro dan K.N. Sofyan. Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia.Surabaya: Karya Anda. 1994 Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur'an dan lladith, Jakarta: P.T. Tintamas Indonesia. 1964 Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006 Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. ACAdcMIA & TAZZAFA, 2007 Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993
Yogyakarta:
Salman, R.Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Bandung: alumni. 1993 Shabuniy, Muhammad Ali Ash-. Hukum Waris Islam.alih bahasa Sarmin Syukur, cet. Ke-I Surabaya: Al-Ikhlas, 1995 Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: kencana, 2004 Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2004 Andrisma, Willy Yuberto.Pembagian Harta Waris Dalam Adat Tionghoa Di Kecamatan Ilir Timur I Kota Palembang Sumatera Selatan, Tesis Program Pasca Sarjana universitas Diponegoro Semarang.2007 Firdaus, Tamsil. Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Pada Masyarakat Tionghoa Di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Propinsi Bangka Belitung, Tesis Program Pasca Sarjana universitas Diponegoro Semarang. 2004 Graff dkk, H. J. De, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historisitas dan Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004 Haryanto, Ahmad Sidik Tri. Kehidupan sosial politik Muslim-Tionghoa di Yogyakarta. Pasca Reformasi 1998. Skripsi Fakultas Adab U1N Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2011 Immanuel Sinaga, Iman. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Sehubungan Dengan Surat Waris Yang Dibuat Oleh Notaris. Tesis Program Pasca Sarjana universitas Diponegoro Semarang. 2005 Joesiaga, Febbe. Pelaksanaan Pembagian Warisan Secara Adat Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Srakarta. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. 2008 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. cet. Ke-5 Sabdodai: Djambatan, 1980 Kompilasi Hukum Islam. Inpres NO.l TH 1991
14
15