Sinaku Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Penulis Ditdit N. Utama
Penerbit MSc Publisher, Depok, Indonesia
Tahun 2011
i
Sinaku
Penulis: Ditdit N. Utama Editor: Dicki Bagus Chandra Design: MSc Arts & Design ©2011, MSc Publisher, Depok, Indonesia Hak Cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh MSc Publisher, Depok, Indonesia
ISBN 978-602-99449-0-7 Cetakan Pertama: Juni 2011
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
ii
KATA PENGANTAR PENERBIT
… Alhamdulillahirobbil ‘alamin… Kami panjatkan puji syukur ke khadirat ALLAH SWT, karena dengan kuasaNYA, buku ini bisa kami terbitkan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, para keluarga, para sahabat serta pengikutnya (kita semua) sampai akhir jaman nanti. Saudara Ditdit N. Utama, yang notabene adalah seorang Dosen di bidang ilmu eksak, mampu menggali pemahaman dari level yang dalam, dan mampu menuangkan kembali ke level yang sangat sederhana, dari makna hidup dan berkehidupan seorang manusia, yang seharusnya, nuansa sosial adalah nuansa yang kental dengan pengilhaman dibandingkan logika. Penulis mampu menuangkan ide-ide dan nasihat-nasihat sederhana di dalam tatanan kalimat-kalimat yang sangat menggugah. Membacanya, menjadi sebuah aktivitas yang sangat mengasyikan. Mencernanya, menjadi sebuah proses yang sangat menyenangkan. Mengikuti alur ceritanya sampai akhir, menjadikan pemahaman para pembaca utuh, karena bab-bab di akhir cerita merupakan bab-bab penyempurna pesan yang akan disampaikan. Kami berharap, ini adalah salah satu karya buku yang dapat kami sumbangkan kepada mereka pencari ilmu, menuju masyarakat yang lebih baik karena ilmu. Terima kasih atas semua dukungannya.
Wassalam
Penerbit
iii
KATA PENGANTAR PENULIS
… Alhamdulillahirrobil ‘alamin… Puji syukur ke khadirat ILLAHI RABBI, bahwasanya, karena ridho, barokah, hidayah dan inayah-NYA lah, buku sederhana ini dapat dipublikasikan dan sampai di tangan saudaraku ini. Shalawat serta salam, semoga terus menerus membahana dan tersampaikan kepada junjungan Kita, junjungan dunia dan akhirat, Nabi Besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan INSYA ALLAH termasuk kita para penerus ajarannya hingga hari akhir nanti. Terjengahkan oleh sebuah kondisi kehidupan yang runyam dan tak beraturan, ribet tak tertata, angkuh tanpa tujuan, buku ini hadir. Memberikan sebuah pemahaman sederhana akan arti fungsi diri, bagi para penerus bangsa Indonesia, bangsa yang terkadang dirundung malang tak berhenti, digelayuti awan hitam yang tak pernah pudar warnanya. Inspiratif, menggugah, renyah, dan berhasil mengoyak imajinasi, menjadi acuan tataan cerita yang ingin disampaikan. Menularkan pemahaman sederhana, menjadi tujuan akhir dari penulisan buku ini. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga ALLAH memberikan keridhoan dan rahmat tiada henti bagi semua yang terlibat di dalam pembuatan buku ini, termasuk para penggila novel di seluruh dunia. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas semuanya. Semoga, buku sederhana ini pun menjadi pengkaya khasanah buku bermutu di Indonesia.
Wassalam
Penulis
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PENERBIT ………………………..…………..
iii
KATA PENGANTAR PENULIS ………………………...……………
v
DAFTAR ISI …………………………………………...……..………..
vii
KENAIKAN KELAS [١] …………………………….…………...……
1
BEASISWA DIALIHKAN [٢] ……………………..………….………
15
KE KUNINGAN [٣]……………………………….………...…………
29
MALAIKATKU... [٤]……………………………..……………………
57
SEKOLAH LAGI [٥] …………………………..………………………
71
SULTAN… [٦] ………………………………………………………...
75
FENOMENA GANJIL [٧] …………………………………...…...……
85
PERANG 2 KERAJAAN [٨] …………………………………..………
93
SULTAN SAKIT [٩] ……………………………….………….………
119
TABRAK LARI [١٠] …………………………………………………..
125
SULTAN (Lagi...) [١١] ………………………………………………...
139
KANGEN… [١٢] ………………………………………………………
145
KE RUMAH SULTAN [١٣] …………………………………………...
149
JUARA LAGI [١٤] …………………………………………………….
165
DI MADRASAH [١٥] ………………………………………………….
171
BELAJAR SHALAT [١٦] ……………………………………………..
191
IQRA [١٧] ……………………………………………………………...
205
BERJILBABLAH [١٨] ………………………………………………...
217
SINAKU… [١٩] ………………………………………………………..
225
v
DIARY HIJAU... [٢٠] …………………………………………………
237
KE NEWCASTLE, UK [٢١] …………………………………………
245
TENTANG PENULIS …………………………………………………
249
vi
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
KENAIKAN KELAS[١]
Aku adalah anak
tunggal dari seorang konglomerat. Papihku bernama Pak Raja Agung Santiago (tentunya tahu dong….?), ganteng, keren dan berwibawa, orang bilang sih kayak Ikang Fauzi, namun agak sedikit buncit; sedangkan Mamihku adalah Ibu Tamani Anggraeni (gak mungkin orang Indonesia gak tahu Mamihku), cantik, energik dan supel, lebih mirip Lidyia Kandau kalau sedang tersenyum, tapi sayang, tahi lalat mamihku bukannya di pipi, untuk pemanis, namun malah di tengah-tengah jidat, agak miring ke kiri sedikit, tapi tetap manis sih...
Aku senang bukan kepalang, senyumku sumringah, seperti Dede Chacha, Anaknya Bu Mira yang baru berumur 3 tahun dibelikan boneka India yang bisa nyengir, wajahku pun berseri-seri, seperti Bi Inah kalau abis menerima gaji dari Mamihku di awal bulan. Karena apa coba?, karena semester kedua, alias kenaikan kelas dua ini, aku mendapatkan rangking pertama lagi di kelas 1C. Sekarang tinggal pengumuman juara umum yang akan diumumkan 1
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pak kepala sekolah SMA Favorit Jakarta, Pak Agus Baskoro M.Pd. M.Pd merupakan gelar S2, singkatan dari Master Pendidikan. Pada semester pertama yang lalu, tidak ada pemilihan juara umum, tetapi secara non formal akulah juaranya. Karena secara non formal pula, aku berhasil mendapatkan informasi nilai-nilai total dari setiap rangking kelas dari teman-temanku. Raporku kali ini berjumlah 106, dari 12 mata pelajaran, hanya dua mata pelajaran yang tidak mendapat nilai 9, yaitu agama dan olah raga. “Ah… gak penting banget sih”, gumamku. Dag dig dug tentunya, aku hanya ingin membuktikan pada dunia, bahwa aku memiliki otak terbaik di sekolah ini, otak yang brilian. Aku sudah bekerja dan berusaha keras sepanjang semester ini, tentu seharusnya akulah juaranya. Aku mulai berkumpul bersama teman-temanku yang lain di lapangan upacara halaman sekolahku, yang mulai panas karena sang surya dengan gagahnya mulai menampakkan cahaya terangnya, setelah dia berhasil menghalau jauh-jauh embun pagi yang memang malas untuk keluar, karena Jakarta ini penuh dengan asap dan polusi yang mengkeruhkan warna embun menjadi seperti air kali Cisadane, butek. Aku dan teman-temanku diatur berjejer per dua kolom sesuai dengan kelasnya masing-masing. Lapangan upacara mulai penuh sesak, seperti lantai putih dikerubungi semut hitam, karena ada gula putih yang jatuh oleh sebab si Bi Inah tidak telaten. “Selamat ya Tya…”, aku mendapat ucapan selamat dari teman sekelasku, yang juga sahabatku, Intan. Dia terlambat datang ke sekolah hari ini, jadi baru mengucapkan selamat kepadaku, setelah seluruh teman sekelasku mengucapkannya tadi di ruangan kelas. “Sip… Makasih ya Tan”, jawabku sambil cipika-cipiki (tahu gak cipika-cipiki? Cium pipi kanan, cium pipi kiri…).
2
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Lo telat, napa?”, tanyaku pada Intan. “Mobil bokap gue mogok Tya”, jawab Intan sedikit cemberut, “jadi telat deh…”. “Hehehe… Ya udah kita dengerin tuh Pak Agus lagi ngoceh”, ajakku sambil menunjuk Pak Agus di podium lapangan upacara yang sedang memberikan wejangan kepada muridmuridnya. Beliau akan mengumumkan pemenang juara umum kelas satu, dua dan tiga tahun ini, di SMA Favorit ini. Sesuai namanya, SMA Favorit merupakan SMA terfavorit seIndonesia ini. Aku berpikir, kalau aku juara umum SMA ini, berarti aku siswa terbaik seIndonesia… “Aku pasti juara”, gumamku dalam hati. “Juara umum ketiga, kelas satu, jatuh kepada… Faisal Andikaaaaa”, suara Pak Agus menggema ke seantero pelosok sekolah. Hiruk pikuk, tepuk tangan siswa-siswi yang hadir di lapangan upacara riuh rendah. Menggemparkan suasana hangat, yang cenderung panas karena lapisan ozon di trofosfer mulai menganga dan berlobang, halaman sekolah ini. “Dika… Dika…”, terikan teman-teman kelas 1G bersahutan. Juara kelas 1G ini bisa merebut juara umum ketiga kelas satu tahun ini. Andika maju ke depan, untuk mendapatkan hadiah serta piala. Tidak seberapa sih, namun ini merupakan penyemangat dan bukti bahwa kecerdasan otak masih di hargai di negeri ini (negeri ini?...), ya… Minimal di sekolah ini. “Selanjutnya, juara umum kedua kelas satu jatuh kepada….”, Pak Agus menahan sejenak suaranya, sehingga membuat lapangan yang tadinya riuh rendah, sejenak sunyi senyap,
3
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
sesunyi area pekuburan di dekat kompleks rumahku di setiap malam jum’at keliwon, namun tetap hangat cenderung panas, walau pun topi Osisku, yang berwarna abu, yang selalu aku pakai setiap upacara di hari senin, dan mulai pudar warnanya karena setiap hari selasa selalu diputar-putar oleh motor mesin cuci yang dijalankan oleh si Bi Inah, sudah aku pasang, tetap saja terasa menyengat. Lalu… “Deti Setiannniiiiii…”. “Horreeeee…..”, riuh rendah lapangan upacara, yang juga merangkap sebagai lapangan bola basket, bola voley, tempat upacara, tempat Pak Beni, guru Matematika yang terkenal killer itu, menjemur murid-muridnya sambil menghormat bendera karena mereka tidak mengerjakan PR Aljabar, tempat panjat pinang, balap karung goni berkutu, dan balap kelereng tujuh belas agustusan, ini pun bergemuruh kembali, bergemuruh lagi, memekikkan telingaku. “Hidup Deti…. Hidup Deti…”. Deti adalah anak kelas 1A, pinter memang, jadi wajarlah kalau dia mendapat juara umum kedua kelas satu tahun ini. Tetapi, yang jelas tidak sepintar akulah. “Dan akhirnya, juara umum untuk kelas satu, berhak mendapatkan piala tetap, beasiswa dari PT. Indona Perdana, Jatuh kepada…”, Pak Agus menahan suaranya lagi, sehingga membuat lapangan upacara halaman sekolah SMA Favorit ini hening kembali, sunyi sesenyap-senyapnya. “Jatuh kepada… Laura Shintiiiiaaaaa….”. “Hehe… Aku emang sudah menduga sebelumnya”, gumamku dalam hati, sambil berlari kecil ke podium, untuk menerima beberapa hadiah dari kepala sekolah, Pak Agus Baskoro. “Horeeee… Tya… Tya…”, teriakan teman-teman 1C-ku bergema, bersahutan, membahana.
4
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Terima kasih Pak…”, ucapku menerima ucapan selamat dan hadiah dari Pak Agus. Acara terus berlanjut, pembagian hadiah demi hadiah untuk semua murid-murid SMA Favorit diteruskan, tentunya untuk kelas dua dan kelas tiga. Aku sangat bangga dengan keadaan ini. Aku memang pintar. Juara umum sekolah SMA Favorit, berarti juara se Indonesia dong. Ini keadaan yang sering aku dapat. Namun ini pertama kali di sekolah baruku ini. Aku sering mendapatkannya. Aku pernah menjadi juara umum di SD dan SMPku setiap tahun. Aku pernah mendapat nilai NEM tertinggi ketika lulus SD dan SMPku, tertinggi seIndonesia lagi. Bukankah itu hebat? Ya… Aku memang bisa mendapatkan ini semua karena memang aku belajar luar biasa giat. Fasilitas yang diberikan Papih dan Mamih aku, aku manfaatkan semaksimal mungkin. Akses internet, TV cable, memanggil guru privat ke rumah dan lain sebagainya, adalah sebagian fasilitas yang dipersiapkan oleh orang tuaku yang setiap hari aku gunakan. Mustinya aku lebih unggul dong dengan yang lainnya. Dan itu musti. Aku adalah anak tunggal dari seorang konglomerat. Papihku bernama Pak Raja Agung Santiago (tentunya tahu dong….?), ganteng, keren dan berwibawa, orang bilang sih kayak Ikang Fauzi, namun agak sedikit buncit; sedangkan Mamihku adalah Ibu Tamani Anggraeni (gak mungkin orang Indonesia gak tahu Mamihku), cantik, energik dan supel, lebih mirip Lidyia Kandau kalau sedang tersenyum, tapi sayang, tahi lalat mamihku bukannya di pipi, untuk pemanis, namun malah di tengah-tengah jidat, agak miring ke kiri sedikit, tapi tetap manis sih... Lima tahun pertama di SD, aku habiskan di Amsterdam, Belanda. Jadi fasihlah tentunya bahasa Nederland-ku. Setelah lulus
5
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
SD, aku diajak Papihku ke Jerman, SMPku dua tahun aku habiskan di Berlin. Pas kelas tiga kembali ke Indonesia, dan itu berlanjut sampai sekarang. Cita-citaku adalah menjadi seorang Business Girl. Aku tertarik dengan bidang ini, karena Papih dan Mamihku memang bermain di bidang ini. Papih dan Mamihku sangat jago dalam urusan negosiasi, presentasi dan jualan. Apa pun yang Papih dan Mamihku jual, pasti laku keras, laris manis. Terakhir mereka terlibat dalam bisnis property bersama perusahaan Angke Sadulur Group, sebuah perusahaan property terkenal itu. Tidak lebih dalam tempo 1 bulan, hampir semua rumah di seluruh klaster perumahan Vila Kencana Jaya, habis terjual, hanya di Blok G1 Kencana Bakti No. 7 dengan posisi di huk, rumah paling depan dekat pintu gerbang akses masuk, yang tidak berhasil terjual, karena Papih dan Mamihku telah membelinya. Aku bercita-cita, ingin melanjutkan kuliah di negeri Ratu Elizabeth, Inggris, Newcastle University. Kata orang-orang, di sana sekolah bisnisnya bagus. Aku akan ke sana. Tentunya aku harus bekerja keras untuk itu. Aku pasti bisa. Aku pasti bisa. Walaupun aku bercita-cita menjadi Business Girl, namun aku musti masuk peminatan IPA nih. Aku harus masuk, karena peminatan ini yang dianggap sebagai peminatan ter-favorit yang ditawarkan oleh SMAku, peminatan yang bergengsi menurutku. Aku musti masuk peminatan IPA ini, hanya untuk prestise saja. Aku musti menunjukkan ke semua orang, bahwa aku pinter, aku orang hebat. Dan biar semua orang memandangku dan menghargaiku. Bayangkan, jika di dunia ini kita tidak dihargai dan dipandang orang. Cape deh…. Minggu depan ada psycho test di sekolah. Katanya untuk penjurusan atau peminatan. Hanya melihat dari kesiapan secara psikis dan minat serta bakat apa yang dimiliki murid-murid. Hanya
6
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
sebagai tes tembahan saja sih, karena secara formal, penentuan peminatan ini telah ditentukan oleh nilai yang ada di rapor pada semester kedua ini. Dan bahkan, di rapor sudah ditentukan siapa masuk ke mana. Aku sudah ditentukan masuk peminatan IPA oleh Bu Mira (wali kelasku). Intan, temenku paling dekat, sahabatku, juga masuk IPA, mudah-mudahan juga aku sekelas dia lagi. Aku deket sama Intan. Dia temen sekelas, dan sebangkuku. Sudah setahun ini kita bersahabat. Dia tidak terlalu pinter, biasabiasa aja sih. Tubuhnya agak tambun, namun sekarang sudah mulai berkurang tambunnya. Beberapa lempengan lemak pengganjal perutnya sudah mulai menghilang. Katanya karena diet, setelah konsultasi dengan dokter kesehatan. Karena memang berbahaya sih, kalau kita diet tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Aku merasa kita memiliki rasa yang sama, satu selera. Yang jelas, dia pun anaknya teman Papihku, Jadi gak susahlah menyamakan selera antara kita. Sama-sama orang borju… Itulah kami… Oh iya… Satu lagi yang aku banggakan. Aku tuh gadis yang cantik. Mataku lentik, rambutku hitam, lurus sebahu. Beberapa teman cowokku banyak yang mengejar-ngejar aku (gak cape emang kejar-kejaran… Hehehe…), tentu karena kecantikan, kepintaran dan kekayaanku. Armin Ceking, Daus Kemplung, Agus Bogel, bahkan si Robert Kucluk, cowok terkeren di SMAku (kata teman-teman sekolahku sih…), terus-menerus mengajak aku kencan. Tapi sorry ya… Gak level, kaya sih, keren sih, tapi agak lemot. Hehehe…. Tentu dia bukan levelku. Suatu saat, dia, Robert Kucluk, telepon aku. Dan mengajakku untuk ketemuan di sebuah restoran, yang aku tahu, itu restoran termahal di Jakarta ini. Katanya ada yang mau dia bicarakan dengan aku. Tapi aku tolak, dengan alasan mau belajar. Dan seminggu berikutnya, pas malam minggu, dia telepon aku lagi.
7
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Boleh main ke rumah ya?”, pintanya. “Okelah…” jawabku. Aku hanya ingin menghadapinya, menunggu pernyataannya dan tentunya akan aku tolak. Biar cepet juga sih urusan. Karena males menghadapi hal seperti itu. Setelah Maghrib, sekitar pukul tujuh kurang lima belas menit. “Non… ada temannya”, Bi Inah memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku. Kebetulan aku sedang main internet. Lagi akses facebook, asyik nih. Berkelana, mencari teman ke segala pelosok dunia. Dari dunia maya inilah, aku dapat berkenalan dengan berbagai jenis orang, dari berbagai daerah, bahkan teman-teman seluruh dunia. Bahkan aku masih bisa tetap keep in touch dengan teman-temanku di Amsterdam dan Berlin, karena facebook ini. “Iyah Bi… Siapa?”, tanya aku sedikit segan. “Robert Non…”, jawab Bi Inah. Hah… Ya ampun… Aku lupa, ada janji sama dia. Dia mau datang ke rumah ini, dan aku belum siap-siap. Tapi, ngapain aku harus pusing, mengapa ditanggapi berlebihan pula. “Iya Bi… Suruh masuk aja, tunggu bentar gitu…”, jawabku. Aku beranjak dengan agak males-malesan, aku buka pintu kamarku. Aku turuni tangga rumahku, yang memiliki 30 anak tangga. Kata Papihku, angka 30 menunjukkan tanggal perkawinan Papih dan Mamihku. Aku lihat dia, Robert Kucluk, kenapa disebut kucluk coba? Kata orang dia keren, tapi menurutku dia tetap kucluk (tetap gak ada artinya ya…? Hehehe…), sudah duduk di sofa ruang tamu rumahku. “Hai”, dia menyapaku. Sambil sok nyengir dikulum.
8
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Hai Robert. Apa kabar? Ama siapa nih?”, jawabku sambil membalas dengan pertanyaan basa-basiku. “Baik Tya, sendiri aja. Kamu lagi ngapain?”, tanya dia lagi. “Enggak lagi apa-apa, cuma main internet aja kok…”, jawabku mencoba untuk meladeni. “Nyobok lo ke mana?”, tanya dia lagi. Banyak nanya, maklum tamu… Hehehe…. “Lagi pada ke luar Rob, gak tau pada ke mana. Gue biasa sendiri Rob…”, jawabku. “Bi… Minum Bi…”, aku memanggil Bi Inah, untuk menyediakan minum untuk Robert. “Makan di luar yuk…?”, Robert membuka pembicaraan lagi. Males sebenarnya, tapi aku hanya ingin menyelesaikan semua secepatnya. Biar aku tahu apa yang akan dia katakan, pasti juga mengungkapkan isi hati atau perasaannya sama aku. Yang pastinya, akan aku tolak. Bukan karena aku memang ingin fokus sekolah dulu, bukan juga aku tidak ingin diganggu oleh urusan seperti itu, tapi satu hal, aku memang tidak menyukai dia, tidak mencintai dia. Mau diapakan dong? Yang jelas aku gak mau memaksakan sesuatu. Bahkan aku, sampai umur remaja sekarang ini, belum merasakan apa itu cinta, seperti apa perasaan cinta itu. “Hayu…”, jawabku. Singkat, jelas, supaya cepet aja sih…. Hehehe. “Diminum dulu Rob”, aku menyuruh dia meminum minuman yang dibawakan oleh Bi Inah. “Oke Tya, makasih”, jawabnya. “Gue ke kamar dulu ya, mau ganti baju dulu”, aku pergi ke kamarku untuk ganti baju.
9
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Yang jelas aku gak mau dandan lama-lama, aku ingin makan malam, setelah itu pulang secepatnya. Supaya aku bisa chating and browsing internet lagi nih. This is my hobby, don’t you know? Kita berdua akhirnya pergi menggunakan mobilnya Robert. Kucluk-kucluk juga, mobilnya, Lamborghini Murcielago cing... Aku tahu banget mobil keluaran tahun 2001 ini, mobil model supercar ke sepuluh dari produsen mobil Italia (Lamborghini). Bagian atap dan pintu Murcielago dibuat dari baja. Bagian lain dibuat dari serat karbon. Murcielago juga lebih mudah dikendarai dibandingkan mobil-mobil Lamborghini lainnya, karena memiliki sistem gerak empat roda atau four wheel drive (4WD), serta sistem penyelamat yang mampu memperlambat laju mobil apabila kehilangan kendali di jalanan. Kebanyakan pengemudi mobil ini juga memiliki tradisi unik dalam memundurkan Murcielago. Mereka mengangkat salah satu pintu mobil, kemudian duduk di tepi mobil. Kemudian mereka dapat melihat ke arah mana mereka akan mundur. Harganya sekitar 2,6 Milyar rupiah. Hehehe… Menurutku mobil Murcielago itu adalah mobil biasa, soalnya Papihku juga punya, tapi memang jarang digunakan. Papih sih enggak melarang Mang Diman mengantar aku ke sekolah pake mobil merah itu, tapi takut kena gores saja. Sayang… Sampailah kita di sebuah restoran megah di sekitaran Sudirman, Jakarta. Memesan makananlah kita. Menu pembukaku adalah salad, untuk makanan utamanya aku memesan Bratwurst, Erbsensuppe, dan Kasseler mit Sauerkraut, makanan favoritku di Berlin dulu, serta air mineral sebagai minumannya. Bratwurst merupakan makanan sosis yang dipanggang khas negara Mercedes Benz, Jerman. Erbsensuppe jelas sup, sup kacang polong tepatnya, sedangkan Kasseler mit Sauerkraut adalah sejenis daging yang
10
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
diasap, biasanya disajikan dengan sayur kol asam. Hmmm… Enak tenan. Sedangkan Robert memesan makanan Arroz Maluco, nasi goreng khas Brazil yang sudah dimodifikasi menjadi kelas Indonesia dan juga air mineral sebagai minumannya. Tak lama hidangan itu datang, makanlah aku dengan lahap, lapar nih… Hehehe… Selama menyantap makanan malam, kami berdua banyak membicarakan jenis makanan luar negeri, dan bertukar pengalaman segala macam tentang luar negeri. Setelah hidangan itu habis dimakan. Dia memulai pembicaraan. “Tya… ada yang mau gue bicarain ama lo”, buka dia. “Iya, apa Rob? Ngomong aja”, jawabku datar, rata-rata air. Aku udah tahu kok isi hati dia. “Hmm… apa ya…”, dia memulai lagi, namun terlihat grogi dan salting, salah tingkah. “Apa Rob? Ngomong aja, udah malam juga nih..”, desakku, masih datar, masih rata-rata air. “Anu Tya… Hmm…”, dia bersuara, tapi sambil mengosokgosokan kedua telapak tangannya, bertanda grogi abis. Atau memang karena menahan dinginnya udara ruangan restoran ini. Maklum, AC-nya tepat di atas kepalanya Robert, corong hembusan angin AC itu pun tidak bergerak, percis menuju embun-embunannya Robert, pastinya dia sangat kedinginan bukan kepalang. Bahkan, jeli rambutnya Robert pun nampak sudah mengering jengker, karena tiupan angin AC tersebut. “Iya Rob… Ini gue Tya… Mau bicara apa?”, sekali lagi aku mendesaknya, ingin selesai secepatnya. “Ini Tya… Boleh gak aku tanya sesuatu”, tanya dia lagi. “Ya tentu boleh Rob, mau tanya apa nih?”, aku sama sekali tidak penasaran.
11
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Lagian emang bertanya dilarang ya? Merokok saja, yang jelas-jelas merusak si perokok sendiri serta lingkungan sekitar, sudah dilarang saja dilabrak dan tidak diindahkan, apalagi ini, cuma bertanya. “Hmmm… By the way, lo udah punya cowok belum?”, lancar juga dia menyelesaikan kalimat tanyanya itu. “Hmmm…”, aku tersenyum, bukan tersipu atau kaget, tapi karena aku sudah tau apa yang akan dia tanya. “Belum Rob, aku gak mau pacaran dulu. Aku cuma mau konsentrasi belajar”, jawaban singkat, padat, namun sudah pasti berkesan menolak, sebelum dia menyatakan. Seperti seorang salesman yang ditolak si punya rumah, ketika dia menawarkan perfume mobil cap Gondola Sakti berwarna biru macho. “Oh… Gitu ya”, suaranya lemas dan datar, mendadak muka Robert keruh, sekeruh kali Ciliwung yang penuh sampah. Mendadak pula dia menundukkan pandangan, seperti tanaman putri malu yang tersentuh kaki kuda liar lalu kemudian terinjak badak betina yang mau melahirkan. “Iya Rob…”, aku melanjutkan. “Aku pengen kita tetap berteman saja”, menolak tanpa ditembak ya gini ini. Hebat ya aku. Padahal dia kan belum menembakku? Tapi mungkin ini cara terhalus yang bisa aku lakukan, minimal dia tidak sempet mengungkapkan dulu, jadi tidak terlalu sakit hati. “Iya Tya, makasih ya…”, dia masih tertunduk, mukanya lesu seperti kurang darah. Aku tetap energik, aku tidak mau menangis. Bahkan sedih pun tidak. Tidak ada kata menangis di dalam kamus hidupku. Aku Cuma pernah sekali menangis (seingatku), ketika aku kecil, kurang
12
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
lebih umur 4 tahun, ketika Papihku menggendongku, dan aku tersulut rokoknya Papihku. Aku menangis waktu itu, bukan karena sakit, tapi lebih karena kaget. Selama hidupku, aku selalu bisa mengatasi semua permasalahanku. Aku yakin itu. Apalagi permasalahan ini, sebuah permasalahan kecil menurutku. “Pulang Yuk, udah malam nih Rob”, aku mengajak Robert pulang. Dia tidak mengiyakan, tetapi dia mulai beranjak dari tempat duduk, dan aku tahu, responnya tersebut bertanda bahwa dia menerima ajakanku untuk pulang. Bahkan dia pun berjalan duluan menuju kasir. Di tempat parkir, “tuh kan bener, salah satu pintu mobilnya dibuka, emang gaya sih… Orang-orang sekitar pun pada memandanginya”, gumamku dalam hati mengomentari mobil Murcielago itu. Pulanglah kami berdua. Di mobil pun tak ada babibu lagi, tidak seperti waktu berangkat tadi. Robert yang tadinya bawel, nampak menjadi pendiem, seperti orang yang sedang sakit gigi, tak bersuara sedikit pun. Yang terdengar hanyalah suara Bon Jovi dengan lagu lamanya ‘Never say goodbye’ dari tape mobilnya. Dan akhirnya, berlalulah malam minggu itu tanpa ada pengalaman yang berarti buat hidupku. Sesampainya di rumah, aku pun langsung pergi ke kamar dan tidur, tanpa tahu, apakah Mamih dan Papihku sudah pulang atau belum.
13
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
14
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
BEASISWA DIALIHKAN [٢]
“Jelas
lebih rendah Pak, kan sekolah ini sendiri yang men-declair bahwa ini adalah sekolah favorit. Harusnya, sekolah ini berpegang dengan deklarasinya secara konsisten…”, aku menambahkan dengan berapi-api. Seperti Pak Kundang Parkele, tetanggaku di Kompleks rumahku, yang sedang berorasi di atas podium lapangan becek sepak bola Pondok Indah, dalam rangka kampanye pemilihan calon lurah Pondok Indah Utara minggu kemarin.
Akhirnya, hari psikotes (phycotest) untuk penentuan peminatan, dilihat dari bakat dan minat murid di sekolahku, itu pun datang juga. Yang aku tahu, persiapan psikotes terbaik adalah istirahat dan tidur yang cukup. Ditambah, aku sudah melahap atau belajar berbagai jenis model soal dari psikotes tersebut, baik dari buku maupun dari internet. Dari mulai jenis soal tentang mengingat, menghitung bahkan sampai dengan jenis soal menggambar. Hari ini aku merasa ‘fresh from the oven’ banget. Aku sangat siap 15
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
menghadapi psikotes hari ini. Aku harus yakin, aku harus bisa. Dan pastinya aku bisa dan sukses seperti biasanya. Di saat orang sedang sibuk mempersiapkan pulpen, pensil, penghapus, dan lain sebagainya, aku telah duduk rapi di bangkuku. Seperti biasa, aku berada sederet dan berdekatan dengan Intan, sahabatku. “Siap Tan?”, tanyaku. “Ya… Harus Tya”, jawab dia. Pengawas ujian itu datang, bukan dari sekolah kami, tetapi dari sebuah institusi penyedia jasa tes seperti ini. Yang aku tahu, biasanya yang mengadakan tes seperti ini adalah sebuah perusahaan Human Resource Management, yang diminta oleh sebuah perusahaan lain untuk melakukan psikotes bagi para calon karyawan baru, di mana jenis tesnya disesuaikan dengan jabatan yang dibutuhkan. Tes pun belangsung. Seluruh siswa dan siswi kelas satu yang baru naik ke kelas dua yang berjumlah 11 kelas itu pun ikut tes ini. karena ini merupakan tes wajib, walau pun hanya menunjang untuk penentuan penempatan siswa/i di dalam peminatan pada kelas dua saja. Selepas ke luar dari ruang tes, aku dipanggil oleh Bu Mira, untuk menghadap ke ruangannya. “Tan, bentar ya, gue dipanggil Bu Mira”, bilangku ke Intan. “Oke Tya, gue tunggu di kantin ya…”, jawab Intan. “Lo tunggu di mobil aja, sambil denger musik”, aku menyarankan. “Enggak ah… Masa nunggu di mobil ama Mang Diman?”, Intan menolak.
16
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Hahaha…”, aku tertawa sambil berlalu menuju ruangan guru, untuk menemui Ibu Mira. Di ruangan guru, ternyata sudah ada Pak Agus (kepala sekolah), Bu Mira dan Pak Iman (guru BP). “Selamat siang Pak… Bu…”, sapaku memecahkan pembicaraan antar mereka. “Siang”, jawab mereka hampir bersamaan. “Silahkan duduk Tya”, pinta Bu Mira. Aku pun duduk. Aku bertanya-tanya di dalam hati, kirakira ada apa ya? Untuk urusan ini aku tidak bisa menebaknya. Sedangkan untuk urusan hatinya Robert, karena aku sudah tahu bocorannya, aku bisa menebaknya. “Begini Nak Tya…”, Pak Agus membuka pembicaraan. Aku pun mendengarkan, sambil memperhatikan wajahnya yang berwibawa, dipikir-pikir Pak Agus ini mirip SBY loh. Kalem, berwibawa dan bersahaja, walaupun agak kurusan dikit… “Tya kan juara umum kelas satu”, lanjut Pak Agus. “Iya Pak”, jawabku pelan, penasaran, asli…. “Iya, Nak Tya kan dapat beasiswa. Untuk satu tahun ke depan, di kelas dua. Dari hasil pembicaraan kami dengan guru-guru lain, karena ada anak murid yang baru masuk dan datang dari desa, dan katanya dia pun berprestasi di sekolahnya, namun dia kurang mampu, maka kami berkesimpulan bahwa, bagaimana kalau beasiswa Nak Tya dialihkan untuk dia”, terang Pak Agus jelas dan tegas. Aku termangu. Aku bengong. Aku bukan sedang memikirkan uang itu. Uang itu kecil menurutku. Aku bisa mendapatkan lebih jutaan kali lipat dari Papihku. Bahkan jumlah itu, merupakan hanya uang jajanku dalam satu minggu. Bukan, bukan masalah itu. Yang aku pikirkan bahwa, beasiswa itu kan hasil kerja
17
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
kerasku selama ini. Beasiswa itu kan bukti prestasi otak seorang anak SMA yang berkualitas seperti aku. Kalau mau, ya belajar dong, belajar dengan giat dan keras. Aku sangat yakin, jika segala sesuatu dipersiapkan dan dijalankan dengan sangat maksimal, semuanya akan berhasil denggan baik. Seperti prestasi belajarku itu. Aku benar-benar belajar siang malam, kukorbankan waktu bermainku untuk belajar, bermain internet, browsing ilmu dan pengetahuan, membaca buku dan lain sebagainya. Tahu tidak, hampir satu buku satu Minggu, aku lahap. Terlepas itu buku umum, ataupun buku pelajaran. Wajarlah aku mendapatkan prestasi itu. Aku tidak setuju dengan niat itu, terlepas niat itu baik atau tidak. sekali lagi, bukan masalah uangnya. Lagian, siapa sih murid itu? Sepintar apa sih dia? Apakah lebih pintar dari aku? Gak mungkin banget…. “Hallo… Tya…”, sapa Pak Agus memecahkan lamunanku. “Oh… Iya Pak”, jawabku sedikit gelagapan. “Kok kamu ngelamun, ngelamunin apaan Tya?”, tanya Bu Mira. “Engga Bu, saya cuma mau berstatemen, bolehkan?”, tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan, lagian memang aku ingin mendebat ide tersebut kok. “Oh… Boleh”, jawab Bu Mira. “Mau berstatemen apa?”, tanya Pak Agus juga. Sedangkan Pak Iman, lebih memilih meninggalkan kami. Mungkin ada urusan lain. Aku menarik napas, bersiap-siap akan ber-statement. Secara tidak langsung, statement-ku ini merupakan statement penolakan dari ide pemberian beasiswaku kepada salah satu siswa yang sama sekali aku tidak tahu prestasinya apa. Di mana ide tersebut datang dari guru-guruku. Tetapi, aku tetap harus
18
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
menyatakan pendapatku ini, aku ingin menunjukkan kridibilitasku di depan mereka. Dengan statement-ku yang berkualitas. “Gini Bu… Pak…”, bukaku. “Iya… Gimana?”, Pak Agus menaggapiku dengan sopan dan serius. “Gini… Yang saya tahu, beasiswa adalah bukti prestasi seseorang akan sebuah aktivitas pendidikan. Saya bukannya tidak setuju dengan pengalihan beasiswa tersebut terhadap seseorang. Bukan masalah uangnya. Ini lebih ke arah penghargaan akan sebuah prestasi ilmu pengetahuan dan hasil kerja keras dalam belajar, sebuah penghargaan yang di negara kita sudah mulai luntur. Dan, beasiswa merupakan bukti SMA ini aware terhadap sebuah prestasi yang dibuat oleh siswanya. Ditambah pula, penentuan siapa yang juara umum atau yang tidak, kan sudah jelas kriterianya. Dan itu pun sudah diumumkan dan dimandatkan oleh pihak sekolah. Masa keputusan itu harus dilanggar, dengan mengalihkan beasiswa ke orang lain? Kalau mau, saya bisa memberikan uang untuk siswa baru yang belum pernah saya kenal itu, atau kita bisa saja mengumpulkan sumbangan, hanya untuk memberikan uang bayaran untuk anak baru itu, dari pada harus mengalihkan beasiswa tersebut. Lantas, atas dasar prestasi apa anak baru tersebut bisa dikatakan terbaik di SMA ini. karena nilai? SMA ini SMA terbaik yang ada di Indonesia Pak, tidak bisa dibandingkan head to head dengan SMA lain Pak… Bu… Sekali lagi, ini bukan masalah uangnya Pak… Bu… Maaf kalau saya lancang. Yang pasti saya tidak setuju, itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri…”, jawabanku lancar, seperti aliran air di sungai Nil di Mesir, karena memang tidak terganggu oleh sampah, tidak seperti sungai sunter di Jakarta Utara yang tersendat, keruh dan berbau.
19
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku pun tidak menyangka dapat mengeluarkan pendapat seperti itu. Mereka pun, Pak Agus dan Bu Mira, pun nampak kaget dengan statement-ku. Statement-ku mungkin salah. Tapi itu yang terbaik menurutku. Aku tidak ingin mencampuradukan dua hal yang berbeda ini. Aku memang tidak atau jarang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan cuma-cuma. Aku ingin, semua orang bekerja keras dan belajar semaksimal aku belajar. Aku bahkan ingin kita semua bersaing secara fair dalam khasanah pendidikan ini, tanpa ada unsur belas kasihan, tanpa ada unsur menyontek dan tanpa ada sogokan. Tidak peduli, orang tersebut kaya atau tidak, untuk urusan belajar pasti semua bisa. Dengan kriteria yang fair juga tentunya. Nah… Untuk orang seperti aku ini, di mana fasilitas lebih mumpuni, wajarlah aku akan menjadi nomor satu. “Iya Nak Tya… Maaf sebelumnya… Terus terang, Bapak tidak terpikir sampai ke sana. Yang kami perbincangkan, hanya anak baru itu, Sultan namanya, dengan nilai rapor yang sangat briliyan, dengan rata-rata 9,7! Sedangkan kamu hanya rata-rata 8,9. Bapak dan guru-guru lain tidak sampai terpikirkan, bahwa itu tidak bisa dibandingkan apple to apple, karena dia bukan dari sekolah kita. Bisa jadi memang, grade di sekolah bekas dia, memang jauh lebih rendah dari sekolah kita”, Pak Agus menjelaskan. “Jelas lebih rendah Pak, kan sekolah ini sendiri yang mendeclair bahwa ini adalah sekolah favorit. Harusnya, sekolah ini berpegang dengan deklarasinya secara konsisten…”, aku menambahkan dengan berapi-api. Seperti Pak Kundang Parkele, tetanggaku di Kompleks rumahku, yang sedang berorasi di atas podium lapangan becek sepak bola Pondok Indah, dalam rangka kampanye pemilihan calon lurah Pondok Indah Utara minggu kemarin.
20
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Iya Nak Tya… Kita-kita waktu itu hanya kaget, luar biasa nih prestasi anak ini, bisa melebihi Nak Tya. Ditambah juga, mendengar dari pengakuannya, bahwa Ibu dan Bapaknya hanyalah buruh bangunan yang tidak menentu penghasilannya”, tambah Pak Agus. “Itu masalah lain Pak, jika memang kita mau membantu, ya gotong royonglah”, aku menambahkan pula, “siswa-siswi di sini banyak, bahkan jika Bapak dan Ibu pun minta ke saya untuk menolong anak itu, saya akan bantu. Dan itu pasti Pak… Bu…”. Sekali lagi aku jarang memberikan apa-apa dengan cumacuma. Tapi aku pun terkagetkan, masa ada sih anak SMA yang ratarata rapornya 9,7? Itu kan gila! Hampir 10 semua. Aku curiga, jangan-jangan ini permainan sekolahnya saja. “By the way, anak itu… Siapa Pak namanya…?”, tanyaku. “Sultan”, jawab Pak Agus pendek. “Iya… Sultan, emang dari sekolah mana pak?”, tanyaku penasaran. “Katanya SMAN 1 Kuningan, Jawa Barat”, jawab Pak Agus. “Oh…”, aku meng-‘oh’. “Emang kenapa Tya?”, tanya Bu Mira. “Ah… Enggak Bu, saya pengen tahu saja”, jawabku pendek. Aku pengen tahu, apa benar 9,7 itu? Gak mungkin banget. “Oke kalau gitu Nak Tya, terima kasih atas kunjungannya, biar nanti kita galang dana saja seperti saran Nak Tya…”, Pak Agus mengakhiri pembicaraan. “Iya Pak… Makasih juga Pak… Bu… Saya Pamit… Selamat siang”, aku pamitan. “Siang…”, jawab Bu Mira dan Pak Agus berbarengan.
21
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Sekeluar dari ruangan guru, aku masih berpikir akan nilai 9,7 itu. Kalau bukan karena permainan, itu pasti karena anak itu jenius. Tapi… Apa masih ada anak lebih pintar dari aku? Apa masih ada yang bisa menyaingi aku? Aku sudah kerja dan belajar hebat loh. IQku pun tidak buruk-buruk amat (kayaknya… Soalnya kan hasil priskotesnya belum ke luar, baru tes tadi, tapi aku yakin dengan jawaban-jawabanku tadi di psikotes itu). Kesempatanku pun lebih hebat dari… Siapa… Sultan…? “Nama yang lucu”, gumamku dalam hati. “Sultan… 9,7… Sultan… 9,7…”, kata-kata itulah yang selalu aku gumamkan sepanjang perjalananku ke kantin menemui Intan, sahabatku. “Woi… Gue panggilin gak nengok-nengok… Lo ngelamunin apa sih?”, Intan mengagetkanku dari arah belakang, ketika aku mau ke kantin. “Emang lo manggil gue tadi?”, tanyaku. “Gila lo, gue ampe serak gini, lo cuek bebek kayak bebek kesambet setan”, jawab dia nyerocos. Padahal dianya kayak Mak Lampir laper, nyerocos gak bisa berhenti. “Ah elo… Gak tahu sih, ada yang lebih gila dari semua ini…”, aku memulai penceritaan. “Apa…?”, tanya Intan penasaran sedikit berbisik. “Begini ceritanya…”, lantas aku pun bercerita kepada Intan, tentang semua hal yang terjadi di ruang guru tadi, sambil berlalu ke mobil. Mang Diman pun mengantar kami pulang ke rumah. Aku sempet-sempetnya mampir ke rumah Intan, hanya untuk menceritakan hal ini sampai tuntas.
22
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Gue setuju dengan pendapat dan niat lo Tya…”, dukung Intan. Intan memang hampir selalu mendukung setiap statement dan pendapatku. Begitu juga, sebenarnya, dengan orang lain; Papihku, Mamihku, bahkan guru-guruku. Lihat saja kejadian di ruang guru tadi, seorang Bu Mira dan Pak Agus pun dibikin setuju denganku. Aku gitu loh… “Ok, gue pulang dulu. Gue akan search di internet. Jika info itu belum didapat. Besok kita ke kuningan, ke SMAnya si Sultan, Oke Tan…?”, ajakku. “Ok Tya… Setuju banget. Lagian udah lama nih gak refreshing…. Hehehe…”, Intan nampak seneng. Tapi bener juga sih, sampai detik-detik menjelang psikotes saja, aku masih sibuk dengan buku dan internetku. Sekali-sekali jalan-jalan gak apa-apa kan? Aku cuma meminta ijin Papih dan Mamih, dan pasti Mang Diman siap untuk mengantar aku jalan-jalan dengan Intan. Asyik… Kuningan… “Ok Tan… Daahh...”, aku pamitan. “Daaahh…”, bales Intan. Dan meluncurlah mobil yang dikendarai oleh Mang Diman menuju rumah. Aku ingin segera sampai rumah, makan dan langsung browsing. Mencari info mengenai Sultan dan SMAN 1 Kuningan. Datang di rumah, tanpa babibu lagi, tanpa ganti baju, aku langsung menyantap makanan siang yang telah Bi Inah persiapkan. Tentunya setelah membersihkan kedua tanganku, karena aku tahu, kesehatan itu penting. Bagaimana aku bisa beraktivitas maksimal, membaca buku, belajar dan bekerja, jika badanku lagi tidak fit atau kurang sehat. Aku selalu membiasakan diri membersihkan tangan dengan sabun antiseptic, jika aku akan makan. Aku tahu banget itu,
23
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
makanya aku lakukan itu. Mengapa tidak? Menurut penelitian, 80% infeksi kuman, menyebar lewat lingkungan sekitar, salah satunya melalui kontak tangan. Setalah makan, aku pergi ke kamarku. Kunyalakan komputer, aku tahu komputerku sudah kangen dengan sentuhan jarijemariku yang lembut ini. Keyboard yang ada di komputerku, sudah merasa gatal untuk merasakan belaian lembut jari-jemariku ini. Komputer menyala, meload Windows XP asliku sebagai Operating system pada komputer Pentium 4 ku ini. Komputer standby, aku aktifkan internet explorer-ku. Kemudian, aku ketikan alamat web site search engine (sebuah software / web site yang digunakan sebagai mesin pencari informasi yang ada di jagat internet) pada url address yang akan digunakan. Di alam maya, searche engine yang gratisan ada banyak, ada yahoo, google dan Altavista. Tetapi, aku sering menggunakan google (alamat url-nya www.google.com), karena google menurutku lebih cepat, bisa menggunakan beberapa kategori pencarian (gambar, website atau book), bisa juga dengan menggunakan bahasa yang kita mengerti termasuk bahasa jerman, Belanda, Inggris dan Indonesia – bahasa-bahasa yang sangat aku kuasai. Menggunakan bahasa jawa aja ada, tinggal klik di language: jowo. Ditambah, metode yang digunakan oleh search engine google adalah meta-search, Sistem kerja dari metode ini adalah mereka mencari file-file atau alamat web yang dibutuhkan dari search engine-search engine yang lain. Setelah itu, search engine yang menggunakan metode ini akan menggambil hasilnya dan menampilkannya. Meta search engine yang baik akan melakukan tugas pensortiran data-data yang diperoleh sebelum menampilkannya, sehingga tidak ada data-data yang rangkap. Aku ketikan keyword dari informasi yang akan aku cari. Aku akan mencari informasi mengenai nama orang bernama 24
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
‘Sultan’ yang beralamat di ‘SMAN 1 Kuningan’. Aku ketikan “Sultan SMAN 1 Kuningan” dengan menggunakan double code (“”), untuk lebih pasti, dan klik tombol “search” dan…. “Haah….”, aku terbelalak.
س “Pokoknya kita besok pergi ya?”, tanyaku di telepon kepada Intan. “Jam berapa Tya?”, tanya dia. “Jam delapan pagi”, aku menegaskan. “Ya… kepagian Tya, gue belum bangun jam segitu”, sanggah sahabat malasku itu. “Dasar pemalas lo, ya udah… Jam Sembilan, gue udah ada di rumah lo. Titik”, aku tahu Intan tuh pemalas, makanya aku musti mengambil sedikit tindakan tegas. Kadang aku sebel ama dia, agak lelet kalau melakukan sesuatu. Berbeda sekali denganku yang cekatan dan gak suka menunda-nunda sesuatu. “Iyah… Iyah… Nenek Lampir… Itu juga kalau gue bangun… Klek! Tut… Tut…”, Hehehe… Telepon itu pun ditutup. “Dasar…”, gerutuku. Aku tahu pasti dia bukan marah, hanya bercanda. Ketika makan malam. “Ok, gak pha-pha…”, kata Papih memperbolehkan aku pergi ke Kuningan dengan Intan. “Asal Pak Beni ikut ya…?”, tambah Papihku.
25
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Sip… Ok...”, aku senang bukan kepalang. Mamihku cuma tersenyum, senang melihat anaknya girang. Aku besok akan ke kota Kuningan bersama Intan, juga tentunya Mang Diman dan Pak Beni. Pak Beni adalah orang kepercayaan Papihku, biasa suka ikut mengantar aku, dia merangkap sebagai bodyguard. Sekalian gantian juga jadi supir kalau Mang Diman kecapean. Atau dengan kata lain, bodyguard merangkap supir... Hehehe... Bahkan pastinya, malam ini pun Papih langsung menyuruh dia untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bahkan pastinya pula penginapan, makanan, dan lain sebagainya selama aku di Kuningan sudah siap tersedia. Tinggal angkat telepon dan beres semua! Malamnya aku tidak bisa tidur. Jam 2 pagi aku masih semangat membaca ‘Laskar Pelangi’nya Andrea Hirata, baru 140 halaman dari 400 halaman novel bestseller ini. Seru juga ceritanya. Menarik juga rangkaian katanya. Bisa dijadikan sebuah referensi kehidupan nyata. Aku senang membaca. Buku apa pun aku lahap habis. Termasuk novel-novel barat kelas berat. Seperti karya Michael Chrichton, Tom Clancy, Dickens, Sidney Sheldon, dan John Grisham. Bahkan buku-buku bacaan seorang mahasiswa dan dewasa aku lahap juga, seperti buku Dale Carnegie, Adi wongso dan lain sebagainya. “Ya Ampun udah jam 3 pagi”, Aku bahkan belum sempat memejamkan mata sedikit pun. Kucek lagi barang bawaanku semua. Aku mempersiapkan kamera. Hape yang bisa browsing. Termasuk buku-buku yang bisa aku baca selama perjalanan. Tanpa tersadar aku pun tertidur. Sampai jam mejaku pun berdering nyaring… “Bangun… Bangun… Baaaanguuuunnn….”, suara anak kecil dari jam mejaku bersahutan, seperti suara seorang anak kecil
26
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
yang sedang dicekik nenek sihir, seorang nenek yang menyeramkan, kejam dan tidak berprikeanakan.
27
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
28
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
KE KUNINGAN [٣]
Udara di sini masih fresh,
walupun siang hari, embun-embun belum mau beranjak dari tempatnya, mereka enggan untuk menjauh. Kabut masih menyelimuti udara siang ini, berarti sinar matahari termuntahkan dengan lembut tanpa sengat. Kicau burung masih terdengar nyaring dan merdu, tanda mereka sangat bahagia dengan kehidupan mereka. Desa sangkanurip terletak di kecamatan Cilimus dengan jarak ± 12 km dari arah Kuningan ke arah utara atau ± 23 km dari kota Cirebon ke arah selatan. Sangkanurip merupakan sebuah tempat rekreasi dengan pemandian air panas alami beryodium dalam kamar tertutup dan sebuah kolam air panas terbuka serta kolam air dingin. Dengan kadar yodium yang cukup tinggi tersebut, sangat berkhasiat bagi penderita sakit rematik, penyakit kulit dan penyakit lainnya. Di sekitar sangkanurip tersedia hotel melati maupun berbintang dengan spa (sante par aqua - sehat dengan air) nya, serta restoran yang terkenal dengan ikan bakarnya.
Jam Sembilan kurang lima menit ku sudah memasuki gerbang rumah Intan. Tepat waktu. Itulah aku. Aku terbiasa dididik untuk tepat waktu oleh kedua orangtuaku. Orangtuaku berprinsip 29
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
time is money, waktu adalah uang. Satu menit saja, akan kehilangan sebuah peluang bisnis yang cukup besar. Papihku pernah bercerita, ‘jika kita naik kendaraan umum, lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan, akan menguntungkan bagi kita. Misalkan saja, kendaraan umum yang kita gunakan ternyata salah jurusan, kita masih memiliki waktu untuk mengganti kendaraan umum dengan yang lain. Namun, jika kita terlambat, atau tidak tepat waktu, dan kita salah menggunakan kendaraan umum tersebut, kita sudah kehilangan waktu yang lebih lama lagi, hanya untuk mengganti kendaraan umum tersebut’. Sebuah prinsip dengan filosofi yang cukup bijak menurutku. Jadi, aku berprinsip, jika aku berjanji, lebih baik aku yang menunggu mereka, daripada aku yang ditunggui oleh mereka. Ternyata Intan pun sudah siap-siap di ruang tamu, dengan tas bawaannya tentunya. “Bangun juga lo…”, ujarku. Intan lagi asyik main hape, “Iya… Kalau gua gak bangun pagi, pasti nyokap udah pergi. Kalau udah pergi, ya gue gak dapet tambahan uang jajan buat ke kuningan…”, Intan menjawab, sambil tetap memainkan hape-nya. “Oh… Karena uang jajan toh, kirain karena janji ama gue… Dasar....”, aku mengomentari. “Udah ah… Yuk pergi, nanti kesiangan…”, ajak Intan sambil beranjak dari tempat duduknya. Kami pun siap-siap pergi. “Bi… Pergi dulu ya… Ini dikunci pintunya”, teriak Intan memanggil Bi Wati. Samar-samar suara Bi Wati terdengar menjawab, “Iya Non…”.
30
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Kami pun pergi berempat. Aku, Intan, Pak Beni dan Mang Diman. “Oh iya…”, aku teringat, “Mang Diman kan orang Kuningan ya?”, aku bertanya ke Mang Diman. “Muhun Neng… Eh… Iya Neng”, Mang Diman menjawab. “Muhun, apaan tuh Mang”, aku bertanya sambil mengkerutkan kening. Kata ‘muhun’ seperti berkonotasi ‘monyong’ menurutku. “Muhun itu iya Neng… Mengiyakan apa yang dikatakan orang”, Mang Diman menjelaskan. “Muhun…?”, aku sedikit bergumam, “Kalau nuhun apa Mang?”, aku bertanya lagi sebuah kata yang biasa orang Sunda (Jawa Barat) ucapkan. Lagi-lagi, kata ‘nuhun’ pun menurutku berkonotasi ‘monyong’, bahkan 'lebih monyong dari muhun'. “Kalau nuhun artinya terima kasih Non…”, Mang Diman menjawab lagi, sambil tetap konsentrasi mengendarai mobil, yang mulai memasuki jalan tol Simatupang dari arah Pondok Indah tempat rumah kami berada. “Oh…”, aku meng’oh’. “Jadi Mang Diman tahu dong seluk beluk kota Kuningan?”, aku bertanya lagi. “Ya… Tahulah Non. Mang Diman kan memang asli sana…”, Mang Diman menjawab, sedangkan aku saling bertatapan dengan Intan, saling tersenyum. “Berarti Mang Diman tahu SMAN 1 Kuningan dong?”, aku dan Intan bertanya hampir bersamaan kegirangan, karena Mang Diman tahu seluk-beluk kota Kuningan, berarti pencarian kami akan seorang misterius bernama Sultan akan lebih mudah, pikirku.
31
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“SMAN 1?... Yang di jalan Siliwangi itu? Emang kenapa Neng?...”, Mang Diman bertanya bertubi-tubi seperti terheran-heran. “Iya… Mang Diman tahu enggak?”, tanyaku lagi, mengulangi pertanyaan tadi. “Iya… Tahulah Non… Orang itu SMA negeri satu-satunya di Kuningan… Lebih terkenal dengan nama SMA 1 Ciawigebang Non…”, jawab Mang Diman mantap. “Oh…”, aku dan Intan meng’oh’. “Terus… Terus… Apa lagi yang Mang Diman tahu tentang SMAN1 Ciawigebang itu?”, tanya Intan sama penasarannya denganku. “Iyah gak banyak Non… Mang Diman kan gak sekolah di sana. Bahkan SMP pun gak tamat Non…”, jawab Mang Diman. “Tapi lokasi SMA itu Mang Diman tahu kan…?”, aku menimpali dengan pertanyaan lain. “Iya tahulah Non”, jawab Mang Diman, “pokoknya, seluk beluk tentang kuningan selain sekolah itu Mang Diman tahu. Mau tempat memancing ikan, makanan yang enak, penginapan yang nyaman… Mang Diman jagonya Non…”. “Loh… Kalau gitu kenapa Pak Beni sibuk-sibuk nyiapin penginapan Pak?”, tanyaku ke Pak Beni, “kalau memang mang Diman tahu semua…”. “Gak kok… Gak jadi Non…”, jawab Pak Beni. “Waktu saya dapat tugas dari Bapak, untuk mengawal Non Tya ke Kuningan, saya udah langsung menghubungi Mang Diman ini. Dia bilang pokoknya kalau nyampe sana tenanglah… Semua urusan beres…”. “Siipp…”, kata kami berdua. “Yang terpenting, makanannya yang enak-enak Mang…”, canda Intan.
32
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Dasar si gembul, katanya mau diet (baca: di-it), diitung kali… “Iya Non… Pasti…”, jawab Mang Diman meyakinkan kami. Aku lantas berpikir, kalau emang cuma satu-satunya, berarti kualitas SMA itu bisa diragukan walaupun SMA negeri. Lalu apa hebatnya anak itu. Tapi minimal kami ke sana pengen tahu saja situasi SMAnya di sana, kalau bisa tanya-tanya ke gurunya. Yang penting kita akan cari tahu rumahnya anak baru yang bernama Sultan ini, kok bisa-bisanya masuk sekolah Favorit, yang merupakan sekolah swasta bonafid, bahkan terbonafid di Indonesia ini. Aku membuka Laskar Pelangi Kembali untuk melanjutkan membacanya, sedangkan Intan tanpa sadar sudah tertidur. Intan memang, selain terkenal dengan gembulnya, walau pun so-so’an diet, dia pun terkenal dengan jago tidurnya. Walaupun, jika aku perhatikan, Intan memang sekarang sedikit lebih langsing, sedikit sih… Pak Beni dan Mang Diman malah asyik berbincang-bincang di jok depan. Dan mobil pun melaju dengan kencangnya. Tak terasa aku sudah mau menghabiskan 2/3 buku novel Laskar Pelangi tersebut. Menarik juga. Kenapa aku meragukan novel-novel Indonesia selama ini. Aku berpikir, novel-novel Indonesia tidak punya karakter. Ceritanya monoton. Kurang banyak nilai yang bisa diambil dari novel Indonesia. Itu menurutku. Atau karena selama ini aku lebih gandrung membaca novel-novel luar ya? Atau karena aku merasa dengan membaca novel-novel luar, prestiseku naik? Tapi memang kok, ada beberapa nilai-nilai luar negeri yang bisa diambil menjadi sebuah nilai positif, sebut saja On time, professional, Time is money, responsibility dan aware. Nilainilai itulah yang menurutku bisa aku jadikan nilai positif untuk mengarungi kehidupan ini.
33
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Tetapi, Laskar pelangi memberikan inspirasi beda loh. Ternyata, gaya bahasa dan keahlian sastra yang dikemas menjadi kata demi kata, kalimat demi kalimat di dalam novel Laskar Pelangi ini cukup baik. Aku seperti terlibat di dalam cerita itu, haru, lucu, tegang, penasaran, bercampur aduk menjadi adonan kue yang harum dan terasa renyah di hidung ini, terasa manis di lidah ini. Aku hanya berpendapat, kalau pun aku hidup di jaman seperti itu, Si Lintang, yang terkenal cerdas di dalam cerita itu, pasti akan aku kalahkan. Itu pasti. Itulah mengapa aku mau bercape-cape ria hanya untuk ke Kuningan, aku hanya ingin membuktikan sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh seorang anak di Kuningan yang bernama Sultan. Ketika aku akses internet semalam. Mengapa aku terbelalak. Karena aku membaca sebuah artikel, tertanggal 2 Juli 4 tahun lalu, yang menceritakan bahwa ada seorang anak SMP bernama Sultan berasal dari daerah Kuningan, yang kejeniusannya sangat luar biasa. Dia menyabet gelar grand Master International untuk kelompok umur anak-anak dalam kejuaraan catur yang diadakan di Jakarta waktu itu. Diceritakan di dalam artikel itu, bahwa anak ini memang cerdas, selain cerdas di dalam permainan catur, dia pun pintar di dalam mata pelajaran sekolah. Dari semenjak SD sampai dengan kelas 1 SMP (pada waktu artikel ini ditulis, anak tersebut baru sekolah di kelas 1 SMP), anak tersebut selalu mendapatkan rangking pertama di kelasnya. Menurutku, itu sih biasa, aku pun seperti itu. Yang mencengangkanku itu tadi, Grand Master Internasional (GMI) catur. Itu kan hebat… Dan lagi, jika aku urut kacang kembali (aku urutkan kembali dari awal), umur dia sama dengan umurku. Berarti dia sekarang duduk di kelas dua, seperti aku dong. Tapi apa benar Sultan yang dimaksud di dalam artikel 4 tahun lalu itu sama dengan Sultan yang ingin aku cari ini?.... Kalau benar, akan aku ajak main catur dia… Hehehe… Aku
34
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pun pandai main catur, belum pernah ikut pertandingan sih... Tapi bisa diadu, aku sering main game simulasi catur, pake jam catur, menulis langkah-langkah catur dan sering memenangkan peperangan antar dua kerajaan itu kok. Pasti aku bisa mengalahkannya. Apalagi, teori-teori catur pun aku kuasai, pembukaan spanyol, pembukaan gambit menteri orthodox, gambit Evans, pertahanan sicilian, pertahanan Nimzo Hindu, permainan tiga kuda, permainan tengah dan akhir, aku tahu semua teori itu. Hanya saja memang aku tidak pernah ikut pertandingan resmi. Tapi, tidak boleh ada yang bisa mengalahkan aku bermain catur, titik. Aku tersadarkan dari pemutaran VCD film pada angan dan lamunan otak ini. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir jam 14 siang. Laskar pelangiku hampir rampung. Tapi perut ini sudah mulai keroncongan. “Aduhh… laper…”, rintih Intan yang baru terbangun dari tidurnya. “Hehehe… Sama…”, jawabku singkat. “Emang sudah nyampe mana Mang?”, tanyaku ke mang Diman, “Kalau bisa kita makan dulu Mang, udah laper nih…”. “Iya Mang… Cari makanan yang paling enak…. Hehehe…”, timpal Intan. “Baru ke luar kota Cirebon Non, bentar lagi. Nanti di depan ada tempat makan yang enak, Mang Diman jamin lahap Non… Mang Diman juga lapar…”, jawab Mang Diman polos. “Hahaha…”, kami bertiga tertawa, Mang Diman juga tertawa. “Non mau makan apa? Ikan Bakar atau…” “Ikan bakar… Ikan bakar…”, baru saja Mang Diman mau menyebutkan beberapa pilihan makanan, Intan sudah memotong dan menjawab pertanyaan itu. Dasar…
35
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Kalau mau ikan bakar, di depan ada Non… Enak abis… Ikan bakar cobek…”, jelas Mang Diman, “Di daerah sangkanurip namanya, maknyosss Non…”. “Sip, kalau gue sih setuju aja Mang Diman mau bawa kita ke mana juga, laper banget nih soalnya…”, canda Intan. Terlihat jelas kelaparan Intan dari guratan dan lukisan wajahnya, lapar yang melilit usus dua belas jari, lapar yang meremas-remas tukak lambungnya. Tak begitu lama, mobil pun berbelok ke kiri. Masuk ke sebuah jalan yang agak sempit. Dan tak lama kemudian, sampailah kami ke sebuah restoran bernama ‘Sindang Heula’ 1. Kami pun turun… “Wuaaahhh…”, sambil menguap dan meregangkan badan, setelah perjalanan kurang lebih 5 jam sungguh nikmat. Udara di sini luar biasanya sejuk. “Ini daerah sangkanurip Non namanya”, sela Mang Diman, di mana aku masih memperhatikan lingkungan sekitar. “Enak juga ya…”, gumamku. Udara di sini masih fresh, walupun siang hari, embunembun belum mau beranjak dari tempatnya, mereka enggan untuk menjauh. Kabut masih menyelimuti udara siang ini, berarti sinar matahari termuntahkan dengan lembut tanpa sengat. Kicau burung masih terdengar nyaring dan merdu, tanda mereka sangat bahagia dengan kehidupan mereka. Desa sangkanurip terletak di kecamatan Cilimus dengan jarak ± 12 km dari arah Kuningan ke arah utara atau ± 23 km dari kota Cirebon ke arah selatan. Sangkanurip merupakan sebuah tempat rekreasi dengan pemandian air panas alami 1
Sindang Heula = Mampir dulu (Bahasa Sunda)
36
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
beryodium dalam kamar tertutup dan sebuah kolam air panas terbuka serta kolam air dingin. Dengan kadar yodium yang cukup tinggi tersebut, sangat berkhasiat bagi penderita sakit rematik, penyakit kulit dan penyakit lainnya. Di sekitar sangkanurip tersedia hotel melati maupun berbintang dengan spa (sante par aqua - sehat dengan air) nya, serta restoran yang terkenal dengan ikan bakarnya. Aku masuk ke dalam restoran, Intan sedang sibuk-sibuk menulis menu. Sedangkan Pak Beni dan Mang Diman berdiam diri, seperti prajurit yang siap siaga untuk mendengar dan melaksanakan perintah komandannya. “Mantep Mang udaranya…”, aku mengomentari udara alam sekitar sangkanurip ini. “Iya Non, udara di sini gini… Adem… Soalnya di kaki gunung Ciremai Non…”, jawab Mang Diman. “Tempat wisata di sini gak kalah hebat dengan di Eropa Non”, tambah Mang Diman antusias. “Emang Mang Diman udah pernah ke Eropa?”, tanyaku sambil sedikit mengkerutkan kening, sambil mencuci tangan dari air di kobokan yang telah tersedia di meja makan rumah makan ‘Sindang Heula’ ini. “Loh… Non kok lupa, saya ama Pak Beni kan yang menjemput di Bandara waktu Non pulang dari Jerman dulu”, jawab Mang Diman. “Hahaha…”, aku tertawa lepas, “Itu kan cengkareng Mang… Bukan Eropa…”, Hahahaha…. Semua kita tertawa terpingkal-pingkal. Perut yang lapar dan kosong ini pun terasa semakin melilit. Cuma Intan saja yang tidak tertawa, dia sedang sibuk dengan pilihan menu makan siangnya. “Nanti keliling-Keliling ya Mang…”, pintaku.
37
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Boleh Non… Non bisa ke kolam cibulan. Kolam Cibulan merupakan sumber air yang cukup besar dihuni oleh Ikan Kancra Bodas (Labeobarbus Dournesis) Non…. Sebagian masyarakat menyebutnya Ikan Kramat atau Ikan Dewa. Di sekitar kolam ini tumbuh pohon-pohon tropis yang rindang dan menyejukan. Di sinilah terdapat ‘PATILASAN-PATILASAN’ yang konon kabarnya merupakan patilasan ‘PRABU SILIWANGI’ dari Pakuan Padjadjaran ketika beliau istirahat setelah sekembalinya dari Perang Bubat. Patilasan tersebut antara lain ‘SUMUR TUJUH’. Merupakan Tujuh Buah Sumur Kecil (Mata Air) yang diberi nama Sumur Kejayaan, Sumur Kemulyaan, Sumur Pangabulan, Sumur Cirancana, Sumur Cisadane, Sumur Kemudahan, Sumur Keselamatan. Di antara ke Tujuh Sumur tersebut ada salah satu sumur yang berisikan Kepiting Emas yaitu pada sumur ke empat. Orang yang dapat melihat kepiting emas tersebut berarti segala keinginannya akan terkabul; atau Non bisa ke linggar jati, pemandangan di sana juga asyik banget Non… Atau mendaki ke gunung Ciremai gimana…?”, jawab Mang Diman belaga sebagai pemandu wisata saja. Hebat juga pengetahuan wisatanya si Mang Diman ini. Detail dan jelas. “Sip… Sekarang kita makan… Silahkan pesan…”, jawabku. Kami pun memesan makan siang kami, dan makan dengan lahapnya. Setelah selesai makan. Kami bergegas menuju SMAN 1 itu. “Jalan-jalan kan bisa malam atau besok…”, pikirku. Kami pun sampai di depan beranda SMA tersebut. SMA tersebut sudah sepi, atau memang karena sedang libur sekolah. SMA tersebut tampak sederhana namun asri tak terperi. Masih dikelilingi
38
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
beberapa pohon Jati besar, yang mungkin berumur puluhan bahkan ratusan tahun, menambah kesejukan. Serta bau tanah yang lembut ini, membuat pesona alam sekitar Kuningan ini menjadi pesona yang tidak kalah dengan pesona alam Endensor di Inggris. Nyaman terasa. Jauh dari hiruk pikuk dan dentuman musik hingar bingar, baik yang terdengar dari koridor jalanan maupun dari lingkaran tempat-tempat disko seantero kota Jakarta. Kota yang panas, pengap, berdebu dan gersang. Apa mungkin, ada seorang anak bernama Sultan yang terkenal dengan kepinterannya itu lahir dari kota yang jauh dari fasilitas modern ini? Ada seorang pekerja kebun di halaman sekolah tersebut. Kami turun dari mobil dan memasuki pelataran yang cukup luas dari sekolah tersebut. “Selamat siang Pak…”, aku menyapa Bapak-bapak si tukang kebun, yang sedikit tambun, tersebut. “Iya siang Neng…”, jawab dia sambil sedikit membongkokkan badan, dengan kedua tangan tertelungkup disimpan di sela kedua pahanya. Terlihat sangat sopan dan responsif. “Saya mau tanya Pak, apa benar ini SMAN 1 Kuningan Pak”, tanyaku basa-basi. Basa-basi Karena aku sudah tahu, di salah satu bangunannya sudah jelas-jelas terpampang ‘SMAN 1 Ciawigebang’. “Iya betul Neng… Emang ada perlu apa ya Neng”, tanya bapak bertubuh gempal ini. “Enggak Pak… Kami ini dari Jakarta, perkenalkan nama saya Tya..”, aku pun berkenalan dengan Bapak tersebut. “Saya Budi…”, jabatan tangan kasarnya terasa lemah menempel di tanganku.
39
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Menunjukkan bahwa dia adalah pekerja keras, namun seperti tidak memiliki antusias dalam menghadapi kehidupan ini. Atau mungkin pula analisis sederhana aku ini salah. Kemudian Intan, Mang Diman dan Pak Beni pun bersalaman dan berkenalan. “Budi?”, teriak Mang Diman, “Budi kusuma Jaya kan?”, tanya Mang Diman sekali lagi dengan nada lebih tinggi. “Sumuhun…? Leres…”, jawab Pak Budi dengan sedikit mengerutkan kening dan bernada kebingungan. Seperti seorang ‘tertuduh salah tangkap’ yang diinterogasi Intel, untuk mengakui sebuah kejahatan yang sama sekali tidak dia lakukan. Kata apa lagi ini, ‘Sumuhun’2, ‘Leres’3, aku bener-bener gak mengerti. Seperti ada di planet lain saja nih. “Euleuh… Euleuh… Budi… Urang teh Diman… Diman Sadudin… Urang Jalaksana…”, Mang Diman menegaskan nama dan asal daerah kepada Pak Budi, kayaknya... Hehe… Itu yang aku tangkap dari kalimat itu. Mendengar pembicaraan mereka, bukan telinga yang aku gunakan, tapi indra keenam yang aku pakai. Aku cuma sedikit terbengong-bengong. Aku, Intan dan Pak Beni saling berpandangan. Aku bisa menebaknya, pasti mereka adalah teman lama yang baru ketemu lagi. “Diman Butut tea… Ya ALLOH…”, mereka berpelukan. Suasana terlihat haru. Mungkin kalau ada teksnya, akan lebih haru lagi. “Ka mana wae ari silaing? Mani geus lila euweuh kabarna…”, cerocos Pak Budi. 2 3
Sumuhun = Iya (Kata pendek dari ‘nuhun’, Bahasa Sunda) Leres = Betul / Benar (Bahasa Sunda) 40
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Aya Bud… Urang teh gawe di Jakarta Bud. Jadi Sopir, Alhamdulillah lah… lumayan jadi supir ge, daripada nganggur mah…”, jawab Mang Diman. “Ari maneh kerja naon?”, kayaknya Mang Diman nanya balik. Nanya pekerjaan mungkin. “Nya kieu weh Man, urang jadi pesuruh sakola, jadi tukang kebun. Tapi lumayan Man, kieu-kieu oge pegawai negeri urang mah…”, jawab Pak budi. 'Man' di sini tetap dibaca 'Man', bukan 'Men' di dalam bahasa Inggris... Hehehe... Kami bertiga agak menjauh, mencari tempat bersandar atau tempat duduk. Biarkanlah mereka menumpahkan kebahagiaan karena baru berjumpa. Biarkanlah mereka bertemu di alam mereka sendiri, sebuah alam asing nan gaib menurutku… Hehehe… Mereka terlibat di dalam pembicaraan yang cukup hangat menurutku. Menghangatkan suasana sejuk di Kota ini. Melumerkan es membeku yang menyelimuti kulit ari kami ini. Seperti sebuah uap hangat, mencairkan kebekuan pembuluh darah arteri kami. Kurang lebih tujuh setengah menit. Setelah itu Mang Diman menghampiri kami. Aku antusias menunggu cerita Mang Diman. “Gimana Mang?”, tanyaku. “Neng… Eneng tuh mau nanya apa ya tentang sekolah ini?”, Tanya Mang Diman. Gubrak… Aku kira Mang Diman sudah tahu, ternyata belum. Padahal mereka sudah berbicara kurang lebih tujuh setengah menit. “Itu Mang… Tolong tanyain ada anak SMA sini yang bernama Sultan gak gitu…”, jawabku menjelaskan.
41
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Mang Diman kembali lagi ke arah Pak Budi. Mereka terlihat seru berbicara sesuatu. Sampai tiga dua per empat menit kemudian, Mang Diman kembali ke arah kami. “Neng… Dia tidak kenal anak siswa di sini yang bernama Sultan. Katanya, setahu dia, enggak ada siswa SMAN 1 ini yang bernama Sultan. Dia sarankan kita untuk ke SMAN 1 Kuningan yang lain. Ternyata SMAN 1 Kuningan ada tiga Non. Saya juga baru tahu… Yang saya tahu SMAN 1 ya ini…”, jawab Mang Diman panjang lebar. Hahaha… Pemandu tour yang tidak di-update informasinya ya kayak Mang Diman ini nih. Kalau semua tour guide-nya seperti Mang Diman, bidang pariwisata Indonesia akan secepatnya bangkrut. Hahaha… “Ya Udah… Kita ke sana aja Mang…. Lagian udah pada gak ada guru juga yang bisa kita tanyain…”, aku mengajak Mang Diman dan semuanya untuk pergi ke salah satu dari dua SMAN 1 Kuningan yang lainnya. Kalau memang anak itu berprestasi hebat, minimal anak pintar, pastilah Pak Budi sebagai tukang kebun tahu. Aku berkesimpulan, bahwa Sultan ini bukan dari SMAN 1 ini. Atau, kesimpulan kedua, Sultan bukanlah anak siswa SMA yang berprestasi seperti yang terceritakan oleh Pak Agus dan Bu Mira kemarin. Kami pun menghampiri Pak Budi lagi. “Bud… Urang pamitan heula. Ke lah, lamun pere urang ulin ka imah.”, kayaknya Mang Diman pamitan ama Pak Budi. Indra keenamku mengartikan seperti itu. “Oh iya… Mangga… Mangga…”, jawab Pak Budi. “Mangga..?”, aku bergumam. Pandanganku ke arah Itan, pandangan dia pun ke arah aku, kami saling memandang, menandakan kebingungan dan kegelian
42
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
yang cukup di muka kami masing-masing. Ketika aku melihat Mang Diman bersalaman dengan Pak Budi, yang mungkin artinya mau pamitan, aku pun ikut bersalaman. Begitu juga dengan Intan dan Pak Beni. “Mari Pak…”, aku lantas berpamitan. Kami pun meninggalkan Pak Budi sendiri. “Mangga… Mangga…”, Jawab Pak Budi. Mangga lagi… Apaan sih maksudnya? Di Mobil menuju SMAN 1 lain, aku langsung menanyakan sesuatu kepada Mang Diman yang membuat aku penasaran dari tadi. “Emang Pak Budi tuh siapanya Mang Diman, Mang?”, tanyaku. “Oh… Budi… Dia bekas temen SD Mang Diman Non… Udah lama kita gak pernah ketemu, dia sekarang menjadi tukang kebun di SMAN 1 itu. Tapi dah PNS Non…”, jawab Mang Diman. “Oh…”, aku meng’oh’. “Terus… Mangga itu apa Mang”, tanya Intan memotong pembicaraan tanda penasaran juga. “Hehe…”, Mang Diman ketawa, “Mangga dalam bahasa sunda artinya silahkan Non…”. “Oh…”, kami pun berpandangan lagi dan tertawa bersama.
س Ternyata SMAN 1 di kuningan ada tiga. SMAN 1 Ciawigebang, SMAN 1 Mandirancan dan SMAN 1 Kota Kuningan. “Kita mau kemana dulu nih Mang…?”, tanyaku.
43
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“SMAN 1 Mandirancan dulu aja Non, deket sini katanya, di jalan Siliwangi juga”, jawab Mang Diman. Tak lama kemudian, mobil kami sudah sampai di depan sebuah gapura bertuliskan ‘SMA Negeri 1 Mandirantjan’. Jelas tulisan ejaan lama, kalau dibaca ya ‘SMA negeri 1 Mandirancan’. Mobil kami masuk gapura itu, tak jauh dari sana ada gardu kecil di bawah pohon tinggi besar yang cukup rindang. Seperti gardu SISKAMLING yang ada di kompleks rumahku. Ada seorang bapak-bapak di dalam gardu tersebut. “Mang… Mang Diman aja ya yang turun dan nanyain ya…?”, pintaku. “Iya Non…”, Mang Diman pun turun. Pak Beni ikutan turun. Setelah terlihat kurang lebih dua seperempat menit pembicaraan antara mereka, Mang Diman dan Pak Beni kembali ke mobil. Mang Diman terus bicara tanpa ditanya. “Non… kata orang tersebut, Pak Mukti namanya, emang ada siswa yang bernama Sultan. Tapi katanya sudah pindah Non… Ke Jakarta…”, terang Mang Diman polos. Aku dan Intan saling berpandangan, dan kami pun tersenyum dan berteriak “Aaaa..”. Mang Diman bengong, begitu juga dengan Pak Beni, tatapan mereka bertabrakan, sama-sama bengong. Tanpa berkomentar lagi. Kami berdua ke luar berlarian menuju Pak Mukti yang ada di gardu tersebut. “Pak… Pak… Bener Pak ada siswa yang bernama Sultan di sekolah ini?”, tanyaku sedikit tergopoh-gopoh. Tanpa bersalaman, tanpa pula memperkenalkan diri kami. Pak Mukti sedikit kaget, “Iya neng bener, eneng siapa? Temannya ya?”, tanya Pak Mukti tersebut.
44
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Iya Pak… Kami temannya dari Jakarta”, kami sok akrab saja. “Kami pengen tahu cerita tentang dia Pak…”, aku menjelaskan lebih lanjut. “Emang kenapa Neng? Eneng naksir ama Sultan”, Dor… Kata-Kata Pak Mukti seperti men-dor kepalaku dengan senapan Bazooka tipe HEAT (High-Explosive Anti-Tank). Miliki militer USA, yang digunakan pada perang dunia kedua dengan konsep menggunakan kekuatan ledakan untuk melontarkan gas dari logam yang dicairkan dengan kecepatan sangat tinggi. “Yeh si Bapak… Eh… Emmm… Engga Kok Pak… Kami hanya ingin tahu aja tentang dia lebih jauh. Bahkan kami pun sebenarnya belum pernah bertemu dia Pak…”, jelas aku agak terkagetkan dengan Bazooka itu. “Loh… Katanya temannya?”, tanya Pak Mukti agak kebingungan. “Iya… Pak… Kami memang teman sekolahnya. Tapi karena Sultan tuh anak baru, jadi kami belum pernah ketemu dia. Tapi kata orang-orang, dia tuh anak yang pinter… Gitu Pak… Jadi kami ke sini, ingin tahu lebih tentang dia… Penasaran gitu Pak…”, jawab Intan lancar dan tampak polos tak berdosa… “Oh Gitu… Ngobrol dong dari tadi…”, Pak Murti baru mengerti. “Ini juga ngobrol Pak…”, jawab Intan polos membahasnya. Kalau yang ini oon tepatnya, bukan polos. “Gak mungkinlah sekolah ini gak kenal dia…”, Pak Mukti melanjutkan.
45
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Baru kelas satu aja sudah banyak mengharumkan nama sekolah ini. Makanya, menurut impormasi 4 yang didapat, katanya Sultan tuh dipindahkan ke Jakarta, atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional”, jelas Pak Mukti panjang lebar. Dengan logat bahasa sunda yang kental. “Hah… Permintaan menteri?”, tanya kami hampir berbarengan. “Iya… Ketika beliau berkunjung ke sini, kurang lebih 2 bulan yang lalulah, disambut dengan pidato si Sultan ini”, tambah Pak Mukti. “Pidato?”, aku pun penasaran, “Pidato aja dilebihlebihkan?”, tanyaku tetap penasaran. “Ya… Pidatonya mah biasa Neng, pidato sambutan biasa, tapi Cep Sultan waktu itu menyampaikan pidato itu dengan menggunakan 5 bahasa Asing”, tambah Pak Mukti meyakinkan. “Haah…”, Intan terkagetkan. Untuk urusan bahasa aku tidak terlalu kaget. Aku pun menguasai lima bahasa asing, dan itu biasa menurutku. Tapi… apa benar, 5 bahasa asing dikuasai oleh seorang anak desa?... “Nah karena pidato itulah akhirnya Pak Menteri tahu siapa Sultan itu. Dan kemudian beliau menyarankan ke sekolah ini agar Sultan dipindahkan ke Jakarta, karena sayang, bibit unggul ini harus dekat dengan pemerintahan pusat, agar terpantau dengan baik…”, tambah Pak Mukti lebih lanjut.
4
Inpormasi = Informasi (dengan logat bahasa Sunda)
46
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Katanya, ini pun salah satu tugas negara yang dibebankan kepada jajaran menteri, kitu ceunah5 Neng…”, Pak Mukti menambahkan. Aku Cuma tersenyum saja, meng’iya’kan apa yang dikatakan Pak Mukti. “Ok Pak… By the way, rumah Sultan di mana Pak?”, tanyaku ingin lebih segera mengetahui anak gila satu ini. “Gak jauh dari sini Neng… Kalau Mau, Bapak bisa mengantar…”, jawab Pak Mukti menawarkan jasa. “Mau… Mau… Pak”, jawabku antusias. “Hayu atuh… Gak usah pake mobil. Jalan aja. Gak jauh kok dari sini. Cuma di belakang sekolah ini…”, ajak Pak Mukti. Aku dan Intan mengiyakan ajakannya. “Sini…”, aku menyuruh Pak Beni dan Mang Diman yang sedang di mobil untuk menghampiriku. Mereka berdua cekatan menghampiriku dengan sedikit berlari. “Mang Diman tunggu di sini ya, Pak Beni ikut…”, jelasku. Aku hanya ingin merasa aman saja, sebagai body guard, Pak Beni harus selalu dekat aku. Jangan-jangan, Pak Mukti itu bohong, ternyata dia adalah seorang penjahat, dan berniat untuk menculikku. Terus aku disekap di sebuah tempat yang gelap, pengap dan tidak higienis, dengan tangan dan kaki terikat, dan mulut tersekap kain kotor yang bau, bekas cairan bius yang digunakan untuk membius aku. Hehehe… Aku berlebihan ya? “Iya Non…”, Jawab Mang Diman pendek.
5
Kitu Ceunah = Gitu Katanya (Bahasa Sunda)
47
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Kemudian kami berempat memasuki pelataran sekolah, sedangkan Mang Diman kembali ke mobil. Di belakang sekolah, ternyata ada pintu tembus ke area halaman belakang sekolah. Seperti menuju pedesaan atau perkampungan. Tak jauh dari sana. Pak Mukti menunjukkan sebuah gubuk kecil, kumuh, kotor dan reot. “Nah… Itu Rumah Cep Sultan”, tunjuk Pak Mukti kepada Kami. Kata ‘Cep’ adalah kependekkan dari kata ‘Cecep’, sebuah panggilan untuk anak laki-laki di daerah Sunda. Sedang ‘Neng’, adalah kependekkan dari kata ‘Neneng’, sebuah panggilan untuk anak perempuannya. Aku termenung. Itukah rumahnya seorang anak jenius bernama Sultan. Rumah seorang anak yang menguasai 5 bahasa asing. Rumah seorang anak SMA yang berhasil masuk SMA Favorit di Jakarta. Itukah rumahnya? Sambil terus memandangi rumah itu, aku berjalan menghampiri. Bertambah dekat. Bertambah dekat. “Gak mungkin rumah ini digunakan untuk tinggal”, gumamku sedikit berbisik. “Rumah ini lebih pantas untuk dijadikan kandang kambing”, gumamku lagi. Tetap berbisik. Aku yakin gumamanku tidak ada yang mendengarnya. Selain telinga dan hatikku. “Tidak mungkin…”, tambahku. “Woi…”, Intan mengagetkanku. “Kayak liat apa aja… Biasa aja kalee…”, canda Intan. “Pak, si empunya rumahnya pada ke mana Pak?”, tanyaku kepada Pak Mukti, sambil tetap memandangi gubuk itu, tanpa menghiraukan si Intan yang suka ngekiin orang ini.
48
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Lah… Orang Pak Mukti di sono… Noh… Lagi ngobrol ama Pak Beni…”, Intan menjawab pertanyaanku. Tanpa kusadar, aku tadi berjalan sendiri, tanpa menghiraukan sekitarku. Apakah karena aku terkagetkan dengan keadaan ini, keadaan rumah yang lebih tepatnya aku bilang kandang kambing ini. Ah… Itu kan baru cerita dari orang. Belum tentu ini sultan yang dimaksud. Masih isu… Aku menepis semua lamunanku. Aku menepisnya jauh-jauh… Tak lama kemudian, Pak Beni dan Pak Mukti menghampiri. “Iya Neng inilah rumahnya”, Pak Mukti berkata-kata, seolah menjawab apa yang ada di lamunanku. “Tapi… Kalau siang begini, mereka tidak ada Neng… Bu Mae, Ibunya Sultan, biasanya jualan makanan di Pasar Kuningan. Pak Karsa, pergi ke pabrik. Bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Sedangkan kedua anaknya sudah meninggalkan mereka, menuntut ilmu di luar kota. Kakaknya sultan, Andi, kuliah di IPB…”, Pak Mukti menjelaskan panjang lebar keadaan mereka yang memprihatinkan. “Mereka pekerja keras semua Neng… Orang kampung di sini semuanya juga tahu…”, tambah Pak Mukti. Kami kemudian pamitan. Aku masih shok mendengar cerita ini semua. Tapi sekali lagi aku tepis kabar ini. Ini pasti salah informasi. Ini salah orang. Bukan Sultan ini yang dimaksud. Pasti....
س 49
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Mobil kami berlalu ke sebuah penginapan di daerah Sangkanurip. Pak Beni membereskan semuanya. Aku sibuk dengan browsing internet dari Hapeku. Aku penasaran. Artikel yang pernah aku download, aku baca lagi. Beberapa artikel berkenaan dengan keyword bernama ‘Sultan’ ini aku cari lagi. Ada beberapa informasi mengenai anak berprestasi bernama Sultan, namun tidak ada satu kata pun yang menjelaskan hubungan antara Sultan dengan SMAN 1 Mandirancan. Begitu juga keterangan seorang anak bernama sultan yang menguasai 5 bahasa asing, internet yang bisa mengupas dan mengakses informasi sampai ke pelosok dunia pun tidak bercerita itu. Kalau ada kan sudah heboh. Bukan memulu di internet, bahkan di TV dan radio pun akan menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Aku punya keyakinan, pidato 5 bahasa itu kan bisa saja buatan orang lain, dia cuma membacakannya. Sekali lagi aku menganggap ini hanyalah isu, omongan sebagian orang saja. Sebelum aku ketemu dia, atau bermain catur dengan dia, aku tetap belum percaya akan ini semua. “Oh iya… gimana kalau malam ini kita mendatangi rumahnya saja”, gerutuku. Aku tersenyum. Sedangkan Intan asyik dengan bacaan yang aku bawa, ya… Apa lagi kalau bukan novel Laskar pelangi. Pantesan, dari tadi tertawa sendiri dia… “Dasar gila lo”, sindirku. Dia tetap bergeming.
س 50
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Baru aku merasakan udara segar seperti ini. kulupakan kepenatanku yang aku alami salama ini. kulupakan laptopku. Kulupakan Hapeku. Kulupakan buku-bukuku sejenak. Aku ingin menikmati alam yang indah ini. Kuhirup dalam-dalam O2 ini. kupenuhi udara dalam paru-paruku dengan udara basah yang segar ini. Lahan sawah yang luas, terbentang di belakang hotel ini. Tampak remang-remang goyangan padi yang siap menguning karena cahaya rembulan purnama yang sedikit tertutup kabut pegunungan Ciremai. Indah aku rasakan. Segar dada ini menikmati udara bersih. Si Intan masih berguling-guling di tempat tidur, semenjak kita nyampe di kamar ini. Belum nampak dia ganti baju, masih asyik masyuk dengan karya sastra Andrea Hirata itu. Palingpaling, bentar lagi juga dia mengeluh karena perutnya lapar. Pak Beni dan Mang Diman ada di kamar sebelah. Mereka, aku yakin, lagi tidur nyenyak. Pukul 7 malam. Aku lihat jam di hapeku. Perutku sudah terasa lapar. Udara luar yang tadinya terasa sejuk, mulai menunjukkan gigi tajamnya, menusuk-nusuk tulang rusuk ini, mengigit-gigit daging penyelimut tubuhku ini. Untung aku sudah mandi semenjak kita sampai ke hotel ini, kurang lebih pukul lima sore tadi. Kalau pun belum mandi, air panas siap untuk mengahangatkanku daging tubuhku ini. “Gue padahal sudah tau jauh-jauh hari bahwa novel ini bagus, tapi males bacanya”, sahut Intan. Tanpa melepaskan arah panah matanya dari novel di dalam pegangan tangannya itu. Aku yang ada di teras belakang hotel, masuk ke ruangan kamar. “Kalau gue sih udah tahu, tapi tensin bacanya. Baca novel kayak gitu, gak level lah ama gue. Kalau elo kan emang males baca…”, canda aku.
51
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Dia tidak beranjak sedikit pun. Tidak merasa sedang aku ledekin. “Apa musti aku yang ngomong duluan nih? Dasar….”, gerutuku. “Woi… Laper nih….”, akhirnya aku ngomong duluan juga. Kupikir dia yang akan mengeluh laper duluan. “Yuukk….”, Intan menutup buku, beranjak dari kasur dan menunjukkan ‘posisi siap pergi’, tepatnya ‘posisi siap makan’. “Dasaaaarrrr….”, gemes aku, “Denger makanan aja langsung nyamber”. “Hehehe….”, Intan cuma tertawa. Kemudian kami ke luar kamar hotel menuju lobby hotel. Aku sms Pak Beni untuk mengajak mereka ke lobby hotel, aku yakin mereka pun sudah lapar. Beberapa langkah dari kamar, “Eh… bentar, gue pake jaket dulu ah…”, Intan balik belakang lagi menuju kamar. “Aku tunggu di lobby ya Tan…”, kataku. “Yoi…”, jawab dia tanpa menoleh ke arahku. Sesampainya aku di lobby, aku memilih tempat dekat akuarium ikan arwana. Ikan Arwana merupakan ikan yang tergolong satwa langka Indonesia dengan habitat asli dari kalimantan dan juga Irian. Ikan ini mempunyai bentuk tubuh yang khas, berkesan gagah dan sedikit angkuh, dilengkapi dengan sungut pada mulutnya dan sisik yang besar dengan susunannya yang harmonis, membuat keindahan dari ikan ini sangat menonjol. Ikan ini berenang dengan tenang sehingga jika diletakkan dalam akuarium akan membuatnya benar-benar terlihat sebagai ikan yang anggun. Arwana merupakan salah satu jenis ikan yang aku gemari. Ada beberapa jenis ikan arwana, seperti arwana Silver, Gold, Super Red dan sebagainya. Namun yang mempunyai harga
52
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
jual tertinggi ataupun paling diminati oleh penggemar ikan naga ini adalah jenis Super Red. Katanya, jenis ini dipercaya membawa keberuntungan (hokie) bagi pemiliknya dan pembawa kekayaan sekaligus dapat menaikkan status sosial sang pemilik, aku sih sama sekali tidak percaya. Harga ikan arwana ini, apalagi memiliki spesifikasi khusus, bisa mencapai ratusan juta rupiah. Wow… Tak lama kemudian, pelayan datang menyodorkan menu restoran hotel ini. Seorang cowok, berbadan tegap, berwajah standar, berambut kelimis, mengunakan T-shirt berwarna hijau marun dengan logo SH di dada sebelah kirinya, dan emblem nama dengan tulisan ‘Joko Prascoyo’ di dada sebelah kanannya, serta celemek di pinggannya, plus dasi kupu-kupu hitam pekat. Persis seorang koki atau juru masak di sebuah restoran, ya iya lah… Inikan restoran. Dilihat dari namanya, cowok berumur 25 tahunan ini enggak mungkin berasal dari Sumatra Utara. Gak mungkin juga orang Bali. Pastinya dia seorang bersuku bangsa Jawa, kalau tidak Jawa Tengah, ya Jawa Timur gitu deh. “Ada makanan Eropa gak Mas?”, tanyaku kepada pelayan restoran ‘Sindang Heula’ ini, sambil membaca daftar menu yang diberikannya tadi. “Ada Mba, di baliknya”, jawab si pelayan itu sopan, sambil menunjuk daftar menu yang aku pegang dengan menggunakan ibu jari tangan kanannya. Aku membalikkan daftar menu itu. “Oke… Aku memesan salad satu, lasanya satu dan air mineral ya Mas”, aku memesan makanan italia itu. Lagi kepingin rasanya. Si pelayan itu mengulangi pesananku lagi, biasa SOP standar restoran taraf internasional, kemudian berlalu. Tak lama kemudian, Intan, Pak Beni dan Mang Diman datang.
53
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Non, Mang Diman ama Pak Beni di Meja ini ya Non…”, Mang Diman menunjuk sebuah meja, bertanda mereka tidak mau bersamaku dalam satu meja. Ya gak masalah juga. “Iya Mang… Pesen aja ya Mang…”, jawabku. Tetapi, Mang Diman malah menghampiriku, tak lama dia berkomentar dengan sedikit berbisik, “Non… Di sini yang enak makananya Soto Buntut atau Nasi Goreng Kambingnya Non…”. “Yahhh… Si mang Diman, gimana sih baru ngasih tahu, aku kan udah pesan Mang…”, aku sedikit mengeluh. Mang Diman cuma tersenyum dan kembali ke mejanya lagi. “Emang Mang Diman pernah ngerasain?...”, tanyaku penasaran. Karena seorang seperti Mang Diman, kayaknya agak tidak masuk akal deh, kalau pernah makan di restoran yang sedikit berkelas seperti ini. “Kata orang sih Non…”, jawab Mang Diman. Hahaha… Kami semua tertawa terbahak-bahak. Si Mang Diman lugu plus polos gitu. Mereka, yang aku tahu, memesan dua porsi Nasi Goreng Kambing. Intan memesan Sop buntunya. Cuma aku yang memesan makanan Eropa. Tak lama kemudian makanan yang kami pesan datang. Aku menikmati makanan itu. Tetapi di sela-sela aku makan lasanyaku, aku cicipi Sop Buntut pesanan Intan yang menurut Mang Diman enak itu. Dan… Nyyooossss…. Enak banget. Komposisi bawang merang dan bawang putinya cukup sepadan. Garamnya pun tidak mendominasi. Sedangkan merica, cukup dapat menghangatkan
54
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
tubuh kakuku, yang memang kedinginan karena udara malam yang sangat menusuk tulang-belulang sekujur tubuhku ini. “Wuah… Mantep rasanya….”, aku berkomentar. Aku langsung memesan lagi sop buntut itu, tanpa nasi. Dan, malam itu perutku terasa kenyang banget. Kontras sekali dengan keadaan perutku setengah jam yang lalu, yang lapar banget. Membuat mataku menjadi sayu, berat karena kantuk yang tak tertahankan. Rencana untuk berjalan malam ini sepertinya dibatalkan, karena memang kita sangat kecapean. “Kan ada malam besok lagi…”, gumamku. Kami pun pergi ke kamar masing-masing. Dan tanpa disadari, dan tanpa tahu apa yang terjadi setelah itu. termasuk apa yang dilakukan oleh Intan setelah makan itu. Aku pun tertidur pulas. Karena cuma aku dan Mang Diman yang belum memejamkan mata semenjak tadi pagi. Bahkan tidurku pada malam sebelumnya kan kurang dalam segi kuantitas, wajarlah malam ini aku merasa lelah dan cape sekali…
55
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
56
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
MALAIKATKU... [٤]
“Hah…”, aku melongo.
Memandangi wajah itu tanpa berkedip sedikit pun. Aku seperti melihat sorang malaikat, walaupun aku tidak tahu seperti apa bentuk malaikat itu. Ya kayak gini ini kali. Bertubuh tegap, berwajah tanpan, berhidung mancung, dan sangat luar biasa… Wuiihh lagi…
Pagi itu aku bangun pukul setengah enam. Intan masih menikmati mimpi indahnya. Aku kibaskan gorden jendelah hotel. Mentari di ufuk barat malu-malu menampakkan cahaya putihnya, sehingga kilauannya memerahkan jingganya langit raya. Kubuka pintu serambi belakang kamar hotelku. Kicauan burung gereja merdu terasa, menyanyikan lagu alam yang tanpa aku sadari, namun itu merupakan sebuah musik nyanyian alam yang sangat luar biasa indah terdengar di gendang telinga ini. Tak pernah aku menikmati pagi seasri ini, pagi selembut ini. Pagi yang hawanya masih bening, pagi yang udaranya beraroma embun nan segar, pagi yang suasanya 57
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
sesunyi nyanyian sawah, pagi yang angin semilirnya bearoma tanah teduh, pagi dengan bunyi gemericik air mengalir dari sebuah sungai jernih di belakang hotel ini, pagi dengan bunyi halus suara tanaman padi di sawah yang siap menguning karena tertiup angin mesra. “Indah banget…”, desir suaraku dari bibir ini tanpa ragu. Tanpa melepaskan pandanganku ke arah alam sekitarnya. Aku masuk ke kamarku, dan bergegas ke kamar mandi. Tak ingin aku mengabaikan pagi indah nan bening ini. Kucuci muka ini, kusikat gigi ini. Aku berganti baju dengan baju olah raga yang telah kupersiapkan. Kupakai sepatu sket pinkku. Aku berniat jogging pagi ini. Kubangunkan Intan, kuajak dia untuk menemaniku berlari, menikmati udara pagi kota Kuningan tanpa debu polusi itu. Tapi, tak kuasa sepertinya dia untuk bangun. Jangankan untuk menjawab ajakanku, respon tubuh karena goyangan tanganku saja tidak ada. Kalau saja aku tidak melihat sengau hela napasnya, atau saja hangat tubuhnya sudah tidak teraba lagi, mungkin aku mengira Intan sudah mati kekenyangan, kekenyangan sop buntut semalam. Aku memutuskan untuk pergi sendiri. Kulangkahkan kaki ini berlari ke luar hotel. Masih hening terasa. Namun beberapa orang petani dan buruh ladang mulai bergeliat menuju tempat kerja mereka, menuju pematang sawah dan kebun. Ada yang bersepeda, ada yang berjalan dengan cangkul di pundak, ada juga orang sambil mengisap tembakau dan menyeruput secangkir kopi di kedai kopi sederhana milik penduduk setempat. Sebuah keadaan nyaman yang terselip rasa sedih. Kasihan mereka, mereka pikir, menikmati indahnya alam adalah benar jika dibarengi dengan menghisap tembakau. Mereka keliru. Mereka tidak tahu, bahwa tembakau adalah perusak kesehatan, perusak otak dan pikiran serta tingkah laku. Bahkan rokok, di negara-negara maju sudah mulai dihambat pengkonsumsiannya. Lihat saja Singapura, yang
58
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
melarang penduduknya secara konsisten untuk tidak merokok di area umum. Bahkan di negara Singapura itu, di beberapa tempat umum bukanlah larangan dengan tulisan ‘area dilarang merokok’, yang ada malah tulisan ‘area untuk merokok’, karena semua tampat merupakan area bebas asap rokok dan dilarang merokok. Begitu juga di Amerika Serikat, mereka mengekspor rokok putih ke Indonesia, sedangkan di negara mereka sendiri rokok sudah mulai di larang. Berbeda dengan di Indonesia, yang merupakan sebuah surga bagi perokok. Orang merokok sudah tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Bahkan di area yang tertulis larangan merokok pun, si perokok tetap merokok. Sangat menyedihkan… Negara ini sudah diracuni oleh rokok yang menurut informasi yang aku dapat, bahwa rokok dapat membuat lebih ketagihan dari pada Narkotika kecuali heroin! Mengapa tidak, fakta menyebutkan bahwa 100% pecandu narkoba adalah perokok kok, begitu juga dengan lingkungan sekitarnya, bahwa 100% teman dekat para pecandu narkoba adalah perokok pula. Makanya aku sangat benci dengan kebiasaan rusak yang satu ini. Yang paling ironisnya lagi, hanya negara Indonesia dan Negeria lah, yang mengiklankan rokoknya di televisi. Huh… Seharusnya memang negaralah yang mengatur ini semua, harusnya negaralah memang yang mengambil inisiatif untuk memberhentikan peredaran rokok tersebut, yang menurut sumber bahwa akar rumput dari peredaran narkoba di Indonesia adalah diawali dengan rokok… Semakin jauh kuberlari meninggalkan hotel. Tak kuasa aku melewatkan keadaan seperti ini, aku selalu ingin berjogging, jika keadaan alam memang menunjang seperti sekarang ini. Tetapi apa yang terjadi dengan di Jakarta, jangankan untuk berjogging, hanya untuk membuka jendela mobil saja aku tidak mau. Dari pada
59
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
penyakit dan racun yang masuk ke tubuh ini, lebih baik kukunci rapat-rapat jendela mobilku, dan kunikmati AC hasil karya orang itu. Tak terasa, aku sudah sampai ke sebuah pasar. Tulisan ‘Pasar Kuningan’ yang mulai memudar, tertulis di sebuah papan yang pun mulai rapuh. Aku berhenti sejenak. Ingin aku cicipi makanan tradisional itu. Sudah lama rasanya lidah ini tidak merasakan makanan tradisional Indonesia. Seperti makan malam semalam, ternyata sop buntut itu luar biasa nikmatnya. Kusebrangi jalan raya. Kumasuki pasar tersebut. Kumuh memang, kotor pastinya, becek dimana-mana, tapi aku tak peduli. Aku ingin mencari makanan tradisional itu. “Hah… Itu dia”, mataku terbelalak ke arah sebuah warung doyong penjual makanan dan kue-kue tradisional. Lalu kuhampiri warung reot itu. “Berapaan Bu?”, tanyaku sambil memilih-milih beberapa kue di hadapanku. Ada kue lapis, leupeut, goreng pisang, tahu isi, gemblong, dan risoles. “Lima ratusan Neng…”, jawab si Ibu penjual dengan sopannya. Ibu itu terlihat tua, namun senyumnya mengembang menutupi wajahnya yang hampir berkeriput semua, sehingga tampak lebih berseri. Aku menerka, bahwa pasti Ibu ini cantik waktu mudanya. Bahkan sangat cantik… “Ini apa Bu?”, tanyaku sambil memegang sebuah kue berbentuk pyramid dibungkus daun pisang. “Oh itu namanya koci”, jawab si Ibu. “Koci?”, tanyaku meyakinkan.
60
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Iya Neng, koci, makanan khas kuningan, terbuat dari ketan berisi gula merah dan kacang tanah. Cobain aja, enak loh Neng…”, jelas si Ibu mempromosikan tanpa aku minta. Lalu aku membukanya satu, dan… “Hmmm… Enak Bu… Enak…”, aku berkomentar tanpa ada rasa yang aku tutup-tutupi. Memang enak banget kok. “Saya Beli ini aja, 20 biji Bu…”, aku bermaksud membeli kue itu. Karena kue yang lain kayaknya biasa, di Jakarta juga ada. “Eneng bukan orang sini ya Neng…?”, tanya si Ibu sambil memasukkan kue koci yang akan aku beli ke dalam sebuah kantong plastik seraya menatapku. Kemudian aku pun menatapnya, “Iya Bu… Saya baru datang dari Jakarta. Emangnya kenapa Bu?”, aku penasaran. “Enggak Neng, Ibu cuma asing aja. Yang biasa ke pasar ini kan orangnya itu-itu aja. Jadi Ibu udah kenal. Tapi ini lain. Kayak turis… Hehehe”, si Ibu menjelaskan sambil sedikit tertawa. “Emang saya kayak turis ya Bu…?”, tanyaku sedikit tersipu malu. “Iya Neng… Eneng cantik, kayak bule… Hehehe”, jawab si Ibu polos. “Ah… Ibu… Bisa aja”, aku tambah tersipu. Kayaknya kalau ada cermin, aku lihat mukaku pasti memerah padam, merah merona, seperti buah tomat ramun yang baru dipetik dari kebun. “Bule kok rambutnya hitam…”, gumamku dalam hati. “Semuanya jadi Berapa Bu?”, tanyaku. “Sepuluh ribu Neng”, jawab si Ibu. “Waduh… Celaka…”, aku terkagetkan. Kuraba semua kantong bajuku, tetap tidak ada. Aku lupa membawa dompetku. Bahkan hapeku pun aku lupa membawanya.
61
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Ada apa Neng, kok kaget gitu?”, tanya si Ibu penasaran. “Anu Bu… Dompet saya ketinggalan”, aku mengeluh. Udah dimakan lagi kuenya satu. “Oh itu…”, si ibu tenang kembali seperti tidak terjadi apaapa. “Gak apa-apa Neng… Eneng bisa ke sini lagi kapankapan”, jawab si ibu santai. “Atau Saya ambil dulu ya Bu dompetnya di hotel, nanti secepatnya saya kembali”, tanyaku sekaligus merupakan sebuah saran. “Gak usah Neng… Eneng bawa aja… Emang di Hotel mana Neng?”, tanya si Ibu. “Biar nanti anak ibu ke tempat Eneng, gimana?”, si ibu memberikan sebuah solusi. “Waduh ngerepotin Bu”, aku merasa gak enak. “Enggak apa-apa Neng, Ibu juga biasanya ngaterin ke hotel-hotel atau tempat-tempat lain… Gak apa-apa kok Neng…”, jawab si Ibu. Penjual kecil, namun memberikan pelayanan dan servis yang besar. “Ok Bu kalau gitu… Saya di hotel Sangkanurip, kamar 305 Bu…”, jawabku. “Iya… Eneng bawa aja kuenya. Nanti anak saya, saya suruh nemuin eneng di hotel itu. Dia sekarang lagi nganterin kue ke tempat lain. Bentar lagi juga pulang”, jelas si Ibu. “Iya Bu… Makasih banyak ya Bu”, aku berteri makasih. “Iya Neng… sama-sama”, jawab si Ibu. “Saya pamit ya Bu…”, aku pamitan sambil membawa kue yang aku belum bayar.
62
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Mangga Neng…”, jawab si Ibu dengan senyum manisnya itu. Sekarang aku sudah tahu, ‘mangga’ berarti silahkan. Aku bergegas menuju hotel. Kue yang berjumlah 19, dua puluh kurang satu, di dalam sebuah kantong plastik aku bawa. Ada yang berbeda dengan kantong plastik ini. kantong platik ini terlihat agak kusam, tidak bening. Aku tahu sekali jenis kantong plastik ini. Sebuah jenis kantong plastik yang biogradable, yang material pembentuknya dapat diuraikan secara alami oleh mikroba di dalam tanah, dan sangat tidak merusak lingkungan. Lebih mahal sih, namun si Ibu tadi kok mau-maunya ya menggunakan bahan kantong plastik ini? Padahal harga kuenya cuma 500 rupiahan. Mau mendapatkan untung dari mana? Lagian kok sempet-sempetnya ya, penjual kecil seperti si Ibu itu mau berpikir jauh ke depan untuk lingkungan dunia ini, padahal belum tentu para pemilik perusahaanperusahan besar di negara ini mau memikirkan hal seperti itu. “Ehmm…”, aku pun berdesir, termenung dalam jogging pulangku menuju hotel.
س Sesampai di hotel, kuceritakan kejadian tadi ke Intan. Intan cuma tertawa geli. “Lagian lo ngebet banget sih mau jogging?”, tanya Intan. “Ya gitu lah… Gak tahan merasakan indahnya alam ini Tan”, jawabku.
63
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Tak lama kemudian, Tok.. Tok.. Tok… Pintu kamar hotel ada yang mengetuk. “Paling si Anak Ibu itu…”, pikirku. Aku mengambil uang sepuluhribuan dari dompetku, kemudian kuhampiri pintu itu. Setelah terbuka pintu itu… “Selamat Pagi Mba… Saya mau ngambil uang kue yang tadi dibeli”, sapa anak (tepatnya seorang remaja, atau tepatnya lagi seorang pemuda gagah, ganteng, keren, cakep, wuiihh…) itu ramah. “Hah…”, aku melongo. Memandangi wajah itu tanpa berkedip sedikit pun. Aku seperti melihat sorang malaikat, walaupun aku tidak tahu seperti apa bentuk malaikat itu. Ya kayak gini ini kali. Bertubuh tegap, berwajah tanpan, berhidung mancung, dan sangat luar biasa… Wuiihh lagi… “Mba… Hallo…”, sapa dia sekali lagi. Yang kudengar bukan ‘Hallo’, tetapi ‘I love you’… Hehehe… “Hah… Iya…”, aku masih melongo. Asli, benar-benar melongo. Baru seumur hidupku aku melongo kayak gini, kayak orang cengo. Kalau Intan yang melongo kayak gini, dia sih sering banget. Ditanya dalil pitagoras oleh Pak Mamat saja kadang melongo kayak gini. “Hah… Ini…”, aku memberikan uang tersebut. Tanpa sedikit pun mengedipkan mata. Tetap memandang matanya, hidungnya dan mukanya itu. “Terima kasih Mba, saya pamit… Selamat Pagi”, dia pamitan. “Hah… Iya…”, jawabku dengan tetap melongo.
64
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Memandangi dia, sampai menghilang dari pandangan, pergi menelusuri anak tangga hotel. “Woi…”, Intan mengagetkanku seperti biasa. Tanpa tahu urusan, tapi hobinya mengagetkan orang. Namun kali ini aku bergeming. Aku tetap dengan tatapan penuh ‘longo’, maksudnya melongo. Tatapan kosong, karena yang ditatap udah gak ada. Jadi tatapan ‘melongo yang kosong’ tepatnya. “Woi… Tya… Lo liat apaan sih, kayak liat setan aja…” kaget Intan sekali lagi. Aku baru tersadar. Sambil balik badan, masuk kamar, dengan masih tatapan ‘melongo yang kosong’, napas berdegup kencang. “Tan… Gue baru melihat malaikat…”, kataku. “Bukan… Lo baru lihat setan. Lo kesambet ya?...”, Intan bingung. “Iya Tan, kesambet malaikat…”, jawabku sambil melangkahkan kaki pelan. “Setan… Bukan malaikat…”, Intan mulai tambah bingung dan tetap meyakinkan bahwa aku kesambet setan. Padahal aku yakin sekali, bukan setan yang telah menyambetku, namun malaikat. Aku duduk di kursi sofa. Dengan tatapan mata yang itu tadi, ‘melongo yang kosong’. “Tan… Gue baru lihat cowok seganteng itu. Ramah pula…”, kataku setengah, eh… enggak deh seperempat berbisik. “Matanya… Hidungnya… Alisnya…”, tambahku. Intan menghampiri, “Wah bener nih… kayaknya benerbener kesambet Malaikat… Kok lo gak ngajak-ngajak sih?”, komentar Intan.
65
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Sambil meraba jidatku dengan bagian luar telapak tangannya. Seperti orang yang sedang meraba kepala orang yang sakit demam. “Tan kita ke pasar lagi yuk…”, tanyaku spontan. Lamunanku pecah juga. Aku tersadarkan diri. “Ayukk…”, tanpa sempat Intan jawab, aku sudah menarik tangannya. Aku berharap hape dan dompetku ketinggalan lagi. Tapi sayangnya sekarang aku inget. Ku ambil hape dan dompetku. Kemudian kami bergegas pergi lagi ke pasar.
س Sesampainya di pasar, aku mencari-cari tempat si Ibu penjual kue koci tadi. Tapi tidak ketemu. “Udah Pulang kali Tya…”, komentar Intan. “Iya kali ya Tan… Coba aku tanya dulu”, jawabku. Kemudian aku mendekati seorang penjual sayur, yang menurutku dekat dengan si Ibu penjual kue koci tadi. “Maaf Pak…”, sapaku. “Iya Neng… ada apa?”, tanya Bapak itu sopan. “Saya mau tanya Pak, Ibu yang menjual kue di sana kemana ya Pak?”, tanyaku sambil menunjuk sebuah tempat kosong yang aku pikir di situlah si Ibu penjual kue tadi jualan. “Kayaknya udah pulang Neng… Gak tahu tadi buru-buru. Biasanya sih masih jualan jam segini…”, jawab si Bapak itu.
66
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Oh… Gitu ya…”, aku sedikit kecewa, “Ya Udah Pak, makasih…”, aku pun pamitan. “Mangga Neng…”, jawab si Bapak. “Udah pulang Tan…”, kataku sedikit kecewa. Air mukaku keruh. Jalanku sedikit gontai. Dan Intan pun kemudian memeluk pundakku. “Ya udah Tya… Besok kan kita bisa ke sini lagi…”, hibur Intan. “Iya Tan…”, aku meng’iya’kan. Akhirnya kami pun kembali ke hotel kami.
س Siang ini kegiatanya mengelilingi kota kuningan. Sesuai dengan ‘tour guide’ – nya Mang Diman. Kami berhasil mengunjungi Kolam Cibulan, Linggar jati, dan Balong Keramat Darmaloka… Aku menikmati tamasya ini. Selama ini aku liburan biasanya pergi ke luar negeri bersama orang tua ku. Ke Jerman (seperti Kastil Heidelberg, Istana megah yang merupakan simbol sejarah negara tersebut, terletak di Lembah Neckar), Belanda (seperti Red Light District atau Leidseplein), Rusia (seperti St. Petersburg atau pegunungan Altai) bahkan ke Amerika atau ke Canada. Apalagi ketika liburan musim semi waktu aku di SMP. Aku pernah pergi ke Italia bersama Papih dan Mamihku. Salah satu kota di Italia yang aku kunjungi adalah Roma. Kota yang romantis dengan peninggalan kuno bersejarah tersebar di segenap penjuru.
67
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Ada Colosseum, sebuah tempat gladiator yang bertarung dengan singa. Ada air mancur Fontana du Trevi yang terkenal karena lagu Three Coins in the Fountain yang dinyanyikan oleh Connie Francis. Ada Spanish Steps yang dipenuhi bunga dan pelukis jalanan. Berbeda dengan Italia, berbeda pula dengan Spanyol. Tepatnya di kota Cordoba, kota indah di tepi sungai Guadalquivir. Sekitar 1.300 tahun yang lalu, konon kota ini bernama AlQurthubah, ibu kota kerajaan Islam Andalusia, sebuah kota terbesar dan termaju di jamannya. Ketika jalan di London masih sempit berlumpur dan gelap gulita, Cordoba sudah bermandikan cahaya lampu. Ketika raja-raja Eropa belum kenal mandi, air mancur dan pemandian umum untuk rakyat bertaburan di kota ini. Dan ketika Eropa diselimuti kegelapan takhayul dan kebodohan, Cordoba telah memancarkan cahaya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan cahaya tauhid. Beberapa negara Asia pun pernah aku kunjungi, China (dengan pegunungan Himalaya dan tembok raksasanya), Jepang (dengan gunung fuji dan tokyo towernya), Malaysia (dengan menara petronasnya) dan Singapura (Sculpture Walk). Untuk dalam negeri, paling aku pernah ke Tanah Toraja, Bali dan Lombok. Menurutku, keasrian tempat-tempat tamasya di Indonesia tidak kalah indah bila dibandingkan dengan tempattempat tamasya di luar negeri. Bahkan menurutku, tempat wisata di Indonesia masih lebih hebat dan mengagumkan, hanya saja negara kita kurang melakukan sosialisasi, promosi dan komunikasi. Ditambah pula dengan tidak adanya sense of belonging (rasa memiliki) dan menjaganya. Sehingga berkesan kumuh, sampah di mana-mana, keamanan kurang terjaga dan tidak terawat. Malamnya kami merencanakan untuk mengunjungi rumah Sultan yang pernah ditunjukkan oleh Pak Mukti. Sesampainya di
68
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
sana, rumah itu pun tetap tidak berpenghuni, alias kosong. Walaupun kami mencari informasi ke para tetangganya, mereka tidak ada satu orang pun yang tahu kemana mereka pergi. Kami pun kembali ke hotel. Kami menghabiskan malam dengan makan malam dan nonton tv di kamar masing-masing, sampai rasa kantuk menghampiri, dan tubuh ini terbuai mimpi malam yang indah. Mimpi tentang seorang ‘malaikat tampan’, yang mengunjungiku tadi pagi. Aku tidak begitu bersemangat lagi untuk mencari Sultan, bahkan aku lebih bersemangat mencari si ‘Malaikat tampan’ itu.
س Paginya aku langsung membangunkan Intan. Kami pergi ke pasar untuk menemui si Ibu penjual kue koci dan si ‘malaikat tampan’ itu. Setalah kami menelusuri kurang lebih 1 jam, kami tidak menemuinya. Tidak ada seorang pun, katanya, yang melihatnya hari ini. Aku pun sedikit kecewa. Kami pun kembali ke hotel dengan muka agak kusam, khususnya aku. Karena semalaman ini, ‘malaikat tampan’ itu selalu bermain-main di dalam pikiranku ini. Setelah sarapan, setelah matahari menggelincir menuju ufuk barat, sehingga panjang bayangan sama dengan panjang bendanya, kami pun check out. Kami kembali ke Jakarta lagi dengan angan dan harapan yang hampa. Dengan penggapaian yang tidak maksimal. Dengan pencapaian hasil yang kurang sempurna.
69
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
70
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
SEKOLAH LAGI [٥]
“Mungkin hari ini belum
masuk. Katanya anak pinter, tapi kok tidak disiplin. Gimana pun kan hari ini sekolah sudah dimulai, dan absensi sudah mulai berlaku…”, aku bergumam dalam hati.
Hari ini adalah hari pertama aku sekolah di kelas dua. Seminggu yang lalu, pengumuman psikotes sudah bisa aku tebak. Aku berhasil mendapatkan pringkat pertama. Nilai IQ (Intelligence Quotient)-ku adalah 160. Termasuk kategori jenius. Artinya, kemampuan otakku, sama dengan kemampuan otak orang berumur 25 tahun, padahal aku baru berumur 15 tahun. Walaupun memang tidak dapat menyamai seorang Sao Yano (Jepang – Korea berwarganegara USA), yang merupakan anak yang memiliki IQ tertinggi di dunia, di mana hasil tes IQnya melebihi nilai 200, jauh di atas rata-rata dan masuk kategori sangat jenius. Untuk peminatan, aku masuk kelas 2A, masuk kelas pertama untuk peminatan IPA. Tanpa disangaja pun, Intan, 71
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
sahabatku pun masuk kelas 2A juga. Berarti aku akan tetap bersamanya hingga kelas tiga nanti. Peminatan IPA ada 4 kelas, peminatan IPS ada 6 kelas, dan sisanya, satu kelas peminatan bahasa. Aku dan Intan langsung mencari siswa yang benama Sultan. Hari pertama sekolah, biasanya hari pertama yang bebas. Kami datangi setiap kelas IPA, namun tidak ada satu orang sosok siswa baru pun di ketiga kelas IPA tersebut. Aku tanya ke ruang guru, dan aku dapat informasi bahwa siswa yang bernama Sultan masuk ke kelas 2D, kelas keempat di peminatan IPA. Kami kembali lagi ke ruang kelas 2D. Sosok anak baru pun tetap tidak ada. Keadaan kelas adalah bebas. Karena memang hari ini adalah hari bebas. Hanya dipergunakan oleh para siswa untuk bercanda, atau saling berkenalan. “Mungkin hari ini belum masuk. Katanya anak pinter, tapi kok tidak disiplin. Gimana pun kan hari ini sekolah sudah dimulai, dan absensi sudah mulai berlaku…”, aku bergumam dalam hati. “Jelas dia bukan levelku, aku sangat tidak menghargai jika ada orang yang tidak menghargai kesempatan. Atau bahkan menyepelekan sekolah. Ya… seperti si Sultan ini nih…”, tambahku.
س Begitu juga dengan hari kedua, ketiga dan seterusnya. Aku bahkan sudah tidak memperhatikan dan mempermasalahkan itu lagi. Aku sudah fokus lagi ke habitat asalku, belajar dan belajar, bekerja dan bekerja. Semua tugas dari guru aku kerjakan dengan maksimal. Les privat-ku pun sudah mulai aku lakukan dengan giat. Aku sudah
72
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
mulai menambah teman di facebook-ku. ‘Cerita Sultan’ menurutku hanyalah cerita fiktif belaka. Padahal ini adalah kenyataan. Kenyataan yang harus dihadapi.
73
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
74
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
SULTAN… [٦] Tapi… “Ah… Aku musti menghampirinya. Lupakan itu. Gak boleh itu terjadi”, aku berusaha menepis itu dan mencoba untuk masuk ruangan kelas 2D. Aku ingin mencoba menggunakan teorinya Papihku, ‘jangan pikirkan apa yang kau khawatirkan, itu hanyalah sebuah mind blocking saja, dan hampir tidak pernah terjadi’. Namun baru langkah pertama saja kulakukan, kaki ini sudah tidak bisa aku gerakan lagi… Seperti berjalan di dalam lumpur di pematang sawah, yang tebalnya setengah meter. Berat sekali untuk digerakkan.
Dua bulan berlalu sudah di kelas dua ini. lima belas menit sebelum kelas dimulai, aku sudah duduk rapih di bangkuku. Tak lama kemudian, dengan sedikit berlari, Intan menghampiriku. Terengah-engah dia, seperti habis dikejar setan alas. Namun aku melihat wajah yang sumringah, dan sinar matanya menunjukkan ketakjuban. Lalu dia berbisik dengan desah napas yang masih tersengau-sengau, “Tya, anak baru itu sudah ada…”. 75
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Apa?... Dimana?...”, tanyaku sedikit terkagetkan. “Di kelas 2D. Tadi aku ngeliat dia. Semua anak membicarakan anak baru itu. Ganteng loh Tya…”, jelas Intan. Dadanya masih naik turun, napasnya masih tidak beraturan. “Makanya olahraga...”, gumamku dalam hati. Tanpa babibu dan tatitu lagi, aku menarik tangan Intan. Kami menuju kelas 2D, dan dari balik jendela kelas itu aku perhatikan sebuah sosok yang… “Itu kan malaikat tampan itu…?”, aku terkagetkan. Mataku terbelalak tanpa berkedip. Bibirku bergerak-gerak, seperti mengucapkan sesuatu yang suaranya tidak sampai ke luar dari mulut, jadi hanya hatiku saja yang mendengarnya. “Sultan kah malaikat tampan itu?”, Aku terus memandanginya tanpa menghiraukan sekitarnya. “Apa Tya… Malaikat itu?”, tanya Intan penasaran. “Iya Tan… Itu dia…”, jawabku datar, tanpa melepaskan pandangan itu padanya. Dunia memang tidak selebar daun pepaya… Eh daun kelor. Pak Rohim pun datang ke kelas kami. Seperti sebuah benda transparan, ketika guru kesenian itu masuk kelas, aku sama sekali tidak memperhatikannya. Aku masih terpikirkan, otakku masih memutar kembali kenangan indah tersebut. Pandangan pertama ketika di hotel Sangkanurip Kuningan itu teringat lagi. Lembutnya senyuman itu sangat mengguncang pikiran ini. Sapa ramahnya, masih menjadi sebuah nyanyian termerdu di gendang telingaku ini. Apakah dia mengingat momen itu? Aku yakin tidak. Konsentrasiku selama pelajaran berlangsung hari ini tidak karuan. Sungguh, ini pengalaman keduaku, aku tidak konsentrasi di dalam kelas. Setelah kejadian Mamihku masuk rumah sakit karena sakit mendadak, dan itu kejadian ketika di kelas 1 SMP, ketika aku di Jerman. Secara
76
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
kebetulan, waktu kejadian itu berlangsung, Papih dan Mamihku sedang pulang ke Indonesia. Aku di sana hanya bersama pembantu. Walaupun hanya dalam waktu seminggu, namun ternyata kejadian itu lebih cepat terjadi. Bayangkan, Mamihku sakit, sedangkan aku jauh darinya. Tak karuan pikiranku hari itu. Dan besoknya aku meminta ijin kepada pihak sekolah untuk langsung terbang ke Singapura, tempat Mamihku dirawat di Tan Tock Seng Hospital, diantar oleh Mba Laurence waktu itu. Sekarang kejadian itu kembali lagi. Aku tidak konsentrasi sedikit pun. Intan malah mentertawakanku. Ngeledekin aku. “Deeuuuh… yang lagi jatuh cinta”, ledek dia. Iya nih… Gak tau nih… Baru aku merasakan hal seperti ini.
س Waktu istirahat, yang biasa aku gunakan untuk ke kantin, aku abaikan. Aku pergi ke ruang kelas 2D. Aku adalah gadis yang energik. Gadis yang tidak takut dan malu untuk apa pun. Tetapi, untuk urusan ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya untuk berkenalan atau menanyakan sesuatu, atau hanya sekedar untuk membuka pembicaraan kayaknya gak sanggup deh… Aku hanya bisa memandanginya dari jendela kelas 2D. Dia lagi menulis sesuatu, tidak ke luar kelas. Sedangkan teman-teman yang lainnya ke luar semua. “Har… ”, panggilku pada temanku yang kelas 2D. Kebetulan anak keturunan Ambon ini lewat di depanku.
77
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Sini…”, pintaku. Dia pun bergegas menghampiriku. “Apa Tya…”, tanya Hari. “Enggak gue mau tanya… Katanya ada murid baru ya di kelas lo…?”, aku bertanya dengan nada datar, supaya tidak dicurigai sedang memata-matai. “Yoi…. Sultan namanya… Dari daerah katanya…”, jawab Hari pendek, dengan nada Ambonnya yang kental, yang bernada menaik memekikkan telinga di setiap akhir kalimat yang dia ucapkan. “Oh gitu ya… Makasih ya…”, aku berkomentar dan berterima kasih. “Oke”, jawab Hari sambil berlalu. Walaupun satu kata, nada suaranya tetap meninggi di akhir suku katanya. “Masuk… Engga… Masuk… Engga…”, kuingin menemuinya di kelas itu. Namun, lutut ini lemas tak bertenaga. Tangan ini dingin dan bergetar tak menentu. Dada ini mendadak sesak tak karuan. Napas ini tersengau-sengau. Luar biasa rasa yang aku sedang rasakan ini. kok gini ya… Tapi… “Ah… Aku musti menghampirinya. Lupakan itu. Gak boleh itu terjadi”, aku berusaha menepis itu dan mencoba untuk masuk ruangan kelas 2D. Aku ingin mencoba menggunakan teorinya Papihku, ‘jangan pikirkan apa yang kau khawatirkan, itu hanyalah sebuah mind blocking saja, dan hampir tidak pernah terjadi’. Namun baru langkah pertama saja kulakukan, kaki ini sudah tidak bisa aku
78
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
gerakan lagi… Seperti berjalan di dalam lumpur di pematang sawah, yang tebalnya setengah meter. Berat sekali untuk digerakkan. “Ya ampun… Ini kenapa?...”, aku pun kembali lagi ke ruang kelasku. Tenaga ini tidak cukup untuk melakukannya, tidak cukup untuk mengayunkan dan menarik kakiku dari gumpalan lumpur yang lengket tersebut, walaupun kedua belah tangan ini sudah diusahakan secara maksimal untuk mencoba mengangkatnya, tapi sia-sia. Teori ‘mind blocking’nya Papihku tidak berhasil aku terapkan untuk ‘Kasus menghadapi malaikat ganteng’ ini. Aku musti menggunakan teori lain, mungkin teorinya Dale Carnagie lebih mantap digunakan pada kasus ini, ‘if you think you can, you will’. Di rumah pun konsentrasiku pecah berkeping-keping. Hancur minah… Tenaga ini hilang untuk melakukan aktivitas rutinku. Aku seperti habis terkena diare akut, dehidrasi, sehingga kehabisan tenaga untuk melakukan aktivitas apa pun, yang aku lakukan hanyalah berbaring di tempat tidur. “Ya ampun… ini kenapa sih…? kok konsentrasiku ini gak karuan gini ya…?”, aku bergumam. Sambil kupandangi langit-langit ruangan kamarku. Semenjak pulang dari sekolah, tidak ada aktivitas yang berarti yang bisa aku kerjakan. Aku masih terbayang dengan sosok itu, sosok purnama di kala senja, sebuah sosok tetes embun di kegersangan gurun sahara. Sangat susah aku menepisnya. Bahkan Bu Mien pun, guru lesku yang berkacamata minus tiga setengah untuk mata sebelah kirinya dan minus dua seperempat untuk mata sebelah kanannya, aku cuekin, ketika les privat tadi. Sampai-sampai aku minta ijin untuk tidak les, untuk pertama kalinya semenjak aku hidup! Wush…
79
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Sultan…”, itu kata-kata yang selalu aku ucapkan, selain kata ‘Sultan’. Aku merasa dunia indah, langit berwarna, udara semerbak, ketika kata itu keluar dari mulutku. Serasa hati ini tentram dan merasa tenang. Jangankan untuk berbicara, berkenalan pun aku belum. Namun, kharisma jiwa dan aroma tubuh itu telah bisa aku rasakan. “Inikah Cinta…?”, desahku. Namun dinding kamarku, langit-langit ruangan ini, meja dan kursi, boneka dan mainan yang aku pajang, tidak ada satu pun yang memberikan jawaban itu. Bahkan photo Bung Hatta yang hitam putih pun membisu seribu bahasa. “Inikah Cinta…?”. Sampai aku pun tertidur pulas…
س Paginya aku bergegas ke sekolah. “Makan dululah Tya…”, kata Mamih yang sedang mengolesi roti tawar dengan sale nenas cap duren sawit. “Engga Mih… Udah kesiangan…”, jawabku. Sambil kuciumi pipi kiri dan kanan Mamihku. Padahal ini jauh lebih pagi dari biasanya aku pergi ke sekolah. “Dah… Mamih…”, aku pun pergi. Mamih tertegun, tak berkata apa-apa. Sesampainya di sekolah, tentu sekolah masih kosong. Aku segera masuk ke ruangan kelasku. Masih kosong juga. kusimpan
80
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
tasku, dan aku bergegas ke ruangan kelas 2D. Dan… Ternyata dia sudah ada di kelas itu. Ini momen yang paling tepat, pikirku, untuk menghampirinya dan berkenalan. Aku ingin memandang ini semua biasa saja. Tidak ada kata jatuh cinta di dalam kamus hidupku. Aku ingin berkenalan dengan dia, dan ingin mengatakan siap berkompetisi dengan dia. Mudah-mudahan, teori Dale Carnegie yang akan aku gunakan sekarang ini, akan berhasil. Aku masuk ke kelas itu. Aku melihat dia sedang menulis sesuatu. “Hai…”, sapaku pelan. Dia menoleh. “Ya ampun… Senyumannya itu…”, gumamku dalam hati. “Hai juga…”, dia membalas sapaanku. Ditambah dengan senyuman yang… Ampun dah… “Mmm… Lo Sultan ya…? Anak baru itu…?”, tanyaku. Aku coba tutupi semua rasa yang aku alami selama ini. “Iya… Aku Sultan…? Kamu?”, dia bertanya. “Gue Tya…”, aku menjawab. Kami pun berjabatan tangan. Ada rasa berbeda dari sentuhan tangan itu, lembut namun terasa sebuah keteguhan, sopan namun menunjukkan kegigihan. Inilah ‘Malaikat Tampan’ itu. Malaikat yang pernah aku temui di Kuningan itu. Hanya ada satu hal yang berbeda, aku merasakan dia lebih tampan dari pertemuan pertama dulu… Apakah dia masih mengenalku? Apakah dia masih mengingat kejadian itu? kejadian yang membuat aku merasakan sebuah getaran yang sangat luar biasa di hati ini, suatu perasaan yang tidak pernah aku alami sepanjang hidupku. Ah… Itu gak penting. Yang terpenting sekarang aku sudah berhasil berkenalan dengan dia. Dan siap bertempur dalam kompetisi persaingan positif, yang menjadikan adrenalin kompetisiku ini semakin menggila.
81
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Mungkin itu segi positif dari perkenalan ini. Aku ingin menghindari ketertarikanku dengan dia. Dan aku yakin itu bukan cinta. Sekali lagi itu bukan cinta. Ternyata teori Dale Carnegie lebih ampuh dari teori Papihku. “Oh Tya… Yang juara umum itu ya?”, tanya dia langsung akrab dan hangat. “Loh… Lo tahu dari mana?”, tanyaku lagi, dengan sedikit agak mengkerutkan kening. “Tahu lah Tya… Itu pertama kali yang aku tanyain ketika aku baru sampai di sekolah ini…”, jelasnya. “Maksudnya…?”, tanyaku heran, dengan bertambah sedikit kerutan di keningku ini. Tapi aku yakin, aku tetap cantik walau pun keningku sedang berkerut. “Kenapa yang ditanyain juara umum sekolah?...”. “Ya iyalah Tya… Aku kan ke sini tujuannya untuk sekolah, untuk belajar, untuk berprestasi. Yang pertama aku ingin tahu ya prestasi di sekolah ini. Dan jawaban dari Pak Agus, ya kamu itu… Supaya aku pun tahu barometer perjuangan dalam prestasi ini…”, jelas dia lebih lanjut. Lumayan juga filosofi hidupnya. “Oh gitu…”, aku mencoba untuk mengerti. “Elo juga, gue dengar bintang kelas ya?”, tanyaku to the point. Grogiku udah mulai hilang. Jiwa bertempurku untuk berkompetisi mulai tumbuh dan berkembang. “Ah… Enggaklah… Itu enggak seberapa Tya… Biasa saja…”, jawabnya sok merendah. “Sok merendah atau takut tuh…”, bisiku dalam hati. “Oh gitu ya…”, aku meng’oh’ lagi.
82
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Lagi ngapain?...”, aku bertanya lagi, menetralisir kevakuman kami berbicara. Dari kemarin aku melihat dia cuma menulis dan menulis saja. “Ini Tya, aku lagi ngerjain PR. Tadi malem gak sempet ngerjain? Ketiduran. Soalnya kemarin aja, datang dari daerah, aku langsung ke sekolah”, jelas dia panjang lebar. Seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Apa adanya. “Oh… PR apa?”, tanyaku lagi. “PR Pak Gunawan, Fisika…”, jawab dia pintas. “Fisika…? Tetang kesetimbangan itu kah?... Ya ampun gue juga belum…”, tanpa pamit, tanpa permisi, aku berlari ke ruangan kelasku. Aku lupa, aku pun belum mengerjakan PR itu. Jam pertama lagi. Semalem, kan aku hanya memikirkan ‘Malaikat Tampan’ku itu saja, jadi gak sempet mengerjakan PR. Sultan cuma menggelenggeleng kepala saja, dan senyum simpul. Yah itulah pertemuan pertamaku dengan ‘Malaikat’ku. Perkenalan yang malah menonjoknonjok semangat pertempuranku. Semangat berperang dengan gigih untuk memenangkan sebuah kompetisi bergengsi. Menurutku ini kompetisi sangat bergengsi, kompetisi yang membuatku sekarang ini dihargai oleh teman dan guruku karena prestasi puncak itu.
83
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
84
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
FENOMENA GANJIL [٧] Di balik kaca mobil, di luar sana, dia pun mengangkat tangan membalas lambaian tanganku dengan tersenyum manis. Aku sangat senang dan bahagia hari ini, karena walaupun sejenak dan sekejap mata, aku berhasil bersama dan berbincang dengan dia. Baru kali ini aku mengangkat tangan untuk melambaikan tanganku ke seorang cowok. Tapi, untuk Sultan aku lakukan itu dengan tulus dan ikhlas. Aku amati dia, sejalan dengan laju mobil yang dikendarai Mang Diman menjauhi sekolah. Aku bahkan memperhatikan dia menaiki sepeda, mengayuh sepeda dan ke luar dari sekolah, sampai pandangan itu menghilang dari pelupuk mata.
Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PERCASI) mengadakan pertandingan catur antar SMA seluruh Indonesia bulan depan. Pengumuman itu terpampang jelas di papan pengumuman sekolah. Sebuah poster besar dengan logo PERCASI dengan tema “SPORTIVITAS MEMBANGUN BANGSA” menempel mentereng di papan pengumuman sekolah tepat di depan ruangan guru SMA
85
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Favorit – Jakarta. Aku yakin Sultan telah membacanya. Aku belum pernah mengikuti pertandingan catur secara nyata, yang aku lakukan hanyalah pertandingan simulasi game catur di internet. Tapi menurutku itu sudah cukup mewakili, bahwa aku berkualitas dalam permainan catur. Aku harus ambil formulir perndaftaran pertandingan berhadiah 5 juta rupiah itu. Bukan masalah uangnya, tapi prestise dari kejuaraan itu menunjukkan bahwa aku orang yang berprestasi di segala hal. Apalagi, kejuaraan ini digelar di sekolahku, sekolahku menjadi tuan rumahnya. Itu kan asyik. Selepas bubaran kelas, aku pergi ke ruang BP untuk mengambil formulir pertandingan catur itu. “Udah banyak Pak yang daftar?”, tanyaku ke pak Iman, guru agama yang merangkap guru BP itu. Guru yang selalu berpakaian rapi dan necis, berkepala plontos dengan tanda hitam di jidatnya, tepatnya di kening. “Sudah Tya… Kurang lebih ada 30 orang. By the way, kamu bisa catur juga Tya…?”, tanya pak Iman. “Nah ini dia… Kalau tidak ditunjukkan ke dunia luar, kan berarti potensi diri ini tidak akan ada yang tahu…”, gumamku dalam hati, “bisa lah Pak, cuma catur gitu loh…”. “Hehehe… Iya Bapak percaya kok… Selamat bertanding aja ya…”, jawab Pak Iman, sambil berlalu sembari membawa map ke luar ruangan guru BP tersebut, “Saya pergi dulu Tya… Ada urusan… Nanti formulir yang udah diisi, dimasukkan aja ke map merah itu ya Tya…”, tambah Pak Iman. “Iya Pak… Saya isi dulu ya Pak formulirnya… Makasih…”, aku mengambil formulir ini dan mengisinya di luar ruang BP sambil duduk. Setelah berhasil mengisi data isian yang ada di formulir itu, aku bermaksud mengembalikannya kembali dan beranjak dari
86
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
kursiku. Aku terkagetkan dengan sosok yang sedari tadi berdiri di dekatku, dan memperhatikanku. Mungkin selama aku mengisi formulir itulah, dia memperhatikanku. Dialah Sultan. “Eh… Elo…”, aku kaget campur grogi juga. Tapi, jelaslah aku bisa menutupinya. “Ikut pertandingan catur juga?”, tanya Sultan dengan senyum yang khas mengembang. “Iya nih… Pengen coba kemampuan…”, jawabku tegas. “Lo udah daftar?”, tanyaku. “Udah… Udah aku balikin kok formulirnya…”, jawab Sultan. “Sip deh… Eh… Gue balikin ini dulu… Bentar ya… Lo mau pulang juga kan?”, tanyaku lagi, sambil menunjukkan formulir dalam genggamanku ini untuk aku kembalikan ke mejanya Pak Iman. “Iya… Mau pulang…”, jawab Sultan pendek. “Oke tungguin ya… Kita pulang bareng…”, ajakku. Kemudian aku pun masuk kembali ke ruang guru BP tersebut. Sultan cuma mengangguk dan tersenyum. Senyum manis yang tidak pernah lepas dari bibir tipisnya itu. “Mmmm… Gemes gue…”, bisikku dalam hati. Ketika aku ke luar lagi dari ruang BP, aku melihat dia sedang duduk dan asyik mainin hapenya. Aku tahu hape itu, hape yang murah meriah. Hape lama yang sudah tidak mungkin ada stoknya lagi di pasaran. Kasihan juga dia ya, menggunakan hape yang seperti itu. Paling juga hape itu hanya bisa untuk sms dan telepon, itu pun kalau layar dan tombol-tombol yang ada pada key pad-nya masih bisa berfungsi. Ironis juga. Di jaman kayak gini, masih menggunakan hape yang sejenis itu. Di sisi lain, hapeku merupakan hape keluaran terbaru, bisa berfungsi sebagai laptop
87
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
juga, bisa akses internet, video streaming dan chating. Tapi aku tidak melihat suatu ketidakpedean menghinggapi diri Sultan. Apa emang dia kepedean? Atau kerena dia tidak tahu tren? Hehehe… “Yuk… Mau pulang bareng?”, tanyaku lagi. Aku ingin mengenal dia lebih dekat. Karena aroma diri dan pesona pribadinya itu yang membuat aku ingin mengenalnya lebih jauh. Di mataku, Sultan adalah temanku yang paling keren. Jauh meninggalkan kekerenan teman-teman laki-lakiku yang menginginkan mendekati aku. Walaupun dia dalam kesahajaan dan kesederhanaan, di mataku dia tetap ‘Malaikat’ku… “Yuk…”, jawab dia sambil beranjak dari bangku, dengan pandangannya tetap ke layar hapenya. Kami melangkah meninggalkan ruang guru BP bersama. “Elo pulang pake apa Tan?...”, tanyaku. Aku pikir paling dia pulang pake metromini, bis atau angkot dan sejenisnya. Atau malah jalan kaki saja mungkin. “Sepeda…”, jawab dia tegas, pede dan tanpa ada keraguan. “Sepeda? Di Jakarta ini? Sepanas ini?...”, tanyaku bertubitubi karena kaget mendengar jawaban dia itu. “Iyah… Sepeda… Emang kenapa? Some thing wrong with bycicle?”, tanya dia dengan gaya bahasa Inggris yang fasih. Mulai deh bahasa asingnya muncul. Tapi ini baru bahasa Inggris, belum 4 bahasa lain. Nanti-nanti akan aku pancing dengan bahasa asing yang lain. “No… Nothing at all…”, jawabku dengan Inggrisku juga. Aku tidak mau kalah, karena bahasa Inggisku pun sangat fasih. “Oh… I think…”, jawab dia. “You think what?...”, kejarku. “Enggak… Enggak apa-apa…”, dia pun tersenyum.
88
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Jadi gak bisa bareng dong?...”, tanyaku agak sedikit kecewa. Padahal aku berharap bisa pulang bareng dia. “Emang rumah lo di mana?”, tanyaku sekedar ingin tahu. “Cibinong…”, jawabnya singkat. “What…?! Cibinong? It is so far from here, isn’t it?...”, lagi-lagi aku terkagetkan dengan jawaban dia. Daerah cibinong dari sekolah ini cukup jauh. Sekolah ini ada di daerah Jakarta Barat, sedangkan Cibinong ada di daerah Bogor. “Itukan gila!?”, pikirku. “Yup… So far, but it is ok for me… Never mind…”, jawab dia santai. Seperti bukan permasalah berarti buat dia. “Saya udah biasa kok…”, tambah dia. Aku cuma bisa mengangguk. Sebenarnya, tepatnya mengangguk tanda takjub. “Atau mungkin kita makan dulu ya…?”, tanyaku lagi. Terkesan memaksa untuk bersama sih, tapi memang itu kok yang aku inginkan. Tidak ingin kesempatan bersama ini hilang, di mana teman-teman sekolah pun sudah pada pulang, dan si Intan, yang cerewet dan sering ngekiin orang, itu pun sedang tidak bersamaku. “Gimana, mau kan?”, tanyaku lagi sedikit mendesak. “Aku traktir deh…”, tambahku. “Iya… Mau sih…”, jawab dia agak berat. Aku melihat ada rasa ingin menerima ajakanku, tapi sepertinya dia memang sedang tidak bisa. “Tapi… Aku musti segera pulang. Aku musti ngajar…”, jawabnya.
89
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Ngajar?”, sekali lagi, aku terkagetkan oleh fenomena dirinya yang tidak seperti kebanyakkan orang. “Iya Tya… Aku musti ngajar anak madrasah sore ini. waktunya mepet sekali. Aku pengen makan bareng kamu, tapi aku enggak sempet. Maaf ya… Lain kali ya…”, jawab dia dengan sopan dan sama sekali tidak menyinggungku. “What?! Anak madrasah!?”, aku bertanya kaget di dalam hati. Aku tambah terkagetkan, dengan jawaban-jawaban dia akan fenomena-fenomena nyata dirinya itu. sampai-sampai katakata ini tertahan di tenggorokkanku. “Hape jelek, Sepeda, Cibinong, ngajar anak madrasah… Lantas apa lagi…? Apa lagi…?”, gumamku, masih dalam hati. “Oh gitu ya…”, aku meng’iya’kan jawabannya. Walaupun aku agak kecewa, karena tidak bisa berbarengan lebih lama dengan dia. Tapi dia bilang, dia mau makan bersamaku some day, lain waktu. Lagian, aku pun harus segera pulang, karena guru privatku pun pasti sudah mengungguku di rumah. “Sepeda kamu di mana?”, tanyaku lagi. “Tuh…”, jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah sepeda onta warna hitam, tua dan kumal, yang tergeletak di antara motor-motor mengkilap di tempat parkiran motor sekolah kami. Di penutup bannya menempel gambar bendera merah putih, bertuliskan ‘Merah Putihku’. Lagi-lagi, jawaban dia membuat kepala ini bergelenggeleng tanpa henti, hati ini menciut dan mengkerut tanda ‘tidak percaya’, atau jika tidak mau ekstrim, ‘sedikit tidak percaya’. Dia mengambil sepeda itu, menuntunnya ke arahku. Kami pun berjalan menuju mobilku yang kebetulan diparkir di dekat gerbang ke luar,
90
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
jadi kita berjalan searah. Kemudian aku pun naik dan masuk ke dalam mobil, di mana Mang Diman sudah menunggu dari tadi. “Gue pulang dulu ya…”, aku pamitan dari kaca jendela mobil yang aku buka secara elektronis. “Iya… Ati-ati ya…”, pesannya sopan, sambil masih memegang stang dan menuntun sepedanya, sambil berdiri di samping mobilku. “Daahh...”, aku mengangkat tanganku dan melambaikan tanganku sebagai salam perpisahanku. Sedangkan mobil yang dikendarai Mang Diman mulai melaju meninggalkan gerbang sekolahanku. Di balik kaca mobil, di luar sana, dia pun mengangkat tangan membalas lambaian tanganku dengan tersenyum manis. Aku sangat senang dan bahagia hari ini, karena walaupun sejenak dan sekejap mata, aku berhasil bersama dan berbincang dengan dia. Baru kali ini aku mengangkat tangan untuk melambaikan tanganku ke seorang cowok. Tapi, untuk Sultan aku lakukan itu dengan tulus dan ikhlas. Aku amati dia, sejalan dengan laju mobil yang dikendarai Mang Diman menjauhi sekolah. Aku bahkan memperhatikan dia menaiki sepeda, mengayuh sepeda dan keluar dari sekolah, sampai pandangan itu menghilang dari pelupuk mata. Sepanjang jalan aku memikirkan banyak hal tentang fenomena nyata kehidupan dia dari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Hape, sepeda, Cibinong, mengajar di madrasah, sampai dengan fenomena sepeda onta, membuat bulu kudukku merinding memikirkannya. Fenomena ganjil yang membuat pikiran ini ‘sedikit tidak percaya’. Tapi itulah kenyataanya. “Dari awal, memang cerita tentang Sultan merupakan fenomena ganjil untukku…”, gumamku dalam hati.
91
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Yah…”, aku terkaget karena lupa satu hal. “Ada apa Non?”, tanya Mang Diman. “Ah enggak Mang”, jawabku singkat. Padahal ada satu hal yang aku lupakan, dan itu sangat penting menurutku. Apa coba…? Ya.. Itu dia. Aku lupa meminta nomor hapenya… Gubrak…!
92
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
PERANG 2 KERAJAAN [٨]
Kerajaan
putih, kerajaan milik lawanku, tidak cukup tenaga untuk menggempur pertahanan. Sehingga sebuah serangan Gajahku, membuyarkan pertahanan lawan, dan pasukan yang terdiri dari ratu, kuda dan menteri mereka, yang telah mampu masuk merengsek pertahanan kerajaanku, harus mereka tarik kembali untuk membantu pertahanan. Dan sebuah kesalahan dilakukan dalam satu langkah, menyebabkan aku bisa melakukan skak mat. Dan Wussss… Aku memenangkan pertandingan ini.. Lega rasanya…
Hari pertandingan catur itu pun datang juga. Semua peserta, yang berjumlah lebih dari 200 orang dari seluruh sekolah SMA seluruh Indonesia itu, hadir di aula megah milik sekolah kami. Pak Agus Baskoro memberikan pidato pembuka. Sedangkan acara ini dibuka secara resmi oleh Utut Ardianto, seorang pemain catur level dunia asal Indonesia. Beliau pun merangkap sebagai ketua Sekolah Catur Utut Ardianto di Bekasi, dan sekaligus sebagai ketua
93
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
panitia pertandingan ini. Ada sebuah kata-kata dari pidato Utut Ardianto ini yang membukakan mata hati pikiran ini, di antara bunyi pidato ini adalah: ‘Ada beberapa nilai yang bisa diambil dari permainan catur ini: pertama, permainan catur melatih kita menghargai orang lain. Betapa tidak, seberapa lama pun lawan kita berpikir untuk melakukan langkah berikutnya dari bidak-bidak catur itu, kita harus tetap sabar menunggu. Yang kedua, seorang pecatur dituntut cermat sebelum melakukan sebuah tindakan. Dipikirkan matang-matang, efek positif dan negatifnya. Di mana, bidak yang kita sentuh dan diangkat untuk dijalankan, ‘haram’ hukumnya untuk dikembalikan ke tempat asalnya, dalam arti lain, bidak itu harus dijalankan. Yang ketiga, cermat. Setiap tindakan dan langkah yang kita lakukan haruslah dicatat dengan aturan-aturan tertentu, sehingga dapat di-trace di kemudian hari, sehingga kolusi dan korupsi tidak akan pernah terjadi. Yang keempat, menjadikan diri ini berlaku jujur. Jika dua orang pecatur yang sedang bertanding, satu bidak yang digeser atau diambil dengan sengaja untuk dihilangkan dari papan pertandingan, pasti 2 pemain itu tetap ingat. Jadi tidak mungkin melakukan sebuah kecurangan. Yang kelima, menghargai waktu. Waktu yang digunakan di dalam pertandingan catur, tergantung dari waktu yang kita gunakan di dalam berfikir. Sehingga bagaimana caranya agar pemain dapat berfikir secermat mungkin dan secepat mungkin. Dan yang terakhir, biasanya pemain catur yang handal dan baik, memiliki tingkat emosi yang stabil dan logika yang baik. Maka dari itu selamat bertanding…’. Kata-kata yang cukup bermakna ganda, bisa menambah pemahamanku akan pertandingan catur. Berarti ‘Grand Master Internasional’ku adalah orang yang… Pikiranku menerawang kembali ke arah Sultan. Posisiku ada di meja tengah, tanpa kusadari, dari tadi kayaknya Sultan sedang memandangiku dari jauh di pojok kanan
94
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
gedung aula ini. Dia melepaskan senyumannya, aku pun akhirnya tersenyum simpul, malu dan membuat aku semakin bergairah mengikuti pertandingan catur ini. Pertandingan ini dilakukan setiap hari minggu selama 4 minggu berturut-turut. Dengan sistem gugur dalam satu game. Setiap minggu bisa ada dua kali pertandingan sampai dengan sore. Puncaknya adalah bulan depan. Dan yang membuat gairah bertandingku membuncah hebat, yaitu di mana pertandingan ini adalah laki-laki dan perempuan dipertandingkan dalam satu event. Ini berarti, ada kemungkinan aku bisa bertemu dan bertanding dengan Sultan. Di pertandingan pertama, aku berhadapan dengan anak SMAN 3 Bandung. Aku memegang bidak putih. Berarti aku harus melakukan inisiatif penyerangan terlebih dahulu. Pembukaan Spanyollah salah satu andalanku. Cukup alot juga. Memakan waktu kurang lebih satu setengah jam untuk satu game pertandingan. Grogi aku rasakan, karena aku baru merasakan lingkungan pertandingan catur sesungguhnya. Tapi aku harus bisa mengatasinya, dan pastinya aku bisa mengatasinya. Terbukti, dengan memenangkan pertempuran babak penyisihan pertama ini. Aku berhasil dapat melaju ke babak penyisihan kedua. Aku melirik meja catur Sultan, dia sudah menghilang. Kucari dia dengan pandangan, badan dan kepala berputar, menusukkan pandangan ke setiap pelosok ruangan aula, tetap, aku tidak bisa melihat dan menemukannya. Aku hampiri dan melihat papan denah pertandingan catur ini, nama sultan sudah ada di babak penyisihan ketiga. Berarti dia sudah memenangkan kedua-duanya pertandingan hari ini. “Gila, cepat juga dia!...”, gumamku dalam hati. Aku lihat lagi denah pertandingan itu, kedua lawan Sultan adalah masing-masing dari SMA Bhayangkara Malang dan SMAN
95
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
2 Jogjakarta. Untuk penyisihan ini, pertandingan hanya dilakukan satu sesi game saja. Jadi memang dirasa kurang fair, karena dari hasil pengundian, kita akan memegang buah bidak hitam atau putih. Dan jika kalah, tidak ada kesempatan untuk membalasnya lagi. Tetapi, ketika peserta tinggal tersisa 4 peserta saja, akan dipertemukan satu persatu, tetap dengan permainan satu sesi saja, dalam tiga pertandingan yang berbeda (setengah kompetisi). Artinya setiap peserta akan saling berhadapan. Aku harus siap-siap menghadapi pertandingan babak penyisihan kedua. Menghadapi seorang perempuan dari SMAN 1 Medan. “Wah… Jauh-jauh ya…?”, bisikku. Wasit pun mengundi bidak yang akan digunakan dalam pertandingan, dengan cara, di antara kita harus memilih salah satu kepalan tangan wasit itu. salah satu kepalan tangan wasit itu akan ada bidak catur putih atau hitam. Aku memilih tangan kanannya wasit, dan lagi-lagi bidak putih yang aku dapat. Sekali lagi, pembukaan favoritku adalah pembukaan Spanyol. Pertandingan babak kedua penyisihan ini, aku sudah yakin dari awal untuk menang. Tapi memang dalam permainan catur, jangan pernah lengah sedikit pun sampai lawan menyerah. Karena kalau lengah, walaupun hanya satu langkah melakukan kesalahan, akan menjadikan kesalahan total dan akan mengakibatkan kekalahan menyakitkan. Itulah yang istilah dalam bahasa Belanda disebut dengan ‘blunder’. Pertandingan ini hanya memakan waktu dua puluh lima menit saja. Jauh lebih singkat dari pertandingan pertamaku tadi. Setelah pertandingan itu aku pun pulang. Tapi mata ini masih melihat-lihat sekitar lingkungan sekolah, siapa tahu aku bisa bertemu lagi dengan ‘Malaikat Tampan’ku. Aku kangen dengannya, tapi aku tidak mau sedikit pun dia tahu, bahkan kalau
96
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
bisa tidak ada yang tahu. Biarkan aku saja. Toh ini pun bukan kangen yang seperti gimana, bukan kangen karena ‘cinta’. “Iyah kah?... Bukan kangen karena cinta?...”, hatiku sebelah kiri mempertanyakan itu. Gak tau ah….
س Pertandingan catur di sekolahku masuk ke babak penyisihan ketiga. Minggu ini nampak sedikit meriah, beberapa sponsor sudah mulai merembes ke lingkungan sekolah ini. Ada dari perusahaan minuman, makanan / snack dan dari penerbit buku. Sekolah kami menerapkan aturan, jika ada acara yang dilakukan di lingkungan sekolah, tidak diperbolehkan ada kegiatan yang sponsornya dari perusahaan ‘rokok’. Aku sendiri sangat membenci rokok. Jika ada teman-temanku yang merokok di depanku pasti aku omelin. Sudah tahu merusak kesehatan, masih juga dihisap. Kan itu namanya ‘bodoh’. Tapi keyakinanku, akan kerugian merokok, tidaklah cukup untuk membuat Papihku berhenti dari menghisap ‘batang yang mematikan’ itu. Malah, sepertinya semakin ke sini, kebiasan merokok Papihku semakin menggila. Meja catur yang dipersiapkan di pertandingan babak ketiga penyisihan ini jauh lebih berkurang. Kurang lebih tinggal seperempatnya. Pertandingan dimulai kurang lebih pukul Sembilan tepat. Aku sudah memasuki ruangan aula. Kulirik kanan kiri. Kuputar badan ke arah selatan, utara, barat dan timur, aku tetap tidak melihat sosok itu. sosok yang membuat aku kangen. Apalagi
97
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
di hari-hari biasa, tidak ada kesempatan sedikit pun untuk dapat menemui dia. Di waktu istirahat misalnya, aku dan Intan pastinya pergi ke kantin. Kalau tidak ke kantin, perut ini tidak bisa diajak kompromi. Jangan-jangan, mata pelajaran berikutnya tidak bisa diikuti secara konsentrasi penuh. Pernah suatu kali, aku sengaja membawa makanan dari rumah, dengan maksud aku bisa makan di kelas pada waktu istirahat, dan sesegera mungkin aku bisa ke ruangan kelas 2D. Namun, waktu itu dia tidak ada. Mungkin ke kantin juga. Atau di saat pulang sekolah, pasti itu pun tidak sempat, baik dia dan aku sama-sama punya kegiatan seabreg di luar sekolah. Jadi wajarlah, praktis hampir seminggu ini aku tidak melihat batang hidungnya. Setiap pemain sepertinya sudah siap di depan mejanya masing-masing. Namun aku belum sempet melihatnya. Apakah dia tidak datang atau kesiangan? Aku tidak bisa mencari tahu lebih banyak, aku harus konsentrasi ke pertandingan ini. Malah aku sudah persiapkan secara matang pertandingan ini dengan mempelajari beberapa teori trik bercatur, baik untuk permainan tengah atau permainan akhir. Karena aku yakin, pertandingan-pertandingan berikut ini akan lebih berat aku rasakan. Dan pertandingan pun dimulai. Lawanku harus memilih dua kepalan tangannya wasit yang biasa dilakukan wasit untuk mengundi bidak hitam atau putih yang akan kami dapatkan. Ternyata lawanku berhasil menebak bidak putih, berarti aku memegang bidak hitam dalam pertandingan ini. Lawanku melakukan pembukaan dengan pembukaan gambit menteri. Aku harus balas dengan pembukan Gambit Menteri Orthodox. Yaitu pembukaan pion D7-D5, yang dilanjutkan dengan pion E7-E6 dan Kuda G8-F6. Kemudian dilanjutkan dengan langkah Pion C7-C6 dan Kuda B8-D7. Itulah pembukaan pertahanan gambit menteri Orthodox. Salah satu strategi bertahan yang aku sukai juga.
98
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Biasanya bidak hitam dengan cara ini mendapat posisi yang lebih kuat, walaupun tidak memiliki kesempatan untuk berinsisatif dalam menyerang. Pembukaan Gambit Menteri Orthodox ini baik sekali untuk memperkecil keuntungan putih di dalam babak pembukaan. Pasti, jika lawanku jago pun dalam permainan catur, akan membutuhkan waktu yang lama membombardir pertahananku, jangan-jangan kerajaannya malah yang kecolongan. Karena kedua gajahku siap meluncurkan aksi serangan langsung tembus ke kiri dan kanan pertahanan musuh. Strategi pertahanan yang sangat luar biasa. Ditambah pula, dengan mengapitkan dua benteng di tengah setelah melakukan lokir pada raja, akan memperkuat pertahanan itu. Huh… Mantap… Kerajaan putih, kerajaan milik lawanku, tidak cukup tenaga untuk menggempur pertahanan. Sehingga sebuah serangan Gajahku, membuyarkan pertahanan lawan, dan pasukan yang terdiri dari ratu, kuda dan menteri mereka, yang telah mampu masuk merengsek pertahanan kerajaanku, harus mereka tarik kembali untuk membantu pertahanan. Dan sebuah kesalahan dilakukan dalam satu langkah, menyebabkan aku bisa melakukan skak mat. Dan Wussss… Aku memenangkan pertandingan ini.. Lega rasanya… Aku langsung melihat sekelilingku, dengan maksud untuk mencari seseorang. “Oh itu…”, gumamku. Ternyata Sultan datang juga. Aku tidak berani mendekati, aku lihat dia sedang konsentrasi penuh. Matanya yang tajam, tidak berkedip sedikit pun. Keningnya sedikit berkerut, tanda bahwa dia sedang berpikir. Takut terganggu jika aku dekati, biarkan saja. Aku menghampiri papan denah pertandingan. Dan ternyata, Sultan sudah masuk ke babak penyisihan keempat. Yang artinya dia sudah
99
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
berhasil memenangkan pertandingan pertama tadi dan jika menang, dia akan masuk ke enam belas besar. Lagi-lagi, “Cepet juga dia bermain”, bisikku. Aku harus mempersiapkan pertandingan babak keempat berikutnya. Namun, calon lawanku masih bermain di meja 6. Aku minta ijin ke panitia dulu, untuk ke toilet dan membeli makanan di depan. Perutku sudah keroncongan. Aku membeli burger dan teh manis. “Lumayan…”, pikirku. Aku sudah siap kembali untuk melakukan pertandingan babak penyisihan keempat ini, dan harus memenangkan pertandingan itu. Kalau dilihat dari denah pertandingan, kemungkinan aku akan bertemu dengan Sultan di empat besar, yang menggunakan sistem setengah kompetisi itu. Aku masuk kembali ke ruangan aula. Ada beberapa teman yang menyapa, yang ikut menyaksikan pertandingan ini. Aku mendapatkan ucapan selamat dari mereka. Karena hanya tinggal 3 orang, dari SMA kami, yang masih tersisa. Aku, Sultan dan Joy. Bahkan ada informasi, Joy dan Sultan sekarang sedang dalam keadaan terjepit. “Kalah kualitas bidak”, kata Tina yang ikut menonton. Secara teori, kalah kualitas dalam pertandingan catur, sama dengan ‘kalah’. Aku tidak mau dulu membahas itu, karena aku pun masih harus berkonsentrasi satu pertandingan lagi hari ini. Aku pergi ke meja pertandinganku berikutnya. Tak lama kemudian, calon lawanku dari SMAN 3 Jakarta duduk. Dari tahun ke tahun, menurut informasi, SMAN 3 Jakarta adalah penyumbang pecatur-pecatur handal tingkat SMA. Ekstrakulikuler catur di SMA itu sangat aktif. Sering mengadakan uji tanding dan pertandingan
100
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
persahabatan. Dan, merupakan salah satu SMA yang secara resmi dibimbing oleh Sekolah Catur Utut Ardianto. Aku sedikit grogi menghadapi muka pede anak ini, calon lawanku di babak keempat penyisihan pertandingan ini. Bidak mulai diundi, karena aku perempuan aku yang harus menebak bidak apa di kepalan tangan wasit yang mana. Aku memilih kepalan tangan wasit sebelah kiri. Dan, bidak putihlah yang berhasil aku pilih. Kali ini, aku melakukan pembukaan Nimzo Hindu. Karena tahu kualitas lawanku, pembukaan Nimzo Hindu, merupakan pembukaan yang diperuntukkan untuk penyerangan, namun juga kualitas pertahannya bagus. Tidak seperti pembukaan Spanyol yang dipersiapkan untuk penyerangan secara frontal, yang kadang mengabaikan pertahanan. Aku tidak mau gegabah, dari langkah pertama aku sangat hati-hati. Karena dia melakukan pembukaan yang sama sekali tidak ada dalam teori. Yaitu, memajukan dua langkah ketiga pionnya, yaitu D7 – D5, E7 – E5 dan F7 – F5. Aku agak gugup menghadapinya. Aku agak bingung untuk menjalankan langkah berikutnya. Itu merupakan pembukaan gaya baru. Kemudian, dia melakukan manuver yang mengagetkanku lagi. Gajahnya menerobos ke G4 daerah pertahannku. Aku pikir, “ah ini sih tidak jadi masalah. Aku usir aja dengan pion H2 – H3 ku”. Namun apa yang terjadi, pion di H3ku dimakan. Artinya, lawanku menuker gajahnya dengan pion milikku. “Berani juga…”, pikirku. Berarti kan kualitas dia menjadi kalah. Di dalam permainan tengah pun seperti itu. Lawanku mencoba untuk mengobrak-abrik pertahananku, dengan menuker beberapa punggawanya dengan pion kepunyaanku. Secara teori, kualitas lawanku kalah. Secara teori pula, seharusnya dia kalah. Tapi
101
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
tanpa aku sadari juga, pertahanan kerajaanku hancur-hancuran. Kalau saja aku tidak meladeni dengan sabar dan santai, kalau saja aku terbawa arus dan ikut panik, aku pasti akan kecolongan. Namun akhirnya karena keuletanku, membawa dalam kemenangan. Kemenangan yang juga tidak gampang. Menghabiskan 57 langkah untuk menang. Jelas menunjukkan dia lawan yang berkualitas. Hanya saja mungkin dia agak gegabah, dengan menuker kualitas bidak caturnya dengan bidak caturku. Dan bisa jadi karena dia menganggap remeh aku, merendahkan aku, karena aku perempuan. Tapi terbukti, bahwa aku bisa melampauinya. Aku menang lagi… Dia mengucapkan selamat dengan air muka yang keruh, tanda kecewa jelas tergambar pada mukanya. Aku langsung melirik ke meja pertandingan Sultan. Dia sudah tidak ada. Aku langsung bergegas ke papan denah pertandingan. Aku penasaran, karena kata Tina, temanku tadi, dalam pertandingan sebelumnya, Sultan dalam kondisi terjepit dan kalah kualitas. Ketika aku lihat papan denah pertandingan, ternyata nama Sultan telah bertengger di kelompok enam belas besar, begitu juga dengan Joy temanku. Artinya, setelah hari ini, akan hanya ada tersisa 16 orang pemain catur, untuk memperebutkan perempat final dan semi final minggu depan. Dan di minggu terakhirlah, 4 orang yang tersisa di semi final itu, akan saling berhadapan dengan sistem setengah kompetisi. Setelah pertandingan ini aku pun pulang. Hari ini pun hari yang cukup ‘basi’ menurutku, karena aku tidak berhasil ketemu Sultan lagi. Bahkan hari ini adalah hari yang ‘basi dan pahit’, sepahit racun yang dicampur dengan empedu ikan pari, kenapa ‘pahit’? Jangankan bertemu dengan Sultan, melihat senyumnya saja tidak. Benar-benar pahit…
102
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
س Ini minggu ketiga pertandingan catur itu. Melelahkan memang. Sudah 3 minggu ini aku tidak sempat melakukan aktivitasku yang biasa aku lakukan, yaitu jogging di pagi hari, setelah itu berenang di kolam renang rumahku dan bersantai dengan cara membaca atau hanya sekedar berinternet ria. Namun, demi sebuah tujuan, demi sebuah pencapaian prestasi dan prestise, aku rela melakukan ini semua. Sehingga, some day aku bisa dihargai oleh orang lain karena usaha dan kerja kerasku mendatangkan hasil. Karena, aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa dengan kerja keras dan belajar giat, prestasi itu akan diraih dengan gemilang. Dan itu sudah sering aku buktikan. Sampai hari ini, prestasiku di sekolah, merupakan bukti tak terelakan, bahwa itu adalah hasil kerja keras dan belajar giat tak henti yang aku lakukan. Aku rela tidak pergi bermain dengan teman-temanku, aku rela tidak pergi kelilingkeliling mal hanya untuk urusan menghabiskan waktu (killing the time). Cara aku menghabiskan waktu ya membaca, belajar dan menambah isi otakku. Atau paling banter, karena kelelahan, ya aku gunakan untuk tidur secara maksimal. Aku yakin, hidup adalah perjuangan, prestasi adalah segalanya. Prestasi adalah bukti jati diriku… Hari ini aku menghadapi seorang lawan perempuan. Dari enam belas peserta yang tersisa, tinggal dua orang perempuanlah yang ada, termasuk aku, dari sekitar 10% peserta perempuan dalam pertandingan catur ini. Aku sudah membabat beberapa peserta yang hampir kesemuanya laki-laki, aku pikir, perempuan yang satu ini
103
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pun dapat dan harus aku lewati dan kalahkan. Semua peserta di delapan meja yang dipersiapkan sudah duduk di mejanya masingmasing. Kulihat Sultan, dia pun melirikku. Dia tersenyum padaku, dan aku pun membalas senyum manisnya. Setelah berminggu-minggu ini aku tidak pernah melihat senyumnya yang khas, manis dan renyah itu. Samar-samar, ketika pandangan itu beradu, aku membaca gerak mulutnya yang berbisik seperti menanyakan sesuatu, “sudah siap?”. “Apa?...”, tanyaku dengan berbisik pula. Dan aku yakin dia pun dapat membaca gerakan bibirku. “Kamu sudah siap?”, dia memperjelas gerakan bibir itu, dengan tetap sambil berbisik. Karena panitia, sudah siap-siap akan memulai pertandingan ini. “Oh…”, aku dapat membaca gerakan bibir itu dengan jelas. “Sudah…”, jawabku dengan berbisik, sambil mengacungkan kedua ibu jari kedua belah tanganku tanda aku sudah siap 100%. Dia cuma tersenyum saja. Dari hasil undian, aku memegang buah catur putih. “Ini kesempatan…”, pikirku. Aku harus melakukan penyerangan dengan cepat dan akurat, yang memporakporandakan dan meluluhlantahkan pertahanan kerajaan lawanku. Aku ingin selesaikan pertandingan ini segera, dan berharap hari ini aku mampu masuk ke empat besar. Empat besar nasional, sebuah pengalaman pencapaian pertamaku di dunia permainan catur nyata. Seperti biasa, favoritku, pembukaan Spanyol. Lawanku membalas dengan pembukaan Spanyol juga. “Ini akan menjadi pertempuran yang hebat dan seimbang…”, pikirku.
104
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Ketika memasuki langkah ke 27, aku melakukan blunder. Raja kerajaan caturku terkena ancaman Skak dan bentengku pun terancam. Terpaksa aku harus menukarkan bentengku dengan kuda yang dimiliki lawanku. Begitu juga ketika memasuki langkah ke 34, gajahku yang sedang mengancam pion yang ada pada F7 pertahanan kerajaan lawan, pun terancam dan tidak bisa dihindari, karena jika aku melangkahkan gajahku, maka menteri yang dimiliki lawan siap menghunus rajaku. Terpaksa aku harus mau menukarkan gajah dengan pion yang dimiliki lawan. Jelas ini keuntungan buat lawanku. Keringat dinginku keluar dengan derasnya. Aku mulai panik dan grogi. Tapi aku tidak mau menyerah. Kerajaanku mulai terdesak mundur. Menteriku pun seperti mubadzir, tidak bisa melakukan apa pun. Hanya ada satu jalan, aku harus buka blockade yang dibuat oleh kerajaan lawan. Itu berarti aku harus mengorbankan lagi kualitas bidak caturku. Aku harus tukar kudaku dengan pion lawan. Untung-untung itu juga kalau berhasil, kalau tidak, kerajaanku pasti semakin kedodoran. Tapi itu harus aku lakukan. Kalau saja, panjangnya pikiranku seperti Kasparov atau Karpov, yang memiliki kemampuan berpikir 15 sampai dengan 20 kombinasi langkah catur ke depan, pasti aku tidak sepusing ini. Apalagi jam caturku sudah akan jatuh, artinya dari 2 jam yang dipersiapkan panitia dan wasit, mungkin tinggal 5 sampai dengan 10 menit lagi tersisa. Sedangkan waktu lawanku masih banyak bersisa. Ya… Gimana lagi, aku harus lakukan… Aku harus lakukan… BOOM…! Aku menukar kudaku dengan pion lawanku. Tapi… Kok dia tidak memakannya? Dia lebih memilih menusukkan gajahnya ke pertahanan lokir rajaku, dan menukarkan gajahnya dengan pionku. Dia lupa, kudaku yang satu masih berdiri tegar, dan siap untuk merengsek pertahanan, dan…. Skak!
105
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Wuss… Lawanku kecolongan posisi. Rajanya sekarang terjepit, sehingga harus menarik hampir semua pasukannya untuk membantu pertahanannya. Dan aku pun dapat memiliki gajah yang digunakan lawanku untuk menggedor pertahananku. Begitu juga dengan benteng, aku dapat memilikinya sekarang. Sebuah keblunder-an yang dilakukan oleh lawanku, membuat kualitas bidakbidak caturku sama lagi. Namun, waktuku semakin mepet. Jumlah bidak kami semakin sedikit. Dan sampai langkah ke 54 masih memiliki kualitas yang sama. Aku berpikir, waktuku tidak cukup. Kemudian aku harus melakukan strategi lain. Aku harus mengajak lawanku remis. Karena aku lihat, dia pun sangat pucat mukanya, seperti orang yang baru melihat setan berbentuk srigala, dan sepertinya dia perlu istirahat sejenak. Dan itu tidak mungkin, karena waktu catur pun terus berputar. “Remis…”, ajakku pada lawanku. Yang artinya, jika lawanku menerima tantanganku untuk remis, maka pertandingan ini berakhir dengan seri. Dan harus dilakukan pertandingan tambahan dengan sistem pertandingan cepat, 15 menit pertandingan. Dan aku harus memainkan bidak warna hitam. “Ok”, dia menjawab dengan singkat. Dan kami pun berjabatan tangan tanda, pertandingan ini berakhir seri. Sebuah strategi jitu, strategi non-teknis yang aku gunakan untuk melakukan bargaining, tawar-menawar, dalam keadaan terjepit. Padahal, kalau lawanku mau untuk sedikit bersabar, aku yakin, jam caturku pun akan jatuh. Dengan kata lain aku kalah karena waktuku habis. Namun, inilah strategi. Setelah 15 menit istirahat, kami harus sudah ada di tempat pertandingan lagi. Untuk melakukan pertandingan tambahan dengan sistem cepat itu.
106
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku pergi ke toilet, dan membeli minuman. Itu pun, mungkin, yang dilakukan oleh lawanku. “Gila juga…”, gumamku. Aku tidak sedikit pun menyangka, ternyata dalam pertandingan ini, peserta cewek malah lebih berkelas. Aku merasa kewalahan dalam pertandingan tadi. Kalau saja, aku tidak melakukan sebuah langkah ‘nyeleneh’, mengorbankan kudaku dengan pion. Atau, kalau saja, lawanku lebih stabil, lebih tenang, tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan pertandingan dan tidak melakukan blunder, ceritanya mungkin lain. Mungkin saja, namaku tidak akan masuk ke delapan besar. Ini kesempatanku, aku harus bermain dengan cepat namun hati-hati. “Pembukaan apa ya yang harus aku gunakan?”, aku bergumam. Aku memegang bidak hitam, dan di dalam sistem cepat, aku harus secepat mungkin menjalankan bidak-bidakku. Karena jika pertandingan belum selesai, dan salah satu jam catur dari kita berdua jatuh, maka dialah yang dinyatakan kalah. “Ya.. What ever will be… Will be lah… Kisera-sera…”, aku bergumam lagi. Kami berdua sudah siap di depan meja pertandingan kami lagi. Dia membuka permainan dengan menggunakan pembukaan gambit menteri. Aku, secara spontan, membalasnya dengan pertahanan Sicilian. Sebuah pembukaan yang sangat jarang aku gunakan. Tapi aku merasa ada yang menggerakan tanganku. “Ya… What ever lah…”, gumamku dalam hati. Langkah-langkah berikutnya merupakan langkah-langkah tercepat yang harus kami lakukan. Di pertengahan permainan pun, kami melakukannya dengan cepat. Pikiranku terkuras abis. Namun secara kualitas, aku cukup unggul.
107
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Tinggal menunggu waktu saja nih…”, pikirku. Tanpa dinyana, tanpa diperkirakan, lawanku menidurkan bidak raja caturnya. “Saya menyerah…”, katanya. “Apa?”, tanyaku dalam hati. Aku hanya berusaha berlaku biasa, tidak ingin menunjukkan bahwa aku terkagetkan dengan penyerahan dia. Di mana, keadaannya masih fifty-fifty, masih seimbang menurutku. Tapi bagaimana pun aku harus terima itu dengan suka cita, karena permainan catur ini tidak hanya ditentukan oleh pertandingan di atas papan catur saja, tetapi moral dan mental serta kekuatan mengadu pikiran pun sangat dominan menyelimuti. Mungkin lawanku itu pun sudah tidak sanggup lagi untuk berpikir. “OK…”, jawabku. Kami pun berjabatan tangan. “Yess… Aku memenangkan pertandingan gila ini”, bisikku. Aku langsung melirik ke arah meja Sultan, dia sudah tidak ada. “Saya di sini Tya…”, sebuah suara mengelegar seperti petir menyambar pucuk pohon kelapa. Aku langsung menoleh, “Eh… Elo…”, aku mencoba menutupi rasa malu dan kagetku. “Selamat ya…”, dia mengucapkan selamat atas keberhasilanku untuk memenangkan pertandingan ini. “Terima kasih ya…”, jawabku sambil menjabat tangannya. “Saya duluan ya… Sampai ketemu di semi final”, Sultan pamitan, sambil beranjak pergi. “Eh… Tunggu…”, aku sedikit berteriak, mencegah dia untuk pergi.
108
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku sangat ingin mencegah dia untuk pergi, untuk menungguiku, atau agar supaya aku bisa meminta nomor hapenya. Dia membalikkan badan ke arahku, dan sepertinya menunggu sebuah kata atau kalimat ke luar dari mulutku, tapi… “Hati-hati ya…”, dengan gugup dan grogi sambil tersenyum simpul nan malu, aku hanya bisa berucap kata itu saja. “Makasih…”, jawab dia. Dia pun tersenyum dan berlalu dari hadapanku. “Sampai ketemu di semi final? Berarti aku harus memenangkan pertandingan berikutnya”, gumamku. “Ya… Itu harus…”, aku berujar sambil mengepalkan kedua tinjuku. Aku pergi ke papan denah pertandingan. Ternyata Sultan sudah berhasil masuk ke semi final. Dan Joy ternyata terjegal di delapan besar. “Selamat ya Tya…”, Joy menegurku dan menyelamatiku. “Eh… Elo Joy… Makasih ya…”, aku berterima kasih. “Elo kenapa kalah Joy?”, tanyaku kepada Joy. “Blunder Tya…”, jawab Joy singkat, namun sudah cukup dapat menggambarkan perasaan dia yang kecewa. “Ya… Gak apa-apalah Joy, namanya juga pertandingan…”, hiburku. Tapi mungkin kalau itu yang terjadi denganku, aku pun kecewa. Ditambah, aku tidak bisa bertemu Sultan dong dalam bertandingan berikutnya. “Lo musti menang Tya… Dua pemain lain, yang masuk ke perempat final selain Sultan adalah anak SMAN 3. Dan lawan elo sekarang juga merupakan anak SMAN 3. Elo musti menyeimbangkan dominasi anak SMAN 3 Tya…”, ujar Joy menyemangati.
109
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Oke Joy… Itu pasti… Makasih ya…”, jawabku. “Iya Tya… Gue pulang dulu ya… Kepalaku mau pecah rasanya…”, Joy pamitan. “Ok Joy… Ati-ati ya…”, jelas berbeda kan? Kata-kata dan pesan ‘hati-hati’ku untuk Joy dan Sultan, dari segi tulisan saja sudah berbeda… Hehehe…. Pertandingan hari ini hanya bersisa pertandinganku saja. Tiga peserta di 4 besar sudah diketahui. Aku beranjak untuk pergi ke meja pertandingan. Aku melihat Eka, lawanku dalam pertandingan tadi, sedang duduk dan minum sendirian. Aku tahu nama setiap lawanku, karena nama dan asal sekolah pasti tertulis di papan denah pertandingan itu. Aku hampiri dia. “Hai… Ka…”, sapaku. “Eh… Elo…”, sapanya balik. “Tadi elo kenapa? Kan permainannya masih sengit tuh…”, tanyaku penasaran akan hasil pertandingan tadi, di mana Eka, lawanku itu, menyerah di tengah-tengah pertandingan. Padahal pertandingan diprediksi masih alot dan sengit. “Oh itu… Kepala gue berat banget Tya… Gue gak tahan…”, jawabnya, “Tapi terlepas dari itu, aku salut ama elo… Selamat ya…”, dia menambahkan. “Oh itu… Gak apa-apa ya… Elo juga hebat… Makasih ya…”, aku menyambut ucapan selamatnya dengan pujian juga. “Ok Ka… Gue musti bertarung lagi nih…”, ujarku. “Ok Tya… Good luck…”, jawabnya.
س 110
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Pertandinganku dimulai. Aku memainkan bidak putih. Pertandingan ini tidak begitu menarik. Aku melihat, lawanku sudah tidak bergairah. Sepertinya dia pun sudah kehabisan energi untuk pertandingan keduanya hari ini. Sebenarnya aku pun demikian. Namun, semangatku untuk bertemu Sultan dalam pertandingan berikutnya adalah merupakan sebuah semangat yang tidak pernah padam. Dan benar saja. Di langkah kelima belas, lawanku sudah melakukan blunder. Benteng dia sudah berhasil aku kuasai. Begitu juga memasuki langkah ke-25, giliran gajah dia yang berhasil aku rebut. Dan dalam sebuah kombinasi langkah brilian yang aku lakukan, pada langkah ke-39, “Skak Mat…”, ujarku. Dia pun berdiri dan menyalamiku, dan berkata “Selamat ya…”. Aku balas jabat tangannya, “Makasih ya…”. “Yes… Yes… Aku menang…”, ujarku dengan senangnya. Aku pergi ke mobilku, di mana Mang Diman dengan setianya sudah menungguku dari tadi. Aku pulang ke rumah dengan hati yang senang. Minimal, tinggal satu langkah lagi aku bisa memenangkan pertandingan itu. Dan yang paling asyik, aku bisa bertanding dengan Sultan.
س Minggu yang menentukan pun tiba. Hari ini aku sangat senang sekali. Aku harus bisa memenangkan pertandingan itu. Aku
111
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
harus bisa mengalahkan Sultan. Aku harus bisa. Lawan-lawanku sudah siap semua. Dua anak cowok dari SMAN 3 Jakarta, terlihat pede abis dan sepertinya kemenangan sudah ada di tangan mereka. Tapi aku pun punya keyakinan yang tidak kalah membuncahnya. “Kalau tidak aku, ya… Sultanlah yang memenangkan pertandingan ini”, ujarku dalam hati. Setiap peserta, yang tinggal tersisa 4 orang ini, dipanggil ke podium utama. Tidak seperti biasa, teman-temanku hari ini hadir, tumplek, riuh rendah. Namun, peraturan dalam pertandingan catur ini, penonton diwajibkan tidak sedikit pun mengeluarkan suara ketika pertandingan ini berlangsung. Jika ada yang bersuara sedikit pun, pasti langsung diperintahkan untuk ke luar. Dan itulah peraturannya. Aku mencoba untuk mencari Sultan dengan mataku ini. Aku lihat sekeliling ruangan aula, namun sosok Sultan tak kunjung aku dapati. “Di mana dia ya…?”, bisiku sedikit khawatir. Kedua calon lawanku dipanggil ke podium. Namaku pun dipanggil, dan aku berjalan menuju podium. Sorak sorai, tepuk tangan dan teriakan teman-teman SMA Favorit membelah dan membahana ke setiap pelosok ruangan aula. “Tya… Tya… Tya…”, teriak mereka histeris. Pak Agus, Bu Mira, dan jajaran guru yang lain pun turut hadir memberikan support yang luar biasa besar. Selanjutnya, “Peserta keempat…. Sultaaannn… dari SMA Favorit…”, panitia memanggil peserta keempat, yaitu Sultan. “Sultan… Sultan…”, teriak teman-temanku bersahutan dan histeris. Namun Sultan tak kunjung nampak dan naik ke podium. Teriakan gaduh di ruangan aula mendadak hening, seheningheningnya, ketika Sultan tidak kunjung naik ke podium. Kami
112
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
semua, khususnya kami yang berasal dari SMA Favorit, mulai merasa gundah gulana, sedikit panik. Karena peraturannya, jika peserta dalam acara perkenalan ini tidak hadir, bisa dianggap WO (Walk Out), dianggap gugur. “Ke mana dia ya…?”, aku sangat khawatir. Hampir semua orang, guru dan teman-temanku yang ada di aula ini pun ikut panik. Khawatir juga mereka. Karena Sultan, dan tentunya aku, adalah tumpuan mereka untuk mengharumkan nama baik sekolah hari ini. “Sekali lagi… Kita panggil, peserta keempat, dari SMA Favorit… Sultaaaaannn….”, panitia memanggilnya lagi. Kali ini, tidak ada teriakan dari teman-temanku, seperti tadi dengan teriakan yang membahana itu. Suasana ruangan aula tetap hening. “Ya Ampun… Sultan ke mana sih?”, aku benar-benar panik, sepanik-paniknya. Seperti seorang suami muda, yang menunggui kelahiran anak pertamanya di Rumah Sakit Ibu dan Anak. Seperti seorang kakek-kakek yang kehilangan gigi palsunya, padahal cicitnya baru saja memberinya sebungkus kacang tanah yang garing dan renyah. Tak lama kemudian… Ada seorang cowok, membuka pintu ruangan aula. Semua orang menengok ke arah pintu itu dibuka. Ruangan aula tetap hening. Samar-samar aku melihat dia dari kejauhan. Sampai pada sebuah posisi, aku bisa yakin bahwa itu bukan Sultan. Walaupun sama-sama seorang cowok yang tampan dan berwibawa. Cowok itu naik ke podium, dan menghampiri panitia, yang jelas berpakaian berbeda dengan kami. Mereka berpakaian berwarna biru. Dan kami menyaksikan, ada beberapa kata yang diucapkan secara berbisik oleh cowok itu ke salah satu panitia.
113
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Mohon perhatiannya… Mohon perhatiannya…”, Utut Ardianto, ketua panitia memberikan instruksi kepada kami agar supaya dapat memperhatikannya. Mungkin ada sebuah pengumuman yang akan disampaikan. “Tentang Sultan kah…?”, tanyaku penasaran di dalam hati. Terus, microfon diambil alih oleh cowok tadi. Tampangnya seperti seorang mahasiswa, dewasa dan berwibawa… “Selamat Siang….”, sapa dia membuka pembicaraan. “Siaaaannnggg…”, jawab kami semua yang hadir di ruangan aula itu. “Mohon maaf saya ucapkan sebelumnya. Perkenalkan, nama saya Andi Khatami. Saya adalah kakak dari Sultan…” dia memperkenalkan diri. “Oh… Kakaknya Sultan… Tapi apa yang terjadi dengan Sultan?”, tanyaku lagi, masih dalam hati. Aku benar-benar panik. Pikiranku melayang entah ke mana, melayang jauh dan aku tidak bisa mengejarnya… “Dengan sangat menyesal… Sultan tidak bisa hadir dalam pertandingan terakhir ini…”, jelasnya dengan nada suara agak bergetar. “Apa? Kenapa?”, aku benar-benar kaget dan penasaran. “Itu saja mungkin yang bisa saya sampaikan di sini… Selamat Siang…”, dia menutup pengumuman itu. “Iya… Tapi kenapa?”, aku mulai curiga, penasaran yang teramat dahsyat. Semua orang yang hadir pun bertanya-tanya tanda bingung. Pak Agus menghampiri podium. Pak Agus seperti berbincangbincang sesuatu dengan kakaknya Sultan. Dan setelah itu, kakaknya Sultan pun pamitan, pergi meninggalkan kami, pergi meninggalkan ruangan aula.
114
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku tidak tahan. Aku lantas mengejar kakaknya Sultan ke luar ruangan aula. “Kak tunggu!...”, teriakku mencegah kepergian kakaknya Sultan itu. Kakaknya sultan berbalik badan dan memandangiku. Aku dalam keadaan berlari menghampirinya. “Oh iya…”, kakaknya Sultan berujar sambil memegang kening, bertanda seperti ada yang terlupakan. Aku berhasil mendekat dan menghampiri dia. “Kak… Sultan kenapa?”, tanyaku sedikit terengah-engah dan lirih. “Iya… Saya hampir lupa. Kamu pasti Tya kan?...”, tanya dia. Dan aku cuma bisa mengangguk. “Sultan tidak apa-apa Tya, dia hanya kecapean…”, jelasnya, “dia hanya menitipkan ini untukmu…”, tambahnya, sambil memberikan sepucuk kertas dilipat surat, tertulis ‘Untuk Tya’. “Saya pamit ya…”, kakaknya Sultan pamitan. “Iya Kak… Terima kasih… Salam buat Sultan”, aku tidak dapat berkata-kata apa-apa lagi. Aku benar-benar shok mendengarnya. Semangatku punah dan hancur lebur. Luluh lantah menjadi serpihan kecil berserakan. Kakaknya Sultan pun berlalu. Aku buka surat itu, masih sambil berdiri, dan kubaca… Untuk Tya Assalammu’alaikum Tya,
115
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Guten morgen6 Tya… Pha kabar? Kuharap kamu selalu baik-baik saja dan tetap semangat. Aku baik-baik saja di sini, hanya saja mungkin aku musti istirahat di waktu yang kurang tepat. Perjuangan kamu untuk memberikan harum semerbak nan wangi untuk sekolah kita belum berakhir. Berjuanglah Tya… Kamu pasti bisa… Do’aku akan selalu menyertaimu… Viel erfolg!7 Wassalam – Sultan – BOOM! Gelegar petir meledak. Aku sangat senang menerima surat ini. Surat pertamaku yang pernah aku terima, biasanya aku berhubungan dengan teman atau saudara lewat e-mail atau sms, tapi ini surat. ‘Jadul’ banget, tapi gak apa, yang penting aku sangat senang. “Iya Sultan… Aku akan berjuang untuk itu. Cepat sembuh ya…. Gute besserung…8”, bisikku sambil kuciumi surat itu. Ada perasaan yang berbeda setelah membaca surat itu. Hatiku sangat nyaman dibuatnya. Tapi yang jelas, semangat ini tersulut api panas, sehingga 180O membalikan keadaanku. Aku menjadi seperti kesetanan, “Aku harus menang… Aku harus menang…”, teriakku sambil mengepalkan kedua telapak tanganku. Dan aku pun masuk kembali ke ruangan aula itu, untuk menghadapi dan memenangkan pertandingan itu. 6 7 8
Guten Morgen = Selamat pagi (Bahasa Jerman) Viel erfolg! = Semoga sukses! (Bahasa Jerman) Gute besserung = Semoga cepat sembuh (Bahasa Jerman) 116
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Dengan keuletan dan semangat majic surat dari Sultan, aku libas kedua lawanku di pertandingan catur terakhir itu. Hiruk-pikuk, riuh rendah dan renyah, membahana di ruangan aula itu, ruangan yang menjadi saksi keberhasilanku dalam memenangkan pertandingan catur bergengsi itu. Bergengsi, karena aku telah membuktikan kepada dunia bahwa aku mampu bermain catur, yang merupakan olah raga asah otak dan manifestasi kehandalan pikiran seseorang. Bergengsi, karena aku akan dipandang tinggi dan berprestasi oleh sekolahku, selain prestasi akademikku yang brilian. Bergengsi, karena aku telah berhasil mengalahkan… “Oh tidak… Aku belum bisa mengalahkan Sultan secara de facto…”, gumamku. Tapi yang jelas, harumlah sekolah kami karena sebuah prestasi lagi. Kupersembahkan ini untuk Mamih Papihku, yang secara tidak sengaja pun turut hadir, karena diundang oleh Pak Agus. Yang aku tahu, Mamih Papihku sedang di Singapura, tapi katanya secara diam-diam, Pak Agus menelepon mereka, dan mereka pun datang menyaksikan kejadian bersejarah ini. Aku persembahkan juga prestasi ini untuk sekolahku. Dan yang terakhir tantunya… “Sultan… Ini untukmu… Tanpamu, semangat itu tidak akan pernah ada…”, desahku dalam hati sambil tersenyum tanpa henti…
117
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
118
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
SULTAN SAKIT [٩]
Sambil aku bulak-balikan
kertas surat dari Sultan itu. Kertas surat biasa, hanya sobekan dari buku tulis. Tidak sedikit pun ada semerbak harum wangi dari kertas itu. Tidak juga ada warna yang memikat mata untuk melihatnya, bahkan sedikit lecek seperti baju sekolah SMAku yang belum Bi Inah setrika. Namun isinya memberikan kata-kata majic yang membuat aku terkesima, bersemangat luar biasa waktu itu. kata-kata nan tegas, kokoh dan kuat, seperti menara Imperium yang berdiri angkuh di antara gubukgubuk derita, namun bernuasa halus nan lembut, sehalus tatapan bayi yang baru lahir dan selembut sutra timur tengah yang indah.
Sudah dua hari ini aku tidak melihat sultan, walaupun hanya batang hidungnya atau batang telinganya. Setiap pagi, waktu istirahat atau ketika pulang sekolah, selalu aku sempatkan untuk melihat kelas Sultan, siapa tahu dia ada dan sudah masuk sekolah. Informasi yang aku dapat sih memang dia belum masuk sekolah, karena sakit itu.
119
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Separah itukah?...”, gumamku dalam hati. “Oh iya… Mungkin si Argo, temen sebangkunya tahu informasinya. Minimal, kan dia pasti tahu nomor hapenya…”, pikirku. Aku langsung bergegas ke kelas 2D. Kucari Argo, “tuh dia…”, aku melihat dia sedang ngobrol dengan temannya. Kutarik tangannya Argo. “Eeehhh… Apaan sih ini?”, dia berujar dengan logat bahasa Bataknya. Argo merupakan anak rantau di sekolah ini, Poltak marganya. “Sini bentar… Ada kabar gak dari Sultan?”, tanyaku to the point. “Woi… Kalem dong…”, si Argo agak sewot, karena tangannya ditarik olehku. “Iya… Maaf… Urgent nih…”, kataku. “Iya.. Gak apa-apa… Emang lo mau ngapain nanyain Sultan?”, tanya dia penasaran. “Udah cepetan… Ada kabar gak dari Sultan?”, aku tidak mengindahkan pertanyaan dia, aku langsung bertanya lagi. “Itu dia Tya… Gak ada kabar nih. Kita aja sekelas bingung. Sms aku pun gak pernah deliver, gak nyampe-nyampe…”, jelas Argo panjang lebar. “Yah… Terus gimana? Udah coba ke rumahnya?”, tanyaku lagi. “Belum… Kita udah tanya alamat Sultan ke Pak Burhan, tapi cuma dapet alamat yang di Kuningan…”, jawab Argo, “Kita loss contact juga Tya…”, tambahnya. Aku lemes mendengarnya. Harapanku satu-satunya pun tidak memberikan informasi yang maksimal.
120
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Ya Udah makasih…”, aku berterimakasih sama Argo dengan sedikit lesu. “Iya Tya…”, jawabnya. “Eeh… Bentar, minta nomor hapenya Sultan dong…”, mintaku. Dan akhirnya, aku pun punya nomor hapenya Sultan.
س Malam ini aku sangat gelisah. Bermain internet, membaca atau tidur, yang biasa aku lakukan menjadi sebuah kegiatan yang tidak mengasyikan. Jenuh dan jemu aku rasakan. Pikiranku selalu tertuju ke Sultan. “Hebat banget sih nih orang, bisa menyita perhatianku sedalam ini…”, desahku. Sambil aku bulak-balikan kertas surat dari Sultan itu. Kertas surat biasa, hanya sobekan dari buku tulis. Tidak sedikit pun ada semerbak harum wangi dari kertas itu. Tidak juga ada warna yang memikat mata untuk melihatnya, bahkan sedikit lecek seperti baju sekolah SMAku yang belum Bi Inah setrika. Namun isinya memberikan kata-kata majic yang membuat aku terkesima, bersemangat luar biasa waktu itu. kata-kata nan tegas, kokoh dan kuat, seperti menara Imperium yang berdiri angkuh di antara gubukgubuk derita, namun bernuasa halus nan lembut, sehalus tatapan bayi yang baru lahir dan selembut sutra timur tengah yang indah. “Sultan… Kamu di mana ini? Masih sakitkah kamu?...”, desahku lagi.
121
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Tanpa sadar, kuteteskan air mata. Air mata kedua yang pernah aku teteskan, setelah kejadian ‘rokok papihku’ itu 11 tahun yang lalu. Aku terkaget. Tidak ada tangis dan air mata dalam kamus hidupku. Tapi sekarang, tanpa aku sadari, tanpa terpikirkan, air mata itu menetes… Aku langsung menyekanya, “Tidak boleh… Ini tidak boleh terjadi… Aku tidak pernah menangis…”, aku coba untuk menghalau itu semua. Aku tegakkan kepala ini, aku tarik garis mulutku untuk tersenyum, sehingga aku tidak terbawa arus kesedihan. Aku beranjak dari tempat tidur, menuju komputer PCku. Dan aku pun terhanyut dengan alam maya jagat raya itu…
س Ini hari kesepuluh dari semenjak Sultan tidak masuk sekolah. “Separah itu kah…?”, gumamku. Tak lama kemudian. “Tya… Tya… Ada kabar baik buat lo…”, Intan berteriak sambil berlari ke arahku. “Apa Tan…”, tanyaku bersemangat. “Sultan udah masuk lagi…”, jawab Intan jelas. Aku langsung menarik tangannya Intan. Kami pergi ke kelas 2D. Aku lihat dari jendela, dia sedang menyimak Pak Budiman, mata pelajaran biologi. Tak lama berikutnya, Bu Neli pun masuk kelas kami, sehingga kami harus mulai belajar lagi. Tapi,
122
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
hatiku jelas senang sekali. Akhirnya Sultan kembali masuk, kembali bersekolah, dan aku bisa kembali melihat senyumnya…
123
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
124
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
TABRAK LARI [١٠]
“Ya iya… Kalau hanya
hidup, cacing pun hidup, pohon pun hidup, bahwa kecoa dan semut pun hidup. Namun, manusia kan Uswatun khasanah, yang tidak cukup untuk hidup, dia harus berkehidupan”, panjang lebar dan menggelegar kata-kata sederhananya. Tak disangka, bahwa kata-kata itu ke luar dari mulut seorang Sultan, “Pintar juga dia berfilosofi”, gumamku dalam hati. Aku cuma tersenyum. Aku sudah tahu akan hal itu, namun menurutku itu hanyalah teori belaka, yang tidak harus diimplementasikan. Apalagi di jaman seperti ini.
Pelajaran akhir sebelum pulang sekolah berlangsung lebih lama dari biasanya. Pak Amir, guru kimiaku membuat ulangan mendadak. Tetapi, untukku itu bukanlah sebuah permasalahan. Aku selalu mempersiapkan pelajaran sekolahku sebaik mungkin. Pak Amir langsung mengkoreksi hasil ulangan kelasku. Syukurlah, aku mendapat nilai tertinggi, yaitu 10. Setelah itu aku bergegas pulang. Sebenarnya aku ingin sekali ketemu dengan Sultan. Namun, dia 125
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
nampaknya sudah pulang. Ruangan kelas 2D sudah kosong. Aku bergegas pergi ke mobilku. Mang Diman melajukan mobilnya ke luar dari gerbang sekolah. Tidak berapa jauh dari sekolah, terlihat ada kerumunan di tengah jalan. Nampak olehku, ada seorang yang sedang berusaha memberhentikan mobil-mobil yang melintasi kerumunan tersebut, namun satu mobil pun tidak ada yang berhenti. Lebih dekat mobil melaju, semakin jelaslah siapa yang sedang berusaha memberhentikan mobil-mobil tersebut. Dialah Sultan. “Apa yang sedang dilakukannya? Ada apa ini?”, pikirku. “Mang… Mang berhenti Mang…”, perintahku ke Mang Diman. “Buka kacaku”, perintahku lagi, sambil tak berpaling pandanganku ke arah Sultan yang sedang berusaha memberhentikan mobilku. “Sultan...”, teriakku. “Ada apa?”, tanyaku lagi. “Eh Tya… Ini nih Tya..”, dia terlihat sedikit panik, sambil menunjuk ke arah seseorang yang sedang tergeletak di tangah jalan, dalam keadaan berlumuran darah. “Tabrak lari Tya, harus segera ke rumah sakit…”, jawabnya. “Bisa bantu gak?”, tanyanya ke arahku. Tanpa aku pikir panjang lagi, “Oh… Iya… Iya… cepat masukkan aja ke mobil gue…”, perintahku. Sultan langsung menggotong tubuh anak kecil itu, sedangkan orang lain yang sedang menyemuti tidak melakukan respon apa pun, selain bergumam dan berbicara ini itu. Sedangkan Sultan, tak ambil pusing dengan kejadian itu, bahkan dia tidak mempedulikan darah yang membasahi sekujur tubuhnya dari luka si
126
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
anak malang itu. Nampaknya anak itu adalah anak jalanan, yang mangkal di lampu merah dekat sekolahku. Dari dahi, dan dari beberapa bagian tubuh lain anak tersebut ke luar darah segar, mengalir deras tak terbendung. Aku pindah ke bangku depan, biar Sultan dan anak itu di jok belakang. “Yahh… Jadi kotor Tya mobil kamu…”, ujar Sultan. “Gak pha-pha Sultan, gampang dibersihkan”, jawabku. “Kita bawa ke Rumah Sakit mana nih?”, tanya Sultan. “Ke mana ya Mang…?”, tanyaku ke Mang Diman. “Yang paling cepet aja Mang…”, tambahku. Mang Diman mengkerutkan kening. “Ke RS Indonesia Jaya aja Non, di depan…”, jawab Mang Diman memberikan saran. “Oh Iya Mang… Ke sana aja…”, jawabku. “Ini siapa Sultan?”, tanyaku. “Enggak tahu…”, jawab dia polos. “Kejadiannya emang gimana”, tanyaku lagi. “Iya… Pas aku lewat…”, Sultan memulai cerita. Spontan, Sultan berteriak, “Ya ALLAH… saya lupa Tya…”. “Lupa apa Sultan?”, tanyaku ikut-ikutan kaget juga. “Tas dan sepedaku tertinggal…”, jawabnya lirih. “Yah… Terus gimana nih…?”, tanyaku ikutan kaget dan bingung. “Nanti aja Tya… Gak apa-apa, yang penting anak ini selamat…”, jawabnya diplomatis. “Iya… Emang korban tabrak lari ya?”, tanyaku lagi untuk mengingatkan dia bahwa dia belum bercerita.
127
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Oh iya… Tadi tuh, pas saya lewat, anak ini kayaknya lagi mau menyebrang. Sepertinya dia pengamen Tya…”, Sultan bercerita, “Terus… Mendadak sebuah motor berkendaraan cepat, tanpa helm, dan menyerobot lampu merah, melintas dan menabrak anak ini Tya… Lumayan terpental juga dia…”. “By the way masih bernafas kan Tan?”, tanyaku khawatir. “Iya Tya… Nadinya masih ada”, jawab dia sambil meraba nadi anak tersebut di belakang telinga anak tersebut. Aku pun tahu, nadi di belakan telingan ini, merupakan nadi terbesar yang dimiliki oleh manusia. Sehingga, denyutnya akan terasa lebih besar. Ternyata Sultan pun sepertinya tahu akan hal itu. Anak tersebut tertidur tak sadarkan diri di pangkuan Sultan, sehingga darah berceceran ke seluruh tubuh Sultan. “Kamu kenal dia?”, tanyaku, juga karena penasaran. Kok mau berepot-repot ria melakukan ini semua. Apalagi anak tersebut hanyalah seorang gelandangan. Bahkan, oleh ibunya aja mungkin disia-siakan. Tapi Sultan ini mau melakukan sebuah pengorbanan yang tinggi. “Enggak…”, jawab dia pendek. “Yang aku tahu, bahwa aku harus melakukan ini. Namanya juga kita hidup dan berkehidupan…”, tambah Sultan. “Maksudmu?”, sedikit heran dengan jawaban klise dia. “Ya iya… Kalau hanya hidup, cacing pun hidup, pohon pun hidup, bahwa kecoa dan semut pun hidup. Namun, manusia kan Uswatun khasanah, yang tidak cukup untuk hidup, dia harus berkehidupan”, panjang lebar dan menggelegar kata-kata sederhananya. Tak disangka, bahwa kata-kata itu ke luar dari mulut seorang Sultan, “Pintar juga dia berfilosofi”, gumamku dalam hati.
128
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku cuma tersenyum. Aku sudah tahu akan hal itu, namun menurutku itu hanyalah teori belaka, yang tidak harus diimplementasikan. Apalagi di jaman seperti ini. Sampailah kami di RS Indonesia Jaya. Sultan langsung membawanya dengan tangannya sendiri ke ruang ICU. Dokter jaga langsung bertindak. Aku cukup suka dengan pertolongan pertama di RS ini. Mereka lebih mengutamakan kemanusiaan, tanpa ada pertanyaan yang sifatnya administratif terlebih dahulu. Memang sesuai dengan slogannya, ‘Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia’. Tak lama kemudian, Sultan keluar dari ruang ICU. Terlihat lelah dia, namun dia berusaha untuk tetap tersenyum. “Saya ke kamar mandi dulu ya Tya…”, ucapnya. “Oh iya…”, jawabku. Tak lama kemudian dia kembali, dengan pakaian yang basah. Jelas sekali, pakaian itu habis dicuci. Di tangan kanannya ada pakaian dalamnya yang basah pula dan sebuah ember. “Mau ngapain Lo Sultan?”, tanyaku heran. Dia pergi mendekati mobilku dan, tanpa ada keraguan sedikit pun, dia membersihkan sebuah bercak darah dan kotoran yang ada di jok belakang mobilku. Aku berteriak dan berlari mendekatinya. “Gak usah Sultan, biar nanti aja…”, cegahku. “Gak apa-apa Tya, ini sekalian…”, jawabnya santai. Dan bersih lagi pasti jok mobilku yang terbuat dari kulit itu. Tapi, pastinya, selepas ini harus masuk ke bengkel untuk dibersihkan lebih lanjut. Karena bau anyirnya masih terasa. Sultan kembali lagi ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia mendekatiku, yang duduk dekat ruang ICU. Belum ada informasi apa pun dari pihak rumah sakit. Kami pun menunggu. “Kamu pucat Sultan…”, ujarku.
129
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Sultan memang tampak pucat, tidak seperti biasanya. Mungkin karena baru sembuh dari sakitnya. Namun yang aku kagum darinya, bahwa dia tidak pernah mengeluh dan senyumnya itu selalu mengembang menghiasi wajahnya yang tampan dan penuh kharismatik itu. “Iya.. Gak apa-apa kok…”, jawab dia menetralisir. Ingin rasanya kuseka semua peluh yang ada di keningnya, tapi itu tak mungkin aku lakukan, aku harus menjaga imejku. Dia duduk di sampingku. Kita masih menunggu pertolongan yang dilakukan oleh tim medis terhadap anak korban tabrak lari tersebut. “Apa kabar lo? Kok sakitnya lama sih? emang sakit apa?”, tanyaku bertubi-tubi, aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengorek lebih banyak tentang dirinya. “Baik, Alhamdulillah… Biasalah kalau ALLAH sudah berkehendak, yang sangat kita hindari pun akhirnya datang juga. Ya… Kayak sakit ini lah…”, jawab dia menanggapi pertanyaanku tersebut. Jarang rasanya aku mendengar sebuah komentar yang penuh keyakinan, namun ada kelembutan di dalam setiap katanya. Itulah yang selalu ke luar dari bibir tipis milik Sultan. Katanya penuh makna, penuh keyakinan dan santun dalam penyampaian. “Lo udah ke dokter?”, tanyaku lagi. “Lo pucet banget loh Tan…”, tambahku. “Udah kok, udah ke dokter. Dokter hanya menyarankan bahwa aku harus banyak-banyak istirahat…”, jawabnya. “Iyah… Tapi memang sakit musti dilawan Tan…”, tambahku. “Betul Tya, sakit musti dilawan memang, namun kita musti sadar, ada kekuatan maha dahsyat di luar sana, jika DIA sudah
130
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
berkehendak, perlawanan seperti apa pun akan menjadi tak berarti. Dan ketika itu terjadi, ikhlas adalah kuncinya”, jawab Sultan lagi penuh keyakinan. Entah… Aku tidak 100% dapat menerima kata-kata Sultan tersebut. Yang aku tahu dan yang selalu alami, bahwa setiap usaha maksimal akan ada hasil maksimal pula. Itu yang aku yakini. Penyakit pun pasti ada obatnya dan semua penyakit bisa disembuhkan. Dan yang terpenting dari itu, bahwa tugas kita menghindari penyakit tersebut, itu lebih baik dari mengobati. Maka hidup sehat, teratur, istirahat cukup dan disiplin tinggi adalah sebuah kunci untuk kesehatan kita. “Ikhlas?”, tanyaku. Sebuah kata yang agak aneh di telingaku. Yang aku tahu adalah, bahwa aku harus melakukan semaksimal mungkin, dan itu pasti akan mendapatkan apa yang telah aku lakukan. Tidak ada kata gagal menurutku. “Iya ikhlas… Sebuah manifestasi pencerminan diri dalam meyakini sebuah kekuatan Maha Besar, Maha Berkehendak dan Maha luas kekuasaannya, yaitu ALLAH Azza Wajala”, jelas Sultan menjelaskan panjang lebar. Sebuah jawaban yang membuat bulu kudukku merinding, membuat otakku berpikir keras, dan membuat nafasku terasa berat untuk dihembuskan. Sekali lagi, sebuah jawaban ketegasan nan lembut dalam penyampaian. “Oh… Gitu ya?”, aku mengomentari. “Berarti tidak musti kerja keras dong? Let it be aja..”, tanyaku lebih lanjut. Penasaran juga sih… “Nah… Itu salahnya. Kadang pola pikir itu yang menjerumuskan kita. Ikhlas bukan menyerah diri. Ikhlas bukan tidak
131
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
perlu kerja keras. Ikhlas adalah sebuah usaha diri untuk mendapatkan kesuksesan yang bernilai lebih tinggi di alam baka nanti. Setelah usaha 100% yang kita lakukan sebagai seorang manusia. Ingat 100%! Bahkan jargon bahwa tidak ada manusia sempurna, menurutku adalah salah. Ada kok manusia yang sempurna... Rasulullah lah orangnya”, jawab dia lagi. “100%? Itu kok yang selalu aku lakukan…”, aku mengernyitkan dahi. “Nah Loh… Bahaya kalau sudah masuk area itu”, gumamku dalam hati. Sebuah area pembahasan yang fiktif menurutku. Menurutku, jika berbicara ‘surga’, ‘neraka’, ‘alam baka’ atau sejenisnya adalah kata-kata yang fiktif. Ranah yang imajiner. Tapi untuk urusan manusia yang sempurna, aku setuju. 'Apa yang kita pikir bisa, tentu pasi bisa...', itu yang selalu aku pegang untuk memaksimalkan potensi diri. Aku berdiam diri. “Maaf ya… Aku menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar. Karena itu harus disampaikan, kalau tidak akan menjadi salah… Kalau pun ada ayat-ayat Qur’an yang terselip, bukan karena sebuah ke’ego’an, namun lebih ke arah bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kebenaran”, jelasnya menambahkan. Aku Cuma mengangguk. Aku berdiam diri, bukannya aku tidak mau membahas ini. Tapi memang karena aku tidak menggetahui ilmunya lebih dalam. Aku berdiam bukan karena mengghindarinya, malah karena aku berpikir mengenai sesuatu. Seorang Sultan yang penuh prestasi di hidupnya, penuh dengan keahlian, namun masih berpikir sebuah keadaan atau jargon-jargon yang menurutku ‘fiktif’ tadi. Pastinya ada sesuatu di belakang ini… Aku malah semakin penasaran.
132
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
س Tak lama kemudian. Tim medis yang menangani anak korban tabrak lari tersebut ke luar dari ruangan ICU. Kami segera bangkit dari tempat duduk, kemudian menghampiri salah satu dokternya. “Gimana Dok?”, tanya Sultan. “Anda keluarganya?”, tanya dokter tersebut. “Bukan Dok, kami hanya mengantarnya ke sini, karena dia korban tabrak lari…”, jelas Sultan. “Oh… Begini Nak…”, Dokter tersebut memenggal kalimatnya. “Sultan”, sambar Sultan. “Begini Nak Sultan…”, Dokter tersebut melanjutkan. “Kami sudah bekerja semaksimal mungkin, bekerja sekuat tenaga, bahkan usaha tersebut dikerjakan oleh tim medis terbaik di rumah sakit ini, namun… Karena luka yang cukup parah di bagian kepala, dan perdarahan yang tidak dapat terkendali, ALLAH berkehendak lain Nak Sultan… Anak tersebut telah diambil olehNYA”, jelas dokter panjang lebar. Wajah Sultan mendadak murung, namun dia masih berusaha tegar dan tersenyum. Tidak ada air mata menetes di pipinya. Apalagi denganku, aku tidak merasakan apa-apa, apalagi bersedih atau menangis. “Innalillahi Wa Innaillaihi Rojiun…”, Sultan berujar sambil menengadahkan tangan dan mengusapkannya ke mukanya.
133
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku pun mengikuti. Karena aku tahu, dalam ajaran agamaku bahwa kata itu harus diucapkan, jika ada orang yang meninggal atau terkena musibah. “Sekarang, Nak Sultan harus memberi tahu keluarganya segera…”, saran Dokter. “Iya Dok, makasih banyak atas segalanya…”, jawab Sultan. Kami pun pamit. Kemudian kami ke bagian adminsitrasi. Ternyata untuk kasus dan kejadian seperti tadi, tidak ada biaya sedikit pun. Inilah salah satu yang aku suka dari Rumah Sakit Indonesia Jaya miliki pemerintah ini. mengutamakan pelayanan…
س “Lalu sekarang gimana kita Tan?”, tanyaku sambil ke luar ruangan rumah sakit. “Aku musti ke tempat kejadian lagi, siapa tahu mereka tahu akan keluarga anak tersebut…”, jawab Sultan. “Gue anter ya Tan?”, tanyaku lagi. Sebenarnya bukan karena alasan apa-apa aku mengantar Sultan, hanya ingin lebih lama saja bersama dia… “Kamu gak apa-apa? Aku ngerepotin ya?”, tanya dia dengan senyuman itu. “Enggak apa-apa kok Tan, gue seneng kok melakukannya…”, jawabku dengan senyum juga. Padahal aku ada les privat, tapi… Gak apa-apalah, lagian sudah terlambat juga. Nanti aku sms saja Bu Mien guruku itu.
134
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Setibanya di tempat kejadian tadi. Sultan bergegas ke luar mobil. Aku pun ikut. Tak lama kemudian ada orang yang memanggil-manggil sambil berlari ke arah Sultan. “Gimana anak saya Nak?”, tanya seorang Ibu separuh baya ditemani suaminya, kayaknya. Sultan memandangi aku. Seperti ragu untuk bercerita ke Si Ibu anak malang tersebut. “Maaf Bu… Mmmhh… Anak Ibu… Anak Ibu… Tidak dapat tertolong…”, kata-kata itu meluncur lancar dari bibir Sultan, walaupun berkesan sangat berat. Si Ibu tadi pingsan mendadak. Keadaan menjadi hiruk pikuk, kacau gemalau. Orang-orang mencoba untuk mengangkat si ibu itu, begitu juga dengan Sultan. Dibawanya ibu itu ke sebuah pelataran toko. “Terus sekarang anak saya dimana Nak?”, tanya Bapak satunya, yang benar saja bahwa bapak itu adalah suaminya, yang berarti bapaknya anak itu. “Di RSIJ Pak…”, jawab Sultan pendek. Setelah ibu tersebut siuman, aku mengantar kedua orang tua anak itu ke rumah sakit. Sedangkan Sultan menyusul dengan menggunakan sepedanya, yang ternyata sepedanya disimpan oleh seorang penjaga warung dekat kejadian tadi. Yang membuat sesak dadaku, adalah akhirnya aku mendapatkan informasi, bahwa anak terebut merupakan anak semata wayang mereka, masih duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, dan ingin mencoba membantu orang tuanya untuk mencari uang, hanya karena dia ingin tetap sekolah, walaupun kedua orang tuanya sudah berkeras hati untuk melarangnya...
135
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Setelah urusan di rumah sakit selesai, kami pun berencana pulang. Seperti biasa, Sultan berjalan bersamaku ke area parkir sambil mendorong ‘speda butut’nya itu. “Lo pulang?”, tanyaku. “Pulang lah Tya… Masa nginep…”, canda Sultan dan kami pun tertawa. “Makan dulu yuk?”, tanyaku lagi sambil mengajak dia makan. “Lo pasti belum makan kan?”, tanyaku lagi. “Iya… Emang kamu udah makan?”, tanya Sultan membalas. “Belum lah… Masa belum dong… Hahaha”, kami pun tertawa sambil pergi ke arah sebuah rumah makan cepat saji dekat RSIJ tersebut. Suasana siang itu kurasakan begitu ceria dan akrab. Aku menikmati suasana langka tersbut. Sambil menikmati makanan, yang tentunya makanan yang kutraktir, kami pun berbicara panjang lebar. “Elo kecapean kali karena tiap hari ke sekolah menggunakan sepeda Tan, Cibinong kan jauh sekali….”, tanyaku membuka pembicaraan. “Aku sudah biasa Tya…”, jawabnya. “Kan kalau sudah terbiasa, sesuatu akan terasa nikmat…”, tambahnya. “By the way, lo kan yang datang ke hotel itu kan?”, tanyaku. “Hehehe… Iya…”, jawab dia pendek. “Lalu… Kenapa dua bulan baru masuk sekolah?”, tanyaku lagi.
136
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Oh itu… Pengen aja…”, jawab dia pendek dan pastinya itu bercanda. “Gue serius nih Tan… Kenapa elo sampai dua bulan bolos sekolah…?”, tanyaku lagi, penasaran. “Kenapa ya… Ya pengen aja… Mempersiapkan mental untuk pindah ke Jakarta…”, jawab dia sambil tersenyum. “Ah.. Elo bercanda mulu… Takut ya ngadepin prestasi gue yang brilian itu?”, ledekku. “Takut?... Hahaha… Now way…”, jawab dia dengan muka kocak hehehe… Kami pun tertawa. Aku menikmati pembicaraan itu. Aku sekarang tahu gaya bicara Sultan, bercanda dan kocak. Namun, ada beberapa hal yang harus dia bahas dengan serius, karena dia tidak ingin hal serius itu dibawa ke alam bercanda, karena efeknya akan membiasakan diri kita menghadapi keseriusan menjadi sesuatu hal lucu yang tidak ada maknanya. Selain itu, hal penting itu pun akan berbubah menjadi bermakna ‘bias’, jika itu tidak dipandang penting. Misal, ada anekdot ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’. Jika lelucon itu, tetap ada di kepala kita ini, maka bisa jadi mindset kita memang memandang bahwa peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Makanya, untuk hal-hal yang seperti itu, Sultan sangat anti untuk berkelakar. Dia menganggap itu merupakan hal sangat penting, yang mulai harus ditanamkan kepada setiap kita yang mau perubahan menuju perbaikan.
137
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
138
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
SULTAN (Lagi...) [١١] Prinsip menuntut ilmu, masih menurut Sultan, adalah wajib dan sangat crusial bagi kehidupan kita. Saking pentingnya, menurut hadis riwayat Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i dan Ahmad (masih menurut dia), Rasulullah pernah bersabda “Bila anak Adam meninggal dunia, terputuslah (pahalanya) dan amalnya, kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya”. Tidak pernah sedikit pun aku memiliki pikiran sejauh itu. Aku sekolah karena aku harus sekolah, aku harus berprestasi, bukan karena alasan apa pun. Tetapi menurut Sultan, itu tidak akan berarti apa-apa, sehingga dia harus set alasan melakukan itu semua, alasan itu ternyata bermuara kepada ALLAH…
Dari pembicaraan terakhir yang panjang lebar di rumah makan cepat saji di dekat rumah sakit tersebut, aku semakin tahu siapa Sultan sebenarnya. Sehebat apa kualitas otaknya. Siapa orang tuanya. Bahkan aku tahu sekarang, apa cita-citanya. Dia bercita-cita untuk menjadi seorang ‘Dokter’, “terinspirasi seorang Ibnu Sina” katanya. Dan matakuliah favoritnya adalah kimia dan biologi. 139
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Menurut dia, Ibnu Sina yang hidup 980 – 1038 M, merupakan warisan kedokteran Muslim yang terkenal, dengan karya agungnya sebuah kitab kedokteran legendaris, yaitu Canon of Medicine. Mantap… Seperti informasi yang didapat dari Pak Mukti di sekolah Sultan yang dulu, di Kuningan, seperti itulah Sultan. Kedua orang tuanya adalah orang yang hidupnya pas-pasan, jika memang kalau tidak mau disebut ‘miskin’. Ibunya adalah penjual makanan di pasar kuningan. Bapaknya sultan adalah pegawai, atau tepatnya buruh pabrik serabutan, kadang juga bekerja sebagai buruh tani atau buruh bangunan. Kehidupan mereka serba kekurangan, namun ada semangat yang selalu membuncah di jiwa mereka, bahwa mereka merasa hidupnya akan panjang, dan tidak pernah berakhir. Makanya mereka bekerja begitu keras dan cerdas. Tetapi untuk kehidupan beribadah, mereka berprinsip bahwa mereka menganggap hari ini adalah hari terakhir mereka hidup di dunia, sehingga mereka beribadah dengan sangat khusuknya. Bahkan untuk biaya sekolah Sultan pun, Sultan lebih memilih untuk menginfakan beasiswanya, untuk seorang anak tidak mampu di kampungnya dulu. Sehingga, dia harus ke Jakarta dengan cara ‘merangkak’. Dia berprinsip, “ALLAH tidak mungkin akan menyengsarakanku, jika memang aku ke Jakarta dengan niat karena ALLAH”. Oh iya… Ada hal yang membuat aku tercengang. Idola Sultan adalah ‘Nabi Muhammad SAW’. Ketika orang sepantaran dia lebih terilhami hati dan otaknya oleh seorang super star panggung. Ketika anak-anak muda SMA lebih memilih seorang bintang film sebagai idolanya, kebergemingan dia memilih Nabi Muhammad SAW sebagai idola, merupakan sebuah jawaban nyata akan ketakwaan dia terhadap agamanya.
140
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Ketika dia kutanya, mengapa dia mengidolakan Nabi besar itu, dia dengan gamblang menjelaskan “Rasulullah itu: pandangannya adalah pandangan yang teduh, tidak pernah memandangi tempat atau objek yang bisa mengganggu imannya. Ucapannya adalah da’wah, menyampaikan yang benar dan kebenaran saja. Pikirannya husnudzan, selalu berbaik sangka, walaupun kepada musuh sekali pun. Desah nafasnya adalah Dzikirullah, ucapan toyibah pengingat ALLAH. Tangannya sodaqoh, ringan tangan untuk membantu sesama saudaranya. Kakinya adalah langkah menuju tempat yang ALLAH ridhoi. Rumah adalah masjid buatnya. Tempat singgah adalah mushala baginya. Ahlaqnya adalah Al-Qur’an”. Itulah jawaban Sultan, ketika aku tanya kenapa dia memilih Nabi Muhammad SAW sebagai idolanya. “Rasulullah adalah contoh manusia biasa namun diberikan kesempurnaan oleh ALLAH, setelah sebuah ‘jargon salah’ tentang ‘tidak ada sosok manusia sempurna’ itu menghantui setiap kepala manusia. Manusia sempurna itu ada. Manusia sempurna itu nyata. Kita kadang menganggap diri kita kecil, lemah, tak berdaya. Padahal, ALLAH telah memilih kita, manusia, untuk menanggung besar tanggung jawab menjaga bumi dan isinya ini. Tanggung jawab yang sangat luar biasa luas. Tanggung jawab yang tidak mungkin dapat dipikul, kalau kita hanya egois mementingkan diri kita sendiri. Pentingkan orang lain, baru pentingkan diri kita. Tanggung jawab yang tidak mungkin dapat dijunjung oleh mahkluk lain, yang tidak sesempurna Manusia. Tanggung jawab yang tidak mungkin diemban oleh mahkluk yang tidak ada rencana di dalam hidupnya. Tanggung jawab yang tidak mungkin dipegang oleh mahkluk yang hanya hidup, tetapi tidak berkehidupan. Manusia diciptakan untuk hidup, juga berkehidupan. Rasulullah menjalankan tugas sebagai seorang
141
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
khalifahnya ALLAH di muka bumi ini, dengan tangan, kaki, badan, dan akal sebagai seorang manusia yang hidup dan berkehidupan. Bukan lewat jalur short cut, majic, dan tidak masuk akal, namun melalui sebuah proses secara manusiawi, yang setiap manusia di muka bumi ini bisa mencontohnya. ALLAH ingin memberikan contoh kepada kita, bahwa manusia adalah sesempurnasempurnanya mahkluk. Jadi, Rasulullah adalah layak dan wajib dijadikan idola di dalam hidup”, jawaban Sultan yang lain, tentang sosok Rasulullah yang dijadikannya sebagai idola. Sehingga aku harus berpikir ulang mengenai idola-idolaku. Di bidang scientific, Einstein adalah idolaku. Di bidang kenegaraan, Muhammad Hatta adalah idolaku. Bahkan di bidang seni pun aku punya idola, yaitu Madonna. Hmmm.... Bergetar kadang hati ini jika aku mendengar penjelasan Sultan, yang kadang belum pernah terpikir olehku. Jenius iya, pinter iya, berprestasi tidak dipungkiri lagi, namun bathinya pun kaya, kaya akan ilmu. Itulah Sultan menurutku. Hebatnya lagi, bahasa yang dia kuasai ternyata bukan lima bahasa asing, namun 6 bahasa asing. Selain Inggris, Nedherlan, Jerman, Perancis dan Cina, dia pun menguasai bahasa Arab. Menurut dia, bahasa Arab adalah induk dari bahasa di seluruh dunia. Makanya, mengapa Al-Qur’an di turunkan di sana. Masih menurutnya, “kayaknya ada kejanggalan deh, kalau kita sendiri, tidak mempelajari atau tidak bisa berbahasa kitab suci kita sendiri…”. Itulah salah satu kalimat yang menusuk dalam jantung ini. Bukan sakit hati yang kurasakan, bukan dendam yang aku ingatkan, tatapi sebuah kenyataan yang tidak sempat atau tidak terpikirkan olehku sama sekali. Itulah Ibnu Sinaku. Kekagumanku padanya tidak pernah berhenti. Aku tidak salah, ketika menilai dia lebih dari yang lainnya.
142
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Bagi dia, ilmu adalah segalanya. Bahkan, tidak salah orang tuanya memberikan nama Muhammad Sultan Qawariyyin. Qawariyyin adalah universitas Islam (dengan nama lengkap Jami’ah AlQarawiyyin) yang merupakan sebuah universitas tertua di dunia. Sungguh aku baru tahu dari seorang Sultan. Universitas tersebut berdiri di kota Fez – Maroko (859 M). Berdiri jauh lebih dulu bila dibandingkan dengan universitas-universitas barat lain, misal Universitas Bologna – Italia (1088 M), Universitas Paris – Perancis (1150 M) atau bahkan Universitas Oxford – Inggris (1167 M). Prinsip menuntut ilmu, masih menurut Sultan, adalah wajib dan sangat crusial bagi kehidupan kita. Saking pentingnya, menurut hadis riwayat Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i dan Ahmad (masih menurut dia), Rasulullah pernah bersabda “Bila anak Adam meninggal dunia, terputuslah (pahalanya) dan amalnya, kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya”. Tidak pernah sedikit pun aku memiliki pikiran sejauh itu. Aku sekolah karena aku harus sekolah, aku harus berprestasi, bukan karena alasan apa pun. Tetapi menurut Sultan, itu tidak akan berarti apa-apa, sehingga dia harus set alasan melakukan itu semua, alasan itu ternyata bermuara kepada ALLAH… Itulah sebagian lamunanku malam ini tentang Sultan, yang selalu memiliki alasan, ilmu dan hujjah dalam menjalankan semua aktivitasnya. Dia berprinsip, jika sebuah aktivitas tidak dilakukan bukan atas dasar ilmu, tidaklah sama sekali bernilai. Seperti pada Al-Qur’an, yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
143
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pertanggungan jawabnya”9. Suaranya pun menurutku cukup indah ketika melantunkan ayat Al-Qur’an tersebut. Tak henti-hentinya lamunan tersebut bermain-main di pikiranku ini. Tanpa sadar aku pun tertidur pulas.
9
Q.S Al-Israa’ [17]: 36
144
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
KANGEN… [١٢] Tak lama kemudian. Di saat mataku mulai terkantuk-kantuk. Hapeku berbunyi, dengan nada dering lagunya Air Supply, Making love out of nothing at all. Kubuka hapeku, eh… ternyata dari si Intan.
Sehabis Maghrib tadi, aku hanya bisa membalik-balikan badan saja di tampat tidurku. PRku sudah aku kerjakan. Mau main internet lagi tidak mood. Baca buku? Belum ada buku baru lagi yang sempet aku beli. Aku hanya bengong aja malam ini. Apa karena aku sengat kangen ya dengan Sultan? Ya Ampun… Kok wajah dan senyumnya selalu berada di anganku ini sih? Gimana sih ini? sampai sekarang, aku belum bisa menjawabya, ‘Apakah ini yang disebut dengan Cinta?’… “Oh Iya… Ku SMS aja dia…”, pikirku. Ku ambil hapeku, kuketik sebuah sms, ‘Hi Sultan… Sorry ganggu… Lagi ngapain?’, aku beranikan mengirim sms itu ke Sultan. 145
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku berharap dia membacanya dan membalasnya. 10 menit waktu berjalan, sms itu belum terjawab. 25 menit waktu berlalu, sms tersebut masih tidak ada jawaban. Kucoba mengirim lagi dengan isi sms yang sama. Sama saja. Gedebak-gedebuk aku berguling-guling di tempat tidur. Namun sms yang aku tunggu, tidak muncul juga. Tak lama kemudian. Di saat mataku mulai terkantukkantuk. Hapeku berbunyi, dengan nada dering lagunya Air Supply, Making love out of nothing at all. Kubuka hapeku, eh… ternyata dari si Intan. ‘Non ngapain… Dah tidur ya?... Soal nomor dua dapet isi berapa sih, 12,67 bukan?’, si Intan menanyakan jawaban PR Matematikaku. Kubuka buku PRku, dan kubalas smsnya, ‘Lagi bengong, lo ngapain? Iya 12,67. Emang kenapa?’. Tak lama hapeku berdering lagi, “Pasti balesan Intan”, gumamku. Kubuka Hapeku lagi, “Ya Ampun ternyata sms Sultan”, ujarku. Mataku yang mulai terkantuk lagi, seperti terkena air es dingin, yang menyebabkan terbelalak dan terbuka. Kubaca smsnya, ‘Hehe… Enggak ganggu kok Tya, kamu lagi ngapain? Aku baru selesai makan…’. Ya Ampun…. Senengnya aku. Smsku dijawab Sultan gitu loch... Kucoba untuk membalasnya, ‘Gak lagi ngapa-ngapain. Elo belum tidur?’. Aku bingung. Ingin rasanya mengirim sms sebanyakbanyaknya, namun kok terasa kagok ya… Tak lama hapeku berbunyi lagi, ‘Iya… Ini juga mau tidur. Kamu juga tidur ya, nanti kesiangan loh sekolah besok… CU’.
146
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Hehehe… aku membaca sms-smsnya Sultan dengan hati penuh dengan bunga semerbak, benar-benar berbunga-bunga. Kubalas lagi sms itu, ‘Iya… Gue juga mau tidur. Met tidur juga ya… CU’. Ku peluk Hapeku. Ku peluk juga gulingku. Aku berniat tidur di dalam senyuman. Aku berharap malam ini aku tidur dengan pulasnya, dan berharap akan bertemu dengan Sultan di dalam mimpiku. “Oh Sultan…”, gumamku menemani mataku yang mulai tertutup rapat.
147
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
148
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
KE RUMAH SULTAN [١٣] Tak lama kemudian, sampailah kami ke rumah kontrakkan Sultan. Sebuah rumah sederhana, bahkan sangat sederhana, atau aku lebih suka menyebutnya sebuah ‘pavilyun kumuh’. Terdiri dari satu buah ruang tamu, satu buah kamar tidur dan kamar mandi. Berdempetan dengan pavilyun-pavilyun lainnya. Cukup kumuh menurutku. Namun aku tidak melihat sedikit pun keminderan dari Sultan, dia mempersilahkan masuk dan duduk kepadaku. Aku lebih memilih untuk duduk di beranda, di sana ada dua tempat duduk yang terbuat dari rotan, sudah reot, lapuk dan tua, namun nampak terawat bersih, dan sebuah meja, yang terbuat dari kayu yang tampak sedikit keropos, dengan alas meja terbuat dari triplek yang juga sudah mulai rapuh pula.
Kubergegas ke luar kelas. Aku langsung ke ruang kelas 2D. Kulihat Sultan pun bergegas ke luar dari ruang kelasnya. “Hai…”, sapaku saat kami berpapasan. Dengan malu-malu kulihat, dengan senyum dikulum, dia pun menjawab sapaku, “Hai Tya…”.
149
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Mau pulang ya…?”, tanya dia kepadaku. “Hmmm… Iya… Tapi gue pengen ngajak elo makan? Mau…?”, aku pegen banget makan siang ini bersamanya. Ada hal yang ingin aku tanyakan kepadanya. “Hmmm gimana ya? Aku musti bur-buru loh Tya…”, jawabnya. “Musti ngajar ya…?”, tanyaku coba menebak. “Iya Tya… Aku musti sampai madrasah ba’da Ashar…”, aku mengkerutkan kening tanda tidak mengerti. “Maksudku sehabis shalat Ashar”, jawab dia atas ketidakmengertianku. “Oh… Gitu ya… Kan kalau pake mobil bisa lebih cepat? Aku antar ya… Please…”, aku memohon. “Hmmm… Gimana ya? Sepedaku?”, tanya dia lagi. Sepertinya dia mau, tapi bingung dengan sepedanya. “Ya gampanglah Tan… Kan bisa disimpan di atas mobilku…”, jawabku meyakinkan. “Ok… Ya?”, tanyaku lagi. “Ok deh…”, jawabnya. “Nah gitu donk…”, aku bersemangat. “Tapi bentar ya… Aku musti shalat dzuhur dulu… Gimana kalau kamu tunggu di kantin…?”, dia berujar. “Shalat ya…?”, tanyaku dalam hati. Aku sedikit heran, karena kata itu pun sangat jarang ada di memory harian otakku. Tapi aku tidak mau terlihat bego. “Oh iya… Aku tunggu di kantin ya…”, jawabku meng’iya’kan sarannya. Selagi aku berjalan ke kantin sekolah. Aku berpikir, “Shalat…?”.
150
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku sudah tahu, kata dan aktivitas itu. Namun, apa perlu itu aku lakukan. Toh tanpa shalat pun aku bisa berprestasi, pintar dan jenius. Tanpa shalat pun aku tidak pernah merugikan, atau bahkan menyakiti orang lain. Bahkan tanpa shalat pun, Papih mamihku bisa kaya raya, tidak akan habis kekayaannya dalam tujuh turunan. Maka… “Apakah perlu kita shalat?”. Yang jelas, aku sudah Islam, aku yakin itu. Yang penting kan kalau sudah Islam, kita akan masuk surga. Padahal, aku pun masih ragu, apakah surga itu ada atau tidak. “Shalat ya…?”, aku masih bertanya-tanya dalam hatiku ini. Aku memesan mie ayam dan soft drink. Tak lama kemudian, Sultan datang dengan senyuman khasnya. Aku pun tersenyum, aku pun mempersilahkan dia untuk memesan makanan. Kemudian dia pun memesan makanan, soto ayam plus nasi. Aku masih berpikir mengenai shalat itu? aku sangat ingin menanyakan hal itu, apakah ada alasan logis yang bisa diberikan oleh Sultan, mengapa kita harus shalat. “Tan… Sambil makan, bisa ya gue tanya sesuatu ke elo?”, tanyaku. “Oh… Bisalah… Emang mau tanya apa?”, respon dia. “Enggak… Gue mau tanya satu hal, tapi lo jangan marah ya?”, tanyaku lagi. Sultan hanya menganggukkan kepala sambil meminum air putih yang dia pesan tadi. “Gini Tan… Kenapa lo shalat?”, tanyaku to the point. Sultan berdiam diri, sambil menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang aku sendiri tidak tahu maksudnya apa. “Shalat ya…?”, tanya dia, membuka jawaban akan pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan retorik.
151
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Kemudian dia menarik nafasnya. “Hmmm… Kenapa kamu ngedadak mempertanyakan satu hal itu?”, tanya dia lagi. “Hmmm… Kenapa ya? Pengen tahu aja kali ya…”, aku menjawab pertanyaan Sultan dengan nada tidak yakin. “Tapi lo mau jawabkan?”, tanyaku lagi. “Mmmm… Ok… Sebelum kita masuk ke bab shalat, kita harus tahu dulu perbedaan antara syarat dan rukun…”, jawab dia berfilosofi. “Misal… Apa syarat kita bisa bersekolah?”, tanya dia. “Ya… Mendaftar di sekolah, membayar uang spp, dan lainlain…”, jawabku merespon pertanyaan itu. Aku masih tidak mengerti, akan ke arah mana dia membawa aku berfilosofi. “Sip.. Itu yang disebut dengan syarat. Sebuah kewajiban yang harus dilakukan, di luar aktivitas utamanya, yaitu sekolah”, dia menjelaskan lebih lanjut. “Terus, apa yang harus kita kerjakan selama kita sekolah, agar sekolah kita berhasil?”, tanya dia lagi. Berbarengan dengan itu, pesanan Sultan yang berupa soto ayam itu datang. “Terima kasih Bi…”, ujar Sultan ke Si Bi Ipah, penjual soto ayam yang mengantarkan soto ayam itu ke meja kami. Aku pun merespon pertanyaan Sultan lagi, “Ya… Kalau pengen sukses sekolahnya, ya kita musti belajar dengan giat, tidak boleh bolos, mentaati peraturan…”. “Pinter…”, jawab dia dengan santai sambil memulai makan soto ayam yang dia pesan. “Kurang ajar…”, ujarku dalam hati. Aku pasti pinterlah.
152
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Nah itu yang disebut dengan rukun. Sebuah aktivitas yang kita kerjakan di dalam aktivitas utama kita”, ujar dia menambahkan. Enteng saja, sambil mengunyah soto ayam itu. “Ok… Lantas apa hubungannya dengan pertanyaan Shalat gue?”, aku mulai tidak nge-link dengan jawaban dia. “Hubungannya gampang…”, jawab dia santai. Sambil tetap melahap soto ayamnya. Kayaknya dia lapar banget deh. Gimana bisa, tiap hari perut kosong, tapi dia harus mengayuh sepeda sepanjang puluhan kilo meter. Terlihat jelas dari guratan mata dan wajahnya, dia bekerja dan berusaha begitu berat dan keras. Namun, wajah tampannya, menutupi itu semua. “Kamu tahu rukun Islam kan?”, tanyanya lagi. “Ya tahu lah, sahadat, shalat, puasa, zakat dan haji”, jawabku. Aku tahu itu, dari guru agamaku, Pak Iman. “Nah… Kalau sekolah namun tidak belajar keras, suka membolos atau tidak taat peraturan, gimana?”, sebuah pertanyaan retorik sebenarnya. Namun aku coba untuk menjawabnya, “Ya sekolahnya tidak sukses…”, jawabku datar. “Bahkan bisa di-DO atau dikeluarkan dari sekolahnya kan...?”, tanya Sultan menambahkan. “Nah itulah yang disebut dengan rukun… Begitu juga dengan Islam, jika rukunnya ditinggalkan, berarti… Islam sih Islam… Tapi Islamnya tidak sukses… Atau bahkan seperti sekolah tadi, jangan-jangan kita di-DO dari Islam karena tidak shalat...”, jawab dia me-link-an apa yang sedari tadi tidak link di pikiran cerdasku ini. BOOM… Gelegar halilintar seperti menyambar kepalaku, menyambar pikiran ini… Di sisi lain, Sultan masih santai dengan
153
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
soto ayamnya. Aku seperti mengigil mendengar jawaban Sultan yang santai namun menyentuh hatiku itu. Jiwaku bergetar, itu yang aku rasakan. Kuhentikan makan mie ayamku, kuhentikan aktivitas mengunyahku. “Kenapa Tya… Gak enak ya mie ayamnya”, tanya sultan polos. Dia tidak tahu, padahal sebuah halilintar telah menyambar hatiku barusan. “Ah.. Enggak”, aku mencoba untuk menetralisir. Namun, pikiran ini masih mengawang-ngawang. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa Sultan mau shalat. Mengapa tidak cukup kita hanya memeluk islam. “Nah itulah jawabannya Tya”, dia menambahkan. “Aku pernah baca sebuah buku. Pernah berdiskusi dengan guru agamaku, beliau berujar, bahwa pada hakikatnya semua orang, semua makhluk, semua binatang dan tumbuhan adalah Islam. Di mana Islam berarti selamat, artinya ketika kita hidup teratur, taat aturan, pohon tumbuh dengan teratur, angin bertiup sesuai takaran dan matahari menyinari cahayanya sesuai dengan ketentuan ALLAH, itu semua dikatakan Islam, selamat dan tentram. Namun itu semua tidaklah cukup. 'Tidak Aku ciptakan bangsa jin dan manusia kecuali untuk beribadah (QS. Adz Dzariyat [51]: 56)' . Ya salah satunya shalat tadi…”, tambah dia panjang lebar. Belum berhenti hati ini bergetar, getaran itu malah semakin dahsyat. Aku semakin lemas dibuatnya. begitu fasih, begitu nyata dan begitu masuk akal, jawaban-jawaban yang disampaikan oleh Sultan. Ternyata Islam itu nyata, jika memang digali ilmunya. “Ketika perintah shalat itu kita abaikan, tidak akan sedikit pun mengurangi kekuasaan ALLAH. Bahkan jika seluruh dunia ini pun sudah tidak ada lagi yang bersujud kepada ALLAH, ALLAH
154
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
tetap raja dunia dan akhirat, tidak akan pernah luntur sedikit pun kekuasaanNYA”, tambahnya lagi. Aku tetap bengong, merenung, mendengar jawabanjawaban Sultan itu. Jawaban-jawaban itu sangat luar biasa membombardir jiwaku, seperti senapan laras panjang M16 menghujani para pejuang Vietnam oleh para serdadu Amerika dulu. Jenis senjata pasukan infanteri, yang amat populer di negara-negara yang berkiblat ke Barat atau setidak-tidaknya di negara yang memperoleh bantuan persenjataan ringan dari Amerika Serikat. Jenis senjata kaliber 5,56 mm ini mendapatkan nama harumnya di medan perang Vietnam pada tahun 1960-an. Sesaat itu juga aku menjadi pendiam. Bukan karena tidak mengerti, namun karena aku baru menemukan jawaban-jawaban logis mengenai shalat dari seorang Sultan, walau pun memang masih banyak yang masih menjadi pertanyaan di kepalaku ini. Sesaat itu pun kami pergi menuju mobilku. Sepedanya Sultan diikat di atas mobilku oleh Mang Diman. Kemudian, meluncurlah mobilku ke arah Cibinong. “Tya… Kok diem terus dari tadi, aku ada salah ya…?”, tanya Sultan membuyarkan lamunanku tentang shalat. Lamunan mengenai beberapa pertanyaan seputar shalat. Supaya aku semakin yakin dan menambah wawasan dan keilmuan mengenai shalat itu. “Ah… Enggak kok Tan… Aku malah sedang mencoba untuk menyelami setiap kata dan jawaban elo itu tadi…”, jawabku. “Oh gitu…”, dia meng’oh’. “Pelan-pelan aja ya… Supaya tidak bingung…”, ujar dia beraroma ‘membimbing’ dengan baik. Aku menjadi teduh dengan kata-kata itu. Suasana hatiku pun menjadi lebih tenang.
155
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Tapi gue mau tanya lagi satu hal nih Sultan… Boleh kan?”, tanyaku lagi. Masih ada pertanyaan yang masih mengganjal menurutku. Sultan yang duduk di depan, membalikan badan, melihat ke arahku. Sedang Mang Diman sambil mengendarai mobil, sesekali melirik ke arahku melalui kaca spion dalam. “Bolehlah… Tentang apa?”, tanya dia antusias, terlihat dari air mukanya. Terlihat olehku, bahwa dia pun tidak mau bermain-main dengan jawaban-jawaban seputar masalah serius. “Sori nih… Bukan gue sombong”, aku membuka pertanyaanku dengan sebuah statemen. Sultan berdiam diri, menyimak statemenku. “Gue gak pernah shalat… Tapi kok gue sukses terus? Bokap nyokap gue juga jarang shalat, tapi kaya raya?”, tanyaku masih seputar Shalat, namun ini sudah masuk ke esensi kehidupanku secara langsung. Sultan hanya tersenyum, terus dia pun menjawab pertanyaanku. “Tya…”, dia menyapaku dengan lembut. Aku pun menyimaknya. “Untuk menjadi pinter, kita perlu belajar. Untuk menjadi kaya raya, ya… Bekerjalah secara keras dan cerdas… Dan itu semua bisa dilakukan oleh setiap orang, bahkan oleh seorang atheis sekalipun…”, jawab Sultan. Jawaban itu, lagi-lagi menohok hatiku dan mecabik-cabik pikiranku ini. Jawaban yang sulit untuk disangkal. Sebuah jawaban klise, tapi memiliki esensi yang dalam. “Itulah… Mengapa ALLAH memiliki sifat Maha Pengasih?, karena ALLAH mengasihi setiap umatNYA yang
156
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
berusaha dan meminta, bahkan tanpa meminta pun ALLAH kasih, baik muslim maupun non-muslim. Namun harus kita ingat, ALLAH juga Maha Penyayang, ALLAH hanya menyayangi mereka-meraka yang mengabdi, bersyukur dan bersujud kepadaNYA…”, tambah Sultan. Sekali lagi, dentuman senapan dan bazooka menghantam ulu hati ini. Aku pun tersedak dan terdiam lagi. Sultan pun memilih untuk berdiam diri, tidak menambahkan dalil-dalil sederhana nan mendalam lainnya. Mang Diman juga mengambil tindakan yang sama, dia hanya berkonsentrasi dalam mengendarai mobil, walau pun aku tahu, pasti Mang Diman pun menyimak setiap kata atas jawaban yang diberikan oleh Sultan. Mobilku pun melaju dengan kencangnya, menuju rumah Sultan.
س Mang Diman memberhentikan mobilnya, sesuai dengan instruksi Sultan. Di Pinggir jalan raya Jakarta – Bogor, di depan sebuah gang sempit. Gang yang hanya cukup dilalui 2 motor yang saling berselingan. Lalu kami pun turun dari mobil. “Rumahku di dalam sana Tya…”, ujar Sultan sambil menunjuk ke arah gang sempit tadi. “Oh…”, aku meng’oh’. Bukan tidak semangat, namun lebih karena pikiranku ini masih mengkonsumsi dan mencoba untuk mencerna lebih dalam, makna yang terkandung di dalam setiap jawaban yang disampaikan Sultan mengenai permasalahan shalat tadi. Bahkan, pertanyaan-
157
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pertanyaan yang ingin aku tanyakan seputar keseharian Sultan, yang menjadi alasan, mengapa aku mengantar Sultan ke rumahnya ini, menjadi sesuatu yang tidak menarik lagi. Namun setidaknya, jawaban-jawaban yang diberikan oleh Sultan itu, mempertegas, bahwa dia merupakan sosok yang luar biasa. Memiliki pengetahuan yang lengkap, pemahaman yang mendalam dan implementasi di dalam kehidupan yang mumpuni. Setiap langkah dan geraknya bukan hanya langkah dan gerak yang kosong tanpa roh, namun langkah dan gerak yang berbasiskan kepada pengetahuan dan keilmuan yang kuat. Aku suka itu. Aku suka kharisma yang ada di dalam diri Sultan itu. Semakin terpincut saja mungkin hati ini, hati yang selama ini hampa dan kosong, yang terlalu terobsesi dengan sesuatu, tanpa visi dan misi yang jauh ke depan, yaitu kehidupan akhirat. Mang Diman menurunkan sepedanya Sultan. “Terima kasih Pak…”, ujar Sultan kepada Mang Diman, ketika Mang Diman memberikan sepeda itu kepadanya. “Aku ikut ya…”, pintaku kepada Sultan, untuk ikut bersamanya ke rumahnya. Sultan mengangguk dan tersenyum. Aku sangat senang dengan sikapnya itu. Tidak ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Tidak ada penolakan sedikit pun. Aku merasa semakin lebih akrab dengannya. Kami pun berjalan meninggalkan Mang Diman dan mobilku, menelusuri gang sempit ke arah rumah Sultan. Sebuah gang bertulisan H. Husen, yang mulai kabur karena seng yang digunakan untuk mencetak tulisan itu pun sudah mulai karatan karena sering tersiram asam air hujan dan panas terik sang surya. “Jauh gak Tan…?”, tanyaku. “Enggak Tya… Bentar kok”, jawab Sultan.
158
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Tak lama kemudian, sampailah kami ke rumah kontrakkan Sultan. Sebuah rumah sederhana, bahkan sangat sederhana, atau aku lebih suka menyebutnya sebuah ‘pavilyun kumuh’. Terdiri dari satu buah ruang tamu, satu buah kamar tidur dan kamar mandi. Berdempetan dengan pavilyun-pavilyun lainnya. Cukup kumuh menurutku. Namun aku tidak melihat sedikit pun keminderan dari Sultan, dia mempersilahkan masuk dan duduk kepadaku. Aku lebih memilih untuk duduk di beranda, di sana ada dua tempat duduk yang terbuat dari rotan, sudah reot, lapuk dan tua, namun nampak terawat bersih, dan sebuah meja, yang terbuat dari kayu yang tampak sedikit keropos, dengan alas meja terbuat dari triplek yang juga sudah mulai rapuh pula. “Bentar ya Tya, aku nyimpen tas dulu…”, ujarnya. Aku pun duduk. Sambil menunggu dia, aku sempat melihat-lihat setiap jengkal pojok rumah Sultan dan lingkungan sekitarnya. “Gak mungkin aku bisa tinggal di tempat seperti ini…”, pikirku di dalam hati. Sama percis ketika aku melihat rumah Sultan pertama kali di Kuningan dulu. Yang menjadi perhatianku, walaupun ‘Pavilyun gubuk’ ini tidak enak dipandang mata, tembok yang banyak terkoyak, terlihat rapuh, dan warna agak sedikit memudar, namun aku melihat, bahwa pavilyunya Sultan jauh lebih bersih dari pavilyun lainnya. Aku yakin, si penghuninya sangatlah rajin merawat dan membersihkannya, walau pun kelapukannya karena dimakan waktu, tidaklah bisa ditutupi. Ruangan beranda ini terlihat cukup bersih, walau aku tidak katakan ‘tanpa ada debu sedikit pun’, namun memang cukup kelimis. Kucoba meraba dan menyentuh meja yang
159
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
jarang terpakai ini, pun tidak berdebu. Begitu juga dengan jendela dan pintu, yang mulai keropos pula, jauh dari debu. “Minum Tya…”, Sultan secara tiba-tiba datang dari arah dalam, dan membawa minum, secangkir air putih. “Air putih...?”, gumamku. Aku suka air putih. Baik untuk kesehatan. Bahkan dua gelas di pagi hari, selepas aku bangun dari tidur, aku selalu meminumnya. Tapi, apakah air putih yang disajikan Sultan ini higienis. Jangan-jangan tidak direbus sama sekali. Air putih yang dibawa Sultan dan gumamanku itu membuyarkan lamunku. Aku pun meminumnya, seteguk. Aku berhenti sejenak, sambil memperhatikan air putih yang ada di gelas bening dalam genggamanku ini. Lalu aku lanjutkan lagi meminumnya, dua teguk, tiga teguk… Air putih biasa, air mineral yang tidak bermerek, namun aku merasakan air ini berbeda, sejuk dan dingin alami kurasakan. Secangkir air yang dibawa oleh Sultan, habis aku minum dalam sekejap. “Kamu haus Tya…?”, tanya Sultan. Mukaku memerah padam karena malu. Mungkin memang haus, tetapi air putih itu memang terasa beda, enak banget. Ternyata pikiran negatif dan gumamanku itu, tertepis dengan sendirinya. “Mmmm… Hehehe…. Enggak sih… Cuma enak aja airnya… Masak sendiri?”, tanyaku. Sambil meyakinkanku juga, bahwa apakah benar airnya direbus terlebih dahulu. “Iyah… Dari air sumur di belakang. Dimasak pake kayu bakar, terus disimpan di kendi”, jelasnya. “Kendi?”, aku merasa aneh dengan kata itu. “Iyah sebuah tempat air minum yang terbuat dari tanah liat…”, jelasnya.
160
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Oh…”, aku meng’oh’. Tanpa sengaja, pandangan kami beradu. Aku seperti tersihir dengan keindahan matanya. Keteduhan tatapan mata itu membuat hati ini pun menjadi teduh tak terperikan. Hati ini berdebar sangat luar biasa dahsyatnya. Tiba-tiba saja dia memalingkan pandangannya, tampak malu-malu dia. Aku pun, terpaksa untuk memalingkan pandangan ke arah lain, dengan wajah tersenyum malu, memerah darah. Kami berdua pun berdiam diri, seperti salah tingkah. Aku pun jadi bingung dibuatnya. “Mmmm… Mau tambah lagi ya airnya?”, tiba-tiba dia bertanya. Aku tahu, itu hanyalah dalam rangka mengalihkan pembicaraan. Karena, aku masih menangkap senyum malu di wajah tampannya itu. Aku pun menjadi grogi pula, “Mmmm… Ohh… Iya… Boleh…”, jawabku kebingungan. Sultan pun berlalu, masuk kembali mengambilkan aku air minum. “Huh…”, aku mengeluarkan napasku. Terasa lemas sekujur tubuhku ini. Terasa pilu milu persendian tulang-tulangku ini. Tak lama berselang. Sultanku kembali dengan secangkir airnya. Eh… Maksudku, Sultan kembali dengan secangkir airnya. Kemudian kami pun asyik bercerita barat timur, utara selatan, ba, bi dan bu. Segala macam hal. Asyik dan mengasyikan. Begitu indah kurasa, manis kuhela…
161
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
س Sekitar 30 menit berlalu, Adzan Ashar berkumandang. Terasa dekat masjid itu. “Emang dekat ya Tan masjidnya?”, tanyaku. “Iyah dekat, tuh menaranya kelihatan…”, tunjuk Sultan ke arah menara masjid. “Iya udah Tan… Lo musti siap-siap. Gue pulang dulu ya…”, ujarku pamitan pulang. “Iya… Makasih ya udah nganterin aku… Kamu ati-ati ya…”, ujarnya juga. “Iya… Makasih juga buat semuanya ya Tan…”, aku pun berterima kasih, atas semua pengalaman batin yang terindah ini. Bahkan aku merasakan sebuah getaran jiwa, ketika aku mendengarkan suara kumandang adzan dari masjid dekat rumah Sultan. Sebuah getaran, yang aku pun tidak pernah rasakan sebelumnya. Aku, diantar Sultan berjalan ke arah mobil, yang diparkir Mang Diman di pinggir jalan raya Jakarta – Bogor. “Sampai besok ya Tan…”, aku berujar. “Iya Tya… Ati-ati…”, balas Sultan. “Ati-ati ya Pak...”, Sultan berpesan ke Mang Diman. “Iya Kang...”, jawab Mang Diman pendek. “Daaahhh…”, aku mendadahi Sultan. Sultan pun membalasnya. Akhirnya mobilku pun berlalu. Meninggalkan Sultan. Sepanjang perjalanan aku merenung, aku berpikir, atas segala kejadian hari ini. Atas segala tanya-jawabku dengan Sultan, tentang
162
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
seputar masalah shalat. Ku-review kembali adegan tanya jawabku dengan Sultan di video lamunanku, semua nyata, semua sangat masuk akal. Tapi mengapa aku masih berdalih. Aku pemikir hebat. Aku sangat yakin dengan kekuatan nalarku, kekuatan logikaku. Oleh karena itulah aku menyangkal semua, bahwa shalat itu adalah sesuatu yang tidak ada manfaatnya, walau pun ada, itu sangatlah kecil. Namun sekarang, pikiran cerdasku, otak jeniusku, berasumsi 180O berbalik arah, 180O berpikir bahwa ini semua adalah nyata, bahwa jika kita ingin menjadi seorang muslim yang sukses, kita harus shalat. “Ya… Aku harus shalat...”.
163
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
164
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
JUARA LAGI [١٤] Bahkan ketika suatu hari, pada waktu Mas Danu, administrator, dan sekaligus teknisi lab komputer sekolahku tidak hadir karena sakit. Dan waktu itu, kelasku kebagian praktek di lab tersebut, dan kebetulan juga, lab tersebut down, karena jaringan komputernya ada yang tidak connect, Sultanlah yang menjadi juru penyelamatnya. Dengan kemahiran menguasai computer network trouble shooting, meng-creping kabel jaringan dan menkoneksikannya lagi dengan hub dan bridge beserta modem ADSL, lab tersebut bisa kembali normal, tanpa kendala sama sekali. Luar biasa. Setelah aku tanya, halhal seperti itu dipelajari dari mana, dia menjawab dengan singkat ‘Iqra’. Karena dengan ‘Iqra’ atau ‘baca’ tersebutlah, pemahaman kita akan sesuatu menjadi mendalam.
Hari ini adalah hari pembagian rapor untuk semester ketiga, atau semester pertamaku di kelas dua. Seperti biasa aku mendapatkan rangking pertama di kelasku. Sebuah usaha dan jerih payah selama satu semester ini pun, terbalas dengan sesuatu yang 165
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
manis. Rata-rata nilaiku pun meningkat, yaitu 9 pas. Sebuah nilai yang fantastic menurutku. Namun, rata-rata itu bukanlah cermin bahwa nilaiku sembilan semua. Tidak. Ada dua nilai yang mendapat point 10, yaitu matematika dan fisika, ada juga dua nilaiku yang mendapat nilai 8, yaitu Pancasila dan Agama. “Gak penting banget…”, gumamku dalam hati (lagi). Intan pun mendapat nilai yang baik, walau pun tidak mendapatkan rangking, namun dia dapat meningkatkan prestasi dan nilainya juga. Gak salahlah, karena dia pun sudah aku suruh belajar maksimal. Bahkan aku pernah berstatemen ke dia, “Kalau lo mau jadi sahabat gue, lo musti tunjukkin prestasi sekolah lo ke gue”, ujarku suatu hari. Dan hari ini dia membuktikan itu ke aku. Aku bangga punya sahabat seperti dia, beberapa hari pernah belajar bersama di waktu hari minggu, bukanlah sesuatu yang sia-sia. Bahkan, otak pas-pasan pun, seperti Intan, bisa berprestasi jika kita mau. Aku pernah membaca sebuah buku, di dalam buku itu dikatakan, ‘if you think you can, you will… If you can dream it, you can do it’. Makanya, salah besar menurutku, jika anak muda, anak-anak seumurku, tidak memiliki kemauan, tidak pernah bermimpi dan menggantungkan cita-cita setinggi langit. Bahkan aku masih mengingat statemennya Sultan, bahwa ‘kekayaan dan kepinteran, semua orang pun bisa mendapatkannya, jika memang dia mau mendapatkannya’. Bahkan aku sangat luar biasa kagum dengan Sultan. Seorang yang memiliki keterbatasan dalam harta, namun dia masih memiliki prestasi yang sangat mencengangkan. Setiap detik dan menitnya, dia gunakan untuk hal yang sangat bermanfaat. Membaca, mengajar, mengkaji dan mengaji, itulah hal-hala harian yang tidak
166
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
pernah luput dari aktivitas dia. Bekerja bukan hanya untuk dirinya saja, namun begitu banyak ilmu dan sumbangsih tenaga untuk kebanyakkan orang lain. Sultan menurutku adalah sebuah sosok yang unik. Ketika teman-temanku pergi ke mal, diskotik dan dugem, dia malah pergi ke madrasah dan masjid. Ketika teman-temanku memiliki hobi balapan dan keluyuran, dia memilih untuk membaca dan belajar. Ketika teman-temanku menjadikan rokok dan minuman sebagai selingan aktivitas mereka, dia malah berstatemen ‘Tikus aja tahu, jika itu racun, dia loncatin kok…’. Sebuah statemen sederhana namun mengena ke ulu hati. Menghujam ke dasar jiwa. Bodoh sekali, jika kita mau disamakan dengan tikus. Dari perbedaan karakter yang dimiliki oleh Sultan dengan teman-teman sebayanya itu, dia tidak telihat kampungan, dia tdak terlihat seperti orang udik dan aneh. Malah aku melihat Sultan adalah seorang yang cool, energik, tidak cengok dan tidak ‘kuper’. Bila diajak berbicara mengenai hal-hal yang menjadi trend saat ini, dia pun nyambung, bahkan menurutku lebih tahu detail dibanding aku dan teman-temanku yang so trendy. Seperti ketika aku menyinggung masalah friendster atau facebook, dia malah berfilosofi bahwa ‘Friendster dan Facebook adalah sebuah teknologi yang memungkinkan kita bisa lebih banyak bersilaturahmi tanpa ada batasan ruang dan waktu’. Bahkan dia menceritakan kepadaku logika programming komputernya dalam membuat jejaring yang ada pada sistem itu. Itu kan gila menurutku. Seorang yang mungkin jarang berinteraksi dengan teknologi yang masih dianggap cukup ‘mahal’ bagi seseorang, dia mampu menguasai detail permasalahan. Sangat menarik dan sangat unik, jika tidak mau dikatakan langka. Bahkan ketika suatu hari, pada waktu Mas Danu, administrator, dan sekaligus teknisi lab komputer sekolahku tidak
167
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
hadir karena sakit. Dan waktu itu, kelasku kebagian praktek di lab tersebut, dan kebetulan juga, lab tersebut down, karena jaringan komputernya ada yang tidak connect, Sultan lah yang menjadi juru penyelamatnya. Dengan kemahiran menguasai computer network trouble shooting, meng-creping kabel jaringan dan menkoneksikannya lagi dengan hub dan bridge beserta modem ADSL, lab tersebut bisa kembali normal, tanpa kendala sama sekali. Luar biasa. Setelah aku tanya, hal-hal seperti itu dipelajari dari mana, dia menjawab dengan singkat ‘Iqra’. Karena dengan ‘Iqra’ atau ‘baca’ tersebutlah, pemahaman kita akan sesuatu menjadi mendalam. “Tya…. Ngelamun aja lo, tuh dicari Sultan…”, Intan mengagetkanku dari lamunan positifku. Aku pun beranjak. Dari kejauhan aku sudah melihat senyumnya yang khas, senyuman yang sangat sulit untuk aku jelaskan dengan menggunakan kata-kata. “Hai…”, sapanya. “Hai…”, aku membalasnya. “Berapa nilai rata-ratamu?”, tanya dia to the point. “Sembilan dia Tan…”, jawab Intan memotong pembicaraan kami, sambil mengulum permen kojek botak kesukaannya. “Iya Sembilan…”, tambahku meyakinkan. “Wah bagus dong… Aku kalah dong…”, ujar dia datar. Seperti tidak ada kekecewaan atas kekalahan ini. Menjadi tidak menarik kompetisi ini. “Emang kamu berapa?”, tanyaku. “Nilai rata-rataku 8,9. Pelajaran kesenianku jatuh…”, jawab dia. “Kok lo gak terlihat menyesal sih?”, tanyaku penasaran.
168
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Enggaklah Tya… Aku kan juga sudah berusaha keras. Namun, inilah hasil maksimalku untuk semester ini. INSYA ALLAH akan aku perbaiki pola belajarku semester depan. Selamat ya…”, jawabnya yakin. Dan aku baru teringat, “benar juga, dia kan pernah tidak masuk sampai 2 bulan, namun kok nilainya nyaris menyamaiku sih… Benar-benar berbahaya…”, pikirku dalam hati. “Nilai gue juga bagus…”, potong Intan lagi. Hahaha…. Kami pun tertawa. “Emang berapa Tan?”, tanya Sultan ke Intan. “Rata-rata delapan... Dah bagus kan?”, Intan ingin ditanggapi bagus ama Sultan. Sambil tersenyum, dengan bukan maksud senyuman yang menghina orang, Sulan menjawab, “Wuis... Segitu baguslah Tan, luar biasa itu”. Intan pun tersenyum puas. Memang pinter Sultan memuji orang tanpa harus menjatuhkan martabat Intan yang memang sudah terjatuhkan... Hehehe... Dan kami bertiga pun pergi ke kantin untuk merayakan keberhasilan kami semester ini. Akhirnya aku pun tahu. Setelah aku cek satu per satu, setiap yang mendapatkan rangking di kelas 2, ternyata akulah yang mendapatkan nilai tertinggi. Sedangkan terbaik kedua, tentu saja Sultan. Walaupun tidak formal, teman-temanku pun tahu, bahwa akulah yang terbaik dari semuanya di kelas dua ini.
169
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
170
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
DI MADRASAH [١٥]
Dari balik jendela, yang
tidak berkaca itu, kami melihat Sultan lagi mengajar serius sekali, walaupun dia sudah tahu akan kehadiran kami, sebab tadi sempat melirik dan tersenyum ke arah aku. Sultan mengajari anak-anak kelas 4 sekolah agama di madrasah ini. Dia mengajar bahasa Arab, bahasa asing yang tidak atau belum aku kuasai sama sekali, dan ilmu fiqih, sebuah ilmu agama yang mempelajari unsur-unsur keagamaan dari segi pemahamannya.
Sedari pagi, aku tidak berhasil menelepon Sultan. Hape yang aku hubungi, selalu bernada sibuk. 'Telepon yang anda hubungi sedang sibuk, silahkan menguhubungi beberapa saat lagi…’ seperti itulah jawaban dari nomor hapenya Sultan, setiap aku hubungi dia. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah Intan, dan mengajak dia untuk menemaniku ke rumah Sultan. Ada yang ingin aku sampaikan ke Sultan. Dan kebetulan, ini adalah minggu liburan sekolah, menurutku ini adalah waktu yang tepat. 171
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Bergegas aku mengajak Mang Diman untuk pergi ke rumah Intan. Mang Diman pun dengan cekatan, mengendarai mobilku secepat kilat. Sesampainya di rumah Intan, Intan sudah siap sedia. Sebuah kebiasaan buruk yang sudah berubah menjadi baik. Karena cerewetnya aku dalam merubahnya. Orang harus dipaksa jika ingin bisa. Buktinya Intan pun akhirnya sadar, bahwa on time dan mengunggu dalam berjanji, itu lebih indah jika dibandingkan telat dan ditunggu orang lain. Bahkan, sebuah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus selama 40 hari berturut-turut, akan menjadi sebuah kebiasaan tetap. Makanya, lakukanlah hal-hal yang baik, maka akan berlaku baik teruslah kita nantinya. “Emang lo mau ngapain sih Tya? Ngebet banget mau ketemu Sultan?”, tanya Intan ngeledekin aku. “Udah diem aja lo…”, jawabku. “Pasti…. Kangen ya…?”, ledek Intan lagi. “Apaan sih…? Gak lucu tau…”, jawabku ketus. Tapi aku benar-benar tidak bisa menunjukkan rasa kangen ini. Tetapi jauh dari itu, ada hal yang lebih penting yang harus aku sampaikan kepada Sultan. “Gak Lucu… Apa gak lucu…. Deuuuhhh… Tuh mukanya merah kan…”, ledek Intan sekali lagi. “Dasar bawel lo…”, jawabku, sambil kuacak-acak rambut si Intan itu. “Woi... Woi… Baru creambath nih gue…”, teriak dia. “Emang gue pikirin…”, jawabku gak peduli.
س 172
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Sesampainya di depan ‘Gang Senggol H. Husen’, begitu aku menyebut gang ke arah rumah Sultan, aku turun. Diikuti Intan. “Di sini rumahnya ya?...”, tanya intan seperti kurang yakin. “Iya… Emang kenapa? Kumuh ya?”, tanyaku lagi. “Bukan kumuh lagi Tya… Sangat kumuh…”, jawab Intan masih sambil mengkerutkan kening. “Ya… Tapi di mana pun dia, berlian tetap berlian Tan…”, jawabku yakin. “Maksud lo?”, tanya Intan seperti tidak mengerti. “Huh… Dasar oon lo… Udah diem lo… Bawel…”, jawabku sedikit kesel. Tapi memang kayaknya Intan benar-benar tidak mengerti maksud perkataanku itu. Ku ketuk pintu pavilyun Sultan. ‘Tok… Tok… Tok…’, “Spada…”, teriakku. Tak lama berselang, sebuah sosok pemuda membukakan pintu. Ternyata itu Kak Andi, kakaknya Sultan. “Eh… Tya ya…?”, tanya Kak Andi. “Iya Kak… Sultannya ada?”, tanyaku kepada Kak Andi. Di sisi lain, Intan cengar-cengir kayak cacing kepanasan. Aku tahu, dia pasti naksir Kak Andi. Dasar kegatelan. “Sultannya lagi di Madrasah… Lagi ngajar tuh…”, jawab Kak Andi sopan. “Oh…”, aku meng’oh’. Sedangkan Intan, masih cengengesan dengan matanya tidak berkedip sedikit pun ke arah Kak Andi. Dasar cacing gila. “Tapi kalau mau, ke sana aja. Deket sini kok, Tuh di Masjid itu…”, jawab Kak Andi sambil menunjuk menara masjid, yang tempo hari pernah ditunjuk oleh Sultan juga.
173
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Ternyata, madrasah tempat Sultan mengajar, adalah masih di lingkungan sekitar masjid. Dan memang pula, karena madrasah itu adalah milik dari DKM (Dewan Keluarga Masjid) Al – Fatihah. “Kalau mau, saya antar ya…”, tanya Kak Andi. “Mau… Mau…”, jawab Intan memotong lagi pembicaraan kami. Kami pun tersenyum. “Tuh dia lagi ngajar. Tunggu aja di sini, bentar lagi juga selesai…”, ujar Kak Andi. Dari balik jendela, yang tidak berkaca itu, kami melihat Sultan lagi mengajar serius sekali, walaupun dia sudah tahu akan kehadiran kami, sebab tadi sempat melirik dan tersenyum ke arah aku. Sultan mengajari anak-anak kelas 4 sekolah agama di madrasah ini. Dia mengajar bahasa Arab, bahasa asing yang tidak atau belum aku kuasai sama sekali, dan ilmu fiqih, sebuah ilmu agama yang mempelajari unsur-unsur keagamaan dari segi pemahamannya. “Saya balik dulu ya…”, ujar kak Andi lagi, dia pamitan untuk kembali ke kontrakkannya lagi. “Oh iya Kak… Makasih ya…”, jawabku. Dan Kak Andi pun berlalu. Intan masih memperhatikan kak Andi, sampai lepas dari pandangannya. Dasar benar-benar cacing kepanasan gila… Kami duduk di bangku panjang yang ada di depan kelas di mana Sultan mengajar. Tak lama berselang, Sultan ke luar dari kelas. “Hai…”, sapanya. Aku pun bangkit, “Hai…”, balas aku. “Bentar ya… Mau selesai kok bentar lagi…”, ujar Sultan. “Oh… Gak pha-pha Tan, gue tunggu di sini kok…”, jawabku sambil tersenyum girang.
174
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Rasa kangenku sudah mulai terobati. “Ok…”, lantas Sultan pun kembali lagi ke ruang kelas. Samar-samar, aku mendengar nyanyian dengan nada yang indah banget. Berasal dari ruangan kelas tempat Sultan mengajar. “Subhanallah… Walhamdulillah… Walaillaha Ilalloh… Allahuakbar…”, “Subhanallah… Walhamdulillah… Walaillaha Ilalloh… Allahuakbar…”, “Subhanallah… Walhamdulillah… Walaillaha Ilalloh… Allahuakbar…”, begitulah nada-nada lagu itu. Lagu dengan ritmis mendayu-dayu, dengan syair menggemakan puji-pujian, membuat bulu kudukku ini berdiri. Perlahan denggan pasti aku bangkit, dan memperhatikan Sultan dan anak-anak didiknya khusuk dengan lagu yang dinyanyikannya itu. Intan pun melakukan hal sama denganku. Terbengong-bengong. Karena memang, mungkin karena selama ini aku dan lingkunganku sangat jauh dari hal-hal yang demikian, sehingga jiwaku ini kering dari sentuhan spiritual. Aku lebih suka memilih lagu pop rock, kebarat-baratan. Sehingga, aku lupa, bahwa lagu puji-pujian kepada ALLAH SWT, malah membuat hati ini menjadi lebih sejuk, tentram dan adem. Lagu tanpa alat musik, alat musik yang kadang memekakan telinga dan mengeruhkan hati suci nan putih ini. Tak lama kemudian, satu dari sekitar 30 orang murid dari kelas Sultan membaca do’a, yang di’amin’i oleh murid-murid yang lain setiap satu kalimat do’a yang dibacakan sembari mengenadahkan tangan. “Ya ALLAH, ya Tuhan kami… Ampunilah kami dan kedua orang tua kami… Kasihilah mereka, seperti mereka mengasihi kami di waktu kecil… Ya ALLAH ya Rabb… Jadikanlah pemahan kami akan ilmu yang kami dapatkan hari ini, menjadi pemahaman yang barokah dan manfaat, bagi kami, agama kami, bangsa dan negara kami… Ya ALLAH ya Rahman… Berikanlah
175
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
kami kesempatan untuk dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya… Seluas-luasnya… Agar kami bisa tetap konsisten dan istikhomah di jalan lurusMU ya Rabb… Ya ALLAH… terimalah kiranya do’a kami ini… Rabbana atina fidunya hasanah… Wal fiakhirati hasanah… Wakina adzabanar… Subhana rabbika rabbi ijati ama ya siffun, wal salammun ala mursalin… Walhamdulillahirabbil alamin… Amin ya Rabbal ‘alamin…”, kemudian do’a itu pun ditutup oleh usapan kedua telapak tangan ke muka masing-masing. Mereka pun bubar satu per satu, sambil menyalami Sultan. Mereka berlarian ke luar kelas. Mereka nampak begitu ceria dan kekanak-kanakan. Mereka begitu lugu, lucu dan polos. “Di pundak mereka-merekalah 20 – 30 tahun lagi negeri ini akan dipimpin. Mereka harus bermartabat, memiliki dedikasi tinggi dan berkarakter kuat…”, pikirku dalam kepala. Kami, aku dan Intan, tak sadar sedang memperhatikan mereka bercanda dan berlarian di halaman sekolah menuju ke rumah mereka masing-masing. Bersamaan dengan itu pula, sebenarnya Sultan sudah ada di samping kami, dan dia berujar datar “Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan orang mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air10”. Tatapan kami pun tetap ke arah mereka, sampai mereka menghilang ditelan bumi.
10
HR. ath-Thabrani dari Abu Darda' ra
176
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
س “Mau di sini atau di rumahku?”, tanya Sultan membuyarkan tatapan kami terhadap anak-anak imut itu. “Hmm… Di sini aja kali ya…”, jawabku singkat. “Ok… Kalau gitu kita ngobrol di sana aja yuk…”, ajak Sultan sambil menunjuk ke arah sebuah tempat duduk di bawah pepohonan rindang di depan madrasah di samping masjid. “Es kelapanya enak loh…”, ajak Sultan lagi. “Ok…”, jawabku. Intan pun mengangguk tanda setuju. “Bu… Es kelapanya tiga ya Bu…”, Sultan memesan es kelapa muda. Setelah itu kami pun duduk di bangku dan meja panjang yang berada di bawah sebuah pohon beringin besar. Begitu sejuk. Jarang sekali, ada tempat seperti ini di kota sekitar Jakarta. Aku dan Intan duduk bersampingan, sedangkan Sultan tepat duduk di hadapanku. “Ada apa nih? Sepertinya serius…”, tanya Sultan tiba-tiba. “Hmmm… Engga…”, belum sempat kalimatku selesai, intan udah nyamber duluan, seperti api menyambar percikan bensin, cepat sekali. “Ini Tan… Tya kangen katanya”, ujar Intan. Membuat mukaku merah padam, senyumku terkulum dipaksa, dan mata melototku ke arah Intan, tanpa bisa berujar apaapa. Sultan pun hanya tersenyum dan tersipu malu. Kucubit tangan Intan sampai memerah, dia pun meng'au'.
177
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Hmm… Engga… Tan… Ada sesuatu aja yang ingin gue bicarain ama elo…”, jawabku agak tersendat-sendat menyelesaikan kalimatnya. Karena aku masih merasakan malu karena ulah si Intan, si ‘mulut besar’ tersebut. Tak lama kemudian, Es kelapa yang sudah dipesan tadi pun datang. Aku mencoba untuk mecicipi airnya dengan cara menyedotnya melalu sedotan yang ada di sebuah cangkir besar terbuat dari kaleng, tempat es kelapa itu. “Gue musti pergi enggak nih…?”, lagi-lagi Intan memberikan statemen yang membuat aku panas dingin dan salah tingkah. Aku malah hampir tersedak mendengarnya. “Jangan…”, jawabku. “Lo musti tetap di sini… Untuk jadi saksi”, sekalian aja gue tambahin supaya lebih heboh suasananya. Sultan hanya tersenyum-senyum aja. Dia mencoba untuk bersikap tenang juga. “Ok… Mau bicarain apa?”, tanya Sultan. “Gini Tan…”, kalimatku tersendat. Kelapa yang ada di mulutku, kucoba aku telan dan netralisir. Sultan menunggu kalimat lanjutanku. Intan pun sama saja, walau pun dia mencoba acuh tak acuh sambil memainkan minuman di dalam cangkir kaleng itu, dan sesekali mencoba untuk menyeruputnya dengan menggunakan sedotan, tapi aku tahu, dia pun pasti sedang mendengarkannya dengan secara seksama. “Hmmm… Aku mau belajar shalat…”, tambahku pendek. Akhirnya aku pun bisa menyelesaikan kalimat itu. Sebuah kalimat yang cukup berat, yang mungkin akan membuat buruk citraku di mata Sultan. Sebuah kalimat yang sangat sulit, karena bisa jadi Sultan akan memberikan penilaian negative kepadaku. Aku
178
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
melirik Sultan, dia biasa saja. Aku melihat Intan, dia seperti terkagetkan dan tersedak oleh minuman air kelapanya itu. Walau pun aku tahu, dia pun gak bisa shalat, atau minimal, selama hampir 2 tahun bersahabat dengan dia, sekali pun aku belum pernah melihat intan shalat, apalagi mengajak shalat. “Pura-pura kaget aja lo…”, gumamku dalam hati. Sultan meminum es kelapanya langsung dari cangkir kaleng tersebut, tanpa sedotan. Kemudian dia menelannya. Selanjutnya dia memandangku, dengan sebuah pandangan yang hangat, sebuah pandangan yang berkesan membimbing dan melindungi. Bukan sebuah pandangan yang sinis, atau bahkan memfonis. Kemudian, dia pun tersenyum, dan berujar “Alhamdulillah… Ayo... Mulai kapan?”. Sultan seperti bersemangat sekali, sehingga aku pun semakin bergairah untuk mau belajar shalat secepatnya. Kalau bisa sekarang juga. “Terserah lo bisanya kapan. Gue berharap, dalam seminggu liburan ini, gue udah bisa shalat…”, jawabku antusias. Intan Cuma bengong, dengan mulut yang agak terbuka, dan laler mulai mencoba untuk mengerubungi. Sultan tak berkata-kata apa pun. Dia seperti sibuk mencari sesuatu yang ada di dalam tasnya, sebuah tas berwarna hijau, dengan gantungan kunci bertuliskan ‘I Love Islam’ di resletingnya. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah buku. “Ok… Kamu baca buku ini dulu”, Sultan berujar, sambil memberikan buku berjudul ‘Tirulah Shalat Nabi! Jangan Asal Shalat’, karangan Syaikh Mutawalli Al-Sya'rawi, seorang ulama kharismatik dari negara Mesir.
179
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku pun menerima buku itu, sebuah buku dengan ketebalan 200 halaman. Kemudian kami pun menghabiskan es kelapa kami masing-masing. Es kelapa yang enak, dengan buah kelapa yang setengah muda, dengan gula tebu yang alami, membuat suasana menjadi lebih indah dan menyegarkan. “By the way, kok hape lo gak aktif-aktif?”, tanyaku kepada Sultan. “Oh iya… Hapeku low bat, sedari pagi tadi aku di madrasah ini, Ngurus macam-macam, karena di Madrasah ini gak ada aliran listrik, jadi gak sempat di-charge”, jawab Sultan. “Oh gitu…”, aku menganggukan kepala. Dalam hati aku berujar, “Masa sih… Hari gini sekolahan gak ada listrik?”. Memang, sekolahan madrasah tempat Sultan mengajar adalah jauh dari sempurna. Bangunannya apa adanya, permanen sih, tapi tidak nampak lux. Papan tulisnya masih menggunakan kapur. Jendelanya dibiarkan kosong melompong tanpa kaca. Alasnya hanya lapisan tanah liat bercampur kerikil pasir. Pintu penutup pun, tanpa kunci dan dibiarkan terbuka. Ade 5 ruangan kelas sederhana. “Ya begitulah madrasah ini Tya…”, Sultan menambahkan. “Aku merasa senang menjadi bagian dari semangat anakanak tadi dalam belajar. Pikiran, ilmu dan tenagaku, sangat dibutuhkan di sini. Tadinya ada 10 orang mahasiswa IPB yang mengajar di sini, namun sekarang hanya ada 4 orang mahasiswa IPB, termasuk kakakku dan ditambah aku”, Sultan menjelaskan panjang lebar. “Alhamdulillah, DKM masjid memiliki visi yang kuat di dalam pendidikan. Sekarang jumlah murid di madrasah ini kurang lebih ada 150 orang, dari mulai kelas satu sampai dengan kelas enam. Kami tidak memungut biaya apa pun juga. Semua disupply
180
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
oleh DKM majid Al-Fatihah, dan oleh donor dan shodaqohnya para donator. Karena memang kami menganggap bahwa pendidikan bukanlah sebuah komoditas komersial…”, cerita Sultan membuat aku tersentuh. “Lo dan para pengajar di sini gak dibayar dong?”, jawabku penasaran. “Dibayar kok, bahkan aku merasa cukup. Hanya memang tanggung jawabnya harus lebih, karena kami memangkas jumlah staf untuk urusan administrasi, sehingga kami pun disibukkan oleh urusan administrasi. Lima orang guru, plus Pak H. Samsuri, pemilik Yayasan Al-Fatihah inilah yang berjibaku mengajar murid-murid di sini”, jelasnya lagi. Kami, aku dan Intan, hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. “Tapi jangan salah Tya… Tan… Di madrasah ini, banyak anak-anak yang hebat-hebat. Bahkan ada murid bernama Gamal dan Gustaf, dua murid anak kelas enam yang telah hapal Al-Qur’an”, jelas Sultan lebih lanjut. Sultan menceritakan panjang lebar tentang madrasah itu. Sebuah madrasah bervisi jauh ke depan. Sudah berdiri kurang lebih dari 7 tahun yang lalu. Sekarang angkatan pertamanya, sudah duduk di bangku kelas enam. Mereka sedang berniat untuk menambah lokal sekolanya, untuk membuat SMP lanjutannya. Namun dananya memang tidak sekuat para pemilik gedung dan apartemen di kota Jakarta ini. Dana mereka terbatas, hanya melalui infaq, shodaqoh dan sumbangan para orang tua murid secara sukarela. Namun, mereka mengelolanya dengan sangat professional, guru-guru yang mengajar di sana pun dibayar sesuai jam ngajarnya, walau pun tidak besar, namun keinginan untuk menghargai para pengajarnya
181
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
cukuplah tinggi. Sekolah ini tidak dilengkapi dengan fasilitas listrik, karena dalam rangka untuk berhemat. Ada satu hal yang menarik, mahasiswa IPB, termasuk kakaknya Sultan, sedang merancang untuk membuat sebuah usaha bioetanol, sebuah jenis bahan bakar (termasuk bahan bakar kendaraan bermotor) dari ketela pohon. Lahan yang diwakafkan oleh Pak H. Samsuri ini cukup luas, untuk dibudidayakan. Rencananya, bulan depan sudah mulai beroperasi. Sebuah gagasan dari kakaknya Sultan, Kak Andi, dapat menjadi sebuah alternatif income bagi madrasah ini. Karena mereka, yang terlibat di madrasah ini, tidak mau menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditi jualan. Mereka menginginkan, madrasah ini bebas dari uang sekolah, namun memiliki kualitas terbaik dan dikelola secara profesional. Termasuk menegakkan aturan-aturan yang sangat Islami. Madrasah ini sudah jauh-jauh hari menerapkan sistem DO bagi para muridnya yang memang tidak mampu melampaui passing grade melalui test yang telah ditetapkan, dan cukup berkualitas. Misal, setiap murid, untuk masuk ke madrasah ini per tahunnya hanya dibatasi 30 orang saja. Dalam perjalanannya, sudah ada kurang lebih tiga puluh orang, dari enam kelas, yang ter-DO karena memang tidak bisa mengikuti pelajaran dan aturan ketat yang diberlakukan. Namun, ketiga puluh siswa tersebut dapat diterima di Sekolah / SD lainnya, yang tentunya seperti SD pada umumnya. Madrasah ini menerapkan peraturan yang sedikit unik. Siswa dan Siswinya dilarang untuk merokok, jika ketahuan merokok, atau coba-coba merokok, tanpa ada pertimbangan lainnya, dia pasti di-DO. “Itu sih gak aneh...” Gumamku dalam hati.
182
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Tetapi yang menarik, bahwa larangan merokok ini bukan hanya diberlakukan bagi para muridnya saja, namun juga untuk para orang tua muridnya. Jika ketahuan, kakak, Ibu atau bapak / wali orang tua murid ini merokok, pihak madrasah akan langsung menindak tegas, dengan mengeluarkan siswanya dari madrasah. Luar biasa. Bukan hanya merokok yang sangat tabu dilakukan di madrasah ini, tapi juga dengan menyontek. Punishment-nya pun sama dengan merokok, yaitu 'dikeluarkan dari madrasah'. Karena hal-hal seperti itulah, maka, bukan hanya orang-orang level bawah saja yang mau mengekolahkan anaknya di madrasah ini, namun orang-orang berduit pun sudah melirik madrasah ini sebagai alternatif sekolah bagi anaknya. Tapi, memang persaingannya sangat ketat. Aku benar-benar tercenung akan madrasah ini. Lagi-lagi fenomena ganjil yang hebat menurutku.
س “Tan… Jadi mulai kapan nih belajar shalatnya. Kalau baca buku ini, semaleman juga beres.”, tanyaku kepada Sultan, setelah mendengarkan panjang lebar cerita Sultan menggenai madrasah hebat itu. “Mulai besok juga gak apa-apa. Kalau bisa pagi-pagi, kalau siang aku sibuk di madrasah ini”, jawab Sultan. “Lo ke rumah gue ya…”, ajak aku.
183
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Aku menginginkan Sultan ke rumah aku, bisa kenalan ama Papih dan Mamihku. Lagian, supaya mereka pun terbawa-bawa bisa shalat. “Ok... Gak masalah”, jawab Sultan penuh semangat. “Ok… Kalau gitu, gimana kalau mulai besok, jam 8 pagi, di rumah gue…”, aku mempertegas. “Sip…”, jawab Sultan pendek. Tak lama berselang, “Gue boleh ikutan gak?”, Intan mendadak ikut nimbrung pembicaraan, dan bermaksud untuk belajar shalat juga. Kami pun tertawa… Hahaha… “Ya bolehlah Tan…”, jawabku, “Itulah kenapa gue ngajak elo ke sini, supaya sahabat gue juga ikutan belajar shalat, kayak gue…”, jelasku. Aku harap bukan aku saja yang bisa shalat. Aku berharap orang-orang tercinta dekatku pun harus bisa dan melaksanakan shalat. Termasuk Intan juga. Intan tersenyum, kemudian kami pun berpelukkan. “Makasih ya Tya… Lo emang sahabat gue paling ok”, jawab Intan dalam pelukanku, dengan air mata yang menggenangi bola matanya. “Gue gitu loch…”, ujarku. Sultan hanya tersenyum, melihat tingkah kami berdua. Akhirnya kami pun pamitan untuk pulang. Karena, hari pun sudah semakin gelap. Sekalian pulang, kami belanja untuk keperluan besok. Baik itu berupa makanan cemilan, minuman ringan, termasuk juga peralatan shalat; mukena dan sejadah. Tidak lupa juga kami membeli white board dan alat tulis serta penghapusnya. Kami bersemangat sekali. Ini merupakan langkah awalku, untuk menuju lebih baik. Untuk menjadi seorang muslimah,
184
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
yang tidak hanya matang di dalam IQ, namun juga cerdas di dalam SQ (Spiritual Quotient). Setelah bertemu Sultan, aku memiliki makna kehidupan yang lebih tinggi, tidak hanya prestasi dunia saja yang aku pikirkan, namun prestasi agamaku pun harus menjadi nomor satu. Aku tidak mau setengah-setengah dalam kehidupan ini. Aku ingin menjadi orang yang sempurna luar dalam, dunia akhir. Aku mau memulai belajar agama dari sini, dari mulai shalat ini. Bahkan Sultan pernah beragumen, yang membuatku berpikir ratusan kali, “Ketika orang bisa mendeskripsikan makna kehidupan tertingginya di dunia ini, maka dia akan menjadi seorang yang ideal antara IQ, EQ dan SQ”. Dia bukanlah seorang psikolog, dia bukan seorang ahli jiwa, dia hanyalah seorang temanku di SMA Favorit ini, namun pikiran, wawasan dan kematangan bertindaknya, membuat aku salut kepadanya. Itulah makna statemen yang pernah aku baca, 'tua itu biasa, namun kedewasaan pikiran dan tingkah laku adalah pilihan'.
س Sesampainya di rumahku. Aku langsung mandi dan makan malam. Papih dan Mamihku sudah siap-siap di meja makan. “Abis dari mana Tya…”, Mamihku bertanya. “Dari rumah Sultan Mih… Temen Tya”, jawabku pendek, sambil mengambil nasi ke piringku. “Pih… Mih… Tya mau belajar shalat. Gak pha-pha kan?”, tanya aku ke Papihku dan Mamihku.
185
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
Mereka saling berpandangan. Kening mereka nampak berkerut, bertanda heran. “Kok tiba-tiba saja pengen belajar shalat, kenapa? Emang kamu tidak merasa bahagia, sehingga harus belajar shalat?”, Papihku bertanya kepadaku, dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sebuah pertanyaan yang aku belum siap jawabannya, karena ilmuku untuk yang satu ini belum mumpuni. Andai saja ada Sultan di sini, ini akan menjadi diskusi yang menarik. Ditambah, mungkin bisa jadi ini menjadi momen yang tepat juga untuk mengajak kedua orang tuaku untuk bershalat. “Ya pengen aja… Emang salah?”, jawabku sekenanya. “Ya engga juga sih, hanya heran aja…”, jawab Papihku. “Lalu siapa yang mau ngajarin?”, tanya Mamih. “Sultan, teman SMA Tya…”, jawabku lagi. “Apa? Teman SMA kamu?”, Papihku bertanya dengan nada yang bertanda tidak setuju. Nada pertanyaannya agak tinggi, posisi duduknya sedikit agak berubah, menjadi agak tegak, dan keningnya benar-benar berkernyit. Papihku seperti kaget dan tidak percaya, Mamihku pun demikian, tidak melepaskan pandangannya ke arahku. Aku mencoba untuk tenang saja, sambil mengunyah ayam bakarku, sebagai lauk pauk makan malamku. Papih dan Mamihku kalau lagi marah seperti itu, tidak seperti Ikang Fauzi atau Lidyia Kandau, tapi lebih mirip jerapah dan ayam kalkun... Papih dan Mamihku memang bukanlah contoh seorang muslim dan muslimah yang baik. Mereka tidak taat agama, bahkan berkesan sedikit meng-under-estimate-kan agamanya sendiri. Dulu aku merasa itu hal yang biasa, namun sekarang, setelah aku bergaul dengan Sultan, dan setelah aku mendapatkan informasi yang lumayan banyak tentang ilmu Islam, aku merasa sedih. Aku
186
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
menginginkan mereka shalat juga, seperti aku ingin berniat shalat. Aku bercerita ke mereka, aku minimal hanya ingin dukungannya saja, bukan pertentangan seperti ini. Atau, karena Papih dan Mamihku ragu akan kridibilitas seorang Sultan, yang siap mengajariku. “Papih kok kaget gitu sih, biasa aja kali, kayak kehilangan tender proyek Milyaran Dolar saja…?”, tanyaku kepada Papih. “Bukan itu Tya, Papih gak mau kamu menghabiskan waktu hanya untuk hal-hal yang tidak berguna itu. Papih lebih suka kamu menghabiskan liburan ini dengan hal-hal bermanfaat. Kalau perlu, keliling dunia, sehingga wawasan kamu bertambah…”, jawab Papih panjang lebar. Aku tidak meladeni komentarnya. Papihku keras, Mamihku juga keras. Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa belajar Shalat dianggap oleh mereka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna. Namun aku yakin, aku mampu mengatasi ini. Aku segera menghabiskan makanku, dan kemudian aku langsung pergi ke kamarku. Aku langsung telepon Intan. Ku-tekan nomor hapenya, lagu Peterpen menyambutku, ‘Lelah hatiku, melupakanmu…’, Klek, Intan mengangkat teleponya. “Halo Tan… Ada kabar buruk”, aku memulai pembicaraan di telepon. “Apa Tya…?”, tanya Intan penasaran. “Papih Mamihku gak setuju gue belajar shalat”, jawabku. “Apa?... Aneh…”, Intan heran. “Iya Tan… Mereka malah menentangku dengan nada yang cukup tinggi. Gue tahu mereka, kalau mereka berbicara dengan nada seperti itu, berarti mereka bukan hanya tidak setuju, namun menentangnya Tan… Gimana dong?”, ceritaku panjang lebar.
187
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
“Gimana ya?... Atau lo telepon aja Sultan, biar besok dibatalin aja. Biar kita ke tempat dia aja, gimana?”, Intan memberikan saran. “Ok… Tan gue telepon dia dulu… Kadang lo pinter juga ya…”, jawabku, tanpa menunggu respon dia, langsung aku tutup teleponnya. Pastinya dia keki abis… Hehehe…. Aku mencoba untuk menghubungi Sultan, tapi tidak berhasil. Kucoba lagi, tapi tetap tidak bisa. Sepertinya hapenya sedang dinonaktifkan. Kemudian aku mencoba menelopn Intan lagi. “Tan gak bisa dihubungi. Aku pikir biarin aja Tan… What ever will be lah…”, ujarku to the point di telepon. “Maksudnya biarin gimana?”, tanya Intan. “Iya… Biarin aja, pokoknya pantang mundur, seperti niat gue sebelumnya”, jawabku. “Ya udah… Gue dukung lo…”, Intan meyakinkanku. “Ok… CU tomorrow ya…”, ujarku. Dan Klek, kututup lagi telepon itu. Aku sudah tidak memikirkan lagi kegalauan hati ini, what ever will be, will be-lah… pikirku. Aku buka buku yang diberikan Sultan tadi. Kubuka halaman satu, halaman dua dan seterusnya. Banyak hal menarik di dalam buku itu…. Aku mulai mengerti ilmu dasar tentang shalat. Misal syarat dan rukun shalat, sebuah definisi yang pernah Sultan berikan kepadaku menganai syarat dan rukun pun tergambarkan di dalam buku ini. Aku pun mulai memahami konsep berwudhu dan bersuci sebelum menjalankan shalat, sebuah konsep bersuci yang komrehensif dan menyeluruh, menurutku. Aku bahkan baru tahu, bahwa Islam mengajarkan hal-hal yang dianggap oleh kita merupakan hal sepele, seperti adab masuk kamar mandi. Sebuah
188
Sinaku... Sebuah Karya Indah: Ditdit N. Utama Inspiratif, Menggugah, Renyah dan Berhasil Mengoyak Imajinasi
ajaran yang menusuk sampai ke level terindividu sekali pun. Sebuah ajaran yang luar biasa, sebuah ajaran yang sempurna dan paripurna. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Aku masih asyik dengan buku yang diberikan oleh Sultan. Pengetahuan dan ilmuku tentang ibadah shalat, minimal sedikit demi sedikit bertambah. Aku tidak mengerti agama, ilmu agamaku sangat kurang sekali, namun aku tidak mau taklid11 dalam menjalankan sebuah ibadah. Aku ingin menjalankan sebuah ibadah, karena aku tahu ilmunya.
11
Taklid adalah mengikuti pemikiran atau pendapat orang lain tanpa mengetahui kebenarannya. Rasulullah bersabda “Janganlah kalian menjadi orang yang taklid (ikut-ikutan)” (HR. Tirmidzi)
189
TENTANG PENULIS
Ditdit N. Utama adalah namanya. Penulis, yang asli Sunda ini, adalah seorang Dosen PNS di Universitas Islam Negeri, Jakarta, pada Program Studi Sistem Informasi. S1-nya di bidang Teknik Informatika berhasil diselesaikan di Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Penulis memiliki dua jenjang pendidikan master. Jenjang Pendidikan Master pertama adalah di bidang Sistem Informasi, berhasil penulis selesaikan di Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Sedangkan Master kedua di bidang Commerce, berhasil Penulis selesaikan di Curtin University, Perth, Australia. Penulis adalah doktor di bidang Teknologi Industri, di Universitas Pertanian Bogor, pada program peminatan Manajemen dan Sistem. Penelitiannya di bidang Intelligent Model, telah menghasilkan beberapa model berbasis komputer untuk di terapkan pada Manajemen Rantai Pasok. Penulis juga adalah Dr. rer. nat. (Doctor rerum naturalium, doktor di bidang natural science) pada bidang khusus environmental informatics dari Georg-August-Universität Göttingen, Jerman. Anak bungsu dari empat bersaudara ini memang sangat produktif di dalam menulis. Beberapa karya di bidang Sistem Informasi yang telah berhasil Penulis selesaikan di antaranya adalah buku Algoritma dan Pemrograman, buku Teknologi Informasi dan Komunikasi, serta buku Decision Support System. Sedangkan untuk buku Non-Science (fiksi), Penulis telah menghasilkan buku-buku dengan judul HitamPutihnya sebuah Fenomena, dan Novel ‘Sinaku…’ ini. Penulis, sampai dengan novel ini diterbitkan, sedang menggarap Novel lain, 249
yang tidak kalah menarik dan inspiratif-nya, yang akan segera diterbitkan. Selain buku, Penulis pun telah menghasilkan lebih dari 30 jenis tulisan dalam bentuk scientific paper, yang telah diterbitkan di berbagai jurnal nasional dan internasional. Bahkan, Penulis pernah menyabet penghargaan sebagai The Best Paper di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, pada salah satu seminar Internasional di Taichung, Taiwan, tahun 2011. Untuk dapat berkomunikasi dengan Penulis, Penulis dapat dihubungi di imel:
[email protected] atau
[email protected]. Untuk undangan bedah buku atau jumpa penulis, dapat difasilitasi lewat MSc Publisher, di imel:
[email protected].
250