MENGGUGAH KESADARAN NASIONAL MEMPENGARUHI KEBHINEKAAN INDONESIA Oleh: H. Agung Hartoyo (Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai negara yang santun dan kaya akan sumber daya alam dibangun oleh beragam suku, ras, budaya dan juga agama. Paham kebangsaan sebagai dasar kehidupan bernegara amat penting untuk memelihara perdamaian, persatuan dan kesatuan atas dasar kebersamaan dan toleransi. Melting pot, tempat tinggal masyarakat dari berbagai suku bangsa dengan berbagai kebudayaannya yang dilandasi etika diperlukan untuk menampung suatu campuran, dan bukan masyarakat homogen. Sikap keterbukaan terhadap orang lain merupakan kebutuhan penting, untuk menangkap etnosentrisme. Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa yang berfungsi sebagai payung bagi setiap warga bangsa yang tinggal di Indonesia agar hidup berdampingan bersama-sama memperkokoh nasionalisme. kata kunci: Kesadaran Nasionalisme, Kebhinekaan. Pendahuluan “Anak-anak Amerika sudah menjadi warga negara sebelum ia dewasa” (Lucian W. Pye; 1971). Pernyataan pakar politik tersebut dapat dimaknai bahwa di dalam diri anak-anak Amerika telah ditanamkan pendidikan politik sejak mereka masih di usia sekolah. Anak Amerika telah memahami arti bentuk federalisme negaranya, walaupun setiap daerah (state) memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yang kas, tetapi mereka tetap merasa satu sebagai bangsa Amerika. Mereka dibiasakan untuk menghormati founding fathers atau bapak bangsanya, dan ditanamkan kesadaran hidup dalam komunitas yang multikultural. Kesadaran sebagai bangsa yang multietnis dan budaya ber elting pot dalam negara yang disebut Amerika. Walaupun primordialisme dan etnisitas selalu
ada di tiap negara, seperti apa gambaran anak-anak Amerika kelak di kemudian hari. Sekarang di usia sekolah mereka sudah mulai dibentuk pemikiran seperti pemimpin senior Jimmy Carter, G.W. Bush, Barack Obama mampu membangun nilainilai kebersamaan baru sehingga warga negara Amerika punya kesamaan pandangan kebangsaan, walaupun dalam banyak hal mereka memiliki perbedaan. Jika dibandingkan dengan Amerika, kesadaran berbangsa Indonesia masa kini disebut era reformasi yang tak kunjung usai sangat berbeda. Sejak reformasi, masyarakat Indonesia mengalami perubahan radikal. Reformasi dinilai telah mengantarkan bangsa Indonesia pada dunia baru yang sama sekali lain, terbuka dan liberal, di tengah sebuah arus yang disebut globalisasi. Ia tidak hanya mengubah selera dan
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture). Nilai kebangsaan Indonesia masa kini masih diwarnai penonjolan sikap primordial antar daerah, dengan semangat otonomi daerah yang agak menyimpang dari semangat kebangsaan. Primordialisme merupakan suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Secara etimologis, primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangat sulit untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Bukti politik identitas primordialisme ini tampak dari makin merebaknya keinginan-keinginan daerah untuk
133
berlomba-lomba mengurus dirinya sendiri, pemekaran wilayah dari tingkat provinsi sampai desa. Eksploitasi besar-besaran dilakukan termasuk menguras kekayaan rakyat melalui regulasi daerah yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan pemasukan uang. Tidak perlu heran jika kelak pada suatu saat nanti terjadi ketimpangan antara daerah yang kaya dan yang miskin karena ketiadaan kesadaran kolektif untuk saling menolong. Etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “(The Random House Dictionary)”. Etnosentrisme terjadi jika masingmasing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Samovar dan Porter (1991) memberikan batasan tentang etnosentrisme dengan menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan seseorang dengan orang lain dalam suatu kelompok, makin dekat hubungan mereka makin besar ketidaksamaan, maka semakin berjauhanlah mereka. Demikian pula bila kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral. ”Etnosentrisme membuat kebudayaan sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya kebudayaan lain.
134
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam The Authoritarian Personality, Adorno, et.al (1950) mengemukakan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar mengajar. Dalam masyarakat dan bangsa yang majemuk, peran paham kebangsaan sebagai dasar kehidupan bernegara amat penting untuk memelihara persatuan dan kesatuan atas dasar kebersamaan dan toleransi. Ideologi negara menjalin kepentingan semua warga masyarakat dan semua warga bangsa yang taat pada keputusan politik tertinggi, menjamin kelangsungan hidup serta jatidiri masing-masing kelompok, lingkungan adat, agama dan daerah. Di negaranegara sedang membangun, pemantapan ideologi negara amat penting bagi terselenggaranya perdamaian budaya. Perdamaian budaya ini menggambarkan mosaik masyarakat dan budaya Indonesia, sebagai wujud dari kebhinekaan dalam persatuan dan kesatuan nasional (Mutis, T. ; Rahardiansah, T. ; Prayitno, A. 2005). Setiap orang dari suku, ras, agama, propinsi dan lingkungan adat manapun terjamin untuk mempertahankan jatidiri asalnya dan yang sekalian menyumbang pada kokohnya
kebangsaan Indonesia. Inilah makna Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan kebhinekaan bagi sebagian orang yang pernah mengeyam pendidikan, tentu sudah sangat familiar mendengar dan membaca: “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda tapi tetap satu”. Ternyata para pendiri bangsa, the founding fathers negara Indonesia benar-benar telah memahami karakteristik bangsa kita, yaitu bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, dan juga agama. Di dalam semboyan tersebut tersimpan pesan agar para penerusnya tidak mempermasalahkan mengenai perbedaan yang ada. Namun benarkah bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika tersebut sungguh-sungguh telah dipahami oleh semua warga bangsa ? Menjelang memasuki abad 21, anak-anak bangsa banyak yang telah terdidik, pintar, kaum intelektual yang dididik di dalam maupun luar negeri, bersamaan dengan itu bergema pula secara menggemuruh istilah “pluralisme” yang artinya sama dengan keberagaman. Istilah ini tiba-tiba saja menjadi istilah yang begitu gencar disebut-sebut dalam berbagai kesempatan. Seakan tingkat keintelektualannya berkurang bila tidak menyebut kata pluralisme setiap kali bicara, berdiskusi, atau berorasi. Mengapa istilah pluralisme ini menjadi sering diucapkan ? Padahal jauh sebelumnya bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan keberagaman dalam “kebhinekaan”. Bangsa ini sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan perbedaan warna kulit, berbeda bahasa, berbeda adat istiadat, berbeda agama, dan berbeda dalam banyak hal lagi.
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
Bila menerawang kembali peristiwa politik yang berlangsung beberapa saat yang lalu, ternyata istilah pluralisme ini sering disebutsebut ketika komponen bangsa ini sering mengalami konflik. Anak-anak bangsa semakin sering berkelahi antar kelompok dengan membawa nama agama, nama partai, nama suku, nama desa, nama banjar bahkan nama keluarga. Bentrokan masih sering terjadi, bahkan seringkali memakan korban jiwa hingga ratusan orang. Mulai saat itulah istilah pluralisme menjadi latah diucapkan, lamakelamaan istilah ini dijadikan “barang dagangan” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya. Berbagai pertemuan dalam bentuk seminar, diskusi, pelatihan, pemberdayaan tentang kerukunan telah digelar dari tingkat rakyat jelata hingga para elit, Namun konflik antar komponen bangsa masih terjadi. Kira-kira yang ada di benak warga bangsa saat ini adalah aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Aceh, aku orang Madura, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDIP, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN, aku orang PKB, aku orang PKS, aku dari Gerindra, aku pengusaha, aku polisi, aku pejabat, aku Brahmana, aku Anak Agung, aku Pasek, aku Pande, aku Arya, aku Gusti, aku Kanjeng Pangeran Haryo, aku Temenggung dan sebagainya. Kita lupa akan kenyataan kebhinnekaan yang dimiliki bangsa Indonesia ini. Anak-anak bangsa telah lupa kepada warisan para leluhur, para pendahulu, para pendiri bangsa
135
yang sangat bijak sehingga mampu membuat bangsa ini menjadi besar. Padahal keberadaan dan kebesaran bangsa ini karena dibangun dan diperjuangkan oleh bersatunya Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Pemuda-pemuda yang berasal dari organisasi pemuda bernuansa kedaerahan dan kesukuan, atau keagamaan seperti: Jong Java, Jong Borneo, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Islamiten Bond berkumpul, bersatu dan bersumpah untuk membangun satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia. (Zubair, 2003). Seluruh anak-anak bangsa ini melaksanakan semboyan berat sama dipikul, bahu-membahu menyingsingkan lengan, sama-sama berperan, dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga rakyat jelata masing-masing mengambil peran untuk memperjuangkan bangsa ini hingga merdeka. Semua ikut berjuang dengan kemampuan dan keahlian, dan dengan porsi masing-masing. Berdasar sintesis terhadap situasi di dalam negeri dalam dua dasa warsa terakhir, secara sepintas dapat dikemukakan bahwa sampai lebih dari lima puluh tahun Indonesia merdeka, ternyata makna bhineka terasa masih mengawang jauh. Sekarang ini, kesadaran hidup berbangsa majemuk dirasakan melemah, yang disebabkan oleh semakin berkembangnya etnosentrisme, primordialisme, dan fanatisme berbagai golongan masyarakat. Secara kolektif, semua ini menyumbang pada proses disintegrasi bangsa. Tentu saja keadaan itu dapat dicegah bila seluruh komponen bangsa sepakat dengan ideologi dan cita-cita bernegara yang
136
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
sama. Sekarang ini yang dirasakan bangsa Indonesia baru “melihat” adanya kebhinekaan atau kemajemukan, tetapi belum menghayati hakekat yang sebenarnya dari makna kebhinnekaan atau kemajemukan. Untuk dapat menghayati adanya kebhinekaan atau untuk berjiwa kebhinekaan itu, bangsa Indonesia nampaknya masih menghadapi rintangan besar, karena kesadaran bangsa ini masih belum sampai kepada jiwa kebhinekaan itu. Pertanyaan Penulisan Sehubungan dengan uraian pada bagian pendahuluan maka dapat dikemukakan pertanyaan penulisan ini dengan kalimat tanya berikut. Bagaimana menggugah kesadaran warga bangsa agar dapat meningkatkan kualitas pemahaman dan kebanggaan mereka terhadap karakter kebangsaan yang menitik beratkan pada pentingnya penghargaan terhadap kemajemukan ? Pembahasan I. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Bangsa Lebih dari setengah abad setelah kemerdekaan Indonesia hingga kini, semboyan Bhineka Tunggal Ika masih kokoh berdiri sampai detik ini. Semboyan tersebut merupakan acuan bagi kehidupan bersama bangsa Indonesia yang bisa diartikan, “berbeda-beda tapi satu tujuan”. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang makmur dan saling menghargai perbedaan satu sama lain. Perbedaan etnis, religi maupun ideologi menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia.
Kemajemukan bangsa, dengan pemaknaan yang sehat akan mampu menjadi modal bagi pembangunan karakter bangsa. Pancasila sebagai buah pikiran anak bangsa mampu menjadi perekat perbedaan-perbedaan tersebut menjadi sinergis sehingga dapat membuat bangsa ini sangat terkenal akan toleransinya. Namun, laju perkembangan ekonomi dan pembangunan membuat banyak nilai penghargaan terhadap kebhinekaan yang sebelumnya dianggap penting mulai terkikis prioritasnya di masyarakat. Tidak adanya penghargaan pada kekayaan berupa kemajemukan yang diikat oleh Pancasila dapat menjadikan bangsa ini mengalami kebangkrutan kebangsaan yang ditandai dengan semakin seringnya kemunculan fenomena disintegrasi, seperti perang antar etnis, maupun sengketa antar agama, keinginan untuk melepaskan diri dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penurunan nilainilai kebangsaan akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka sesama saudara, hal ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin rapuh dan memudarkan nilai dan semangat kebersamaan untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Fenomena lain yang dapat direkam sebagai permasalahan bangsa Indonesia adalah lunturnya kepercayaan warga negara Indonesia terhadap Pancasila, atau bisa disebut pudarnya nasionalisme warga negara. Nasionalisme merupakan satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
identitas bersama untuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Pancasila memang pada awalnya di desain untuk menampung seluruh keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia sekaligus sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara tiap-tiap warga negaranya. Pancasila dipahami sebagai esensi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, namun seberapa efektif nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tersebut dapat selaras dengan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ? Adalah kenyataan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam, di atas ribuan pulau, dari Sabang sampai Merauke hidup ratusan suku, bahasa, dan etnik, yang menganut berbagai agama, tetapi dari keanekaragaman tersebut Indonesia rawan konflik. Konflik dapat berbentuk primordial bersifat horizontal, misalnya antar suku, sentimen agama, antara penduduk asli dan pendatang. Tetapi ada juga konflik yang bersifat vertikal, yaitu antara rakyat biasa dengan penguasa yang dapat dikenal antara “masyarakat” dan “mereka”. Dengan begitu sudah tentulah bangsa Indonesia menuju disintegrasi, kesadaran masyarakat akan heterogenitas semakin menurun,
137
bahkan banyak yang merasa acuh tak acuh. Kondisi tersebut hendaknya menjadi peringatan bagi seluruh anak bangsa untuk mengobarkan kembali semangat Kebhinekaan Tunggal Ika. Seluruh komponen bangsa hendaknya melakukan evaluasi dan berbenah diri untuk menjadikan bangsa ini lebih kuat dalam melangkah. Momentum tahun baru Islam 1432 Hijriyah dan tahun baru Masehi 2011, dimana orang banyak berdoa dan berharap untuk kemakmuran dan keselamatan mereka sendiri dan keluarga, perlu diperluas sehingga juga mendoakan dan memikirkan keselamatan dan kemakmuran bangsa, utamanya untuk satu tahun kedepan. Beranjak dari pemikiran tersebut, para warga dan sivitas akademika dalam lingkungan Program Studi Pendidikan Umum/Nilai, sebagai lembaga yang selama ini memiliki kepedulian dan memikirkan terhadap permasalahan bangsa mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk melakukan renungan awal tahun Bersatu Dalam Kebhinekaan. Upaya-upaya konkrit untuk mempersatukan nusantara sebagai Negara kesatuan telah dirintis oleh Mahapatih Majapahit Gadjah Mada dengan Sumpah Palapanya. Dia tidak akan memakan buah Palapa sebelum kerajaan-kerajaan di nusantara bergabung berdiri di bawah satu bendera gula kelapa. Beberapa dekade sebelum seorang anak lelaki pemberani bernama Mada lahir, semboyan Negara Indonesia yang berbunyi: “Bhineka Tunggal Ika” telah dikenalkan sejak lama oleh mpu Tantular dalam kitab Sutosuma di abad ke-14 juga di jaman kerajaan
138
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Majapahit. Belakangan, pada tanggal 20 Mei 1908 muncul usaha-usaha yang dilakukan oleh para pemuda dan masyarakat Indonesia untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya sendiri. Pada masa itu didirikan sebuah perkumpulan kebangsaan pertama kali, yang diberi nama perkumpulan Budi Utomo, dan kemudian perkumpulan ini secara politik berkembang menjadi Indische Partij. Ketua perkumpulan Budi Utomo yang pertama adalah seorang mantan Bupati Karanganyar RM Tirto Koesoemo. Hari itu kini diabadikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia disingkat NKRI terbentuk menjadi suatu negara dengan ciri yang unik dan spesifik, berbeda dengan teori-teori umum tentang lahirnya sebuah negara secara lazim. Teori-teori berdirinya suatu Negara antara lain: a. Karena kesamaan satu bahasa, misalnya: Inggris, Spanyol, dll. b. Karena kesamaan satu daratan, misalnya: Australia, India, dll. c. Karena kesamaan satu ras, misalnya : Jepang, Korea, negaranegara di Timur Tengah, dll. Teori-teori tersebut tidak berlaku bagi Indonesia, karena Indonesia berdiri menjadi suatu Negara dengan beranekaragam bahasa, etnik, daratan (berbagai pulau), agama, dengan mayoritas di daerah yang berbeda-beda. Ada 2 teori yang dapat dikemukakan untuk menerangkan terbentuknya Indonesia: a. Adanya persamaan sejarah rakyat yang bermukim di suatu daerah yang sama. Dari mulai timbulnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit,
sampai ke kerajaan-kerajaan kecil di berbagai pulau yang samasama dijajah Belanda dan Jepang. b. Tujuan atau Cita-cita bersama. Setelah persatuan terbentuk karena persamaan nasib dan sejarah, maka proses persatuan ini lebih diperkokoh oleh cita-cita atau tujuan bersama dari setiap rakyat Indonesia. Untuk itu, rakyat Indonesia sepatutnya berterima kasih kepada founding fathers yang telah merumuskan cita-cita Indonesia bersama yang terangkum dalam Pancasila, sebuah landasan filosofis negara atau weltanschuung Indonesia. Kekuatan amat besar yang menyatukan bangsa Indonesia yang plural bersumber dari hati nurani rakyat yang berketetapan untuk berhimpun menjadi satu bangsa. Tetapi hati nurani mempunyai kelemahan, yaitu mudah terluka bila melihat adanya ketidak- adilan dalam satu bangsa. Bagaikan sebuah sistem yang menghasilkan entropi (unsurunsur internal destruktif yang bisa menghancurkan sistem), ketidakadilan juga dapat menjadi sebuah entropi yang akan menghancurkan bangsa itu sendiri. Prediksi laporan NIC (National Intelligence Council), sebuah badan yang bertanggung jawab untuk memberikan informasiinformasi akurat tentang keamanan kepada pemerintah dan parlemen USA, memprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti akan muncul beberapa negara yang akan mempengaruhi peta kekuatan dunia yaitu Afsel, China, India, Brazil dan Indonesia. Laporan yang dilansir oleh NIC tentang Mapping The Global Future (Pemetaan Masa Depan Dunia), selain
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
untuk memberikan tentang keamanan, lembaga ini juga memberikan masukan gambaran umum tentang tantangan yang akan dihadapi oleh Amerika, sehingga mereka dapat mempersiapkan langkah antisipatif yang hendak dilakukan dalam rangka mewujudkan peta masa depan dunia yang mereka kehendaki. Cina, sebagai kekuatan baru dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta keteguhannya berpegang kepada ideologi. Sosialis, ditopang dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah geografis yang luas, benar-benar menjadi ancaman real bagi Amerika, dan negara-negara Barat Kapitalis lainnya. Di sisi lain, India disebutdisebut sebagai negara berikutnya, dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang signifikan, serta jumlah penduduk yang besar akan berpotensi menjadi kekuatan baru di masa depan. Yang menarik adalah adanya skenario lain yang memprediksi Indonesia juga sebagai salah satu bagian dari negara yang mempunyai kekuatan baru dalam peta dunia. Dalam konteks tersebut, Peter Rosler Garcia (2006) merekomendasikan agar Indonesia menjadi negara besar, maka Indonesia harus tetap bersikap moderat, tidak berpikiran sempit, menstabilkan demokrasi dan HAM. Itu beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan dan laporan di atas. Indonesia diprediksi akan berpenduduk lebih kurang 280 juta dengan GNP yang perlu diperhitungkan. Tapi semua itu tidak akan terjadi bila tidak didukung dengan integrasi bangsa yang mantap. Maka untuk mewujudkan integrasi bangsa,
139
diperlukan suatu keadaan yang stabil di bidang sosial, polotik, ekonomi dan keamanan, yang ditandai dengan: 1). tidak ada separatisme, 2). tidak ada benturan-benturan ideologi, 3). Kemampuan masyarakat menyelesaikan masalah secara santun, 4). adanya kepatuhan, kepastian dan keter-tiban akan hukum, 5). berkembang dinamika konvergensi sentripetal. 6). kuatnya koneksi sosial masyarakatnya. Proses pembentukan dan pembangunan bangsa Indonesia ini belum selesai. Adalah kenyataan sejarah yang benar-benar perlu disadari adalah bahwa Negara Indonesia terbentuk dari berbagai unsur yang berbeda-beda. Tidak mengherankan bila hingga kini bangsa Indonesia masih mempunyai masalah-masalah dalam proses konsolidasi atau integrasinya sebagai suatu bangsa. Sejarah bangsa di dunia memberikan pengalaman betapa panjang (lama) proses membangun bangsa, misalnya Negara India dan Amerika Serikat. Ratusan tahun setelah AS merdeka, baru pada tahun 1960-an, mereka memiliki presiden John F Kennedy yang beragama katholik di tengah-tengah mayoritas protestan. Dalam kurun waktu yang sama, mereka telah mengalami perang sipil dan pergolakan sosial dengan korban-korban seperti Abraham Lincoln, Martin Luther King, Jr, dll. Agama sering menjadi elemen mendasar konflik-konflik antarsuku bangsa, contoh kasus konflik berdarah di Balkan antara orang Serbia yang Kristen Ortodoks, orang Kroasia yang Katolik dan orang Albania yang Muslim. Dalam konteks Amerika, konflik antara orang Irlandia Katolik dengan orang WASP (White Anglo
140
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Saxon Protestant) dapat memberikan gambaran menyeluruh konflik antarsuku bangsa yang melibatkan keyakinan keagamaan masyarakat suku bangsa Amerika. Pada abad ke19, Amerika menjadi tempat tujuan bagi para imigran. New York pun menjadi melting pot, tempat tinggal masyarakat dari berbagai suku bangsa dengan berbagai kebudayaannya. Masyarakat New York pada masa itu didominasi golongan atau masyarakat suku-suku bangsa WASP (White Anglo Saxon Protestant), suatu golongan masyarakat Amerika asal Belanda dan Inggris yang beragama Protestan, yang merasa sebagai penduduk asli Amerika. Golongan mayoritas dan sekaligus dominan ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam struktur politik, sosial dan ekonomi. Maka gelombang imigrasi besar-besaran memicu kekhawatiran golongan WASP tersebut. Mereka takut dominasinya direbut oleh para pendatang ini lalu menyebarkan gerakan nativisme, gerakan menyebarkan kebencian kepada masyarakat suku bangsa pendatang, yakni para imigran. Di saat-saat Amerika mengalami kesulitan seperti depresi ekonomi, atau keadaan menjelang, dalam, dan sesudah perang, golongan WASP sering menjadikan kaum imigran sebagai kambing hitam dari masalah tersebut. Golongan WASP bahkan membentuk the American Party yang lebih dikenal dengan nama The Know Nothing Party. Dua hal yang menjadi tuntutan partai ini adalah menghalang-halangi para imigran dari golongan etnis pendatang memperoleh posisi penting dalam bisnis dan mengusulkan para pendatang tidak diberi hak suara
dalam pemilihan umum sampai mereka berada di Amerika selama 21 tahun. Semboyan terkenal dari partai nativis ini adalah “America for the Americans”. Yang paling menjadi sasaran kebencian golongan WASP di New York adalah etnis pendatang dari Irlandia yang beragama Katolik. Mereka datang ke Amerika saat Irlandia mengalami bencana kelaparan tahun 1830-an dan 1840-an akibat kegagalan panen kentang. Pada masa itu, sebagai pendatang, imigran Irlandia Katolik mengalami diskriminasi dari golongan suku bangsa WASP yang dominan yang ingin mempertahankan penguasaan sumber daya atau sumber rejeki. Suku bangsa WASP ini menginginkan presiden Amerika adalah orang Amerika berkulit putih beragama Protestan. Tetapi, pemilu pemilihan presiden pada hari Selasa (4/11/08), berhasil menghapus tradisi tersebut dan sekaligus menggemparkan masya-rakat international. Rakyat Amerika memberikan mandat kepada Barack Obama untuk jadi presiden periode 2009-2013. Dengan terpilihnya Obama, rakyat Amerika mengakhiri hukum besi atau tradisi lama di sana bahwa hanya warga yang berciri khas WASP (White Anglo Saxon Protestant) yang layak menjadi presiden. Sebelumnya, John F. Kennedy yang beragama Katolik pernah memenangkan Pemilu pada tahun 1960. Tapi, kemenangan Obama lebih dahsyat karena dua hal. Pertama, karena kemenangan Obama mengguncang kategori atau huruf pertama (W), sementara Kennedy mengguncang kategori atau huruf terakhir (P) dari WASP itu. Kedua,
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
suara Obama amat meyakinkan dan mencapai rekor baru dalam sejarah pemilihan presiden. Angka sementara yang dicapai Obama pada saat itu sudah mencapai 349 electorate college, jauh melebihi perolehan John Mc. Cain (147), dan jauh melebihi perolehan George Bush yang tak pernah lebih dari angka 286. Tiga pelajaran bisa diambil dari pilihan rakyat Amerika atas kemenangan Obama pada menjelang akhir tahun 2008 itu adalah: a. Pertama, rakyat Amerika menyampaikan pesan jelas kepada dunia bahwa harus ada perubahan politik luar negeri. b. Kedua, rakyat Amerika bergerak maju, dengan tidak lagi menerima rezim pemikiran WASP sebagai nilai tertinggi di Amerika, tetapi menjelmakan ide persamaan dan anti diskriminasi. c. Ketiga, gerak maju dan makin dewasa itu dimungkinkan karena rakyat Amerika menganut sistem politik demokrasi. Dalam sistem demokrasi, rakyat bisa berdialog dan saling menguji ide dan pemikiran secara terbuka dan beradab untuk menemukan keinginan umum (general will) atau kebaikan publik (public good). Bangsa yang heterogen berpotensi sangat sensitif dengan ketidakadilan sosial. AS setelah berhasil keluar dari masalah Ku Klux Khan (KKK) dan Supremasi White Anglo Saxon Protestant (WASP) ?, di tahun 1960-an baru berhasil memposisikan dirinya sebagai negara superpower di dunia. Jadi, benarbenar memerlukan suatu upaya sungguh-sungguh dalam kurun waktu
141
yang sangat panjang untuk membentuk suatu negara besar. Di India, masyarakat yang mayoritas beragama hindu, dapat menerima seorang presiden beragama Islam, Dr. Abdul Kalam dan Perdana Menterinya beragama Sikh, Dr. Manmohan Singh. Padahal masyarakat Sikh di India hanya 4% dari populasi India. Pengalaman yang lain ketua Partai Konggres yang sangat berpengaruh di India pernah dijabat oleh Sonia Gandhi yang beragama Katholik. Di negara-negara sedang membangun, terutama dimana rasa persatuan dan kesatuan masih lemah atau rentan pada pertikaian, profesi di bidang pertahanan keamanan seringkali menjadi pelopor dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan terutama bernegara. Prajurit menjadi pelopor dari kehidupan berbangsa dan bernegara karena profesi keprajuritan menuntut kesetiaan pada kaidah alat negara yang melintas kepentingan kesukuan, keagamaan, ras, kedaerahan dan kebahasaan. Makna “nasional” pada lambang TNI yang dikenakan pada baju seragam prajurit menandakan bahwa ia setia kepada keabsahan tertinggi, dalam hal ini pada Negara dan Pemerintah Republik Indonesia, dari manapun ia berasal. Demikian pula makna “RI” pada lencana “POLRI”. Diharapkan profesi-profesi lain (dokter, insinyur, akuntan, ahli hukum, manajer perbankan, aktuaria, ahli informatika, ahli bioteknologi, termasuk guru) semakin mengembangkan kesetiaan pada kaidahkaidah profesionalisme yang berlandaskan paham kebangsaan dan kenegaraan.
142
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Pada dasarnya memupuk rasa berbangsa dan rasa bernegara adalah suatu ikhtiar yang tak henti-hentinya dilakukan oleh setiap orang atau generasi. Setiap orang atau generasi wajib menerapkan azas konsistensi, kontekstualisasi dan relevansi agar dari waktu ke waktu dari tahap ke tahap, semakin mekar ruas-ruas kebebasan, pemerataan dan keadilan sosial di seluruh penjuru tanah air. Memelihara wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang demikian memerlukan kinerja kepemimpinan yang tepat, yang paham akan perlunya memelihara martabat serta lingkar-lingkar budaya lokal di seluruh negeri, baik di Irian Jaya, Timor Timur, Aceh bahkan di seluruh pelosok Indonesia. II. Menggugah Kesadaran Agar supaya dapat menjawab pertanyaan dari tulisan ini maka perhatian dialihan dari hal-hal yang bersifat fisik masuk ke dalam diri manusia untuk mempelajari akal pikirannya dan menggugah kesadarannya. Dengan cara demikian akan diketahui bahwa kesadaran yang merupakan daya hidup setiap manusia adalah kesadaran yang sama dalam menentukan perilaku. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kesadaran menjadi tumpuan untuk mempertimbangkan perilaku. Kesadaran merupakan kondisi yang mencerminkan adanya otonomi dalam pengambilan keputusan tindakan manusia. Pada bagian pendahuluan telah dikemukakan beberapa tindakan atau perilaku dari berbagai komponen bangsa yang berpotensi menyulut disintegrasi bangsa, kesadaran hidup berbangsa majemuk dirasakan mulai
melemah. Penyebabnya antara lain semakin berkembangnya etnosentrisme, primordialisme, dan fanatisme berbagai golong-an masyarakat. Penyimpangan perilaku masyarakat yang korup, arogan, yang menyimpang jauh dari nilai humanisme, itu disebabkan juga produk ketiadaan teladan para pemimpin bangsa selama 30 tahun belakangan ini. Saat ini kesadaran sebagai bangsa terkikis oleh sifat kapitalisme global, dimana orang hanya dinilai dari kepemilikannya, bukan pada keteladanan dan kecendikiawannya. Akibatnya orang berlomba mencari keuntungan dirinya sebanyak mungkin walaupun dengan cara yang salah. Golongan sesat ini beranggapan bahwa dengan uang orang bisa berbuat apa saja seperti menyumbang yayasan yatim piatu dan tempat ibadah, membeli jabatan (money politics), pendidikan di perguruan favorit, membangun bungalow, dan menyebar uang receh di bawah jembatan. Lagu “Andai Aku Jadi Gayus”, yang dilantunkan oleh Bona Paputungan beredar ini mengkritik ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia. Dengan uang, penegak hukum bisa dibeli dan membiarkan narapidana kakap seperti Gayus HP Tambunan berkeliaran ke luar negeri. Artalyta Suryani, kedapatan mendapatkan fasilitas mewah mulai dari pendingin ruangan, telepon, ruang kerja, bahkan ruang tamu untuk menerima para asistennya di dalam Rutan Pondok Bambu, tempatnya ditahan. Berbeda dengan Prita Mulyasari, ia harus mendekam dibalik jeruji karena didakwa atas pelanggaran Pasal 27 ayat 3 UndangUndang nomor 11 tahun 2008 tentang
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
Informasi dan Transaksi Elektronik, menjadi korban oknum yang memperlakukan dia bak sapi perahan. Pasien yang seharusnya mendapat prioritas pelayanan kesehatan yang prima, justru menjadi obyek eksploitasi oleh pihak yang menggunakan kekuasaan jaringan dan keuangan untuk mendukung perbuatan yang tidak semestinya. Kelangkaan contoh orang yang berintegritas, bermoral, dan bertanggung jawab ini makin mendorong masyarakat untuk mencontoh hal-hal yang jauh dari etika moral. Kesadaran sebagai bangsa juga tercabik oleh sikap etnisitas, fanatisme sesama pemeluk agama, fanatisme golongan yang jauh dari semangat pluralitas bangsa. Prinsip pemunculan kepemimpinan bukan diukur dari profesionalitas dan sikap kebangsaan tetapi hanya oleh suku, agama, golongan, dan ras yang sama. Sebagai warga bangsa yang cerdas dan sehat akal pikiran memikul tanggung jawab untuk mengatasi krisis ini. Adanya suara hati dan kepekaan moral yang menjadi pendorong untuk memprotes dan mencegah segala tindakan yang melanggar nilai dan norma hidup bersama, baik secara pikiran, lisan atau perbuatan menjadi pertanda yang baik bahwa krisis yang melanda bangsa akan dapat diatasi. Yang dibutuhkan adalah kepekaan dalam mengasah jiwa, suara hati dan kesadaran moral untuk tanggap terhadap segala usaha pemberangusan ruang moral kita. Tindakan atau perilaku publik seharihari seperti kasus penyelesaian korupsi yang tidak tuntas, pembunuhan sadistis, terorisme, dapat melemahkan kepekaan suara hati dan
143
kesadaran moral kita. Itulah sebabnya mengapa kepekaan suara hati dan kesadaran moral harus selalu diasah setiap hari. Keinginan untuk mengasah kepekaan itu membutuhkan pengorbanan, sebagaimana Socrates pernah rela mengorbankan dirinya demi prinsip moral yang ia yakini benar dan adil. Pembahasan tentang moralitas merupakan persoalan yang tidak sederhana, sebab moralitas bukan sekedar tugas pemberian nasehat untuk menyentuh hati atau himbauan yang bersifat teoretik yang jauh dari upaya pemecahan masalah konkret. Etika sebagai sistem pengkajian terhadap moral bukan sekedar menyusun sederetan daftar perbuatan baik yang harus dikerjakan serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Etika justru memiliki sifat dasar kritis, yang mempertanyakan landasan argumentatif dari hak berlakunya norma, hak perorangan, masyarakat, lembaga masyarakat, ketika memberlakukan norma yang harus ditaati oleh orang lain yang wajib ditaati. Dengan kata lain etika dapat mengantarkan orang mampu bersikap rasional, sadar dan kritis untuk membentuk pendapatnya, bertindak sesuai dengan keyakinan dan kebebasannya, dan bertanggungjawab atas pilihan tindakannya. Dalam upaya membangun dan menumbuhkan kesadaran manusia, pemahaman terhadap pandangan Kôhlberg, yang menunjukkan bagaimana manusia menjadi dewasa secara moral, menjadi relevan. Kesadaran merupakan kondisi yang mencerminkan adanya otonomi dalam pengambilan keputusan tindakan manusia. Lawrence Kohlberg (1927-
144
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
1988) dalam penelitiannya menemukan perkembangan kesadaran moral manusia dalam 3 (tiga) tingkatan dan dirinci menjadi 6 (enam) tahapan kesadaran. Pertama, tingkat Pra Konvensional yang terdiri dari tahap egosentrisme, anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang akan diterimanya bila ia tidak patuh. Dalam tingkatan ini ada tahap egoisme, orientasi relativitas instrumental, suatu perbuatan dinilai baik jika anak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang lain. Kedua, tingkat konvensional yang terdiri dari tahap ketergantungan terhadap kelompok akrab, kelompok orang-orang yang dikenal secara pribadi, penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Tahap abstrak pada tingkat ini mencakup orientasi hukum dan ketertiban, paham “kelompok” dalam arti bahwa seseorang harus dapat menyesuaikan diri. Penyesuaian diri ini diperluas dari kelompok akrab ke kelompok yang lebih abstrak seperti suku bangsa, negara dan agama. Ketiga, tingkat Pasca Konvensional yang terdiri dari tahap fairness, orientasi sosial legalistik, penyadaran relativisme nilai-nilai dan pendapatpendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Pada tingkat ketiga mencakup tahap otonom, orientasi prinsip etika yang bersifat universal, dan manusia mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Tingkatan dan tahapan kesadaran tadi bersifat komprehensif yang meliputi berbagai latar belakang
sosiokultural, dan bersifat kronologi masa usia manusia. III. Menumbuhkan Rasa Nasionalisme Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan pada 17 Agustus 1945 bukan merupakan kelanjutan dari imperium Majapahit, namun ia juga tidak muncul begitu saja dari real politik internasional pada awal abad XX. Indonesia berdiri berkat agenda nasionalis yang memburu celah-celah dan menerobos peta politik internasional di sekitar Perang Dunia II. NKRI bukan kelanjutan dari primordialisme, namun juga bukan penjelmaan dari universalisme. Salah satu fakta paling penting dalam dua abad terakhir, menurut Gellner (1983), nasionalisme adalah gejala ajaib. Tidak sepenuhnya jelas mengapa gejala itu terjadi: mengapa manusia lama yang terikat pada sarang sempit primordialnya diganti bukan oleh ajaran Filsafat Pencerahan tentang Manusia Universal yang diwajibkan setia pada persaudaraan universal, melainkan oleh manusia khusus yang lolos dari ikatan lamanya, dan kemudian menghidupi mobilitas dalam batas-batas yang ditetapkan secara formal, yaitu sebuah kultur dalam lingkup negara bangsa. Barangkali itulah yang dimaksud dengan argumen bahwa nasionalisme bukan kelanjutan dari ikatan primordialisme, tetapi ia juga bukan penjelmaan dari abstraksi universalisme. Dalam kaitan itu tidak mengherankan bila para globalis melihat nasionalisme sebagai terlalu sempit, sedangkan para lokalis
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
menganggap nasionalisme terlalu besar. Sketsa ini tidak bermaksud menjawab teka-teki “yang tidak sepenuhnya jelas mengapa nasionalisme harus ada dalam Negara-bangsa”. Namun dari kajian atas teori-teori nasionalisme (Kedourie, 1960, 1993; Gellner, 1964; Gellner, 1983; Anderson, 1983, 1991; Smith, 1991; Breuilly, 1995), terdapat dua faktor konstan yang menyertainya, yaitu faktor daya dorong dan kekuatan penarik. Suatu negara bangsa tidak muncul ataupun diperbaharui hanya dengan kehendak dan kemauan, ia juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum, dan sebagainya. Timor Leste dan Palestina, tidak menjadi negara-bangsa hanya karena kehendak para pemimpinnya, juga bukan hanya dari permainan situasional cuaca politik, ekonomi, hukum, maupun kultural yang sedang terjadi. Dari kesaksian para pendiri Indonesia, pola itu juga terlihat dari bagaimana para pemimpin nasionalis seperti Sukarno, Hatta ataupun Sjahrir secara kolektif menghendaki kemerdekaan. Akan tetapi, mereka juga bersitegang bukan hanya tentang caranya (kooperasi atau non kooperasi, kolaborasi atau non kolaborasi), namun juga mengenai pencarian momentum surutnya petualangan imperial Jepang di Asia Pasifik serta potensi Belanda masuk kembali untuk menguasai wilayahwilayah Indonesia. Dalam keadaan situasi realpolitik yang menjadi faktor penarik tidak sepenuhnya berada di tangan para nasionalis, diduga agenda nasionalis pada akhirnya menunjuk
145
pada kehendak yang secara intensional dan sengaja dilancarkan untuk memanfaatkan dan mengarahkan kondisi eksternal bagi pembentukan kerumunan agar menjadi sebuah bangsa (nation); dan instansi negara (state) adalah penggerak proyek itu (Kedourie, 1960, 1993; Gellner, 1964; Gellner, 1983; Anderson, 1983, 1991; Smith, 1991; Breuilly, 1995). Itu sebagai argumen sederhana yang coba diajukan dalam tulisan ini. Akan tetapi, bukankah kehendak intensional dan sengaja itu dapat dibawa ke arah mana saja (entah arah agama ataupun kesukuan) ?. Pertanyaan itu membawa ke argumen berikut: perangkat ideologis yang dipakai secara intensional dan sengaja untuk mengarahkan cuaca real politik dan kondisi eksternal apapun bagi pembentukan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam rumusan singkat, sebuah bangsa hanya dibentuk dengan sengaja. Tetapi, apa yang membuat urusan ‘kesengajaan’ ini begitu penting bagi pembentukan Indonesia ? Salah satu persoalan bangsa yang dihadapi Indonesia dalam kurun waktu menjelang pergantian abad karena tidak adanya konsistensi dalam pelaksanaan prinsip kebhinekaan dan keekaan sesuai dengan semangat motto kenegaraan kita. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman dengan implikasi pemaksaan dari atas telah ikut mendorong tumbuhnya perasaan tidak puas daerah kepada pusat, yang pada urutannya ikut memicu pergolakan daerah ditambah dengan tipisnya kadar keadilan dalam pembagian kekayaan nasional, khususnya kekayaan yang datang dari daerah bersangkutan, pergolakan daerah mudah sekali berkembang menjadi perlawanan untuk memisahkan
146
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
diri (separatisme). Sekarangpun, dalam semangat pemekaran wilayah di beberapa daerah masih rawan berhadapan dengan ancaman terganggunya kesatuan negara yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Berkenaan dengan hal di atas, tindakan yang terbaik ialah kembali kepada konsistensi semangat motto bangsa, Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, penghargaan pola-pola budaya daerah dan pengakuan hak masingmasing untuk mengembangkan budaya di daerah harus dilakukan. Warga bangsa harus menerima kebhinekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu dibarengai dengan upaya memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dipandang sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk "berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan". Sebagaimana telah dikemukakan di atas, "perlombaan" itu akan menciptakan suasana penyuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak ada budaya daerah yang terkecualikan. Penutup Tidak ada yang menyangkal bahwa bangsa Indonesia dibangun atas beranekaragam suku bangsa, ras, agama, dan golongan sosial ekonomi, dan budaya. Nasionalisme bangsa Indonesia dibangun dalam konstruksi yang penuh dengan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa
nasionalisme akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup bagi warga bangsanya. Selama lebih kurang enam puluh tahun merdeka, bayangan-bayangan itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan yang diimpikan itu akan terwujud. Namun berbagai tantangan masih banyak menghadang dalam perjalanan untuk menegakkannya. Fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, kesenjangan generasi, dan masih banyak lagi, merupakan hambatan yang bersifat internal. Sementara itu tantangan dari luar, nasionalisme kita dihadapkan pada fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan. Hambatan internal dan eksternal tersebut niscaya mempengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila secara mantap dan konsisten bangsa ini berupaya keras untuk meminimalisasi hambatan-hambatan tersebut, kalau tidak mungkin mengeliminir fenomena yang dihadapi bangsa ini, sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain. Semoga.
Menggugah Kesadaran Nasional Mempengaruhi Kebhinekaan Indonesia (H. Agung Hartoyo)
Daftar Pustaka Adorno, T. W., Frenkel Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. N. (1950)., The Authoritarian Personality. New York: Harper & Brothers. Breuilly, John (1995)., Reflections on nationalism. In: Woolf, Stuart, (ed.) Nationalism in Europe: from 1815 to the present. Routledge, London, UK, pp. 137-154. ISBN 9780415125635. Gellner, Ernst. 1983. Nations and Nationalism. Ithaca NY. Cornell University Press. Kedourie, Elie. (1960) 1993. Nationalisme. Oxford: Blackwell. Mutis, T.; Rahardiansah, T.; Prayitno, A. (2005). Perdamaian dan Anti Kekerasan: Merajut Mozaik Budaya Bangsa. Jakarta : Ussakti, Press. Peter Rosler Garcia (2006). Mapping The Global Future. www.mykhilafah.com. Smith, Anthony. (1991). National Identity. London: Penguin. van Peursen, C.A. (1976). Strategi Kebudayaan, (Terj. Dick Hartoko), Kanisius, Yogyakarta. Samovar, Larry A. and Porter, Richard E. (1991). Basic Principles of Intercultural Communication. In Larry A. Samovar and Richard E. Porter: Intercultural Communication: A Reader. CA, USA : Wadsworth, Inc.
147