MENGGUGAH KEPEDULIAN REMAJA TERHADAP MASALAH KEPENDUDUKAN Oleh: Wahyu Roma Ratnasari
Ada cita-cita besar yang ingin diraih oleh pemerintah dalam hal pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) hingga akhir tahun 2014. Cita-cita besar yang dimaksud adalah terwujudnya “Penduduk Tumbuh Seimbang” yang ditandai dengan Total Fertility Rate (TFR) 2,1 dan Net Reproduction Rate (NRR) =1. Cita-cita pemerintah ini dapat terbaca dengan jelas apabila kita melihat visi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Visi tersebut adalah “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dengan misi “Mewujudkan Pembangunan yang Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”. Adapun tujuan yang ingin dicapai yakni terwujudnya keseimbangan kebijakan kependudukan guna mendorong terlaksananya pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan kependudukan serta terwujudnya penduduk tumbuh seimbang melalui pelembagaan keluarga kecil bahagia sejahtera. Ada dua alasan mendasar mengapa pemerintah begitu getol mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang di tahun 2015. Kedua alasan mendasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, dilihat dari sisi jumlah, penduduk Indonesia terbilang sangat besar. Menurut Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. Angka ini menduduki ranking ke empat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah China (1,3 milyar jiwa), India (998,1 juta jiwa) dan Amerika Serikat
(276,2 juta jiwa). Yang menjadi persoalan adalah bila jumlah penduduk yang besar ini tidak diimbangi dengan kualitas yang memadai, maka tidak akan pernah menjadi modal pembangunan, justru menjadi beban pembangunan. Dalam catatan terakhir, Human Development Index (HDI) bangsa kita menduduki peringkat ke-124 dari 187 negara di dunia atau urutan ke-6 dari 10 negara ASEAN setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sebuah realitas bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang menguntungkan bagi pembangunan. Kedua, dilihat dari sisi pertumbuhannya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah mengalami kenaikan. Padahal pada periode 20 tahun sebelumnya, LPP negara kita terus menurun. Bila di tahun 1971-1980 saat program KB dijadikan program nasional LPP mencapai 2,32 persen, di tahun 1980-1990 telah menurun menjadi 1,97 persen dan di tahun 1990-2000 turun lagi menjadi 1,45 persen. Sementara di tahun 2000-2010 justru naik menjadi 1,49 persen. Walaupun kenaikan ini hanya kecil, namun bila dibiarkan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Bahkan sangat dimungkinkan akan menjadi ledakan penduduk yang tidak terkendali. Sekarang ini, setiap tahun jumlah penduduk Indonesia bertambah sekitar 3,5 juta jiwa yang setara dengan jumlah penduduk Singapura. Dengan demikian dapat dihitung berapa pertambahan penduduk negara kita per tahun bila LPP semakin naik sementara jumlah penduduk terus bertambah banyak. Penduduk tumbuh seimbang adalah sebuah cita-cita pemerintah yang ideal dan patut kita dukung bersama. Yang menjadi pertanyaan adalah mampukah dalam kurun waktu 2 tahun mendatang cita-cita tersebut dapat diraih? Lalu dengan cara apa agar di
masa mendatang LPP yang tinggi dapat diturunkan lagi terutama yang melibatkan para remaja kita? Pertanyaan tersebut perlu dilontarkan mengingat TFR kita berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 masih berkutat di kisaran 2,6 anak per Wanita Usia Subur (WUS). Kondisi ini tidak ada perubahan dalam lima tahun terakhir, karena berdasarkan SDKI 2007 TFR kita sudah mencapai 2,6 anak per WUS. Ini berarti, bila di tahun 2015 kita menargetkan TFR menjadi 2,1 anak per WUS dibutuhkan kerja keras BKKBN beserta jajarannya untuk mendongkrak capaian peserta KB baru dan mempertahankan kelestarian peserta KB aktif. Hal itu tentu sangat tidak mudah. Di tengah perubahan lingkungan strategis, BKKBN khususnya di daerah sekarang ini menghadapi dilema terkait dengan keterbatasan pendanaan dan SDM. Sementara di kabupaten/kota di mana BKKBN telah lebur menyatu dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya pasca pemberlakuan otonomi daerah, menghadapi persoalan yang lebih pelik. Disamping keterbatasan dana dan SDM (dalam hal ini Petugas Lapangan KB) yang terus menyusut karena mutasi dan pensiun, juga mengalami keterbatasan dalam hal dukungan sarana prasarana. Mungkin ini tidak menjadi persoalan bagi kabupaten/kota yang kaya sumber daya alamnya sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya cukup tinggi. Namun persoalannya sebagian besar kabupaten/kota yang ada di Indonesia kondisinya kurang menguntungkan. Tentu ini menjadi sebuah tantangan
tersendiri bagi pemerintah bersama
segenap komponen bangsa yang telah bertekad mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang
di tahun 2015 mendatang. Apalagi BKKBN sebagai institusi yang
bertanggung jawab dalam pengendalian LPP telah menetapkan bahwa Contraceptive Prevalence Rate (CPR) – istilah lain Peserta KB Aktif – dengan cara modern di tahun 2014 adalah sebesar 65 persen, sementara sekarang ini capaiannya baru 58 persen. Lebih dari itu, menurunkan Unmet Need (PUS ingin ber-KB tidak terlayani) menjadi 5,0 persen sementara kondisi sekarang masih dalam kisaran 11 persen. Kemudian menurunkan Age Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 tahun dari 35 menjadi 30 per 1000 perempuan serta meningkatkan median usia kawin pertama perempuan dari 19,8 menjadi 21 tahun. Namun apapun tantangannya, upaya menuju Penduduk Tumbuh Seimbang tidak boleh terhenti. Lebih-lebih warning terkait implikasi dari jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah kita rasakan bersama, misalnya tingginya angka pengangguran (mencapai 7,14 persen dari angkatan kerja 116,5 juta), banyaknya penduduk miskin (31,02 juta jiwa atau 13,3 persen dari total penduduk, tingginya Angka Kematian Ibu (228/100.000 kelahiran hidup), Angka Kematian Bayi (34/1.000 kelahiran hidup) dan lain-lain. Salah satu solusi yang saya tawarkan adalah melalui pendidikan kependudukan pada para remaja kita. Mengapa pendidikan kependudukan dan mengapa pula sasarannya remaja? Menjawab pertanyaan yang pertama, yakni mengapa dengan pendidikan kependudukan,
secara
umum
dapat
dikemukakan
alasan
bahwa
terjadinya
pertumbuhan penduduk yang cepat lebih banyak disebabkan karena belum adanya kesadaran warga negara di negara kita terhadap permasalahan kependudukan yang ada. Belum adanya kesadaran ini karena memang mereka belum memiliki pengetahuan
yang cukup tentang kondisi kependudukan di Indonesia. Kondisi yang dimaksud mencakup jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, dan kualitas penduduk serta kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat. Kemudian terkait dengan pertanyaan yang kedua, mengapa sasarannya remaja. Alasan yang dapat saya kemukakan adalah bahwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS), populasi anak remaja di Indonesia mencapai tidak kurang dari 67,9 juta jiwa atau 28,6% dari total penduduk Indonesia 137,6 juta jiwa. Para remaja ini dilihat dari kaca mata
demografis merupakan penduduk yang punya potensi besar
untuk
meningkatkan pertambahan penduduk mengingat mereka sebentar lagi akan berkeluarga dan memiliki anak dengan jangka waktu reproduksi yang masih panjang. Bila para remaja ini tidak mengerti dan memahami tentang masalah kependudukan secara komprehensif termasuk masalah kesehatan reproduksi, bukan tidak mungkin mereka akan berpandangan bahwa memiliki anak lebih dari dua adalah sah-sah saja. Bahkan yang lebih parah lagi, bila pemahaman tentang kesehatan reproduksi tidak baik, para remaja ini bisa saja terjebak pada pergaulan bebas dan mengalami “kecelakaan” yang berpengaruh langsung terhadap pertambahan penduduk. Pendidikan Kependudukan sendiri merupakan pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kesadaran mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan penduduk dan program-program pembangunan untuk menaikkan taraf hidup rakyat melalui jalur pendidikan baik
formal,
non-formal dan informal. Pendidikan
kependudukan diharapkan dapat mendukung pencapaian visi Program KB yakni
“Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dan Millenium Development Goals (MDGs) serta Pembangunan Berwawasan kependudukan. Dengan pendidikan kependudukan dipastikan para remaja akan memiliki 4 (empat) sikap peduli, yakni: (1) Peduli terhadap manusia dan kebutuhannya, (2) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan kehidupan ekonominya, (3) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan kehidupan sosial, budaya dan agama, (4) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan lingkungan hidup. Persoalannya, memang tidaklah mudah memberikan pendidikan kependudukan ini pada para remaja kita. Setidaknya ada tiga faktor penyebab mengapa hal ini sulit dilakukan. Pertama,
siapakah
yang
akan
menjadi
penyelenggara
sekaligus
yang
memberikan materi tentang pendidikan kependudukan tersebut baik yang di jalur formal, non formal maupun informal. Tidak boleh dilupakan pula bagaimana pembiayaannya dan dukungan sarana prasarananya. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan jumlah Petugas Lapangan KB di lini lapangan maupun di level kabupaten. Kedua, respon lembaga/instiusi khususnya pihak sekolah yang dipastikan tidak akan langsung menerima pelaksanaan pendidikan kependudukan tersebut, mengingat selama ini kegiatannya sudah sangat padat. Sehingga hampir tidak ada celah waktu dan tempat lagi bagi pihak luar untuk menyelenggarakan pendidikan kependudukan di sekolah formal bila tidak ada trik-trik khusus agar kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar. Apalagi masih banyak kepala sekolah/guru yang belum memiliki pengetahuan cukup memadai tentang kependudukan sehingga respon mereka terhadap pendidikan
kependudukan juga kurang optimal.. Di lingkungan keluarga, para orangtua juga belum banyak yang tahu tentang pendidikan kependudukan ini. Ketiga, adalah sebuah realitas bahwa sekarang ini dengan perkembangan teknologi informasi dan industri telekomunikasi telah menyebabkan para remaja kita sibuk dengan aktivitas pribadinya seperti menonton televisi, melanglang buana di dunia maya melalui internet, berkomunikasi melalui HP, Tablet, Gadget, atau bermain games dan aktivitas lainnya yang bersifat pribadi. Sehingga setelah jam- jam sekolah mereka hampir tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya apalagi dalam pertemuan resmi di dusun atau desa. Menurut pemikiran saya, ada empat upaya yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi
permasalahan
tersebut
agar
nantinya
pelaksanaan
pendidikan
kependudukan dapat berjalan lancar baik melalui jalur pendidikan formal, non formal maupun informal. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, menggemakan perlunya pendidikan kependudukan sebaik mungkin melalui kegiatan promosi seluas-luasnya melalui semua saluran media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang ada seperti televisi, radio, internet, jejaring sosial (facebook, twitter), pemasangan pamflet, baliho, pembuatan mural/lukisan dinding, penyebarluasan leaflet, stiker, dan sebagainya. Dengan demikian para remaja kita menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan kependudukan tersebut. Kedua, mengemas pendidikan kependudukan sebaik mungkin sehingga menumbuhkan minat remaja untuk mengikutinya dan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan kependudukan ini dapat tercapai. Bila perlu, penyampaian materi
pendidikan kependudukan ini dikemas dalam bentuk diskusi, debat, atau dalam bentuk permainan/outbond. Penggunaan semacam kantong pesan kependudukan untuk mempermudah jalannya proses pertemuan penyuluhan merupakan ide kreatif yang dapat dilakukan dengan melibatkan nara sumber yang berkompeten, misalnya pakar kependudukan, pakar pendidikan atau pakar kesehatan. Ketiga, perlu adanya upaya penyiapan SDM yang berkualitas dalam hal pendidikan kependudukan ini melalui kegiatan pelatihan yang intensif oleh BKKBN sebagai penanggungjawab kegiatan ini. Peserta pelatihan adalah para kepala sekolah/guru, tokoh formal dan non formal, kepala keluarga dan remaja terpilih yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan para remaja atau masyarakat pada umumnya. Akan lebih bagus bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh pelajar atau tokoh pemuda yang berpengaruh di lingkungannya. Keempat, pemerintah khususnya BKKBN perlu berkolaborasi/bermitra dengan semua elemen masyarakat dalam kegiatan pendidikan kependudukan ini, baik itu tokoh formal, non formal, maupun informal melalui upaya advokasi yang efektif dan berkelanjutan. Termasuk di dalamnya tokoh-tokoh LSM atau lembaga masyarakat yang peduli terhadap pendidikan kependudukan ini. Sementara untuk pembiayaan, selain pemerintah
dapat
menganggarkan
lewat
APBN
maupun
APBD,
dapat
juga
menggerakkan potensi lainnya (misalnya perusahaan) guna mengembangkan kegiatan sehingga dapat menjangkau kalangan yang lebih luas. Bila beberapa upaya tersebut apabila dapat direalisasikan, maka saya yakin bahwa mindset atau pola pikir para remaja akan berubah ke arah yang positif seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan wawasan mereka terhadap masalah
kependudukan dan dampaknya. Setidak-tidaknya mereka
mau menunda usia
perkawinan dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang positif serta berkeluarga cukup memiliki
kelak jika
dua anak saja dalam rangka ikut mengatasi masalah
kependudukan di Indonesia terutama yang terkait dengan kuantitas penduduk dan pertumbuhannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya menggugah kepedulian remaja terhadap masalah kependudukan akan berjalan efektif apabila itu dilakukan dengan pendidikan kependudukan yang terencana dan berkelanjutan. Dari kepedulian ini kita bisa berharap bahwa para remaja sebagai generasi penerus akan berperilaku hidup yang berwawasan kependudukan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mengatasi masalah kependudukan masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia saat ini. Semoga.
Wahyu Roma Ratnasari Ketua PIK Remaja “Kenari” Desa Giripurwo Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo