AGNES VAN GAAL
LOVE TRAVELER
Penerbit Ninut Publisher
LOVE TRAVELER Oleh: Agnes Van Gaal Copyright © 2013 by Agnes Van Gaal
Penerbit Ninut Publisher
Desain Sampul: Aprilia Caesari Dewi
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
SATU Panggilan itu datang saat aku sedang menghabiskan masa jeda tugas di rumah orang tuaku. ‘Kiran, Selasa ada rapat. Proyek baru. Wajib datang, tidak ada alasan apapun yang dapat diterima untuk segala keterlambatan dan ketidakhadiran. Tidak ada lagi kehabisan tiket, pengalihan rute, atau burung kenari yang masih membutuhkan kasih sayang mama Kiran.’ Tuuuut….. Nada putus langsung terdengar bahkan sebelum aku sempat mengucapkan satu suku kata. ‘Oh ya Dea, terima kasih atas basa-basinya!’ omelku. Dengan sebal aku mulai memupus impian untuk bersantai selama seminggu ke depan di rumah masa kecilku. Yang benar saja! Sekarang Sabtu, dan Selasa aku sudah harus stand by di dalam kantor Raymond, bosku yang menyebalkan. Jika Dea ada di kantor pada Sabtu sore, berarti proyek ini benar-benar mendesak. Dan di sinilah aku sekarang. Minggu siang dalam perjalanan ke ibukota Indonesia. Tiket kereta api ekonomi yang kubeli terlipat aman
3
dalam satu-satunya tas yang aku bawa. Bukannya tidak mampu membeli tiket dengan kelas yang lebih tinggi, tapi berkumpul dengan bermacam-macam karakter pengguna jasa angkutan massal ini selalu menjadi obat mujarab mengatasi kejenuhan. Pengorbanannya adalah aku terlihat sangat mencolok di gerbong ini. Kulit coklat tembaga. Tinggi 165 (cukup tinggi bagi wanita ras Melanesia). Badan langsing dan rambut hitam lurus sepinggang. Banyak yang bilang wajahku eksotis. Banyak juga yang bilang aku bisa jadi fotomodel bertampang judes. Hei! Bukan salahku dong wajahku kelihatan judes, meskipun kenyataannya aku memang jarang tersenyum. Setelah perjalanan panjang diselingi dengan berbagai kejadian khas gerbong ekonomi, akhirnya aku tiba di Jakarta. Malam sudah larut. Taksi di stasiun pun hanya tinggal beberapa. Aku langsung menuju rumah kontrak yang kuhuni bersama Susan, sahabatku mulai aku mulai belajar bicara sampai sekarang. Susan berkulit putih bersih, yang kadang bikin aku jengkel bila ada yang mulai membandingkan warna kulit kami. Black and White. Susan memiliki kecantikan khas dambaan setiap pria yang menginginkan ibu bagi anak-anaknya, feminin dan anggun. 4
Walaupun Susan juga tidak berkeberatan melakukan berbagai hal-hal gila bila dia menginginkan. Dasar, wanita bermuka dua. ‘Susi, Sus,’ panggilku begitu aku membuka pintu depan. ‘Susi… Kamu sudah berangkat mimpi ya?’ Kubuka pintu kamar dan kudapati Susan meringkuk tidur dalam selimut di atas ranjangnya. Matanya sedikit bergerak-gerak. Berbagai keping VCD berserakan di lantai. ‘Tidak usah pura-pura. Memangnya aku tidak tahu kalau kamu habis nonton VCD sebanyak ini.’ lanjutku. ‘Susi sudah pindah’ katanya, masih dalam posisi pura-pura tidur. ‘Terus ini siapa? Ratu Amidala yang sedang menyamar?’ Susan selalu menganggap bahwa dirinya adalah titisan Ratu Amidala dalam film Star Trek. Akhirnya Susan bangkit dengan cemberut. ‘Aku Ratu Susan. Jangan panggil-panggil pakai nama Susi. Tidak keren sama sekali’ Aku melangkah menjatuhkan diri di sampingnya. ‘Dari dulu kan namamu Susi. Di akta lahir pun sudah tertulis Susi Ambarwati’ godaku sambil merebut selimut yang dipakainya. ‘Ralat. Ratu Susan Ambarwati!’ bentaknya, merebut kembali selimut yang kupakai.
5
Aku tertawa dan menyalakan kembali VCD yang tadi dimatikan tergesa-gesa. Terlihat Hugh Grant dan Julia Roberts sedang berciuman dalam Nothing Hill. ‘Ya ampun Sus, berapa kali kamu nonton film ini. Sepertinya bibir Hugh Grant dan Julia Roberts sampai kebas harus beradegan ciuman terus’ ‘Seandainya aku Julia Roberts, kamu harus sering-sering memutar film ini. Biar aku harus ciuman terus dengan Hugh Grant. Jadi walaupun kamu sedang bekerja, VCD on terus. Lima kali sehari tidak apa-apa deh. Seminggu 35 kali ciuman. Sebulan 150 kali. Haah, rela banget. Nanti setelah sebulan ganti Bridget Jones’s Diary. Aku jadi Renee Zelweger. Ciuman lagi sama Hugh Grant. Setiap bulan ganti film lagi, yang penting aktor utama pria harus tetap Raja Hugh Grant yang Agung’ Susan nyerocos, dan aku ngorok di sebelahnya, terkena radiasi daya khayalnya yang benarbenar tidak masuk akal. ‘Kiran….! Kirana Paramita! Tidur di kamarmu sendiri!’ teriakan Susan menggelegar, mengalahkan dentang Big Ben di London sana. ‘Proyek ke mana lagi sih?’ Pagi itu, Susan bertanya tujuan perjalananku selanjutnya. Kami sedang sarapan roti isi di meja dapur. 6
‘Tidak tahu’ sahutku. ‘Kamu tahu kan gaya Dea. Efisien dalam berkata-kata. Terkadang aku bertanya-tanya apa faktor itu yang membuatnya terpilih sebagai sekretaris Raymond. Bicara cepat berarti hemat dalam segalanya. Hemat waktu, hemat pulsa telepon, yah, hal-hal semacam itulah’ Sarapan pagi selalu menjadi waktu berkualitas bagi aku dan Susan untuk mengobrol masalah pekerjaan. Dengan pekerjaanku yang selalu mobile dan kesibukan Susan sebagai public relation sebuah perusahaan garmen, kami jarang mempunyai kesempatan untuk sering mengobrol. Sejak lulus kuliah beberapa tahun lalu, aku langsung diterima bekerja di salah satu seksi Departemen Pariwisata. Pekerjaanku cukup menyenangkan di Seksi Publikasi dan Dokumentasi untuk keperluan promosi pariwisata di seluruh Indonesia. Salah satu program jangka panjang Departemen Pariwisata adalah untuk mendokumentasikan segala potensi alam, sosial, serta budaya yang dimiliki Indonesia untuk dikumpulkan dalam satu data base pariwisata. Bersama tim khusus, aku sering bepergian ke seluruh pelosok Indonesia untuk membuat dokumentasi selengkap dan semenarik mungkin tentang kekayaan Bangsa Indonesia 7
yang layak untuk dikunjungi. Tugas utamaku adalah menulis buklet tentang obyek yang didokumentasikan. Beberapa minggu yang lalu tim kami menyelesaikan proyek dokumentasi candi Prambanan dan Ratu Boko, perajin gerabah Kasongan di Jogjakarta, hiruk-pikuk Malioboro, kehidupan keraton Jogja, serta potret sehari-hari masyarakat yang masih memegang teguh adat budaya Jawa. Bila ada masa jeda tugas—artinya cuti bersama—aku selalu menghabiskannya di rumah orang tuaku. Tempat di mana aku masih bisa tidur di ranjang tuaku, makan masakan lezat ibuku, dan berjalan-jalan santai bersama ayahku. ‘Raymond masih sering bergenit-genit dengan kamu?’ tanya Susan sambil menggigit potongan terakhir roti isinya. Aku menganggukkan kepala tanpa mengalihkan pehatian dari koran yang kubaca. ‘Aku bertemu dia kemarin. Waktu makan siang. Sepertinya dia juga mencoba bergenitgenit denganku. Tapi Raymond lumayan tampan kan?’ lanjut Susan. Khas Raymond. Mencoba merayu setiap makhluk wanita yang dilihatnya. Kutatap Susan sambil memicingkan mata, ‘Lalu bagaimana tanggapanmu? Raymond selalu mencoba memforsir auranya saat berhadapan dengan wanita’ 8
‘Tentu saja aku bersikap layaknya seorang Ratu Amidala. Tetap santun dan anggun menghadapi segala situasi. Bahkan situasi yang bisa membuat wanita panas dingin dan kehilangan kontrol diri’ ‘Jangan katakan kamu tertarik padanya. Yah, Raymond memang tampan, tapi..’ ‘Kiran, aku tahu bagaimana kelakuannya. Dari segala ceritamu, lagipula aku kan pernah beberapa kali bertemu dan mengobrol dengannya’ potong Susan yang segera berdiri mengambil jus jeruk dalam lemari es. Sebentar. Apakah aku melihat sekilas kilatan aneh di matanya? Hmm. Sepertinya ada yang tidak beres.
9