Alin Ifa
Hadiah Terbaik
Penerbit AFTSA Publisher
HADIAH TERBAIK Oleh: Alin Ifa Copyright © April 2016 oleh Alin Ifa
Penerbit: AFTSA Publisher Depok Desain Sampul: AFTSA Printing and Design a.k.a AFTSA Studio
Dilarang mengutip, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin penulis.
SAY NO TO PLAGIATOR! Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com 2
Cerita ini hanya fiktif belaka. Silakan dinikmati bagaimana dua kata yang menjadi
judulnya
berhasil
diterjemahkan
menjadi sebuah cerita roman oleh penulis. Terima
kasih
sebesar-besarnya
kepada
nulisbuku.com yang menerbitkan dan kalian yang sudah bersedia menyimpan karya ini di rumah masing-masing. Terima kasih juga kepada Tuhan yang Maha Esa, orang tua, keluarga, dan sahabat—Mufidah Karimah
yang
sudah
bersedia
menjadi
proofreader, semua mahasiswa di Sasindo 02SINPA; yang sudah bersedia mendukung proses penerbitan novel ini.
With big love, Alin Ifa
3
~PROLOG~ Author POV “Hhh…hhh…hhh…hh…” Dia masuk ke ruang kosong apa saja dalam kapal itu. Sama sekali tidak peduli dengan resikonya, pun dengan guntur yang menyambar di langit Bremen— sebuah kota pelabuhan di Jerman Utara. Dia hanya ingin kabur. Ukuran tubuh Negara asalnya tidak menyiutkan nyalinya sama sekali untuk lari dari keseharian yang menurutnya seperti neraka itu. Tak lama, pintu masuk kapal tertutup. Untung. Jelas untung. Bocah yang baru saja menginjak usia 14 tahun itu beruntung masih berotak memilih kapal pesiar bintang sekian sebagai tumpangan ilegalnya. “Hei!” Tatapannya menegang. Dia menoleh ke sekeliling ruang mesin, tempatnya berdiri sekarang ini. Sekujur tubuhnya bergetar, meski tangannya erat memegang sebuah buku bersampul Chairil Anwar.
4
Chairil Anwar. Yah, siapa yang tidak tau penyair itu? Tapi tak terlintas sedikitpun di dalam kepalanya, kalau itulah yang membuat orang yang memergokinya berubah pikiran. “Chairil?” Dia menoleh. Oh, ada dua orang. Keduanya terlihat mirip di matanya. “…Ayah, dia suka Chairil! Dia suka nulis puisi.. Boleh kita membawanya serta di kapal ini?” Bahasa. Dia tahu kedua orang yang ternyata ayah dan anak itu orang Indonesia, sama dengannya. Tapi, apa itu artinya ada penumpang ilegal lain di kapal ini? Dia tidak tahu. “Ya sudah…” “…Nak, siapa namamu?” Si ayah mendekatinya dengan kemarahan yang berangsur hilang. Di kepalanya, sudah tenang saja karena dia punya alasan untuk membiarkan anak ini tinggal. Anak ini akan dipekerjakan sebagai awak kapal, berbagi tugas dengan anaknya. “D-Dinan….” “Dinan?” Si ayah mengulurkan tangan padanya. Tersenyum, ramah. “Selamat datang di kapal kami.” 5
“Y-ya..” Dia menyambut tangan si ayah. “Kenalkan, saya Fandi, dan ini anak saya; Tio.” Dari sanalah bocah nyastra bernama Dinan itu seperti merasakan adanya orang yang sama sekali tidak menunjukan peduli kosong padanya. Otak 14 tahunnya sadar ini cuma sementara. Tapi dia sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya. Bulat, dia satu pikiran dengan geraknya bahwa inilah kesempatan mengejar mimpinya yang lain. Mengejar hadiahnya di akhir nanti, dengan kunci sampul ini. Sampul…yang nyatanya ia colong dari buku orang tersayangnya yang baru saja tiada. Naumi…apa saya bisa tetap mewujudkan mimpi saya…kemanapun kapal ini berlabuh??.. Dan suara di pikirannya seakan menyahut dengan pasti, lanjutkan, apapun itu… Temukan hadiah terbaik kamu…. Temukan mimpi kamu. Dinan meyakinkan diri dengan sugesti itu. Dalam diam yang sudah tak sekalut tadi, dia setuju untuk memulai berpetualang.
6
Sangat jauh berbeda, dan nun jauh di sana, seorang gadis 11 tahun tengah sesengukan dalam tekukan lututnya. Sudah sejak terbangun tadi dia menangis. Tak ada yang tahu sebabnya apa, selain dia sendiri. Dari luar, suara pria yang lebih dewasa pun sama sekali tidak membuatnya membuka pintu untuk membantu ditenangkan. Dia stagnan. Diam sediam-diamnya di sudut tempat tidur. Pelan, mulut mungilnya menggumamkan satu nama. “Ibu…” “Ibu kapan pulang..? Riri kangen…” “Riana?!! Buka pintunya sayang!!”—Suara yang masih bernada sama, jelaslah tak akan mengubah tanggapan gadis bernama-panggil Riana dan Riri itu. “Ariana??” Suara pria di luar kamarnya berangsur melembut, menyebutkan nama lengkapnya. Brak! Pintu didobrak—sebagai jalan terakhirnya. Dan kalian tahu? Ini sudah yang kesekian kalinya. “Sshhh…”
Sang
ayah
menggapai
tubuh
itu,
meluruskan lutut Riri dan mendekapnya. “…Jangan kunci pintu lagi kalau tidur…tolong..” “Ayah takut kamu sampai berbuat kalap..” 7
Tatapan sendu Riri berubah sepenuhnya jadi marah. Meski matanya masih berkabut bulir bening itu, dia sanggup mendorong tangan ayahnya. Keras, hingga beliau sendiri tersentak. “Harusnya ayah jangan biarin ibu pergi waktu itu!!” “Harusnya ayah kasih kesempatan buat Riri ngerasain ulang tahun terbaik di hidup Riri!! HARUSNYA AYAH CEGAH IBU PERGI!!!” Pria itu diam. Seragam masinis yang masih menempel
di
tubuhnya,
bertuliskan
“Farhan
Rismunandar”. Tapi dibalik balutan itu, dia sungguhan mencerna amukan anaknya akan dua kata; “hadiah terbaik” dan “ibu”. Jauh di dalam hatinya, seketika Farhan ragu bisa memberikan dua itu sebelum masa remaja anak semata wayangnya selesai. Parahnya, dia pun ragu untuk berusaha mencari dua hal itu sebelum dibiarkan datang kembali hanya karena terlalu takut akan respon dari paksaan kembali itu. Farhan sadar tidak bisa menceritakan alasannya pada Riri. Anak itu masih terlalu kecil untuk mengerti, kalau keberadaan Farhan disini lah yang malah menghancurkan impian ibunya yang ingin memiliki 8
seorang yang dicintai dan mencintainya, yang ingin memiliki orang itu sebagai hadiah terbaik yang diberikan Tuhan untuknya. Farhan menghancurkan semuanya dengan berada di sisi Riri dan istrinya. Nur—orang yang justru sejak dulu menjadi the onenya—masih tidak bisa terima kalau dia harus satu rumah dengan orang yang sama sekali bukanlah hadiah terbaiknya—tapi justru di saat yang sama dia harus menerima kenyataan kalau hadiah terbaiknya sendiri lah yang telah menghancurkan hidup damainya dulu. Rumit, ya. Tapi Farhan masih bisa mengerti dan menerima itu. Riri? Dia tidak yakin anak itu akan mencernanya dengan cepat…. Alhasil, tanpa bisa menjelaskan, dia hanya diam dan lanjut makin mendekap Riri. Membiarkan tangis anaknya membasahi seragamnya. Kamu…pasti akan mendapatkan itu, Nak.. Ayah janji…
~HADIAH TERBAIK~
9