ESA NUGRAHA PUTRA
11 HARI USUS BUNTU
Penerbit Esa Publisher Sukabumi, 2012
11 HARI USUS BUNTU Oleh: Esa Nugraha Putra Copyright © 2012 by Esa Nugraha Putra
Penerbit Esa Publisher esanugrahaputra.blogspot.com
[email protected] Desain Sampul: Esa Nugraha Putra
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Thanks God, for watching me Mom,mom,and dad for everything My team, Rina, Awan, & Asay, good job!
3
DAFTAR ISI
1.
Alien, Pertanda, dan Masalah Diagnosa
5
2.
Dialog Dua Kucing
20
3.
Operasi itu dan Tante Jessy
39
4.
The Incredible Haji Alih
60
5.
Sepak Bola Aneh
73
6.
Suster Backpacker
96
7.
Pendeta Nyasar
115
8.
Dukun Bertindak
134
9.
Pendekar Mie Ayam
143
10.
Tuhan Buka Kartu
160
11.
Jamuan
184
4
Bab I Alien, Pertanda, dan masalah diagnosa.
Aku sadar, telentang di atas kereta dorong yang melaju perlahan memasuki lorong berwarna biru langit. Lampu lampu terang bergerak di atas kepalaku. Di ujung lorong, aku dibaringkan di tengah ruangan sebesar 6 X 6 meter, dengan posisi mirip Yesus kristus : posisi salib, seperti yang sering kulihat di gereja gereja. Sebuah lampu bundar besar mengapung di tengah ruangan dan tepat mengarah ke perutku. Tangan kiriku dibebat selaput hitam yang mengembang dan mengempis tiap berapa menit. Sebuah monitor menyala dengan tampilan angka angka dan bunyi denyut berirama. Tiga alien masuk tanpa bersuara. Tubuh meraka sama birunya denagan warna ruangan. Tak ada rambut, mulut, tanda kehidupan hanya tampak dari gerakan bola mata mereka. Tiba tiba alien pertama dengan cekatan menusukkan jarum kecil dan mencerap darah dari jemari tangan kiri. Setelah bunyi 5
mirip poliponik HP, mukanya mengangguk pada dua alien lain yang berdiri di belakang kepalaku. Alien kedua mulai menyingkap bagian perutku. Bahasa tubuhnya menunjukan sedang menyidik nyidik bagian tertentu dari penggilingan makananku. Mulutnya menggumamkan kata kata tak jelas. Alien ketiga nampaknya lebih periang. Kudengar dia mendendangkan lagu di balik masker yang ketat menutup mulutnya. Kucoba keras mengenali lagu apa yang dia nyanyikan. Namun otakku yang sudah setengah mati ketakutan enggan diajak berpikir. Tiba tiba dia meraih tangan kananku dan mulai menancapkan selang selang kecil di nadiku. Rasa dingin mulai menjalari lengan. Setelah itu dunia menjadi gelap….. ***** Entahlah, orang boleh percaya pada tahayul atau tidak. Tetapi beberapa pertanda boleh jadi dikirim oleh Tuhan sendiri karena mengandung kebenaran faktual. Dan kepadaku, Tuhan, lagi lagi percaya atau tidak, mengirim pertanda pertandanya lewat sebuah mobil ! Ceritanya begini. Empat tahun yang lalu, Aku membeli sebuah Honda Accord Prestige keluaran 1988. Itu berarti umur mobil itu hampir sama dengan umur istriku, Ninok. Pemilik lama, seorang kenalan yang petugas pajak, dengan berat hati menjualnya berhubung untuk waktu yang lama akan ditempatkan di luar pulau Jawa. Kondisinya lumayan. Di speedometer tertera jarak yang pernah ditempuh tidak lebih dari 100.000 6
km. Jadi begitulah, mobil ini berpindah tangan. Tak ada kejadian aneh aneh pada saat itu. Pertanda itu datang pada bulan Rhamadan dua tahun yang lalu. Pada hari itu, diluar kebiasaan, aku ogah ikut kendaraan dinas yang biasa ditumpangi rame rame menuju tempat kerja yang cukup jauh, Palabuhanratu, 60 km dari kota Sukabumi. Peristiwanya terjadi saat pulang kerja sekitar ashar. Di tengah perjalanan, Si Putih, demikian kami memanggilnya karena mobil kami berwarna putih, tiba tiba mogok dengan sebab yang jarang terjadi : baut perseneling copot. Belum habis kaget karena mogok yang tiba tiba, nada dering SMS berbunyi. Kulihat pesannya : Kendaraan dinas mengalami kecelakaan tabrakan face to face atau polisi menyebutnya adu banteng dengan sebuah bis. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Namun beberapa rekan mengalami luka yang cukup parah sehingga memerlukan waktu pemulihan berbulan bulan. Kondisi kendaraan benar benar mengenaskan terutama di bagian muka yang hancur lebur. Mengingat kerusakan yang terjadi, adalah keajaiban tidak terdapat korban jiwa dalam peristiwa itu. Aku sungguh termangu. Bila menghitung hitung waktu, maka saat mogoknya si putih hampir berbarengan dengan saat tabrakan terjadi. Sulit untuk menerima bahwa kejadian itu hanya kebetulan belaka, coaccident. Lebih seperti by design yang didalangi oleh Tuhan sendiri. Tetapi mengapa harus lewat mobil? 7
Kejadian kedua, kali ini ditengah keramaian kota Bandung. Tiba tiba saja cooling fan berhenti berputar dan menyebabkan suhu mesin terus menaik. Mobil ngambek dan berhenti di tengah kemacetan. Kebayang suara klakson dan caci maki segera bersahutan memekakkan telinga. Butuh setengah hari untuk memanggil bengkel. Akhirnya acara untuk menikmati akhir pekan di Bandung batal, dan kami kembali ke Sukabumi menjelang magrib. Malamnya Ninok mengeluh sakit perut yang parah. Aku segera membawanya ke UGD. Dokter jaga memutuskan untuk rawat inap. Setelah penelitian seksama, dideteksi istriku mengidap kehamilan entropik, kehamilan diluar kandungan. Dan segera harus dioperasi. Operasi berjalan sukses, namun kami kehilangan kesempatan untuk menambah anggota keluarga saat itu. Co accident ? Peristiwa terakhir menimpaku tahun ini, tahun shio naga air. Hari itu aku seperti biasa berangkat kerja dengan mengendarai Si Putih. Tempat kerjaku terletak di atas bukit sehingga mobil diforsir dengan gigi satu sejauh satu kilometer sebelum sampai di gerbang kantor. Dan terjadilah kejadian itu. Saluran radiator bawah pecah sehingga terpaksa aku pulang dengan meninggalkan Si Putih di kantor. Pada saat itu aku ngak ngeh bahwa lagi lagi Tuhan mengirim pertandanya, sekali lagi, lewat mobilku. Bahkan petunjuk itu agak terlalu jelas. *****
8
Sepulang ke rumah, aku didera sakit perut yang sangat. Mula mula disangka sakit perut biasa atau masuk angin. Namun karena selewat pukul 10 malam sakit tidak juga mereda, maka aku memutuskan pergi ke Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) Rumah Sakit Bunut di temani Ninok. Tetangga sebelah kami berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada Ninok. Namun Pemandangan di ruang IGD tidak begitu menyenangkan. Aku dibaringkan di meja periksa. Tak jauh dari tempatku berbaring, sebuah keranjang jenazah telah disiapkan. Rupanya baru saja ada pasien yang meninggal di ruang periksa. Pikiranku melayang jauh. Ninok bergidik. Dokter Jaga, seorang perempuan berjilbab, nampak menanyai Ninok. Beberapa anggukan membawa dokter itu mendekati pembaringanku. Dia menekan nekan perutku. “ Apakah ada mencret ? ” tanyanya menyelidik. Bahasanya kaku. Jelas bukan lidah orang Sunda, lebih ke dialek Melayu. “ Tidak ” jawabku. Kali ini dia memakai stetoskop, mendengarkan suara suara dalam perutku. “ Barangkali punya maag ?” “ Ya, tapi ini bukan rasa maag, Dok ” kataku membantah. Dokter itu kelihatan tidak begitu tertarik dengan argumenku. Aku sering kali heran dengan perbincangan antara dokter dengan pasiennya. Pola komunikasi mereka rata rata singkat, patah patah, dingin, nyaris monolog,
9
dan tanpa kompromi. Pada saat saat seperti ini, kadang kadang aku merindukan Najwa Sihab. Kemudian pemeriksaan beralih ke kuku kuku tangan. Ditekan tekannya kuku kuku jemari tanganku. Entah maksudnya apa. Kelihatannya dia tidak menemukan pertanda apapun disini. “ Sabar yah, kita akan ambil sampel darahnya dulu ”. Tak berapa lama seorang paramedis mengambil sampel darah. Menunggu lagi. Sementara keranjang jenazah mulai meninggalkan ruang, diiringi tangis beberapa pengantar. Di bangsal lebih dalam aku menghitung 10 meja periksa yang semuanya terisi penuh pasien. Sebagian besar didampingi pengantar sehingga ruang bangsal terasa sesak. Udara terasa pengap walau ruangan itu berAC. Banyak nian pasien gawat darurat malam itu. Seorang ibu muda yang hamil tua belakangan masuk dengan muka meringis. Sementara laki laki yang mengantar, nampaknya suaminya, kelihatan tolol celingak celinguk mengintip kompartemenku. Apa maksudnya. Aku melotot sejadi jadinya. Perawat menggiringnya ke ruang tindakan kebidanan. Dasar @&$*#!!!. Hasil tes darah sudah didapat. Dari seberang meja kerjanya, dokter jaga berseru : “ Punya gula, yah? ” Aku membulatkan jempol dan telunjuk tanda OK ( kenapa ngak nanya Ninok saja, atau maksudnya ngejek? ). Sebenarnya belum pernah aku secara 10
serius memeriksakan diri di lab ihwal gula darah ini. Namun beberapa kali Ninok menunjukan serbuan semut di kamar mandi bekas ku pipis. Jadi aku mengatakan „ok‟ karena sekumpulan semut iseng tadi. Dokter mengangguk mengerti. Seorang dokter jaga lain bergabung. Kali ini dokter laki laki berpakaian taqwa (ternyata boleh berpakaian taqwa ketika bertugas, maksudnya mungkin untuk menambahkan efek tenang pada pasien). Mereka nampak berdiskusi. Dokter yang perempuan menulis resep dan menyerahkannya ke Ninok. Ninok kemudian mengajakku meninggalkan ruangan. Aku sedikit lega karena tak usah lagi melihat begitu banyak pemandangan memilukan. Kami menuju apotek, menukar resep dengan obat. “ kata mereka, ini hanya maag biasa. Sebentar juga sembuh ” celetuk Ninok sambil menunggu petugas menyiapkan obat. Dia menguap lebar. Gurat kelelahan menghiasi bawah kelopak matanya. Setelah obat siap, kami bergegas pulang. Ninok yang mengemudi. Tetapi malam masih belum akan berakhir untukku. *****
11