TINGKAT PERILAKU MAHASISWA FKUI MENGENAI PEMAKAIAN LENSA KONTAK DALAM PENCEGAHAN INFEKSI ACHANTAMOEBA SPP. DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK MAHASISWA Sinaga H1, Wahdini S2 1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Pengguna lensa kontak merupakan individu yang sangat rentan terhadap infeksi Achantamoeba spp.. Kerentanan ini dapat diperparah oleh tingkat perilaku yang kurang mengenai pemakaian lensa kontak, termasuk perawatannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat perilaku mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. di lingkungan mahasiswa FKUI ditinjau dari karakteristik mahasiswa. Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada 107 mahasiswa tingkat I hingga tingkat III dengan teknik consecutive random sampling. Analisis Chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan tingkat perilaku mahasiswa (p = 1,000) dan juga tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat perilaku mahasiswa (p = 0,128). Hasil ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak memiliki pengaruh yang cukup untuk meningkatkan perilaku responden. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui strategi yang efektif untuk meningkatkan perilaku tersebut.
Level of Compliance among Students of FKUI in Wearing Contact Lens in Preventing Achantamoeba spp. Infection and Its Correlation with Student’s Characteristics Abstract Contact lens wearer is very susceptible to Achantamoeba spp. infection. This susceptibility is associated with level of compliance. The objective of this study is to describe the level of compliance among students of FKUI based on their gender and level of education. A questionnaire was introduced in which about 107 student 1st-3rd year contact lens wearers participated in this study through consecutive random sampling. Chi-square test was used to investigate the relationship between compliance and variables, like gender and level of education. Gender did not show any statistically significant difference in the level of compliance (p = 1,000). Level of education also did not show any statistically significant difference in the level of compliance (p = 0,128). This result showed that compliance couldn’t be improved by any kind of enhancement education. So, more research on contact lens compliance are still required to know the effective strategy to increase the level of compliance. Key words: Achantamoeba spp.; contact lens; FKUI’s student characteristics; level of compliance; prevention
Pendahuluan Free living amoebae (FLA) merupakan protozoa bersel tunggal yang dapat ditemukan di sebagian besar wilayah di permukaan bumi dan dapat bertahan hidup serta bereplikasi tanpa sel inang. Habitatnya meliputi danau, sungai, kolam renang, air keran, air buangan, tanah
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
lembab, debu, tubuh manusia, dan bahkan kolam air panas sekalipun. Kista yang dihasilkan oleh FLA dapat bertahan selama beberapa tahun. Selain itu, kista tersebut resisten terhadap perubahan temperatur, pH, klorin, deterjen, dan desinfektan.1 FLA dari genus Acanthamoeba dan Naegleria dikenal dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Infeksi oleh amuba-amuba ini masih sangat jarang ditemui oleh para dokter, patolog, dan pekerja laboratorium. Namun, akhir-akhir ini, infeksi tersebut mendapat perhatian yang cukup serius seiring dengan peningkatan kasus Achantamoeba keratitis (AK), granulomatous amoebic encephalitis (GAE), dan primary amoebic meningoencephalitis (PAM). Di samping itu, para ahli masih mencari pengobatan yang efektif untuk penyakitpenyakit tersebut. Salah satu risiko AK adalah penggunaan lensa kontak dan risiko ini akan semakin meningkat ketika lensa kontak dipakai berenang.2 Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa tahun terakhir di Rural Medical College, Loni, menunjukkan bahwa prevalensi pengguna lensa kontak cukup tinggi, yaitu 17,1%. Mayoritas pengguna lensa kontak adalah wanita, yaitu 84,4%. Alasan utama menggunakan lensa kontak adalah untuk kosmetik dan kenyamanan.3 Peningkatan pemakai lensa kontak juga terjadi di Hong Kong. Diperkirakan lebih dari enam ratus ribu pengguna.4 Peneliti telah melakukan survei pada mahasiswa tingkat III FKUI yang berjumlah 244 orang untuk mengetahui berapa jumlah pengguna lensa kontak dan ditemukan lebih dari 30 orang. Banyak di antara mereka yang awalnya menggunakan kaca mata berlalih ke lensa kontak karena pemakaiannya yang lebih mudah, sederhana dan juga alasan penampilan. Penelitian Donshik et al. dan de Oliveira et al. menunjukkan bahwa banyak pemakai lensa kontak yang masih belum menyadari cara pemakaian dan perawatannya. Pengguna yang tidak patuh ini bervariasi dari 50%-99%. Kira-kira 79,1% petugas kesehatan yang menggunakan lensa kontak mengakui bahwa mereka tidak merawat lensa kontak dengan benar. Setidaknya, sepertiga pasien yang dilaporkan tidak patuh dengan rekomendasi petugas kesehatan, mengalami masalah kesehatan, ketidakpuasan, frustasi, dan hasil terapi yang buruk. Efek samping yang bervariasi mulai mata merah sampai keratitis telah dilaporkan akibat penggunaan dan perawatan yang tidak sesuai tersebut.5
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Mencuci tangan merupakan langkah yang sering diabaikan oleh pemakai lensa kontak. Sekitar 12-44% pengguna dilaporkan selalu gagal dalam langkah yang utama dan pertama ini.4 Hal yang sama dilaporkan penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran di Dow and Sindh Medical Colleges, Karachi menunjukkan 7,7% mahasiswa tidak mencuci tangan sebelum memegang lensa kontak dan juga 5,8% tidak pernah sama sekali mencuci lensa kontak mereka. Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa masih banyak mahasiswa kedokteran belum mengetahui cara penggunaan dan perawatan lensa kontak yang sesuai. Beberapa dari mereka tidak mengetahui adanya komplikasi yang potensial, bahkan mereka yang sudah mengetahuinya pun masih mengabaikan perawatannya.5 Dengan demikian, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui perilaku mahasiswa FKUI mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. dan hubungannya dengan karakteristik mahasiswa, karena penelitian seperti ini masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.
Tinjauan Teoritis Free Living Amoebae (FLA) FLA yang bersifat oportunistik dan patogen, seperti Achantamoeba spp., Balamuthia mandrillaris, dan Naegleria fowleri tergolong organisme kingdom protista yang memiliki membran inti (eukariot). FLA memerlukan oksigen untuk kelangsungan hidupnya (aerobik). Amuba-amuba ini disebut juga amphizoic amoebae karena kemampuannya untuk bertahan hidup sebagai organisme bebas di alam atau sebagai parasit di tubuh manusia dan hewan. Ketiga amuba yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan infeksi pada sistem saraf pusat.6 Jika digolongkan lebih jauh lagi, FLA merupakan protozoa bersel tunggal (uniselular) yang dapat ditemukan di hampir sebagian besar wilayah permukaan bumi.1 Dahulu, para ahli mengklasifikasikan protozoa ke dalam 4 grup, yaitu: Sarcodina (amuba), Mastigophora (flagelata), Sporozoa, dan Infusoria (siliata). Namun, saat ini, International Society of Protozoologist lebih memilih klasifikasi yang berdasarkan beberapa pertimbangan berikut ini, yaitu: pendekatan morfologi modern, jalur biokimia, dan filogenetik molekular. Sistem hierarki tradisional yang menggunakan kata “filum”, “kelas”, “subkelas”, “superordo”, dan “ordo” telah diganti oleh kosakata yang baru.6
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Menurut skema yang baru tersebut, eukariot diklasifikasikan menjadi 6 supergrup, yaitu: Amoebozoa, Opishokonta, Rhizaria, Archaeplastida, Chromalveolata, dan Excavata. Amubaamuba yang telah disebutkan sebelumnya digolongkan ke dalam supergrup Amoebozoa dan Excavata. Acanthamoeba dan Balamuthia digolongkan ke dalam supergrup Amoebozoa: Acahntamoebidae. Di lain pihak, Naegleria fowleri digolongkan ke dalam supergrup Excavata: Heterolobosida: Vahlkampfiidae. FLA lain seperti Sappinia digolongkan ke dalam supergrup Amoebozoa: Flabellinea: Thecamoebidae.6 Acanthamoeba dan Balamuthia menyebabkan penyakit kronik yang fatal, yang disebut granulomatous amoebic encephalitis (GAE). Naegleria fowleri merupakan agen penyebab meningoencephalitis nekrotik fulminan akut (PAM). Di samping itu, Acanthamoeba spp. menyebabkan keratitis.6,
7
Nagleria fowleri memasuki otak melalui nervus olfaktorius di
rongga hidung. Lain halnya dengan Acanthamoeba dan Balamuthia yang memasuki otak melalui penyebaran hematogen. Awalnya, amuba-amuba ini akan menginfeksi kulit, membran mukosa, atau paru-paru. Tentunya, penyakit-penyakit ini menghasilkan angka mortalitas yang sangat tinggi, ditambah lagi pengobatan yang ada masih belum efektif.7 Diagnosis penyakit ini biasanya dilakukan melalui autopsi, bahkan di negara-negara maju sekalipun, di mana fasilitas-fasilitas yang lengkap dan canggih telah tersedia. Namun, sayangnya, di Afrika dan Asia Tenggara, di mana HIV/ AIDS merajalela, sangat mungkin banyak kasus tidak terdeteksi oleh karena: kurangnya ahli yang mampu untuk mengidentifikasi amuba-amuba tersebut, etos kultural dan pembiayaan yang mencegah autopsi dan meningkatnya penyakit-penyakit seperti HIV/ AIDS, tuberkulosis dan malaria yang menghabiskan sumber daya nasional.6 Achantamoeba Pada tahun 1913, Pusckarew mengisolasi amuba dari debu dan menamakannya Amoeba polyphagus. Selanjutnya, pada tahun 1967, Page menamai ulang amuba tersebut menjadi Acanthamoeba polyphaga. Pada tahun 1930, Castellani mengisolasi amuba yang muncul pada kultur ragi. Untuk menghormati jasa beliau, di kemudian hari amuba tersebut diberi nama Acanthamoeba castellanii.6
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Sekarang ini, identitas lebih dari 24 spesies Acanthamoeba telah dibuat berdasarkan kriteria morfologi, yang terbagi menjadi 3 grup, yaitu: grup I dengan spesies yang besar dan ukuran kista dalam rentang 16-30 µm, grup II dengan spesies yang memiliki kista berukuran 18 µm atau lebih kecil dan grup III dengan spesies yang juga memiliki kista berukuran 18 µm atau lebih kecil, namun memiliki perbedaan morfologi kista yang lain.6 Seiring dengan berjalannya waktu, penggolongan seperti ini tidak dapat dipercaya karena adanya variasi dalam morfologi kista yang disebabkan oleh kondisi kultur. Jadi, para ahli memusatkan perhatian untuk mencari kriteria lain, seperti profil protein dan isoenzim. Pada tahun 1992, Moura et al menemukan Acanthamoeba healyi melalui kombinasi kriteria morfologi, dan profil antigenik dan isoenzim. Berdasarkan penemuan ini, spesies yang termasuk ke dalam grup I, II, dan III dapat dengan mudah dibedakan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan 3 profil isoenzim, yaitu: heksokinase, esterase, dan fosfatase asam. Lebih jauh lagi, profil Western blot dapat menunjukkan kompleksitas protein selular dengan menggunakan serum anti A. castellanii kelinci. Perbedaan karakteristik fisiologis juga telah digunakan untuk membedakan Acanthamoeba yang patogen dan nonpatogen.6 Pada Gambar 1. dapat dilihat bahwa Acanthamoeba mempunyai 2 bentuk kehidupan semasa siklus hidupnya, yaitu bentuk vegetatif atau yang biasa disebut tropozoit dan kista. Tropozoit (8-40 µm) memakan bakteri dan detritus yang ada di lingkungan dan berkembang biak melalui pembelahan biner, sedangkan kista (8-29 µm) merupakan bentuk dorman dan biasanya resisten.6,8 Dalam kondisi lingkungan yang baik, tropozoit akan bereplikasi. Namun, sebaliknya, apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan, tropozoit akan berubah menjadi kista. Kondisi lingkungan yang dimaksud, misalnya temperatur yang ekstrim di bawah 200C, pH yang ekstrim, hiperosmolaritas, hipoglikemia, dan lingkungan yang sangat kering.8
Gambar 1. Siklus hidup Acanthamoeba (Centers for Disease Control and Prevention)
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Pada Gambar 2. dapat dilihat karakteristik yang unik dari Acanthamoeba spp., yaitu adanya acanthopodia dengan ujung yang runcing yang berasal dari permukaan tubuh. Tropozoit memiliki satu nukelus, dan nukleus tersebut memiliki nukleolus yang padat dan besar serta terletak di tengah-tengah. Sitoplasmanya tampak granular halus karena mengandung banyak mitokondria, ribosom, vakuola makanan, dan vakuola kontraktil. Kista Acanthamoeba memiliki dua dinding. Dinding yang terletak paling luar, yang disebut ektokista berkerut serta mengandung protein dan lipid. Sebaliknya, dinding yang terletak paling dalam, yang disebut endokista mengandung selulosa. Bentuk endokista bervariasi, mulai dari bentuk stelata, poligonal, oval atau bola. Pada pertautan antara ektokista dan endokista terdapat sebuah pori atau lubang kecil yang disebut ostioles. Ostioles ini ditutupi oleh opercula. Kista memiliki satu nukleoulus yang padat dan terletak di bagian tengah nukleus.6
Gambar 2. Bentuk hidup Acanthamoeba castellanii6
Penemuan terbaru menunjukkan bahwa Acanthamoeba dapat juga berperan sebagai inang dari berbagai macam bakteri patogen, seperti: Legionella spp., Francisella tularensis, Mycobacterium avium, Burkholderia spp., Vibrio cholera, Listeria monocytogenes, Helicobacter pylori, Afipia felis, dan serotipe O157 Escherichia coli.6 Achantamoeba Keratitis (AK) Achantamoeba merupakan agen penyebab keratitis yang masih jarang ditemui. Namun, Acanthamoeba menyebabkan penyakit parah yang berkepanjangan disertai nyeri. Meskipun lensa kontak merupakan faktor risiko paling utama, sekitar 10% kasus AK terjadi karena trauma yang terpajan pada air atau tanah terkontaminasi amuba ini. Di negara-negara berkembang, kebanyakan kasus AK berhubungan dengan trauma.9 Kasus pertama AK muncul pada tahun 1973 di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an, kasus AK semakin mendapat perhatian karena insidensinya yang semakin meningkat akibat
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
maraknya penggunaan lensa kontak.8,9 AK tergolong penyakit infeksi mata yang paling menantang karena bersifat fatal, di mana pengobatan yang dilakukan sering mengalami kegagalan.9 Di Malaysia, kasus pertama AK dilaporkan pada tahun 1995 yang menyerang seorang wanita pengguna lensa kontak. Sejak itu, banyak kasus telah tejadi, namun belum ada pelaporan, dan pada akhir tahun 2001, setidaknya ada 10 kasus AK telah didiagnosis di Universiti Kebangsaan Malaysia Hospital.9 Infeksi Acanthamoeba yang tidak diobati dengan segera akan menimbulkan ulserasi pada kornea, sehingga pasien akan kehilangan ketajaman penglihatan dan bahkan kebutaan. Biasanya, hanya satu mata yang terinfeksi. Namun, infeksi pada kedua mata telah dilaporkan.6 Lebih dari 3 kasus AK telah teridentifikasi di Chicago. Pada Agustus 2006, para ahli telah memperkirakan lebih dari 5000 kasus di Amerika Serikat. Peningkatan kasus AK juga telah dilaporkan di Inggris dan India. Sebagian besar kasus AK di Amerika Serikat dan Inggris diasosiasikan dengan penggunaan lensa kontak, namun lain halnya di India yang disebabkan oleh trauma kornea.6 Amuba yang telah mencapai mata akan melekat pada epitel kornea yang dibantu oleh reseptor spesifik, yang disebut reseptor manosa dan ion kalsium. Setelah berikatan, Acanthamoeba akan menginfiltrasi stroma dan menyebabkan nekrosis jaringan.6 Jenis Lensa Kontak Pada dasarnya, lensa kontak terdiri atas 3 jenis, yaitu: hard, gas-permeable, dan soft. Jenis rigid atau hard adalah lensa pertama yang dikembangkan pada tahun 1960-an. Jenis ini terbuat dari PMMA (polymethyl methacrylate). Sifatnya tahan lama dan oksigen tidak dapat menembus lensa. Lensa jenis rigid tidak terlalu nyaman, sehingga sudah jarang digunakan saat ini.5 Lensa jenis gas-permeable terbuat dari campuran bahan yang keras dan lunak. Jenis ini merupakan produk pengembangan lensa jenis rigid terbaru yang dibuat dari plastik dan material lainnya, seperti silikon dan fluoropolimer. Kombinasi bahan seperti ini menyebabkan oksigen dapat melewati lensa secara langsung. Lensa ini digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan soft lens karena alergi. Di lain pihak, lensa jenis soft digunakan bahan
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
seperti HEMA (hydroxyethyl methacrylate). Derajat hidrasinya bervariasi antara 30-81%. Lensa jenis ini memiliki kemampuan menyerap air, sehingga air membutnya lebih fleksibel sekaligus memberikan jalan agar oksigen mencapai kornea.5 Insidensi keratitis mikrobial akibat lensa kontak bervariasi menurut jenis dan modalitas lensa. Di antara banyak jenis lensa kontak, lensa jenis rigid gas permeable yang digunakan per hari memiliki angka insidensi lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis soft yang juga dipakai per hari. Untuk lensa jenis soft, insidensi mikrobial keratitis meningkat 4,5 sampai 6 kali, ketika lensa digunakan dalam jangka waktu yang lama.4 Faktor Risiko Keratitis Mikrobial Akibat Lensa Kontak Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggunaan lensa kontak meningkatkan risiko keratitis secara signifikan. Penggunaan lensa kontak yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan mengganggu metabolisme dan menurunkan mekanisme pertahanan kornea, sehingga lebih rentan terhadap infeksi. Risiko keratitis mikrobial meningkat 3,51 kali pada penggunaan yang tidak terjadwal dalam satu malam.4 Epitel kornea yang utuh merupakan pertahanan fisik primer untuk mencegah perlekatan patogen. Gangguan terhadap pertahanan fisik ini, seperti trauma meningkatkan risiko keratitis mikrobial dan risiko semakin meningkat apabila trauma disebabkan oleh agen yang terkontaminasi. Trauma kornea akibat lensa kontak dapat terjadi karena: lekukan pada sisi lensa, alergi cairan pembersih lensa, dan benda asing atau gelembung udara yang teperangkap di bawah lensa. Penyakit kronis dan sistem imun yang lemah juga merupakan faktor risiko terkena keratitis mikrobial. Dengan demikian, pasien dengan diabetes, infeksi HIV, artritis reumatoid, atau karsinoma memiliki risiko yang tinggi mengalami keratitis mikrobial.4 Tingkat kepatuhan dalam menjaga kebersihan lensa atau perawatan lensa merupakan faktor risiko
utama
lainnya.
Lebih
dari
91%
pengguna
lensa
kontak
menunjukkan
ketidakpatuhannya dalam perawatan lensa. Hal ini menyebabkan mikroorganisme berkolonisasi pada lensa dan akhirnya mencapai mata. Faktor risiko potensial adalah penggunaan steroid, pencucian lensa dengan cairan yang tidak steril, adanya kontak antara lensa atau tempat penyimpanan lensa dengan air keran, status sosioekonomi yang rendah, jenis kelamin pria, merokok, dan riwayat perjalanan ke iklim panas.4
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Tingkat Kepatuhan terhadap Perawatan Lensa Kontak Ketidakpatuhan dikenal sebagai penyebab kegagalan terapi penggunaan lensa kontak. Kepatuhan menurut Ashburn et al. (2008) didefinisikan sebagai “tingkat perilaku pasien yang sesuai dengan anjuran klinis“. Para ahli telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara ketidakpatuhan pada instruksi perawatan lensa kontak dengan munculnya tanda dan gejala patologi mata. Pada tahun 1986, Collins dan Carney yang menemukan 74% dari responden tidak mematuhi setidaknya satu prosedur perawatan lensa kontak. Mereka juga menemukan bahwa perilaku tidak patuh tersebut menyebabkan munculnya keluhan pada mata.4 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Chun dan Weissman pada tahun 1987. Dari 50 responden yang diteliti, diperoleh 40% responden yang tidak patuh dengan perawatan lensa yang telah dianjurkan. Selain itu, Chun dan Weissman mengidentifikasi kelompok usia 10-30 tahun dan lebih dari 50 tahun cenderung lebih tidak patuh. Lebih jauh lagi, pengguna lensa kontak yang lebih dari 2 tahun lebih tidak patuh dibandingkan pengguna yang masih baru.4 Penelitian Sokol dan koleganya pada tahun 1990 menemukan 46% responden tidak mematuhi prosedur perawatan lensa. Beberapa perilaku tidak patuh yang ditemukan para ahli berupa:4 •
Tidak membersihkan tangan dengan benar sebelum dan sesudah memakai lensa kontak
•
Tidak membersihkan dan mendisenfeksi lensa kontak setiap hari
•
Tidak merawat perlengkapan tambahan lensa kontak
•
Tidak mengganti lensa kontak secara teratur
Sekitar 12%-44% pengguna lensa kontak dilaporkan gagal untuk selalu mencuci tangan mereka sebelum memakai lensa kontak (Collins dan Carney, 1986; Sokol et al., 1997; Turner et al., 1993; Gower et al., 1994; Claydon et al., 1997). Pengguna lensa kontak yang mengabaikan kebersihan tangan sebelum memakai lensa kontak masih ditemukan sebesar 44%. Kebersihan tangan merupakan langkah pertama perawatan lensa kontak dan hal itu tidak sulit untuk dipahami. Namun demikan, cukup banyak pengguna lensa kontak dilaporkan tidak patuh terhadap langkah pertama ini.4 Di samping itu, penelitian Sokol dan kolega pada tahun 1990, Claydon dan kolega pada tahun 1997, serta Coopersmith dan Weinstock pada tahun 1997, menemukan pengguna lensa kontak
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
yang menggunakan lensa kontak lebih lama dari jangka waktu yang telah ditentukan. Ironisnya, penelitian Claydon dan Sokol menambahkan sebesar 56% pengguna lensa kontak masih memakai lensa kontak selama berenang dan mandi. Mereka juga melaporkan sekitar 26% pengguna tidak melepas lensa kontak ketika mata merah dan teiritasi. Hal ini menunjukkan sebagian pengguna tidak peduli waktu yang tepat menggunakan lensa kontak dan pentingnya melepas lensa ketika abnormalitas muncul.4 Studi oleh Turner dan kolega serta Claydon dan kolega melaporkan terdapat beberapa responden, yang walaupun dalam persentase kecil, masih menggunakan air keran, bahkan saliva untuk membersihkan lensa kontak mereka.4 Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran tingkat akhir di Loni, India menunjukkan sekitar 20,68% mahasiswa menggunakan cairan pembersih lensa kontak yang disiapkan sendiri, misalnya air rebusan atau air keran. Selain itu, penelitian ini juga menemukan 18,96% mahasiswa tidak melepaskan lensa kontak mereka sewaktu tidur. Penelitian yang dilakukan Feys menyebutkan bahwa pemakaian lensa kontak selama semalam merupakan salah satu faktor predisposisi keratitis di samping higienitas yang buruk serta lensa kontak dan tempat penyimpanan yang terkontaminasi. Mahasiswa yang menggunakan lensa kontak dalam waktu yang lama mengalami beberapa keluhan, seperti: mata kering, mata merah, air mata berlebih, nyeri, fotosensitivitas, dan penglihatan kabur. Dalam penelitian ini, 10% mahasiswa tidak mengikuti jadwal yang sesuai untuk mengganti lensa kontak mereka.7 Alasan Ketidakpatuhan Pengguna Lensa Kontak Untuk mengetahui alasan seseorang tidak patuh dengan perawatan lensa kontak mereka, pada tahun 1990, Sokol dan kolega menginvestigasi masalah ini dengan health belief model. Sokol dan kolega menemukan pengguna di bawah usia 30 tahun dan mereka yang memakai lensa kontak untuk kosmetik serta kenyamanan cenderung lebih tidak patuh.4 Pada tahun 1998, Ky dan koleganya menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa tidak cukupnya pengetahuan tentang perawatan lensa kontak yang benar merupakan salah satu alasan rendahnya tingkat kepatuhan.4
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam kurun waktu 5 bulan, terhitung sejak tanggal 25 Januari 2013 sampai dengan 23 Juni 2013. Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang dilakukan mahasiswa FKUI tingkat I, II, dan III tahun ajaran 2012/ 2013 yang melibatkan 106 responden dengan teknik consecutive random sampling. Kuesioner terdiri atas 5 pertanyaan dengan nilai tertinggi 10 dan nilai terendah 0. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa FKUI serta populasi terjangkau adalah mahasiswa FKUI yang menggunakan lensa kontak dan menjalani pendidikan di tingkat I, II, dan III. Selanjutnya, seluruh populasi terjangkau tersebut dijadikan sebagai sampel penelitian. Namun, objek yang benar diteliti adalah sampel penelitian yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria penelitian harus memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out. Kriteria inklusi, yaitu mahasiswa FKUI tingkat I, II, dan III yang menggunakan lensa kontak dan bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi, yaitu subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi, tetapi tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena menolak dijadikan sebagai subyek penelitian. Kriteria drop out, yaitu mahasiswa yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. Variabel yang akan diteliti meliputi variabel dependen, yaitu tingkat perilaku mengenai perawatan lensa kontak serta variabel independen, yaitu tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Tingkat perilaku dapat digolongkan menjadi 3 kategori menurut rumus Sudjana (2005), yaitu: baik apabila total nilai jawaban benar ≥ 8; cukup apabila total nilai jawaban benar antara 4-7; dan kurang apabila total nilai jawaban benar ≤ 3. Kedua variabel di atas akan diolah dengan menggunakan SPSS 16 for Windows untuk mencari hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat perilaku mahasiswa dan juga hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat perilaku mahasiswa. Interpretasi data dilakukan dengan analisis Chi-square dan uji alternatif Kolgomorov-Smirnov untuk data yang tidak memenuhi persyaratan uji Chi-square.
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Hasil Penelitian Dari tabel 4.1 di bawah ini dapat dilihat bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak dibandingkan responden laki-laki. Tabel 4.1 Persebaran Karakteristik Responden Variabel Bebas Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Tingkat I Tingkat II Tingkat III
Jumlah
Persentase
23 74
23,7 76,3
36 19 42
37,1 19,6 43,3
Dari tabel 4.2, dapat dilihat bahwa hanya sebanyak 3 responden yang memiliki perilaku kurang, yaitu dengan skor total pertanyaan benar ≤ 3. Tabel 4.2 Gambaran Tingkat Perilaku Reseponden mengenai Pemakaian Lensa Kontak dalam Pencegahan Infeksi Achantamoeba spp. Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang
Jumlah 63 31 3
Persentase 64,9 32,0 3,1
Dari tabel 4.3 di bawah ini dapat dilihat bahwa masing-masing variabel bebas yang diuji terhadap variabel terikat dengan uji Chi-square didapatkan bahwa nilai p > 0,05. Dengan demikian H0 diterima, yaitu tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin mahasiswa FKUI dengan tingkat perilaku mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. (p = 1,000). Kemudian, tidak terdapat juga hubungan antara tingkat pendidikan mahasiswa FKUI dengan tingkat perilaku mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. (p = 0,128). Tabel 4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Tingkat Perilaku Variabel Bebas
Baik
Tingkat Perilaku Cukup Kurang
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Tingkat I Tingkat II Tingkat III
15 48
6 25
Nilai Kemaknaan (p) 1,000
16 6 9
Chisquare
2 1 0,128
18 12 33
Uji
2 1 0
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Chisquare
Pembahasan Persentase Pengguna Lensa Kontak Mahasiswa FKUI Persentase pengguna lensa kontak mahasiswa FKUI dalam penelitian ini adalah 13,8%. Mayoritas pengguna adalah perempuan (76,3%), dengan perbandingan perempuan dan lakilaki adalah 3,2 : 1, sedikit lebih rendah daripada studi yang dilakukan oleh Giri PA et al. di India, yaitu 5,4 : 1. Gambaran tingkat perilaku responden mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. juga sudah cukup memuaskan, yaitu hanya 3,1% saja yang masih berperilaku kurang. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Perilaku Responden mengenai Pemakaian Lensa Kontak dalam Pencegahan Infeksi Achantamoeba spp. Kepatuhan (compliance) berasal dari bahasa Latin, yaitu “complere”, yang artinya adalah berperilaku sesuai dengan aturan, harapan ataupun anjuran. Seseorang akan patuh terhadap suatu anjuran klinis apabila: ia tertarik akan kesehatannya, ada orang lain yang memotivasi dan mengetahui 5 prinsip helath belief model, yaitu: kerentanan, keparahan, keuntungan, halangan, serta efikasi.10 Ketidakpatuhan dapat menyebabkan kegagalan terapi. Pada tahun 1986, Collins dan Carney melaporkan bahwa adanya hubungan yang sangat kuat antara ketidakpatuhan dengan munculnya tanda dan gejala selama pemakaian lensa kontak.4 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat perilaku responden mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. (p = 1,000). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Madhavendra Bhandari dan Hung Pei Rou yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan (perilaku yang sesuai anjuran klinis) (p ˃ 0,05). Penelitian ini hanya menunjukkan bahwa pendapatan responden secara statistik berhubungan dengan perilaku membersihkan tempat penyimpanan lensa setelah memakai lensa tersebut (p = 0,022).11
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Penelitian yang dilakukan oleh Noushad et al. juga menunjukkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini. Jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik dengan tingkat kepatuhan (p = 0,496).12 Human Belief Model yang diperkenalkan oleh Becker dan Maiman pada tahun 1958 telah dikembangkan untuk menilai alasan-alasan dibalik perilaku tidak patuh para pengguna lensa kontak. Model ini menunjukkan bahwa terdapat banyak kesempatan untuk tidak patuh terhadap suatu prosedur, terutama apabila pasien mempercayai konsekuensi dari tindakan mereka tersebut tidak akan terjadi. Rendahnya tingkat kesadaran terhadap faktor risiko karena kepercayaan inilah yang menjadi salah satu pemicu ketidakpatuhan.10 Penelitian yang dilakukan oleh Bui et al. menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesadaran terhadap faktor risiko dengan jenis kelamin (p = 0,535).13 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan responden. Penelitian ini memberikan hasil yang tidak bermakna secara statistik mungkin disebabkan oleh beragamnya faktor psikologis dan eksternal yang mempengaruhi tingkat perilaku atau kepatuhan. Faktor psikologis yang mempengaruhi kepatuhan seseorang meliputi: persepsi terhadap kerentanan dan keparahan penyakit, keuntungan yang akan dirasakan, serta biaya yang akan dikeluarkan. Kemudian, faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat kepatuhan dapat berasal dari lingkungan keluarga, teman, sekolah/ pekerjaan, komunitas, pengalaman sebelumnya terhadap sistem kesehatan, kepuasan pelayanan kesehatan, serta agama.10 Jenis kelamin tidak memiliki kaitan dengan faktor psikologis maupun eksternal tersebut. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Perilaku Responden mengenai Pemakaian Lensa Kontak dalam Pencegahan Infeksi Achantamoeba spp. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat perilaku responden mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. (p = 0,128). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Madhavendra Bhandari dan Hung Pei Rou di Sabah, Malaysia. Sampel penelitian dikelompokkan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu pendidikan di bawah S1 atau sederajat dan di atas S1. Mereka menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan yang bermakana secara statistik dengan tingkat kepatuhan (perilaku terhadap anjuran klinis) (p ˃ 0,05).11
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Ch Vijay Kumar dan Yousef D yang melakukan penelitian terhadap 50 wanita pengguna lensa kontak di Arab Saudi mengatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Akan tetapi, hasil penelitian mengindikasikan bahwa pendidikan tambahan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan.14 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Claydon et al. pada tahun 1997. Penelitian dilakukan pada 2 kelompok selama 12 bulan terhadap 80 responden pengguna lensa kontak. Semua subyek dalam setiap kelompok diperlakukan sama, namun subyek dalam kelompok 2 diberikan informasi tambahan, baik berupa: video, poster, pengingat, brosur, dan daftar tilik. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kepatuhan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok tersebut. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Yung Mo Sze di Hongkong dan menunjukkan bahwa strategi pemberian informasi/ pendidikan tambahan pada responden pengguna lensa kontak tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan tingkat kepatuhan/ perilaku (p ˃ 0,05).4 Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Yousef Aldebasi pada mahasiswi pengguna lensa kontak di Arab Saudi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan berhubungan signifikan secara statistik dengan tingkat kepatuhan/ perilaku (p ˂ 0,05).15 Hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pendidikan dan tingkat perilaku responden mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. mungkin disebabkan oleh tingginya tingkat kepatuhan para mahasiswa FKUI, baik tingkat I, II, maupun III. Walaupun tingkat III telah mempelajari modul Penginderaan, informasi tambahan yang mereka peroleh di tingkat III mengenai kerentanan pengguna lensa kontak terhadap infeksi mata oleh Achantamoeba spp. tidak memberikan hasil yang bermakna, sebab tingkat kepatuhan atau perilaku dipengaruhi oleh hal-hal yang kompleks, mulai dari faktor psikologis sampai faktor eksternal. Selain itu, lensa kontak yang mereka gunakan mungkin sebagian besar diperoleh dari dokter mata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memperoleh lensa kontak dari dokter mata memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik (p = 0,001).12
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
Kesimpulan 1.
Persentase pengguna lensa kontak pada mahasiswa FKUI adalah 13,8%.
2.
Tingkat perilaku mahasiswa FKUI mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp. sudah cukup memuaskan, dengan 63 responden berperilaku baik, dan 31 responden berperilaku cukup.
3.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p = 1,000) antara jenis kelamin mahasiswa FKUI dengan tingkat perilaku mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp.
4.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p = 0,128) antara tingkat pendidikan mahasiswa FKUI dengan tingkat perilaku mengenai pemakaian lensa kontak dalam pencegahan infeksi Achantamoeba spp.
Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat perilaku pengguna lensa kontak pada populasi umum di Indonesia.
Daftar Referensi 1.
Teixeira LH, Rocha S, Pinto RMF, Caseiro M M, da Costa SOP. Prevalence of potentially pathogenic free-living amoebae from Acanthamoeba and Naegleria genera in non-hospital, public, internal environments from the city of Santos, Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 2009;13(6):395-7.
2.
Init I, Lau YL, Arin FA, Foead AI, Neilson RS, Nissapatorn V. Detection of free living amoebae, Acanthamoeba and Naegleria, in swimming pools, Malaysia. Tropical Biomedicine. 2010;27(3):566-77.
3.
Giri PA, Chavan WM, Phalke DB, Bangal SV. Knowledge and practice of contact lens wear and care among contact lens users medical students of Rural Medical College, Loni, Maharashtra, India. Int J Biol Med Res. 2012;3(1):1385-7.
4.
Sze YM. Longitudinal study of contact lens care in Hong Kong and the effect on interventions on compliance (thesis). The Hong Kong Polytechnic University; 2005.
5.
Quraishy MM, Khan B. Awereness of contact lens care among medical students. Medical Channel. 2009;15(4):85-8.
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014
6.
Visvesvara G S, Moura H, Schuster F L. Pathogenic and opportunistic free-living amoebae: Acanthamoeba spp., Balamuthia mandrillaris, Naegleria fowleri, and Sappinia dipliodea. FEMS Immunol Med Microbiol. 2007;50:1-26.
7.
Wannasan A, Chaiwong P, Bunchoo M, Morakote N. Occurance of thermotolerant Naegleria and Acanthamoeba in some natural water sources in Chiang Mai. Chiang Mai Med J. 2009;48(3):117-24.
8.
Kovacevic D, Misljenovic T, Misljenovic N, Mikulicic N, Novkovski DD. Acanthamoeba
keratitis-importance
of
the
early
diagnosis.
Coll.
Antropol.
2008;32(2):221-4. 9.
Kamel AGM, Faridah H, Yusof S, Norazah A, Nakisah MA. A case of trauma related acanthamoeba keratitis. Trop Biomed. 2004;21(2):135-8.
10. Sulley A. Compliance in contact lens wear-part 1. The Optician. 2005;229:24-30. 11. Bhandari M, Rou HP. Habits of contact lens wearers toward lens care in Malaysia. Med J Malaysia. 2012;67(3):274-7. 12. Noushad B, Saoji Y, Bhakat P, Thomas J. Contact lens compliance among group of young, university-based lens users in South India. Australasian Medical Journal. 2013;5(3):168-74. 13. Bui TH, Cavanagh HD, Robertson DM. Patient compliance during contact lens wear: perceptions, awereness, and behavior. Eye Contact Lens. 2010;36(6):334-9. 14. Kumar VC, Yousef. Importance of compliance in contact lens wear-a study to asssess the knowledge and practices among contact lens users for healthy vision. Int J Cur Res Rev. 2013;5(8):104-9. 15. Aldebasi Y. Assessment of knowledge and compliance regarding contact lens wear and care among female college students in Saudi Arabia. Int J Cur Res Rev. 2012;4(20):1629.
Tingkat perilaku…, Hans Sc Martogi Sinaga, FK UI, 2014