JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 12 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ANJURAN YANG DIKELUARKAN MEDIATOR HUBUNGAN INDUSTRIAL HUBUNGAN INDUSTRIAL DI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Frendy Sinaga
[email protected]
Abstrak Mencermati perbedaan pandangan yang sering berujung pada konflik antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidaklah dapat dilihat secara hitam putih semata, karena perselisihan itu timbul didasari oleh berbagai hal seperti adanya keinginan dari salah satu pihak untuk menyampaikan keinginannya secara berlebihan, kurangnya pemahaman terhadap aturan perundang-undangan yang ditafsirkan secara sepihak serta kurangnya kemampuan penegak hukum dalam menegakkan aturan perundang-undangan. Untuk mengatasi hal tesebut, maka Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Salah satu penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan adalah Mediasi yaitu suatu proses penyelesaian dengan mengikut sertakan pihak ketiga sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa diluar lembaga peradilan. Pengertian dari mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Disini mediator tugasnya mengeluarkan anjuran, apabila tidak sepakat dengan anjuran tersebut maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak yaitu dapat melanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas hukum terhadap anjuran yang dikeluarkan mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Timur dan untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan apabila anjuran yang dikeluarkan mediator tidak diterima oleh salah satu pihak. Berdasarkan penelitian, peneliti menyarankan dengan melalui mediasi ini diharapkan mendapatkan solusi atau jalan keluar dari perselisihan hubungan industrial yang terjadi dan dapat diterima oleh masing-masing pihak yang berselisihan sehingga tidak perlu melanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Kata Kunci : Perselisihan, Penyelesaian, Anjuran, Upaya Hukum.
Pendahuluan Sejak negara ini didirikan, bangsa Indonesia telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwasanya Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 tentang Ketenagakerjaan juga disebutkan dalam Pasal 28d ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Hal ini berimplikasi pada kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu perencanaan matang di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara tersebut. Seperti tercantum dalam penjelasan umum Undang-undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Mencermati perbedaan pandangan yang sering berujung pada konflik antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidaklah dapat dilihat secara hitam putih semata, karena perselisihan itu timbul didasari oleh berbagai hal seperti adanya keinginan dari salah satu pihak untuk menyampaikan keinginannya secara berlebihan, kurangnya pemahaman terhadap aturan perundang-undangan yang ditafsirkan secara sepihak serta kurangnya kemampuan penegak hukum dalam menegakkan aturan perundang-undangan. Provinsi Kalimantan Timur tahun 2012 yang memiliki ±7.358 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja ± 432.935 ini sering pula terjadi permasalahan-permasalahan mengenai perselisihan hubungan industrial antara lain perselisihan hak terdapat 266 kasus dengan jumlah tenaga kerja 4441 orang, perselisihan kepentingan diantara pekerja/buruh dan pengusaha terdapat 15 kasus dengan jumlah tenaga kerja 217 orang, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja terdapat 392 kasus dengan jumlah tenaga kerja 4274 orang yang dimana disini merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Dalam kasuskasus tersebut banyak diselesaikan dengan cara membuat perjanjian bersama yang dimana pekerja dan buruh melakukan suatu kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak atau dapat yang kita kenal win win solution dengan ditengahi oleh mediator. Dan selain itu pula, ada yang sampai pada tahap anjuran yang dimana hal ini salah satu pihak tidak puas dengan kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan secara bipartit dan maka dari itu terbentuklah suatu anjuran yang dibuat oleh mediator hubungan industrial sebagai langkah berikutnya. Dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha berkewajiban memfasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
2
Tinjauan Yuridis Terhadap Ajuran (Frendy Sinaga)
Permasalahan yang diteliti adalah mengenai efektifitas hukum terhadap anjuran yang dikeluarkan mediator hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur dan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila anjuran yang dikeluarkan mediator tidak diterima oleh salah satu pihak. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas hukum terhadap anjuran yang dikeluarkan mediator hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur dan untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan apabila anjuran yang dikeluarkan mediator tidak diterima oleh salah satu pihak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan penelitian Statue Approach (pendekatan undang-undang) dan Conseptual Approach (pendekatan konseptual). Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan yaitu melakukan wawancara langsung terhadap mediator hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur dan dokumen-dokumen tertulis. Data-data yang terkumpul kemudian akan dianalisis dalam bentuk deskripsi kalimat yang teratur, sistematis dan logis.
Pembahasan Hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja yang terbina selama ini telah turut membawa dampak yang sangat kondusif bagi perkembangan industri di Indonesia walaupun pada akhir-akhir ini tidak jarang terjadi perbedaan pendapat yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya perselisihan hubungan industrial. Mencermati perbedaan pandangan yang sering berujung pada konlik antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidaklah dapat dilihat secara hitam putih semata, karena perselisihan itu timbul didasari oleh berbagai hal seperti adanya keinginan dari salah satu pihak untuk menyampaikan keinginannya secara berlebihan, atau kurangnya pemahaman terhadap aturan perundang-undangan yang ditafsirkan secara sepihak serta kurangnya kemampuan penegak hukum dalam menegakkan aturan perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, ada 4 (empat) cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yaitu penyelesaian melalui bipartit, penyelesaian melalui mediasi, penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian melalui arbitrase. Untuk mengatasi perselisihan mengenai hubungan industrial, maka sangat diperlukan
suatu sistem
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
penyelesaian perselisian yang cepat, efisien dan efektif yang dapat menyelesaikan sengketa dengan cara cepat, efisien dan efektif serta dapat menyesuaikan dengan laju kecepatan ekonomi dan perdagangan di era globalisasi ini. Salah satu penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah disebutkan diatas adalah penyelesaian melalui mediasi. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan sukarela terhadap permasalahan yang dipersengketakan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat kita karena pada dasarnya setiap sengketa yang timbul, diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Secara nasional, azas musyawarah untuk mufakat ini dikenal melalui sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tujuan dari dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah bentuk dari kewajiban Pemerintah untuk melindungi seluruh pekerja/buruh agar roda-roda pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik dan tertib. Pemerintah tidak mengkehendaki konflik atau perselisihan diantara pekerja/buruh dan pengusaha menjadi berlarutlarut. Menurut penulis, apabila konflik atau perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha menjadi berlarut-larut maka hal tersebut tidak hanya akan menimbulkan kerugian baik di pihak pengusaha maupun di pihak pekerja/buruh saja, namun juga akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka hal ini tentu saja membuat pekerja/buruh mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap masing-masing pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan permasalahannya melalui mekanisme yang diatur dalam ketentuan dimaksud. Salah satu penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan adalah Mediasi yaitu suatu proses penyelesaian dengan mengikut sertakan pihak ketiga sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa diluar lembaga peradilan. Pengertian dari mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
4
Tinjauan Yuridis Terhadap Ajuran (Frendy Sinaga)
Mediasi
termasuk
salah
satu
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
di
luar
pengadilan/non litigasi yang dilakukan melalui seorang penengah atau yang lazim sering disebut dengan Mediator. Pada dasarnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah wajib, manakala para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para pihak yang berselisih. Penulis menganggap bahwa peran dari mediator di dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan adalah untuk melakukan analisa dan identifikasi masalah terkait dengan timbulnya permasalahan atau perselisihan
antara
pekerja/buruh
dengan
pengusaha
yang
dikuasakan
kepadanya
sehingga
permasalahan atau perselisihan dapat diselesaikan dan tidak dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Penulis diatas mengenai mediator, perlu digarisbawahi bahwa mediator tidak berwenang untuk memutuskan sengketa karena mediator tidak memiliki hak untuk itu tetapi mediator dapat berfungsi sebagai pihak untuk turut melaksanakan putusan yang diambil oleh para pihak bila kedua belah pihak sepakat untuk berdamai misalnya. Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mediator yang dipilih haruslah orang yang bersifat netral sehingga mampu menjembatani keinginan para pihak yang bersengketa. Adapun syaratsyarat untuk menjadi seorang mediator tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Cara Mediasi Pasal 3 Ayat 1 yang dimana berisikan untuk menjadi mediator, seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu Pegawai Negeri Sipil pada instansi/dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, warga negara Indonesia, berbadan sehat menurut surat keterangan dokter, menguasai peraturan perundang - undangan dibidang ketenagakerjaan, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, berpendidikan sekurang - kurangnya Strata Satu (S1) dan memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk dinyatakan mempunyai legitimasi maka pengangkatan dan pemberhentian Mediator harus didasarkan atas Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,dan Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi. Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi juga diatur mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Mediator. Adapun kewenangan Mediator tersebut terdiri dari menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakannya mediasi, meminta keterangan, dokumen-dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan tersebut, mendatangkan saksi atau saksi ahli di dalam mediasi tersebut apabila
diperlukan, membuka buku-buku dan meminta surat-surat yang
diperlukan dari para pihak dan instansi lembaga yang terkait, menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata tidak memiliki Surat Kuasa. Proses penyelesaian melalui mediasi untuk menyelesaikan perselisihan perhubungan industrial haruslah dilakukan melalui suatu proses perundingan dalam limitasi waktu yang disepakti antara para pihak dan kehadiran mediator harus mampu memberi gambaran penyelesaian yang tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Dalam pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi diatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang Mediator memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan, mengatur dan memimpin mediasi, membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai, membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan, membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial, membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Segera setelah Mediator menerima berkas perselisihan, maka Mediator tersebut
harus
melakukan hal-hal sebagai berikut melakukan penelitian berkas perselisihan, melakukan sidang mediasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan, mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan, melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat, mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama, membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan
6
Tinjauan Yuridis Terhadap Ajuran (Frendy Sinaga)
disaksikan oleh mediator, memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersama yang telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran, membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Setelah membahas mengenai tugas, kewajiban-kewajiban oleh Mediator sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi yang telah dijelaskan oleh Penulis sebelumnya diatas, maka Penulis ingin memberikan suatu pandangan mengenai keefektifan anjuran yang diberikan Mediator di dalam penyelesaian perselisihan hubungan Industrial. Penulis berpendapat bahwa memang sangat diperlukan mediator-mediator yang memiliki kemampuankemampuan khusus untuk meningkatkan tingkat keberhasilan dalam suatu proses mediasi. Menurut penulis, kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang mediator adalah sebagai berikut memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik kepada para pihak-pihak agar proses yang dilakukan tidak terlalu secara formil sehingga para pihak yang berselisih bisa berkomunikasi dengan terbuka untuk menyampaikan pandangan-pandangan atau pendapat masing-masing dan mediator pun bisa memimpin mediasi dengan baik, memiliki kesabaran ekstra pada saat proses mediasi berlangsung, karena para pihak yang berselisih kadang memiliki tingkat emosi yang tinggi sehingga sangat sering dijumpai adanya perdebatan yang sering terjadi di dalam proses mediasi yang disebabkan karena masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya masing-masing, memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap permasalahan yang ada, menguasai permasalahan yang ada dan memiliki sikap dalam menyimpulkan masalah yang sedang dihadapinya, memiliki sikap yang netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang sedang berselisih, teguh memegang prinsip untuk membela kebutuhan seluruh pihak demi mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak,memiliki kemampuan untuk memberikan saran-saran/pendapat bagi kedua belah pihak, sehingga saransaran/pendapat yang disampaikan oleh mediator tersebut bisa membujuk para pihak untuk mendamaikan para pihak guna mencapai kesepakatan. Penulis sangat berharap bahwa selain mediator mempunyai kemampuan untuk memahami persoalan yang sedang dihadapi, termasuk juga mempunyai pengetahuan-pengetahuan yang memadai terkait dengan perselisihan industrial yang dihadapi dan beberapa kemampuan lainnya, maka mediator
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
tersebut juga harus mempunyai kemampuan dalam hal pemahaman terkait dengan perundangundangan yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maupun hal-hal yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi serta peraturan perundang-undangan yang lain, khususnya yang menyangkut tentang tata cara dan prosedural, serta mekanisme-mekanisme mediasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat menjadi suatu mediator yang berkompeten yang dapat memberikan anjuran yang baik kepada pihak yang berselisih. Dalam pengamatan penulis masih saja terdapat kasus-kasus perselisihan hubungan industrial yang ditangani oleh mediator di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi khususnya bidang Hubungan Industrial tidak mendapatkan titik temu untuk pemecahan perselisihan hubungan industrial. Salah satu kasus yang terjadi pada tahun 2012 yang penulis teliti yang dimana merupakan perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja yang sampai pada dikeluarkan anjuran yang dimana kedua belah pihak telah diupayakan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat yang difasilitasi oleh Mediator Hubungan Industrial Provinsi Kalimantan Timur dengan mengundang kedua belah pihak untuk mediasi akan tetapi tidak tercapai kesepakatan dikarenakan pihak perusahaan/manajemen perusahaan yang telah diberikan kuasa tidak memenuhi panggilan untuk mediasi, dan hanya mengirimkan surat penolakan tuntutan pekerja, maka Mediator Hubungan Industrial Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dan berpedoman pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 92 Tahun 2004 sesuai tugas dan kewenangannya perlu memberikan anjuran tertulis. Setelahnya, dengan dikeluarkannya anjuran tertulis oleh mediator maka sepenuhnya hak dikembalikan kepada kedua belah pihak apakah puas dengan anjuran tersebut atau ingin mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila kedua belah pihak setuju dengan anjuran yang dibuat oleh mediator hubungan industrial dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Tetapi dalam kasus diatas para pihak mengikuti anjuran yang
8
Tinjauan Yuridis Terhadap Ajuran (Frendy Sinaga)
diberikan oleh mediator karena masih bersikeras dengan pendapat para pihak itu sendiri. Oleh karena itu anjuran yang dikeluarkan mediator kurang efektif pada kasus tersebut. Jika salah satu pihak tidak puas dengan apa yang dikeluarkan mediator, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian perselisihan tersebut dilaksanakan dengan mengajukan
gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Penutup Anjuran yang dikeluarkan oleh mediator hubungan industrial dalam penyelesaian perselisihan industrial kurang efektif. Meskipun mediator dapat menyelesaikan mediasi secara tepat waktu, mediator memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap permasalahan di bidang ketenagakerjaan, mediator mengutamakan penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat, serta mediator mampu memberikan saran-saran kepada para pihak, tetapi para pihak-pihak yang berselisih menginginkan agar kepentingan dan hak-hak dari masing-masing pihak tercapai sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan yang disebabkan karena masing-masing pihak bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya. Upaya hukum yang dapat ditempuh apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tertulis mediator, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Adapun saran terhadap permasalahan diatas adalah Anjuran yang dikeluarkan oleh mediator hubungan industrial seharusnya diterima oleh para pihak yang berselisih karena mediator hubungan industrial memahami permasalahan dibidang ketenagakerjaan agar perselisihan yang terjadi tidak menimbulkan dampak antara pihak perusahaan dan pekerja/buruh seperti perselisihan PHK, perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan, sehingga keberlangsungan produktivitas dapat berjalan lancar. Penyelesaian yang dilanjutkan di Pengadilan Hubungan Industrial diharapkan mempunyai kepastian hukum diantara para pihak yang berselisih mengenai perselisihan hubungan industrial sehingga dapat dibuatkan Perjanjian Bersama yang nantinya akan dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih.
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Daftar Pustaka Amiruddin & Asikin, Zainal, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Dirdjosisworo, Soedjono, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta. Husni, Lalu, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pitoyo Whimbo, 2010, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta. Sembiring, Jimmy Joses, 2011, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta. Simanjuntak, Payaman, 2003, Manajemen Hubungan Industrial , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Soedarjadi, 2008, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia : Panduan bagi Pengusaha. Pekerja, dan Calon Pekerja, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Soejono & Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta. Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek cet.8, CV. Mandar Maju, Jakarta. Soepomo, 1967, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnjaparamita, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta. Syahrini, Riduan, 1994, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum cetakan 1, Sinar Grafika, Jakarta. Umam, Khotibul, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Wahab, Agus, Asikin, Zainal, Husni, Lalu, Asyhadie, Zaeni, 1993, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, cet.5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wijayanti, Asri, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi
10