“SILENT REVOLUTION”: KAMPANYE, KOMPETISI CALEG, DAN KEKUATAN PARTAI MENJELANG PEMILU 2009
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Oktober 2008 www.lsi.or.id
Summary • Dalam empat tahun terakhir terekam kecenderungan yang mengarah pada perubahan peta kekuatan partai politik. Kekuatan elektoral partai lama cenderung stagnan atau menurun. PDIP dan Golkar cenderung stagnan atau tidak mengalami kemajuan elektoral secara berarti. Sementara PKB, PPP, dan PAN adalah partai lama yang cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya, Demokrat dan PKS cenderung mengalami kemajuan. • Sementara di antara partai-partai baru, hanya Gerindra yang tampil sebagai kekuatan elektoral baru yang berarti dan muncul dalam waktu yang relatif cepat. Kalau tidak ada perubahan strategi dan intensitas sosialisasi dari partai-partai di lama, maka sejumlah kecenderungan ini akan berlanjut hingga Pemilu 2009.
Summary • Survey ini menemukan bahwa stagnasi, penurunan, dan peningkatan kekuatan elektoral berbagai partai tersebut terkait erat dengan gejala menguatnya peran media massa menggantikan fungsi organisasi partai politik dalam menjangkau calon pemilih. Inilah “silent revolution”, revolusi diam-diam, yang sedang terjadi dalam kompetisi antar partai di Indonesia, yang dicerminkan oleh munculnya televisi sebagai medium utama penyebaran informasi politik dan sebagai medium persuasi paling massif. Organisasi partai semakin kehilangan relevansi sebagai saluran sosialisasi politik. • Akibatnya, hanya partai yang mampu mengakses media secara sistematik tampil lebih kompetitif dibanding partai yang tak mampu mengakses media.
Latar Belakang •
Pada tahun 1950an, partai politik mengandalkan penetrasi organisasi partai di tingkat cabang dan ranting untuk menjangkau pemilih potensial yang tinggal di perkotaan dan pojok-pojok daerah. Kini, menjelang pemilu 2009, fungsi organisasi partai itu digantikan oleh iklan politik di televisi, radio, suratkabar dan majalah, yang mana media massa ini menjanjikan cara yang lebih efisien sebagai alat penyebaran informasi dan alat persuasi. Gejala perubahan ini menandai terjadinya “silent revolution”, revolusi diam-diam, yang mengubah wajah persaingan antar partai belakangan ini.
•
Silent revolution ini, disadari atau tidak, juga berdampak pada metode seleksi calon legislative di sejumlah partai. PAN, Golkar, PD, PDIP, dan partai lainnya merekrut artis-artis yang populer melalui media (terutama televisi) dan memasukkan mereka ke dalam daftar calegnya.
•
Arena dan dimensi baru pertarungan politik ini tentu melahirkan sejumlah pertanyaan: Seberapa efektif media massa bisa menggantikan fungsi organisasi partai untuk menjangkau calon pemilih? Sejauh manakah iklan politik di media massa dianggap sebagai sumber informasi yang kredibel bagi calon pemilih?
Latar Belakang •
Dengan munculnya trend baru perekrutan caleg berdasar popularitas di media massa, dilema antara popularitas dan kompetensi caleg mengemuka. Artis yang populer belum tentu memiliki kompetensi untuk menjadi legislator. Sebaliknya, politisi yang kompeten belum tentu populer sehingga peluang mereka memenangkan kursi di sebuah dapil pun mengecil secara drastis. Untuk jangka panjang, jika trend ini terus menguat, ia akan mempengaruhi kualitas dan kinerja lembaga legislative.
•
Dengan mengandaikan kompetisi bebas, bagaimanakah peluang politisi profesional melawan artis populer dalam memenangkan pemilu legislative? Sejauh mana peluang Ferry Mursyidan Baldan, misalnya, jika dikompetisikan dengan Eko Patrio?
•
Kompetisi yang berbasis media massa akan berpengaruh juga terhadap pembentukan citra partai. Namun selalu ada kemungkinan bahwa ada “mismatch” antara citra partai yang dibangun melalui media dengan citra partai yang diidealkan oleh calon pemilih. Bagaimanakah citra partai yang ideal dalam pandangan pemilih? Di tengah perkembangan baru ini, bagaimanakah peluang masing-masing partai memenangkan pemilu legislative?
Pengukuran •
Untuk menjawab serangkaian pertanyaan itu, prospek kemenangan partai politik di pemilu legislative 2009 diukur melalui pertanyaan kepada pemilih: “Jika pemilu legislative diadakan hari ini, partai manakah yang anda pilih?”
•
iklan politik didefinisikan sebagai paket informasi yang dirancang oleh partai atau kandidat politik dan disebarkan melalui media massa dengan imbalan pembayaran.
•
Partai-partai yang memasang iklan dalam tiga bulan masa soft campaign ini adalah partai lama, termasuk Golkar, PD, PDIP, PAN, PKB, PPP, PKS, dan partai baru termasuk, antara lain, Hanura dan Gerindra.
Pengukuran •
Keberhasilan sebuah iklan politik dilihat berdasar kemampuan calon pemilih untuk mengidentifikasi partai mana yang beriklan, serta pesan apa yang disampaikan melalui iklan. Pengukuran kemampuan identifikasi ini menunjukkan tingkat kesadaran atau awareness calon pemilih terhadap partai yang sedang beriklan.
•
Selanjutnya, untuk mengetahui efektifitas iklan, survey LSI melihat sejauh mana pemilih menganggap bahwa informasi yang diperoleh dari iklan bisa dipercaya. Artinya, pemilih bisa memperlakukan iklan sebagai sumber informasi yang kredibel untuk mengevaluasi partai dan kandidat, atau sebaliknya, menganggap bahwa iklan bukanlah sumber informasi politik yang patut diperhatikan.
•
Kredibilitas iklan sebagai sumber informasi juga dipengaruhi oleh sikap partisanship dari calon pemilih. Pemilih yang sudah menentukan pilihan partai jauh sebelumnya akan cenderung melihat iklan partai tersebut dan memperlakukannya sebagai sumber informasi yang kredibel. Mereka juga cenderung lebih sensitif (cepat ingat) terhadap iklan itu. Untuk melacak ini, terpaan iklan akan dikontrol dengan sikap partisanship pemilih.
Pengukuran •
Untuk mengetahui apakah faktor popularitas artis lebih menentukan pilihan pemilih dibandingkan dengan faktor kompetensi politisi, survey ini menjalankan “eksperimentasi” dengan memasang 10 artis dan 10 politisi dalam daftar pilihan caleg. Pemilih diminta untuk menentukan satu pilihan yang diambil dari daftar tersebut.
•
Aspek lain yang dilacak adalah sifat partai yang ideal di benak pemilih, yakni sifat yang ikut menentukan pilihan partai. Sifat ideal ini mencakup empati, kompetensi, dan integritas. Empati adalah anggapan bahwa partai peduli dengan persoalan yang dirasakan pemilih; kompetensi adalah anggapan bahwa partai politik memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan; dan integritas adalah anggapan bahwa partai politik bersih dari korupsi.
Metode dan Data • Survei nasional terakhir dilakukan 8-20 September 2008. • Populasi survei: warga Indonesia berumur 17 tahun atau lebih secara nasional (dari Sabang sampai Merauke) • Sampel: nasional, dipilih secara random dengan teknik multistage random sampling: proporsional atas populasi provinsi, desa-kota, dan jender. • Jumlah sampel : 1249 • Margin of error: +/- 3% pada tingkat kepercayaan 95%.
Methodologi Survei Populasi desa/kelurahan tingkat Nasional
Prop.k
Prop.1
…
…
Ds 1 … Ds m
Ds 1 … Ds n RT1
Desa/kelurahan di tingkat Propinsi dipilih secara random dengan jumlah proporsional
RT2
RT3
….
RT5
KK1 KK2
Laki-laki
Perempuan
Di setiap desa/kelurahan dipilih sebanyak 5 RT dengan cara random Di masing-masing RT/Lingkungan dipilih secara random dua KK Di KK terpilih dipilih secara random Satu orang yang punya hak pilih laki-laki/perempuan
DEMOGRAFI KATEGORI LSI JENIS KELAMIN LAKI-LAKI 50.1 PEREMPUAN 49.9 DESA-KOTA DESA 60.9 KOTA 39.1 KELOMPOK USIA <= 19 tahun 3.6* 20 - 29 tahun 20.8 30 - 39 tahun 29.4 40 - 49 tahun 22.6 >= 50 tahun 23.5 PENDAPATAN < 400 ribu 37.1 400 - 999 ribu 36.3 >= 1juta 26.6
BPS 50.0 50.0 59.0 41.0 15.1 27.1 22.4 15.8 19.6 42.0 38.0 20.0
KATEGORI LSI BPS KELOMPOK PENDIDIKAN <= SD 52.5* 60.0 SLTP 20.3 19.0 SLTA 20.4 18.0 Universitas 6.8 4.0 AGAMA Islam 89.0 87.0 Kristen 8.7 10.0 Hindu 2.2 2.0 Lainnya 0.2 1 ETNIS Jawa 39.8 41.6 Sunda 14.6 15.4 Melayu 7.4 3.4 Madura 4.0 3.4 Bugis 1.4 2.5 Betawi 1.8 2.5 Minang 3.8 2.7 Lainnya 27.3 28.5
•Sample LSI adalah penduduk yang sudah memiliki hak pilih atau berusia 17 tahun keatas, •Sensus BPS termasuk yang di bawah umur 17 tahun.
DEMOGRAFI
KATEGORI SAMPEL PROPINSI NAD 2.3 SUMUT 4.6 SUMBAR 3.1 RIAU 2.3 JAMBI 0.8 SUMSEL 3.1 BENGKULU 0.8 LAMPUNG 3.1 BABEL 0.8 KEPRI 0.8 DKI 3.9 JABAR 15.3 JATENG 13.9 DIY 1.5 JATIM 14.6 BANTEN 3.9
BPS 1.9 5.3 2.1 2.2 1.3 3.2 0.8 3.4 0.5 0.6 3.5 17.4 15.2 1.6 16.7 4.1
KATEGORI SAMPEL PROPINSI BALI 2.3 NTB 2.3 NTT 2.3 KALBAR 2.3 KALTENG 1.5 KALSEL 2.3 KALTIM 1.5 SULUT 1.5 SULTENG 0.8 SULSEL 3.1 SULTRA 0.8 GORONTALO 0.8 SULBAR 0.8 MALUKU 0.8 MALUKU UTARA 0.8 PUPUA 0.8 IRJABAR 0.8
BPS 1.5 2.0 2.0 1.9 0.9 1.5 1.4 1.0 1.1 3.5 0.9 0.4 0.5 0.6 0.4 0.9 0.3
TEMUAN
KECENDERUNGAN KEKUATAN PARTAI
Partai yang dipilih bila pemilihan angota DPR diadakan sekarang, Sep 2008, dibanding hasil pemilu 2004 (%) 30 25
25 21.6 20
18.5 18.6
18.5
15
12.1
10
7.4
11 7.2 6.3
8.2 6.4
5.7
5
3.2
2.7
2.4
1.2
1
0 PDIP
Golkar
PD
PKS
PKB Pemilu 04
Gerinda
PAN
PPP
Sep' 08
Hanura
PMB
Lainlain
Belum tahu
Partai yang dipilih bila pemilihan angota DPR diadakan sekarang, Sep 2008 (%) 30
KL I
25
25 20
18.6
18.5
15
KL II 12.1
KL III KL IV
10 6.3
5.7
5
3.2
2.7
2.4
1.2
1
Hanura
PMB
0 PDIP
Golkar
PD
PKS
PKB
Gerinda
PAN
PPP
Lainlain
Belum tahu
Partai apa yang akan dipilih bila pemilu diadakan hari ini? Trend 2004-2008 (%)
25
24.2
24
22
20 20
18.5 18
18
13
12
10
14
11
11
14.5 14 13 13 12 11.5
12
14
20
19 17.5 18
16
15
21
14
15 13
17 16
16 13.5
18 17
19.5 20 18 17
15 13
18.6
18 16
Golkar 12.7
12
12.1 PD
10 8.7
Aliran?
5
Sep' 08
Jun' 08
Apr' 08
Jan' 08
Sept' 07
Jul' 07
Mei' 07
Mar'07
Feb' 07
Des' 06
Nov' 06
Okt' 06
Agus' 06
Mar' 06
Jan' 06
Des' 05
Sept' 05
Juli'05
Feb' 05
0 Apr'04
PDIP
18.5
17.5 17.5
9
7
19.7
14
10
11
21.1 20.5
Partai apa yang akan dipilih bila pemilu diadakan hari ini? Trend 2004-2008 (%)
12 11 10 PKS
9 8 7 6
7
7
6
6
6
4
6
6
4
2
3
3
2
2
3
3
2
7
7
6
4
3 2.5
7
5
5
4
4
4
3
3
7 6
5.5 5 4.5 3
4
6 5
4 4
3
7
4 3.5
3
4
4
3
3
4.8 4.2
5 5.1 4.5
4
3
1.0 Jun' 08
Apr' 08
Jan' 08
Sept' 07
Jul' 07
Mei' 07
Mar'07
Feb' 07
Des' 06
Nov' 06
Okt' 06
Agus' 06
Mar' 06
Jan' 06
Des' 05
Sept' 05
Juli'05
0 Feb' 05
6.3
Gerindra
5
PAN
3 3 2.4
PPP Hanura
1 Apr'04
PKB
7.6
8 7
Sep' 08
8
1.0
TEMUAN •
Studi ini menemukan kecenderungan perubahan kekuatan partai politik dalam empat tahun terakhir.
•
Partai lama cenderung stagnan atau menurun secara signifikan kecuali Partai Demokrat, yang tidak pernah mendapat dukungan di bawah perolehan suara pemilu 2004.
•
Partai Golkar dan PDIP untuk sementara masih berada pada posisi di atas tetapi tidak mengalami kemajuan berarti dibanding hasil pemilu 2004. PPP, PKB, dan PAN cenderung mengalami penurunan. Sedangkan PKS menunjukkan tandatanda kemajuan.
•
Sementara partai-partai baru gagal menampilkan diri sebagai kekuatan yang kompetitif selain Gerindra.
•
Pertanyaannya, mengapa terjadi kecenderungan peta politik di atas? Studi ini menemukan fenomena yang kami sebut “silent revolution”, yang bisa menjelaskan perubahan itu.
KAMPANYE
Memori terhadap Iklan di TV dari partai … (%)
60
51 50
42 40
31 30
27
27 22.6
20
12
11
10
5
0
Gerindra
PD
Golkar
PDIP
PAN
Hanura
PKS
PKB
PPP
Memori terhadap Iklan di Surat Kabar dari partai … (%)
25 20 15
12
12
12 9
10
7
7
6
5
5 2
2
PPP
PBB
0 PD
Golkar
PDIP
Gerindra
PAN
Hanura
PKS
PKB
Memori terhadap Iklan Di Radio dari partai … (%)
10 8
6
5
5
5 4
4
3
3 2
2
2 1
1
PPP
PBB
0
PD
Golkar
PDIP
Gerindra
PAN
Hanura
PKS
PKB
Memori terhadap Iklan di Spanduk, Poster, baliho, stiker, dll., dari partai … (%)
50 40
40
39 30
30
29 23
20
20
18
15
13
10
6
0 PDIP
Golkar
PD
PAN
PKS
PKB
Gerindra
Hanura
PPP
PBB
VIEWERSHIP IKLAN PARTAI POLITIK DI TV (%) Seberapa sering melihat iklan partai ….. Di TV (%) Base: seluruh responden
100%
34
80% 60%
9
40%
36
20%
38
41 10
0%
C TV
G
ND I ER
A
C TV
61
63
77
11
21 R
58
D
O M E
K
R
AT C TV
H
A
NU
R
Tidak pernah melihat Sekali
12
7
12
27
26
4
6
22 4
A C TV
PA
N C TV
G
O
LK
A
8 14 2
R C TV
PD
IP
Beberapa kali
Hampir tiap hari ketika ditayangkan
Iklan Partai Gerindra paling banyak ditonton, di mana 66% responden menyatakan pernah melihat iklan partai Gerindra di TV.
VIEWERSHIP IKLAN PARTAI DEMOKRAT DI TV (%)
Crossed by Party ID Seberapa sering melihat iklan partai DEMOKRAT Di TV (%)
Tidak dekat dgn parpol manapun
10
TT/TJ
10
LAINNYA
10
36
7
41
DEMOKRAT PDIP
39
15 48
4
29
10
48
38
12
41
9
33
13
45
13
GOLKAR
39
11
40
PAN
29
71
PKS
18
Gerindra
17
33
17
33
Hanura
18
18
45
100 0%
10%
Hampir tiap hari ketika ditayangkan
20%
30%
40%
Beberapa kali
50%
60%
Sekali
70%
80%
90% 100%
Tidak pernah melihat
VIEWERSHIP IKLAN PDIP DI TV (%)
Crossed by Party ID Seberapa sering melihat iklan partai PDIP Di TV (%)
Tidak dekat dgn parpol manapun 1
12
8
18
TT/TJ
8
7
12 81
21
GOLKAR 3
8
18
68 14
57
18
9
Gerindra
67
12
29
PAN PKS
64
11
4
PDIP
75
20
LAINNYA 3 DEMOKRAT
78
73
17
83 100
Hanura 0%
10%
Hampir tiap hari ketika ditayangkan
20%
30%
40%
Beberapa kali
50%
60%
Sekali
70%
80%
90%
100%
Tidak pernah melihat
VIEWERSHIP IKLAN GERINDRA DI TV (%)
Crossed by Party ID Seberapa sering melihat iklan partai GERINDRA Di TV (%)
20
Tidak dekat dgn parpol manapun
13
TT/TJ
26
26
PDIP
25
29
22
7
Hanura
41 29
10
35
14
43 45
33
Gerindra
27
17
36
PKS
14 18
67 100
0% Hampir tiap hari ketika ditayangkan
10
32
29
PAN
48
39
DEMOKRAT
GOLKAR
35
5
35
24
LAINNYA
9
37
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% Beberapa kali
Sekali
Tidak pernah melihat
100 %
Lembaga yang paling bisa menyuarakan keinginan rakyat (%) 50 40 31 30
24
23
20 11
11
10 1 0 Media massa
Ormas
Birokrasi
Partai
Lembaga lain
Tidak tahu
Keyakinan pada kemampuan partai menyuarakan kepentingan rakyat jauh lebih sedikit dibanding keyakinan pada media massa dan ormas.
29
TEMUAN •
Memori pemilih secara umum dibentuk oleh iklan televisi ketimbang oleh iklan radio dan suratkabar. Secara berurutan, iklan televisi jauh lebih berpengaruh pada memori pemilih; diikuti kemudian oleh alat sosialisasi non-media (spanduk, poster, dll); baru kemudian oleh suratkabar dan akhirnya radio.
•
Di samping itu, kredibilitas media massa juga lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga politik. Dengan demikian, informasi yang datang dari iklan politik di media bisa pula dianggap pemilih sebagai informasi yang patut dipercaya.
•
Partai-partai baru gagal memanfaatkan potensi media massa ini. Akibatnya, mereka tidak dikenal oleh pemilih.
TEMUAN •
Setelah hampir tiga bulan masa kampanye, sangat sedikit di antara partai baru yang mampu melakukan sosialisasi diri sehingga publik pada umumnya tidak tahu partai-partai tersebut.
•
Karena itu, jangankan dipilih, dikenalpun tidak. Partai-partai baru ini bisa dikatakan kurang bertanggung jawab, dan hanya memperumit sistem kepartaian.
•
Mereka tak mampu memanfaatkan media massa untuk menyebarkan informasi. Lebih parah lagi, mereka pun tak mampu mengenalkan partai ke khalayak melalui jaringan organisasinya meskipun telah lolos verifikasi dan memenuhi kriteria jumlah minimal cabang sesuai dengan undang-undang.
Eksperimen: Popularitas vs. Kompetensi
Eksperimen:
Bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang siapa yang akan dipilih dari nama-nama berikut? 10 politisi dan 10 artis (%) 18.5
Agung Laksono 5.6
Eko Patrio
5.2
Marisa Haque 4.5
Adji Masaid 3.4
Ikang Fauzie
2.9
Muhamimin Iskandar Pramono Anung
2.5
Angelina Sondakh
2.4
Dedi Gumelar
2.3
Nurul Arifin
2.2
Anas U
1.9 1.5
Tifatul S. Lukman S.
1
MS. Kaban
1
Zulifli Hasan
0.6
Zulkifli H.
0.6
Wanda Hamidah
0.5
Wulan Guritno
0.3
Priyo BS
0.2
Venna Melinda
0.1
Ferry MB
0.1
SISANYA (49%) MENJAWAB “TIDAK TAHU”.
TEMUAN •
Ada kecenderungan calon dipilih karena alasan yang sangat minimal, yakni aware dengan calon legislatif bersangkutan. Bukan karena track record calon atau alasan kompetensi lainnya.
•
Satu eksperimen menunjukan bahwa politisi yang secara kualitatif dinilai jauh lebih berpengalaman dan kompeten seperti Ferry Mursidan tidak akan menang kalau harus bersaing bebas dengan calon-calon lain yang jauh lebih dikenal seperti Eko Patrio.
•
Temuan ini menunjukkan bahwa popularitas bisa menjadi faktor yang lebih penting ketimbang kompetensi (profesionalitas) dalam mengarahkan perilaku pemilih. Bahwa Agung Laksono berada pada pilihan teratas juga berkaitan dengan seringnya dia tampil di media massa, bukan semata karena kompetensinya.
EFEK PADA CITRA KARAKTERISTIK PARTAI
CITRA KARAKTER IDEAL PARTAI
• Empati: Peduli pada persoalan yang dirasakan rakyat • Kompeten: Memiliki program yang masuk akal dan dianggap bisa menyelesaikan persoalan yang dirasakan rakyat • Integritas: Bersih dari korupsi
Sifat paling penting bagi partai sehinggi pemilih mau memilihnya (%) 50 40
32 30
29
29
20
12 10 0
Empati
Kompeten
Integrity
Tidak tahu
Partai paling punya program-program bagus untuk rakyat (%)
50
42 40
30
20
16
14 9
10
5
4
PKS
Gerindra
2
2
2
PKB
PAN
PPP
4
0
Golkar
PDIP
PD
Partai lain
Tidak ada
Partai paling bersih dari korupsi (%)
70 63 60 50 40 30 20 10
10
7
6
4
2
2
2
PKB
PPP
PAN
4
0 PKS
PD
PDIP
Golkar
Lain-lain
Tidak ada
Partai paling peduli pada kepentingan rakyat (%)
50 40
40 30 20
16
15 10
10
6
3
2
2
2
Gerindra
PKB
PAN
PPP
4
0 PDIP
Golkar
PD
PKS
Partai lain
Tidak ada
Temuan •
Golkar, PDIP, dan PD dianggap pemilih sebagai partai yang paling peduli dengan rakyat (empati) serta dianggap sebagai partai yang punya program paling baik (kompetensi). Sementara citra partai yang paling bersih dari korupsi (integritas), berurutan PKS, PD, PDIP, dan Golkar.
•
Namun demikian, jauh lebih banyak pemilih yang mempunyai persepsi bahwa semua partai politik itu tidak memiliki empati (40%), tak memiliki program yang baik (42%), dan tidak ada yang bersih dari korupsi (63%). Dengan kata lain, lebih banyak pemilih yang tidak mampu menilai secara positif tentang partai politik.
•
Apa artinya ini? Iklan dan sosialisasi yang selama ini secara gencar dilakukan oleh partai-partai politik tidaklah cukup untuk menumbuhkan harapan yang lebih positif pada partai.
Kesimpulan • Dalam empat tahun terakhir terlihat kecenderungan yang mengarah pada perubahan peta kekuatan partai politik. PDIP dan Golkar cenderung tidak mengalami kemajuan elektoral secara berarti. Sementara PKB, PPP, dan PAN cenderung mengalami penurunan. Demokrat dan PKS cenderung mengalami kemajuan. Dari partai-partai baru, hanya Gerindra yang menunjukkan kekuatan elektoral secara berarti dan dalam waktu yang relatif cepat. Kalau tidak ada perubahan strategi dan intensitas sosialisasi dari partai-partai di atas, maka kecenderungan ini akan berlanjut hingga Pemilu 2009. • Pertanyaannya kemudian, faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan kecenderungan peta kekuatan partai tersebut?
Kesimpulan • Studi ini menemukan sebuah gejala yang kami sebut “silent revolution”, dengan sifat-sifat sebagai berikut : • Media massa, terutama televisi, menggantikan fungsi organisasi partai politik untuk menjangkau calon pemilih. Inilah “silent revolution” yang sedang terjadi dalam kompetisi antar partai di Indonesia, yang dicerminkan oleh munculnya televisi sebagai medium utama penyebaran informasi politik dan sebagai medium persuasi paling massif. • Namun kekuatan media massa ini tidak secara merata mampu diakses oleh partai politik. Akibatnya, hanya partai yang mampu dan secara sistematik menggunakan media massa untuk menginformasikan dirinya ke publik yang mampu menggeser peta kekuatan partai.
Kesimpulan • Dampak “silent revolution” ini juga muncul dalam proses rekrutmen caleg oleh partai politik dimana mereka mencomot artis-artis yang populer di televisi dalam daftar calegnya. Kesimpulan berikutnya, faktor popularitas caleg bisa lebih berpengaruh terhadap perilaku pemilih ketimbang kompetensi mereka. Artis populer di televisi, dalam eksperimentasi kompetisi bebas, bisa mengalahkan politisi berpengalaman secara telak. Akibatnya, popularitas bisa mengalahkan kompetensi. • Berikutnya, dampak silent revolution juga menimpa partai-partai baru. Kegagalan mereka memanfaatkan media massa memangkas peluang elektoral mereka hampir mendekati nol. Sementara kapasitas organisasional mereka dalam menjangkau pemilih sangat rendah. Karena itu mereka hanya memperumit sistem kepartaian tanpa memberikan alternatif yang bermakna dalam kompetisi politik.