SIKAP TOKOH ICHI DALAM NOVEL SAIGO NO IKKU KARYA MORI OGAI (Melalui Pendekatan Psikologi Sastra) Oleh: Dian Setiawan Maulana
Abstrak Skripsi ini berjudul “Sikap Tokoh Ichi Dalam Novel Saigo no Ikku karya Mori Ogai”. Ichi adalah tokoh utama dalam novel Saigo no Ikku. Hadirnya novel Saigo no Ikku menghadirkan unsur-unsur konflik yang terjadi diantaranya, pada umumnya yang terdapat dalam setiap karya novel. Di samping itu, hubungan Ichi dengan tokoh lain dalam novel tersebut memperlihatkan karakter Ichi yang sangat pemberani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi sastra. Penulis menerapkan teori psikologi sastra yang menitikberatkan pada tokoh utama. Tokoh utama adalah salah satu unsure terpenting sebuah cerita, karena merupakan media utama pengarang dalam mengemukakan gagasan. Hasil analisis yang didapat adalah keberanian tokoh utama yang berani menentang para penguasa pengadilan untuk menggantikan hukuman ayahnya yang akan dihukum gantung. Dengan kegigihan dan keberaniannya tokoh utama dapat mempengaruhi para penguasa pengadilan,dan akhirnya hukuman gantung ayahnya pun digantikan dengan hukuman buang. Kata kunci: Psikologi, psikologi sastra, sikap
Pendahuluan Sebuah karya sastra merupakan suatu cerminan dari berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Perlu diketahui bahwa dalam dunia kesusastraan, fakta yang diungkapkan pengarang telah ditambah imajinasinya, sehingga fakta dalam sastra menjadi fiksi. Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Jepang modern, ada sejumlah nama penting yang tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai hal tersebut. Penulis akan mengambil satu nama besar Jepang ini adalah Mori Ogai, yang salah satu karyanya berjudul Saigo no Ikku. Sebagai pengarang yang lahir enam tahun menjelang terjadinya gerakan pembaharuan Jepang, atau yang disebut Restorasi Meiji (1968), Ogai hidup dalam masa Jepang yang sedang gencar-gencarnya melakukan segala pembaruan disegala bidang. Pada masa mudanya, dia pernah mendapat tugas belajar di Jerman, yang artinya dia juga mendapat pendidikan barat. Dalam hal ini sesuai dengan Jepang yang sedang membuka diri terhadap Amerika dan negara-negara Eropa, setelah sekian lama menutup diri dari dunia luar ( dilaksanakan Politik Isolasi atau Sakoku), sehingga Ogai pun tumbuh sebagai orang yang mempunyai pemikiran Eropa. Sebagai seorang pengarang, karya-karya yang dihasilkannya beraneka ragam. Di dalam beberapa karyanya, Ogai banyak menggunakan wanita sebagai tokoh utama, seperti Sayo dalam Yasui Fujin, Anju dalam San Shoodayu, Ichi dalam Saigo no Ikku,dan lain sebagainya. Novel Saigo no Ikku ini menceritakan keinginan seorang perempuan yang bernama Ichi, yang mempunya empat orang adik untuk menggantikan menjalani hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada ayahnya. Di dalam novel ini juga terkandung suatu perlawanan terhadap kekuasaan yang ada pada masa itu, yaitu keberanian Ichi untuk menghadap pada penguasa pengadilan. Menurut jenisnya, Saigo no Ikku digolongkan dalam novel sejarah, karena secara tidak langsung bisa menggambarkan kondisi pada saat itu, dan Ogai juga menyertakan tanggal, bulan,
dan tahun peristiwa tersebut terjadi, sehingga bisa dijadikan gambaran bagi pembacanya, kapan, dimana, dan apa yang melatar belakangi kejadian tersebut.
Pembahasan Ditinjau dari segi bahasa, istilah psikologi berasal dari kata psyche yang berarti “nafas kehidupan”, yaitu jiwa atau ruh. Secara bebas bisa diartikan sebagai “pikiran”. Dan logos yang memiliki pengertian ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu istilah psikologi sering diartikan atau diterjemahkan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Munculnya aspek psikologi dalam karya sastra tidak bisa lepas dari keberadaan karya sastra itu sendiri yang merupakan hasil kreasi manusia dan dinikmati oleh manusia. Hal ini menjelaskan bahwa karya sastra berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu pengarang sebagai pencipta karya sastra, tokoh sebagai manusia imajiner dalam dalam karya sastra, dan pembaca sebagai penikmat karya sastra. Dengan demikian, karya sastra menjadi sangat terbuka untuk dikaji melalui pendekatan disiplin ilmu yang secara spesifik mempelajari masalah kejiwaan dan karakteristik manusia. Saigo no Ikku menceritakan keinginan seorang anak perempuan yang bernama Ichi, yang mempunyai empat orang adik untuk menggantikan menjalani hukuman mati yang akan dijatuhkan pada ayahnya. Ichi membuat petisi untuk sang hakim agar hukuman mati ayahnya digantikan oleh Ichi beserta adikadiknya, dengan penuh keberanian Ichi memberikan surat petisi tersebut. Pada saat masalah Tarobe digelar, saat itu segala pertanyaan yang ditujukan kepada Ichi dijawabnya dengan tegas, dengan sikap yang dingin. Bahkan pada frase terakhir dalam kata-kata yang diucapkan Ichi yang sangat mengena hati sasa, yang membuat muka sang hakim pucat, dan merasa perlu untuk mempertimbangkan kembali hukuman itu. Tetapi akhirnya, pelaksanaan hukuman mati bagi ayah Ichi dibatalkan, digantikan dengan hukuman buang.
Adapun latar tempat dalam cerita Saigo no Ikku ini secara garis besar berlangsung di Osaka. Gambaran tentang latar kota Osaka terlihat pada kutipan berikut ini:
大阪 で、船乗り業桂屋太郎兵衛 というもの を 大阪 で、船乗り業桂屋太郎兵衛 というもの を、木津川口で三日間さらした上、。。。。。。 〔最後の一句:1〕 Oosaka de, funa nori gyou katsura ya taroubee to iu mono o oosaka de, funa nori gyou katsura ya taroubee to iu mono o, kizu gawakuchi de san nichi kan sarashita ue, . . . . . Di Osaka seorang pelaut bernama Katsuraya Tarobe dipertontonkan pada khalayak umum selama 3 hari di mulut sungai Kizu………. (Saigo no Ikku: 1) Adapun amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerita ini adalah hendaklah kita berusaha sekeras mungkin untuk mencapai tujuan yang kita harapkan berdasarkan kebenaran yang kita yakini. Sikap Tokoh Ichi Terhadap Tokoh-Tokoh Lain: Dalam cerita saigo no Ikku peran Ichi sebagai tokoh utama benar-benar mendominasi jalinan cerita, sehingga pusat konflik terjadi di dalam diri Ichi yang merupakan konflik batinnya sendiri yang ia wujudkan dalam ketegasan sikapnya. Sementara itu kehadiran tokoh-tokoh lain yang mendukung pengembangan tema cerita ini sifatnya hanya melengkapi saja. Namun demikian bukan berarti keberadaan tokoh-tokoh pembantu tersebut sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa, karena tokoh-tokoh tersebut sangat mendukung ide penyampaian tema yang digarap oleh pengarang melalui tokoh utama.
Sikap Tokoh Ichi Tterhadap Keluarga: Tokoh Ichi dalam cerita ini, sesuai dengan namanya, digambarkan sebagai seorang anak perempuan tertua dari seorang pelaut bernama Katsuraya Tarobe. Di usianya yang baru menginjak 16 tahun, ia digambarkan telah menjadi seorang gadis yang kuat, tabah dan pemberani. Hal ini terbukti ketika ayahnya dimasukan ke dalam penjara selama 2 tahun dan akan menjalani hukuman mati serta menyaksikan kesedihan dan penyesalan ibunya yang tiada henti, ia tetap bersemangat menjalankan kegiatan kesehariannya bersama dengan adik-adiknya. Lalu, setelah ia mendengarkan secara diam-diam cerita neneknya yang menyampaikan cerita pada ibunya bahwa hari kematian ayahnya telah diputuskan, secara spontan muncul sebuah ide dalam benaknya untuk membebaskan ayahnya dari hukuman pancung dengan menulis sebuah surat permohonan atau petisi yang ia tujukan kepada hakim yang bertanggung jawab atas eksekusi tersebut. Dengan ketulusan dan rasa cintanya yang besar pada sang ayah, ia mengemukakan gagasannya tersebut pada adiknya dengan kesediaannya menggantikan posisi ayahnya. Dan untuk lebih meyakinkan hakim, ia pun mengikut-sertkan adik-adiknya dalam surat permohonan tersebut. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: お父っさんはあさって殺されるのである。自分は、それを殺させぬ ようにすることができると思う。どうするかというと、願書と言う ものを書いてお奉行様に出すのである。しかしただ殺さないでおい てくださいと言ったって、それでは聴かれない。お父っさんを助け て、その代わりにわたくしども子供を殺してくださいと言って頼む のである。それをお奉行様が聴いてくだすって、お父っさんが助か れば、それでいい。子供は本当に皆殺されるやら、わたしが殺され て、小さいものは助かるやら、それはわからない。 〔最後の一句:5〕 Otossan wa asatte korosareru no de aru. Jibun wa, sore o korosasenu you ni suru kotoga dekiru to omou. Dou suru ka to iu to, gansho to iu mono o kaite obugyousama ni dasu no de aru. Shikashi tada korosanaide oite kudasai to ittatte, sore de wa kikarenai. Otossan o tasukete, sono kawari ni watashikushi domo kodomo o koroshite kudasai to itte tanomi no de
aru. Sore o obugyousama ga kite kudasutte, otossan ga tasukareba, sore de ii. Kodomo wa hontou ni minakoro sareru yara, watashi ga korosarete, chiisai mono wa tasukaru yara, sore wa wakaranai.
Ayahnya akan dibunuh esok lusa. Ia berfikir dapat melakukan sesuatu agar ayahnya tidak dibunuh, caranya adalah dengan menulis sebuah petisi, dan akan mengirimkannya kepada hakim. Namun, jika ia hanya meminta untuk tidak membunuhnya, hal itu pasti tidak akan digubris. Maka ia memohon untuk membebaskan ayahnya dan sebagai penggantinya, mereka sebagai anak-anaknya, bersedia menerima hukuman tersebut, apabila ayahnya tertolong, itu akan menjadi hal yang bagus. Apakah mereka semua benar-benar akan dibunuh, atau hanya dirinya yang dibunuh, sementara adik-adiknya akan selamat, entahlah. (Saigo no Ikku: 5)
Simpulan Sikap Ichi menggambarkan kebesaran jiwanya sebagai anak tertua, meskipun dia seorang anak perempuan, dia merasa bertanggung jawab pada keluarganya, sementara ayahnya tengah ditimpa kemalangan.dalam usahanya itu, dia merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu pasti berhasil, karena dia telah memikirkan lebih dahulu sebelum bertindak. Ichi adalah yang yang cerdas dan pemberani, cerdas dalam perhitungan sesuatu sebelum bertindak, berani dalam menghadapi penguasa, dan menyatakan rela mengorbankan diri, itu adalah sebuah taktik. Selain itu Ichi juga merasa yakin bahwa apa yang akan dilakukannya itu pasti berhasil. Dan ternyata usahanya memang tidak sia-sia. Bahkan pada frase terakhir dalam perkataannya kepada Sasa yang menjadi inti dari karya ini, yaitu “Apa saja yang anda lakukan tidak ada yang salah”, sangat mengena dihati para penguasa yang hadir pada saat itu. Demikianlah Ogai, dia ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya dengan menampilkan tokoh Ichi, yang meskipun seorang anak perempuan, hanya dengan kata-kata yang diucapkannya, telah menjadikan para penguasa merasa bagaikan tertusuk pedang dalam dadanya.
Daftar Sumber Ahmadi, H. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineke Cipta. Asoo, Isoji. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang ( Nihon Bungakushi). Jakarta: Universitas Indonesia. Kutha Ratna, Nyoman. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.