SHIN HAIDO
Not So Tough Lady
Penerbit myowndramastory
Not So Tough Lady Oleh: Shin Haido Copyright © 2013 by Shin Haido
Penerbit myowndramastory http://myowndramastory.blogspot.com
Desain Sampul: Photo by Google, desain oleh Shin Haido
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Pertama Penulis panjatkan terima kasih ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, ISHWW karena telah memberikan kehidupan dan nafas pada Penulis. Kepada keluarga yang mendukung baik secara langsung maupun tak langsung, pada para Pembaca yang telah membeli Novel ini, semoga dapat menghibur dan mampu membersitkan seberkas kehangatan dalam hati setelah membacanya.
Salam, 25 Februari 2014
Shin Haido.
3
4
Not So Tough Lady – Chapter 1 ~*~
Suasana ruang kerja yang tadinya riuh rendah berubah menjadi berisik karena jarum jam di dinding telah menunjukkan pukul sebelas pagi. Sebentar lagi tamu kehormatan yang dinanti-nanti akan segera tiba. “Son, sudah hari kamis nih. Waktunya Nyonya Besar tiba, siapkan semuanya,” ujar Argo pada rekan kerjanya Sonny. Sementara pria bernama Sonny itu beranjak dari kursi kerjanya, Bren si pegawai baru dengan bingung melihat rekan-rekan kerjanya berlalu dari dalam kantor. “Kalian mau pergi kemana?” tanya Bren sembari melihat kepergian teman-temannya satu per satu. “Ayo sini, Bren. Kita harus menyambut Nyonya Besar, kalau tidak, kita bisa menderita selama bekerja di perusahaan ini. Nyonya besar adalah pemilik perusahaan ini, meskipun masih dipimpin oleh Presdir, tapi kekuasaan puncak tetap milik Nyonya Besar,” jawab Sonny. “Memang menderita seperti apa?” tanya Bren meskipun akhirnya dia meletakkan kertas-kertas file yang masih harus dikerjakannya di atas meja. Dia lalu mengikuti Sonny menuju pintu lift ruang kantor lantai dua puluh tujuh itu. “Pokoknya tak terbayangkan, sudah, sudah... sebentar lagi Nyonya Besar sampai, kita tidak boleh berisik.” Bren pun menelan ludahnya, membayangkan seorang ibu tua dengan wajah angkuh nan sombong, penuh perhiasan melingkar pada leher, pergelangan tangan dan jari 5
jemarinya, dengan mulut tak kenal lelah untuk mengomel, dan Bren mulai merapikan kembali kemeja, dan menarik ikatan dasi di leher agar terlihat tanpa cela. Dengan gugup dia menyisir rambutnya yang lurus, terpotong pendek, rapi, dan Bren hampir tak tahu bagian mana dari penampilannya yang harus diperbaiki lagi. “Ting....” bunyi pintu lift terbuka. Serentak dua puluhan pria dan wanita, pegawai yang bekerja di lantai dua puluh tujuh perusahaan multi level itu menunduk demi menyambut kedatangan Si Nyonya Besar, Nyonya Magdalena Stuart. Wanita berkebangsaan Inggris ini masuk diiringi Presiden Direktur Thomasson yang berjalan pelan di belakangnya. “Hm... bagus... Kalian sudah mengerti, jadi aku tidak perlu mengomel panjang lebar lagi untuk meminta kalian berbaris.” Magdalena mengerling pada pegawai wanita dan pria yang berdiri di sisi kanan dan kirinya. Memperhatikan dengan seksama penampilan pegawainya dari sepatu hingga ke ujung rambutnya. “Kau, yang berbaju biru, rambutmu harus dirapikan lagi, aku tak ingin melihat ponimu tergerai. Di sini bukan pasar loak, ini adalah perusahaan multi nasional yang beromset Milyaran Dollar. Jadi jangan main-main dengan penampilanmu. Bersyukur kalian hanya bekerja di belakang layar dan tidak bertemu klien, bila tidak, sudah kupecat kalian semua,” bentak Magdalena angkuh. Sebagian dari pegawai-pegawai itu mengkerut dan sebagiannya lagi geram karena tidak menyukai kesombongan Nyonya Besar mereka, namun tak ada satupun pegawai yang berdaya untuk membantah karena apa yang dikatakannya benar adanya. Bahkan Presiden Direktur tidak berani membantah bila Nyonya Stuart telah menitahkan perintahnya. 6
Bren, si pegawai baru yang bekerja di bagian kreasi baru dan imajinatif produk unggul tidak mampu menggerakkan lidahnya yang kelu. Dia bahkan tak berani mengintip seperti apa wajah wanita yang suaranya begitu menarik pendengarannya. Baru saat Magdalena berlalu dari gerombolan itu, Bren mulai mengangkat kepala, mengagumi bentuk tubuh Magdalena dari belakang. Rekan kerjanya Sonny menegur, “Hati-hati dengan wanita itu, dia akan memangsamu bila kau terlalu dekat dengannya. Dia adalah wanita berhati dingin, bertangan besi dan berdarah biru. Yang artinya, dia tidak akan menolehmu sedikitpun sebagai manusia. Dia hanya melihat kita sebagai investasi untuk perusahaan. Meski demikian, gaji di sini bagus, kau hanya perlu menahan perasaanmu, maka dalam setahun kau sudah bisa membeli sebuah apartemen di kawasan elite, itupun bila kau senang menabung, yang sayangnya banyak dari pegawai di sini gagal melakukannya. Kau tahu mengapa?” tanya Sonny sarkastis. “Mengapa?” tanya Bren sekenanya. “Karena marketing perusahaan ini hebat. Mereka memberikan diskon besar untuk para pegawai untuk berbelanja di semua outlet perusahaan. Mall, restoran, bioskop, wahana bermain, hingga bar, pub, diskotik. Lihat, kan? Sebegitu kayanya keluarga Stuart ini dan mereka tahu bagaimana cara memeras susu hingga tetes terakhir, bahkan dari pegawainya sendiri. Berhati-hatilah. Aku sudah memperingatkanmu.” Sonny kemudian pergi meninggalkan Bren berdiri mematung memikirkan perkataan rekannya barusan. “Sekeramat itukah dia? Lebih baik aku tak mencari masalah kalau begitu,” ujar Bren pada dirinya sendiri kemudian berlalu kembali menuju ruangannya. Di dalam kantor Presiden Direktur, Nyonya Magdalena Stuart melepaskan jaket bulu tiruannya ke atas 7
sofa, dia adalah penyayang binatang dan tidak akan pernah mengenakan jaket bulu dari bahan asli meskipun dia sanggup untuk membelinya. Dia lalu duduk terpekur, lelah, sebelum membuka topeng emosinya. “Ah.... Aku sungguh kelelahan hari ini, Thomas. Mengapa kau memanggilku ke sini, tidak bisakah kau mengerjakannya sendiri?” tanya Magdalena pada Thomasson. “Nyonya, anda harus mencari asisten pribadi bila tidak ingin terlalu kelelahan, anda tahu pekerjaan anda tidak sedikit. Meskipun Tuan Besar sudah menyerahkan semua masalah perusahaan kepada anda, tapi beliau masih selalu memonitor setiap minggu. Beliau memarahiku karena memberikan beban pekerjaan yang terlalu banyak padamu. Bukankah tahun ini anda baru saja keluar dari rumah sakit? Sakit anda akan kambuh bila anda kelelahan,” ujar Thomasson cemas. Dia mengkhawatirkan Boss Besarnya, orang yang menolongnya dari keterpurukan sepuluh tahun yang lalu. Perusahaan milik Thomasson bangkrut dan menyisakan hutang-hutang milyaran rupiah yang tak sanggup dibayarnya. Thomasson berhutang pada rentenir dan tak mampu membayar hutang itu, bahkan anak gadisnya hampir dijual oleh rentenir bila Magdalena dan Tuan Besar tidak segera menolongnya. Sejak saat itulah Thomasson bertekad untuk selalu mengabdi pada keluarga Stuart. “Kau terlalu mencemaskanku, Thom. Aku akan baikbaik saja, aku masih muda, masih kuat dan sanggup untuk pekerjaan ini.” Magdalena mengerling, dia sangat suka menggoda Thomasson, laki-laki berusia lima puluh tahun ini kemudian salah tingkah dan mengelus kepalanya yang hampir botak.
8
“Kau memang menyebalkan, sama seperti Loraine.” Thomasson memutar meja dan duduk di kursi Presiden Direktur. “Hey... I will tell Loraine that you said She’s annoying,” ancam Magdalena dengan sedikit tawa geli. “You know i will die if you do that. She will kill me and won’t let me come into our bed room for some couple weeks. It’s hell for a husband being neglected by his wife.” Thomasson tertawa mendengar leluconnya sendiri. “That’s good... Kau tahu bila wanita itu tak boleh dibantah, karena kalian para laki-laki akan kalah....” kata Magdalena senang. Thomasson berdiri lagi, dengan sebuah amplop tebal di tangan, dia menghampiri Magdalena dan mengantarkan wanita itu ke arah pintu. “Kau hati-hati di jalan, see you on saturday night. Loraine memasak ribs kesukaanmu. Ajaklah seseorang bila Tuan besar tak bisa ikut, you need some refreshment. Enjoy your life Lena, forget the past. You deserved better than that.” Thomasson memeluk Magdalena dan mengantarkan wanita itu menuju lift, dalam perjalanan, Presiden Direktur Thomasson memanggil salah seorang pegawai pria yang kebetulan baru saja keluar dari ruangannya. “Hey, kau. Come here!” panggilnya pada pegawai itu. Dengan setengah enggan, pegawai pria itupun menuruti perintah atasannya. “Yes, Sir.” “Siapa namamu?” tanya Thomasson. “It’s Bren, Sir. Bernard Bram,” jawab Sonny tanpa berani menolehkan pandangannya pada Nyonya Besar. Dia terlalu takut untuk memulai perseteruan dengan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. 9
Thomasson mengerutkan keningnya mendengar nama Bren yang berbeda dengan nama panjangnya, “Ok, kau bawakan amplop ini ke bawah menuju mobil Nyonya Stuart. Dan bawa barang-barangnya. Lakukan apapun yang dia perintahkan. Kau tak perlu kembali lagi ke kantor, kembalilah besok,” ujar Thomasson yang kemudian mencium kedua belah pipi Magdalena. “Remember what i said, take a rest. You need it.” Magdalena hanya mendengus kecil menanggapi pernyataan Thomasson. Dia kini berada di dalam lift sementara Bren berdiri di belakangnya dengan amplop tebal di tangan dan tas jinjing Magdalena yang diapitnya di lengan. Selama satu menit yang panjang ruangan di dalam lift itu hening, tak ada yang berbicara. Bren terlalu sibuk memilah-milah pikirannya yang kacau. Dia mengantisipasi pertanyaan yang mungkin dilontarkan Nyonya Besar padanya. Maka tubuhnya sedikit terkaget tatkala Magdalena menanyakan namanya. “What’s your name again?” tanya Magdalena pada Bren. “It’s Bren, Mam. Bernard Bram,” jawab Bren gugup. Tak ada tanggapan dari Magdalena, kata-kata yang terucap dari mulutnya seolah telah diukur untuk seperlunya saja. Tak lama kemudian mereka telah tiba di parkiran lobi. Magdalena berjalan di depan bagai Ratu dengan dagu mendongak tinggi, mencerminkan status sosial wanita itu di hadapan orang-orang yang menunduk memberi hormat atau sekedar menganggukkan kepala padanya. Sedangkan Bren yang berjalan pelan di belakangnya hanya memandang takjub dengan apa yang sedang disaksikannya. “Wanita ini luar biasa. Meski mungkin dia bertangan besi, berhati dingin atau entah sebutan apalagi yang telah 10