PRICING STRATEGY IN TOUGH ECONOMY Customizing Customer Need & Buying Power in Crisis Situation By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
PENDAHULUAN Pada tahun 2015 lalu, Indonesia berhasil melalui krisis ekonomi global dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen dimana negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Singapore masih berada jauh di bawahnya. Pada tahun 2016 ini, pertumbuhan ekonomi pun dipatok lebih tinggi, yaitu sebesar 5,3 persen di akhir tahun nanti. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut, tentunya Indonesia butuh fundamental ekonomi yang cukup kuat. Bahkan untuk defisit anggaran, saat ini pemerintah masih memiliki ruang sebesar 0,3 persen. Artinya, saat ini kondisi keuangan negara masih cukup aman. Namun, pemerintah diharapkan untuk tidak lengah. Pasalnya, perlambatan ekonomi China dan ancaman kenaikan suku bunga the Fed masih menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang serba penuh tantangan ini. Kendati demikian, apabila Indonesia konsisten menjaga kestabilan fundamental ekonomi, bukan hal yang mustahil ekonomi Indonesia dapat selamat melaju hingga tahun 2017 mendatang. Masalahnya, kestabilan ekonomi makro di atas yang menjadi tugas Negara untuk mengaturnya apabila tidak seiring-sejalan dengan strategi pelaku bisnis yang merupakan pelaku ekonomi riil di tingkat mikro ekonomi, maka kegagalan akan terulang seperti kondisi menjelang akhir 2015 lalu di mana nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hampir menembus angka 15 ribu rupiah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ketergantungan masyarakat terhadap impor barang jadi dari luar negeri adalah penyebab utamanya. Kenapa masyarakat suka akan produk luar negeri? Ini pertanyaan klasik yang selalu muncul dan susah diredam oleh para pelaku bisnis. Jawabannya adalah karena produk luar negeri selalu bisa menyajikan nilai produk yang lebih baik namun harga jual yang ditawarkan tidak terlalu tinggi (kecuali produk-produk branded yang memang selalu dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pasaran). Bagaimana agar produk dalam negeri agar bisa bersaing? Sedemikian pengusaha lokal dituntut menghasilkan
produk yang lebih baik, namun harga jual produk lebih rendah dibanding produk impor karena daya beli masyarakat saat ini sedang turun. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini akan dibahas whitepaper yang khusus mengulas strategi penetapan harga di masa ekonomi sulit ( tough
economy) agar setiap pebisnis dapat tetap survive usahanya dengan cara menyesuaikan kembali harga produknya sesuai kebutuhan dan daya beli pasar yang ada.
AKIBAT KENAIKAN HARGA SUATU PRODUK Segala sesuatu pasti ada akibatnya. Setiap keputusan bisnis yang kita lakukan pastilah ada akibat positif maupun negatif yang menyertainya. Oleh sebab itu, mari kita pelajari grafik di bawah ini yang dihasilkan oleh sebuah lembaga riset di Amerika yang menyoroti akan dampak akan peningkatan variabel suatu produk.
Gambar 1. Survei Dampak Peningkatan Variabel Suatu Produk Survei di atas menyatakan bahwa: -
Setiap peningkatan 1% harga produk, akan meningkatkan 11% keuntungan
-
Setiap peningkatan 1% biaya variabel (variable cost), akan meningkatkan 8% keuntungan
-
Setiap peningkatan 1% volume penjualan, akan meningkatkan 3% keuntungan
-
Setiap peningkatan 1% biaya tetap (fixed cost), akan meningkatkan 2% keuntungan
Survei ini memiliki makna bahwa agar perusahaan kita bisa meningkatkan keuntungan yang lebih besar, maka peningkatan harga produk adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Masalahnya, apakah dengan kondisi tough economy seperti saat ini masih bisa kita tingkatkan harga suatu produk? Diturunkan saja harganya masih sedikit yang beli, apalagi ditingkatkan? Benar bukan? Oleh sebab itu, mari kita bersama sedikit mempelajari siklus ekonomi yang terjadi berulangkali sekian puluh tahun lamanya, sedemikian ada diagram yang dihasilkan untuk menggambarkan keadaaan ini. Bill Gibson & Shane Gibson (2008), dua orang pakar ekonomi yang berkontribusi banyak bagi para pebisnis agar lebih bersikap dan menyiapkan diri sejak dini untuk menghadapi siklus ekonomi yang ditinjau dari keadaan pasar (saat akan terjadinya krisis, maupun sebaliknya, saat terjadi perkembangan ekonomi yang tinggi).
Gambar 2. Siklus Ekonomi ditinjau dari Keadaan Pasar Melalui diagram di atas, dijelaskan bahwa kondisi ekonomi apakah sedang naik atau turun sebenarnya mudah untuk dilihat, yaitu dari keadaan pasar sebagai respon atas kondisi tersebut. Apabila suku bunga bank mulai dinaikkan oleh Bank Indonesia, sedemikian pengusaha mulai berat untuk membayar bunga atas kredit yang dipinjam untuk usahanya, maka inilah tanda-tanda bahwa perbankan lagi mengetatkan diri untuk meminjamkan modal. Akhirnya pengusaha mulai kewalahan untuk mengembangkan bisnisnya, dan harus banting harga agar penjualan tetap terjaga dan bisa membayar biaya operasional serta bunga bank yang sangat tinggi. Inilah masa dimana
ekonomi mulai memasuki masa krisis dimana banyak orang yang juga mulai kehilangan pekerjaan karena adanya pemutusan hubungan kerja. Pada keadaan terendah dari siklus ekonomi terburuk, semua orang akan bersikap “wait and see”, akibatnya roda pertumbuhan ekonomi mandek dan terjadi deflasi (nilai barang turun). Pemerintah pada fase ini biasa akan meluncurkan banyak stimulus ekonomi dengan beragam cara, seperti yang sering kita dengar seperti keringanan pajak, penurunan suku bunga Bank BI, mempermudah proses kredit bank ke para nasabah, dll. Sedemikian para pengusaha mulai berani kembali untuk mengembangkan usahanya, dengan meminjam modal kerja untuk penambahan kapasitas produksi, menambah jumlah karyawan, dll. Jika kita lihat bersama siklus di atas, untuk masa sekarang ini, kita sesungguhnya sedang berada di fase kanan, atau mulai adanya perkembangan ekonomi, namun masih di bawah ambang batas tengahnya. Oleh sebab itu, dalam menetapkan harga produk, sebaiknya kita tetap harus selektif dan hati-hati karena kondisi pasar yang masih belum terlalu stabil. Berikut di bawah ini ada sebuah diagram yang menjelaskan korelasi hubungan antara kualitas produk dengan harga jual produk yang kita tetapkan, sedemikian bisa dibagi ke dalam 9 kolom matrix yang berbeda.
Gambar 3. Price/Quality Relationship Matrix
Manakah strategi harga dan kualitas produk yang sekiranya paling tepat digunakan untuk masa tough economy seperti keadaan sekarang ini? Apakah kualitas tinggi & harga tinggi, ataukah kualitas rendah & harga rendah? Ataukah yang mana? Bagi sebagian segmen tertentu yang dari kalangan menengah ke atas, mungkin mereka tidak terlalu sensitif akan masalah perubahan harga, jadi produk yang cocok untuk mereka tetaplah ditinjau dari sisi kualitasnya yang harus terus dijaga, sebab mereka mampu membayar lebih mahal. Namun dari sebagian segmen lain yang masuk dalam kategori menengah ke bawah, maka produk dengan kualitas cukup baik (harapan mereka demikian) tetap bisa dibeli dengan harga yang terjangkau. Masalahnya, segmen menengah ke bawah ini jumlahnya mencapai 80% dari total seluruh penduduk Indonesia (ingat konsep piramida penduduk dimana selalu mengerucut ke atas, atau jumlah mereka yang kaya selalu lebih sedikit dibandingkan mereka yang kurang beruntung). Apakah kita sebagai pebisnis hanya pasrah dan ambil jalan pintas saja yaitu dengan mengganti haluan dengan lebih fokus pada menjual produk-produk berkualitas rendah dan harga murah saja? Jika pilihan ini diambil maka konsumen yang peduli akan brand perusahaan kita akan perlahan namun pasti meninggalkan kita nantinya, sebab mereka nanti akan melihat bahwa perusahaan kita lebih dipenuhi konsumen yang berasal dari golongan menengah ke bawah saja. Oleh sebab itu, berikut akan dipaparkan lebih dalam akan pembagian segmen konsumen, dimana pembagiannya bukan dari income mereka, melainkan dari sisi psikologi dan perilaku mereka dalam membeli suatu produk, khususnya dalam kondisi tough economy. Setidaknya kita bisa membaginya menjadi 4 macam tipe konsumen, yaitu:
Gambar 4. Matrix Perilaku Konsumen
1.
FLOATERS: Reaktif terhadap situasi ekonomi, dan ikut-ikutan apa yang dilakukan orang lain, namun mereka masih merasa aman dengan kehidupan mereka sehari-hari oleh sebab mereka tidak terlalu punya banyak beban cicilan tetap tiap bulannya.
2. PANICKERS: Reaktif terhadap situasi ekonomi dan mudah percaya dengan berita-berita yang beredar, sedemikian mereka panik dan merasa tidak aman karena punya beban pengeluaran tetap yang cukup besar. 3. WISERS: Adaptif terhadap situasi ekonomi, tidak terlalu termakan oleh berita negatif, mereka merasa masih aman akan pengeluaran atas kebutuhan hidup sehari-hari. 4. BARGAINERS: Adaptif terhadap situasi ekonomi dan mau menyesuaikan diri dengan kondisi pasar, namun mereka merasa tidak aman karena penghasilan yang tidak terlalu tinggi atau karena beban pengeluaran tetap yang cukup besar tiap bulannya.
Untuk detailnya, berikut penjelasan yang mungkin bisa dijadikan acuan bagi para marketer untuk bisa membuat strategi pemasaran dalam kondisi tough economy, khususnya masalah produk dan harga:
Same for Less
More for Same
Less for Less
More for Less
Gambar 5. Ciri Khas Konsumen di Masa Krisis
Dalam kondisi tough economy, bagi segmen konsumen yang masuk dalam kategori
floaters, sebaiknya kita menjual produk yang sama benefit-nya, namun dengan harga yang lebih murah. Bagi segmen konsumen panickers, sebaiknya kita menjual produk yang benefit-nya sedikit kita kurangi seiring dengan harga jual yang kita turunkan. Bagi segmen konsumen wisers, sebaiknya kita tidak menurunkan harga atau kondisi harga dibiarkan tetap sama, tetapi kita kompensasikan dengan berikan added value lebih tinggi bagi produk yang kita jual. Sebaliknya, bagi segmen konsumen bargainers, kita terpaksa memberikan sedikit added value bagi produk yang dijual, dan di sisi lain juga harus menurunkan harga jualnya. Pertanyaan yang mungkin sekarang muncul di benak kita adalah bagaimana saya bisa mengetahui masuk ke jenis manakah sebagian besar segmen pelanggan yang saya layani selama ini? Sebab kalau kita salah memilih strategi pemasaran yang tepat, maka kita akan lebih cepat jatuh dalam kondisi krisis ini. Cara yang paling tepat untuk mendeteksi jenis segmen konsumen apa yang kita layani adalah dengan survei kepuasan pelanggan tentunya dimana ada pertanyaan terkait saran pengembangan produk ke depannya sesuai harapan pelanggan. Namun dengan keterbatasan waktu dan biaya, kita juga bisa menggunakan trial-error beberapa produk yang kita sengaja inovasi dan pasarkan dengan cara berbeda namun dalam scope wilayah yang terbatas. Berikut adalah diagram langkah demi langkah bagaimana melakukan trial-
error untuk membuat strategi pricing yang tepat bagi keempat segmen konsumen yang kita layani. Setidaknya ada 3 langkah yang bisa kita lakukan, yaitu: 1) Melakukan analisis data transaksi para konsumen eksisting yang kita telah layani selama ini; 2) Melakukan optimisasi perhitungan biaya, harga dan margin keuntungan; 3) Melakukan “What-If Analyses” dengan beberapa skenario trial-
error yang kita ramalkan akan terjadi.
Gambar 6. Pricing Framework A. Pada fase pertama (Analytics), kita dapat melakukan beberapa hal berikut untuk
analisis transaksi para konsumen lama: -
Melakukan penggolongan (stratafikasi/stratification) manakah konsumen yang tergolong potensial, mana yang kurang potensial. Biasa yang digunakan untuk menggolongkan konsumen tersebut adalah menggunakan alat ukur RFM ( recency,
frequency, monetary) yang bisa dilihat dari tingkat pembelian mereka, kapan terakhir beli (recency), berapa kali beli untuk kurun waktu tertentu (frequency), dan berapa nominal rata-rata untuk sekali beli produk (monetary). Semakin tinggi nilai RFM seorang konsumen, mereka dapat dikategorikan semakin potensial. -
Melakukan analisis manakah produk yang masuk kategori fast-moving atau slow-
moving, manakah produk yang memberikan margin keuntungan besar atau yang memberi kontribusi keuntungan kecil per unitnya. Biasanya produk fast-moving hanya memiliki margin keuntungan kecil, dan produk slow-moving memiliki margin keuntungan besar. Oleh sebab itu, perusahaan kita bisa mencoba agar produk yang
slow-moving bisa cepat terjual dengan cara mengurangi margin keuntungan (menurunkan harga), atau sebaliknya, menaikkan harga jual produk-produk fast-
moving agar bisa meningkatkan margin keuntungan namun disertai dengan addedvalue tertentu agar konsumen tidak kecewa.
B. Fase kedua (Optimization), kita dapat melakukan beberapa hal terkait perhitungan
biaya, harga, dan margin keuntungan sbb: -
Dari analisis di atas, selanjutnya mulai coba dipertimbangkan beberapa strategi, apakah produk yang slow-moving dapat dikurangi margin keuntungannya, agar menarik untuk dibeli sehingga cashflow kita terbantu, dengan cara promosi product bundling yang diberlakukan melekat pada produk fast-moving yang sering dibeli oleh konsumen potensial saja. Sedangkan untuk konsumen yang kurang potensial, kita belum bisa memberikan Gimmick tsb, andaikan mereka mau pun, maka kita bisa menjual program
membership atau loyalty program lainnya untuk mengikat komitmennya. -
Berapa harga potongan diskon maksimal bagi konsumen yang kurang potensial, juga bisa dihitung berapa harga potongan diskon minimal untuk konsumen yang potensial? Tentu saja potongan diskon ini harus ada bedanya, agar produk yang kita jual mendapat margin keuntungan yang se-optimal mungkin, baik dari konsumen yang potensial maupun yang kurang potensial.
C. Fase ketiga (What-If Analyses), kita dapat melakukan beberapa hal terkait beberapa
skenario trial-error sbb: -
Perhitungan target penjualan dengan menggunakan pendekatan optimistis (kondisi makro ekonomi bagus), realistis (asumsi bila keadaan berjalan normal), dan pesimistis (kondisi ekonomi jelek). Ada beberapa plan skenario untuk masing-masing kondisi di atas agar penetapan harga kita tidak terlalu rendah saat kondisi ekonomi bagus, dan sebaliknya, penetapan harga jangan terlalu tinggi saat kondisi ekonomi kurang mendukung.
-
Kita juga harus pertimbangkan bahwa harga produk juga didesain untuk akuisisi pelanggan baru, yaitu dengan cara meningkatkan volume penjualan sebanyak mungkin (khususnya untuk pengenalan produk baru agar brand awareness bisa meningkat dengan cepat). Untuk mendukung “what-if analyses” agar lebih presisi pertimbangan kita, maka diagram berikut bisa digunakan untuk membantu pengambilan keputusan.
3
4
1
2
Gambar 7. What-if Analysis Matrix Beberapa kondisi yang mungkin terjadi saat kita sedikit menaikkan atau menurunkan harga produk adalah: 1.
Jika brand awareness produk kita belum terlalu dikenal, juga kompetitor masih tidak terlalu banyak. Yang terjadi adalah saat ada sedikit perubahan harga, maka volume penjualan hampir tidak terpengaruh.
2. Jika brand awareness produk kita belum terlalu dikenal, namun kompetitor sudah terlalu banyak. Yang terjadi adalah saat ada sedikit perubahan harga, maka volume penjualan akan sangat terpengaruh. 3. Jika brand awareness produk kita sudah cukup dikenal, namun kompetitor masih tidak terlalu banyak. Yang terjadi adalah saat ada sedikit perubahan harga, maka volume penjualan akan sedikit saja terpengaruhnya. 4. Jika brand awareness produk kita sudah cukup dikenal, namun kompetitor sudah terlalu banyak. Yang terjadi adalah saat ada sedikit perubahan harga, maka volume penjualan pengaruhnya tidak terlalu bisa ditebak, sangat volatil, harus hati-hati, bisa jadi penjualan akan meningkat pesat, atau bahkan sebaliknya terjadi penurunan yang drastis.
Jika diagram di atas lebih mengamati hubungan antara dikenalnya-belum brand kita dibandingkan dengan sedikit-banyaknya jumlah pesaing, maka diagram berikut yang lebih mengamati hubungan dikenalnya-belum brand kita dibanding rendah-tingginya harga jual produk, bisa digunakan sebagai alat bantu yang terakhir sebagai langkah antisipasi menghadapi situasi
tough economy. 1.
Low price & low added value; langkah pertama yang bisa kita coba adalah menjual produk dengan harga yang semurah mungkin dengan added value yang kita berikan juga tidak terlalu besar, mengingat konsumen belum teredukasi dengan baik akan apa bedanya produk kita dibandingkan kompetitor. Oleh sebab itu, coba pikirkan efisiensi biaya operasional sedemikian rupa agar harga jual produk bisa serendah mungkin.
2. Low price; apabila konsumen sudah mulai paham apa beda keunggulan produk kita dibanding pesaing, maka sebaiknya added value kita mulai tambahkan, seiring dengan itu, harga masih coba kita pertahankan di angka yang sama, jangan terburu menaikkan harga. Apabila Step 1 di atas hanya untuk market testing saja, maka Step 2 ini adalah tahap dimana
market entry benar-benar kita mulai jalankan.
Gambar 8. Price vs. Perceived Value Wheel
3. Hybrid; ini adalah kondisi dimana konsumen benar-benar sudah mengerti nilai keunggulan kita dan mulai berpikir untuk beralih dari kompetitor dan membeli produk kita. Pada Step ini, sebaiknya kita menjual beragam kategori produk. Ada kategori produk yang bisa kita jual dengan harga rendah, ada pula kategori produk yang bisa kita jual dengan harga tinggi. 4. Differentiation; pada saat ini, kita harus memutuskan diri apakah kita akan fokus untuk menjual produk yang high-end, middle, atau low-end saja. Sebab semakin kita dikenal oleh masyarakat sebagai perusahaan yang sering menjual produk high-end, maka ke depan saat kita hendak fokus menjual produk low-end, ini malah akan menurunkan brand image kita sendiri. Sebaliknya, jika kita dikenal masyarakat sebagai perusahaan yang kebanyakan menjual produk low-end, maka saat kita hendak menjual produk high-end, nantinya akan ada kesulitan, dimana masyarakat bisa saja menganggap kita menjual produk yang bukan orisinal atau barang-barang KW saja. 5. Focused differentiation; karena di tahap sebelumnya semisal kita sudah memilih untuk menjual produk-produk premium saja, dengan mengedepankan brand image secara terusmenerus melalui iklan yang notabene harganya mahal, maka kita mulai bisa menikmati penjualan produk dengan setting harga yang lebih tinggi dari pesaing untuk produk yang sejenis. 6. Risky high margins; Ini adalah masa dimana perusahaan kita sudah bisa dikatakan menjadi
brand leader yang bisa menikmati keuntungan besar, karena tetap bisa menjual produk dengan harga mahal walau added value ke pelanggan sedikit dikurangi. Konsumen masih terlalu percaya dengan nama besar merek produk ketimbang harus sadar bahwa isi atau kualitas produk yang dibelinya sudah mulai menurun. 7. Monopoly pricing; jika tahap sebelumnya dilanjutkan secara terus-menerus oleh perusahaan kita tanpa memperhatikan moral/etika bisnis, dimana konsumen akhirnya benar-benar sadar bahwa dirinya telah dirugikan, maka walau sebagai brand leader sekali pun yang harga produknya selalu dipakai oleh pesaing lainnya sebagai harga acuan (benchmarking), maka suatu saat perusahaan kita akan mulai ditinggalkan pelan-pelan oleh pelanggan. 8. Loss of market share; tahap ini adalah masa dimana perusahaan kita mulai benar-benar kehilangan pangsa pasarnya karena sudah mulai bermunculan perusahaan lain yang mereknya mulai dikenal, namun bisa memberikan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih
murah (mulai banyak bermunculan perusahaan lain yang sudah mulai memasuki Step 2 dan Step 3 seperti perusahaan kita dulu). Jangan sampai tahap ini terjadi pada perusahaan kita, sebab kita akan mengalami masa berat seperti yang dialami Kodak atau Blackberry.
PENUTUP Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “Pricing Strategy in Tough Economy”. Perusahaan yang bisa hadir dengan inovasi harga sedemikian bisa tetap menjual produk berkualitas sesuai kebutuhan pasar walau daya beli pasar sedang tidak baik saat ini, pastilah akan tetap survive dan punya daya saing tinggi. Mampukah perusahaan kita menjawab tantangan ekonomi yang semakin tidak menentu seperti sekarang ini dengan tetap menawarkan harga produk yang terjangkau namun di sisi lain masih bisa menjaga profit margin tetap tinggi? Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.