SHIN HAIDO
THE FINNEGANS SHADOWS #1 IVAN DE FINNEGAN
Penerbit FD Company
The Finnegans Shadows #1 – Ivan De Finnegan Oleh: Shin Haido Copyright © 2013 by Shin Haido
Penerbit FD Company
Desain Sampul: Picture by Google, design by Shin Haido
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih: Untuk setiap pengagum Klan De Finnegan dan pria-pria beserta wanitanya dengan segala warna kehidupan yang mereka miliki. Semoga Novel ini mampu membius Pembaca untuk berfantasi dalam dunia De Finnegans.
3
4
The Finnegans Shadows #1 Ivan De Finnegan ~*~
Prologue
Kerumunan orang banyak mengelilingi area di sebuah lobi perkantoran megah di tengahtengah ibukota. Suara sirine mobil ambulans terdengar di kejauhan, nampak beberapa petugas keamanan dan polisi mengamankan situasi, memasang garis polisi agar tak ada satu orang pun merusak tempat kejadian perkara. Telah terjadi sebuah tabrakan tragis yang menyebabkan dua orang terenggut nyawanya seketika. Kelly dan Thomas De Finnegan, istri dan anak dari Mr. Ivan De Finnegan, seorang ekspatriat yang tinggal cukup lama di negeri ini, membangun usaha raksasanya di tanah merah putih. Tapi dia tak pernah menyangka kedua orang yang paling dia cintai akan kehilangan nyawanya di sini, Ivan terluka, Ivan murka. Bagai harimau mengaum menuntut pembalasan dendam, Ivan mencari pelaku penabrakan yang menewaskan istri dan anaknya.
5
“Jangan halangi aku!! Dia harus membayar apa yang dia lakukan. Tak akan ada kata damai!! Dia telah membuat Kelly dan Thomas tewas, dia harus merasakan hal yang sama. Nyawa dibalas dengan nyawa!!” Ivan De Finnegan mengerang marah, kesedihan yang tertanam di dadanya dia lampiaskan dalam kebencian tak berujung. Dari bandara SoekarnoHatta, setelah menguburkan kedua orang yang dicintainya, Ivan mengemudikan mobilnya kesetanan, mencari dalang dari tabrakan itu. “Dendam ini tak akan pernah hilang sampai kalian juga merasakan bagaimana sakitnya Kelly dan Thomas, bagaimana sakitnya aku!! Manusiamanusia rendah, kalian tak pantas!!” dengusnya geram mengemudikan mobilnya dengan kencang. Kompleks perumahan itu mendadak menjadi ramai, seorang warga negara asing mengamuk dan memanggil-manggil pemilik rumah yang didatanginya. Teriakan-teriakan lantang penuh kemarahan dan caci maki dia ketuskan dengan berapiapi, menghujat dan menghardik siapapun yang berani mendekat dan menghalanginya. Beberapa orang pengawal bayaran nampak berjaga-jaga di dekat sana, menghalangi petugas keamanan mencari tahu apa yang terjadi. “Ini bukan urusan kalian, bila tidak ingin celaka lebih baik kalian menyingkir!!” hardik pengawal-pengawal itu pada orang-orang yang mencoba mengintip.
6
Mereka ketakutan, para penduduk yang tadinya menonton penuh rasa ingin tahu kini satu per satu meninggalkan tempat itu, menyerahkan nasib keluarga Ananta pada Yang Maha Kuasa. Kepala keluarga itu masih berlutut di paving semen halaman rumahnya, kepalanya yang mulai menipis rambutnya berkilat disinari teriknya matahari siang, peluh bercucuran dari keningnya, mencoba memeluk dan menenangkan istrinya yang juga ikut bersimpuh menangis terisak, rasa takut menyeruak dalam hati mereka. Ivan De Finnegan mencibir sinis menyaksikan drama yang tengah dilihatnya, hati kecilnya berteriak memintanya segera pergi dari sana dan melupakan semua itu. Kelly dan Thomas sudah mati, tak akan membuat mereka kembali hidup dengan mencoba menghakimi orang-orang ini seperti apapun keinginan Ivan. Hukum yang lamban membuat Ivan kecewa, nyawa istri dan anaknya melayang bagai tak berharga sama sekali. Dia menumpahkan kekesalannya pada pasangan ini dengan hardikanhardikan kasarnya ketika sebuah suara membelai pendengarannya dari arah pintu masuk halaman rumah itu. Remaja itu baru saja pulang dari rumah temannya, dimana dia belajar bersama untuk persiapan masuk ke sebuah perguruan tinggi favorit di ibukota. Dia tak mengerti mengapa ayah dan ibunya harus berlutut di bawah kaki orang asing tak dikenal yang bersikap congkak di depannya. Laki-laki itu 7
menatapnya tajam, mencoba menguliti tubuh remaja itu dengan tatapannya yang menusuk, dia membisu, tak ada satupun hardikan kasar yang tadi berdengung keluar. Laki-laki itu seolah-olah berubah menjadi patung, dengan kedua matanya mendelik menandakan dia hidup. Kepalanya mengikuti arah kemanapun remaja itu bergerak, berlutut di samping kedua orang tuanya yang masih terisak sedih, ikut memeluk ibunya yang bahkan dia tak tahu apa yang sedang terjadi. “Clara... maafkan ayahmu ini, Nak... Maafkan ayah... Tolong jaga ibu dan adik-adikmu, ayah harus menebus semua kesalahan ayah... Ayah tak akan ada di samping kalian lagi....” Tuan Ananta berujar pelan pada anak sulungnya, tak lama kedua anaknya yang lain pulang dari sekolah mereka dan sama terkejutnya seperti Clara melihat pemandangan di halaman rumah mereka. Kedua anak laki-laki berusia di bawah sepuluh tahun itu berlari dan menangis keras karena ketakutan melihat pengawal-pengawal bermuka seram yang menjaga rumah mereka, pada Ivan De Finnegan yang menjulang tinggi bagai raksasa dengan keangkuhannya yang dia perlihatkan pada orangorang tak berdaya itu. Ivan diam, dia menyaksikan mereka saling berpelukan dan menangis, membagi kesedihan mereka yang membuat hatinya semakin teriris-iris. “Apa yang telah aku lakukan....” bisik Ivan dalam hatinya, dia bingung dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini. 8