Jurnal Psikologi Indonesia 2008, No. 1, 73-79, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
MENCAPAI KEBAHAGIAAN BERSAMA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK (SHARING HAPPINESS IN A PLURAL SOCIETY) Nanik Prihartanti Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa. Dalam masyarakat majemuk, adanya batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotype dan prasangka menghasilkan penjenjangan sosial secara primodial yang subjektif. Konflik-konflik antar etnik dan antar agama yang terjadi, pada dasarnya berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan jati diri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada. Dengan adanya stereotipe dan prasangka serta ideologi keetnikan, masyarakat menjadi lebih mudah saling cakar daripada berangkulan, lebih mudah saling curiga daripada saling mempercayai, lebih mudah bertengkar daripada bersahabat, lebih mudah menerjang daripada memberi jalan dan seterusnya. Berkaitan dengan masalah ini, ada baiknya kita terus mencoba berbagai macam pengetahuan untuk mewujudkan perdamaian masyarakat. Salah satu sumber pengetahuan yang bersifat natural, halus, dan mengajarkan rasa damai, persaudaraan, serta kebahagiaan, adalah ”kawruh jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram. Konsep pendekatan ukuran keempat dikenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai pendekatan yang mampu mempromosikan kebahagiaan bagi umat dalam hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat majemuk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan ukuran keempat (dimensi IV) itu seseorang yang ada pada tahapan tersebut selain mengerti diri sendiri, mengerti hukum-hukum alam, juga mengerti rasa (raos) orang atau pihak lain. Ukuran keempat adalah salah satu alat dalam rasa seseorang yang dapat dipergunakan untuk merasakan rasa orang lain. Bergaul dengan orang lain, berarti kita berhadapan dengan rasa atau perasaaan orang lain. Seseorang yang mulai menginjak dewasa semestinya mulai meninggalkan sifatsifat egoistik dan memasuki keinginan-keinginan untuk berbuat baik bagi orang lain. Individu dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu keutuhan. Untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia di tengah masyarakat majemuk, hal yang pertama kali harus diusahakan adalah mendewasakan individu-individunya terlebih dahulu. Dewasa dalam arti mampu bertumbuh sampai pada identitas manusia tanpa ciri. Konsep hidup bahagia yang dimaksud Ki Ageng adalah hidup bahagia bersama. Bukan bahagia sendiri lalu orang lain tidak bahagia. Seseorang mustahil dapat hidup bahagia tanpa berusaha mendukung kebahagiaan orang lain. Dengan pendekatan ukuran keempat itu diharapkan tata kehidupan masyarakat menjadi lebih sehat dan bahagia. Pengembangan ukuran keempat diharapkan menyebabkan tata pergaulan menjadi lebih halus, penuh kasih sayang, sehat, dan indah. Kata kunci: stereotype, kawruh jiwa, ukuran keempat, Kramadangsa, juru catat. Indonesia is a plural society with various ethnic groups. In such a society, cultural boundaries based on stereotypes and prejudices create a kind of subjective and primordial social stratifications. The source of ethnic and religious conflicts stems from communication problems between the local ethnic inhabitants and the outsiders. Those conflicts result from the activation of the ethnic identity as solidarity means to fight for the available resources. Due to the existence of ethnic stereotypes, prejudices, and ideologies, various groups in the society are more prone to fighting than cooperating with each other, to suspicion than trust, to quarrels than friendship, to attacking than giving ways to others, and the like. Hence it is desirable for us to constantly examine various knowledge to build peace in our society. One of the sources of natural and refined knowledge that promote peace, brotherhood, and happiness is the concept of kawruh jiwa of Ki Ageng Suryamentaram. Ki Ageng Suryomentaram’s fourth dimension approach would promote a peaceful coexistence among people who live in a plural
74
NANIK PRIHARTANTI society. In the fourth dimension one will be aware of oneself, of the natural laws, as well as of the raos or sense of other people. The fourth dimension is a tool in one’s sense that may be used to empathize with other people. An adult should get rid of her or his egotism and replace it with concerns for others. The individual and the society are one. In order to create a peaceful and happy coexistence in a plural society, the first thing one has to undertake is developing the individuals into mature adults in the sense of ones who can reach the identity of manusia tanpa ciri or featureless human beings. Ki Ageng Suryomentaram’s concept of happy life is a happy life in a togetherness with other people, and not happiness for one’s life and unhappiness for the life of others. It would be impossible for one to live happily without giving support for the happiness of others. Using the fourth dimension approach we may render our social life healthier and happier. The development of the fourth dimension would make our social relations more refined, more lovingly, healthier, and more beautiful. Keywords: stereotype, kawruh jiwa, the fourth dimension, Kramadangsa, juru catat.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan yang memiliki potensi pemecahbelah dan penghancuran di antara sesama bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan, antara lain karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotype dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primodial yang subjektif. Konflik-konflik antar etnik dan antar agama yang terjadi seringkali berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan jati diri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada. Hasil penelitian Suparlan (2003) di Kalimantan dan Maluku menemukan, karena ideologi keetnikan dan pengaktifan jati diri etnik, maka preman Madura yang mengawali konflik di Sambas dianggap mewakili suku Madura, sehingga konflik berkembang menjadi konflik antar etnik. Demikian pula yang terjadi di Ambon, di mana bentrokan antara penduduk Ambon dengan penduduk Buton Bugis Makasar menjadi konflik antaragama. Dengan adanya stereotype dan prasangka serta ideologi keetnikan, masyarakat menjadi lebih mudah saling cakar daripada berangkulan, lebih mudah saling curiga daripada saling mempercayai, lebih mudah bertengkar
daripada bersahabat, lebih mudah menerjang daripada memberi jalan dan seterusnya. Barangkali memang bangsa ini membutuhkan modal sosial yang dapat mendorong saling pengertian bersama dalam berbagai sendi kehidupan Masyarakat majemuk yang menekankan keanekargaman etnik sepatutnya dikaji untuk digeser pada pluralisme budaya (multikulturalisme) yang mencakup tidak hanya kebudayaaan etnik, tetapi juga berbagai kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, harus dibarengi dengan kebijakan politik nasional yang meletakkan berbagai budaya itu dalam kesetaraan. Dengan demikian, tidak ada lagi etnik yang merasa lebih tinggi atau yang merasa terpuruk dan tak berguna, sebab tiada lagi jenjang sosial karena asal etnik. Berkaitan dengan masalah ini, ada baiknya kita terus mencoba berbagai pengetahuan untuk mewujudkan perdamaian masyarakat. Salah satu sumber pengetahuan yang bersifat natural, halus, dan mengajarkan rasa damai, persaudaraan, serta kebahagiaan adalah “kawruh jiwa” dari Ki Ageng Suryomentaram. Inti ajaran kawruh jiwa adalah belajar dan berusaha menemukan “rasa damai,” “rasa bahagia,” serta “rasa persaudaraan,” dan menular-nularkan rasa damai-bahagia tersebut ke pihak lain. Tulisan ini akan memberikan sumbangan pemikiran dari perspektif psikologi indigenous khususnya dari kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram untuk menjelaskan bagaimana konflik antar etnik, antar agama, antar golongan bisa terjadi dan bagaimana usaha preventif agar ke depan di masa yang akan datang tidak ada lagi konflik yang menghambat pencapaian
NANIK PRIHARTANTI
kebahagiaan bersama dalam masyarakat majemuk. Kebijakan-kebijakan apa yang harus dipromosikan agar masing-masing etnik mampu hidup berdampingan secara damai. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, dipaparkan sukubangsa dan kebudayaan dalam masyarakat majemuk. Kedua, penjelasan konseptual ”kawruh jiwa” Ki Ageng Suryomentaram tentang pendekatan ukuran keempat. Ketiga, paparan tentang pendewasaan masyarakat yang merupakan usaha untuk meraih masyarakat yang bahagia sejahtera. Sukubangsa dan Kebudayaan dalam Masyarakat Majemuk Dari berbagai macam kerusuhan dan konflik, yang paling mengerikan dan merugikan adalah konflik antar sukubangsa. Upaya-upaya negosiasi perdamaian yang mengandalkan pihak ketiga - polisi, penegak hukum - yang dianggap mempunyai kekuatan dan kewenangan oleh yang berkonflik, sering mengundang ketidakpercayaan “apakah ada penegak hukum yang dapat berlaku adil dan beradab dan mempunyai visi serta misi perdamaian, wawasan dan pengetahuan multikultural?” Ketidakpercayaan ini dapat dimaklumi mengingat bahwa perbuatan KKN sudah merasuk ke segala penjuru dan bidang kehidupan. Seandainya sebuah konflik telah terselesaikan atas campur tangan pihak ketiga, pertanyaan berikutnya adalah berapa lamakah hidup berdampingan secara damai tersebut dapat dipertahankan mengingat bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia itu berubah, termasuk prinsipprinsip hidup berdampingan secara damai yang merupakan variabel tergantung dari berbagai variabel yang ada dalam kontekskonteks kehidupan bersama tersebut. Sukubangsa adalah golongan sosial yang askriptif berdasarkan atas keturunan dan tempat asalnya. Dengan demikian, jati diri sukubangsa atau kesukubangsaan adalah jati diri yang askriptif yang didapat bersamaan dengan kelahiran seseorang atau tempat asalnya. Bila jati diri sukubangsa tidak digunakan dalam interaksi, jati diri sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut
75
disimpan, dan bukannya dibuang atau hilang (Suparlan, 2003). Lebih lanjut dijelaskan, sebagai golongan sosial, sukubangsa mewujudkan dirinya dalam kolektiva-kolektiva atau masyarakatmasyarakat sukubangsa yang didalam wilayah-wilayah yang diakui sebagai wilayah tempat hidupnya dan merupakan sumbersumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara, kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman bagi kehidupan yang diyakini kebenarannya oleh para pemiliknya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan hidupnya. Kebudayaan diacu oleh para pemeluknya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan adab. Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi pemenuhan untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang suci dan yang kotor, yang indah dan yang buruk, dan sebagainya. Penggunaan kebudayaan dalam pemenuhan sesuatu kebutuhan dilakukan secara sistemik dengan nilai-nilai budaya sebagai inti atau pusatnya, yang diacu untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan tersebut dan untuk pembenaran dan keabsahannya. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai budaya ini diperkuat fungsinya oleh keyakinan keagamaan pemiliknya; di situ dipertegas batas-batas antara yang baik dari yang tidak baik, antara yangg halal dari yang haram, antara yang sah dari yang tidak sah dan sebagainya. Bagi banyak orang keyakinan keagamaan bisa menjadi corak yang primodial karena manusia belajar agama sejak masa kanakkanak. Sementara, kebudayaan dipunyai oleh seseorang atau kolektiva melalui proses belajar dan bukan melalui proses pewarisan yang askriptif, maka hakikat kebudayaan berbeda dengan hakikat kesukubangsaan. Bila hakikat kesukubangsaan adalah konstan, hakikat kebudayaan adalah kumulatif. Seseorang sebagai anggota kolektiva suatu sukubangsa tertentu dapat mempunyai kebudayaan yang mencakup berbagai unsur dari satu atau sejumlah kebudayaan lainnya, atau hanya kebudayaan sukubangsa tempat dia menjadi warganya. Apakah konflik antar sukubangsa disebabkan oleh perbedaan kebudayaan? Menurut Parsudi Suparlan (2003) konflik
76
NANIK PRIHARTANTI
antar sukubangsa bukan disebabkan oleh perbedaan kebudayaan. Dalam sejarah kemanusiaan tidak pernah ada bukti bahwa sesama manusia itu konflik atau saling berbunuhan karena perbedaan kebudayaan. Yang terjadi adalah mereka itu dapat saling bermusuhan karena memperebutkan sumber-sumber daya, termasuk harga diri dan kehormatan dalam struktur sosial kehidupan mereka, dengan menggunakan kebudayaan yang mereka punyai masing-masing sebagai acuan stereotype dan prasangka bagi landasan penciptaan batas-batas sosial dan budaya di antara mereka, dan dalam mengorganisir diri untuk bermusuhan. Penghancuran terhadap setiap harta benda yang bercirikan kebudayaaan sukubangsa pihak lawannya tidaklah dapat diartikan sebagai konflik sukubangsa yang disebabkan oleh adanya perbedaan kebudayaan. Hakikat konflik antarsukubangsa adalah konflik penghancuran kategori sukubangsa. Segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri yang tergolong sebagai sukubangsa pihak lawan akan dihancurkan. Begitulah yang sebenarnya terjadi. Konsep Pendekatan Ukuran Keempat dari Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram Konsep-konsep Ki Ageng Suryomentaram sudah banyak diteliti dan dikaji oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi dan antropologi budaya, baik dari dalam maupun luar negeri. Someya Yoshimichi (2001), seorang guru besar Antropologi dari Jepang, menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa kawruh jiwa bersifat universal, dapat diterapkan pada orang Jepang dan berpotensi untuk membuka jalan baru bagi manusia yang sedang menderita. Jalan yang ditawarkan adalah melalui cara berpikir untuk menjadi bahagia. Memperjelas temuan Yoshimichi ini, penelitian Soegito (2000) menjelaskan bahwa gagasan-gagasan Ki Ageng Suryomentaram (hidup pada tahun 1892 -1962) muncul dan berkembang dari refleksi pengalaman hidupnya serta fenomena konkret yang ditemui dalam masyarakat zamannya. Salah satu penggalan pelajaran kawruh jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram yang
amat penting untuk hidup bergaul sehat dan bahagia adalah yang disebutnya sebagai pendekatan ukuran keempat. Pertumbuhan manusia sampai pada ukuran keempat digambarkan oleh Suryomentaram sebagai Gambar Jiwa Kramadangsa seperti disajikan pada Gambar 1. Dimensi I disebut sebagai juru catat. Di sini fungsi fisik yang berperan dalam merespon lingkungan melalui panca indera, akan mencatat (mempersepsi) segala hal yang berhubungan dengan dirinya. Hasil mencatat adalah berupa serangkaian catatan yang berada pada dimensi II. Dalam dimensi II ini sudah mulai tumbuh fungsi perasaan (emosi) yang akan melandasai atau mewarnai sekumpulan catatan-catatan yang telah terserap melalui dimensi I sebelumnya. Dalam konteks masyarakat majemuk, disinilah munculnya perasaan sentimen-sentimen kesukubangsaan, kehormatan, kekuasaan, golongan, dan muncul juga berbagai rasa hidup seperti iri (meri), sombong (pambegan), rasa unggul, dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam dimensi III muncul identitas kramadangsa yang sering disebut juga sebagai ”si tukang pikir,” di sini fungsi kognisi mulai berperan, terutama selalu memikirkan catatan-catatannya yang telah terakumulasi selama rentang kehidupannya. Dapat dikatakan semua manusia akan mampu dengan mudah bertumbuh sampai pada dimensi ketiga ini, bertumbuh dalam dimensi fisik, emosi, dan kognisi. Namun, tidak demikian halnya untuk dapat sampai ke dimensi IV (ukuran keempat) yang disebut identitas manusia tanpa ciri (istilah asli dari Ki Ageng Suryomentaram adalah menungso tanpo tenger). Ciri (tenger) di sini adalah ciri yang digambarkan sesuai dengan catatancatatan yang hidup pada dimensi II. Kalau dalam identitas kramadangsa, manusia selalu terikat oleh ciri-ciri yang dimilikinya sebagai pengaktifan jati diri (misalnya ‘aku Jawa’, ‘aku Sunda’, ‘aku kaya’, ‘aku miskin’, ‘aku Islam’, ‘aku Kristen’, ‘aku dendam’, ‘aku berkuasa’ dan seterusnya), maka dalam identitas manusia tanpa ciri segala macam catatan tadi tidak lagi mengikat erat menjadi identitas jati diri yang eksklusif. Sebaliknya, yang ada adalah rasa sama, manusia dengan rasa bebas, rasa damai. Untuk dapat sampai pada dimensi IV ini tidak berlangsung secara otomatis, tetapi
NANIK PRIHARTANTI
77
Juru Catat
Dimensi I
Catatan-catatan
Dimensi II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
H A R T A
K E H O R M A T A N
K E K U A S A A N
K E L U A R G A
G O L O N G A N
K E B A N G S A A N
J E N I S
K E P A N D A I A N
K E B E R A N I A N
I L M U
R A S A
P E N G E T A H U A N
H I D U P
B E N D A
Kramadangsa Manusia Tanpa Ciri
Dimensi III Membela diri Dimensi IV
gambar jiwa sehat Gambar 1. Gambar Jiwa sehat Kramadangsa perlu perjuangan mengalahkan “pembelaan diri,” perlu menumbuhkembangkan fungsi intuitif sehingga memiliki kepekaan untuk dapat menghayati rasa orang lain (empati). Dinamika pergeseran identitas kramadangsa menuju identitas manusia tanpa ciri dapat penulis gambarkan sebagaimana disajikan dalam Gambar 2 (Prihartanti, 2004). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan ukuran keempat (dimensi IV) itu seseorang yang ada pada tahapan tersebut selain mengerti diri sendiri, mengerti hukum-hukum alam, juga mengerti rasa (raos) orang atau pihak lain. Menurut Ki Ageng ukuran keempat adalah salah satu alat dalam rasa seseorang yang dapat dipergunakan untuk merasakan rasa orang
lain (salah satunggaling pirantos wonten ing raosing tiyang ingkang kangge ngaraosaken raosing sanes). Menurut Ki Ageng, bergaul dengan orang lain berarti kita berhadapan dengan rasa atau perasaaan orang lain. Hal ini tidak jauh berbeda dengan maksud Comte dengan sifat altruistik. Seseorang yang mulai menginjak dewasa mestinya mulai meninggalkan sifat-sifat egoistik dan memasuki keinginan-keinginan untuk berbuat baik bagi orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk dapat hidup berdampaingan secara damai dan bahagia ditengah masyarakat majemuk, hal yang pertama kali harus diusahakan adalah mendewasakan individuindividunya terlebih dahulu. Dewasa dalam
NANIK PRIHARTANTI
78
Lingkungan (stimulus)
Tidak berhasil
MAWAS DIRI Integrasi fungsi : kognisi dan emosi menuju intuisi
KRAMADANGSA
Respon egoistik
Berhasil
MANUSIA TANPA CIRI
Respon altruistik
Gambar 2. Dinamika pergeseran identitas kramadangsa menuju identitas manusia tanpa ciri. arti mampu bertumbuh sampai pada identitas manusia tanpa ciri. Konsep hidup bahagia yang dimaksud Ki Ageng adalah hidup bahagia bersama. Bukan bahagia sendiri lalu orang lain tidak bahagia. Seseorang mustahil dapat hidup bahagia tanpa berusaha mendukung kebahagiaan orang lain. Sapa wonge golek kepenak tanpa ngepenakke tanggane, iku padha karo gawe dhadhung sing kanggo njiret gulune dhewe. Maksudnya, kurang lebih adalah jika seseorang mencari keuntungan tanpa berusaha membuat orang lain juga memperoleh keuntungan apalagi jika sampai merugikan orang lain, maka sama saja ia menyiapkan tali untuk menjerat lehernya sendiri. Kunci dari kemampuan untuk memahami pihak lain adalah adanya pengertian tentang rasa sama, semua orang itu punya rasa sama (raos sami, sadaya tiyang punika raosipun sami), jadi tidak layak untuk dibeda-bedakan. Dengan pendekatan ukuran keempat itu diharapkan tata kehidupan masyarakat menjadi lebih sehat dan bahagia. Antar individu dapat saling mengerti, antar kelompok dapat saling memahami, rakyat mengerti pemimpinnya, dan yang lebih penting lagi pemimpin memahami rakyatnya sampai kepada rasa jiwanya yang paling dalam sehingga bersedia melakukan
pengorbanan yang dianggapnya bukan berkorban namun sebagai suatu keharusan yang menyenangkan. Pengembangan ukuran keempat diharapkan menyebabkan tata pergaulan menjadi lebih halus, penuh kasih sayang, sehat, indah, nyaman, damai, dan bahagia. Begitupun dalam pergaulan antar etnis dan antaragama di Indonesia. Pendewasaan Individu, Pendewasaan Masyarakat Pembangungan masyarakat seringklai tidak berdasarkan atas hal-hal yang nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata, sehingga menimbulkan bentrokan. Idealnya membangun masyarakat yang luas itu harus dimulai dari masyarakat lingkungan kecil, yaitu lingkungan keluarga. Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram layak kita renungkan: “Apakah seseorang itu diperuntukkan bagi masyarakat, atau masyarakat itu diperuntukkan bagi seseorang?” Ada dua kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Yang pertama, bahwa seseorang itu untuk masyarakat, dan yang kedua masyarakat itu untuk seseorang. Jawaban bahwa masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan
NANIK PRIHARTANTI
ialah perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang. Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu dipergunakan oleh masing-masing orang untuk mencari kekayaan sebanyakbanyaknya, tidak kenal batas, sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal ini kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup adalah untuk melangsungkan kehidupan sedangkan perang ialah bunuh membunuh, maka dengan dalih apapun perang adalah jahat dan keliru. Jawaban lainnya bahwa seseorang untuk masyarakat, ini pun keliru. Kekeliruan ini terdapat pada kedua pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Keadaan yang sebenarnya adalah bahwa seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu badan kesatuan. Masyarakat itu terjadi dari hubungan seorang dengan seorang yang diatur dengan peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian atau undang-undang. Jika ditulis undangundang ini inamakan tata negara, jika tidak dituls dinamakan atauran masyarakat. Sifat undang-undang atau hubungan itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang yang berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya (masyarakat) pun tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya (masyarakat) pun menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang
79
atau hubungan itu ibarat asap, maka orang ibarat apinya. Maka bila usaha kita hanya menghilangkan asap tanpa memadamkan api, usaha itu pasti akan sia-sia. Kalau kita hendak membangun negara Indonesia yang damai, haruslah dicari jawaban atas pertanyaan, ”bagaimanakah cara orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan tidak bertindak sewenangwenang.” Sampai sekarang belum ada suatu jaminan bahwa orang yang berkuasa pasti tidak mabuk dan tidak bertindak sewenangwenang. Penutup Jika kita sepakat bahwa individu adalah apinya dan masyarakat adalah asapnya, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya kita dapat membuat api-api yang berkualitas prima agar asapnya pun berkualitas handal? Menurut hemat penulis kuncinya adalah ada pada pendidikan sejak usia dini. Sudahkah sistem pendidikan kita memberikan tempat yang subur untuk menumbuhkembangkan seorang individu tumbuh dewasa secara utuh sebagai makhluk multidimensi? Tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas emosi, cerdas sosial, dan cerdas spiritual? Saatnyalah kebijakan di bidang pendidikan mulai memperhatikan hal ini. Sebuah ”Pe Er” besar bagi institusi pendidikan di tanah air tercinta.
DAFTAR PUSTAKA Prihartanti, N. (2004). Kepribadian sehat menurut konsep Suryomentaram. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Suryomentaram, G., Suastika, K.O, & Atmosentono, K.M. (1985). Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Jakarta: Inti Idayu Press.
Soegito, A. Y. (2000). Menuju kebahagiaan. Suatu telaah tentang faham kebahagiaan menurut Ki Ageng Suryomentaram. Thesis. Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, Jakarta.
Yoshimichi, S. (2001). Kawruh jiwa: Suatu cara untuk menyelamatkan manusia yang sedang menghadapi kesusahan. Makalah laporan Penelitian. Dipresentasikan di Pusat Studi Jepang, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Suparlan, P. (2003). Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman sukubangsa atau kebudayaan? Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, Th. XXVII, No 72, 25- 37.
Alamat e-mail:
[email protected]