Repre(si/sentasi) Identitas dalam Puisi The British Karya Benjamin Zephaniah oleh: Rasus Budhyono
1. Pendahuluan
Benjamin Zephaniah (lahir 15 April 1958) adalah seorang penulis drama, novel, dan puisi berdarah Jamaica. Ia pindah ke Inggris pada tahun 1979. Kumpulan puisi pertamanya diberi judul Pen Rhythm, dan terbit pada tahun 1980. Ia mendapatkan gelar Doktor kehormatan dari University of London, University of Central England, dan University of Staffordshire. Pengalaman pribadi Zephaniah sebagai imigran di Inggris yang banyak menyaksikan dan menerima perlakuan diskriminatif menyebabkan banyak tulisannya bermuatan protes.
Salah satu puisinya yang bernada demikian adalah The British. Meskipun puisi ini bisa dibilang pendek, ada beberapa isu yang kompleks, saling terkait, betumpang-tindih dan ideologis yang terkandung di dalamnya. Isu-isu tersebut berputar pada masalah representasi identitas orang nonAnglosaxon, pembentukan identitas tersebut, marjinalisasi, dan relasi kekuasaan antara orang keturunan Anglosaxon dan non-Anglosaxon.
Mengingat keruwetan masalah-masalah di atas, diperlukan sebuah kerangka berpikir yang kemudian bisa menjadi sebuah landasan untuk membongkar lapisan puisi di atas. Kerangka berpikir
yang
akan
dijabarkan berikut
menyangkut
beberapa
pendekatan,
yakni
pascakolonialisme, multikulturalisme, feminisme, dan teori kekuasan dari Michel Foucault.
2. Pascakolonialisme, Hibriditas, Feminisasi, dan Kekuasaan
Inggris adalah sebuah bangsa yang sejarah panjangnya banyak diwarnai oleh isu kekuasaan, kolonialisme, dan imperialisme. Ketiga hal ini kemudian ternyata membawa masalah yang cukup rumit ketika Inggris harus mendefinisikan dirinya sebagai sebuah bangsa. Pertanyaan sulit yang
1
pertama adalah: siapakah yang dimaksud dengan orang Inggris? Sangat dilematis untuk menjawab pertanyaan mengenai identitas ini. Usaha untuk menjawabnya mengharuskan adanya penelusuran dan pembongkaran terhadap sejarah Inggris.
Biasanya ada beberapa patokan yang dianggap sebagai pembangun indentitas sebuah bangsa: asal-usul keturunan dan geografis, ras, dan bahasa. Dalam kasus Inggris, kategori ini bermasalah. Pertama, nenek moyang bangsa Inggris yang kita kenal sekarang bukanlah penduduk asli Inggris. Kedua, bangsa Inggris sekarang sudah terdiri dari banyak unsur rasial dan bangsa-bangsa lain sebagai akibat dari imperialisme. Ketiga, bila dilihat dari bahasa, usaha mengidentifikasi semakin sulit karena Bahasa Inggris adalah bahasa dengan pengguna terbanyak di dunia, dan banyak orang Inggris imigran yang multilingual (Budhyono dkk., 2004: 1-2).
Apapun masalahnya, selalu ada kebutuhan bagi sebuah bangsa sebagai sebuah entitas/subjek/diri untuk memiliki identitas yang membedakannya dari yang lain. Ini berarti konsep identitas bangsa memiliki kepentingan politik, apalagi bila berkaitan dengan sebuah bangsa yang terdiri dari beragam etnis. Identitas ini harus bersifat seragam dan sangat khas. Akan tetapi, mengingat keberagaman penduduk yang kini mendiami Inggris, identitas ni i sulit dibangun. Sebagai kelompok mayoritas yang berkuasa dan berabad-abad telah melakukan kolonialisasi dan imperialisme,
maka
kelompok
keturunan
Anglosaxon-lah
yang
mendominasi
proses
pembentukan identitas bangsa ini. Adanya dua kelompok besar, keturunan Anglo-saxon dan non-Anglosaxon1, ternyata adalah kelanjutan pola oposisi biner yang melandasi pemikiran Strukturalisme. Bila dilanjutkan oposisi biner yang berlandaskan pada difference (perbedaan) ini sejalan pasangan-pasangan lainnya, seperti: “centre/margin, self/other, colonizer/colonized (Ashcroft dkk. 1995:86) yang sudah dianggap terberi dan menjadi konstruk yang sangat ajeg.
Oposisi biner ini dapat diteruskan: aktif/pasif, kultur (sejarah, seni, logika, tindakan)/nature, sejarah (his-story)/mitos (her-story), feminin/maskulin, ayah/ibu dan anak, publik/domestik
1
Konsep pemikiran Barat secara umum dan Inggris secara khusus telah mereduksi keberagaman kaum keturunan non-Anglosaxon menjadi hanya satu entitas saja.
2
(dimodifikasi dari Cixous, 1989:101). Dari sini terlihat bahwa pada suatu titik liyan dalam konteks kelompok non-Anglosaxon mengalami feminisasi beserta atribusi-atribusinya.
Kembali ke permasalahan pembentukan identitas, dalam konteks bangsa Inggris yang tidak tunggal, cara yang pernah dan masih (?) dilakukan untuk mengatasi masalah identitas ini adalah dengan konsep yang dikenal dengan melting pot. Istilah melting pot adalah sebuah metafora yang merujuk kepada suatu wadah yang di dalamnya segala unsur melebur menjadi sesuatu yang baru. Dalam kasus sebuah bangsa, produk sebuah melting pot adalah identitas baru yang hibrid karena dalam proses produksinya telah mengalami efek pembungkaman/silencing effect (Ashcroft dkk. 1995:4) terhadap keberagaman, sejarah, budaya, dan hal-hal lain yang ditolak oleh pihak yang tidak menginginkannya sebagai pembangun identitas hibrid ini.
Konsep melting pot kemudian dianggap menjadi sebuah “kebenaran”, yang oleh Foucault dipahami “as a system of ordered procedures for the production, regulation, distribution, circulation and operation of statements” (1977:1445). Dalam pandangan Foucault, “kebenaran”2 terkait dengan sistem kekuasaan yang menghasilkan dan mempertahankannya. Sistem kekuasan ini disebut Foucault sebagai rezim kebenaran (ibid).
3. Analisis terhadap Puisi The British Karya Benjamin Zephaniah The British Serves 60 million
Iraqis and Bangladeshis together with some Afghans, Spanish, Turkish, Kurdish, Japanese And Palestinians Then add to the melting pot.
Take some Picts, Celts and Silures And let them settle, Then overrun them with Roman conquerors.
Leave the ingredients to simmer.
Remove the Romans after approximately 400 years Add lots of Norman French to some Angles, Saxons, Jutes and Vikings, then stir vigorously.
As they mix and blend allow their languages to flourish Binding them together with English. Allow time to be cool.
Mix some hot Chileans, cool Jamaicans, Dominicans, Trinidadians and Bajans with some Ethiopians, Chinese, Vietnamese and Sudanese.
Add some unity, understanding, and respect for the future, Serve with justice And enjoy.
Then take a blend of Somalians, Sri Lankans, 2
Di sini ada kesengajaan untuk menulis kata kebenaran dengan tanda kutip. Kata kebenaran yang bertanda kutip mengacu kepada proposisi yang, meminjam konsep Foucault, telah diproduksi, disebarkan, diputarkan, dan dioperasikan. Ada kebenaran lain, yakni the Other truth, atau kebenaran Liyan yang secara politis dan ideologis tidak sesuai dengan dan bahkan subversif terhadap “kebenaran” dan karenanya dibungkam (silenced).
3
Nigerians And Pakistanis, Combine with some Guyanese And turn up the heat.
Note: All the ingredients are equally important. Treating one ingredient better than another will leave a bitter unpleasant taste. Warning: An unequal spread of justice will damage the people and cause pain. Give justice and equality to all.
Sprinkle some fresh Indians, Malaysians, Bosnians,
Puisi ini dapat dikatakan sebagai sejarah singkat keragaman etnis yang berada dalam naungan kekuasaan imperial Inggris dan konsep pembentukan identitas darinya. Akan tetapi ada permasalahan dalam penyajian sejarah ini. Ia telah mengalami reduksi, penyederhanaan, dan kondensasi (atau summary dalam teori narasi Genette (1980:94-95) yang teramat sangat sehingga menjadi puisi yang relatif pendek. Fase sejarah pertama adalah fase yang berkaitan dengan (yang dianggap sebagai) penduduk asli3 pulau Briton (nama Inggris kuno untuk pulau utama di kepulauan Britania), yakni bangsa Picts, Celts and Silures. Kemudian, fase-fase selanjutnya adalah fase pendudukan Romawi, kedatangan bangsa Angles, Saxon, Viking, dan Normandia. Bait ketiga merupakan fase setelah Inggris menjadi negara yang mengkolonisasi. Akibatnya, datanglah bangsa-bangsa di luar Eropa menjadi bagian dari imperium Inggris.
Dalam puisi digambarkan bahwa keberagaman suku bangsa yang membentuk bangsa Inggris ini dihilangkan dengan membuat sebuah masakan dalam sebuah kuali (melting pot). Masakan yang dihasilkannya lalu menjadi hidangan yang sama sekali tidak menunjukkan jejak-jejak bahan pembuatnya. Semuanya telah padu menjadi hidangan yang enak untuk disajikan. Semua bahan telah menyatu dan menjadi hibrid karena diikat oleh suatu kesamaan yakni Bahasa Inggris. Pembentukan identitas hibrid liyan melalui konsep melting pot sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi diri. Sebagaimana diutarakan Said, “The Orient [dalam konteks puisi ini non-Anglosaxon sebagai liyan] is not only adjacent to Europe [baca Inggris]; it is also the place of Europe’s greatest and richest and oldest colonies, the source of its civilizations and languages, its cultural contestant, and one of its deepest and most recurring images of the Other. The Orient has helped to define
3
Menyebut bangsa Celt, Pict, dan Silure sebagai penduduk asli pulau Briton adalah bermasalah. Ini adalah anggapan yang terjadi karena bukti-bukti arkeologi, sejarah, dan tulisan, terutama dari Bede The Venerable, menyebutnya demikian. Pertanyaan mengenai apakah ketiga bangsa di atas betul-betul penduduk asli dan bukan merupakan pendatang yang telah mengusi(r/k) penduduk yang telah ada sebelumnya adalah sebuah spekulasi yang patut dipertimbangkan (Budhyono dkk., 2004:.3)
4
Europe (or the West) as its contrasting image, idea, personality, experience. The Orient is an integral part of European material civilization and culture” (Said, 1978: 87). Bila demikian, maka mengubah identitas liyan menjadi seperti diri sebenarnya akan membuat diri takteridentifikasi karena pembedanya yakni liyan hilang. Tak ada lagi oposisi biner.
Kembali ke permasalahan sejarah, dalam puisi ini sejarah liyan selain direduksi juga mengalami mangalami feminisasi. Sejarah (his-story) yang dianggap masuk ke wilayah maskulin disajikan dalam bentuk resep masakan yang berada dalam ranah feminin karena kegiatan memasak adalah sebuah kegiatan domestik. Resep bukanlah his-story melainkan her-story. Digambarkan bahwa alat untuk membuat masakan adalah sebuah melting pot, sebuah kuali untuk melebur semua bahan. Menurut kategori oposisi biner, kuali ini juga masuk ke wilayah feminin.
Resep makanan ini menyebutkan bahwa hidangan harus disajikan bersama hidangan lainnya, yakni “justice” agar dapat dinikmati. Akan tetapi ternyata keadilan ini adalah hidangan lain selain makanan yang tadi dibuat dalam kuali. Dengan demikian secara tersirat dapat dikatakan bahwa keadilan tidak pernah ada, ditambahkan, atau menjadi bahan/dasar pembuatan berdasarkan resep di atas. Apalagi bila diingat bahwa kuali yang digunakan untuk memasak juga dapat menimbulkan pertanyaan: apakah benar semua bahan sudah digunakan (tak tertinggal) dan muat di dalam kuali? Padahal, menurut Stuart Hall “identitas adalah produksi yang tidak pernah selesai” (Budianta, 2002:61). Pertanyaan tadi menegaskan kembali bahwa keadilan adalah makanan lain yang dihidangkan agar makanan utamanya (main course) terasa lebih nikmat.
Untuk meleburkan semua bahan, resep menganjurkan untuk menaikkan suhu kompor untuk memanaskan kuali: “turn up the heat”. Alih-alih memasukkan keadilan ke dalam masakan, resep ini malah membutuhkan suhu tinggi yang memaksa semua bahan berubah wujud jadi cair. Perubahan ini bersifat destruktif karena bahan-bahan kehilangan ciri dan bentuknya masingmasing. Pemanasan suhu adalah sebuah pemaksaan.
Kemudian, yang juga menarik dalam puisi ini adalah suara narator yang bergender dualis. Ia feminin sekaligus maskulin. Pada awalnya ia memainkan seperti seorang juru masak yang sedang mengajarkan resep makanan. Ini berarti narator sengaja memasuki wilayah domestik
5
yang diatribusikan kepada gender feminin. Meskipun demikian, tetap saja suara maskulinnya tidak lenyap saat narator mengambil peran feminin. Kalimat-kalimat yang digunakan untuk mengajarkan resep adalah kalimat-kalimat perintah. Ciri kalimat perintah adalah tidak adanya subjek. Apa yang diperintahkan di sini lebih penting dari narator sebagai subjek. Mengingat bahwa dalam perintah, sebagaimanapun halusnya, selalu ada unsur otoritas, dan otoritas berada di dalam wilayah gender maskulin. Saat memainkan peran feminin ini, suara-suara bernada maskulin masih terasa ada.
Peran feminin tadi kemudian berganti di bagian akhir saat narator secara penuh memainkan peran maskulin. Hal ini dapat terlihat dari sikap otoriter yang seolah-olah bernada ancaman, apalagi ditambah catatan dan peringatan yang tertulis dengan cetak tebal, dan bila dibaca memerlukan penekanan yang kuat. Peringatan ini bernada propaganda. Dikatakan bahwa keadilan diperlukan untuk semuanya, dan bahwa bila ini diabaikan, niscaya buruklah akibatnya. Ada ironi dalam pesan akhir koki ini. Ia menyarankan perlakuan yang adil setelah kue siap dihidangkan. Padahal, dalam teks dikatakan bahwa pembuatan resep ini memerlukan suhu tinggi, dan bahwa keadilan adalah hidangan lain yang dimasak terpisah sehingga unsurnya tidak ada dalam makanan yang dibuat berdasarkan resep yang ditawarkan.
Bila dikaitkan dengan pemikiran Foucault tentang “kebenaran”, maka resep masakan dalam puisi ini adalah “kebenaran” dan narator adalah rezim “kebenaran”. Untuk kepentingan produksi masakan “kebenaran”, koki sebagai rezimnya seolah-olah “rela” untuk meninggalkan wilayah maskulin untuk masuk ke wilayah feminin, meskipun ternyata suara-suara maskulinnya masih terasa. Berperan sebagai koki adalah cara yang diambilnya untuk mendistribusi sekaligus meregulasi “kebenaran”. Ketika tiba saatnya bagi narator untuk menjamin “kebenaran” yang diproduksi dan didistribusikannya, narator berganti peran menjadi peran maskulin. Maka cara apapun niscaya akan dihalalkan narator demi kepentingan “kebenaran” itu.
4. Penutup
6
Puisi The British karya Benjamin Zephaniah dengan demikian adalah sebuah kritik terhadap sejarah, pembentukan identitas, dan kekuasaan yang menaungi bangsa Inggris yang terdiri dari banyak suku bangsa. Puisi ini menyajikan bahwa identitas yang dicoba dibangun hanyalah akan menjadi sebuah konstruksi sebuah rezim “kebenaran” yang dapat memainkan banyak peran demi menjaga kepentingannya. Pada akhirnya, “kebenarn” tentang konstruk identitas melahirkan manusia-manusia hibrid tanpa jejak masa lalu maupun asal-usulnya.
7
5. Daftar Acuan
Ashcroft, Bill dkk. (ed.) The Post-colonial Studies Reader, 1995, Routledge, New York,
Budhyono, Rasus dkk. 2004. Pengantar Kesusastraan Inggris. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Budianta, Melani. 2002 Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial, makalah dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia.
Cixous, Hélène, 1989. Sorties: Out and Out: Attacks/Ways Out/Forays, dalam Belsey, Catherine dan Jane Moore (ed.), The Feminist Reader: Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism. Blackwell Publishers, Massachusetts.
Foucault, Michel. 1977. Truth And Power dalam dalam Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory since Plato, Revised Edition. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Fort Worth.
Said, Edward. 1978. Orientalism dalam Ashcroft, Bill dkk. (ed.). 1995. The Post-colonial Studies Reader. Routledge. New York.
Saussure, Ferdinand de. Course in General General Linguistics dalam Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory since Plato, Revised Edition. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Fort Worth.
8