Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
UNSUR ROMANTISME DALAM PUISI KARYA MATSUO BASHŌ Ferdina Wahyu Arista, Dewi Anggraeni Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Matsuo Bashō hidup di era Tokugawa. Dunia sastra di negara Jepang saat itu dapat dikatakan bersih dari kontaminasi aliran sastra barat karena politik sakoku yang diterapkannya. Sementara di Eropa telah berkembang aliran sastra baru yang disebut dengan romantisisme. Aliran ini menitikberatkan pada perasaan dan emosionalitas. Meskipun Jepang tidak mendapatkan pengaruh dari pemikiran barat, unsur-unsur romantisme banyak ditemui dalam karya sastra Jepang, seperti puisi karya Matsuo Bashō. Dalam karya Matsuo Bashō terdapat pemujaan terhadap alam, pengungkapan perasaan yang dalam dan spontan, imajinasi serta subjektivitas yang bersifat individual, yang merupakan unsur romantisme. Adanya unsur romantisme dalam karya Matsuo Bashō disebabkan oleh banyaknya kemiripan ideologi sastra Jepang klasik dengan romatisme.
The Romanticism Elements in Poetry by Matsuo Bashō Abstract Bashō Matsuo lived in the Tokugawa era. The literature world in Japan at that time can be said to clean from the streams of western literature contamination due to the political sakoku are applied. While, in Europe has been growing a new stream of literature called romanticism. This stream focuses on the feelings and emotionality. Although Japan did not get the influence of western thought, the elements of romanticism were encountered in the works of Japanese literature, such as poetry by Bashō Matsuo. In the Matsuo Basho poetry there is the glorification of nature, the disclosure of a spontaneous feelings, imagination and subjectivity, which is an element of romanticism. The element of romanticism in the works Matsuo Basho caused by many similarities between ideological of Japanese classical literature and romaticisme Keywords: Bashō, Poetry, Romanticism, Emotionality, Nature
Pendahuluan Matsuo Bashō adalah salah satu penyair Jepang yang terkenal dengan kekhasan karyanya. Ia merupakan murid Buddha Zen yang memiliki perhatian besar terhadap syair-syair karya Matsunaga Teitoku. Di usia yang sangat muda, sembilan tahun, ia merantau ke Edo (sekarang disebut Tokyo). Di kota Edo, Matsuo Bashō memulai karirnya sebagai seorang penyair (Imoto, 1986 : 12-14). Dalam puisi-puisi karya Matsuo Bashō banyak ditemui unsur sabi, salah satu konsep estetika Zen. Sabi mempunyai arti “sepi” dan “tenang”. Dalam kehidupan manusia sabi memiliki makna ketenangan yang ingin dicapai manusia dengan cara meninggalkan kehidupan keduniawian. Matsuo Bashō menjadikan konsep ini sebagai inti dari puisi-puisi karyanya (Mandah, et.al., 1992 : 25). Meskipun demikian, di dalam karya-karya Matsuo Bashō dapat ditemui unsur ideologi sastra lainnya, diantaranya adalah unsur romantisme.
1
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
Romantisme adalah aliran sastra yang berkembang di Eropa yang muncul sebagai reaksi pada aliran rasionalisme yang cenderung kaku dan terlalu mengedepankan rasio. Aliran ini sangat mengedepankan perasaan dan emosionalitas (Shaari, 2002 : 87). Romantisme berasal dari kata romantic dalam Bahasa Inggris. Kata ini sering digunakan pada roman-roman heroik Perancis pada pertengahan abad ke-17. Romantic sebenarnya juga mengandung pengertian pertualangan yang jauh dari kehidupan biasanya, sehingga menjadi sesuatu yang tidak nyata dan penuh khayalan. Pada abad ke-18 istilah romantisme umumnya mengacu pada kebangkitan pemikiran dan emosi yang tidak pernah dipengaruhi oleh rasionalisme pada abad tersebut (Noyes, 1967 : XX). Kemunculan romantisme tidak terlepas dari pengaruh berbagai peristiwa penting yang terjadi di Eropa pada zaman Renaissance, seperti revolusi Perancis dan revolusi industri di Inggris. Semangat pencerahan yang sangat hebat pada saat itu menempatkan rasio pada posisi tertinggi untuk memahami alam semesta. Apapun yang ada dan terjadi di jagad raya harus dapat diterjemahkan dengan rasio, sehingga terjadilah penyisihan terhadap kehidupan rohani dan kepekaan perasaan yang tidak dapat dijelaskan dengan akal manusia secara keseluruhan. Hal ini ternayata menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat Eropa itu sendiri, yang mampu memunculkan kembali semangat untuk memperoleh kemerdekaan emosi dan kedaulatan pribadi. Semangat romantisme yang menekankan nilai-nilai ketulusan hati, spontanitas, dan penentangan terhadap pengekangan menjadi salah satu pemecahan masalah kala itu, sehingga aliran ini mampu berkembang dengan pesat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang kesusastraan. Romantisme menurut Merriam Webster’s dalam Enyclopedia of Literature (1995), muncul sebagai reaksi terhadap pencerahan dan neoklasikisme yang berfokus pada akal, keteraturan, keseimbangan, harmoni, rasionalitas dan intelektualitas. Romantisme bercirikan memiliki sifat individualis, subjektif, irrasional, imajinatif, pribadi, spontanitas, emosional, khayalan, dan transendental. Kamus Istilah Sastra (Zaidan, et al., 1994 : 175) menyebutkan bahwa romatisme adalah aliran sastra yang memiliki ciri (a) minat pada alam dan cara hidup sederhana (b) kepercayaan pada keindahan dan kebaikan moral manusia yang belum dipengaruhi budaya modern (c) penekanan pada kespontanan dalam pikiran dan tindakan serta pengungkapan pikiran. Sedangkan menurut Pemandu di Dunia Sastra (Hartoko, 1986 : 122), romatik adalah sebuah istilah kebudayaan yang menonjolkan pemujaan terhadap alam murni, masa silam, sesuatu yang eksotis, misterius, bebas, pemberontakan terhadap saya hidup teratur, orisinal, dan memiliki identitas nasional. Jika dilihat secara umum dapat dikatakan bahwa romantisme memiliki ciri-ciri antara lain : memiliki perhatian yang besar dan memuja alam, emosi yang mengalahkan rasionalitas, individualisme dan mengedepankan kepentingan diri, khayalan dan imajinasi yang tinggi, sederhana tanpa pengaruh modernitas, spontan, menyukai hal-hal yang erotik serta pemberontakan terhapadap aturan atau tatanan yang ada dalam masyarakat. Dimanakah aliran ini lahir? Tempat lahirnya aliran ini tidak dapat ditentukan secara pasti. Sebagian ahli berpendapat bahwa romantisme pertama kali muncul di Inggris. Namun ada juga yang berpendapat muncul di Jerman. Akan tetapi, satu hal yang disepakati secara umum adalah Jean-Jacques Rousseau sebagai Bapak Gerakan Romantisme. Hal ini dibuktikan dari besarnya pengaruh karya-karya Jean-Jacques Rousseau terhadap karya-karya sastrawan Eropa. Salah satu karya Jean-Jacques Rousseau yang mempunyai pengaruh besar adalah roman Julie ou Nouvelle Héloïse mengusung tema percintaan. Di Jepang sendiri, romantisme di bidang kesusastraan baru berkembang setelah penghapusan politik sakoku dan terbukanya negara Jepang bagi asing pada pertengahan zaman Meiji. Banyak karya-karya sastra dari barat yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang. Hal ini juga mempengaruhi tema-tema karya sastra yang lahir saat itu. Tokohtokoh sastra yang menganut aliran romantisme dintaranya adalah Shimazaki Tōson dan Kitamura Tokoku. Mereka berdua merupakan penulis puisi yang sangat kental dengan romantisme. Puisi-puisi karyanya banyak yang melukiskan keindahan cinta yang spontan. Lalu dalam bidang prosa terdapat Izumi Kyoka. Prosa-prosa karyanya juga banyak mengungkapkan perasaan yang dalam dan spontan, penentangan terhadap sitem feodal dan keinginan untuk mencapai kebebasan. Pemikiran mengenai romantisme dari tokoh-tokoh ini awalnya tidak begitu diterima oleh masyarakat Jepang. Hal ini dikarenakan tradisi masyarakat Jepang yang tidak biasa memperlihatkan perasaan secara langsung dan spontan (Mandah, et al., 1992 : 87-88). Media-media yang mewadahi karya-karya beraliran romantisme ini pun berkembang, diantaranya adalah majalah Bungakukai dan Myojo. Kedua majalah ini telah banyak membantu menyebarkan aliran ini dalam masyarakat Jepang, sehingga romantisme akhirnya diterima ditengah-tengah kehidupan masyarakat Jepang (Mandah, et al., 1992 : 87-88). Perkembangan romantisme di Jepang dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, periode awal, yang menekankan pada kebebasan pribadi, menentang kebiasaan dan moral feodal, serta memuliakan seni percintaan. Dukungan terhadap
2
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
romantisme pada periode ini hampir semunya didasari oleh pemikiran humanisme Kristen. Kedua, periode akhir, yang menitikberatkan pada masalah dan kreasi estetika, serta emosi yang sensual. Ketiga, romantisme baru, yang menekankan bahwa seni adalah segalanya dan mencoba mencari keindahan dari buatan manusia yang mengesampingkan alam (Mandah, et al., 1992 : 88).
Meskipun romantisme baru berkembang di Jepang pada zaman Meiji, unsur-unsur dari aliran ini juga dapat ditemukan dalam kesusastraan Jepang klasik. Beberapa karya yang tercipta pada zaman sebelumnya banyak mengandung unsur romantisme, seperti penggambaran perasaan cinta, apresiasi terhadap alam, pengungkapan perasaan yang spontan, dan lain sebagainya. Unsur-unsur ini tertuang dalam ideologi-ideologi kesusastraan Jepang klasik, antara lain yugen dan ushin, aware dan okashi, en dan yoen, serta fuga. Yugen dan ushin merupakan suatu konsep yang menjelaskan tentang keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Pada zaman pertengahan ideologi ini dipakai untuk mengapresiasi alam. Aware mempunyai arti rasa iba. Konsep ini dipakai untuk mengekspresikan perasaan kasihan dan iba yang dirasakan seseorang ketika melihat sesuatu. Okashi adalah ideologi yang menggambarkan ketertarikan pada suatu keindahan, rasa lucu terhadap suatu kejadian, serta ketertarikan pada sesuatu yang kurang senonoh. En dan yoen merupakan ungkapan keindahan untuk mengapresiasi keindahan yang luar biasa dari tubuh wanita. Ideologi ini kemudian berkembang menjadi lebih luas, tidak hanya mengungkapkan keindahan seorang wanita saja, tapi juga mampu menggambarkan keindahan lainnya. Kemundian fuga, bermakna anggun, luwes dan romantik (Mandah, et al., 1992 : 20-27). Semua ideologi ini sejalan dengan romantisme, yang juga mampu menggambarkan keindahan dengan spontan, baik keindahan alam maupun yang lainnya. Selain itu, ideologi-ideologi ini mampu melukiskan kedalaman perasaan seseorang dalam karya-karyanya. Salah satu karya yang tergolong ke dalam kesusatraan Jepang klasik yang memiliki unsur romantisme adalah puisi-puisi karya Matsuo Bashō, walaupun karya-karyanya dapat dikatakan bersih dari kontaminasi pemikiran barat. Anggapan yang selama ini berkembang adalah karya Matsuo Bashō sangat kental dengan konsep sabi, yang kemudian menjadi ciri khas karyanya. Akan tetapi, penulis melihat adanya unsur romantisme dalam karya-karya Matsuo Bashō. Puisi Matsuo Bashō yang mana sajakah yang memiliki unsur romantisme? Bagaimanakah Matsuo Bashō menggambarkan unsurunsur romatisme tersebut dalam puisi-puisinya? Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode deskriptif analitis dengan studi kepustakaan. Deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan data-data yang ada, kemudian mengalisis data-data tersebut dengan menggunakan teori dan pendekatan yang diperlukan. Adapun data-data penulis dapatkan dari berbagai buku, jurbal, artikel, dan sumber lainnya di internet yang berhubungan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan. Data-data yang berupa puisi karya Matsuo Bashō akan dianalisis dengan menggunakan defini dari Kamus Istilah Sastra ( Zaidan, 1994) dan Pemandu di Dunia Sastra (Dick Hartoko, 1986), serta ciri-ciri yang dikemukan oleh Merriam Webster’s dan Russel Noyes. Ciri-ciri yang akan digunakan untuk menganalisis puisi Matsuo Bashō hanya dibatasi pada ciri apresiasi dan pemujaan kepada alam, pengungkapan perasaan yang dalam, subjektivitas, imajinasi, hal-hal yang bersifat erotik, serta spontanitas.
Romantisme dan Puisi Matsuo Bashō Matsuo Bashō adalah seorang penyair yang terkenal dengan konsep sabi dalam puisi-puisi karyanya. Puisi yang mengungkapkan rasa dingin dan kesepian dapat dengan mudah kita temui. Namun, apresiasi Matsuo Bashō terhadap alam dan bagaimana ia melukiskan alam dalam puisinya dapat diindikasikan sebagai unsur romantisisme, aliran yang belum dikenal dalam kesusastraan Jepang saat itu. Dalam Oku no Hosomichi, yang ditulis Matsuo Bashō dalam perjalanannya mencari jati dirinya, terdapat sebuah puisi yang menggambarkan keindahan alam. Hal ini merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam aliran romantisisme.
3
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
Alam dalam romantisisme adalah sesuatu yang patut untuk diapresiasi dan diagungkan. Berikut karya Matsuo Bashō yang mengandung unsur romantisisme, yaitu pemujaan terhadap alam. Michinoku wa Izuku wa aredo Shiogama no Ura kogu fune no Tsunade kanashimo Terjemahan bebas : “di Michinoku setiap tempat memiliki pesonanya, tetapi mendayung perahu menuju pantai Shiogama lebih luar biasa dari semuanya.” Puisi ini terdapat dalam kumpulan puisi Oku no Hosomichi. Puisi ini ditulis Matsuo Bashō ketika ia mengunjungi Sungai Tama di Noda dan batu lepas pantainya, tempat yang sangat terkenal di dalam dunia perpuisian. Di sana terdapat kuil di atas gunung yang ditumbuhi banyak pohon pinus. Tempat yang benar-benar indah. Dalam puisi ini dapat kita lihat salah satu unsur romantisme, yaitu pemujaan dan apresiasi yang tinggi terhadap alam. Dalam puisi ini Matsuo Bashō mencoba melukiskan bahwa setiap tempat di Michinoku memiliki pesona, dengan kata lain memiliki daya tarik. Jika sesuatu memiliki daya tarik berarti ia memiliki keindahan. Keindahan yang dilukiskan dengan menyebutkan bahwa setiap tempat memiliki pesona merupakan salah satu wujud dari pemujaan terhadap alam. Kekaguman Matsuo Bashō terhadap suasana di pantai Shiogama juga dilukiskannya dalam syairnya. Ia mengatakan bahwa suasana Shiogama di malam hari ketika perahu didayung menuju pantai sangat indah, bahkan mampu mengalahkan apapun saat itu. Di sini tidak hanya terdapat unsur apresiasi yang dalam terhadap alam dan lingkungan, juga unsur pengungkapan perasaan secara spontan. Hal ini dibuktikan dengan penggambarannya terhadap apa yang ia rasakan melebihi apapun pada malam itu. Kekaguman yang terhadap alam yang kemudian dituangkan dengan spontan dalam sastra merupakan unsur romantisisme. Puisi Matsuo Bashō lainnya yang memuja alam adalah sebagai berikut. Uguisu ya Mochi ni fun suru En no saki Terjemahan bebas : “hai burung bulbul, akan hinggap pada kue mochi, beranda yang luar biasa indah.” Puisi di atas merupakan sebuah gambaran perasaan Matsuo Bashō yang melihat keindahan alam di beranda rumahnya. Burung bulbul yang hinggap di kue mochi memberikan pesona tersendiri pada musim semi. Keindahan pemandangan musim semi di sini digambarkan Matsuo Bashō dengan menggunakan kata “en”. En memiliki arti warna keindahan dan daya tarik. Dalam Manyoshu kata en memiliki arti keindahan tubuh wanita, yang sering kali digunakan untuk menggambarkan keindahan hubungan pria dan wanita. Namun, pada zaman Heian, makna kata en semakin berkembang dan luas. En banyak digunakan untuk mengekspresikan berbagai macam keindahan, sehingga tidak hanya menggambarkan keindahan hubungan antara pria dan wanita saja (Mandah, et. Al., 1992 : 25). Pengekspresian keindahan dengan menggunakan kata en dalam puisi ini mengandung unsur romantisme. Apresiasi terhadap alam dan lingkungan sekitar yang dicoba Matsuo Bashō menjelaskan dalam puisinya merupakan sebuah aplikasi dari romantisisme. En disini menggambarkan pemujaan terhadap alam, menjunjung tinggi keindahan, dan pengungkapan perasaan yang disampaikan dengan spontanitas yang tinggi. Di dalam puisi karya Matsuo Bashō juga terdapat pengungkapan perasaan spontan yang bersifat keakuan. Individualisme yang mementingan diri sendiri serta mengedepankan emosi pribadi digambarkan Bashō dalam puisinya berikut ini.
4
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
Ro no koe nami o utte Harawata kōru Yo ya namida Terjemahan bebas : “suara dayung yang memukul ombak, melalui perutku yang dingin, aku menangis di malam hari.” Puisi Matsuo Bashō di atas merupakan puisi yang cukup istimewa. Selain memiliki pola 10-7-5 silabel, juga memiliki unsur sastra cina klasik yang menjelaskan kesendirian. Perbandingan “ro no koe nami o utte” dan “harawata kōru” yang digunakan merupakan gaya berpuisi versi Tang. Penggunaan perbandingan ini juga bertujuan untuk menyampaikan perasaan Bashō sendiri kepada penikmat karyanya (Ueda, 1982 : 45). Puisi di atas menggambarkan kesedihan yang dirasakan oleh Bashō. Penggunaan kata “namida” merupakan perwujudan dari kesedihan yang teramat dalam. Penggambaran perasaan yang seperti ini dapat digolongkan ke dalam romantisme. Ia mencoba menjelaskan perasaannya secara terbuka, betapa sedihnya ia sehingga air matanya pun bercucuran. Tidak hanya itu, syair yang terfokus pada diri penyair juga memberikan nuansa romantisme ke dalam puisi ini. Aku lirik yang digunakan Bashō dalam puisi ini membuktikan bahwa objek dari puisinya berfokus pada dirinya sendiri. Ini merupakan unsur subjektivitas dan individualisme yang terdapat dalam konsep romantisisme. Matsuo Bashō sebenarnya adalah penyair yang sangat subjektif. Di banyak karyanya dapat dengan mudah ditemukan luapan emosi yang tidak terkontrol. Matsuo Bashō tidak mampu memberikan pandangan yang objektif dalam karyanya. Kesedihan dan kegembiraan yang ia rasakan tergambar dengan jelas dalam karyanya (Ueda, 1982 : 26). Berikut adalah salah satu karya Bashō yang melukiskan kesedihan hatinya. Te ni toraba Kien namida zo atsuki Aki no shimo Terjemahan bebas : “ haruskah aku mengambilnya dengan tanganku, yang akan meleleh oleh air mataku yang panas, embun yang beku di musim gugur.” Puisi ini menggambarkan keragu-raguan serta kesedihan yang tidak terkendali. Luapan emosi yang mengalahkan logika mampu memperdalam makna dan menjadi daya tarik puisi ini. Embun beku yang meleleh karena terkena tetesan air mata menunjukan betapa sedihnya perasaan si penyair. Pertanyaan yang melukiskan keraguan menunjukkan ketidakinginan penyair untuk mengambil embun beku di musim gugur tersebut. Penggambaran seperti ini memiliki unsur romantisisme. Penyair menyampaikan perasaannya dengan kedalaman makna yang spontan. Di sepanjang karirnya, Matsuo Bashō tidak hanya menciptakan karya-karya yang memuja alam dan penggambaran perasaan yang dalam dan spontan, tetapi juga menciptakan karya yang melukiskan khayalan dan imajinasinya. Berikut adalah salah satu contoh karya Matsuo Bashō yang memiliki unsur imajinasi yang tergolong ke dalam romantisme. Tsuki sumu ya Kitsune kowagaru Chigo no tomo Terjemahan bebas : “bulan yang tenang, pengawal muda nan gagah berperang melawan srigala yang melolong.” Puisi ini lahir dari imajinasi Matsuo Bashō ketika melihat bulan yang bersinar indah di angkasa. Ia membayangkan peperangan antara srigala dan pengawal untuk mendapatkan sang putri, yaitu sang rembulan. Hal-hal semacam ini hanya terjadi di dunia khayal manusia. Unsur romatisme yang dapat kita lihat dalam puisi ini adalah khayalan yang tinggi. Di sini Bashō dengan jelas melukiskan imajinasinya dengan menggunakan srigala dan prajurit. Srigala dan prajurit yang berperang demi
5
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
mendapatkan seorang putri tidak akan pernah kita temui di dunia nyata. Hal ini hanya ada dalam medan imajinasi manusia. Puisi Bashō lainnya yang memiliki unsur romantisisme adalah sebagai berikut. Nurete yuku Hito mo okashi ya Ame no hagi Terjemahan bebas : “berjalan dengan basah kuyub, mereka pun indah, semanggi di dalam hujan.” “semanggi” (hagi) dalam puisi merupakan sebuah gambaran tentang wanita penghibur. Dalam kesustraan Jepang kata ini sering kali digunakan untuk melukiskan seorang yūjo yang menjadi salah satu ciri khas kesustraan Jepang dalam menggambarkan sesuatu. Kata ini biasanya disandingkan dengan kata “tsuki” . Kata “tsuki” memiliki makna seorang pendeta yang suci. Kata ini juga merupakan lambang kesucian. Kata “hagi” merupakan kontradiksi dari kata “tsuki” (Blyth, 1976: 136). Dalam puisi ini Bashō menjelaskan ketertarikanya pada wanita penghibur yang sedang basah kuyub. Ia menggunakan kata ”okashi” yang berarti indah, lucu dan menarik. Pada kesusastraan klasik Jepang, okashi sebenarnya memiliki tempat yang istimewa sebagai sebuah ideologi sastra. Okashi mempunyai arti lucu, indah, dan menarik. Kata ini biasanya dipakai sebagai lawan dari kata aware yang berarti sedih dan rasa iba. Kedua kata ini berkembang secara bersamaan pada zaman Heian. Aware banyak ditemukan dalam prosa, khususnya dalam Genji Monogatari, namun tidak tertutup kemungkinan juga ditemukan dalam puisi seperti kata okashi. Okashi dalam puisi mengandung unsur kokkei, lucu, dan share, yang berarti kelucuan dan rasa tertarik pada sesuatu yang kurang senonoh (Mandah, et al., 1992: 23). Okashi dalam puisi di atas merupakan sebuah ketertarikan Matsuo Bashō kepada wanita penghibur. Ia mengungkapkan ketertarikan ini dengan luwes dalam puisinya. Ia mencoba mengungkapkan apa yang ia rasakan ketika melihat wanitawanita tersebut berjalan di bawah hujan. Pakaian yang basah tentulah akan mengungkapkan keindahan tubuh seorang wanita. Matsuo Bashō yang sangat religius yang harusnya mampu mengendalikan dirinya dari ketertarikan semacam ini ternyata juga tidak mampu membendung perasaannya, sehingga terciptalah puisi di atas. Keterusterangan Matsuo Bashō dalam menggambarkan perasaannya dalam puisi ini memiliki unsur romantisisme, dimana terdapat hal-hal yang erotik serta pengungkapan yang spontan. Selain itu, okashi dalam puisi ini memiliki unsur kokkei dan share mempunyai kemiripan dengan romantisime. Romantisisme yang menjunjung tinggi kealamian dan menolak norma serta keteraturan yang sudah ada. Ketertarikan kepada sesuatu yang senonoh sebenarnya telah menyalahi kebiasaan dan norma saat itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, senonoh berarti “tidak patut, tidak sopan, tidak manis dipangang (pakaian)”. Sesuatu yang senonoh memiliki arti “hal yang tidak semestinya ada” karena tidak sesuai dengan apa yang telah disepaki bersama oleh masyarakat. Dengan kata lain, hal ini telah mencoba keluar dari kebiasaan dan menentang keteraturan, sehingga dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan romantisisme. Adanya unsur okashi membuktikan bahwa adanya unsur romantisme dalam karya puisi di atas.
Kesimpulan Ideologi dan cara penulisan Matsuo Bashō dalam banyak karyanya memiliki kesamaan dengan aliran sastra romantisme. Hal ini dibuktikan dengan subjektivitas Matsuo Bashō yang individual dalam bersyair. Ideologi-ideologi yang digunakan Bashō dalam bersyair untuk mengungkapkan perasaannya sangat dekat dengan konsep romantisme. Banyaknya kesamaan unsur ideologi-ideologi kesusastraan Jepang Klasik dengan unsur-unsur romantisme juga menjadi penyebab banyaknya unsur romantisme dalam karya Bashō, seperti okashi dan en yang sama-sama menjelaskan keindahan. Dari keseluruhan isi tulisan ini dapat disimpulkan bahwa, pertama, adanya kemiripan antara ideologi kesusastraan Jepang klasik dengan romantisme. Kedua, di dalam puisi karya Matsuo Bashō terdapat unsur romantisme, meskipun pada saat itu pengaruh-pengaruh barat belum masuk ke negara Jepang. Ketiga, unsur romantisme tergambar dalam syair Matsuo Bashō dengan melukiskan pemujaannya terhadap alam, pengungkapan perasaannya yang dalam, kesujektivitasan Matsuo Bashō, serta imajinasi-imajinasi yang tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata.
6
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013
Daftar Acuan Blyth, R. H. (1976). Haiku. Tokyo: Hokuseido. Hadimadjaya, Aoh K. (1972). Aliran-Aliran Klasik, Romantik dan Realisma dalam Kesusastraan. Bandung: Pustaka Jaya. Hartoko, Dick., Rahmanto, Bernandus. (1986) Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta : Karnisius. Henderson, Harold G. (1958). An Introduction to Haiku. New York : Doubleday & Company, Inc. Hisamatsu, Shin’ichi. (1974). Zen and The Fine Arts. Tokyo : Kondansha International. Isoji, Asoo, dkk. (1983). Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi). Terj. Abdurrachman, S.S, Adi Sudijono, dkk. Jakarta: UI Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Diakses pada situs www.kbbi.web.id pada tanggal 19 Februari 2013 pukul 10:49. Keene, Donald. (1982). Anthology of Japanese Literature. Tokyo : Charles E. Tuttle Co. Mahayana, Maman S. Mazhap-Mazhap Sastra dari Klasisme sampai Pasca Modernisme. Bagian Pertama. Horison/06/XXVIII/30. Mandah, Darsimah., et al.. Pengantar Kesusastraan Jepang. 1992. Jakarta: Grasindo. Noichi, Imoto. (1986). Bashōu-Sono Jinsei to Geijitsu. Tokyo : Kondansha. Noyes, Russel. (1967). English Romantic Poetry and Prose. New York : Oxford University Press. Pictorial Ensyclopedia of Japanese Culture: The Soul and Herritage of Japan. 1987. Tokyo : Gakkeno,.Ltd. Shaari, Rahman. (2002). Bimbingan Istilah Sastera. Kuala Lumpur : Maziza SDN. BHD. Shuichi, Kato. (1983). A History of Japanese Literature – Vol II The Years of Isolation. Tokyo : Kondansha International Ldt. Ueda, Makoto. (1982). The Master Haiku Poet Bashō Matsuo. Tokyo : Kondansha International Ldt. ___________.(1967). Literary and Art Theories in Japanese. Ohio : Press of Western Reserve University. Zaidan, Abdul Rozak, et al. (1994). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
7
Unsur romantisme ..., Ferdina Wahyu Arista, FIB UI, 2013