& puisi-puisi karya Badrul Munir Chair Selasa, 23 November 2014 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Pembahas: Irwan Bajang(Sastrawan) Galuh Febri Putra (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Awla Akbar Ilma
DISKUSI SASTRA PKKH UGM Lelaki yang Pergi Malam Hari Puisi-puisi karya Badrul Munir Chair Selasa, 23 Desember 2014 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Penyair: Badrul Munir Chair Pembahas: Irwan Bajang (Sastrawan) Galuh Febri Putra (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Awla Akbar lima Diselenggarakan oleh
i
Sekretariat: PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUR Email:
[email protected] Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB) Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri Twitter: @PKKH_UGM
DISKUSI SASTRA PKKH UGM Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)
ii
DAFTAR ISI Lelaki yang Pergi Malam Hari Oleh: Badrul Munir Chair Halaman 1 -7 Puisi dari Kampung Halaman dan Tantangan Kultural Penyair Sebuah Catatan Pembaca Atas Manuskrip Puisi “Lelaki yang Pergi Malam Hari” Karya Badrul Munir Chair Oleh Irwan Bajang Halaman 8 - 17 “Subjek" yang Berhasrat Pada Perjalanan: Sebuah Hasil Pembacaan Puisi Badrul Munir Chair Oleh Galuh Febri Putra Halaman 18 - 23 YANG PERGI DAN YANG TERHAPUS AIR Oleh Faruk HT Halaman 24- 29
iii
Lelaki yang Pergi Malam Hari karya Badrul Munir Chair* Lelaki yang Pergi Malam Hari Ke barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi di pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang: “Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah!” Pergilah ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekas-terhapus air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling perahu berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan kepergian—juga prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling tertinggallah segala yang dikenalinya sebagai masa lalu usia remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu Badai membangun siasat seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap semesta lalu hamparan kabut membuka diri serupa gerbang menyambut kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu tapi perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali sebab di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api. 2013 1
Sungai Berkelok Sungai berkelok di antara dua kaki bukit setiap tikungnya menjulur sehimpun batang bambu itu jalan meniti orang hulu, sesekali jadi dermaga perempuan gunung mencuci di atas rakit di tubuhnya terikat sehelai kain ungu Ia janda yang ditinggal mengembara, kata Patra Ke semak-semak kami berjalan, setelah haluan sampan terantuk batu sungai yang menyeruak ke permukaan di antara rimbun pohon-pohon tua tergelar jalan setapak rumah-rumah berdinding papan—saling menjaga jarak Siapa hendak menyambut? Tanya tak bersahut tak ada tuan rumah untuk kedatangan yang terburu-buru Kian sore, perkampungan seperti sampan yang ditinggalkan seperti senyap kota ketika berlangsung jam malam nalar sibuk menimbang untung dan rugi: tinggal atau pergi Apa yang kau cari di kampung tepi sungai berkelok ini? Kicau burung sore jadi irama sepanjang jalan kembali arus air melatari setiap apa yang kutangkap sebagaisuara setiap gerak dan benda memasrahkan diri jadi panorama Sehimpun batang bambu melintang di sebuah kelok sungai jalan pulang terhampar di atasnya. Itu dermaga orang hulu tempat pulang dan perginya orang-orang yang kau kenal dulu. 2013 2
Selat Madura Selepas selat, dermaga membukakan pintu pada angin—seperti menyambut anak-cucu pulang ke rumah sendiri kubayangkan perjalanan akan serupa tubuh cakalan dan hentakan kaki sapi yang berpacu di lintasan karapan Pelabuhan yang ramai, mengingatkanku pada don juan, kuli-kuli pelabuhan, pemabuk jalanan —teman-teman yang kutinggalkan. Di tepi lautmu kami pernah melempar dadu nasib. Palungmu yang dalam tak mampu menampung keluh, tangis, dan impian naïf bernama cita-cita Selepas siang. Air tenang menyunggi kapal-kapal merapat ke pintu gerbang pulau kenangan; pulau yang diapungkan tumbal-tumbal jembatan penyeberangan Langit biru, laut biru. Semuanya mengharu biru layaknya perkabungan melepas keberangkatan anak-anak pulau; tembakau, garam, dan hasil laut yang pergi meninggalkan ibu Kulihat dermaga yang selalu membuka pintu pada kepulangan. Waktu telah mengabadikannya menjadi lumut, karat, goresan dan sejarah usang. 2011 3
Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini Aku telah jadi ikan di sungai kecil ini mengawasi pejalan kaki di jembatan tua dari dasar air paling nurani dan suara nyanyian nelayan di tepian menyenandungkan kesunyian purbawi membawaku terapung ke permukaan lalu mabuk dalam kefanaan Aku menari-nari di pusaran air tenggelam dalam dzikir—tasbih penyair kudengar gemetar karang, menopang tubuh perempuan yang mandi telanjang kusapa setiap benda seperti ketika kelahiran pertama “Aku Salik perindu, membikin peta di kerut tubuh semesta.” Terus kusapa setiap benda seperti ketika kelahiran pertama. Adapun yang masih rahasia biarlah kekal di kefanaannya Aku benar-benar telah jadi ikan di sungai kecil ini. 2012
4
Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota Setelah pohon-pohon ditebang dan pulau ini jadi kota kita mencoba membikin hutan dalam ingatan: dermaga kayu disambut rimbun belukar pintu gerbang rimba raya. Akar-akar yang menjalar deretan jati-jati tua tak memberi celah untuk jalan manusia patahan ranting-ranting tajam siap menjerat babi hutan beribu-ribu tangkai bunga liar. Buah-buah matang berguguran di sebuah petak masa kanak-kanak kita ditumbuhkan. Bagaimana mula dan berakhirnya sebuah peradaban? batu-batu pondasi ditancapkan, tiang jembatan ditegakkan pintu gerbang rimba raya berganti prasasti pembangunan lalu gambaran sebuah kota yang dulu hanya kita bayangkan tiba-tiba menjadi kenyataan: setelah jalan, lalu kendaraankendaraan mulai berseliweran, dan gedung-gedung pemerintahan yang kita lihat dengan ketakjuban, keajaiban macam apa lagi yang akan kita saksikan? Bagaimana mula dan berakhirnya sebuah peradaban? setelah pohon-pohon ditebang dan pulau ini jadi kota kita merasakan kehilangan sekaligus kebanggaan sebagai orang baru. Kita seperti orang tidur yang tiba-tiba terbangun dari mimpi, ketika kota baru ini berdiri dan gambaran Hulu Nagari perlahan-lahan mati. Ke mana terbang kapodang, perginya biri-biri dan babibabi?
5
Lalu kita bertanya, bagaimana mungkin sebuah kota dibangun hanya dalam jeda kedipan mata? Seperti kekuatan sihir, begitulah bermulanya peradaban. Sebuah kota lahir sekaligus lenyap dalam waktu hampir bersamaan. 2012
6
Sonet Pengembara Kekelaman malam kemarau adalah jalan lapang bagi pejalan tabah yang disesatkan harapan dirawatnya setiap alamat dan tanda kenang sebagaimana mengingat rumah yang ditinggalkan Hamparan rasi di langit jadi penunjuk arah abadi dan temaram bulan jadi penerang di redup hari suara-suara malam senantiasa membisikkan hikayat Adam perjalananlah yang mesti ditempuh sekalian umat alam Sesekali ia mesti mengingat nama, menafsir umpama membaca riwayat para tetua dalam kitab yang dibawa mengembara menerka segenap tanda dan muslihat yang disimpan semesta Sekali waktu ia juga mesti beristirah memeram diri mengukur jarak, mengenang kota-kota yang telah terlampaui merangkai catatan jadi sehimpun puisi dan kidung puji. 2014 * Badrul Munir Chair, menulis puisi dan cerpen di sejumlah media massa. Novelnya Kalompang (Grasindo, 2014) mendapatkan penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saat ini sedang kuliah di jurusan ilmu filsafat, Universitas Gadjah Mada.
7
Puisi dari Kampung Halaman dan Tantangan Kultural Penyair Sebuah Catatan Pembaca Atas Manuskrip Puisi “Lelaki yang Pergi Malam Hari” Karya Badrul Munir Chair Oleh Irwan Bajang Tatanan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan mau tidak mau berimbas pada pola gerak dan mobilisasi masyarakat secara keseluruhan. Gerak, dalam hal ini tentu dilandasi beraneka ragam motif. Pembangunan yang tidak merata menjadi salah satu penyebab berkembangnya keberagaman motif mobilasisi masyarakat, salah satu motif yang kemudian menjadi beragam dan rumit. Kepadatan penduduk di pulau Jawa, membuat Orde Baru secara “semena-mena” membuat kebijakan transmigrasi. Dengan dalih pemerataan jumlah penduduk, pemerataan pembanguan ekonomi, masyarakat dimobilisasi ke daerah-daerah yang masih dianggap sepi, transmigran diminta membuka hutan dan perkampungan, juga membaur dengan masyarakat lokal setempat. Tentu dalam hal positif kita bisa menyaksikan pembauran masyarakat pendatang dengan penduduk lokal setempat berimbas baik dalam bidang agama, kehidupan sosial, budaya dan lain sebagainya. Tapi hasil yang tidak baik atau konflik juga tidak bisa diindahkan, tercatat, kerusuhan-kerusuhan etnis beberapa kali terjadi dan menjadi peristiwa politik besar, peristiwa kebudayaan yang mengerikan. Beberapa kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia di era Orde Baru berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal.
8
Selain pemaksaan secara halus untuk perpindahan, ketimpangan pembangunan dan sentralisasi ekonomi menjadikan banyak orang memilih secara sadar menjadi perantau, datang ke kota atau daerah yang dianggap lebih maju dari daerah di mana mereka lahir dan besar. Lihatlah di sekeliling kita, Jogja misalnya, kota ini dihuni oleh banyak sekali orang asing, maksud saya orang luar Jogja. Para pekerja datang dari kota-kota satelit, para pelajar datang dari segenap penjuru negeri. Motif paling banyak dari kedatangan mereka adalah ekonomi dan pendidikan. Adanya motif ekonomi membuat kita melihat para pendatang menjadi kaum pekerja sekaligus masyarakat urban di kota ini. Fenomena ini juga tentu ada di kota-kota lain. Kedatangan dengan motif pendidikan, membuat kita menyaksikan tiap gang dihuni oleh kebanyakan kaum muda yang kemudian memberi pengaruh sosial ekonomi bagi daerah yang mereka tempati. Sebagaimana layaknya transmigrasi bermotif ekonomi, arus datang dan arus balik orang “luar kota” ke kota tujuan memberi dampak bagi kota tersebut, bagi manusia-manusia setempat juga sekaligus bagi diri si pendatang. Penyair atau sastrawan barangkali paling sering menjadi bagian dari orang-orang yang mencatat dan menceritakan banyak hal tentang diri, situasi, asal-muasal dan lokasi di mana ia berada. Sebagaiman sebuah idiom yang sering kita dengarkan; karya sastra mustahil muncul dari kekosongan. Saya akan mencoba membahas berberapa puisi Badrul munir dari persepsi yang saya bangun di paragraf-paragraf awal di 9
atas. Kedatangan, kemenetapan diri penyair dan kaitannya dengan puisi puisi yang ia produksi.
*** Mambaca enam puisi Badrul Munir Chair dalam manuskrip ini, mau tidak mau saya akhirnya mengaitkan diri saya sendiri yang secara kebetulan memiliki beberapa kesamaan dengan dirinya, baik dalam posisi mengamati masyarakat di kota yang kami diami sekarang, juga sebagai pendatang dari pulau luar, lokasi yang jauh, kota dan desa yang jauh. Pada puisi pertama—yang saya yakin disusun secara sadar oleh Badrul Munir Chair—ia menempatkan judul “Lelaki yang Pergi Malam Hari”. Puisi ini jika dibaca cepat atau sekilas saja sudah menunjukkan pada kita diksi-diksi yang berkaitan dengan mobilisasi manusia. Badrul memulai kalimat pertamanya dengan kata tunjuk tempat; Ke Barat. Sebuah permulaan yang langsung mengingatkan kita pada kiblat modernisasi, teknologi, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Barat, bagi banyak orang tak bisa lagi di tolak sebagai sesuatu yang kerap dianggap superior. Barat menjanjikan banyak hal bagi orang modern. Dalam banyak percakapan, kita sering mengutip Barat sebagai simbol kemajuan, sebagai alat banding tentang banyak ketertinggalan kita sebagai manusia Timur. Barat menjadi simbol kemajuan dan modernisasi, sementara Timur selain identik dengan tertinggal (seperti bagaimana negara membuat sebutan untuk Indonesia bagian timur) kerap diidentikkan dengan spiritualitas. 10
Badrul memulai puisinya dengan ke barat, sebuah isyarat tujuan yang kemudian dia lanjutkan dengan diksi-diksi lain yang sangat erat kaitannya dengan nuansa kepergian. Mobilisasi manusia. Badrul menyebut pergi, arah, perantau, rumah, pulau, menyeberang dan diksi-diksi serupa lainnya dalam puisi pertamanya ini. Selanjutnya, selain di puisi ini, kita nantinya akan menemukan diksi dan imaji yang berasosiasi serupa memenuhi hampir keseluruhan badan puisi-puisi dalam manuskrip ini. Dalam puisi lain tentang “Selat Madura”, puisi yang titimangsanya paling tua (2011) dalam manuskrip ini, pun Badrul tak bisa lepas dari diksi dan imaji tentang perjalanan datang dan pergi manusia; Selepas selat, dermaga membukakan pintu pada angin—seperti menyambut anak-cucu pulang ke rumah sendiri kubayangkan perjalanan akan serupa tubuh cakalan dan hentakan kaki sapi yang berpacu di lintasan karapan Suguhan diksi-imaji tentang perpindahan manusia yang dihadirkan Badrul dalam puisi ini membuat saya menduga sekaligus mengiyakan, bahwa sebagai manusia yang pergi dari kampungnya, sang penyair sungguh sulit membuat jarak dengan tanah kelahiran. Muasal dari rangkaian awal kehidupan yang kemudian ia bentuk dan jalani sekaligus membentuk puisi-puisi dan proses kepenyairannya. Layaknya hampir semua manusia yang pergi, Badrul menyebut diri dalam puisinya sebagai manusia-manusia yang mau tidak mau harus 11
kembali, entah dalam jeda-jeda tertentu sebagaimana lazimnya para perantau yang bisa kita saksikan dalam tradisi mudik-balik di Indonesia. Dalam puisi ini—entah ditulis di Madura, tanah kelahirannya ataukah di Jogja sebagai tanah rantau dan rumah keduanya—aku dalam diri penyair mau tidak mau mengakui, bahwa kampung halaman, ibu dan entitas lain muasalnya selalu menjadi sesuatu yang lekat bagi diri penyair dan puisinya. Langit biru, laut biru. Semuanya mengharu biru layaknya perkabungan melepas keberangkatan anak-anak pulau; tembakau, garam, dan hasil laut yang pergi meninggalkan ibu Maka kita bisa mengamati atau menarik sebuah dugaan, seorang manusia—yang dalam hal ini diwakili penyair dan puisi Badrul—sungguh tidak lepas dari segala entitas kediriaan awal, sebagai muasal dirinya. Dalam hal ini sebagai anak-anak pulau, yang akrab dengan tembakau, garam dan hasil laut. Sebagaimana Madura yang selama ini kita kenal. Fenomena puisi Badrul ini juga akan kita temukan di “Sonet Pengembara”, puisi yang paling muda (2014) yang sekaligus ia pakai sebagai penutup manuskrip ini. Dalam puisi lainnya, “Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini” yang kalau boleh saya kategorikan secara sederhana (kalau tidak serampangan) sebagai puisi sufistik, pun Badrul tidak bisa terlepas dari entitas awalnya; sejauh apapun ia mau keluar. Misalnya dari diksi-diski yang lebih terang tentang muasal dirinya, kemaduraannya, kedatangannya sebagai manusia pulau, garam, tembakau dan laut. Ia sama sekali tak bisa 12
menolaknya, diksi-diksi karang, ikan, laut, palung tetap melekat pada dirinya, menolak lepas dan menjauh darinya. Seolah ikan-ikan yang ia jadikan aku lirik dalam puisi ini pun bersaksi tentang perjalan kaki di jembatan tua dan nelayan di tepi pantai. Menengok Kampung Halaman Tanah yang Jauh Jika kita mengamati pola masyarakat kita, kita akan menemukan sebuah momen atau waktu tertentu di mana banyak masyarakat Indonesia yang mewajibkan rutinitas mudik di hari raya. Baik lebaran, natal ataupun perayaan agama lainnnya. Secara tidak sadar, kita tersusun dari rangkain rangkaian peristiwa di mana tubuh, baik secara fisik dan nonfisik sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari tanah asal muasal kita. Kita mengenal sebuah tradisi yang hampir ada di semua suku di Indonesia, ari-ari anak yang baru lahir bahkan ditanam di depan rumah, dan dengan banyak alasan mitos, misalnya agar si anak kelak tak lupa pulang ke rumahnya. Puisi-puisi Badrul berada di arus situasi tradisi masyarakat memandang tanah kelahirannya. Tanah kelahiran selalu penting, pulang itu penting. Badrul dan puisi-puisinya berada di ranah tersebut. Ia terjebak, dan mungkin juga bisa secara sengaja menceburkan diri dan tak mau lepas dari situasi masyarakat yang demikian. Kampung halaman selalu menjadi sesuatu entitas yang susah kita lepaskan. Setidaknya itu yang tergambar dari hamparan kata-kata yang disebar Badrul dalam puisi-puisinya. Bagaimanapun,
13
sesuatu memang menjadi berbeda dengan melihat dari jarak yang jauh. Tradisi-tradisi bermain di waktu kecil, pantai-pantai, sahabatsahabat bermain, ibu yang cerewet di rumah, menjadi sesuatu yang berbeda dilihat dari jarak yang jauh. Mungkin jarak memang selalu membuat sesuatu menjadi dirindukan. Sesuatu yang semulanya ada dan biasa, sesuatu yang semula menjadi bagian tidak terlalu penting bagi kita, akhirnya menjadikan sesuatu yang dirindukan, jauh di tanah lain yang sama sekali berbeda. Kepergian, referensi-referensi temuan dalam perjalanan, di kota yang jauh akhirnya menjadikan sebuah kegiatan kembali ke kampung halaman menjadi berbeda. Tentu dermaga akan menjadi biasa saja bagi orang yang misalnya tidak banyak datang dan membandingkan dengan terminal, stasiun badara dan lain sebaginya. Kegelisahan-kegelisahan sebagai anak zaman yang menyaksikan kampung, mengalamai masa kecil sebagai ikan ikan di sungai, membentuk proses kepenyairan Badrul menjadi seorang pencatat yang gelisah. Kampung halaman, atau kota baru yang ia datangi diamatinya, dan dengan intuisinya ia mencatat juga perubahan-perubahan yang cepat melalui puisi “Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota”. Ia melihat perubahan kota, atas nama pembangunan disulap seolah oleh penyihir sakti dan dalam waktu yang singkat. Lalu kita bertanya, bagaimana mungkin sebuah kota dibangun hanya dalam jeda kedipan mata? Seperti kekuatan sihir, begitulah bermulanya peradaban. Sebuah kota lahir sekaligus lenyap dalam waktu hampir bersamaan.
14
Sebagai penyair yang intens mencatat perjalanan pergi dan pulang, baik dalam beberapa puisi yang secara terang memotret perpidahan fisik, Badrul boleh disebut sebagai penyair yang berhasil. Terlebih kemampuan berbahasanya yang lugas dan tidak terkesan bertele-tele dan beraneh-aneh telah menunjukkan dan menegaskan keberhasilan ini. Artinya, dari segi kebahasaan, Badrul telah selesai dan lepas dari persoalan-persoalan dasar tersebut. Namun, dalam beberapa hal, Badrul seolah abai dengan fenomena lain di luar itu. Ia tidak mencatat hal-hal lain dari efek perkembangan kota yang lahir sekaligus lenyap melalui gambaran-gambaran peristiwa, misalnya dengan memilih dan memberi efek-efek imaji lain tentang kota, entah memasukkan masyarakatnya, polusi, karut-marut masayarakat, politik atau lain sebagainya, atau lebih dari itu. Badrul seolah hanya terpesona dengan imaji-imaji batu yang ditancapkan, gedung pemerintahan, jembatan yang ditegakkan, pohon-pohon ditebang dan pulau jadi kota, seperti dalam puisi Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota. Padahal, jika kita mau menelisik lebih jauh, keberadaan kota, perubahan bangunan, keramaian jalan raya hanyalah efek biasa dari keseharian akan kota yang kita saksikan di televisi ataupun di sekeliling kita. Tentunya ada banyak pilihan lain, misalnya psikologi manusia, perubahan karater banyak orang dan arus pembangunan plus modernisasi yang meluncur di sekitar kita. Alhasil, puisi ini menjadi puisi yang bisa dibilang tidaklah begitu istimewa, puisi yang mirip keluhan yang biasa kita dengar dari banyak orang di pinggir jalan, orang-orang tua desa yang kaget, kritik-kritik aktivis lingkungan atau kedangkalan kritik pembangunan oleh komentator-komentator televisi. Meskipun, dalam tataran estetis, penjagaan rima, kedalamaan perenungan, dan hal lain dalam unsur puisi sudah berhasil dibagun dengan baik dan menjadi nilai lebih Badrul. Badrul detail dalam menangkap momen dan menulis secara otobigrafis tentang diri dan proses datang dan
15
pergi dia sebagai orang yang merantau dari pulau jauh ke pulau yang secara pembangunan—seperti sebutan banyak orang—mungkin lebih modern atau lebih maju. Tapi tentu bagaimanapun ini adalah pilihan. Dan Badrul memilih itu. Mungkin kelak akan kita temukan pada puisi puisinya yang lain. Tantangan Pergulatan dengan Kultur Karya sastra, dalam hal ini puisi, mau tidak mau adalah gambaran kehidupan si penyairnya. Semuanya terbentuk dari fragmenfragmen pengalaman yang kemudian diwujudkan ulang sebagai sebuah karya. Menurut Saini K.M, karya sastra merupakan hasil pemikiran tentang kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan oleh pengarang untuk memperluas, memperdalam dan memperjernih penghayatan pembaca terhadap salah satu sisi kehidupan yang disajikannya (Saini K.M, 1986:14-15). Sebagai penyair sekaligus anggota masyarakat dan lingkungannya, maka tentu fenomena puisi-puisi Badrul menjadi begitu gampang dirunut, misalnya dengan identitas dia sebagai manusia kelahiran Madura. Begitu banyaknya penyair lintas generasi yang datang dan muncul dari Madura, membuat kita dengan mudah bisa mengamati dan membandingkan puisi Badrul dengan puisi serupa lainnya. Maka tugas kepenyairan Badrul sesungguhnya tidak semudah tugas penyair lain yang mungkin berasal dari kota lain dengan stok penyair yang tidak sebanyak Madura. Jika terciptanya sebuah karya sastra oleh seorang pengarang secara langsung atau tidak langsung merupakan kebebasan sikap budaya pengarang terhadap realitas yang dialaminya. Maka apa sesungguhnya yang sedang dialami Badrul? Cukupkah
16
pengalaman, gambaran naratif tentang Madura dan tanah kelahirannya ini menjadi sebuah sesuatu yang spesial untuk kita dedah lebih lanjut? Banyak penyair Madura yang menggunakan diksi karapan, laut, pantai, garam dan tembakau, lalu menuliskan pengalaman ia pergi, membandingkan pengalaman, situasi dan rasa di daerah tententu dengan daerahnya. Mari kita coba berhitung, ada berapa banyak sastrawan Madura terutama penyair Muda yang ada di Jogja saat ini? Dengan menimbang dan membandingkannya, maka keitimewaan Badrul dibandingkan yang lainnya akan susah kita temukan. Setidaknya bagi saya yang membaca puisi Badrul dan kawan-kawan Madura lainnya. Jika kita, Badrul percaya bahwa proses penciptaan karya sastra lebih banyak disebabkan oleh kontinuitas kehidupan yang tidak pernah habis antara nilai realitas sosial dengan nilai ideal dalam diri pengarang, maka tentu saja kita akan menunggu karya-karya Badrul yang lahir dari realitas tempat ia sekarang, asal muasal kulturan sekaligus kegigihannya dalam berproses. Saya pribadi menunggu dengan gembira
17
“Subjek" yang Berhasrat Pada Perjalanan: Sebuah Hasil Pembacaan Puisi Badrul Munir Chair Oleh Galuh Febri Putra Pengantar : Subjektivitas akan Ruang dan Keberangkatan "Tunjukan Kami Jalan yang Lurus” QS Al-Fatihah Ayat 6 Kutipan ayat tersebut selain menjadi dasar bagi sebuah percarian abadi akan (per)jalan(nan), ayat itu juga mungkin mempunyai implikasi bahwa jalan lurus haruslah ditunjukan, tanpa ada "penunjuk" maka jalan tersebut tidak dapat disebut sebagai jalan yang lurus. Apakah jalan tersebut lurus ataupun berkelok semua tergantung pada siapa yang melakukan atau menunjuk sebuah perjalanan. Kerelatifitas perjalanaan bahkan juga ditunjukan oleh ilmu-ilmu positifistik yang punya kebenaran mutlak. Jika menempatkan teorema Newton yang menyatakan bahwa ruang itu bersifat objektif dan mutlak, maka akan didapati sebuah paradoks. Jika sebuah tongkat dengan dimensi panjang 15 cm maka tongkat tersebut akan menempati ruang 15 cm, kemudian tongkat tersebut dilemparkan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tetap berukuran 15 cm berarti tongkat menempati ruang sepanjang 15 cm. Kemudian pengamat mengatakan bahwa berukuran sepanjang 15 cm berarti menempati ruang sepanjang 15 cm dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tersebut berada dalam keadaan diam. Dari paradoks di atas bisa disimpulkan bahwa ruang bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara
18
tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda Pernyataan seperti di atas nampaknya juga dibangun oleh seorang sastrawan muda bernama Badrul Munir Chair melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Dalam puisi-puisinya, Chair menunjukan sebuah transformasi ruang yang mengambil bentuk perubahan kesadaran, yang ditunjukkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan material yang ada di dalam ruang yang menjadi titik keberangkatan. Kekacauan ruang dalam puisi tersebut dimulai dari api yang membakar rumah yang kemudian menjalar ke seluruh pulau sehingga perjalanan keluar pulau menjadi sebuah keharusan. Ikan di Sungai Kecil: Subjek yang Berhasrat pada Perjalanan . “You never look at me from the place at which I see you”(Lacan, 1999). Jika Decrates menawarkan "saya berfikir maka saya ada" dan Jacques Lacan menawarkan "saya berfikir maka saya tidak ada" maka mungkin Chair menawarkan "Saya berhasrat maka ruang ada" . Setidaknya hal itu yang bisa ditangkap dari puisinya yang berjudul Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini. Ikan kecil dalam puisi seakan menjadi manifestasi subjek Chair yang berhasrat pada perjalanan. Seperti apa yang dikonseptualkan oleh Zizek yang menempatkan subjek pada garis ”antara”. Subjek dalam puisi ini tersublimasi berupa ikan kecil mengafirmasi lackness – kekurangan/ketidakcukupan subjek akan ruang yang statis, sehingga ikan kecil yang berada di aliran sungai paling nurani muncul sebagai subjek yang ingin dibentuk melalui transendensi penempatannya ke dalam ”ruang kosong”. (Kristiatmo: 2007)
19
Aku telah jadi ikan di sungai kecil ini mengawasi pejalan kaki di jembatan tua dari dasar air paling nurani dan suara nyanyian nelayan di tepian menyenandungkan kesunyian purbawi membawaku terapung ke permukaan lalu mabuk dalam kefanaan Dari dasar air yang serupa nurani ikan kecil seakan belajar untuk berhasrat dari pejalan kaki yang melintas melewati jembatan tua. Pejalan kaki menggiring ikan melakukan perjalan menuju permukaan dan meninggalkan tempat yang mungkin merupakan tempat yang paling nyaman dimana si ikan kecil mendapatkan kepenuhan dari air nurani yang berada di dasar sungai. Setelah sampai ke permukaan ikan kemudian menjadi mabuk akan kefanaan. Candu yang diberikan oleh Chair yang membuat si ikan kecil menjadi mabuk melalui manifestasi pejalan kaki yang diamati oleh si ikan kecil. Tindakan melihat si ikan kecil merupakan dorongan untuk melihat (scopic drive). Oleh karena itu, pengawasan ikan kecil tidak lagi semata berada pada posisi si ikan kecil, tatapan tersebut adalah tatapan yang lain. Dengan tatapan itu si ikan dapat mendengar nyanyian nelayan, bahkan dengan tatapan tersebut si ikan kecil dapat menyenandungkan kesunyian purbawi. Dapat disimpulkan bahwa pengawasan si ikan kecil berbeda dengan pengawasan indrawi. Pengawasan yang dilakukan ikan kecil menawarkan sebuah kekosongan bagi subjek, sehingga muncul usaha-usaha guna meraih kekosongan dengan berbagai macam cara. Kekosongan yang abadi oleh Chair dimanifestasikan melalui perjalanan dalam puisi-puisinya. Dalam puisi yang berjudul Selat Madura, Chair menawarkan antar ruang yang muncul diatara rumah
20
dan bukan rumah. Puisi ini lebih "bercerita" akan Selat Madura dan bukan Madura yang sejatinya merupakan ruang. Jika yang lain lebih menitikberatkan bahwa selat yang hanyalah menjadi semacam penghubung dimana tidak ada ruang yang dapat ditulis secara naratif. Chair menawarkan bahwa ruang hanya muncul ketika seorang subjek berhasrat. Hasrat Chair yang dibangun di dalam kekosongan bertransformasi aktif bersama subjek sehingga memunculkan ruang yang bertansformasi subjektif. Keberangkatan = Kekacauan Ruang Ke barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi di pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang: “Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah!” Walaupun dimensi rumah dan pulau dalam stanza pertama tidak digambarkan secara detail, namun secara indrawi rumah di atas pulau dapat disimpulkan bahwa dimensi rumah tidak sama dengan pulau dalam arti rumah tidak akan sebesar pulau. Dalam puisi kebakaran yang terjadi pada rumah dan akhirnya dapat menyebabkan seluruh pulau ikut terbakar, rumah juga digambarkan dalam puisi jika rumah berada di pantai yang notabene merupakan sumber air yang dapat memadamkan api secara seketika. Stanza pertama puisi Chair mentransformasikan rumah dan pulau menjadi sesuatu yang berbanding lurus, jika rumah terbakar maka pulau terbakar, jika rumah bisa untuk bercinta maka pulau juga bisa untuk bercinta. Padahal di bagian belakang pulau mungkin masih ada
21
tempat yang belum terbakar dan bisa untuk ditempati. Sebuah subjektivitas akan ruang dalam puisi sepertinya menjadi sebuah titik tolak sebuah keberangkatan abadi. Perjalanan yang dilakukan di dalam puisi melalui sebuah gerbang yang merupakan pengejawantahan yang berwujud dari kabut. Gerbang sejatinya adalah bangunan yang menjadi pintu bagi tembok pembatas yang mengelilinginya. Tembok membatasi tempat yang ada di luar dan juga ruang yang ada di dalam. Gerbang merupakan penengah antara tempat di dalam dan di luar ruang. Wujud gerbang yang hanya kabut transparan dan tidak dapat memberikan batasan secara fisik terhadap ruang bisa dibilang gagal sebagai penengah atara ruang luar dan ruang dalam. Hal ini jelas akan memunculkan instabilitas bagi siapa saja yang ada di gerbang tersebut karena terjadi penumpukan antara tempat yang di dalam dan ruang yang ada di luar. Siapapun yang ada di sana pasti akan melihat dunia sebagai sebuah dunia dengan ruang yang absolut dan kemudian membandingkannya dengan dengan segala keterbatasan yang ada di dalam tempat di dalam tembok.
Perjalanan merupakan usaha untuk melarikan diri dari batas-batas yang disematkan oleh tempat. Batas yang disematkan dalam puisi ini adalah api yang membatasi rumah dan juga pulau, sehingga laut yang pasang pun membisiki untuk melakukan perjalanan. Perjalanan ini tidaklah sama dengan perjalanan untuk menemukan ruang absolut dimana dapat melakukan fiksasi atas ruang tersebut hal ini dapat dilihat dari bisikan nenek moyang yang menjelajah waktu dan muncul dalam puisi sebagai nasehat hidup yang berbunyi "Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah" . Perjalanan dalam puisi ini lebih pada
22
usaha untuk melampaui batas-batas dan pemetaan dan pencarian seuatu yang lebih sesuatu yang lebih cair. (Upstone, 2009)
Daftar Rujukan Lacan, Jacques. 1999. The Four Fundamental Concepts of PsychoAnalysis. New York: W.W. Norton and Company. Kristiatmo, Thomas.2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing Limited.
23
YANG PERGI DAN YANG TERHAPUS AIR Oleh Faruk HT Lelaki yang Pergi Malam Hari Ke barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi di pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang: “Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah!” Pergilah ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekasterhapus air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling perahu berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan kepergian—juga prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling tertinggallah segala yang dikenalinya sebagai masa lalu usia remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu Badai membangun siasat seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap semesta lalu hamparan kabut membuka diri serupa gerbang menyambut kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu tapi perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali sebab di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api. 2013
24
Puisi ini merupakan kisah perjalanan. Meskipun baru sampai pada dua tahap, yaitu ketika berangkat dan di tengah perjalanan. Seperti kisah-kisah perjalanan kolonial di masa lalu, perjalanan merupakan sebuah tahap pengujian dan penemuan diri, pembangunan subjek dan posisinya di dalam lingkungan sekitar. Karena itu, perjalanan itu bukan hanya sebuah gerakan dari sebuah lokasi geografis yang satu ke lokasi geografis yang lain, melainkan juga peralihan dari usia remaja ke, tentunya, usia dewasa. Lebih jauh, perjalanan itu juga menjadi peralihan dari satu kepribadian ke kepribadian yang lain, satu kecenderungan mental ke kecenderungan mental yang berbeda, yaitu dari kelewat naif dan lugu ke “luka waktu”. Karena perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan untuk penemuan diri, mental ataupun psikologis, tidak menjadi begitu penting gambaran mengenai lokasi (-lokasi) yang dikunjungi. Yang penting adalah penemuan diri subjek itu sendiri. Dan, tampaknya diri itu bahkan sudah ditemukan sebelum perjalanan itu sampai ke tujuan, yang di dalam puisi ini disebut sebagai “barat”. Diri itu tidak lain dari apa yang disebut sebagai “luka waktu” di atas. Tapi, diri yang seperti apa, sebenarnya, yang disebut sebagai “luka waktu” itu? Yang sudah bisa dipastikan adalah diri yang sudah meninggalkan masa kanak-kanak yang “naif dan lugu”. Kenapa, diri yang seperti itu disebut sebagai “luka waktu”? mungkin kita perlu memahami luka sebagai sebuah kerusakan atau kebocoran pada yang semula utuh, seperti “luka perawan”. Dalam pengertian yang demikian, keluguan bisa diartikan sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan yang bagaimana? Tentu saja, ketika manusia berada dalam ketidaktahuan, lugu. 25
Jadi, bila dilihat dari pertentangannya dengan keluguan, luka waktu bisa diartikan sebagai diri yang berpengetahuan. Tapi, kenapa berpengetahuan dinamakan sebagai luka, sebagai sesuatu yang tidak utuh? Untuk menjawab hal ini kita mungkin perlu melihat hal lain yang bisa dianalogikan dengan keluguan di atas karena hal itu juga merupakan sesuatu yang ditinggalkan, yaitu pulau dan rumah. Keluguan menjadi analog dengan keterikatan diri subjek pada lokasi tertentu, pada lingkungan yang akrab. Diri yang lugu adalah diri yang masih menjadi satu dengan pulau dan rumah itu, belum menjadi subjek yang berdiri sendiri, masih bergantung pada lingkungan. Luka, dengan demikian, terjadi sebagai akibat dari ditariknya diri dari lingkungannya itu, dilepaskannya diri, anggaplah, dari akarnya. Dengan demikian, berpengetahuan hanya berlaku bagi diri yang sudah terlepas dari lingkungannya, dari pulau dan rumahnya. Selama diri masih terikat pada sesuatu yang ada di luar dirinya tersebut, dia tidak dapat disebut berpengetahuan. Bila kemampuan lepas dari lingkungan dapat diartikan sebagai kemampuan diri untuk menjadi subjek yang berdiri sendiri, berpengetahuan menjadi identik dengan subjektivitas dan subjektivitas identik dengan luka. Hanya orang yang terluka, mengalami rasa sakit, yang berpengetahuan dan sekaligus menjadi subjek. Karena luka menjadi bagian dari subjektivitas itu, perjalanan diri sudah sampai ke tujuannya justru pada saat ia baru berangkat dan dalam perjalanan, justru ketika ia belum sampai pada tujuan, pada pulau ataupun rumah yang lain. Lebih jauh, karena alasan yang sama, keadaan di dalam perjalanan itu 26
sendiri tidak boleh menjadi perjalanan yang nyaman, yang tidak menyakitkan. Keadaan di dalam perjalanan itu juga harus menimbulkan rasa sakit, luka. Badai “seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing”. Bila luka adalah tujuan itu sendiri, yaitu ditemukannya diri yang berpengetahuan, diri yang luka, tentunya perjalanan menjadi tujuan itu sendiri, badai yang seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing itu bukan lagi hanya keadaan transisi menuju keadaan yang lain. Tapi, puisi ini tidak menganggapnya demikian. Ia masih berusaha menemukan rumah baru. Rumah itu adalah: “rumah sejati ada dalam diri...”. dengan demikian, perjalanan itu bergerak bukan hanya dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu mentalitas ke mentalitas yang lain, melainkan dari lingkungan yang ada di luar ke yang ada di dalam diri. Badai membangun siasat seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap semesta Dalam hal ini bisa diartikan bahwa bagi puisi ini lingkungan yang ada di luar, dengan segala ancaman dan tantangannya, tak lebih dari sebuah batu uji bagi diri. Diri yang hening, sebening telaga. Apakah diri ini sama dengan diri yang luka waktu? Bila luka sama dengan ombak yang setajam mata pancing dan tombak, diri yang luka itu pun menjadi hanya sebuah masa transisi, keadaan di perjalanan untuk menuju tempat yang lain. Tapi, tetap ada masalah di sini.
27
Di dalam kutipan puisi di atas, keheningan dan kebeningan hati merupakan sebuah kekuatan untuk bisa mengatasi ombak, membuat kabut membuka pintu. Dengan kata lain, keheningan dan kebeningan ada sebelum ombak, ada sebelum luka. Tapi, darimana datangnya? Mungkin dari apa yang disebutkan di baris-baris terakhir bait pertama. laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang: “Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah!” Tampak bahwa diri yang dicoba dicari dalam perjalanan itu, dengan meninggalkan rumah, pulau, dan masa lalu itu, sudah ditentukan oleh nasihat-nasihat angin, laut pasang, nenek moyang, yang menyerupai gelombang. Sesuatu yang melampaui ruang dan melampaui waktu, yang tentunya membuat diri tidak bisa beralih dari ruang yang satu ke ruang yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain, yang membuat diri pergi dan melakukan perjalanan dalam kerangka tanpa ruang dan tanpa waktu. Perjalanan ke manakah itu, peralihan dari mana ke mana? Bila rumah ada dalam diri, ke manakah ia pergi? Apa yang ia tinggalkan, ke mana ia menuju? Sekilas, puisi ini merupakan sebuah cerita perjalanan menuju diri cartesian yang mandiri, yang hanya akan menjadi diri bila ia terluka dan melepaskan diri dari segala ikatan dengan dunia yang ada di luarnya. Tapi, ternyata tidak. Bila puisi ini bicara mengenai kebeningan telaga, kebeningan itu bukanlah kebeningan berpikir tanpa bias, lepas dari ikatan tahyul dan mitos dan pikiran orang-orang sebelumnya, melainkan 28
keheningan ketika diri melebur dalam ruang dan waktu, kebeningan ketika diri tiada, dan pintu terbuka dengan sendirinya. Diri pergi bukan karena maunya sendiri, tapi ada kekuatan luar yang membuatnya pergi. Mungkin angin, mungkin laut pasang, mungkin rumah yang terbakar dan pulau direnggut api, hingga ia, mau tak mau, harus tetap berangkat dan tak bisa kembali. Ia tak bisa lagi menjadi ragu kecuali menyerahkan diri pada kehendak kekuatan itu. Ia adalah orang-orang madura yang selalu hidup bersama dalam perantauan, ia adalah orang-orang madura yang selalu kembali setiap hari raya haji. Dan ia, batal ke barat karena sudah menemukan rumah di dalam hati, rumah pemberian si nenek moyang yang abadi. Ia berkelana di tanah tuhan yang tidak tanpa batas. Ia yang pergi malam hari agar segala jejaknya terhapus air. Begitukah...
29