SENSE OF PLACE PADA MASYARAKAT YANG TINGGAL DI SEKITAR TPA SUPIT URANG KOTA MALANG Oleh : Yuli Nurhayati
[email protected] Ika Adita Silviandari Sumi Lestari Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya
ABSTRACT This research aims to recognize about the sense of place of people who lived around Supiturang landfill in malang city through three dimensions : place identity, place attachment and place dependence. The method of research used qualitative method with phenomenon approach and to collect data used deep interview method and observation. In this research used purposive sampling and the subject is 10 persons, who lived around Supiturang landfill, analysis data use milles and huberman method. Based on this research shows, every subject have sense of place and dimension of place identity shows they identity as indigenous people. Place attachment shows about comfortable, happiness and harmony, whereas place dependence shows about dependency of landfill as household livelihood, bio gas and compensation. Key word : sense of place, people, TPA Supit Urang
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sense of place pada masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang Kota Malang melalui tiga dimensi yaitu place identity, place dependence dan place attachment. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi pastisipasi pasif. Pemilihan subjek menggunakan teknik purposive sampling, subjek dalam penelitian ini adalah 10 individu yang tinggal disekitar TPA Supit Urang. Analisis data menggunakan Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan setiap subjek memiliki sense of place terhadap TPA Supit Urang. Dimensi place identity digambarkan dari identitas mereka sebagai warga asli atau warga TPA Supit Urang. Place attachment digambarkan oleh kenyamanan, perasaan senang, kerukunan yang ada pada masyarakat sekitar. Place dependence digambarkan oleh ketergantungan terhadap TPA sebagai mata pencaharian utama masyarakat sekitar dan bantuan kompensasi serta gas metan kepada masyarakat sekitar. Kata Kunci : sense of place, masyarakat, TPA Supit Urang.
1
LATAR BELAKANG Sampah adalah hal yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Pada zaman prasejarah sampah dianggap mewakili peradaban dari kehidupan manusia yang hidup di zaman tersebut. Semakin bertambahnya populasi manusia maka volume sampah yang dihasilkan akan semakin besar. Kota Malang sebagai kota otonom terbesar ke dua di Provinsi Jawa Timur setelah kota Surabaya, memiliki permasalahan dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan data yang ada, volume sampah yang dihasilkan oleh Kota Malang pada tahun 2008 adalah sebesar 303,678 m3 sedangkan pada tahun 2009 menghasilkan 335,270 m3 (BPS Malang, 2011). Minimnya pengelolaan sampah menjadi bahan daur ulang serta hanya tersedianya satu TPA (tempat pembuangan akhir) di Kota Malang menjadikan TPA Supit Urang sebagai tempat yang berperan penting bagi kebersihan dan kenyamanan di Kota Malang. TPA Supit Urang menjadi TPA satu-satunya bagi permasalahan sampah di Kota Malang setelah TPA-TPA yang lain ditutup karena kapasitasnya sudah tidak sanggup menampung sampah. TPA Supit Urang yang berada di Kelurahan Mulyorejo dan Kecamatan Sukun, Kota Malang (BPS Malang, 2011) memiliki luas 15,2 Ha. Penambahan volume sampah dari tahun 2008 sampai dengan 2009 sebanyak 31,592 m3 tidak didukung dengan pertambahan luas lahan TPA Supit Urang sendiri. Permasalahan sampah dapat diibaratkan sebuah mata uang, terdapat dua sisi yang saling bertolak. Satu sisi, sampah yang tidak tertangani dengan baik dapat merugikan seperti aroma sampah yang menyengat, tumpukan sampah dapat menjadi media penyebaran penyakit, pemandangan sekitar TPA menjadi tidak indah dan lain sebagainya, tetapi disatu sisi banyak pemulung yang menggantungkan nasibnya dari TPA dengan mencari bahanbahan yang dapat didaur ulang seperti gelas atau botol bekas minuman dan kardus. TPA Supit Urang yang dahulu sempat mendapat penolakan dari warga sekitar berubah menjadi TPA yang dapat mendatangkan manfaat. Munculnya perspektif baru dalam pemikiran masyarakat sekitar TPA menggambarkan terdapatnya suatu hubungan antara masyarakat sekitar sebagai manusia dengan TPA Supit Urang sebagai lingkungan. Perilaku yang muncul dari hubungan antara manusia dengan lingkungannya dapat dijelaskan melalui pendekatan psikologi lingkungan. Setiap manusia dapat merasakan sensasi yang dipersepsikan untuk kemudian dimaknai, sama halnya sensasi yang diterima dari lingkungan atau tempat yang akan membentuk sebuah makna terhadap lingkungan atau tempat tersebut. Pemaknaan terhadap sebuah tempat dapat kita sebut dengan “Sense of Place”. Menurut Hashemnezhad dkk (2013) menjelaskan sense of place adalah sebuah konsep menyeluruh dimana manusia dapat
2
merasakan tempat, mempersepsikan diri mereka dan memiliki keterikatan pada tempat yang berarti bagi mereka. Sense of place diawali dengan sensasi yang mereka terima dari sebuah lingkungan, sensasi tersebut dapat berupa atmosfir dan kesan yang ditimbulkan yang kemudian dipersepsikan oleh individu, persepsi yang muncul dapat membentuk sebuah makna subjektif terhadap tempat tersebut. Berdirinya TPA Supit Urang tahun 1994 pada awalnya menghadapi penolakan warga sekitarnya. Sebagai bentuk ketidaksetujuan warga terhadap adanya TPA, warga melakukan demonstrasi menuntut penutupan TPA tersebut. Adanya kerugian yang warga rasakan setelah berdirinya TPA Supit Urang, salah satu diantaranya adalah banyak lalat, aroma yang tidak sedap dan lingkungan yang terlihat lebih kotor dibandingkan dengan lingkungan lain yang letaknya berjauhan dengan TPA Supit Urang (Wawancara peneliti dengan Sum, 4 Februari 2014). Seiring berjalannya waktu, warga merasakan adanya disensitisasi terhadap dampak negatif tersebut. Warga merasa telah terbiasa mencium aroma yang kurang sedap dari sampah. Hilir mudiknya dump truck sampah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga sekitar. Setelah adanya dana kompensasi dan bantuan gas metan warga mulai merasakan manfaat dari TPA Supit Urang. Warga mengakui sangat terbantu dengan adanya kompor gas metan yang diberikan secara gratis pada awal tahun 2013. Hanya membayar iuran Rp.10.000,- perbulan untuk biaya perawatan, kompor gas metan ini dianggap dapat menghemat pengeluaran uang belanja mereka. Salah satu warga menyatakan memilih menetap di sekitar TPA Supit Urang dan enggan berpindah tempat tinggal karena merasa TPA Supit Urang telah menjadi bagian dari dirinya (Wawancara peneliti dengan Sum, 4 Februari 2014). Hasil wawancara ini menunjukan adanya fenomena hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Individu pada umumnya akan merasa nyaman berada di tempat yang bersih, seperti yang bisa dilihat dari fenomena warga sekitar TPA Supit Urang, individu dihadapkan pada persoalan bahwa lingkungannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Fenomena ini menunjukan adanya proses panjang hubungan warga sekitar dengan TPA Supit Urang, diawali dengan penolakan oleh warga, lalu warga mengalami disensitisasi dan kemudian warga merasakan manfaat keberadaan TPA Supit Urang. Masyarakat sekitar TPA secara individu tentu memiliki persepsi dan pemaknaan yang bisa jadi sama atau berbeda terhadap keberadaan TPA Supit Urang. Dengan dasar ini peneliti mencoba mencari tahu dinamika atau perubahan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar TPA Supit Urang terhadap TPA Supit Urang itu sendiri. Melalui pemahaman mengenai sense of place peneliti mencoba mencari tahu identitas yang tergambar dari
3
pengakuan warga sebagai warga Supit Urang, keterikatan yang tergambar dari rasa betah warga tinggal di sekitar TPA Supit Urang dan ketergantungan yang tergambar dari manfaat yang dirasakan warga dari keberadaan TPA. Gambaran ini akan peneliti gali lebih dalam untuk mencari tahu sense of place pada warga sekitar berdasarkan tiga dimensi yang ada didalamnya yaitu identitas, keterikatan dan ketergantungan. LANDASAN TEORI Definisi Place Menurut istilah geografi umum (Waluya, 2007) yang dimaksud dengan ruang atau space adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera tempat hidup tumbuhan, binatang, dan manusia. Sumaatmadja (Waluya, 2007) mengatakan bahwa wujud ruang dipermukaan bumi berbentuk tiga dimensi, bentangannya berupa daratan dan perairan sedangkan kearah vertikal berupa lapisan udara, ruang ini berlokasi benda hidup dan benda mati. Helpeny (Rogers dan Bragg, 2012) mendefinisikan place sebagai sebuah lokasi spasial yang diberikan arti dan nilai oleh masyarakat atau individu. Lewicka (Rogers dan Bragg, 2012) mendefinisikan place sebagai sebuah lokasi yang penuh makna. Steadman (Okoli,2013) menjelaskan ruang atau space bersifat abstrak dan universal sedangkan tempat atau place bersifat spesifik dan dikaruniai dengan nilai dari pengalaman baik yang terjadi. Definisi Sense of Place Galliano dan Loeffler (Ardoin,2011) berpendapat bahwa konsep sense of place menggambarkan sebuah konsep holistik yang berfokus pada subjektifitas dan terkadang berhubungan dengan pengalaman atau ikatan seseorang terhadap lanskap, emosi dan simbol serta bisa berfungsi sebagai sebuah hubungan antara pengalaman sosial dengan area geografi. Hashemnezhad dkk (2013) berpendapat sense of place adalah sebuah faktor yang dapat mengubah sebuah ruang atau space menjadi sebuah tempat atau place, perubahan ini dapat dilihat melalui perilaku yang spesial dan karakteristik emosi dari individu. Tuan (Hashemnezhad dkk, 2013) mempercayai struktur sebuah place tanpa orang-orang hanya sebuah lokasi geografi dan konsep dari sebuah place hanya akan signifikan dengan adanya eksistensi manusia. Altman dan Low (Hashemnezhad dkk,2013) berpendapat pada umumnya, place adalah space memiliki arti dalam budaya dan pengalaman sosial individu. Menurut Steadman (Hashemnezhad dkk,2013) perubahan space menjadi konsep place bagi individu berdasarkan ikatan sosial, perasaan dan emosi. Stefanovic (Axford dan Hockings,2005)
4
menjelaskan sense of place tidak sesederhana ketika seseorang menyadari adanya sebuah tempat, sense of place adalah hal yang bernilai, konsep multidimensi yang menghubungkan sebuah tempat dimana terdapat emosi individu dan identifikasi simbol terhadap tempat tersebut. Shamai (Axford dan Hockings,2005) menjelaskan sense of place adalah gabungan antara kesadaran dan ketidaksadaran dalam perasaan dan persepsi, konsep yang kaya akan penyatuan bagaimana individu menyadari, mengalami dan mengungkapkan arti terhadap sebuah tempat, dalam sense of place
terdapat perasaan, persepsi, sikap dan perilaku
seseorang terhadap sebuah tempat. Rostamzadeh dkk (2012) mendefinisikan sense of place sebagai ikatan emosional antara tempat dengan manusia. Tempat adalah posisi tertentu dengan komponennya seperti atribut fisik atau karakteritik lokasi, makna, persepsi dan aspek psikologi adalah hal yang penting untuk menciptakan sense of place, oleh karena itu sense of place adalah sebuah konsekuensi dari hubungan timbal balik antara manusia dengan tempat tinggalnya. Dari sini terlihat sebuah kecenderungan manusia untuk lebih menyukai suatu tempat tertentu dimana mereka merasa nyaman dan aman, biasanya cenderung kepada lingkungan dimana mereka lahir. Rostamzadeh dkk (2012) menyatakan sense of place lebih dari sekedar karakter fisik tapi juga interaksi antara individu dengan ruang dimana menciptakan makna simbolik. Lokasi
itu sendiri tidak dapat menciptakan sense of place tetapi lama dan dalamnya
koneksi terhadap suatu tempat, mengenali ritual, mitos dan simbol lokal dapat membuat individu memiliki ikatan yang kuat terhadap suatu tempat. Oleh karena itu, Rostamzadeh dkk (2012) menyatakan sense of place adalah seperangkat makna simbolik dari sebuah ruang yang bervariasi dari individu ke individu dan dari waktu ke waktu. Sense of place memiliki dua sisi yaitu interpretatif persepsi dari sebuah tempat dan afinitas emosi terhadap tempat tersebut. Steele (Okoli,2013) dalam kajian disiplin psikologi lingkungan mendefinisikan sense of place sebagai pengalaman yang diciptakan oleh kombinasi apa yang individu bawa dengan lokasi tersebut. Steele (Okoli,2013) menyatakan bahwa setiap tempat memiliki “roh” dan memiliki kecenderungan untuk memberikan pengaruh yang sama bagi orang yang berbeda, dengan “roh” ini mampu memberikan keunikan, karakteristik yang khas serta memberikannya kepribadian sebagai suatu tempat atau place tertentu.
5
Faktor yang Mempengaruhi Sense of Place Sense of place sebagai sebuah teori yang dapat mengungkapkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya atau dengan tempat tertentu memiliki hal-hal yang dapat mempengaruhi dalam pembentukannya, menurut Smith (2011) dalam pembentukan sense of place terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut antara lain faktor sosial, faktor fisik dan faktor pribadi. a. Faktor Sosial Smith (2011) menyatakan keterlibatan individu dalam masyarakat atau community involment dapat memberikan kesempatan bersosialisasi dan membentuk sebuah ikatan yang pada keberlanjutannya akan meningkatkan sense of place. Sense of place juga dapat diperkuat karena individu memahami masyarakat sebagai sebuah lingkungan sosial, hal ini menghasilkan sebuah perasaan dimana individu cenderung terlibat dalam kegiatan sosial. Individu yang telah lama tinggal dalam suatu lingkungan cenderung memiliki sense of place yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang baru tinggal di lingkungan tersebut. Semakin seringnya intensitas individu terlibat secara sosial dalam lingkungannya sehingga dapat menimbulkan sebuah kepuasan dan kenyamanan secara sosial akan meningkatkan sense of place individu tersebut. b. Faktor Fisik Smith (2011) menyatakan atribut fisik dari sebuah tempat juga mempengaruhi sense of place yang dimunculkan dari tempat tersebut, seperti adanya bangunan bersejarah, kelengkapan fasilitas fisik juga dapat mempengaruhi sense of place. Karakteristik dari fisik suatu tempat berpengaruh kepada makna simbolik dari tempat tersebut, keunikan tempat dapat membantu pembentukan persepsi dalam sebuah lingkungan yang akan berpengaruh kepada sense of place, keanekaragaman visual dari suatu tempat akan mempunyai hubungan dengan sense of place. c. Faktor Pribadi Smith (2011) menyatakan faktor personal atau pribadi dari dalam individu juga dapat mempengaruhi sense of place, faktor-faktor tersebut antara lain : 1) Usia, dalam beberapa penelitian menunjukan usia sebagai prediktor dari sense of place. Individu yang berumur akan lebih memiliki sense of place yang lebih tinggi hasil dari interaksi mereka selama ini. 2) Pendidikan, penelitian menunjukan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah akan memiliki sense of place yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
6
3) Status kepemilikan, penelitian menunjukan individu yang tinggal dalam rumah atas kepemilikan pribadi akan berkorelasi secara positif dengan sense of place 4) Periode waktu menetap, individu yang lebih lama menetap dalam suatu tempat akan memiliki sense of place yang lebih kuat atas tempat tersebut dibandingkan dengan individu yang baru tinggal ditempat tersebut. 5) Penghasilan, penelitian menunjukan bahwa individu yang memiliki tingkat penghasilan rendah dan menengah akan lebih baik dalam membangun sense of place dibandingkan dengan individu yang memiliki penghasilan tingkat atas. Dimensi-dimensi Sense of Place Canter (Jorgensen dan Stedman, 2001) berpendapat tempat atau place mewakili pertemuan antara kognisi, emosi dan aksi yang diatur oleh manusia. Semken dkk (2009) menjelaskan bahwa sense of place mencakup domain kognitif dan domain afektif, dan mungkin juga domain psikomotor jika aktivitas kinestetik tertentu terhubung dengan atau lokasi dalam tempat atau place tertentu. Hashemnezhad dkk (2013) menyatakan secara umum interaksi antara manusia dengan tempat atau place terdiri dari tiga dimensi : kognitif, perilaku, dan emosi.
Tabel 1 Perbedaan aspek dari interaksi manusia dengan lingkungannya dan hubungannya dengan perbedaan komponen suatu tempat (Hashemnezhad dkk, 2013) Tipe
Detail dari hubungan
hubungan Interaksi antara
Kognitif
manusia dan lingkungan
Perilaku Emosi
Persepsi umum dalam memahami geometri dari suatu ruang dan orientasinya Persepsi terhadap ruang sebagai tempat memenuhi kebutuhan Persepsi terhadap kepuasan dan kelekatan terhadap suatu tempat
Komponen tempat Bentuk Fungsi Arti
Aspek kognitif menjelaskan bagaimana persepsi individu terhadap bentuk dan pemahaman terhadap geometri suatu ruang dan orientasinya. Aspek perilaku menjelaskan bagaimana persepsi individu terhadap ruang sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan. Aspek Emosi menjelaskan bagaimana persepsi individu terhadap kepuasan dan kelekatan terhadap suatu tempat (Hashemnezhad dkk,2013). Jorgensen (Hashemnezhad dkk,2013) dalam penelitiannya menjelaskan sebuah teori “attitude”, yang mendefinisikan tiga dimensi 7
untuk tempat. Perasaan seseorang terhadap suatu tempat atau place menandakan dimensi emosi, kepercayaan terhadap tempat membentuk dimensi kognitif dan fungsi dalam sebuah tempat menyimbolkan dimensi perilaku pada suatu tempat.Canter (Jorgensen dan Stedman, 2001) lebih jauh mengembangkan sebuah pengertian mengenai proses yang melibatkan integrasi domain yang memungkinkan membentuk teori yang kuat dari hasil hubungan antara beberapa aspek psikologis, aspek ini diperoleh dari konstruk yang dapat membentuk suatu tempat yaitu sebuah kerangka kerja yang terdiri dari proses kognitif, afeksi dan konatif. Ketiga konstruk ini memiliki kesamaan dengan literatur yang terdapat dipsikologi lingkungan yaitu place identity, place dependence, dan place attachment. a. Place Identity Phoshansky (Jorgensen dan Stedman, 2001) Place identity meliputi dimensi dari diri yang mendefinisikan identitas personal individu dalam hubungannya dengan lingkungan fisik yang memiliki sebuah pola yang kompleks dari kesadaran dan ketidaksadaran, ide, kepercayaan, kesukaan, perasaan, nilai, tujuan, kecenderungan perilaku dan kemampuan yang relevan pada lingkungan. Phoshansky (Jorgensen dan Stedman, 2001) meyatakan sebagai struktur kognitif, place identity adalah suatu substruktur dari keseluruhan selfidentification atau identifikasi diri sama seperti halnya identitas gender dan peran identitas. b. Place Attachment Altman dan Low (Jorgensen dan Stedman,2001) menggambarkan place attachment sebagai ikatan yang positif yang terbangun antara individu atau kelompok dengan lingkungannya. Secara nyata berisi hal yang emosional. Hernandez (Najafi dan Kamal, 2012) mengidentifikasikan place attachment adalah sebuah ikatan afeksi yang dibuat individu dengan tempat tertentu dimana mereka cenderung untuk menetap dan merasa nyaman dan aman. c. Place Dependence Stokols dan Shumaker (Jorgensen dan Steadman, 2001) mendefinisikan place dependence sebagai kekuatan asosiasi antara dirinya dengan tempat tertentu, seberapa baik individu dapat mencapai sebuah tujuan dengan beberapa alternatif pilihan dari kesempatan yang diberikan suatu tempat untuk pemenuhan tujuan dan kebutuhan beraktifitas. Stokols dan Shumaker (Najafi dan Kamal, 2012) menyatakan dependence terhadap tempat dibangun ketika sumberdaya fisik dan sosial di lingkungan tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan penting individu. Stokols dan Shumaker (Najafi dan Kamal, 2012) menyatakan aktivitas yang dilakukan dalam suasana di tempat tersebut mencerminkan pentingnya tempat atau
8
place dalam memberikan kondisi yang mendukung dalam penggunaan tempat atau place tersebut.
METODE PENELITIAN Desain dan Partisipan penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini berhubungan erat dengan pengalaman masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang dalam kaitannya dengan keberadaan TPA Supit Urang itu sendiri. Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Penelitian ini menggunakan 10 subjek penelitian yang memiliki kriteria: 1. Lahir atau telah tinggal dan menetap selama minimal 20 tahun, karena TPA Supit Urang dibangun tahun 1992 atau sekitar 20 tahun yang lalu. 2. Tinggal dengan radius sekitar 1 KM dari TPA Supit Urang, hal ini berdasarkan besarnya dampak langsung yang dihasilkan oleh TPA Supit Urang terhadap lingkungan terdekat. 3. Berinteraksi baik secara langsung atau tidak langsung dengan TPA Supit Urang, subjek adalah individu yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan TPA Supit Urang. Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi pasif partisipan. Wawancara menjadi metode pengumpulan primer bagi penelitian ini. In depth interview digunakan dalam penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui gambaran sense of place pada masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang Kota Malang. Topik yang diangkat dalam penelitian ini sense of place merupakan fenomena yang tidak dapat diamati secara langsung karena berkenaan dengan penilaian, pemberian makna, dan penghayatan subjektif dari individu itu sendiri. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi pastisipasi pasif. Menurut Ghony dan Almanshur (2012) partisipasi pasif merupakan metode dimana peneliti datang di tempat kegiatan subjek, tetapi tidak ikut terlibat melakukan aktivitas seperti yang dilakukan subjek penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode anecdotal recording. Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini digunakan sebagai metode penunjang untuk melengkapi hasil wawancara. Peneliti melakukan observasi selama proses wawancara berlangsung dengan melihat reaksi informan dalam memberikan jawabannya, berdasarkan jawaban berupa kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh subjek dapat didapatkan data mengenai gambaran sense of place subjek, serta
9
komunikasi non-verbal yang menyertai subjek ketika memberikan jawaban. Peneliti juga melakukan observasi untuk melakukan verifikasi data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan keadaan di lapangan atau di lingkungan sekitar TPA Supit Urang. HASIL 1. Berdasarkan data yang diperoleh, gambaran sense of place pada masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang dapat dilihat melalui ketiga dimensi yaitu place identity, place attachment dan place dependence 2. Place identitiy pada masyarakat yang tingggal di sekitar TPA Supit Urang digambarkan melalui identitas mereka sebagai warga asli atau warga yang bertempat tinggal di TPA Supit Urang contohnya subjek
RA dan PI mengidentitaskan diri mereka sebagai
pemulung di TPA dan subjek BT dan RH yang menganggap Supit Urang sebagai punden bagi keluarga mereka. 3. Place attachment tergambar dalam masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang dapat dilihat melalui arti TPA Supit Urang bagi masyarakat sekitar, kebermaknaan ini dapat dilihat dari afeksi atau perasaan senang, nyaman dan aman serta betah yang dirasakan oleh masyarakat TPA Supit Urang. Adanya kerukunan, kekeluargaan dan gotong royong serta toleransi juga menjadi dasar yang menciptakan place attachment. 4. Place dependence pada masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang dapat dilihat melalui fungsi dari adanyaTPA Supit Urang diantaranya adalah sebagai mata pencaharian masyarakat sekitar, memberikan kompensasi, memberikan bantuan gas metan serta perubahan yang dihasilkan setelah adanya TPA yaitu perbaikan jalan berbatu menjadi jalan beraspal serta perubahan wilayah Supit Urang dari yang sebelumnya Kabupaten Malang menjadi wilayah Kotamadya Malang DISKUSI Berdasarkan hasil pengumpulan data, penelitian ini menggambarkan suatu fenomena yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang. Fenomena ini dapat didikusikan dan dianalisis melalui teori psikologi lingkungan yaitu sense of place. Teori sense of place adalah sebuah konsep menyeluruh dimana manusia dapat merasakan tempat, mempersepsikan diri mereka dan memiliki keterikatan pada tempat yang berarti bagi mereka (Hashemmnezhad dkk, 2013). Terdapat tiga dimensi yang digunakan untuk menganalisa gambaran sense of place pada masyarakat yang tinggal di sekitar Supit Urang. Ketiga dimensi sense of place yaitu place dependence, place attachment dan place identity. Penelitian ini menggali ketiga dimensi sense of place yang ada pada masyarakat yang
10
tinggal di sekitar TPA Supit Urang dalam hubungannya dengan keberadaan TPA Supit Urang. 1. Place identity Dimensi pertama dalam sense of place adalah place identity. Konsep identity yang dikemukakan oleh Proshansky (Jorgensen dan Steadman, 2001) melibatkan dimensi diri yang menentukan identitas personal individu berkaitan dengan lingkungan fisik dan pola kompleks dari ide, kesadaran, dan ketidaksadaran, keyakinan, kecenderungan perasaan, nilai, tujuan dan tendensi perilaku dan kemampuan untuk menghubungkan semua itu dengan lingkungan. Seluruh subjek memiliki kesadaran bahwa dirinya berasal atau tinggal di Supit Urang. Seluruh subjek juga memiliki kemampuan untuk merelevansikan bentuk kesadarannya dengan lingkungan tempat tinggalnya, hal ini tergambar ketika mereka menyatakan diri mereka berasal atau tinggal di Supit Urang. Subjek RA yang bekerja sebagai pemulung dengan konsep kesadaran dan keyakinannya menyatakan perasaan bangga dengan pekerjaannya dan menghubungkan dengan lingkungannya. RA juga dengan sadar mengetahui pekerjaannya dan bangga akan hal itu, begitu juga dengan SN yang bekerja sebagai penimbang menyatakan bangga akan lingkungannya. Subjek TB walaupun tidak bekerja di TPA tetapi memiliki pandangan khusus terhadap masyarakat sekitarnya yang bekerja di TPA Supit Urang. TB merasa bangga karena masyarakat sekitarnya bisa lebih sejahtera dengan bekerja pada sampah. Hal yang kadang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Phoshansky (Jorgensen dan Steadman, 2001) menyatakan sebagai struktur kognitif, place identity adalah sebuah substruktur dari konsep global identifikasi diri sejalan dengan kesadaran identitas gender dan identitas peran. Subjek RA memiliki identitas peran, pekerjaan dan lingkungan TPA Supit Urang yang secara tidak sadar mempengaruhi perilakunya. RA mengidentifikasikan dirinya sebagai pemulung di TPA Supit Urang, hasil dari identifikasi ini membuat RA bersikap menghindari tanggapan negatif orang-orang ketika berada dalam situasi sosial di luar lingkungan TPA. RA menganggap orang lain menilai dirinya sebagai pemulung yang sehari-hari bekerja di TPA sehingga RA merasa tidak bersih dan menghindari pekerjaan sebagai juru masak dalam sebuah acara. Subjek BT dan RH merupakan pasangan suami istri dan memiliki place identity terhadap TPA Supit Urang. Mereka menyatakan Supit Urang sebagai tempat untuk membesarkan anak-anak dan generasi penerusnya. Mereka mengidentitaskan diri mereka serta keluarga mereka dalam lingkungan Supit Urang. Keluarga BT menganggap tempat tinggalnya di Supit Urang sebagai punden bagi keluarganya. Punden adalah rumah pertama
11
yang dibangun dan dilanjutkan bagi generasi penerusnya. Dalam pemikiran BT dan RH punden tidak boleh dijual karena punden mengidentitaskan siapa diri mereka berkaitan dengan lingkungannya. Punden ini merupakan sebuah konsep ide dan kepercayaan yang dipegang oleh keluarga BT dan RH. Konsep ide dan kepercayaan ini menjadi indikator dimensi place identity. RH menyatakan bahwa TPA Supit Urang beserta lingkungan sekitarnya telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari bagi RH. Terdapat indikator lain untuk menentukan identitas seseorang yaitu individu merasa menjadi dirinya sendiri di dalam suatu tempat tertentu. MN sebagai warga asli Supit Urang memiliki pandangan sendiri. MN merasa menjadi dirinya sendiri ketika berada di daerah Supit Urang. PI dan SI sebagai warga asli memiliki refleksi terhadap keberadaan TPA Supit Urang. PI menyatakan tidak ingin pindah dari Supit Urang, selain karena dekat dengan lingkungan pekerjaaannya sebagai pemulung, PI merefleksikan Supit Urang sebagai tanah kelahiran dan merasa Supit Urang adalah „tanah‟ nya sendiri. SI merefleksikan Supit Urang sebagai tempat berkumpulnya sebagain anggota keluarga besarnya. SI juga merefleksikan Supit Urang sebagai tempat menjalankan usahanya dan SI menginginkan tinggal di Supit Urang untuk waktu yang lama. 2. Place attachment Dimensi kedua dari sense of place adalah place attachment. Altman dan Low (Jorgensen dan Stedman,2001) menggambarkan place attachment sebagai ikatan yang positif yang terbangun antara individu atau kelompok dengan lingkungannya. Kesemua subjek memiliki place attachment
terhadap TPA Supit Urang. Ikatan positif yang
diciptakan oleh masyarakat dengan TPA. Seluruh subjek memiliki perasaan senang dan nyaman tinggal di TPA Supit Urang. Hernandez (Najafi dan Kamal, 2012) mengidentifikasikan place attachment adalah sebuah ikatan afeksi yang dibuat individu dengan tempat tertentu dimana mereka cenderung untuk menetap dan merasa nyaman dan aman.
Perasan-perasaan positif
yang terbentuk
dari
interaksi
individu
dengan
lingkungannya adalah place attachment itu sendiri. Subjek CI memiliki place attachment karena kehidupan di Supit Urang masih alami dengan susana pedesaan. Kesejukan dan ketenangan menjadi alasan yang membuat CI merasa betah tinggal di Supit Urang selain itu dekatnya akses dengan lingkungan pekerjaan CI yaitu kantor TPA Supit Urang juga dapat menambah attachment pada CI terhadap TPA Supit Urang. DI merasa terikat dengan Supit Urang karena beberapa alasan antara lain karena DI bekerja di TPA Supit Urang dan menyukai pekerjaannya sehingga menimbulkan keterikatan dengan TPA. Menurut DI, Supit Urang adalah sebuah tempat yang mengalami
12
metamorfosis. Supit Urang yang sebelumnya adalah sebuah desa terpencil yang berubah menjadi tempat yang terkenal dan sering dikunjungi oleh Walikota. Kehidupan di Supit Urang menurut DI adalah kehidupan yang sederhana tetapi menyenangkan. Terdapat afeksi yang mendasari keterikatan antara DI dengan Supit Urang. DI juga menyampaikan bahwa sebagai warga TPA Supit Urang harus memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya. Teori place attachment Riley (Jorgensen dan Stedman,2001) menekankan bahwa attachment adalah hubungan afeksi antara individu atau kelompok dengan lanskap meliputi interaksi yang saling mempengaruhi antara emosi, pengetahuan, kepercayaan dan perilaku dan tindakan pada suatu tempat tertentu. Keterikatan DI dengan Supit Urang mempengaruhi DI dalam melakukan suatu perilaku atau tindakan yaitu DI merasa bertanggung jawab dalam menjaga dan mencerminkan penghargaan Adipura yang telah didapat oleh TPA Supit Urang. BT menggambarkan alasan yang mendasari dirinya memiliki keterikatan dengan TPA Supit Urang didominasi oleh faktor sosial masyarakat yang ada pada lingkungan TPA Supit Urang. BT merasakan adanya kerukunan yang terjalin antar komponen di dalam TPA maupun dengan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang. BT merasakan perasaan bahagia dan senang tinggal di sekitar TPA Supit Urang. BT menyatakan perasaan kehilangan jika TPA tidak ada, BT merasa TPA Sebagai pelengkap kehidupannya. Faktor sosial dan kenyamanan menjadi alasan yang mendasari keterikatan pada subjek TB. Gambaran place attachment yang dimiliki subjek RA karena adanya perasaan nyaman dan senang sebagai simbol keterikatan yang dimiliki subjek RA. Smith (2011) menyatakan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan seseorang dengan lingkungannya. Dua diantaranya adalah faktor fisik dan sosial. Terdapat faktor fisik dan sosial sebagai alasan keterikatan RA dengan TPA Supit Urang. Afeksi yang tercipta dalam subjek RA dapat menimbulkan perasaan kehilangan bila tempat tersebut tidak ada. Hubungan yang tercipta antara sesama komponen TPA membuat SN menyenangi pekerjaannya. Selai itu SN juga memiliki perasaan aman dan tenang berada dalam lingkungan tempat tinggalnya. Hernandez (Najafi dan Kamal, 2012) mengidentifikasikan place attachment adalah sebuah ikatan afeksi yang dibuat individu dengan tempat tertentu dimana mereka cenderung untuk menetap dan merasa nyaman dan aman. SN merasakan aman, rasa aman ini dapat menjadi indikator untuk mengidentifikasi adanya place attachment. SN juga menggambarkan perasaan kehilangan dan menderita seandainya TPA berhenti beroperasi.
13
Subjek MN menggambarkan keterikatannya melalui perasaan nyaman dan aman tinggal di lingkungan Supit Urang. MN memiliki perasaan senang tinggal di Supit Urang karena adanya bantuan dan kompensasi. Rubinstein (Hashemnezhad,2013) menjelaskan pada kenyataannya pengalaman positif terhadap suatu tempat adalah sebuah konsekuensi dari kepercayaan positif dan emosi yang individu ciptakan dalam interaksinya dengan lingkungan dan memberikan arti didalam tempat tersebut. Pengalaman- pengalaman positif yang dirasakan subjek MN dapat memberikan arti bagi tempat tersebut. Faktor sosial juga mempengaruhi dalam rasa place attachment dalam diri MN. Terdapat hubungan langsung antara tingkat place attachment dan minat atau ketertarikan dengan tempat tersebut, ketika seseorang terikat dengan suatu tempat, ia akan peduli dengan semua yang ada di tempat tersebut. Hal ini muncul dari aktivitas dan interaksi antara manusia dengan tempat dan manusia dengan manusia dalam tempat tertentu. MN menggambarkan tingkat kepedulian terhadap TPA Supit Urang dengan menjaga agar setiap pelaksanaan proses kegiatan yang berhubungan dengan TPA tidak merugikan baik bagi masyarakat dan lingkungan Supit Urang maupun bagi TPA sendiri PI memiliki rasa keterikatan dengan TPA karena dengan bekerja di TPA sehingga dapat mencukupi hidup. Rasa syukur karena keluarga PI tinggal disekitar TPA, pekerjaan PI berasal dari keberadaan TPA. PI menyukai lingkungan Supit Urang yang rukun dan akrab satu sama lain. RH menyukai bertempat tinggal di Supit Urang karena kerukunan, gotong royong dan hubungan positif yang terbangun antara setiap komponen TPA Supit Urang. SI menggambarkan keterikatannya dengan Supit Urang karena rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang terbangun antar masyarakat di Supit Urang. Subjek RH dan SI menyatakan tidak ingin pindah dari wilayah Supit Urang. Kedua subjek memiliki harapan akan hubungan yang lebih dari sekedar perasaan senang. Tercipta ikatan positif yang dipupuk dan mengikat mereka dengan Supit Urang. Tidak ingin berpindah ketempat lain dan harapan positif terhadap keadaan masyarakat Supit Urang menunjukan adanya keterikatan terhadap TPA Supit Urang. 3. Place dependence Dimensi ketiga dalam sense of place adalah place dependence. Stokols dan Shumaker (Joregensen dan Stedman, 2001) mendefinisikan place dependence sebagai kekuatan asosiasi antara dirinya dengan tempat tertentu. Place dependence diukur dari seberapa baik individu dapat mencapai sebuah tujuan dengan beberapa alternatif pilihan dari kesempatan yang diberikan suatu tempat untuk pemenuhan tujuan dan kebutuhan beraktifitas.
14
Subjek CI, DI, BT, RA, SN, PI dan RH memiliki place dependence yang terkait dengan kekuatan individu dalam hal pemenuhan tujuan dan kebutuhan beraktifitas, karena ketujuh subjek ini memiliki pekerjaan atau pernah bekerja didalam lingkup TPA. Subjek CI dan DI adalah pegawai dikantor TPA Supit Urang. Subjek RA dan PI adalah pemulung di TPA Supit Urang. Subjek SN sebagai penimbang di TPA Supit Urang sedangkan BT dan RH pernah bekerja sebagai pemulung di TPA Supit Urang. Subjek lainnya walaupun tidak memiliki pekerjaan yang berkaitan langsung dengan TPA Supit Urang seperti TB adalah seorang petani yang mengelola lahan di sekitar TPA Supit Urang dan subjek MN yang bekerja di bengkel mobil serta subjek SI sebagai seorang ibu rumah tangga. Semua subjek memiliki place dependence, dengan merasakan atau mempersepsikan bahwa TPA Supit Urang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisik orangorang di sekitarnya. Hal tersebut didasarkan pada sebagian percakapan antara peneliti dengan semua subjek. Menurut subjek CI, semenjak ada TPA masyarakat sekitar banyak yang beralih profesi dari kuli bangunan menjadi pemulung. CI melihat adanya hubungan antara munculnya TPA bersamaan dengan mata pencaharian baru bagi penduduk sekitar yaitu menjadi pemulung. Dapat dilihat bahwa TPA memiliki kekuatan untuk memenuhi kebutuhan fisik bagi masyarakat sekitarnya. CI juga memiliki persepsi jika TPA tidak pernah ada di Supit Urang maka CI mungkin tidak akan menjadi PNS seperti sekarang. DI juga merasakan perbedaan sebelum dan sesudah adanya TPA. Penghasilan masyarakat Supit Urang semenjak bekerja di TPA bersifat rutin dan pasti walaupun sedikit sedangkan menurut BT yang pernah bekerja menjadi pemulung berpendapat bahwa pekerjaannya dulu dapat memberikan penghasilan. BT tidak mempermasalahkan pandangan negatif orang lain terhadap pekerjaannya. BT tidak sakit hati dengan perlakuan orang lain, karena BT merasa bahwa pekerjaanya yang dipandang negatif oleh orang lain juga dapat menghasilkan, dari sini dapat disimpulkan bahwa TPA menjadi kekuatan asosiatif dimana BT menyadari bahwa dirinya bekerja untuk menghidupi keluarga. Subjek TB menilai dengan hadirnya TPA, masyarakat sekitar dapat lebih sejahtera dari sebelumnya. RA yang bekerja sebagai pemulung menyatakan TPA berperan penting bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Menurut RA bekerja di TPA dapat mencapai sebuah tujuan dengan alternatif pilihan dari kesempatan yang diberikan suatu tempat untuk pemenuhan tujuan dan kebutuhan beraktifitas. RA memilih bekerja di TPA dibandingkan bekerja di perusahan rokok lokal, ini merupakan proses memilih alternatif untuk memenuhi kebutuhan. RA lebih memilih bekerja di TPA dibandingkan dengan bekerja di perusahaan rokok lokal karena beberapa alasan, diantaranya ketika bekerja di TPA subjek RA tidak
15
merasa diperintah dan bekerja atas inisiatif diri sendiri. RA telah bekerja selama dua puluh tahun di TPA semenjak TPA didirikan. RA juga merasakan adanya ketergantungan terhadap TPA. Subjek SN yang merupakan seorang penimbang di TPA Supit Urang juga mengatakan dalam wawancaranya bahwa kehadiran TPA Supit Urang menjadi sumber mata pencaharian warga sekitar terutama RT lima yang paling berdekatan dengan TPA. Aktivitas yang terjadi di TPA dapat mencerminkan arti dari tempat tersebut, TPA yang merupakan singkatan dari tempat pembuangan akhir yaitu tempat dimana seluruh sampah yang tidak dapat didaur ulang kemudian diambil oleh DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) dan dimasukan untuk kemudian dihilangkan, tetapi dalam kenyataannya banyak aktivitas yang terjadi diluar dari fungsi sesungguhnya dari TPA. Aktivitas lain yang terjadi salah satunya adalah mencari sampah atau barang bekas oleh individu untuk kemudian dijual kepada pengepul. Individu yang mencari sampah atau barang bekas menjadikan aktivitas tersebut sebagai mata pencaharian, selain itu terdapat juga aktivitas membeli sampah yang dicari tersebut oleh pengepul. Berdasarkan hasil observasi terdapat juga aktivitas menjual dan membeli di sebuah tempat yang dinamakan warung. Stokols dan Shumaker (Najafi dan Kamal, 2012) menjelaskan dalam gagasan teorinya mengenai place dependence yang mengacu pada hubungan khusus berdasarkan aktivitas yang dilakukan dalam suasana di tempat tersebut. Place dependence mencerminkan pentingnya tempat atau place dalam memberikan kondisi yang mendukung dalam penggunaan tempat atau place tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat dilihat bahwa kehadiran TPA menjadi sangat penting bagi masyarakat sekitar yang tercermin dari aktivitas yang terjadi di dalam TPA. Subjek MN walaupun tidak bekerja secara langsung di TPA tetapi bertugas sebagai salah satu penanggung jawab kelancaran gas metan bagi warga Supit Urang juga berpendapat bahwa masyarakat sekitar memiliki place dependence terhadap TPA Supit Urang. MN melihat adanya sebuah peluang yang dapat dimanfaat dari keberadaan TPA Supit Urang. Masyarakat sekitar menganggap sampah di TPA sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan tujuan hidup. Pemilihan kesempatan ini tidak terlepas dari minimnya pengalaman dan pendidikan dari warga . Terlepas dari itu semua, keberadaan TPA menjadi penggerak kehidupan warga Supit Urang. Para pekerja menganggap penghasilan yang didapatkan dari TPA adalah sesuatu yang bernilai dan tanpa sadar mereka mengabaikan dampak negatif dari pekerjaan ini.
16
MN juga mengatakan bahwa ketergantungan secara fisik lewat mata pencaharian ini tidak hanya dirasakan oleh warga yang tinggal disekitar TPA Supit Urang. Warga kabupaten yang dibatasi oleh sungai dengan TPA yaitu desa Jedong juga mencari nafkah di TPA, selain itu penimbang yang juga beberapa tidak berasal dari warga Supit Urang. berdasarkan fakta ini membuktikan keberadaan Supit Urang tidak hanya memberikan manfaat kepada warga Supit Urang tetapi jauh lebih luas lokasi dimana TPA tersebut berada. Subjek PI merasakan hal yang sama dengan subjek yang lain dalam hal place dependence yaitu menjadikan TPA sebagai sumber mata pencaharian. Subjek PI merasakan bahwa lebih menguntungkan bekerja sebagai pemulung dibandingkan dengan manjadi kuli bangunan, karena penghasilan dari kuli bangunan tidak menentu dibandingkan dengan bekerja sebagai pemulung yang memiliki penghasilan rutin. Hal ini menunjukan bahwa TPA Supit Urang menjadi sebuah tempat yang memiliki ikatan terhadap masyarakat disekitarnya. Giulani (Riasnugrahani dan Sunarto,2011) menyatakan ikatan individu dan lingkungan ditentukan oleh adanya kesesuaian antara kebutuhan (fisik dan psikologis) dan sumber fisik dan sosial dari lingkungan, evaluasi individu terhadap situasi saat ini dibandingkan berbagai alternatif dan kemungkinan yang ada. PI mengevaluasi adanya kemungkinan yang lebih baik bagi situasinya sekarang yaitu dengan menjadi pemulung dan meninggalkan pekerjaannya yang terdahulu sebagai kuli bangunan. PI mengabaikan rasa malu dan rasa jijik dirinya terhadap kondisi TPA. Subjek PI menunjukan ketergantungan hidup keluarga dan warga lain seandainya kegiatan TPA dihentikan. Adanya TPA juga dapat meningkatkan kesejahteraan warga TPA Supit Urang. RH menyatakan bahwa keberadaan TPA Supit Urang membawa perubahan bagi masyarakat setempat. RH mengatakan bahwa masyarakat Supit Urang kini telah memiliki pekerjaan dan tidak ada lagi yang menganggur. Hal ini sesuai dengan indikator bahwa tempat tersebut memiliki place dependence ketika dapat bernilai dan berkaitan dengan suatu aktivitas dimana individu berkunjung. Kesepuluh subjek memiliki gambaran place dependence yang berbeda terhadap kehadiran TPA Supit Urang, tetapi secara garis besar menggambarkan bahwa TPA memberikan lapangan kerja kepada masyarakat Supit Urang. Keberadaan TPA Supit Urang dapat memenuhi kebutuhan lebih baik dari tempat lain. Selain memberikan lapangan pekerjaan, tinggal disekitar TPA Supit Urang juga memiliki nilai ekonomis karena TPA memberikan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitarnya.
17
CI mengatakan bahwa TPA memberikan kompensasi setelah adanya demo yang dilakukan warga, selanjutnya warga hanya membayar dua puluh ribu rupiah perbulan untuk kebutuhan air dan gas sehari-hari. DI mengatakan dana kompensasi yang didapatkan RT lima lebih besar dibandingkan dengan RT lain karena wilayah ini adalah wilayah yang paling berdekatan dengan TPA. SN sebagai ketua RT lima menjelaskan banyak manfaat yang didapatkan tinggal di Supit Urang antara lain sebagai mata pencaharian, mendapatkan bantuan gas metan dan kompensasi.
MN menceritakan awalnya TPA memberikan
kompensasi kepada warga sekitar. Kompensasi diberikan kepada masyarakat melalui bentuk pelayanan terhadap lingkungan sekitar, seperti bantuan kegiatan, bantuan kematian dan lain sebagainya. Gas yang digunakan oleh masyarakat Supit Urang merupakan bantuan dari TPA. Bantuan ini menurut MN bermanfaat bagi masyarakat. RH merasa terbantu sekali dengan adanya gas metan karena dapat menghemat uang belanja yang harus dikeluarkan. SI yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga merasa terbantu dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena dapat menghemat pengeluaran uang bulanan dari adanya bantuan gas metan. Selain kompensasi, bantuan gas metan dan air terdapat juga bantuan pembangunan saran fisik untuk menunjang proses pekerjaan TPA yang secara tidak langsung bermanfaat bagi warga Supit Urang. Bantuan tersebut adalah perbaikan jalan dan perubahan Supit Urang menjadi kotamadya Malang. Place dependence terjadi karena beberapa hal yaitu kehidupan yang diberikan oleh TPA melalui sampah-sampah yang menjadi sumber mata pencaharian bagi mayoritas masyarakat Supit Urang, ini menunjukan kecenderungan untuk datang ke TPA Supit Urang dengan alasan spesifik yaitu bekerja. Pada proses selanjutnya adanya kompensasi dan bantuan-bantuan menambah rasa ketergantungan warga terhadap TPA Supit Urang sendiri. Place dependence tergambar melalui gambaran TPA yang memberikan lapangan pekerjaan, adanya kompensasi dari TPA, bantuan gas metan. Ketiga hal ini mendominasi gambaran place dependence yang terjadi pada masyarakat Supit Urang, selain itu adanya perubahan jalan berbatu menjadi jalan beraspal dan perubahan Supit Urang dari kabupaten menjadi kotamadya menambah rasa ketergantungan masyarakat terhadap TPA Supit Urang. Place attachment yang tergambar pada masyarakat yang tinggal disekitar TPA Supit Urang adalah perasaan senang, nyaman dan aman tinggal di Supit Urang. Kerukunan, kekompakan, gotong royong, kekeluargaan menambah rasa keterikatan antar setiap komponen TPA Supit Urang. Rasa saling mengerti dan menjaga serta toleransi menjadikan kehidupan di TPA Supit Urang yang sederhana menjadi bahagia. Place identity yang
18
tergambar dalam masyarakat Supit Urang adalah semua subjek menyatakan bahwa mereka bertempat tinggal di Supit Urang, sebagian lahir disana. Perasaan bangga menjadi bagian TPA Supit Urang dan menjadi diri sendiri ketika berada di TPA Supit Urang muncul sebagai bentuk identitas masyarakat terhadap tempat tinggalnya. Supit Urang bagi mereka juga dapat menjadi punden yang akan menjadi tempat bagi kelangsungan dan berkembangnya generasi masyarakat Supit Urang itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Ardoin, N, Schuh, M, Janel, S, Gould, Rachell, K. (2012). Exploring the dimensions of place: a confirmatory factor analysis of data from three ecoregional sitesExploring the dimensions of place: a confirmatory factor analysis of data from three ecoregional sites. Environmental Education Research Vol. 18, No. 5 diunduh tanggal 07 Februari 2014 pukul 23.14 Axford, J., Hockings, M. (2005). A Tool to Assist the Meaningful Engagement of Communities in Protected Area Management. NRSM University of Queensland : Australia diunduh tanggal 28 Januari 2014 pukul 13.12 BPS Kota Malang. (2011). Malang Dalam Angka 2011. BPS Hashemnezhad, H, Yasdanfar, Abbas, S, Heidari, Akbar, A, Nazgol, B. (2013). Comparison the Concepts of Sense of Place and Attachment to Place in Architectural Studies. Australian Journal of Basic and Applied Sciences diunduh tanggal 29 Januari 2014 pukul 09.34 Miles, M.B., Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode Metode Baru. Jakarta : UI Press Jorgensen, B.S., Richard, C.S. (2006). A Comparative Analysis of Predictors of Sense of Place Dimentions : Attachment to, Dependence on, and Identification with Lakeshore Properties. Journal Enviromental Psychology Elsevier diunduh tanggal 29 Januari 2014 pukul 08.12 Jorgensen, B.S., Richard, C.S. (2001). Sense of Place as an Attitude: Lakeshore Owners Attitude Toward Their Properties. Journal Enviromental Psychology Elsevier diunduh tanggal 29 Januari 2014 pukul 09.43 Okoli, D.T. (2013). Sense Of Place And Student Engagement Among Undergraduate Students At A Major Public Research University. Dissertation : Colorado State University diunduh tanggal 25 Februari 2014 pukul 20.10
19
Riasnugrahani, M., Sianiwati, S. (2011). Place Identity, Place Dependence, Place-Based Affect dan Community Participation di Kota Bandung.
Proceedings
Enviromental Talk :Toward A Better Green Living . diunduh tanggal 29 Januari 2014 pukul 09.54 Rogers, Z., Bragg, E. (2012). The Power of Connection : Sustainable Lifestyle and Sense of Place. Ecopsychology Vol.4 No.4. Mary Ann Liebert , Inc. diunduh tanggal 29 Januari 2014 pukul 10.07 Rostamzadeh, M.R.N., Anantharaman, Yoon Kin Tong. (2012). Sense of Place on Expatriate Mental Health in Malaysia. Internasional Journal of Social Science and Humanity Semken, S, Freeman, C.B., Watts, N.B., Neakrase, J.J., Dial, R.E., Baker, D.E. (2009). Factors That Influence Sense of Place as a Learning Outcome and Assessment Measure of Place-Based Geoscience Teaching. Electronic Journal of Science Education Vol.13 No.2 diunduh tanggal 25 Februari 2014 pukul 20:05 Smith, K.M. (2011). The Relationship between Residential Satisfaction, Sense of Community, Sense of Belonging and Sense of Place in a Western Australian Urban Planned Community. Thesis of Edith Cowan University. diunduh tanggal 05 Maret 2014 tanggal 9:37 Waluya, B., Maryani, E. (2007). Handout Geografi Ekonomi. Bandung :Universitas Pendidikan Indonesia diunduh tanggal 05 Maret 2014 tangga 09.55
20