SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN
Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan, Yogyakarta Emmelia Tricia Herliana(1), Himasari Hanan (2), Hanson Endra Kusuma(2)
[email protected] (1)
M ahasisw a P rogram Doktor A rsitektur, S ekolah A rsitektur, P erencanaan, dan P engembangan Kebijakan (S A P PK), Institut Teknologi Bandung. (2) Dosen P embimbing pada P rogram S tudi Doktor A rsitektur, Kelompok Keilmuan S ejarah, Teori dan Kritik A rsitektur, S ekolah A rsitektur, P erencanaan, dan P engembangan Kebijakan (S A P P K), Institut Teknologi Bandung.
Abstrak Keberadaan tempat di Kota Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan budaya. Keterkaitan dengan budaya ini terwujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Yogyakarta. Tujuan penulisan artikel ini adalah memberi gambaran tentang peran budaya sebagai unsur pembentuk sense of place , terutama di salah satu tempat di Kota Yogyakarta, yaitu Kampung Bugisan. Kampung Bugisan dikenal sebagai salah satu tempat asal prajurit Keraton dan merupakan tempat produksi blangkon sebagai benda budaya dan juga sorjan sebagai busana tradisional Jawa. Kegiatan pembuatan blangkon yang merupakan bagian dari keterikatan masyarakat dengan budaya Keraton menjadi suatu kebanggaan bagi pembuatnya. Kata-kunci : blangkon, Kampung Bugisan, sense of place
Pendahuluan Pembahasan mengenai konsep tempat telah diungkapkan melalu i berbagai sudut pandang dan pemahaman. Norberg-Schulz (1979), yang memandang konsep tempat melalui pemahaman fenomenologis, menyebutkan bahwa tempat (place) adalah istilah konkrit untuk lingkungan. Istilah tempat berarti sesuatu yang memiliki n ilai lebih dibandingkan dengan lokasi. Pandangan fenomenologis melihat Arsitektur secara menyeluruh, yaitu terdiri dari benda konkrit dan memiliki substansi materi, bentuk, tekstur, dan warna. Kesemuanya menentukan karakter lingkungan yang merupakan esensi dari tempat. Suatu tempat memiliki karakter. Oleh karena itu, suatu tempat bersifat kualitatif. Tempat dilihat sebagai keseluruhan fenomena, dan tidak dapat dikurangi salah satu pun dari sifatnya. Menurut Sepe & Pitt (2014), dimensi kualitatif ini serupa dengan khora yang diungkapkan Plato dan ort yang disebutkan oleh Heidegger (Malpas, 2008). Plato mengungkapkan bahwa setiap tempat tidak hanya berupa topos, tetapi juga khora. sedangkan Heidegger menyebutkan istilah stelle dan ort. Adanya dua aspek ini diperkuat oleh Sepe & Pitt (2014) yang menegaskan bahwa setiap tempat memiliki dua aspek, yaitu aspek kuantitatif, berupa material-fisik dan ekologis- dan terukur, serta aspek kualitatif, yaitu immaterial, fenomenal, semantik, dan tidak terukur, yang saling melengkapi satu sama lain. Ini mendukung pernyataan Tuan (1977) yang menyebutkan bahwa tempat melibatkan makna dan nilai yang menciptakan hubungan yang intim dengan area tertentu. Selain itu, tempat atau lingkungan juga mengacu pada ko mponen biofisik dari lansekap, yaitu komponen yang tetap ada tanpa melihat tipe hubungan manusia dengan tempat. Adanya unsur yang teraba (tangible) dan unsur yang tidak teraba (intangible) ini juga diungkapkan oleh Norberg-Schulz (1979:52) ketika menjelaskan bahwa lingkungan buatan manusia (man-made place) adalah visualisasi dan simbolisasi dari pemahaman manusia terhadap lingkungan Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 001
Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan di Yogy akarta
alami dan situasi keberadaannya secara umum di dalam alam semesta. Di dalam proses simbolisasi dan visualisasi in i terjadi proses penterjemahan makna menjadi bentuk fisik. Pada masyarakat tradisional, proses in i menghasilkan sistem kosmis yang disepakati bersama dalam bentuk kosmologi. Aturan kosmis divisualisasikan dalam bentuk organisasi spatial. Norberg-Schulz (1979) menjelaskan lebih lanjut bahwa karakter bersifat lebih intangible dibandingkan dengan hal yang bersifat alami dan hubungan spatial. Karakter memerlukan perhatian khusus. Perwujudannya mengandung bahasa simbolik. Green (1999) menambahkan bahwa karakter tempat berkaitan dengan bagaimana individu dan masyarakat mengalami tempat dan figur lingkungan yang menandai tempat , sehingga berkaitan dengan proses persepsi, afektif, dan kognisi individu dan masyarakat terhadap tempat dan figur tersebut. Menurut Green (1999), konsep karakter tempat berkaitan dengan place attachment dan memiliki atribut yang serupa. Ia menjelaskan bahwa jika karakter dari suatu kota terancam sebagai hasil dari h ilangnya figur lingkungan yang memiliki makna penting, maka rasa keterkaitan komunitas terhadap lingkungan it u akan hilang. Molotch, Freudenburg, & Paulsen (2000) menjelaskan pentingnya letak geografis, latar belakang sejarah, kondisi sosial, ekonomi, dan politik di dalam proses terbentuknya karakter kota. Sepe & Pitt (2014) menjelaskan bahwa suatu tempat berkaitan dengan makna yang diberikan penduduknya dan bagaimana kemampuan mereka untuk memberi pengaruh pada lingkungannya. Makna berkaitan dengan karakter yang dimiliki oleh suatu tempat. Karakter me mberi substansi pada tempat. Sepe & Pitt (2014) menyebutkan karakter dasar dari suatu tempat, meliputi: karakter lingkungan, karakter historis, karakter simbolik, karakter urban, perseptif (kualitas sensori), antropologis, sosiologis, dan psikologis. Ia menambahkan bahwa kualitas tempat dan sense of place dapat dipahami sebagai aspek yang muncul bersamaan dengan pengalaman fisik dan konstruksi imajinatif (memberikan makna dan nilai) yang dihasilkan melalui aktivitas individu dan membentuk apresiasi secara sosial. Pada dasarnya, setiap kota memiliki keunikan, karakter, identitas, dan spirit khusus yang berbeda antara satu kota dengan kota yang lain (Garnham, 1985). Setiap kota memiliki roh (spirit) yang mengandung nilai dan makna bagi penghuninya, dan tanpa roh ini, kualitas kehidupan kota akan terganggu atau mengalami penurunan. Setiap tempat memiliki atribut lokal yang khusus, yang akan menghasilkan the sense of place , suatu hubungan emosi antara manusia dengan tempat ia hidup dan tinggal. Jika ada keterikat an antara manusia dengan tempat hidupnya, maka akan timbul rasa memiliki (sense of belonging) yang akan mendorong manusia untuk menjaga dan memelihara tempat hidupnya. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki karakteristik khas yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Kota ini me rupakan bukti perwujudan perjalanan budaya suatu komunitas masyarakat, yaitu masyarakat Jawa, sebagai pembawa kebudayaan Jawa yang masih dapat dirasakan pengaruhnya sampai saat ini. Meskipun telah mengalami perkembangan yang mempengaruhi kehidupan penduduk kotanya, baik dari segi sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi karakter Kota Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa tidak luntur. Karakter Kota Yogyakarta yang tumbuh dan bermula dari suatu kerajaan yang berpusat pada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap melekat. Masyarakat Kota Yogyakarta memiliki keterkaitan yang erat dengan posisi mitologi Sultan di dalam kosmologi Jawa. Tulisan in i bertujuan untuk menguraikan adanya cultural attachment yang menjadi pembentuk sense of place dengan kasus studi di Kampung Bugisan, Yogyakarta.
C 002 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Emmelia Tricia Herliana
Metode Penelitian Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian bersifat deskriptif dengan menguraikan dua aspek yang terdapat di dalam konsep tempat, yaitu tangible dan intangible , konotatif dan afektif, dengan aspek intangible yang menjadi pembentuk utama sense of place . Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan (field research) melalui wawancara (faceto-face interview) narasumber yang merupakan penerus usaha pembuatan ‘Blangkon Slamet Rahardjo’ yang dikenal sebagai pembuat blangkon Sultan dan keluarga kerajaan, yaitu Marsudi. Pengumpulan data juga dilakukan melalui pengamatan lokasi di Kampung Bugisan. Hasil dan Pembahasan Esensi Budaya di Kota Yogyakarta Pada simbolisme Jawa, Raja adalah perwujudan sakral dari keseluruhan alam semesta. Istana raja adalah mikrokosmos yang merupakan peniruan dari makrokosmos. Keraton adalah reproduksi dari dunia sakral dan memberi bentuk nyata bagi kesakralan yang tidak terlihat. Kesejahteraan seluruh kerajaan bermula dari keraton, yaitu dari spiritualitas Sultan. Sultan dipercaya dapat memberikan perlindungan spiritual dan fisik bagi masyarakat Yogyakarta. Sebaliknya, masyarakat mengabdikan diri dan kehidupannya. Ini yang disebut dengan prinsip mengayomi masyarakat. Hal in i diungkapkan oleh Rianingrum, Sachari, & Santosa (2015) yang menyebutkan bahwa di dalam budaya Jawa terdapat keterkaitan yang kuat antara komunitas dengan Keraton Yogyakarta dan terpeliharanya rasa hormat dan patuh terhadap Sultan. Keterkaitan ini memberi makna bagi kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta. Keterkaitan ini perlu diungkapkan untuk me mahami karakter Kota Yogyakarta karena karakter Kota Yogyakarta merupakan ekspresi dari keterikatan budaya (cultural attachment ) secara emosi yang terjadi antara masyarakat Kota Yogyakarta dengan posisi mitologis Sri Sultan. Pembentukan Kota Yogyakarta didasarkan pada kosmologi yang meletakkan Keraton sebagai tit ik pusat yang menyeimbangkan dua kekuatan alam, yaitu Gunung Merapi di arah Utara dan Lautan Indonesia di arah Selatan. Sistem kosmologi ini diwujudkan dalam poros Utara-Selatan yang menjadi poros utama kota. Keraton sebagai pusat kedudukan Raja diharapkan dapat menyeimbangkan dualisme energi dari kekuatan yang sifatnya ekstrim. Purwani (2015) mendukung gagasan bahwa Keraton adalah sebagai pusat yang dianggap dapat menyimbangkan kekuatan alam di sekitarnya. Garis sumbu sebagai bagian yang menghubungkan Ke raton dengan figur-figur alami yang berada di sekitarnya, yaitu gunung dan laut. Figur-figur alami in i dipercaya mengandung kekuatan supranatural. Keraton dipercaya dapat menyeimbangkan kekuatan tersebut agar tercapai keamanan. Peran Sultan sebagai Raja di Yogyakarta antara lain dapat dilihat dari adanya tanah Sult an, yang disebut mager sari, yang diberikan Sultan untuk digunakan masyarakat . Menurut Kato (2012), hal ini merupakan wujud dari praktik dono driyah , yaitu yang memiliki kemampuan finansial lebih memberi dukungan finansial kepada yang kurang mampu. Kato (2012) menjelaskan bahwa konsep memayu hayuning bawana, yang merupakan perwujudan dari kedamaian dunia, diterapkan oleh masyarakat Jawa dalam hidup sehari-hari. Kondisi ideal ini didukung oleh tiga faktor, yaitu keselarasan, keseimbangan, dan keserasian. Ini tercermin pada karakteristik masyarakat Jawa yang cenderung menghindari pertentangan dan berusaha menciptakan keharmonisan. Karakter tempat di Kota Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari prinsip budaya yang terwujud dalam kehidupan masyarakat. Garnham (1985) menyebutkan bahwa keragaman budaya, nilai-n ilai yang dianut masyarakat, dan kegiatan penduduk merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sense of place . Najafi & Shariff (2011) mendukung pendapat ini saat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan terhadap suatu tempat dengan menyebutkan faktor budaya dan kegiatan sebagai kunci untuk memahami sifat interaksi manusia dengan lingkungannya. Budaya menjadi Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 003
Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan di Yogy akarta
dasar pandangan hidup dan persepsi masyarakat. Najafi & Shariff (2011) mengutip Tuan (1974) yang menggunakan istilah topophilia untuk menjelaskan ikatan afektif antara manusia dengan tempat. Di dalam teorinya, Tuan menyebutkan bahwa perasaan manusia terhadap tempat tidak akan kuat, kecuali jika tempat tersebut merupakan tempat terjadinya peristiwa budaya atau peristiwa personal yang signifikan. Tempat menjadi simbol dari gagasan yang lebih abstrak. Kegiatan, sebagai bagian dari budaya, dapat memberi kontribusi pada perasaan keterkaitan terhadap tempat. Kehidupan masyarakat Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh budaya Keraton dalam berbagai aspek. Tata krama, penggunaan tingkatan bahasa, penggunaan busana dan kelengkapannya, serta bentuk arsitektur yang ada di Keraton dan lingkungan dalam beteng menjadi panutan dan acuan bagi masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakat Jawa pada umumnya. Tradisi dan ritual yang dilakukan d i dalam Keraton cenderung dilakukan dan didukung oleh masyarakat, misalnya ritual dalam daur hidup manusia, tradisi penggunaan busana tradisional Jawa dalam acara tertentu, tradisi Sekaten, serta pembuatan benda budaya, seperti batik, sorjan, keris, dan blangkon . Dalam kaitannya dengan pemeliharaan budaya dan tradisi, salah satu tempat di Kota Yogyakarta, yaitu Kampung Bugisan, memiliki keunikan karena menjadi tempat berlangsungnya produksi benda budaya, yaitu pembuatan blangkon.
Sense of Place Kampung Bugisan sebagai jejak budaya Keraton Kampung Bugisan terletak di Kecamatan W irobrajan, Kota Yogyakarta, di bagian barat daya Kompleks Keraton (Gambar 1). Kampung ini dikenal sebagai tempat pembuatan blangkon dan busana tradisional Jawa, yaitu blangkon, sorjan, dan beskap, terutama bagi para abdi dalem Keraton. Namun, yang dikenal dominan dari Kampung Bugisan adalah sebagai penghasil blangkon. Kampung Bugisan ini juga merupakan tempat asal prajurit Keraton yang ditandai dengan adanya patung prajurit Keraton pada jalan masuk ke Kampung Bugisan (Gambar 2). Pada kampung ini terdapat kurang lebih sepuluh pengrajin blangkon. Salah satu pengrajin blangkon, yaitu Marsudi, menuturkan bahwa pembuatan blangkon ini telah berlangsung sejak masa kakeknya, yaitu Notodiharjo, dan dilan jutkan oleh ayahnya, Slamet Raharjo, dan dirinya. Usaha pembuatan blangkon ini diberi nama Blangkon Slamet Rahardjo, sesuai dengan nama ayahnya.
Gambar 1. Lokasi Kampung Bugisan sebagai tempat produksi blangkon
C 004 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Emmelia Tricia Herliana
Gambar 2. Kampung Bugisan di Yogyakarta yang menjadi tempat asal prajurit Keraton ditandai dengan adanya patung prajurit sebagai simbol
Gambar 3 memperlihatkan Marsudi, penerus pembuatan Blangkon Slamet Raharjo di Kampung Bugisan sedang menjelaskan mengenai pembuatan blangkon di ruang bagian depan rumah yang berfungsi sebagai ruang pajang (display) dan ruang produksi. Ia menyatakan: “Saya sudah lama menekuni ini. Sejak kecil saya sudah melihat Bapak me mbuat blangkon. Saya hanya meneruskan punya Bapak. Hanya sama sinau. Ada orang yang ke sini, menambah ilmu, saling sharing.” Ia menambahkan: “Yang mulai usaha eyang. Waktu dulu eyang banyak pesanan dari keraton karena kewalahan Bapak disuruh bantu. Sebelumnya diberi keterampilan untuk membuat blangkon.” “Kalau untuk Keraton itu mengabdikan diri.” “Blangkon kalau menurut filosofi ya gamblanganne lakon, perjalanan hidup. Orang Solo menyebutnya udheng, utheke ben mudeng. Orang Jawa biasanya digathuk-gathuke. Ada jlantrahe, ada sambungannya. Blangkon itu sebenarnya artinya cetakan. Dulu hanya dibuntelke kain. Diubel-ubel tidak wujud seperti ini. Modelnya banyak. Model Panturanan pakai konjar panjang. Ada yang pakai kuncung. Kreasinya banyak. Solo berbeda. Bahan boleh dimodifikasi karena kreasi juga, kecuali kalau punya gawe harus sesuai pakem. ” “Di sini ada sepuluh pengrajin. Sepuluh pengrajin punya keryawan sendiri-sendiri. Karyawan saya dua orang.”
Blangkon ini tidak hanya dipesan oleh abdi dalem Keraton, tetapi juga oleh anggota keluarga kerajaan Yogyakarta dan juga masyarakat umum. Menurut Marsudi, usaha ini merupakan suatu kebanggaan karena pembuatan blangkon ini merupakan suatu pengabdian terhadap Keraton. Marsudi menyebutkan bahwa kata blangkon memiliki makna gamblangane lakon , yang berarti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 005
Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan di Yogy akarta
petunjuk perjalanan hidup. Bagi masyarakat Jawa, blangkon bukan hanya menjadi pelengkap busana tradisional, tetapi memiliki nilai budaya. Blangkon, yang secara fisik merupakan kelengkapan busana Jawa (tangible), merefleksikan identit as Jawa (intangible). Marsudi, lebih jauh menjelaskan adanya perbedaan antara blangkon Yogyakarta dan blangkon Solo. Ini juga merefleksikan konsep identitas. Keterkaitan masyarakat Jawa terhadap budaya ini menentukan sense of place Kampung Bugisan di Kota Yogyakarta. Jika menuju ke Kampung Bugisan, tidak ada penanda khusus yang menunjukkan bahwa kampung ini menjadi tempat penghasil blangkon. Rumah-rumah di Kampung Bugisan ini seperti halnya rumah di permukiman di dalam kota. Lebar jalan cenderung sempit dan hanya bisa dilalui orang dan sepeda motor. Pada bagian depan rumah terdapat informasi yang menunjukkan bahwa di rumah tersebut menerima pesanan blangkon (Gambar 4). Pembuatan blangkon ini menjadi mata pencaharian bagi penduduk Kampung Bugisan. Marsudi menuturkan bahwa awalnya, kakeknya adalah pembuat blangkon yang terkenal pada masanya. Kemudian, beliau mengajari pembuatan blangkon ini pada pegawai-pegawainya yang merupakan penduduk sekit ar. Mereka ini kemudian mendirikan usaha pembuatan blangkon sendiri. Sampai saat ini, Kampung Bugisan dikenal sebagai tempat pembuatan blangkon.
Gambar 3. Marsudi, pengrajin penerus pembuatan Blangkon Slamet Rahardjo
C 006 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Emmelia Tricia Herliana
Gambar 4. Denah rumah bagian depan milik Marsudi
Kegiatan membuat blangkon ini terjadi di ruang yang terdapat dalam tempat tinggal pengrajin. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4, blangkon yang telah jadi dipajang pada ruang di bagian depan yang menjadi ruang tamu. Ruang ini menjadi satu dengan tempat produksi sorjan dan kebaya. Ruang tempat memajang blangkon yang telah jadi in i tidak disediakan khu sus, tetapi menyatu dengan barang-barang keseharian lainnya. Selain pembuatan blangkon, Marsudi juga menerima pesanan pembuatan sorjan, beskap, dan kebaya. Marsudi dan istrinya bersama-sama berupaya agar usaha pembuatan blangkon peninggalan ayah dan kakekn ya ini tetap hidup. Upayanya ini berperan penting dalam memelihara kelangsungan pembuatan benda budaya yang terkait erat dengan budaya keraton. Meskipun blangkon adalah unsur yang kelihatannya tidak dominan dalam kelangsungan budaya Jawa, tetapi adanya blangkon sangat penting dalam kelengkapan tata busana Jawa. Kegiatan membuat blangkon ini yang menjadi pembentuk sense of place Kampung Bugisan. Low (1992) mengungkapkan bahwa aspek yang penting di dalam mendefinisikan budaya sebagai pembentuk place attachment adalah adanya hubungan simbolik antara individu atau komunitas dengan tempat yang menghasilkan pengalaman yang bernilai kultural atau menghasilkan makna dari sumber-sumber kultural. Jika dikaitkan dengan proses terjadinya sense of place yang dikemukakan oleh Shamai (1991), maka sense of place yang dimiliki penduduk terhadap Kampung Bugisan ini termasuk pada tingkat keterlibatan di dalam tempat, yaitu penduduk memiliki peran aktif di dalam komunitas pembuat blangkon karena komitmen terhadap tempat.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 007
Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan di Yogy akarta
Kesimpulan
Cultural attachment tidak hanya berupa ritual, tetapi dapat berupa kegiatan sehari-hari yang terkait dengan kegiatan masa lalu dan kelanjutan nilai budaya. Aktivitas penghuni yang memproduksi blangkon sebagai benda budaya di tempat yang awalnya dikenal sebagai kediaman prajurit Keraton membentuk makna tempat bagi Kampung Bugisan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan pembuatan blangkon mengekspresikan attachment Kampung Bugisan terhadap keraton sebagai pusat budaya Jawa. Kegiatan membuat blangkon mengasosiasikan kedekatan dengan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimana pembuatan blangkon menjadi jejak budaya yang membentuk sense of place Kampung Bugisan di Yogyakarta. Selain memberikan perasaan bangga dan rasa pengabdian bagi pembuatnya (aspek afektif), juga memberikan penghidupan bagi penduduk, yaitu menjadi mata pencaharian penduduk Kampung Bugisan (aspek kognitif). Penelitian ini dilakukan dengan wawancara terhadap seorang narasumber yang memiliki peran signifikan karena menjadi generasi penerus dari pembuat blangkon yang terkenal pada masanya yang menularkan keahlian membuat blangkon pada pembuat blangkon lainnya. Penelitian lan jutan perlu dilakukan terhadap pembuat blangkon lainnya untuk memperkuat validasi. Daftar Pustaka Garnham, H. L. (1985). Maintaining the Spirit of Place: A Process for the Preservation of Town Character. Meza, Arizona: PDA Publishers Corporation. Green, R. (1999). Meaning and Form in Community Perception of Town Character, Journal of Environmental Psychology , 19, 311–329, http://doi.org/10.1006/jevp.1999.0143. Jorgensen, B. S., & Stedman, Ri. C. (2001): Sense of Place As an Attitude: Lakeshore Owners Attitudes Toward Their Properties, Journal of Environmental Psychology, 21(3), 233–248, http://doi. org/10.1006/jevp.2001.0226. Kato, H. (2012). Local Civilization and Political Decency: Equilibrium and the Position of the Sultanate in Java, Comparative Civilizations Review, (66), 45–57, diambil dari https://journals.lib.byu.edu/spc/index.php/CCR/article/viewFile/16278/15431. Low, S. M. & Altman, I. (1992). Place Attachment: A Conceptual Inquiry . New York: Plenum Press. Low, S. M. (1992). Symbolic Ties That Bind: Place Attachment in the Plaza . Dalam Low, S. M. & Altman, I. (1992). Place Attachment: A Conceptual Inquiry. New York: Plenum Press. Malpas, J. (2008). Heidegger's Topology: Being, Place, World . Cambridge, MA: MIT Press. Molotch, H. Freudenburg, W. & Paulsen, K.E. (2000). History Repeats Itself, But How? City Character, Urban Tradition, and the Accomplishment of Place, American Sociological Review, 65(6), 791–823, http://doi.org/10.2307/2657514. Najafi, M. & Shariff, M. (2011). The concept of place and sense of place in architectural studies, International Journal of Human and Social Sciences, 5(8), 1054–1060, diambil dari http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.294.3599&rep=rep1&type=pdf. Norberg-Schulz, C. (1979). Genius Loci: Towards A Phenomenology of Architecture . New York: Rizzoli International Publications, Inc. Purwani, O. (2015). Javanese cosmological layout as a political space, Cities, http://doi.org/10.1016/j.cities.2016.05.004. Rianingrum, C. J. Sachari, A. & Santosa, I. (2015). Representation of Harmony in Javanese Culture in Building Design of Kauman Yogyakarta, Journal of Engineering Technology , 3(2), 58–64, http://doi.org/10.5176/22513701_3.2.127. Sepe, M. & Pitt, M. (2014). The Characters of Place in Urban Design, Urban Design International, 19(3), 215–227, http://doi.org/10.1057/udi.2013.32. Shamai, S. (1991). Sense of place: an empirical measurement, Geoforum, 22(3), 347–358, http://doi.org/10.1016/0016-7185(91)90017-K.
C 008 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017