SENI BUDAYA BALI Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali
Oleh (Kelompok 3) : Dewa Made Tri Juniartha
201306011
Ni Wayan Eka Putri Suantari
201306012
I Gusti Nyoman Arya Sanjaya
201306013
Dicky Aditya Artha
201306014
I Made Reza Dwiantara
201306015
Ni Nyoman Sutrisni
201306016
I Kadek Natariawan
201306017
Desnata Nugraha Syaputra
201306018
Adytiawan Syahputra
201306019
Gede Dio Fredico
201306020
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu buah karya atau hasil cipta rasa dan karsa suatu kelompok manusia. Secara umum kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : kebudayaan yang bersifat fisik (tangible) dan yang bersifat non fisik (intangible). Kebudayaan yang bersifat fisik (tangible) artinya kebudayaan berwujud benda konkret yang dapat dipegang misalnya : pura, rumah, candi dan lain-lain. Sedangkan kebudayaan yang tidak bisa dipegang atau diraba dapat digolongkan pula ke dalam abstrak yang konkret, misalnya kearifan lokal yang berbentuk : tradisi, kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan berprilaku dan lain sebagainya (Rai Gria, 2008 : 30). Pulau bali merupakan salah satu dari ribuan Pulau yang ada di Indonesia. Dengan luas wilayah 5.632,86 km2 Bali, dan terdiri dari Sembilan kabupaten, Bali dapat digolongkan ke dalam pulau kecil. Namun, Bali merupakan salah satu daerah tujuan pariwisata yang paling diminati wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan keindahan alam, budaya dan tradisi masyarakat Bali yang unik dan memiliki ciri yang sangat khas. Karena kemenarikannya, Bali sering dijuluki dengan berbagai nama-nama tertentu. Misalnya The Last Paradise, Pulau Seribu Pura, Pulau Dewata, dan sebagainya. Salah satu tradisi yang menarik untuk dikaji yaitu tradisi Omed - Omedan dari Sesetan yang memiliki nilai sosial budaya dan religius bagi masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Denpasar, Bali. Tradisi ini secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat karena erat kaitannya dengan kepercayaan. Oleh karena itu kami tertarik untuk mengangkat judul tentang tradisi Omed – Omedan yang ada di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Denpasar yang merupakan rangkaian ritual Pelaksanaan Hari Raya Nyepi yang memiliki fungsi sakral dan melestarikan nilai SosioBudaya masyarakat yang dipertahankan secara turun temurun oleh masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara melestarikan Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali ? 2. Bagaimana prosesi Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali ? 3. Bagaimana Aspek Sosio – Budaya dan Religius yang tertuang dalam tradisi omed – omedan yang ada ? 1
1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui sejarah Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. 2. Untuk mengetahui prosesi Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. 3. Untuk mengetahui Aspek Sosio – Budaya dan Religius yang didapat masyarakat di Banjar Kaja Sesetan Bali.
1.4 Manfaat 1. Agar masyarakat Bali dapat mengenal tentang sejarah Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. 2. Agar masyarakat Bali dapat menjaga dan melestarikan Tradisi Omed – Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Dalam bahasa Indonesia, “Omed – Omedan” berarti “tarik – menarik”. Namun dalam bahasa Bali, sama halnya dengan “Paid – Paidan” yang artinya juga “tarik – menarik”. Tradisi Omed - Omedan adalah upacara adat yang diperingati warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Tradisi ini dimulai sejak abad ke-17, tepatnya pada tahun 1900-an yang berawal dari leluhurnya yang bernama Anak Agung Made Raka seorang Raja Puri Oka. Pada saat menjelang Hari Raya Nyepi, beliau menderita sakit keras. Sudah banyak tabib yang diundang untuk menyembuhkan sang Raja, tetapi tetap saja tidak dapat disembuhkan. Sang Rajapun akhirnya putus asa dan tidak mengijinkan masyarakatnya untuk menjenguk beliau. Ketika Hari Raya Nyepi tiba, masyarakat pun sedih dan kecewa karena tidak diperbolehkan untuk menjenguk dan melayani Sang Raja. Kemudian masyarakat menggelar acara hiburan untuk menghilangkan rasa sedih, dengan memainkan permainan saling tarik – menarik yaitu Omed – Omedan. Sang Raja yang sedang sakitpun marah besar, karena suara gaduh yang dibuat oleh masyarakatnya, kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan terhuyung – huyung ke depan Puri. Setelah Sang Raja tiba didepan Puri dan menyaksikan acara Omed – Omedan tersebut, secara ajaib sakit yang diderita Sang Raja pun hilang seketika. Beliau pun mengurungkan niatnya untuk menghentikan acara tersebut, namun beliau kemudian bertitah agar acara Omed – Omedan ini dilaksanakan setiap perayaan Hari Raya Nyepi. Sayangnya, pada saat itu masyarakat belum mengenal adanya Catur Bratha Penyepian. Maka dari itu pada tahun 1980-an, karena adanya pengaturan, penataan, dan pembinaan umat Hindu secara professional oleh Parisada Hindu Dharma, acara Omed – Omedan pun dipindah keesokan harinya yaitu pada hari Ngembak Geni. Tidak semua masyarakat Bali, bahkan warga Desa Sesetan sendiri, menyetujui tradisi Omed-omedan. Dengan berbagai alasan, seperti adanya undang-undang pornografi, ketidaksesuaian dengan norma kesopanan, dan kontra lainnya. Tradisi ini pernah ditiadakan pada sekitar tahun 1984-an oleh keputusan para sesepuh Banjar. Namun tak lama berselang, ada kejadian aneh dan unik yang terjadi di pelataran Puri Oka yaitu perkelahian antara dua ekor babi yang asal-usulnya tidak diketahui kepemilikannya dan darimana. Anehnya, di tengah perkelahian, dua ekor babi tersebut menghilang seketika. Oleh warga sekitar, kejadian tersebut dianggap sebagai pertanda buruk. Maka Omed-omedan pun kembali dijalankan sebagai tradisi tiap tahunnya. 3
2.2 Prosesi Omed - Omedan Para teruna-teruni yang mengikuti tradisi adalah warga Banjar yang menginjak dewasa namun belum menikah, umumnya berusia 17 - 30 tahun. Sebelum acara dimulai sekitar pukul 14.00 wita, mereka berkumpul untuk bersembahyang bersama. Seusai kegiatan tersebut, semua peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok laki – laki menjadi satu barisan, dan kelompok perempuan berada pada barisan lain. Kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Peserta yang akan melakukan tradisi ini digendong sesuai urutannya, kemudian di pertemukan dengan pasangan lawan jenisnya. Setelah bertemu pada suatu titik kemudian mereka saling tarik menarik, berpelukan dan berciuman disaksikan ribuan penonton termasuk warga sekitar. Prosesi tersebut dilakukan bergantian dan bergiliran hingga semua peserta kebagian berciuman. Namun menurut cerita, untuk mencium pasangan tidaklah mudah, mengingat ramainya dan berjubel para penonton yang memadati area. Bagi mereka yang berhasil mencium pasangannya, dibolehkan berhenti setelah para tetua adat membunyikan peluit. Jika tidak berhasil, pasangan tersebut akan disiram air hingga basah kuyub. Awalnya siraman air ini hanya diberlakukan untuk pasangan yang gagal berciuman, namun karna antusias dengan kemeriahan tersebut, hampir tiap peserta diguyur setelah usai berciuman. Sehingga tradisi ini memang rentan dengan air dan basah-basahan.
2.3 Aspek Sosio – Budaya dan Religius Aspek sosial yang didapat masyarakat Banjar Kaja, terhadap adanya tradisi Omed Omedan ialah, terciptanya rasa kekeluargaan, mempererat hubungan antar masyarakat, dan memupuk rasa kesetiakawanan diantara masyarakat Banjar Kaja, sehingga dapat berperan positif dalam mengurangi ataupun menyelesaikan terjadinya konflik. Selain itu, jauh-jauh hari sebelum acara puncak Omed – Omedan dimulai, muda-mudi Banjar Kaja mempersiapkan acara ini dengan membentuk sebuah organisasi atau kepanitiaan, sehingga dapat membangun jiwa organize dan jiwa entertainment. Aspek budaya yang didapat masyarakat Banjar Kaja, terhadap adanya tradisi Omed Omedan ialah, masyarakat Banjar Kaja, secara tidak langsung ikut berperan penting dalam melestarikan dan mempertahankan tradisi Omed-omedan yang telah diwariskan secara turuntemurun.
4
Aspek religi yang didapat masyarakat Banjar Kaja, terhadap adanya tradisi OmedOmedan ialah, adanya peningkatan spiritual masyarakat Banjar Kaja, yang tahun-tahun sebelumnya tidak diawali dengan persembahyangan, kini setelah dikemas sedemikian rupa, tradisi Omed - Omedan diawali dengan persembahyangan bersama antar peserta untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama acara berlangsung, kemudian dibuka dengan tari-tarian sakral dan ditutup dengan persembahyangan untuk mengucapkan terimakasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena acara Omed - Omedan telah diberikan kelancaran.
5
BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Simpulan dari kami yaitu dari adanya Tradisi Omed – Omedan terdapat nilai – nilai moral yang tersirat di antaranya adalah penghormatan terhadap leluhur, memupuk rasa kesetiakawanan dalam kerangka saling asah, asih dan asuh. Juga menjaga keharmonisan hubungan sesuai dengan norma yang berlaku, membangun solidaritas dan persatuan masyarakat.
3.2 Saran Saran kami kepada para pembaca yaitu agar senantiasa melestarikan dan terus mengadakan tradisi di daerah kita terutama Omed - Omedan. Karena, Tradisi ini sangat disenangi oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
6
DAFTAR PUSTAKA Andrew aditya cahyadinata,I Putu. 2013. “Perspektif Sosio-budaya dan Religius Terhadap Tradisi Omed - Omedan di Banjar Kaja, Desa Pakraman Sesetan, Kota Denpasar, Bali” Skripsi( tidak diterbitkan). UNDIKSHA Denpasar. Suasthawa dharmayuda, I Made. 1995. “Kebudayaan Bali” Katalog Dalam Terbitan. Denpasar : Kayumas Agung. Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1993, Tap. MPR. No.II/MPR/1993, Penerbit aneka ilmu, Semarang. Jujun S, Suriasumantri, Pembangunan Sosial Budaya Secara Terpadu, dalam masalah sosial budaya tahun 2000 Sebuah Bunga Rampai, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986. Moeljarto T., Alternatif Perencanaan Sosial Budaya, dalam masalah sosial budaya tahun 2000 Sebuah Bunga Rampai, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986. http://ensiklopediaindonesia.com/seni-dan-budaya-indonesia/omed-omedan-tradisinyapemuda-bali/ http://www.balivillarupiah.com/info-bali-budaya/omedomedan.html http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/omed-omedan-ritual-unik-pengikat-keakrabanmasyarakat-sesetan
7