PECALANG SIMBOL KEKUATAN BUDAYA BALI Ni Made Anggita Sastri Mahadewi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005022 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Pecalang represent the traditional security group owning fundamental duty to take care of the security and fluency of ritual and custom in region. Generally pecalang using black clothes completely, udeng (fastener lead the), black and white colour cloth (poleng), and bring the keris assumed dreadful, making Bali society shy at to deal by pecalang. This phenomenon use interactionalism symbolic theory from George Herbert Ad studying to hit how one can have interaction with the others do not only use the communications verbal but also with the communications non verbal, example by using symbol. Keywords: pecalang, Balinese culture strength, symbolic intercationalism 1. Pendahuluan Kekayaan budaya yang Bali miliki tercermin pula pada kelompok keamanan tradisionalnya yakni pecalang. Pecalang memiliki tugas pokok yakni menjaga keamanan dan kelancaran jalannya upacara agama di wilayahnya. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan pecalang mulai ada di Bali. Bila kita menarik sejarah terbentuknya Desa Pakaraman (desa adat) dengan kemunculan pecalang memiliki benang merah. Berawal dari tirtayatra seorang Rsi Agung dari India bernama Rsi Markandeya ke Bali. Pada saat itu di Bali sudah ada orang-orang pribumi, yang merupakan cikal bakal terbentuknya Desa Pakraman. Kemudian Rsi Markandeya memiliki visi dan misi untuk membangun Desa Pakraman, yang
selanjutnya membentuk pecalang. Pada saat itu pecalang dibentuk sebagai jaga baya desa (penjaga desa) (Widia & Widnyani, 2010 : 29-31). Pecalang memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Dalam lontar Purwadigama disebutkan kewajiban pecalang adalah sebagai berikut. 1. Ngupadesa, pecalang harus selalu dekat dengan Desa Pakraman dan warganya. Dengan dekat dan diam di desa, ini lebih terjamin adanya komunikasi dalam rangka mengarahkan krama (warga) desa. 2. Atitikarma, pecalang hendaknya selalu memberikan petunjuk yang benar kepada krama desa. Petunjuk tersebut bisa berupa arah, maupun keteladanan. Pecalang harus memberikan contoh yang baik bagi warga desa, karena memiliki kharisma dan berwibawa. 3. Jaga Baya Desa, pecalang wajib menjaga keamanan desa dengan melakukan amarah desa yakni, melakukan ronda atau keliling Desa Pakraman jangan sampai ada bahaya (Widia & Widnyani, 2010 : 55-56). Pecalang menjadi populer sejak mereka berhasil menggantikan pengamanan Kongres PDIP di Sanur, Bali. Sebagai pengaman tradisional yang dilibatkan untuk mengamankan jalannya kongres ketika itu, cukup melambungkan nama pecalang. Kongres yang digelar di masa transisi reformasi itu dikhawatirkan akan berjalan penuh hambatan dan gejolak. Faktanya, kongres sukses, tanpa cela dan hambatan. Diakui pecalang cukup banyak memberi apresiasi atas kesuksesan tersebut. Pengaman tradisional ini mendapat kepercayaan baru untuk mengemban tugas di luar pakem untuk mengamankan kegiatan adat, budaya dan keagamaan. Sejak saat itu pecalang memiliki peran berbeda, dan menjadi pionir dalam pembanguan keamanan Bali pasca tragedi Bom Bali. Pasca tragedi Bom Bali 1 dan 2, Bali sangat mencekam dan masyarakat diliputi kecemasan. Perekonomian, situasi sosial, hingga kehidupan budaya masyarakat mengalami penurunan yang sangat drastis. Walaupun hal tersebut sempat membuat Bali terpuruk, namun masyarakat Bali tidak berlama-lama diam dalam kondisi tersebut. Mereka cepat bergerak tidak mempertanyakan kenapa tragedi tersebut menimpa Bali, masyarakat lebih memikirkan bagaimana cara
untuk
memperbaiki
dan
kembali
membangun
Bali.
Tentunya
usaha
mengembalikan Bali agar seperti semula membutuhkan kerja sama antar berbagai elemen pemerintah dan masyarakat. Usaha tersebut terwujud dengan adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat yang pada bidang ini diwakili oleh pecalang. 2. Skema Teoritik dari George Herbert Mead Dalam meneliti tentang eksistensi pecalang ini diperlukan berbagai teori pendukung guna meningkatkan keabsahan karya tulis ini. Tidak banyak teori yang secara khusus membahas mengenai sistem keamanan, namun terdapat beberapa teori yang berhubungan dengan itu salah satunya yakni teori interaksionalisme simbolik dari Heorge Herbert Mead. Teori ini termasuk ke dalam paradigma definisi sosial yang menekankan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar (Ritzer, 2010 : 58-59). Mead banyak membahas mengenai bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain tidak hanya menggunakan komunikasi verbal namun dapat dilakukan juga dengan komunikasi non verbal, misalkan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut (Goodman & Ritzer, 2010 : 395). Pecalang memang memiliki kekuatan dan karisma yang kuat, sehingga mudah untuk membuat masyarakat patuh dan kondisi menjadi tertib. Bila kita melihat dari segi busana para pecalang saja sudah sangat khas dan memiliki kesan berwibawa tersendiri. Bila kita lihat pecalang secara tidak langsung menggunakan simbol-simbol,
seperti
dari
busana
yang
dikenakan.
Menurut
Lontar
Purwadigama, pecalang harus mengenakan beberapa elemen berikut. 1. Maudeng. Udeng disebut juga destar yakni penutup kepala yang wajib digunakan oleh pecalang dengan pengaturan bentuk khusus yang maksudnya untuk membedakan.
2. Mawastra akancut nyotot pertiwi. Menggunakan kain dengan bagian depan dijatuhkan menuju tanah. Hal ini sudah lumrah pada masyarakat Bali. 3. Mekampuh poleng. Selanjutnya kain dilapisi dengan kain hitam putih (poleng), untuk memberi kesan berwibawa dan mempunyai makna simbolis dari kekuatan dan kesaktian. 4. Ayungkalit keris. Pecalang seharusnya membawa keris yang diselipkan di pinggangnya pada bagain depan. 5. Masumpeng waribang. Di telinga seorang pecalang wajib diselipkan bunga pucuk arjuna. (Widia &Widnyani, 2010 : 58). Berdasarkan informasi di atas, dapat kita simpulkan bahwa hanya melalui busana yang dikenakan, pecalang memiliki karisma tersendiri. Sehingga sering kali dalam melakukan pengamanan pecalang tidak harus melakukan banyak aktivitas, karena hanya dengan melihat udeng, kain poleng dan keris yang dikenakan warga akan langsung mengetahui bahwa itu pecalang dan akan langsung menghargainya. Pola interaksi semacam ini, dapat digolongkan dalam interaksionalisme simbolik, yang hanya dengan simbol-simbol tetap dapat memiliki persepsi dan pemahaman yang diharapkan pada masyarakat. 3. Pembahasan 3.1 Pengertian Pecalang Pecalang berasal dari kata Celang, dalam Bahasa Bali yang artinya waspada dan awas. Secara umum dapat kita simpulkan bahwa pecalang adalah petugas keamanan tradisional yang bertugas untuk menjaga, mengamankan, aktivitas warga desa adat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Selain itu juga, pecalang berasal dari Bahasa Bali kepara atau Bali lumrah. Pecalang berasal
dari
kata
celang
yang artinya
tajam
indria
penglihatan dan
pendengarannya. Orang-orang yang memiliki pengindraan yang tajam inilah umumnya dipilih oleh krama desa untuk melakukan tugas-tugas pengamanan desa pakraman. Mereka yang mendapat tugas pengamanan inilah yang disebut dengan pecalang (Widia & Widnyani, 2010 : 39-40).
Pecalang terbagi ke dalam tiga jenis yakni; 1.) Pecalang yang bertugas untuk mengamankan aktivitas warga desa adat dalam melakukan kegiatan. 2.) Pecalang Subak, yang bertugas mengatur segala aktivitas para warga subak seperti, pengairan, kegiatan agama, dan lain-lain. 3.) Pecalang Jawatan, yang bertugas menjaga ketertiban aktivitas manusia. 3.2 Syarat-Syarat Menjadi Seorang Pecalang dalam Lontar Purwadigama a) Pecalang harus Nawang kangin kauh. Artinya pecalang harus tau arah mata angin dan liku-liku wilayah tugasnya. Dengan menguasai betul wilayah tugasnya pecalang memiliki wawasan tentang cara-cara pengamanan terutama pencegahan terhadap adanya gangguan keamanan. b) Wanen lan wirang. Artinya, seorang pecalang harus mempunyai rasa keberanian karena benar dan bersikap membela yang benar secara adil. Berani membela desa adat tempat dia bertugas. c) Celang lan cala. Seorang pecalang harus memiliki kepekaan individual disamping kecerdasan berfikir. Pecalang harus dapat bertindak cepat atau gesit bila ada masalah yang butuh penanganan yang cepat. Pecalang harus bisa cepat namun tidak tergesa-gesa, tetap berhati-hati. d) Rumaksa guru. Pecalang harus memiliki sifat-sifat seorang guru, dapat membimbing dan memberi contoh yang baik. Bila akan memberi ganjaran untuk orang lain, itu sesuai dengan asas keadilan. e) Satya Bhakti Ikang Widhi. Pecalang orang yang selalu melakukan kebaikan dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. f) Krama Desa Pakraman. Yang boleh menjadi seorang pecalang adalah warga desa yang sudah berumah tangga, karena umumnya warga yang sudah berumah tangga memiliki kestabilan jiwa dan lebih berpengalaman. Hal ini diberlakukan untuk mencegah adanya pecalang yang emosional dan bertindak kasar.
3.3 Hak dan Kewajiban Pecalang Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dikerjakan, sedangkan hak adalah sesuatu yang wajar diterima setalah kita melakukan kewajiban tersebut. Hak pecalang tidak disebutkan dalam lontar ataupun prasasti, namun berdasarkan pengamatan pecalang memiliki beberapa hak yakni sebagai berikut. 1. Pecalang berhak atas luputan ngayah, artinya pecalang tidak perlu lagi bergotong royong membersihkan sampah, membangun dan merenovasi fasilitas milik desa adat. 2. Pecalang berhak atas busana dan atribut yang menjadikan pecalang special, karena busana dan atributnya tidak murah. 3. Pecalang berhak atas pembagian uang hasil denda warga desa yang melanggar peraturan. 4. Pecalang berhak menggunakan fasilitas umum milik desa adat, sama seperti warga lainnya. Kewajiban pecalang cukup banyak diatur oleh Lontar Purwadigama, namun memiliki makna yang sama yakni untuk menjamin ketertiban dan keamanan warga desa adat. Kewajiban pecalang antara lain sebagai berikut. 1. Ngupadesa, artinya pecalang harus selalu dekat dengan desa dan warganya, jangan sampai seorang pecalang hidup berjauhan dengan desanya demi menjamin komunikasi yang lebih terjamin antara pecalang dengan warga desa. 2. Atitikrama, artinya pecalang hendaknya selalu memberikan petunjuk yang benar kepada warga desa tempatnya bertugas. Petunjuk yang dimaksud adalah berupa arahan dan juga berupa contoh keteladanan. Warga desa akan menghargai dan menghormati apabila pecalang tersebut telah berbuat dan memberikan contoh yang benar. 3. Jaga Baya Desa, artinya pecalang harus menjaga desa agar selalu berada dalam keadaan baik, salah satu caranya dengan melakukan ronda atau keliling desa (Widia&Widnyani, 2010 : 53-56).
3.4 Peran Pecalang Sebagai Simbol Kekuatan Budaya Bali Kondisi sosial budaya Bali semakin memprihatinkan, menjadi bagian yang termarjinalkan dari pembangunan ekonomi dan industri yang terus menerus berkembang. Berbagai ancaman seperti ancaman terorisme, narkotika, dan pola hidup westernisasi yang tidak selalu berdampak positif sangat mengkhawatirkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat tanpa adanya wadah ataupun bantuan dari pihak yang lebih berwenang. Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, pasal 17 tentang Pecalang yang menyebutkan sebagai berikut. 1. Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman, dilaksanakan oleh pecalang. 2. Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa pakraman dalam hubungan tugas adat dan agama. 3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa (Widia & Widnyani, 2010 : 84). Berdasarkan peraturan inilah mengapa keberadaan pecalang sangat penting pecalang memiliki kekuatan hukum yang mampu digunakan untuk menertibkan, bahkan mencegah datangnya hal-hal yang dianggap mengancam kebudayaan Bali. Alasan mengapa pecalang yang diandalkan adalah karena budaya masyarakat Bali yang sangat taat pada adat istiadat. Koentjaraningrat (2009) mengatakan bahwa, sistem budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Sebagai sebuah konsep sebuah nilai budaya bersifat sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Sistem budaya berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu, karena telah diresapi dengan nilai budaya tersebut sejak kecil dan berlangsung hingga dewasa. begitu pula dalam kaitannya dengan bagaimana pecalang mampu menjaga keamanan Bali, dan disegani oleh masyarakat. Pecalang memiliki kharisma yang kuat, yang mampu membuat masyarakat sekitar segan, dan mengikuti setiap anjuran dari petugas pecalang. Dalam upaya menjaga kekokohan budaya Bali hal ini tentunya sangat menguntungkan, sehingga masyarakat pada suatu daerah tidak sembarangan dalam bertindak dalam
kehidupan sosialnya. Tentunya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh pecalang sudah berdasarkan peraturan desa adat yang menaunginya agar tidak terjadi arogansi. 4. Simpulan Pecalang merupakan kelompok keamanan tradisional Bali yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban desa adat tempat pecalang tersebut bertugas. Berbagai ancaman terhadap kebudayaan Bali seperti kejahatan narkotika, terorisme, korupsi, semakin menghilangnya budaya Bali akibat modernisme sangat
mengkhawatirkan.
Kondisi
tersebut
yang
membuat
masyarakat
membutuhkan kelompok keamanan tradisional yang mampu menjadi simbol sekaligus benteng untuk menunjukkan kekuatan dari kebudayaan Bali. Berdasarkan tugas, fungsi dan kewajibannya pecalang telah dibentuk untuk menjadi pionir masyarakat dalam mempertahankan keberadaan budaya Bali. Pecalang dari masa ke masa telah beralih fungsi tidak hanya untuk menjaga kelancaran upacara adat, namun juga menjaga acara dan aktivitas politik karena, pecalang masih disegani oleh masyarakat. Kesan wibawa pecalang yang diikuti dengan busana yang mendukung membuat pecalang memiliki kekuatan tersendiri untuk menjaga kestabilan masyarakat dalam desa adat di Bali.
DAFTAR PUSTAKA Goodman J. Douglas & George Ritzer. (2011). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi
Klasik
Sampai
Perkembangan
Mutakhir
Teori
Sosial
Postmodern. Bantul, Kreasi Wacana Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Rineka Cipta Ritzer, George. (2010). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada Suryabrata, Sumadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada Sztompka, Piotr. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Widia, I Ketut & Nyoman Widnyani. (2010). Pecalang Benteng Terakhir Bali. Denpasar, Paramitha Web Site: -
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141 980032TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/Penelitian_PKKh /Keabsahan_data.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf, di akses pada 20 Oktober 2012.