File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
BUDAYA LOKAL: Kekuatan dan Keunikan Budaya Dr. Riyanto, M.Hum.
1
Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
prolog Ada yang luput dari perhatian para pakar saat berbicara budaya dan tatanan pembangunan di Indonesia. Meskipun semua kelembagaan sebagai persyaratan good governance sudah terpenuhi, tetapi masih saja terjadi ketidaksinkronan ditingkat implementasi. Sinkronisasi antara tuntutan good governence dengan kultural (budaya lokal) suatu bangsa masih membutuhkan pemahaman yang utuh. Banyak gerakan yang menggambarkan sikap khusus dalam bidang penataan pemerintahan, namun gerakan tersebut masih pada ditingkat permukaan, belum masuk pada konteks yang lebih mendetail. Multiparadigma merupakan istilah lain yang bisa menjadi sebuah kontradiksi, yakni “kaca mata kuda”. Sejak orde baru sampai era reformasi, pembangunan hanya dilaksanakan setengah hati. Kegagalan model pertumbuhan ekonomi yang merupakan kebutuhan dasar belum juga di lanjutkan dengan model nilai budaya. Menurunnya kesejahteraan masyarakat selalu di tumpukan pada struktur, bukan masalah penanganan kultur (budaya lokal) sebagai saka guru pembangunan. Ketika ditanya oleh masyarakat mengenai apa yang akan dikerjakan apabila terpilih menjadi pemimpin, Khong Hu Cu menjawab: ”apabila aku terpilih menjadi pemimpin, pertama kali yang aku kerjakan adalah memperbaiki bahasa”. Selain itu, Mangkunegara juga melakukan hal yang sama dengan merakit tembang macapat sinom yang berbunyi,”tulada laku utama, tumrape wong tanah jawi – memberi teladan yang baik, pada masyarakat jawa ..........dst. Dengan alasan yang jelas yaitu patriotik, Kumbokarno maju ke medan laga menghadang masuknya prajurit Pancawati. “Aku maju perang bukan membela kakak Dasamuka, tapi membela tanah air peninggalan leluhurku”, demikian Raden Kumbokarno dalam perang brubuh Alengka Diraja. Sedangkan Dasamuka yang mengedepankan angkara murka merasa tidak ada yang dapat menghalangi keinginannya, termasuk para dewata di Kahyangan. Raja sakti mandraguna itu akhirnya harus roboh di depan senapati kera putih, Hanoman. Kumbokarno gugur bukan membela Dasamuka, saudara tuanya, bukan membela para pejabat, dan rajanya, tapi berperang karena adanya musuh masuk memporak porandakan tanah air tercinta. “Sadumuk jembare batuk sanyari jembare bumi, di tohi pati”. Taman Sri Wedari menjadi sepi, dayang dayang tunggang langgang. Menjelang ajalnya, Sukasrana (masyarakat terpinggirkan) mengatakan: “kakang Sumantri, aku rela panah menancap di dadaku. Tapi ingat, akhir hidupku, awal dari kehancuranmu”.
Pakar administrasi negara telah menjelaskan sejarah eforia good governance dengan proses kesejahteraan. Australia dan Amerika berkali kali dicontohkan sebagai negara yang baik dalam implementasi good governance.
1
Seminar Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia, 22 Januari 2014, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Ketua Komunitas Seni Budaya Universitas Brawijaya, Ketua Voice of Pancasila, Ketua Pusat Survei Sosial Bisnis Integratif Universitas Brawijaya dan Direktur RX-School Enterprenership.
Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Penulis berusaha untuk menyikapi diskusi tersebut dengan mengajukan pertanyaan kecil: ”itu Australia, Amerika, bagaimana dengan Indonesia ?” Semua terdiam, Andy Feftah Wijaya seorang ahli bidang administrasi negara mengatakan, “Indonesia punya budayanya sendiri”. Dalam runtutan ketatanegaraan di Indonesia, terdapat resonansi seorang raja besar yang melihat jauh kedepan melewati batas masanya, Ramalan Jayabaya: “Ratu ora netepi janji, musna kawasa lan prabawane, akeh omah nduwur kuda. wong pada mangan wong, kayu gligan lan wesi hya pada doyan, dirasa enak kaya roti bolu, yen wengi pada ora isa turu” (raja tidak menepati janji, kehilangan kekuasaan dan kewibawaan, banyak rumah diatas kuda, orang makan sesamanya, kayu gelondongan dan besi dimakan, katanya enak serasa kuwe bolu, malam hari semua tak bisa tidur) Ketegasan dalam mensikapi dan melewati jaman yang serba tidak pasti merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pemerintah perlu lebih sensitif dalam menafsirkan makna baik dan buruk. Pemerintah juga harus berpaling dari imajinasi, yaitu hal yang baik itu identik dengan barat sedangkan hal yang buruk itu adalah kita sendiri. Kristalisasi konsep dikedalaman ”lantiping khalbu / ketajaman hati” hendaknya tidak di pandang sebelah mata. Para pemerhati kenegaraan hendaknya belajar sejarah peradaban besar yang pernah terjadi di Indonesia. Kerajaan Kanjuruhan yang bisa jadi atapnya sedang kita injak, Singhasari yang pernah berkibar dengan “Pamalayu dan Cakrawala Mandala” hendaknya dicarikan benang merah dengan kerajaan Daha, Majapahit, Mataram, dan raja-raja nusantara. Pangeran Antasari dari Kalimantan, Hasanuddin Makasar, Thomas Matulessy Ambon, Tjut Nyak Din Aceh, dan lain-lain yang aromanya masih tercium sampai hari ini. Semerbak dengan timbunan ”local wisdom”. Tidak mudah mentranformasikan nilai demokratis pada kondisi yang dahulu kala merupakan kumpulan wilayah raja – raja besar. Negeri yang digambarkan ”panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi karta tur raharja” menggeliat carut marut menjadi ”jaman edan”, maling, main, madat, minum, madon. Tugas pembangunan tidak hanya sampai mengetahui jaman kerajaan, kolonial, dan republik, tetapi fase Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan ratusan nilai budaya masyarakat penting untuk di terjemahkan. Dengan demikian, tekat mengagumgkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Eka, bukan slogan semata. Wawasan nusantara yang membujur sejauh New York sampai Moskow menjadi tautan yang kuat. Wawasan kebangsaan mampu menjangkau ratusan ke-batin-an bangsa yang dapat di pilin dalam ke-indah-an kemakmuran Indonesia. Pemerintah bisa jadi sudah menjadi “pangembat praja, pamong praja, tapi belum menjadi “pamonge budaya”. Pemerintah daerah harusnya sebagai penopang kebudayaan nasional tanpa mengajarkan dan membiarkan rasa kedaerahan kebudayaan yang berwawasan sempit.
Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Demokrasi birokrasi di indonesia Dalam perjalanan Indonesia, minimal telah melalui 5 (lima) tahapan demokrasi: Pertama, demokrasi spiritual, rakyat dengan sadar menyerahkan seluruh kehidupannya (konsep manunggaling kawula gusti). Negara kerajaan yang ada di Indonesia dapat dijadikan “sebagai dasar” demokrasi Pancasila. Kedua, demokrasi liberal, meskipun ada perwakilan, keputusan terakhir mutlak di tangan pemimpin besar. Ketiga, demokrasi terpimpin, suara sidang lima puluh persen tambah satu adalah suara rakyat. Keempat, demokrasi Pancasila, yang akhir akhir ini di warnai sikap sebagian dari anggota legeslatif, eksekutif, yudikatif “meluntur”. Kelima, demokrasi reformasi, demokrasi sedang mencari bentuk. Berbagai amandemen menunjukkan bergumulnya kebingungan untuk mengangkat cara pembangunan di Indonesia. Jika mengungkap permasalahan birokrasi masa lalu, legitimasi metafisis tidak dapat dipisahkan dengan pemimpin. Dalam tradisi kerajaan, terutama konsep politik tata negara, raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Tuhan di bumi memungkinkan seorang raja memiliki pengakuan bahwa dirinya penguasa tunggal dengan loyalitas mutlak dari rakyatnya. Raja tidak hanya memiliki kekuasaan terhadap negara dan harta benda, melainkan juga terhadap para ”kawula” dengan segala kehidupan pribadinya (Soemarsaid: 1985). Pengejawantahan sifat raja sebagai wujud kemaharajaan adalah: paring sandang marang wong kawudan, paring boga mrang wong kaluwen, paring payung marang kudanan, paring teken marang wong kalunyon, lan suka renaning prihatin (memberi pakaian pada yang telanjang, memberi makan yang kelaparan, memberi payung bagi yang kehujanan,memberi tongkat pada yang di jalan licin, dan suka prihatin). Birokrasi yang ada di Indonesia saat ini adalah birokrasi dalam benturan nilainilai modern dan tradisional. Satu sisi ditekankan sistem rasional emperikal, sedangkan sisi lain, nilai-nilai lama tidak mungkin tercerabut dari sejarahnya. Pemerintahan di Indonesia dari jaman orde lama sampai orde reformasi cenderung tarik menarik bergerak menuju rasional instrumental. Kuatnya ketahanan budaya lokal belum menyadarkan pemerintah, bahwa Indonesia memiliki cara sendiri. Ada nuansa model raja-raja yang perlu untuk di perhatikan. Denny merujuk pendapat Weber, identifikasi birokrasi patrimonial: Pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kreteria pribadi dan politik; Kedua, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; Ketiga, pejabat-pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi; Keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik (Hariandja:1999). Sebagai konsekuensi dari sistem yang dibangun dengan model patrimonial, apabila tidak terimplementasi dengan baik, akan menimbulkan kondisi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pelibatan imbalan materiil pada pejabat sebagai patron penopang kekuasaan akan mudah terjadi. Seperti dikatakan Onghokham; ” setiap orang dari kalangan rakyat yang untuk sesuatu harus berhubungan dengan pejabat diharuskan memberikan persen termasuk para pemegang lungguh. Sebaliknya seorang pemegang lungguh, sebelum dapat menyerahkan upeti atau tenaga kerja Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kepada raja, harus melewati berbagai pejabat keraton atau pangeran kepada siapa persen – persen harus pula diberikan. Namun pada prinsipnya upeti atau apa yang ada padanya, akhirnya tetap harus jatuh ketangan raja” (Onghokham; 1991). Betapa rentannya suatu organisasi jika berhadapan dengan masyarakat akuntansi. Semua pertanggungjawaban yang bermuara pada persyaratan empirik akan dengan mudah dapat di penuhi. Kata orang jawa “njaluk gending apa tak ladeni” (minta cara apa, saya layani). Untuk menghindari masalah yang tidak di inginkan, di era demokrasi dan reformasi, tindakan pegawai pemerintah harus diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika. Oleh karena itu, wajar kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah disepakati. Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparat pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka (Widodo:2001). Meskipun tidak mampu mengucapkan dengan “fasih”, sebagian masyarakat telah merasakan ada yang kurang tepat dengan bangsa ini. Berpilinnya masa lalu ternyata tidak bermetamorfosa sesuai dengan demokrasi pancasila sebagai fondamen pemerintah dalam berbangsa bernegara. Usaha peningkatan kesejahteraan dengan perilaku eksekutif, legeslatif, dan yudikatif, jauh panggang dari api. Semakin menurunnya kepedulian terhadap rakyat, dapat di pastikan semakin melumpuhkan makna demokrasi. Seirama dengan itu, berarti semakin mengganggu Pancasila sebagai dasar berdemokrasi. Bangsa ini masih selalu beruntung, kausalitas peristiwa, baik yang bersifat individual maupun massal, masih (budaya lokal) ditangkap dan dimaknakan penuh toleransi. Makna budaya mempunyai substansinya sendiri, ber-eksistensi pada dirinya sendiri. Dalam kontek penindasan yang keterlaluan-pun diyakini pasti ada akhirnya. Menghadapi suatu masa kekacauan, satu masa yang sering disebut “jaman edan”, bersamaan dengan itu, muncul isyarat “ratu adil”. Tanda masih adanya pengharapan dan usaha keras mencari dan menunggu jalan keluar. Ratu yang berhak mengadili sumber malapetaka. Bung Karno dalam pembelaannya di depan sidang kolonial Belanda di Bandung 1930 pernah berpidato yang dikenal dengan ”Indonesia Menggugat”. Sejak berpuluh-puluhan tahun rakyat Indonesia mengeluh, hatinya selalu menangis, menunggu-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan, menunggununggu datangnya mantram yang bisa menyanggupkan sesuap nasi, sepotong ikan, dan sepotong kain kepadanya. Haraplah fikiran tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya ”ratu adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai ini hari masih terus menyalakan harapan rakyat ? Apakah sebabnya seringkali kita mendengar bahwa di desa ini dan di desa itu telah muncul seorang ”Imam Mahdi” atau ”Heru Cakra” atau turunan seorang dari Walisongo ? Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu tak berhenti-henti, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu, mengharap-harap: ”kapan, kapankah matahari terbit ?
Kita tidak mengerti apa “makna” di balik “gonjang ganjing” bangsa besar ini. Keyakinan harus kita kuatkan, bahwa akan datang “ganjaran” bersama berlalunya jaman se-banter apapun edannya. Amenangi jaman edan, ewuh oya ing pambudi,
Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni -------- (mengalami jaman edan, dalam diri serba bingung, ikut edan tidak tahan, kalau tidak ikut menjalankan ----------------Cara Berfikir Masyarakat Sebelum diskusi tentang budaya (Malangan), terlebih dahulu kita kemukakan cara berfikir masyarakat. Charles Pierce (Jalaluddin,1991): Pertama, method of tenacity (metode keteguhan). Orang berpegang teguh pada suatu pendapat karena pendapat itu sudah di yakini sejak lama. Pemahaman tentang peristiwa mengalirnya “tirta = air/ kehidupan, pawitra = bersih/ mahening = tenang/ suci = luput dari dosa”. Kedua, method of authority. Kebenaran pernyataan di buktikan dengan menunjuk pada pernyataan yang dianggap ahli. Almarhum Gus Dur adalah contoh tokoh besar yang pernah dan masih di miliki bangsa Indonesia. Ketiga, method of intuition. Pernyataan benar di sandarkan pada keyakinan berita yang datang dari alam kegaiban. Budaya jawa masih kental dengan pemaknaan mimpi: tityoni, gandayoni, puspatajem. Kacakrabawa, kasudarsana, kawasita, dan kadaradasih. Keempat, scientific method. Menjawab pertanyaan “mengapa”, kausalitas, kontrol, dan empiris. Hasrat ingin tahu akan terpuaskan bukan semata di dapatkan dengan “scientific method”, banyak kebenaran yang di dapatkan dengan intuisi. Indraswara (2012) mengatakan, kebenaran yang di dapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran. Kebenaran intuitif sukar di percaya dan tidak bisa di buktikan, hanya sering di miliki oleh orang-orang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Filsuf Peursen (1976) melihat pengetahuan dari pentahapan cara berfikir: Pertama, mistis. Sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatankekuatan gaib di sekitarnya. Sungguh, dalam pemikiran empiris, masalah semacam ini merupakan tertawaan. Bahkan “sumpah serapah” ditujukan pada masyarakat yang di golongkan primitif, musrik, dan kafir. Kedua, ontologis, sikap hidup manusia yang tidak lagi dalam kekuasaan mistis. Mereka mengambil jarak terhadap sesuatu yang dulu di anggap mengepung dirinya. Ketiga, fungsional, tidak terpesona lagi dengan masalah mistis, mereka ingin mengadakan relasi-relasi baru. Dalam hubungan tertentu tidaklah berdiri sendiri, justru dengan hubungannya memperoleh arti dan manfaatnya. Tidak ada lagi suatu yang mempunyai arti, bila di pandang lepas dari alam sekitarnya. Dalam tahapan mistis, dongeng (mitos) merupakan contoh yang baik untuk melihat pengetahuan masyarakat. Kebudayaan Kebudayaan berarti potensi kekuatan dalam menggunakan akal. Budi daya, kekuatan dari budi: kekuatan manusia yang dapat menterjemahkan pemberitaan “langit” sehingga dapat di terima orang banyak dengan mudah. Dalam perspektif partisipasi (dinikmati) masyarakat, kebudayaan (meskipun tidak ada partisipasi sempurna), Ralph Linton (1984) membagi kebudayaan dalam 4 hal yaitu: Universal, alternative, specialties, dan Individual peculiarities. Universal menunjuk partisipasi kebudayaan (pada masyarakat dan kelompok tertentu) yang dapat di nikmati secara keseluruhan (mayoritas). Specialties, kebudayaan yang Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
hanya dinikmati oleh para anggota, yang mendapat pengakuan sosial di dalam masyarakat. Alternative, unsur kebudayaan tertentu yang hanya dinikmati oleh orang orang tertentu, dikatakan asing oleh masyarakat secara keseluruhan. Individual peculiarities, didalam masyarakat tertentu selalu ada seorang individu yang pertama tampil ke depan melakukan discovery, invention berdasarkan ke istimewaan khusus. Diantara masalah dasar yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kedalaman kebudayaan menurut Kluchkhohn (Koentjaraningrat, 1998), yakni: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, teknologi dan peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sitem religi, kesenian. Bahasa adalah sarana utama dalam mengembangkan kebudayaan manusia. Wahana untuk menyimpan dan mengkomunikasikan seluruh gagasan masyarakat (verbal, non verbal, para bahasa). Dalam hubungannya dengan hal itu, Hall (Astrid,1980) mengemukakan bahwa setiap masyarakat memiliki kebiasaannya sendiri. Pada masyarakat “modern” penggunaan bahasa lebih di tekankan pada kode komunikasi implisit (polikronikhight context communication), sebaliknya pada masyarakat tradisional (monokroniklow context communication). Dalam keunikan bahasa, Danandjaja (1994) melihat dari sisi bahasa slang. Bahasa para penjahat gelandangan atau kolektif khusus. Maksud diciptakannya bahasa slang ini adalah untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar. Awas ada rumput, maknanya, awas ada polisi. Sama halnya mereka mengatakan, awas ada cabai. Mereka menginformasikan kalau di sekitarnya ada kopassus. Bagaimana dengan bahasa malangan ? Kalau ada pertanyaan, mengapa budaya asing mudah di serap oleh bangsa Indonesia. Rupanya bangsa Indonesia makin lama makin tidak banyak yang memiliki budaya tinggi. Kelangkaan budaya tinggi itulah yang akhirnya di gunakan sebagai “penetrasi” budaya asing. Bangsa yang menggunakan “low context communication”, secara gencar “meninabobokan” generasi muda dengan menghadang mengalirnya budaya tinggi milik sendiri. Dalam kontek “lebeling”, nama nama orang desa, Topan, Lesus, Kartolo, Baseman, Poniran, Legimin, Waginem, menjadi bahan tertawaan. Dalam hal mata pencaharian, masyarakat tertentu fenomena tukar-menukar, atau beri-memberi tanpa mengharapkan sesuatu imbalan secara langsung sangat penting untuk dipelajari dalam melihat perkembangan mata pencaharian masyarakat. Peristiwa penting berikutnya dalam sejarah manusia, yang mengakibatkan terjadinya revolusi kebudayaan, ialah perkembangan teknologi yang berakibat pada semakin bertambahnya kekuatan masyarakat untuk mengekploitasi alam. Pada aspek organisasi sosial, cara yang lebih umum dalam membentuk suatu organisasi masyarakat nonindustri ialah dengan mengembangkan kelompok kekerabatan sebagai cikal bakal organisasi sosial. Pada orang jawa, kelompok kekerabatan mengalir sampai tradisi turun pitu (tujuh keturunan). Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan dalam satu desa saling berhubungan sebagai kerabat. Kesatuan sosial yang diakui oleh umum di mana menjadi keturunan melalui garis lurus dari seorang nenek moyang, kadang-kadang ada dalam mitologi. Dalam Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
antropologi, kekerabatan yang berhubungan secara mitologi (“trah”), mereka bersandar pada lambang-lambang totem (totem-Indian Amerika Ojibwa ototeman-"ia saudara saya"). Ketika berbicara permaslahan religi hal yang muncul adalah segala sesuatu berpijak pada pengetahuan yang datang dari “langit”. Terdapat juga keinginan untuk mengembalikan sesuatu yang dulu diyakini pernah terjadi. Pengetahuan yang memberikan keputusan jalan menuju kebenaran. Dengan religi orang akan memandang inti kehidupan yang berasal dari kegaiban. Pada dasarnya religi dapat menjadi sarana bagi manusia untuk mengangkat dari kehidupan duniawi menuju kemandirian spiritual. Religi (lokalitas) dapat memperkuat norma-norma kelompok dan dapat menjadi landasan keseimbangan masyarakat. Bahkan dalam kondisi magis spiritual, religi (lokal) mengenal kepercayaan tentang arwah leluhur yang dapat di hadirkan setiap saat. Arwah arwah tersebut sering dianggap masih tetap secara aktif menaruh perhatian kepada masyarakat dan bahkan arwah leluhur dapat bersikap baik atau bermusuhan terhadap manusia. Para peneliti antropologi sering bertanya, bagaimana orang mempertahankan kepercayaan seperti itu. Sebagian jawabannya ialah karena adanya manifestasi kekuatan yang di pertunjukkan pada masyarakat. Cerita-cerita klasik memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan jauh melampaui alasan empirikal. Kekerane ilmu karang / kekarangan bangsane gaib/ boreh iku paminipun/ tan rumasuk ing jasad/ amung ana sajabane kulit/ yen kapengkok pancabaya/ ubayane mbalenjani (rahasia ilmu karang/ karangan bangsa gaib/ itu ibarat bedak/ tidak masuk dalam jasad/ hanya ada di luar kulit/ kalau mendapat tantangan/ akan menghinmdar). Akan lebih lengkap jika melihat dan membahas kebudayaan dalam perspektif keindahan (kesenian). Dengan kesenian masyarakat berusaha menambah kesejahteraan dan memberi bentuk serta arti pada kehidupan. Kesenian dapat menerangkan dan menggambarkan masalah-masalah yang penting. Kesenian merupakan ekspresi dari apa yang di rasakan masyarakat di tuangkan dalam gerak gerik seni tari, dalam nada seni musik dll. Bahkan dalam penguasaan seni (drama, pahat, suara, musik, gerak) sering dipandang sebagai manifestasi kecerdasan seseorang: kecerdasan linguistik, musik, logis-matematis, kinestetik, kecerdasan intra pribadi. Budaya Jawa dan Budaya Malangan Jika ditelisik lebih mendalam, “malangan” adalah istilah tipis memberikan nuansa tentang budaya Malang. Kanjuruhan sebagai kerajaan besar masih perlu di cari bukti-bukti. Sejarah tertulis yang di tinggalkan sepertinya hilang “tanpa tapis”. Karya sastra yang efektif sebagai pelestari dan penggugah semangat tergeser oleh kerajaan setelahnya. Diantara peninggalan cerita yang terbangun masih di pertanyakan ke-mandiriannya sebagai “icon” Malang. Misalnya: Babat Kepanjen yang menceritakan Peristiwa yang menentukan kekalahan Kanjuruhan oleh pasukan Surontani di bawah perintah Sultan Agung Mataram. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tokoh Wayang Topeng Kedungmonggo, “Amarabangun” (Jumadi) menjelaskan alur cerita sebagai berikut: 1. Eling-eling (Gending Kebo Giro), Krangean, luru-luru, gending gondel, gending sapu jagad, 2. Pembukaan dengan tari beskalan lanang (topeng bangtih), 3. Jejer Jawa (wayang Panji), 4. Perang gagal (selingan tari bapang), 5. Adegan Gunungsari (Patrajaya), 6. Jejer sabrang (Klana Sewandana), 7. Perang brubuh. Abbas (Astrid, 1980) tentang sejarah perkembangan topeng di Indonesia, menjelaskan tentang hubungan tari topeng dengan syamanisme. Tari topeng pernah di gunakan untuk upacara pengabuan seorang raja Majapahit. Bahkan dalam kesempatan tertentu, Prabu Hayam Wuruk dalam tahun 1365 (menurut kakawin Negara Kertagama dan Pararaton), dalam upacara-upacara agama pernah pula untuk menari topeng di hadapan para bangsawan. Berkaitan dengan tari topeng, Sunan Kalijaga berusaha untuk melepaskan kepercayaan lama tentang “arwah leluhur”/ pemujaan dewa-dewa. Cara yang di ambil adalah dengan menghilangkan sifat-sifat kesakralannya. Selanjutnya di jelaskan, topeng bukan lagi merupakan wajah roh nenek moyang, melainkan hanya sebagai panji yang di ketahui merupakan pahlawan dari sejarah daerah. Alur cerita Wayang Topeng tersebut mengingatkan kita pada “trap trapaning” cerita dalam wayang purwa jawa tengah. Pathet enem (21.10-12.00); geding patalon; Cucur bawuk, sri katon, pare anom, sukma ilang, ayak-ayak, slepekan, sampak. Dodog kaping lima kali. Nglorot gunungan telung dudutan (mandeg kaping telu); purwa, madya, wasana. Pathet sanga (12.00 – 03.00); Goro-goro. Jejer manyura (03.00-pupus); manusia sudah “cetha dalane urip”, akan tercapai tujuan hidup. Tancep kayon/ gending “ayak pamungkas; Dhuh Allah, mugi-mugi kaparenga paring rachmat. Dhuh Allah, lestaria Indonesia merdeka. Wusono wosing pangidung. Tarlen amung amemuji. Mugi bangsa Indonesia sepuh anem jaler estri. Sami kersa amanunggal. Gumolong saeka kapti
Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Referensi: Amri Marzali, 2005: Antropologi dan prmbangunan indonesia, prenada media Astrid, S. Susanto, 1980, Komunikasi Sosial Indonesia, Offset Angkasa, Bandung Denny Hariandja, 1999: Birokrasi nan pongah ( belajar dari kegagalan orde baru ), kanisius, yogyakarta. Frazer Moore (terjemah Liliani/ Djamaludin Ancok), 2004: Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung. Jalaluddin Rakhmat, 1991: Metode Penelitian Komunikasi (dilengkapi analisis statistik), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Joko Widodo, 2001 : Good Governance, Telaah dari dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya, Insan Cendekia. Sujamto, 1997, Refleksi Budaya Jawa dalam pemerintahan dan Pembangunan, Dahara Prize, Semarang. William a. Haviland ( rg. soekadijo ), 1988; antropologi 1, 2, airlangga, jakarta MOTTO: Nesu tanpa kanepson, Ngguyu tanpa nggeguyu, ora amung anut ilining banyu (marah tanpa amarah, tertawa tanpa mentertawakan, tidak hanya ikut air mengalir)
Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014