LONTAR: TRADISI HIDUP DAN LESTARI DI BALI Oleh: A . A . G d e Alit Geriai 1
Abstrak Tradisi budaya tulis menulis di atas rontal di Bali telah berlangsung sejak zaman silam. Ribuan manuscript (baca: Lontar) yang diwarisi di Bali, ditulis di atas daun tal (rontal) dengan sistem pemeliharaan yang demikian sederhana sebelum mendapat sentuhan teori filologi dan kodikologi. Sejak dulu rontal (material-palm) sangat diindahkan oleh para rakawi sebagai sarana untuk menuangkan segala petuah-petuah suci, berupa ajaran budi pekerti dan sebagainya.
f
ejumlah manuscript (lontar) menyebut istilah tal (rontal) sebagai bahan tulis C j yang ampuh dan tahan lama. Seperti t ^ ^ J I terlihat dalam Lontar Saraswati: PNRI L.254, sebuah lontar Merapi-Merbabu, Singhalangghyala / f c i W P N R I 1 L.858: lp. 14 b), Kakawin Ramayana, II:67d dan VI:157d-158a. Istilah "lontar" adalah untuk menyebut sebuah hasil karya (seni-sastra) yang berasal dari "rontal" (palm-lea f)\ sedangkan istilah "rontal" adalah berupa bahan tulis (material-writting) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan. Keberadaan tradisi lontar tentu sangat erat kaitannya dengan tradisi tulis. h
tf^
Sebagai tradisi yang hidup, tradisi lontar di Bali didukung oleh bahan baku yang cukup tersedia, sampai kepada tradisi penulisan lontar dan kegiatan membaca lontar, yang masih hidup hingga kini. Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali sastra (baca: lontar) lebih dipandang sebagai suatu yang suci, arkais, dan sakral-religius. Dengan kata lain,
' Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali Denpasar
MEDIA PUSTAKAWAN
seorang yang akan menggeluti dunia lontar, dituntut memiliki pengetahuan moral-spritual dan religius yang memadai serta harus disucikan (diinisiasi) secara lahir batin. Secara umum pada masyarakat Bali telah berkembang tradisi lisan dalam meresapi isi yang terkandung dalam lontar. Tradisi baru tentang b u d a y a lontar d a l a m p e r k e m b a n g a n masyarakat di Bali dewasa ini tidak hanya digunakan untuk menyalin dari lontar ke lontar baru, namun terjadi suatu kreativitas yang dinamis. Terbukti dengan adanya kegiatan menulis lontar dalam aksara Bali dan Latin berbahasa Bali dan Asing (Inggris, Jerman, dan lain-lain) berupa kartu nama yang dikemas sedemikian rupa dan nampak artistik. Selain itu, dengan adanya program Bali Sim bar yang dirancang demikian apiknya oleh I Made Swacana, telah membawa angin segar terhadap perkembangan b u d a y a l o n t a r ke a r a h t r a d i s i baru. M e l a l u i peremajaan penyalinan lontar ke dalam aksara yang sama (aksara Bali), dapat menarik minat masyarakat pembaca aksara Bali lebih meningkat, karena dengan sistem komputerisasi aksara Bali, nampak standar sehingga dalam membaca terkesan lebih mudah. Di samping itu, program ini setidaknya dapat dijadikan
Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010 [2jJ|
penunjang dalam mempelajari atau membaca naskah aslinya yang berupa lontar. I.
Pendahuluan
gebhang yang identik dengan rontal sebagai bahan tulis di sini d i b e r l a k u k a n sebagai lidah y a n g merupakan alat artikulasi hakiki munculnya wakya (kata-kata) sebagai lambang untuk mengungkapkan isi sastra.
Tradisi budaya tulis menulis di atas rontal di Bali sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Sumber-sumber tersebut dapat dilihat dalam kutipan silam, yang oleh masyarakat Bali hal ini cenderung berikut: berkonotasi arkais atau sakral-religius. Sebagai sarana tulis-menulis dari dulu hingga kini, rontal 1. Itih aji sarasoti kayatnakna de nira sang sewaka telah terbukti dan dipercaya kekuatannya hingga dharma, idep minaka mangsi, lidah minangka ratusan tahun. Ribuan manuscript (baca: Lontar) gebhang sara minaka sastra,.... Artinya: Ini Aji yang kita warisi di Bali adalah Saraswati, (hendaknya) ditulis di atas daun tal (rontal) dipegang teguh oleh dengan sistem pemeliharaan penghamba kebenaran yang demikian sederhana (bahwa) pikiran itu sebagai Tradisi b u d a y a tulis sebelum mendapat sentuhan mangsi (tinta tradisional), lidah m e n u l i s di atas r o n t a l teori filologi dan kodikologi. sebagai gebhang (rontal), dan Dengan sifat dan k e k u a t a n kata-kata sebagai sastranya,.... d i Bali s e s u n g g u h n y a rontal sebagai bahan pustaka (Saraswati Merapi-Merbabu/ yang handal, maka tidak P N R I 1 L.254, lp 1: 1-2). telah berlangsung mengherankan dari sejak dulu sejak z a m a n silam, rontal (material-palm) sangat 2. ... saksana matmahan diindahkan oleh para rakawi wulakan nirmala Maharaja y a n g o l e h m a s y a r a k a t (pujangga) sebagai sarana untuk Kama rupini, satal gongnya menuangkan segala petuahBali h a l i n i c e n d e r u n g mijil sakeng bhatari, petuah suci, berupa ajaran budi ...Artinya: Maharaja Kama b e r k o n o t a s i arkais a t a u pekerti dan sebagainya. R u p i n i segera alih rupa
sakral-religius. Sebagai menjadi sumber air yang amat Di s a m p i n g s e b a g a i jernih sebesar pohon tal dari bahan tulis lontar (manuscript) sarana tulis-menulis bumi (pertiwi), d a l a m s e m u a jenis (bentuk (Singhalangghyala Parwal dari d u l u h i n g g a kini, dan isinya), rontal j u g a PNRI 1 L.858: lp. 14 b). digunakan digunakan rontal telah terbukti sebagai bahan tulis y a n g 3. ... panjangnyawaknira satal bersifat ritual lainnya, seperti dan dipercaya mamikul ta langkap. Artinya: bahan tulis untuk bekel nri-nri b adanya (Rama Parasu) k e k u a t a n n y a h i n g g a d a n b a h a n p e n u l i s a n pretiti s e t i n g g i pohon tal sambil untuk memberikan n a m a r a t u s a n t a h u n . m e m i k u l busur (Kakawin seorang bayi baru lahir, Ramayana, II:67d). n a m u n u k u r a n n y a relatif kecil d a n p e n d e k jika 4. ... prajnan sira ng dibandingkan dengan rontal Raghusutar mamanah ta tal terus, kwehnya untuk penulisan kakawin, kidung m a u p u n karya tata pitu katub tumuluy ikang hru. Artinya : sastra lainnya. ... dengan cekatan Rama memanah pohon tal itu, semua (tujuh berjajar) tembus oleh anak panah (Ramayana, VI:157d-158a). II. Lontar: Tradisi Hidup Dan Lestari Di Bali 2.1 S u m b e r istilah " l o n t a r " Sejumlah manuscript (lontar) menyebut istilah tal (rontal) sebagai bahan tulis yang ampuh dan tahan lama. Seperti terlihat dalam Saraswati: PNRI L.254, sebuah lontar Merapi-Merbabu, menyebutkan "lidah minangka gebhang..." Istilah l~52~|
Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010
Kutipan di atas, menunjukkan betapa rontal/pohon tal itu diindahkan olehraArmiv/pujangga).Dalam lontar Saraswati Merapi-Merbabu, tertulis dengan istilah gebhang untuk menyebut rontal sebagai material-palm yang bersifat " s a k r a l - r e l i g i u s " , karena rontal diberlakukan sebagai "lidah" yang merupakan alat
MEDIA PUSTAKAWAN
artikulasi hakiki munculnya kata-kata yang dipakai lambang untuk mengungkapkan isi sastra. Kutipan ke2, menggambarkan betapa keras dan kuatnya batang pohon tal itu, sehingga rakawi memilih istilah satal untuk menyebut alih rupa prabu K a m a Rupini (penganut Buddha) dalam dialog batin dengan prabu Caya Purusa (penganut Siwa). Sementara pada kutipan ke-3, melukiskan ketegapan dan ketinggian badan Rama Parasu sebagai satria sakti mandraguna, kata satal juga dipilih rakawi sebagai perbandingan allegori kesatria tersebut. Kutipan ke-4 menunjukkan betapa sucinya rontal sebagai bahan untuk menuliskan sastra suci. Dalam kutipan tersebut Sugriwa ketakutan akan kesaktian kakaknya ( S u b a l i ) dalam merebut Dewi Tara, sehingga terlebih dahulu menguji kesaktian panah Rama (penegak kebenaran) untuk tempatnya berlidung. 2.2
Tradisi yang Hidup
S e b u a h k e s e p a k a t a n m a s y a r a k a t bahasa, bahwasannya di Bali pemberian nama untuk naskah kuna yang ditulis dari bahan daun tal (rontal) disebutnya sebagai naskah atau lontar, sehingga penyebutan antara lontar sebagai naskah kuna dengan rontal sebagai bahan tulis sering rancu, bahkan dalam membuat jejahitan berupa lamak, cili, tikar, aneka ragam anyama n y a m a n dan s e j e n i s n y a a d a l a h d a u n tal (rontal). Sebuah perbandingan untuk naskah Jawa, Batak, Sunda, Sumatra, dan sebagainya yang sebagian besar ditulis di atas k e r t a s / d a l u a n g , kulit k a y u alim, daun nipah, m a u p u n bambu penyebutannya tidak mengacu kepada bahan yang digunakan, melainkan cenderung dengan menyebut nama daerah masing-masing.
Dewasa ini penyebutan istilah "lontar dan rontal" sering rancu. Hal ini terjadi karena hanya dilihat dari gejala metatesis yang terjadi pada kedua istilah tersebut. Namun, jika direnungkan secara mendalam sesungguhnya makna yang diacu jelas-jelas berbeda.
Dewasa ini penyebutan istilah "lontar dan rontal" sering rancu. Hal ini terjadi karena h a n y a dilihat dari gejala metatesis yang terjadi pada kedua istilah tersebut. Namun, jika d i r e n u n g k a n secara mendalam sesungguhnya makna yang diacu jelas-jelas berbeda. Istilah "lontar" adalah untuk menyebut sebuah hasil karya (seni-sastra) yang berasal dari " r o n t a l " ( p a l m - l e a f ) ; s e d a n g k a n istilah " r o n t a l " adalah berupa bahan tulis ( m a t e r i a l - w r i t t i n g ) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan. Dengan kata lain, istilah "lontar" lebih mengacu kepada teksnya (manuscript), yakni segala sesuatu yang ditulis di atas "rontal". Sementara istilah "rontal" lebih mengacu kepada bahan yang ditulisi, sebagaimana makna yang tersirat di dalam kata "rontal" itu sendiri, yakni: ron 'daun' dan fa/'pohon tal'. Dengan demikian, jika s e s e o r a n g m e n y e b u t " l o n t a r " , jelas y a n g dimaksudkan adalah manuscript (naskah) yang ditulis di atas "rontal", bukan rontalnya (daun tal). Kaitannya dengan adanya "budaya lontar" di Bali, istilah "lontar" digunakan untuk menyebut tradisi sastra Bali (klasik) maupun tradisi budaya tulisMEDIA PUSTAKAWAN
menulis masyarakat tradisional Bali yang cenderung berkonotasi arkais atau sakral-religius.
Tradisi penulisan diperkirakan s u d a h berusia s a n g a t tua. Berdasarkan data-data d a l a m prasasti Bali Kuna disebutkan bahwa sebelum suatu tulisan dibuat di a t a s b a t u atau t e m b a g a , p e r t a m a - t a m a ia ditulis di atas suatu bahan yang lain, yang diperkirakan berupa rontal, meskipun proses p e m b u a t a n / pengolahannya tidak s e s e m p u r n a ketika rontal m e n j a d i b a h a n atau alat tulis utama. K e b e r a d a a n tradisi lontar tentu s a n g a t erat k a i t a n n y a d e n g a n tradisi tulis. Prasasti tertua di Bali berangka tahun Saka 884, menggunakan aksara Palawa berbahasa S a n s k e r t a . S e t e l a h itu, p r a s a s t i - p r a s a s t i Bali ditulis d a l a m b a h a s a Bali K u n a . Ketika Raja U d a y a n a mulai b e r k u a s a b e r s a m a istrinya, Sri Gunapriya Dharmapatni, prasasti-prasasti di Bali ditulis d a l a m b a h a s a d a n aksara J a w a Kuna. Pada zaman Majapahit tradisi penulisan di atas daun tal agaknya berkembang luas. Hal ini terbukti bahwa tradisi penulisan di atas rontal juga ditemukan di Jawa, Madura, Jawa Barat, Sasak, dan juga Sulawesi. Namun demikian tradisi penulisan Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010 [2jJ|
lontar kini hanya hidup dan lestari di Bali. Sebagai tradisi yang hidup, tradisi lontar di Bali didukung oleh bahan baku yang cukup tersedia, sampai kepada tradisi penulisan lontar dan kegiatan membaca lontar, yang masih hidup sampai sekarang. Tradisi lontar di Bali dapat dikatakan sebagai tradisi yang sudah berkembang lebih dari satu millennium (seribu tahun). Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali sastra (baca: lontar) lebih dipandang sebagai suatu yang suci, arkais, dan sakral-religius. Dengan kata lain, seorang yang akan menggeluti dunia lontar, dituntut memiliki pengetahuan moral-spritual dan religius yang m e m a d a i serta harus disucikan (diinisiasi) secara lahir batin. Setidaknya telah diupacarai pawintenan alit (tingkat upacara ritual/ penyucian yang paling sederhana). Di samping itu, seseorang yang telah mendalami lontar seyogyanya mampu mengendalikan diri, terutama dalam hal brata dengan sejumlah pantangan yang ada di dalamnya, baik itu berupa makanan, minuman, dan hal-hal lain yang terkait, sehingga tan kacakra de Hyang Saraswati. P e n t i n g n y a u p a c a r a ( p a w i n t e n a n ) ini dilaksanakan karena dalam konsepsi masyarakat Bali memandang aksara Bali (termasuk aneka tipografi yang dikenal) merupakan wahana Dewi Saraswati, yakni perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Esa) dalam manifestasi dan f u n g s i - N y a sebagai Dewi Ilmu P e n g e t a h u a n . Sehingga ketika Hari Raya Saraswati yang datangnya setiap 210 hari, yakni pada Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung, diselenggarakan upacara khusus sebagai rasa sujud dan bakti kepada-Nya atas rahmat yang dilimpahkan berupa pengetahuan suci; yang pada hakikatnya menuntun umatnya ke jalan yang benar, penuh kedamaian. Mengingat lontar sangat sarat akan pelbagai isi dan ajaran yang adiluhung, sehingga hampir setiap aspek kehidupan keseharian tercermin di dalamnya, maka tidak mengherankan hingga kini lontar sangat berfungsi dalam masyarakat Bali. Hal ini terbukti dalam pelaksanaan upacara yadnya di Bali. Hampir setiap upacara ( p i o d a l a n ) di Pura seluruh Bali terdapat kegiatan pembacaan kakawin, kidung, dan terkadang geguritan, yang semuanya bersumber pada lontar. Lebih konkret lagi terlihat pada upacara Pitra Yadnya (terutama upacara Asti Wedana), lontar Adiparwa bagian cerita Jaratkaru, wajib dibacakan yang disebut mamutru. Juga dalam pelaksanaan upacara dan kegiatan lainnya, peran lontar dalam segala bentuknya sangat fungsional bagi l~52~| Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010
masyarakat Bali. Bagi tukang rumah Bali tradisional misalnya, tentunya membekali dirinya dengan pengetahuan yang tertera dalam lontar Asta Kosala Kosali. Juga bagi para tukang sajen (banten), wajib mengetahui dan menerapkan apa yang termuat dalam lontar jenis plutuk, dan tidak ketinggalan bagi p e n e k u n p e n g o b a t a n t r a d i s i o n a l Bali, w a j i b memahami lontar usada, demikian seterusnya sesuai dengan ilmu yang ditekuninya. 2.3
Antara Tradisi Lisan dan Tulis
Secara u m u m pada masyarakat Bali telah berkembang tradisi lisan dalam meresapi isi yang terkandung dalam lontar. Bagi peminat dan pencipta seni pertunjukkan sesungguhnya telah tersirat pemahaman terhadap lontar lewat dialog-dialog para t o k o h y a n g ada di d a l a m n y a s e k a l i g u s mencerminkan ajaran budi pekerti dan kebenaran yang pada intinya bersumber pada lontar sebagai bahan rujukan atau pedoman dalam perannya selaku tokoh seni pertunjukan. Hal ini terlihat pada sejumlah lakon sendratari Ramayana, Mahabharata, Tantri, seni Arja, Wayang, Drama Gong, dan sebagainya. Dengan sebutan sejumlah kutipan yang bersumber dari lontar, masyarakat selaku penonton seni pertunjukan turut diajak meresepsi makna sebagaimana yang tersurat dalam lontar yang dipakai babon seni pentas tersebut, termasuk konsep-konsep rwa-bhinneda (dua yang bertentangan) sebagai simpulan akhir dari misi yang disampaikan dalam sebuah pertunjukan. Juga dalam tradisi masatua yang sering dilakukan oleh para kakek dan nenek untuk anak cucunya adalah sebuah tradisi lisan yang bersumber pada lontar, dalam penanaman pendidikan budi pekerti dilakukan lewat makna yang terkandung dalam ceritanya yang sarat akan nilai-nilai agama dan kemanusiaan sehingga dapat dijadikan landasan berpijak dalam berpikir, berkata, dan berperilaku. Lebih konkret lagi terlihat dalam kegiatan seni mabebasan yang dilakukan oleh sejumlah sekaha santi dalam upacara piodalan di Pura (tempat suci Hindu). Di sinilah sesungguhnya terjadi demikian kuat antara tradisi lisan dan tulis terhadap lontar tersebut. Seseorang yang mampu membaca teks kakawin dalam lontar atau buku yang bersumber dari lontar, akan tercermin sebuah tradisi tulis yang sangat kuat. Juga terhadap penerjemah (tukangartos) termasuk seluruh peserta dan masyarakat penikmat yang tengah melakukan persembahyangan pun dapat merasakan ajaran suci yang bersumber pada lontar tersebut, sehingga pikirannya menjadi semakin suci dan damai (sudha manah ira wusmaca MEDIA PUSTAKAWAN
sira). Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam kata pasantian, yakni tempat mencari kedamaian hati. Demikian juga yang terjadi pada pasantian udara lewat radio/ TV m e r u p a k a n cerminan tradisi lisan dan tulis yang demikian kuatnya, dengan lontar sebagai sumbernya. 2.4
Aksara dan Bahasa Lontar
Aksara merupakan lambang bahasa. H a n y a lewat aksaralah suatu bahasa dapat dibaca d a n didokumentasikan. Sebagai sebuah lambang b a h a s a , a k s a r a Bali telah b e r f u n g s i s e b a g a i l a m b a n g identitas m a s y a r a k a t Bali, s e k a l i g u s sebagai wahana atau sarana untuk m e n g u n g k a p k a n segala hal tentang k e b u d a y a a n Bali. T i d a k sedikit koleksi lontar, baik y a n g b e r a d a di I n d o n e s i a s e p e r t i : P e r p u s t a k a a n Nasional RI Jakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia Depok, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Radya Pustaka Surakarta, Lombok, d a n sebagian besar di pulau Bali sekitar 50 ribu lontar, bahkan y a n g tengah mengembara di luar negeri tak terhitung jumlahnya, m e n g g u n a k a n aksara Bali sebagai sarananya. Dari demikian banyak lontar yang tersebar di seluruh Indonesia (khususnya Bali, Lombok, Jawa) membuktikan betapa besar loyalitas orang Bali terhadap aksaranya (wrehasta, swalalita, modre), yang didasari atas tekad mempertahankan dan mengajarkan secara terus-menerus kepada generasi m u d a . M a s y a r a k a t Bali m e m a n d a n g b a h w a pelestarian aksara Bali dengan segala bentuk dan sifatnya, berfungsi sebagai lambang alam semesta (makrokosmos), yang selanjutnya diyakini berkedudukan pada bhuwana alit/ badan manusia (mikrokosmos). Selain itu, adalah untuk mempelajari semua pustaka lontar yang sarat akan pelbagai ajaran ketuhanan, kesunyataan, dan kediatmikan. Hal ini terlihat dalam sejumlah bentuk ulap-ulappada setiap bangunan di Bali. Lontar dengan aksara Bali sebagai sarana pengungkapnya sebagaian masih menggunakan bahasa Sanskerta, Jawa Kuna, Kawi-Bali/Bali T e n g a h a n , dan y a n g paling b a n y a k a d a l a h menggunakan bahasa Bali. Untuk jenis lontar yang menggunakan jenis aksara Modre/ Suci menggunakan bahasa Sanskerta, sementara lontar yang ditulis dengan aksara Bali wrehasta sebagian besar menggunakan bahasa Bali walau terkadang masih nampak pengaruh bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Hal ini terbukti dalam karya sastra Bali yang berbentuk geguritan atau sekar alit. Dengan
MEDIA PUSTAKAWAN
demikian, dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya pemahaman aksara dan bahasa yang menjadi sarana pengungkap lontar Bali. Mengenali aksara lontar (Bali) adalah pekerjaan yang tidak mudah, yang tentunya didasari ketekunan dan kesabaran yang mendalam. Sebab aksara Bali yang ada dalam lontar bentuknya tidak standar, terkandung ciri khas aksara atau kebiasaan yang dimiliki oleh setiap penulis lontar. Sementara untuk dapat mengenai secara mendalam tentang bahasa lontar dapat dibantu dengan kamus Bali-Indonesia, kamus SanskertaIndonesia, k a m u s Jawa Kuna-Indonesia, atau setidaknya pernah membaca lontar Kerta Bhasa, Bhasa Ekalawya, dan sejenisnya, karena lontar jenis ini sama fungsinya dengan kamus. Barangkali identik dengan sebutan kamusnya lontar. . 2.5
Penulisan dan Wilayahnya
Sebagaimana halnya seorang pengarang karya Sastra Bali, maka seorang penulis/penyalin lontar pun dituntut kemampuannya dalam bidang salinmenyalin ke lontar baru. Setidaknya juga telah melaksanakan upacara pawintenan. Selain itu, seorang penulis lontar harus menyiapkan peralatan seperti: rontal/daun tal siap tulis, pangrupak! pangutik, bantalan berupa kasur kapuk ukuran kecil sebagai alas menulis, dulangdari kayu (sejenis meja bundar) sebagai tempat menulis berikut sesajen (pejati), penggaris dan pensil, serbuk kemiri/nagasari yang dibakar sebagai tinta pekat, penakep dari kayu sawo, dan sebagainya. Dalam Lontar Saraswati FSUI, Lt 147:6a, ada sejumlah persyaratan yang mesti direnungkan oleh seorang penulis lontar. Disebutkan bahwa sebelum memulai menulis terlebih dahulu harus memohon keselamatan kepada Hyang Yogiswara yang difilsafatkan pada kedua mata penulis; Bhagawan Mredhu di kedua tangan; dan Bhagawan Reka pada ujung pangrupak, sehingga tercapai sebuah teks yang utama, bermakna, dan memiliki taksu atau jiwa. Selanjutnya, seorang penulis lontar sama sekali tidak boleh mematikan aksara dengan sembarang mencoret (Bali: ngucek), karena akan berakibat buruk atau umur pendek. Jika mencoret sandangan! pangangge aksara yang berada di atas aksara danti atau pokok, seperti ulu, akan berakibat buta atau sakit kepala; mencoret suku, akan berakibat sakit lumpuh; sedangkan mencoret taleng dan wisah akan berakibat sakit pancek (pamali: sakit yang terasa tertusuk). Uraian di atas membuktikan bahwa lontar jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ditemukan
Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010 [2jJ|
aksara (Bali) yang dicoret begitu saja (bukan berarti tidak ada salah penulisan). Seandainya terjadi salah tulis, penulis dengan sendirinya membubuhkan dua sandangantpangangge sehingga aksara yang ditulis salah tidak berbunyi apa-apa atau disebut dengan aksara mati. Dalam hal inipembaca lontar sepertinya harus tanggap bahwa jika bertemu dangan hal tersebut, semestinya secara cepat melirik aksara berikutnya yang menjadi sambungan aksara di depannya. Perlu diketahui, bahwa menulis di atas rontal berbeda dengan menulis di atas kertas biasa. Alat tulis yang terbuat dari besi yang disebut dengan pangrupak/pangutik berbeda dengan alat ukir atau pertukangan lainnya ia terdiri dari tiga sisi dengan ketajaman yang sama. Ketiga sisi ini akan dapat menghasilkan bentuk aksara yang arkais, artistik dan berjiwa. Selain peran tangan kanan, peran tangan kiri terutama ibu jari kiri sangat penting karena dapat memainkan pangrupak ke arah atas bawah, digoresi secara terampil dengan penuh kesabaran, yang biasanya menggunakan sistem penomoran pada sisi b (ganda). Jenis-jenis pangrupak yang dikenal, antara lain: (1) pangrupak untuk menulis (kelancipan 45 derajat); (2) pangrupak untuk menggambar di Bali disebut dengan membuat prasi (lontar bergambar) memiliki kelancipan 70 derajat); dan (3) pangrupak untuk memotong daun tal, bentuknya agak lebar dan sangat tajam. M a s i n g - m a s i n g m e m i l i k i hiasan y a n g berbeda-beda, seperti menyerupai ekor ular, burung merak, Ongkara, dan sebagaianya. Sebagai gudangnya lontar, di Bali telah tumbuh secara berkelanjutan penulis-penulis lontar yang begitu handal. Mereka terdiri dari kelompok tua hingga anak-anak, bahkan sering di antara mereka mendapat piagam penghargaan, melalui Pesta Kesenian Bali sebagai ucapan terima kasih pihak pemerintah kepada para pemenang lomba. S e l a n j u t n y a , prestasi y a n g d i p e r o l e h secara profesional itu dapat dilestarikan dan dikembangkan di daerahnya masing-masing. Di belahan Bali Timur (Karangasem) dijumpai penulis lontar yang masih produktif. Beranjak dari Desa Culik, Bongaya, Pendem, Budakeling, Sibetan, Tenganan Pegringsingan hingga Sidemen, dijumpai sederetan penulis lontar k e n a m a a n . Di Geria Demung Culik misalnya terdapat seorang pendeta sangat aktif menulis lontar, juga mengolah rontal siap tulis. Selanjutnya, Wayan Muditadnyana (asal Tenganan Pegringsingan), Ida I Dewa Gde Catra, yang kini berada di kota Karangasem Utara, sangat
l~52~| Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010
banyak jasanya dalam menyalin lontar ke lontar baru. Juga Made Degung, yang berada di sebuah bukit di antara pohon salak (sekitar 3 kilometer) ke arah utara dari jalan raya Sibetan, nampak sangat aktif dalam kegiatan tulis-menulis di atas daun tal. Tidak saja kegiatan penyalinan ke lontar baru yang d i l a k u k a n b e r s a m a istrinya, melainkan telah berpredikat sebagai pengarang karya sastra berupa puisi Jawa Kuna (kakawin), yakni Kakawin Eka Dasa Siwa, Kakawin Nilacandra, dan Candra Banu (Dharma Acedya) yang kini tengah dirampungkan. 2.6
Lontar dan Tradisi Baru dalam Masyarakat Bali
Tradisi baru tentang budaya lontar dalam perkembangan masyarakat di Bali dewasa ini tidak hanya digunakan untuk menyalin dari lontar ke lontar baru, namun terjadi suatu kreativitas yang dinamis. Terbukti dengan adanya kegiatan menulis lontar dalam aksara Bali dan Latin berbahasa Bali dan Asing (Inggris, Jerman, dan lain-lain) berupa kartu nama yang dikemas sedemikian rupa dan nampak artistik. Hal ini membuat para wisatawan (domestik maupun mancanegara) tertarik hatinya dan sekaligus memesan kartu nama/alamatnya sendiri sebagai souvenir selama kunjungannya di Bali. Pada masyarakat Sidemen Karangasem misalnya nampak kelompok muda yang mampu menggambar di atas rontal secara profesional dengan menggunakan sarana pangrupak yang beraneka ragam bentuk dan hasilnya dipasarkan ke Tenganan. Hampir sepanjang Desa Tenganan digelar lontar bergambar (prasi), y a n g sebagian besar berisi c u p l i k a n cerita y a n g b e r n u a n s a Bali dengan keterangan yang ditulis dalam aksara Bali. Cuplikancuplikan tersebut diambil dari cerita Ramayana Mahabharata, Sutasoma, Tantri, dan sebagainya yang sekiranya menarik untuk pariwisata. Selain itu, dengan adanya program BaliSimbar yang dirancang demikian apiknya oleh I Made Swacana, telah membawa angin segar terhadap perkembangan budaya lontar ke arah tradisi baru. Melalui peremajaan penyalinan lontar ke dalam aksara yang sama (aksara Bali), dapat menarik minat masyarakat pembaca aksara Bali lebih meningkat, karena dengan sistem komputerisasi aksara Bali, nampak bentuk-bentuk aksara Bali yang demikian standar sehingga dalam membaca terkesan lebih mudah. Di samping itu program ini setidaknya dapat dijadikan p e n u n j a n g dalam mempelajari atau membaca naskah aslinya yang berupa lontar.
MEDIA PUSTAKAWAN
2.7
Antara Buku dan Lontar
Walau secara u m u m antara naskah (salinan atau asli) y a n g beraksara Bali y a n g tersurat di buku-buku dengan y a n g tersurat di atas d a u n tal n a m p a k s a m a dari segi isinya. Namun, nilai y a n g t e r k a n d u n g dari k e d u a n a s k a h d e n g a n b a h a n y a n g berbeda itu sepertinya berbeda. Seseorang y a n g tengah membaca sebuah teks lontar sangat yakin akan adanya suatu nilai y a n g kramat, suci, d a n seolah teks y a n g s e d a n g dihadapi memiliki jiwa. Tentunya hal ini dapat diterima akal sehat, karena sebagaimana disaksikan bersama bahwa setiap pustaka lontar yang telah siap untuk dibaca di khalayak umum, telah dilakukan sebuah upacara p a s u p a t i , y a k n i u p a c a r a y a n g d i y a k i n i oleh masyarakat Bali untuk mohon kepada Sanghyang Aji Saraswati agar berkenan menjadikan stana/wahana setiap aksara yang telah tersurat di atas rontal, sehingga menjadi sebuah lontar yang memiliki jiwa. Memang jika dipandang dari segi kemudahan, kebebasan atau kepraktisan dalam proses membaca, mempelajari, atau membawanya ke mana-mana nampak lontar agak sulit. Namun, lontar tetap mempunyai nilai lebih, yakni teks yang berjiwa atau mataksu, walau telah disadari bahwa aksara Bali dalam bentuk buku pun sama-sama merupakan wahana ( p a l i n g g i h ) Ida Sanghyang Aji Saraswati. Yang terpenting di sini adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang diserap dari hasil membaca teks lontar ataupun berupa buku tersebut, dapat dihayati nilainya ke dalam lubuk hati pembaca yang pada gilirannya mampu mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. III.
Penutup
Demikian uraian ringkas tentang lontar, sebagai sebuah tradisi yang masih hidup dan dilestarikan oleh masyarakat Bali sejak zaman silam hingga kini. Sebagai daerah yang kini telah mendapat pengaruh luar dan globalisasi, namun tradisi lontar masih tetap eksis dan merupakan salah satu aset atau kekhasan budaya Bali yang perlu mendapat perhatian secara berkelanjutan terutama bagi pencinta sastra klasik, cendekiawan, para filolog, dan yang terkait lainnya.
MEDIA PUSTAKAWAN
Daftar Pustaka Agastia, IBG. 1987. "Kepustakaan Bali sebagai Sumber Nilai-nilai Spritual". Makalah pada Bulan Bahasa Denpasar. Bagus, IGN. dkk. 1987/1988. Analisis dan Kajian Geguritan Salampah Laku, Karya Ida Padanda Made Sidemen. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. . 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali. Suatu Kajian Antropologi. Denpasar: Universitas Udayana. Damono, Sapardijoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. I k r a m , A c h a d i a t i . 1982. " B e b e r a p a Masalah Perkembangan Ilmu Filologi Dewasa ini. Jurusan Sastra Indonesia FSUI. Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Jakarta: Sinar Harapan.
Religiusitas.
Subadio, Haryati. 1991. "Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu dalam Naskah dan Kita" Jakarta: Lembaran Sastra Nomor Khusus 12 Januari FSUI, Depok. Swastika, I Made. 1985. "Konsepsi Kelepasan Seorang Penyair (Studi Pendahuluan Karyakarya Ida Pedanda Made Sidemen)". Makalah yang disajikan dalam seminar Baliologi Denpasar. Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Warna, I Wayan. dkk. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas P e n g a j a r a n Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna SelayangPandang. Jakarta: Djambatan.
Vol. 17 No. 1 dan 2 Juni 2010 [2jJ|