1
ISSN : 2541-6871
DAUN LONTAR Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa Komunitas Daun Lontar
UNITAS M O K
DAUN Tahun ke 3 Nomor 4 LONTAR
Yogyakarta Februari 2017
ISSN 2541-6871
ISSN : 2541-6871
KOMUNITAS DAUN LONTAR Didirikan pada tahun 2011 Komunitas Daun Lontar (KDL) merupakan organisasi komunitas yang berbadan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0071719.AH.01.07.TAHUN 2016 tanggal 24 Agustus 2016 dan Akta Notaris nomor 13 tanggal 09 Agustus 2016 yang tujuannya adalah untuk mengembangkan studi ilmiah mengenai budaya, sastra, dan bahasa PENGURUS KOMUNITAS DAUN LONTAR Ketua : Imam Qalyubi Wakil Ketua : Ali Rizkatillah Audah Sekretaris : Duto Wijayanto Bendahara : Afi Fadlilah PENGELOLA JURNAL DAUN LONTAR Koordinator Penyunting: Ike Revita (Universitas Andalas Padang). Penyunting Ahli: Moch. Jalal (Universitas Airlangga Surabaya), Umar Solikhan (Balai Bahasa Riau). Penyunting Pelaksana:Nurlatifah (SMK Negeri 2 Yogyakarta), Ani Yuliati (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta),Khumaidi (STAI Al Falah Assunniyyah, Kencong, Jember). Mitra Bestari: Yeyen Maryani (Badan Bahasa), Rahimah A. Hamid (USM, Penang, Malaysia), Sahid Widodo (Universitas Sebelas Maret, Solo). Ketua Redaksi: Rahman T. Dako (Universitas Negeri Gorontalo). Sekretaris Redaksi: Irma Diani (Universitas Bengkulu). Staff Redaksi: Misrita (Universitas Palangka Raya), Rohmatunazillah (SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta), Tri Septiana Kurniati (ISI Yogyakarta) DAUN LONTAR adalah Jurnal Ilmiah yang telah diterbitkan pertama kali pada tahun 2012 dan sejak tahun 2016 diterbitkan dua kali setahun pada bulan Februari dan September, serta sudah terdaftar di LIPI dan terindeks secara online melalui ojs.komunitasdaunlontar.or.id. Jurnal ini berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, dan ulasan buku di bidang ilmu kemanusiaan. Jurnal ini dibagikan kepada para anggota KDL yang keanggotaannya secara perseorangan. Iuran pertahun Rp.120.000,- (seratus dua puluh ribu, rupiah). Naskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. Diterbitkan oleh Komunitas Daun Lontar Alamat Redaksi Jalan Besi Jangkang Ds. Karanglo Rt2 Rw3 Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581 Email :
[email protected] Alamat Web : www.komunitasdaunlontar.or.id / ojs.komunitasdaunlontar.or.id.
Jurnal DAUN LONTAR mengundang para pakar dan sivitas akademika perguruan tinggi untuk menulis artikel ilmiah yang berkaitan dengan wilayah kajian budaya, sastra, dan bahasa. Naskah yang masuk disunting oleh penyunting ahli. Penyunting berhak melakukan perubahan/suntingan tanpa mengubah isinya.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
ISSN : 2541-6871
Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
DAUN LONTAR Daftar Isi
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro
1-11
Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis Terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
Muharrina Harahap
12-27
Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
Satya Gayatri
28-47
Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau Untuk Kepribadian yang Berkarakter
Inestie Printa Elisya, Ike Revita
48-60
Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
Rasiah
61-77
Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
Suluh Edhi Wibowo
78-101
Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
Beny Hamdani
102-121
Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
iii
PEREMPUAN ANTARA ARBEIT DAN KELUARGA: SEBUAH KRITIK FEMINIS TERHADAP KAPITALISME DALAM NOVEL MOBBING KARYA ANNETTE PEHNT* Syamsu Rijal Universitas Negeri Makassar
[email protected] Wening Udasmoro Universitas Gadjah Mada
[email protected] Abstract The participation of women in the public sphere, especially in the context of work (Arbeit) is not anymore a big issues in modern societies. However, their reproductive functions as wives and mothers are still used in a capitalistic system to send women back to their domestic sphere. They are materially and symbolically placed in this sphere in order to maintain the masculine domination in the public sphere. This situation can be found in the Novel Mobbing, a novel written by Annette Pehnt who become the material object of the research. Pehnt shows the portrait of a german middle class family who is struggling to survive in a competitive world. The novel shows the women who win the competitions. The writer wants to show how women were usually marginal in the capitalis society although they are also active in this public sphere. The paper aims at exploring how women and Arbeit are shown as important aspects elaborated in german literature. Keywords: Arbeit, women, german, family, Mobbing Abstrak Keikutsertaan kaum hawa dalam dunia kerja dewasa ini sudah menjadi hal yang sepatutnya dan tampaknya tidak lagi menjadi diskurs yang harus diperdebatkan. Namun potensi reproduksi dan pengasuhan kaum perempuan yang lebih dipandang sebagai kategori alamiah dibanding sosial, menjadi celah dalam sistem kapitalis untuk menempatkan perempuan tetap dalam posisi inferior baik secara materiel maupun simbolis. Kondisi ini juga tercermin kuat dalam novel Mobbing karya Annette Pehnt yang menjadi objek material dalam kajian ini. Pehnt yang memilih menampilkan sosok keluarga kecil dari golongan menengah di Jerman yang harus terus berjuang mempertahankan kehidupannya dari gempuran persaingan dunia kerja memperlihatkan sisi keunggulan kaum perempuan (baca: sebagai istri dan ibu) dalam memenangkan pertarungan. Melalui novel ini, Pehnt seolah ingin menghentak pemikiran kaum kapitalis yang memarginalkan perempuan yang notebene telah menjadi tulang punggung eksistensi kapitalisme selama ini. Kata Kunci: Arbeit, perempuan, keluarga, kritik feminis, kapitalisme.
1
2
Pendahuluan Mobbing adalah salah satu roman karya Annette Pehnt yang terbit tahun 2007 merupakan roman yang berkisah tentang sebuah keluarga kecil dari golongan menengah di Jerman. Joachim Rühler dan istrinya (sebagai Aku-Pencerita) menjalani hidup mereka dengan sangat menyenangkan, sebagaimana keluarga-keluarga kelas menengah lainnya di Jerman. Mona, anak pertama mereka yang berusia lima tahun, sekarang telah masuk TK (Kindergarten) dan anak kedua mereka yang berusia empat tahun -dalam roman ini dipanggil dengan sebutan Baby- juga dalam keadaan baik-baik saja. Istri Jo adalah seorang penerjemah roman-roman Perancis ke dalam bahasa Jerman. Jo panggilan Joachim Rühler, bekerja di dinas kota (Stadtverwaltung) pada bagian kebudayaan. Masalah mulai muncul ketika Jo dituding menggelapkan uang kantor dan dipecat dari pekerjaannya. Sejak saat itu istri Jo berjuang keras membantu kehidupan keluarga mereka dan terus berusaha mendukung suaminya hingga akhirnya
mendapatkan
pekerjaannya kembali. Annette Pehnt sendiri adalah seorang penulis Jerman yang lahir di kota Köln 25 Juli 1967. Pehnt menyelesaikan kuliahnya dengan mengambil jurusan Anglistik dan Germanistik. Roman debutannya adalah Ich muss los yang terbit tahun 2001. Tahun-tahun berikutnya Pehnt menulis beberapa roman dan juga buku-buku anak. Untuk pencapainnya dalam bidang sastra, Pehnt pernah mendapatkan beberapa penghargaan di antaranya Hermann Hesse-Literaturpreis. Saat ini Pehnt tinggal di Freiburg bersama suami dan ketiga anaknya. Di samping sebagai penulis lepas, Pehnt juga sebagai dosen di Universität Freiburg sejak tahun 2007. Tulisan ini secara khusus akan mambahas tentang posisi perempuan yang memiliki keunggulan reproduksi dan pengasuhan yang senantiasa dipandang sebagai sesuatu yang alamiah dibanding sebagai potensi sosial
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
3
maupun ekonomi. Pandangan ini tentu menafikan konstribusi kaum perempuan dalam rangka keberlangsungan umat manusia pada umumnya. Dengan pendekatan feminisme Marxis terlihat dengan jelas bagaimana perempuan selama ini terisolir baik secara materiel maupun simbolis khususnya dalam balutan pemikiran kapitalisme. Adapun kata Arbeit yang digunakan dalam tulisan ini secara leksikal bermakna „kerja― atau „pekerjaan― dan dalam Politiklexikon (lihat Schubert, 2011) dimaknai sebagai suatu kegiatan spesifik bagi manusia –baik yang bersifat fisik maupun intelektual-
yang bertujuan terutama untuk
memperoleh sarana penting dalam rangka mempertahankan eksistensi kehidupan manusia. Kata Arbeit dewasa ini telah menjadi kata yang sangat umum dan menjelma menjadi tema yang semakin penting dalam berbagai sektor kehidupan terutama akibat perubahan struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang berlangsung relatif cepat. Dalam sejarah manusia modern, tema Arbeit mulai mencuat sejak awal revolusi industri di Inggris (1750-1850 M) kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat hingga akhirnya secara perlahan ke berbagai belahan dunia. (lihat Bernsdorf, 1969: 38-41). Pijakan Teori Kritik Feminisme terhadap sistem Kapitalisme sebenarnya bukan merupakan wacana baru. Dasar-dasar kritik ini sudah mulai ditemukan misalnya dalam tulisan Harriat Taylor Mill (1807-1858) bersama John Stuart Mill yang mempublikasikan sebuah perspektif baru tentang kebebasan dan persamaan hak dari sisi perbedaan jenis kelamin. Tujuan utama dari tulisan mereka adalah tidak hanya terciptanya hubungan antar manusia yang lebih baik tanpa mengenal perbedaan kelamin, tetapi juga memberikan bekal kemampuan agar umat manusia
mampu bekerja tanpa adanya sikap
ketergantungan. Pesan utama yang sesungguhnya ingin disampaikan dalam
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
4
buku ini adalah kebebasan tidak dimaknai sebagai pembatas dan jarak dengan yang lain, tetapi kebebasan harus dimaknai sebagai hubungan timbal balik yang tidak bermuara pada ketergantungan dan penciptaan hirarki dan kekuasaan yang tidak simetris. Pemikiran tentang kesetaraan gender khususnya dalam dunia kerja semakin mengemuka dewasa ini. Dalam masyarakat kapitalis terlihat dengan jelas bagaimana perempuan diposisikan secara marginal, baik dalam rana domestik maupun publik. Pekerjaan rumah tangga yang mayoritas menjadi tanggungjawab
perempuan
sama
sekali
tidak
dianggap
sebagai
Erwerbsarbeit, (Erwerbsarbeit: Diejenige Form der Arbeit, mit der Geld verdient werden soll. Gegensatz: Haus- und Familienarbeit, ehrenamtliche Arbeit, Hobbyarbeit “Jenis pekerjaan yang menghasilkan uang. Berbeda dengan pekerjaan rumah tangga dan keluarga,
pekerjaaan sukarela,
kegiatan-kegiatan hobbi―) (Thurich, 2011), yang harus mendapatkan gaji dan tunjangan sosial. Dalam bursa kerja di luar rumah tangga, mereka bahkan mendapatkan gaji yang relatif rendah dari rekan kerja mereka yang laki-laki. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan andil besar perempuan dalam proses reproduksi sosial, karena dalam perspektif ekonomi makro, peran perempuan dalam investasi infrastruktur sosial –pendidikan dan perawatan- sebagai bentuk konsumtif dan pekerjaan mereka dalam rumah tangga yang tidak digaji sebenarnya harus dihitung sebagai bagian dari kegiatan reproduktif. Namun pada kenyataannya, andil besar kaum perempuan dalam proses reproduksi sosial oleh masyarakat kapitalis sering tidak terlihat secara ekonomis, sehingga peran mereka direduksi sedemikian rupa. Kemampuan yang dimiliki perempuan –melahirkan, merawat dan mengasuh manusia: anak, suami dan anggota keluarga lainnya- dipandang semata hanya sebagai sesuatu yang alami (von Natur aus). Kemampuan yang dimiliki oleh seorang
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
5
perempuan merupakan sesuatu yang diperoleh dari alam. Artinya kemampuan yang mereka peroleh merupakan karunia dari alam dan bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha kaum perempuan. Karena kemampuan ini diperoleh dari alam dan tidak diperoleh melalui mekanisme pembelajaran (fomal), maka apa yang mereka lakukan berkaitan dengan kemampuan alami tersebut juga sepatutnya tidak mendapatkan bayaran. Dengan pandangan semacam ini, masyarakat kapitalis tetap memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan menjadi sumber exploitasi yang alami dan tidak ada habisnya. Pola pikir inilah yang kemudian menjadi salah satu titik poin kritikan kaum feminis Marxis, karena secara de facto tidak ada satu kelompok masyarakat pun –baik itu masyarakat kapitalis ataupun bukanyang mampu bertahan hidup tanpa peran perempuan dalam proses reproduksi sosial. Untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi opresi perempuan
secara
ekonomis,
kaum
feminis
Marxis
senantiasa
memperjuangkan kebebasan yang mengakui adanya hubungan yang tidak dilandasi oleh ketergantungan yang bersifat negatif seperti yang diungkapkan oleh Taylor Mill (Bauhardt, 2015: 36): “In Arkennung von gegenseitigen Beziehungen, die durchaus nicht in Abhängigkeit auszuarten brauchen.“ Dengan pola hubungan seperti ini, kaum laki-laki diharapkan dapat juga mengambil tanggung jawab dalam hal pengasuhan atau perawatan. Mekanisme yang bisa dilakukan misalnya dengan memperpanjang waktu kerja kaum laki-laki di bidang yang tidak menghasilkan uang. Dengan demikian
tanggung
jawab
kerja
dan
pekerjaan
pengasuhan
(Sorgearbeit/Care) tidak lagi identik dengan tuntutan kaum perempuan.
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
6
Temuan Di negara-negara industri Eropa termasuk Jerman sesungguhnya telah terjadi perubahan revolusioner dalam tiga sektor yakni; 1) pasar atau perusahaan, 2) keluarga atau rumah tangga, dan 3) negara atau politik, seperti yang telah dikemukakan oleh Kocka (2001). Kocka mencontohkan bahwa pemahaman tentang peran seorang laki-laki sebagai seorang ayah yang harus mencukupi kebutuhan keluarga dan seorang perempuan yang berperan sebagai seorang ibu yang harus mengurus rumah tangganya, sebelumnya tidak pernah diatur secara tegas. Sekitar abad ke 19 sampai awal abad ke 20 seorang ibu yang bekerja dalam mengurus rumah tangga dan keluarganya sama sekali tidak dikategorikan sebagai Erwerbsarbeit. Namun sejak tahun 70-an semua ini telah mendapat regulasi yang jelas, sehingga jenis pekerjaan yang demikian sudah menjadi tanggungjawab sosial negara. Di samping itu, penurunan jumlah kelahiran anak telah mereduksi secara signifikan jenis pekerjaan rumah tangga dan keluarga sehingga memicu peningkatan partisipasi kaum hawa dalam dunia kerja. Keikutsertaan kaum hawa dalam dunia kerja dewasa ini akhirnya sudah menjadi hal yang sepatutnya dan tampaknya tidak lagi menjadi diskurs yang harus diperdebatkan. Hal ini tergambar juga dalam roman Mobbing (Pehnt, 2008) yang menampilkan tokoh istri Jo -seorang penerjemah romanroman berbahasa Prancis ke dalam bahasa Jerman. Di Stadtverwaltung tempat Jo bekerja ditampilkan tokoh perempuan berinisial A dan bahkan tokoh Chefin sebagai pimpinan di kantor. Kehadiran kaum hawa dalam dunia kerja memang sudah menjadi suatu kepatutan, hanya saja bagaimana mereka diposisikan setara dengan kaum laki-laki, hal inilah sesungguhnya yang sering menjadi persoalan. Konstruksi perempuan dalam dunia kerja inilah yang terus-menerus dipertanyakan. Opresi perempuan semacam ini tergambar dalam diri tokoh
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
7
Istri Jo yang mengungkapkan rasa kecewanya ketika tak seorang pun yang melihat persoalan pemecatan suaminya dari sudut pandang dia, baik sebagai seorang ibu dengan dua orang anak maupun sebagai seorang istri: Das versuche ich ja ständig, möchte ich rufen, und wer versetzt sich in meine Lage, aber mir ist ja nicht gekündigt worden, mir hat niemand zu gesetzt, ich darf ja in meinen eigenen vier Wänden auf meine eigene Kinder aufpassen, das ist doch nicht weiter bedrohlich. Saya selalu berusaha (memahami posisi Jo), namun terkadang saya harus meneriakkan tentang siapa yang bisa memposisikan dirinya pada posisi saya. Namun saya bukan orang yang dipecat, jadi tak seorang pun akan melakukan itu. Saya kemudian hanya boleh menjaga anak-anak saya di dalam rumah saya sendiri, itu khan bukan sesuatu yang sifatnya ancaman (terhadap Jo). (Pehnt, 2008: 44).
Perubahan sikap Jo setelah dipecat yang hanya mengurung diri dan tak mau membantu tugas-tugas domestik yang dulunya sering dia lakukan, membuat tokoh saya (Ich-Figur) semakin kehilangan kesabaran. Semua masalahnya kemudian diungkapkan kepada Katrin sahabatnya, namun jawaban Katrin yang seolah-olah membela Jo dan menyarankan agar IchFigur memposisikan diri seperti apa yang dialami oleh Jo membuatnya merasa lebih kecewa. Ungkapan Ich-Figur dengan kalimat: “[...], und wer versetzt mich in meine Lage.“ ([...], dan siapa yang bisa menempatkan dirinya pada posisi saya) adalah bentuk protes dan kecemburuan atas ketidakadilan yang dia rasakan. Kalimat ini seolah-olah bermakna bahwa yang berhak dimengerti hanyalah mereka yang sedang dipecat dari pekerjaannya, tetapi sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri yang bekerja siang dan malam untuk keluarga tidak berhak mendapatkan simpati dan empati. Pekerjaan domestik yang dilakukan oleh seorang istri yang sekaligus seorang ibu dari dua anak ternyata dalam pandangan tokoh Katrin yang notabene sebagai seorang perempuan juga dipandang memiliki nilai tawar yang lebih rendah dibanding pekerjaan di bidang publik. Katrin melihat Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
8
bahwa pekerjaan di luar sana (baca: ruang publik) lebih sulit dibandingkan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh istri Jo di rumah (baca: domestik). Olehnya itu Katrin meminta agar istri Jo dapat berempati kepada suaminya dan bukan sebaliknya. Nilai tawar pekerjaan domestik yang dianggap lebih rendah dari pekerjaan publik di mata Katrin setidaknya dapat mewakili pandangan umum masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian menjadi sorotan utama penulis yang hendak
menunjukkan
betapa
ketidakadilan
dalam
memahami
dan
memposisikan kaum perempuan. Pekerjaan domestik istri Jo sesungguhnya sangat melelahkan. Di samping tugas-tugas harian di rumah, istri Jo juga harus merawat dan menjaga kedua anaknya. Selain menjaga das Baby, istri Jo juga harus mengantar-jemput Mona yang sudah memasuki usia Kindergarten setiap hari. Tidak hanya itu, tokoh istri Jo dalam roman Mobbing
juga
digambarkan
sebagai
seorang
penerjemah
yang
menerjemahkan roman-roman berbahasa Prancis ke dalam bahasa Jerman yang dikerjakannya di rumah. Tumpukan tugas inilah yang membuat istri Jo tidak bisa menerima saran dan pandangan Katrin sahabatnya yang tidak pernah melihat situasi yang dihadapi keluarganya dari sudut pandang dirinya (baca: seorang perempuan yang memiliki suami dan dua orang anak balita, dan bahkan sebagai seorang penerjemah). Posisi tokoh istri Jo adalah contoh perempuan yang berada di antara tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu dan seorang penerjemah atau di antara tugas domestik dan publik. Kondisi yang dialami oleh istri Jo ternyata dalam catatan statistik juga dialami oleh sekitar 56 persen perempuan dalam usia antara 25 sampai 54 tahun yang memiliki dua anak atau lebih. Kecenderungan yang terjadi di Jerman adalah semakin menurunnya jumlah angkatan kerja perempuan yang memiliki anak. Dengan kata lain semakin banyak anak yang dimiliki oleh seorang perempuan, maka peluang untuk
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
9
bekerja kembali di sektor publik juga semakin sedikit. Kecenderungan ini terlihat dari menurunnya jumlah perempuan yang bekerja di sektor publik secara penuh atau Vollzeiterwerbstätigkeit yang hanya sekitar 20 persen antara tahun 1991 dan 2010, namun di saat bersamaan jumlah perempuan yang bekerja paruh waktu atau Teilzeitarbeit dan melakoni pekerjaanpekerjaan ringan lainnya atau geringfügige Beschäftigung justru mengalami peningkatan. (Böhm, et al., 2011). Gambaran di atas menegaskan fenomena yang sama seperti yang dialami oleh tokoh istri Jo. Saat masih belum memiliki anak, istri Jo mampu menerjemahkan lebih banyak roman-roman Prancis, namun setelah Mona lahir dan menyusul anak keduanya, praktis kegiatan menerjemahkan tidak lagi ditekuninya. Motivasi untuk kembali menekuni penerjemahan romanroman Prancis kembali muncul ketika Jo tidak bekerja lagi dan anak-anak mereka sudah tidak perlu lagi selalu bersama dia. Namun usaha untuk kembali lagi menekuni bidang penerjemahan secara lebih intensif bagi istri Jo tentu tidak akan mudah, karena di samping persaingan dalam dunia kerja yang semakin ketat, dia juga harus memulai dari awal lagi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi kaum perempuan dalam bidang publik. Meskipun usaha yang dilakukan oleh perempuan dalam melanjutkan kehidupan keluarga mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya dilakukan, namun dalam novel Mobbing ini terlihat bahwa peran perempuan tidak kalah hebatnya dan bahkan melebihi suaminya. Di saat-saat suami tidak memiliki pekerjaan, istrilah yang kemudian mengambil semua tanggungjawab, baik untuk urusan domestik maupun urusan keuangan keluarga.
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
10
Kesimpulan Pandangan masyarakat kapitalis khususnya yang menilai potensi reproduksi dan pengasuhan kaum perempuan sebagai sesuatu yang bersifat alami yang diperoleh tidak melalui mekasisme pembelajaran dan untuk itu tidak patut digolongkan sebagai Erwerbsarbeit, patut direnungkan kembali. Annette Pehnt dalam novelnya Mobbing
mencoba membuka mata para
pembaca dalam menilai posisi seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang istri dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka. Pehnt yang memilih menampilkan sosok keluarga kecil dari golongan menengah di Jerman yang harus terus berjuang mempertahankan kehidupannya dari gempuran persaingan dunia kerja memperlihatkan sisi keunggulan kaum perempuan dalam memenangkan pertarungan. Melalui novel ini, Pehnt seolah ingin menghentak pemikiran kaum kapitalis yang memarginalkan perempuan yang notebene telah menjadi tulang punggung eksistensi kapitalisme selama ini. 1
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam The 8th International Graduate Students and Scholars‟ Conference in Indonesia (IGSSCI), UGM, tgl. 26-27 Oktober 2016 dengan judul: ―Women between Arbeit and Family: A Feminist Critique on Capitalism in the Novel Mobbing by Annette Pehnt―.
Daftar Pustaka Bauhardt, Christine. (2015). ―Feministische Kapitalismuskritik und postkapitalistische Alternativen.― In Kapitalismus und Alternativen. Aus Politik und Zeitgeschichte, 35-37/2015, 24 August 2015. 32-39. Bernsdorf, Wilhelm (ed.). (1969). Wörterbuch der Soziologie. Stuttgart: Ferdinand Enke Verlag. Böhm, Kathrin, Kathrin Drasch, Susanne Götz & Stephanie Pausch. (2011). Potenziale für den Arbeitsmarkt. Frauen zwischen Beruf und Familie. IAB-Kurzbericht. Aktuelle Analysen aus dem Institut für Arbeitsmarktund Berufsforschung. 23/2011, http://doku.iab.de/kurzber/2011/ kb2311.pdf, 9.12.2015. Jackson, Stevi & Jackie Jones (eds.). (2009). Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Translated by Tim Penerjemah Jalasutra. Jalasutra: Yogyakarta. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
11
Klenner, Christina. (2007). ‖Familienfreundliche Betriebe –Anspruch und Wirklichkeit.‖ In Entgrenzung von Arbeit und Leben. Aus Politik und Zeitgeschichte, 34/2007, 20 August 2007. 17-25. Kocka, Jürgen. (2001). ―Thesen zur Geschichte und Zukunft der Arbeit.― In Aus Politik und Zeitgeschichte B 21/2001. 8-13. Kocka, Jürgen. (2015). ―Arbeit im Kapitalismus. Lange Linien der historischen Entwicklung bis heute.― In Kapitalismus und Alternativen. Aus Politik und Zeitgeschichte, 35-37/2015, 24 August 2015. 10-17. Pehnt, Annette. (2008). Mobbing. Roman. München: Piper Verlag. Schubert, Klaus/Martin Klein: Das Politiklexikon. 5., aktual Aufl. Bonn: Dietz 2011. Lihat: www.bpb.de/nachschlagen/lexika/17088/arbeit. Tong, Rosemarie Putnam. (2010). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Aquarini Priyatna Prabasmoro (translator). Jalasutra: Yogyakarta.
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Perempuan antara Arbeit dan Keluarga: Sebuah Kritik Feminis terhadap Kapitalisme dalam Novel Mobbing Karya Annette Pehnt
WANITA BATAK DALAM CERPEN “TIURMAIDA” KARYA HASAN AL BANNA: PERSPEKTIF LACANIAN Muharrina Harahap Universitas Negeri Medan
[email protected] Abstract The self-image analysis and the identity of Batak women in a short story “Tiurmaida” by Hasan Al Banna by means of Lacanian perspective have manage to build culture and semantic conception for “Batak women” concept. It turns out not much different definition of “women” from the original meaning with women from the perception of the Batak culture. Love, natural appetite, desire, craziness, and suffering there are in the short story Tiurmaida by Hasan Al Banna only is a part of the culture and a lot of unit of semantic that language concept building that realized for the short story metonimicly. Keywords: Batak women, Lacanian Perspective Abstrak Analisis citra diri dan identitas wanita Batak dalam cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna melalui perspektif Lacan ini berhasil membangun konsepsi budaya dan konsepsi semantis terhadap konsep ―wanita Batak‖. Ternyata tidak jauh berbeda pemaknaan ―wanita‖ dari makna asalinya dengan ―wanita‖ dari persepsi budaya Batak. Cinta, nafsu, hasrat, kegilaan, dan penderitaan yang terdapat dalam cerpen Tiurmaida karya Hasan Al Banna tersebut hanya merupakan bagian kebudayaan dan satuan-satuan semantik yang membangun konsep bahasa yang direalisasikan terhadap cerpen tersebut secara metonimik. Kata kunci: wanita Batak, perspektif Lacan
Pendahuluan Novel atau cerpen sebagai bentuk karya sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, dan realita religius merupakan terma-terma yang sering didengar ketika seseorang membicarakan novel atau cerpen sebagai realita kehidupan. Secara spesifik
12
13
realita psikologis memunculkan identitas manusia ketika merespon dan berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh sebab dunia fiksi adalah bayangan dunia realita, membedah kepribadian atau perilaku tokoh harus bersinggungan dengan beragam teori psikologi yang memainkan peran sentral sebagai “grand theory” dan yang telah teruji tingkat ketepatan sebagai rujukan secara empiris dan ekonomis. Keberadaan “grand theory” ini akan mengarahkan orientasi pada saat melakukan analisis. Peneliti tidak lagi bebas berkeliaran secara imajinatif dan intuitif dalam proses interpretasi sehingga benar-benar mampu berpijak di atas dasar teori yang relevan dan koheren dengan fenomena yang membayang pada sebuah karya sastra. Untuk mengetahui fenomena dan identitas diri manusia tersebut diperlukan seperangkat teori ilmu jiwa. Tidaklah mengherankan jika terlahir beraneka teori psikologi, sebagai contoh lahir teori psikoanalisis yang dikembangkan Sigmeund Freud dan lahir pula pemikiran serupa dari Alfred Adler yang mengemukakan teori psikologi individual. Teori-teori lain bermunculan seperti psikososial hasil pikiran yang mendalam dari seorang teoritikus besar Erik Erikson, dan teori kepribadian lain yang dikenal dengan nama Social Learning Theory hasil pengamatan dan studi dari seorang pakar yang bernama Albert Bandura. Tidak ketinggalan pula seorang psikolog kondang dari Amerika, yaitu Abraham Maslow yang merumuskan teorinya dengan sebutan Humanistic Theory of Personality. Ada juga tokoh lain dari negeri yang sama, yaitu George Kelly, dengan rumusan teorinya Cognitive Theory of Personality. Akan tetapi, pada penganalisisan ini penulis hanya memusatkan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Lacan dalam mengkaji citra diri dan identitas wanita Batak dalam cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna tersebut.
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
14
Penulis tertarik mengaplikasikan teori psikoanalisis Lacan ini, selain beliau merupakan pelopor postrukturalisme, Lacan juga berjasa dalam memberikan nilai baru terhadap kualitas subjektivitas. Dasar utama teori Lacan ialah bahwa bawah sadar itu terstruktur seperti sebuah bahasa. Lacan telah menggantikan tiga struktur kepribadian Freud, yaitu id, ego, dan superego menjadi imageneri, simbol, dan real (Sikana, 2007:326). Sehubungan dengan itu, sastra Indonesia di Sumatera Utara, khususnya Medan pernah menjadi satu ukuran terbaik pada masa lalu. Sastrawannya dapat angkat bicara secara nasional. Tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar yang lahir di Medan. Hamka dengan novel-novelnya, pertama terbit di Medan. Aoh K Hadimadja dan HB Jassin permah bermukim di Medan. Mereka termasuk orang-orang yang diperhitungkan dan disaluti dalam berkarya sastra. Kehebatan masa lalu itu tampaknya tidak diikuti oleh sastrawan berikutnya. Kalaupun ada dapat dihitung dengan dua belah jari tangan. Didasari alasan tersebut memunculkan niat penulis untuk menganalisis cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna. Cerpen ―Tiurmaida‖ merupakan salah satu cerpen terbaik sastrawan Sumatera Utara yang termasuk dalam skala nasional dan termaktub dalam Kumpulan Cerita Pendek Kompas. Hasan Al Banna selaku pengarang juga termasuk sastrawan Medan yang menasional dan cukup diperhitungkan dan layak diapresisasi karya-karyanya. Karya sastra, dengan kekayaan jenisnya tersebut merupakan objek yang sangat kaya dan kompleks dan dapat dianalisis dari berbagai segi. Salah satu karya sastra seperti cerpen, dianggap mewakili dunia sosial karena mampu sebagai ―mimesis‖ yang tepat untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari.
Oleh
karena
itu,
penulis
berupaya
untuk
mengaplikasikan teori psikoanalisis Lacan terhadap cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
15
Berdasarkan latar belakang tersebut, diambil rumusan masalah, yaitu bagaimana citra diri dan identitas wanita Batak dalam cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna melalui perspektif Lacanian. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmeund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini. Teori-teori Freud dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual. Walaupun Freud seorang dokter yang selalu berpikir secara ilmiah, dunia sastra tidak asing baginya karena semasa mudanya ia memperoleh pendidikan sastra dan menelaahnya secara serius. Relevansi teori-teori psikologis dalam sastra diawali oleh Sigmeund Freud dengan mengidentifikasi ketaksadaran manusia yang terdiri atas sturuktur id, ego, dan super ego. Berbeda dengan paradigma psikologi sebelumnya,
psikologi
Freud
didominasi
oleh
alam
bawah
sadar
(unconsciousness). Analisis psikologis pada umumnya dikaitkan dengan proses kreatif, genesis karya sastra sebagai akibat dorongan ketaksadaran untuk menimbulkan kenikmatan, dalam hubungan ini sebagai aspek-aspek estetis. Pada dasarnya analisis psikologis Freud dianggap memiliki kaitan yang erat dengan dimensi biologis. Atas dasar teori struktur ketaksadaran psikologis Freudian dan strukturalisme bahasa Saussurean, Lacan (1901-1981) membangun teori psikologi
dalam
kaitannya
dengan
bahasa
dan
sastra,
sekaligus
mengembangkannya dalam paradigma postrukturalisme. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa di satu pihak, perbedaan pokok antara teori Freud dengan Lacan adalah Freud memandang Ego sebagai unsur yang terpenting, sedangkan menurut Lacan unsur yang terpenting adalah bahasa (Ratna, 2004:272).
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
16
Paradigma psikologi Lacan memiliki implikasi yang lebih jauh. Seperti
halnya
teori-teori
postrukturalisme
yang
dibangun
dengan
menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikologi Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa Lacan sekaligus mendekonstruksi Freud dan Saussure. Dengan mendekonstruksi pendapat Freud, Lacan memandang bahasa memiliki posisi utama dalam kaitannya dengan psikologi. Lacan secara terus-menerus mengacu teori Freud untuk menciptakan sistem berpikir yang baru. Sebagai seorang pelopor postrukturalis, Lacan juga berjasa dalam memberikan
nilai
baru
terhadap
kualitas
subjektivitas.
Lacan
menggabungkan antara fenomenologi Husserlian dengan strukturalisme Saussurean. Fenomenologi menyediakan konsep diri, subjek yang bebas, segala sesuatu yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, sedangkan strukturalisme menyediakan determinisme bahasa. Oleh karena itulah, meskipun Lacan (Sarup dalam Ratna, 2004:275) menggunakan prinsip strukturalisme tetapi ia menyangkal kehadiran subjek. Menurut Lacan, yang dimaksudkan dengan subjek adalah subjek dari penanda-penanda. Penanda selalu terpisah dari petanda, dan memiliki otonomi yang nyata, maka tidak ada penanda yang sampai pada yang ditandakan. Realitas penanda adalah simbol, makna, representasi, dan segala macam citra yang lain. Dalam hubungan inilah terbentuk (para) subjek. Seperti diketahui, sejak Marxis, Formalis, dan Strukturalis, subjek telah ditinggalkan. Dengan mengintroduksi pendapat Benviste, Lacan (Selden, 1986:81-82) memasukkan kembali kehadiran subjek, sebagai subjek yang berbicara. Peristiwa ini terjadi karena bahasa, artinya bahasalah yang mengatur posisi subjek. Penggunaan aku, ia, dan dia misalnya, semata-mata
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
17
merupakan posisi subjek yang diatur oleh bahasa. Ego yang mempergunakan kata aku, misalnya, tidak sama dengan aku ini. Sarup (Faruk, 2012:186) juga menegaskan bahwa sebagian teori psikoanalisis Lacan didasarkan pada penemuan antropologi dan linguistik struktural. Salah satu kepercayaan utamanya adalah bahwa ketidaksadaran merupakan suatu struktur yang tersembunyi yang menyerupai struktur bahasa. Pengetahuan mengenai dunia, mengenai orang-orang lain dan diri ditentukan oleh bahasa. Bahasa merupakan prekondisi bagi tindakan menjadi sadar akan diri sebagai entitas yang berbeda dari yang lain. Dialektika ―SayaKamu‖-lah yang mendefinisikan subjek-subjek dengan oposisi timbalbaliknya, yang mendasari subjektivitas. Namun, di lain pihak, bahasa juga merupakan sesuatu yang diadakan secara sosial, sebuah kebudayaan, larangan-larangan, dan hukum-hukum. Seorang anak yang masih kecil dibentuk dan akan dimarkahi secara permanen oleh bahasa tanpa menyadarinya. Artikulasi dari ―Saya‖ terjadi dalam apa yang oleh Lacan disebut ―tahap cermin‖ karena pada tahap inilah terbentuk pengakuan diri (selfrecognition). Pengakuan diri pada tahap cermin ini berlangsung dalam tiga tahap yang beruntun. Pertama, seorang anak yang bersama orang dewasa berada di depan cermin mengacaukan citra dirinya dengan citra orang dewasa. Kedua, anak itu memperoleh pengetahuan mengenai citra dan citra itu berbeda dari kenyataan. Ketiga, dia menyadari bahwa pantulan dalam cermin itu bukan sekadar citra, melainkan citra dirinya, dan juga citra dirinya itu berbeda dari orang lain. Bagi Lacan, Oedipus Kompleks merupakan momen yang di dalamnya seorang anak mendehumanisasikan dirinya dengan menjadi sadar akan diri, dunia, dan orang-orang lain. Resolusi Oedipus Kompleks membebaskan sang subjek dengan memberinya, melalui namanya, suatu
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
18
tempat dalam konstelasi keluarga, sebuah penanda asli mengenai diri dan subjektivitas. Ia mempromosikan diri sang anak dalam kesadarannya akan diri melalui partisipasi dalam dunia kebudayaan, bahasa, dan peradaban (Faruk, 2012:188). Ketidaksadaran bagi Lacan, sebanding dengan struktur pada suatu bahasa. Lacan beranggapan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi ketaksadaran. Bahwa bahasa menciptakan dan memunculkan ketaksadaran itu. Seperti wacana sadar, formasi ketaksadaran (mimpi, dsb.) mengatakan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang tampaknya ia katakan. Formasiformasi yang demikian diatur oleh mekanisme yang sama dengan bahasa, yaitu metafora dan metonimi. Selain itu, Lacan (Faruk, 2012:190) juga menjelaskan bahwa orang tidak akan memperoleh citra dirinya yang stabil karena orang mengetahui dirinya melalui respon orang lain dan dalam mencoba memahami repon orang lain itu, orang akan mungkin melakukan misinterpretasi dan karenanya juga salah mengenali dirinya sendiri (misrekognisi). Orang sebenarnya tidak akan pernah memperoleh kepastian mengenai apa respon orang lain terhadapnya. Lebih lanjut, Lacan juga mengemukakan teori tentang rasa kehilangan terhadap subjek. Teori lacan mengenai subjek menyerupai cerita klasik. Ia bermula dari kelahiran dan kemudian bergerak melalui teritorialisasi tubuh, tahap cermin, akses pada bahasa, dan Oedipus Kompleks. Tiap tahap dalam cerita ini ditandai dalam jenis rasa kehilangan atau kekurangan (Faruk, 2012:193). Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan dekriptif analisis. Metode deskriptif analisis ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
19
yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana = atas, „lyen‟ = lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analitik ini juga digabungkan dengan metode formal. Mula-mula data dideskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis dan juga diperbandingkan. Analisis Cerpen “Tiurmaida” Karya Hasan Al Banna dalam Perspektif Lacanian 1.
Sinopsis
Tiurmaida baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal, matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya. Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun, hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Namun, Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tiga puluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap. Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketetapan hati menikah
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
20 dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama. Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka, harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: ―Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!‖ Itulah vonis yang mengiris. Namun, Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak demi menikahi perempuan lain dan punya anak. Namun, mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak nganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda. Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya. Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.
2.
Citra Diri dan Identitas Wanita Batak dalam Perspektif Lacanian Hubungan manusia yang paling personal adalah dengan dirinya
sendiri. Hubungan yang bersifat internal ini tidak dapat dipisahkan dari segala aktivitas kehidupannya. Karakter ini sudah pasti berkaitan dengan sifat-sifat baik dan sifat-sifat jahat sehingga tercipta sebuah proses asimilasi dan akomodasi dalam kehidupan masyarakatnya. Sifat-sifat itu memberikan
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
21
citra manusia Batak (dalam hal ini wanita Batak), sebagai manusia yang memiliki keseimbangan hidup untuk membentuk 3 buah struktur yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut. a.
Imajinari (Imagenery) Imajinari merupakan
istilah
yang
digunakan
Lacan
untuk
menggambarkan tatanan pengalaman subjek yang didominasi oleh identifikasi dan dualitas. Ketika melihat citra dirinya di cermin, subjek mengenal dirinya, tetapi sekaligus diasingkan dari dirinya. Oleh karena itu, subjek tersebut kemudian mempunyai suatu hubungan yang sangat mendalam yang bersifat ambivalen dengan pantulan dirinya di dalam cermin itu. Namun, karena citranya tetap eksternal baginya, ia juga membenci citra itu. Si subjek mengalami keterombang-ambingan antara emosi-emosi yang bertentangan. Melalui judul cerpen ini saja, yang bertajuk ―Tiurmaida‖ telah dibangun sebuah konsep semantik terhadap wanita Batak. Tiurmaida dalam bahasa Batak berarti tampak lebih terang. Konsepsi budaya pun secara otomatis terbentuk melalui judul cerpen tersebut. Tokoh Tiurmaida sebagai subjek telah membangun kepaduan makna semantik untuk mendefinisikan wanita Batak itu sebagai seseorang yang terhormat (seorang boru) di dalam satu keluarga orang Batak. Konsep-konsep
sihabatahon
(Orang
Batak)
yang
diciptakan
pendahulu kita salah satunya “boru ni raja”. Konsep ini mengingatkan orang Batak betapa terhormatnya seorang boru di dalam satu keluarga orang Batak sejak zaman dahulu. Sesungguhnya konsep-konsep tersebut, menyadarkan bahwa orang Batak tidak boleh menganggap rendah derajat seorang perempuan. Segudang persoalan terjadi pada diri orang Batak dewasa ini, karena mereka bukan lagi orang Batak yang memahami konsepkonsep tersebut.
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
22
Bagi suku lain konsep ―wanita,‖ yang asal katanya, “wani” dan “toto” artinya berani menata. Menata rumah tangganya supaya keluarga teratur dan suami betah dan senang berdiam di rumah, akibatnya ke manapun dia pergi, selalu ingin segera pulang ke rumah untuk menikmati keteraturan penataan yang dibuat istri. Mungkin mereka memerlukan penampakan yang lebih teratur. Bagi orang Batak, konsep “parompuan.‖ Lebih kepada konsep harajaon, karena seorang raja harus mempunyai masyarakat yang banyak, karena rakyat yang banyak akan banyak yang mempertahankan wilayah. Maka seorang raja perlu melakukan penggalangan, karena bagi orang Batak mengatakan “galang mula ni harajaon”. Seorang gadis Batak harus menjadi paroppuan bagi suaminya seorang laki-laki tidak pernah menjadi oppung atau berketurunan tanpa seorang perempuan. Oleh karena merupakan pilihan, maka harkat seorang perempuan sebagai paroppuan bagi marga lain telah sirna. Maka konsep sebagai boru ni raja menjadi tanda tanya. Sebab konsep “boru ni raja” baru sah kalau seorang perempuan menjadi permaisuri. Di sanalah perempuan menunjukkan kepatutan sebagai boru ni raja, bukan di ―rumah orang tua atau itonya‖ Konsep ―boru raja” dikenal dalam setiap keluarga Batak. Kata itu sering dipakai dan selalu terdengar di telinga orang Batak. Kembali lagi ke cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna tersebut, citra wanita Batak yang (seharusnya) sebagai wanita yang terhormat diimajineri-kan tercipta sebagai wanita yang sengsara di bawah dominasi keluarga suaminya. Tiurmaida sebagai subjek terbuang dari keluarganya dan juga ditolak di keluarga suaminya. Nama Tiurmaida dijadikan penanda sekaligus petanda yang memberikan makna asali identitas diri dan citra wanita Batak tersebut.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
23
Kondisi bawah sadar tersebut sebenarnya ingin memunculkan konsepsi bahwa wanita Batak itu memiliki harkat dan martabat yang tinggi, akan tetapi diwujudkan melalui penolakan-penolakan keluarga seperti yang dialami Tiurmaida. Seharusnya Tiurmaida tidak menerima penderitaanpenderitaan dalam hidupnya jika dia memilih mengikuti aturan adat Batak sebagaimana mestinya, yakni menikah dengan anak namboru-nya dan menolak menikah dengan Marsius. b. Simbol (symbol) Lacan (Faruk, 2012:195) menyampaikan keyakinannya bahwa sekali si subjek memasuki tatanan simbolik (bahasa), kebutuhan organiknya masuk ke jaringan signifikasi yang sempit dan mencemarkan dan ditransformasi dengan suatu cara yang membuatnya tidak mungkin terpuaskan. Dorongan kehendak hanya menawarkan suatu ekspresi parsial dan tak langsung dari kebutuhan-kebutuhan itu, tetapi bahasa menghancurkan hubungan itu sekaligus. Tiurmaida yang disimbolkan sebagai wanita Batak dalam cerpen ini melakukan pemisahan-pemisahan kultural terhadap budaya Batak itu sendiri. Melalui alam bawah sadarnya, dia membentuk satu tatanan simbolik yang diibaratkan sebagai bahasa gadis Batak urban yang tidak mau lagi dikekang oleh adat dan lebih memilih cintanya pada Marsius. Cinta dan kebebasan yang dipilih Tiurmaida dalam ketaksadarannya itu merupakan refleksi penanda dalam sebuah bahasa. Orang Batak urban sering menganggap filosofi-filosofi kuno Batak adalah produk kolot generasi lama dan meremehkannnya. ―Raja‖ dalam filosofi Batak, berarti ―yang dihormati‖. Keluarga Batak dari pihak perempuan yang disebut hula-hula sering disimbolkan sebagai ―Raja‖. Simbol raja bermakna ―penghormatan‖. Istri seorang lelaki Batak sering dikatakan sebagai ―boru ni raja‖ atau ―putri si raja‖.
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
24
Posisi ―Tulang‖ (saudara lelaki ibu), adalah raja bagi semua kemenakannya. Praktis, sebutan ―boru raja‖ adalah sebuah konsep ―kehormatan‖ dan ―penghormatan‖ untuk perempuan Batak yang dimulai sejak ia lahir. ―Kehormatan‖ dan ―penghormatan‖ ini meliputi banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity, pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dsb. Konsep ―Raja‖ memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan keseharian keluarga Batak. Pertengkaran-pertengkaran di kalangan keluarga Batak sering disudahi dengan kalimat ―Raja do hita‖ atau terjemahannya adalah ―kita adalah raja‖. Artinya, kita tidak akan merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena seorang Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran, perkelahian dsb. Walaupun dalam praktiknya hal itu lah yang paling susah dilakukan oleh orang Batak. Mungkin konsep itu dibuat leluhur Batak dahulu untuk mengatasi karakter ―keras‖ orang Batak. Apapun itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna konsep itu luar biasa,. Inti dari konsep ―boru raja‖ dalam filosofi Batak mengajarkan setiap perempuan untuk menghargai dirinya sebagai seseorang yang memiliki identitas sebagai wanita Batak. c.
Nyata (Real) Pada fase ini, bahasa kembali sebagai kondisi yang ―kosong‖ karena
merupakan proses ketidakhadiran dan perbedaan, makna terus berpindahpindah dari yang satu ke yang lainnya, secara ad infinitum, dari metafora cermin ke metonimi bahasa. Nyata menurut pemahaman Lacan (Ratna, 2004:277), tidak ada hubungannya dengan realitas , melainkan dengan kemustahilan-kemustahilan, yang secara terus-menerus kembali. Yang nyata menurut Lacan adalah apa yang tidak dapat dilambangkan dalam suatu
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
25
kesempatan khusus, yang nyata adalah yang menghilangkan realitas. Menurut Lacan, mobilitas penanda adalah ―nafsu‘, saat terjadi perjuangan untuk mencapai kepuasan sebagai akibat kekurangan dan ketidakhadiran, sekaligus penyisihan terhadap kata-kata lain. Cinta Tiurmaida, kegilaan Marsius, penolakan keluarga kedua belah pihak, dsb hanya merupakan wujud kebudayaan Batak yang dibahasakan. Tiurmaida
sebagai
perwakilan
wanita
Batak
melakukan
tindakan
pelanggaran-pelanggaran terhadap adat. Pelanggaran tersebut sesungguhnya hanya sebagai penguat identitas, subjektivitas, dan citra diri wanita Batak. Dengan tindakan pelanggaran tersebut maka hubungan kasih yang terjadi antara Marsius dan Tiurmaida dapat terjalin dalam ikatan pernikahan. Meskipun dalam perspektif Lacanian, hubungan itu menimbulkan rasa bersalah pada diri Tiurmaida dan Marsius. Disebabkan rasa bersalah dan penyesalan atas kematian anaknya Maramuda, menyebabkan Marsius menjadi gila dan dipasung istrinya. Tindakan Tiurmaida yang memasung Marsius suaminya itu merupakan bahasa dari sebuah kebudayaan yang menggambarkan citra diri dan identitas wanita Batak. Wanita Batak adalah orang yang dihormati sama dengan keberadaan lelaki. Penderitaan, cinta, ketidakmampuannya, dan realitas-realitas lain yang dihadapi Tiurmaida dalam cerpen Hasan Al Banna tersebut hanya merupakan metonimik. Kesimpulan Melalui analisis citra diri dan identitas wanita Batak dalam cerpen ―Tiurmaida‖ karya Hasan Al Banna melalui perspektif Lacan ini berhasil membangun konsepsi budaya dan konsepsi semantis terhadap konsep ―wanita Batak‖. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tidaklah berbeda jauh pemaknaan ―wanita‖ dari makna asalinya dengan ―wanita‖ dari persepsi budaya Batak. Cinta, nafsu, hasrat, kegilaan, dan penderitaan yang
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
26
telah dijelaskan tersebut hanya merupakan bagian kebudayaan dan satuansatuan semantik yang membangun konsep bahasa yang direalisasikan terhadap cerpen tersebut secara metonimik. Daftar Pustaka Allen, Pamela. (2004). Membaca, dan Membaca Lagi: /Re/interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Dialihbahasakan Bakdi Soemanto. Magelang: IndonesiaTera Cassirer, Ernst. (1990). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia Endraswara, Suwardi. (2008). Metode Penelitian Psikologi Sastra: Teori, Langkah dan Penerapannya. Yogyakarta: Media Pressindo Freud, Sigmeund. (1984). Memperkenalkan Psikoanalisa. Terjemahan K. Bertens. Jakarta: Gramedia Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -------. (2007). Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -------. (2000). Women Womeni Lupus. Magelang: IndonesiaTera Iskandar, Willem. (2002). Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Terj. Basyral Hamidy Harahap. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar Milner, Max. (1992). Freud dan Interpretasi Sastra. Terj. Apsanti, Sri Widaningsih, dan Laksmi. Jakarta: Intermasa Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Pustaka Obor Nurelide. (2004). ―Citra Manusia dalam Ungkapan Tradisional Etnik Pakpak.‖ Dalam Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan: Medan Makna. Nomor 1 Vol 1 Tahun 2004. Balai Bahasa Medan. Purba, Antilan. (2002). Kompleksitas Sastra Indonesia. Medan: USU Press Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Selden, Raman.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
27
Sihombing, T.M. (2000). Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat. Jakarta: Balai Pustaka Sikana, Mana. (2007). Teras Sastera Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia
Muharrina Harahap, Wanita Batak dalam Cerpen ―Tiurmaida‖ Karya Hasan Al Banna: Perspektif Lacanian
MENGREVITALISASIKAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM PERMAINAN TRADISIONAL MINANGKABAU UNTUK KEPRIBADIAN YANG BERKARAKTER Satya Gayatri Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas Abstract Recently Indonesia is familiar with chaos and violence. It is ironic to happen in a country where its population is religious and known to be friendly and appreciate religions, but at this time it is very brutal. More surprising and concerning is that the violence is acted towards children. Childhood should be a world familiar with playtime, not violence. Traditional games can give positive values to shape characterized personality especially towards children. However, traditional games nowadays almost disappeared from the community because of globalisation. Many children do not know traditional games, they are even more familiar with games that are electronic based such as playstation, game, and remote. In electronic games and media children are also exposed to the world of violence and makes children busy with their own self and their indulgence because children are not invited to know their surroundings and have minimum socialisation. This condition makes them more egoistical and makes children materialistic and not perceptive with their surroundings. It is different with traditional games that can cultivate physically, encourage to socialise with different characters, and shape a creative life. They can make properties out of games and tools that are simple. Children are encouraged to be sensitive with their surroundings be it social or nature. Minangkabau traditional games also has positive values to shape a child‟s character. Considering those values within traditional games, thus we need to revitalise it to shape the characters of children and the young generation. Keywords: traditional games, values, character, young generation Abstrak Akhir-akhir ini, Indonesia akrab dengan kekacauan dan kekerasan. Suatu yang sangat ironis terjadi di negeri yang penduduknya agamais serta terkenal dengan ramah dan menghargai keberagaman, tetapi saat ini sangat brutal. Lebih mengejutkan dan memperhatinkan lagi kekerasan itu dilakukan anak-anak. Masa anak-anak seharusnya dunia akrab dengan bermain, bukan dengan kekerasan. Dari permainan tradisional dapat memberikan nilai-nilai yang positif untuk membentuk kepribadian yang berkarakter terutama terhadap anak-anak. Namun, permainan tradisional sekarang ini sudah hampir hilang dari masyarakat karena arus globalisasi. Anak-anak banyak yang tidak mengenal permainan tradisional, malahan mereka lebih akrab dengan permainan yang bersifat
28
29 elektonik seperti playsation, game, dan mobil remote. Dalam permainan dan tayangan media elektronik anak-anak juga disuguhi dengan dunia kekerasan dan membuat anak-anak sibuk dengan diri dan kegemarannya sendiri karena anak-anak tidak diajak mengenal lingkungan dan minim sosialisasi. Kondisi ini membuat mereka lebih egois dan menjadikan anak-anak materialistis dan tidak tanggap dengan lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan permainan tradisional yang dapat mengolah fisik, mengajak bersosialisasi dengan berbagai karakter, serta membentuk jiwa yang kreatif. Mereka dapat menjadikan properti dalam permainan dari peralatan yang bersifat sederhana. Anak-anak diajak untuk peka dengan lingkungan baik sosial maupun alam. Permainan tradisional Minangkabau juga mengandung nilai-nilai positif untuk pembentukan karakter seorang anak. Mengingat nilai-nilai dalam permainan tradisional itu maka perlu dilakukan revitalisasi guna pembentukan karakter terhadap anak-anak dan generasi muda. Kata kunci: permainan tradisional, nilai-nilai, karakter, generasi muda
Pendahuluan Permainan tradisional telah mulai hilang di masyarakat Minangkabau padahal banyak nilai filosofis dan kearifan lokal ada di dalamnya. Permainan juga merupakan ketahanan budaya dan kegiatan rekreatif yang tidak hanya bertujuan untuk menghibur diri, tetapi juga sebagai alat untuk memelihara hubungan dan kenyamanan sosial. Hilangnya permainan di Minangkabau karena kemajuan teknologi dan informasi yang merambah sampai ke pelosok pedesaan. Saat ini, anak-anak banyak yang tidak lagi mengenal permainan yang berakar dari budayanya sendiri yang dikenal dengan permainan tradisional. Mereka lebih akrab dengan permainan elektronik, seperti playsation, game, mobil remote, boneka Barbie, komik, dan tayangan televisi sampai 24 jam. Budaya media memang budaya yang dominan saat ini yang telah menggantikan bentuk budaya tinggi (high culture) sebagai pusat perhatian dan pemberi dampak budaya pada orang banyak (Kellner, 2010: 21). Kurikulum muatan lokal di Sumatra Barat yang didominasi oleh etnis Minangkabau juga tidak memuat permainan tradisional sehingga mereka tidak dikenalkan dengan permainan tradisional. Padahal tokoh-tokoh
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
30
intelektual terdahulu yang cemerlang di tingkat nasional datang dari latar belakang budaya Minangkabau. Hal itu terbentuk salah satunya karena sistem sosial yang telah membesarkan mereka, termasuk permainan tradisional Minangkabau yang mereka mainkan waktu kecil. Kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung dari permainan tradisional sudah dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat. Permainan tradisional dari Bali yang didokumentasikan oleh Made Taro telah mengumpulkan sebanyak 200 jenis permainan tradisional asal Pulau dewata tersebut. Dari daerah Yogyakarta telah terkumpul lebih dari 256 jenis permainan yang semuanya syarat dengan nilai dan makna filosofi. Muhamad Zaini Alif seorang peneliti dari Bandung telah mengumpulkan puluhan permainan tradisional dari Sunda (Prakarsa Rakyat, tanggal 15 September 2008). Sementara itu, seorang pengusaha bernama Shirley Megawati telah membuka tempat bermain untuk memainkan permainan anak tradisional Sunda (Kompas, Sabtu 10 September 2005). Namun, di Sumatra Barat permainan tradisional belum terdokumentasikan secara baik, walaupun telah ada langkah untuk mengadakan festival permainan tradisional, namun hal itu belum dilakukan secara maksimal dan berkesinambungan. Di Kalimantan Barat telah dilakukan pelestarian permainan tradisional yang dikemas dalam bentuk CD yang dilakukan oleh Tim Mahasiswa ITS. Dalam satu permainan tradisional benteng-bentengan yang dilakukan di Pontianak itu terdapat 12 jenis soft skills yang dapat diambil manfaatnya, diantaranya saling tolong-menolong, kerja sama, penyusunan strategi, keahlian manajerial atau kepemimpinan, kejujuran (sportivitas), dan sosialisasi
dengan
teman
(Ya‘kub,http://www.kompas.com/data/photo/
2008/08/05/090036p.jpg.) Sri Murni, antropolog dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa permainan tradisional di Indonesia dibiarkan hilang begitu saja dan perhatian
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
31
serta cara pandang bangsa Indonesia berbeda dengan pemerintahan Jepang dalam menanggani permainan ini. Sri Murni dan Kak Seto yang diundang ke Jepang hanya untuk memperagakan kembali permainan tradisional kepada anak-anak sekolah dasar di sana. Sementara itu, bangsa kita sendiri membiarkan permainan itu hilang begitu saja dan mengambil permainan impor yang belum tentu baik bagi perkembangan anak-anak dan generasi muda kita. Hal ini terlihat dalam kurikulum yang diberikan di sekolah yang tidak memuat materi permainan tradisional yang ada di budaya sendiri. Sangat ironis sekali jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, mengingat bermain adalah dunia anak yang bukan hanya sekedar memberikan kesenangan, akan tetapi juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi anak. Lewat kegiatan bermain yang positif, anak bisa menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi penginderaannya, menjelajahi dunia di sekitarnya, dan mengenali lingkungan tempat ia tinggal termasuk mengenali dirinya sendiri (Puspita, http://paud-usia-dini.blogspot.com/). Lewat permainan tradisional dapat menanamkan nilai-nilai dan berkarakter kepada anak-anak yang saat ini sedang digalakkan saat ini. Padahal budaya tradisional telah lama menemukan nilai itu namun tidak disadari oleh semua pihak dan cendrung membiarkan permainan modern pada anak-anak. Belakangan ini banyak muncul kekerasan dan perlakuan negatif yang dilakukan oleh anak-anak yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang berlandaskan
kekeluargaan
dan
agamais.
Sifat
dan
perlakuan
itu
memperlihatkan karakter yang tidak baik. Oleh sebab itu, pendidikan berkarakter hendaknya dapat ditanamkan sejak anak-anak bisa lewat permainan. Permainan dalam budaya Minangkabau beragam bentuknya yang dapat memberikan karakter positif bagi perkembangan seseorang. Karakter dapat diartikan cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk dapat berkerjasama, baik dalam lingkungan
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
32
keluarga, masyarakat, bangsa maupun bernegara. Karakter umumnya mempunyai arti yang bersifat positif (Haryadi, 2011 ; Almerico, 2004). Dalam permainan tradisional terdapat nilai-nilai pendidikan, mendidik sambil bermain hormat kepada yang besar dan sayang kepada yang kecil, dan memberikan instruksi dalam permainan bersifat kebersamaan. Nilai-nilai ini masih sangat relevan diberikan pada masa sekarang untuk membentuk sebuah kepribadian yang berkarakter. Masih banyak permainan tradisional Minangkabau yang berada di masyarakat yang belum terjamah dan belum terdokumentasikan secara baik. Sementara itu, di daerah dan di negara lain permainan tradisional tersebut sudah tertata dengan baik. Dalam makalah ini akan melihat nilai-nilai yang terdapat dalam permainan tradisional Minangkabau dan nilai apa yang bisa dikembangkan untuk membentuk karakter bagi seorang anak. Kajian penelusuran kepustakaan tentang permainan tradisional dari berbagai daerah telah banyak dilakukan. Inventarisasi dan dokumentasi permainan dari Jawa dan daerah lain kondisinya agak lebih baik daripada Minangkabau. Berikut ditampilkan beberapa penelitian dan tulisan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pada tahun 1897 ada “Kitab Een Blik in Javansche Volksleven” karangan L. Th. Mayer memuat berbagai macam permainan anak-anak. Kemudian, pada tahun 1907 Ki Padmasusastra dalam bukunya yang berjudul ―Serat Tata Cara‖ menguraikan berbagai jenis permainan anak. Djohar (1950) telah mengumpulkan permainan anak-anak sebanyak 162 macam. Permainan itu dikelompokkan menjadi permainan bersama, permainan perlombaan (estafet), dan permainan latihan panca indra. Permainan bersama dan permainan perlombaan dibedakan lagi masingmasing menjadi permainan yang banyak memakan tempat dan kekuatan serta yang tidak memakan banyak tempat dan kekuatan. Permainan latihan panca
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
33
indra dikelompokkan menjadi latihan 1) kecepatan pikiran, 2) perasaan lidah, 3) penciuman, 4) perasaan kulit, 5) pendengaran, 6) ketajaman mata, 7) menyelidik dan mengambil keputusan, serta kepercayaan pada diri sendiri. Permainan tradisional dari Provinsi Bali juga telah diinventaris dan didokumentasikan oleh Made Taro, sebanyak 200 jenis permainan. Selanjutnya, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki permainan lebih dari 256 jenis yang semuanya syarat dengan nilai dan makna filosofi. Muhamad Zaini Alif seorang peneliti dari Bandung juga telah mengumpulkan puluhan permainan tradisional dari Sunda (Prakarsa Rakyat, tanggal 15 September 2008). Permainan tradisional bukan hanya dapat dinikmati dan membawa rasa senang pada anak-anak, tetapi juga dapat menginspirasi kelompok orang dewasa sehingga lahir kreativitas lainnya. Pertama, untuk kepentingan ekonomi permainan rakyat juga bisa mendatangkan pendapatan. Shirley Megawati, pengusaha yang telah membuka tempat bermain dengan permainan anak-anak yang berasal dari permainan tradisional Sunda (Kompas, Sabtu 10 September 2005). Kedua, dari dunia anak dapat juga menciptakan desain pakaian dari permainan dan nyanyian anak-anak dolanan. Dolanan anak atau permainan anak diakui sebagai metode yang efektif untuk mengembangkan potensi dan kreativitas anak, karena secara simultan bisa mengembangkan olah raga dan jiwa anak sekaligus (Sabatari, 2007). Ketiga, permainan rakyat dijadikan media untuk kepentingan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana „desaster hazard‟. seperti di Jawa disampaikan keterampilan dan pengetahuan tentang bencana kepada anakanak melalui permainan. Balai Kajian Jarahnitra di Yogyakarta berhasil menyusun daftar permainan anak-anak tradisional dan kemudian disempurnakan oleh Putra (2008). Dari permainan anak yang dikumpulkan umumnya mengunakan
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
34
bahasa daerah sehingga ciri budayanya lokalnya menjadi begitu jelas (Ahimsa-Putra, 2008). Tulisan yang ditulis oleh Widodo (2010) melihat nilai-nilai luhur dalam lelagon dolanan yang memiliki manfaat besar untuk membentuk generasi berkarakter, berjati diri, relegius, bermoral, bergotong royong, cinta lingkungan, cinta pada budaya, dan cinta pada bangsa (Widodo,
http://www.j-harmonia.com/2010/02/nilai-nilai-luhur-dalam-
lelogon-dlanan.html.). Mustifah (2008) menulis buku dengan judul Cerdas Melalui Bermain yang menginformasikan bahwa bentuk-bentuk permainan dapat mengasah multiple intelegensi pada anak usia dini. Multiple intelegensi dapat diasah dari permainan adalah permainan stimulasi untuk kecerdasan bahasa, kecerdasan logika matematik, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensialis. Bentuk permainan itu dibedakan lagi untuk anak yang berusia antara 4-5 tahun dengan anak yang berusia 5-6 tahun. Bermain adalah dunia anak dan bukan hanya sekedar memberikan kesenangan tetapi juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi anak. Lewat kegiatan bermain yang positif, anak bisa menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi penginderaannya, menjelajahi dunia sekitarnya, dan mengenali lingkungan tempat ia tinggal termasuk mengenali dirinya sendiri. Kemampuan fisik anak semakin terlatih, begitu pula dengan kemampuan kognitif dan kemampuannya untuk bersosialisasi. Dalam bahasa sederhana, bermain membuatnya mengasah kecerdasannya karena setiap anak pada dasarnya memiliki cerdas yang berbeda (Puspita, 2008). Permainan
tradisional
sangat
besar
pengaruhnya
terhadap
perkembangan jiwa, fisik, dan mental anak. Pengaruh dan manfaat permainan tradisional terhadap perkembangan jiwa anak adalah (1) anak
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
35
menjadi lebih kreatif, (2) bisa digunakan sebagai terapi terhadap anak, serta (3) mengembangkan kecerdasan majemuk anak, yaitu kecerdasan intelektual anak, kecerdasan emosi dan antarpersonal anak, kecerdasan logika anak, kecerdasan kinestetik anak, kecerdasan natural anak, kecerdasan spasial anak,
kecerdasan
(AsianBrain.com
musikal Content
anak, Team
dan
kecerdasan
spiritual
anak.
http://www.anneahira.com/permainan/
permainan- tradisional.htm.) Pembahasan 1.
Nilai-nilai dalam Permainan Tradisional Minangkabau Memberikan pendidikan sebaiknya dilakukan sedini mungkin,
bahkan disarankan waktu anak dalam kandungan. Bentuk pemberian pendidikan ini yang berbeda-beda tergantung usia dari anak tersebut. Mengingat pentingnya pendidikan itu maka dilakukan berbagai cara, bahkan melalui permainan pendidikan juga dapat diberikan. Dahulu anak-anak banyak melakukan permainan tradisional. Namun, sekarang permainan tradisional itu kurang terlihat lagi baik itu di kampungkampung maupun di perkotaan. Anak-anak telah disibukkan dengan permainan modern seperti game on line, game di komputer atau hand phone atau mungkin menonton tayangan di TV. Bermain seperti itu bisa dilakukan sesama teman tetapi bisa juga dilaksanakan sendirian di rumahnya. Bermain secara modern ini anak-anak bisa memilih permainan sesuai dengan kehendaknya dan mereka merasa tidak butuh dengan orang lain dan minim sosialisasi. Mereka hanya berinteraksi dengan benda mati. Permainan demikian mengakibatkan anak-anak tidak bisa mengenal karakter orang lain. Berbeda halnya dengan permainan tradisional dimana mereka sesama pemain saling berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai karakter yang telah dibangun melalui bermacam-macam latar belakang. Mereka yang mampu bertahan dalam permainan merupakan anak-anak yang mempunyai
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
36
kelebihan dari teman-temannya, baik secara fisik maupun mental. Permainan itu bisa dilakukan di lapangan luas dan di bawah terik matahari dan jelas permainan seperti ini menghendaki fisik yang kuat. Permainan yang dilakukan bukan hanya yang seumur tetapi juga dilakukan dengan umur yang beda sehingga menghendaki cara tersendiri supaya bisa berkomunikasi dengan orang yang berbeda umurnya dalam permainan. Salah satu bentuk permainan yang dominan ditemukan pada wilayah Minangkabau adalah permainan stopet. Permainan ini umumnya dilakukan oleh anak perempuan. Permainan stopet ada dua bentuk yaitu permainan stopet baju dan permainan stopet rumah gadang. Penemaan nama permainan ini diambil dari bentuk arena yang digunakan yaitu seperti rok dan seperti rumah gadang (Gayatri, 2011). Peralatan permainan ini berupa pecahan piring atau keramik. Besarnya lebih kurang tiga jari. Pecahan itulah yang disebut dengan stopet. Gambar arena permainan stopet adalah seperti gambar di bawah ini. 1. Gambar Arena Permainan Stopet Baju Pemain harus menempuh sesuai dengan urutan angka pada gambar di bawah ini.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
37
55 66
88
4 4
22 11
33 77 2. Gambar Arena Permainan Stopet Rumah Gadang
5
4
6
3
7
2
Awal 8
1 Akhir
Dalam permainan ini terdapat nilai-nilai sebagai berikut: a.
Nilai keseimbangan fisik. Dalam permainan tradisional fisik seorang anak dilatih. Mereka
diajak untuk menggerakkan anggota badannya. Sambil bermain mereka berolah raga. Dalam permainan stopet ini permainan berjalan dengan kaki sebelah sambil melompat. Lompatan diusahkan supaya tidak menginjak garis pada arena permainan. Jika kaki menjinjak garis maka permainan yang dilakukan dihentikan karena telah terjadi kesalahan. Cara ini jelas menghendaki keseimbangan.
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
38
Pemain yang sudah melewati satu kali arena permainan maka dia akan melempar stopetnya ke arena lapangan. Jika lemparan pas di arena maka dia akan mendapatkan bintang dan membuat tanda bintang di tempat stopet jatuh itu. Dengan demikian, arena itu tidak boleh ditempuh oleh lawan mainnya karena sudah dikuasai oleh yang mendapatkan bintang tersebut. Jika lawan main tidak bisa melompati otomatis pergantian permainan dilakukan. Sebaliknya pemain yang mendapatkan bintang itu bisa melewati wilayah itu dengan kedua kakinya walaupun di areal yang lain dengan sebelah kaki. Anak yang belum mampu mengontrol keseimbangannya tentu tidak bisa melakukan permainan ini. Permainan yang dilakukan dengan kondisi kaki seperti ini menghendaki kelihaian dan kelenturan tubuh. Melakukan kegiatan ini berarti pemain melaksanakan kegiatan oleh raga serta menjaga keseimbangan tubuhnya. Di samping keseimbangan fisik, dalam permainan ini juga menuntut keseimbangan mental. Secara spontan dan alami mereka akan mengurangi sifat pencemas, mengendalikan diri, dan melatih konsentrasi. Latihan konsentrasi ini sangat terlihat jika melakukan lempar stopet ke arena permainan. Jika lemparan tidak tepat mungkin karena tidak konsentrasi maka sasaran lemparan stopet akan salah makanya permainan ini juga melatih konsentrasi. b. Nilai sosial. Dalam permainan tradisional banyak sekali mengajarkan nilai-nilai sosial kepada anak-anak. Ada nilai toleransi, saling menyayangi, kekompakkan, kerjasama, kejujuran, kesabaran, kerukunan, patuh pada aturan dan peran masing-masing, melatih bertanggungjawab, bijaksana untuk membedakan mana yang baik dan buruk, melatih jiwa kepemimpinan, demokrasi, bermusyawarah, tidak egois, tidak mudah putus asa, berkorban untuk kepentingan orang lain, kewaspadaan, berani mengambil resiko, disiplin, murah hati, menghargai kawan dan lawan, menghargai hak dan
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
39
kewajiban orang lain, mengetahui tugas dan kewajiban, keuletan, semangat serta memupuk daya juang, dan melatih kepekaan. Beberapa bentuk nilai sosial ini dijelaskan beberapa pada permainan tradisional Minangkabau. Suatu permainan mempunyai aturan yang harus dipatuhi oleh si pengikut. Aturan-aturan itu sesuatu yang harus disosialisasikan sebelum permainan itu dilakukan. Dengan demikian ada negosiasi, komunikasi, kompetisi yang dilakukan sebelum bermain. Jika salah satu dari pemain tidak mengikuti maka mereka akan mengeluarkan atau keluar dengan sendirinya. Negosiasi itu dilakukan menjelang bermain dimana mereka sut terlebih dahulu. Siapa yang menang itulah yang paling awal memulai permainan sampai dia melakukan kesalahan. Dalam permainan juga ada kompetisi. Kompetisi ini dilakukan secara terang-terangan. Arena yang telah dimenangkan dalam permainan stopet misalnya akan diusahakan didapati oleh pemain yang lain. Semakin luas arena yang ditandai dengan bintang oleh salah seorang maka kompetisi itu dimenangkan oleh pemain yang mempunyai banyak bintang di arena permainan itu. Di bagian lain, permainan stopet juga mengajarkan sifat toleransi. Pemain yang tidak bisa melewati daerah yang sudah diberi tanda bintang sementara itu harus dilewati maka dalam kondisi ini ada negosiasi. Pemain lain akan meminta tempat supaya bisa melewati arena dengan memberikan tolerasi supaya bisa menginjak arena yang telah dimenanginya kira-kira luasnya sebesar telapak kaki. Biasanya setelah diberikan tempat pijakan tersebut maka jarak lompatan yang jauh menjadi dekat. Hal ini mengajarkan harus adanya toleransi dengan bersedia memberi tempat yang dia kuasai kepada lawan bermainnya. Permainan tradisional juga melatih kesabaran. Jika permainan sedang berlangsung maka pemain yang lain hanya memperhatikan permainan yang
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
40
dilakukan oleh lawannya. Penantian untuk menunggu giliran merupakan cara melatih kesabaran pada diri pemain. Mereka berusaha menata hasrat dan keingginannya untuk tidak mendahului permainan sebelum sampai gilirannya yaitu sampai teman yang bermain melakukan kesalahan. Kontol emosi ditutut dan ditanamkan waktu itu. c.
Menanamkan nilai keterampilan dalam bekerja. Dalam permainan ini tersembunyi nilai-nilai untuk dapat terampil
dalam bekerja. Mereka bermain memerlukan arena dan peralatan. Dalam permainan ini mereka menciptakan sendiri arena permainan. Berapa besar, panjang, serta luasnya arena permainan mereka dirancang secara bersama yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Peralatan yang dibuat untuk permainan ini juga dicari sendiri. Oleh sebab itu, banyak permainan tradisional bernilai baik karena peralatannya terbuat dari bahan yang dirancang sendiri atau dengan peralatan sederhana, bahkan barang-barang yang tidak berguna bisa dijadikan peralatan dalam permainan tradisional, misalnya dalam permainan sepak tekok, permainan pacu upiah, permainan patok lele, lomba lari dengan tempurung. Deretan permainan ini merupakan permainan yang menggunakan peralatan yang sederhana bahkan terbuang. Di dalam permainan engkrang anak-anak dilatih mempergunakan peralatan pertukangan kayu untuk bisa bermain. Mereka diajak untuk menciptakan
engkrang
dengan
mencari
kayu
atau
bambu
dan
menyambungkannya sehingga kuat untuk menumpang badan mereka. Biasanya mereka membuatnya secara bersama dan meminjam peralatan pertukangan. Proses pembuatan peralatan mereka lakukan terlebih dahulu sebelum mereka bisa bermain. Berbeda dengan permainan modern yang bersifat instan dan cendrung menyuburkan jiwa yang konsumtif pada anakanak karena anak-anak tidak mengetahui bagaimana susahnya mendapatkan permainan (Misbach, 2006).
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
41
Di dalam permainan tradisional, keterampilan untuk mengenal alam juga didapatkan. Mereka terampil mempergunakan atau memperhatikan keadaan alam. Dimana atau dalam keadaan cuaca yang bagaimana suatu jenis permainan bisa dilaksanakan. Bermain juga meletakkan pondasi untuk keterampilan bersosialisasi, keterampilan mengenal lingkungan, dan keterampilan dalam bekerja. Dalam permainan layang-layang misalnya mereka harus memperhatikan keadaan cuaca dan lokasi dimana layanglayangnya bisa terbang. Jika cuaca mendung dan arena yang dipenuhi oleh pohon yang tinggi jelas permainan layang-layang tidak bisa dilaksanakan. Namun, jika cuaca cerah dan angin berhembus serta lapangan yang luas maka suasana seperti ini cocok untuk melaksanakan permainan layanglayang. d. Memperkenalkan nilai-nilai budaya Dalam permainan juga dapat memperkenalkan nilai budaya kepada anak-anak sejak dari kecil dan justru waktu kecil itu nilai-nilai lebih cepat diserap dan mampu bertahan lama dalam inggatan. Nilai-nilai budaya baik yang bersifat fisik ataupun non fisik dapat saja dilakukan melalui permainan. Dalam permainan stopet yang arenanya seperti rumah gadang merupakan salah satu bentuk memperkenalkan nilai budaya yang bersifat fisik. Permainan pak pak olong yang terdapat di kabupaten Padang Pariaman dapat juga mengenalkan nilai-nilai untuk saling menghormati dengan minta izin kepada yang lebih tua jika melakukan aktifitas. Permainan pak olong dilakukan dengan menyanyikan secara bersama lirik tradisional seperti di bawah ini. Pak Pak Olong dimaa manggosok Di bawah kandang ayam (Pak Pak Olong dimana menggosok Di bawah kandang ayam) Setelah mereka selesai bernyanyi disampaikan dialog di bawah ini
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
42
A. B. A. B. A. B. A. B. A. B. A. B. A. B. A. B. A. B.
Aa kapik? A. (Apa yang dipegang?) Ayam B. (Ayam) Aa jujuang ? A. (Apa yang dijujung?) Talua ayam B. (Telur ayam) Agiah (minta talua ciek) A. (Minta telur satu) Ambiak lah B. (Ambillah) Mintak ciak lai A. (Minta satu lagi) Indak bagih anduang biko B. (Tidak marah nenek nanti) Biko bangih anduang biko A. (Nanti marah nenek nanti) Maa (dimaa) Anduang? B. (Dimana nenek?) Manga ka rimbo? A. (Mengapa ke rimba) Mancari kayu B. (Mencari kayu) Kana kayu? A. (Untuk apa kayu?) Mambuek kandang ayam B. (Membuat kandang ayam) Kana kandang ayam? A. (Untuk apa kandang ayam?) Ayam gadih kabatalua B. (Ayam gadis akan bertelur) Baa bunyi ayam kukuak eah? A.(Bagaimana bunyi ayam kukok nya?) Kukuruyuuak.... B. (Kukuruyuuuuuk...)
Semua pemain ikut menirukan bunyi ayam berkekok. Permainan di bawah ini, anak-anak diajak untuk menanamkan nilainilai toleransi dan saling memberi sesama yang tersirat dari nyanyian dalam permainan ini. Nyanyiannya itu adalah; 1. Kami ini orang kaya ya Oman ya Oman 2. Kami ini orang miskin ya Oman ya Oman 3. Baju kami compang-camping ya Oman ya Oman 4. Baju kami baru-baru ya Oman ya Oman 5. Makan kami ubi singkong ya Oman ya Oman 6. Makan kami ayam goreng ya Oman ya Oman 7. Kami minta anak satu ya Oman Ya Oman 8. Siapa namanya ya Oman ya Oman 9. Novita namanya ya Oman ya Oman (disebutkan nama salah satu nama dari kelompok anak) 10. Kami antar anak satu ya Oman ya Oman Permainan
ini
sudah
mempergunakan
bahasa
Indonesia
dalam
menyampaikan liriknya. Permainan ini banyak ditemui di daerah-daerah sampai sekarang. e.
Memperkenalkan bilangan kepada anak
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
43
Mengajarkan bilangan kepada anak-anak dapat juga dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui permainan berikut. Dalam permainan tali misalnya anak-anak telah diajarkan berhitung bilangan dengan jumlah yang kecil. Membilang itu dilakukan untuk menghitung berapa kali seorang pemain bisa melompat bersamaan dengan tali yang diputar. Permainan tradisional yang lain yang juga mengenalkan bilangan adalah permainan kucing-kucing. Permainan ini mengunakan bola tenis atau bola pimpong serta kerang kecil yang sudah dikeringkan yang digunakan sebagai anaknya. Kerang itulah yang dinamakan kucing. Kucing-kucing itu diambil dari lantai, dalam jumlah yang genap dari dua sampai delapan. Melalui permainan ini anak-anak otomatis sudah mengenal berapa banyaknya yang disebut dengan dua, tiga, atau empat. 2.
Mengrevitalisasikan Nilai Permainan Tradisional untuk Kepribadian Berkarakter Karakter merupakan perpaduan antara moral, etika, dan akhlak.
Moral lebih menitikberatkan pada kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku manusia. Karakter merupakan sifat yang bisa ditanamkan sejak dari kecil terlebih lagi melalui pendidikan. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penamaan nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan
melalui
perkembangan
karakter
individu
seseorang
http://nialovita.wordpress.com/2012/01/16/makalah-pendidikan-karakter/ diakses tgl 5 Okt 2012. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Thomas Lickona (dalam Misbach, 2006) character building adalah suatu usaha proaktif yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan karakter yang
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
44
baik. Character building adalah upaya untuk mengajarkan kepada anak mana yang baik dan buruk, yang didalamnya terdapat standar moral objektif terhadap eksisnya suatu nilai baik atau buruk. Lebih lanjut Thomas Lickona menyatakan ada sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukan ke arah kehancuran suatu bangsa yaitu meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur pemimpin, pengaruh peer-group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, semakin tingginya perilaku merusak diri dan lingkungan, dan semakin kaburnya pedoman moral.
Melihat pendapat Lickona di atas banyak kita temukan kondisi ini dalam hidup berbangsa dalam waktu belakangan ini. Kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak sekolah sampai menghabisi nyawa sudah akrab di mata dan telinga kita. Sikap yang tidak saling menghormati juga merambah. Hal ini mengindikasikan kemerosotan moral pada anak-anak dan juga pemimpin masa ini. Di dunia persidangan dari media massa yang terangterangan terjadi pembohongan, sehingga banyak timbul frustasi bagi warga. Melalui nilai-nilai yang terdapat di dalam permainan tradisional sifat yang tidak baik dapat dibendung dengan cara menggali, melestarikan, dan digalakkan kembali nilai-nilai dari permainan tersebut. Dari
permainan
tradisional
yang
menanamkan
kekompakan,
kebersamaan, patuh kepada pemimpin, mengendalikan emosi, kerja sama, menghargai orang dan lain-lain dapat dilestarikan. Permainan tradisional mengajak anak-anak dekat dengan lingkungan alam serta berbuat kreatif dan inovatif dengan menciptakan peralatan permainan dari benda-benda yang tidak berguna menjadi berguna. Dalam permainan yang disampaikan lewat nyanyian juga berisi pesan-pesan moral agar dapat didengungkan kembali. Oleh sebab itu, tidak selamanya kemajuan teknologi berdampak baik kepada anak-anak. Permainan modern yang telah sampai ke desa-desa hendaknya DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
45
dapat dikurangi karena minim sosialisasi padahal anak-anak butuh dengan lingkungan sosial untuk bergaul. Sambil bermain mereka sudah diberikan suatu pesan yang baik untuk kehidupan mereka nanti. Kesimpulan Permainan tradisional mengandung nilai-nilai yang baik bagi generasi muda. Pendidikan yang berkarakter yang digalakkan saat ini sebetulnya sudah kita mempunyai. Hal ini terlihat dalam permainan tradisional itu. Permainan tradisional membawa anak-anak peka terhadap sesama, lingkungan, serta alam. Melalui permainan tradisional anak-anak juga diajak untuk berbuat kreatif dan memanfaatkan sesuatu yang tidak berguna menjadi berguna. Permainan tradisional mengajak mereka saling kerjasama dan bersosialisasi. Pendidikan yang berkarakter lebih baik diberikan sejak dari kecil dan dapat dilakukan melalui permainan tradisional. Sangat perlu memberikan nilai-nilai yang menjunjung tinggi moral pada generasi muda saat ini karena banyak prilaku yang negatif yang sudah muncul. Dengan mengarap kembali permainan tradisional merupakan cara yang efektif agar anak-anak kenal dengan lingkungan alam sekitarnya dan diharapkan juga dapat merekat kembali persatuan generasi muda yang sudah terkoyak. Daftar Pustaka Alif,
Mohamad Zaini. (2007). “Merevitalisasi Mainan Rakyat” http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2007/072007/26/kampus/obrolan. htm. Diakses tanggal 3 Feb2010.
Almerico, Gina M. (2004). “Building character through literacy with children‘s literature”. Dalam Research in Higher Education Journal Volume 26 – October, 2014 (hal. 1-13) Ahimsa-Putra, H.S. (2008). ―Permainan Tradisional Anak-Anak Daerah Jawa dan Tantangan Era Kesejagadan‖. Dalam Sumintarsih (peny.) Permainan Tradisional Jawa. Kepel Press: Yogyakarta.
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
46
Ema
Nur Arifah – detik Bandung. http://bandung.detik.com/read /2009/11/01/110714/1232644/682/permainan-tradisionalmulainaik-daun. Diakses tanggal 8 April 2010
Andriana, Elga. (2003). ―Kesiapan Membaca Anak Usia Dini‖ dalam J.J.G.M. Drost, S.J. Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta. Kanesius. AsianBrain.com Permainan Tradisional Content Team http://www.anneahira.com/permainan/permainan-tradisional.htm. Diakses tanggal 2 April 2010 Aprianti, Yenti. (2005). ―Shirley dan Empati Permainan Tradisional‖. Kompas, Sabtu, 10 September 2005. Bachyul, Syofiardi. PadangKini.com ―Permainan Tradisional Mulai Jauh dari Anak-anak‖ http://www.padangkini.com/mozaik/single.php?id= 3801. Diakses tanggal 7 April 2010 Bunanta, Murni. (1998). Problematika Penulisan Cerita Rakyat Untuk Anak di Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Danandjaja, James. (1980). Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafit Djohar. (1950). Kitab Permainan Anak-Anak. Jakarta. Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Gayatri, Satya. (2011). ―Revitalisasi Permainan dan Nyanyian Tradisional Minangkabau untuk Memperkaya Bahan Ajar pada Pendidikan Anak Usia Dini‖ Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Andala Iswinarti, (2010). ―Nilai-nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek untuk Anak Usia Sekolah Dasar‖. Naskah Publikasi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Kartika, Bambang Aris, (tidak ditemukan tahun). ―Permainan Tradisional Anak: Antara Kepentingan Kesiapsiagaan Terhadap Ancaman Bencana (Disaster Hazard) Pada Anak- Anak dan Pelestarian Nilai Budaya Lokal‖ http:// www.isjn.or.id/index.php?option=com. Permainan-tradisional. Diakses tanggal 8 April 2010 Kellner, Douglas. (2010). Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik Antara Modern dan Postmodern. (Terj. Galih Bondan Rambatan) Yogjakarta: Jalasutra
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
47
Miles, B Mattew dan Machel Huberman. (1992). Analisa Data Kualitatif. Jakarta: Univ. Indonesia Press. Micbach, Ifa H. (2006). ―Peranan Permainan Tradisional yang Bermuatan Edukatif Dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa‖. Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia. Moleong, L.J. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, N. (1998). Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Musfiroh, Tadkiroatun. (2008). Cerdas Melalui Bermain (Cara Mengasah Multiple Intelligence pada Anak Sejak Usia Dini). Jakarta. Gramedia. Puspita, Widya Ayu. (2008). ―Beyond Centre and Circle Time‖. http://paudusia-dini.blogspot.com/. Diakses tanggal 7 April 2010. Rosidi, Ajip. (1995). Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sabartari, Widyabakti. (2007). ―Penciptaan Desain Busana Wanita dengan Bersumber Ide Lagu Dolanan‖. Jurnal Mudra Edisi September 2007. Widiyanto, T. Priyo. (2003). ―Perlukan Anak TK Ikut Les?‖ dalam J.J.G.M. Drost, S.J. Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta: Kanisius Ya‘kub, Edy M ―Permainan Tradisi "Bentengan" dalam http://www.kompas.com/data/photo/2008/08/05/090036p.jpg. Diakses tanggal 6 Agustus 2009.
CD
Situs Resmi Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan. ―Lestarikan Permainan Tradisional‖ Kalimantan Post edisi Senin, 10 Agustus 2009 http://www.kalselprov.go.id/fokus/lestarikan-permainan-tradisional. Diakses tanggal 2 April 2010.
Satya Gayatri, Mengrevitalisasikan Nilai-nilai Budaya dalam Permainan Tradisional Minangkabau untuk Kepribadian yang Berkarakter
NILAI DAN MAKNA TRADISI MEMANEN DURIAN DAN MALANGGE DI KOTO MALINTANG, MANINJAU SUMATRA BARAT Inestie Printa Elisya Prodi Linguistik Pascasarjana Universitas Andalas Padang
[email protected] Ike Revita Universitas Andalas Padang
[email protected] Abstract Planting durian is a kind of tradition inheritedly done by the society in Koto Malintang, Maninjau Sumatera Barat. Every member of this society has distinctive garden. Their keeping the tradition is something interesting to be discussed. There are some steps conducted, starting from planting, harvesting, and the tradition of malangge. This writing is aimed at identifying the value reflected in the linguistic froms of the processes and tradition of malangge. The data are all the lingustic aspects involved in these processes. In colleceting the data, observational method with note-taking, recording, taking picture, and interviewing are involved. The analysis is done by referential method related to the concept proposed by Alisjahbana (1982), Bartens (2004), and Stibbe (2015). Having analyzed the data, it is found that there are four values indicated by the tradition of malangge. They are (1) solidarity; (2) economy; (3) religy; and (4) knowledge. Key words: language, value, malangge Abstrak Menanam durian merupakan kebiasaan turun temurun yang dilakukan oleh warga Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat. Setiap warga di Koto Malintang mempunyai kabun (kebun) yang tidak biasa. Masyarakat Koto Malintang yang masih memegang teguh kebudayaan dan adat istiadat merupakan sesuatu yang menarik untuk dibahas. Ada beberapa tahapan dari menanam durian sampai proses memanen dan terakhir adanya tradisi malangge. Data adalah semua bentuk kebahasaan yang ada dalam proses menanam, memanen sampai malangge. Pengambilan data dilakukan dengan metode observasi, teknik catat, foto, rekam dan interview. Analisis data dilakukan dengan metode referensial yang dihubungkan dengan konsep yang dikemukakan oleh Alisjahbana (1982) dan Leech (1983). Hasil analisis dipaparkan secara deskriptif. Dari hasil analisis ditemukan beberapa nilai yang disampaikan dalam memanen durian yaitu (1) solidaritas; (2) ekonomi ; (3) keagamaan; dan (4) pengetahuan. Kata kunci: bahasa, nilai, malangge.
48
49
Pendahuluan Bahasa adalah salah satu media komunikasi yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia.
Bahasa juga dipakai
manusia untuk mengkomunikasikan sesuatu. Menurut Thomas dan Wareing: 1999, salah satu fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan tidak hanya untuk mengatakann sesuatu, tetapi juga untuk melakukan sesuatu dalam kehidupanya. Dalam sebuah tradisi, niniak mamak atau pimpinan menjaga tradisi dengan cara mengkomunikasikannya melalui bahasa. Tradisi memanen durian dan malangge merupakan tradisi yang unik dari nagari Koto Malintang Agam Sumatra Barat. Durian merupakan salah satu buah yang terkenal menjadi favorit dan buah-buahan yang memiliki rasa yang paling enak.
Di nagari Koto Malintang Maninjau Sumatra Barat
merupakan salah satu nagari penghasil durian yang banyak di Sumatra Barat. Hampir semua warga di Nagari Koto Malintang memiliki Pohon Durian.
Pohon tersebut telah ada dari dulu, yang sebelumnya pernah
ditanam oleh nenek moyang mereka. Di Nagari Koto Malintang masih memengang teguh kebudayaan, adat dan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun.
Niniak
Mamak masih sangat berperan, dihormati, tetap mengajarkan melalui bahasa tentang lingkungan yang harus dijaga, dilestarikan dan Niniak mamak terus mengawasi tata cara yang telah ada sebelumya.
Dari beberapa adat,
kebiasaan yang ada di nagari tersebut terkandung beberapa nilai dan makna yang mungkin dapat kita contoh atau bahkan bisa kita lestarikan. Data bersumber dari ujaran Wali Nagari dan Mamak di Nagari Koto Malintang. Selain itu, data juga diambil melalui wawancara dan teknik catat. Menurut Zulkarnaen (1997), Mamak dalam Minang secara umum adalah saudara laki-laki ibu, baik adik maupun kakaknya. Secara khusus, mamak
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
50
merupakan suatu lembaga atau badan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarganya.
Mamak juga ikut mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan adat di Minangkabau.
Sedangkan Wali Nagari adalah
orang yang memimpin suatu nagari atau daerah. Jabatan Wali Nagari ini setara dengan kepala desa. Analisis data menggunakan teori Nilai dari Alisjahbana (1982). Menurut Alisjahbana (1982) ada enam nilai yang bersifat universal, yakni (1) Nilai Ilmu Pengetahuan/Teori, (2) Nilai Ekonomi, (3) Nilai Politik, (4) Nilai Solidaritas, (5) Nilai Keagamaan/Religius, dan (6) Nilai Seni. Kemudian analisis tersebut juga dihubungkan dengan konteks. Menurut Leech (1983) ; Revita (2013); Wijana (1996), Konteks adalah segala sesuatu yang mewadahi sebuah pertuturan. Konteks dapat bersifat internal maupun eksternal. Konteks internal mengacu pada aspek linguistik (Revita: 2009), sedangkan konteks eksternal mengacu pada aspek sosial, budaya, dan psikologi (Revita:2013). Aspek linguistik adalah segala bentuk kebahasaan, baik lisan maupun tertulis yang secara sadar diproduksi oleh alat ucap manusia dengan arti dan tujuan tertentu. Aspek eksternal mengacu kepada segala sesuatu yang terkait dengan aspek non-linguistik.
Salah satunya adalah faktor sosial. Faktor
sosial meliputi status dalam masyarakat, usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Pembahasan Ekolinguistik merupakan sebuah istilah yang mengaitkan linguistik dengan Ekologi. Ekologi dalam ilmu Linguistik memainkan peran yang sangat penting. Ekologi dalam ilmu linguistik terutama untuk kebertahanan bahasa. Hal itu dikarenakan adanya suatu asumsi bahwa keerosian bahasa terjadi disebabkan oleh keerosian lingkungan. Menurut Baker (1995:34) ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup dan berusaha melindungi dan melestarikan alam dunia kita sebagai
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
51
lingkungan manusia sedangkan, menurut Chaer (2004:2) linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajianya. Berdasarkan dua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bahasa sangat berkaitan erat dengan lingkungannya sendiri. Dari hal di atas maka lingkungan menjadi salah satu kajian penting dalam ilmu linguistik. Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa sebuah lingkungan tanpa adanya bahasa, maka lingkungan tersebut akan mati. Tanpa adanya bahasa, seseorang tidak akan bisa mengungkapkan tentang alam kepada orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apapun yang akan kita lakukan tentunya kita harus menggunakan bahasa. Nagari Koto Malintang kecamatan Tanjung Raya kabupaten Agam berada di pinggir danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Nagari tersebut merupakan salah satu nagari penghasil durian.
Menurut Wali
Nagari Koto Malintang, durian adalah rahmat. Rahmat tersebut bukan hanya bagi sang pemilik pohon tetapi juga bagi anak nagari.
Niniak mamak
beserta seluruh pimpinan menjaga adat dengan menyampaikannya melalui bahasa. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, dapat kita ketahui bahwa daerah ini memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola sumber daya alam (SDA). Salah satu sumber daya alam yang masih dijaga dan dikelola dengan baik oleh warga Koto Malintang adalah tumbuhan berupa pohon Durian. Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, durian adalah buah yang kulitnya berduri atau durio zibetjinus. Kebun durian di Koto Malintang tidak seperti perkebunan durian lainnya yang berada di satu tempat saja. Di Koto Malintang, hampir semua masyarakat/warganya mempunyai pohon durian. Ada 9.000 durian jatuh
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
52
yang tersebar di 9 kenagarian. Pohon durian tersebut ditanam di kebun atau dibelakang rumah. Masyarakat menyebut kebun dengan parak. Menurut informan, makna dari parak durian (kebun durian) adalah rasaki (rezeki) karena dari parak tersebut bisa mendapatkan uang untuk makan. Durian tersebut tidak hanya untuk dikonsumsi oleh pemilik dan warga tetapi juga di jual sampai ke pulau Jawa. Masyarakat di nagari Koto Malintang mempercayai durian merupakan sebuah rahmat dari Allah SWT. Durian dari Koto Malintang terkenal kamek dan manih. Kamek disini berarti rancak yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi bagus dan manih adalah rasa duriannya yang manis. Rasa kamek dan manih ini didapat bukan karena ada bibit khusus. Tidak ada bibit yang khusus untuk durian tersebut. Bibitnya berasal dari biji pilihan yang kemudian di-polybag-kan. Ada beberapa bentuk lingual yang terdapat dalam menanam durian yang dipercaya oleh warga Koto Malintang Maninjau Sumatra Barat: 1. Mananam biji durian Mananam atau dalam bahasa Indonesia (menanam) berasal dari kata ‗tanam‘ yang berarti tanam /ta·nam/ v, mananam „bertanam‘ /ber·ta·nam/ v melakukan pekerjaan tanam-menanam (Kamus lengkap bahasa Indonesia). yang dimaksud dalam tradisi mamanen durian pada masyarakat Koto Malintang adalah menanam. Tanaman yang ditanam adalah biji durian. Dari data diatas tercermin nilai Ekonomi.
Menurut Alisjahbana
(1982) nilai ekonomi adalah nilai yang berkaitan/berupa suatu kegunaan, utility dan berfaedah. Biji durian yang ditanam nantinya akan tumbuh dan berbuah. Pohon tersebut sangat penting untuk pemilik pohon. Banyak warga Koto Malintang yang mencari nafkah, mengumpulkan uang untuk keluarganya dengan menjual buah durian tersebut. 2. Piliah nan rancaknyo
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
53
Piliah nan rancaknyo ‗pilih yang bagus‘ berasal dari kata rancak. Dalam Bahasa Minang, kata rancak berarti bagus, cantik, indah. Ketika musim panen, bibit diambil dari biji durian yang dianggap rancak. Rancak yang dimaksud di sini yang bagus, tidak berulat, buahnya besar dan rasanya enak. Biji - biji pilihan tersebut lalu di-polybag-kan. Berdasarkan data di atas tercermin nilai pengetahuan/teori. Menurut Alisjahbana (1982), nilai pengetahuan/teori adalah nilai yang menentukan identitas sesuatu. Masyarakat di sana melalui pengalaman menentukan standar biji yang akan ditanam. Masyarakat menentukannya dengan memberi label rancak. Rancak yang dimaksudkan adalah buah yang bagus, tidak berulat, buahnya besar dan rasanya enak.
Hal tersebut diajarkan turun
temurun. 3. Dihunyian, Mahunyi Dihunyi, mahunyi atau dalam bahasa Indonesia (menghuni). Menurut Kamus lengkap bahasa Indonesia, kata menghuni adalah menghuni /meng·hu·ni/ v mendiami; menempati, namun dalam tradisi memanen durian kata dihunyi ini lebih mendekati arti ‗menjaga‘. Jadi kata dihunyi lebih tepat diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‗menghunikan‘ yang dalam kamus besar bahasa Indonesia menjadi /meng·hu·ni·kan/ v ‗menjaga; menunggui‘ biji yang sudah ditanam sebelumnya di kebun (supaya tidak dicuri, dirusak orang, dan sebagainya). Mahunyi atau ditunggui merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh warga Koto Malintang Sumatra Barat. Setelah ditanam, biji tersebut lalu dihunyi selama 2-3 bulan. Tujuan dari 2-3 bulan ditanam, dihunyi dengan tujuan agar biji tadi tetap utuh, berkembang dan tidak dimakan oleh karo ‗sejenis monyet‘. Nilai yang terkandung dalam data diatas adalah nilai solidaritas. Nilai solidaritas adalah sebuah nilai yang menjelma dalam cinta,
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
54
persahabatan, gotong royong dan kesadaran kelompok (Alisjahbana: 1982). Mahunyi merupakan suatu bentuk kesadaran kelompok, gotong royong dalam menjaga pohon yang merupakan rahmat bagi sang pemilik dan anak nagari. 4. Sisipan Menurut Kamus lengkap Bahasa Indonesia, kata sisip mempunyai arti sisip/si·sip/ v, menyisip/me·nyi·sip/ v 1 menyelip (di antara dua benda atau di sela-sela sesuatu, menanam tanaman baru sebagai pengganti yang mati atau kurang baik di sela-sela jajaran tanaman: - tanaman padi; - tanaman kopi, dll. Maksud dari kata sisipan, tanaman itu di tanam, sisip, berjajar dan ditanam rapat. Nilai yang terkandung dalam data diatas adalah nilai ekonomi. Masyarakat menanam pohon durian dengan menyisip dan rapat dengan tujuan agar semua sisi tanah dapat terpakai, ditanam tanaman lain. 5. Maiduikkan Api Maiduikkan api, dalam bahasa Indonesia menjadi ‗menghidupkan api‘. Menurut Kamus
lengkap Bahasa Indonesia, kata maiduikkan
(menghidupkan) berarti menghidupkan/meng·hi·dup·kan/ v menjadikan (membuat, menyebabkan) hidup (dipakai dalam berbagai makna seperti menyalakan, membangkitkan kembali, membakar): ~ api; ~ sedangkan api adalah api n, panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar; nyala. Jadi maiduikkan api bermakna membuat panas dengan cara membakar kayu. Maiduikkan api berfungsi sebagai penanda bahwa si pemilik pohon sedang menjaga pohon duriannya. Jika tidak maiduikkan api, maka disangko parak indak dihunyi (dikira tidak ada yang menjaga kebun) dan maling atau binatang dengan mudah mengambil atau merusak pohon durian tersebut. Nilai pengetahuan merupakan nilai yang tercermin dalam data diatas. Maiduikan api merupakan sebuah tanda bagi masyarakat bahwa sedang ada
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
55
yang berjaga dan tidak ada yang berani untuk mengambil atau merusak pohon durian. 6. Garisiak dari ateh Warga yang memiliki pohon durian tentu akan menjaga duriannya supaya tidak dicuri oleh maling atau diambil oleh binatang sejenis kera. Pemilik pohon durian akan menetapkan jadwal untuk menjaga kebun duriannya. Garisiak dari ateh berasal dari bahasa Minang yang artinya ada bunyi dari atas, atas pohon yaitu bunyi yang berasal dari dedaunan yang ada diatas. Ketika ada bunyi dari atas pohon durian, maka penjaga yang sedang berjaga pada saat itu, akan melihat ke atas. Itu merupakan sebuah pertanda apakah ada buah yang jatuh atau ada kera yang sedang mengambil buah durian mereka. Nilai yang terkandung dalam data di atas adalah nilai pengetahuan. Dalam kondisi mengantuk dan malam hari tentulah penjaga kesulitan dalam melihat. Melalui penanda garisiak atau bunyi dari atas pohon adalah pengetahuan bagi sang penjaga bahwa ada buah yang akan jatuh atau justru ada maling. 7. Tumbuah Kata tumbuah atau dalam bahasa Indonesia ‗Tumbuh‘ berarti tumbuh/tum·buh/timbul (hidup) dan bertambah besar atau sempurna (tentang benih tanaman (Kamus lengkap bahasa Indonesia). Setelah pohon tumbuh, berbatang besar dan berbuah dilarang memetik atau mengambil durian yang ada di batang. Penentu dari durian yang masak adalah durian yang jatuh sendiri dan mempunyai bau yang wangi. Nilai pengetahuan adalah nilai yang tercermin dalam data ini. 8. Mamanen Kata mamanen atau dalam bahasa Indonesia ‗memanen‘ berasal dari kata panen.
Menurut Kamus lengkap Bahasa Indonesia, panen berarti
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
56
memanen/me·ma·nen/ v mengambil (memetik, memungut, mengutip) hasil tanaman (di sawah atau ladang); atau menuai. Hal tersebut berbeda dengan mamanen dalam tradisi warga Koto Malintang. Kata memanen di Koto Malintang tidak berarti memetik, memungut atau mengutip. Memetik buah yang sudah masak sangat dilarang di daerah Koto Malintang Maninjau Sumatra Barat. Kata memanen atau panen yang dimaksud dalam tradisi ini adalah warga diminta untuk sabar dan menunggu saja sampai buah itu jatuh sendiri. Tanaman buah durian tadi dijaga oleh pemilik dan keluarganya secara bergiliran. 1 parak dijaga oleh 3 orang. Warga di Koto Malintang dilarang mamanjek (memanjat), mengambil, dipatiak (memetik), memanen durian yang masih berada di batangnya. Larangan tersebut telah menjadi peraturan/hukum adat yang ditetapkan oleh pemuka adat, wali nagari dan juga warga dalam upaya menyelamatkan pohon durian yang ada di Nagari tersebut. Warga Koto Malintang sangat menjaga lingkungannya dan berita tersebut disebarkan oleh niniak mamak dari mulut ke mulut. Warga percaya bahwa jika ada yang memetik buah durian maka sama saja membunuh pohon tersebut dan pohon itu rusak, akan jarang berbuah. Nilai yang terkandung dalam data di atas adalah nilai ekonomi. Warga bersabar menunggu pohon tumbuh agar nantinya bermanfaat tidak hanya untuk sang pemilik pohon tetapi juga untuk anak nagari. 9. Di galang sabalik Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada beberapa sangsi yang akan diberikan jika ada warga yang mamanjek (memanjat), memetik, memanen atau mengambil buah durian pada batangnya. Sangsi pertama adalah teguran dan jika masih melakukan maka pohon yang dipetik buahnya tadi akan digalang sabalik. Galang sabalik berarti dimatikan sekeliling
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
57
durian tersebut.
Walaupun warga melihat dari bawah duriannya sudah
masak, tetapi tetap tidak boleh diambil atau dipanjat. Nilai yang tercermin dari data diatas adalah nilai ekonomi. Kegunaan dan manfaat pohon durian dijadikan suatu peringatan bagi yang mencoba melanggar tradisi tersebut.
Bagi warga yang melanggar maka
pohonnya akan digalang sabaliak. 10. Jarang babuah Seperti yang dijelaskan sebelumnya, selain hukum adat digalang sabaliak, buah durian yang dipanjat akan menyebabkan masalah lain pada buah durian tersebut. Warga mempercayai bahwa jika dipanjat maka buah durian tersebut akan jarang babuah (jarang tumbuh buahnya) dan lama kelamaan pohon tersebut akan mati.
Nilai ekonomi tercermin agar
masyarakat menyadari manfaat pohon durian yang tidak dipanjek (dipanjat). 11. Tampuak Panjang Warga Koto Malintang yang mempunyai kebun durian tentu mengetahui mana kualitas yang baik dari buah duriannya. Tampuak berasal dari bahasa Minang yang berarti tampuk. Dalam bahasa Indonesia, tampuk adalah ujung tangkai yang melekat pada buah (Kamus lengkap Bahasa Indonesia). Jika durian tersebut memiliki tampuak yang panjang berarti buah tersebut jatuh bisa karena sudah tuo (tua), jatuah dek angin (jatuh karena angin), atau jatuah dek karo (jatuh karena binatang – kera). Rata-rata durian yang jatuh karena binatang sejenis kera, maka durian tersebut tak samparono (belum masak) dan rasa kurang lamak/tidak enak. Jika tampuk atau ujung tangkai dari buah durian itu pendek, ringan dijinjiang (ringan dibawa) dan berbau harum maka buah durian tersebut sudah masak dan rasanya pasti enak. Nilai yang tercermin adalah nilai pengetahuan. Warga mengetahui ini berdasarkan pengalamannya bertahun tahun dalam menanam dan menjual durian.
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
58
12. Malangge/balangge Di Nagari Koto Malintang mempunyai suatu kebiasaan yaitu adanya tradisi Malangge atau balangge. Malangge merupakan sebuah kebiasaan atau agenda rutin yang dilakukan warga Koto Malintang.
Malangge
diadakan pada saat musim panen durian. Malangge adalah acara di mana semua warga yang tidak punya pohon durian ataupun masyarakat yang lewat di daerah tersebut, berkumpul, bebas untuk meknimati durian yang ada di parak warga yang memiliki durian. Peserta malangge adalah dari orang dewasa sampai anak-anak dan mulai dilakukan dari pukul 05:00 shubuh sampai dengan pukul 07:00 pagi. Berdasarkan data diatas, maka nilai yang terkandung adalah nilai ekonomi. Warga di Koto Malintang saling mencintai dan terkenal kompak. Mereka bersama-sama berkumpul untuk berbagi durian. Durian tersebut boleh dijual atau dimakan sepuasnya oleh warga ataupun masyarakat yang lewat di nagari tersebut. 13. Rasaki Rasaki berarti segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) (Kamus lengkap Bahasa Indonesia). Warga masyarakat Koto Malintang mempercayai bahwa durian merupakan rahmat, rasaki dari Tuhan. Selain itu, pohon durian yang turun temurun tersebut merupakan mata pencarian mereka. Nilai yang terkandung adalah nilai keagamaan (religious).
Nilai
keagaamaan berkaitan dengan agama, Tuhan dan kepercayaan. Kepercayaan masyarakat dengan pohon durian sebagai rasaki dan rahmat dari Tuhan. Kesimpulan Setiap daerah pastilah memiliki adat, cara atau kebiasaan yang berbeda dan
didalamnya tentu mempunyai nilai, makna atau maksud
tertentu. Hal ini bisa terlihat di daerah yang ada di Minang Kabau salah
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
59
satunya di Nagari Koto Malintang Maninjau Sumatra Barat. Durian ternyata tidak seperti pada umumnya.
Memanen
Yang dimaksud dengan
memanen durian di nagari ini adalah menunggu durian itu jatuh sendiri dan alami.
Selain dipercaya sebagai suatu cara yang mempengaruhi rasa
kekhasan dari durian tersebut, di dalamnya juga terdapat makna kesabaran, kepedulian, dan saling menghormati. Makna arti kebersamaan dan saling berbagi juga dapat dilihat dari acara tradisi Balangge atau Malangge. Dalam menyampaikan tradisinya, tuturan tersebut disampaikan oleh orang yang disegani dikampung tersebut. Mamak dan Wali Nagari berperan dalam mengkomunikasikan tradisi ini. Faktor sosial sangat berperan disini, di mana status Mamak dan Wali Nagari dalam masyarakat sangat tinggi. Kedua figur tersebut berhasil menjalankan tradisi tersebut melalui bahasa dan ada sangsi juga. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai yang terkandung dalam Memanen Durian dan Tradisi Malangge adalah nilai ekonomi, pengetahuan, keagamaan, dan solidaritas.
Nilai yang paling
dominan adalah nilai ekonomi. Menurut Alishajbana (1982) nilai ekonomi adalah nilai yang berkaitan/berupa suatu kegunaan, utility dan berfaedah. Tujuan utama dari penanaman pohon tersebut adalah membantu ekonomi rakyat dan dapat bermanfaat bagi semuanya. Terakhir, bahwa dari satu daerah yang mempunyai banyak adat, tata cara, kebiasaan ternyata mengandung banyak sekali nilai-nilai positif yang bisa kita jadikan contoh, atau bahkan kita lestarikan. Daftar Pustaka Alisjahbana, S.T. (1982). Sejarah kebudayaan Indonesia Dilihat dari NilaiNilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Bakker, Anton. (1995). Kosmologi dan Ekologi : Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Inestie Printa Elisya, Ike Revita, Nilai dan Makna Tradisi Memanen Durian dan Malangge di Koto Malintang, Maninjau Sumatra Barat
60
Chaer, Abdul. (2004). Linguistik Umum. Jakarta: PT.Rhineka Cipta. Http://www.kamusdaerah.com/ Kaelan. (2010). Pendidikan Filsafat. Yogyakarta: Paradigma Hoetomo. (2005). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Mitra Pelajar Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik edisi ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Leech, G. (1983). Principle of Pragmatics. New York : Longman. Poedjosoedarmo, Soepomo. (2001). Filsafat Bahasa. Surakarta: UMS Press Revita, Ike. (2009). „Faktor- Faktor Penanda Kesantunan Permintaan dalam Bahasa Minangkabau‟. Jurnal Dewan Bahasa.16:83—90. Brunei Darusalam. Revita, Ike. (2013). ‗Pengaruh Budaya Lokal dalam Pilihan Penggunaan Kata Sapaan Berbahasa Inggris Kepada Dosen oleh Mahasiswa Sastra Inggris Unand‘. Jurnal Wacana Etnik. 4:1-15. Padang Soerjono, Soekanto. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajawali Syarbaini, Syahrial. (2011). Pendidikan Pancasila, Implementasi Nilai Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi. Bogor: Ghalia Indonesia. Thomas, Linda dan Shan Wareing. (1999). Language, Society, and Power. New York : Routledge The_Ecolinguistics_Reader_language_Ecology_and_Environment.pdf Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Zulkarnain. (1997). Budaya Alam Minangkabau. Bukittinggi : Usaha Iklas
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
PENGUATAN CITRA IDENTITAS “HITAM” DALAM DUA NOVEL PERBUDAKAN AFRIKA AMERIKA KONTEMPORER Rasiah Universitas Halu Oleo, Kendari
[email protected] Abstract Black or blackness is the identity code of African American in the United States. It is often attached with negative stereotype that has been built since hundred years ago. Their physical appearance is used to be regarded as a low primate which different from the superior white‟s attributes. This writing reveals the enacting of Black identity in two slavery novels written by African American authors. The novels are The Wind Done Gone (2001) by Alice Randall and The Known World (2003) by Edward P Jones. To analyze this problem, it is utilizing postcolonial perspective proposed by Gayatri Spivak about Subalternconcept with representation analysis. The result of analysis indicated that the enacting of black identity in both novels is displayed by redefining black attribute. The first, black is the symbol of vitality which represented through the spices, the second, black is natural which represented through the nature. Both representations seemingly constructed to counter the racist ideology that defined black as inferior and unequal to white. Through these novels, the African American authors sought to build the perspective that black is different from white, but equal as human. This notion is built to counterblack stereotype which constructed in racist ideology in the United States. Key words: image, identity, blackness, slavery novels, african american Abstrak Identitas hitam (black/blackness) merupakan kode identitas ras orang Afrika Amerika di Amerika Serikat. Identitas ini sering dilekatkan dengan stereotip negatif yang dibangun sejak ratusan tahun lalu. Fisiknya sering dianggap sebagai atribut yang inferior dibedakan dengan kulit putih yang superior. Tulisan ini mengulas tentang penguatan citra identitas ‗hitam‘ dalam dua novel perbudakan yang ditulis oleh pengarang Afrika Amerika. Kedua novel itu adalah The Wind Done Gone (2001) karya Alice Randall dan The Known World (2003) karya Edward P Jones. Untuk membedah masalah ini digunakan perspektif poskolonial yang dikemukakan oleh Gayatri Spivak melalui konsep Subaltern dengan metode representasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penguatan citra identitas ‗hitam‖ dalam dua novel tersebut ditampilkan melalui redefinisi atribut hitam. Pertama hitam adalah simbol vitalitas yang direpresentasikan melalui simbol rempah, yang kedua hitam adalah kodrat yang direpresentasikan melalui alam. Kedua hal ini tampaknya dibangun 61
62 untuk mengkaunter ideologi rasis yang menganggap bahwa hitam adalah identitas yang inferior dan dianggap tidak setara dengan kulit putih. Melalui kedua novel ini, penulis Afrika Amerika mencoba membangun pandangan mengenai identitasnya yang berbeda dengan kulit putih, tetapi sama kedudukannya sebagai manusia.Pandangn ini dikonstruksi untuk meng-kaunter stereotip yang dibangun oleh wacana rasis di Amerika Serikat. Kata Kunci: citra, identitas, hitam, novel perbudakan, Afrika Amerika
Pendahuluan Novel perbudakan merupakan bagian dari narasi perbudakan yang muncul dalam sastra Amerika kontemporer. Narasi ini merupakan jenis tulisan yang menceritakan pengalaman perbudakan orang kulit hitam di Amerika Serikat pada masa antebellum (masa perbudakan sebelum tahun 1965), baik itu dalam bentuk fiksi maupun non fiksi (Andrew, 2004; Davis & Gates, 1985; Escott, 1979). Narasi perbudakan ini, pada awalnya, berupa bentuk autobiografi tokoh kulit hitam yang menceritakan pengalaman perbudakannya, mulai dari penderitaan yang dialami selama menjadi budak, perlakuan yang tidak adil, sampai kisah pelarian mereka untuk mencari kebebasan (Andrew, 2004). Narasi perbudakan, kemudian, dipandang tidak saja sebagai dokumen historis, tetapi juga sebagai karya sastra (Andrew, 2004; Ernest, 2011). Disebut sebagai karya sastra, karena narasi ini tidak sepenuhnya menggambarkan realitas, tetapi telah dilebih-lebihkan atau didramatisasi untuk kepentingan-kepentingan politik pada abad delapan belas, dimana gerakan abolisionis mendapatkan momentumnya. Narasi perbudakan yang muncul pada era antebellum (sebelum perang sipil tahun 1861) kebanyakan digunakan sebagai sarana untuk mencapai kebebasan bagi orang kulit hitam, baik yang dilakukan oleh penulis-penulis kulit hitam pada masa itu, atau juga melalui narasi kaum abolisionis (pejuang pembebasan budak). Narator dari kulit hitam yang dikenal pada masa itu
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
63
adalah Frederick Douglass, William Wells Brown, dan Harriet Jacobs (Andrew, 2004) sementara dari penulis kulit putih muncul tulisan-tulisan dari pejuang Abolisionis dan kaum Quaker (salah satu penggagas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dari sekte agama Kristen) (Thomas, 2003; Nuriadi, 2013). Pada dekade berikutnya, narasi perbudakan berkembang menjadi cerita-cerita fiksi yang berlatarkan kehidupan pada masa perbudakan di negara bagian Selatan Amerika Serikat, atau dahulu dikenal dengan negaranegara konfederasi (Roland, 1991; Reis, 2009) yang menjadi basis perbudakan orang kulit hitam. Gharam dan Ward (2011) menjelaskan bahwa narasi
perbudakan
adalah
karya
sastra,
yang
menafsirkan
dan
mendramatisasi sejarah perbudakan, baik itu ditulis di masa lalu atau di masa sekarang, oleh penulis kulit hitam atau juga kulit putih. Penulis kulit putih yang muncul pada era sebelumnya, misalnya, Herriet Becher Stowe dalam novel Uncle Tom‟s Cabin (1852), Mark Twain dalam Huckleberry Finn (1884), Margaret Michell dalam Gone With the Wind (1936), dan penulis kulit hitam misalnya, Willian Styron dalam The Confession of Nat Turner (1967), Alice Walker dalam The Color Purple (1972) dan Toni Morrison dalam Beloved (1987). Novel-novel ini bercerita mengenai kehidupan perbudakan yang dibayangkan terjadi pada masa antebellum Amerika sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Ryan (2008) menyebutkan bahwa munculnya novel-novel kulit putih dan kulit hitam yang bertema perbudakan menyerupai call and response, novel-novel tersebut saling berdialog untuk mewakili suara kelompoknya. Novel perbudakan yang muncul dari periode ke periode, terutama dari penulis kulit putih selalu mempersoalkan isu ras, yakni ada satu upaya untuk mempertahankan superioritas kulit putih sebagai satu-satunya identitas yang superior. Novel seperti Uncle Tom‟s Cabin (1852), meskipun ia dipandang Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
64
membela kaum kulit hitam (istilah kulit hitam merujuk pada status budak dan bukan warga negara, sedangkan Afrika Amerika status sebagai warga negara), tetapi caranya menghadirkan Uncle Tom telah menciptakan arketip karakter orang kulit hitam yang inferior baik dari segi fisik maupun intelektual. Sama halnya dengan novel The Clansman (1912) karya Thomas Dixon, menghadirkan orang kulit hitam sebagai sosok yang brutal dan liar sebagai bawaan liarnya alam asalnya Afrika (savagery) dan sebaliknya memuliakan aktivitas Klan (Ku Klux Klan) melalui bungkusan kesucian agama dan kemanusiaan untuk melakukan teror pembunuhkan yang tak berkeadilan terhadap orang kulit hitam, salah satunya melalui hukum lyncing (hukuman mati tanpa proses peradilan). Bahkan pada era menjelang deklarasi hak-hak sipil, menurut Dubin (1987) produk sastra dan budaya populer sekitar tahun 1890 sampai 1950-an secara simbolis tetap mencerminkan mekanisme kontrol sosial yang mendasari hubungan mayoritas-minoritas selama periode itu. Black as simbol of humor yang sesungguhnya menyuguhkan symbolic violence, yaitu kekerasan implisit ini mencerminkan bentuk kekuasaan yang dilembagakan yang pernah didukung secara luas, tetapi kini telah berkurang secara signifikan. Namun demikian, kaunter dari penulis kulit hitam pun juga bermunculan, misalnya melalui protes radikal, seperti dalam novel The Native Son (1912) atau Uncles Tom Children(1915)karya Richard Wright. Perubahan lanskap politik Amerika pada awal abad dua puluh satu rupanya turut membawa perubahan dalam representasi sastra kontemporer yang berkaitan dengan pencitraan orang kulit hitam dalam novel perbudakan, terutama yang ditulis oleh penulis Afrika Amerika. Tulisan ini membahas dua novel perbudakan yang ditulis penulis Afrika Amerika di awal abad dua satu. Dua novel tersebut adalah The Wind Done Gone (2001) karya Alice Randall dan The Known World (2003) karya Edward P Jones. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
65
Kedua novel ini mengungkap isu kecantikan dan ekonomi orang kulit hitam untuk meng-kaunter anggapan bahwa orang kulit hitam merupakan lambang inferioritas. Novel The Known World (2003) memunculkan isu ekonomi orang kulit hitam melalui dramatisasi Blackslaverowner. Novel ini menampilkan bahwa orang kulit hitam pada masa perbudakan tidak saja identik dengan sosok budak, tetapi juga sebagai master, sehingga ia membangun antitesis dari stigma kemiskinan dan kemalasan yang selalu identik dengan orang kulit hitam. Sementara itu, Alice Randall dalam novel The Wind Done Gone (2001) memunculkan isu kecantikan wanita kulit hitam melalui
dramatisasi sosok perempuan kulit hitam yang mencoba
keluar dari bayang-bayang kecantikam wanita kulit putih yang dinamainya Other (S). Dengan mempertandingkan konsep kecantikan kulit putih dan hitam secara mendasar, ia mencoba menumbuhkan rasa kepecayaan diri terhadap identitas rasnya ―yang berkulit hitam‖ dan berhenti untuk menganggap citra kulit putih sebagai standar kecantikan superior. Dengan demikian, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana upaya penulis Afrika Amerika menguatkan identitas hitam dalam dua novel perbudakan kontemporernya? Mengapa perubahan itu sangat penting dalam eksistensi mereka di Amerika Serikat? Berdasarkan uraian fenomena imajiner di atas, pandangan Gayatri Spivak tentang masyarakat subaltern (Morton, 2008) dapat dipertimbangkan sebagai dasar melihat fenomena literer di atas. Melalui gagasan subaltern, Spivak menekankan pada kemungkinan adanya counter knowledge dari kaum terjajah sebagai bentuk resistensi terhadap wacana kolonial. Orang kulit hitam yang dulupernah terjajah dan voiceless (tak bersuara) menjadi bebas dan bersuara. Dalam suara tersebut, mereka dapat menunjukkan perlawanannya terhadap wacana kolonial. Data penelitian ini kemudian dianalisis secara deskriptif-interpretatif dengan menggunakan metode Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
66
representasi. Pertama, menafsirkan simbol-simbol, kedua simbol tersebut diyakini mewakili sesuatu, dan ketiga menghubungan representasi tersebut dengan koherensi sosial dan keyakinan umum dalam masyarakat. Dukungan data secara interdisipliner dipakai untuk menguatkan temuan penelitian ini. Pembahasan Penguatan Citra Identitas Hitam Menurut Thomas (2002, hal 145), hitam (black dan blackness) yang melekat pada identitas orang kulit hitam, pada awalnya dikaitkan dengan asal geografis Afrika. Afrika sering dikonotasikan dengan benua hitam (dark continent), manusia hitam, dan prilaku hitam. Hitam kemudian menandai kode identitas ras orang kulit hitam yang tidak saja menandai atribut fisik sebagai bagian dari ras Negroid, tetapi juga mengarah pada kode prilaku. Makna hitam kemudian terus dikonstruksi melalui pembedaan dengan putih, serta dibangun sebuah asosiasi yang merujuk pada pembedaan rasial yang timpang.
Pembedaan
rasial
tersebut
kemudian
mengarah
kepada
pembentukan stereotip negatif pada atribut yang melekat kepada identitas ras orang kulit hitam. Stereotip orang kulit hitam yang berkembang adalah hitam merupakan simbol buruk rupa,terbelakang, dan liar. Stereotip ini dikontraskan dengan identitas kulit putih yang dipandang sebagai simbol kecantikan, kebaikan, modern, dan beradab (Mellinger, 1992). Novel The Wind Doen Gone dan The Known World menunjukkan sebuah upaya untuk menolak stereotip negatif orang kulit hitam sebagaimana yang dibentuk wacana kolonial. Dua novel tersebutmendramatisasi pembalikkan stereotip tersebut dengan menampilkan identitas hitam melalui simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan dikontraskan dengan putih yang berlaku sebaliknya atau setara. Simbol-simbol tersebut merujuk pada makna bahwa hitam adalah simbol vitalitas dan kodrat. Hitam Sebagai Simbol Vitalitas DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
67
Representasi pertama yang dapat dicermati berkaitan dengan hitam sebagai simbol vitalitas adalah penggunaan simbol rempah (spices). Dalam novel TWDG ekspresi yang merujuk pada kekuatan fisik orang kulit hitam dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. They called me Cinnamon because i was skinny as a stick and brown. But my name is Cinnara. Now when i tell it, i say they called me Cinnamon because i was sweet and spicy. Sweet, hot, strong, and black—like a good cup of coffee. Leastways, that‟s how planter liked his coffee. Planter used to say i was his cinnamon and Mammy was his coffee (Randall, 2001: 3). Kutipan ini menampilkan simbol cinnamon (kayu manis) dan kopi untuk mencitrakan atribut fisik orang kulit hitam yang padat dan berwarna hitam dan coklat. Cinnamon merupakan salah satu jenis rempah yang tidak saja memiliki tekstur yang padat, tetapi juga rasa yang kuat. Sama halnya dengan penggunaan simbol kopi yang pahit, tetapi memberi sensasi kuat pada orang yang mengkonsumsinya. Pengandaian seperti ini kemudian dimaknai sebagai representasi fisik orang kulit hitam, meskipun hitam secara kasat mata tidak indah, tetapi mereka memiliki vitalitas yang tinggi. Vitalitas itu kemudian tidak saja menandai kekuatan, tetapi juga kesehatan yang penting untuk dimiliki dalam tubuh manusia. Penegasan kualitas fisik orang kulit hitam kemudian ditampilkan dalam novel TWDG sebagai berikut Later night Lady took me to where some poor white folks lived. A baby was due at their house and they had no money for a doctor, and if they had, there werenot none about. When we alone i told her i wish i was white like her. I told her that I hated the color of my skin. She made a list of everything that was brown and beautiful in the world; walnuts shells, fall leaves, tree bark, honey, blackberry, and caramel, and also night with the sparking star. She named honey, syrup, sweet butter...and ..and.....i m tired, and we need to go back home (hal. 137). Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
68
Terdapat tiga hal yang muncul dalam rangka mereprentasikan identitas hitam dalam kutipan di atas. Pertama adalah rempah sebagai simbol nilai, kedua adalah alam sebagai ciptaan Tuhan, dan ketiga adalah aspek sosial. Asosiasi pertama adalah rempah, seperti; walnut, blackberry, kopi, coklat, madu, dan lainnya adalah sejenis rempah yang fungsinya penting dalam kehidupan manusia. Selain menjadi sumber makanan bermutu, rempah-rempah tersebut juga berperan penting dalam kesehatan serta ritual keagamaan. Andaya (2015) menyatakan bahwa dalam kaca mata Eropa pada zaman modern awal, rempah (spices) merupakan barang yang sangat mahal dan melambangkan prestise seseorang yang memilikinya. Untuk memiliki itu, orang-orang Eropa rela melakukan ekspedisi sampai di belahan bumi Timur, seperti Maluku. Pengambilan simbol rempah sebagai representasi identitas hitam tidaklah mengherankan jika meninjau fungsi rempah secara historis dalam masyarakat Eropa. Misalnya, pada abad ke-V Masehi ditemukan dokumen rempah-rempah untuk berbagai kepentingan medis. Lada hitam (black pepper) misalnya, diresepkan untuk sejumlah besar penyakit; kelumpuhan, saluran pembuangan, radang mulut dan tenggorokan serta penyakit pes. Selain itu, rempah juga dipakai dalam ritual keagamaan, misalnya pada jaman Yunani Kuno dijumpai dalam ritual pengawetan mayat dalam penyembahan politeisme dan upacara persembahan Dewa. Rempah juga digunakan sebagai pewangi dalam dupa persembahan, dan rempah sejenis kayu manis dipercaya dapat mengobati berbagai jenis penyakit (Turner, 2011: 151-167). Jadi, disini dapat dicermati bahwa identitas orang kulit hitam dalam dua novel perbudakan yang ditulis oleh penulis Afrika Amerika
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
69
menempatkan dirinya sebagai sosok yang bernilai melalui kekuatan fisik sebagai ciri khas yang biasanya direndahkan dalam wacana kolonial putih. Kualitas fisik orang kulit hitam yang muncul dalam novel-novel perbudakan kontemporer yang ditulis oleh penulis Afrika Amerika tentu saja sengaja dieksplorasi. Di sini terlihat bahwa kekuatan fisik yang dulu dikonotasikan sebagai lawan dari kekuatan otak tidaklah serta merta membuat para pengarang Afrika Amerika berlomba untuk menafikan kualitas itu. Mereka justru membentuk dan memperkuat kualitas fisik itu sebagai suatu kelebihan yang harus diapresiasi yang kemudian dilawankan dengan fisik kulit putih dipandang yang lemah dan tak berdaya. Dalam konteks pencarian identitas, kekuatan fisik orang kulit hitam menjadi poin penting dalam menegaskan eksistensinya di Amerika. Menurut Adi (2014: 216), pada tahun 1960an, orang kulit hitam membentuk identitasnya melalui aktivitas fisik, salah satunya, olahraga. Olahraga telah menjadi ajang pencarian identitas orang kulit hitam. Bidang ini telah menguatkan citranya sebagai manusia yang memiliki kekuatan fisik sebagai salah satu potensi yang tidak bisa dilepaskan, dan hal tersebut telah memberikan ruang dalam pencarian identitas dan eksistensinya di Amerika; baik secara kelompok maupun Amerika secara keseluruhan. Jadi, kekuatan fisik sebagai ciri atribut fisik orang kulit hitam tetap menjadi sentral dalam memaknai kualitas orang kulit hitam. Hitam adalah Sifat Kodrati Selain mengasosiasikan hitam dengan rempah, identitas hitam juga diasosiasikan dengan alam. Asosiasi alam ini dimunculkan melalui dramatisasi kedua bahwa hitam sama dengan malam yang kehadirannya penting untuk melengkapi adanya siang. Simbol-simbol alam lainnya yang digunakan untuk merepresentasikan identitas hitam dan putih adalah musim Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
70
panas dan musim gugur. Jika malam dan musim gugur diasosiasikan dengan kulit hitam, maka siang dan musim panas diasosisasikan untuk kulit putih, masing-masing merupakan fenomena kodrati yang merupakan siklus alam yang tidak bisa diubah atau dihilangkan.
Di dalam novel TWDG¸sang
narator mengungkapan bahwa. I tell him, i have been sleeping in my sister‟s bed. I dont want that anymore. He tells me, i saw you before i ever saw her, wanted you before her. But then you chose her because you could and she remind you of me. She was your daylight version of me. I dont want you. I will not give you a divorce. I‟ll live in a sin. Proudly. You taught me that (hal. 197).
Meskipun tidak denotatif disebutkan, namun ungkapan she was your daylight version of me mengandaikan tokoh wanita kulit putih sebagai siang dan wanita kulit hitam sebagai malam. Malam yang menghadirkan keindahannya yang tidak terlihat di siang hari. Kita tidak dapat menikmati indahnya cahaya gemintang tanpa adanya malam. Begitu juga siang hari, menghadirkan keindahan yang tidak terlihat di malam hari. Jika malam hari menghadirkan keindahan alam angkasa, maka siang hari menghadirkan keindahan di bumi. Dua simbol alam ini memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di dunia ini, karena keduanya bersifat kodrati. Penggunaan
dua
simbol
alam
ini
dipandang
kuat
untuk
mengekspresikan kesamaan kualitas manusia yang lahir ke dunia ini, tanpa harus membedakan secara timpang karena warna kulit merupakan kondisi natural yang dibawannya sejak lahir. Penulis Afrika Amerika sadar bahwa kedua ras ini tidak bisa menafikan esensi satu sama lain. Pada akhirnya ia menegaskan keunikan dari sebuah identitas merupakan sesuatu yang alamiah serta memiliki manfaat dan fungsi masing-masing. Hitam merupakan
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
71
identitas kodrati yang tidak bisa diubah, seperti halnya kodrati wanita yang melahirkan, bukan konstruksi sosial tetapi natural. Ekspresi kesamaam kualitas manusia kemudian membawa kepada analisis yang menyinggung masalah sosial. Di dalam novel TWDG, satu penggalang kalimat yang mengespresikan kulit putih dan kulit hitam adalah sama, seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut: ―Later night Lady took me to where some poor white folks lived. A baby was due at their house and they had no money for a doctor, and if they had, there werenot none about (hal. 137). Ungkapan ini menegaskan bahwa identitas ras secara kodrati tidak ada hubungannya dengan stereotip sosial. Kulit putih yang disebut dengan poor white juga mengalami permasalahan kemiskinan, sebagaimana yang kebanyakan dialami oleh orang kulit hitam, bukan karena faktor ras, tetapi lebih kepada faktor kemalasan, kurangnya kreativitas, dan mobilitas dalam masyarakat. Jika pun permasalahan sosial sangat berhubungan dengan persoalan ras, hal tersebut merupakan konstruksi sosial, bukan takdir yang dibawa sejak lahir. Bantahan mengenai tidakadanya kaitan antara kelompok ras dan stereotip didramatisasi dalam novel TKW. Dramatisasi penolakan stigma ras berhubungan dengan status sosial ekonomi seseorang direpresentasikan melalui tokoh hero kulit hitam bernama Hendry Townsend. Ia ditampilkam mampu keluar dari kemiskinan dan menjadi salah satu orang terkaya di Machester county Virginia mensejajarkan diri dengan para pemilik kebun (Planter) kulit putih yang kaya raya. Ini disebabkan oleh kegigihannya dalam mengasah potensi diri dalam berkreativitas, sehingga ia mampu menjadi manusia yang mandiri dan bebas dari kemiskinan. Dramatisasi ini menegaskan bahwa orang kulit hitam bisa menjadi maju dan berkembang jika diberi akses, ia bukan orang pemalas, sebagaimana yang distereotipkan Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
72
oleh orang kulit putih. Sifat malas dapat saja muncul dalam diri setiap manusia, tetapi tidak bisa dilekatkan pada ras tertentu. Jika pun ada tokohtokoh kulit hitam dengan karakter pemalas, hal itu dikarenakan perasaan dan keyakinan yang dimiliki bahwa mereka bekerja pun bukan untuk dirinya tapi untuk orang lain, yang tidak lain adalah penjajahnya. Redefinisi Sebagai Bentuk Anti-Stereotip Fakta imaginer mengenai penguatan identitas hitam dalam novel-novel perbudakan Afrika Amerika kontemporer rupanya menegaskan sikap kaum Afrika Amerika kontemporer dalam melihat dirinya. Nasir, McLaughlin, & Jones (2009) mengatakan bahwa meskipun orang kulit hitam dewasa ini kecenderungan untuk menyerap dan mengidentifikasi diri sebagai orang Amerika lebih besar, tetapi mereka tidak berusaha untuk mengubah warna kulit. Meskipun banyak dari mereka tidak saja berusaha tampil semirip kulit putih, misalnya dengan perubahan model rambut, pakaian, dan style, tetapi juga aspek lain yang menyerap gaya hidup kulit putih, tetapisatu hal yang tampak dari pendefinisian diri orang kulit hitam adalah identitas fisik mungkin saja tidak bisa diubah, tetapi identitas fisik hitam itu seperti terputus dengan asal wilayah. Mereka lebih berorientasi kepada pemulihan citra yang dapat digunakan untuk memunculkan rasa percaya diri dan meyakinkan diri sebagai orang Amerika, dan kulit hitam hanya menjadi ingatan terhadap sejarah mereka di Amerika.Fisher & Stepto (1996:239) mengatakan bahwa ―now, these fictional symbols of black Americans serve as a “literary device available to black writers to attain their individual literary voices‖. Dengan demikian, maka identitas orang kulit hitam sebagaimana direndahkan dalam wacana rasis, justru menjadi sarana untuk menyuarakan sastranya di Amerika. Di sini terlihat bagaimana mereka membangun
antitesis
dari
wacana
kolonial
identitasnya. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
yang
mendiskreditkan
73
Eyerman (2003, hal.1) mengatakan bahwa bangkitnya kesadaran orang kulit hitam mengapreasiasi identitas hitam muncul pada era pasca perang sipil (post civil war) pada tahun-tahun setelah 1865atausetelah perbudakan dihapuskan. Trauma terhadap perbudakan yang menyengsarakan, stereotip yang timpang, dan subordinasi yang berkepanjangan memunculkan upaya orang kulit hitam untuk mengkonstruski identitasnya. Mereka melakukan sejumlah upaya untuk membangkitkan kesadaran dan menguatkan identitas rasnya (dan juga etnisnya) untuk memperoleh kesetaraan di AS. Momen itu kemudian mencapai puncaknya pada era Gerakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dunia sastra,
Starke (1971) melihat bahwa perubahan
pencitraan orang kulit hitam terjadi pada era pasca Civil Right Movement. Perubahan ini diakibatkan oleh pergeseran ‘cultural beliefs and attitudes‟, yang memiliki klue sosiokultural yang mengkondisikan penciptaan karakter Afrika Amerikaberubah sepanjang waktu. Hal ini merupakan sebagai cermin terjadinya pergeseran keyakinan dan sikap mengenai masalah ras di Amerika. Mengutip argumentasi Beavoir (Tong,1998) bahwa keliyanan (otherness), meskipun sering dihubungkan dengan segala sesuatu yang dipinggirkan, dihindari, ditolak, tidak diinginkan, ditinggalkan, dan dimarjinalkan, sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri. Menjadi liyan merupakan cara untuk bereksistensi yang memungkinkan perubahan dan perbedaan. Fungsi liyan yang tadinya melekat sebagai sesuatu yang dipandang asing dan terpinggirkan, dapat berubah menjadi unik dan menonjol. Ia dapatmenjadi penanda identitas yang berbeda dengan orang lain. Pentingnya redefinisi makna identitas ras orang kulit hitam sebagai orang yang berbeda, menjadi bagian integral dari sejarah perjuangan Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
74
masyarakat Afrika Amerika secara kontinyu. Di tengah perdebatan mengenai identitas ras yang telah dikonstruksi dalam wacana kolonial putih, faksi politik dan sosial di Amerika Serikat muncul dalam berbagai cara untuk mengabaikan, menolak, atau merangkul Afrika sebagai elemen sentral identitas orang kulit hitam. Perjuangan itu kemudian melahirkan slogan Black is beautiful(Mercer, 1990), yakni sebuah gerakan kesadaran untuk sebuah
perjuangan
kelas.
Kesadaran
itu
adalah
kesadaran
untuk
mengapresiasi dan bangga terhadap identitas kehitaman yang harus pertamatama dimiliki oleh masyarakat Afrika Amerika. Tanpa kesadaran, mustahil gerakan tersebut tercapai. Oleh sebab itu, pertama kali yang harus dimiliki oleh masyarakat Afrika Amerika adalah menginternalisasi identitas ―black‖ sebagai bagian dari identitas mereka yang perlu diperjuangkan dan ditanamkan
dalam
masing-masing
kesadaran
individu,
serta
menumbuhkanrasa percaya diri. Isu-isu yang kompleks dan problematis mengenai representasi telah menjadi pusat perhatian bagi orang kulit hitamdari periode awal perdagangan budak sampai dengan saat ini. Kesimpulan Penguatan citra identitas hitam dalam dua novel perbudakan yang ditulis oleh penulis Afrika Amerika merefleksikan upaya untuk mengkaunter stereotip orang kulit hitam dalam wacana rasis. Kaunter stereotip tersebut tampak dalam redefinisi atribut hitam; bahwa hitam adalah simbol vitalitas yang melambangkan kekuatan dan kesehatan, serta hitam adalah kodrat yang alamiah. Kedua redefinisi ini kemudian mengarah pada upaya internalisasi slogan bahwa Black is beautiful sebagai bentuk penyadaran awal untuk percaya pada kualitas diri yang sangat penting untuk tahap perjuangan kelas.Tanpa kesadaran terhadap identitas diri sulit perjuangan itu untuk dilaksanakan dan dicapai. Mereka akan selalu menginternalisasi cara pandang bahwa berkulit hitam adalah buruk dan rendah, sehingga kesadaran
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
75
akan ketidaksetaraan itu terpelihara dalam pikiran dan mental orang Afrika Amerika. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suara orang Afrika Amerika mencerminkan tidak selalu sama dengan apa yang diyakini kulit putih. Mereka tetap memanusiakan identitasnya yang diliyankan dalam wacana rasis. Daftar Pustaka Adi, I, R. (2014). "Synthezising Ideology; Representation of African American's Identity in the 1960s". Celt, 14(2), h. 215-233. Andaya, L. (2015). Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal (terj) . Yogyakarta: Ombak. Andrew, W. (2004). An Introduction to the Slave Narrative: North American Slave Narrative. Capell Hill: University of North Caroline. Davis, C. T., & Gates, H. L. (1985). The Slave‟s Narrative. New York: Oxford University Press. Dubin, S. (1987). ―Symbolic Slavery: Black Representations in Popular Culture". Social Problems, 34(2), h. 122-140. Ernest, J. (2011). African American Literature and The Abolitionist Movement. In M. Graham, & J. Ward, The Cambridge History of African American Literature (h. 91-115). Cambridge: Cambridge University Press. Escott, P. D. (1979). Slavery Remembered: A Record of Twentieth-Century Slave Narratives. USA: The University of North Carolina Press. Eyerman, R. (2003). Cultural Trauma: Slavery and the Formation of African American Identity. New York, Australia: Cambridge University Press. Fisher, D., & Stepto, R. B. (1996). Afro-American Literature (4th ed). New York: Modern Language Association of America. Graham, M and Ward, J,W. (2011). The Cambridge History of African American Literature. Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore,São Paulo, Delhi, Dubai, Tokyo, Mexico City.: Cambridge University Press. Jones, E. (2003). The Known World: A Novel. New York: Amistad. Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
76
Mellinger, W. M. (1992). "Postcards from the Edge of the Color Line: Images of African Americans in Popular Culture, 1893–1917". Symbolic Interaction, 15(4), h. 413-433. Mercer, K. (1990). Welcome to the Jungle: Identity and Diversity in Postmodern Politic. In J. Rutherford, Identity: Comunity, Cultures, and differences (h. 43-70). London: Lawrence & Wishart. Morton, S. (2008). Gayatri Spivak: Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial (terj). Yogyakarta: Pararaton. Nasir, N. S., McLaughlin, M. W., & Jones, A. (2009). "What Does It Mean to Be African American? Constructions of Race and Academic Identity in an Urban Public High School". American Educational Research Journal, 6(1), h.73-114. Nuriadi. (2013). Penegakan Prinsip-Primsip Hak Asasi Manusia di Amerika (Studi pada Gerakan Kaum Quaker sebeleum Abad 20). Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Randall, A. (2001). The Wind Done Gone: A Novel . New York : Houghton Mifflin Company. Reis. R. (2009). African American and the Civil War. New York: Chelsea House Company. Roland, C. P. (1991). An American Illiad: The Story of The Civil War. Kentucky: McGraw-Hill, Inc. Ryan, T. (2008). Calls and Responses, The American Novel of Slavery since Gone With The Wind. USA: Louisiana State University Press. Starke, C. J. (1971). Black Portraiture In American Fiction. New York: Basic Books, Inc. Publishers. Thomas, B. W. (2002). "Struggling With the Past: Some Views of AfricanAmerican Identity". International Journal of Historical Archaeology, 6(2), h.143-151. Thomas, H. (2003). Romanticing Slave Narrative: Transatlantic Testimonies. Cambridge, New York, Melbourne: Cambridge University Press. Tong, R. P. (1998). Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
77
Turner, J. (2011). Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (terj). Jakarta: Komunitas Bambu.
Rasiah, Penguatan Citra Identitas ―Hitam‖ dalam Dua Novel Perbudakan Afrika Amerika Kontemporer
PERTENTANGAN ANTARKELAS DALAM NOVEL GERMINAL KARYA ÉMILE ZOLA: KAJIAN MELALUI TEORI MARXISME Suluh Edhi Wibowo Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang Abstract Émile Zola‟s literary works are widely known for their socialist ideas. A leftist thinker, Zola brings forward his thoughts through novels. One of his famous novels is Germinal. It is actually Zola‟s masterpiece (chef d‟œuvre) because it contains socialism ideas manifested through a class conflict. This class conflict involves two social groups (classes) and results from the-then-implemented capitalistic economy in France. Zola himself was deeply influenced by Karl Max thoughts. In principal the socialism ideas expressed here include man‟s alienation from his job and fellow human beings, personal belongings; high and low class dichotomy; group‟s interest and revolution; state and ideology. Keywords: socialism, man‟s alienation, personal belongings, dichotomy, group‟s interest and revolution, state and ideology. Abstrak Novel-novel ciptaan Émile Zola dikenal dunia karena ide-ide sosialisnya. Sebagai seorang pemikir beraliran kiri, Zola memperkenalkan paradigmanya melalui novelnovel yang ditulisnya. Salah satu novelnya yang tersohor berjudul Germinal. Novel ini disebut-sebut sebagai adikarya (chef d‟œuvre) Zola karena ia memuat ide-ide kiri yang termanifestasikan melalui konsep pertentangan antarkelas. Konflik antarkelas ini melibatkan dua kelas sosial yang merupakan akibat dari implementasi politik kapitalisme di Perancis. Zola sendiri sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx. Pada prinsipnya, pemikiran sosialis terekspresikan di sini dalam: alienasi manusia dari pekerjaan dan sesamanya, hak milik pribadi, dikotomi kelas atas dan kelas bawah, revolusi dan kepentingan kelompok, dan yang terakhir adalah Negara dan ideologi. Kata kunci : sosialisme, alienasi manusia, hak milik pribadi, dikotomi, revolusi dan kepentingan kelompok, negara dan ideologi.
78
79
Pendahuluan Salah satu bentuk gagasan yang muncul dari pikiran sastrawan adalah roman. Roman adalah bentuk karangan prosa rekaan yang cukup panjang, tanpa menyangkutpautkan tokohnya apakah ia dikisahkan sejak lahir sampai mati ataukah hanya dalam satu episode saja dalam hidupnya (Shadily et al. 1989:2930).
Germinal
adalah
roman
yang
mengisahkan
peristiwa
pemogokan dan pemberontakan kaum buruh pada masa Kekaisaran II di Prancis sehingga roman Zola tersebut hanya mengisahkan episode tertentu dalam kehidupan tokoh utamanya. Bangkitnya kaum buruh di Eropa pada abad ke-19, khususnya di Prancis, tidak lepas dari pengamatan dunia sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, Tadié (1984:56) menegaskan bahwa: [...] Face à l‟ascension de la bourgeoisie d‟affaires sous le Second Empire, le monde ouvrier apparaît pour la première fois dans la littérature romanesque grâce au cycle des Rougon-Macquart; dans l’Assommoir, et surtout dans Germinal d‟Emile Zola. [...] [...] Berhadapan dengan tampilnya golongan pengusaha borjuis pada masa Kekaisaran II, dunia buruh muncul untuk pertama kalinya dalam kesusastraan roman (Prancis) berkat terbitnya seri les Rougon-Macquart: yakni dalam novel l‟Assommoir, dan terutama dalam novel Germinal karya Émile Zola [...]
Tadié (1984:56) juga menambahkan bahwa pour Germinal, Zola part d‟une idée: le soulèvement des salariés, [...] la lutte du capital contre le travail. Penjelasan Tadié ini dapat diartikan bahwa untuk tema romannya yang berjudul Germinal, Émile Zola berangkat dari sebuah pemikiran, yaitu bangkitnya kaum buruh. Pengertian kebangkitan kaum buruh ini menandai oposisi antara kaum borjuis (yang disimbolkan dengan le capital atau modal) dan kaum buruh (yang disimbolkan dengan le travail atau pekerjaan). Dari kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui pula bahwa Zola berorientasi kepada sosialisme. Dalam hal ini, Lagarde dan Michard
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
80
(1968:483) secara jelas mengatakan bahwa les enquêtes de Zola sur le monde du travail l‟ont conduit au socialisme et il s‟engage dans la mêlée politique et sociale. Pernyataan ini dapat diinterpretasikan bahwa penelitianpenelitian Zola yang dilakukan di dunia kerja (dalam hal ini adalah dunia buruh) telah mengantarkannya ke arah paham sosialis dan ke dalam percaturan politik dan sosial. Dalam artikel ini, roman yang berjudul Germinal karya Émile Zola akan diangkat sebagai objek penelitian dengan asumsi bahwa karya tersebut merupakan roman perintis yang bermuatan ideologi marxis dalam kesusastraan Prancis. Fakta ini sesuai dengan pendapat Tadié (lihat halaman sebelumnya) yang mengatakan bahwa roman Zola yang berjudul l‟Assommoir dan Germinal pada khususnya adalah refleksi sosial tentang munculnya kaum borjuis dan kaum proletar dalam struktur masyarakat Prancis. Ia juga mengatakan bahwa Germinal menggambarkan pertentangan antara borjuis (kapital atau modal) dengan proletar (buruh dengan pekerjaannya). Pembahasan Pertentangan Antara Kaum Proletar dan Borjuis dalam Novel Germinal Karya Émile Zola Dalam sub-bab ini akan dipaparkan hal-hal yang berhubungan dengan analisis data penelitian. Analisis akan difokuskan pada pokok-pokok pembicaraan dalam teori kelas Karl Marx yang menjadi inti permasalahan dalam novel Germinal. Dalam pemikiran Marx, kelas sosial adalah kelas buruh industri. Kelas ini dianggapnya sebagai kelas dalam arti yang sebenarnya. Teori kelas Marx mengandung pokok-pokok pembicaraan sebagai berikut: 1). Keterasingan manusia dari pekerjaan dan sesamanya, 2). Hak milik pribadi, 3). Dikotomi kelas atas dan kelas bawah, 4). Kepentingan
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
81
kelas dan revolusi, 5). Negara kelas, dan 6). Ideologi (Magnis-Suseno 2005:110-111). 1.1
Keterasingan Manusia dari Pekerjaan dan Sesamanya
Keterasingan manusia yang paling parah adalah apabila ia teralienasi dari pekerjaannya karena pekerjaan pada prinsipnya adalah tindakan manusia yang paling mendasar. Dengan pekerjaan yang dilakukannya, manusia merealisasikan dirinya dan dengan pekerjaannya tersebut dia merasa menjadi sosok yang berguna. Namun dalam sistem kapitalisme, pekerjaan tidak mampu menjadikan manusia bangga melainkan justru membuat mereka merasa asing dengan apa yang dikerjakannya. Penyebab utama permasalahan ini adalah ketidakbebasan dalam bekerja. Para buruh bekerja semata-mata karena terpaksa karena mereka hanya bekerja sebagai syarat untuk bisa hidup. Dalam Germinal, buruh-buruh tambang seperti halnya Bonnemort, Toussaint Maheu, dan Étienne, tidak bisa memilih pekerjaan yang dapat membuat mereka merasa bangga dan bernilai. Ketidakmampuan memilih pekerjaan itu terutama disebabkan oleh sangat minimnya pengetahuan yang dimiliki. Yang ada dalam benak para buruh tambang hanyalah bekerja dengan sekuat tenaga supaya tidak mati kelaparan. Mereka merasa asing pada pekerjaan yang mereka lakukan sendiri, karena yang dirasakan hanyalah beratnya penderitaan hidup akibat kemiskinan. Pekerjaan yang mereka jalani setiap hari tidak memberikan kebanggaan dalam hidup karena mereka tidak tahu hasilnya. Wujud nyata dari apa yang mereka kerjakan setiap harinya tidak pernah mereka saksikan sebab sebagai buruh upahan, para buruh tersebut tidak memiliki pekerjaannya. Produk yang mereka hasilkan dikuasai oleh pemilik pabrik, dalam hal ini adalah Tuan Hennebeau.
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
82
Perhatikan kutipan yang menggambarkan penderitaan keluarga Maheu berikut: 1) [...] “Hein? Tu sais, je suis sans le sous, et nous voici à lundi seulement: encore six jours à attendre la quinzaine ... Il n‟y a pas moyen que ça dure. À vous tous, vous apportez neuf francs. Comment veux-tu que j‟arrive? Nous sommes dix à la maison”. “Oh! Neuf francs! se récria Maheu. Moi et Zacharie, trois: ça fait six ... Catherine et le père, deux: ça fait quatre; quatre et six, dix ... Et Jeanlin, un, ça fait onze”. “Oui, onze, mais il y a les dimanches et les jours de chômage ... Jamais plus de neuf, entends- tu?” (page 24) [...] ―Kamu tahu kan, aku tidak punya uang, dan sekarang baru hari Senin: upah baru diberikan enam hari lagi ... Mana mungkin kita bisa bertahan. Kalian semua hanya akan membawa sembilan franc ke rumah. Bagaimana aku bisa mengatasi ini semua? Kita semua bersepuluh, lho‖. ―Ya ampun! Sembilan franc! teriak Maheu lagi. Aku dan Zacharie, tiga franc: jumlahnya enam franc ... Terus Catherine dan ayah, dua: jumlahnya empat franc; empat dan enam jadinya sepuluh ... Kemudian Jeanlin satu franc, jadi semua sebelas franc‖. ―OK, sebelas franc, tapi kan ada hari-hari Minggu dan hari-hari saat buruh tidak bekerja ... Jadi jumlahnya tidak akan pernah mencapai sebelas franc, paham kamu?‖ (hal. 24)
Akibat langsung dari keterasingan para buruh dari produk pekerjaan dan dari hakikat mereka sebagai manusia, adalah keterasingan mereka satu sama lain. Keterasingan dari hakekatnya mempunyai pengertian bahwa manusia terasing dari sesamanya karena sifatnya yang sosial terasing juga darinya. Para buruh tersebut juga sudah tidak lagi berpikir tentang hubungan dengan sesama, karena mereka sudah tenggelam dalam kerasnya hidup. Germinal menjelaskan fenomena ini melalui deskripsi tentang hubungan antara Maheu dengan anak-anaknya yang sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai sebuah hubungan yang harmonis. Pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai keluarga itu karena permasalahan ekonomi. Perhatikan kutipan berikut: 2) “Sacre nom! Il est l‟heure ... C‟est toi qui allumes, Catherine”? “Oui, père ... Ça vient de sonner, en bas”.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
83 “Depêche-toi donc, fainéante! Si tu avais moins dansé hier dimanche, tu nous aurais réveillés plus tôt ... En voilà une vie de paresse!” (page 21) ―Sialan! Sudah waktunya ... Kamukah yang menyalakan lilin, Catherine‖? ―Ya, ayah ... Bel tanda mulai bekerja sudah berdentang di bawah sana‖. ―Cepatlah, Pemalas! Jika kamu tidak terlalu capek berdansa hari Minggu kemarin, mestinya kamu bisa membangunkan kami lebih awal ... Ya begitu itu hidupnya pemalas!‖ (hal. 21)
Makian demi makian yang harus diterima oleh para penambang batu bara akibat terlalu seringnya mereka berbuat kesalahan sudah tidak dapat lagi dianggap sebagai perlakuan yang manusiawi. Akibat sering diperlakukan dengan buruk oleh majikan, mereka pun menjadi asing dengan hakekat mereka sebagai diri sendiri, akibatnya bekerja menjadi sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Mereka tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah dalam melakukan sebuah pekerjaan. Perhatikan kutipan dialog antara Paul Négrel (insinyur kepala tambang) dan Maheu berikut: 3) Tout d‟un coup il (Negrel) s‟écria: “Dites donc, Maheu, est-ce que vous vous fichez du monde! ... Vous allez tous y rester, nom d‟un chien!” “Oh! C‟est solide”, répondit tranquillement l‟ouvrier. “Comment! Solide! ... Mais la roche tasse déjà, et vous plantez des bois à plus de deux mètres, d‟un air de regret! ... Je vous prie de m‟étayer ça sur-le-champ. Doublez les bois, entendez-vous!” [...] (page 54) Mendadak ia (Negrel) berteriak: ―He Maheu! Kamu meremehkan semua orang atau bagaimana?!‖ ... ―Dasar anjing, semuanya tetap di tempat!‖ ―Lho? Itu sudah kuat kok‖, jawab si buruh dengan tenangnya. Apa?! Kuat?! ... Tapi batu-batunya sudah memadat, dan kalian seharusnya memasang kayu- kayunya lebih dari dua meter, Tolol! ... Saya minta kalian untuk menopangnya sekarang juga. Rangkap kayu-kayunya, paham kalian?!‖ [...] (hal. 54).
Jadi apa yang benar dalam hubungan para buruh dengan pekerjaannya, dengan hasil pekerjaannya, dan dengan dirinya sendiri, juga benar dalam
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
84
hubungannya dengan sesamanya. Maka ―buruh yang teralienasi‖ mempunyai pengertian bahwa setiap manusia menghargai sesamanya sesuai dengan norma dan hubungan tempat ia menemukan dirinya sebagai seorang pekerja. Maheu dan para penambang lainnya akan menghargai sesama mereka sesuai dengan bagaimana mereka diperlakukan oleh para majikan di tempat kerja mereka. 1.2 Hak Milik Pribadi Alienasi yang dialami oleh para buruh dalam pekerjaan merupakan efek langsung dari sistem hak milik pribadi yang diterapkan oleh kaum borjuis. Sistem hak milik pribadi ini akan menimbulkan monopoli kesempatan kerja yang mengakibatkan orang harus mengkontrakkan diri kepada majikan. Dengan adanya mekanisme kontrak seperti ini secara otomatis majikan hidup dengan memonopoli tenaga kerja buruh. Dalam
Germinal,
Zola
menggambarkan
Toussaint
Maheu,
keluarganya, dan para penambang lain sebagai orang-orang yang mengkontrakkan dirinya kepada para borjuis pemilik tambang batubara. Keluarga Maheu adalah keluarga penambang batu bara sejak masa buyut mereka, Guillaume Maheu. Profesi sebagai buruh tambang tersebut turun kepada Nicolas Maheu (kakek Toussaint), kemudian kepada Vincent Maheu (ayah Toussaint), dan akhirnya kepada Toussaint Maheu sendiri. Sedangkan hak milik pribadi yang diwujudkan dalam bentuk tambang beserta segala macam infrastruktur pendukungnya bukanlah milik mereka, melainkan milik para borjuis yang bermodal besar. Perhatikan kutipan berikut: 4) “La famille travaillait pour la Compagnie des mines de Montsou, depuis la création; et cela datait de loin, il y avait déjà cent six ans. Son aïeul, Guillaume Maheu, un gamin de quinze ans alors, avait trouvé le charbon gras à Réquillart, la première fosse de la Compagnie, une vieille fosse aujourd‟hui abandonnée, là-bas, près de la sucrerie Fauvelle. Tout le pays savait, à preuve que la veine découverte s‟appelait la veine Guillaume, du prénom de son grand-père. Il ne l‟avait pas connu, un gros à ce qu‟on racontait, très
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
85 fort,mort de vieillesse à soixante ans. Puis à son père, Nicolas Maheu dit le Rouge, âgé de quarante ans à peine, était resté dans le Voreux, que l‟on fonçait en ce temps-là: un éboulement, un aplatissement complet, le sang bu et les os avalés par les roches. Deux des ses oncles et ses trois frères, plus tard, y avaient aussi laissé leur peau. Lui, Vincent Maheu, qui en était sorti à peu près entier, les jambes mal d‟aplomb seulement, passait pour un malin. Quoi faire, d‟ailleurs? Il fallait travailler. On faisait ça de père en fils, comme on aurait fait autre chose. Son fils, Toussaint Maheu y crevait maintenant, et ses petits-fils, et tout son monde, qui logeait en face, dans le coron. Cent six ans d‟abattage, les mioches après les vieux pour le même patron: hein? Beaucoup de bourgeois n‟auraient pas su dire si bien leur histoire!” (page 17-18) ―Keluargaku sudah bekerja di penambangan Montsou sejak kali pertama perusahaan tersebut didirikan; dan itu sudah lama sekali, seratus enam tahun yang lalu. Nenek moyangnya (kakek Vincent), Guillaume Maheu, seorang bocah berusia 15 tahun, menemukan batu bara basah di Réquillart, sumur batu bara Perusahaan yang pertama, sumur tua yang sekarang sudah ditinggalkan, letaknya dekat Pabrik gula Fauvelle sana. Semua orang tahu akan hal itu, buktinya nama sumber batu bara itu diambilkan dari namanya: Sumber batu bara Guillaume. Ia tidak mengenalnya, seorang gemuk yang katanya kuat sekali dan meninggal karena tua di usianya yang ke-60. Kemudian menurun ke anaknya (ayah Vincent), Nicolas Maheu yang dijuluki si Merah, usianya sekitar 40 tahun; Ia mati di tambang Voreux: tambang itu longsor, ia benar-benar dilumat dan ditelan mentah-mentah oleh bebatuan tambang. Kemudian, dua paman dan tiga saudara laki-lakinya juga meninggaldi sana. Dia, Vincent Maheu, yang berhasil keluar hiduphidup dari tambang longsor, dan hanya kakinya saja yang pincang, menjadi seseorang yang lihai (dalam mengatasi kecelakaan-kecelakaan tambang seperti itu). Lagi pula, apa yang harus diperbuat? Orang harus bekerja. Dari ayah ke anak, semuanya menambang batu bara, seperti lazimnya hal lain dilakukan. Anak Vincent, Toussaint Maheu, yang saat ini bekerja di sana, cucu-cucunya, dan semua anggota keluarganya, tinggal di barak penampungan buruh. Seratus enam tahun menggali batu bara, pada gilirannya anak-anak bekerja untuk menggantikan mereka yang sudah tua di bawah perintah majikan yang sama:Bah! Borjuis borjuis itu pun sepertinya tidak akan mampu menceritakan sejarah keluarga mereka dengan sedemikian baiknya!‖ (hal. 17-18)
Para buruh dan keluarga mereka yang sudah menjual tenaga mereka secara otomatis menjadi ―hak milik‖ majikan seperti halnya mesin-mesin produksi yang menjadi aset perusahaan. Pemerasan tenaga manusia ini tidak dianggap sebagai paksaan oleh para buruh tambang. Dengan kata lain, kerasnya pekerjaan dan resiko yang tidak sepadan jarang atau bahkan tidak dianggap sebagai kekerasan hidup, namun justru menjadi kebutuhan pekerja itu sendiri.
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
86
1.3 Dikotomi Kelas Atas dan Kelas Bawah Dikotomi ini memaparkan bahwa kelas atas ditempati oleh para borjuis, dan kelas bawah ditempati oleh para buruh. Kelas yang pertama memiliki peralatan produksi karena adanya kepemilikan modal yang sangat besar, namun mereka tidak mungkin mengoperasikan sendiri alat-alat tersebut. Oleh karena itu kaum borjuis membutuhkan banyak sekali orang yang akan difungsikannya sebagai tenaga operasional. Orang-orang inilah yang dinamakan buruh. Perhatikan kutipan berikut: 5) [...] “Et elle est riche, votre Compagnie?” reprit Étienne. “Ah! Oui, ah! Oui ... Pas aussi riche peut-être que sa voisine, la Compagnie d‟Anzin. Mais des millions et des millions tout de même. On ne compte plus ... Dix-neuf fosses, dont treize pour l‟exploitation, le Voreux, la Victoire, Crèvecœur, Mirou, Saint-Thomas, Madeleine, Feutry-Cantel, d‟autres encore, et six pour l‟epuisement ou l‟aérage, comme Réquillart ... Dix mille ouvriers, des concessions qui s‟étendent sur soixante-sept communes, une extraction de cinq mille tonnes par jour, un chemin de fer reliant toutes les fosses, et des ateliers, et des fabriques! ... Ah! oui, ah! oui, il y en a, de l‟argent!” (hal. 18) [...] ―Dan apakah perusahaan tempat Anda bekerja kaya?‖ tukas Étienne. ―Oh jelas! Kaya raya ... Mungkin tidak sekaya perusahaan tetangganya, yakni Perusahaan penambangan Anzin. Namun setidaknya pasti menghasilkan berjuta-juta franc. Tidak terhitung lagi berapa jumlahnya ... Dari sembilan belas sumur tambang, yang tiga belas dipakai untuk pendayagunaan; Voreux, Victoire, Creve-cœur, Mirou, SaintThomas, Madeleine, Feutry-Cantel, dan lain-lainnya; dan yang enam untuk penambangan atau pengeringan batu bara, seperti Réquillart misalnya ... Lalu ada sepuluh ribu buruh, tanah-tanah konsesi yang mencakup enam puluh tujuh commune, lima ribu ton ekstrak batu bara per hari, rel-rel kereta api yang menghubungkan seluruh sumur tambang, belum lagi para pekerja dan pabrik-pabrik pengolahan! ... Hohoho, pasti, pasti ... Uang terus mengalir!‖ (hal. 18)
Meskipun kelas borjuis dan buruh sepertinya menampakkan adanya ketergantungan satu sama lain, posisi keduanya sangat tidak seimbang. Buruh jelas tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja, dan ia hanya dapat bekerja kecuali diberi pekerjaan oleh kaum borjuis. Sebaliknya, meskipun kaum borjuis tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, ia tetap dapat bertahan hidup lama berkat modal yang terkumpul selama pabriknya beroperasi. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
87
Dikisahkan dalam Germinal bahwa saat terjadi pemogokan, buruhburuh tambang yang dimotori oleh Étienne Lantier sudah relatif siap dengan uang kas yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit. Meskipun jumlah uang tersebut sangat jauh dari cukup, tetapi minimal ia akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup para buruh dan keluarganya pada saat mereka tidak bekerja. Étienne paham bahwa La Compagnie yang terdiri dari tiga belas pabrik penambangan dan pengolahan batu bara mendatangkan kekayaan yang luar biasa besar bagi para pemilik modal sehingga pemogokan buruh yang paling hanya mampu bertahan dua atau tiga bulan itu tidaklah menimbulkan banyak permasalahan finansial bagi kelangsungannya. Perhatikan kutipan-kutipan berikut: 6)
[...] Mais cette caisse était encore si pauvre, elle devait être vite épuisée, comme le disait Souvarine. “Combien avez-vous en caisse?” demanda Rasseneur. “À peine trois mille francs, répondit Étienne (page 163-164).
[...] Tetapi kas itu masih sangat sedikit jumlahnya, pasti uangnya akan habis dengan sekejap, seperti yang dikatakan Souvarine. ―Berapa jumlah uang kalian dalam kas?‖ tanya Rasseneur. ―Belum mencapai tiga ribu franc‖ (hal. 163-164).
Pada mulanya, para buruh dengan antusias menjalankan misi pemogokan mereka. La Compagnie memahami betul kekuatan finansial para buruh pemogok, sehingga konglomerasi perusahaan ini menjalankan strategi yang sangat sederhana, yaitu mendiamkan saja pemogokan tersebut atau dengan sengaja mengulur-ulur waktu negosiasi upah. Selama apa pun pemogokan tersebut berlangsung, para buruh pasti akan berhadapan dengan situasi finansial kritis yang nantinya akan berimbas kepada bahaya kelaparan. Pada saat para pemogok tersebut sudah sampai pada titik puncak penderitaan, mereka pasti akan kembali lagi ke tambang untuk bekerja. Perhatikan kutipan-kutipan berikut: Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
88 7) Mais aujourd‟hui toutes les ressources s‟épuisaient, les mineurs n‟avaient plus d‟argent pour soutenir la grève, et la famine était là, menaçante ... Dès le samedi, beaucoup de familles s‟étaient couchées sans souper. Et, en face des jours terribles qui commençaient, pas une plainte ne se faisait entendre, tous obéissaient au mot d„ordre, avec un tranquille courage. (page 206-207). Tetapi sekarang semua sumber keuangan sudah menipis, para penambang tidak memiliki uang lagi untuk menyokong pemogokan, dan kelaparan mulai datang mengancam ... Sejak hari Sabtu, banyak keluarga berangkat tidur tanpa makan malam. Dan menghadapi hari-hari menakutkan yang akan mereka lalui, tak sepatah keluhan pun terdengar, semuanya mematuhi semboyan kelompok dengan penuh semangat, namun diam tidak bersuara. (hal. 206-207).
1.4
Kepentingan Kelas dan Revolusi
Perbaikan nasib kelas buruh menjadi tujuan Étienne dan Souvarine selaku penggerak pemogokan buruh tambang. Etienne masih setia mengikuti ajaran Karl Marx yang evolutif dan tanpa kekerasan, namun Souvarine lebih cenderung bersifat revolusioner dan anarkis karena ia lebih cocok dengan paham sosialis-anarkis yang diajarkan oleh Mikhail Bakunin. Apa yang menjadi dasar pemikiran keduanya sebenarnya sama, yaitu perubahan nasib kaum proletar. Hanya saja pemikiran Étienne lebih bersifat damai dan menurut pada kehendak alam sehingga karakternya pasif, sedangkan pemikiran Souvarine bersifat frontal dan destruktif. Hal tersebut tampak dari kutipan berikut: 8) [...]Plus de frontières, les travailleurs du monde entier se levant, s‟unissant, pour assurer à l‟ouvrier le pain qu‟il gagne. Et quelle organisation simple et grande: en bas, la section, qui représente la commune; puis, la fédération, qui groupe les sections d‟une même province; puis, la nation, et au-dessus, enfin, l‟humanité, incarnée dans un Conseil générale, où chaque nation était représentée par un secrétaire correspondant. Avant six mois, on aurait conquis la terre, on dicterait des lois aux patrons,s‟ils faisaient les méchants. “Des bêtises!” répéta Souvarine. “Votre Karl Marx en est encore à vouloir laisser agir les forces naturelles. Pas de politique, pas de conspiration, n‟est- ce pas?” “Tout au grand jour, et uniquement pour la hausse des salaires ... Fichez-moi donc la paix, avec votre évolution!” “Allumez le feu au quatre coin des villes, fauchez les peuples, rasez tout, et quand il ne restera plus rien de ce monde pourri, peut-être en repoussera-t-il un meilleur” (page 133). [...]Tidak akan ada lagi tapal batas-tapal batas, kaum pekerja di seluruh dunia yang bangkit dan bersatu akan memberi jaminan kepada buruh, roti yang telah
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
89 didapatkannya. Betapa sederhana dan besarnya organisasi tersebut: pada tingkat yang paling bawah, ada seksi yang mewakili commune; lalu ada federasi yang menghimpun seksi-seksi dari provinsi yang sama; kemudian ada bangsa, dan di atas segalanya, umat manusia yang termanifestasikan dalam sebuah majelis umum, tempat setiap bangsa diwakili oleh seorang sekretaris penghubung. Tidak sampai enam bulan, dunia ini akan terkuasai, dan aturanaturan akan dipaksakan kepada para majikan jika mereka berbuat jahat. ―Konyol sekali!‖ balas Souvarine. ―Karl Marx pujaan Anda (Étienne) itu masih ingin membiarkan kekuatan alam yang bertindak dengan sendirinya. Tanpa politik maupun konspirasi, ya kan?‖ ―Semua dilakukan secara terang-terangan, dan hanya untuk kenaikan upah ... Masa bodoh dengan evolusi Anda!‖ ―Bakar setiap sudut kota! Sapu bersih seluruh rakyat! Bumi hanguskan semuanya! Dan ketika tidak ada lagi yang tersisa dari dunia yang bobrok ini, mungkin sebuah dunia yang lebih baik akan lahir‖ (hal. 133)
Akibat adanya dua orientasi yang berbeda antara borjuis dan proletar, maka sikap kedua kelas ini pun bertolak belakang jika dihadapkan pada perubahan
sosial.
Kelas
borjuis
mempunyai
kecenderungan
untuk
mendukung aturan-aturan atau hukum-hukum lama yang selama ini menguntungkan mereka. Dalam pandangan kelas borjuis, perubahan sekecil apapun dalam struktur ekonomi maupun otoritas diartikan sebagai ancaman bagi kedudukannya. Sebaliknya, kelas proletar akan cenderung bersikap progresif dan mendukung setiap perubahan sosial karena di mata mereka perubahan identik dengan kemajuan. Dikisahkan dalam Germinal bahwa Tuan Hennebeau melihat pemogokan para buruh tambangnya sebagai ancaman terhadap status quo yang selama ini menguntungkannya. Setiap ancaman diartikannya sebagai usaha-usaha untuk menggulingkan posisinya sebagai pemilik tambang. Sedangkan pemogokan kaum buruh yang dipelopori oleh Étienne dan Souvarine adalah simbol progresivitas kaum buruh demi sebuah perubahan nasib. Tuan Hennebeau dan para pemilik tambang lain dengan gigih mempertahankan sikap konservatif mereka. Sebaliknya, buruh tambang batu bara pun dengan sekuat tenaga berusaha mengubah nasib mereka lewat usaha pemogokan tersebut. Kepentingan kedua kelas tersebut ibarat dua kutub yang
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
90
bertolak belakang sehingga titik temu di antara keduanya tidak mungkin terjadi, karena setiap kelas akan berjuang demi kepentingan masing-masing. Majikan akan tetap mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka dengan alasan bahwa perubahan itu akan mengakhiri fungsinya sebagai kelas atas. Kemudian kelas bawah akan menunggu saat yang tepat untuk bertindak karena tuntutan-tuntutan mereka hampir tidak pernah dipenuhi. Dan satusatunya tindakan yang mungkin adalah revolusi. Revolusi ini akan dilakukan oleh kelas bawah dengan tujuan untuk membongkar kekuasaan kelas atas. Perhatikan kutipan berikut: 9) [...] Il (Souvarine) dit à demi-voix, les yeux perdus, comme pour lui-même: “Augmenter le salaire, est-ce qu‟on peut? Il est fixé par la loi d‟airain à la plus petite somme indispensable, juste le nécessaire pour que les ouvriers mangent du pain sec et fabriquent des enfants ... S‟il tombe trop bas, les ouvriers crèvent, et la demande de nouveaux hommes le fait remonter. S‟il monte trop haut, l‟offre trop grande le fait baisser ... C‟est l‟équilibre des ventres vides, la condamnation perpetuelle au bagne de la faim”. “Entendez-vous! reprit-il avec son calme habituel, en les regardant, il faut tout détruire, ou la faim repoussera. Oui! L‟anarchie, plus rien, la terre lavée par le sang, purifiée par l‟incendie! ... On verra ensuite” (page 135). [...] Ia (Souvarine) berkata dengan suara perlahan, matanya menerawang, seolah-olah berkata pada diri sendiri: ―Menaikkan upah, mana bisa? Upah sudah ditetapkan oleh aturan yang ketat sampai pada jumlah yang paling kecil sekalipun, hanya pas untuk kebutuhan dasar supaya buruh dapat makan roti kering dan menghasilkan anak ... Jika upah terlalu rendah, para buruh akan mati, dan permintaan tenaga-tenaga baru akan meningkat ... Jika terlalu tinggi, penawaran yang terlalu besar akan membuatnya turun ... Itu adalah keseimbangan dari perut-perut yang kosong, hukuman lapar seumur hidup‖. ―Pahamkah kalian? katanya lagi dengan sikap yang tenang seperti biasanya sambil memandang mereka berdua, semua harus dihancurkan, jika tidak kelaparan akan timbul lagi. Ya! Tidak ada kata lain selain anarki! Tanah harus dibasuh dengan darah dan disucikan dengan api yang menyala-nyala! ... Kita lihat saja nanti‖ (hal. 135).
Dari kutipan di atas diketahui bahwa selama berminggu-minggu para buruh tambang mogok. Pemogokan itu bahkan sudah menjalar sampai ke hampir seluruh pelosok Montsou. Tetapi para pemilik tambang tetap bersikeras terhadap penolakan mereka. Bagi Étienne dan kawan-kawannya, DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
91
penolakan ini diartikan sebagai alasan untuk mengobarkan revolusi. Akhirnya kerusuhan yang bersifat anarkis pun meletus. Souvarine dengan semangat yang menyala-nyala bahkan berkata bahwa daerah pertambangan ini harus dibasuh dengan darah dan disakralkan dengan pembakaran. 1.5 Negara Kelas Pada dasarnya sebuah negara adalah lembaga yang dikuasai oleh kelaskelas yang menguasai bidang ekonomi. Negara bukanlah institusi yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, dengan kata lain penyelenggaraan sebuah negara menuntut imbalan yang kelak akan diambilkan dari individuindividu yang menghuninya. Negara sesungguhnya adalah alat yang digenggam oleh tangan kelas borjuis untuk mengamankan kekuasaannya. Atas nama kesejahteraan seluruh rakyat negara berpura-pura adil dan bijaksana. Namun sebenarnya keadilan dan kebijaksanaan itu hanyalah siasat untuk mengelabui kelas bawah. Pendirian infrastruktur-infrastruktur yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat hanyalah kedok yang digunakan oleh para aparatur negara demi kepentingan kelas borjuis karena kelas inilah yang memberi sumbangan finansial terbesar bagi negara. Pemerintah dan kaum borjuis merupakan bukti nyata simbiosis mutualisme yang sempurna. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi. Kelas borjuis tidak akan bisa mendirikan dan mengembangkan usaha mereka tanpa lampu hijau dari pihak penguasa. Demikian pula dengan penguasa, dengan dalih untuk memajukan ekonomi negara, penguasa pasti akan sangat permisif terhadap segala bentuk penanaman modal. Lalu apa fungsi kaum peroletar atau kaum buruh? Yang jelas, kaum ini hanyalah salah satu alat perusahaan yang tidak perlu dibayar mahal, karena membayar mahal mereka sama halnya dengan mengurangi jumlah laba usaha.
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
92
Eksplorasi batu bara seperti yang dikisahkan dalam Germinal lebih cenderung kepada aliansi terselubung antara borjuis dengan Kaisar Napoléon III. Usaha pertambangan adalah usaha kolosal dengan modal yang sangat besar. Apabila usaha-usaha pertambangan batu bara mendapatkan untung yang besar bagi para pengusaha borjuis, siapa lagi pihak yang memetik keuntungan selain mereka? Pasti pihak pemegang otoritas! Kemudian, apakah keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan penambangan juga dipergunakan untuk mensejahterakan para buruh mereka? Tentu saja tidak. Ketika para buruh tambang yang mogok menuntut roti sekalipun, para pemilik perusahaan penambangan juga dengan tegas menolak mereka. Penolakan demi penolakan yang dialami oleh para pemogok akhirnya mengharuskan mereka untuk bertindak dengan cara yang anarkis. Sayangnya, tindakan-tindakan anarkis yang menjadi semakin tidak terkendali itu justru disambut pemerintah dengan cara yang represif dengan alasan supaya tidak menjalar menjadi kerusuhan sosial. Akibatnya jatuh korban yang tidak sedikit, dan Toussaint Maheu dan puluhan penambang lain tewas dengan sia-sia. Jika pemerintah adalah institusi yang bertujuan membela kepentingan rakyat, maka semestinya ia mewajibkan para pengusaha borjuis untuk menegosiasikan dan mungkin mengabulkan tuntutan buruh-buruh mereka, namun kenyataannya hal ini tidak dilakukannya. Sebaliknya, pemerintah justru mendukung sepenuhnya langkah-langkah yang diambil oleh para borjuis. Alih-alih melakukan tindakan yang membela kepentingan para buruh kecil, pemerintah malah menyetujui permintaan para pengusaha tambang untuk mendatangkan tentara demi menekan pemogokan. Realitas ini adalah bukti keberpihakan pemerintah kepada kaum pengusaha borjuis
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
93
sehingga apapun yang disinyalir pemerintah sebagai usaha-usaha untuk menghambat laju kapitalisme harus ditekan sebisa mungkin. Untuk lebih jelasnya perhatikan petikan berikut: 10) La pluie des briques redoublait, et il (le capitaine) ouvrait la bouche, il allait crier: “Feu!” lorsque les fusils partirent d‟eux-memes, trois coups d‟abord, puis cinq, puis un roulement du peloton, puis un coup tout seul, longtemps après, dans le grand silence. Ce fut une stupeur. Ils avaient tiré, la foule béante restait immobile, sans le croire encore. Mais des cris déchirants s‟élevèrent, tandis que le clairon sonnait la cessation du feu. Et il y eut une panique folle, un galop de bétaille mitraillé, une fuite éperdue dans la boue. Les cinq autres coups avaient jeté bas la Brûlé et le porion Richomme. Atteint dans le dos, au moment où il suppliait les camarades, il était tombé à genoux; et, glissé sur une hanche, il râlait par terre, les yeux pleins des larmes qu‟il avait pleurées. La vieille, la gorge ouverte, s‟était abbatue toute raide et croquante comme un fagot de bois sec en bégayant un dernier juron dans le gargouillement du sang. Mais alors le feu de peloton balayait le terrain, fauchait à cent pas lea groupes de curieux qui riaient de la bataille. Une balle entra dans la bouche de Mouquet, le renversa, fracassé, aux pieds de Zacharie et de Philomène, dont les deux mioches furent couverts de gouttes rouges. Au même instant. La Mouquette recevait deux balles dans le ventre. Tout semblait terminé, l‟ouragan des balles s‟était perdu très loin, jusque dans les façades du coron, lorsque le dernier coup partit, isolé, en retard. Maheu, frappé en plein cœur, vira sur lui-même et tomba la face dans une flaque d‟eau, noire de charbon (page 389-390). Hujan batu bata semakin bertambah gencar, dan sang kapten akhirnya berseru: ―Tembak!‖ Senapan-senapan pun menyalak; mula-mula tiga letusan, disusul oleh lima letusan yang lain, dan selanjutnya berondongan tembakan dari seluruh peleton, tetapi mendadak dalam kesunyian terdengar sebuah letusan yang terpisah, lama setelah rentetan tembakan berhenti. Semua orang terpana. Tentara-tentara itu rupanya telah membuka tembakan, massa yang terbengong-bengong tidak percaya tetap terpaku tidak bergerak. Tetapi kemudian, jeritan-jeritan yang menyayat hati merobek kesunyian, sementara terompet tanda berhenti menembak ditiup. Massa pun panik seperti segerombolan ternak yang diberondong peluru; para pemogok berlarian kalang kabut di medan yang penuh lumpur. Lima tembakan lain menewaskan la Brûlé dan Mandor Richomme. Richomme tertembus peluru di punggungnya ketika ia sedang menenangkan kawan-kawannya, ia jatuh di atas lututnya; menggelosor dengan sebelah pinggulnya, si mandor sekarat di tanah dengan berlinang air mata. Sedangkan la Brûlé si wanita tua itu, dengan dada terbuka, tertembak seperti seonggok ranting kering, dan sambil terbata-bata ia mengumpat untuk kali terakhir dalam genangan darahnya sendiri.
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
94 Tembakan peleton tentara tersebut menyapu seluruh medan dan membabat massa demonstran iseng yang meremehkan keadaan genting sampai sejauh seratus langkah. Sebutir peluru menerjang mulut Mouquet, membuatnya terkapar dan sekaligus memecahkan kepalanya. Tepat di kaki Zacharie dan Philomène, dua bocah kecil tergeletak berlumuran darah. Pada saat yang sama, dua butir peluru juga bersarang di perut la Mouquette (saudara perempuan Mouquet). Sepertinya semua telah berakhir, badai peluru sudah mereda dan para demonstran sudah beranjak jauh sampai ke depan barak mereka, ketika letupan tembakan terakhir terdengar, lama setelah itu. Tembakan itu ternyata mengenai Maheu tepat di jantungnya sehingga ia terhuyunghuyung dan jatuh dengan wajah menimpa genangan air yang berwarna hitam karena batu bara (hal. 389-390).
Peristiwa berdarah yang menimpa para pemogok tersebut ternyata tidak menjadikan pemerintah yang berpusat di Paris beriba hati. Tewasnya empat belas buruh tambang hanya dianggap sebagai kerikil kecil bagi kelangsungan dan kejayaan kapitalisme Prancis. Pemerintah Prancis menyadari gawatnya aksi pemogokan buruh di Montsou, namun ia tetap menganggapnya remeh meskipun juga sepenuhnya sadar bahwa kerusuhankerusuhan tersebut sewaktu-waktu dapat menggoncangkan situasi sosialekonomi negara. Lihat cuplikan berikut: 11) L‟empire, atteint en pleine chair par ces quelques balles, affectait le calme de la toutepuissance, sans se rendre compte lui-même de la gravité de sa blessure. C‟était simplement une collision regrettable, quelque chose de perdu, là-bas, dans le pays noir, très loin du pavé parisien qui faisait l‟opinion. On oublierait vite, la Compagnie avait reçu l‟ordre officieux d‟étouffer l‟affaire et d‟en finir avec cette grève, dont la durée irritante tournait au péril sociale (page 395). Pemerintah kekaisaran yang ibarat terkena peluru tepat di tubuhnya, berlagak tenang dengan kekuasaan besarnya, tanpa menyadari parahnya luka yang dideritanya. Baginya, hal itu hanyalah kerusuhan yang patut disesalkan, sesuatu yang tidak beres, nun jauh di sana, di negeri yang hitam (oleh batu bara), negeri yang begitu jauh dari jalanan Paris yang menentukan opini publik. Kejadian itu akan cepat terlupakan, la Compagnie telah menerima perintah untuk meredam keributan dan memadamkan pemogokan itu, yang lama kelamaan bisa berbalik menjadi bahaya sosial yang mengancam (hal. 395).
Tuan Hennebeau sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap insiden yang mematikan itu justru akan dianugerahi bintang tanda jasa (La Légion d‟Honneur) karena keberhasilan usahanya dalam menekan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
95
pemogokan. Bagi pemerintah, Tuan Hennebeau adalah pahlawan yang berhasil mengendalikan keamanan dan ketertiban umum. Dengan kata lain, ia dianggap berjasa oleh pihak pemegang kekuasaan dalam memuluskan jalan bagi kapitalisme. Ini adalah bukti keberpihakan pemerintahan Napoléon III kepada golongan borjuis. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut: 12) [...] le bruit courait que, rentré en faveur près de la Régie, il (M. Hennebeau) serait bientôt fait officier de la Légion d‟Honneur, pour la façon énergique dont il avait dompté la grève. On évitait de parler des derniers événements, mais il y avait du triomphe dans la joie générale, le dîner tournait à la célébration officielle d‟une victoire. Enfin, on était donc délivré, on recommençait à manger et à dormir en paix! (page 404-405) [...] terdengar kabar bahwa Tuan Hennebeau yang sudah kembali melakukan aktivitasnya dengan dukungan la Régie (perusahaan monopoli milik pemerintah), akan dianugerahi bintang jasa, diangkat sebagai perwira Legiun Kehormatan atas caranya yang tegas dalam menjinakkan pemogokan buruh. Orang menghindar dari pembicaraan mengenai peristiwa yang baru-baru ini terjadi, namun demikian nuansa kemenangan tampak dalam kegembiraan umum, jamuan makan malam berubah menjadi upacara resmi untuk memperingati sebuah kemenangan. Akhirnya, semua lega, orang bisa makan dan tidur dengan tenang kembali! (hal. 404-405)
1.6 Ideologi Germinal menampilkan nuansa pertentangan dua ideologi yang sangat kental. Kedua ideologi yang dimaksud adalah kapitalisme dan sosialisme. Bagi golongan borjuis, prinsip kapitalisme sah karena ia mengutamakan kebebasan individu dalam mencari keuntungan. Setiap individu berhak untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa dibatasi oleh aturanaturan tertentu. Dalam sistem kapitalis, prestasi dan usaha keras seseorang dihargai setinggi-tingginya sehingga akibatnya akan timbul persaingan yang sangat ketat dalam dunia kerja. Kapitalisme berbicara mengenai modal, jadi semakin besar modal seseorang dalam berusaha akan semakin besar pula kemungkinan finansial yang kelak akan ditangguknya. Dengan kata lain, siapa yang modalnya paling kuat ialah yang akan memenangkan ksesmpatan.
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
96
Yang menjadi pertanyaan adalah: ―Apakah negara turut menjadi makmur jika sistem kapitalis ini yang diterapkan sebagai orientasi ekonomi negara?‖ Jelas sekali. Negara adalah pihak kedua yang paling diuntungkan secara finansial setelah para pengusaha borjuis. Antara negara dan para pemilik modal terjadi suatu kerjasama yang saling menguntungkan. Itulah mengapa, negara dengan senang hati mengesahkan diterapkannya sistem kapitalisme. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini: 13) Ce fut l‟époque où Étienne entendit les ideés qui bourdonnaient dans son crâne. Jusque-là, il n‟avait eu que la révolte de l‟instinct, au milieu de la sourde fermentation des camarades. Toutes sortes de questions confuses se posaient à lui: Pourquoi la misère des uns? Pourquoi la richesse des autres? Pourquoi ceux-ci sous le talon de ceux-là, sans l‟espoir de jamais prendre leur place? (page 153). Pada momen inilah Étienne mendengar ide-ide yang terus berdengung di kepalanya. Sampai saat ini, hanyalah pemberontakan insting yang dirasakannya di tengah-tengah pergolakan yang melanda kawan-kawannya. Segala macam pertanyaan yang membingungkan timbul dalam dirinya: Mengapa ada orang yang miskin? Mengapa yang lain bisa kaya? Mengapa (pihak) yang ini berada di bawah kekuasaan (pihak) yang lain, tanpa harapan untuk bisa menggantikan posisi mereka? (hal. 153). 14) Puisque le bon Dieu était mort, la justice allait assurer le bonheur des hommes, en faisant régner l‟egalité et la fraternité. Une société nouvelle poussait en un jour, ainsi que dans les songes, une ville immense, d‟une splendeur de mirage, où chaque citoyen vivait de sa tâche et prenait sa part des joies communes. Le vieux monde pourri était tombé en poudre, une humanité jeune, purgée de ses crimes, ne formait plus qu‟un seul peuple de travailleurs, qui avait pour dévises: à chacun suivant sa mérite, et à chaque mérite suivant ses œuvres [...] (page. 157). Karena Tuhan telah mati, maka keadilanlah yang akan menjamin kebahagiaan umat manusia dengan persamaan dan persaudaraannya. Sebuah masyarakat baru akan menumbuhkan sebuah kota yang besar dengan keagungan laksana fatamorgana, tempat setiap warga negara hidup dengan kewajibannya dan merasakan kebahagiaan bersama. Dunia lama yang sudah bobrok hancur berkeping-keping, kemanusiaan belia yang telah disucikan dari perbuatan-perbuatan kriminalnya hanya akan membentuk sebuah masyarakat pekerja yang mempunyai semboyan: setiap orang akan dihargai menurut jasanya, dan setiap jasa akan dihargai menurut karya-karyanya [...] (hal. 157).
Dalam ranah ideologi ini, Zola juga mengkritik agama sebagai candu masyarakat. Ia menyamakan agama dengan candu karena kedua hal tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu memberi kepuasan dan kedamaian semu bagi para pemakainya. Orang-orang yang gemar menghisap candu akan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
97
senantiasa merasa puas dan bahagia karena seolah-olah mereka telah terlepas dari berbagai macam persoalan hidup, tetapi sebenarnya kepuasan dan kebahagiaan tersebut hanyalah semu. Demikian pula dengan agama. Agama selalu mendoktrinasi para pengikutnya yang sedang dilanda kesusahan, kemiskinan, atau sedang dirundung oleh berbagai macam kemalangan lainnya dengan janji-janji tentang indahnya surga, asalkan mereka tabah di dalam menjalani segala cobaan itu. Maka, rakyat kecil bukannya memperjuangkan perbaikan nasib mereka, tetapi malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, dengan asumsi bahwa itu semua adalah cobaan dari Tuhan sehingga siapa yang dengan ikhlas menerima perlakuan itu, pasti akan mendapat ―ganjaran‖ di akherat kelak. Akibatnya, hal ini justru akan lebih menguntungkan kelas penindas. Kasus yang sama terjadi di dalam roman Germinal, ketika keluarga Maheu sudah dalam keadaan putus asa karena pemogokan yang dilakukan para buruh belum juga mendapatkan respon positif dari pihak perusahaan. Saat itu, roti, makanan, dan penghangat ruangan sudah tidak mereka punyai lagi, padahal musim dingin yang udaranya sangat menusuk tulang sudah tiba. Alzire, anak keempat keluarga Maheu sudah dalam keadaan sekarat, gadis kecil itu sudah hampir mati kelaparan. Di saat-saat yang mengkhawatirkan itu, datanglah pastor Ranvier. Sang pastor datang dengan membawa pengharapan dan penghiburan atas kemalangan yang menimpa mereka. Katanya, bahwa gereja akan selalu bersama orang-orang miskin seperti Maheu dan buruh-buruh lainnya, bahwa suatu saat nanti gerejalah yang akan memohon keadilan Tuhan atas kejahatan dan ketidakadilan kaum borjuis, dan bahwa hari pembalasan Tuhan terhadap orang-orang yang telah berbuat kesewenang-wenangan akan tiba, dan saat itulah Tuhan akan benar-benar memerintah atas dunia ini. Maka hal yang
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
98
harus dilakukan sekarang adalah sabar dan menerima segala cobaan hidup itu dengan kepasrahan. Perhatikan cuplikan berikut ini: 15) “Encore si ce que les curés racontent était vrai, si les pauvres gens de ce monde étaient riches dans l‟autre!” “Ah! Ouiche, les curés! s‟écriait Maheu. S‟il croyait ça, ils mangeraient moins et ils travailleraient davantage, pour réserver là-haut une bonne place ... Non, quand on est mort, on est mort”. “En voilà encore des idées!” disait le jeune homme (Étienne). “Est-ce que vous avez besoin d‟un bon Dieu et de son paradis pour être heureux? Est-ce que vous ne pouvez pas vous faire à vous-mêmes le bonheur sur la terre?”(page 156) ―Jika saja apa yang diceritakan oleh para pastor itu benar, bahwa orang miskin di dunia ini akan kaya di dunia yang lain!‖ ―Bah, dasar pastor! Teriak Maheu. Jika mereka percaya akan hal tersebut, mestinya mereka tidak akan makan sebanyak itu dan mestinya juga akan lebih giat bekerja untuk bisa mendapatkan tempat yang layak di akherat kelak ... Tidak, yang namanya mati ya mati. ―Ah, ada-ada saja idenya‖, kata si pemuda (Étienne). ―Apakah untuk merasa bahagia dibutuhkan Tuhan yang Maha Baik beserta surganya? Apakah kebahagiaan itu tidak bisa diciptakan sendiri di bumi?‖ (hal. 156)
Meskipun kata-kata yang disampaikan oleh pastor Ranvier itu begitu menghibur hati, namun rasa lapar dan kebencian terhadap kaum borjuis lebih kuat bercokol di dalam sanubari keluarga Maheu, sehingga kata-kata ―indah‖ tersebut tidak memberi pengaruh apapun terhadap mereka. Bahkan Maheu dan istrinya menilai bahwa apa yang dikatakan pastor Ranvier hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatian mereka. Bagi Maheu, kaum gereja hanyalah para pembohong yang pandai bermain kata, karena pada kenyataannya mereka justru tidak pernah berpihak kepada rakyat miskin. Bahkan ia memaparkan bukti yang menyakitkan kaum papa, yaitu adanya hubungan yang harmonis antara kaum gereja dan kaum borjuis kapitalis. Namun demikian, kenyataan yang paling mengharu biru rakyat miskin adalah kemewahan duniawi golongan agama ini dan ketidakpedulian mereka terhadap penderitaan rakyat miskin.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
99
Pastor Ranvier mencoba untuk menawarkan ―candu‖ agama bagi kaum buruh miskin yang kelaparan dan berada di ambang kematian dengan janjijanji surgawinya. Namun ternyata janji-janji yang dijelaskannya dengan panjang lebar itu justru malah merendahkan golongan gereja, karena semua yang ditawarkan itu dianggap sebagai usaha-usaha untuk mengalihkan perhatian para buruh dari tujuan mereka semula. Tuduhan ini didasarkan atas fakta adanya hubungan yang harmonis antara kaum gereja dan kaum borjuis. Bagaimana mungkin antar teman yang rukun dan saling menguntungkan, salah satu akan mengkhianati yang lain? Sebagai bukti, perhatikan kutipan berikut: 16) Alors, debout, le prêtre parla longuement. Il exploitait la grêve, cette misère affreuse, cette rancune exaspérée de la faim, avec l‟ardeur d‟un missionaire qui prêche des sauvages, pour la gloire de sa religion. Il disait que l‟Église était avec les pauvres, qu‟elle ferait un jour triompher la justice, en appelant la colère de Dieu sur les iniquités des riches. Et ce jour luirait bientôt, car les riches avaient pris la place de Dieu, en étaient arrivés à gouverner sans Dieu, dans leur vol impie du pouvoir. Mais, si les ouvriers voulaient le juste partage des biens de la terre, ils devaient s‟en remettre tout de suite aux mains des prêtres, comme à la mort de Jésus les petits et les humbles s‟étaient groupés autour des apôtres. Quelle force aurait le Pape, de quelle armée disposerait le clergé, lorsqu‟il commanderait à la foule innombrable des travailleurs! En une semaine, on purgerait le monde des méchants, on chasserait les maîtres indignes, ce serait enfin le vrai règne de Dieu, chacun récomponsé selon ses mérites, la loi du travail réglant le bonheur universel. “C‟est très bien, ce que vous racontez là, Monsieur le Curé, dit-elle (la Maheude). Mais c‟est donc que vous ne vous accordez plus avec les bourgeois ... Tous nos autres curés dînaient à la Direction, et nous menaçaient du diable dès que nous demandions du pain” (page 353- 354). Sambil berdiri, si pastor berbicara perlahan. Ia memanfaatkan pemogokan buruh, penderitaan yang mengerikan sekaligus dendam yang diperparah oleh rasa lapar itu, dengan semangat seorang misionaris yang sedang berkhotbah di hadapan orang-orang primitif demi kebesaran agamanya. Ia berkata bahwa gereja senantiasa bersama orang-orang miskin, dan bahwa suatu hari gereja akan memenangkan keadilan dengan mengundang kemarahan Tuhan atas ketidakadilan orang-orang kaya. Hari itu akan segera tiba, karena mereka telah merebut tempat Tuhan dan mencuri kekuasaan dengan cara memerintah tanpa-Nya. Namun jika para buruh menginginkan pembagian harta yang adil, mereka harus segera mempercayakan segalanya kepada para pemuka agama, seperti pada kematian Yesus, orang-orang kecil berkumpul di sekeliling para apostel. Betapa hebatnya kelak kekuatan Sri Paus, bagaimana luar biasanya pasukan yang akan dimiliki oleh kaum gereja ketika ia memimpin massa pekerja yang tak terbilang jumlahnya! Dalam waktu seminggu, dunia yang penuh orang-orang jahat akan disucikan, majikan-majikan yang tercela akan diusir, dan pada saat itulah Tuhan akan memerintah dengan seadil-adilnya. Setiap orang akan memperoleh
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
100 imbalan yang sesuai dengan jasanya dan hukum tentang pekerjaanlah yang akan menentukan kebahagiaan universal. ―Indah sekali apa yang telah Anda ceritakan itu, Bapa Pastor‖, kata La Maheude. Tetapi dengan demikian berarti Anda tidak bersepakat lagi dengan para borjuis ... Semua pastor kami biasanya makan malam dengan jajaran direksi, dan mereka selalu menakutnakuti kami dengan iblis setiap kali kami menuntut roti‖ (hal. 353-354).
Kesimpulan Dari analisis yang diterapkan terhadap novel Germinal karya Émile Zola, dapat ditarik dua macam kesimpulan. Kesimpulan pertama menggiring pembaca
ke
arah
penciptaan
Germinal
yang
bertepatan
dengan
berkembangnya ide-ide marxisme di Eropa. Buruh-buruh tambang miskin yang dideskripsikan oleh Zola dalam Germinal adalah gambaran eksistensi sebuah kelompok masyarakat yang menurut konsep pemikiran marxis mengalami tindak perlakuan yang sangat buruk dari sebuah sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem ekonomi kapitalis yang rupanya telah memecah masyarakat ke dalam dua golongan, yakni masyarakat borjuis dan masyarakat proletar. Kedua golongan ini pada prinsipnya saling menganggap bahwa paham yang dianutnyalah yang paling sah dan ajaran lawan tidak sah. Kesimpulan kedua mengungkapkan fenomena ajaran marxis yang oleh segolongan pengikutnya yang tidak puas dengan inti ajarannya, telah dikembangkan lebih jauh ke arah anarkisme. Étienne Lantier, tokoh utama dalam Germinal, pada mulanya adalah agen pembawa pokok-pokok pemikiran marxisme kepada kaum buruh tambang. Selanjutnya, di bawah bayang-bayang Souvarine, seorang agen anarkis dari Rusia, lambat laun ia mulai terpengaruh oleh anarkisme yang dianggapnya lebih mengena secara logika. Namun, pemogokan buruh yang diprovokasi secara anarkis olehnya ternyata berakhir dengan kegagalan. Hal ini menandakan ketidakmampuan anarkisme dalam menjawab atau mewakili aspirasi kaum proletar karena DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
101
sifatnya yang terlalu frontal dan destruktif. Sosialisme yang menjadi harapan kaum proletar pada dasarnya hanya berhenti pada terciptanya sebuah masyarakat yang setara secara sosial, yang tidak harus dibentuk berdasarkan penghancuran total atau pembersihan besar-besaran seperti yang menjadi inti ajaran anarkisme Daftar Pustaka Lagarde, André et Laurent Michard. (1968). XIX Siècle: Les Grands Auteurs Français du Programme. Paris: Bordas Magnis-Suseno, Franz. (2005). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Shadily, Hassan et al. (1989). Ensiklopedi Indonesia 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve
Tadié, Jean-Yves. (1984). Introduction à la Vie Littéraire du XIX Siécle. Paris: Bordas Zola, Émile. (1993). Germinal. Paris: Bookking International
http://fr.wikipedia.org/wiki/Émile_Zola
Suluh Edhi Wibowo, Pertentangan Antarkelas dalam Novel Germinal Karya Émile Zola: Kajian Melalui Teori Marxisme
SPEECH ACTS ON STEPHEN FREAR’S FILM THE QUEEN Beny Hamdani Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
[email protected] Abstrak Pada dasarnya, orang menghasilkan ucapan sebagai sebuah tindakan. Ini berarti bahwa mereka dapat melakukan apapun melalui ucapan seperti meminta, memerintahkan, memberi penegasan, meminta maaf, berterima kasih, dll. Untuk mengekspresikan gagasan tersebut, orang tidak hanya menghasilkan ujaran yang terdiri dari struktur gramatikal, tetapi juga melakukan tindakan melalui ucapan mereka. Pidato merupakan istilah linguistik yang menganalisis fenomena bahasa. Pidato dapat ditemukan dalam ujaran film. Karena itu, penulis memilih film "The Queen" sebagai objek penelitian. Bahasa yang digunakan oleh karakter utama mencerminkan fenomena sosial saat mereka marah, bahagia, sedih, atau terganggu. Selain itu, bahasa yang digunakan oleh karakter utamanya sederhana, namun sangat berpengaruh terhadap respons pendengarnya. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tindak tutur film Stephen Frear The Queen. Ceritanya tentang bagaimana menghadapi kematian Diana. Keluarga Kerajaan saat berada di kediaman musim panas mereka di istana Balmoral melihat kematiannya sebagai urusan pribadi, tidak diperlakukan sebagai kematian resmi Royal. Berbeda dengan Perdana Menteri yang baru diangkat (Tony Blair) dan mantan suami Diana (Pangeran Charles) yang mencoba untuk mencerminkan keinginan publik untuk ekspresi kesedihan resmi. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis jenis tindak tutur pada dialog karakter utama yang terjadi pada film Stephen Frear The Queen yang berurusan dengan tindakan locutionary, illocutionary, dan perlocutionary dan bagaimana karakter utama menggunakan tindakan locutionary, illocutionary dan perlocutionary pada film Stephen Frear The Queen. Dalam menganalisa adegan, peneliti menggunakan teori pidato Austin dan Searle. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif karena data penelitian ini adalah ujaran, sedangkan analisis dan hasilnya tidak disajikan dalam angka atau statistik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena mencoba mendeskripsikan fenomena tindak tutur. Kemudian, data penelitian diambil dari dialog terpilih antar layar sebagai data utama film Stephen Frear The Queen. Ada 10 adegan sebagai data utama dalam penelitian ini. Data dibagi ke dalam adegan. Adegan tersebut dijelaskan ke dalam sebuah analisis tindak tutur. Hasil diskusi tersebut mengungkapkan bahwa banyak jenis tindak tutur yang digunakan oleh tokoh utama yaitu Elizabeth dan Perdana Menteri. Studi ini menemukan 10 adegan (tuturan yang diucapkan oleh karakter), tindakan ilokusi terdiri dari arahan; Asertifitas; Ekspresi; Commissives ditemukan dalam analisis ini, selain itu ada 5 perlokusi sebagai efek dari tindakan locutionary. Arahan muncul sebagai tindak tutur yang dominan menyiratkan tuturan sesuai kenyataan. Ini bisa menjadi indikasi karakter yang mengekspresikan perasaannya agar orang yang mengalaminya bisa melakukan sesuatu misalnya menasihati dan memerintah. Kata kunci: tindak tutur, tuturan, film.
102
103
Abstract Basically, people produce an utterance as an action. It means that they can do anything through utterances such as requesting, commanding, asserting, apologizing, thanking, etc. To express the idea, people do not only produce utterances consisting grammatical structure, but also do an action via their utterances. Speech acts is a term of linguistics which analyzes language phenomena. Speech acts can be found in utterance of film. Therefore, the writer chooses film ”The Queen” as the object of research. The language used by the main characters reflects social phenomena when they are angry, happy, sad, or annoyed. In addition, the language used by the main characters is simple, yet it has great effect to the hearer‟s respond. This research aims to discuss the speech acts on Stephen Frear‟s film The Queen. The story is about in differing how to deal with the death of Diana. The Royal Family while on their summer residence at balmoral castle see her death as a private affair, not to be treated as an official Royal death. In contrast with newly appointed Prime Minister (Tony Blair) and Diana,s exhusband (Prince Charles) who attempt to reflect the public wish for an official expression of grief. This research focuses to analyze what kinds of speech acts on dialogues of main characters that occur on Stephen Frear‟s film The Queen dealing with the locutionary, illocutionary, and perlocutionary act and how do the main characters use locutionary, illocutionary and perlocutionary acts on Stephen Frear‟s film The Queen. In analyzing the scenes, the researcher uses Austin and Searle theory of speech acts. The research employs a descriptive qualitative method. The research design applied in this research is qualitative since the data of this research are utterances, and the analysis and the result are not presented in numbers or statistic. The research is descriptive research as it tries to describe the speech act phenomena. Then, the data of the research are taken from selected dialogues among the scenes as the main data on Stephen Frear‟s film The Queen. There are 10 scenes as the main data in this research. The data are devided into scene and the scene is explained into a speech act analysis. The result of the discussion reveals that many kinds of speech acts used by the main character‟s utterances namely Elizabeth and Prime Minister. The study finds 10 scenes (the utterance being uttered by the character), the illocutionary acts consist of Directives; Assertives; Expressives; Commissives are found in this analysis, besides there are perlocution as the effect of the locutionary acts. Directives appear as the dominant speech acts imply the utterances fit the reality. This can be an indication of the characters expressing his feelings of getting the addressee to do something for instance advising and commanding. Keywords : Speect acts, utterance, film.
The Background of the Study Language is a media to explore all ideas and the feeling of human beings. It is kind of idea or concept by people transfering and sharing informations, emotions, experiences, knowledge, as well to understand, Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
104
persuade, and convert the others. By using language, it can be achieved a certain effect and also consider that the communication will be successful to attain the purpose, as Sapir states that ―Language is a purely human and non– instintive method of communicating ideas,emotions, and desires by means of voluntarily produced symbols‖(Poole, 1869:4). Language is an important part of communication as a basic human activity. Language is not only seen as the object to be explored but also taken a vital function in many different aspects of life such as social, military, economic or even politic. Briefly, language is the chief means by which people communicate. The use of language from various purposes is governed by the conditions of society, in as much as these conditions determine the users‘ acess to, and control of what the conversation means. It can be learned in Pragmatics. Pragmatics is needed to get a fuller, deeper, and generally more reasonable account of human language behaviour. Parker (1986:42) defines that ―Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language; pragmatics is the study of how language is used to communicate‖. In the same way, Yule (2010:127) states that pragmatics is the study of what speakers mean, or ―speaker meaning‖. In addition, Leech (1985:173) states that ―Pragmatics is as the study of the meaning of linguistics utterances for their users and interpreters‖. In other words, Levinson (1986:9-27) states that: ‖Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized or encoded in the structure of language; Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding; Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the context in which they would be appropriate; Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech acts and aspect of discourse structure‖.
Speech acts is the greater interest to the pragmatics studies which concerns with what people say through the language by looking at the context. It is not only about the meaning of the utterance the people produce, but it also performs some acts behind those utterances. Yule (2010:133) states that speech acts is as the action performed by a speaker with an utterance. By speech acts, it can be understood, roughly speaking, the principle according to which an utterance, in a conversational setting. Searle (in Levinson, 1983:26) says that ‖ Speaking a language is performing speech acts, such as making statement, giving commands, asking questions, making promises, and so on‖. In other words, Austin (in Levinson, 1983:236) states three types of speech acts namely: ‖the locutionary aspect has to do with the utterance of a sentence with determinate sense and reference; the illocutionary aspect with the meaning of
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
105 a statement, offer, promise, etc. An uttering a sentence, by virtue of the conventional force associated with it, whereas the perlocutionary aspect deals with the bringing about of effects on the audience by means of uttering the sentence, such effects being special to the circumstances of utterance‖.
The object of the research is Stephen Frear‘s film The Queen. The Queen is the British film, directed by Stephen Frears‘, written by Peter Morgan, and starred by Helen Mirren as the main character, Queen Elizabeth II and Michael Sheen as the youngest Prime Minister. The film depicts a fictional account of the immediate events following the death of Diana, Princess of Wales. The story is about in differing how to deal with the death of Diana. The royal family while on their summer residence at Balmoral castle sees her death as a private affair, not to be treated as an official Royal death. In contrast, with newly appointed Prime Minister (Tony Blair) and Diana ex-husband (Prince Charles) who attempt to reflect the public wish for an official expression of grief.
Some selected dialogues on Stephen Frear‘s film The Queen are interpret pragmatically based on speech act theory proposed by Austin and Searle. There are two characters whose utterances will be analyzed. They are Helen Mirren as the main character, Queen Elizabeth II (character 1) and Michael Sheen as the Prime Minister (Character 2). Finally, the discussion presented in this thesis highlight the analysis of Speech Acts on Stephen Frear‘s film The Queen. More specifically, the aim is to determine the role of the speech acts in the comprehension of Stephen Frear‘s film The Queen. The problems to discuss in this thesis are formulated as follows: a) what are the locutionary, illocutionary, and perlocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen? b) What are the most dominant illocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen? Pragmatics is related to study of meanings of what the speaker‘s intended meaning. It concerns with the analysis of what the people‘s intention. Pragmatics deals with the user of the language. Based on the definition above, it can be concluded that pragmatics is the study of language or utterance meaning in which the meaning is influenced by the context. In short, pragmatics emphasizes on the relation between language, meaning and context. Pragmatics includes the study about the speech acts. The term speech acts do not refer simply to the act of speaking, but to the whole communicative situation including the context of the utterance which may
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
106
contribute to the meaning of the interaction. Speech acts are utterances that do not talk about a state of affairs, but are meant to perform an act. Speech acts are parts of a language behavior. Speech acts refer to actions being performed by speakers via the utterances they produce. Speech acts is the actions performed in the actual situations of language use, as Searle (1969:16) states that‖To take the token as a message is to take it as a produced or issued token…. [S]peech acts…..are the basic or minimal units of linguistic communication‖. Speech acts concern with what people say through the language by looking at the context. It is not only about the meaning of the utterance by what the speakers produce, but it also performs some acts behind those utterances. The speech act theory begins with Austin‘s theory. Austin (in Levinson, 1983:236) states three kinds of acts as follows: 1.
Locutionary act: the utterance of a sentence with determinate sense and reference. 2. Illocutionary act: the making of a statement, offer, promise, etc. In uttering a sentence, by virtue of the conventional force associated with it (or with its explicit performative paraphrase). 3. Perlocutionary act: the bringing about of effects on the audience by means of uttering the sentence, such effects being special to the circumstance of utterance. The study of speech acts begin with Austin‘s speech act theory between three kinds of speech act namely a locutionary act (the act of saying something), an illocutionary act (the act of doing something), and a perlocutionary act (the act of affecting someone). Austin identifies three different levels of actions beyond the speech event itself. They are a locutionary act, an illocutionary act, and perlocutionary act. The locutionary act is the act of saying something. It is the act of using the words. The illocutionary act is the act in doing something such as answering, apologizing, and instructing. The perlocutionary act is the act of affecting someone. A particular act may succeed or not according to certain conditions. An illocutionary act succeeds if the audience recognizes the attitude being expressed, such as a desire in the case of request. A perlocutionary act succeeds if the audience accepts it and actually does it. In addition, As Leech states (1983:199) that: Locution: s says to h that X (X being certain words spoken with a certain sense and reference)
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
107
Illocution: Perlocution:
In saying X, s asserts that P. By saying X, s convinces h that P.
Research Method This thesis analyzes the film The Queen. The object of the research is some selected utterances on Stephen Frear‘s film The Queen. Therefore, the library research is applied to organize the data. The method is carried on by selecting relevant theories from books concerning with pragmatics studies which support the discussion of speech acts comprehension consisting of the locutionary, illocutionary, and perlocutionary acts. The most important part of the research is data analysis, because in this part, the data is revealed. From the result of the data analysis, the conclusion then can be drawn. The source of data is Stephen Frear‘s film The Queen which contains 96 scenes. There are 25 scenes containing the speech act phenomenon as the data to be analyzed. In this research, the researcher uses speech act theory proposed by Austin and Searle as the approach. The thesis primarily analyzes how the selected characters‘ utterances are applied in the speech act utterances derived from Stephen Frear‘s film The Queen. The nature of analysis of this thesis is descriptive. Descriptive method is a way of data analysis in conducting the scientific research as well as a method to make description, illustration, and explanation systematically and comprehensively. To organize this thesis, the written data from movie script are classified into scenes which consist of main characters‘ utterances on Stephen Frear‘s film. Each utterance is classified into several scenes based on its form to help simplifying the analysis and to make it more comprehensive to discuss. The first discussion is what are the locutionary, illocutionary, and perlocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen. The analysis begins with describing the context of the selected scene consisting of the setting, the participants, the situation, and the topic in the conversation among the main characters. Then, from that utterance, the writer analyzes the utterance into the locutionary acts (the words being spoken), the illocutionary acts (the speaker‘s goal in uttering the utterances) and the perlocutionary acts (the effect achieved by the hearers to do something with the speakers‘ utterances). Next, and the second discussion deals what are the most dominant illocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen. The last, it is completed by conclusion.
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
108
Discussions 1.
What are the locutionary, illocutionary, and perlocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen.
1. a.
Scene 1 Introduction The setting of this event is at the Buckingham Palace. The participants are Elizabeth as the Queen and Robin Javrin. In this situation, The Queen sits at breakfast reading the newspaper. In the meantime, Dogs are under the table. A knock on the door, and Robin Javrin, her deputy private secretary, pops around. The Queen frostily flicks a page without looking up. The Queen and Robin walk through a corridor of the palace. Robin Javrin informs Elizabeth as the Queen that the new appointed youngest Prime Minister, Tony Blair, is on the way toward Buckingham Palace. b.
Data Description
Robin Javrin
:
The Prime Minister is on his way, Ma‘am.
Elizabeth
:
To be, Robin, Prime Minister to be. He hasn't asked my permission yet. He's a hard one to read, isn't he?
Robin Javrin
:
Yes. On the one hand his background is quite establishment. Father a Conservative, a public school education at Fêtes where he was tutored by the same man as the Prince of Wales.
Elizabeth
:
Well, we'll try not to hold that against him.
c. 1.
Analysis Locutionary act Based on the conversation above, the locutionary act is Elizabeth‘s utterance. She says that “well, we'll try not to hold that against him”. She utters it to Robin Javrin, his private secretary, at the Buckingham Palace. 2.
Illocutionary act This utterance belongs to assertive. By saying the utterance, Elizabeth states about the general election that Tony Blair is an appointed new Prime Minister of Great Britain. He derives from the labor party. In this situation, the Labor party wins the general election against the conservative. The labor part wins the second largest number of seats in the House of Commons at the General Election with 258 MPs. The Labor party is the main political parties in Great Britain. Tony Blair is a leader of the Labor DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
109
party after John Smith‘s suddenly death from a heart attack in 1996. Later on, Elizabeth also gives a comment about Tony Blair‘s background of his education and Tony Blair‘s wife namely Cherie as a woman with antiMonarchist Sympathies. Then, Elizabeth reminds Robin Javrin, his private secretary, to respect Tony Blair although his manifesto promises the most radical modernization and shake –up of the British Constitution in three hundred years. 2. a.
Scene 2 Introduction The setting of this event is in a car, inner quadrangle of Buckingham Palace in the morning. Two participants are involved in this conversation namely Tony Blair and Cherie Blair. Here, in the Buckingham Palace, the motorcade sweeps into the grand inner quadrangle of Buckingham Palace and stops at the King‘s door. Three secret service bodyguards leap out and open the car doors. Tony looks out at the palace. He also looks up at the vast palace in front of him. On this occasion, Tony Blair, that he is appointed as new youngest Prime Minister from Labor party at the general election, would like to meet Elizabeth at first meeting as well to ask a permission to be the tenth Prime Minister of Great Britain that is a constitutional monarchy with the queen as the head of state and the prime minister is the head of government. The present Prime Minister is a representative Tony Blair whose replaced John Major b.
Data Description
Tony Blair :
Funny, I'm actually rather nervous.
Cherie
why? You've met her often enough before.
:
Tony Blair :
I know, but never one to one, and never as Prime Minister.
Cherie
Remember, you're a man that's just been elected by the whole country.
:
Tony Blair :
Yes. But she's still, you know the Queen.
c. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says that “Funny, I'm actually rather nervous”. He utters it to Cherie, his wife. 2.
Illocutionary act The use of expressive form is presented in this conversation. By saying the utterance, Tony Blair praises his feeling if he is so nervous to meet Elizabeth, as the Queen, for the first time at weekly meeting at Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
110
audience room of Buckingham Palace. In this situation, Tony Blair shows his feeling after being the winner in the General Election. The General Election in Great Britain is to choose Prime Minister and Member of Parliament. He feels that it is unpredictable result from the television and national newspaper headlines in Great Britain. It is unbelievable fact that he never thinks about to be Prime Minister. Consequently, Tony Blair‘s utterance makes him so surprise in the first time at weekly meeting at the Buckingham Palace. Therefore, this utterance belongs to expressive. 3. a.
Scene 3 Introduction The setting of this event is at the Buckingham Palace (audience room). Two participants are involved in it, Tony Blair and Cherie Blair. In this situation, Elizabeth and Tony Blair make a conversation at audience room of the Buckingham Palace. Tony Blair as a new pointed Prime Minister in the general election asks permission to the Queen to form the government of the United Kingdom. b.
Data Description
Tony Blair
:
No.
Elizabeth
:
First thing we do, I believe. Then we take your passport and spend the rest of the time sending you around the world.
Tony Blair
:
You obviously know my job better than I do.
Elizabeth
:
Well, you are my tenth Prime Minister, Mr. Blair. I'd like to think there weren't too many surprises left. My first was Winston Churchill. He sat in your chair, in frock coat and top hat, and was kind enough to give a shy, young girl like me quite an education.
Tony Blair
:
I can imagine.
Elizabeth
:
with time, one has hopefully added experience to that education, and a little wisdom better enabling us to execute our constitutional responsibility. To advise, guide and warn the government of the day.
Tony Blair
:
Advice which I look forward to receiving.
Elizabeth
:
We will save that for our weekly meetings. Now, if there's nothing else, I believe we have some business to attend to.
Tony Blair
:
Of course.
c. 1.
Analysis Locutionary act
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
111
The locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says that “You obviously know my job better than I do”. He utters it to Elizabeth, as the Queen of the political system in the United Kingdom and Great Britain, at the weekly meeting at the audience room of the Buckingham Palace. 2.
Illocutionary act Based on the conversation above, this utterance belongs to directive. In this situation, Tony Blair‘s utterance requests Elizabeth, as the Queen, to advise, guide and warn him in managing the government. In fact, Tony Blair, as a new youngest Prime Minister this century, has not so many experiences to manage the government duties every day. Elizabeth has been the Queen for quite a long time with many experiences in it. In addition, the Queen who always loves all her family especially her grandchildren is a hard working lady. 4. a.
Scene 4 Introduction The situation happens at sitting room of the Balmoral castle. There are four participants involved in this situation. They are Prince Philip, Elizabeth, Prince of Wales and Queen Mother. The Queen flicks channels, peering over her glasses, trying to catch the latest news on the television. At the moment, Charles enters the room. His face ravages with concern. It is the first time the Queen has seen him since news of the crisis. The Queen Mother sits on the sofa next to Prince Philip watching television in the corner. Prince Philip, Elizabeth, Charles and Queen Mother dispute how to handle Diana‘s coffin at sitting room of the Balmoral castle. b.
Data Description
Prince Philip
: What was she doing in Paris?
Elizabeth
: You know what she's like. It's quite awful. What are you going to do about the boys?
Prince of Wales
: Let them sleep until we know more.
Elizabeth
: Yes that's sensible.
Prince of Wales
: I should go to Paris. I told my people to start organizing a jet.
Elizabeth
: What? A private one?
Prince of Wales
: Yes.
Elizabeth
: Isn't that precisely the sort of extravagance they attack us for?
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
112 Prince of Wales
: How else am I going to get to Paris at this time of night? The airport at Aberdeen will be closed.
Queen Mother
: You can use the royal flight. They keep one of the planes on permanent standby. In case I kick the bucket.
Elizabeth
: Out of the question. It's not a matter of State.
Prince of Wales
: What are you talking about?
Elizabeth
: Diana is no longer an HRH, nor a member of the Royal Family. This is a private matter.
c. 1.
Analysis Locutionary act In this event, the locutionary act is Elizabeth‘s utterance. She says ―Isn‘t that precisely the sort of extravagance they attack us for‖. She utters it to Prince of Wales when he would like to go to Paris with a private jet. 2.
Illocutionary act Elizabeth‘s utterance belongs to directive. This event happens when Elizabeth sits at sitting room with the royal family. Here, On this occasion, Elizabeth‗s utterance advises Charles, not to go to Paris by a private jet because Elizabeth thinks that it is precisely as the sort of extravagance and the British People will attack the Royal Family. Elizabeth‘s utterance gets Charles, as the Prince of Wales, to think about his decision to go to Paris by a private jet of the Royal Family and Charles does not go to Paris by a private jet. As a result, the Prince of Wales or Charles finally goes to Paris by public aero plane. 3.
Perlocution The perlocution act is speech acts that produce an effect, intended or not achieved in addressee by a speaker‘s utterance. In relation to the Elizabeth‘s question, she refuses Charles to use the royal flight to go to Paris. Consequently, Charles does not use the royal flight to go to Paris. 5. a.
Scene 5 Introduction The setting of this event is in Downing Street-Tony Blair‘s home. In this event, the conversation happens in reading room. There are two participants joining it. They are Tony Blair and Alastair. In this situation, The CNN television station continues on reporting the latest news of Diana‘s death. In the meantime, Tony Blair watches on television, sits downstairs,
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
113
and has thrown on some clothes. He speaks on the phone with Alastair. Later on, Alastair Campbell, press secretary to Tony Blair, is dressed and already in Downing Street. He is also watching television. Tony Blair asks Alastair to cancel everything else because Diana died. b.
Data Description
Tony Blair :
What have I got on this week?
Alastair
You're writing your maiden conference speech as Prime Minister.
:
Tony Blair :
Well, let's cancel everything else. This is going to be massive. I'd make a statement in the morning.
Alastair
You'll be pleased to know I've already started coming up with ideas.
:
Tony Blair :
God, she's only been dead an hour!
Alastair
Would you prefer I didn't do my job?
:
better
c. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says “Well, let's cancel everything else. This is going to be massive. I'd better make a statement in the morning”. He utters it to Alastair, as director of communication and strategy for the Prime Minister. 2.
Illocutionary act The use of directive form of the illocutionary act is presented in this conversation. In this situation, they are in conversation on the phone seriously after Tony Blair hears the news of Diana‘s death on television. In addition, Tony Blair strongly suggests Alastair to cancel some activities of Prime Minister schedule as well as he plans to make a statement in the morning, as the earliest opportunity. Tony Blair‘s utterance begs Alastair to arrange the place where Tony Blair would like to give a speech. Therefore, related to what has been said by Tony Blair, Alastair finally decides to cancel all of Tony Blair‘s activities at that moment. Therefore, Tony Blair‘s utterance belongs to directive. 3
Perlocution
Related to what has been said by Tony Blair, Alastair finally decides to cancel all of the Tony Blair‘s activities and he prepares to make a draft in Tony Blair‘s speech. 6.
Scene 6
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
114
a.
Introduction The setting of this event is in a bedroom at Balmoral castle when Elizabeth writes her diary book. There are two participants namely Prince Philip and Elizabeth. In this situation, The Queen sits in bed, writes her diary in a bedchamber that the decor is unchanged in a hundred years. Prince Philip sticks his head around the corner. He looks at the Queen. Elizabeth raises her eyebrow. Prince Philip smiles to himself recalling Margaret‘s words. The Queen looks up. Philip produces a bottle of pills from his dressing-gown pocket, and shakes them. Prince Philip touches her on the shoulder. But she does not reciprocate. He goes. The Queen appears to continue writing. She is staring in thought. In the end of the conversation, Prince Philip strongly persuades Elizabeth to take a rest because it is at midnight. Frankly, Elizabeth refuses it and she writes to a little longer. b.
Data Description
Prince Philip
: Well, well, well.
Elizabeth
: Yes
Prince Philip
: Are you all right? Your sister called about an hour ago from Tuscany.
Elizabeth
: I hope you told her to come back? Cut the holiday short?
Prince Philip
: I did.
Elizabeth
: I can't imagine she was pleased.
Prince Philip
: That's putting it mildly.
Elizabeth
: What did she say?
Prince Philip
: Something about Diana managing to be even more annoying dead than alive.
Elizabeth
: Just make sure the boys never hear you talk like that.
Prince Philip
: Of course, something to help you go down?
Elizabeth
: No. I'm going to do my diary a little longer.
Prince Philip
: Fine. I'll sleep next door.
c. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Elizabeth‘s utterance. She says “No. I'm going to do my diary a little longer”. She utters it to his husband Prince Philip.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
115
2.
Illocutionary act The use of assertive form is shown in this conversation. In this situation, Elizabeth denies Philip‘s suggestion to take a rest and decide to write down her diary a little longer until at midnight. She wants to share his feelings and ideas on his diary. This utterance indicates that Elizabeth do not go to bed as the Philip‘s suggestion. Thus, Elizabeth‘s utterance belongs to assertive. 7. a.
Scene 7 Introduction The setting of this event is in dining room at Balmoral castle. The four participants on this conversation are Robin Javrin, Prince Philip, Queen Mother, and Elizabeth. In this situation, The Queen, Prince Philip and the Queen Mother sit in silence at the table, eat breakfast, listen to radio coverage stoically, flick through newspapers soberly. The Queen is the only one who is fully dressed. She is reading a magazine namely ―The Sunday Times‖. All around them the Queen‘s maids perform the choreography of service as the radio coverage continues. One maid pours tea. Another brings fresh toast. They set Charles‘s place and his breakfast. Suddenly, a knock on the door, Robin Javrin enters, and bows in respect to the Queen. The Queen gets to her feet and walks out into his working room. Robin Javrin strongly informs Elizabeth that Tony Bair phones her seriously. b. Data Description Robin Javrin
:
I'm sorry to disturb, Ma'am, but I've the Prime Minister for you from his constituency.
Queen Mother
:
Lucky you.
Elizabeth
: Thank you, Robin. I'll take it next door.
c. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Elizabeth‘s utterance. She says “Thank you, Robin. I'll take it next door”. She utters it to Robin Javrin. 2.
Illocutionary act This event happens in Balmoral castle between Elizabeth and Robin Javrin, his private secretary. This utterance belongs to assertive. In this situation, after informing it, the Queen goes to the kitchen in order to speak with Prime Minister on the phone about the news of Diana‘s death recently. In the end of the conversation, Elizabeth states to his room to consider to the Prime Minister about the latest news of Diana‘s death in a car crash in Paris. Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
116
8. a.
Scene 8 Introduction The setting of this event is at Balmoral castle. There are two participants namely Elizabeth and Tony Blair. In this situation, The Queen picks up the phone. The contrast in surroundings could hardly be greater. Tony is sitting in a cramped room, surrounded by toys, in track suit, in a working-class house. Cherie appears in the doorway. The Queen‘s face shows bristling at the suggestion. Tony shoots a look at Cherie. Tony Blair and Elizabeth make a conversation on the phone at Balmoral castle. Tony Blair expresses his sadness and offers the Queen to make a statement or not to the British people. b. Data Description Elizabeth
:
Good morning, Prime Minister.
Tony Blair :
Good morning, your Majesty. May I say right away how very sorry I am and that the thoughts and prayers of my family are with you at this terrible time and with the two princes in particular.
Elizabeth
Thank you.
:
Tony Blair :
Is it your intention to make some kind of appearance or statement?
Elizabeth
:
Certainly not. No member of the Royal family will speak publicly about this. It is a private matter and we would all appreciate it if it could be respected as such.
Tony Blair :
I see. I don't suppose anyone has had time to think about the funeral yet?
Elizabeth
We've spoken to the Spencer family, and it's their wish, their express wish, that it should be a private funeral with a memorial service to follow in a month, or so.
:
Tony Blair :
Right.
Elizabeth
Given that Diana was no longer a member of the Royal Family we have no choice but to respect their wishes.
:
Tony Blair :
I see.
d. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says “Is it your intention to make some kind of appearance or statement”. He utters it to Elizabeth, as the Queen. 2.
Illocutionary act
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
117
The use of directive form is shown in this conversation. In this situation, Tony Blair recommends to Elizabeth as the Queen to make a speech or statement to the British people about Diana‘s death news on television in a car crash in Paris on behalf of the Royal Family. By uttering this utterance, Tony Blair irritates the Queen clumsily. Then, Elizabeth rethinks again Tony Blair‘s suggestion. Therefore, Tony Blair‘s utterance belongs to directive 3.
Perlocution
By uttering this utterance, Tony Blair irritates the Queen anymore. As a result, the Queen rethinks what Tony Blair‘s suggestions with his Queen mother at the Balmoral castle. 9. a.
Scene 9 Introduction The conversation takes place at Trimdon. The participants are Tony Blair and Cherie Blair. In this situation, Tony Blair and Cherie Blair make a conversation at Trimdon after putting down the phone. Tony‘s face becomes dark. Tony Blair tells Cherie that the Queen‘s instinct is to do nothing. b. Data Description Tony Blair
:
Her instinct is to do nothing. Say nothing. And give her a private funeral.
Cherie Blair :
Are you surprised? She hated her guts.
Tony Blair
Well, I think it's a mistake. They screwed up her life. Let's hope they don't screw up her death.
:
c. 1.
Analysis Locutionary act The locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says ―Well, I think it's a mistake. They screwed up her life. Let's hope they don't screw up her death”. He utters it to his wife Cherie Blair. 2.
Illocutionary act Based on the conversation above, this utterance belongs to directive. In this event, after phoning Elizabeth, Tony Blair tells to Cherie that Elizabeth does not express his bereavement of Diana‘s death. Consequently, Elizabeth is hated by the British people because Elizabeth does not see her bereavement of Diana‘s death. 10. a.
Scene 10 Introduction Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
118
The setting of this event is in a car on Tony Blair way back to London. The participants are Tony Blair, Lord Airlie and Aide. Suddenly, the phone rings. He is travelling with Aide, who answers the phone, listens, and then hands it to Tony. Tony shoots a look, ‗who?‘ The Aide covers the phone. In the same way, Tony nods and takes the phone. A man with a military bearing is driven in a car speaking into a mobile phone.. Here, The Lord Airlie will organize all ceremonial events of Diana death b.
Data Description
Lord Airlie
: Lord Airlie, the Lord Chamberlain, in charge of the funeral. You're meeting him at the airport.
Tony Blair
: Lord Airlie.
Aide
: Prime Minister. I'm responsible for organizing all royal ceremonial events and there's simply no precedent for the funeral of an ex-HRH.
Tony Blair
: Then perhaps we should plan for any contingency.
Aide
: Yes. I've arranged a meeting tomorrow morning at 10.00 at Buckingham Palace, officials from all three palaces, representatives from the Spencer Family, the emergency services. Would you send some of your people?
Tony Blair
: Absolutely, of course. `Preeecedent?' Where do they find these people?
c. 1.
Analysis Locutionary act Here, the locutionary act is Tony Blair‘s utterance. He says “Then perhaps we should plan for any contingency”. He utters it to Lord Airlie on the phone. 2.
Illocutionary act The use of directive is shown in this conversation. In this situation, Tony Blair‘s advises to the Lord Airlie to organize the meeting first to decide and arrange the ceremonial events of Diana‘s death as the earliest opportunity. It is essential whether the funeral belongs to the private or public funeral. Here, Lord Airlie organizes the meeting as Tony Blair‘s suggestion to decide and organize all royal ceremonial events of the death of Diana. 4.2
What are the most dominant illocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen.
This subchapter is called as discussion. It deals with some findings obtained from all scenes analyzed. These findings are based on the problem statements on the thesis consisting what are the locutionary, illocutionary, DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
119
and perlocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen and what are the most dominant illocutionary acts produced by the main characters on Stephen Frear‘s film The Queen. The illocutionary acts that can be found in this movie script are assertive, directive, commissive, and expressive. The most dominant type of illocutionary acts which is used by main character is directive which contains 6 scene namely scene 3, 4, 5, 8, 9, 10. The main character use directive illocutionary acts in the form of advising which has 2 scenes namely scene 4 and 10, in the form of requesting which has 2 scenes namely scene 3 and 9, in the form of commanding which has 1 scene namely scene 5, in the form of recommending which has 1 scene namely scene 8. The second dominant illocutionary acts is assertive which has 2 scenes. This illocutionary acts are used by main character in the form of stating which has 2 scenes namely scene 1 and 7, in the form denying which has 1 scene namely scene 6. And the third dominant illocutionary acts is expressive which has 1 scene namely scene 2. This illocutionary acts are used by main character in the form of praising which has 1 scene namely scene 2. After analyzing 10 scenes in this movie script, it is inferred that the most dominant illocutionary acts produced by main character on Stephen Frear‘s film The Queen is directive. Generally, the main character on Stephen Frear‘s film The Queen often use the utterances that expressed illocutionary acts which consists of requesting, advising, commanding, recommending, asking, stating, denying, claiming, praising. CONCLUSION The research entitled ―Speech Acts on Stephen Frear‘s film The Queen‖ has already made. The researcher has specific reason of choosing the topic for the study; the first is the understanding of readers about the locutionary act, illocutionary act, and perlocutionary act of the speech acts on Stephen Frear‘s film The Queen. Secondly, what are the most dominant illocutionary acts produced by main characters on Stephen Frear‘s film The Queen. From the locutionary, illocutionary, and perlocutionary act, the readers can make many kinds of perception and influence from the author through it; perception about what the meaning of the main characters‘utterances of the movie script is and the influence caused by the main characters‘ utterances on Stephen Frear‘s film.
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
120
In this thesis, the aims have already explained, they are: (1) to explain and analyze the locutionary, illocutionary, and perlocutionary speech acts produced by the main characters on Stephen Frear‘s film The Queen, and (2) to explain and analyze the most dominant illocutionary acts produced by the main characters on Stephen Frear‘s film The Queen. Before the data were analyzed, the writer classifies the data from movie script into scenes, which consist of the main character‘s utterances from the dialogue. Then, the writer analyzed the scenes of main character‘s utterances. Those utterances are analyzed based on Austin‘s speech act theory. Holistically, based on the discussion in the previous chapter, it can be inferred that speech acts is important to reveal the intended speaker meaning as well as to attain certain communicative goals by performing acts through the use of language. Moreover, speech acts concerns with what people utter through the language by looking at the context. It is not only about the meanings of the utterance what people utter but it also performs some acts behind those utterances. The result of the discussion reveals that many kinds of speech acts produced by main character‘s utterances namely Elizabeth and Prime Minister. The study finds that there are 10 scenes (the words being uttered by the character), the illocutionary act consists of directives appear, assertives, expressive, commissives, and declarative, besides there are 4 perlocution as the effect of the locutionary acts. Directives appear as the dominant speech acts imply the utterances fit the reality. This can be an indication of the characters expressing his feelings of getting the addressee to do something for instance advising and commanding. BIBLIOGRAPHY Austin, J. L. (1975). How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press. Black, Elizabeth. (2006). Pragmatics-Stylistics. London: Edinburgh University Press Ltd. Blaxter, L., Hughes, C., and Tight, M . (1996). How to Research. Buckingham: London: Open University Press. Cruse, Alan. (2000). Meaning in Language: an introduction to semantics and pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 4, Februari 2017
121
Habermas, Jurgen. (1998). On the pragmatics of communication. Cambridge: Cambridge University Press. Horn, L.R., and Ward, G. (2004). The Handbook of Pragmatics. London: Blackwell publishing Ltd. Leech, Geoffrey, N. (1983). Principles of Pragmatics. London: Longman Group Ltd. Levinson, Stephen C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press Mey, J. L. (1993). Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing Press. Mey, J. L. (2001). Pragmatics: An introduction (second edition). Oxford: Blackwell Publishing Press. Poole, Stuart.C. (1869). An introduction to Linguistics. Foreign Language Teaching and Research Press: Acmillan Publishers Ltd. Searle, J. R. (1969). Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language, Cambridge: Cambridge University Press. Yule, George. (1985). The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Yule, George. (2010). The Study of Language: fourth edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Beny Hamdani, Speech Acts On Stephen Frear‘s Film The Queen
FORMAT PENULISAN NASKAH Redaksi menerima kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain. 2. Artikel berupa hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, dan ulasan buku. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dan diketik dengan spasi 1,5 pada kertas B5 atau ukuran 18,2 x 25,7 cm. Ukuran margin masing-masing 2,54 cm. Jumlah halaman 10 – 13 halaman. 4. Semua artikel ditulis dalam bentuk esai dan berisi a) abstrak (100-150 kata) dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia; b) kata-kata kunci (3-5 kata); identitas penulis (tanpa gelar akademik); d) pendahuluan (tanpa subbab) yang memuat latar belakang masalah, sedikit tinjauan pustaka, dan masalah/tujuan, serta kerangka pemikiran teoritik; e) pembahasan yang disajikan dalam subbab-subbab; f) simpulan; dan g) daftar rujukan. Pustaka yang diacu harus dipakai dan masuk dalam teks artikel. Kutipan ditulis dalam bentuk innote. 5. Daftar pustaka ditulis dengan standar APA tatacara seperti contoh berikut : Qalyubi, Imam. (2015). Membongkar Belantara Gelap : Sejarah di Tanah Pegustian dan Pangkalima Kalimantan. Yogyakarta : Daun Lontar Yogyakarta. Hooykaas, C. (1958).‖Four lineYamaka in the Old Javanese Ramayana‖. Dalam journal Royal Asiatic Society 58 (71). h. 122-138. 6. Naskah dikirim melalui email
[email protected] dalam 2 (dua) format yaitu PDF dan MS Word. 7. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. 8. Penulis yang artikelnya dimuat wajib memberi kontribusi biaya cetak minimal Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan akan mendapatkan 2 (dua) eksemplar sebagai nomor bukti pemuatan.
137