Bali 1928, vol. III Lotring dan Sumber-Sumber Tradisi Gamelan Semar Pagulingan, Calonarang, Palégongan, Gendér Wayang, Gambang & Gandrung dari Titih, Kuta, Kaliungu, Pura Kawitan Kelaci dan Pagan
❁ Edward Herbst 2015
STMIK STIKOM BALI www.bali1928.net www.arbiterrecords.org
Daftar Isi iii 1 7 12 19 24 26 28 29 32 43 44 45 46 50 54 62 63 66 68 69 70 71 74 75 78 80 81 85 89 96 107
111 121 123 129
Daftar Foto Pendahuluan Linimasa Rekaman Bali 1928 Gamelan Bali Sukawati sebagai Pusat Pembaharuan Légong dan Wayang Gamelan Semar Pagulingan Titih CD Trek #1 Tabuh Ginanti CD Trek #2 Tabuh Lasem CD Trek #3 Tabuh Gari Sekilas Kehidupan I Wayan Lotring dari Banjar Tegal, Kuta Gamelan Palégongan Kuta yang dipimpin I Wayan Lotring CD Trek #4 Calonarang: Sisia CD Trek #5 Calonarang: Ngalap Basé CD Trek #6 Calonarang: Tunjang CD Trek #7 Gambangan (Pelugon) Pandangan Tentang Génggong CD Trek #8 Gegénggongan CD Trek #9 Solo – Aslinya dilabel sebagai Gonténg (Jawa) Gamelan Gendér Wayang Banjar Tegal, Kuta CD Trek #10 Sekar Ginotan CD Trek #11 Seléndro CD Trek #12 Merak Ngélo CD Trek #13 Tulang Lindung (Pamungkah) CD Trek #14 Alas Harum CD Trek #15 Angkat-angkatan Gendér Wayang Batél Kaliungu, Denpasar CD Trek #16 Lagu Cupak Sekilas Kehidupan I Nyoman Kaler Gamelan Pelégongan Kelandis dipimpin oleh I Nyoman Kaler CD Trek #17 Biakalang Pandangan Tentang Gamelan Gambang CD Trek #18 Manukaba CD Trek #19 Jurangandanu Gambang Warisan Peturunan, Pura Kawitan Kelaci - CD Trek # 20 Demung Pandangan Tentang Gandrung dan Jogéd Pajogédan (Gandrung) Pagan CD Trek #21 Cacing Keremi CD Trek #22 Saron CD Trek #23 Ganderangan Pandangan Tentang Jogéd Bungbung dalam Upacara Keagamaan dan Pertanian Keterangan Tentang DVD Bali 1928, vol. III: Sumber-Sumber Tradisi Tari dan Tabuh Penghargaan dan Terima Kasih Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan
ii
Daftar Foto 1 16 17 18 19 31 40 41 42 48 49 53 54 66 76 77 79 84 85 89 92 93 94 95 109 110 117 118
Cakram Beka 78 rpm dengan label dalam bahasa Melayu dan aksara Bali Légong di Bedulu Légong di Bedulu: Pangipuk (Tari Percintaan) Ni Luh Cawan dan Ni Nyoman Sadri menari légong Gamelan palégongan Kapal: gangsa pacek dan céngcéng I Wayan Lotring di depan balé banjar Banjar Tegal, Kuta Gamelan palégongan Banjar Tegal, Kuta di depan balé banjar Tegal, Kuta Wayan Lotring dan Wayan Raping memainkan kendang dalam gamelan palégongan Banjar Tegal, Kuta I Wayan Regog memainkan gendér rambat dan Pak Sobagan alias Pak Klor memainkan jublag dalam gamelan palégongan Banjar Tegal, Kuta Rangda sebagai perwujudan dari ratu tenung Calonarang Barong Kékét Pemain génggong Enggung ‘Kaloula Baleata’ menggelembungkan kantung udaranya sesaat sebelum mendengkung Gendér wayang Banjar Tegal, Kuta; Wayan Lotring di sebelah kiri I Gusti Ngurah Made Mokoh dari Tegaltamu memerankan Cupak bersama para panasar I Wayan Sérog dan I Wayan Tekek dari Singapadu I Nyoman Kaler sekitar tahun 1937-1939 Ni Luh Cawan, I Wayan Rindi, dan Ni Nyoman Sadri (dari kiri ke kanan): Para penari légong Banjar Lebah dan légong Kelandis sekitar tahun 1931-1934 Gambang Pura Kawitan Kelaci, Banjar Sebudi, Denpasar; I Ceteg, penabuh kedua dari kanan Gambang Pura Kawitan Kelaci: Kak Bunut (alias I Made Darya) di tengah memainkan saron (gangsa); I Wayan Pegeg, penabuh kedua dari kanan, memainkan gambang Relief gambang di Candi Penataran, Jawa Timur I Made Sarin, penari gandrung dari Ketapian Kelod Jégogan dalam gamelan palégongan Sayan, Ubud Rindik pangugal dan rindik barangan dalam gamelan pajogédan Sayan Kempli bambu dalam gamelan pajogédan Sayan I Made Sarin menari gandrung diiringi oleh gamelan gandrung Ketapian Kelod Jogéd Bungbung Déwa dalam upacara Nangkluk Mrana di Pura Beda, Tabanan Jogéd bungbung di Tabanan Jogéd bungbung di Tabanan
iii
Pendahuluan Rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 (dan kemungkinan juga pada tahun 1929) sebagai bagian dari sebuah koleksi musik yang pertama kali dan satu-satunya diluncurkan secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II. Diluncurkan pada tahun 1929 dalam format piringan hitam 78 rpm, cakram-cakram yang diedarkan secara internasional tersebut bermaterikan beragam pilihan gamelan dan tembang Bali baik bergaya lama maupun baru. Dijual ke seluruh penjuru dunia (atau seperti yang terjadi kemudian ternyata tidak laku untuk dijual), piringan-piringan hitam tersebut secara cepat habis dan hilang dari peredaran. Saat itu merupakan masa yang sangat penting dalam kesejarahan gamelan Bali mengingat di seantero pulau tengah terjadi revolusi artistik dengan menonjolnya kebyar sebagai gaya gamelan yang baru dan berkuasa. Sekaa-sekaa ‘kelompok’ gamelan berpacu melebur gamelan kuna mereka, untuk ditempa ulang ke dalam gaya yang baru tersebut. Persaingan yang sengit antara desa-desa berikut daerahdaerah merangsang para komponis muda untuk mengembangkan berbagai inovasi dan teknik permainan yang apik dan baru. Terkait rekaman-rekaman bersejarah ini, Andrew Toth menulis: 1
Perwakilan dari perusahaan rekaman Odeon dan Beka dikirim pada bulan Agustus tahun 1928 untuk memperluas cakupan mereka sampai ke Bali. Lima dari 98 matriks (sisi piringan hitam) yang tersedia saat itu dipilih dan disertakan dalam sebuah antologi musik tradisi non-Barat bertajuk Music of the Orient oleh peneliti termasyhur Erich M. von Hornbostel. Koleksi inilah yang mengawali ketertarikan banyak orang, masyarakat luas, dan juga kaum etnomusikolog akan musik Indonesia. Sepertiga dari hasil rekaman Odeon dan Beka akhirnya muncul di Eropa dan Amerika, namun sebagian besar sejatinya ditujukan untuk pasar lokal di Bali. Berkaitan dengan tujuan tersebut, informasi pada label-label piringan hitam pun dicetak dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar yang berlaku di wilayah kepulauan Nusantara, dan malahan ada yang ditulis dalam aksara Bali. Rencana ambisius untuk mengembangkan pasar lokal itu akhirnya berujung kegagalan total karena terbatasnya minat masyarakat Bali terhadap teknologi baru dan mahal tersebut, terutama karena mereka dengan mudah bisa menyaksikan secara langsung berbagai pementasan yang hadir setiap harinya secara marak di ribuan pura dan rumah-rumah di seluruh pulau. Hanya Colin McPhee yang muncul sebagai pelanggan, membeli cakramcakram 78 rpm itu sepanjang tahun dari seorang penjual yang putus asa; dan kebanyakan koleksinya masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini, selamat dari kekecewaan dan kemarahan sang agen yang menghancurkan semua stok yang tersisa (McPhee, 1946: 72). Menariknya, semua rekaman dilakukan di bawah bimbingan Walter Spies, seorang pelukis dan musisi yang telah lama menetap di Bali. Pengetahuan intimnya akan seni dan budaya Bali tersedia begitu bebas dan kerap menguntungan penelitian atau karya pihak lain (Rhodius, 1964: 265; Kunst, 1974: 24). Walau dibatasi oleh sarana yang hanya berdurasi tiga menit, rekaman-rekaman tersebut adalah contoh menakjubkan dari kekayaan karawitan Bali, baik vokal maupun instrumental, serta generasi komponis, seniman dan sekaa ‘kelompok’ gamelan masa itu yang kini dihormati sebagai guru-guru terpandang dan sekaa-sekaa legendaris, seperti I Wayan Lotring, I Nyoman Kaler, gamelan gong Pangkung, Belaluan, dan Busungbiu. Dokumentasi suara dari berbagai warisan dan pusaka musikal Bali yang tak ternilai harganya memuat berbagai gaya nyanyian yang nyaris tak terdengar saat ini; lalu Kebyar Ding, sebuah gubahan tabuh yang secara historis sangat penting, yang kini bisa dipelajari kembali oleh generasi penabuh masa sekarang melalui rekaman-rekaman yang dahulunya dibuat oleh para ayah dan kakek mereka seperti yang termuat dalam cakramcakram asli tersebut; dan juga berbagai rekaman para penyanyi terkenal yang bahkan disakralkan oleh para keturunannya dengan menyimpan salinan kasetnya di pura keluarga. Tidak ada lagi materi baru yang diluncurkan di Barat pada masa depresi dan peperangan yang menyusul belakangan, hanya ada penerbitan ulang dari cakram-cakram 78 rpm yang lama pada beberapa label rekaman yang 2
berbeda dan dalam beberapa antologi.1 Semenjak catatan Andrew Toth, telah begitu banyak piringan hitam dan berbagai tautan informasi lainnya muncul ke permukaan. Penelitian kami menemukan fakta tentang seorang pemilik toko keturunan Cina bernama Ang Ban Siong yang terus-menerus menyediakan cakram-cakram Beka di tokonya, Toko Surabaya, yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga di Denpasar sampai tibanya masa pendudukan Jepang di tahun 1942, ketika ia akhirnya memindahkan keluarganya ke Sayan, Ubud.2 Kemudian, seorang wanita muda bernama Nancy Dean dari Rochester, New York, yang didesak oleh orang tuanya pada tahun 1936 untuk menikmati pesiar tersohor South Sea Island Cruise sebagai upaya memisahkannya dari seorang kekasih, sempat membeli beberapa keping piringan hitam dari “dua pria Jerman yang baik hati” di Bali.3 Kami sungguh beruntung, karena koleksi piringan hitam yang dibelinya tersebut (dan saat kami menemukannya di tahun 2003) masih dalam kondisi sempurna karena cakram-cakram tersebut tak pernah diputar. Pada masa tahun 1980-an dan 1990-an, Philip Yampolsky berhasil menemukan 101 matriks (sisi piringan hitam 78 rpm) di berbagai pusat arsip di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda. Yampolsky membagi informasinya kepada direktur Arbiter of Cultural Traditions, Allan Evans dan saya, yang selanjutnya menjembatani usaha kami ke seluruh dunia untuk mengakses dan menerbitkan kembali masing-masing cakram 78 rpm yang ada. Proses mendapatkan izin dari masing-masing pusat arsip termasuk mengunjungi sebagian besar koleksinya memakan waktu delapan tahun. Sembari mencari koleksi pribadi lainnya, kami menemukan sebuah cakram Odeon yang merupakan bagian dari koleksi asli tahun 1928 tak tercatat oleh Toth maupun Yampolsky - pada sebuah daftar lelang di daerah pedesaan Texas. Selanjutnya, kami kembali menemukan sebuah cakram yang belum dirilis, persis sebagaimana catatan Toth di rak-rak penyimpanan pusat arsip University of California, Los Angeles (UCLA). Baru-baru ini, kami berhasil menemukan empat sisi piringan hitam lainnya di Bali. Temuan terakhir ini melengkapi jumlah koleksi kami menjadi 111 sisi piringan hitam yang masing-masing berdurasi tiga menit, dan semuanya direncanakan dirilis sebagai kumpulan CD Bali 1928 yang terdiri dari lima buah CD. Berdasarkan sebuah katalog Beka Music Company, terungkap jelas bahwa Odeon dan Beka ternyata merekam lebih banyak karya dibanding yang telah kami temukan, namun keputusan mereka untuk tidak mencetak lebih lanjut tentu diambil setelah kedua label rekaman itu menyadari keberadaan pangsa pasar yang sangat kecil. Master rekaman yang berwujud pelat aluminium kemungkinan besar disimpan di pabrik Carl Lindstorm (induk perusahaan Odeon dan Beka) di Berlin, yang dibombardir pada saat Perang Dunia II. Namun, terdapat sudut pandang lain yang mendahului peperangan. Pada tahun 1937, Béla Bartók menulis: “Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan ini sangat sibuk merekam musik rakyat dari berbagai negara eksotis; dengan keuntungan yang diharapkan datang dari hasil penjualan kepada para penduduk asli. Namun, ketika penjualan menurun entah apa pun alasannya, perusahaanperusahaan ini menarik produksinya dari peredaran dan berbagai piringan hitam yang ada kemungkinan besar dilebur. Ini pernah terjadi terhadap satu
1
Toth (1980: 16-17) Percakapan dengan putri Ang Ban Siong (2009) 3 Menurut salah seorang sahabatnya, etnomusikolog Ellen Koskoff (e-mail pribadi, 2003) 2
3
seri rekaman musik Jawa yang bernilai tinggi oleh Odeon, seperti dikutip dalam bibliografi Musique et chansons populaires dari Liga BangsaBangsa. Jika semua piringan hitam itu ternyata memang benar dimusnahkan, tindakan semacam itu merupakan bentuk perusakan yang semestinya bisa dicegah oleh negara-negara melalui pemberlakuan hukum, sama halnya dengan keberadaan hukum di beberapa negara yang melarang penghancuran ataupun perusakan monumen bersejarah.”4 Delapan puluh tahun setelah sesi rekaman bersejarah itu, dan setelah mendapatkan cakramcakram tersebut serta menyalinnya ke dalam format CD, tim peneliti kami mulai mengunjungi seniman-seniman paling tua dan berpengalaman – di desa-desa yang senimannya terlibat dalam sesi-sesi rekaman tahun 1928 – yang kebanyakan sudah berusia 80-an atau 90-an tahun, termasuk tiga diantaranya yang telah berumur 100 tahun. Kami juga berulang kali mengunjungi para keturunan dan anggota keluarga dari generasi seniman tua tersebut, yang kebanyakan juga sudah berusia 70-an dan 80-an tahun. Kami membawa sebuah tape recorder dan memutar kepingan CD yang memainkan alunan tembang dan gamelan yang tidak pernah didengar lagi oleh orang selama delapan puluh tahun. Walau beberapa repertoar masih bertahan, kebanyakan gaya dan estetikanya telah berubah dan banyak gending telah dilupakan. Beberapa keluarga seniman bahkan memberi kami fotofoto dari para seniman yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 tersebut. Sebuah foto yang kami dapatkan di Perpustakaan Umum New York mempertemukan kami dengan salah seorang dari dua seniman yang masih hidup dan terlibat dalam perekaman pada tahun 1928 itu. Tim kami menemui seorang wanita berumur 91 tahun bernama Mémén Redia (Ni Wayan Pempen), yang ketika berumur 10 atau 11 tahun telah menjadi salah seorang pangugal ‘penyanyi utama’ dari kelompok jangér Kedaton (Bali 1928, vol. V). Mémén Redia menjelaskan suasana sesi rekaman dengan terperinci dan masih mengingat semua lirik lagu, memperbaiki transkripsi awal yang sebelumnya telah kami susun. Ia mengingat dengan gamblang bahwa rekaman dilakukan di ruang terbuka dekat pusat desa, di atas lantai tanah dan di bawah tataring ‘struktur sementara dari bambu’ yang beratapkan kelangsah ‘anyaman daun kelapa’. Ia pun memberi kesan bahwa beberapa sesi rekaman kemungkinan besar berlangsung di areal balé banjar ‘bangunan utama organisasi masyarakat tradisional Bali’ yang tiga sisinya terbuka dengan tembok dan lantai dari batubata atau lumpur padat, dan beratapkan anyaman daun kelapa atau jerami yang disangga tiang-tiang bambu atau kayu kelapa. Kebanyakan dari generasi tetua Bali yang kami kunjungi menyebut piringan hitam dan alat pemutarnya sebagai orgel, barangkali karena alat pemutar piringan hitam disangka berhubungan dengan instrumen orgel ‘organ pipa Belanda’ sebagai sebuah mesin yang menghasilkan bebunyian. Menurut Philip Yampolsky, sebuah katalog Beka Music Company yang kemungkinan dicetak pada tahun 1932, menunjukkan bahwa semua rekaman dalam koleksi Bali 1928 ini dilakukan di Denpasar, Bali, kecuali empat lagu yang direkam di Lombok.5 Katalog tersebut juga menyebutkan bahwa ada 34 cakram yang direkam pada tahun 1929, yang keseluruhannya, kecuali empat sisi rekaman, bermaterikan nyanyian. Dua puluh lima 4
Bartók (1992: 294). Ketertarikan Bartók berlanjut dalam repertoar konsernya: ia dan istrinya memainkan transkripsi McPhee untuk dua piano berjudul Balinese Ceremonial Music di Amherst College pada tahun 1942 (Oja 1990:153, 179). Salah satu karya itu adalah Buaya Mangap (Tabuh Telu) dari Bali 1928, vol. I. 5 Komunikasi pribadi dengan Philip Yampolsky (2002)
4
persen dari koleksi kami tercatat dalam katalog tersebut. Sampai saat ini belum banyak keterangan yang bisa diungkap terkait tur rekaman kali kedua oleh Beka tersebut. Namun, pengarang riwayat hidup Walter Spies, John Stowell, mengatakan bahwa Spies mengungkap adanya “rekaman-rekaman baru oleh Beka” dalam suratnya kepada Jaap Kunst tertanggal 16 November 1929. Dalam sepucuk surat kepada ibunya, Martha Spies, tertanggal 1 Juli 1928, Spies mengatakan bahwa dirinya terikat sebuah kontrak kerja dengan Odeon untuk menerbitkan 50 piringan hitam dalam waktu tiga tahun.”6 David Sandberg, cucu-keponakan Spies dan juga ketua Leo-und-Walter-Spies Archiv di Berlin mengkonfirmasi bahwa surat-surat Spies hanya menyinggung kerjasamanya dengan Odeon dan bagaimana imbalan yang diterimanya nanti akan digunakan untuk membangun sebuah rumah di Ubud. Spies menulis “Imbalan yang ditawarkan ini lebih baik dibanding menerima persentase keuntungan dari rekaman yang berjumlah banyak namun bernilai kecil. Sekarang saya telah memperbaharui sebuah kontrak untuk membuat rekaman gamelan dan nyanyian Bali dengan imbalan 1.000,- guilders per tahunnya…Semua piringan hitam akan diproduksi pada bulan Agustus. Para penabuh (njogos) yang terlibat juga mendapatkan 1.000,- guilders, saya diminta bekerja untuk 50 piringan hitam.” Pada bulan April 1929, Spies menulis lagi tentang koleksi piringan hitam tersebut kepada ibunya, seraya menjanjikan, “Jikalau uangnya cukup, saya akan mengirimkan beberapa karya terbaik dari rekaman-rekaman yang ada.”7 Walau Odeon dan Beka adalah anak-anak perusahaan yang dinaungi oleh konglomerasi yang sama; Carl Lindstorm, surat-surat Spies menunjukkan adanya persaingan dan operasi bisnis yang berbeda antara masing-masing label rekaman.8 Kami sedang meneliti kemungkinan bahwa Spies tidak terlibat dalam rekaman-rekaman yang dilakukan oleh Beka. Topik ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel-artikel pendamping dari seri CD Bali 1928 lainnya. Mata rantai yang hilang dalam pembahasan-pembahasan di masa lalu yang berkenaan dengan rekaman-rekaman bersejarah ini adalah tentang peran Ida Boda (alias Ida Bagus Boda9) yang tentunya menjadi penasihat utama untuk Beka, dan kemungkinan besar juga untuk Odeon dan Walter Spies, terutama dalam memilih para seniman dan sekaa gamelan yang disertakan dalam sesi-sesi rekaman pada tahun 1928 itu. Kesimpulan kami tersebut didasari oleh fakta bahwa begitu banyak kelompok gamelan dan penyanyi yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 ternyata mempunyai kedekatan yang unik dengan Ida Boda, baik sebagai murid maupun sebagai rekan sepanggungnya. Ida Boda dikenal sebagai guru légong dan panasar topéng ‘penari topeng-pembawa cerita-pelawak’ yang sangat tersohor, sering pentas bersama Ida Bagus Oka Kerebuak dari Geria Pidada, Klungkung (diketengahkan dalam CD ini) dan lazim sepanggung dengan Ida Bagus Rai Purya dan Nyarikan Seriada (Bali 1928, vol. V). Dihormati sebagai seorang tokoh pembaharuan yang 6
Komunikasi pribadi dengan John Stowell (2014) Korespondensi e-mail dengan David Sandberg (2009 dan 2014) 8 Salah satu contoh, David Sandberg menulis, “Di Badung (kini Denpasar) terdapat sebuah toko, Behn & Meyer, yang hanya menjual koleksi Beka.” Korespondensi e-mail pribadi (2014). Namun, McPhee pernah menyatakan bahwa sang agen yang menghancurkan keseluruhan koleksinya itu sebenarnya menjual karyakarya hasil rekaman dari kedua perusahaan rekaman, Odean dan Beka. 9 Penambahan sebutan ‘Bagus’ adalah pengembangan pada paruh awal abad ke-20. dan banyak kaum Brahmana di Bali Timur bersikukuh untuk tidak menggunakannya. Setelah mengetahui bahwa kebanyakan rekan sejawatnya memanggil beliau sebagai Ida Boda, kami menanyakan kepada para keturunannya bagaimana sebaiknya menamakan beliau, dan mereka menyepakati bahwa kami tidak perlu menggunakan ‘Bagus’. 7
5
memiliki jejaring luas, Ida Boda adalah empu légong bagi gamelan kebyar Belaluan (simak Bali 1928, vol. I dan IV), mengajarkan légong kepada gong kebyar Busungbiu (simak Bali 1928, vol. I), mabebasan dengan Ni Dayu Made Rai (yang bisa disimak dalam volume ini),10 serta mementaskan jangér bersama sekaa dari Kedaton (Bali 1928, vol. V) sebelum akhirnya ia didaulat menjadi guru bagi kelompok tandingan di desa tetangga Bengkel pada tahun 1930-an. Meskipun kedua kelompok jangér tersebut selalu bersaing,11 peran Ida Boda jelas melampui persaingan antar kelompok tersebut,12 seperti dibuktikan dalam fotofoto dari Arthur Fleischman yang diambil antara tahun 1937-1939, di mana Ida Boda terlihat menari sebagai panasar dengan sekaa jangér Kedaton.13 Boda juga mementaskan topéng dengan gamelan angklung dari Banjar Bun (Bali 1928, vol. IV) dan mementaskan Cupak bersama Ida Bagus Oka Kerebuak diiringi sekaa gendér wayang batél dari Kaliungu (Bali 1928, vol. III). Muridnya, Nyoman Kaler (1892–1969), komponis-koreograferteoretikus-pendidik, mengajarkan gamelan jogéd di Pagan (Bali 1928, vol. III) dan angklung di Pemogan (Bali 1928, vol. IV), serta memimpin gamelan palégongan Kelandis (Bali 1928, vol. III). Ida Boda pun sangat mengakrabi kelompok cepung Sasak yang direkam di Lombok (Bali 1928, vol. V) dari sekian banyak lawatannya ke sana. Dalam koleksi CD Bali 1928 ini, terdapat beberapa rekaman yang sempat didengar oleh komponis muda dan pianis asal Kanada bernama Colin McPhee (1900-1964) di New York, tak lama setelah peluncuran rekaman-rekaman tersebut.14 Setelah menyimak piringanpiringan hitam Odeon dari tahun 1928 itu, McPhee dan istrinya, antropolog Jane Belo terkesima dan terinspirasi mengunjungi Bali pada tahun 1931, sebuah perjalanan yang justru berkembang menjadi sebuah ekspedisi penelitian selama delapan tahun yang berpuncak pada karya agung McPhee berjudul Music in Bali serta karya-karya Belo bersama Margaret Mead dan Gregory Bateson. Adalah Belo yang kemudian menulis karya penting Trance in Bali. Setelah empat tahun di Bali, McPhee menulis sebuah artikel berjudul The Absolute Music of Bali untuk jurnal Modern Music di mana ia mengutarakan: “hal yang membuat seorang musisi (Barat) dipenuhi rasa iri dan takjub adalah betapa musik (Bali) memiliki raison d’etre (justifikasi eksistensi) yang sungguh memuaskan untuk hadir dalam masyarakatnya. Para musisi adalah bagian tak terpisahkan dari kelompok sosial, setara pandai besi dan emas, arsitek dan pengarang, penari dan aktor, sebagai bagian dari struktur masing-masing desa. Rendah hati dan sederhana, mereka sangat bangga dengan kesenian mereka, sebuah kesenian yang tanpa kepemilikan diri sehingga komponisnya pun kehilangan identitas pribadinya.”15 10
Menurut Ida Wayan Padang dan I Wayan Rugeh Menurut I Made Monog, anggota jangér Kedaton sejak tahun 1930-an 12 Menurut Ida Bagus Pujiarsa (1947—) 13 Fleischmann (2007) 14 “Seingat saya, pada tahun 1929, kami di New York berkesempatan mendengar beberapa rekaman pertama dari musik Bali, yang dibuat oleh Odeon dengan arahan dari Walter Spies. Rekaman-rekaman yang kami dengar dibawakan oleh Claire Holt dan Gela Archipenko (istri dari sang pematung) yang baru saja kembali dari Jawa dan Bali…Kami memutuskan untuk berangkat pada musim dingin…Itu terjadi pada tahun 19301931…” Belo: Traditional Balinese Culture: 1970: xviii. Tetapi menurut New York Public Library’s Guide to the Holt, Claire, 1901–1970. Papers, ca 1928–1970, kunjungan pertama Holt ke Indonesia adalah pada tahun 1930. Lihat http://www.nypl.org/research/manuscripts/dance/danholt.xml 15 McPhee (1935: 163) 11
6
Walau pandangan ideal McPhee tentang musik Bali adalah “ketiadaan kepemilikan personal,” dalam pengertian gubahan-gubahan tidak dilekatkan kepada komponis-komponis tertentu, hal ini berkurang pada masa awal tahun 1920-an dan sepanjang perjalanan abad ke-20.16
Linimasa Rekaman Bali 1928 Di tahun 1928, Bali adalah jajahan dari Hindia Belanda (kini bagian dari Republik Indonesia) walau seluruh raja-raja Bali baru sepenuhnya ditaklukkan pada tahun 1908. Kebyar muncul semasa pergantian abad ke-20 di wilayah Buleleng, Bali Utara, yang takluk pada pemerintah Belanda di awal tahun 1849 setelah kekuatan militer yang setia kepada Raja Bali di Lombok bersekutu dengan Belanda dan berhasil membunuh panglima militer dan penasehat utama Raja Buleleng, Gusti Ktut Jlantik, serta Raja Buleleng dan Raja Karangasem, Bali Timur. Pada masa itu, konflik kekuasaan antara delapan raja-raja di Bali memudahkan Belanda untuk mengadu-domba satu kerajaan dengan yang lainnya. Tujuan utama Belanda tentunya adalah penguasaan ekonomi. Untuk membenarkan tujuan itu, Belanda memberikan alasan moral yaitu penghapusan perdagangan budak (yang telah menguntungkan Belanda untuk sekian lama) dan pengorbanan janda berkaitan dengan upacara pembakaran jenazah raja. Satu demi satu kerajaan runtuh diserang Belanda: Lombok pada tahun 1894, Badung (Denpasar) pada tahun 1906 dan Klungkung pada tahun 1908. Masing-masing runtuh melalui “suatu tradisi untuk mengisyaratkan ‘berakhirnya’ sebuah kerajaan,” yang dikenal sebagai puputan. Kata puputan memang berarti “berakhir.” Puputan adalah penanda bagi raja-raja lainnya tentang ajal menjemput, dan suatu cara untuk membebaskan jiwa melalui peperangan sampai titik darah penghabisan.”17 Adrian Vickers melanjutkan, “…Belanda bergerak ke Denpasar. Pada dini hari tanggal 20 September, sang raja berikut keluarga dan ribuan pengikutnya bersenjatakan lengkap, semua berbusana putih-putih, siap menjelang ajal dalam pertempuran, berbaris dan berderap menyambut kedatangan tentara Belanda. Satu demi satu prajurit mengamuk ke garis depan, tak gentar, seolah peluru-peluru Belanda akan terpental dari tubuh mereka. Tentara Belanda menembaki ‘wanita-wanita dengan senjata tajam terhunus di tangan, tombak atau keris, dan anak-anak dalam gendongan’ yang ‘merangsek maju tanpa takut, mendekati musuh dan menjemput maut’…tidak mungkin menyerah: ‘upaya untuk melucuti mereka hanya berujung kepada bertambahnya korban di pihak kami. Mereka yang selamat berulang kali diteriaki dan dipaksa untuk menyerah, namun sia-sia’. Sang raja, keluarganya dan pengikutnya maju tanpa henti, tak terbendung, membunuh diri sambil mencabut nyawa tentara Belanda yang menghadang derap langkah mereka. Belakangan, pihak Belanda
16
Hildred Geertz (2004) menantang ide tentang anonimitas dengan menunjukkan bahwa pematung-pematung di Batuan dikenal secara perorangan dan diapresiasi selama masa hidupnya untuk karya-karya yang diciptakan untuk kepentingan Pura Desa, namun karena catatan tertulis tidak disimpan, identitas mereka bisa dilupakan dari waktu ke waktu. 17 Vickers (1989: 34)
7
berusaha menutupi jumlah korban yang tewas, walau sedikit di pihak Belanda, lebih dari 1000 orang Bali gugur.”18 Kita hanya bisa menerka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ledakan artistik sesudah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali. I Nyoman Catra berpendapat bahwa menjamurnya petualangan kreatif saat itu tidak lain adalah pengobatan untuk menyembuhkan masyarakat dari trauma akibat pergolakan sosial dan pendudukan penjajah kolonial.19 Runtuhnya kekuasaan dan lepasnya harta kekayaan dari genggaman kerajaan menyebabkan munculnya desentralisasi dan demokratisasi dalam seni dengan penyebaran ke tingkat banjar. Puput ‘tamat’ juga menyiratkan sebuah permulaan baru. Pada awal tahun 1920-an, bersamaan dengan munculnya mode dan teknologi yang berkaitan dengan modernitas ala Belanda, kunjungan wisatawan Eropa dan Amerika melalui kapal pesiar pun mulai mengalir ke pulau surga ini secara terus-menerus walau masih dalam jumlah yang kecil. Pada awalnya, Bali Hotel yang dibangun pada tahun 1927 merupakan tempat persinggahan bagi para awak kapal Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang berlabuh di Bali. Bali Hotel resmi beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada pihak KPM20 dan hotel ini berada pada jarak sependengaran dari balé banjar Belaluan yang selalu ramai dengan latihan Gong Belaluan. Bali Hotel pun segera menjadi pusat akomodasi yang sesuai dengan selera tamu internasional. Berbarengan dengan itu semua, inovasi masyarakat Bali terus berlanjut, didorong oleh selera dan hasrat kedaerahan para seniman maupun masyarakat penikmatnya. Menariknya, pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain, marching band pascaperang mengilhami lahirnya sejenis musik revolusioner yang menggabungkan matra-matra baru dari kerumitan irama dan melodi, improvisasi, pencampuran dan percobaan kreatif dari jenis-jenis musik sebelumnya. Alat-alat musik yang ditinggalkan dan dibuang pada masa Civil War (Perang Saudara) Amerika Serikat dipunguti oleh para mantan budak yang baru mendapatkan kebebasannya, berujung pada kelahiran musik jazz, yang seperti juga kebyar, menjadi kekuatan musik pada abad berikutnya. Perwujudan dari modernitas Bali yang beragam diwakili dalam kebangkitan jangér,21 khususnya di kalangan remaja. Jangér utamanya dipengaruhi oleh Komedie Stamboel, teater bergaya Eropa-berbahasa Melayu yang pertama kalinya muncul di Surabaya, Jawa pada tahun 1891.22 Tampak ‘jinak’ dan ringan untuk orang asing,23 namun sangat dicintai oleh masyarakat Bali sampai masa sekarang, jangér menggabungkan cerita-cerita tradisional nan jenaka dengan lagu-lagu menawan yang dinyanyikan oleh para gadis berbusana tradisional yang ditimpali koor kécak oleh para pemuda yang memakai kostum bergaya Barat, termasuk celana pendek, hiasan tanda pangkat di bahu ‘epaullettes’ dan 18
Vickers (1989: 35), dan kutipan tunggal dalam catatan dari kepala staf yang terlibat dalam ekspedisi tersebut seperti tercantum dalam Nordholt (1986: 5) 19 Percakapan (2006) 20 Mardika (2011: 28) 21 Menurut I Made Kredek dari Singapadu, jangér pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Menyali, Bali Utara (Bandem, 2004: 148-52), pandangan ini juga disepakati oleh Gde Budasi dari Menyali (percakapan, 2013). 22 Lihat Achmad (2006: 31) dan Cohen (2006: 21) 23 Covarrubias (1937: 251–255)
8
kumis palsu yang konyol. Jangér (terdapat pada Bali 1928, vol. V) menggabungkan unsur nyanyian dari tari kerauhan Sang Hyang, pantun Melayu, dan cakepung ‘lagu-lagu minum arak’ dengan gamelan geguntangan yang biasanya mengiringi dramatari arja dan juga gamelan tambur yang memakai rebana, kendang yang berasal dari Arab.24 Gerakangerakan tangan dan lengan bergaya saman dan saudati ditambah dengan posisi tubuh yang lazimnya diperagakan dalam ritual Muslim Sufi dan tarian lainnya di Aceh, Sumatera Utara, menjadi ciri khas para penari laki-laki jangér. Semua ini menyatu dalam jangér termasuk unsur-unsur tari kuna légong dan dramatari wayang wong yang berdasarkan epos Ramayana, serta akrobat sirkus yang terinspirasi dari kelompok-kelompok seni pertunjukan yang sempat pentas di Bali. Dan sesudah kunjungan aktor dan bintang film Charlie Chaplin ke Bali pada tahun 1932, kumis palsu yang dilukis pada wajah penari kécak pun dinamakan caplin. Menariknya, kebangkitan jangér sepanjang abad ke-20 terjadi kembali di saat ketidakpastian politik dan pergolakan sosial. Cak (kécak) baru muncul sebagai sebuah dramatari yang khas pada tahun 1932 dan berkembang menjadi ‘paduan suara para wanara’ (monkey chant) Ramayana - sebagaimana dikenal oleh masyarakat internasional - walaupun sesungguhnya chorus ‘pengulangan lagunya’ secara tradisi telah mendampingi ritus tari kerauhan ‘kesurupan’ Sang Hyang, dan jangér, ‘saudara sekandung’ kécak yang telah terlebih dahulu tenar. Sebagai sebuah dramatari, cak dikembangkan di Bedulu dan Bona, Gianyar, dan secara bertahap menyebar ke desa-desa lainnya sebagai pertunjukan hiburan bagi wisatawan. Pada tahun 1920-an, gamelan gong kebyar dan tari-tarian yang terkait dengannya mulai terdengar dan ditonton dari Bali Utara sampai ke Selatan; komposisi yang direkam pada tahun 1928 dari Belaluan, Pangkung, Busungbiu, dan Kuta, mencerminkan pergeseran dan perubahan radikal pada kaidah penciptaan dan keindahan seni gamelan dan tari. I Ketut Marya (1897 atau 1898-1968), yang dipanggil Mario oleh Covarrubias dan orang asing lainnya, baru saja menciptakan Igel Trompong (Tari Trompong) dan Igel Jongkok, sebuah tarian yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Kebyar Duduk. Dalam catatan McPhee saat pertama kali menyebutkan kebyar ia menuliskan, “Regen Buleleng, Anak Agung Gde Gusti Djelantik, yang pada tahun 1937 bercerita pada saya, menuturkan bahwa penanggalan dalam catatan hariannya menunjukkan bahwa gamelan kebyar pertama kali diperdengarkan kepada khalayak umum pada Desember 1915, yaitu pada saat beberapa sekaa gamelan terbaik dari Bali Utara mengikuti perlombaan gamelan di Jagaraga…”25 Penjajaran dan penafsiran ulang adalah kekhasan penting dari I Wayan Lotring (18981983), seorang ahli modernisme Bali dan pimpinan dari gamelan palégongan26 wilayah pesisir Kuta. Gubahannya begitu cemerlang, menakjubkan dan mengilhami para musisi di seluruh pelosok pulau. Lotring merupakan pemain gendér wayang yang mengagumkan, sebuah ansambel rumit yang dimainkan oleh empat orang pada gamelan perunggu berbilah sepuluh, yang mengiringi pementasan wayang kulit. Namun karya gubahan terbesarnya terpusat pada palégongan, yaitu gamelan yang berhubungan dengan tarian légong, sebuah 24
Percakapan dengan I Made Monog (2007) McPhee (1966:328) 26 Palégongan adalah jenis gamelan yang mengiringi tari légong tapi perbendaharaan karyanya mengandung gaya dramatis dan tari yang beragam, selain murni sebagai karya tabuh. 25
9
karya tari yang rumit dan biasanya ditarikan di dalam lingkup istana raja-raja. Seseorang bisa mendengar palégongan sebagai sebuah gaya yang lebih mengalir, mendalam dan liris dibandingkan gamelan gong. Namun Lotring memperkenalkan gending-gending yang mengagumkan, penuh keriangan dan dihiasi perubahan-perubahan pola irama yang begitu lembut, yang seringkali terinspirasi oleh kesenian tradisional lainnya. Gambangan, Gegendéran, dan Gegénggongan adalah karya-karyanya yang berwawasan mutakhir dan diilhami oleh unsur-unsur karawitan dari bentuk-bentuk tradisional lainnya. Sepanjang catatan sejarah, telah banyak perlombaan hebat dalam dunia kesenian Bali, sebagai cerminan dari perilaku jengah, sebuah dorongan ‘tak mau kalah’ dan pemicu terjadinya praktik-praktik untuk menggunakan hasil karya tandingannya, mengubah, dan mengolahnya sehingga menjadi hasil karya sendiri. Pada masa-masa awal kebyar, sekaasekaa kebyar bahkan mengirim mata-mata untuk pergi memanjat pohon di sekitar tempat latihan dalam jarak sependengaran dan sepenglihatan dengan harapan dapat mengetahui ciptaan terkini yang akan dipertandingkan oleh kelompok lawan dalam perlombaan berikutnya. Hubungan persaingan yang ketat juga terjadi antar kelompok jangér, seperti yang terjadi pada desa-desa bertetangga Kedaton dan Bengkel, yang perseteruannya meruncing hingga mencuat ke ranah politik, estetika, dan bahkan sampai pada penggunaan kekuatan ilmu sihir di antara kedua desa.27 Walau persaingan merangsang kreativitas, dunia seni di Bali juga berkembang dari hasil kerja sama yang baik dan erat antara seniman dari berbagai desa dan daerah yang berbeda. Contohnya seperti yang terjadi pada masa awal perkembangan kebyar, di mana seorang pemimpin sekaa gamelan dari Desa Ringdikit di Bali Utara datang mengunjungi Belaluan di Bali Selatan untuk saling bertukar perbendaharaan karya. Alhasil, kebyar Belaluan lebur dengan gaya revolusioner dari Utara, dan Ringdikit mendapatkan pengetahuan karawitan dan tarian légong.28 Bahkan sebelumnya, para ahli légong dari wilayah selatan pergi mengajar ke utara, seperti I Gentih dari Kediri, Tabanan, yang mengajar tari perempuan leko (versi laki-lakinya adalah nandir, dan keduanya diiringi gamelan bambu rindik) di Jagaraga,29 yang mana muridnya, Pan Wandres, mengubahnya menjadi kebyar leko, lalu menjadi kebyar légong, yang turunannya disesuaikan menjadi Teruna Jaya oleh muridnya, Gde Manik dari Jagaraga. Ni Nengah Musti (1934-) dari Bubunan dan belakangan menetap di desa Kedis, mempelajari kebyar légong dari Pak Gentih, dan menyatakan bahwa ia tidak mendengar penggunaan istilah itu sampai sekitar tahun 1940-an. Malah, istilah yang lebih sering digunakan hanyalah Légong Lasem atau Légong Kapi Raja ‘Raja Wanara’ (sebuah versi cerita Subali-Sugriwa dari kisah Ramayana30) tergantung pada cerita yang dilakonkan. Ia juga menjelaskan bahwa yang menjadi gurunya adalah I Gentih, dan untuk Pan Wandres-lah tarian kebyar légong tersebut diciptakan. Pada akhir abad ke-19, di seluruh pulau, bisa disaksikan lahirnya sebuah era keemasan dalam geguritan ‘sastra puitis’ berikut berbagai jenis lagunya (pupuh) berbahasa Bali (atau campuran Kawi ‘Jawa Kuna’ dengan bahasa Bali) yang mengangkat tema-tema gaib, romantis dan juga sosio-politis. Pada pergantian abad ini, muncul kebangkitan minat
27
I Made Monog, percakapan pribadi (2007) Covarrubias (1937: 210) 29 Pande Made Sukerta, percakapan pribadi (2006) 30 Versi légong dari cerita Subali—Sugriwa biasanya disebut Kutir atau Jobog. 28
10
terhadap kakawin, naskah-naskah kuna yang menyebabkan lahirnya begitu banyak sekaa papaosan ‘kelompok pembaca naskah kuna’ yang mengutamakan kemampuan menyanyi dalam bahasa Kawi ‘Jawa Kuna’ yang kemudian diikuti penerjemahan ke dalam bahasa Bali. Bentuk lain yang digemari adalah palawakia, merujuk kepada prosa bebas dari naskah-naskah Parwa dari epos Mahabharata yang dilagukan dalam berbagai bentuk alunan nada. Kelompok-kelompok sastra dari berbagai desa akan saling bersaing di hadapan penonton yang terus meningkat jumlahnya dalam berbagai kesempatan, baik dalam keramaian upacara keagamaan maupun keriuhan pasar malam. Terkadang sang juru baca (pangwacén) ‘penyanyi’ atau ‘pembaca’ dan juru basa (paneges) ‘penerjemah’ akan duduk berdampingan dengan sekaa gamelan sembari melagukan bait-bait kakawin dari Bharatayuddha (Mahabharata), atau salah satu penabuh gamelan akan menyanyikan sajaksajak kakawin tersebut tanpa direncanakan (para penabuh memang diharapkan terbiasa dan akrab dengan kakawin agar mampu mengikuti naskah yang dilagukan). Gamelan gong yang mengitari akan memainkan gending pengantar singkat dari reportoar gamelan klasik yang kemudian mengalir “lebih menggelegar” dengan tabuh penuh luapan semangat yang dikenal sebagai kebyar. Yang menarik adalah ketika seorang penyanyi tunggal menyelingi lagunya dengan memainkan trompong ‘sederetan gong péncon’. Memang tak pernah jelas sejak kapan permainan trompong melibatkan atraksi memutar-mutar panggul ‘tongkat pendek pemukul’ seperti dalam marching band atau sulap ‘kecekatan tangan’. Tari Palawakia yang dipentaskan dewasa ini bermula dari kebiasaan tersebut, dan umumnya diakui bermula dari Igel Trompong oleh I Ketut Marya, walau belakangan ini telah muncul pandangan berbeda tentang hal itu.31 Para tetua di Bungkulan, Bali Utara, mengatakan bahwa dinamika musikal dari marching band militer Belanda mempengaruhi unsur-unsur keindahan dari kebyar yang baru muncul dan penuh potensi.32 (Bisa diakui bahwa pengaruhnya hanya sebatas unsur-unsur permainan yang menggelegar dan atraksi memutarmutar panggul). Di abad ke-21 ini, kami menemukan rasa ingin tahu yang tinggi di Bali terhadap masa lalunya, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya penting dalam kebudayaan Bali. Minat yang begitu tinggi, yang belum pernah ada sebelumnya, terhadap rekaman-rekaman bersejarah ini di antara para penabuh, penari dan penyanyi, baik muda dan tua, kian membesarkan hati kami dalam mengerjakan – selama bertahun-tahun dan lintas benua sebuah proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’, mencari arsip-arsip yang tersebar dimanamana untuk membantu masyarakat Bali masa kini dalam memperoleh dan menikmati kembali kejayaan kesenian masa lampau mereka.
31
Simpen (1979) dan Herbst (2009) ‘‘Menurut beberapa penuturan tetua dahulu, dinamika gong kebyar seperti itu tercipta antara lain akibat pengaruh dinamika marching band Belanda, yang kemudian dipadankan dalam musik gong yang membuahkan gong kebyar seperti kita warisi.” Sudhyatmaka Sugriwa (2008: 72) 32
11
Gamelan Bali Gamelan, mengacu pada ansambel yang terdiri dari selusin atau lebih alat gamelan Bali, berasal dari kata ‘gambel’ atau memegang. Cara penulisan Bali-nya adalah gambelan (menunjukkan cara pengujarannya dalam bahasa Bali), tapi kebanyakan penulis menggunakan cara penulisan dalam bahasa Indonesia yang lebih dominan dan dikenal. Masyarakat Bali membedakan antara gamelan krawang, perangkat gamelan perunggu yang dirakit oleh pandé krawang (ahli perunggu) dengan gamelan yang terbuat dari bambu. Sebagai tambahan, ada juga perangkat gamelan yang lebih kuna dan terbuat dari besi namun kini jarang digunakan, yaitu gamelan slonding. Kekhasan gaya-gaya gamelan yang terkenal di Bali mengutamakan denting dan getaran suara yang halus dari gong, gong péncon, dan alat-alat gamelan berbilah perunggu datar (atau tepatnya agak melandai) yang disangga di atas penguat suara (resonator) bambu, yang secara umum mempunyai rentang nada sebesar empat sampai lima oktaf. Gamelan Bali berbeda dengan tetangganya, Jawa, karena mengandung unsur bunyi meledak-ledak, kecepatan yang tinggi, dan pola gending yang dinamis. Salah satu unsur unik dari gamelan Bali adalah sistem pelarasan yang sangat tepat dari ombak ‘dengung akustik’ atau ‘getaran’ yang mempengaruhi dan menghasilkan dentingan khas gamelan Bali. Setiap alat gamelan disusun berpasangan, dengan setiap nada dari pangumbang (ngumbang berarti lebah), disetel lima sampai delapan getaran per detik lebih rendah dari pasangannya ‘pangisep’ (diambil dari kata ngisep atau menghisap); pengistilahan yang secara tidak kebetulan dipinjam dari kata-kata yang berhubungan aktivitas lebah madu.33 Menurut pandé krawang yang bernama Pan Santra (Pande Made Sebeng, putra dari Pande Aseman) dari Tihingan dan Pande Made Gableran dari Blahbatuh,34 kebyar disetel dengan perbedaan delapan getaran per detik, menghasilkan getaran berketukan cepat yang konsisten bahkan dalam permainan yang perlahan, liris, dan melodis. Gendér wayang disetel lima sampai enam ombak per detik dan palégongan pada enam atau tujuh ombak per detik. Komponis Wayan Beratha, yang juga seorang pembuat dan pelaras gamelan, menyetujui hitungan angka-angka ini, dan menambahkan bahwa ia lebih menyukai angklung (ansambel yang lebih sering dikaitkan dengan ritual kematian seperti ngabén ‘pembakaran jenazah’) untuk dilaras lebih perlahan pada enam ombak per detik agar suaranya terdengar seperti suara seseorang yang menangis.35 Perbendaharaan lagu-lagu dan ragam alat gamelan dikaitkan dengan upacara, tarian, perbendaharan dramatari, atau kegiatan hiburan tertentu. Gamelan biasanya menggunakan oktaf lima-nada, entah itu dilaras dengan setelan saih gendér wayang (yang berhubungan dengan sléndro Jawa), saih angklung empat-nada yang khas untuk gamelan angklung, atau saih selisir yang disebut juga pelarasan pagongan (berhubungan dengan pélog Jawa) yang digunakan oleh kebanyakan jenis seperti kebyar, palégongan, dan gong gedé. Selisir sebenarnya adalah salah satu dari lima laras yang bersumber dari sistem saih pitu (deretan tujuh-nada) yang masih digunakan oleh gamelan-gamelan kuna dan pelbagai ansambel yang mulai jarang terdengar misalnya gamelan gambuh, sebagian dari semar pagulingan, 33
Sebuah pengertian tambahan dan umum dalam kegiatan menciptakan karya tabuh adalah ngumbang ‘keras’ dan ngisep ‘senyap, lembut’ 34 Keduanya percakapan pribadi (1972 dan 1980) 35 Percakapan pribadi (2009)
12
gambang, slonding, luang, gamelan saron, dan beberapa inovasi lainnya dari saih pitu yang kini mulai bangkit kembali.36 Komposisi-komposisi yang bersumber dari pelarasanpelarasan ini sebagian terbatas pada sistem lima-nada per oktaf (misalnya kebyar atau palégongan), atau sebagai enam atau tujuh-nada per oktaf. Suling bambu menambah nuansa tinggi-rendah nada dan warna suara, begitu juga penyanyi atau juru tembang yang mungkin ikut mengiringi gamelan. Bahkan, dalam beragam jenis nyanyian terdapat perlarasan tak bernama lainnya yang luar biasa, mengunakan lebih banyak lagi nada per oktaf termasuk nada-nada berjarak rapat yang kaya. Walaupun istilah Jawa seperti ‘sléndro’ dan ‘pélog’ telah disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Prakempa dan Aji Gurnita (diperkirakan ditulis pada abad ke-19)37, pengistilahan tersebut baru digunakan secara umum pada tahun 1960-an, setelah diperkenalkan oleh I Nyoman Rembang, I Gusti Putu Made Geria dan I Nyoman Kaler para ilmuwan dan akademisi di Konservatori Karawitan (KOKAR), yang semuanya merupakan guru-guru di Konservatori Karawitan (KOKAR) Surakarta, Jawa Tengah. Sebelumnya, masyarakat Bali lebih sering menyebut sléndro sebagai saih gendér (wayang) atau saih angklung dan menyebutkan secara khusus nama suatu saih, patutan, atau tekep, misalnya selisir, untuk menguraikan laras sebuah gamelan gong atau palégongan38. Hal ini terjadi sebagian karena pemahaman bahwa laras selisir untuk gong kebyar telah mengungguli kepekaan intonasi masyarakat Bali dan secara umum penamaan pélog telah menjadi sinonim dengan pelarasan ini. Ada sebuah kecenderungan yang berlaku di antara para seniman dan pendidik untuk menjauhkan diri dari istilah pélog dan sléndro agar tidak terjadi penyamarataan, dan agar berbagai macam penadaan terus dikenal dan dipelajari. Bahkan sampai tahun 1970-an, ada pandangan umum yang mengatakan bahwa tidak ada dua set gamelan Bali yang sama persis. Walau kekhasan daerah mulai luluh dan hilang mengikuti penyeragaman yang meliputi gamelan kebyar dan genre-genre lainnya – akibat pengaruh akademi-akademi seni dan perhelatan tahunan Pesta Kesenian Bali – sesungguhnya ciri khas penadaan dalam berbagai gamelan Bali masih subur. Kumpulan alat-alat gamelan yang unik termasuk gong, gong péncon, kendang, dan gangsa ‘alat gamelan berbilah perunggu datar’ yang berhubungan dengan gaya gamelan Bali dan Jawa sepertinya berkembang semasa pendirian Candi Buddha Borobudur di abad ke-9 dan kedatangan ekspedisi Belanda pertama pada tahun 1595. Nyoman Rembang (1973: 42) mengklasifikasi generasi gamelan “tua” termasuk gambang, luang, slonding, gendér wayang, angklung, saron (caruk) dan sebagainya. Rembang lanjut mengungkapkan bahwa masa kesejarahan setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1342 merupakan periode “madya” yang mencapai puncaknya pada masa keemasan Gelgel yang berlangsung dari tahun 1500-1651. Masa kekuasaan Raja Waturenggong (Baturénggong) pada pertengahan abad ke-16 menghasilkan jalinan kerjasama dengan pendeta termahsyur bernama Nirartha. Jenis-jenis karawitan yang tumbuh subur pada kurun waktu tersebut termasuk gambuh, Semar Pagulingan, palégongan, bebarongan, bebonangan, gong gedé, dan gandrung (jogéd pingitan). Klasifikasi gamelan “baru” oleh Rembang termasuk gong kebyar, jangér, jogéd bumbung, gong suling, dan angklung lima-nada yang berbilah enam atau tujuh. Secara garis besar, gamelan Bali disusun sebagai tingkatan-tingkatan 36
Lihat Vitale (2002) dan McPhee (1966: 36-55) Bandem (1986) 38 Percakapan pribadi: I Made Lebah dan I Nyoman Sumandhi (1980); I Wayan Sinti (1974 dan 2008) 37
13
instrumentalia yang kisarannya mencapai lima oktaf: a. b. c. d. e. f. g.
Dasar alunan nada-nada berkisar antara satu sampai satu-setengah oktaf. Artikulasi pada rentang waktu dari tangga nada biasanya setiap empat ketukan. Ekspresi nada-nada penuh, berkisar antara dua sampai tiga oktaf. Penggandaan dan penyingkatan berlaku dalam oktaf di atas. Kembangan pada alunan nada-nada. Penandaan terhadap rentang waktu yang panjang (fungsi umum dari gong) Permainan kendang, yang dilakukan oleh satu atau dua orang penabuh menggunakan telapak tangan atau sebuah alat pemukul, memimpin kelompok dan menyediakan nuansa ritmis baik penggerak, pendorong maupun berdiri sendiri, memainkan alunan nada-nada yang berdiri sendiri.
Evan Ziporyn mengomentari penggolongan di atas: “b, d, e, dan f adalah aspek-aspek dari sebuah prinsip pengaturan utama, sebagai contoh, susunan atau hitungan dari melodi pada setiap tingkatan permainannya. Sesungguhnya gending merupakan satu keutuhan melodi, entah kemudian diubah atau dikembangkan ke dalam berbagai oktaf. Jadi, gending tidak bisa diuraikan sebagai homofonik atau polifonik - gending merupakan serangkaian nadanada yang diolah menjadi bentuk berbeda, tergantung pada oktaf dan alat-alat gamelan.”39 “Sebuah istilah terapan yang dapat mewakili tingkatan semacam ini adalah heterofoni, walau mempunyai fungsi yang sedikit berbeda dengan bentuk-bentuk yang bisa dijumpai di Timur Tengah dan Jawa.”40 Menyadari betapa pentingnya kehadiran céngcéng dan kempli (sebuah gong péncon yang didudukkan mendatar dan berfungsi untuk menjaga ketukan, sama halnya dengan kajar pada ansambel lain) pada gamelan kebyar, menjadi sangat mengejutkan ketika kehadiran alat gamelan ini jarang ditemukan dalam rekaman 1928, barangkali mengikuti arahan pemimpin produksi rekaman saat itu.41 Namun dari film tahun 1930-an karya McPhee dan Covarrubias yang baru-baru ini ditemukan, kita dapat melihat ansambel kebyar lengkap dengan kempli beserta dua hingga tiga penabuh lain yang memainkan céngcéng angkep. Alat gamelan yang juga disebut ricik atau rincik gedé ini masing-masing berupa dua simbal yang ditaruh menghadap ke atas dan para penabuh memainkannya dengan dua simbal lain. Ini adalah suatu pembaharuan lain dari kebyar untuk komposisi-komposisi barunya dan juga untuk lelambatan tradisional - perpaduan antara rincik dari gamelan palégongan dengan céngcéng kopyak dari gong gedé yang jauh lebih besar dan mendominasi. Alat gamelan ini dimainkan oleh sekelompok penabuh, berbentuk lebih besar, masing-masing memiliki dua simbal besar yang tidak mempunyai dudukan dan keduanya dipukulkan dengan dua simbal lain yang berukuran sama. Colin McPhee mengamati pada tahun 1930-an bahwa notasi-notasi tersebut tidak digunakan dalam mengajar atau latihan, namun lebih dimanfaatkan sebagai upaya pelestarian bagi generasi mendatang atau sumber rujukan ketika gending-gending itu 39
Korespondensi melalui e-mail (2009) Korespondensi e-mail berikutnya (2015) 41 Kecuali bagian pembuka dari karya Lotring berjudul Gambangan (CD Trek #7) 40
14
terlupakan.42 Secara tradisional, gending gamelan jarang dinotasikan karena para penabuh mempelajari bagian mereka secara pengulangan. Melodi dinyanyikan menggunakan nama untuk setiap tangga nada: nding, ndong, ndéng, ndung, ndang.43 Karena gendingnya yang sangat terstruktur, maka improvisasi hanya diperbolehkan bagi kendang pemimpin, suling, dan alat gamelan tunggal lainnya pada saat-saat tertentu. Namun, para penabuh gendér, setidaknya di desa Sukawati mempunyai praktik improvisasi, permainan bebas tanpa persiapan yang telah berkembang begitu pesat.44 Sekolah-sekolah dan para komponis kontemporer menggunakan sistem notasi hasil penggabungan dari notasi kepatihan Jawa untuk irama dan dinamika, dan aksara Bali untuk vokal yang tinggi-rendah nadanya ditandai seperti yang telah disebutkan di atas. Pengistilahan bisa berbeda antar desa dan antar wilayah, atau bahkan mencerminkan keragaman kosakata pribadi antar penabuh. Tujuan kami dalam catatan pengantar CD ini adalah untuk memasukkan berbagai istilah lokal dari Belaluan, Pangkung, dan Busungbiu, dengan harapan dapat mengungkap kaidah-kaidah berkesenian dan kesusastraan/etnopuitika mereka. Walau seorang penabuh bisa sangat spesifik dari waktu ke waktu, terkadang istilah-istilah seperti norot, notol-noltol-neteg, ngucek-norét-norék, oncangan dan nyogcag dapat dipertukarkan dalam konteks dan kosakata pribadi yang berbeda. Pengistilahan ini lebih sering digunakan untuk menggambarkan pergerakan (unsur kinetik) dari aksi jasmaniah dalam permainan dibandingkan untuk menggambarkan suatu konsep berkesenian yang abstrak atau catatan-catatan pengajaran. Judul dari gubahan-gubahan karya dapat menggambarkan keterhubungan dramatis, ritual, atau kesusastraan dengan gending atau bahkan keterkaitan jenaka terhadap lingkungan dan alam. Namun yang paling sering terjadi adalah cerminan atau pengungkapan citra-citra yang menjadi inspirasi bagi sang komponis atau apapun yang terlintas dalam pikirannya selama atau sesudah proses penciptaan. Dua puluh tiga rekaman ini adalah bukti akan keterhubungan sebuah dunia berkesenian yang sedang mengalami peralihan, dari gaya pra-palégongan Semar Pagulingan Titih sampai karya-karya tabuh Lotring untuk Calonarang (sebuah jenis seni pertunjukan yang baru berkembang beberapa dekade sebelum kedatangan Odeon dan Beka); karya-karya yang mencerminkan kekhasan gambuh kuna melalui koreografi, melodi dan penokohan dramatisnya. Gubahan-gubahan palégongan penuh penjelajahan kreatif dari Lotring secara cerdas mengutip bentuk-bentuk kuna sembari merayakan kebebasan yang lebih besar.
42
McPhee (1966: 56) Kerap ditulis ding-dong-déng-dung-dang dan dilafalkan dalam proses pengajaran sebagai ning-nong-néngnung-nang atau nir-nor-nér-nur-nar atau nyir-nar-nyér-nyur-nyar 44 Nicholas Gray (2011) menulis sebuah buku tentang hal ini. 43
15
16
17
18
Sukawati sebagai Pusat Pembaharuan Légong dan Wayang Pusat perkembangan tari dan tabuh légong termasuk perbendaharaan karya dan pelatihannya pada masa akhir abad ke-19 sampai tahun 1920-an adalah Sukawati dengan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Anak Agung Rai Perit, Dewa Putu Belacing dan I Made Bambang Duaja. Mereka adalah guru dari generasi ahli-ahli légong berikutnya seperti Wayan Lotring, Ida Bagus Boda (1870–1965) dari Negara/Batuan, Sukawati, yang kemudian menetap di Kaliungu, Denpasar, I Nyoman Kaler (1892–1969) dari Pemogan, Denpasar dan I Gusti Bagus Djelantik (1905–1945) dari Saba, Gianyar. Cerita yang paling sering didengar terkait perkembangan légong dijelaskan oleh Bandem dan deBoer sebagai berikut: Asal-usul légong yang terjadi sekitar pergantian abad ke-19, dibeberkan dalam Babad Dalem Sukawati yang merupakan catatan silsilah Kerajaan
19
Sukawati, sebuah desa di Kabupaten Gianyar yang sejak lama telah terkenal karena kehebatannya dalam bidang seni pertunjukan. Menurut cerita, penciptaan tari Légong bermula dari sebuah mimpi yang dialami oleh I Dewa Agung Made Karna, seorang raja yang dikenal memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Ketika sedang bermeditasi di Pura Payogan Agung di desa Ketewel yang berdekatan dengan Sukawati, I Dewa Agung Made Karna bermimpi melihat gadis-gadis kayangan mementaskan sebuah tarian dalam keadaan kerasukan, serupa dengan Sang Hyang Dedari, namun dalam busana tari yang berwarna-warni dan mengenakan gelungan berwarna emas daripada busana dan hiasan berwarna putih yang lazimnya dipakai. Ketika terjaga, sang Raja memanggil kepala desa Ketewel dan menugaskannya membuat beberapa topeng dan menggubah sebuah tarian yang menyerupai tarian dalam mimpinya. Sembilan topeng sakral yang mewakili sembilan dewi-dewi kayangan dalam mitologi Hindu pun dibuat, dipahat, dan dibuat oleh seniman-seniman setempat. Topeng-topeng ini masih disimpan dan dilestarikan di Pura Payogan Agung di mana tarian tersebut dipentaskan setiap enam bulan sekali. Dua penari Sang Hyang berusia muda dipilih untuk menarikan topeng-topeng tersebut dan diajarkan sebuah tarian baru – Sang Hyang Légong – yang digubah khusus untuk acara tersebut. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah sekaa yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik (dari keluarga Jelantik Blahbatuh) menciptakan sebuah tari baru, Nandir, dalam gaya yang mirip dengan Sang Hyang Légong. Dalam bentuk baru ini, para penarinya terdiri dari tiga laki-laki muda dan topengtopeng tidak dipakai dalam pertunjukan. Pementasan Nandir tersebut disaksikan oleh Dewa Manggis, Raja Gianyar, yang begitu terkesan sampaisampai beliau memerintahkan sepasang seniman dari Sukawati untuk menciptakan tarian yang serupa untuk gadis-gadis belia di lingkungan istana. Hasil dari usaha tersebut merupakan sumber langsung dari tari Légong seperti yang kita kenal dewasa ini.45 Made Bandem mendapat keterangan tersebut dari I Ketut Rinda, seorang penari dan guru terkenal dari Blahbatuh (±1906–1980+)46 yang sangat memahami Babad Manggis (silsilah keturunan kerajaan Gianyar) dan juga Babad Blahbatuh.47 Nyoman Sudewi (2011: 137) membahas catatan dari Julian Jacobs (1883: 68) yang mengamati keberadaan légong saat kunjungannya di dekat Puri Gianyar pada sekitar tahun 1881: “Semar Pagulingan…hanya digunakan untuk menemani gandrung, légong dan jogéd gegudegan.” Dalam penelitiannya tentang kesejarahan légong dewasa ini, Sudewi mengutip sebuah lontar bertahun Çaka 1802 (tahun 1880 Masehi) yang menjelaskan bagaimana I Dewa Manggis Sukawati yang sedang berkuasa pada saat itu, mendorong delapan mpu tari, 45
1981: 71-72 Korespondensi e-mail dengan Made Bandem (2015) 47 Keluarga Ketut Rinda aslinya berasal dari Batuan, Sukawati (percakapan pribadi 1980) 46
20
penari gambuh, dan penabuh-penabuh ternama untuk mengembangkan sebuah jenis kesenian baru yang berbeda dengan Sang Hyang légong tapel terutama sebuah tarian yang tidak mengenakan topéng dan juga berbeda dari nandir. I Dewa (Anak Agung) Rai Perit mengusulkan penggunaan cerita Malat, khususnya bagian pangipuk Lasem (adegan di mana Raja Lasem berusaha merayu dan menaklukkan hati Rangkesari yang menjadi tawanannya, sesaat sebelum beliau bergegas pergi menuju angkatan-batél maya ‘ke medan perang’; sebuah perjalanan yang kemudian berakhir dengan tertabraknya sang raja oleh seekor burung gagak, sebagai pertanda buruk).48 Atas seizin Dewa Manggis, para seniman saling bertukar gagasan dalam mengembangkan tarian ini. Setelah beberapa latihan di Puri Gianyar, lahirlah tari Légong Lasem).49 Pertemuan bersejarah antara para seniman dan penguasa yang menjunjung tinggi kesenian ini menandai sebuah permulaan penting akan pengaruh koreografi, bentuk, dan unsur-unsur dramatis dari dramatari klasik gambuh terhadap Légong Lasem dan juga cerita-cerita légong lainnya. Sekitar tahun 1895, Rai Perit, Made Duaja dan Dewa Belacing ditantang dan didorong mengembangkan sebuah gaya légong Sukawati yang khas dengan dukungan penuh dari para punggawa Sukawati mengingat bahwa peperangan antar kerajaan pada masa sebelumnya sempat mengusir dua dari tiga seniman yang dimaksud menuju pengasingan (Sudéwi 2011: 138-40). Sebuah cerita setempat yang diungkap oleh penabuh asal Sukawati, Kadek Suartaya memberi informasi mengenai keberadaan Sukawati sebagai pusat seni pada masa peralihan abad ke-20. Anak Agung Perit yang aslinya berasal dari Puri Tegalalang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Puri Paang di Sukawati, di mana beliau akhirnya menetap sejak usia muda.50 Asal-usul Dewa Belacing adalah sebuah misteri, mengingat beliau berasal dari daerah tak dikenal di luar Sukawati dan tidak terdapat rekam jejak keturunannya di Sukawati. Penghuni pekarangannya di masa sekarang tidak mempunyai informasi apapun tentang kehidupan beliau. Made Bambang Duaja (ahli tabuh légong) adalah salah seorang dari banyak tokoh yang disélong ‘diasingkan’ ke pulau tetangga Nusa Penida, oleh Raja Dewa Agung dari Klungkung setelah menaklukkan Raja Dewa Manggis dari Gianyar. Tokoh-tokoh lain yang diasingkan pada masa itu adalah dalang Wayan Kerekek dan penari gambuh I Wawuh. Menurut Nyoman Sudewi, I Dewa Gdé Rai Perit (gelarnya pada saat itu) juga sempat ditawan oleh Raja Klungkung, namun diserahkan kepada Raja Karangasem. Di bawah naungan Raja Karangasem, Rai Perit diminta untuk mengajar tari-tarian kepada putra dan putri sang penguasa dan Rai Perit diperlakukan selayaknya sebagai seorang tamu daripada
48
Dalang Ketut Kodi menjelaskan makna ganda yang menarik dari adegan pangipuk ini, di mana saat Rangkesari menolak rayuan dari Prabu Lasem - tetapi pada saat yang bersamaan - para pencipta légong Lasem menginginkan adanya sebuah adegan percintaan, sehingga para penari dan juru tandak ‘penerjemah’ menyertakan sebuah gambaran abstrak antara Rangkesari dengan Panji, cinta sejatinya. 49 Sudewi (2011: 138) “Kutipan ini disampaikan oleh I Wayan Turun, ahli lontar yang bertempat di Banjar Sumerta, Denpasar. Dikatakan bahwa pernyataan ini dipetik dari Babad Dalem koleksinya, pada lembar ke5,6, dan 7, dari 7 lembar yang mengulas legong.” 50 Kusuma Arini 2011: 17 menulis, “Sebelum tahun 1928, légong dibina oleh Puri Agung Peliatan. Menurut Babad Dalem Sukawati, kehidupan seni di Puri Peliatan dan Puri Tegalalang dipengaruhi oleh Puri Sukawati karena adanya hubungan kekeluargaan.”
21
seorang tawanan.51 Selama menjalani pengasingan di Nusa Penida, Made Bambang Duaja membantu terbentuknya sebuah ansambel parwa, dramatari yang mementaskan lakonlakon dari epos Mahabharata, sama halnya dengan wayang wong yang mementaskan ceritacerita dari epos Ramayana.52 Pada akhirnya, ia kembali bermukim di Sukawati, namun Bambang, sebagaimana ia lazimnya dipanggil, telah membina pasuwitran ‘kekerabatan, pertemanan erat’ dengan masyarakat Nusa Penida sampai-sampai dianggap keluarga, dan sampai dewasa ini keluarganya di Banjar Babakan, Sukawati terus melanjutkan hubungan kekerabatan tersebut dan selalu dikunjungi oleh para keturunan keluarga-keluarga luar daerah tersebut pada saat pelbagai upacara keagamaan. Dalang Kerekek berhasil meninggalkan pengasingan di Nusa Penida dan pindah ke Tanjung Benoa (dekat Kuta) di daratan utama Bali, di mana ia juga membina persahabatan dengan masyarakat setempat selama bertahun-tahun dan berlanjut sampai masa sekarang – khususnya pada saat upacaraupacara keagamaan – antara keluarganya dengan keluarga-keluarga dari Tanjung. Dalang Kerekek adalah ayah dari I Nyoman Geranyam, dan keduanya sering diiringi oleh Wayan Lotring dari Kuta yang merupakan salah seorang dari empat pemain gendér lainnya yang biasanya mengiringi pementasan wayang dari masing-masing dalang. Pengaruh légong pada wayang sangat kentara dan jelas. Lisa Gold (1998: 253-54) menulis: Granyam yang dikenal sebagai seorang penari dan dalang mempunyai peranan besar dalam pelbagai pembaharuan wayang, termasuk membawa gerakan-gerakan tari dan unsur-unsur gong kebyar ke dalam wayang. Banyak penari dan dalang dipengaruhi oleh gerakan wayang dan tariannya, dan persilangan antara kedua bentuk kesenian ini berkembang (Dibia, percakapan pribadi). Ia menjadi terkenal karena pergerakan wayang luh (tokoh wayang perempuan) yang bersumber dari gerakan légong, terutama yang tampak pada pangécét puncak dari Rebong…di mana ketukan cepalanya pada kropak (peti pemyimpanan wayang) kosong memainkan pola-pola kendang (drum) dari pangécét légong pada saat ia menarikan wayang légong perempuan dalam gaya gerakan-gerakan tari légong. Wayang luh jelas adalah penari perempuan, biasanya pelayan-pelayan bangsawan atau putri bangsawan, oleh karenanya tarian légongnya tampak sesuai dan alami; namun ini tidak menjelaskan gerakan-gerakan légong dalam igel kayonan (tarian kayonan). Granyam tampaknya bertanggungjawab atas pengaruh terhadap bentuk tarian kayonan mengingat hal tersebut masih dipentaskan di Sukawati, walau tampaknya sulit mengetahui seberapa jauh perannya.53
Gold juga menulis (1998: 68): 51
2011: 134-135 Ditegaskan pula oleh Wayan Nartha, dalang dan pemain gendér dari Sukawati. 53 Proyek Rangsangan 1977: 39 mencatat masa kehidupan Geranyam sebagai ±1913–1968 dengan upacara ngabén di tahun 1972. Gold 1998: 68 menulis, “Menurut [Wayan] Locéng, Granyam dilahirkan sekitar tahun 1900 dan meninggal sekitar tahun 1975.” 52
22
Semasa Granyam muda, Lotring, seniman terkenal dari Kuta mengunjungi Sukawati di mana ia mengajar karawitan selama beberapa masa, sambil mempelajari légong…Sebagai timbal-balik, Lotring menggubah ulang iringan tabuh dari légong ke dalam gaya pribadinya, sebuah versi yang masih sangat terkenal dan digemari. Lotring memberi pengaruh banyak kepada pelbagai unsur dalam gaya pementasan Granyam, terutama penyesuaian gerak dan irama tari dalam memainkan wayang dan iringan gendér wayang...Khususnya, Lotring mengilhami Granyam untuk memasukkan unsur-unsur dari tari Légong Kraton ke dalam wayang sebagai bagian pangipuk dari iringan tabuh percintaan, Rebong…dan terilhami dari tari, Granyam mengubah koreografi dari tarian kayonan. Petualangan kreatif yang melibatkan Lotring dan Geranyam lanjut berkembang dan memberi pengaruh kepada generasi dalang selanjutnya termasuk I Made Sija dari Bona dan I Ketut Madra, I Wayan Wija, I Wayan Nartha dan I Made Juwanda dari Sukawati. McPhee menulis: Lotring bukanlah satu-satunya komponis gamelan légong semasa tahun 1930-an. Pada saat menghadiri pementasan-pementasan légong dan Calonarang yang dilakukan oleh pelbagai sekaa dari beragam desa yang tak terhitung jumlahnya, seseorang secara terus-menerus bisa mendengarkan tabuh-tabuh baru yang cerdas, digubah oleh penabuh setempat untuk pagelaran-pagelaran tersebut. Beberapa dari mereka adalah laki-laki tua sarat pengalaman dalam bidang karawitan. Kelompok lainnya adalah orangorang muda dengan teknik tabuh terbatas, kemampuan yang mungkin baru didapatkan dan diasah sejak bergabung dengan sekaa gamelan. Satu atau dua, seperti Anak Agung dari Saba dan Lukluk, para bangsawan penggemar tabuh, memiliki perangkat gamelan sendiri, melatih sendiri para penarinya, dan adakalanya bisa menyaingi Lotring dalam hal penciptaan. Dalam upaya menemukan gagasan baru, para komponis ini akan bepergian dan bertualang cukup jauh, mendengar gamelan-gamelan lain pada saat festival, meminjam ini, membuang itu, dan memperkenalkan gagasan-gagasan baru ke dalam gubahan-gubahan mereka.54 Walau sedikit sekali dari karya-karya ini mampu menandingi kemahiran Lotring, setidaknya semua menunjukkan daya cipta kreatif dan pembebasan dari bentuk-bentuk kuna yang telah mapan. Saat itu adalah masa keemasan dari gamelan palégongan.55
54
Nicholas Gray 2011: 134-35 (dan dalam keseluruhan bukunya) menggali praktik-praktik berkesenian, penggubahan dan improvisasi di antara pemain gendér wayang Sukawati, dan juga para pemain gendér wayang di Budakeling, Karangasem yang dilakukan melalui pelbagai wawancara mendalam dengan Wayan Locéng, Ketut Buda Astra dan Ida Wayan Granoka. 55 1966: 326
23
Terkait proses berkesenian kolektif ini, Nyoman Astita menunjukkan bahwa kelaziman praktik maguru kuping ‘belajar melalui mendengarkan’ berlanjut sampai proses penyebaran (seperti diungkapkan McPhee), di mana para penabuh dan komponis bisa mendapatkan lebih banyak pelajaran melalui pengamatan dibandingkan bermain gamelan.56
Gamelan Semar Pagulingan Titih Gamelan Semar Pagulingan bisa dimaknai sebagai ‘gamelan asmara di peraduan raja-raja’ atau ‘gamelan dewa cinta di peraduan’. Semara (juga ditulis Smara) ‘cinta, asmara’ adalah juga nama dari dewa cinta dan pagulingan adalah peraduan atau tempat tidur. Semasa zaman pra-kolonial, ansambel-ansambel ini kerap dimainkan di lingkup kediaman seorang raja pada saat bersantap, bersantai, dan ketika raja bercumbu atau menikmati malam bersama salah seorang istrinya. Gamelan tersebut umumnya dimainkan oleh para penabuh dari puri dan anggota masyarakat dari desa-desa sekeliling puri. Menurut keterangan De Guh (1920-2004) gamelan Semar Pagulingan di Banjar Titih, Badung (kini Denpasar) diperoleh dari Jeroan Kepaon yang mempunyai hubungan dekat dengan Puri Pemecutan. I Nyoman Wisura dan narasumber lainnya menunjukkan bahwa mengingat kedekatan hubungan tersebut, besar kemungkinan perangkat gamelan memang berasal dari istana. Pada awalnya, gamelan tersebut merupakan milik I Gusti Putu Pegig yang terpaksa ngadéang ‘menggadaikan’ keseluruhan gamelan tersebut kepada para penabuh di Titih pada tahun 1924 sebagai jaminan atas pinjaman dana atas nama pribadinya – sebuah praktik yang lumrah secara tradisional di Bali. Pada saat itu, I Gusti Putu Pegig dan Jeroan Kepaon telah melakoni hubungan baik dengan De Gog (ayah dari De Guh) di Titih. Dari penuturan De Guh, gamelan Semar Pagulingan yang dimaksud terdiri dari dua belas alat gamelan berbilah perunggu ‘metalofon’ (dua jegog, dua jublag, empat gangsa, empat gangsa barang beroktaf tinggi), kemong ‘gong gantung kecil dan bernada tinggi’, dua gentorak ‘rangkaian lonceng-lonceng kecil mirip pohon’, céngcéng ‘simbal’, trompong ‘sederetan gong péncon’, sebuah curing ‘alat gamelan kecil dari bambu dengan bilah logam’ yang berbilah sepuluh, sebuah kempur ‘gong kecil’ dan hanya sebuah kendang ‘drum’. Tidak terdapatnya kendang kedua, kajar, dan kempli setidaknya mencerminkan keterbatasan sumber-sumber dana dan keberadaan désa-kala-patra ‘tempat, waktu dan keterhubungan’ secara lebih luas setelah Puputan Badung. Gusti Putu Pegig mengajarkan gubah-gubahan tabuh dengan bantuan I Made Cekig dari Titih.57 Semar Pagulingan Titih lanjut berkembang sampai masa penjajahan Jepang (1942) pada Perang Dunia II. Pada saat itu, pemilik gamelan di Kepaon meminta agar keseluruhan perangkat gamelan dikembalikan, dengan maksud agar perunggunya bisa dilebur demi menghasilkan uang. Pada tahun 1960, De Guh berhasrat meminjam kembali gamelan tersebut, namun yang tersisa hanyalah dua jublag dan dua gangsa. De Guh melebur gangsa dan jublag dan menempanya kembali sebagai dua gangsa bergaya gong kebyar yang dipergunakan dalam latihan-latihan di kediamannya. Banjar Titih tidak mempunyai dukungan pendanaan untuk membeli seperangkat gamelan, sehingga sekaa ‘kelompok tabuh’ akhirnya meminjam gamelan gong kebyar dari seseorang di Suwung. Gamelan 56 57
Percakapan (2015) Percakapan dengan Dé Guh (2003)
24
tersebut dimainkan oleh sekaa Titih sebagai sumber mata pencaharian dan seiring waktu akhirnya memungkinkan mereka mengumpulkan cukup uang, ditambah lagi dengan sumbangan dari masing-masing anggota sekaa, untuk membeli sebuah ansambel gamelan kebyar yang masih dilestarikan sampai dewasa ini. Namun, satu-satunya ansembel gamelan yang saat ini masih aktif di Titih adalah gamelan angklung.58 Saat mendengarkan rekaman-rekaman ini, banyak penabuh menanyakan apakah yang terdengar adalah gamelan saih pitu ‘tujuh-nada’. Jarak antara nada ketiga dan keempat déng dan dung - yang relatif dekat, dan jarak antara nada keempat dan kelima - dung dan dang - yang lebih lebar dalam saih ‘skala’ mengetengahkan kesan awal bahwa ini merupakan salah satu dari berbagai patutan ‘mode’. Hal ini, ditambah dengan dengung halus dan lembut dari gamelan, awalnya mendorong kebanyakan pendengar untuk menyimaknya sebagai Semar Pagulingan saih pitu yang klasik. Namun susunan tangga nada tersebut bisa juga dijumpai secara berkala pada gamelan gong lima nada, palégongan dan Semar Pagulingan yang umumnya menggunakan sebuah pelarasan saih gong ‘sejenis dengan gamelan gong’ yang dikenal sebagai selisir, dan penggolongan pelarasan semacam ini adalah begbeg ‘konsisten, tetap’, lebih merujuk kepada jarak nada-nada yang seimbang dan rata dibanding dengan nirus ‘berhimpitan’, yang mengungkapkan sebuah interval lebar antara déng dan dung serta menciptakan jarak nada-nada yang berdekatan dan kian rapat antara dung dan nada kecil selanjutnya yaitu dang. Menurut penjelasan De Guh, ketiga gubahan gending yang direkam pada tahun 1928 mencerminkan ciri khas atau gaya Titih. Penggunaan satu kendang menekankan pola-pola lanang (laki-laki, drum bernada tinggi) yang umumnya merupakan pasangan saling-kait lanang dan wadon (perempuan, drum bernada rendah). Gaya permainan kendang pada masa awal ini, walaupun dengan dua pemain kendang, tetap mengetengahkan gaya palégongan dengan permainan kendang lanang yang memimpin, ‘”menjaga ketukan, berperan lebih besar dan terdengar lebih keras”59 dibandingkan dengan keniscayaan repertoar gamelan masa kini yang lumrah dipimpin oleh kendang wadon. Sebuah kunjungan bersama I Gusti Ngurah Serama Semadi60 (1961—), cucu-keponakan dari empu légong terkenal dari Saba, I Gusti Bagus DJelantik (±1905-1945) berhasil mengungkapkan sebuah cerita yang menarik tentang keberadaan unik dari Semar Pagulingan Titih pada masa tahun 1924-1940 yang akan diurai lebih lanjut dalam pembahasan tabuh Lasem.
58
Percakapan dengan Pan Rajin, pemain angklung dari Titih (2009) Wayan Beratha menjelaskan bahwa permainan kendang lanang oleh ayahnya, Made Regog, seperti yang terdengar dalam rekaman tahun 1928 Gong Kebyar Belaluan (Bali 1928, vol. I) menunjukkan adanya pengaruh permainan kendang légong pada perkembangan masa awal kebyar. 60 Juga dikenal sebagai Anak Agung Rai Saba. Ayahnya bernama I Gusti Gede Raka Saba yang dikenal dan dihormati sebagai salah satu tokoh légong dan gamelan palégongan. Beliau sempat berguru dengan Wayan Lotring. 59
25
CD Trek #1 Tabuh Ginanti Kata Ginanti berkaitan dengan metrum tembang ‘nyanyian puisi’ dalam jenis nyanyian yang secara sederhana disebut sebagai pupuh, atau sekar alit atau tembang macapat ‘lantunan lagu bersuku-kata empat’. Ada beberapa jenis Ginanti baik dalam saih gendér ‘senada pelarasan gendér wayang’ dan saih gong ‘seperti pelarasan gamelan gong’. Walau pengaruhnya tidak dapat dikenali pada saat pertama kali mendengarnya, melodi ini sepertinya cenderung merupakan penyesuaian bebas dari sebuah tembang bertajuk Ginanti Pangalang61 dalam pelarasan saih gendér menjadi Semar Pagulingan yang mempunyai tangga nada yang sangat berbeda. Ini melibatkan sebuah proses transposisi yang lumrah dari satu mode atau pelarasan menjadi yang lainnya. Metrum puitis dalam bentuk nyanyian yang meliputi padalingsa ‘jumlah suku kata dan huruf hidup terakhir dari masing-masing baris’ atau guru ding-dong (nada akhir yang umum dalam setiap baris) tidaklah nampak dengan jelas, bahkan sebaliknya menerapkan kontur melodi dari Ginanti yang lebih bebas atau tidak resmi. Proses penyesuaian bebas yang serupa dari sebuah gending nampak pada tema melodi (rangkaian nada-nada) yang dimainkan oleh gamelan gong untuk Arsawijaya (topéng Dalem) yang entah bermula dari tembang Sinom Lumrah atau Sinom Cecantungan.62 Penyesuaian ini lebih masuk akal mengingat kedua jenis Sinom tersebut mengikuti pelarasan saih gong, sama halnya dengan gamelan yang sering mengiringi pementasan topéng. Proses ini datang dan pergi, kerap penyanyi menggubah tembang dari melodi-melodi gamelan dan sebaliknya. Bahkan, banyak tembang seperti Durma, Mas Kumambang dan Pangkur telah dan masih disesuaikan untuk gamelan dalam tata cara resmi dibanding Ginanti ini, termasuk hubungan timbal balik dari nada-nada terakhir pada setiap baris antara lagu dan permainan gamelan.63 Ginanti Pangalang sering kali dihubungkan dengan suasana hati yang damai serta ungkapan penuh takjub dan keagungan, seperti ketika menggambarkan keindahan sebuah istana. Pangalang berasal dari kata galang ‘lapang’ yang menyarankan suasana “mengisi waktu luang, untuk bersantai.”64 Salah satu lirik yang terkenal adalah sebagai berikut: Brakutut muni angunggul, mincok ning taru marunnggi, cacagan muni lan alon, talungan muni lan suling, bamban, bamban bawu rahina, tembangin antuk Ginanti. ‘Burung perkutut berkicau nyaring dan jernih, hinggap di dahan pohon kelor, suara lembut alat tenun, gemericik air melintasi pipa bambu, dan suling berirama di udara, perlahan, perlahan, pagi baru menjelang, iringi saja dengan Ginanti’
61
Pandangan ini muncul ketika penulis berulangkali mendengarkan karya Titih ini dari rekaman, mengingat sebelumnya bahwa penulis telah mempelajari dan menguasai Ginanti Pangalang beberapa tahun yang lalu, dan baik Ketut Kodi dan Ni Nyoman Candri pun menyepakati pandangan ini 62 Gagasan ini disarankan oleh penari topéeng Ketut Kodi, dan komponis Wayan Beratha juga menyetujui pandangannya. 63 Percakapan dengan Ketut Kodi, Made Bandem, dan Komang Sudirga (2014) 64 Ketut Kodi (percakapan 2014). Terjemahan dari bahasa Bali ke Indonesia disiapkan oleh Kodi (2014).
26
De Guh menggunakan istilah ngincang65 sebagai rujukan mengenai teknik saling-kait saat kedua bagian polos dan sangsih memainkan nada yang sama, silih berganti. Wayan Pogog (sekitar 1920-2009) yang merupakan salah seorang penabuh Radio Republik Indonesia dari Banjar Lebah, Denpasar menyebut teknik tersebut sebagai neteg, sebagaimana juga diungkap oleh Wayan Begeg (1919-2013) dari Pangkung, Tabanan, yang juga menggunakan istilah noltol. Neteg (paneteg) ‘secara tetap dan terus-menerus bagaikan memukuli sesuatu berulang-kali’; noltol berasal dari cara seekor burung mematuki bijibijian dengan paruh yang bergerak cepat naik dan turun; sedangkan silih asih berasal dari silih ‘meminjam’ dan asih ‘memberi’. I Putu Sumiasa dari pedesaan Kedis Kaja menyatakan bahwa walau secara umum neteg bisa merujuk kepada pola saling-kait noltol, teknik ini sebenarnya adalah bagian polos yang memainkan neteg pada ketukan, sementara bagian sangsih memainkan nyandét (candétan) pada ketukan lemah (off-beat). Sedangkan, Wayan Suweca (1948-) dari Kayumas Kaja, Denpasar menggunakan istilah neteg dan noltol. Nyoman Astita dari Kaliungu Kaja, dekat Titih, memakai istilah silih asih, dan, sepakat dengan Sumiasa, menjelaskan neteg sebagai nada rendah polos sementara nada tinggi sangsih disebut sebagai candétan. Silih asih bersumber dari silih ‘pinjam’ dan asih ‘memberi’. Teknik ini serupa dengan imbal dalam gamelan Jawa. Wayan Kelo dari Kuta menyarankan bahwa cara permainan ini merupakan salah satu pemaknaan daripada gonténg (untuk menjelaskan judul dari salah satu karya Wayan Lotring), dan Wayan Sinti dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI/KOKAR) menyebutnya sebagai mebeh. Saat menyimak rekaman-rekaman bersejarah ini, Wayan Pogog mengomentari bahwa ia masih mengingat gaya permainan Titih tersebut dan hal tersebut memang merupakan teknik palégongan dan Semar Pagulingan yang umum sampai akhirnya Wayang Lotring dan Nyoman Kaler memperkenalkan penggunaan pola-pola kotékan ‘saling-kait’ yang lebih kompleks dalam palégongan yang dipengaruhi oleh permainan gendér wayang.66 Pemahaman oleh Pak Pogog tentunya berdasarkan pandangan-pandangan Bali Selatan, dan para penabuh di Buleleng juga melakukan pembaharuan dengan kotékan untuk melodimelodi légong pada masa tahun 1920-an, bebarengan dengan masa Ida Boda menyebarkan légong ke pelbagai desa termasuk Busungbiu (Bali 1928, vol. I).67 Ketidakhadiran alat-alat gamelan penjaga ketukan semacam kajar dan keleneng dalam gamelan Titih bisa menjelaskan penggunaan rutin dari kemong, gong berukuran kecil berbunyi nyaring, untuk mengambil peran dalam mengartikan pola gending.
65
Menurut Ketut Kodi, ngincang bisa berarti berjalan, berkeliling kemana-mana. Percakapan (2003) 67 Percakapan dengan Wayan Weker (1931-), putra dari Wayan Patra, pemimpin gamelan Busungbiu. Ia mengatakan bahwa perbendaharaan légong mereka termasuk Jobog dan Kuntul. Para penari yang masih diingatnya adalah Ni Wayan Padri sebagai condong dan Ni Ketut Darning sebagai légong. 66
27
CD Trek #2 Tabuh Lasem Lasem adalah tema yang paling terkenal dan disukai untuk tari légong yang bersumber dari cerita-cerita Panji Malat dalam dramatari klasik gambuh.68 De Guh mengingat bagaimana gamelan yang biasanya mengiringi para penari légong menggunakan trompong daripada gendér untuk memimpin lagu. Ia mengingat “Anak Agung Bagus” dari Saba, Gianyar, membawa penari-penari légongnya, Ni Luh Suri sebagai condong, bersama Gusti Ayu dan Dayu sebagai kedua penari légong yang juga berasal dari Saba. Keterkaitan Titih-Saba ini disambut sedikit kebimbangan oleh beberapa rekan penabuh kami, tetapi I Gusti Ngurah Serama Semadi69, cucu-keponakan dari maestro légong tersebut di atas, alias I Gusti Bagus Jelantik, membenarkan temuan kami bahwa ketiga penari pada masa itu adalah Ni Gusti Nyoman Madri, Dayu (Ida Ayu) Ratna, dan Ni Ketut Suri, yang kemudian dikenal sebagai Jero Suraga. Pada masa sekarang nampak bahwa para penari tersebut mesti bepergian jauh mengingat belum adanya kendaraan bermesin pada saat itu, namun kami telah mendengar banyak contoh yang serupa, seperti pementas arja dari Singapadu dan Keramas yang bepergian ke Belaluan untuk pentas bersama dengan gamelan geguntangan70 setempat. Perjalanan panjang selama sehari atau lebih bukanlah hal yang tidak lazim pada masa itu. I Wayan Gunastra (1928-) dari Kaliungu Kelod71, desa tetangga yang memiliki seperangkat Semar Pagulingan yang dibuat berdasarkan gamelan milik Titih, menyarankan bahwa rekaman ini tidaklah terdengar seperti sebuah versi yang umumnya dipakai mengiringi tari légong Lasem, namun lebih sebagai sebuah pategak ‘tabuh pengenalan’. Namun, Wayan Suweca (1948-) menegaskan bahwa penggunaan trompong untuk mengiringi para penari légong dalam Semar Pagulingan bisa saja terjadi, mengingat keterbatasan alat-alat gamelan pada masa itu. Sembari mendengarkan rekaman, ia memainkan kendang dan bisa dipastikan bahwa tema yang dimainkan oleh gamelan Titih adalah légong Lasem. Rekaman ini adalah bagian pangécét ‘kedua, bagian lebih cepat’ dari Lasem.72 Wayan Pogog mengungkap bahwa pangécét ‘bagian cepat’ Lasem ini mempunyai kesamaan dengan Sekar Êléd, sebuah gending dengan rangkaian nada-nada yang bisa didengar dalam gambuh dan arja sebagai pategak ‘gubahan pembuka’. Suweca 68
“Raja Lasem mendengar kabar bahwa pejabat pengurus tanah kekuasaannya yang bernama Metaoen telah mengadopsi seorang gadis yang amat jelita. Beliau pun mengutus seorang duta untuk menjemput sang gadis. Mataoen terpaksa tunduk kepada atasannya dan menyerahkan sang gadis, namun menyadari bahwa sang gadis tak mempunyai kepentingan apapun dengan Lasem. Sang gadis mengurung diri dalam rumah dan tidak membiarkan Lasem mendekati dengan dirinya, walau sang penguasa memohon dan mendoakan agar sang gadis agar bersikap baik kepadanya untuk sekali saja, sebelum sang penguasa berangkat ke medan tempur. Banyak pertanda buruk terjadi hari itu; seekor burung gagak tiba-tiba muncul dengan paruh berdarah, dan mematuki sang penguasa; saat sang penguasa menaiki kereta perangnya, ia melukai kakinya di tangga kereta sehingga luka dan berdarh. (Sang penguasa gugur dalam pertempuran, dan Rangkesari akhirnya diselamatkan).” de Zoete dan Spies 1938 (cetakan ulang 2002: 286) 69 I Gusti Ngurah Serama Semadi (percakapan pribadi, 2014) 70 Percakapan dengan Wayan Beratha dari Sadmertha-Belaluan dan Abian Kipas (2003) 71 Kaliungu Kelod juga memiliki sebuah Semar Pagulingan yang mengikuti gaya Titih. 72 Keterbatasan sarana yang hanya berdurasi tiga menit untuk masing-masing rekaman menyebabkan diambilnya pelbagai keputusan kreatif oleh ansambel-ansambel gamelan yang terlibat dalam rekaman, dan banyak bagian-bagian gending dibawakan secara padet ‘rapat’ atau dimainkan dalam tempo cepat. Dalam beberapa kasus, ini menimbulkan kesulitan dalam memahami struktur formal dari gubahan (menurut Wayan Suweca dalam sebuah percakapan pada tahun 2014).
28
menyepakati bahwa Lasem ini hampir sama dengan pangécét ‘bagian cepat’ dari Sekar Éléd dalam bentuk lagunya yang umum, walau kekhasan melodinya berbeda. Sebuah kekhasan dari Sekar Eléd adalah melodi yang berdasarkan nada néng (mulai pada 01:10), sementara melodi Lasem di tempat lain mempunyai nada dasar ning. I Made Bandem yang secara jelas mendengar permainan ini sebagai sebuah pategak daripada iringan tari, menunjukkan bahwa dalam lima frasa dari gong (yang sesungguhnya dimainkan oleh sebuah kempur kecil) dalam rekaman, kempur pertama jatuh pada nada ning, yang kedua pada nada néng, yang ketiga pada ning, yang keempat pada néng, dan yang kelima pada ning. I Gusti Serama Semadi dari Saba mendengar gending ini sebagai pangécét igel Lasem, yang merupakan iringan tarian dan tidak mutlak sebagai sebuah pategak.73 Ia menyanyi dan menari mengikuti rekaman dan baginya ini adalah iringan igel ‘iringan tabuh untuk tari’. Gusti Serama Semadi mengatakan bahwa pada masa itu bila sebuah ansambel gamelan tidak mempunyai gendér rambat, para penabuhnya akan menyesuaikan permainan tabuh mereka dengan alat-alat gamelan yang tersedia dan menggunakan alat gamelan yang lebih tradisional, dalam hal ini trompong untuk memangku melodi dari légong. Kerabatnya, I Gusti Bagus Jelantik (±1907–1945), jelas mempunyai hubungan yang dekat dengan Banjar Titih, namun ia tidak mengetahui bagaimana hal tersebut bermula. Pan Guh ‘ayah dari De Guh’ menjadi sahabat dari Gusti Djelantik beserta keponakannya, I Gusti Gede Raka Saba (1916–2000) karena ia adalah seorang penabuh yang hebat. Sehingga tanggapan lumrah kurang percaya yang dikemukakan oleh para penabuh (merujuk pada jarak antara Saba dan Titih, terutama ketika kunjungan masa itu dilakukan dengan berjalan kaki) saat penulis mengemukakan pernyataan De Guh tentang adanya hubungan kreatif antara Titih dengan tokoh légong terkenal dan disegani dari Puri Saba, tidaklah didasari atau menyertakan keberadaan hubungan pribadi yang lekat. Ketika Gusti Bagus Djelantik wafat pada tahun 1945 di Wangaya, Badung (kini Denpasar) masyarakat Bajar Titih-lah yang setidaknya selama empat jam menempuh perjalanan mengantar dan mengusung jenasah beliau kembali ke Puri Saba.
CD Trek #3 Tabuh Gari Tabuh Gari adalah sebuah gubahan yang berasal dari perbendaharaan lagu-lagu gambuh. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, gubahan ini bisa digunakan pada awal sebuah pertunjukan gambuh, dan versi gambuh juga dimainkan dalam tempo yang lebih lambat. Sebuah jenis dari Tabuh Gari dimainkan oleh gendér wayang dalam bentuk yang sangat padet ‘padat, tanpa sela’ pada penutup pementasan wayang serta dalam pelbagai jenis gamelan lainnya. De Guh kembali menyarankan hadirnya pengaruh gambuh dan menunjukkan kedekatan jarak dan hubungan antara Titih dengan Pedungan dan Sesetan, dua desa yang masingmasing memiliki ansambel gambuh pada masa itu. Namun para penabuh, Ketut Gede Asnawa dan Pak Gunastra sepakat bahwa permainan krumpungan kendang Titih lebih
73
Nyoman Astita mendengar pembawaan gending ini sebagai pategak instrumental dan menunjukkan bahwa bila gending mengiringi tarian maka dalam permainan akan terdengar adanya angsel ‘isyarat-isyarat yang mengarahkan kendang dengan koreografi’ (percakapan, 2015).
29
mirip dengan gaya légong daripada gambuh. Hal senada juga diungkap Ketut Wirtawan dan Wayan Artawan dari Batuan, di mana tradisi gambuh masih hidup dan berkembang dengan baik.74 Wayan Suweca menunjukkan pengaruh gambuh dalam permainan kendang Titih hanya sebatas Tabuh Gari dan tidak dalam Ginanti atau Tabuh Lasem. Ia menjelaskan pola dan hitungan dari kendang adalah léngkér dalam gaya gambuh (berbeda dengan gubahan khas tabuh Léngkér) dan bisa dikenali secara mudah dari ragam lainnya. Berdasarkan pupuh kendangnya, Ketut Gede Asnawa dan Made Bandem sepakat bahwa pola lagunya adalah tabuh dua (hitungan dua palet dalam satu putaran kempur).75 Bandem menjelaskan bahwa gaya permainan kendang adalah bebaturan (batu-batuan) yang serupa dalam Semar Pagulingan saih pitu and palégongan. Rekaman ini dimulai dengan sebuah kawitan76 ‘pengenalan’ sangat singkat (tiga detik) yang dimainkan oleh trompong, dan langsung berlanjut menuju apa yang disebut Made Bandem sebagai pamalpal77 dan, pada 00:36, berlanjut sebagai pangécét ‘bagian cepat’ (yang dalam permainannya ini tidaklah secepat pamalpal), mengikuti susunan gongan pertama dan lengkap (ditandai dengan bunyi kempur). Menurut Wayan Gunastra, pembawaan gending yang lebih panjang termasuk pangawak ‘tubuh, isi’ akan dimainkan sebagai gubahan pategak untuk mengawali berlangsungnya sebuah acara. Ia menyatakan bahwa tempo ringkas dari pembawaan ini terjadi karena mengikuti gaya trompong sebagai pemimpin ansambel, walau sesungguhnya hal ini kemungkinan besar karena keperluan memadatkan lebih banyak lagu akibat keterbatasan waktu tiga menit dengan rekamanrekaman 78 rpm.
74
Percakapan (2014) Percakapan (2014) 76 Kawitan bisa disebut pula sebagai peralihan atau mencari, sebagaimana halnya ketika seorang pemain trompong bermain dalam polah “mencari-cari” sembari menunjukkan kepada para penabuh lainnya tentang gending yang akan dimainkan bersama-sama. 77 Percakapan (2015). Bandem 1983: 84 mengartikan pamalpal dalam tarian sebagai “sebuah gaya berjalan dengan ayunan langkah-langkah jatuh tepat dengan ketukan.” 75
30
31
Sekilas Kehidupan I Wayan Lotring dari Banjar Tegal, Kuta I Wayan Lotring dilahirkan di Banjar Tegal, Kuta, pada tahun 1887.78 Menurut sebuah riwayat hidup singkat yang telah dikonfirmasi juga oleh anggota keluarga lainnya,79 ayahnya, I Rapi dan ibunya, Ni Gublig merupakan pasangan petani dan nelayan. Mereka juga mempunyai seorang anak perempuan. I Rapi bisa memainkan gamelan dan Lotring sudah mahir memainkan gendér wayang pada usia enam tahun. Pada usia yang sangat muda itu, Lotring sudah biasa mengiringi pementasan wayang.80 Ia pun dihormati dan disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan kreatif dan pengaruh besar di balik perkembangan gamelan Bali abad ke-20, membantu pengembangan lebih lanjut palégongan, kebyar, gendér wayang, dan angklung. Ia adalah seorang penabuh yang luar biasa, dikenal sebagai juru gendér dan juru kendang,81 dan kemahirannya dalam menguasai pelbagai bentuk tarian nandir, gandrung dan légong.82 Pada paruh lanjut hidupnya, keluarga dan kerabatnya mengenang Lotring sebagai seorang penyanyi wirama kakawin dan seorang pecinta sastra, walau Lotring diketahui tidak berbahasa Indonesia. Menurut anak-didiknya, Wayan Kelo (1942-2004),83 masa tumbuh-kembang Lotring di Banjar Tegal didampingi oleh gamelan bebarongan, gandrung dan gendér wayang. Hal ini dipastikan oleh I Wayan Teling (1942-), anak dari rekan penabuh Lotring bernama I Wayan Raping yang juga ahli memainkan gendér dan kendang.84 Bebarongan mirip dengan palégongan, namun peran utamanya adalah untuk mengiringi tari-tari barong yang dipentaskan untuk odalan ‘festival’ pura atau diupah (ngupah)85 untuk tampil dalam 78
Tahun kelahiran menurut penghargaan-penghargaan resmi, keterangan kerabat termasuk juga Wayan Kelo dan para penulis riwayat hidup masa sekarang (Astita 2002). McPhee (1966: 308) menulis, “Lotring lahir sekitar tahun 1900 dan dilatih sebagai seorang penari dalam usia dini di lingkungan istana Blahbatu[h]. Ia kemudian pindah ke Kuta, sebuah desa nelayan kecil sepanjang pesisir Badung, di mana ia mempunyai hubungan kekerabatan.” Tahun 1887 lebih meyakinkan berdasarkan catatan lokal dan penampilannya pada tahun 1972, ketika pada satu kesempatan saya sempat bertemu dengannya untuk mengambil fotonya dan merekamnya dalam film. Pada saat itu, ia nampak sebagai seorang yang telah memasuki usia 80-an tahun. 79 Percakapan (2015) dengan I Made Artajaya, salah seorang cucu-keponakan Lotring 80 Proyek Rangsangan Cipta/Anugerah Seni: Pemerintah Daerah Tingkat I (1976/77: 7). Walau riwayat hidup yang dikutip mencatat bahwa ayahnya memainkan gamelan légong, di Banjar Tegal hanya terdapat satu gamelan bebarongan sampai akhirnya Lotring mengatur palégongan yang dimaksud. Walau demikian bebarongan dan palégongan memiliki alat-alat gamelan yang serupa dan kedua istilah sering dipertukarkan dalam pembahasan-pembahasan sederhana. 81 Juru, secara tradisional menunjukkan penggunaan atau penguasaan dari satu keahlian. 82 Asitita 2002: 126–141 83 Percakapan dengan Wayan Kelo (2003) dan Wayang Teling (2014). Walau banyak yang mempercayai bahwa Pak Kelo adalah cucu Lotring, sebenarnya tidak ada hubungan kekeluargaan. Hal tersebut diungkap oleh Wayan Teling dan juga cucu-keponakan dari Lotring termasuk Wayan Pursa, Wayan Suwija dan Made Artajaya. Kerancuan ini muncul dari panggilan “kakek” yang ditujukan oleh Pak Kelo kepada Lotring, tetapi sebenarnya kata “kakek” digunakan sebagai sebutan kepada laki-laki berusia tujuh puluh tahun ke atas. 84 Wayan Teling adalah seorang pemain gendér wayang dan palégongan dari Banjar Tegal. Kami mengenal Wayan Teling berusia sedikit lebih tua dari Lotring yang sering memanggilnya sebagai bli ‘kakak laki-laki’ (percakapan, 2015) 85 Dari kata upah ‘bayar’ atau juga disebut kaul ‘untuk membayar kembali’ para batara setelah permohonan dikabulkan, sebagai contoh bila seorang anggota keluarga sakit atau tak dikaruniai keturunan menjadi sembuh atau berhasil memperoleh anak. Ketika seseorang berdoa dan mohon kepada para batara, ia berjanji akan menanggung dan melaksanakan sebuah pementasan upacara di luar pura banjar ‘pura milik desa’. Di Kuta ini akan melibatkan upacara barong dan Rangda yang memakai beragam topéng, pelbagai tarian jauk, enam sandaran (sebutan untuk télék di daerah Badung), dan omang; pelbagai tokoh bertopeng dalam beragam
32
upacara keagamaan lainnya. Pada masa itu, Kuta memiliki dua ansambel gendér wayang. Salah satunya yang tidak melibatkan atau dimainkan Lotring terdapat di Jero Berasan Kuta, yang digunakan untuk mengiringi dramatari wayang wong yang melakonkan cerita-cerita dari epos Ramayana. Kelompok yang menyertakan Lotring biasanya pentas untuk masangih ‘upacara potong gigi’ khususnya untuk lingkup kekerabatannya di Banjar Tegal. McPhee (1966: 356) menulis, “Komponis Bali, I Lotring…dihormati juga sebagai seorang guru tari, pertama kalinya dilatih nandir di lingkungan istana Blahbatuh, sekitar tahun 1906. Nandir adalah jenis tarian dari masa lampau yang dipentaskan oleh tiga anak lakilaki, sebuah tarian yang merupakan asal mula perkembangan tari légong. Diatur oleh pihak istana, para penari diberi pelatihan teknik yang terbaik. Tarian ini menghubungkan gambuh dan légong. Menurut Lotring dan beberapa narasumber lainnya, gamelan pengiringnya terdiri dari empat génder wayang, dua jégogan berlaras sléndro, dua kendang, dan sebuah kelompok kecil yang memainkan alat gamelan perkusi.”86 Nyoman Astita melakukan sebuah pengamatan yang tak bisa dibantah bahwa Lotring mempelajari nandir pada usia dewasa yang bisa dikatakan tidak sewajarnya. I Wayan Rindi (1916/1917-1976)87 dari Banjar Lebah, Denpasar mulai mempelajari nandir pada usia tujuh tahun, juga di lingkungan istana Blahbatuh (belajar langsung dari I Gusti Bagus Djelantik dari Saba, menurut keterangan keponakannya, Ni Ketut Arini).88 Apalagi kemudian, Wayan Kelo dan juga Astita memberitahu kami bahwa Lotring belajar légong di Puri Paang, Sukawati sekitar tahun 1917.89 Bila perkiraan-perkiraan ini akurat, seseorang bisa menyimpulkan bahwa Lotring barangkali berguru sebagai penabuh-komponis dan guru tari nandir dan légong dibandingkan sebagai seorang pragina ‘penari’. Bisa jadi Lotring hanya mempelajari pakem ‘koreografi dan narasi’ melalui pengamatannya terhadap proses pelatihan yang dilakoni para penari berusia muda tersebut. Gaya mempelajari perbendaharaan tari dan tabuh serupa dengan cara yang ditempuh teman seangkatan Lotring yang bernama I Nyoman Kaler, dan berlanjut kepada komponis kebyar I Wayan Beratha (1926-2014), yang kapasitasnya sebagai penari berada pada tingkatan di bawah Lotring dan Kaler, namun dipandang sebagai seorang maestro tari karena kemampuan musikalnya yang tinggi, pemahaman akan koreografi yang mendalam, dan pengertiannya yang luas akan keterikatan gending ‘lagu’ dan igel ‘gerak’.90 Setelah menjalani pelatihan di Sukawati dari tokoh tari Anak Agung Rai Perit dan tokoh gamelan Dewa Putu Belacing dan I Made Bambang Duaja, Lotring mulai membentuk warna yang menantang barong dan kemudian mundur. Satu omang berparas hitam, satunya lagi berparas putih mirip jauk, dan satunya lagi yang disebut omang kemuk mempunyai paras kehijauan dan mempunyai penampilan dan pergerakan yang lucu. Beberapa omang sobrat berambut acak dan mencolok ke atas melengkapi kawanan omang-omang tersebut. Pada akhirnya muncul suasana kerauhan termasuk ngurek ‘menusuk diri – tubuh dengan sebuah keris. (Pembicaraan dengan Wayan Darta di Kuta dan Ketut Wadja (1934-) di Ketapian Kelod di tahun 2014). 86 Ini adalah sebuah konsep yang tidak lazim bagi sebuah ansambel nandir, dan tentunya lebih umum dibayangkan sebagai sebuah Semar Pagulingan. 87 Data mengenai usia Wayan Rindi diberikan oleh putrinya, Ni Wayan Merthi (percakapan, 2009). 88 Percakapan (2014) 89 Astita (2002: 131), mengutip Wayan Kelo 90 Percakapan dengan Ni Ketut Arini (2014)
33
sebuah sekaa légong di Banjar Tegal, Kuta sekitar tahun 1920.91 Pemain condong pertama adalah Ni Numbreg dan kedua penari légongnya adalah I Wayan Dasni dan Ni Wayan Kinceg. Lotring dan istrinya Ni Rubig tidak dikaruniai keturunan dan Lotring akhirnya menikahi salah seorang penari légong yaitu Ni Wayan Kinceg dan mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Ni Luh Noni. Menurut Pak Kelo, Lotring bersama sekaa légongnya pergi ke Surakarta (Solo) untuk pentas di Mangkunegaran92 pada tahun 1920 (kemungkinan yang dimaksud adalah tahun 1920-an), namun keterangan dari Banjar Tegal menunjukkan bahwa lawatan itu terjadi pada tahun 1926.93 Ada kemungkinan bahwa légong dari Desa Selat, Karangasem dipilih dalam lawatan kesenian dari Puri Karangasem ke Mangkunegaran pada tahun 1920. Ida Boda dengan garis keturunan dari Budakeling dikenal pernah mengajar légong di sana termasuk juga di Rendang dan Ulakan.94 Dalam sepucuk surat tertanggal 26 Maret 1941 dari Raja Karangasem kepada Mangkunegara VII, para penari légong dalam misi kesenian tahun 1941 itu dikenali berasal dari Ulakan. Kemudian, para penari légong yang sangat muda dalam koleksi foto di Puri Karangasem disebut-sebut sebagai penari dari Ulakan.95 I Gusti Gede Raka Saba mengingat bahwa pamannya, I Gusti Bagus Djelantik, dan Lotring merupakan rekan seangkatan saat belajar légong di Sukawati, dan Lotring juga kerap mengunjungi Saba untuk mengajar perbendaharaan tabuh palégongan yang mengiringi tarian légong seperti Lasem, Jobog, Kuntir, Guak Macok, Legodbawa, serta tabuh pategak ‘tabuh pembukaan, gubahan instrumentalia’. Ini termasuk pula karya-karya baru Lotring seperti Gambangan (Pelugon), Sekar Ginotan dan Liar Samas.96 Seperti halnya dengan kebanyakan ahli tari dan tabuh pada masa itu, Gusti Bagus Djelantik dari Saba adalah seorang guru yang keras dan mudah naik pitam.97 Keponakannya 91
Menurut Tim Humas Kodya Denpasar (1999: 29), dicatat bahwa Lotring adalah salah seorang murid dari Ida Bagus Boda. Bila demikian, maka bisa dibayangkan bahwa Lotring mempelajari tari légong dan/atau tabuh dari Ida Bagus Boda pada akhir tahun 1890-an, ketika Boda berpindah tempat tinggal dari Negara/Batuan (Sukawati) ke Kaliungu, Badung (kini Denpasar), dan sebelum Lotring belajar di Sukawati. 92 Percakapan dengan Wayan Kelo (2003) dan Astita (2002: 131) 93 Setidaknya ada tiga atau empat misi kesenian ke Mangkunegaran yang dipimpin oleh Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik. Tahun 1920 dan 1941 disebut-sebut dalam sepucuk surat pribadi dari Anglurah Djelantik kepada Mangkunegara VII, yang ditunjukkan kepada penulis oleh cucu Raja Karangasem, Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik. Anak Agung Putra Agung mengingat bahwa sebuah misi kesenian lainnya dilakukan ketika Museum Sono Budoyo dibuka secara resmi pada tahun 1935. Tetapi catatan keluarga Puri Karangasem juga mengungkap sebuah misi kesenian pada tahun 1927 (A.A. Ayu Kusuma Arini, percakapan 2014) yang lebih masuk akal bila dikaitkan dengan karya Lotring bertajuk Gonténg Jawa (Solo). Made Bandem mempunyai beberapa foto pementas gambuh dan arja yang dikatakan merupakan bagian dari misi kesenian oleh Puri Karangasem ke Mangkunegaran pada tahun 1927 (percakapan pribadi, 2014). 94 Percakapan dengan Anak Agung Ayu Kusuma Arini, cucu dari Anak Agung Anglurah Djelantik. 95 Percakapan dengan Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik (2009) dan A.A. Ayu Kusuma Arini (2014). Ida Boda berkesempatan mengajar nenek mereka, Makelé Lebah, di Rendang, Karangasem antara tahun 1910 dan 1920. 96 Astita mewawancarai Gusti Gede Raka Saba di tahun 1998 (2002: 134) 97 (Percakapan dengan Gusti Ngurah Serama Semadi, 2014). Menurut Gusti Serama Semadi, walaupun mereka adalah dari garis keturunan yang berbeda, usia keduanya hanya terpaut antara enam sampai sepuluh tahun. Ayahnya menduga bahwa tahun kelahirannya adalah pada tahun 1916, tetapi Serama Semadi mempercayai bahwa tahun 1910 lebih tepat, dan tahun kelahiran dari Bagus Jelantik adalah antara tahun 1900 dan 1905.
34
mempunyai pengalaman ditepak oleh pamannya memakai panggul berulang kali, sesuatu hal yang tak mudah ditanggung.98 Raka Saba (juga dikenal sebagai “Badeng” ‘hitam’ karena warna legam kulitnya) adalah ahli dalam seni bela diri silat dan penikmat perjalanan kaki yang jauh dan panjang menyusuri persawahan dan pantai, ditemani rombongan priapria muda, melakukan engkal-engkalan ‘menyanyi bebas’ sepanjang perjalanan. Gusti Gede Raka yang masih disesaki hasrat mempelajari palégongan, akhirnya meninggalkan Puri Saba pada suatu hari tanpa berpamitan, dan menuju Kuta untuk belajar langsung dari Lotring. Walau Lotring mempunyai reputasi yang sama kerasnya (hal yang lumrah pada masa itu), ia memperlakukan muridnya yang berdarah bangsawan itu dengan sopan dan lembut. Setelah beberapa bulan, Raka Saba balik kembali ke Puri Saba dan disambut dengan penuh penghargaan dan hormat oleh sang paman yang kemudian mendorongnya menjadi guru ahli dalam bidang gamelan di Saba.99 Menurut keterangan putranya, Gusti Gede Raka Saba selalu menggunakan istilah kenyang lempung ‘tegang/lembut’ yang merujuk kepada kehalusan dinamika dari tingkat kekerasan suara atau bunyi (ees nguncab ‘keras dan lembut’, atau secara harfiah, ‘pasang’ dan ‘surut’ merujuk kepada lautan) dan juga adéng-gangsar ‘tempo pelan dan cepat’. Semua istilah yang bisa disimak secara menyeluruh dalam rekaman-rekaman gendér wayang tahun 1928 nampaknya merupakan bagian penting dalam gaya berkesenian dan pengajaran yang halus dari Lotring.100 Colin McPhee (1946: 175) mengungkap kesan pribadinya terhadap proses berkesenian Lotring sebagai: Bila Nyoman Kaler adalah jiwa dari segenap aspek ilmiah, lain halnya dengan Lotring yang menurut saya adalah semangat dari segala hal yang hidup dan kreatif…Ia penuh kehangatan dan lemah lembut, lugu, malahan tuna aksara, dengan senyum yang langsung menyejukkan hatimu. Walau, semakin saya mengenalnya, saya mendapatkannya sebagai sosok yang samar dan tidak tetap pendirian bilamana berhadapan dengan teori musik, namun, bila saatnya praktik tiba, ia tentunya adalah seorang kritikus yang tajam dan seorang seniman yang hebat, dan musik yang saya pelajari darinya, menurut hemat saya adalah yang terindah dari semua yang saya pernah dengar di seluruh pulau. Bagi orang Bali proses penggubahan yang sebenarnya adalah sesuatu hal yang berbeda dari apa kita lakukan di belahan dunia barat. Musik bukanlah pembuktian diri yang mengharukan; pada dasarnya musik berperan mengiring sebuah upacara atau drama. Menggubah adalah sesuatu hal yang
98
Astita (2002: 134) menulis ulang komentar oleh I Nyoman Rembang (1930-2005) berkenaan dengan sifat Lotring yang mempunyai temperamen praktis, suka menggunakan kata-kata yang pedas, dan sering terkesan mengejek dan memandang rendah, terutama kepada murid-muridnya. Lotring dikenal gemar mengumpat, menyumpah, atau menggoda murid-muridnya, atau menepak tangan salah seorang muridnya yang tidak mampu menguasai bagian dari gamelan secara cepat, tetapi perlu diungkap bahwa olok-oloknya sering dibumbui humor (percakapan dengan Wayan Teling 2015) 99 Percakapan dengan I Gusti Ngurah Serama Semadi (2015) 100 Percakapan dengan I Gusti Ngurah Serama Semadi (2015)
35
mengalir dan berkembang dibandingkan mencipta, dan sebuah melodi baru sangatlah jarang dewasa ini. Yang menegaskan kebaruan sebuah karya adalah gaya bukan isi, dan tak seorang pun pernah bermimpi untuk mengemukakan kritik berlandaskan kenyataan bahwa lagu itu sudah pernah didengar sebelumnya. Tetapi sesungguhnya Lotring menciptakan beragam lagu dan bentuk baru. Ia membicarakan dirinya secara akrab sebagai komponis sejati, dan kalau saja bukan karena kerendahan hatinya, dan getar kecemasan dalam ujarnya, saya seharusnya tak mempercayai dia. Kéwĕh! Menggubah itu sulit! Seringkali saya tak tidur bermalam-malam, memikirkan sebuah karya baru. Hal itu berputar-putar di benakku. Aku mendengarnya dalam mimpi-mimpiku. Rambutku menipis memikirkan musik…Bagaimana kamu memulai sebuah gubahan baru, Lotring?101 Siapa yang tahu? Terkadang sebuah gubahan muncul dengan sendirinya, seringkali dari sesuatu yang sebelumnya pernah kudengar. Sebagai contoh? Ia tertawa. Gagasannya muncul dari sebuah jam. Bagaimana bisa begitu? Seorang pria Cina di Kuta ini mempunyai sebuah jam kecil yang berdetak setiap jam. Sangat indah. Aku sering mendengarkannya. Aku tak bisa melupakannya. Suatu hari aku menggubahnya menjadi lagu untuk gamelan Kuta. Tak lama setelah itu semua orang di Denpasar mau mempelajarinya. Aku langsung teringat dengan Pangeran Jojodipura ketika aku mendengar alunan gamelannya pada suatu senja di Jawa. Kami mempunyai sebuah gubahan baru, katanya, berjudul Westminster. Karya itu bersumber dari lonceng-lonceng salah satu jamku. Dan memang, ketika gamelan dimainkan, nada-nada yang akrab dengan perlahan memenuhi ruangan, berdenting mewangi dan lembut, diselimuti jalinan angan-angan yang kental dengan aura nikmat dan menyentuh kalbu. Namun ini merupakan transkripsi yang harfiah, dimainkan secara kebangsawanan dan agung. Sebaliknya, Lotring menggunakan dendang singkat dari jam itu hanya sebagai titik mula penciptaannya. (Ketika saya mendengarkan rekaman dari piringan hitam, saya sama sekali tak bisa mengenali adanya bebunyian yang setidaknya menggambarkan dendangan lagu dari sebuah jam). Ia (Lotring) mempunyai bakat yang luar biasa dalam menyambung untaian nada-nada; rancang bangun musiknya, dan melodi-melodinya penuh kejutan dan ketidakteraturan yang penuh karisma. Berbicara mengenai gubahangubahannya, semuanya dimaksudkan sebagai penyela antara tarian-tarian. Ia tentunya sangat kecewa dengan bubarnya sekaa di Kuta [pada tahun 1929]. Nampaknya percekcokan itu disebabkan oleh masalah keuangan. Gong besar telah digadaikan, dan masih ada perasaan kesal yang terpendam di desa, walau perselisihan itu telah berlalu lima tahun. Kemungkinan 101
“Bagaimanakah cara Lotring menggubah, dan menyampaikan hasil ciptaannya kepada para penabuhnya? Ia tidak pernah berupaya mencatat gubahannya dalam notasi. Ketika sebuah gubahan selesai, atau setengah jadi dalam benaknya, ia akan mengajarkannya per bagian…Untuk gubahan-gubahan yang panjang, ia terkadang akan menciptakan bagian-bagian baru saat gubahan tersebut sedang dipelajari, karena satu ide musikal biasanya berujung pada lahirnya ide musikal lain” (McPhee 1966: 309)
36
untuk membentuk sekaa baru sangat kecil. Kini, tanpa ikatan, hidupnya tak mempunyai tujuan dan Lotring menjadi kian limbung. Ia tidak lagi dibutuhkan sebagai seorang guru karena ia sudah tidak lagi tertarik dengan gaya kebyar dan semangat gubahannya pun melunak. Bahkan mencari nafkah sebagai seorang tukang emas pun sulit, mengingat terbatasnya uang saat ini untuk bunga-bunga dan hiasan kepala dari lempengan emas tipis, begitu pula cincin-cincin, gelang-gelang, dan bokor perak yang biasanya menyita waktu para pengrajin dari pagi sampai malam hari. Malahan sesekali waktu, ia membuat nampan kayu di atas mesin bubut. McPhee berhasil mendanai Lotring untuk menghidupkan sekaa untuk beberapa tahun sampai beberapa saat setelah kepergian kedua McPhee dari Bali yang berlangsung selama dua tahun. Ia menulis:102 Beberapa hari kemudian, bulan Desember tahun 1935 pun berakhir dan saya pun meninggalkan pulau. Sesampainya saya di New York, saya mendapatkan sepucuk surat dari Lotring, ditulis (menurut saya) oleh Limoh, dan mengirimkan kabar-berita dari Kuta. Kemudian senyap yang berkepanjangan pun hadir, tiada kabar lagi, sampai akhirnya sepucuk surat datang dari Limoh. Sekaa kembali bubar. Para penari tidak dibutuhkan lagi sebagaimana biasanya. Gong kembali digadaikan di Denpasar. Gubuk tempat saya tinggal kini telah digantikan oleh sebuah hotel yang diperuntukkan bagi wisatawan. Surat meminta saya mengirimkan sebuah ikat-pinggang koboi dari Amerika. Menurut Wayan Teling, Lotring berusaha lagi menghidupkan sekaa palégongan di Banjar Tegal pada masa tahun 1950-an, dengan kesertaan generasi penabuh yang lanjut usia, tetapi upaya ini tidak bertahan lama. Namun, selama beberapa dekade Lotring sibuk mengajar di seluruh Bali, termasuk di Tanjung Benoa (kini Kuta Selatan),103 Jagaraga, Bali Utara (mengajar légong), Geladag, dan Bias, Sanur (mengajar kebyar),104 dan berlanjut mengajar gendér wayang di Kuta sampai masa tuanya.105 Astita (2002: 132) menyebutkan bahwa Lotring mengajar gendér wayang, palégongan, angklung, pajogédan, gandrung dan gong kebyar di Badung dan Gianyar, dan khususnya, Lotring mengajar palégongan in Sesetan (Badung), Peliatan, Binoh and Sukawati.106 Riwayat hidupnya yang disusun tahun 1977 menyebutkan bahwa ia mengajar palégongan di Jembrana, Bangli, Klungkung, Gianyar, Denpasar dan Lombok. Desa Teges Kanginan, Peliatan mewarisi khazanah palégongan Lotring melalui McPhee.107
102
1946: 197 Menurut Wayan Dedi, penabuh asal Tanjung Benoa (percakapan 2015) 104 Menurut Wayan Suweca 2014 105 Wayan Karyasa mempelajari gendér wayang bersamanya dan Pak Teling pada tahun 1970-an. 106 2002: 134 107 Pada masa tahun 1890-an, kemenangan kerajaan Ubud atas Negara menyebabkan adanya perolehan seperangkat gamelan Semar Pagulingan yang berpindah dari Ubud ke Puri Kaleran yang berdekatan dengan Peliatan, dan kemudian berpindah lagi ke desa penghasil beras, Teges Kanginan. Colin McPhee menyewa gamelan tersebut dari Anak Agung Gede Mandera, membawa gamelan ke rumahnya di Sayan, dan mengundang I Lunyuh dari Payangan untuk mengajar penabuh-penabuh muda pelbagai repertoar kuna 103
37
Pada masa tahun 1940-an, ketenaran palégongan memudar sementara kebyar berkembang pesat, dan Lotring pun disibukkan dengan berbagai kegiatan mengajar pada masa itu. Ia menjadi guru bagi tokoh-tokoh kebyar termasuk Anak Agung Gede Mandera, I Gusti Putu Geria, I Nyoman Rembang, I Wayan Beratha, I Wayan Begeg, I Wayan Tembres dan generasi berikutnya termasuk I Wayan Sinti (Astita 2002: 130). Wayan Teling masih mengingat bagaimana Lotring - walau sudah sangat uzur - sering terbangun dari tidur siangnya dan langsung memainkan gendér untuk menghibur diri, selalu dengan keahlian yang tinggi dan secara mudah dan lugas. Ia dan sesama rekan penabuhnya, Wayan Raping, sering kali berseru menantang satu sama lainnya, “Tarung!” (selayaknya mabarung ‘pertandingan’), sebagai ajakan bertanding, memainkan gendér wayang bersama-sama. Di tahun 1972, Wayan Lotring yang sudah lanjut usia dan rekan-rekan penabuhnya dari Banjar Tegal yang kebanyakan juga telah berumur melakuan pementasan untuk sebuah koleksi rekaman piringan hitam.108 Di tahun 1973, sekaa melebur perunggu dari empat gangsa jongkok dan gong dan mengubah gamelan palégongan menjadi ansambel kebyar yang digunakan untuk pementasan-pementasan Sendratari Ramayana – sejenis dramatari yang dikembangkan di KOKAR di tahun 1960-an – untuk kepentingan hiburan bagi wisatawan.109 Namun, mereka tetap mempertahankan gendér rambat berbilah 13 seperti semula dan menggunakan pelarasan palégongan yang asli untuk ansambel gong kebyar mereka yang baru. Mereka lanjut menggunakan gendér rambat sebagai pimpinan melodi dalam mementaskan pelbagai karya-karya Lotring termasuk yang terdapat dalam CD ini seperti Gambang, Solo, dan Genggong serta adaptasi palégongan Lotring terhadap Sekar Ginotan. Sekaa gong kebyar Banjar Tegal juga lanjut mementaskan Calonarang sesekali waktu dan perbendaharaan karya lainnya menggunakan gamelan kebyar milik mereka, sama halnya dengan gong kebyar Banjar Pemamoran, Kuta. Satu set utuh gendér wayang milik Lotring dipelihara dan dilestarikan oleh pihak keluarga di rumahnya. Set inilah yang yang dipakai oleh Lotring dan kelompoknya dalam film McPhee yang menemani volume ini110 dan bisa disaksikan juga secara on-line. Hanya bilah-bilah perunggu (tanpa rangka dan tabung suara bambu) dari sebuah set berbeda yang biasa digunakan untuk mengiringi wayang wong Banjar Tegal di masa lalu, kini disimpan di merajaan ‘pura keluarga’ Wayan Kelo di Banjar Pandé. termasuk légong, dan kemudian membawa I Wayan Lotring dari Kuta untuk mengajarkan kreasi-kreasi barunya. Pada akhirnya, Gung-Kak Mandera mengembalikan gamelan tersebut ke Teges, yang sampai saat ini masih melanjutkan tradisi Lotring (percakapan dengan Anak Agung Gede Mandera 1972). I Made Gerindem adalah salah satu murid Lotring semasa tahun-tahun McPhee tersebut (percakapan dengan Gerindam 1972), dan ia lanjut menjadi ahli palégongan Teges sampai tahun 1986, mengajar berdampingan dengan guru tari Sang Ayu Meklen yang mempelajari légong dari Ni Camplung di Bedulu (percakapan dengan Sang Ayu Muklen, 2014). Camplung mempelajari condong légong dari Gusti Bagus Jelantik di Saba, sama halnya dengan I Wayan Rindi dan Ni Ketut Suri dari Saba (percakapan dengan Gusti Ngurah Serama Semadi 2014). 108 Jacques Brunet 1989 (Ocora-Harmonia Mundi) 109 Percakapan dengan Wayan Teling (2014) 110 Saluran YouTube: Bali1928.net
38
Lotring terkenal karena gubahan-gubahan dan aransemen-aransemen barunya untuk gamelan palégongan yang berjenis parérén ‘ketika para penari mengaso sejenak’, yang kini lebih sering disebut sebagai pategak ‘ketika para penari duduk bersimpuh’. McPhee111 menulis tentang gamelan légong sebagai berikut: Ada dua bentuk gending yang umumnya dikenal, penyelah atau selingan, dan perérén yaitu sebuah komposisi yang dimainkan sebelum pementasan atau pada saat jeda sementara para penari beristirahat. Walau kedua istilah mempunyai arti yang kurang lebih sama, penyelah lebih berbentuk tradisional, biasanya meliputi sebuah kurun waktu melodi yang diulang beberapa kali. Sedangkan perérén yang lebih rinci adalah bentuk gending lebih bebas yang memberi keleluasaan bagi sang komponis untuk mempertontonkan kemampuan kreatifnya. Setiap gubahan mempunyai keutuhan tersendiri, dan kesegaran rangkaian nada-nadanya sebagian bersumber dari pola-pola nada baru dan sebagian lagi dari susunan nadanada yang tidak umum. Walau pengulangan masing-masing unit melodi masih memerankan bagian pokok dalam pengaturan formal, perérénperérén yang lebih panjang seringkali adalah rangkaian daya cipta berkepanjangan yang terdiri dari rangkaian pelbagai nada-nada yang penuh dengan suasana hati dan tempo yang saling kontras. Perérén tak hanya menunjukkan kebebasan metrum dan daya cipta melodi yang luas, namun secara khusus ditandai dengan pengembangan kerumitan irama yang tidak dikenal dalam musik yang lebih kuna.
111
1966: 307
39
40
41
42
Gamelan Palégongan Kuta yang dipimpin I Wayan Lotring Gamelan palégongan Kuta terdiri dari:112 • 2 gendér gedé (rambat) berbilah 13 dan beroktaf rendah (desa-desa lainnya memiliki gendér berbilah 14 atau 15). Alat gamelan yang dimainkan dengan dua panggul ini mempunyai tangga nada lebih dari dua oktaf dengan bilah-bilah yang disangga di atas tabung penggema dari bambu. • 2 gendér barangan, masing-masing berbilah 13 yang tangga nadanya adalah satu oktaf di atas gendér gedé. • 2 gangsa jongkok cenik dengan lima bilah nada (alat gamelan ini kerap disebut sebagai saron). • 2 gangsa jongkok gedé dengan lima bilah nada. • 4 kantilan yang merupakan alat gamelan pukul terkecil dari perangkat gendér dengan satu tangga nada. • 4 penyacah yaitu alat gamelan beroktaf satu dari perangkat gendér yang tinggirendah nadanya berada satu oktaf di atas jublag. • 4 jublag113 yaitu alat gamelan dengan lima bilah nada yang dimainkan dengan panggul yang mempunyai bantalan (satu oktaf di atas jegogan) dan menghasilkan suara nada-nada yang lebih mirip gong dibandingkan dengan gangsa. • 2 jégogan yaitu alat gamealn dengan lima bilah nada yang dimainkan dengan panggul yang mempunyai bantalan dan menghasilkan suara nada-nada yang lebih mirip gong dibandingkan dengan gangsa. Alat gamelan pukul yang beroktaf satu ini adalah perangkat gendér terbesar dalam keluarga gendér. • kelenang yaitu gong kecil bersuara nyaring yang dimainkan pada ketukan-ketukan lemah (off-beat). • kemong yaitu sebuah gong gantung berukuran kecil dengan bunyi jernih yang merupakan nada tambahan yang menyertai nada-nada biasa (overtones) dalam palégongan dan kemudian digunakan dalam kebyar. • kajar yaitu sebuah gong péncon yang diletakkan secara mendatar dan biasanya berfungsi sebagai penjaga ketukan. • gentorag (gentorak) yaitu kumpulan lonceng-lonceng kecil dari perunggu yang disusun seperti pohon dan dibunyikan dengan cara digoyang atau dikocok. • céngcéng yaitu simbal-simbal terbuat dari perunggu. • 2 kendang krumpungan yaitu drum berbentuk tabung dengan dua permukaan. • suling yaitu alat gamlan tiup dari bambu. • kempur (atau di desa-desa lainnya disebut gong). • [Kini, sebuah rebab ‘alat musik gesek menyerupai biola, biasanya digesek dengan cara ditegakkan di lantai’ juga disertakan].
Lotring sudah pasti ikut bermain dalam semua rekaman dari Kuta, tetapi menurut Wayan Teling, Lotring dan Wayan Raping akan bertukar alat gamelan pada kendang lanang
112
Sebagaimana didokumentasikan oleh Colin McPhee di tahun 1930-an (1966: 153) McPhee mencatat empat jublag tetapi Wayan Teling, Wayan Darta dan Made Artajaya bersikeras bahwa sedari awal hanya terdapat dua jublag. Ini mungkin hanya kesalahan dalam penyuntingan naskah. 113
43
(kendang pemimpin yang memberi aba-aba musikal) dan gendér, sementara Kak Wati akan memainkan kendang wadon. Wayan Karyasa (1949-) dari Banjar Pande, Kuta menggambarkan gaya permainan kendang dalam rekaman sebagai kencang (mabayu lan rasa) ‘penuh kekuatan dan perasaan meluap-luap’. Tiga trek berikutnya adalah dari perbendaharaan gending dramatari Calonarang “diperkirakan bermula sekitar tahun 1890,”114 dan berkembang pesat menjadi jenis pertunjukan yang kita kenal sekarang pada beberapa dekade awal abad ke-20, menggabungkan pelbagai unsur keupacaraan dari Rangda dan barong dengan tema-tema musikal dari dramatari klasik gambuh yang kemudian disesuaikan dengan gamelan palégogan atau gamelan bebarongan yang sejenis. Tokoh condong ‘pelayan’ dari ratu tenung Calonarang didasari oleh tokoh pelayan dari Tuan Putri dalam pertunjukan gambuh. Para sisia berdasarkan kakan-kakan dalam gambuh. Kemudian melodi Biakalang yang bisa kita dengar pada trek #17 dalam CD ini mengiringi tokoh Patih Prabangsa dalam gambuh (bisa didengar pada Bali 1928, vol. IV sebagaimana dimainkan oleh sekaa gambuh dari Sesetan) dan juga tokoh Patih, perdana menteri dari Raja Erlangga, yang bernama Pandung dalam dramatari Calonarang. Sandingan dari Biakalang sebagai tema musikal baik dalam gambuh dan Calonarang adalah Godég Miring, terutama untuk sang Prabu. Sementara pengaruh Lotring pada pola penggubahan, artikulasi, suasana dan energi gending sangat terasa, gending-gending berikut bukanlah gubahannya.
CD Trek #4 Calonarang: Sisia Calonarang bersumber dari cerita semi-sejarah yang terjadi di Jawa Timur pada masa kekuasaan Raja Erlangga di masa abad ke-11.115 Sisia adalah pengikut perempuan dari sang dukun Calonarang dan dalam tari pembuka ini mereka terlihat dalam sebagai perempuan berparas cantik dengan rambut panjang tergerai bergelombang (diperankan oleh gadis-gadis muda, “mungkin sebelas tahunan,” menjelang masa tahun 1930-an).116 Gending yang direkam mulai dengan kawitan (pangawit) ‘pembuka’ singkat pada gendér yang langsung diikuti pajalan ‘derap langkah, berjalan’ untuk adegan papeson ‘memasuki panggung’ dari para sisia (panglembar ‘tari pembuka’).117 Wayan Pogog menunjukkan bahwa bentuknya adalah gegaboran (disusun sebagai (G)…P…byong…P…G). Sebuah penyalit ‘peralihan’ pada 00:30 menuju pangawak ‘bagian utama’ pada 00:39, lalu kemudian diikuti oleh pangécét ‘bagian cepat’ pada 01:45. Sulingnya berukuran menengah di antara suling gambuh sepanjang satu meter dan suling pada umumnya yang mempunyai panjang antara dua puluh sampai tiga puluh sentimeter, dan Pak Pogog menggambarkan tabuhnya sebagai sisia gagambuhan. McPhee118 memberi perhatian menyeluruh dan terperinci terhadap keberadaan sisia seperti yang dipentaskan di Peliatan dan Kuta, merujuk kepada rekaman
114
Bandem and deBoer (1981: 112) Lihat de Zoete and Spies (1938/2002: 116) 116 Menurut McPhee (1966: 170), yang selalu teguh mengatakan bahwa peran condong diperankan oleh seorang anak laki-laki. Gambuh, sumber utama dari Calonarang, terus dipentaskan oleh penari laki-laki sampai tahun 1960-an. 117 Seperti dijelaskan oleh I Wayan Suweca dari Kayumas Kaja. 118 (1966: 170-176) dan ia melanjutkan pengkajiannya atas pelbagai gubahan sampai halaman 181, termasuk Ampin Lukun (Ngalap Basé) dan Tunjang. 115
44
ini. Mendengarkan rekaman secara seksama mengungkap apa yang dijelaskan oleh McPhee sebagai “permainan drum (kendang) yang resah dalam kecepatan ganda atau rangkep, ringan, penuh permainan aksen dan dipenuhi nada-nada krémpéng ‘berdenting’, mengantarkan irama yang berkelanjutan secara riang bersamaan dengan dinamika yang terus berubah.”
CD Trek #5 Calonarang: Ngalap Basé Gending berlanjut mengiringi tarian para sisia. Rekaman dimulai dengan pajalan (yang menurut Wayan Teling masih merupakan pangécét sisia) dan memasuki bagian pangawak pada 00:44. Para sisia memulai gerakan khas ngalap basé ‘memetik dauh sirih’ dengan tangan mengapai ke atas, lengan atas ditekuk di siku dan tangan tegak lurus ke atas. Sebutan lain untuk tarian ngalap basé atau lukun basé adalah ngampin (ampin) lukun ‘mengumpulkan dan menjadikan satu’, yang juga secara khusus merujuk kepada basé atau daun sirih. Gerakan tersebut menggambarkan bahwa para sisia memang sedang menerima kekuatan dan ajaran gaib dari sang Ratu Tenung, Matah Gedé.119 I Ketut Kodi120 menawarkan sebuah penafsiran niskala terhadap apa yang sedang berlangsung di balik kekuatan-kekuatan tak terlihat tersebut. Di saat melakukan lukun, para sisia sedang merapalkan dan menyatukan pengetahuan aksara, dalam hal ini kekuatan niskala. Salah satu contoh adalah dasaksara ‘sepuluh huruf’ yang memuja lima sebutan dari Dewa Siwa: SA-BA-TA-A-I-NA-MA-SI-WA-YA. Bagi para sisia, kekuatan gaib dari aksara yang mereka pelajari bertujuan untuk membangkitkan ilmu hitam. Kodi menerapkan sebuah proses yang disebut kirta basa ‘permainan bahasa’ untuk menafsirkan basé ‘daun sirih’ sebagai basa ‘kata-kata’, ‘bahasa’, dengan merujuk kepada penggunaan dari bahasa yang berupa rumus gaib yang mengandung kekuatan yang bisa menyebabkan mara bahaya. Wayan Pogog memperkirakan bahwa bagian ini dimainkan lebih cepat dari biasanya karena Lotring menyadari batas waktu untuk masing-masing rekaman yang hanya sepanjang tiga menit. Bagian pangécét mulai pada 01:55 di mana para sisia baru memulai awal dari perubahan rupa menjadi léyak. Menurut Wayan Suweca dan Pak Pogog, para sisia, pada saat ini sedang melakukan ngereh, baru “lima puluh persen léyak,” dengan kaki néngkléng ‘berdiri dengan satu kaki, secara bergantian bagaikan binatang’. Seperti yang ditunjukkan oleh Suweca, tidaklah pantas bagi seorang wanita untuk mengangkat kakinya seperti itu, kecuali mereka sedang berubah rupa menjadi léyak. Kodi menyimak alunan gending dari dramatari Calonarang sebagai sebuah penerapan strategi keindahan yang mengagumkan dan menghasilkan sebuah kehadiran psikis dan sonik. Gending Ngalap Basé menggugah kekuatan dari aksara “bagaikan seekor ular yang bergerak perlahan keluar.” Yang dimaksudkan adalah alunan nada-nada yang mengalir secara bertahap menjadi angker, membuat penonton kian penasaran, dihinggapi rasa cemas, dan diliputi nuansa kenikmatan yang aneh selama menonton lakon yang dipentaskan. Kodi sangat takjub dengan kekuatan yang menyentuh kalbu dari rangkaian nada-nada dari gending Rangda dan Calonarang yang mampu memikat kekuatan-kekuatan tak terlihat untuk hadir dalam tatanan duniawi yang kemudian bisa dinikmati dan dirasakan oleh para penonton. Dan memang, sedari dahulu, 119 120
Ia disebut demikian karena belum sepenuhnya menjadi Rangda berkekuatan penuh. Dalang, topéng, arja dan panasar Calonarang dari Singapadu.
45
pementasan Calonarang pada saat odalan di pura dalem atau upacara lain yang membutuhkannya, akan selalu menjadi atraksi penuh daya tarik bagi penonton yang dipenuhi rasa penasaran dan penuh semangat.
CD Trek #6 Calonarang: Tunjang Tunjang adalah tema bagi tokoh bertopeng dramatis Rangda (berwarna putih) yang merupakan penjelmaan dari sang Ratu Tenung Calonarang, yang kini telah mendapatkan kekuatan dari Dewi Durga. Rekaman dimulai dengan Tunjang Cenik yang memainkan rangkaian nada-nada yang rada tinggi (cenik ‘kecil’ merujuk kepada tinggi-rendah nada) untuk Rarung, pelayan dari Rangda, yang sebenarnya merupakan seorang sisia setelah berubah menjadi sosok menyeramkan dengan topeng Rangda merah dan rambut putih panjang terurai mirip dengan tokoh Rangda. Keragaman Calonarang di beberapa desa di daerah Denpasar atau Badung akan menampilkan sosok Rarung yang memerintahkan Celuluk (juga dikenal sebagai Pangpang)121 untuk berseru mengundang dan memanggil para léyak dari seputar desa untuk datang dan muncul. Sang Rangda tidak akan memanggil secara langsung para léyak dari seputar desa untuk tampil. Sebuah panyalit ‘peralihan’ pada 01:28 berlanjut menjadi permainan dua-nada pada 01:33 bernama kalé ‘penuh kekacauan’ (silih berganti antara nada nong dan nung) yang seringkali digunakan untuk adegan-adegan penuh ketegangan atau peperangan yang kerap mengiringi perjumpaan Rangda atau Rarung. Pada 01:48, Rarung dan Rangda bertemu dan suasana gending menurun menjadi Tunjang Gedé yang merujuk kepada penggunaan lebih luas dari nada-nada gedé ‘besar’ atau ‘rendah’ untuk menjiwai kehadiran Rangda. Bagian ini juga bisa disebut sebagai Tunjang Sari ‘inti dari Tunjang’.122 Menurut Pak Kelo, bagian Tunjang Cenik umumnya berdurasi lebih lama dibandingkan dengan Tunjang Sari. Rekaman ini hanya memuat pangawak ‘tubuh’ dari gubahan123 dan Nyoman Astita menunjukkan bahwa permainan ini sebenarnya adalah bagian a dan b dari pangawak yang dalam keseluruhannya akan menyertakan bagian ketiga.124 Kelo juga menunjukkan bahwa pangawak biasanya dimainkan lebih lambat dalam mengiringi tarian dan spirit Rangda. Wayan Pogog berkomentar bahwa Tunjang ini memiliki nuansa gambuh karena rentangan nada-nada rendah dan pergeseran antar nada yang lambat dari permainan suling. Walau secara harfiah Rangda berarti ‘janda’, untuk menggambarkan sang tokoh dalam cerita Calonarang, sebuah topeng dan kostum tari Rangda bisa menjelma menjadi berbagai jenis perwatakan yang dipandang tenget ‘dirasuki kekuatan gaib’, sebagai perwujudan murka dari dewata seperti Batara Siwa dalam cerita Arjuna Tapa (dari lakon Arjuna Wiwaha ‘Pernikahan Arjuna’). Menurut Ketut Kodi, perwatakan semacam Calonarang bisa menakutkan bagi sekelompok penonton, namun masyarakat menghubungkan topeng Rangda sebagai sakral, dewa pelindung dengan kemampuan (sebagaimana peran Siwa dan saktinya, Durga) untuk menghasilkan kekuatan dahsyat yang bisa mengembalikan
121
Pada masa awal pengembangan dramatari Barong Kuntisraya, I Made Monolan dari Singapadu mengembangkan karakter Pangpang ini pada tahun 1948 dan menggunakan topeng yang diciptakan oleh Dewa Putu Kebes dari Batuan (Suasthi Bandem 2014: 75). 122 Percakapan dengan Ni Ketut Suryatini (2003) 123 Wayan Kelo (percakapan 2003), Wayan Suweca (percakapan 2014), Ketut Kodi (percakapan 2013) 124 Percakapan 2015
46
segalanya kepada pertiwi atau gumi ‘bumi’ dan juga kepada panca mahabhuta ‘unsur-unsur alami’. Peleburan ini memberi jalan bagi lahirnya kembali fungsi utama dalam memelihara Tri Hita Karana, tiga penyebab terciptanya keseimbangan hidup dan kebahagiaan antara manusia, kekuatan ilahi, dan alam. Ketut Kodi berpendapat bahwa masyarakat akan merasa takut dan ngeri kepada penyihir Matah Gedé dan juga ketika Rangda meminta Rarung memanggil dan menantang para léyak di seputar area pementasan, tetapi sesungguhnya tokoh topéng tersebut juga mempunyai kekuatan penyembuh, keberuntungan dan suci, terutama bila dihubungkan dengan sebuah pura dan sosok yang dipuja sebagai Ratu Ayu.
47
48
49
CD Trek #7 Gambangan (Pelugon) Sebuah aspek penting dari kepekaan pasca-feodal dan sesuai kekinian zaman seperti yang ditunjukkan oleh Lotring adalah kemampuannya menggabungkan dan menafsirkan kembali pelbagai unsur dari beragam jenis musik tradisional. Gamelan gambang (terdengar dalam trek #18-20) adalah sebuah ansambel yang terdiri dari empat sampai enam alat musik pukul berbilah bambu (xilofon) serta dua buah gangsa berbilah perunggu, yang umumnya dimainkan di berbagai desa untuk mengiringi berbagai upacara yang berkaitan dengan kematian. Gambang juga dipentaskan di desa-desa untuk kepentingan déwa yadnya ‘upacara-upacara yang berkenaan dengan para dewata’ seperti halnya odalan ‘festival pura’. Di beberapa desa lainnya, seperti Tumbak Bayuh, gamelan gambang bisa dipentaskan untuk berbagai tingkatan upacara termasuk manusa yadnya ‘upacara dan persembahan suci demi kesempurnaan hidup manusia’ dan butha yadnya ‘korban suci dan upacara pembersihan alam semesta beserta isinya terutama kepada makhluk-makhluk dan kekuatan-kekuatan gaib yang lebih rendah daripada manusia’. Penggunaan akhiran ‘an’ oleh Lotring menunjukkan bahwa karyanya adalah “semacam gambang,” yang menerangkan bahwa ia sedang melakukan sebuah pengubahan, serta pada saat yang bersamaan menghubungkan kembali karyanya dengan sebuah jenis kesenian tradisional. Bahkan dengan penambahan awalan ‘ge’ dan akhiran ‘an’ pada trek berikutnya yaitu Gegénggongan yang mengisyaratkan ‘menggunakan’ atau ‘melakukan sesuatu dengan’ Génggong. Menariknya, nuansa tersebut lenyap ketika ansambel-ansambel masa kini menyebutnya sebagai Gambang dan Génggong. Pembawaan paling terkenal dari karya ini masih dimainkan oleh sekaa Gunung Jati dari Teges Kanginan, dan dinamakan ulang sebagai Gambang Kuta.125 Gaya permainan mereka sangat mirip dengan apa yang dipentaskan oleh gamelan Kuta pada tahun 1928, tetapi lebih pelan karena tidak dibatasi oleh durasi tiga menit tersebut. Beberapa narasumber dan pendengar menyarankan bahwa para penabuh Kuta di tahun 1928 mungkin tidak mempunyai waktu untuk menyempurnakan dan menghaluskan kotékan dan frasa-frasa ganjil dari gubahan yang sangat menantang ini. Tetapi, faktor lainnya mungkin berkaitan dengan penempatan mikrofon oleh para perekam. Secara pasti mengacu pada Gambangan, McPhee menulis sebuah percakapannya dengan Lotring: Dengan bangga Lotring berseru, “Béh! Itu merupakan satu karya yang paling susah yang pernah saya pikirkan! Sekaa memerlukan dua bulan untuk mempelajarinya. Raja Solo telah teratasi!”126 Wayan Kelo menunjukkan bahwa pola yang paling jelas dari gambang adalah susunan nada-nada 5 + 3 dari gangsa yang berjumlah banyak. Ia menduga bahwa Gambangan digubah sebelum Gonténg Jawa (Solo). Colin McPhee menyepakati bahwa Gambangan (Pelugon) memang digubah pada tahun 1926, kemungkinan sesaat sebelum kunjungan Lotring ke Solo. Wayan Suweca mengenali bahwa susunan nada-nada nyading (silih 125
Direkam dan diterbitkan oleh Bali Record (B706: 1985) yang menyatakan judul gubahan sebagai Gambang. 126 McPhee (1946: 177). Lotring merujuk kepada pementasannya di Keraton Surakarta sekitar tahun 1926. Tentunya ini adalah Gambangan karena McPhee menunjukkan bahwa gubahan tersebut terdapat dalam salah satu piringan hitamnya (dan Gonténg Jawa jelasnya belum digubah).
50
berganti antara nada dang dan ding, tetapi di sini ditambahkan dung rendah untuk menciptakan kerumitan yang lebih tinggi) juga membangkitkan nuansa gambang tradisional pada 00:43, pada 01:07 dan kembali pada 01:46. Nyading dua-nada secara tradisonal bisa didengar pada trek #20 (Demungi) dalam CD ini yang dimainkan oleh ansambel gambang Pura Kawitan Kelaci. McPhee menulis:127 Secara melodis, karya ini berdasarkan dua susunan nada-nada yang terpotong dari Pelugon yang asli, dimainkan oleh gendér dalam gaya sinkopasi tradisional (pemindahan ketukan atau aksen dalam gending sehingga nada kuat menjadi lemah dan begitu pula sebaliknya) dari saron [gangsa] gambang. Sebuah bentuk kotékan yang keseluruhannya baru, diilhami dari kembangan yang digunakan dalam ansambel gambang, menghidupkan keseluruhan gubahan…Bagian utama digubah dari dua ungkapan nada-nada (lagu) yang saling melengkapi, dipisahkan secara jelas oleh kembangan irama (batél) yang bersesuaian dengan bagian gambang yang memenuhi penggalan nada-nada dalam gending gambang. Keistimewaan yang tidak lazim dari gubahan ini adalah frekuensi nada-nada jegogan yang berlaku bersamaan dengan setiap nada pokok lainnya, di sini dimainkan dalam pola sinkopasi yang terus-menerus oleh gendér. Kesulitan teknis yang nyata dari gubahan ini terletak pada bentuk kotékan dan pengaturannya dengan permainan kendang. Bila bagian molos mengikuti rangkaian nada-nada gendér dalam pola irama yang sederhana dan berulang-ulang, bagian nyangsih dimainkan dalam sinkopasi sepanjang gending, terdengar hampir seluruhnya tak bersesuaian dengan ketukan, dan jatuh tepat pada ketukan dari waktu ke waktu hanya untuk mencari titik pengampu.128 McPhee lanjut menulis,129 Kedua bagian lagu dari Pelugon nampaknya kurang satu nada pokok dan dua ketukan kajar, seperti yang ditunjukkan oleh tanda birama 2/4. Pemangkasan semacam ini pada titik-titik penting dari gubahan merupakan hal yang paling disukai oleh Lotring, diperkenalkan untuk meningkatkan ketegangan dari lagu. Ketika disimpulkan, Pelugon menunjukkan pengaturan seperti berikut: a) pengawit b) lagu c) batel
perkenalan melodi—frasa pertama selingan
27 nada pokok 12 ketukan kempur
127
1966: 309 Lihat McPhee (1966: 309–315) untuk pengkajian lebih mendalam dan transkipsi lengkap dalam notasi barat. 129 1966: 315 128
51
d) lagu e) batel
melody—frasa kedua selingan pengulangan bagian b, c, d perpanjangan dari batel kedua, e f) penyuwud frasa penutup
17 nada pokok 12 ketukan kempur 43 ketukan kempur
Dalam rekaman ini, bagian d terdengar tidak seimbang, kemungkinan karena penempatan mikrofon atau kesalahan kecil dalam permainan saling-kait yang rumit, sehingga membuat permainan sangsih saja yang terdengar. Dengan bunyi kajar yang terkadang terdengar penuh keraguan, para pendengar bisa mendapatkan gambaran bagaimana gubahan penuh pembaharuan ini ternyata amat susah dimainkan. Wayan Suweca menunjukkan secara jelas bagaimana Gambangan karya Lotring dikutip seluruhnya dan secara langsung oleh I Wayan Beratha dalam karyanya, Palguna Warsa ‘Menanti Hujan Teduh’ yang dipentaskan dalam festival Merdangga Utsawa pada tahun 1968. Frasa penutup yang sangat singkat dari Palguna Warsa sama dengan frasa penutup Gambang Suling, sebuah gending dengan dua versi yang hampir sama persis seperti digubah oleh I Ketut Merdana dari Kedis Kaja dan I Gde Purana dari Singaraja. Ini menunjukkan kesinambungan tradisi memasukan unsur-unsur yang telah ada, termasuk pelbagai melodi khas, ke dalam karya-karya baru.
52
53
Pandangan Tentang Génggong Génggong adalah karawitan kuna yang dijadikan sumber kreasi oleh Wayan Lotring . dengan mengangankan dan menempatkan kembali khazanah gamelan palégongan. Sebelum membahas gubahan-gubahan asli karya Lotring yang direkam pada tahun 1928, pemaparan dan pembahasan tentang Gegénggongan menjadi penting, dan jenis kesenian ini masih hidup dan nyata di desa Batuan.
Tentang Katak, Kodok dan Génggong di Batuan Génggong adalah sebuah jenis musik dan juga nama dari alat gamelan dari rumpun harpa mulut, yang terbuat dari kayu jaka ‘pohon enau’. Tabuhnya menirukan suara katak dan kodok bersahutan, kemudian diiringi juga oleh alat gamelan lainnya, enggung, juga terbuat dari kayu enau yang menirukan suara saling-sahut dari enggung, dongkang, katak godogan dan emplégan secara lebih luas. Lotring menggunakan khazanah candétan ‘suara salingkait yang bersesuaian dan saling-sahut’ dari génggong dalam kreasinya.
54
Asal-mula dari candétan Bali ‘irama dan melodi saling-kait’130 bisa didengar sebagai paduan suara di persawahan, sementara katak dan kodok bisa juga didengar di hutan-hutan, daerah-daerah kering dan pelbagai lingkungan alam sekitar pulau. Katak dan kodok jantan akan berbunyi untuk berkomunikasi satu sama lainnya dan “mempromosikan keberadaannya dengan harapan menarik perhatian lawan jenisnya.”131 Enggung (Kaloula baleata) menyuarakan bunyi yang bisa ditirukan sebagai ung—ing—ung—ing semacam membunyikan klakson, terutama menjelang petang setelah hujan usai. Dongkang (Duttaphrynus [Bufo] melanostictus) mempunyai suara nyaring, cepat, dan bersambungan yang bisa ditirukan sebagai keruk-keruk-keruk. Satu cara bagi manusia dalam menirukan panggilan tersebut adalah dengan cara menggetarkan bibir sambil menyanyi dalam nada tinggi.132 Satu jenis kodok berkulit kasar lainnya di Bali – kerap juga disebut dongkang adalah Ingerophrynus [Bufo] biporcatus yang mempunyai rangkaian dengkungan lima kali yang cepat dan terpenggal-penggal diantara jeda. Kedua jenis dongkang mempunyai sosok beragam dari hijau, coklat, dan keabu-abuan sampai merah, dan walau terdengar di sekitar persawahan lahan basah, hewan-hewan amfibi ini umumnya hidup di ladang-ladang kering dan sekitar daerah perumahan. Walau katak dalam bahasa Indonesia merupakan istilah umum untuk menjelaskan khazanah binatang amfibi, namun di Batuan hewan-hewan ini digambarkan berkulit hijau atau lebih gelap serta sebagai godogan muda. Namun sesungguhnya, sosok, suara dan candétan saling-sahut yang dikenali sebagai katak di Batuan adalah katak yang oleh ahli biologi dikelompokkan sebagai Fejervarya [Rana] limnocharis. Mereka mempunyai suara panggilan yang bisa ditirukan sebagai kerék-kerék-kerék. Godogan (Fejervarya cancrivora) adalah katak sawah bersosok besar yang tak hanya dinikmati suaranya, namun juga karena kelezatan rasanya sebagai masakan seperti halnya katak limnocharis.133 Pemain yang memerankan godogan dalam dramatari génggong membuat suara li-li-li-li-li-li-lit dan di-didi-di-dit dengan getaran halus di ujung lidah terhadap langit-langit mulut, atau semacam suara godogodogodog di dalam kerongkongan. Warna dan tekstur kulit dari godogan dan katak sangat beragam, namun lazimnya mereka berkulit hijau dan kerap menunjukkan garis punggung. Emplégan ‘katak pohon’ (Polypedates leucomystax) berkulit hijau atau kekuning-kuningan menghasilkan bunyi panggilan pendek dan terputus-putus kék yang mirip dengan suara kwek-kwek (membebek) dari bebek – tidak pernah dalam rangkaian suara panggilan yang sama. Emplégan tak hanya mampu memanjat pepohonan, tetapi juga tembok dan kaca.134 130
Seperti dicontohkan dalam tabuh instrumental dan seni suara, terutama cak (kécak) Percakapan Ron Lilley dan e-mail dengan Ida Ayu Ari Janiawati (2015) 132 Sebagaimana dicontohkan oleh Nyoman Marcono, I Wayan Malik, dan Komang Ongki, semuanya dari Batuan. 133 Ukuran tubuh dari cancrivora dan limnocharis yang kecil tidaklah menghalangi kebanyakan masyarakat Bali untuk menikmatinya sebagai gorengan, sama halnya dengan masakan jangkrik dan capung goreng. Kodok lembu Amerika mulai diperkenalkan di seluruh pulau untuk memenuhi keinginan pangsa pasar (khususnya masyarakat Cina) akan kaki kodok goreng. 134 Ron Lilley adalah seorang herpetologis amatir (ahli reptilia dan amfibia) di Bali yang tergabung dalam Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI) atau Indonesian Nature Foundation, dan Ida Ayu Ari Janiawati adalah seorang mahasiswa dalam bidang herpetologi dan konservasi alam tropis. Mereka membantu penulis mengidentifikasi jenis-jenis satwa di atas, memberi pelbagai dokumentasi audio dan video serta memberi istilah-istilah ilmiah dan keterhubungan ekologi dari binatang reptilia dan amfibia di samping yang telah tercatat dalam buku dan rekaman audio oleh J. Lindley McKay (2006: 36-51). 131
55
Tanpa bermaksud memusatkan perhatian kepada satwa katak dan kodok, perlu disampaikan bahwa jangkrik dan kadal seperti cicak yang bersuara cek-cek-cek, desir angin, dan gemericik aliran air di persawahan, semuanya berkontribusi terhadap dunia bebunyian dan pengungkapan rasa dari para pemain génggong. Génggong terbuat dari bagian terluar dari kayu pugpug dari papah ‘dahan tipis beranting dan berbunga’, termasuk juga dari uyung ‘kulit’ dari kayu jaka ‘pohon enau’.135 Menurut para ahli genggong, I Wayan Mangku Suda136 (1949-) dan saudara lakinya, I Nyoman Marcono (1966-), rongga mulut mengubah tinggi-rendah getaran dari senandung yang bermula dari pelenturan lidah kayu yang disebut ikut capung ‘ekor dari serangga capung’, yang merupakan sebuah sayatan pada lembar kayu yang sama. Ikut capung digerakkan dengan cara menarik benang yang dikaitkan kepada bagian utama dari génggong secara cekatan dan terus-menerus. Gerakan ini menyebabkan ikut capung berguncang dan bergetar.137 Untuk memaksimalkan getaran, kayunya tak dipegang secara langsung, namun sehelai kain tipis diikatkan kepada kayu dan digenggam dengan tangan kanan. Untuk menghasilkan sebuah melodi, masing-masing pemain membentuk mulutnya mengikuti suara huruf hidup (é, u, a, i) sesuai dengan empat-nada dari pelarasan saih angklung: déng, dung, dang, ding. Atau mungkinkah kita mempertimbangkan bahwa angklung dan gamelan lainnya bisa bersumber dari génggong dan pelarasannya berdasarkan pada fenomena akustik yang alami (rentetan nada tambahan ‘overtone series’ dalam mulut manusia? Proses penggemaan dalam rongga mulut juga menghasilkan beragam harmoni (bunyi serempak dari nada-nada berlainan) yang kaya dan menarik. Sangat sedikit nafas yang dihembuskan; nafas disimpan dalam diri sang pemain sementara lidah yang bergetar mengatur tingkat kenyaringan atau kekerasan bunyi. Mereka menggunakan istilah umum, ngunjal angkian ‘mengatur nafas’. Bahkan, daripada bernafas ke dalam ikut capung ‘lidah bergetar’ atau ‘ekor’, gelombang suara mengalir sebaliknya – dari alat musik menuju mulut yang mengubahnya menjadi nada-nada gending. Sebuah klumpah, potongan kulit berbentuk lonjong juga digenggam dengan tangan kiri untuk menahan agar getaran dari ikut capung tidak mengalun ke arah yang menjauhi mulut.138 Mangku Suda menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa génggong sangat berkaitan dengan rasa adalah karena prosesnya sangat mendalam, dengan peralihan alunan nada-nada halus yang bisa terjadi hanya dengan permainan nafas. Satu lagi alasan adalah proses permainan kolektif dari candétan yang luar biasa intim dan nyambung ‘saling berhubungan’.139 Perasaan memainkan génggong bisa digambarkan sebagai lempung ‘halus’. Sebuah pasangan saling-kait terdiri dari nada molos (polos) ‘dasar’ dan sangsih ‘pembeda’,
135
Menurut Ketut Wirtawan dari Batuan, kayu terbaik dipilih dari pohon yang daunnya rada pipih dibandingkan dengan yang melengkung (percakapan 2014). Menurut de Zoete dan Spies, “Génggong terbuat dari kayu pinang atau bambu, dan bisa atau tidak mempunyai sebuah penggema yang terbuat dari bulir-bulir bunga atau apapaun yang bisa didapatkan (1936; cetakan ulang 2002: 250). 136 Dikenal juga sebagai Mangku Puseh Desa Batuan. 137 Percakapan di Batuan 2014 138 Di masa lalu menggunakan cangkang penyu, kini kulit sapi. 139 Kata nyambung yang digunakan oleh Mangku Suda dan Nyoman Marcono dalam bahasa Bali berarti ‘terhubung’.
56
memainkan nyandétin atau nyandét, bentuk aktif dari candétan ‘suara-suara yang bersesuaian atau saling sahut’, salah satu dari pelbagai istilah untuk permainan saling-kait. Kenyataan bahwa katak selalu terdengar saling sahut bisa jadi merupakan asal mula pengistilahan musikal dari génggong. Génggong terkesan sederhana, namun pelbagai irama dan melodi nyandétinnya bisa menjadi sangat rumit dan penuh nuansa. Alat gamelan berbilah perunggu kerap menggunakan teknik menutup dan meredam suara bilah bernama matekep yang membuat keheningan irama sama pentingnya dengan permainan memukul bilah-bilah. Para pemain génggong juga menggunakan sebuah teknik bernama dedet ‘mengaburkan’ untuk menghentikan suara-suara agar suara saling-kait lainnya bisa masuk dan mengikuti pembawaan gending. Setiap pasang alat gamelan molos dan sangsih dilaras sebagai pangumbang dan pangisep di mana nada yang “sama” sebenarnya dilaras dengan selisih beberapa frekuensi per detik antara satu nada dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan ombak ‘gelombang’ atau ‘getaran’ yang secara ilmiah digambarkan sebagai bebunyian akustik. Ini tentunya merupakan ciri mendasar dari hampir semua gamelan Bali. Walau rangkaian nada-nada dimainkan secara bergantian antara serempak dan saling-kait, masing-masing génggong memainkan pola yang berbeda, dan kemudian menghasilkan sebuah melodi yang penuh dan utuh. Walau pelarasan génggong dikatakan berhubungan dengan saih angklung empat-nada (atau dalam kasus ini, bolak-balik), génggong sebenarnya lebih menyerupai gamelan angklung lima-nada yang umumnya didengar di Bali Utara. Sebuah aspek yang menakjubkan adalah kerumitan dalam marasa ‘merasakan, memahami’ nada suara, dan bagaimana cara mengungkap dan menjelaskannya. Walau solmisasi ding-dong kini sangat lumrah dan telah menjadi bagian penting dari metode pengajaran, hal tersebut bukanlah suatu sistem not-pernot yang konsisten di zaman dahulu. Ni Nyoman Candri menjelaskan bahwa ayahnya, Made Keredek, di tengah-tengah kegiatan mengajar sebuah lagu (dan tari) memakai suarasuara nada ning-nong-néng-nung-nang secara bebas dan bergantian - hal ini tidaklah mencerminkan tinggi-rendahnya nada dalam sebuah posisi yang tetap, tetapi sering sebagai kumpulan suara-suara yang cenderung bebas. Ida Boda dikatakan lebih sering menggunakan solmisasi palégongan yang diungkapkan sebagai nyir-r-r, nyor-r-r, nyér-r-r, nyur-r-r, nyar-r-r.140 Gaya ini adalah “non-sistematik”, pengunaan rangkaian nada-nada ning-nong yang intuitif, dari lubuk hati, dan lincah masih umum digunakan di lapangan. Sehingga ketika penabuh génggong membentuk mulutnya sebagai é-u-a-i, selalu ada keluwesan – bahkan, suara ‘i' (pelafalannya dalam bahasa Inggris adalah ‘eee’) bisa juga berbunyi seperti ‘eu’ dalam bahasa Perancis, merubah harmonik dari nada. Sehingga empat nada dasar yang disuarakan oleh satu génggong tampak lebih dekat kepada néng-nung-nang dari angklung tetapi dengan satu nada rendah yag bisa didengar sebagai dong besar/rendah (nada umum dalam angklung lima-nada yang tidak lazim). Dan nada kelima, paling rendah di antara semuanya, disuarakan oleh satu génggong yang diungkap oleh Candri dan Nyoman Astita sebagai ning, tetapi ning yang tingkat kenyaringannya lebih rendah dari ning yang umum dan tetap dalam gamelan. Bila ning rendah itu lebih tinggi satu oktaf, kita bisa mendengar susunan 140
Nyoman Astita, menetap di Kaliungu sebagaimana halnya juga Ida Boda (percakapan 2015)
57
nada-nada yang mirip titinada menanjak dari angklung: néng-nung-nang-ning kecuali ning tinggi akan terdengar flat ‘turun ½ nada’ dibandingkan dengan suara sebenarnya dari gamelan angklung. Bahkan, bila ning rendah tersebut memang benar satu oktaf lebih tinggi, suara néng-nung-nang-ning dari génggong akan tersusun dalam jarak yang lebih-kurang sama (equidistant). Adalah hal yang umum bagi penyanyi atau pemain suling untuk menyampaikan “rasa” melalui penggunaan ning flat ‘turun ½ nada’ selain ning biasa dan tetap, dan beberapa gamelan angklung juga mempunyai ding flat pada sisi rendah dari titinada. Menariknya, titinada berjarak sama ini adalah umum pada beberapa versi (kuna) lantunan dari kidung Wargasari (terdapat dalam Bali 1928, vol. II dan masih bisa terdengar di masa sekarang, walaupun kian jarang) serta dalam rekaman-rekaman awal dari cakepung dari Karangasem dan ngongkék dari Buleleng.141 Sebuah rentetan nada berjarak sama bisa ditransposisi dalam alunan sebuah melodi, tetapi kelenturan suara manusia memungkinkan melodi untuk berpindah maju-mundur dan dalam jarak nada yang lebih rapat atau lebar, sehingga menghasilkan keragaman, ketidakpastian dan nuansa halus yang tidak mungkin terdapat dalam gamelan. Pelenturan dari tinggi-rendah nada ini melebarkan saih atau susunan nadanada menjadi sebuah relung yang rumit di luar kelaziman istilah sléndro dan pélog. Mungkin inilah yang mendasari pernyataan Mangku Suda dan Nyoman Marcono tentang betapa pentingnya pembangkitan “rasa” saat memainkan génggong – ini berada dalam ranah halus dan intuitif dari nyanyian Bali yang sebaiknya dimaknai sebagai pengalaman dalam tubuh dan pengembaraan suara, serta tidak dibatasi oleh pertimbangan logis dan kecerdasan yang membeda-bedakan. Nyoman Candri pernah mengatakan kepada penulis, “Nyanyian arja adalah sederhana dalam teori tetapi rumit dalam praktik”142 Hal paling mendasar terkait titinada génggong adalah keberadaan suling yang membawa melodi yang paling menonjol, menghasilkan suara néng-nung-nang-ning (ning atas) selayaknya angklung, walaupun terkadang mesti melebarkan jangkauan agar mirip angklung lima-nada dengan sebuah nong. Suling, seperti yang sering terjadi dalam pelbagai jenis tabuh, akan melenturkan nada ning atas (atau dalam saih gendér wayang – karena solmisasi nada yang telah ditransposisi – akan disebut sebagai nung) sehingga kita mendengar rentetan empat-nada yang berjarak sama seperti tersebut di atas. Kemudian, titinada tersebut adalah gabungan dari polos dan sangsih, serta penambahan pasangan-pasangan dari molos dan sangsih dalam ansambel génggong, yang lanjut menciptakan sebuah bentuk kesinambungan dari rangkaian nada-nada – dengan génggong beragam ukuran mengisi masing-masing oktaf – yang terdengar (dengan bantuan suling)
141
Tembang Rengganis (Bali Stereo); Cakepung Werda Suara Jasri Karangasem (Bali Stereo B 933); Cepung Jagaraga-Cakranegara Lombok Barat (Bali Stereo B 558) 142 Keseluruhan kajian dalam kedua paragraf berasal dari sebuah pembahasan dengan Ni Nyoman Candri yang mendengarkan rekaman-rekaman génggong yang saya lakukan di Batuan, ditambah dengan pengalamannya yang luas sebagai seorang penyanyi di Radio Republik Indonesia, semasa dengan penciptaan Arja Godogan di bawah arahan I Made Rudju dari Batuan yang juga memainkan peran godogan. Para penabuh di RRI belajar memainkan génggong dan sebagai tambahan dari siaran-siaran arja, génggong dimainkan dua kali seminggu untuk mengiringi tembang yang dinyanyikan oleh Candri dan penembangpenembang lainnya.
58
sebagai sebuah saih angklung empat-nada atau lima-nada. Génggong menyiratkan aliran berkesenian purba yang tampak sederhana, namun menggugah pengalaman menyenangkan dan penuh daya pikat. Alat gamelan penting lainnya dalam ansambel génggong yaitu enggung, bisa menirukan suara-suara enggung, katak, émplegan dan dongkang melalui penggunaan alat getarnya yang disebut layah katak ‘lidah katak’ secara halus. Enggung terbuat dari pugpug jaka ‘kulit enau’ pendek dan bisa menghasilkan dua nada keras, yang pertama ketika nafas dihembuskan secara lembut, dan yang berikutnya ketika menghirup nafas, termasuk juga pelbagai nuansa nada suara yang halus. Seperangkat ansambel bisa melibatkan tiga sampai delapan enggung yang menjadi koor candétan sandingan terhadap génggong. Génggong biasanya “dipetik…oleh bocah laki-laki dan pria di seluruh Bali” (McPhee 1966: 255), dan dimainkan tanpa iringan alat gamelan lain. Menurut Mangku Suda, ayahnya yang bernama I Made Mangku Nurada, seorang pamangku di Pura Puseh Desa Batuan (sekitar 1903-2008) merupakan tokoh yang pada tahun 1930-an mengembangkan jenis kesenian ini dengan menyertakan alat gamelan gaguntangan dan melibatkan nyandétin yang lebih rumit, pada saat berkolaborasi dengan ahli dan tokoh tari berpengaruh yang bernama I Nyoman Kakul (1906-1982) yang juga berasal dari Batuan.143 Pada masa inilah mereka melahirkan pakem Godogan ‘skenario dan koreografi’ yang diiringi oleh génggong dan menggunakan tapel godogan yang diciptakan dan dipahat oleh Dewa Putu Kebes, juga dari Batuan.144 Di masa sekarang, ansambel ini bisa terdiri dari lima sampai delapan génggong yang dilengkapi kemudian oleh dua guntang bambu sepanjang 30 centimeter, yang diletakkan mendatar, dengan lidah atau dawai panjang disematkan sepanjang bagian atasnya, yang kemudian bergetar ketika terpukul oleh panggul ‘alat pemukul’ bambu. Guntang bernada rendah berfungsi sebagai kempur atau gong, disebut sebagai gejir, dan bila dilafalkan akan bersuara jir-r-r-r-r. Guntang kedua yang lebih kecil berfungsi sebagai kajar, penjaga irama dasar, dan disebut kelintit. Suaranya bila dilafalkan adalah tit-tit-tit-tit. Sebuah suling kecil (sepanjang 20 centimeter) memandu perpanjangan melodi dan sebuah drum, kecil, namun lebih besar dari kendang angklung juga digunakan. Dewasa ini, rincik ‘simbal-simbal perunggu’ berukuran kecil digunakan, namun di masa lalu, fungsi rincik (céngcéng) kecil digantikan oleh sebuah alat gamelan unik yang terbuat dari sebuah botol seukuran 600 ml (seukuran botol anggur atau bir besar). Alat ini disangga oleh sebuah rak bambu dan masing-masing botol bertumpu pada bantalan karet di setiap ujungnya agar bergaung lebih baik. Botol dipukul dengan panggul dari kawat dan berkepala uang kepeng Cina (koin berlubang di tengahnya) yang dimainkan oleh masingmasing tangan. Bobot yang sangat ringan dari panggul tersebut ditambah dengan denting halusnya pada gelas menghasilkan kualitas perkusif yang unik. Di masa lalu, génggong bisa 143
Kakul adalah seorang seniman dan guru (mengajar di seluruh Bali) baris, jauk, topéng, gambuh, Calonarang, wayang wong, arja, dan semasa muda mementaskan gandrung dan barong bangkal. 144 Pada masa ini, cerita juga diadaptasi untuk dramatari arja yang dikenal sebagai Arya Godogan. Anak Agung Geria memerankan tokoh godogan dan ahli topéng dan gambuh bernama Anak Agung Raka memerankan mantri ‘pangeran’ (percakapan dengan Ketut Kodi 2015).
59
juga diiringi oleh sebuah rindik ‘xilofon bambu’. Semua informasi di atas diberikan dan diperagakan oleh Mangku Suda dan Nyoman Marcono, kecuali dua paragraf kajian yang ditulis berdasarkan pembahasan dengan Candri dan ditegaskan oleh Nyoman Astita, yang mempunyai pengalaman memainkan génggong dalam sebuah proyek kreatif yang diatur oleh Nyoman Rembang dari KOKAR. McPhee (1966: 255) menulis bahwa génggong membentuk sebagian besar perbendaharaan karya-karya tradisional dari gamelan angklung.145 Beberapa nama dari gubahan-gubahan angklung yang ia sebutkan termasuk capung manyus ‘capung mandi’, capung ngumbang ‘capung berputar-putar’, dongkang menék biyu ‘katak pohon memanjat pohon pisang,146 dongkang menék gedang ‘katak pohon memanjat pohon papaya’, katak ngongkék ‘katak mendengkung’, kupu-kupu metarum ‘kupu-kupu bercengkrama’, lelasan megat yeh ‘kadal melintasi genangan air’, lindung pesu ‘belut menyembul keluar’, lutung megalut ‘kera berpelukan’, ombakan ‘gelombang’, dan tumisi kuning ‘siput kuning’. Menurut Mangku Suda dan Nyoman Marcono, kelompok génggong dari Batuan biasanya pentas di Puri Gianyar dan Puri Klungkung ketika raja menghibur tamunya, sebagai hiburan ringan pada saat mereka menikmati jamuan makan malam dan bercengkrama. Menariknya, Wayan Teling mengatakan bahwa Lotring dan Wayan Raping akan pentas berpasangan untuk acara-acara semacam ini di Puri Klungkung, masing-masing memainkan gendér rambat berbilah 13. Jenis-jenis gending semacam ini menggugah sebuah kenangan saat tabuh masih sering kali diciptakan dalam lingkup pergaulan secara santai untuk melewatkan waktu pada petang hari di persawahan, sambil berjaga, mengawasi saluran air dan memastikan tidak ada yang mengubah jalur air menjauhi sawah-sawah tujuan, atau untuk sekedar bersantai menikmati waktu setelah mengerjakan persawahan.147 Dalam cakepung dan ngongkék, keriangannya sering kali memuncak dengan bantuan satu putaran tuak atau arak.148 Menurut Mangku Suda dan Nyoman Marcono, génggong tidak mungkin melibatkan penikmatan minuman keras sesedikit pun, karena pastinya akan menghambat ketenangan dan pengaturan pernafasan yang amat dibutuhkan. De Zoete dan Spies menggambarkan suasana sebuah pementasan di Batuan semasa tahun 1930-an: Sang pemeran tunggal sering memulai tariannya sembari memainkan alat gamelannya, bahkan ketika ia meletakkannya dalam pangkuan, ia tetap menari dengan kaki bersila, menjalarkan alunan gending ke seluruh bagian tubuhnya, selalu dengan niat untuk melucu. Seorang pria tua dari Batuan yang terkenal hebat dalam perannya, tampil menghibur dengan menafsirkan irama dengan jenaka, dan tampaknya sengaja menentangkan dirinya dengan gending, seolah berusaha menghindari aksen dari gending. Atau ia akan
145
Ini sebelum pengaruh kuat kebyar terhadap gaya angklung. Seperti dibahas sebelumnya, binatang amfibi yang disebut sebagai dongkang sesungguhnya bukan pemanjat pohon, namun bisa memanjat ketinggian tertentu sekiranya tertarik pada sesuatu. Emplégan adalah sebutan masa kini untuk katak pohon. 147 I Gusti Putu Teken. Naskah dipersembahkan dalam Seni Renganis Merupakan Refleksi Cetusan Taksu Berkesenian di Desa Pakraman Pengelatan” dalam Konferensi dan Festival Kebudayaan Bali Utara (2013). 148 Sebuah uraian tentang pelbagai minuman berakohol Bali bisa dilihat dalam Eiseman 1990 Vol II: 272-281. 146
60
memamerkan sebuah peniruan harfiah akan tinggi-rendahnya bebunyian dengan raut muka yang menggelikan, berlutut dan bergerak lincah menggapai ke atas, atau menenggelamkan tubuhnya dengan lengan terentang mengikuti alunan nada-nada rendah, seolah meredam alunan suara. Terkadang ia bergerak seperti melenguh dan meniup hawa nafas melewati salah satu tangannya, seolah membesarkan nyala semangat dari gamelan. Bahkan, keindahan yang kian membuat penasaran pun muncul ketika sosok tubuh pria tua bergerak timbul dan tenggelam secara ganjil di antara kerumunan para penabuh yang tengah terbungkuk asyik dan terpikat oleh getaran melodi yang mengalun penuh misteri. Tariannya memuncak menjadi sebuah drama yang nyata tentang seseorang menangkapi katak. Para penabuh menukar génggong mereka dengan sebuah alat musik yang serupa yang mengeluarkan sebuah nada yang keras dan serak, masingmasing dalam tinggi-rendah nada yang berbeda, sehingga secara bersamaan mereka menghasilkan sebuah rampain dengkung yang menakjubkan, sekumpulan bunyi yang menirukan suara katak di rawa-rawa, sementara sang pria tua, dengan penuh kekalutan mencari dan mengejar suara-suara yang terdengar atau menafsirkannya sebagai gerakan-gerakan yang eksentrik, mengungkap dan menggambarkan suasana penguberan dengan gamblang…” (1936/ 2002: 250-251) Pembangunan pertokoan dan perumahan yang mencaplok persawahan akibat pengaruh ekonomi pariwisata dan juga penggunaan pestisida dan pupuk kimia telah mengacaukan dan merusak sistem irigasi tradisional Bali atau subak. Berbicara dari sudut pandang karawitan, keberlanjutan tradisi génggong saat ini jauh lebih terancam daripada enggung atau satwa persawahan lain yang mengilhaminya. Walau terdengar masih ada, kami tidak mengetahui adanya sekaa génggong yang aktif di luar sekaa-sekaa yang terdapat di Batuan.
CD Trek #8 Gegénggongan Ini adalah bagian pangécet ‘cepat’ dari gending palégongan karya Lotring secara keseluruhan, yang disesuaikan dengan kapasitas satu sisi piringan hitam 78 rpm yang hanya berdurasi tiga menit.149 Dimulai pada 00:05, Lotring menggunakan nada-nada nang-ningnang-néng dari selisir/saih gong untuk mengungkap nuansa melodi génggong yaitu néng, nang, néng, (rendah) ning yang berkaitan dengan génggong atau gamelan angklung empatnada. Alat gamelan angklung tidak bisa memainkan ning oktaf-rendah, oleh karenanya kemudian dimainkan oleh suling. Génggong yang kita jumpai dewasa ini (dan dalam rekaman bertahun 1972 oleh penulis) tidak mempunyai lompatan-lompatan jangka nada yang lebar seperti yang digunakan oleh Lotring, dan bahkan bagian ini menempatkan génggong dalam kotékan tingkat nada-atas yang berkaitan dengan palégongan. Pada permulaan dari 00:05, suasana saling-sahut dimainkan dalam pelbagai tempo, bahkan saat pelan dan tanpa permainan pola candétan saling-kait pada 00:17. Dari 00:47 sampai 00:52 merupakan frasa gending dalam sinkopasi (penekanan pada not-not dengan ketukan 149
Menurut Wayan Kelo. Para penabuh Banjar Tegal masih memainkan Génggong secara utuh (percakapan 2003).
61
lemah) serupa dengan génggong yang masih bisa didengar di Batuan dan beberapa desa lainnya. Di atas segalanya, Lotring menciptakan pola permainan nan ringan yang mengingatkan kita kembali kepada génggong dengan candétan saling sahut, menyiratkan sebuah pergeseran pengaruh dan percepatan (sebagai contoh pada 01:02 dan berlanjut memasuki bagian yang penuh kehidupan dan energi dari 01:11 sampai 01:30). Mesti dicatat bahwa Mangku Made Suda dan Nyoman Marcono dari Batuan secara pasti menyatakan bahwa bagian gending dari 01:27 sampai akhir gubahan mempunyai rasa génggong dan juga dalam menggugah gerakan-gerakan tari yang bersumber dan meniru perilaku katak, capung dan berbagai satwa lainnya. Tetapi mereka merasakan bahwa keseluruhan gending mencerminkan pengaruh génggong. Kedua ahli génggong ini sangat terkesan dengan kemampuan Lotring memasukkan perasaan, energi dan ekspresi musikal dari genre tersebut, sekaligus menciptakan sesuatu yang benar-benar asli dan berbeda. Banyak pendengar menyikapi Gegénggongan dengan guncangan bahu seperti tari kécak dan mengoyang kepala ke kiri dan kanan, dan pola nyandétin dan rangkaian nada-nada yang berkepanjangan juga menjadi penanda akan jenis nyanyian berkelompok seperti ngongkék (masih terdengar di Pengelatan, Bali Utara,150 serta cakepung di Karangasem). Terkait Gegénggongan Lotring, Wayan Egler dan Wayan Darta dari Banjar Pemamoran menunjukkan bahwa ujaran gong dan klentong yang ganjil bisa membuat bingung.
CD Trek #9 Solo – Aslinya dilabel sebagai Gonténg (Jawa) Di tahun 1920, sekelompok penabuh dan penari yang dipimpin Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik diundang untuk pentas di Keraton Surakarta (Solo) dalam acara pernikahan Mangkunegara VII (Kanjeng Goesti) dengan Kanjeng Ratu Timur. Rombongan kesenian yang berjumlah dua ratus orang ini menampilkan sebuah “semarapagoelingan” dengan beragam tarian dan drama.151 Lawatan kesenian kali kedua pada tahun 1926 yang juga dipimpin oleh Anak Agung Anglurah Djelantik menyertakan sekaa légong Wayan Lotring dari Banjar Tegal.152 Ketika rombongan kesenian ini kembali dari salah satu lawatannya, ungkapan Legong Keraton mulai tercetus untuk meningkatkan status légong menjadi lebih mulia mengingat tarian tersebut sudah pernah dipentaskan di Keraton Surakarta. (Masyarakat Bali tidak menggunakan kata keraton untuk kediaman bangsawan, tetapi memakai kata puri). Namun, keterhubungan awal dengan Mangkunegaran ini telah hilang seiring perjalanan waktu. Pengalaman Lotring di Solo juga menghasilkan gubahan ini, sebuah tabuh petegak ‘gubahan perkenalan dalam suatu acara, tanpa tarian’. Perlu dicatat bahwa para penabuh di
150
Ngongkék (dikenal juga sebagai Tembang Rengganis) secara harfiah mengacu kepada gerakan mondarmandir, menggoyang maju-mundur untuk mencabut dan membebaskan sebuah penjor ‘tiang bambu’ yang telah tertancap dalam tanah. 151 Surat tertanggal 15 April 1939 dari Ida Anak Agoeng Bagus Djlantik kepada Padoeka Kangdjeng Pangeran Adipati Ario Mangkoenegoro VII. Sebuah lawatan lain dijelaskan secara terperinci dalam sepucuk surat tertanggal 20 Januari 1941 (Kedua surat ditunjukkan oleh A.A. Ayu Bulantrisna Djelantik). Setidaknya ada tiga misi kesenian ke Mangkunegaran di bawah pimpinan Anak Agung Anglurah Djelantik, yang tiga/empat anaknya bersekolah di Solo atas dukungan Mankunegara VII. 152 Menurut Dinas Kebudayaan: Napak Tilas Sang Maestro I Wayan Lotring (2013)
62
Kuta dan tempat lainnya mengenali gubahan ini hanya sebagai Solo dan ini juga merupakan judul yang diberikan oleh Lotring untuk sebuah rekaman di tahun 1972 yang juga diluncurkan dalam format piringan hitam. Label pada cakram Odeon tahun 1928 memakai judul Gonténg (Djawa).153 Pemaknaannya akan gonténg tidak jelas sampai sekarang. Dalam Kamus Jawa-English karya Stuart Robson, gonténg diartikan sebagai “rayap berkepala besar” dan “ketimun.”154 Secara harfiah, gonténg dalam bahasa Bali berarti ‘pecah’, ‘terpisah’ tetapi secara khusus merujuk kepada sayatan atau menindik (melubangi) cuping telinga agar bisa memakai subang atau anting-anting. Pak Kelo menawarkan kata pegat ‘putus’ dari bahasa Bali sebagai makna dari gonténg, mengacu kepada gaya pukulan yang terputus-putus. Pak Kelo menyarankan bahwa “dibagi dua” atau ‘satu nada menjadi dua’ bisa didengar dalam salingkait pada nada yang sama, dalam rekaman ini pada 01:08 dan berulang pada 01:41. Pak Kelo menyanyikan sebuah contoh dari peneteg sebagai nunga… nonga… ninga… nanga… dengan setiap ‘a’ mewakili pukulan sangsih ‘mengisi, tambahan’ kedua dari panggul. Ia mengatakan bahwa ini diberlakukan pada pembagian setiap ketukan sebagai dua pukulan dari panggul gangsa yang jatuh tepat dan jauh pada ketukan, seperti halnya imbal Jawa. Tetapi gaya pukulan ini tampak jelas dalam tabuh tradisional Bali seperti ditunjukan oleh Semar Pagulingan Titih dalam CD ini, serta dalam pelbagai permainan tabuh dalam Bali 1928, vol. I: Gamelan Gong Kebyar. Ada banyak istilah Bali yang digunakan untuk menggambarkan teknik ini termasuk neteg (peneteg), noltol, silih asih, dan ngincang. Penabuh dan etnomusikolog asal Solo, Sumarsam, memberi komentar bahwa ia tidak mendengar adanya pengaruh Jawa dalam gubahan ini.155 Cucu-keponakan Lotring dan juga penabuh, I Wayan Suwija (1952–)156 menawarkan kesimpulan yang berbeda tentang gonténg sebagai pegat ‘terpotong’ ketika merujuk kepada kekhasan penyusunan melodi dari Lotring yang mengetengahkan jarak nada-nada yang lebar. Teknik ini ditekankan dengan jelas oleh tempo yang cepat serta permainan serempak di luar struktur ajeg gending (colotomic structure) yang tersusun dalam hitungan secara merata. Penyusunan pegat semacam ini bisa didengar pada 00:40, pada 01:22 dan kembali pada 01:52. Pada 00:50 kumpulan nada-nada singkatnya mengesankan “Jawa” kepada sebagian pendengar. Pada 01:53 gending melaju dari gaya gonténg ‘terpotong’ dan berkembang makin lincah dengan ungkapan ngorét ‘pergeseran naik-turun antara dua nada secara terus-menerus’ (glissando) pada 02:00 yang bersumber dari teknik gendér wayang. Wayan Teling mengatakan bahwa pukulan yang tetap dan kukuh pada 01:22 membawanya berangan-angan, menggambarkan suasana orang-orang berbaris dan berderap mengitari Keraton Solo, dan bahkan adanya kemungkinan bebunyian trompet layaknya dalam orkes barisan (marching band) seperti yang digugah oleh frasa gending pada 01:53. Terkesan menakjubkan, hal ini mengingatkan kita kepada kenangan kakek-nenek dari Sudhyatmaka Sugriwa yang dikutip sebelum mengenai asal-mula dari Kebyar di Bungkulan.
153
Tercatat pada diskografi yang disusun pada tahun 1980 oleh Toth (1948–2005) yang melakukan banyak penelitian pada permulaan tahun 1971. Ia memberi judulnya sebagai Gonténg Djawa [Pengawak Solo] . 154 Robson 2002 155 Komunikasi e-mail pribadi 2014 156 Percakapan 2014
63
Keragaman ansambel di atas bisa juga didengar dalam rekaman-rekaman kebyar dari Belaluan, Pangkung and Busungbiu seperti yang termuat dalam Bali 1928, vol. I. Hal ini hanya beberapa contoh yang menunjukkan pengaruh gaya palégongan Lotring terhadap inovasi kebyar masa awal dan juga sebaliknya. Wayan Suweca juga menduga alasan lain mengapa Lotring mengisi permainan pukulan panggul dengan nada-nada yang berjauhan dan tidak lazim, serta lompatan antar jangka nada satu dengan lainnya. Menurutnya, hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kerumitan sebagai suatu petualangan kreatif yang menyenangkan dan Lotring selalu menciptakan hal baru agar tak membosankan. Selain itu, karena ia mengajar di berbagai desa, Lotring kerap mengubah gubahannya sehingga sekaa binaannya akan masing-masing mempunyai versi yang khas, untuk memuaskan naluri jengah ‘daya saing’ yang umum di Bali. Suweca juga menduga bahwa Lotring mungkin menyertakan Jawa dan Solo dalam penjudulan karya-karyanya dengan maksud menegaskan gagasan tentang “berasal dari tempat lain” dan “mempunyai daya tarik yang istimewa.” Memang benar bahwa kata Jawa pada masa itu dan sampai tahun 1970-an mempunyai arti “sembarang tempat di luar Bali.” Namun kemungkinan terbesar, cukup tak terbantahkan, dan paling berpotensi untuk mengungkapkan sumber kreativitas Lotring bisa dipetik dari percakapan McPhee dengan sang komponis yang dikutip pada halaman 28 dalam naskah ini. McPhee mengemukakan bahwa gending yang diilhami oleh sebuah jam musikal, arloji, atau lonceng dinding telah direkam sebagai sebuah piringan hitam. Tetapi, pada saat itu (atau sampai tahun 1972) tidak ada rekaman karya-karya Lotring selain Gambangan, Gegénggongan dan Gonténg Jawa (Solo), tiga tabuh Calonarang, dan beberapa gubahan gendér wayang. Kesimpulan kami tidak menyisakan banyak ruang untuk kebimbangan. Berdasarkan percakapan McPhee dengan Lotring terkait jam musikal tersebut, Ketut Kodi menawarkan bahwa gonténg bisa saja merupakan makna ganda dari loncéng yang dalam bahasa Bali berarti ‘jam, arloji atau lonceng dinding’.157 Selanjutnya kata ‘Jawa’, merujuk kepada sembarang tempat di luar pulau Bali dan bisa saja termasuk Cina. Penulis menyerahkan penafsiran ini sepenuhnya kepada daya khayal para pendengar apakah bisa mendengat nuansa sebuah jam memuai dan mengubah waktu dalam beragam tempo seperti melintasi optik kaleidoskop. Cara pembawaan gending Solo oleh sekaa Teges di masa kini yang direkam dan dirilis oleh Bali Record pada tahun 1985,158 sangatlah berbeda dengan versi asli tahun 1928. Permulaan kawitan dari gendér menuju sebuah frasa tunggal yang hanya dimainkan dari 00:07 sampai 00:11 dalam versi tiga menit ini, namun sekaa Teges lanjut memainkannya sebanyak empat belas kali sebelum berpindah menuju bagian “gonténg” yang dimainkan di sini pada 00:11. Sekaa Teges juga menghindari banyak lompatan jangka nada yang berjauhan, justru memilih permainan melodi yang lebih mengalir. Menariknya, ketika mendengarkan 157
Makna ganda dari loncéng adalah bel. Catatan Nyoman Rembang menunjukkan bahwa karya Liar Samas dinamakan melalui sebuah permainan kata-kata. Berjalan sepanjang pantai, Lotring melihat banyak perahu samah ‘berkumpul’ dengan layar ‘layar’ terkembang ditiup angin sepoi-sepoi. Pengertian harfiahnya adalah liar (2000 keping pis bolong) dan samas (400 keping pis bolong) yang menunjukkan biaya latihan gubahan tersebut (Astita 2002: 135). Wayan Teling dari Banjar Tegal bersikeras bahwa itulah makna yang dimaksud oleh Lotring, menghitung biaya makan para penabuh dan biaya-biaya lainnya yang dibutuhkan untuk semua latihan dari gubahan yang menantang ini. 158 Semar Pegulingan Br. Teges, Peliatan, Ubud. Bali Record B 706 (cassette) and BRCD. 79 (compact disc)
64
rekaman ini, Kadek Suartaya dari Sukawati (dan juga dosen ISI Denpasar) mengatakan bahwa ia mengenali gubahan ini sebagai Tabuh Teges. Pak Kelo menawarkan dua alasan mengapa gamelan palégongan dan gendér wayang Lotring keduanya dimainkan dalam tempo yang lebih cepat dibanding biasanya. Alasan pertama terkait dengan keterbatasan tiga menit dari piringan hitam 78 rpm dan mereka memilih untuk memuat sebanyak mungkin permainan tabuh. Alasan berikutnya adalah karena tidak adanya penari atau dalang untuk diiringi, Lotring bisa tampil lepas melampaui bentuk dramatis dan koreografi dan menikmati tantangan dan kebebasan untuk bermain secepat yang ia sukai. Wayan Suweca menunjukkan bagaimana Solo atau Gonténg Jawa secara langsung mempengaruhi gubahan Nyoman Kaler, Bayan Nginté, yang mengiringi sepasang penari wanita.159
159
Percakapan dan sesi menabuh (2015)
65
66
Gamelan Gendér Wayang Banjar Tegal, Kuta Tanpa keragu-raguan, ini pastinya adalah Lotring bermain dengan rekan-rekan penabuhnya dari Kuta, yaitu Wayan Raping, Wayan Regog dan seorang penabuh lainnya yang belum teridentifikasi.160 Saat mendengar rekaman-rekaman ini, ahli karawitan Wayan Konolan dari Kayumas Kaja menjelaskan permainan sebagai luung gegebug (metekep) ‘teknik pemukulan yang indah’. Putrinya, Ni Ketut Suryatini, guru gendér dari Kayumas Kaja, menjelaskan bahwa gaya Lotring sebagai sebuah jalinan, alunan, bernafas dan merupakan pedoman atau sumber panduan bagi penabuh lainnya. Wayan Teling (yang ayahnya, Wayan Raping pasti bermain dalam rekaman) berkali-kali berkata sembari mendengarkan kepada rekaman, ngees nguncab ‘pelan dan keras’ atau ‘surut dan pasang’, mengomentari kehalusan dari gending dan kenyataan bahwa keempat gendér sering kali hampir tidak bisa didengar. Pak Teling dan narasumber lainnya menunjukkan permainan panggul kiri yang begitu lancar, jegogan, hampir tidak bergantung dengan pola-pola kotékan tangan kanan. Wayan Darta dari Kuta bisa mendengar bahwa para penabuh begitu menjiwai permainan gendér mereka dan Wayan Karyasa yang sempat berguru dengan Lotring, mengatakan kepada kami bahwa gegebug ‘permainan panggul’ para penabuh muncul dari pengaturan prana ‘nafas, daya hidup’ yang dicerminkan dalam pengolahan struktur irama dan melodi yang halus, ees nguncab ‘lembut dan keras’, wahyu alam ‘diilhami oleh alam’. Menariknya, pejogédan (gandrung) yang turut direkam pada tahun 1928 juga menampilkan dinamika ees nguncab yang jelas. Seperti dikatakan sebelumnya, gamelan gandrung adalah salah satu ansambel yang diakrabi oleh Lotring ketika ia tumbuh-kembang di Kuta, kenyataan yang memungkinkan adanya silang pengaruh. Menurut I Wayan Konolan (1923-2008) dan putranya, I Wayan Suweca dari Kayumas, gendér wayang di berbagai daerah dipengaruhi oleh gaya mulai dan henti kebyar yang penuh semangat yang sekaligus menciptakan sebuah gaya abad ke-20 untuk jenis gamelan itu. Ahli gendér Wayan Loceng (1926–2006) dari Sukawati mengatakan kepada kami bahwa permainan itu sangat berbeda dengan gaya permainannya sendiri, kemungkinan mencerminkan perubahan lingkungan, mementaskan keterhubungan dan pengaruhpengaruh dari genre yang berbeda.161 Dalang and pemain gendér I Wayan Nartha (1941–), salah seorang murid Loceng, percaya bahwa pengaruh kebyar muncul dari kolaborasi bolak-balik Loceng dengan dalang Nyoman Geranyam.162 Mengenang latihan-latihannya dengan Wayan Loceng (1926-2006), Evan Ziporyn berkomentar “Locéng mengatakan kepada saya bahwa ia dulunya adalah seorang pemain réyong, dan gineman dari Sekar Ginotan (dan karya-karya lain) adalah sebuah usaha untuk membawa gaya réyong tunggal ke dalam gendér wayang.”163 Gaya masa kini dari gendér wayang Sukawati dalam beberapa cara menyerupai permainan Lotring dalam rekaman-rekaman bersejarah tahun 1928 ini. Masa Lotring mempelajari palégongan di Sukawati serta pengalamannya mengiringi para dalang Sukawati Wayan 160
Menurut Wayan Teling yang tak mampu mengenali pemain keempat Percakapan dengan Wayan Loceng (2003). Lisa Gold (1998) memberi dokumentasi yang mendalam dan berwawasan luas akan proses kreatif dan sejarah kultural dari wayang di Sukawati (termasuk Loceng), terutama mengungkap hubungan antara dalang dan para penabuh. 162 Percakapan 2015 163 Komunikasi pribadi, 2009 161
67
Kerekek dan putranya, Nyoman Geranyam, menunjukkan adanya silang pengaruh. Kadek Suartaya164 menyarankan bahwa satu acara yang sangat penting adalah Mabarung antar Kerajaan-kerajaan Sebali pada tahun 1930 yang didukung oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini membantu mengobarkan kebangkitan di seluruh pulau terhadap estetika kebyar yang mempengaruhi gaya gendér wayang Sukawati yang telah begitu lama dalam keadaan penuh pembaharuan dan perubahan. Sebuah diskusi dengan Kadek Suartaya dan Ketut Kodi mengungkap sebuah pertanyaan tentang kemungkinan gaya gendér Lotring dipengaruhi oleh gaya Sukawati. Satu hal yang disepakati dari pelbagai bukti dalam rekaman-rekaman tahun 1928 ini adalah permainan Lotring cenderung serupa dengan gaya Sukawati sebelum merangkul kebyar, dan Lotring jelas mempertahankan dan mengajar gaya permainan pra-kebyar selama hidupnya. Ansambel terdiri dari empat buah metalofon berbilah sepuluh, dengan bilah-bilah perunggu yang disangga resonator bambu, dan dimainkan dengan dua panggul kayu. Ansambel dimainkan berpasangan, masing-masing memainkan bagian yang berbeda, polos ‘dasar’ dan sangsih ‘tambahan, mengisi’. Kedua gendér kecil bermain satu oktaf di atas pasangan gendér besar, melipatgandakan pola-pola dari alat musik bernada lebih rendah. Polos dipahami sebagai laki-laki dan sangsih sebagai perempuan, Kedua bagian terkadang bermain serempak, namun sering kali tangan kiri (nada-nada rendah) dimainkan serempak dan tangan kana memainkan pola-pola saling-kait kotékan. Seperti halnya gamelan lain, polos juga dirujuk sebagai pangumbang ‘dengung’ dan sangsih disebut pangisep ‘hisap’ yang berkaitan dengan polah dari serangga lebah. Masing-masing bilah yang bersesuaian dari ngumbang dan ngisep dilaras mengikuti frekuensi yang berbeda. Ini tentu berbedabeda tergantung dari jenis gamelan, tetapi dengan gendér wayang jarak antara setiap nada ngumbang dan ngisep umumnya mempunyai jarak yang spesifik yaitu lima putaran per detik.
CD Trek #10 Sekar Ginotan Dikenal juga sebagai Sekar Gendot, gubahan pategak165 ini dipentaskan ketika para penonton mulai mengambil tempat sebelum pertunjukan wayang dimulai. Di Kuta, bagian kedua dari gubahan ini dinamakan Sekar Ginotan Buleleng, dan mereka mempunyai gending yang berbeda bernama Sekar Ginotan Kuta. Lotring mengajarkan perbendaharaan gending légong di Jagaraga, Bali Utara dan kemungkinan memberi pengaruh di sana, tetapi Wayan Kelo mengatakan bahwa Sekar Ginotan ini adalah gubahan Lotring. Wayan Konolan mendengar gineman ‘pembukaan, permulaan’ ini mirip dengan gayanya di Kayumas, tetapi mulai sangat berbeda pada 01:15. Wayan Loceng menemukan gending ini mempunyai kesamaan frasa dengan Sekar Jepun dari Sukawati tetapi dengan permainan pukulan yang berbeda. Merujuk kepada rekaman ini, Colin McPhee menulis tentang kerumitan ornamentasi salingkait kotekan. Ada beberapa kualitas menakjubkan yang mencirikan gaya permainan tersebut menurut Wayan Lotring, Wayan Konolan, dan beberapa penabuh muda dan dalang
164 165
Percakapan 2014 Dari kata tegak yang berarti duduk, mengambil tempat
68
yang berkesempatan mendengar rekaman-rekaman ini. Dalam semua rekaman-rekaman gendér wayang Lotring, para penabuh berulang kali berkomentar bahwa Lotring sangat menjiwai gendér seolah “memasukkan roh dan kehidupan ke dalamnya.” Beberapa narasumber berkomentar bahwa suara gendér seolah bernafas. Ada beberapa hal mendasar yang bisa dikaitan dengan kualitas-kualitas ini. Dengan semua pola saling-kait dari tingkatan nada atas, baik tempo maupun dinamikanya mengalir dan bisa dirubah secara menarik dalam sebuah cara yang begitu menakjubkan untuk sebuah kuartet. Tangan kiri secara bebas memainkan rangkaian nada-nada rendah jegog, dan tidak bergantung dengan tangan kanan166 yang memainkan bagian-bagian bernada tinggi. Permainan frasa oleh tangan kiri yang mengalir dan gaya memukul dan metekep meredam bilah-bilah kerap disamakan dengan réng jégogan, resonansi getaran dari alat musik gamelan bernada rendah dalam ansambel-ansambel besar. Lotring menggubah ulang versi génder wayang dari Sekar Ginotan Kuta menjadi sebuah gubahan yang begitu menggugah dan lembut, terperinci dan rumit untuk gamelan palégongan, dan versi ini terus dimainkan di Kuta, Teges Kanginan dan daerah-daerah lainnya.
CD Trek #11 Seléndro Nama-nama gubahan génder yang sama atau serupa bisa berbeda dari satu desa ke desa lainnya dan bisa juga berubah pada penabuh yang sama seiring perjalanan waktu. Dari permulaan gineman sampai 01:20, gending ini mirip dengan Cerucuk Punyak dari Teges, Peliatan dan Kayumas167 atau, menurut Wayan Kelo, persis seperti Cangat Merengang dari Kuta terutama pada beberapa melodi khusus dan baris-baris melodi tunggal yang dihasilkan oleh tangan kiri maupun kanan saat tidak memainkan dua bagian yang berbeda. Ketika mendengarkan rekaman permainan ayahnya dan Lotring, Wayan Teling kagum dengan deras tapi jernihnya ngorét yang dihasilkan oleh permainan silih-berganti antara tangan kanan dan kiri, kerap menghasilkan ngorét lima dan enam-nada dari 00:19 sampai 00:26, dan ngorét tujuh-not dalam rangkaian tiga seri dari 02:38 sampai 02:41 sebagai akhir gending. Ia menunjukkan, sama halnya dengan Wayan Kelo, bahwa bagian pembuka gineman dihilangkan untuk rekaman, dan bagian pangawak dihapus dan langsung menuju sebuah akhir yang tak lazim, mengulang gineman pada 02:15. Kemiripan yang jelas kepada permainan réong bergaya kebyar bisa didengar pada 00:27, tetapi Wayan Teling berpikiran bahwa ini adalah contoh langka penggunaan frasa kebyar oleh Lotring. Wayan Suweca berpendapat bahwa frasa ini bisa saja merupakan frasa dalam gaya gendér wayang yang disesuaikan oleh para pemain réong dalam kebyar. Pengulangan dan laju cepat dari pukulan pada satu gendér yang terdengar pada 00:32 mirip dengan sebuah kekhasan kebyar, tetapi rupanya ini adalah sebuah kasus di mana gendér wayang
166
Ini menurut Wayan Karyasa dari Kuta Kesan ini muncul dalam studi saya di Teges dan pengetahuan Wayan Suweca akan gaya Kayumas. Menariknya, Teges dan desa-desa lain terkadang menukar judul-judul dari gending. Sebuah kreasi terkenal oleh I Made Gerindem untuk Semar Pagulingan Teges disebut sebagai Cerucuk Punyak, namun nyatanya gending tersebut adalah gabungan dari Cerucuk Punyak dan Cangat Merengang, keduanya disesuaikan dari gendér wayang di tahun 1980. 167
69
mempengaruhi kebyar. Suweca menjelaskan bahwa teknik “peredaman” semacam ini, di mana panggul selama beberapa saat menempel pada bilah perunggu agar menghindarkannya dari bergaung, disebut sebagai cek, karena pengulangan cek-cek-cek menirukan suara panggilan dari cicak. Pada 01:20, gending mengalir mirip Seléndro dari Kayumas. Wayan Suweca juga mendengar kemiripan dengan Sekar Gendot (Ginotan) dari 00:37 sampai 00:52. Wayan Suweca dan Wayan Teling menunjukkan penggunaan langsung melodi angklung empatnada dari 01:33 sampai dengan 02:08. Wayan Karyasa dan Wayan Darta mengatakan bahwa versi Kuta masa kini menggabungkan Seléndro Lotring dengan Sekar Ginotan Kuta.
CD Trek #12 Merak Ngélo Juga digubah oleh Lotring, gending yang sangat terkenal ini dimainkan secara lengkap dalam rekaman dan dimainkan dalam cara yang sama di masa sekarang, menurut penabuhpenabuh Kuta, Wayan Kelo, Wayan Karyasa dan Wayan Darta. Wayan Konolan juga mengungkapkan bahwa versi Merak Ngélo ini masih utuh di Kayumas, namun Lotring memainkannya secara lebih cepat, menyesuaikannya dengan keterbatasan tiga menit dari piringan hitam 78 rpm. Bagian tubuh (isi) dari versi Sukawati yang diajarkan kepada Evan Ziporyn dan Lisa Gold oleh Wayan Loceng hampir sama persis.168 Menurut Wayan Suweca, penabuh-penabuh di Tunjuk, Tabanan mempelajari Merak Ngélo langsung dari Lotring. Tema-tema melodis dari Merak Ngélo ini sangat berdekatan dengan Sekar Ginotan seperti yang dimainkan di Teges, Peliatan dan daerah-daerah lainnya.
CD Trek #13 Tulang Lindung (Pamungkah) Kata pamungkah dari bungkah atau mungkah ‘membuka’ berkaitan dengan tanah, lawang ‘pintu’, langsé ‘tirai panggung pementasan’, atau dalam hal ini kropak wayang ‘peti penyimpanan wayang’. Wayang utama pada saat ini adalah kayon (dari kata kayu ‘pohon’), sebuah wayang yang berbentuk bulat telur dengan rancangan sederhana sebuah pohon. Pada dasarnya terdapat lambang-lambang gunung yang mewakili Meru atau Mahameru, pegunungan para dewata, atau surga leluhur, di mana pepohonan bersemi dan tumbuh. Oleh karenanya, bentuk tersebut terkadang disebut sebagai gunungan. Pada saat ditarikan, kayon bisa dipakai untuk mengambarkan angin, api, atau air, dan tariannya dalam gerakan mengombak menyarankan ketegangan dan keresahan dari masing-masing elemen alam tersebut.169 Bagian akhir dari Pamungkah ‘tabuh pembukaan pementasan wayang’ ini mengiringi tarian dari wayang kayon ‘pohon kehidupan’ (juga disebut gunungan) sampai akhirnya wayang tersebut ditancapkan di tengah kelir, diikuti oleh bagian Tulang Lindung (Tulang Belut) pada 00:14. Semasa alunan melodi berkepanjangan ini (yang betul-betul menggambarkan liukan seekor belut yang sedang berenang)170 dalang memilah dan memilih wayangnya satu per satu – yang telah berjajar sepanjang kelir - dan menumpuknya di sisi kiri atau
168
Korespondensi e-mail dengan Evan Ziporyn (2015) McPhee (1970: 153) 170 Spesies binatang lainnya di persawahan yang juga terancam kehidupannya karena penggunaan pestisida dan pubuk kimia. 169
70
kanannya, sesuai urutan pemunculannya nanti pada saat lakon dipentaskan. Rekaman ini adalah pembawaan lengkap dari Tulang Lindung. Wayan Loceng menjelaskan bagaimana gendér mencerminkan gaya dan teknik dari sang dalang, mengiringinya saat sang dalang menarikan dan menghidupkan wayang melalui gerakan, membuat berbagai variasi, irama, dan angsel ‘aksen atau hentakan kecil sebagai petanda perubahan gerak’, dan memberi tanggapan langsung ketika para penabuh mendengar dan melihat hal baru dimunculkan.171 Seperti diungkap sebelumnya, bagi dalang Nyoman Geranyam yang aktif pentas dari tahun 1920-an sampai 1950-an, pengaruh légong sangat kuat pada koreografi wayang, khususnya tarian kayon dan adegan percintaan yang diiringi gending Rébong.172 Ketut Kodi mengingat pernah mendengar Pak Loceng dan pemain gendér lainnya dibuat sangat tidak nyaman saat Geranyam berpaling ke belakang, memandang ke arah para penabuh jika ia tidak puas dengan cara mereka menanggapi isyarat. (Geranyam adalah juga seorang pemain gendér yang ulung).173 McPhee menyebutkan bahwa pada tahun 1930-an, Pamungkah bisa berlangsung selama “sejam yang menyenangkan”174 dan Suweca membenarkan hal tersebut, walau di masa kini Pamungkah paling lama dimainkan selama dua puluh menit. Di era Lotring, dalang dan para penabuh bertanggungjawab memastikan bahwa dagang nasi ‘penjual makanan’ di sekeliling tempat pertunjukan bisa sukses berjualan dan meraup untung dari menjual berbagai pilihan makanan dan minuman. Oleh karenanya, pertunjukan wayang bisa berlangsung dari pukul sebelas malam sampai tiga atau empat dini hari. Di masa sekarang, dalang bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan upacara dan hiburan, serta membiarkan penonton mendahului pulang untuk bersiap menghadapi jawdal perkerjaan yang padat. Tentunya hal tersebut menjadi lebih mudah diatur bagi mereka yang mencari nafkah dari pertanian dan pelbagai pekerjaan tradisional lainnya.
CD Trek #14 Alas Harum Ketika kelir telah dikosongkan kecuali kayon (termasuk kelompok wayang di sisi paling kiri dan kanan dari kelir), dalang memberi aba-aba untuk melakukan ancit kayon ‘mencabut’ wayang dan melakukan tarian puncak kayonan. Kemudian, pada 00:42, Alas Harum pun mulai, melambat seiring pengujaran syair pembuka (tak terdengar dalam rekaman) oleh dalang. Dalam berbagai tradisi wayang lokal, perititala akan diiringi oleh ketukan pada kropak wayang secara terputus-putus dengan menggunakan cepala ‘alat pukul dari kayu berbentuk lonjong yang dijepit di antara ibu jari dan telunjuk dari kaki kanan’. Cepala digunakan untuk memberi petunjuk dan isyarat kepada para penabuh, untuk mendorong mereka saat frasa-frasa batél (sebagai contoh pada 00:20) dan pada akhirnya, memberi aksen pada setiap terjangan yang terjadi dalam adegan-adegan pertempuran. McPhee (1970: 195) menggunakan terjemahan oleh Poerbatjaraka dan Hooykaas dari Kakawin Bharatayudda karya Gunning. Naskah Alas Harum dimulai pada Parwa XXVI: 171
Percakapan 2003 Gold (1998: 253-54). Juga ditegaskan dalam pembahasan dengan Wayan Narta 2014 173 Percakapan 2014 174 1970: 180. Transkripsi “Pamoengkah” (satu dari tiga karya yang dijadikan komposisi dua piano, Balinese Ceremonial Music) oleh McPhee menggunakan rekaman Odeon ini. 172
71
Rahina tatas kemantian; umuning meredangga kala sangka, gurnitatara, gumuruh ikang gubar bala, samuha mangkat anguwuh padasru rumuhun, para ratu sampu[n] ahiyas asalin, lumampah ahawan rataparamita nrapati, Yudistira, pramuka Bimasena, Nakul-arjunagra, gerah lumurug. Fajar menyingsing, hari pun merekah. Disesaki oleh dentuman tambur, gerincing simbal dan auman sungu. Genderang perang bertalu-talu, sementara para prajurit berkumpul sambil berteriak lantang. Semua mengatur diri dalam prosesi; para pangeran telah mengganti jubah kebesaran mereka, bergerak maju, duduk di dalam kereta perang tiada tanding; Raja Yudhistira sebagai pucuk pimpinan; Bimasena, Nakula dan Arjuna merangsek maju, mengambil kendali dan memimpin pasukan. Dalang I Nyoman Sumandhi dari Tunjuk memberikan terjemahan yang berbeda kepada Lisa Gold:175 Rahina tatas kemantian, umuni ng mredangga kala sangka, gurnitatara, Pagi hari merekah, genderang dan trompet dimainkan, gumuruh ikang gubarbala, samuha mangkat anguwuh padasru rumuhun, tersentak dan terbangun oleh riuhnya bebunyian, para prajurit berebut maju ke depan, para ratu sampun ahyas asalin, lumampah ahawan rataparamita para raja telah berpakaian dan siap, menaiki kereta-kereta perang berkilau, nrapati, Yudistira, pramuka Bimasena, Nakularjuna, gerah lumurug. Raja Yudhistira memimpin, diikuti Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa menuju medan pertempuran. Menurut Wayan Kelo, tak ada seorang pun dalang di Kuta pada masa itu, sehingga Lotring dan ansambelnya akhirnya pentas dengan banyak dalang-dalang tenar dari era itu, termasuk I Wayan Kerekek dari Sukawati dan putranya, I Nyoman Geranyam, serta Ida Bagus Ngurah Buduk, dari Buduk di Kecamatan Mengwi. Menurut Wayan Kelo, kesempatan pentas dengan banyak dalang terkenal yang mempunyai gaya pribadi yang khas akhirnya merangsang dan mendorong Lotring untuk mengembangkan sebuah pemahaman yang mengalir terkait Alas Harum, yang kemudian memungkinkan Lotring untuk memainkannya secara keras maupun lembut (ees ‘tenang’ dan nguncab ‘keras’). Para penabuh Kuta yang masih memainkan versi Alas Harum dari Lotring memandang bahwa gayanya khas, berbeda dari satu desa ke daerah lainnya dalam hal susunan melodi dan irama yang rumit dan terperinci. Murid-muridnya, Wayan Kelo dan Wayan Karyasa bersaksi tentang tingginya tingkat kesulitan bermain bersama Lotring. Wayan Karyasa menjelaskan bahwa permainan Lotring yang secara alami halus dan spontan dipenuhi 175
1998: 295
72
dengan nuansa yang bisa diungkapkan sama hebatnya baik melalui nada-nada yang tidak dimainkan maupun nada-nada yang dimainkan. Ia akan memainkan sebuah frasa melodi tanpa memukul semua nada, menggugah sebuah perasaan yang sejatinya dipahami oleh indra pendengaran dan apa yang tersirat. Rekan-rekan penabuhnya akan bergumul dan berjuang dalam mengolah kemampuan untuk mencapai keselarasan rasa agar bisa menyesuaikan diri dengan permainan Lotring yang senyatanya berubah-ubah dari satu pementasan ke pementasan lainnya. Lotring dikenal sebagai seorang guru yang keras (sama halnya dengan guru-guru terkemuka pada era itu) dan seringkali menepak anak-didiknya dengan panggul atau melemparkan sandalnya kepada penabuh yang tidak cakap. Tetapi semua itu bisa dipahami mengingat Lotring adalah seorang pemuja kesempurnaan dan menikmati kerumitan. Karyasa menggambarkan bagaimana Lotring sama sekali tak akan menatap gendérnya saat bermain, namun menerawang dan melihat ke sekelilingnya, menyerap dan menikmati suasana. Menurut Wayan Suweca, ini adalah hal yang biasa bagi para ahli gendér. Ia mempercayai bahwa para pemain gendér adalah lima puluh persen sadar saat mereka berpaling dari alat gamelan dan sering tampak seolah sedang tidur. Hal ini sepenuhnya berubah ketika sang dalang memulai aksi dan narasi pementasan wayangnya, dan ini menjadi penanda bagi para penabuh untuk siap sedia sepenuhnya. Namun, Suweca membandingkan permainan gendér wayang dengan kebyar yang melibatkan sekelompok penabuh yang mesti seratus persen sadar karena kebyar adalah sebuah “tontonan.” Ia mengingat bagaimana Anak Agung Gede Mandera dari Peliatan menyarankan kepadanya bahwa memainkan kendang untuk kebyar seharusnya merupakan sebuah tarian, di mana kekuatan dari tabuh harus juga diungkapkan melalui gerak tubuh para penabuh.176 Saat dalang Ketut Kodi menyimak rekaman-rekaman Lotring dari tahun 1928, ia digiring membuat sebuah perbandingan dengan gaya masa kini dari ansambelansambel terkenal. Kodi berkomentar bahwa Lotring bukannya tidak mempunyai kematangan teknik atau keahlian, namun ia melampui, terlepas, dan terbebas dari teknik, memasuki relung rasa, sepenuhnya bergolak dalam diri. Wayan Karyasa pun setuju. Menurutnya, permainan Lotring memungkinkan para pendengar dan pemirsa menyimaknya sebagai “suba maidep” ‘mengerti, memahami rasa, dan menerima sepenuhnya’. Ini merupakan esensi dari taksu ‘kekuatan bathin yang bisa dirasakan dan dipahami orang lain’. Taksu bisa dibangkitkan melalui pembelajaran dan persiapan yang matang, pengolahan kemampuan dan teknik untuk mementaskan sebuah tugas berkesenian atau yang lainnya, dan pada puncaknya bersumber dari alam dan kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri sebagai manusia.177 Menurut Karyasa, hal yang tersulit adalah bagi tiga penabuh lainnya untuk mengikuti relung rasa Lotring yang pasang-surut, dan permainan panggul yang mencerminkan khazanah alam. Komposisi tabuhnya masih utuh di Kuta dan gayanya yang khas masih dipertahankan sampai sekarang. Tetapi para penabuh Wayan Kelo, Wayan Karyasa dan Wayan Darta mengatakan bahwa permainannya terkesan lebih sederhana dibandingkan dengan keahlian Lotring beserta anggota ansambelnya.
CD Trek #15 Angkat-angkatan 176 177
Percakapan (2014) Wayan Dibia (2012) mengungkap sebuah pandangan yang lebih luas dan mendalam tentang taksu.
73
Judul yang tertera pada label cakram Odeon tahun 1928 adalah “Batel”, namun sesungguhnya ini adalah angkat-angkatan yang sesekali diselingi frasa-frasa batél untuk menegaskan perubahan yang mendadak dan peralihan yang deras. Contohnya adalah pada 00:48 sampai 00:53, sekilas pada 01:02, pada 01:14 sampai 01:20, sedetik lagi pada 01:32, dan seterusnya. Angkat-angkatan mengiringi tokoh-tokoh wayang saat mereka bersiap pergi, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain (dengan gendér bermain dalam tempo sedang), dan saat mereka merangsek maju menuju medan pertempuran. Wayan Loceng menjelaskan gaya batél yang dimainkan dalam rekaman adalah gerebug ‘menuju medan perang’. Bahkan, batasan batél dan angkatan tidaklah baku, dan sekaa-sekaa sering menggunakan angkatan untuk adegan peperangan, hanya lebih cepat dan menggunakan angsel yang lebih keras.”178 Kesamaan dari kata batél dengan kata battle ‘perang’ belumlah diteliti dan merupakan suatu kebetulan yang menarik. Pak Kelo mengomentari bahwa Lotring memainkan gubahan ini dalam gaya yang dikemas khusus untuk sesi rekaman, lebih cepat dibanding biasanya dalam pementasan wayang. Tidak ada nama yang diberikan untuk angkatan ini, namun semua ansambel mempunyai berbagai macam angkat-angkatan dengan judul tersendiri, seperti Sekar Sungsang, Prépetan, Krépétan, Sekati, Parta Wijaya, Srikandi, dan Bima Kroda. Angkat-angkatan ditandai oleh kotékan yang juga disebut candetan, pola-pola kembangan nada-nada atas yang saling-kait yang dimainkan oleh panggul tangan kanan. Batél tidak menggunakan kotékan, namun sebaliknya merupakan sebuah pengulangan terus-menerus dari dua nada (ostinato), yang secara teratur berpindah kepada pengulangan dua-nada berikutnya baik satu oktaf lebih tinggi atau rendah. Panggul tangan kiri bermain dua kali lebih cepat saat angkat-angkatan dan kecepatan batél secara keseluruhan adalah lebih cepat untuk menegaskan adegan-adegan peperangan. Wayan Darta dan Wayan Karyasa mendengar angkat-angkatan ini seolah-olah kedua tangan bergerak sendirinya, sebuah ekspresi mendalam dari sebuah prinsip yang hakiki dalam proses mempelajari gamelan Bali yaitu maguru panggul ‘diajarkan oleh panggul’ di mana para murid belajar bermain secara kinetis dan melalui cara yang intuitif saat alam sadar memahami keseluruhan gending setelah tangan mengingat dan memahami isi gending. Darta berkomentar bahwa secara umum jadul “jaman dahulu” selalu “rendah kolesterol.”
178
Percakapan e-mail dengan Evan Ziporyn (2015)
74
Gendér Wayang Batél Kaliungu, Denpasar CD Trek #16 Lagu Cupak Cupak adalah sebuah jenis dramatari dan di masa lalu sekaa dari Kaliungu inilah yang mendampingi aktor-penari Ida Boda ketika ia memerankan tokoh utama Cupak yang dikenal flamboyan, gagah dan suka melahap makanan dengan rakus. Iringan biasanya dilakukan saat Cupak memasuki panggung, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam lakon, dan kemudian meninggalkan panggung. Boda akan menyanyikan tandak atau tembang bersamaan dengan alunan tabuh ini.179 Pementasan Cupak dikenal tenget ‘diliputi aura angker dan mistis’, umumnya dihubungkan dengan tokoh utama yang mengalami kerauhan ‘kesurupan’, dan terkadang mengamuk memenuhi hawa-nafsunya akan makanan dan rasa kelaparannya. Ketut Kodi pernah diperingatkan oleh I Ketut Rinda dari Blahbatuh (ahli topéng, gambuh dan wayang) agar ia menghindari pemeranan tokoh ini karena peran ini sangat berbahaya terhadap keseimbangan mental seseorang.180 I Made Gerindem dari Teges sesekali waktu pernah memerankan tokoh ini, dan walau tokoh Cupak sudah melahap porsi makanan yang sangat besar (bahkan seekor babi guling), sang pemeran akan tetap merasa kelaparan setelah pementasan usai dan setibanya di rumah. Ini dikarenakan karena pada saat pementasan dan melahap makanan, tokoh Cupak tersebut dirasuki oleh Sang Hyang Céléng (jiwa satwa babi).181 Ahli panasar dan bonderes ‘tokoh lawak, jenaka’ Wayan Retug dari Singapadu pernah tampil bersama dengan Gerindem sebagai abdi sang Cupak, namun memutuskan berhenti karena sering dipukuli oleh Cupak sampai-sampai tubuhnya lebam.182 Batél mempunyai dua pengertian. Satu sebagai jenis gubahan (untuk mengiringi adegan pertempuran dan saat-saat genting) dan sebagai iringan dari saat-saat peralihan, oleh karenanya sering disamakan dengan angkat-angkatan. Gubahan batél yang sama ini digunakan dalam wayang dan mirip batél Ramayana di Sukawati dan Teges. Terkait sekaa dari Kaliungu ini, batél juga merujuk kepada sebuah ansambel gamelan kecil yang digunakan dalam dramatari seperti Cupak, wayang wong (atau wayang Ramayana atau wayang Cupak) dan melibatkan perangkat gamelan termasuk empat gendér, kempur ‘gong’, rincik ‘simbal’, kajar ‘gong péncon kecil’, kelenang ‘gong péncon kecil yang memainkan ketukan lemah’, suling, dan dua kendang. Tetapi pembawaan dalam rekaman ini hanya mengetengahkan permainan keempat gendér ditambah beberapa alat gamelan lainnya (yang terdengar) termasuk sebuah kajar yang bermain pada setiap ketukan, kendang yang menambah beberapa pukulan ringan pada detik-detik awal dan akhir, dan sebuah kempur yang dipukul tiga kali pada akhir rekaman.
179
Percakapan dengan Wayan Konolan, rekan berkesenian dan teman dekat Ida Boda (2003). Percakapan dengan Ketut Kodi (2014) 181 Percakapan dengan Made Gerindem (1972 dan 1980) 182 Percakapan dengan Wayan Retug (1981) 180
75
76
77
Sekilas Kehidupan I Nyoman Kaler I Nyoman Kaler dilahirkan di Pemogan, Denpasar pada tahun 1892 dari pasangan pragina I Gde Bakta dan Ni Ketut Taro. Kakeknya, I Gde Salin juga dikenal sebagai guru ternama tari dan tabuh, dan sejak usia muda Kaler sudah mementaskan nandir, sisia Calonarang, wayang wong dan parwa.183 Ia mempelajari karawitan dan tari gambuh dengan I Gusti Candu, I Made Nyarikan Seriada di Denpasar dan I Made Sudana di Tegaltamu. Colin McPhee menulis bahwa Kaler mempelajari nandir di Puri Blahbatuh sekitar tahun 1906, di mana ayahnya merupakan salah seorang parekan ‘pelayan dan penasihat’ bagi lingkungan puri.184 Menurut riwayat hidup yang disusun oleh Pemkot Denpasar, ia mempelajari légong dari Ida Boda pada tahun 1918 dan dari Anak Agung Rai Perit dari Puri Paang, Sukawati pada tahun 1924. Istri-istrinya adalah Ni Made Rapik (memberinya seorang anak yang meninggal dalam usia muda), Ni Nyoman Ruci (memberinya seorang putra bernama I Made Mirta) dan Mbakyu Peringil yang dinikahinya saat mengajar di KOKAR Surakarta dan tetap tinggal di Solo ketika Kaler kembali ke Bali dengan putranya, I Nyoman Wisura yang kini menjadi tenaga pengajar di KOKAR Bali. Kaler juga mempunyai seorang putra angkat, I Made Tantra yang mengatur Kongres Kesenian Bali pertama pada tahun 1948. Kaler mulai berkreasi dan menciptakan tari-tarian bebancihan ‘androgini, tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan’ pada tahun 1918 yang dimulai dengan koreografi untuk gandrung. Di tahun 1924, murid-murid légongnya (termasuk pula muridmurid Ida Boda) adalah Ni Ketut Ciblun dan Ni Ketut Polok dari Kelandis (bersama-sama dikenal sebagai “légong Kelandis”) serta Ni Ketut Reneng dan Ni Rening dari Kedaton. Kaler juga mengajar sekaa jangér di Kedaton (terdapat dalam Bali 1928, vol. V) yang melibatkan Gusti Putu Rengkeg, Ni Ketut Reneng, Ni Rening dan Ni Wayan Pempen. Di tahun 1933, generasi berikut murid-murid légong Kelandis termasuk I Wayan Rindi, Luh Cawan dan Ni Nyoman Sadri yang semuanya berasal dari Banjar Lebah, dikenal secara kolektif sebagai légong Lebah”; yang juga mementaskan karya-karya barunya. Perlu diungkap bahwa Ida Boda, guru légongnya Kaler, adalah tokoh yang bertanggung jawab dalam membina dan memperhalus semua penari tersebut di atas, meningkatkan kemampuan, keahlian dan rasa seni mereka ke tingkatan paling tinggi. Kaler dan Ida Boda dihormati sebagai tokoh yang pertama memperkenalkan gong kebyar sebagai iringan légong pada tahun 1930. Murid-murid gandrung Kaler sekitar tahun 1924 termasuk I Made Sarin dari Ketapian dan I Wayan Rindi. Di tahun 1939, bersama dengan I Ketut Marya dan Wayan Rika, Kaler mengajar penari kebyar I Nyoman Ridet. Di tahun yang sama, Kaler mengajar Ni Nyoman Muri, I Wayan Rika dan lainnya di Kerobokan. Di tahun 1942, Kaler berkolaborasi dengan I Made Kredek dan I Wayan Geria dari Singapadu, menciptakan dan mengawali jenis seni pertunjukan prembon yang menggabungkan topéng dan arja. Di tahun 1943, Kaler menciptakan beberapa karya terkenalnya dalam bidang tari dan tabuh, termasuk Margapati (Mregapati), Wiranata, Puspawarna, Candra Metu dan Demang Miring. Ia menciptakan tari Panji Semirang menggunakan gubahan tabuh yang diciptakan oleh Wayan Lotring. Candra Metu juga adalah karya yang digubah ulang oleh Kaler, di mana ia mengubah dan menambah
183 184
Tim Humas Kodya Denpasar (1999: 65–68) McPhee 1946: 172
78
unsur-unsur koreografi pada karya yang sudah digubah oleh Lotring, serta mengganti tokohnya dari laki-laki menjadi perempuan. Di tahun 1940, ia mengajar penari kebyar I Wayan Likes dari Mengwi. Di Sesetan, para muridnya termasuk I Wayan Naba, I Nyoman Rembang dan Ni Ketut Rabih. Di tahun 1943 ia mengajar di Sibang dengan murid-murid termasuk Ni Lemon,185 Ni Nyoman Ranten dan Anak Agung Gdé Raka. Setelah kemerdekaan Indonesia, Kaler mengajar légong di Tanguntiti, membina Ni Made Darmi, salah seorang penari kesayangan dari Presiden Sukarno. Di tahun 1952, bersama Nyoman Rembang dan I Gusti Putu Made Geria, Kaler memulai karirnya dalam pendidikan akademis di Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) Surakarta dan kembali ke Bali pada tahun 1958 untuk mengembangkan program pendidikan di KOKAR Bali. Kaler berpulang di tahun 1969 seusai kesertaannya dalam sebuah misi kesenian ke Iran dan New Delhi, India.
185
Ini adalah Ni Lemon yang berbeda dari seniman yang berasal dari Abian Timbul dalam Bali 1928, vol. II dan vol. V.
79
Gamelan Pelégongan Kelandis dipimpin oleh I Nyoman Kaler CD Trek #17 Biakalang Biakalang bersumber dari perbendaharaan gending gambuh sebagai iringan tabuh bagi tokoh keras Patih seperti Prabangsa yang bisa didengar dalam terbitan Bali 1928, vol. IV yang akan datang, sebagaimana dimainkan oleh sekaa gambuh dari Sesetan, Denpasar. Komposisi ini juga bisa disesuaikan untuk mengiringi tokoh Prabu (Pandung) dalam dramatari Calonarang. Wayan Suweca dari Kayumas Kaja mengatakan bahwa gending ini bisa disebut Biakalan dan Wayan Pogog dari Banjar Lebah menamakannya Biakala. Bahkan, dalang Ketut Kodi menjelaskan bahwa asal-usul katanya adalah bia ‘tugas’ dan kala dari bhuta kala ‘kekuatan-kekuatan alam yang gaib dan mampu mengakibatkan kegelapan’ yang menyatakan tugas sang Patih adalah masomia ‘menenangkan’ makhlukmakhluk tersebut. Bagian yang terekam adalah pangawak yang umumnya akan diikuti oleh papeson ‘pengantar, pengenalan’ dari tokoh. Ketut Wirtawan, pementas gambuh di Batuan, menjelaskan bahwa rentetan pangawak juga dirujuk sebagai pengelangkara, saat para tokoh-tokoh membangun lakon. Menurut Wayan Pogog yang akrab dengan Nyoman Kaler dan telah bermain dan pentas bersamanya sejak tahun 1930-an, ketika Kaler mengembangkan gubahan-gubahan palégongan seperti ini, ia kerap menarikan dua penari.186 Mereka akan menggunakan cuplikan dari bagian pelan ini yang bahkan dalam légong bisa digunakan sebagai gending peryerosan ‘pengujaran dan membangun sebuah lakin’. Terkadang, Kaler sama sekali tidak menyertakan unsur narasi. Gubahan dan tari semacam ini bisa berlangsung selam tiga puluh menit, tergantung dari permintaan pihak yang mengundang pementasan. Sekaa légong Kelandis didirikan oleh Kaler pada tahun 1924 dengan gamelan palégongan yang dibangun pada tahun 1923. Gamelan yang dimaksud masih disimpan di Pura Jurit dan selama bertahun-tahun dipentaskan secara rutin pada setiap kesempatan upacara-upacara.187 Gamelan ini masih tersedia namun tanpa sekaa yang aktif. Nyoman Kaler pastinya memainkan rebab ‘alat musik gesek tradisional yang dimainkan secara tegak dengan busur yang lebih lengkung dari biola’ dalam rekaman ini, menurut keterangan dari putranya, Nyoman Wisura188 yang juga seorang pemain rebab. Ia mengenali gaya khas dari Kaler terutama pada permulaan 02:20. Wayan Konolan dari Kayumas Kaja mengamati bahwa suling yang kian terdengar pada saat ini, ketika tabuh beralih menjadi gineman batél, adalah suling menengah yang berukuran di antara suling gambuh satu meter dan suling palégongan.189 Gineman adalah bagian improvisasi, permainan bebas tanpa persiapan (sebagai sebuah pengantar atau peralihan) dan batél mengiringi bagian perseteruan atau pertempuran yang menjelang datang. 186
Kelandis hanya mempunyai dua penari légong, Ni Polok dan Ni Luh Ciblun. Belakangan, sekaa Pura Jurit, Kelandis akan mengundang para penari légong Ni Cawan, Wayan Sadri dan condong Wayan Rindi, semua dari Lebah yang sangat berdekatan. 187 Percakapan dengan Wayan Pogog di Lebah 2003 188 Percakapan di Pemogan 2013 189 Percakapan 2003
80
Wayan Suweca menggambarkan gaya permainan kendang mendekati gaya permainan gambuh dan lebih sederhana dari krumpungan palégongan. Setelah Puputan Badung dan runtuhnya kekuasaan puri, perbendaharaan karya-karya gambuh berikut perangkat gamelannya dipindahkan ke Pedungan, di mana Kaler bermukim.190 Kaler melanjutkan ketertarikannya terhadap gambuh melalui penelitian di Batuan memasuki tahun 1950-an dan sebagai pengajar di Konservatori Karawitan (KOKAR) pada masa permulaan tahun 1960-an.
Pandangan Tentang Gamelan Gambang Danker Schaarman menulis:191 Gamelan gambang bernada tujuh yang biasanya disebut sebagai gambang terdiri dari dua pasang alat gamelan pukul berbilah perunggu (gangsa) yang memainkan melodi, dan empat buah alat gamelan berbilah bambu (gambang) yang memainkan pola-pola kembangan. Ini, setidaknya merupakan keadaan di Bali Timur; di Bali Selatan dan Utara umumnya hanya ada sepasang gangsa. Beberapa desa mempunyai orkes gambang dengan enam gambang, tapi ini merupakan sebuah perkecualian. Gangsa adalah alat gamelan dengan tujuh nada, bilah-bilahnya (dengan lubang penggema yang telah dipotong) terletak pada bantalan palem yang ditancapkan pada palung kayu dengan paku kayu atau besi. Satu pasang gangsa dengan titinada satu oktaf berbeda disebut lanang (laki-laki), dan dilaras sedikit lebih tinggi dari pasangan gangsa wadon (perempuan) untuk menciptakan ketukan-ketukan diantara keserentakan permainan… Setiap pasang gangsa dimainkan secara serempak oleh seorang penabuh dengan dua panggul dari kayu atau tanduk kerbau. Masing-masing alat gamelan gambang bernada tujuh mempunyai 14 bilah, disangga dengan tali kapuk di atas potong kayu yang juga mempunyai lubang penggema…Setiap gambang dimainkan oleh seorang penabuh dengan pemukul bergarpu dua yang mempunyai kepala kayu, menggunakan pemukul-pemukul tersebut secara bergantian…Sudut antara pemukul diatur sedemikian rupa sehingga suara yang dihasilkan hanyalah dalam rentangan oktaf-oktaf…Penting untuk dicatat bahwa tiga oktaf pertama dimainkan dengan tangan kiri, dan empat oktaf lainnya dengan tangan kanan, sehingga ini sangat mempengaruhi teknik-teknik kembangan. Secara prinsip, tabuh gambang adalah heptatonik. Ungkapannya dalam bahasa Bali adalah saih pitu (tujuh nada dalam satu oktaf). Namun, sebagian besar dari melodi-melodi gambang hanya menggunakan titinada dari lima
190
Ia juga tinggal di Pagan, bersebelahan dengan Kelandis. Untuk keterhubungan budaya dan kajian musikal yang lebih mendalam, pembaca disarankan membaca naskah Schaarman (1980: 466–482). Buku Wayan Sinti, Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali (dilengkapi dengan CD and DVD) adalah juga sumber informasi yang penting. 191
81
nada saja, walaupun ada beberapa melodi menggunakan enam atau tujuh nada dari nada-nada yang tersedia. Masing-masing nada dari keseluruhan tujun nada tersebut bisa menjadi nada dasar dari sebuah skala pentatonik… Tujuh titinada ini bisa juga dinyatakan dengan kata saih: saih dung, saih ding dan sebagainya. Secara teori, nada terendah dari sebuah kelompok tiga nada “tertutup” adalah nada yang menetapkan titinadanya. Walau ungkapanungkapan ini diketahui oleh para penabuh, para pemain gambang (setidaknya di Tatulingga)192 merujuknya dengan nama dari melodi yang biasanya dimainkan; sebagai contoh, semua melodi yang mengunakan titinada yang sama dengan melodi “Manukaba”…dikatakan sebagai saih “Manukaba.” Dalam naskah-naskah lontar, hanya melodi pokok yang dinotasi; tidak ada petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan irama atau kembangan. Dalam beberapa kasus, ada sebuah tanda silang yang dituliskan di atas sebuah nada melodi; ini menunjukkan pembalikan dari irama umum gangsa 5+3…Sehingga, 5+3+5+3+5+3 menjadi: 5+3+4+5+3+5. Ini hanya dilakukan bila satu bagian dari sebuah melodi terdiri dari nada-nada berjumlah ganjil atau tidak seimbang, yang disebut gasal; gasal biasanya menunjukkan jumlah suku kata ganjil dalam naskah, tetapi mengingat adanya keterkaitan erat antara tabuh gambang dengan naskah kidung (naskah-naskah kuna keagamaan yang dinyanyikan), hal ini bisa diterima dengan wajar. Pelbagai teknik kembangan dan gaya dari gambang diluaskan secara lisan, dan yang terjadi adalah banyak ansembel yang memiliki perbendaharaan irama gangsa 5+3 yang sama, ternyata mempunyai bentuk kembangan gambang yang sama sekali berbeda. Ini tak hanya terjadi antara satu desa dengan yang lainnya; bahkan di desa yang sama perubahan bisa terjadi setelah sekian masa berlalu. Toth (1975: 78) mencatat bahwa perubahan-perubahan semacam itu terjadi juga bahkan untuk irama gangsa. Akan tetapi, di luar dinamika tradisi lisan, kecenderungan, secara sadar atau tidak, untuk menciptakan atau mempertahankan gaya tabuh pada tingkatan desa agar berbeda dari desa-desa lainnya demi menciptakan atau mempertahankan sebuah ciri khas karawitan akan selalu muncul; fenomena ini serupa dengan apa yang bisa ditemukan dan terjadi dalam skena kebahasaan di Nugini (New Guinea), di mana desa-desa atau suku-suku secara sadar mengubah dialek atau bahasanya sehingga membuatnya berbeda dari desa atau suku lainnya. Fungsi, bentuk dan irama dari upacara sangat terkait, walau dalam upacara fungsi tabuh sama mutlaknya dengan irama dan bentuk. Tabuh gambang di Tatulingga (dan pada umumnya di Bali Timur) utamanya terbatas pada upacara-upacara di dalam atau yang berkaitan dengan pura-pura desa; dalam hal ini berbeda dengan Bali Selatan di mana gambang hampir secara khusus
192
Schaarman menggunakan Tatulingga sebagai sebuah nama samaran, menyesuaikannya dengan beberapa tulisan antropologi.
82
dimainkan upacara-upacara yang berkenaan dengan kematian. (cf Toth 1975: 66). Namun, dalam sebuah naskah lontar dari tahun Masehi 1925 terdapat catatan tentang dua sekaa gambang: sekaa gambang wayanan (“kelompok gambang lebih tua”) dan sekaa gambang nyomanan (“lebih muda”), yang pertama hanya bermain untuk upacara déwa yadnya (upacara untuk dewata dan leluhur), sedangkan yang kedua hanya untuk upacara pitra yadnya, upacara-upacara kematian. Di masa sekarang, hanya ada satu sekaa gambang di Tatulingga, namun masih terdapat dua perangkat gambang. Satunya disimpan di pura, dan digunakan untuk pelbagai upacara déwa yadnya, sedangkan satunya lagi disimpan di balé pasar ‘bangunan pasar’, di mana ansambel ini pentas pada saat upacara-upacara pitra yadnya. Kedua ansambel menggunakan pasangan gangsa yang sama dan disimpan di dalam pura, serta memerlukan persembahan sesajaen sebelum gangsagangsa ini keluar atau masuk pura bilamana telah dimainkan seusai sebuah upacara pembakaran jenazah atau upacara lain yang sejenis. Mengingat tabuh gambang sangat penting bagi upacara-upacara pura, pernyataan berikut hanya berhubungan dengan hal tersebut. Hampir semua upacara atau rentetannya memerlukan melodi, irama dan bentuk tabuh yang khusus. Kemudian, penempatan ansambel, pengaturan dari alat-alat gamelan, arah pada penabuh menghadap (ke laut, pengunungan, timur atau barat), sesajen yang diperlukan sebelum pentas, orang-orang yang membawa gamelan, dan lain-lain, semuanya bergantung kepada jenis upacara yang dilaksanakan. Gending (atau pupuh, puh) adalah kata yang mengacu kepada lagu umum dari gambang. Gending tersebut hanya digunakan pada saat berlangsungnya sebuah upacara, setiap melodi yang dimainkan berhubungan dengan sebuah bagian khusus dari upacara. Sehingga, sebagai contoh, gending “Sudamala” (“bebas dari durjana”) akan dipentaskan hanya pada saat pendeta desa menyiapkan air suci (tirta panglukatan); gending “Puja-parwata” (“penghormatan kepada pegunungan”) dimainkan ketika para tetua desa membebaskan dirinya dari kebatilan melalui doa, dupa dan air suci pada saat sebuah upacara pura; kemudian gending “Sidapuja” (“penghormatan berlangsung dengan baik, tulus”) mesti dimainkan setelahnya. Ketika serangkaian upacara telah dilaksanakan, tak seorang pun boleh kembali pulang sebelum orkes gambang memainkan lagu wajib, gending “Panjimarga”; pada setiap saat dan tempat, alunan melodi yang khas ini menandakan berakhirnya sebuah siklus upacara di Tatulingga. Teknik kembangan yang disebut oleh Schaarman disebut sebagi oncangan, sebuah kata yang menggambarkan pola-pola saling-kait yang kita dengar dalam karawitan Bali termasuk juga entakan-entakan petung bambu saat menumbuk bulir padi.
83
84
CD Trek #18 Manukaba dan #19 Jurangandanu: Gamelan Gambang Trek ini dan berikutnya merupakan sebuah misteri. Terdapat dua sisi piringan hitam 78 rpm dalam Colin McPhee Collection di UCLA Ethnomusicology Archive. Kata yang tercetak pada cakram hanyalah Decelith yang merupakan suatu jenis cakram berdiameter sepuluh inci yang digunakan untuk kepentingan rekaman di rumah dan studio, sama halnya dengan piranti cakram digital (CD) kosong di masa sekarang. Materialnya adalah gelatin, berbeda dengan shellac komersial yang digunakan untuk membuat piringan hitam Odeon dan Beka 78 rpm umumnya. Pada tahun 1930-an, sebuah jenis Decelith yang baru diperkenalkan kepada umum, mempunyai tas pembungkus plastik yang transparan dengan permukaan dari seluloid dan nampak sebagai sebuah cakram yang solid dan stabil “berguna di daerah tropis.” Cakram ini didaftarkan oleh Anderw Toth dalam catatannya193 sebagai [Tanpa nomor, belum diterbitkan]: (Gambang Kaba-Kaba) (1928), dan ia menyertakannya dalam kategori rekaman-rekaman oleh Odeon. Untuk judul masing-masing gubahan ia menulis untuk sisi A dan B sebagai “Tidak Dikenali.”
193
1980: 79
85
Kami tidak tahu bagaimana Toth bisa memastikan cakram tersebut adalah hasil rekaman Odeon dari tahun 1928, namun ia bisa saja mempunyai akses informasi yang lebih lengkap di awal tahun 1970-an, dibandingkan dengan akses yang kami (atau para pengarsip di UCLA) miliki sekarang. Ada kemungkinan Odeon tidak menerbitkan cakram ini karena seseorang (Walter Spies, Ida Boda atau para penabuh yang terlibat dalam rekaman) mengatakan bahwa permainan yang terekam tidak pantas untuk diterbitkan. McPhee mungkin meminta kepada Odeon agar dibuatkan sebuah cetakan personal. Namun kenapa Toth memikirkan bahwa tabuh tersebut adalah dari Kaba-kaba masih belum jelas. McPhee menulis tentang ansambel-ansambel gambang dari Blahbatuh dan Kerambitan, dan pernah menyebutkan mendengar sebuah gamelan gambang “di Kaba-kaba” (1966: 273, 289). Kami mengunjungi Puri Kaba-Kaba dan diberitahu bahwa Kaba-Kaba tidak pernah memiliki ansambel gambang, tetapi pihak puri selalu memanggil gambang dari desa-desa dalam kekuasaannya, seperti Tumbak Bayuh atau Dangin Uma. Para penabuh yang kami temui di Dangin Uma mengatakan kepada kami bawah mereka tidak pernah memilik gamelan gambang, tetapi di masa lalu mereka terkadang meminjamnya dari Tumbak Bayuh. Namun, penabuh gambang dari Tumbak Bayuh, Pan Suka alias Nyoman Mindra (1937-), Wayan Lura (1940–), dan Ketut Suendra memberi kami informasi yang berbeda. Kakek dari Nyoman Mindra pernah memberitahunya bahwa Dangin Uma pernah mempunyai sebuah ansambel gambang dan Pak Suendra, seorang pelaras gamelan, memang pernah melaras ulang sebuah set saron di desa tersebut. Para penabuh ini menduga bahwa mengingat keberadaan satu keluarga di Dangin Uma yang masih melestarikan saron, besar kemungkinan mereka mempunyai sebuah ansambel gambang di masa-masa sebelumnya.194 Ansambel gambang lainnya terdapat di daerah Mengwi dan bisa saja didengar di KabaKaba pada masa tahun 1920-an dan 1930-an.195 Pak Lura, Mindra dan Suendra mengenali bahwa gending menyerupai milik mereka pada permulaan setiap trek, namun memberitahu kami bahwa permainannya tidak menuruti standar yang berlaku. Tilman Seebass merekam enam puluh lima sekaa gamabng sedari tahun 1970-an, dan menyepakati bahwa permainan pada trek #18 dan #19 bermasalah. “Pelarasan dan permainan sangat berbeda antara rekaman shellac dan rekaman [oleh Seebass di Tumbak Bayuh] pada tahun 1972, di mana seseorang harus menganggap telah terjadi suatu perubahan besar di desa itu. Mengingat kita berdua mempunyai kesan akan sebuah tradisi yang kukuh dan kuat di Tumbak Bayuh, bagi saya tidak mungkin perubahan besar itu sempat terjadi.”196 Bisa dipahami bahwa gambang merupakan satu-satunya jenis tabuh upacara yang direkam pada tahun 1928, sesi rekamannya tidak dipersiapkan matang dengan sajen semestinya, dan karena secara keseluruhan asing dari konteks upacara, membuat para penabuh kehilangan pijakan dan sesi rekaman tersebut berlangsung tanpa pemberkatan yang patut. Tahun 1928 194
Percakapan (2009 dan 2014) Tilman Seebass, percakapan e-mail (2014) 196 Percakapan e-mail pribadi (2014) 195
86
hanya dua puluh tahun semenjak penjajahan Belanda berlangsung di Bali, dan bisa dimengerti bahwa pelibatan ahli-ahli suara dari Jerman yang bekerja di antara alat-alat musik sakral mereka membawa perasaan risih yang kemudian mempengaruhi kegagalan para penabuh untuk bermain sebagaimana mestinya. Kemudian, menyesuaikan dan mengatur sebuah tabuh upacara menjadi tiga menit ternyata merupakan sebuah tantangan yang begitu besar dibandingkan dengan apa yang diperkirakan pada awalnya. Para penabuh Tumbak Bayuh yang kami kunjungi mempunyai standar tinggi dalam mempelajari dan memainkan perbendaharaan gending-gending dan mereka mampu menunjukkan unsur-unsur yang keliru. Ketika saya memutar gending tahun 1928 kepada para penabuh, mereka berkomentar bahwa permainan gangsa sangat gasal atau ganjil, kemungkinan sang penabuh sedang “paling” ‘bingung’ dan tegang akibat sesi rekaman. Saya menyarankan kepada mereka bahwa ada kemungkinan kecil sang pemain gangsa sedang mendengar alunan kidung di benaknya, nyanyian yang pada masa sebelumnya dinyanyikan bersamaan dengan permainan gambang. Para penabuh ini, memasuki usia 60-an dan 70-an tahun, sama sekali tidak tahu bahwa gambang pernah dipentaskan dengan kidung, tetapi merka masih belum mempercayainya. Menariknya, penyimpangan dari 5 + 3 terjadi pada momen yang hampir mirip pada masing-masing gending yang berdurasi tiga menit itu, kira-kira pada 00:48 atau 00:50. Kemudian, pada kedua trek, gangsa menjadi lebih bebas pada 01:08 (01:17 pada satu trek dan 01:27 pada trek lainnya), dan trek #19 kembali pada frasa gangsai yang bebas pada 02:20. Rentetan melodi yang bebas dimainkan oleh gangsa pada 01:15 dan diulangi pada 02:07, menunjukkan maksud yang sama atau hanya penyimpangan yang tak direncanakan dari pengungkapan 5 + 3 dari gending. Mungkin seseorang pernah meminta para penabuh untuk memainkan Manukaba seolah seorang penyanyi kidung ada di tengah mereka seperti di masa lalu; dan ini sudah merupakan capaian yang berlebihan bagi gangsa tanpa kehadiran lantuan lagu. Tetapi, dugaan semacam ini terutama seabad setelah kejadian tidak sepenuhnya mendasar. Kawitan gending sangatlah singkat dan tidak bersambung dengan bagian ngoncang. Pak Suendra menyarankan bahwa penyingkatan kawitan tidak berhasil dan seharusnya para penabuh masa itu tetap memainkannya selama tiga menit samapi usai. Pada 01:24 bisa didengar bahwa gambang berakhir secara bersamaan, kemudian sebuah melodi baru dari gangsa dan frasa oncangan pun dimulai. Permainan gambang pun tidak diatur menjelang akhir, Para penabuh Tumbak Bayuh tidak akan mengatakan “salah” atau “jelek”, namun “kurang pas” atau lebih halus “kurang nyambung.” Ketika memulai, pukulan panggul tidak serempak, “malu-malu” atau “hilang”. Walau mereka menyangkal ada yang salah, penulis sempat mendengar ungkapan “iwang” dalam bahasa Bali yang berarti “salah” dalam bahasa Indonesia.197 Ungkapan lain yang mereka pakai untuk kedua trek adalah “terlalu banyak variasi” dan gending “tidak lanjut.” 197
Ini mengingatkan saya akan suatu petang di tahun 1980 ketika saya menemukan seekor serangga di kamar. Walau saya curiga bahwa serangga tersebut adalah kalajengking, tuan rumah saya bersikeras bahwa serangga itu bukanlah kalajengking, tetapi seekor teledu. Keesokan harinya, saya memeriksa kamus bahasa Bali saya dan mendapatkan bahwa kedua kata berarti kalajengking.
87
Dalam setiap kesempatan, mereka mengenali trek #18 sebagai Manukaba dan trek #19 sebagai Jurangandanu. Wayan Lura menjelaskan bahwa di Tumbak Bayuh, mereka tidak menyebut permainan gambang Manukaba sebagai gending atau pupuh, sebuah pengistilahan yang mereka kaitkan sebagai menyanyi. Mereka menggunakan istilah tabuh Manukaba, yang mengungkap adanya aksi memukul alat-alat gamelan. I Wayan Sinti mengenali trek #19 sebagai pupuh Labda yang menggunakan saih Panji Marga.198 Di masa lalu, gamelan gambang di Tumbak Bayuh hanya digunakan dalam upakara ngabén dan plebon, dan upacara-upacara yang berkaitan dengan kematian.199 Kini mereka memainkannya dalam pelbagai upacara-upacara selain ngabén dan odalan, selama ada petunjuk spiritual dari seorang pedanda, lontar, atau pesan gaib ‘tedun’ yang disampaikan melalui seseorang yang mengalami kerauhan, di mana semuanya memerintahkan agar gambang dimainkan. Menurut para penabuhnya, ini bisa termasuk manusa yadnya seperti pernikahan, atau bahkan bhuta yadnya ‘persembahan atau korban suci untuk membersihkan alam beserta isinya dan memelihara kekuatan-kekuatan dan mahluk-mahluk alam gaib’. Pak Lura menjelaskan bahwa ketika tabuh telah diingat, para penabuh bisa bermain sambil memperhatikan suasana sekelilingnya, tersenyum kepada orang-orang, dan sepenuhnya dalam keadaan sadar.
198 199
Percakapan 2009 Kata upacara (bahasa Indonesia) sering dipertukarkan dengan kata upakara (bahasa Bali).
88
Gambang Warisan Peturunan, Pura Kawitan Kelaci CD Trek # 20 Demung Para Penabuh: Kawitan (warga) Kelaci Banjar Sebudi, Tanjung Bungkak Asal muasal penyungsung Pura Kawitan Kelaci adalah Arya200 Sentong di kerajaan Gelgel pada masa abad ke-16 saat kekuasaan Dalem Segening. Diceritakan di Gelgel, Raja Segening akan melaksanakan upakara maligia (tingkat tertinggi dalam proses plebon ‘upacara kematian). Pada saat persiapan sedang berlangsung, dari langit muncul suara bergemuruh yang mengatakan bahwa agar upacara berlangsung sempurna, Dalem Segening mesti bercermin kepada tutur ‘ajaran’ Kebo Anglelatik. Lalu ia mengutus Arya Sentong mencari tutur tersebut. Sepanjang perjalanannya Arya Sentong tiba di berbagai daerah dan pura yang tenget ‘angker, diliputi aura gaib’ dan pada akhirnya tiba di Pura Dalem Kayangan ‘pura
200
Arya adalah julukan untuk para bangsawan yang datang ke Bali semasa zaman Majapahit.” (Weiner 1995: 373).
89
kematian’ di Tanjung Bungkak. Di sana ia makaul ‘bernazar’ bila dewa yang malinggih ‘berstana’ di pura tersebut mengabulkan permohonannya akan ajaran Kebo Anglelatik, Sentong akan memperbaiki dasar dan bangunan pura, dan setelah itu melaksanakan sebuah upacara besar. Tak berselang lama, dewa bergelar Gagak Ora menampakkan diri di pura dan memberi Sentong sebuah lontar berisi tutur dari Kebo Anglelatik. Lontar tersebut memuat petunjuk bahwa upakara Maligia mesti diiringi oleh alunan gending gambang dan saron. Ini akan memastikan upakara berjalan sesuai harapan dan rencana. Para leluhur akhirnya bisa mencapai alam surga dan keberhasilan Sentong dirayakan, dan ia menjadi kesayangan Raja Segening. Setelah upakara berlalu, Sentong menepati janjinya untuk memperbaiki Pura Tanjung Bungkak. Seusai pemugaran, sebuah upacara pembersihan dan penyucian dilakukan oleh Pedanda Sakti Bajangan (dari garis keturunan Dang Hyang Nirartha). Saat puncak acara, istri Arya Sentong yang bernama Gusti Ayu Ceraki melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama I Gusti Kelaci. Sejak itu garis keturunan Kelaci dimulai, setiap generasi diberi nama Kelaci yang berasal dati kata kala 'waktu' dan aci 'upacara'. Dan nama untuk tempatnya diberi nama Banjar Sebudi 'keikhlasan hati, kesucian budi'.201 Walau Gambang Warisan Peturunan, Pura Kawitan Kelaci telah selama berabad-abad mengiringi berbagai upacara pitra yadnya 'upacara yang berkaitan dengan kematian', gamelan ini lebih sering dipentaskan untuk mengiringi upacara déwa yadnya pada saat odalan 'festival pura' yang berulang setiap 210 hari. Selama tiga hari dan tiga malam pada saat odalan, alat-alat musik gambang dikeluarkan dan diturunkan dari gedong 'ruang penyimpanan khusus' di pura. Hal ini menyebabkan waktu latihan yang ketat dan sibuk terutama bagi anggota kawitan yang berusia muda (di masa sekarang, remaja dari kedua jenis kelamin) untuk mempelajari perbendaharaan gendingnya. Mereka menggunakan istilah warga dan kawitan dibandingkan dadia untuk menjelaskan garis keturunan keluarga. Biaya sesajen yang cukup besar adalah alasan mengapa tidak ada latihan-latihan di luar konteks odalan Perbendaharaan gendingnya termasuk Manukaba, Wargasari, Singhanalang dan terkadang, Demung. Keempat gambang dipimpin oleh sebuah gangsa, seperti yang bisa dilihat dalam film tahun 1930-an oleh Colin McPhee.202 Pada tahun 2003, kami mengunjungi salah seorang penabuh berusia 100 tahun bernama I Wayan Pegeg yang turut serta dalam rekaman gambang pada tahun 1928. Ditemani putranya I Made Kabeh yang juga seorang penabuh, Pak Pegeg yang sudah buta dan tentunya tuli, mengenakan alat dengar profesional kami, menyimak rekaman. Ketika putranya memanggilnya, apané? ‘apa ini?’, Pegeg menjawab lantang, “Demung!”
201
Kisah ini diungkap pada tahun 2013 oleh Ketut Kodi yang menggunakannya dalam pementasanpementasan topengnya. Catatan sejarah ini masih terkenal di Banjar Sebudi. 202 Saluran YouTube Bali1928.net
90
Made Kabeh memberi informasi tambahan dan dalam kunjungan berikutnya di tahun 2013 yang melibatkan diskusi dengan anggota keluarga lainnya, kami berhasil mengenali Wayan Pegeg dalam foto Colin McPhee berkat bantuan seorang wanita tua yang mengenalinya tanpa keraguan, dari ikatan udengnya yang begitu khas. Keempat gambang disebut sesuai tingkat pelarasannya, pamenang ‘pemimpin’, pamero, cakat, dan pametit. Para penabuh Kawitan Pura Kelaci menggunakan istilah-istilah yang sama kecuali gambang terbesar disebut pangéntér. Rekaman Demung ini sudah dimulai dengan nyading dan pada 00:11 berubah menjadi permainan yang kerap disebut sebagai ngoncang ‘pola saling-kait’, namun kini (oleh para penabuh di Pura Kawitan Kelaci) disebut sebagai sebuah bait dari lagu. Permainan tersebut diikuti pada 01:09 oleh nyading (dari cading) dengan penekanan yang keras pada setiap ketukan dari gambang. Dalam pembawaan umumnya dari tabuh gambang (di luar versi pendek tiga menit dalam rekaman), mereka silih berganti memainkan pola-pola ngoncang dan nyading sepanjang gending, sebagai contoh dalam Manukaba, bisa berlangsung selama sepuluh menit. Biasanya, pola-pola cading dimainkan menjelang gending usai, dengan dua bagian saling sahut-menyahut. Teknik ini ditambah oncangan yang terkesan kuna menjadi suatu kekhasan yang menempatkan gaya ini menjadi cukup unik.203 Bagian akhir yang tamat secara tiba-tiba adalah juga gaya mereka.
203
Percakapan e-mail dengan Danker Schaareman dan Tilman Seebass (2013)
91
92
93
94
95
Pandangan Tentang Gandrung dan Jogéd Gamelan pajogédan (gandrung) menonjolkan sekumpulan rindik ‘xilofon bambu berbilah datar’ yang masing-masing disangga di atas tabung suara dari bambu dan dimainkan dengan dua pemukul dari kayu. Gandrung dan jogéd adalah kesenian tradional Bali yang paling mendekati jenis tari pergaulan dan tumbuh-kembang di seluruh Bali.204 Walau secara umum dipandang sebagai hiburan, kedua jenis kesenian bisa mempunyai peran yang berhubungan dengan déwa yadnya ‘upacara-upacara yang ditujukan kepada dewata dan leluhur’ dan sesekali untuk upacara keagamaan lainnya. Gandrung adalah sebuah tari laki-laki (jogéd adalah padanan untuk tari perempuannya) yang berhubungan dengan bentuk légong yang resmi dan pementasannya di masa lalu sampai sekarang mungkin dimulai dengan pementasan singkat dari perbendaharaan tari légong, terkadang melibatkan dua atau tiga penari. Tetapi bagian yang paling memuaskan penonton dan khas adalah selalu bagian-bagian ngibing ‘berpasangan’ di mana penonton diundang untuk menari (dan saling-goda) dengan sang penari.205 Jogéd bumbung, sebuah tarian yang hanya ditarikan oleh perempuan adalah jenis tarian yang kini paling umum dikaitkan dengan ngibing dan gamelan bambu (menggunakan tabung bambu bulat dan utuh yang dilaras sesuai saih gendér wayang, sebuah pelarasan yang belakangan ini dikenal sebagai sléndro), tetapi sebagaimana yang akan kita bahas nanti, sejarah masing-masing istilah sangat berbeda. I Made Sarin (1918-2012), penari gandrung di Ketapian Kelod, Denpasar, dalam berbagai kesempatan mengartikan gandrung sebagai tergila-gila, cinta, gila cinta dan rindu.206 Kata gandrung sendiri mengungkap daya tarik erotis dari tarian. Sebuah kamus bahasa Bali mengartikan gandrungan sebagai “lelaki yang tergila-gila dengan lelaki lainnya.”207 Penabuh asal Ketapian, I Wayan Kanda (1935-) mendengar di masa lalu bahwa saat Made Sarin masih muda, seorang pria yang memandang dan memperhatikannya dari kejauhan mengira ia seorang gadis belia nan cantik dan pria tersebut dimabuk asmara dan jatuh cinta. Setelah sebuah pementasan, setidaknya sepuluh pria akan tetap tinggal di desa, paling tidak selama tiga hari untuk mengunjungi Sarin dan mengobrol dengannya, hanya untuk berada di dekatnya, tidur di balé banjar di seberang rumah Sarin.208 Di masa pra-tahun 1940-an Bali, gamelan pajogédan sama dengan gamelan gandrung, kecuali satunya mengiringi seorang jogéd perempuan sedangkan satunya lagi mengiringi seorang bocah laki-laki yang didandani dan pentas sebagai perempuan. Jogéd dari masa lampau dikenal di masa sekarang sebagai jogéd pingitan atau jogéd pingit, yang dibedakan dari jogéd bumbung.209 Banyak ilmuwan seni masa kini menempatkan dan menjelaskan
204
Tarian lain dari jenis ini adalah léko dan adar. Léko masih berkembang baik di banyak daerah, termasuk Tabanan (Pan Suka dari Tumbak Bayu, percakapan 2014). 205 Ibing mengacu kepada penari-relawan pria dari kelompok penonton. 206 Percakapan (2003, 2006, 2009) 207 Sukayana (2008: 247) 208 Percakapan dengan Wayan Kanda (2014) 209 Jogéd bumbung sering dalam pelarasan saih gendér wayang, tetapi pelarasan di Jembrana, Bali Barat, lebih sering dalam saih gong (pélog). Kreasi I Nyoman Rembang dari Sesetan dan KOKAR juga memakai sebuah versi pélog. Tabuh Jogéd Bumbung tidak dihasilkan dari memukul rindik ‘bilah-bilah bambu, cenderung datar dan sedikit melengkung, namun dari permainan tabung-tabung bambu berbentuk bulat yang
96
pingitan dalam cara yang berbeda-beda. Bandem dan deBoer menulis: “Pingit berarti ‘rahasia’ atau ‘terpilih’ dan pada mulanya para penari Jogéd hanya dari kalangan bangsawan. Belakangan ini, karena keterhubungannya dengan hiasan kepala yang sakral, Jogéd mendapat makna tautan sebagai sesuatu yang suci atau sakral.”210 Nyoman Suarka lebih lanjut menyarankan bahwa jogéd pingitan merujuk kepada para penari yang terpilih oleh betara ‘dewata’ untuk melaksanakan sebuah persembahan keagamaan yang terbatas pada menarikan sebuah tarian sakral.211 Menurut I Gusti Nyoman Wirata dan Mangku Pura Puseh Luhur Bedha (Wayan Putra), pingit berarti “dalam lingkup khas sebuah upacara atau pura.”212 Dengan keunikannya masing-masing, semua pemaknaan akur dengan arti yang diberikan oleh kamus bahasa Bali213 sebagai ‘terpisah, terlarang’ termasuk juga ‘rahasia’. Tentunya, gelungan ‘hiasan kepala’ yang digunakan para pementas jogéd pingitan rutin dipelaspas dan di-pasupati ‘diberkati dengan kekuatan alam gaib’ dan disimpan di sebuah pura. Ini juga berlaku untuk gelungan dari berbagai jenis tarian (setidaknya disimpan di sanggah atau merajan keluarga), termasuk juga gelungan gandrung disimpan di pura Banjar Ketapian Kelod. Baik gandrung maupun jogéd menonjolkan ganderangan, tarian terakhir dan tontonan utama di mana penonton boleh menari secara bergiliran dengan jogéd atau gandrung. Umumnya dalam jogéd, sang penarilah yang memilih pasangan menarinya dari salah seorang dari penonton. Dalam gandrung masa awal, para lelaki tidak perlu dibujuk oleh sang penari, tetapi malah banyak lelaki akan tergesa-gesa mendekati bocah laki-laki yang sedang menari dan bahkan mengganggu dan menyela relawan sebelumnya yang sedang ngibing dengan sang gandrung. Ngibing memberi kesempatan untuk menari sangat dekat dengan sang gandrung atau jogéd dan ngipuk ‘menggoda’, ‘merayu’ atau ‘bercumbu’.214 Tujuan utama dari tarian itu sendiri adalah aras-arasan ‘berciuman’ di mana para penari mendekatkan wajah mereka tanpa sampai bersentuhan bibir, seolah menghirup aroma wangi masing-masing dengan gerakan kepala yang berkelok-kelok. Ini juga terjadi antara dua penari légong dalam cerita Lasem, atau dalam beberapa dramatari lainnya, tetapi seperti yang bisa dilihat dalam film McPhee, seorang penari gandrung tidak akan mengijinkannya sampai titik tersebut. De Zoete dan Spies menulis (1938/2002: 242–243): Sebuah kekhasan Djoged yang membedakannya dengan tarian Bali lainnya adalah siapa pun dari penonton boleh memasuki panggung dan menari dengan sang penari, setelah ia (perempuan), atau dalam wujud Gandroeng, ia (laki-laki) telah menyelesaikan tarian Légong tunggal. Para wanita, tua maupun muda, para pria, dan juga bocah laki-laki boleh mengambil giliran, sering disebut sebagai grantang (juga disangga secara mendatar dan masing-masing alat gamelan ini dimainkan dengan dua panggul kayu). 210 1981: 90 211 Naskah disajikan dalam sebuah kesempatan seminar oleh Listibiya (2014). 212 Percakapan di Pura Bedha 2015. I Gusti Nyoman Wirata (1942–) adalah Penyarikan Désa Pakraman Bedha (Tabanan), sekretaris, dan sejarawan setempat, terutama yang berkaitan kesejerahan kuna Pura Bedha dan jogéd. 213 Yayasan Pustaka Nusantara (2008: 538) 214 Pangipuk adalah koreografi yang menggambarkan suasana percumbuan, terdapat dalam setiap jenis seni tari dan juga wayang.
97
dan menari bebas sesuai kepribadian mereka masing-masing asal dalam batasan gaya yang ditunjukkan oleh sang ngibing, biasanya diperagakan dengan jelas, namun kemudian bisa menjadi pandangan air muka yang penuh gurau atau bersungguh-sungguh, tergantung kepada kepribadian atau bakat dari penari ngibing. Adakalanya tarian dengan sengaja dibawakan dengan aneh dan penuh lelucon. Para penonton tak akan menanti lama untuk meluapkan isi hati mereka, tetapi sang gandroeng atau djoged akan mempertahankan wajah datar, dan tetap menari dengan sabar bersama semuanya. Kita tak perlu lagi menjelaskan tarian Légong tunggal yang berkelebat lincah bagai burung, mengepak kipas dengan cepat, menggetarkan jemari dengan kencang, menyamping dengan luwes dan bergetar tanpa henti, menekuk dan melentingkan tubuh bersamaan bagaikan pegas, ditimpali gerakan tangan yang mempesona… Terkait ibing, mereka lanjut menulis: Sang penari pada mulanya berdiri dengan lengan kiri dibentangkan ke depan, pergelangan tangan menyiku ke atas dengan tegas, seperti kepala ular, sementara dari belakangnya, sang penari memandang tajam ke arah sang djoged, seolah memberi penilaian kepada sang djoged, bahunya diangkat tinggi, kepalanya disentak ringan, pinggulnya bergoyang ulangaling. Kepala bergerak juga dari sisi ke sisi, seperti pendulum, mengikuti ketukan tabuh. Ia melangkah hati-hati, menjinjing ujung sapoet (kain tradisional) di hadapannya dengan tangan kanan, seolah sebuah perisai. Ini kemudian diikuti serangkaian gerak langkah menyamping yang cepat, selalu dengan lutut tertekuk, sambil menyusun pola-pola gerakan tangan, dengan sorot mata naik-turun mencuri pandang, berhenti tiba-tiba, menggertak maju dan mundur. Sebuah posisi diagonal yang menarik muncul, dengan kedua lengan ditegangkan ke bawah yang disebut ogoh-ogoh, seperti boneka pengusir burung di persawahan.215 Peneliti asal Belanda Van Eck dalam tulisannya di tahun 1880 menjelaskan keberadaan para penari masa itu (dan dikutip dalam Bandem-deBoer 1981:87) sebagai: Seusai perhelatan sabung ayam jantan, selalu ada kesempatan untuk mengadu untung dalam permainan kartu atau dadu. Dan dalam kesempatankesempatan ini, para gadis atau joged tongkohan selalu berduyun-duyun hadir, diutus keluar oleh tuannya – para pangeran dan tokoh masyarakat – dengan satu tujuan yaitu untuk menolong para lelaki, dewasa dan remaja, membawa sisa uang kepeng mereka pulang. Keriangan utama yang terjadi
215
Ogoh-ogoh, di samping asal-usulnya yang berhubungan dengan pertanian, ogoh-ogoh juga di pentaskan pada saat plebon ‘prosesi pembakaran jenazah’ dan, sejak tahun 1980-an, dikemas ulang sebagai sebuah prosesi gegap-gempita yang diiringi balaganjur (untuk mengusir bhuta kala dari lingkungan desa) pada saat Pangrupukan, malam sebelum Nyepi, pergantian tahun Saka dan hari keheningan. Umumnya, ogoh-ogoh berwujud seperti Rangda atau raksasa, atau kreasi-kreasi menyeramkan lainnya.
98
kemudian, dalam adat setempat, adalah ngigel (menari) selama beberapa menit dengan salah seorang joged tongkohan (disebut ronggeng di Jawa). Di saat itu, kebebasan lain pun merebak…Setelah tarian usai, penari pria memisahkan dirinya dan duduk di antara para penonton lainnya; sang gadis mengikutinya untuk menerima bayaran, biasanya lima sampai enam kepeng Bali, dan untuk jumlah sekecil itu, si gadis mesti duduk dalam pangkuan penari laki-laki dan teman-temannya serta menerima belaian dan cumbuan para lelaki tersebut. Sebuah pemandangan yang memuakkan muncul di mana si gadis sepanjang malam ditarik kesana-kemari dan terus-menerus dihujani ciuman dan pelukan hangat maupun erat oleh para lelaki, tua maupun muda, tanpa diizinkan menolak.216 Bandem dan deBoer217 lanjut mengungkap: Jacobs, seorang doktor medis dari Belanda yang ditugaskan ke Bali pada tahun 1881…melaporkan bahwa sebagai tamu resmi dari seorang pangeran Bali, ia untuk pertama kalinya menemukan, penuh keterkejutan, bahwa para penari Jogéd berlengah-lengah, berdiam diri seusai pementasan untuk memastikan apakah hiburan lain yang lebih intim diperlukan atau tidak. Para penari ‘hak-milik’ ini tampaknya tak perlu lagi mementaskan permainan ngibing kepada penontonnya. Pada masa pra-kolonial, joged pingitan dipentaskan di dalam lingkup puri diiringi oleh gamelan Semar Pagulingan yang memakai gendér berbilah 14, namun pajogedan berbilah bambu pun bisa dipakai dalam suasana ini. Di luar kerajaan, jogéd diiringi oleh pajogédan bambu. Pelarasan selisir untuk pajogédan dan gandrung adalah saih gong ‘mirip gamelan gong’ dengan rangkaian jarak nada atau skala yang di masa kini disebut “pelog.” Tim penelitian kami mengunjungi I Made Sarin dalam berbagai kesempatan di kediamannya di Ketapian Kelod. Ia memberikan beragam pandangan dan wawasan. Gamelan dari Banjar Pagan yang direkam pada tahun 1928 dibentuk dan diajar dari tahun 1920-an sampai memasuki tahun1930-an oleh Nyoman Kaler, sama halnya dengan gamelan di Ketapian Kelod yang berdekatan. Kaler merupakan seorang guru légong terkenal dan pencipta berbagai perbendaharaan tari dan tabuh kebyar. Pagan tidak pernah memiliki penari-penari jogéd, namun sekaa mengiringi Made Sarin dan lebih sering lagi mengiringi murid Kaler yang bernama Wayan Rindi (1916-1975) dari Banjar Lebah yang juga berdekatan. Menurut Sarin, Kaler mengajarkan gending yang sama di kedua desa. Sebuah gamelan gandrung lain terdapat di Tegallingah, Pemedilan (Denpasar) tetapi mereka juga akan memakai Rindi sebagai penarinya. Kaler juga mengajar beberapa murid lain di Ketapian, namun yang kemudian pentas secara umum adalah Made Sarin.218 216
Van Eck 1880: 9 (2): 14 Bandem dan deBoer 1981: 88 218 Seperti disampaikan sebelumnya, Kaler juga mengajar légong pelayon condong kepada salah seorang teman laki-laki Sarin yang bernama Wayan Sampih; penari yang terkenal karena kemahirannya menari Igel Jongkok ‘Kebyar Duduk’. 217
99
Menurut I Wayan Cekug,219 sekaa gandrung dari Ketapian sudah terbentuk sekitar tahun 1896. Para penari angkatan pertama adalah Pekak Kerta dan Pan Regeg. Generasi selanjutnya di tahun 1920-an termasuk I Regeg, I Urip dan Pan Kerta. Generasi ketiga di tahun 1930-an adalah I Made Kerta, I Wayan Regug dan Made Sarin. Generasi tahun 1940an adalah para penari wanita Ni Liah, Ni Rasmen, Ni Rasmon dan Ni Seken. Sarin memberitahu kami bahwa ia telah menarikan gandrung pada usia sembilan tahun (sekitar tahun 1927), dan rekan menarinya adalah Wayan Rindi. Menurut Pak Sarin, Pagan mendahului Ketapian dalam bidang gandrung, tetapi jenis tarian tersebut tidak bertahan dan tidak berlangsung lama, sama halnya di Ketapian. Ini, menurut Sarin disebabkan oleh fungsi sakral dari tarian dalam lingkup masyarakat setempat. Gandrung masih dipentaskan secara berkala sebagai persembahan dalam odalan di pura banjar yang dirayakan pada saat Tumpek Wayang, dan terkadang pada upacaraupacara berkaitan seperti pada saat bawos ‘permintaan’ Ida Betara yang disungsung dan makayunan masolah ‘berkehendak menari’. Permintaan ini disampaikan melalui seorang anggota pendukung pura yang mengalami kerauhan atau pemuus ‘kerasukan’ kekuatan Sang Hyang Ida Betara yang menyusun ‘turun dari langit’. Pada saat puncak odalan, para anggota pendukung pura bisa mengalami kerauhan, termasuk pula anak-anak muda yang dilatih sebagai gandrung. Kerauhan adalah sebuah fenomena saat seseorang diambil alih dan dikendalikan kemampuannya secara tidak sadar, diberkahi oleh dewata atau kekuatan gaib, dan bisa menghasilkan pelbagai tari singkat yang dilakukan secara tidak sadar. Gelungan yang telah dimohonkan dan diberkati tenaga gaib dipersiapkan dan disediakan untuk memenuhi permintaan dewata tersebut. Bila Ida Betara makayunan masolah, khususnya gandrung, sebuah pementasan dengan gamelan akan dilakukan keesokan hari setelah puncak odalan, atau disebut manis odalan, dan dilangsungkan di jaba pura ‘area terbuka di luar pura’ yang kebetulan juga terletak di depan balé banjar. Mengenakan sebuah gelungan ‘hiasan kepala’ yang telah menerima kekuatan mlaspas dan pasupati, seorang penari gandrung sering tidak sepenuhnya dalam kuasa kerauhan, namun juga tidak sepenuhnya sadar. Umumnya, pada akhir pementasan dan ketika gamelan berhenti bermain, gandrung akan mengalami kerauhan dan akan dibopong kembali ke pura untuk menerima percikan tirta ‘air suci’ dari seorang pamangku.220 Pada umumnya, ini adalah kekinian fungsi sakral dari gandrung, tetapi di masa lalu, gandrung biasanya adalah jenis tari yang dipentaskan sebagai ngupah, yaitu ketika suatu keluarga mengundang gandrung sebagai tari persembahan dalam upacara membayar kaul ketika doa dan pengharapan keluarga tersebut, semisalnya kesembuhan atau dikaruniai keturunan, terkabulkan.221 Di masa kemajuan dunia medis sekarang, praktik ngupah menjadi berkurang, sehingga menurunkan keterhubungan sakral dari gandrung dan beberapa jenis kesenian lainnya seperti barong dan Rangda dengan pelbagai jauk dan 219
Menurut informasi dalam Tugas Akhir oleh Suarya 1974 : 15. Wayan Cekug adalah klian Banjar Ketapian Kelod dan sekaa gandrung. Suarya memberi nama dari salah seorang penari sebagai Rasmin, namun kemudian diperbaiki oleh Ketut Wadja sebagai Rasmen (percakapan 2015). 220 Menurut Dé Ama, seorang penari gandrung dan cicit-keponakan dari Made Sarin (percakapan 2015) 221 Percakapan dengan penabuh gandrung I Ketut Wadja di Ketapian (2015)
100
sandaran (telék). Masangih ‘upacara potong-gigi’ merupakan kesempatan lain bagi tertampilnya pementasan gandrung di masa lalu.222 Di samping perannya dalam upacara keagamaan, gandrung juga dipentaskan sebagai balihbalihan ‘hiburan’ dalam berbagai kesempatan.223 Di masa lalu, nglawang merupakan sebuah ajan pementasan gandrung dan tarian lainnya seperti barong, sering kali, berlangsung selama sebulan mengikuti rangkaian sepuluh-hari penuh perayaan antara Galungan dan Kuningan yang berulang setiap 210 hari. Nglawang ‘dari pintu ke pintu’ melibatkan berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya, pentas sepanjang perjalanan demi imbalan uang sukarela dari para penontonnya. Sekaa gandrung dari Ketapian akan nglawang, mengelilingi area yang cukup luas termasuk Sanur. Mereka pentas di hotelhotel, terutama di Sanur semasa tahun 1970-an.224 Bahkan dalam suasana pementasan yang sepenuhnya sekuler dan tanpa mengenakan gelungan suci, seorang penari gandrung bisa mengalami kerauhan bila sudah menjadi kehendak Ida Betara atau kekuatan alam.225 Di tengah fungsi yang beragam ini, gandrung selalu menunjukkan berbagai cara nganutin ‘mematuhi’ désa kala patra ‘tempat-waktu-situasi’. Gandrung masih dipentaskan oleh bocah laki-laki sampai akhir tahun 1942. Semasa pendudukan Jepang saat Perang Dunia II, gandrung mulai ditarikan oleh para gadis, dan jogéd bungbung pun berubah dari tarian upacara menjadi hiburan yang merangsang, utamanya untuk wisatawan, seperti yang kita ketahui sekarang. Made Sarin menjelaskan bahwa tentara Jepang lebih tertarik dengan kecantikan wanita dan para pimpinan tentara Jepang bersiteguh bahwa penari bocah laki-laki yang seksi merusak moral pasukannya, sehingga jogéd dirayakan dan gandrung laki-laki dihindari. Wayan Rindi adalah seorang seniman yang unik dan dikenal sebagai salah seorang dari sedikit penari condong légong pria, pentas bersama Ni Nyoman Sadri and Ni Luh Cawan sebagai Légong Kelandis dan Légong Lebah. Keponakan dan muridnya, Ni Ketut Arini (1941-) membeberkan sedikit latar belakang kehidupan Rindi.226 Sebelum ada légong di rumahnya di Banjar Lebah, ia belajar dengan Kaler di Kelandis dan Ida Boda dari Kaliungu (aslinya dari Batuan, Sukawati) yang juga adalah guru dari Kaler. Rindi belajar gandrung di Pemedilan dengan I Nyoman Dendi, seorang penari, guru dan pemimpin pelbagai perhelatan seni. Rindi sebelumnya telah mempelajari nandir, prekursor laki-laki dari légong bersama Gusti Bagus Jelantik (dari Puri Saba) di Puri Blahbatuh. Guru-guru lainnya termasuk Anak Agung Rai Perit dan Déwa Putu Belacing di Sukawati. Rindi juga mengambil peran sebagai seorang pajangan ‘peraga’, terkadang dalam busana tari légong pada saat upacara perayaan panen. Praktik ini berlanjut sampai masa sekarang dalam upacara pernikahan, tetapi kini pajangannya selalu perempuan. Rindi dikatakan sangat jegég ‘cantik’, sehingga duduk saja sudah membawa kesenangan dan keriangan kepada orang lain.
222
Percakapan dengan Wayan Kanda 2014 Pengelompokan resmi pada tahun 1972 oleh Listibiya menggunakan istilah balih-balihan. 224 I Ketut Wadja 2015 225 Percakapan dengan Dé Ama 2014 226 Percakapan 2006 223
101
Putra Rindi bernama I Made Netra (1950-2007) menjelaskan bahwa ketika Rindi muda sedang bersiap meninggalkan rumahnya untuk pentas gandrung, sekelompok lelaki dari desa tuan rumah akan berkerumun dan menantinya di luar gerbang rumahnya. Mereka tak akan membiarkan kaki Rindi menyentuh tanah di luar rumah. Namun, Rindi memberitahu putranya bahwa ketika kelompok itu membawanya ke tempat upacara dan pementasan, ia merasa aneh dan tak nyaman kerena para lelaki akan saling dorong dan saling pukul agar bisa mendekati tokoh sanjungan mereka, serta untuk dapat menyentuh dan membelainya.227 Memang, jogéd dan padanan lakinya, pada masa kekuasaan raja-raja Bali, dihubungkan dengan hiburan erotis yang kerap berlanjut kepada pemenuhan kenikmatan seksual kepada para tamu dari seorang raja atau anggota dari kelompok yang lebih umum di luar lingkup puri. Struktur musikal dan tema dari pelbagai gubahan gandrung adalah (dan berlanjut sampai taraf tertentu) berhubungan dengan légong: Jobog, Lasem, Kupu-kupu Tarum, Candra Kanita, dan gandrung penyalonarangan ‘selingan pada Calonarang’ seperti penyihir dalam cerita Girah atau Semarandana, yang juga memasukkan topéng Rangda sebagai betara Siwa.228 Tetapi gaya tarinya mencerminkan mutu dan teknik khusus dari gamelan gandrung, mengingat semua gamelan memiliki keunikan gaya dan cara permainan. Seperti yang telah disampaikan penabuh Made Arnawa, perasaan dari tari dan tabuh gandrung tetaplah khas dan berbeda dari légong, merujuk kepada warna bunyi (timbre) dan kekuatan dari alat gamelan bambu serta perwatakan dari gegebug ‘permainan panggul’.229 Banyak penari Bali yang menyaksikan film McPhee ini (diunggah on-line untuk menemani CD ini) mengira sang penari adalah jogéd perempuan. Tetapi seorang teman, Ni Nyoman Candri adalah narasumber pertama yang memperhatikan bahwa bocah laki-laki yang direkam oleh McPhee, menari pada ruang dan waktu yang berbeda-beda, ternyata adalah orang yang sama dengan yang menari jogéd. Masyarakat sekarang tidaklah biasa melihat seorang anak laki-laki dengan penampilan yang begitu meyakinkan selayaknya perempuan. Dalam upaya menemukan apakah Sarin memang benar penari dalam film McPhee, kami mempertimbangkan banyak kriteria. Sarin tidak mengenali wajahnya sendiri dalam film yang ditayangkan melalui laptop 15-inci, namun mengatakan gelungan ‘hiasan kepala, mahkota’ yang dikenakan penari dalam film persis sama dengan miliknya. Bagian belakang dari gelungan gandrung dilapisi dengan potongan kain putih agar menyerupai bulu angsa dan ini adalah hal yang umum dalam jogéd pingitan perempuan. Pada cuplikan film yang ditarikan tanpa mengenakan busana tari, lukisan-lukisan pada alat-alat gamelan bersumber dari cerita wayang Arjuna Wiwaha yang mirip dengan kepunyaan Ketapian yang masih terpelihara baik. Ni Ketut Arini, salah seorang murid Sarin di tahun 1950-an, menegaskan bahwa gaya gerakan sang penari dalam film adalah khas Sarin dan menyatakan bahwa ia 99 persen yakin penari dalam film adalah Sarin.230 227
Percakapan dengan penari, pantomim dan aktor Made Netra di Lebah 2003. Ketut Wadja memberitahu kami bahwa gandrung perempuan Ketapuan juga mementaskan tarian kebyar Candra Metu dan Mregapati (Margapati), keduanya diciptakan oleh Nyoman Kaler. 229 Percakapan 2003 230 Percakapan (2009) 228
102
Dalam pembahasan-pembahasan kami dengan Sarin di tahun 2009, ia mengatakan bahwa ia berteman baik dan akrab dengan I Sampih, putra angkat dari Colin McPhee, dan Sarin kenal dengan McPhee dan Walter Spies. Sarin dan Sampih keduanya berguru kepada Nyoman Kaler, walau pelatihan Sampih sebagai pelayon condong légong terhenti ketika Kaler menolak mengajarnya lagi karena rendahnya tingkat kepatuhan Sampih. Sarin menggambarkan gurunya, Kaler, sebagai duweg ngigel légong, kebyar, apa saja ‘ahli menari légong, kebyar dan yang lainnya’. Suaranya yang jangih ‘nyaring’ muncul saat membandingkan Kaler dengan seorang guru tandingan yaitu Wayan Lotring, yang ia gambarkan dalam ungkapan sedikit meremehkan sebagai bisa menari, hanya duweg magambel gendér ‘ahli memainkan gendér. Wayan Kanda (1935-) menegaskan bahwa ukiran dari pelawah ‘dudukan’ dari céngcéng adalah seorang penari jangér (seperti dalam film McPhee) dan telah diganti dengan ukiran Anoman, ksatria kera dalam epos Ramayana. Dudukan gong yang memamerkan ukiran Rangda (dalam film) adalah asli Ketapian dan telah diganti dengan ukiran Celuluk (pelayan dari Rangda).231 Pak Sarin meninggal di tahun 2013 dan kami mengunjungi cicit keponakannya Dé Ama di tahun 2013. Ia memberitahu kami bahwa pelukisan dua kadengan ‘tahi lalat, tanda lahir’ pada pipi dan di atas bibirnya adalah kekhasan Sarin, yang menambah jegég ‘kecantikannya’.232 Namun kadengan adalah lumrah, setidaknya pada penari perempuan. Walaupun demikian, kemiripan antara penari gandrung dalam film McPhee tahun 1930-an, ditambah dengan pengamatan De Ama melampaui kepastian 99 persen dari Ni Ketut Arini. De Ama (satu-satunya penari gandrung laki-laki setelah Sarin) memastikan bahwa gubahan tari dalam film ada milik Sarin, persis seperti yang diungkapkan oleh Arini. Menantu perempuan Made Sarin menceritakan keadaan Sarin pada tahun terakhirnya, di mana tokoh berusia 94 tahun tersebut sudah tak bisa meninggalkan ranjangnya, tak mampu berjalan, namun mampu mendengar alunan gamelan gandrung dari latihan-latihan di balé banjar seberang jalan dari rumahnya, dan Sarin akan menari di ranjangnya, melambailambaikan lengan dan tangannya ke udara – gandrung ‘tergila-gila’ sampai akhir hayatnya. Gamelan gandrung terdiri dari: •
•
Dua rindik pangugal, masing-masing berbilah lima belas. Pangugal polos mempunyai peran memulai gending yang akan disusul secara cepat oleh alat gamelan lainnya. Lalu kedua pangugal akan memangku rangkaian nada-nada (melodi), memainkan kotékan saling-kait (polos-sangsih). Dua (atau empat) rindik barangan yang bermain satu oktaf di atasnya, juga berbilah lima belas (McPhee mencatat bahwa dua buah adalah kelaziman dari ansambel di tahun 1930-an, tetapi di masa kini ada empat buah di Ketapian dan kemungkinan jumlah yang sama ada di Pagan selama ini). Mereka merangkap bagian-bagian pangugal walaupun McPhee melaporkan bahwa beberapa sekaa akan memakai
231 232
Percakapan dengan Wayan Kanda (2014) Percakapan (2013)
103
• • • •
•
barangan oktaf tinggi untuk memainkan pola-pola kotékan yang berbeda-beda (kenyataannya ini dilakukan untuk perbendaharaan tabuh légong di Ketapian masa kini). Dua rindik jegogan, masing-masing lima-nada, terkadang memainkan bantang atau pokok gending dan juga meainkan melodi-melodi berlawanan. Satu kendang banci Menjaga tempo dan menjadi pemberi isyarat bagi para penari. Satu perangkat rincik ‘simbal-simbal perunggu berukuran kecil’ menghiasi irama dan mengikuti kendang dan penari. Satu kempur komodong, “terdiri dari lempengan bambu tebal yang disangga di atas guci bermulut sempit yang berfungsi sebagai tabung penggema”233 dipakai sebagai gong untuk penanda ketukan utama. Kini, di Ketapian, sebuah gong pulu dengan bilah perunggu dengan watak getaran yang berbeda (namun masih menggunakan sebuah guci sebagai penggema) menggantikan kempur komodong. Sebuah kempli sebagai penanda ketukan tambahan, “sebuah xilofon khusus berbilah dua yang hanya ditemukan dalam ansambel ini…Setiap bilah tersangga longgar di atas tabung bambu dengan ruas tertutup pada masing-masing ujung namun mempunyai bukaan sempit di bawah bilah. Kedua bambu biasanya disatukan dengan sebuah penjepit, menghasilkan bentuk H, dan dimainkan oleh satu orang penabuh. Satu pasang kempli biasanya diletakkan terpisah dan diberikan kepada dua penabuh berbeda, dalam hal ini mereka umumnya dikenal sebagai kempli dan kempyung.234 Kini, di Ketapian, memang benar menggunakan dua penabuh dan alat gamelan bambu berbilah tunggal dinamakan kempli dan kempluk (berfungsi sebagai ketuk, menjaga ketukan berulang yang teratur) yang mempunyai tabung penggema dari keramik. Ungkapan kempli yang terbentuk bisa diujarkan sebagai ti-tuk-tuk-tukti-tuk-tuk-tuk.
McPhee menjelaskan keberadaan sebuah suling yang menghiasi rangkaian nada-nada pokok, tetapi di Ketapian saat ini ada penggunaan sebanyak empat suling. Wayan Kanda menunjukkan bahwa ansambel gandrung di Ketapian mempunyai rindik rindik yang nada-nadanya tersusun sebagai deng-dung-dang-ding-dong, di mana beberapa gamelan lain, seperti yang terdapat di Tembawu (Denpasar) dimulai dengan o-e-u-a-i (dengan i dilafalkan sebagai “eee”). Penjelasan McPhee sesuai dengan apa yang terdapat di Ketapian. Beberapa mutu tetabuhan yang khas dari gandrung dan pajogédan dijelaskan oleh McPhee (1966: 192) dan bisa dinikmati dengan menyimak rekaman dalam CD: Pelbagai perangkat tabuh penghias digunakan untuk mengimbangi nadanada pendek dan datar dari xilofon. Rangkaian nada-nada yang berkelanjutan dari gendér dalam gamelan palégongan kini berganti menjadi pengulangan nada pendek terputus tanpa henti. Rindik-rindik kecil memecah baris melodi menjadi pola-pola kotékan yang lincah dan hidup. Melalui permainan irama saling-kait yang terus-menerus, suara jégogan menerobos
233 234
McPhee 1966: 191 McPhee 1966: 191
104
masuk di luar kebiasaan. Nada-nada dasar dirubah menjadi melodi tandingan yang bergerak bebas, dalam pergerakan yang tetap sepanjang gubahan. Dalam upaya menghasilkan sebuah nada yang lebih berkelanjutan, kedua jégogan yang kini dimainkan oleh seorang penabuh, dipukul silih berganti secara cepat dan berkelanjutan, menciptakan sebuah perulangan nada yang cepat yang hanya bisa terhenti pada bagian akhir dari melodi.235 Setiap nada yang biasanya dibunyikan oleh kedua jégogan secara bersamaan, membutuhkan mutu pukulan kuat dan bersemangat, mengeras melalui perbedaan tinggi-rendahnya suara antara alat gamelan pengumbang dan pengisep. Rangkaian nada-nada yang lembut, berdenyut mengejutkan bisa didengar pada malam hari sampai bermil-mil jauhnya. Untuk meniru nada berkepanjangan dari kempur perunggu, bilah bambu dari kempur komodong dipukul beruntun secara cepat, mengeraskan dan menyebabkan nadanya berdenyut dan berdengung dalam guci tanah selama pukulan terus berlanjut. Dalam orkes bambu di mana gaung bergantung sepenuhnya kepada perulangan cepat nada-nada, hanya aksen dari kempli yang dibunyikan dengan pukulan tunggal; kedua bilah bisa dibunyikan secara terpisah atau, untuk penekanan yang lebih besar, dipukul secara serempak. Dalam kedua kasus, nada nyaring dan datar yang dihasilkan bisa dengan jelas dibedakan dari alat gamelan lainnya dalam ansambel. Kendang menggabungkan aksen-aksen utama dari dua kendang légong dalam sebuah gaya yang dikenal sebagai bebancihan, biseksual [sebenarnya, androgini], sementara rinchik memperkuat permainan kendang sepanjang gending sama halnya dalam légong gamelan… Sebuah perubahan dalam susunan nada-nada baku dalam jégogan menghasilkam sebuah ciri baru dan khas kepada melodi dasar. Daripada merentangkan ding ke dong, urutannya dimulai dengan déng, nada ketiga, dan berakhir dengan dong. Penyusunan yang tak lazim ini biasanya memberi melodi pokok sebuah karakter baru, mengubah bentuk aslinya dan pada saat-saat tertentu mengubahnya menjadi melodi tandingan yang secara menyimpang bebas dari melodi yang dihasilkan oleh rindik-rindik besar. Kekhasan khusus lainnya dari beberapa pajogédan dan gandrung (sebagai contoh Ketapian) adalah teknik permainan kotékan ‘saling-kait’. Cara biasa memainkan alat gamelan berpanggul dua seperti gender wayang atau jogéd bumbung adalah tangan kiri memainkan rangkaian nada-nada pokok (biasanya dengan pemain molos dan sangsih memainkan bagian mereka secara bersamaan), sementara tangan kanan dari masing-masing penabuh memainkan sebuah pola kotékan berbeda, dengan polos dan sangsih bergabung untuk menciptakan ‘pola-pola saling-kait’. Dalam gandrung setiap pemain rindik memukulkan kedua panggulnya pada nada yang sama namun satu oktaf terpisah, memainkan tangan kanan dan kiri dalam gerakan yang sepenuhnya sejalan.236 Ini 235 236
Teknik ini masih digunakan di Ketapian dan ansambel gandrung dan jogéd pingitan lainnya. Percakapan dengan Wayan Kanda (2014)
105
menciptakan sebuah pola saling-kait baik dalam oktaf rendah maupun tinggi secara bersamaan dan sebuah kualitas nada pendek terputus yang sangat halus, istimewa dan khas. Bagi penabuh Bali yang tidak terlatih, hal ini mungkin terdengar sebagai pola kotékan biasa, namun sebenarnya tekstur dan proses bunyinya sangat berbeda.237 McPhee (1966: 193-94) menulis: Sementara banyak sekaa mempraktikkan permainan melodi secara serempak oleh dua rindik besar, sekaa-sekaa lainnya membagi pasangan itu sehingga rindik kedua mengikuti rindik pertama dalam hitungan seperenambelas not kemudian, sehingga memenuhi selang waktu antara nada-nada rindik pertama dan mengubah rangkaian nada-nada menjadi pola kotékan terus-menerus… Dimainkan dengan ketepatan irama yang tinggi, dalam kecepatan tinggi M. 60 atau lebih, dan bergeser sedikit menjauhi ketukan, bagian nyangsih mesti didengar supaya percaya. Bagian-bagian gubahan yang senada bisa dijumpai dalam gamelan gong kebyar mutakhir yang dimainkan oleh gangsa-gangsa yang ditugaskan untuk nyangsih. Tetapi teknik gangsa adalah berbeda, karena tidak didasari oleh permainan oktaf. Dalam bagianbagian gubahan…tangan kanan akan bermain secara tetap menjauhi ketukan, tetapi tangan kiri akan membungkam nada-nada tepat apada ketukan, sehingga memberi sang penabuh sebuah titik pendukung irama. Tak ada dukungan fisik semacam itu dalam bagian-bagian yang dimainkan oleh rindik, di mana kedua tangan sibuk memainkan bagian dalam oktafoktaf. Bagian-bagian gubahan ini, yang digeser menjauhi ketukan selama jangka waktu yang berkepanjangan atau bahkan sepanjang gending, membutuhkan penalaran berirama yang jauh berbeda dari apa yang kita miliki… Rekaman-rekaman menunjukkan kegairahan tempo dan tingkat kenyaringan yang lebih besar dibandingkan dengan apa yang lazim di masa kini, hal yang telah kita jelaskan sebagai kenyang lempung ‘keras/lembut’ dan secara khusus sebagai ngees nguncab ‘senyap/keras’ atau surut/pasang’.
Pajogédan (Gandrung) Pagan CD Trek #21 Cacing Keremi Gubahan ini merupakan perbendaharaan karya dari sekaa gandrung Ketapian Kelod dan disebut dengan nama Saron.238 Mengingat bahwa trek yang direkam pada tahun 1928 sebetulnya dimainkan oleh sekaa Pagan, dapat dibayangkan bahwa entah Nyoman Kaler 237
Wayan Suweca dari Kayumas Kaja membuktikan bagaimana permainan panggul dalam gandrung/pajogédan ini tampak sederhana namun secara teknis sangat sulit (percakapan 2014) 238 Ketiga trek gandrung ini bisa didengar dalam kaset berjudul Ganderung Eka Budaya Br. Ketapian KlodBadung (Bali Stereo B-592).
106
memberi nuansa yang berbeda pada gending dan menamakannya berbeda atau sekaa Ketapian yang mengubah judulnya pada sebuah kesempatan. Karya ini khusus untuk perbendaharaan gending gandrung sebagai lagu pengantar gegilak atau pategak, tidak dimainkan untuk mengiringi tarian, dan dimainkan saat penonton mulai mengambil tempat dan duduk.239 Tetapi, penabuh gandrung asal Ketapian bernama Wayan Kanda (935-) mengatakan kepada kami bahwa ia selalu mengetahui gending ini sebagai Saron. Cacing Keremi adalah cacing-cacing perut yang juga membuat dubur seseorang gatal. Made Sarin menduga bahwa judul tersebut adalah cara lucu untuk mengungkap goyangan lincah dari pinggul. Bagian tabuh yang paling pas untuk menggambarkan gerakan pinggul bergoyang-goyang bisa didengar di rekaman pada 02:00. Pendengar Bali menemukan judul ini mengejutkan dan sangat kocak.
CD Trek #22 Saron Satu versi dari karya ini masih dimainkan di Ketapian, tetapi menurut Wayan Kanda, judulnya adalah Batél Terem. Secara harfiah terem berarti “semua orang telah hadir,” dan mungkin digunakan sebagai gegilak terakhir, atau pategak, sebelum tarian dimulai. Mendengar kaset komersial terbitan ansambel ini, terdengar jelas bahwa gubahan ini telah berubah dalam berbagai cara, terutama gegebug ‘gaya pukulan panggul’. Saron adalah perangkat gamelan bergaya kuna, dengan bilah-bilah perunggu yang diletakkan secara jongkok ‘menempel’ pada kotak penggema, tidak disangga di atas tabung bambu, dan hanya terbatas pada satu oktaf. Namun, belum ada yang memberi alasan dan pendapat tentang penggunaan judul Saron terkait dengan karya pajogédan/gandrung ini.
CD Trek #23 Ganderangan Menurut Made Sarin, Ganderangan adalah gending klasik mereka karena gending tersebut menemani ibing-ibing, suasana pertunjukan bebas antara gandrung dan anggota penonton. Gending bisa diulang selama berjam-jam tergantung dari ketertarikan para penonton. Bentuk Ganderangan ini bisa juga digunakan untuk tarian ibing dari jogéd. Kami mendengar beberapa komentar dari beberapa orang yang belum pernah menonton cuplikan film Made Sarin oleh McPhee yang mengatakan bahwa jogéd bumbung lebih semangat dan lebih seksi dibandingkan gandrung. Namun pendapat-pendapat tersebut berubah ketika mereka berkesempatan melihat gandrung yang berasal dari tahun 1930-an ini. Mengingat bahwa Nyoman Kaler mengajar para penari gandrung baik di Pagan maupun Ketapian, dan para penari dari era itu termasuk Made Sarin dan Wayan Rindi pernah pentas bersama kedua ansambel tersebut – serta Made Sarin mengenali versi rekaman ini sama dengan gending yang biasa mengiringinya menari – kami menggabungkan cuplikan film bisu Made Sarin menari gandrung yang direkam oleh Colin McPhee pada tahun 1930-an dengan suara dari gending Ganderangan oleh Gamelan Pajogédan (Gandrung) Pagan yang direkam oleh Odeon pada tahun 1928. Ini bisa disaksikan dalam DVD pendamping dan saluran YouTube Bali1928.net
239
Percakapan 2003
107
108
109
110
Pandangan Tentang Jogéd Bungbung dalam Upacara Keagamaan dan Pertanian (Kunjungi saluran www.bali1928.net)
Youtube
Bali1928.net
atau
kunjungi
situs
resmi
kami
di
Sebuah cuplikan film yang direkam oleh Colin McPhee240 menggambarkan deretan panjang gadis-gadis ngoncang bungbung, masing-masing memegang betung bambu secara tegak lurus dari bawah ke atas, kemudian mengentak dan menumbuk dalam sebuah kombinasi yang menghasilkan sebuah pola irama/melodi saling-kait. Sementara itu, sekelompok gadis lainnya yang mengenakan busana upacara menimpali dengan sebuah iringan tari atau seperti yang disarankan beberapa teman Bali sebagai mapeed ‘pawai’. Permulaan cuplikan mengungkap sebuah terajangan ‘perantara, jembatan’ yang menuju kepada sebuah rancang bangun yang tampak secara jelas sebagai sebuah badé (wadah) ‘menara pembakaran jenazah’ bertingkat sembilan.241 Namun, dalam bukunya, A House in Bali, McPhee menyertakan sebuah foto dari suasana yang sama, di mana gadis-gadis menari dan memainkan bungbung ‘betung bambu’ dengan penjelasan, “Setiap siang selama kurun waktu seminggu, gadis-gadis belia dari dua puluh desa berkumpul untuk menari dalam sebuah perayaan panen di Tabanan.”242 Kedua kegiatan, pembakaran jenazah dan perayaan panen, tidak masuk akal, dan lebih aneh lagi, dalam Music in Bali, McPhee menggunakan foto yang sama dengan penjelasan sederhana yaitu Joged Bumbung (bungbung dalam bahasa Melayu atau Indonesia). McPhee243 juga menulis tentang bumbung: “masih dipergunakan di berbagai tempat di Bali untuk mengiringi tarian yang terkadang dipentaskan pada perayaan panen yang dikenal sebagai jogéd bumbung.” Kini, jogéd bumbung hanya dikenal sebagai salah satu tarian yang melibatkan ngibing, sebuah tari pergaulan yang genit dan jenaka, dan semata-mata adalah balih-balihan ‘hiburan’. Tetapi Beryl de Zoete dan Walter Spies244 menulis bahwa jogéd bungbung di tahun 1930an sangat berbeda dengan pelbagai ragam lainnya dari jogéd, dan dari apa yang mereka saksikan, tidak melibatkan ngibing. Bahkan, mereka menjelaskan beberapa pementasan di Tabanan melibatkan sekelompok penari yang diiringi oleh beberapa wanita yang bertelanjang dada sembari memainkan buluh bambu panjang dalam pola saling-kait namun dalam pola permainan lemah-lembut. Semua permainan betung bambu yang dipegang tegak lurus bersumber langsung dari kegiatan menumbuk padi dan kemudian beras. Menggunakan betung bambu, kegiatan ini dilakukan langsung pada lantai tanah dan disebut nebuk padi (buk berarti tanah). Lumpang kayu panjang disebut ketungan, sedanglan lumpang panjang dari batu disebut lesung, dan ketika padi atau beras berada di dalamnya, pengentak panjangnya dinamakan lu, terbuat dari kayu kelapa (mengecil di bagian tengahnya untuk genggaman tangan yang lebih 240
Lihat saluran YouTube Bali1928.net: Jogéd Bungbung Déwa diiringi ngoncang bungbung pada saat Upacara Nangkluk Mrana, Pura Beda, Tabanan (circa 1933) 241 Sebuah tranjangan untuk pembakaran jenazah sering dibandingkan dengan tangga dan mimbar (tingga) yang dibangun untuk pementasan-pementasa Calonarang. 242 McPhee 1946, cetakan ulang. Juga dalam McPhee 1966, gambar 104 dengan judul “Jogéd Bumbung.” 243 1966: 23 244 1936, cetakan ulang 2002: 248
111
mudah dan kuat) atau bahkan disebut lipi lu ‘tongkat tipis seperti ular’.245 Munyiang ketungan ‘membunyikan lumpang kayu’ masih dimainkan di seluruh Bali pada saat ngaben, upacara-upacara plebon, atau malam sebelum upacara pembakaran jenazah. Beberapa narasumber di Bangli memberitahu penulis (dan in benar adanya di beberapa daerah), ketungan dimainkan sepanjang malam untuk menakut-nakuti dan menjauhkan bhuta-kala agar tidak menggangu roh dari orang yang meninggal tersebut. Arya Godogan dari Marga, Tabanan mengatakan kepada kami bahwa tujuan kegiatan itu adalah untuk “melepas dan mengantar perjalan jiwa.” Dalam film McPhee terkait upacara tersebut, bungbung yang berjumlah banyak tersebut ditumbukkan melawan sebuah bentangan kayu panjang dan datar yang disangga setinggi pinggang.246 Di masa kini, permainan ngoncang bungbung dalam bentuk atau wujud apapun pasti dianggap berhubungan dengan ngabén. Namun, Wayan Aryasa (1942-) dari Subamia, Tabanan, melihat film dan mengatakan bahwa ngoncang dalam film mengingatkannya kepada upacara perayaan panen, semasa ia kecil. Beberapa orang yang kami mintakan pendapat di Tabanan dan daerah lainnya menyerukan bahwa keberadaan menara pembakaran jenazah dalam film menimbulkan satu kemungkinan besar bahwa suasana tersebut bukanlah terkait perayaan panen. Bahkan mereka bersikeras bahwa permainan ngoncang bungbung hanya berhubungan dengan ngabén. Salah satu rekan penulis menamakannya bumbung gebyog (sebagaimana dijelaskan oleh Bandem dan DeBoer247) dengan tari rejang, tetapi rejang berhubungan dengan déwa yadnya semisalnya odalan ‘upacara pura’. Seperti dijelaskan oleh Nyoman Astita, rejang adalah sebuah tarian yang bersumber dari alam atas. Sehingga bila ini bukan sebuah odalan atau upacara sejenisnya, para gadis tidak akan menarikan rejang. Kami mengunjungi Ida Cokorda Anglurah (1951-) di Puri Tabanan dan ia menyarankan bahwa ini bisa jadi merupakan sebuah plebon ‘pembakaran jenazah bangsawan’ di Puri Tabanan dan tarian yang dimaksud bernama gambuhan. Gambuhan ini adalah sebuah pengistilahan yang sangat khusus dalam lingkup puri dan tidak digunakan di luar puri. Tetapi tidak masuk akal baginya ketika melihat para gadis berjalan di atas terajangan ‘jembatan’: tidak ada seorang pun yang melintasi atau menari sepanjang perantara tersebut pada saat ngabén. Ia mengatakan bahwa memainkan bungbung pantas dalam sebuah upacara ngabén, dan badé bertingkat sembilan sesuai dengan adat di Puri Tabanan. Ia menjelaskan bagaimana terajangan yang panjang digunakan sebagai jembatan untuk mengusung jenazah melewati tembok puri menuju menara badé, karena mengusung jenazah melewati candi bentar ‘gerbang utama’ adalah tabu dan tidak diperkenankan. 245
Cuplikan-cuplikan film McPhee yang mengungkap beragam jenis ngoncang bisa disaksikan di saluran YouTube Bali1928.net atau melalui situs www.bali1928.net. 246 Wayan Dibia mengetahui bahwa di banyak tempat, gebyog sebenarnya adalah nama dari alat gamelan tersebut yang melibatkan tumbukan bungbung pada kayu tipis panjang, dan ngoncang menjelaskan kegiatannya (percakapan 2015). Namun sejauh ini, kata gebyog belum sepenuhnya mendapat penegasan, sebaliknya istilah ngoncang digunakan untuk menjelaskan kegiatan dan upaya fisik untuk menghasilkan suaranya. Jelas, penelitian lebih lanjut akan mengungkap beragam praktik dan penjelasan, terutama di daerah Jembrana, Bali Barat. 247 1981: 94
112
Penulis mengunjungi Anak Agung Ngurah Adnya Praba di Puri Kerambitan yang juga yakin bahwa upcara dalam film adalah ngabén, namun tetap menyarankan agar penulis mengunjungi nak lingsir ‘tetua’ yang bisa dijumpai di Pura Bedha248 yang terletak di kawasan pesisir pantai di Tabanan. Ia mengatakan bahwa pura terkenal yang terletak jauh di utara di pegunungan, Pura Batukaru, walau bisa saja menjadi tempat diadakannya sebuah upacara panen atau subak yang besar dan melibatkan dua puluh desa (seperti diungkap Mcphee), tidaklah mempunyai kewenangan sebesar itu pada masa tersebut. Satu-satunya subak ‘sistem irigasi persawahan tradisioanl’ yang mempunyai wewenang mengelola sebuah kahyangan ‘keberadaan tiga tempat suci termasuk pura désa, puseh, dan dalem’ ada masa itu dan sebelumnya, hanyalah Pura Bedha. Penulis sempat menyarankan kepadanya tentang apa yang telah disampaikan oleh Arya Godogan sebelumnya bahwa kegiatan tersebut mungkin adalah nangkluk mrana, ngabén untuk Jero Ketut (julukan terhormat kepada binatang bikul ‘tikus’).249 Ia mendapatkan hal ini sebagai sesuatu yang menarik dan menyarankan lagi agar penulis mencari para tetua di sekitar Pura Bedha untuk memastikan kegiatan yang diungkap dalam film. Nangkluk berasal dari kata tangkluk ‘tolak, basmi’ sedangkan mrana berarti wabah. Saya mengungkap gagasan bahwa upacara dalam film adalah ngabén, khususnya upacara pembakaran mayat dari Jero Ketut dan bukan sebuah upacara panen (seperti yang ditulis oleh McPhee) kepada Nyoman Astita. Ia pikir hal tersebut mungkin benar adanya dan mengatakan bahwa, dari unsur tariannya, walaupun persembahan tari dalam pitra yadnya ‘upacara kematian’ jelas dibedakan dari persembahan tari dalam déwa yadnya ‘upacara berkaitan dengan dewata’, sesungguhnya roh yang meninggal masih ada dan hadir pada saat ngabén (sehingga persembahan tari seperti rejang tidak pantas). Tetapi urutan selanjutnya dari upacara ngabén adalah mukur (menurut Ketut Kodi berasal dari kata muk/buk ‘tanah, bumi’ dan kur ‘leluhur’ yang bermakna bahwa roh atau jiwa telah menjadi leluhur dan berstana di pura keluarga), di mana sebuah tarian seperti rejang bisa saja menjadi pantas, terutama di masa lalu, mengingat para penari akan menari dengan dirasuki oleh kekuatan yang bersumber dari sinar suci para leluhur. Mencari rujukan tentang Tabanan dalam buku McPhee A House in Bali, penulis menemukan: “Musibah gempa ini terjadi pada bulan yang keliru (ternyata ada beberapa bulan yang wajar untuk gempa bumi), alam bergolak ditandai dengan kekeringan dan hama tikus yang menyerang persawahan. Di Tabanan telah dilaksanakan sebuah upacara besar, membakar bangkai-bangkai tikus. Tanah dan daratan “panas”, iblis bergentayangan, dan wabah penyakit akan mengikuti.”250 Setelah membaca hal tersebut, kami menanyakan ihwal kekeringan dan wabah tikus 248
Secara luas dieja sebagai Beda, tetapi ejaan setempat adalah Bedha dengan aksen pada suku kata kedua. Ketut Kodi dan narasumber lainnya menjelaskan bahwa tikus mesti disegani di Bali; tunjukkan rasa hormat sehingga mereka tidak akan membawa malapetaka. Tentunya ini berlaku sama untuk bhuta kala ‘kekuatan alam dan gaib yang berpotensi merusak’. 250 1946: 139 249
113
tersebut kepada ayah Ketut Kodi yang berusia 90-an tahun, seorang tukang tapel terkenal bernama Wayan Tangguh, dan ia mengingat berlangsungnya wabah hebat pada masa permulaan tahun 1930-an, ketika ia masih sangat kecil. McPhee tidaklah secara tepat mengungkap kapan terjadinya wabah tersebut, tetapi pembaca bisa menempatkannya dalam kurun waktu sekitar tahun 1932 sampai dengan 1935, berdasarkan keseluruhan penuturannya dalam tulisan. Pak Tangguh mengatakan bahwa saat itu sangat sulit mencari bahan pangan dan pemerintah akan membayarkan kutus tali képéng ‘delapan ikat mata uang logam Cina, masing-masing ikat berisi seribu koin’ kepada barang siapa yang berhasil menangkap tikus dalam jumlah banyak. Tangguh mengingat mendengar tentang ngabén bikul di Tabanan. Sehingga, apabila kita benar tentang hal ini, McPhee tidak tepat menggambarkan upacara tersebut sebagai “perayaan panen”, tetapi kegiatan tersebut tetaplah sebuah upacara subak yang besar yang merangkai sebuah upacara kepada alam dan sebuah upacara ngabén secara bersamaan. Dan bila kegiatan itu merupakan sebuah penggabungan antara ngabén dan upacara subak, maka tabuh saling-kait ngoncang bungbung tentunya pantas dimainkan sebagai bagian persembahan dalam ngabén dan jogéd bungbung (menurut Spies dan De Zoete) yang berhubungan dengan upacara subak. Penulis belumlah sepenuhnya percaya diri untuk mengatakan bahwa gerakan para gadis tersebut sebagai jogéd bumbung, sebagaimana diungkap oleh McPhee, sampai akhirnya penulis menyimak kembali cuplikan film dari Rolf de Maré (direkam tahun 1938) yang menampilkan gaya tarian yang sama dan kemudian diungkap oleh rekan penelitinya, Claire Holt, sebagai jogéd bungbung. Ketika penulis berkesempatan mengikuti sebuah seminar dua-hari yang diselenggarakan oleh Listibiya dan melibatkan banyak ilmuwan seni dan ahli seni pertunjukan, penulis sempat menayangkan kedua cuplikan film dari McPhee dan de Maré sambil membahas bukti adanya jenis jogéd bungbung yang sakral termasuk kebimbangan penulis akan upacara ngabén dalam cuplikan film. Namun tidak ada jawaban berarti yang muncul dari pembahasan.251 Pada akhirnya dan sepenuhnya karena keberuntungan, penulis bertemu dengan I Gusti Putu Bawa Samar Bantang dan saudara lakinya, I Gusti Nengah Nurata, dari jeroan di Banjar Tegal, Tabanan, yang mempunyai kedekatan dengan Puri Tabanan.252 Mereka mengantar kami ke Pura Bedha untuk menemui I Gusti Nyoman Wirata, Penyarikan Desa Pekraman Bedha, dan I Wayan Putra, Mangku Pura Puseh Luhur Bedha, yang bersama-sama berhasil memecahkan misteri dalam cuplikan film. Upacara yang direkam oleh McPhee memang benar sebuah upacara nangkluk mrana, ngabén bikul ‘pembakaran mayat tikus’ yang berlangsung di Pura Bedha. Tariannya memang jogéd bungbung, namun bisa juga disebut sebagai Jogéd Bungbung Déwa, ketika dipentaskan dalam kaitan sebuah upacara keagamaan. Iringan ngoncang bungbung sepenuhnya pantas untuk jogéd yang dimaksud, 251
Seminar yang dikelola oleh Nyoman Astita ini mempunyai tema Revitalisasi Kearifan Lokal Joged Pingitan dan Baris Upacara Untuk Memperkuat Seni Tradisi. Listibiya adalah sebuah lembaga pemerintah yang didirikan di Bali untuk mengarahkan dan mengawasi perkembangan seni dan budaya Bali. 252 Gusti Nengah Nurata adalah seorang pelukis dan dosen di ISI Surakarta dan Gusti Samar Gantang adalah sastrawan terkenal dengan pengetahuan yang luas akan sejarah. Keduanya sangat berperan dalam pembahasan yang menghasilkan pemahaman bersama terhadap cuplikan-cuplikan film yang berhubungan dengan Pura Beda dan segenap tradisi upacaranya.
114
dan gemulai tarian sepanjang teranjangan adalah persis sebagaimana dilakukan dalam film.253 Mangku Wayan Putra menjelaskan bahwa para penari mengusung dan menemani mayat tikus-tikus yang sudah dibungkus dan diupacarai, berjalan melintasi teranjangan menuju menara pembakaran jenazah, kemudian setelah diletakkan di sana, para penari lanjut menari dengan kipas seperti yang terekam dalam film. Pementasan jogéd bertujuan ngraméang ‘merayakan dan menghidupkan’ suasana upacara agar membawa kesuburan dan kedamaian bagi ladang-sawah dan alam lingkungan sebagai satu kesatuan. Memang benar, upacara dalam film adalah sebuah upacara ngabén dan upacara pembaharuan bagi subak. Kesatuan kahyangan Pura Puseh, Désa, dan Dalem ‘asal-mula, kehidupan masyarakat masa kini, dan ranah kematian’ dirujuk sebagai kahyangan subak karena merupakan sistem irigasi yang mengairi dan menyatukan daerahnya. Dalam tataran yang lebih luas, sebuah kahyangan mencerminkan padmasana: Pura Désa sebagai perwujudan Brahma, Pura Dalem melambangkan Iswara (Siwa) dan Pura Puseh sebagai penghormatan kepada Wisnu. Kahyangan subak ini dipercaya telah ada sejak abad ke-4 atau ke-5, jauh sebelum masa kekuasaan Mayadanawa di abad ke-7. Catatan sejarah dan cerita-cerita menghubungkan keberadaan pura dengan masa kekuasaan abad ke-10 dari Darma Udayana. Pura dihiasi dan dipenuhi oleh relief (pahatan/gambar timbul pada batu) yang menggambarkan kisah kehidupan dan kekaryaan Kebo Iwa, salah seorang dari dua patih yang mengabdi kepada Sri Bedahulu (Dalem Bedahulu), penguasa Bali terakhir sebelum masuknya masa pengaruh kerajaan Majapahit dari Jawa di abad ke-14.254 Salah satu relief yang terdapat di pura menggambarkan sebuah upacara nangkluk mrana termasuk tikus-tikus yang kabur dari persawahan. Mangku Wayan Putra menjelaskan bagaimana relief menggambarkan anggota subak memohon bantuan dari Ida Betara sane malinggih di pura, Sang Hyang Widhi ‘kekuatan ilahi yang berstana di pura, Tuhan Yang Maha Esa’. Kebo Iwa digambarkan sebagai penengah dari kegiatan tersebut. Ini adalah asal-mula upacara nangkluk mrana, dan karena keberhasilannya – seperti yang digambarkan dalam relief berikutnya – masyarakat bersukacita karena panen padi yang kembali berlangsung penuh hasil dan sukses. Relief berikutnya mengambarkan Kebo Iwa dan masyarakat bertani, kemudian bersama-sama membangun sebuah jineng ‘bangunan untuk menyimpan padi’, sebuah balé ‘bangunan pura’ dan pelbagai bangunan lainnya. Kebo Iwa dihormati sebagai seorang undagi ‘arsitek’. Di dalam pura terdapat sebuah patungKebo Iwa yang bersosok tinggi dan besar. Salah satu aspek penting dari upacara ini serta yang lainnya adalah keterlibatan Raja Tabanan, yang mempunyai tanggung jawab spiritual terhadap sistem subak dalam daerah kekuasaannya. Di tahun 1930-an, penguasanya adalah Cokorda Ngurah Ketut Tabanan yang disélong ‘diasingkan’ ke Lombok oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan kembali ke Bali pada tahun 1917 pada saat terjadinya gempa hebat. Tugas raja (sampai saat ini) adalah
253
Ketika kanak-kanak, Gusti Nengah Wirata (1940-) memainkan ngoncang untuk mengiringi jogéd bungbung pada saat upacara-upacara di Pura Bedha. 254 Sebuah lakon kegemaran dalam dramatari topéng menyertakan seorang patih lainnya bernama Pasung Gerigis, dan menceritakan kisah kekalahan Dalem Bedaulu yang ditaklukkan oleh seorang patih dari Majapahit bernama Patih Gajah Mada.
115
mengeluarkan kesaktiannya untuk menyembuhkan dan menyucikan sistem pertanian. Raja memilik sebuah keris berjuluk Ki Biru Gajah yang diboyongnya dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah (ketika Surakarta dan Yogyakarta masih bersatu). Penafsiran yang diberikan oleh Gusti Nengah Nurata adalah Biru melambangkan keagungan angkasa sebagai sumber kesucian dan “keinginan jiwa” dan Gajah mencirikan kekuatan jiwa dan cinta kasih. Raja Tabanan membenamkan kerisnya, Ki Biru Gajah ke dalam mata air sakral, Pancuran Mumbul di Banjar Dukuh untuk meruwat dan menyucikan keris terlebih dahulu. Panjat doa dari seorang pedanda tidak mutlak di sini, namun sebuah mantra dirapalkan kepada keris. Raja kemudian akan berjalan di atas pematang sawah, menyusuri persawahan dan sesekali menancapkan kerisnya ke dalam genangan air di persawahan atau tanah di mana air seharusnya mengalir, dan kesaktian keris dipercaya akan membersihkan dan memberikan kekuatan, kesembuhan dan kesuburan kepada subak. Upacara ini bisa dilakukan pada masamasa kekeringan dan juga pada saat terjadinya wabah yang membutuhkan pelaksanaan nangkluk mrana. Jogéd Bungbung di Pura Bedha diiringi oleh gamelan gong. Satu jenis melibatkan pemudapemudi dan ngibing, tetapi dalam gaya yang sangat sopan dan resmi. Satu jenis lagi berlangsung pada akhir odalan pada satu acara yang disebut mabiasan, macugaran, di mana akan ada pementasan jogéd dengan kerauhan ‘kesurupan’ sama halnya dengan Sang Hyang Dedari, namun didasari oleh jogéd bungbung, walau tetap diiringi oleh gamelan gong. Jogéd Bungbung Déwa masih dipentaskan untuk odalan di daerah sekitar Bongan Jawa dan nangkluk mrana ‘upacara pembakaran mayat tikus’ tetap berlangsung di berbagai daerah Bali sehubungan dengan kehidupan pertanian masa kini, tetapi tidak melibatkan jogéd atau ngoncang bungbung. Jadi di sini kita telah mempunyai dokumentasi dan catatan-catatan pribadi akan keberadaan jogéd bungbung sebagai sebuah tari upacara (setidaknya di Tabanan) sebelum mengalami perubahan, yaitu semasa jogéd belum dikelompokkan sebagai jenis tarian ngibing untuk hiburan, terutama pada masa pendudukan Jepang, kemudian semasa pemerintahan Sukarno - pasca kemerdekaan dan semasa KOKAR Bali yang membatasi tingkatan erotis dari jogéd akibat “pendekatan dan kepedulian baru terhadap kesopanan dan budi-pekerti”255 walau masih tetap menyenangkan.
255
Bandem dan deBoer 1981: 93
116
117
Sebuah keterhubungan berbeda untuk tari dan tabuh dijelaskan oleh Bandem dan deBoer di bawah tajuk “Gebyog”: Ketika gabah ditebah dengan tangan, butir padi dilepas dari sekamnya dalam suatu wadah bernama lesung dengan cara ditumbuk dengan sebuah alu (tongkat kayu panjang). Selanjutnya, pekerja lainnya memisahkan butir padi dari sekamnya dengan jalan mengayak hasil tumbukan dalam keranjang bambu berbentuk bulat, sampai sekamnya terlempar, sedangkan butiran beras akan tetap bertahan di keranjang. Dahulu, pada masa persiapan suatu upacara besar, padi dalam jumlah besar mesti ditebah dengan cara demikian yang mana banyak orang berkumpul mengerjakan tugas tersebut. Wanita bertugas menumbuk padi dalam lesung dan mengayaknya, sedangkan beberapa pria bertugas membawa tumpukan padi dan mengangkut keranjang-keranjang yang sudah berisi bersa. Suasana 118
terkesan bahagia dan santai, dan seringkali kumpulan orang seperti ini mejadi ajang saling menggoda, gosip, dan bermain-mata…Seringkali, saat kumpulan pekerja seperti di atas melakukan kegiatannya, para wanitanya yang menumbuk gabah melakukan suatu bentuk improvisasi yaitu mengembangkan pola tumbukan yang saling bersahutan dan bersambungan dengan hasil suara ‘byog-byog-byog’ (kemudian disebut Gebyog). Pola irama rumit yang dihasilkan dari pukulan alu ke lesung itu, dinilai oleh para musisi Bali sebagai sumber dari pola-pola paduan suara Cak yang mengiringi tari-tarian Sang Hyang Dedari. Dalam konteks upacara pembakaran jenazah atau panen, para wanita akan menyanyikan lagu-lagu rakyat untuk mengiringi ketukan-ketukan irama seperti lagu Guak Maling Taluh (Gagak Mencuri Telur), Galang Bulan (Sinar Bulan) atau Juru Pencar (Nelayan). Bait-bait yang khas dalam lagu itu bisa disampaikan sebagai berikut: “Mari pergi dan menangkap ikan besar – nanti ia akan mendatangkan banyak kesenangan!” Semua lagu tersebut mengandung elemen godaan atau rayuan, juga ajakan untuk melakukan sesuatu bersamasama. Lagu-lagu itu terdiri dari melodi-melodi koor yang sederhana, beberapa bagian dinyanyikan secara seragam, sedangkan bagian lainnya dinyanyikan dalam pola tanya-jawab. Ketika dua lusin atau lebih wanita sedang menumbuk padi dan menciptakan iringan musik perkusi, sebanyak dua belas orang atau lebih wanita lainnya akan mengayak padi yang bercampur dengan sekam, dengan tampah, kemudian dimasukkan dalam keranjang. Gerakan mengayak padi dilakukan dalam pola yang mirip dengan gerakan improvisasi ngibing dalam tarian joged. Ketika para lelaki mengambil padi dengan keranjang dari lesung untuk diberikan kepada para wanita yang bertugas mengayak, mereka terkadang bergerak dengan menyesuaikan dengan alunan musik lesung dan mulai menari saat mendekati beban yang akan diangkat. Ketika berjalan, mereka juga menari dengan gaya menggoda dan terkesan seksi, serta kocak: “Cepat Bli, bawa alunya.” Saling menggoda sering terjadi. Para gadis juga keluar untuk menari, satu atau dua pada saat itu, sambil masih membawa tampah ayakan tadi. Mereka akan menari dengan pria dalam gaya ngibing, dan beberapa pasang pun menari hanya beberapa saat. Tidak ada kesan tabu atau tidak sopan dan pekerjaan dilakukan tanpa jeda, meskipun masih ada kesempatan saling bisik atau berbicara kesana kemari selagi tarian berlangsung. Peristiwa seperti itu yang dikemas dalam pertunjukan masih umum terjadi di banyak tempat di Bali sampai memasuki abad ke-20, terutama dalam kaitannya dengan upacara pembakaran mayat. Nyanyian dan tarian Gebyog sangat menonjol di daerah yang sekarang disebut Kabupaten Jembrana, Bali Barat, di mana tradisi itu terjadi di desa Batu Agung. Bentuk-bentuk itu secara tradisional juga populer di Kabupaten Karangasem.256
256
1981: 94–96
119
Bandem dan deBoer mengutip sebuah percakapan pribadi dengan Nyoman Rembang, seorang tenaga pengajar KOKAR/SMKI dari Sesetan, Denpasar: Ada praktik tradisional bagi para penari Joged Bumbung untuk memiliki dan memakai jimat pengasih yang bisa dibeli dari seorang ahli untuk meningkatkan daya pikat. Konon, sebuah sekaa dari Tegal Cangkring, Jembrana pada tahun 1940-an, dikatakan memiliki daya tarik yang begitu tinggi sehingga dalam berbagai kesempatan seusai pentas mereka harus membawa kereta kayu yang ditarik seekor lembu untuk membawa biji kopi yang mereka dapatkan dan kumpulkan.257 “Setradisional” apa praktik tersebut untuk jogéd bumbung tetaplah semata-mata sebuah dugaan. Pak Rembang baru berusia enam tahun (dan bertempat tinggal di Sesetan Denpasar) ketika pendudukan Jepang dimulai, sehingga kecil kemungkinan ia pernah menyaksikan tradisi semacam itu. Suatu hal yang pasti kita ketahui adalah kehidupan pertanian lahan basah Bali terjalin erat dengan budaya berkeseniannya yang menghasilan pelbagai praktik tari dan karawitan termasuk beragam persembahan upacara untuk kematian, bercocok tanam dan panen, dewata dan leluhur, yang juga seiring dengan pelbagai polah kelincahan, erotisme dan hiburan.
257
1981: 93
120
Keterangan Tentang DVD Bali 1928, Vol. III Sumber-Sumber Tradisi Tari dan Tabuh Légong, Barong, Rangda, Gendér Wayang, Gambang, Jogéd Bungbung, Méndét, Rejang dan Gandrung DVD Sumber-Sumber Tradisi Tari dan Tabuh adalah materi pendamping dari CD Bali 1928, vol. III: Lotring dan Sumber-Sumber Tradisi Gamelan. DVD ini memuat beragam cuplikan film tanpa suara yang berkaitan dengan ranah berkesenian légong, barong, Rangda, gendér wayang, gambang, jogéd bungbung, méndét, rejang dan gandrung di Bali pada masa tahun 1930-an. Cuplikan-cuplikan ini dikumpulkan dari film-film karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré. Identifikasi para individu dan pelbagai lokasi dalam film berikut pemberian subtitelnya, dilakukan oleh tim peneliti berdasarkan penelitian lapangan untuk memperjelas segenap pemandangan dan kegiatan dalam dokumentasi tanpa suara tersebut. Direkam oleh Colin McPhee: • • • • • • • • • • • • • •
Légong Kelandis: Ni Nyoman Polok dan Ni Luh Ciblun pentas di bawah pohon beringin di Kedaton (direkam sekitar tahun 1931-1935) Légong Kelandis: Ni Nyoman Polok dan Ni Luh Ciblun (direkam sekitar tahun 1931-1935) Gamelan Palégongan Kapal (direkam antara tahun 1931-1938) Légong Belaluan berlatih: Ni Gusti Made Rai dan Ni Gusti Putu Adi (direkam sekitar tahun 1936-1938) Murid Légong Belaluan berlatih (direkam sekitar tahun 1936-1938) Ida Boda mengajar légong dengan gamelan palégongan Kelandis (direkam antara tahun 1931-1938) Anak berlatih gendér rambat palégongan (direkam antara tahun 1931-1938) I Lunyuh dan I Made Lebah bermain kendang palégongan di Peliatan, lalu diikuti oleh I Gde Manik bermain kendang kebyar diiringi dengan gendér Semar Pagulingan Teges (direkam antara tahun 1931-1938) Barong goak, télék, jauk, Rangda, dan ngurek di Tegaltamu (direkam antara tahun 1931-1938) Barong Kebon Kuri dengan sandaran, jauk, dan omang (direkam antara tahun 1931-1938) Gamelan gendér wayang Kuta: I Wayan Lotring dan I Wayan Regog (direkam antara tahun 1931-1938) Gamelan gendér wayang (direkam antara tahun 1931-1938) Gambang di Pura Kawitan Kelaci, Banjar Sebudi, Tanjung Bungkak: Kak Bunut (I Made Darya) bermain saron; I Wayan Pegeg bermain gambang (direkam antara tahun 1931-1938) Jogéd Bungbung Déwa diiringi oleh ngoncang bungbung dalam upacara Nangkluk Mrana, Pura Beda, Tabanan (direkam sekitar tahun 1933) 121
• • •
Gamelan Pajogédan Sayan (direkam antara tahun 1931-1938) I Made Sarin berlatih tari gandrung (direkam sekitar tahun 1931-1934) I Made Sarin menari gandrung dan ngibing diiringi oleh sekaa Ketapian Kelod (direkam antara tahun 1931-1938)
Direkam oleh Miguel Covarrubias: • • • • • • • • •
Légong Saba: Ni Gusti Nyoman Madri, Ni Dayu (Ida Ayu) Ratna, dan Ni Ketut Suri (Jero Suraga) sebagai condong (direkam antara tahun 1930-1934) Latihan Légong gaya Saba dan Bedulu (direkam antara tahun 1930-1934) Latihan Légong gaya Saba dan Bedulu (direkam antara tahun 1930-1934) Ni Made Gubreg dari Kapal mengajar murid dari Belaluan (direkam antara tahun 1930-1934) Sandaran, omang, jauk, dan barong di Kebon Kuri (direkam antara tahun 19301934) Barong, sandaran, Rangda, dan ngurek di wilayah Kesiman (direkam antara tahun 1930-1934) Méndét di Pura Dalem Sayan, Ubud (direkam antara tahun 1930-1934) Rejang dan Abuang di Tenganan (direkam antara tahun 1930-1934) Tari Gandrung (direkam antara tahun 1930-1934)
Direkam oleh Rolf de Maré: • •
Légong Peliatan di depan Puri Kaleran dengan Anak Agung Gede Mandera bermain kendang (direkam pada tahun 1938) Jogéd Bungbung di Tabanan diiringi oleh ngoncang bungbung (direkam tahun 1938)
122
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Proyek Bali 1928 ini telah diuntungkan oleh partisipasi dari berbagai pihak. Tim peneliti inti dari volume Lotring dan Sumber-Sumber Gamelan Tradisi termasuk I Ketut Kodi (Singapadu), Ni Ketut Suryatini (Kayumas Kaja), Ni Ketut Arini (Banjar Lebah), I Made Arnawa (Tunjuk), I Nyoman Catra (Mengwi), I Wayan Dibia (Singapadu), I Nyoman Astita (Kaliungu Kaja), Komang Ongki (Batuan), dan penulis sendiri. Penelitian kami di tahun 2003 secara seksama mempelajari pelbagai jenis gamelan dan nyanyian dengan tim peneliti termasuk Ketut Suryatini, I Made Arnawa, Wayan Dibia dan penulis sendiri. Tim peneliti utama pada tahun 2006, ‘07, ‘08–’09, dan ‘13–‘15 terdiri dari Ketut Kodi, Ketut Suryatini, Ketut Arini, Wayan Dibia, Komang Ongki, dan penulis sendiri. Penasihat ahli untuk publikasi di Indonesia adalah I Made Bandem. Proyek ini terlaksana akibat diskursus lintas-subyek yang mendalam melalui kerjasama dan kebersamaan yang menyenangkan selama bertahun-tahun, dan saya bertanggung jawab atas segala kesalahan yang mungkin ditemukan para pembaca dalam artikel ini. Ucapan terima kasih setulusnya kami sampaikan kepada para seniman, informan dan konsultan yang telah membantu penggarapan volume ini termasuk I Made Sarin (Ketapian Kelod), I Wayan Suweca dan I Wayan Konolan (Kayumas Kaja), I Made Netra (Banjar Lebah), Ni Nyoman Candri Singapadu), I Wayan Mangku Suda dan I Nyoman Marcono (Batuan), Arya Godogan (Marga), I Wayan Kelo, I Wayan Teling, I Wayan Pursa, I Made Artajaya, I Wayan Karyasa, I Wayan Suwija, I Wayan Egler dan I Wayan Darta (Kuta), I Gusti Serama Semadi (Saba), Dé Guh (Titih), I Wayan Tangguh (Singapadu), I Wayan Locéng, I Wayan Nartha (Sukawati), I Wayan Lura, I Ketut Suendra, I Nyoman Mindra (Tumbak Bayuh), Dé Ama, I Ketut Wadja, I Wayan Kanda (Ketapia Kelod), I Ketut Gedé Asnawa (Kaliungu Kaja), I Wayan Gunastra (Kaliungu Kelod), I Kadék Wahyudita (Kebon Kuri Mangku), I Gedé Anom Astawa (Sebudi), I Wayan Dedi (Tanjung), Ni Gusti Raka Rasmi (Peliatan), I Wayan Lantir (Teges Kanginan), I Wayan Sinti (Ubung), N.L.N. Suasthi Widjaja Bandem (Denpasar), I Gusti Nyoman Wirata dan Mangku Wayan Putra (Pura Beda), I Gusti Nengah Nurata dan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Banjar Tegal Belodan, Tabanan). Kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas partisipasi seniman-seniman dan para narasumber yang terlibat dalam keseluruhan proyek Bali 1928 ini termasuk I Wayan Begeg (Pangkung), Made Monog (Kedaton), Ida Bagus Pidada Kaut (Geria Pidada, Klungkung), Ida I Déwa Gdé Catra (Amlapura), I Wayan Beratha (Belaluan-Sadmertha), I Wayan Pamit (Kaliungu), I Nengah Médera, I Nyoman Suarka, I Made Suastika, I Putu Sumiasa (Kedis Kaja), I Nyoman Astita dan I Ketut Gedé Asnawa, Guru Rsi Gdé Adnya (Sawan), I Gusti Gdé Tika dan I.G.B.N. Pandji (Bungkulan), I Déwa Putu Berata (Pengosékan), I Wayan Madra Aryasa (Subamia, Tabanan), I Nyoman Sumandhi (Tunjuk), I Wayan Rugeh (Abian Kapas), I Made Sija (Bona), Ni Nengah Musti (Bubunan/Kedis), I Wayan Wéker, I Gdé Kuat Kusnadi, I Gdé Ratep Suryasa dan I Ketut Artika (Busungbiu), I Gusti Ngurah Gedé Sumantra dan I Gusti Ngurah Agung (Tegaltamu), I Putu Mataram, I Wayan Budiyasa, I Ketut Nurina, dan I Gdé Putra (Jineng Dalem, Singaraja) dan I Gusti Bagus Sudyatmaka Sugriwa (Ida Rsi Agung Bungkulan). Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada I Gedé Arya Sugiartha, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang senantiasa menjadi tuan rumah bagi seminar-seminar kami tentang berbagai isu yang berkaitan dengan 123
riset dan dokumentasi. Kami sampaikan terima kasih atas saran-saran dalam hal bahasa, kesusastraan, karawitan, dan budaya kepada Hildred Geertz, Evan Ziporyn, Thomas M. Hunter, Hedi Hinzler, Tilman Seebass, Danker Schaareman, I Wayan Juniartha, Mas Ruscitadewi, José Evangelista, Raechelle Rubinstein, Ruby Ornstein, David Sandberg, John Stowell, Sugi Lanus, Nyoman Astita, Wayan Dibia, I Nyoman Darma Putra, I Made Suastika, Made Netra, Ron Lilley, Ida Ayu Ari Janiawati, I Made Setiawan, Anak Agung Ayu Kusuma Arini, serta Anak Agung Made Djelantik dan Anak Agung Ayu Bulan Trisna Djelantik yang telah berbagi kenangan dan surat-surat dari Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik kepada Mangkunegara VII dari Surakarta. Terima kasih setulusnya kepada Andrew Toth, Anthony Seeger, Judith Becker, Mark Slobin, June Nash, dan Sue Flores atas berbagai masukan berharga dan dukungannya, serta Robert J. Buckley dan para staf Research Administration di Hunter College termasuk juga RF–CUNY atas dukungannya. Akses kepada koleksi piringan hitam 78 rpm telah dimungkinkan atas kebaikan University of California, Los Angeles, Ethnomusicology Archive dan the Colin McPhee Estate (terima kasih kepada John Vallier, Maureen Russell, Anthony Seeger, Marlowe Hood, Jacqueline DjeDje dan Aaron Bittel), Museum Nasional Indonesia di Jakarta (Retno Sulisthianingsih, mantan direktur) dan Sana Budaya di Yogyakarta, Laurel Sercombe di University of Washington, New York Public Library, Martin Hatch di Cornell University, Nancy Dean dan Ellen Koskoff, Totom Kodrat dan Soedarmadji J.H. Damais di Jakarta (dan juga koleksi Louis Charles Damais), Wim van der Meer dan Ernst Heins di Jaap Kunst Archives, University of Amsterdam, Jaap Erkelens, Anak Agung Ngurah Gde Agung, Puri Karangasem, Allan Evans, Michael Robertson, dan Pat Conte. Ucapan terima kasih khusus juga kami sampaikan kepada Rocio Sagaon Vinaver, Djahel Vinaver dan José G. Benitez Muro atas izin yang diberikan untuk memakai rekaman film dari Bali karya Miguel Covarrubias yang telah sangat berguna untuk menggugah kembali kenangan-kenangan masa lalu dari para seniman generasi tua. Film-film Rolf de Maré disertakan dalam proyek ini atas izin dari Dansmuseet dan the Rolf de Maré Foundation, Stockholm. Reproduksi foto-foto Arthur Fleischmann digunakan atas izin keluarga Arthur Fleischmann. Foto-foto oleh Walter Spies diterbitkan ulang atas seizin Walter Spies Foundation, Holland. Kami haturkan terima kasih setulusnya atas kemurahan hati dan kepercayaan dari UCLA Ethnomusicology Archive, yang telah meminjamkan banyak piringan hitam aslinya dan juga cuplikan film dan foto-foto oleh Colin McPhee yang sungguh tak ternilai dan berperan begitu besar dalam proyek ini. Terima kasih khusus kepada Philip Yampolsky atas ketangkasannya sebagai Program Officer di Ford Foundation, Jakarta (yang mendukung penelitian kami pada tahun 2003, 2006 dan 2007) dan sebagai informan akan sejarah dan keberadaan rekaman-rekaman Odeon-Beka, yang tanpa perannya, koleksi ini tak mungkin kami kumpulkan dan kompilasi. Endo Suanda (Tikar Media Budaya Nusantara) membantu kami memvisikan dan mengatur proyek Bali 1928 pada masa permulaannya. Terima kasih kepada Asian Cultural Council atas pendanaan penelitian selama tahun 2008–2009. 124
Dukungan juga datang dari Ray Noren dan juga Yayasan Bali Purnati. Hibah Fulbright Senior Research Scholar Award 2014-15 membantu Edward Herbst dalam melaksanakan penelitian lapangan yang berkaitan dengan rekaman-rekaman bersejarah tahun 1928 ini. The Research Foundation of the City University of New York (CUNY) telah menerima hibah dari The Andrew W. Mellon Foundation untuk mendukung penelitian yang melibatkan penulis sebagai pemimpin proyek, etnomusikolog dan peneliti utama, bersama Arbiter of Cultural Traditions di New York, dipimpin oleh Allan Evans, dan STMIK STIKOM Bali, di bawah koordinasi Marlowe Makaradhwaja, di Indonesia. Bali 1928 Project, “Restoration, Dissemination and Repatriation of the Earliest Music Recordings and Films in Bali” akan menghasilkan lima volume CD, DVD dan kaset di Amerika Serikat dan Indonesia, dan juga menyediakan arsip audio-visual melalui pusat data seni dan teknologi berbasis internet di http://www.bali1928.net. Rekan penerbit kami di Indonesia adalah STMIK STIKOM Bali yang dipimpin Dadang Hermawan dengan koordinator proyek dan penerjemah Marlowe Makaradhwaja, video editor Ridwan Rudianto, dan desainer grafis Jaya Pattra Ditya. Beth Skinner secara konsisten memberi saran dan dukungan yang tak bisa dihitung kepada proyek ini. Saya selalu terinspirasi oleh putra dan putri saya, Nico dan Gabrielle, yang tarian dan gubahan musiknya sealami bernafas. Dan akhirnya, apresiasi mendalam kami haturkan kepada Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions atas kemahirannya dalam mendengarkan, kecanggihan teknisnya dalam rekayasa suara ‘sound engineering’, keahliannya dalam bidang pemutar piringan hitam ‘turntable’ dan dedikasinya yang tulus dalam proses pemulangan kembali ‘repatriation’ dengan tujuan membuat rekaman-rekaman bersejarah ini tersedia untuk masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.
125
Edward Herbst pertama kali mengunjungi Bali pada tahun 1972 sembari menyelesaikan studi B.A. di Bennington College dan dibiayai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama setahun untuk mempelajari gendér wayang dan palégongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, praktik pembuatan dan akustik gong di Tihingan, Klungkung, dan keterhubungan gamelan dan dramatari. Ia dan Beth Skinner belajar dari I Nyoman Kakul, master gambuh, baris, dan topéng, sembari tinggal dengan keluarganya di Batuan. Pada tahun 1980-1981, Herbst mendapat hibah dari Fulbright-Hays untuk mempelajari dan meneliti pementasan musik vokal dengan gamelan dan dramatari di Bali selama lima belas bulan, berguru di antaranya dengan I Made Pasek Tempo dari Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pandé Made Kenyir dari Singapadu, serta I Ketut Rinda dari Blahbatuh. Herbst ditugaskan oleh sanggar teater-tari eksperimental Indonesia di bawah pimpinan Sardono Kusumo untuk berkolaborasi sebagai komponis dan vokal tunggal dalam Maha Buta di Swiss dan Mexico serta dalam film karya Sardono, The Sorceress of Dirah, di Indonesia. Setelah meraih Ph.D dalam bidang Etnomusikologi dari Wesleyan University, Herbst kembali berada di Bali selama empat bulan pada tahun 1992 (dibiayai oleh Asian Cultural Council) untuk menyelesaikan penelitian untuk buku Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Herbst terus membagi waktunya antara penelitian, mengajar dan turut serta dalam berbagai proyek kreatif di Indonesia dengan perannya di Amerika Serikat sebagai coartistik direktur dan komponis untuk kelompok pementasan Triple Shadow. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College–City University of New York. Sepanjang tahun 2014-2015, Edward Herbst akan melakukan berbagai studi lapangan dan seminar di Bali yang berhubungan dengan rekam jejak musik tahun 1928 dan keberlanjutannya di masa sekarang. Hibah Fulbright Senior Research Scholar Award 2014-15 membantu Edward Herbst dalam melaksanakan penelitian lapangan dan seminar-seminar yang berkaitan dengan rekamanrekaman bersejarah tahun 1928 ini dan seni-budaya Bali masa kini, disponsori oleh AMINEF dan Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia.
126
Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan Arthanegara, G.B. et al. 1980. Riwayat Hidup Seniman dan Organisasi Kesenian Bali. (Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik [Tradisional] dan Baru). Aryasa, I Wayan et al. 1984–85. Pengetahuan Karawitan Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Astita, I Nyoman. 2002. “I Lotring: (Tokoh Pembaharu Seni Tabuh Pelegongan di Bali).” In: Mudra, Vol. 10, No. 1. 126–140. (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar). Bandem, I Made. 2009. Wimba Tembang Macapat Bali. (Denpasar: BP STIKOM Bali). _____. 1986. Prakempa: Sebuah Lontar Gamelan Bali. (Denpasar: ASTI). _____. 1991. “Tari Sebagai Simbol Masyarakat.” Jurnal Seni (ISI: Yogyakarta). _____. and Fredrik E. deBoer. 1981. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (2nd Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995). _____. 1983a. “The evolution of legong from sacred to secular dance of Bali”, In Dance Research Annual 14:113-19. _____. 1983b. Ensiklopedi Tari Bali. (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia). Bandem, N.L.N. Suasthi Widjaja. 2014. Barong Kuntisraya: Ikon Seni Pertunjukan Bali Kontemporer. (Denpasar: BP STIKOM Bali). _____. 2012. Dharma Pagambuhan. (Denpasar: BP STIKOM Bali). Bartók, Béla. 1992. Béla Bartók Essays, ed. Benjamin Suchoff (Lincoln: University of Nebraska [Bison] Press). Becker, Judith. 2004. Deep Listeners: Music, Emotion and Trancing (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press). _____. 1993. Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java (Arizona State University: Program for Southeast Asian Studies). _____. and Alan H. Feinstein, eds. 1988. Karawitan: Source Readings in Javanese Gamelan and Vocal Music, 3 vols. (Michigan Papers on South and Southeast Asia. Ann Arbor: The University of Michigan). Belo, Jane, ed. 1970. Traditional Balinese Culture (New York: Columbia Univ. Press). _____. 1960. Trance in Bali. (New York: Columbia University Press). _____. 1949. Bali: Rangda and Barong. (Seattle and London: University of Washington Press). Brunet, Jacques. 1989. Hommage a Wayan Lotring. Two LP sound discs. (France: Ocora, Harmonia Mundi). Catra, I Nyoman. 2005. “Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama/Theater” (Ph.D. diss. Wesleyan University). Carpenter, Bruce W., John Darling, Hedi Hinzler, Kaja M. McGowan, Adrian Vickers, and Soemantri Widagdo. 2014. Lempad of Bali: The Illuminating Line. (Singapore: Editions Didier Millet). Cohen, Mathew Isaac. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903. (Athens: Ohio University Press). Emerson, Sharon B. and Sunny K. Boyd. 1999. “Mating Vocalizations of Female Frogs: Control and Evolutionary Mechanisms.” In Brain, Behavior and Evolution. (Basel: S. Karger AG). 53: 187–197. 127
Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. (New York: A. A. Knopf). [Reprinted 1956]. Darma Putra, I Nyoman. 2009. “‘Kidung Interaktif’: Reading and Interpreting Traditional Balinese Literature through Electronic Mass Media.” In Indonesia and the Malay World. Volume 37, Issue 109. Davies, Stephen. “The Origins of Balinese Legong”. In Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde. Vol. 164, No. 2/3 (2008), pp. 194-211. Dibia, I Wayan. 2012. Taksu: in and beyond arts. Yogyakarta: Wayan Geria Foundation. _____. 2008. Seni Kakebyaran, ed. Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation). _____. and Ballinger, Rucina. 2004. Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali (Singapore: Periplus Editions). _____. 1992. “Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and Transformation.” (Ph.D. diss., University of California, Los Angeles). Djelantik, A.A. Made. 1997. The Birthmark: Memoirs of a Balinese Prince. Hong Kong: Periplus Editions. _____. “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa.” Mudra: Jurnal Seni Budaya (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 1993) 16–35. Fleischmann, Arthur. 2007. Bali in the 1930s: Photographs and Sculptures by Arthur Fleischmann. (The Netherlands: Pictures Publishers). Geertz, Clifford.1980. Negara: The Theatre-State in Nineteenth-Century Bali. (Princeton: Princeton University Press). _____. The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Geertz, Hildred. 2004. The Life of A Balinese Temple: Artistry, Imagination and History in a Peasant Village. (Honolulu: University of Hawaii Press). _____. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson and Margaret Mead. (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994). _____. 1991. “A Theatre of Cruelty: The Contexts of a Topéng Performance.” In: State and Society in Bali, ed. by Hildred Geertz (Leiden: KITLV Press, 1991) 165–98. Gold, Lisa. 2004. Music in Bali: Experiencing Music, Expressing Culture. (New York: Oxford University Press). _____. 1998. “The Gender Wayang Repertoire in Theater and Ritual.” (Ph.D. diss., University of California at Berkeley). Gray, Nicholas. 2011. Improvisation and Composition in Balinese Gendér Wayang. Burlington and Surrey: Ashgate Publishing Co. Hanks, Lucien M. 1972. Rice and Man: Agricultural Ecology in Southeast Asia. Chicago: Aldine. New Edition: (Honolulu: University of Hawaii Press, 1992). Harnish, David. 2005. Bridges to the Ancestors: Music, Myth and Cultural Politics at an Indonesian Festival (Honolulu: University of Hawaii Press). Heimarck, Brita. 2003. Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views. (New York: Routledge). Herbst, Edward. 2014. “Tembang Kuna: Songs from an Earlier Time.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/bali-1928-vol-ii-tembangkuna- %E2%80%A2-songs-from-an-earlier-time/ _____. 2009. “Bali, 1928: Gamelan Gong Kebyar.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1999. “The Roots of Gamelan.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1997. Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance 128
Theater (Hanover and London: Wesleyan University Press). _____. 1997. “Baris,” “Gamelan,” “Indonesia: An Overview,” “Balinese Dance Traditions,” Balinese Ceremonial Dance,” “Balinese Dance Theater,” “Balinese Mask Dance Theater,” “Kakul, I Nyoman,” “Kebyar,” “Légong,” “Mario, I Ketut,” “Sardono,” “Wayang.” International Encyclopedia of Dance, ed. by Selma Jeanne Cohen (New York: Oxford University Press and Dance Perspectives Foundation). Hinzler, H.I.R. 1994. “Balinese Palm-leaf Manuscripts.” In Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 149, pp. 438–74. Hiss, Philip Hanson. 1941. Bali. New York: Duell, Sloan and Pearce. Hobart, Mark. 2007 “Rethinking Balinese dance”, Indonesia and the Malay World 35101:107-28. _____. 1978. “The Path of the Soul: The Legitimacy of Nature in Balinese Conceptions of Space.” In Natural Symbols in Southeast Asia, ed. by Miller, G. B. (London: School of Oriental and African Studies) 5–28. Hood, Mantle. 1969. “Bali.” Harvard Dictionary of Music, ed. by W. Apel (Cambridge: Harvard University Press) 69–70. _____. “Slendro and Pelog Redefined.” UCLA Selected Reports, 1: 28–48. Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Heavenly Orchestra of Bali. 2013. I Wayan Sumendra: leader, trompong; Walter Quintus, producer. CMP (Creative Music Productions); 1995: Silva Screen Records]. Hooykaas, C. 1973. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. (Amsterdam, London. North-Holland Publishing Company). Laksmi, Desak Made Suarti. 2007. Kidung Manusa Yadnya: Teks dan Konteksnya dalam Masyarakat Hindu di Bali. (Denpasar: Institut Seni Indonesia). Lansing, J. Stephen. 1991. Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali (Princeton: Princeton University Press). Mardika, I Nyoman, Mardika, I Made & Sita Laksmi, A.A. Rai. 2011. Pusaka Budaya: Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Geriya, I Wayan (ed). Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. McKay, J. Lindley. 2006. Field Guide to Amphibians and Reptiles of Bali. (Malabar, FL: Krieger Publishing Company). McPhee, Colin. 1970. “The Balinese Wayang Kulit and Its Music.” In: Traditional Balinese Culture, ed. by Jane Belo (New York: Columbia University Press) 146– 211. _____. 1966. Music in Bali (New Haven: Yale University Press; reprint, New York: Da Capo Press, 1976). _____. “Children and Music in Bali.” In: Childhood in Contemporary Cultures, ed. by Margaret Mead and Martha Wolfenstein (Chicago: Chicago University Press, 1955). _____. 1948. A Club of Small Men (New York: The John Day Co.). _____. 1946. A House in Bali (New York: The John Day Company; reprint, Oxford University Press, 1987). _____. 1935. “The Absolute Music of Bali.” In: Modern Music 12 (May–June) 163–69. Medera, I Nengah et al. 1990. Kamus Bali–Indonesia (Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali).
129
Nordholt, Henk Schulte. 1986. Bali: Colonial Conceptions & Political Change, 1700– 1940: From Shifting Hierarchies to “Fixed Order.” (Rotterdam: Erasmus University). Oja, Carol J. 1990. Colin McPhee: Composer in Two Worlds (Washington and London: Smithsonian Institution Press). Ornstein, Ruby. 1971. “Gamelan Gong Kebyar: The Development of a Balinese Musical Tradition.” (Ph.D. dissertation, UCLA). Pemda Tim Humas Kodya Denpasar: I Nyoman Astita, I Ketut Gedé Asnawa, I Gusti Ngurah Gedé Pemecutan, I Gusti Ngurah Yadnya. 1999. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: Pemda Kodya Denpasar). Perlman, Marc. 2004. Unplayed Melodies: Javanese Gamelan and the Genesis of Music Theory. (Berkeley: Univ. California Press). _____. 1997. “Conflicting Interpretations: Indigenous Analysis and Historical Change in Central Javanese Music.” In Asian Music 28 (1) 115–40. Rai, Wayan. 1992. “Balinese Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Modal System.” (Ph.D. diss., University of Maryland–Baltimore County). Rembang, I Nyoman. 1973. Gamelan Gambuh dan Gamelan–gamelan Lainnya di Bali (Denpasar: Kertas Kerja Pada Workshop Gambuh, 25 Agustus s/d/ 1 September). _____. 1984–85. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending–Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Richter, Karl. 1992. “Slendro–Pelog and the Conceptualization of Balinese Music: Remarks on the Gambuh Tone System.” Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman. Basler Studien zur Ethnomusikoligie. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 195– 219. Rhodius, Hans and Darling, John; ed. John Stowell. 1980. Walter Spies and Balinese art. (Amsterdam: Terra, under the auspices of Tropenmuseum). Robson, Stuart. 2002. Javanese English Dictionary. (Singapore: Periplus). Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses: The Balinese ritual of kekawin composition. (Leiden: KITLV Press). _____. 1992. “Pepaosan: Challenges and Change.” In Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman, D. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 85–114. Sanggra, Made. 1993. Tiga Sekawan dari Sukawati Pencipta Tari Legong Keraton (Dalam Kiwa Tengen Dalam Budaya Bali p. 72-82, ed. Jiwa Atmaja). Denpasar: CV Kayumas Schaareman, Danker H. 1980. “The Gambang of Tatulingga, Bali.” In Ethnomusicology, vol. 24, No. 3 (Sep., 1980) 465–482. _____. “The Power of Tones: Relationship Between Ritual and Music in Tatulingga, Bali.” In Indonesia Circle, No. 52, June 1990) 5–21. Seebass, Tilman. 1986. “Notes and Paradigms.” In: La Musique et Le Rite Sacré et Profane. Vol.1. (Strasbourg: Association des Publications pres les Universités de Strasbourg). 207–221 _____. I Gusti Bagus Nyoman Pandji, I Nyoman Rembang, and Poedijono. 1976. The Music of Lombok (Bern: Francke Verlag Bern, Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie 2). 130
Simpen, I Wayan. 1979. “Sejarah Perkembangan Gong Gedé.” (Naskah dikirim kepada Harian Bali Post). Sinti, I Wayan. 2011. Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali. (Denpasar: TSP Books). Stowell, John. 2012. Walter Spies: A Life in Art. (Jakarta: Afterhours Books). Suarya, I Wayan. 1974. “Tari Gandrung di Ketapian.” Sarjana Muda thesis. (Denpasar: ASTI-Bali). Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. (Yogyakarta: Duta Wacana University Press). Sudewi, Ni Nyoman. 2011. “Perkembangan dan Pengaruh Legong Keraton Terhadap Pertumbuhan Seni Tari di Bali Pada Periode 1920–2005.” Doctoral dissertation. Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Sugriwa, I.G.B. Sudhyatmaka. 2008. “Lomba–lomba Gong Kebyar Di Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Datang.” In Seni Kakebyaran, ed. by I Wayan Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation. (70–85). Sugriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. (Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali). _____. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. (Denpasar: KOKAR-Bali). Sukartha, Nyoman. 1979. “Hubungan seni mabebasan dengan seni-seni lain.” In: I Wayan Jendra (ed.). Kehidupan mababasan di kebupaten Badung. (Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Universitas Udayana). Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (Chicago: University of Chicago Press). Sumarta, I Ketut and Westa, I Wayan, eds. 2000. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: PEMDA Kota Denpasar). Sutjaja, I Gusti Made. 2006. Kamus Bali-Indonesia-Inggeris. (Denpasar: Lotus Widya Suari Bekerjasama dengan: Penerbit Universitas Udayana). Tenzer, Michael. Gamelan Gong Kebyar. 2000. (Chicago: University of Chicago Press). _____. 1992. Balinese Music (Singapore: Periplus Editions). Toth, Andrew. 1980. Recordings of the Traditional Music of Bali and Lombok (The Society for Ethnomusicology, Inc. Special Series No. 4). _____. 1975. “The Gamelan Luang of Tangkas, Bali”, UCLA Selected Reports in Ethnomusicology 2(2): 65–79). Vickers, Adrian. 1989. Bali: A Paradise Created (Singapore: Periplus Editions). _____. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World.” Indonesia 44: 30–58. _____. 1985 “The Realm of the Senses: Images of the Courtly Music of Pre-Colonial Bali.” Imago Musicae, International Yearbook of Musical Iconography, Vol. 2, pp. 143-77. Van Eck. 1878-1880 ‘Schetsen van het Eiland Bali’, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 4th series, 7,8,9. Vitale, Wayne. 2002. “Balinese Kebyar Music Breaks the Five–Tone Barrier: New Music for Seven–Tone Gamelan.” Perspectives of New Music 40/2) 5–69. Wartini, Ni Gusti Ayu. 1978. “Legong Keraton Peliatan: Suatu Tinjauan Terhadap Style dan Fungsinya”. Sarjan Muda thesis. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia. Wiener, Margaret J. 1995. Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. (Chicago and London: University of Chicago Press). 131
Yayasan Pustaka Nusatama. 2007. Kamus Bali-Indonesia (Edisi Ke-2). Denpasar: Balai Bahasa Denpasar-Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional. Yudha, I Nyoman. 1968. Sekaa Gong Sad Merta Belaluan: Juara Merdangga Utsava I (Festival Gong Kebyar). (Second printing, 2005). Zoete, Beryl de, and Spies, Walter. 1938. Dance and Drama in Bali (London: Faber and Faber, Ltd.) New Edition, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973. Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan; a Survey of Old Javanese Literature. (The Hague: Martinus Nijhoff). _____. with Robson, S.O. 1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 vols. (The Hague: Nijhoff). Zurbuchen, Mary S. 1991. “Palmleaf and performance; The epics in Balinese theater.” In: Joyce Burkhalter Flueckiger and Laurie J. Sears (eds.) Boundaries of the text; Epic performances in South and Southeast Asia. pp. 127-40. (Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan). [Michigan Papers on South and Southeast Asia 35]. _____. 1989 “Internal translation in Balinese poetry.” In: A.L. Becker (ed.), Writing on the tongue, pp. 215-279. Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. [Michigan Papers on South and Southeast Asia 33]. _____. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater (Princeton: Princeton University Press).
132