Bali 1928, vol. II Tembang Kuna: Nyanyian dari Masa Lampau Tembang, Kidung dan Kakawin dari Geria Pidada, Klungkung, Geria Budha Kaliungu, Banjar Abian Timbul, Geria Tampakgangsul dan Penarukan, Singaraja
❁ Edward Herbst 2014
STMIK STIKOM BALI www.bali1928.net www.arbiterrecords.org
Daftar Isi iii 1 7 10 13 17 21 31 34 37 39 44 48 51 55 57 61 65 66 69 71 71 72 74 77 78 80 82 83 84 87 94 94 97 99 102 110 112 113 118
Daftar Foto Pendahuluan Linimasa Rekaman Bali 1928 Dunia Seorang Pujangga di Klungkung pada Abad ke-19 Pandangan-Pandangan Tentang Nyanyian Bali Notasi pada Kertas dan Daun Lontar Tembang: Sebuah Pengantar Singkat Sekilas Tentang Kehidupan Ida Bagus Oka Kerebuak CD Trek #1: Pangkur (Tejaning Smara) CD Trek #2: Sinom Salya CD Trek #3: Semarandana (Asmaragama: Twan Sumeru) CD Trek #4: Dangdang Gula CD Trek #5: Mas Kumambang CD Trek #6: Pangkur Sekilas Kehidupan Ida Boda CD Trek #7: Dangdang Gula I (Duh Ratnayu-Smara Pralaya) CD Trek #8: Dangdang Gula II (Duh Ratnayu-Smara Pralaya) CD Trek #9: Adri I (Raos Ngempelin) CD Trek #10: Adri II Sekilas Kehidupan Ni Dayu Madé Rai CD Trek #11: Dangdang CD Trek #12: Semarandana Tuan Déwi CD Trek #13: Pucung I: Istri Ayu CD Trek #14: Pucung II: Istri Ayu Sekilas Kehidupan Ida Bagus Ngurah CD Trek #15: Kidung Lulungid CD Trek #16: Kidung Demung Gulaganti Sekilas Kehidupan Ni Lemon CD Trek #17: Wargasari I CD Trek #18: Wargasari II Pandangan-Pandangan Tentang Kakawin Sekilas Kehidupan Ida Madé Tianyar dan Ida Bagus Wayan Buruan CD Trek #19: Kakawin Bharatayuddha CD Trek #20: Kakawin Ramayana CD Trek #21: Kakawin Boma (Bomantaka) CD Trek #22: Kakawin Smaradahana Keterangan Tentang Film Tanpa Suara dalam DVD Pangkur Sasak Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan
ii
Daftar Foto 1 28 29 30 47 53 54 62 63 67 68 76 93 108 109 117
Piringan Hitam Beka 78 rpm berlabel Bahasa Melayu dan aksara Bali Ida Bagus Oka Kerebuak Ida Bagus Oka Kerebuak dengan kemenakan perempuannya Topéng Patih Gajah Mada buah karya Ida Bagus Oka Kerebuak Pragina Topéng dari Klungkung di Istana Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Ida Boda mengajar légong bersama gamelan palégongan dari Kelandis Ida Boda mementaskan tokoh panasar dengan Jangér Kedaton Ida Déwa Agung Gdé Rai Ida Déwa Agung Gdé Jambé Ni Dayu Madé Rai I Déwa Ketut Mantra alias Bagus Mantra Ida Bagus Ngurah alias Ida Pedanda Gdé Ngurah Ida Madé Tianyar alias Ida Pedanda Gdé Madé Manuaba Ida Pedanda Madé Sidemen Lembar belakang foto Ida Pedanda Madé Sidemen Tim Peneliti Bali 1928 dengan ahli gandrung I Madé Sarin
iii
Pendahuluan Rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 (dan kemungkinan juga pada tahun 1929) sebagai bagian dari sebuah koleksi yang pertama kali dan satu-satunya diluncurkan secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II. Diluncurkan pada tahun 1929 dalam format piringan hitam 78 rpm, cakram-cakram yang diedarkan secara internasional tersebut bermaterikan beragam pilihan gamelan dan tembang Bali baik bergaya lama maupun baru. Dijual ke seluruh penjuru dunia (atau seperti yang terjadi kemudian ternyata tidak laku untuk dijual), piringan-piringan hitam tersebut secara cepat habis dan hilang dari peredaran. Saat itu merupakan masa yang sangat penting dalam kesejarahan gamelan Bali mengingat di seantero pulau tengah terjadi revolusi seni dengan menonjolnya kebyar sebagai gaya gamelan yang baru dan berkuasa. Kelompok-kelompok gamelan berpacu melebur gamelan kuna mereka, untuk ditempa ulang ke dalam gaya yang baru tersebut. Persaingan yang sengit antara desa-desa berikut daerah-daerah merangsang para komponis muda untuk mengembangkan berbagai inovasi dan teknik permainan yang apik dan baru. Terkait rekaman-rekaman bersejarah ini, Andrew Toth menulis: Perwakilan dari perusahaan rekaman Odeon dan Beka dikirim pada bulan Agustus tahun 1928 untuk memperluas cakupan mereka sampai ke Bali. Lima dari sembilan puluh delapan matriks (sisi piringan hitam) yang tersedia saat itu dipilih dan
1
disertakan dalam sebuah antologi musik tradisi non-Barat bertajuk “Music of the Orient” oleh peneliti termasyhur Erich M. von Hornbostel. Koleksi inilah yang mengawali ketertarikan banyak orang, masyarakat luas, dan juga kaum etnomusikolog akan musik Indonesia. Sepertiga dari hasil rekaman Odeon dan Beka akhirnya muncul di Eropa dan Amerika, namun sebagian besar sejatinya ditujukan untuk pasar lokal di Bali. Berkaitan dengan tujuan tersebut, informasi pada label-label piringan hitam pun dicetak dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar yang berlaku di wilayah kepulauan Nusantara, dan malahan ada yang ditulis dalam aksara Bali. Rencana ambisius untuk mengembangkan pasar lokal itu akhirnya berujung kegagalan total karena terbatasnya minat masyarakat Bali terhadap teknologi baru dan mahal tersebut, terutama karena mereka dengan mudah bisa menyaksikan secara langsung berbagai pementasan yang hadir setiap harinya secara marak di ribuan pura dan rumah-rumah di seluruh pulau. Hanya Colin McPhee yang muncul sebagai pelanggan, membeli cakram-cakram 78 rpm itu sepanjang tahun dari seorang penjual yang putus asa; dan kebanyakan koleksinya masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini, selamat dari kekecewaan dan kemarahan sang agen yang menghancurkan semua stok yang tersisa (McPhee, 1946: 72). Menariknya, semua rekaman dilakukan di bawah bimbingan Walter Spies, seorang pelukis dan musisi yang pengetahuan intimnya tentang seni dan budaya Bali tersedia begitu bebas dan kerap menguntungan penelitian atau karya pihak lain (Rhodius, 1964: 265; Kunst, 1974: 24). Walau dibatasi oleh sarana yang hanya berdurasi tiga menit, rekaman-rekaman tersebut adalah contoh menakjubkan dari kekayaan genre musikal baik vokal maupun instrumental, serta generasi komponis, seniman dan sekaa ‘kelompok’ gamelan masa itu yang kini dihormati sebagai guru-guru terpandang dan sekaa-sekaa legendaris, seperti I Wayan Lotring, I Nyoman Kalér, gamelan gong Pangkung, Belaluan, dan Busungbiu. Dokumentasi suara dari berbagai warisan dan pusaka musikal Bali yang tak ternilai harganya memuat berbagai gaya nyanyian yang nyaris tak terdengar saat ini; lalu Kebyar Ding, sebuah gubahan tabuh yang secara historis sangat penting, yang kini bisa dipelajari kembali oleh generasi penabuh masa sekarang melalui rekaman-rekaman yang dahulunya dibuat oleh para ayah dan kakek mereka seperti yang termuat dalam cakram-cakram asli tersebut; dan juga berbagai rekaman para penyanyi terkenal yang bahkan disakralkan oleh para keturunannya dengan menyimpan salinan kasetnya di pura keluarga. Tidak ada lagi materi baru yang diluncurkan di Barat pada masa depresi dan peperangan yang menyusul belakangan, hanya ada penerbitan ulang dari cakramcakram 78 rpm yang lama pada beberapa label rekaman yang berbeda dan dalam beberapa antologi.1
Semenjak catatan Andrew Toth, telah begitu banyak piringan hitam dan berbagai tautan informasi lainnya muncul ke permukaan. Penelitian kami menemukan fakta di mana seorang pemilik toko keturunan Cina bernama Ang Ban Siong terus-menerus menyediakan cakram-cakram Beka di tokonya, Toko Surabaya yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga di Denpasar sampai tibanya masa pendudukan Jepang di tahun 1942, ketika ia 1
Toth (1980: 16-17)
2
akhirnya memindahkan keluarganya ke Sayan, Ubud.2 Kemudian, seorang wanita muda bernama Nancy Dean dari Rochester, New York, yang diutus oleh orang tuanya pada tahun 1936 untuk menikmati pesiar tersohor “South Sea Island Cruise” sebagai upaya memisahkannya dari seorang kekasih, membeli beberapa keping piringan hitam dari “dua pria Jerman yang baik hati” di Bali,3 yang sangat menguntungkan bagi kita masih dalam kondisi sempurna di tahun 2003 karena cakram-cakram tersebut tak pernah diputar. Pada masa tahun 1980-an dan 1990-an, Philip Yampolsky berhasil menemukan 101 matriks (sisi piringan hitam 78 rpm) di berbagai pusat arsip di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda. Yampolsky membagi informasi itu kepada direktur Arbiter of Cultural Traditions, Allan Evans dan saya, yang selanjutnya menjembatani usaha kami ke seluruh dunia untuk mengakses dan menerbitkan kembali masing-masing cakram 78 rpm yang ada. Proses mendapatkan izin dari masing-masing pusat arsip termasuk mengunjungi sebagian besar koleksinya memakan waktu delapan tahun. Sembari mencari koleksi pribadi lainnya, kami menemukan sebuah cakram Odeon yang merupakan bagian dari koleksi asli tahun 1928 tak tercatat oleh Toth maupun Yampolsky - pada sebuah daftar lelang di daerah pedesaan Texas. Selanjutnya, kami kembali menemukan sebuah cakram yang belum dirilis, persis sebagaimana catatan Toth di rak-rak penyimpanan pusat arsip University of California, Los Angeles (UCLA). Baru-baru ini, kami berhasil menemukan empat sisi piringan hitam lainnya di Bali. Temuan terakhir ini melengkapi jumlah koleksi kami menjadi 111 sisi piringan hitam yang masing-masing berdurasi tiga menit, dan semuanya direncanakan akan dirilis sebagai kumpulan CD Bali 1928 yang terdiri dari lima buah CD dan sebuah antologi. Berdasarkan sebuah katalog Beka Music Company, terungkap jelas bahwa Odeon dan Beka ternyata merekam lebih banyak karya dibanding yang telah kami temukan, namun keputusan untuk tidak mencetak lebih lanjut tentu diambil setelah kedua label rekaman itu menyadari keberadaan pangsa pasar yang sangat kecil. Master rekaman yang berwujud pelat aluminium kemungkinan besar disimpan di pabrik Carl Lindstorm (induk perusahaan Odeon dan Beka) di Berlin, yang dibombardir pada saat Perang Dunia II. Namun, terdapat sudut pandang lain yang mendahului peperangan. Pada tahun 1937 Béla Bartók menulis: “Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan ini sangat sibuk merekam musik rakyat dari berbagai negara eksotis; dengan keuntungan yang diharapkan datang dari hasil penjualan kepada para penduduk asli. Namun, ketika penjualan menurun entah apa pun alasannya, perusahaan-perusahaan ini menarik produksinya dari peredaran dan berbagai piringan hitam yang ada kemungkinan besar dilebur. Ini pernah terjadi terhadap satu seri rekaman musik Jawa yang bernilai tinggi oleh Odeon, seperti dikutip dalam bibliografi Musique et chansons populaires dari Liga Bangsa-Bangsa. Jika semua piringan hitam itu ternyata memang benar dimusnahkan, tindakan semacam itu merupakan bentuk perusakan yang semestinya bisa dicegah oleh negaranegara melalui pemberlakuan hukum, sama halnya dengan keberadaan hukum di beberapa negara yang melarang penghancuran ataupun perusakan monumen bersejarah.”4
2
Percakapan dengan putri Ang Ban Siong (2009) Menurut salah seorang sahabatnya, etnomusikolog Ellen Koskoff (Email pribadi, 2003) 4 Bartók (1992: 294). Ketertarikan Bartók berlanjut dalam repertoar konsernya: ia dan istrinya memainkan transkripsi McPhee untuk dua piano berjudul “Balinese Ceremonial Music,” di Amherst College pada 1942 (Oja 1990:153, 179). Salah satu karya itu adalah Buaya Mangap (Tabuh Telu) pada koleksi Bali 1928: CD #1. 3
3
Delapan puluh tahun setelah sesi rekaman bersejarah itu, dan setelah mendapatkan cakramcakram tersebut serta menyalinnya ke dalam format CD, tim peneliti kami mulai mengunjungi seniman-seniman paling tua dan berpengalaman – di desa-desa yang senimannya terlibat dalam sesi-sesi rekaman tahun 1928 - yang kebanyakan sudah berusia 80-an atau 90-an tahun, termasuk tiga diantaranya yang telah berumur 100 tahun. Kami juga berulang kali mengunjungi para keturunan dan anggota keluarga dari generasi seniman tua tersebut, yang kebanyakan juga sudah berusia 70-an dan 80-an tahun. Kami membawa sebuah tape recorder dan memutar kepingan CD yang memainkan alunan tembang dan gamelan yang tidak pernah didengar lagi oleh orang selama delapan puluh tahun. Walau beberapa repertoar masih bertahan, kebanyakan gaya dan estetikanya telah berubah dan banyak gending telah dilupakan. Beberapa keluarga seniman bahkan memberi kami fotofoto dari para seniman yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 tersebut. Sebuah foto yang kami dapatkan di Perpustakaan Umum New York mempertemukan kami dengan salah seorang dari dua seniman yang masih hidup dan terlibat dalam perekaman pada tahun 1928 itu. Tim kami menemui seorang wanita berumur 91 tahun bernama Mémén Redia (Ni Wayan Pempen), yang ketika berumur 10 atau 11 tahun telah menjadi salah seorang pengugal ‘penyanyi tunggal’ dari kelompok jangér dari Kedaton (Bali 1928: CD #5). Mémén Redia menjelaskan suasana sesi rekaman dengan sangat terperinci dan masih mengingat semua lirik lagu, memperbaiki transkripsi awal yang sebelumnya telah kami susun. Ia mengingat dengan gamblang bahwa rekaman dilakukan di ruang terbuka dekat pusat desa, di atas lantai tanah dan di bawah tataring ‘struktur sementara dari bambu’ yang beratapkan kelangsah ‘anyaman daun kelapa’. Ia pun memberi kesan bahwa beberapa sesi rekaman kemungkinan besar berlangsung di areal balé banjar ‘bangunan utama organisasi masyarakat tradisional Bali’ yang tiga sisinya terbuka dengan tembok dan lantai dari batubata atau lumpur padat, dan beratapkan anyaman daun kelapa atau jerami yang disangga tiang-tiang bambu atau kayu kelapa. Kebanyakan dari generasi tetua Bali yang kami kunjungi menyebut piringan hitam dan alat pemutarnya sebagai orgel, barangkali karena alat pemutar piringan hitam disangka berhubungan dengan instrumen orgel ‘organ pipa Belanda’ sebagai sebuah mesin yang menghasilkan bebunyian. Menurut Philip Yampolsky, sebuah katalog Beka Music Company yang kemungkinan dicetak pada tahun 1932, menunjukkan bahwa semua rekaman dalam koleksi Bali 1928 ini dilakukan di Denpasar, Bali, kecuali empat lagu yang dilakukan di Lombok.5 Katalog tersebut juga menyebutkan bahwa ada tiga puluh empat cakram yang direkam pada tahun 1929, yang keseluruhannya bermaterikan nyanyian, kecuali empat sisi rekaman yang memuat jenis kesenian berbeda. Dua puluh lima persen dari koleksi kami bersumber dari koleksi rekaman nyanyian tersebut. Sampai saat ini belum banyak keterangan yang bisa diungkap terkait tur rekaman kali kedua oleh Beka tersebut. Namun, pengarang riwayat hidup Walter Spies, John Stowell, mengatakan bahwa Spies mengungkap adanya “rekaman-rekaman baru oleh Beka” dalam suratnya kepada Jaap Kunst tertanggal 16 November 1929. Dalam sepucuk surat kepada ibunya, Martha Spies, tertanggal 1 Juli 1928, Spies mengatakan bahwa dirinya terikat sebuah kontrak kerja dengan Odeon untuk 5
Komunikasi pribadi dengan Philip Yampolsky (2002)
4
menerbitkan lima puluh piringan hitam dalam waktu tiga tahun.”6 David Sandberg, cucukeponakan Spies dan juga ketua Leo-und-Walter-Spies Archiv di Berlin mengkonfirmasi bahwa surat-surat Spies hanya menyinggung kerjasamanya dengan Odeon dan bagaimana imbalan yang diterimanya nanti akan digunakan untuk membangun sebuah rumah di Ubud. Spies menulis “Imbalan yang ditawarkan ini lebih baik dibanding menerima persentase keuntungan dari rekaman yang berjumlah banyak namun bernilai kecil. Sekarang saya telah memperbaharui sebuah kontrak untuk membuat rekaman gamelan dan nyanyian Bali dengan imbalan 1.000,- guilders per tahunnya…Semua piringan hitam akan diproduksi pada bulan Agustus. Para penabuh (njogos) yang terlibat juga mendapatkan 1.000,guilders, saya diminta bekerja untuk lima puluh piringan hitam.” Pada bulan April 1929, Spies menulis lagi tentang koleksi piringan hitam tersebut kepada ibunya, seraya menjanjikan, “Jikalau uangnya cukup, saya akan mengirimkan beberapa karya terbaik dari rekaman-rekaman yang ada.”7 Walau Odeon dan Beka adalah anak-anak perusahaan yang dinaungi oleh konglomerasi yang sama; Carl Lindstorm, surat-surat Spies menunjukkan adanya persaingan dan operasi bisnis yang berbeda antara masing-masing label rekaman.8 Kami sedang meneliti kemungkinan bahwa Spies tidak terlibat dalam rekaman-rekaman yang dilakukan oleh Beka. Topik ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel-artikel pendamping dari seri CD/DVD Bali 1928 lainnya. Belakangan ini muncul pertanyaan mengenai ketepatan lokasi dari semua sesi rekaman yang dilakukan oleh Beka di Denpasar, mengingat I Wayan Rata, pemain angklung dari Sidan, Gianyar (Bali 1928: CD #4) menyatakan pernah menyaksikan sesi rekaman dilakukan di lingkungan salah satu balé banjar yang terletak di desanya ketika ia berumur 10 tahun. Mata rantai yang hilang dalam pembahasan-pembahasan di masa lalu yang berkenaan dengan rekaman-rekaman bersejarah ini adalah tentang peran Ida Boda (alias Ida Bagus Boda9) yang tentunya menjadi penasihat utama untuk Beka, dan kemungkinan besar juga untuk Odeon dan Walter Spies, terutama dalam memilih para seniman dan sekaa gamelan yang disertakan dalam sesi-sesi rekaman pada tahun 1928 itu. Kesimpulan kami tersebut didasari oleh fakta bahwa begitu banyak kelompok gamelan dan penyanyi yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 ternyata mempunyai kedekatan yang unik dengan Ida Boda, baik sebagai murid maupun sebagai rekan sepanggungnya. Ida Boda dikenal sebagai guru légong dan panasar topéng ‘penari topeng-pembawa cerita-pelawak’ yang sangat tersohor, sering pentas bersama Ida Bagus Oka Kerebuak dari Geria Pidada, Klungkung (diketengahkan dalam CD ini) dan lazim sepanggung dengan Ida Bagus Rai Purya dan Nyarikan Sariada (Bali 1928: CD #5). Dirayakan sebagai seorang tokoh pembaharu yang 6
Komunikasi pribadi dengan John Stowell (2014) Korespondensi email dengan David Sandberg (2009 dan 2014) 8 Salah satu contoh, David Sandberg menulis, “Di Badung (kini Denpasar) terdapat sebuah toko, Behn & Meyer, yang hanya menjual koleksi Beka.” Korespondensi email pribadi (2014). Namun, McPhee pernah menyatakan bahwa sang agen yang menghancurkan keseluruhan koleksinya itu sebenarnya menjual karyakarya hasil rekaman dari kedua perusahaan rekaman, Odean dan Beka. 9 Penambahan sebutan ‘Bagus’ adalah pengembangan pada paruh awal abad ke-20. dan banyak kaum Brahmana di Bali Timur bersikukuh untuk tidak menggunakannya. Setelah mengetahui bahwa kebanyakan rekan sejawatnya memanggil beliau sebagai Ida Boda, kami menanyakan kepada para keturunannya bagaimana sebaiknya menamakan beliau, dan mereka menyepakati kami tidak perlu menggunakan ‘Bagus’. 7
5
memiliki jejaring luas, Ida Boda adalah empu légong untuk gamelan kebyar Belaluan (Bali 1928: CD #1 dan #4), mengajarkan légong kepada gong kebyar Busungbiu (Bali 1928: CD #1), mabebasan dengan Ni Dayu Madé Rai (yang bisa disimak dalam CD ini),10 serta mementaskan jangér bersama sekaa dari Kedaton (Bali 1928: CD #5) sebelum akhirnya ia didaulat menjadi guru bagi kelompok tandingan di desa tetangga Bengkel pada tahun 1930an. Meskipun kedua kelompok jangér tersebut selalu bersaing,11 peran Ida Boda jelas melampui persaingan antar kelompok tersebut,12 seperti dibuktikan dalam foto-foto dari Arthur Fleischman yang diambil antara tahun 1937-1939, di mana Ida Boda terlihat menari sebagai panasar dengan kelompok jangér Kedaton.13 Beliau juga mementaskan topéng dengan gamelan angklung dari Banjar Bun (Bali 1928: CD #4) dan mementaskan Cupak bersama Ida Bagus Oka Kerebuak diiringi sekaa gendér wayang batél dari Kaliungu (Bali 1928: CD #3). Muridnya, Nyoman Kalér (1892–1969), komponis-koreografer-teoretikuspendidik, mengajarkan gamelan jogéd di Pagan (Bali 1928: CD #3) dan angklung di Pemogan (Bali 1928: CD #4), serta memimpin gamelan palégongan Kelandis (Bali 1928: CD #3). Ida Boda pun sangat mengakrabi kelompok cepung Sasak yang direkam di Lombok (Bali 1928: CD #5) dari sekian banyak lawatannya ke sana. Ida Boda bahkan memainkan suling bambu secara tunggal khusus untuk direkam pada tahun 1928 (Bali 1928: CD #4). Dalam koleksi CD Bali 1928 ini, terdapat beberapa rekaman yang sempat didengar oleh komponis muda asal Kanada bernama Colin McPhee (1900-1964) di New York, tak lama setelah peluncuran rekaman-rekaman tersebut.14 Setelah menyimak piringan-piringan hitam Odeon dari tahun 1928 itu, McPhee dan istrinya, antropolog Jane Belo terkesima dan terinspirasi mengunjungi Bali pada tahun 1931, sebuah perjalanan yang justru berkembang menjadi sebuah ekspedisi penelitian selama delapan tahun yang berpuncak pada karya agung McPhee berjudul Music in Bali serta karya-karya Belo bersama Margaret Mead dan Gregory Bateson. Adalah Belo yang kemudian menulis karya penting pula Trance in Bali. Setelah empat tahun di Bali, McPhee menulis sebuah artikel berjudul “The Absolute Music of Bali” untuk jurnal Modern Music di mana ia mengutarakan: “hal yang membuat seorang musisi (Barat) dipenuhi rasa iri dan takjub adalah betapa musik (Bali) memiliki raison d’etre (justifikasi eksistensi) yang sungguh memuaskan untuk hadir dalam masyarakatnya. Para musisi adalah bagian tak terpisahkan dari kelompok sosial, setara pandai besi dan emas, arsitek dan pengarang, penari dan aktor, sebagai bagian dari struktur masing-masing desa. Rendah hati dan sederhana, mereka sangat bangga dengan kesenian mereka, sebuah 10
Menurut Ida Wayan Padang dan I Wayan Rugeh Menurut I Madé Monog, anggota jangér Kedaton sejak tahun 1930-an 12 Menurut Ida Bagus Pujiarsa (1947—) 13 Fleischmann (2007). 14 “Seingat saya, pada tahun 1929, kami di New York berkesempatan mendengar beberapa rekaman pertama dari musik Bali, yang dibuat oleh Odeon dengan arahan dari Walter Spies. Rekaman-rekaman yang kami dengar dibawakan oleh Claire Holt dan Gela Archipenko (istri dari sang pematung) yang baru saja kembali dari Jawa dan Bali…Kami memutuskan untuk berangkat pada musim dingin…Itu terjadi pada tahun 19301931…” Belo: Traditional Balinese Culture: 1970: xviii. Tetapi menurut New York Public Library’s Guide to the Holt, Claire, 1901–1970. Papers, ca 1928–1970, kunjungan pertama Holt ke Indonesia adalah pada tahun 1930. Lihat http://www.nypl.org/research/manuscripts/dance/danholt.xml 11
6
kesenian yang tanpa kepemilikan diri sehingga komponisnya pun kehilangan identitas pribadinya.”15 Walau pandangan ideal McPhee tentang musik Bali adalah “ketiadaaan kepemilikan personal,” sehingga gubahan-gubahan tidak dilekatkan kepada komponis-komponis tertentu, hal ini tak terjadi dalam perjalanan abad ke-20.16 Bahkan diawal tahun 1930-an, McPhee mengutip komponis I Wayan Lotring: “Ké–wĕh!17 Sangat sulit untuk digubah! Selama bermalam-malam aku tak tidur, memikirkan sebuah karya baru. Pikiranku berputarputar. Aku mendengarnya dalam mimpi. Rambutku rontok memikirkan musik.”18 Linimasa Rekaman Bali 1928 Di tahun 1928, Bali adalah jajahan dari Hindia Belanda (kini bagian dari Republik Indonesia) walau seluruh raja-raja Bali baru sepenuhnya ditaklukkan pada tahun 1908. Kebyar muncul semasa pergantian abad ke-20 di wilayah Buléléng, Bali Utara, yang takluk pada pemerintah Belanda di awal tahun 1849 setelah kekuatan militer yang setia kepada Raja Bali di Lombok bersekutu dengan Belanda dan berhasil membunuh panglima militer dan penasehat utama Raja Buléléng, Gusti Ktut Jlantik, serta Raja Buléléng dan Raja Karangasem, Bali Timur. Pada masa itu, konflik kekuasaan antara delapan raja-raja di Bali memudahkan Belanda untuk mengadu-domba satu kerajaan dengan yang lainnya. Tujuan utama Belanda tentunya adalah penguasaan ekonomi. Untuk membenarkan tujuan itu, Belanda memberikan alasan moral yaitu penghapusan perdagangan budak (yang telah menguntungkan Belanda untuk sekian lama) dan pengorbanan janda berkaitan dengan upacara pembakaran jenazah raja. Satu demi satu kerajaan runtuh diserang Belanda: Lombok pada tahun 1894, Badung (Denpasar) pada tahun 1906 dan Klungkung pada tahun 1908. Masing-masing runtuh melalui “suatu tradisi untuk mengisyaratkan ‘berakhirnya’ sebuah kerajaan,” yang dikenal sebagai puputan. Kata puputan memang berarti “berakhir’. Puputan adalah penanda bagi raja-raja lainnya tentang ajal menjemput, dan suatu cara untuk membebaskan jiwa melalui peperangan sampai titik darah penghabisan.”19 Adrian Vickers melanjutkan, “…Belanda bergerak ke Denpasar. Pada dinihari tanggal 20 September, sang raja berikut keluarga dan ribuan pengikutnya bersenjatakan lengkap, 15
McPhee (1935: 163) Hildred Geertz (2004) menantang ide tentang anonimitas dengan menunjukkan bahwa pematung-pematung di Batuan dikenal secara perorangan dan diapresiasi selama masa hidupnya untuk karya-karya yang diciptakan untuk kepentingan Pura Desa, namun karena catatan tertulis tidak disimpan, identitas mereka bisa dilupakan dari waktu ke waktu. 17 Pengejaan dalam tulisan ini mengacu kepada kamus ortografi Bali modern seperti Kamus Bali Indonesia oleh I Nengah Médera dan lain-lain (1990) dan Kamus Bali-Indonesia oleh Yayasan Pustaka Nusatama, dengan editor I Nengah Sukayana (2008). Walau telah diusulkan sedari tahun 1972, sistem ini tidak diterapkan secara teratur dalam penulisan naskah seni, namun kami memutuskan mematuhinya sebaik mungkin demi mencerminkan keterhubungan yang erat dengan aksara Bali. Sebagai contoh, banyak kata yang terucap ‘pe’ atau ‘peng’ dituliskan di sini sebagai ‘pa’ dan ‘pang’. Perlu diperhatikan bahwa pengejaan katakata Bali dalam huruf Latin sangat beragam, yang menunjukkan penyesuaian yang berbeda-beda dari naskah berbahasa Bali. 18 McPhee (1946: 162) 19 Vickers (1989: 34) 16
7
semua berbusana putih-putih, siap menjelang ajal dalam pertempuran, berbaris dan berderap menyambut kedatangan tentara Belanda. Satu demi satu prajurit mengamuk ke garis depan, tak gentar, seolah peluru-peluru Belanda akan terpental dari tubuh mereka. Tentara Belanda menembaki ‘wanita-wanita dengan senjata tajam terhunus di tangan, tombak atau keris, dan anak-anak dalam gendongan’ yang ‘merangsek maju tanpa takut, mendekati musuh dan menjemput maut’…tidak mungkin menyerah: ‘upaya untuk melucuti mereka hanya berujung kepada bertambahnya korban di pihak kami. Mereka yang selamat berulang kali diteriaki dan dipaksa untuk menyerah, namun sia-sia’. Sang raja, keluarganya dan pengikutnya maju tanpa henti, tak terbendung, membunuh diri sambil mencabut nyawa tentara Belanda yang menghadang derap langkah mereka. Belakangan, pihak Belanda berusaha menutupi jumlah korban yang tewas, walau sedikit di pihak Belanda, lebih dari 1000 orang Bali gugur.”20 Kita hanya bisa menerka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ledakan berkesenian paska runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali. I Nyoman Catra pernah berpendapat bahwa menjamurnya petualangan kreatif saat itu tidak lain adalah obat untuk menyembuhkan masyarakat dari trauma akibat pergolakan sosial dan pendudukan penjajah kolonial.21 Runtuhnya kekuasaan dan lepasnya harta kekayaan dari genggaman kerajaan menyebabkan munculnya desentralisasi dan demokratisasi dalam seni dengan penyebaran ke tingkat banjar. Puput ‘tamat’ juga menyiratkan sebuah permulaan baru. Pada awal tahun 1920-an, bersamaan dengan munculnya mode dan teknologi yang berkaitan dengan modernitas ala Belanda, kunjungan wisatawan Eropa dan Amerika melalui kapal pesiar pun mulai mengalir ke pulau surga ini secara terus-menerus walau masih dalam jumlah yang kecil. Bali Hotel yang dibangun pada tahun 1927 pada awalnya merupakan tempat persinggahan para awak kapal Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang berlabuh di Bali. Bali Hotel resmi beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada pihak KPM22 dan hotel ini berada pada jarak sependengaran dari balé banjar Belaluan yang selalu ramai dengan latihan Gong Belaluan. Bali Hotel pun segera menjadi pusat akomodasi yang sesuai dengan selera tamu internasional. Berbarengan dengan itu semua, inovasi masyarakat Bali terus berlanjut, didorong oleh selera dan hasrat kedaerahan para seniman maupun masyarakat penikmatnya. Perwujudan dari modernitas Bali yang beragam diwakili dalam kebangkitan jangér,23 kemungkinan besar di kalangan remaja. Jangér terutama dipengaruhi oleh Komedie Stamboel, teater bergaya Eropa-berbahasa Melayu yang pertama kalinya muncul di Surabaya, Jawa pada tahun 1891.24 Nampak ‘jinak’ dan ringan untuk orang asing,25 namun sangat dicintai oleh masyarakat Bali sampai masa sekarang, jangér menggabungkan ceritacerita tradisional nan jenaka dengan lagu-lagu menawan yang dinyanyikan oleh para gadis 20
Vickers (1989: 35), dan kutipan tunggal dalam catatan dari kepala staf yang terlibat dalam ekspedisi tersebut seperti tercantum dalam Nordholt (1986: 5) 21 Percakapan (2006) 22 Mardika (2011: 28) 23 Menurut I Madé Kredek dari Singapadu, jangér pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Menyali, Bali Utara Bali (Bandem, 2004: 148-52), pandangan ini juga disepakati oleh Gdé Budasi dari Menyali (percakapan, 2013). 24 Lihat Achmad (2006: 31) dan Cohen (2006: 21) 25 Covarrubias (1937: 251–255)
8
berbusana tradisional yang ditimpali koor kécak oleh para pemuda yang memakai kostum bergaya Barat, termasuk celana pendek, hiasan tanda pangkat di bahu dan kumis palsu yang konyol. Jangér (terdapat pada Bali 1928: CD #5) menggabungkan unsur nyanyian dari tari kerauhan Sang Hyang, pantun Melayu, dan cakepung ‘lagu-lagu minum arak’ dengan gamelan geguntangan yang biasanya mengiringi dramatari arja dan juga gamelan tambour (tambur) yang memakai rebana, kendang yang berasal dari Arab.26 Gerakan-gerakan tangan dan lengan bergaya saman dan saudati ditambah dengan posisi tubuh yang lazimnya diperagakan dalam ritual Muslim Sufi dan tarian lainnya di Aceh, Sumatera Utara, menjadi ciri khas para penari pria jangér. Semua ini menyatu dalam jangér termasuk unsur-unsur tari kuna légong dan dramatari wayang wong yang berdasarkan epos Ramayana, serta akrobat sirkus yang terinspirasi dari kelompok-kelompok seni pertunjukkan yang sempat pentas di Bali. Dan sesudah kunjungan bintang film Charlie Chaplin ke Bali pada tahun 1932, kumis palsu yang dilukis pada wajah penari kécak pun dinamakan caplin. Menariknya, kebangkitan jangér sepanjang abad ke-20 terjadi kembali di saat ketidakpastian politik dan pergolakan sosial. Di era tahun 1920-an, gamelan gong kebyar dan tarian-tarian terkait mulai terlihat dan terdengar di belahan Bali Utara dan Selatan; gubahan-gubahan yang direkam pada tahun 1928 dari Belaluan, Pangkung, Busungbiu dan Kuta menunjukkan sebuah pergeseran revolusioner dalam estetika gamelan dan koreografi. Empat tahun kemudian, cak (kécak) muncul sebagai dramatari yang khas – berkembang dan dikenal oleh hadirin internasional sebagai “monkey chant” atau “nyanyian para wanara” yang bersumber dari epos Ramayana – walau secara tradisional koornya sudah populer dan telah mengiringi tari kerauhan Sang Hyang, begitu pula dalam jangér, dengan koor kécak (yang juga berkembang dari Sang Hyang). Kebyar lahir pada pergantian abad dan inovasinya semarak antara 1910 dan 1915 di wilayah Buléléng, Bali Utara, yang saat itu menjadi pusat administrasi pemerintah kolonial Belanda. Pada akhir abad ke-19, di seluruh pulau, bisa disaksikan lahirnya sebuah era keemasan dalam geguritan ‘sastra puitis’ berikut berbagai jenis lagunya (pupuh) berbahasa Bali yang mengangkat tema-tema gaib, romantis dan juga sosio-politis. Pada pergantian abad, muncul kebangkitan minat terhadap kakawin, naskah-naskah kuna yang menyebabkan lahirnya begitu banyak sekaa papaosan ‘kelompok pembaca naskah kuna’ yang mengutamakan kemampuan menyanyi dalam bahasa Kawi ‘Jawa Kuna’ yang kemudian diikuti penerjemahan ke dalam bahasa Bali. Bentuk lain yang digemari adalah palawakia, merujuk kepada prosa bebas dari naskah-naskah Parwa dari epos Mahabharata yang dilagukan dalam berbagai bentuk alunan nada. Kelompok-kelompok sastra dari berbagai desa akan saling bersaing di hadapan penonton yang terus meningkat jumlahnya dalam berbagai kesempatan, baik dalam keramaian upacara keagamaan maupun keriuhan pasar malam. Terkadang sang juru baca (pangwacen) ‘penyanyi’ atau ’pembaca’ dan juru basa (paneges) ‘penerjemah’ akan duduk berdampingan dengan sekaa gamelan sembari melagukan bait-bait kakawin dari Bharatayuddha (Mahabharata), atau salah satu penabuh gamelan akan menyanyikan sajak-sajak kakawin tersebut tanpa direncanakan (para penabuh memang diharapkan terbiasa dan akrab dengan kakawin agar mampu mengikuti 26
Percakapan dengan I Madé Monog (2007)
9
naskah yang dilagukan). Gamelan gong yang berdampingan akan memainkan gending pengantar singkat dari reportoar gamelan klasik yang kemudian mengalir “lebih menggelegar” dengan tabuh penuh luapan semangat yang dikenal sebagai kebyar. Yang menarik adalah ketika seorang penyanyi tunggal menyelingi lagunya dengan memainkan trompong ‘sederetan gong pencon’. Memang tak pernah jelas sejak kapan permainan trompong melibatkan atraksi memutar-mutar panggul ‘tongkat pendek pemukul’ seperti dalam marching band atau sulap ‘kecekatan tangan’. Tari Palawakia yang dipentaskan dewasa ini bermuara dari kebiasaan tersebut, dan umumnya diakui bermula dari Igel Trompong oleh I Ketut Marya, walau belakangan ini telah muncul pandangan berbeda tentang hal itu.27 Di abad ke-21 ini, kami menemukan rasa ingin tahu yang tinggi di Bali terhadap masa lalunya, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya penting dalam kebudayaan Bali. Minat yang begitu tinggi, yang belum pernah ada sebelumnya, terhadap rekaman-rekaman bersejarah ini di antara para penabuh, penari dan penyanyi, baik muda dan tua, kian membesarkan hati kami dalam mengerjakan – selama bertahun-tahun dan lintas benua sebuah proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’, mencari arsip-arsip yang tersebar dimanamana untuk membantu masyarakat Bali masa kini dalam memperoleh dan menikmati kembali kejayaan kesenian masa lampau mereka.
Dunia Seorang Pujangga di Klungkung pada Abad ke-19 Penelitian terhadap pupuh dari koleksi rekaman tahun 1928 ini, khususnya syair yang dinyanyikan di kalangan Brahmana Geria Pidada di Klungkung, membawa kami pada penyelidikan akan lingkungan sosial dan kreatif dari Anak Agung Gdé Pameregan (1810– 1892),28 pengarang dari berbagai geguritan yang dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak dan Ida Boda. Anak Agung Gdé Pameregan (alias Meregan), yang demi tidak diketahui identitasnya (praktik yang lumrah bagi para pujangga agar tetap rendah hati, tetapi juga, dalam pengertian lain, untuk melindungi diri dari ketidaksetujuan raja atau penguasa), menggunakan sebuah supik dohar ‘nama pena’ dengan makna samar, Wirya Ghora Pratode. Wirya yang berasal dari sira, berarti tersohor dan cemerlang (terkait reputasi); ghora atau juga gede berarti luar biasa atau besar; kemudian pratode berarti pecut; dan meragah atau mregan yang berasal dari nama kelahirannya berarti binatang. Menurut Ida I Déwa Gdé Catra dari Sidemen, Karangasem,29 makna yang dimaksudkan adalah untuk “menghidupkan para binatang” dalam sajak-sajaknya dengan stimulus menggunakan pecut. Dalam karyanya yang telah dibukukan Duh Ratnayu: Tembang Kawi Mendamba Cinta,30 nama samaran yang dipergunakan adalah Ghora Tanu (tanu berarti tubuh). Kedua nama pena ini sesuai dengan keterangan dari Ida Bagus Pidada Kaut31 dan juga dari I Madé Suastika yang menyetujui nama pena sebelumnya, merujuk kepada karya 27
Simpen (1979) dan Herbst (2009) Tanggal-tanggal ini terdapat dalam Suastika (1997: 324) 29 Percakapan (Amlapura, 2009) 30 Diadaptasi dari Nyoman Tusthi Eddy (PT. Upada Sastra dengan Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation: 2001) 31 Percakapan di Geria Pidada, Klungkung (2006) 28
10
Anak Agung Gdé Pameregan bertajuk Calon Arang.32 Sebagaimana termuat dalam CD ini, beliau menulis sajak-sajaknya dalam Bali Kapara ‘bahasa Bali lumrah’, dalam bahasa campuran Kawi ‘Jawa Kuna’ dan Bali Alus ‘beradab, sopan’ dan juga hanya dalam Kawi (ibid: 327). Déwa Agung Istri Kania, ratu yang memimpin kerajaan Klungkung pada masa kejayaannya di abad ke-19, mengetuai segenap kegiatan sastra dan berkesenian lainnya, termasuk pula yang melibatkan Anak Agung Gdé Pameregan. Dalam Visible and Invisible Realms: Power, Magic and Colonial Conquest in Bali, Margaret Wiener menulis, “Dalam tradisi lisan Klungkung, Déwa Agung Isteri Kania, “Ratu Perawan”, tersohor karena kecantikan dan kecerdasannya.33 Dikenal sebagai pengarang syair yang mahir (Kanta 1983), beliau juga adalah pendukung dan penyandang dana bagi seniman-seniman; Babad Ksatria menyandingkan beliau dengan Dewi Saraswati, dan beliau dikatakan disebut sebagai kekuatan di balik berseminya dunia kesusastraan Klungkung...”34 Saraswati, adalah dewi pengetahuan dan sastra, yang merupakan sakti dari Dewa Brahma. Adrian Vickers, dalam Bali: A Paradise Created, menjelaskan situasi hancur lebur akibat letusan dahsyat Gunung Tambora35 pada tahun 1815 yang berlangsung bersamaan dengan masa kekuasaan dari kakak laki-laki Déwa Agung Istri Kania yang bernama Déwa Agung Putra II yang menggantikan ayahnya Déwa Agung I yang mangkat pada tahun 1809. Hujan abu vulkanik menyebabkan 96,000 korban tewas karena kelaparan dan wabah penyakit yang meluas sampai Bali dan Lombok hingga akhir tahun 1920-an. Vickers melanjutkan, “Setelah kehancuran tersebut, tibalah masa rekonstruksi dan kebangkitan Bali baru. Di Klungkung, Ratu Perawan dan kakaknya…mendanai restorasi istana Klungkung yang lama, dan menghuninya kembali. Mereka juga adalah pendukung utama dari berbagai pura daerah, dan Ratu Perawan sering melakoni masa kekuasaannya dengan bermeditasi di Pura Taman Bunga yang terletak utara dari ibukota kerajaan…Pada masa pemerintahan bersama itu, gaya lukis tradisional yang terletak di Desa Kamasan, dua kilometer selatan Klungkung dihidupkan kembali (Vickers, 1989: 68). Vickers juga mendedikasikan sebuah artikel yang membahas ketokohan Déwa Agung Istri Kania: “Dalam kakawin Astikayana (kisah petualangan Astika – sebuah kumpulan cerita Adiparwa) disebut keberadaan seorang putri (naranatha-kanya), yang kecantikan, keagungan dan keahliannya dalam ilmu pengetahuan dan seni dipuja-puji dalam mukadimahnya. ‘Para biksu-biksu hebat menyebut beliau sebagai sang sri Wiryasakanta’ (Zoetmulder, 1971: 396). Naskah kuna itu kemudian menyebutkan bahwa bangsawan panutan tersebut merupakan tokoh dan pusat dari berbagai kegiatan kesusastraan yang mempesona. Beliau pun disegani sebagai seorang pengarang sajak. Dalam Babad Dalem, silsilah keturunan penguasa Klungkung (Bali Timur), tercatat bahwa kerajaan tersebut pernah memiliki seorang ratu yang bergelar
32
“Kirtya 1047; cf. Uug Gianyar, Lor 3743” (Suastika, 1997: 325) Saya menggunakan ejaan Bali ‘istri’ sedangkan Vickers dan Wiener menggunakan ‘isteri’. ‘Kania’ juga biasa ditulis sebagai ‘Kanya’. 34 Wiener (1995: 140) 35 “Pada tanggal 10 April 1815, letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung berapi paling besar di planet ini selama 10.000 tahun terakhir.” http://www.volcanodiscovery.com/tambora.html 33
11
Déwa Agung Istri Kanya (Babad Dalem, f. 92b). Dua kata pertama adalah gelar dari para penguasa Klungkung, “Istri” merujuk jenis kelaminnya, sedangkan “Kanya” berarti belum menikah. Dari wawancara dengan salah seorang keturunan dari keluarga bangsawan tersebut, Cokorda Gedé Mayun, kian jelas bahwa masa kepemerintahan beliau dihargai sebagai masa keemasan dalam perjalanan sejarah Klungkung. Cokorda Gedé Mayun yang juga menggemari seni sastra, lanjut menceritakan sebuah legenda bahwa kakawin dan kidung dinyanyikan setiap hari semasa pemerintahan beliau, yang diperkirakannya berlangsung selama tiga puluh lima tahun. Déwa Agung Isteri tercatat memerintah bersama saudara laki-lakinya, Déwa Agung Putra, putra dari seorang selir-raja sebelumnya, Bhatara Kusamba. Nampaknya ada dua penguasa, karena kepentingan kekuasaan belum seluruhnya menerima kehadiran seorang ratu, sedangkan kepentingan lainnya tidak bisa menerima seorang penguasa yang dilahirkan dari seorang selir. Tanggal pasti dari kepemerintahan bersama ini tak pernah diketahui. Van Eck menerangkan bahwa ketika sang raja mangkat pada tahun 1809, Déwa Agung Putra hanya berusia sembilan tahun dan kemudian dinobatkan sebagai raja dan memerintah sampai tahun 1849 (van Eck, 1878-80 III: 346). Cokorda Gedé Mayun menambahkan bahwa sang ibu suri, Gusti Ayu Karang, merupakan penguasa sesungguhnya semenjak kematian suaminya dan berkuasa sampai tahun 1820-an, sedangkan Déwa Agung Isteri meninggal pada tahun 1868.36
Namun berdasarkan catatan Wiener “…sekitar 1815…sebuah kesepakatan dicapai: sang putra dilantik sebagai Déwa Agung II, tetapi ia akan memerintah bersama-sama dengan saudara perempuannya. Ia merupakan penguasa yang oleh van den Broek disebut pada tahun 1817 sebagai “remaja tak berpengaruh” dan Huskus Koopman mengidentifikasinya sebagai Bali’s Keizer, ‘Kaisar Bali’…Ironisnya, satu-satunya referensi tentang Huskus Koopman dalam kesejarahan Bali terdapat dalam sebuah naskah yang umumnya dipercaya ditulis oleh Déwa Agung Isteri Kania: beliau mencatat bahwa walaupun tingkah laku (Huskus Koopman) baik dan dandanannya mentereng, tapi giginya bernoda dan bau nafasnya busuk. (Narayana dan lain-lain, 1987: 44).”37 I Madé Suastika menulis: “Pada abad ke-19 di Puri Klungkung hidup tiga orang penyair, yaitu I Dewa Agung Istri Kania, Ida Pedanda Gde Rai, dan Anak Agung Gde Pameregan. Pada waktu itu terjadi kontak antara pihak puri dengan wilayah di luar puri, terutama mendatangkan bagawanta yang terkenal untuk mengasuh para putra raja. Fungsi bagawanta adalah menjadi guru. Guru yang pernah mengajar di istana Klungkung, yaitu pendeta dari Geria Cucukan, Geria Dawan, dan Geria Pidada. Bimbingan yang diberikan meliputi pendidikan sosial budaya seperti bidang sastra, teknologi, dan agama.” “Anak Agung Gde Pameregan menerima pendidikan dan ajaran yang diwariskan oleh leluhurnya. Dasar-dasar seorang pengarang besar telah beliau miliki berdasarkan proses kehidupan lewat pendidikan tradisional, yaitu memanfaatkan teks-teks tradisional untuk dibaca, didiskusikan, dan ditiru dalam aktivitas mabebasan di Bali. Ketika masa itu memungkinkan Kerajaan Klungkung tentram dan aman, raja-raja
36
Dalam Vickers: ‘The Writing of Kekawin and Kidung on Bali’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138: 492-3. 37 Wiener (1995: 140) dan Wiener (1995: 140)
12
Bali memiliki kedudukan berdaulat dan merdeka (Gde Agung, 1989: 134) – dari setelah perang Kusamba (1849) sampai sebelum puputan Klungkung (1908) – perkembangan seni cukup baik.”38
Ida Bagus Pidada Kaut memberitahu kepada kami bahwa Anak Agung Gdé Pameregan telah menikah dan mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia dini. Karya puisi Anak Agung Gdé Pameregan yang paling terkenal adalah Duh Ratnayu (Smara Pralaya) yang ditulis semasa kekuasaan I Déwa Agung Putra III (1850–1903).39
Pandangan-Pandangan Tentang Nyanyian Bali Walau aspek-aspek kesusastraan dan kebahasaan dari syair Bali telah mendapat perhatian besar dari masyarakat Bali dan para ahli asing, terdapat sedikit sekali penelitian tertulis terhadap disiplin menyanyi yang sesungguhnya. Dalam praktik menembang, dan bahkan dalam penciptaan nyanyian pada umumnya, terdapat banyak pendekatan pribadi dan istilah, masing-masing mencerminkan tingkat kepekaan yang unik. Meminjam pendekatan seorang dalang akan perbedaan-perbedaan di antara berbagai gaya yang ada, dinyatakan bahwa tidak ada aturan tegas mengenai baik atau buruk; bila suatu bunyi adalah “salah” tetapi enak didengar, itu tidak dipandang sebagai sebuah kesalahan. Penekanannya cenderung pada pangus dan lengut ‘sesuai dengan suasana’ (Ketut Kodi, 2013). Sehubungan dengan menemukan dan mendapatkan pencerahan tentang dunia seni suara semasa tahun 1928, saya hanya menyimpulkan dari sumber dan informasi yang mampu memberi wawasan terhadap rekaman-rekaman ini, untuk sekilas menggugah lingkup sosial dan alam dari masa itu serta sudut pandang dan pendapat jelas yang didengar langsung dari seniman dan ahli Bali yang kami jumpai selama masa penelitian ini. Dalam tulisan ini para pembaca akan menemukan aneka ragam nyanyian yang mencerminkan sebuah bentang alam yang dikelilingi lautan, hamparan sawah subur sepanjang perbukitan yang bermula dari gunung-gunung berapi aktif yang sesekali menyebabkan gempa, dan tetumbuhan yang mampu menghasikan beragam cita-rasa dari tabia ‘cabai’ yang paling pedas sampai buah termanis seperti manggis (garcinia mangostana) and wani (mangifera caesia). Kata ombak ‘gelombang’ digunakan dalam beragam nuansa nyanyian, dari pupuh Adri oleh Ida Boda (trek #10), sampai turun-naiknya alunan suara Ni Lemon saat menyanyikan Wargasari (trek #17 dan #18) serta riak-riak suara dalam lantuan kakawin Klungkung (trek #19-22). Gregel ‘getaran halus dan cepat’ adalah istilah yang umum digunakan di Bali, kemungkinan diimpor dari Jawa pada masa tahun 1950-an. Dewasa ini, bentuk kata kerja ngregel lumrah digunakan dalam pembahasan semua bentuk lagu termasuk tembang (pupuh), kidung dan kakawin. Sebuah istilah yang asing (setidaknya saat sekarang) bagi gelombang atau fluktuasi sebuah nada, seperti yang diungkapkan oleh Ida Wayan Padang dari Budakeling (1913-2012) adalah gegiwangan or gumi wang dalam Jawa Kuna. Ida Wayan Padang juga mengartikannya sebagai bergoyang. Kita mesti membedakannya dengan kata giwang dalam bahasa Bali yang berarti anting-anting. Gegiwangan yang beliau 38 39
Suastika (1997: 325) Kanta (1984: 5)
13
maksud bisa menjelaskan dengan tepat cara bernyanyi Ida Bagus Oka Kerebuak termasuk dalam menyanyikan Sinom (trek #2). Ida Wayan Padang juga menggunakan kata nglombang untuk menunjukkan alunan nada berkepanjangan pada akhir frase-frase melodi seperti dalam Kidung Lulungid oleh Ida Bagus Ngurah (trek #15). Kehidupan pada masa lalu di Bali dan sampai baru-baru ini, lebih banyak berorientasi kepada anak sungai dan sungai sebagai tempat-tempat di mana semua orang mandi setiap pagi dan siang (walaupun sungai bisa juga menjadi sumber bahaya batin). Cokorda Raka Tisnu dari Singapadu mengingat bagaimana pada suatu masa masih terdengar nyanyian di mana-mana saat ia berjalan-jalan seputar desa, berbeda dengan sekarang di mana nyaris atau sama sekali malah tidak ada lagi seseorang menyanyi secara kasual di muka umum. Penyanyi kakawin Ida Bagus Madé Gandem (1933–) dari Cakranegara, Lombok menyarankan cara untuk mengolah suara adalah di pagi hari dengan perut kosong dan sore hari di mata-air atau di bawah guyuran air terjun setinggi satu atau satu-setengah meter, menyanyi atau berteriak dengan lantang sampai serak sembari membiarkan guyuran air membasuh diri. Ketika Ida Bagus Oka Kerebuak mandi di mata-air umum di Klungkung, beliau sering kali menjadi pusat perhatian sekelompok wanita muda yang berbondongbondong mengerumuninya untuk mendengar dan menontonnya bernyanyi di bawah aliran air, sembari menawarkan jasa untuk mencuci pakaiannya saat beliau mandi. Ida Bagus Oka Kerebuak, lazimnya para penyanyi, juga memperkuat suaranya dengan cara menyanyi sekeras-kerasnya sembari berendam setinggi lehernya di sungai Tukad Unda yang dingin. Ketika Ni Nyoman Candri40 belajar untuk kali pertamanya di bawah bimbingan ayahnya, ia duduk di tengah sungai melawan arus air setinggi lehernya dan menyanyi dalam nada tinggi dan sekeras-kerasnya. Kurang lebih setengah jam kemudian, ia pun akan kehilangan suaranya. Setelah berlalu beberapa hari suaranya berangsur pulih dan ia pun kembali melakukan latihan yang sama di sungai. Setelah mengulang siklus ini berkali-kali, suara menjadi kuat dan lembut sehingga sesuai untuk menyanyikan tembang arja. I Ketut Kodi41 mengingat pernah mendengar bahwa penari legendaris Cupak dan Rangda, Gusti Ngurah Mokoh (alias Anak Agung Aji Mokoh) dari Tegaltamu (ayah dari Gusti Ngurah Regug) memenuhi rongga mulutnya dengan lombok ‘cabai’ dan air kemudian berteriak sampai serak sembari berendam setinggi lehernya di aliran air atau sungai. Praktik ini akan menghasilkan suara keras ‘kuat’ yang bisa terdengar hingga kejauhan. Hal serupa juga dilakukan oleh Ida Cokorda Oka Tublen - seorang tukang tapel ‘pembuat topeng’, empu arja dan penari Rangda legendaris dari Singapadu - yang mengajarkan muridmuridnya cara menelan (tanpa mengunyah) kepalan cabai seukuran bola kecil yang sebelumnya telah dilumuri minyak kelapa42 sembari mereka berendam di sungai. Kami mendengar praktik-praktik serupa di antara para penyanyi dan dalang di seantero Bali demi 40
Penari-penyanyi-aktor Radio Republik Indonesia dan guru dari Singapadu yang dikenal sebagai condong dalam arja dan Calonarang. 41 Tokoh dalang, topéng dan arja dari Singapadu dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Keterangan ini didapatnya dari I Madé Kengguh dari Singapadu yang merupakan murid dari Anak Agung Aji Mokoh. I Madé Kengguh adalah seorang penabuh dan penari topéng dan Rangda yang dikenal sering mementaskan tokoh Matah Gede, penyihir dalam dramatari Calonarang 42 Juga dikenal sebagai Déwa Agung Singapadu. Beliau adalah ahli dalam pembuatan topéng barong dan Rangda.
14
lahirnya suara encak ‘berat, kasar, pekak’. Suara encak (atau encah) umumnya digunakan untuk ekspresi ucap dari tokoh-tokoh kuat dalam wayang atau dramatari dibandingkan dalam nyanyian. Namun dalang seperti Wayan Nartha mengatakan suara encak tidak mesti dipaksakan, tapi dilatih secara bertahap. Diketahui bahwa dua dalang terkenal di masa awal abad ke-20, Granyam dan Rawa mempunyai suara yang tidak terlalu keras dan kuat, namun mampu mengantarkan kekhasan encak dengan tenaga dan ketegangan yang lebih sedikit. Pertimbangannya adalah tidak mendorong bunyi keluar dari rongga mulut namun membiarkannya bergema dan bergaung dalam tubuh.43 Ramuan pilihan Ida Bagus Oka Kerebuak untuk memelihara suaranya yang manis dan cergas adalah biyu kayu ‘pisang kayu’ rebus yang sebelumnya direndam santan kelapa. Setelah meminum ramuan itu, ia akan menyanyi lagi, silih berganti sampai lelah. Kebiasaan pada umumnya di antara para penyanyi adalah menggunakan pisang yang direndam dengan minyak kelapa.44 Kesadaran dan kemampuan mengolah pernafasan panjang adalah kunci dalam menyanyi Bali. Pada tingkatan yang lebih mendalam, penguasaan pranayama ‘olah nafas yoga’ oleh seorang penyanyi untuk meningkatkan mutu berkesenian adalah sama mutlaknya dengan pengaturan nafas yang baik untuk mengoptimalkan pranayama dan meditasi. Kedua latihan tersebut melengkapi satu sama lain. Dari sudut pandang yoga Ida Bagus Gandem bertanya secara retoris, “Apakah tujuan dari magending ‘menyanyi’? Tujuan menyanyi adalah untuk memanjangkan nafas.”45 Dalam menghasilkan suara, menurutnya, seorang penyanyi tidak bernafas dari dada; bunyi muncul di kerongkongan dan sumber energinya adalah dari perut, dari spiral diafrakma. Ini adalah cara mendapatkan nafas panjang. (Tentunya ini adalah prinsip olah suara yang berlaku di luar Bali juga). Ida Bagus Gandem menjelaskan bahwa makakawin ‘menyanyikan puisi Jawa Kuna’ adalah alat atau sarana untuk memusatkan daya nafas seseorang. Ketut Kodi menambahkan bahwa berlatih pranayama semata akan membuat seseorang cepat bosan akibat pengulangan hirup-hembus udara, namun menyanyi menciptakan sebuah keberlanjutan yang penuh semangat dan mengasyikkan. Nyoman Suarka menulis tentang ngunjal angkian ‘mengolah nafas’ (2007: 153), sebuah istilah yang di Singapadu disebut sebagai ngunyar angkian. Nguaca angkian ‘memanfaatkan kembali nafas’ diajarkan kepada saya oleh Madé Pasek Tempo dari Tampaksiring, yang dipaparkan olehnya sebagai “mencuri nafas sambil bernyanyi sehingga tak seorang pun memperhatikan.” Terkait ngunda angkian, Pak Tempo bermaksud ‘mengalirkan nafas tanpa putus’.46 Sebuah kewajaran melodi dan teknik penting yang dimilikinya adalah nyambung, pergerakan melodi merdu tanpa putus yang membuai para pendengar sehingga tak seorang pun menyadari adanya sebuah perubahan. Dalam perwujudan Trimurti dalam tubuh, Ang, berkaitan dengan Brahma, nafas masuk melalui hidung dengan segenap unsur positif dan negatif. Ung, berkaitan dengan Wisnu, adalah menyaring unsur positif dan “membakar racun.” Mang, berkenaan dengan Siwa, meliputi hembusan, pemutusan, membuang elemen negatif, dan penerapan senyawa yang 43
Herbst (1997: 25) Ida Bagus Pidada Kaut (percakapan, 2006) 45 Ida Bagus Madé Gandem, Cakranegara (percakapan, 2006) 46 Ini pada tahun 1980-1981 44
15
sehat dan positif.47 Suksma telah menjadi sebuah tema yang berulang dalam percakapan kami, sebuah gagasan dan pengharapan yang berhubungan dengan syair dan perwujudannya dalam lagu, baik tembang, kidung atau kakawin.48 Rubinstein (2000: 109) menulis, “Keindahan tempattempat yang dikunjungi oleh Dang Hyang Nirartha diselubungi oleh aura gaib yang bisa dirasakannya karena beliau memiliki kemampuan supranatural dan mata batin selayaknya seorang yogi. Istilah suksma berulang dalam naskah untuk menyatakan keindahan tersebut. Suksma menandakan esensi yang bersifat tak terlihat, ada di mana-mana, dan ilahi di luar pemahaman normal manusia. Definisi suksma oleh Zoetmulder (1982: s.v.) mengungkap makna yang pelik: halus; tak berbobot, tak terpikirkan, semisalnya tidak bisa diakses oleh panca indera biasa, namun bisa dipahami oleh mereka yang diberkahi kekuatan gaib; tak terlihat, tak berbentuk (oleh karenanya sebanding dengan sunya, niskala, lihat: keadaan dewa-dewi yang tidak menampakkan dirinya dalam wujud yang terlihat). Oleh karenanya hal tersebut menjadi sesuatu yang ilahi (makhluk halus) yang merupakan perwujudan supranatural dari dunia lain; esensi tak terlihat dari apa yang dipahami oleh panca indera…(Zoetmulder, 1982: s.v.)” Walau sudah jelas bahwa taksu ‘kekuatan batin dalam diri yang dihidupkan dan bisa dirasakan oleh orang lain’ terlahir dari pembelajaran dan persiapan yang matang, pengembangan kemampuan dan teknik untuk melakukan tugas berkesenian tertentu dan lain-lain yang diliputi taksu pada akhirnya lahir dari alam dan dari sebuah daya kekuatan yang lebih agung dari diri kita sebagai manusia.49 Pertunjukan yang cemerlang, mempesona dan menginspirasi biasanya dikatakan datang dari sungsungan (dari kata kerja nyungsung, yang secara harfiah berarti ‘membawa di atas kepala’), dewa-dewi yang turun ke bumi untuk dihormati dan dirayakan.50 Seiring dengan perhatian seseorang terhadap berbagai keahlian yang berada dalam pengendalian kita, ada kekuatan-kekuatan lain yang bermula dari mawinten ‘penyucian dan inisiasi diri’, pasupati ‘pemberkatan benda-benda dengan energi bersifat ketuhanan’,51 serta persembahan dan doa kepada Batara Taksu (Déwa Taksu). Pada dasarnya, proses pembelajaran dan pementasan meliputi niskala ‘dunia gaib’ dan juga sekala ‘kenyataan sehari-hari’. Rujukan terhadap rasa makanan pun berlimpah dan beragam. Lalah-manis ‘pedas-manis’ diungkap oleh Madé Pasek Tempo sebagai ‘sengit dan manis’. Ungkapan mamanis suara ‘mempermanis suara’ (dengan membentuk huruf hidup dan huruf mati) terdengar di manamana. I Ketut Rinda, ahli, guru topéng dan dalang dari Blahbatuh menjelaskan bagaimana bumbu masakan pun menghasilkan suara-suara yang sedap, sembari memberi contoh dari 47
Percakapan dengan Ketut Kodi (2013) Dalam keseharian masyarakat Bali, suksma berarti terima-kasih, namun kamus-kamus juga mengartikannya sebagaimana diungkap oleh Zoetmulder. 49 I Wayan Dibia (2012) memberikan pandangan yang lebih luas dan inklusif tentang taksu. 50 Percakapan dengan Ketut Kodi (2014) 51 “Pasupati: perwujudan Siwa sebagai energi ilahi yang dimohon untuk berstana dalam sebuah benda pusaka atau peralatan ritual, khususnya keris, tugu pemujaan, naskah-naskah sakral; persembahan yang dihaturkan mengundang energi ilahi agar merasuki benda yang dimaksud atau mengisi kembali benda tersebut dengan kekuatan. Ini juga dipahami sebagai “memberi makan” kepada benda-benda pusaka.” (Wiener, 1995: 375) 48
16
tokoh-tokoh wayang seperti kunyit untuk bunyi “iiii” dari Merdah yang berasal dari cengkraman giginya, atau cekuh ‘kencur’ yang menghasilkan bunyi “uuu” dari Sangut, jai ‘jahe’ menghasilkan suara kering kerongkongan dari Délem dan gamongan (lempuyang) ‘jahe liar’ memberi suara gaung perut dari Tualen.52 Dan ketika sensasi penciuman dan pengecapan saling terjalin, perlu disebutkan di sini (dan akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini) bahwa rangkaian jarak nada yang halus dalam nyanyian dapat dijelaskan sebagai mabo ‘mempunyai aroma wewangian’ dari sebuah tekep atau patutan ‘pola’ tertentu sebagaimana dimainkan oleh gamelan. Ketika lebeng digunakan untuk menjelaskan suatu nyanyian, ungkapan tersebut merupakan pujian yang berarti ‘tepat matangnya’ atau ‘ranum’, yang tentunya luung ‘bagus’ atau bahkan ‘indah’. Warnan ‘warna’ berkenaan dengan suasana hati dari nada, rasa ‘perasaan’, atau “pergerakan dalam keheningan” yang menjadi esensi dari masolah ‘perwatakan dalam pementasan’.53 Umumnya, olah suara yang baik bisa menghasilkan suatu kekhasan yang menyenangkan yang disebut lembut ‘halus’ dengan cara menggabungkan kekhasan suara serak dan basah.54 Ini berlaku baik untuk dalang dan panembang ‘penyanyi’. I Nyoman Sadég, panasar topéng dan juru tandak ‘penyanyi tunggal dalam gambuh’ dari Batuan meminjam kata “banyak” dari bahasa Indonesia untuk menciptakan istilah Bali mamanyak ‘melipatgandakan’ untuk menjelaskan kemampuan mencapai nada-nada tinggi dan rendah, yang juga merupakan keahlian pokok bagi seorang dalang.55 Wargasari lumrah dikatakan - berdasarkan suara-suara kidung - menggunakan suara hidung yang dihembuskan ke gigi dan tembang dimulai dari gigi yang berlanjut ke hidung dan kerongkongan. Bernyanyi tembang biasanya memanfaatkan ujung lidah. Kidung lebih terpusat pada suara madyaning lidah ‘bagian tengah lidah’, sementara suara yang difokuskan di atas dasar lidah lebih disukai untuk mawirama ‘menyanyi kakawin’ dan palawakia ‘prosa bebas dramatis’. Mary Zurbuchen lebih lanjut menjelaskan: “Anudanti adalah simbol-simbol tertulis yang disuarakan pada bagian belakang dari gigi; anunasiki adalah simbol-simbol tertulis yang disuarakan melalui hidung; alpaprana: simbol-simbol tertulis yang disuarakan dengan menggetarkan bibir; sedangkan mahaprana adalah simbol-simbol tertulis yang disuarakan dari dalam benak.” (1987: X).
Notasi pada Kertas dan Daun Lontar Notasi gending Bali pada umumnya adalah perangkat yang terbatas dan hanya mempunyai sedikit kegunaan dalam menjelaskan kelembutan dan kehalusan dunia seni suara dari tahun 1928. Selama berapa masa, terdapat beberapa naskah lontar yang menggunakan gegrantangan ‘notasi’ untuk menunjukkan pokok ‘nada-nada dasar’ dari berbagai gubahan gamelan gambang dan luang yang dipakai mengiringi upacara yadnya. Terdapat juga naskah lontar yang memaparkan nada-nada pokok kidung yang berhubungan dengan 52
Percakapan di Blahbatuh (1980) I Nyoman Astita (percakapan, 2013) 54 Percakapan dengan Ketut Kodi (2013) 55 Percakapan dengan Ketut Kodi (2014) 53
17
gamelan. Colin McPhee mengamati pada tahun 1930-an bahwa notasi-notasi tersebut tidak digunakan dalam mengajar atau latihan, namun lebih dimanfaatkan sebagai upaya pelestarian bagi generasi mendatang atau sumber rujukan ketika gending-gending itu terlupakan.56 Bahkan di akademi-akademi seni Bali, gending-gending masih tetap diperlakukan sebagai tradisi lisan yang dipelajari melalui mendengar, nuut ‘meniru’ dan maguru panggul ‘diajarkan oleh alat pemukul gamelan’ di mana para murid belajar menabuh secara kinetis (praktik langsung) dan melalui proses intuitif (meresapi dalam hati) yang memunculkan kesadaran dan pegertian setelah tangan-tangan memahami apa yang telah didengar. Walau naskah yang mengandung ding-dong atau kepatihan modern dalam bentuk notasi angka bisa menjadi sumber rujukan bagi para pemula, berbagai diskusi yang melibatkan penyanyi membuat kami percaya bahwa kemahiran menyanyi dalam semua jenis termasuk tembang, kidung, dan kakawin hanya bisa diperoleh melalui pembelajaran secara lisan. Seseorang mendengar gamelan dan tembang secara kasual sedari kecil, tergantung dari lingkungan keluarga atau lingkungannya. Ketika ia mulai belajar dihadapan seorang guru, proses yang berlaku adalah peniruan, pendalaman dan kemudian pewujudan lagu sebagai pengalaman keindahan yang mesti dialami sepenuhnya, bukan sekadar obyek yang mesti dianalisa dan dikodifikasi. Alhasil dari proses yang digambarkan oleh Ketut Kodi sebagai lima puluh persen sadar dan lima puluh persen tak sadar, dewasa ini terdapat beragam jenis pelarasan yang banyak di antaranya tidak tersistemasi secara sadar, walau pada kenyataannya pelarasan-pelarasan tersebut mencerminkan inti dari keindahan pertunjukan.57 Berbagai sistem notasi baru pun berkembang, diantaranya oleh I Wayan Djirne dan I Wayan Ruma pada tahun 193958 dan oleh Nyoman Kalér, Nyoman Rembang dan Gusti Putu Madé Griya59 pada tahun 1960 di Konservatori Karawitan (KOKAR) Surakarta, Jawa Tengah. Namun semua sistem itu tidaklah menggantikan cara pembelajaran melalui mendengar dan meniru. Sistem solmisasi ding-dong rupanya telah digunakan secara lisan oleh guru-guru gamelan sejak lama. Sering kali, kelima nada pokok (ding-dong-déng-dungdang) sebenarnya dilafalkan sebagai nirrr-norrr-nérrr-nurrr-narrr dengan suara ‘r’ yang digetarkan. Walau dewasa ini guru-guru seni suara di sekolah-sekolah telah memberikan sistem solmisasi ding-dong dari nada-nada pokok yang disebut pacaperiring dalam tembang kepada para muridnya, semua penyanyi hebat yang kami kenal mengatakan bahwa mereka belajar melalui mendengarkan sebuah tembang atau kidung sebagai melodi dengan lirik, dan menirunya. Banyak unsur-unsur terhalus dari gaya, rasa dan intonasi bahkan didapat pada awal-awal masa pembelajaran pada usia dini. Ni Nyoman Candri menunjukkan bahwa kehalusan nada-nada hanya bisa diajarkan oleh seorang guru melalui sesi satu lawan satu, demi pendalaman dan pengungkapan suara (sesuai dengan cara pribadi masing-masing) melalui tubuh, kelembutan gerakan mulut, kepala, leher, bahu dan juga ekspresi emosional dan kejiwaan sang guru. Beberapa penyanyi hebat di masa lalu seperti 56
McPhee (1966: 56) Untuk keterangan lebih lanjut lihat Herbst (1997: 32–50) 58 Karya Taman Sari mereka memperkenalkan angka-angka untuk merepresentasi tinggi-rendahnya nada. 59 Titilaras Dingdong, sebagaimana sering disebut, memperkenalkan istilah laras dari Jawa ke Bali, dan melibatkan beragam inovasi seperti simbol-simbol abstrak untuk menunjukkan berbagai alat instrumen gamelan, serta lebih lanjut meringkas sistem pengukuran tinggi-rendahnya nada dari konteks aslinya sebagai patutan atau saih dalam berbagai ansambel gamelan yang khusus. Lihat Aryasa (1984: 28–36). 57
18
Ni Ketut Redep dari Singapadu adalah buta aksara. Redep dikenal karena ingatannya yang luar biasa dan kemahirannya dalam tembang dan kidung. Nyoman Candri mengingat bahwa salah satu gurunya, tokoh arja termasyhur Jero Suli, yang aslinya berasal dari Keramas, tidak sepenuhnya mengetahui guru ding-dong, ‘nama nada-nada’ yang sesungguhnya merupakan konsep mendasar dari lagu. Pada masa itu, nada-nada tidak mempunyai nama, terkandung dan mengalir naluriah dalam alunan nada dan liriknya. Tetapi “kebutaaksaraan” ini bukan hambatan bagi masing-masing wanita itu dalam menguasai jenis nyanyian pilihannya berikut repertoarnya yang luas. Dalam berbagai kesempatan, I Nengah Médera telah menjelaskan bahwa beberapa kakawin seperti yang direkam pada tahun 1928, dinyanyikan berdasarkan hapalan;60 ini juga ditunjukkan oleh Zoetmulder bertalian dengan wirama kakawin yang lumrah digunakan dalam berbagai upacara keagamaan. Empat pilihan lagu dalam CD ini sangat tepat untuk upacara-upacara keagamaan semacam itu. Pendengar kemungkinan akan menyadari keberadaan tujuh sampai sembilan nada berbeda dalam seleksi kakawin dalam CD ini (trek #19-22). Sangat penting untuk disadari bahwa nada-nada itu berada pada tangga nada Barat kromatis kelima atau keenam. Sebagian dari keindahan nada mawirama kakawin khususnya gaya Klungkung sampai hari ini adalah padet, kerep ‘rapat’, mempunyai jarak nada berdekatan dalam satu tangga nada yang terfokus. Ini mendorong penelitian kami ke dalam wilayah ambigu tentang pengetahuan dan praktik yang tersurat maupun tersirat. Ketika saya sampaikan kepada seorang penyanyi kakawin yang sangat disegani, Désak Suarti Laksmi, bahwa ada yang mengatakan hanya tiga atau empat nada pokok yang digunakan dalam wirama kakawin, sang penyanyi wanita menyatakan bahwa lima adalah pendapat yang lebih umum. Tetapi saat kami bersama-sama mendengarkan rekaman dari masing-masing wirama, ia mulai menyatakan bahwa terdapat enam, tujuh, lalu sembilan dan lebih banyak lagi nada-nada dalam satu oktafnya. Setelah ia menyanyikan kehalusan jarak di antara nada-nada tersebut, saya menanyakan apa pendapatnya mengenai nada-nada yang membentuk irama dalam lagu tersebut, mengingat bahwa sebelumnya ia tidak mempedulikan keragaman nada tinggi maupun rendah dalam nyanyian tersebut. Ia menjawab rasa ‘perasaan’, sebuah unsur tersirat; samar yang tidak dinyatakan secara sadar. Ini menjelaskan beberapa kesulitan yang dialami oleh banyak penyanyi pada jaman sesudah tahun 1928, saat mana mereka mendengar seperangkat semitone ‘jarak setengah nada’ atau microtone ‘kurang dari jarak setengah nada’ yang sepenuhnya “baru” dan bukan merupakan bagian dari keindahan intuitif yang dipentaskan dalam repertoar pada umumnya. Para guru seni suara saya di Bali bisa sangat analitis ketika membahas gaya mereka masing-masing dan secara sadar melafalkan perbedaan warna suara dan jarak-jarak nada di antara masing-masing lagu. Ini bukan berarti bahwa para penyanyi Bali dalam berkesenian tidak memberi perhatian terhadap nada pokok, tetapi unsur-unsur terhalus, mendalam dan rumit adalah tersirat dan dalam relung rasa. Pendekatan yang bersifat intuisi (bisikan hati) ini masih akan berfungsi sampai hadirnya jurang pemisah di mana suatu generasi tidak lagi mengalami cara pembelajaran melalui mendengar dan meniru yang sebagian besar melampaui pertimbangan dan pikiran logis. Ini tentunya menjadi tantangan dalam menghidupkan kembali beberapa gaya nyanyian. Mungkin ada yang mau meresapinya 60
Percakapan (2014)
19
kembali dan tanpa beban melalui rekaman-rekaman ini, lalu secara perlahan menyadari munculnya susunan nada-nada halus yang baru sembari mandi di pancuran, atau lebih baik lagi, pada saat musim semi tiba. Walau sléndro dan pélog, istilah yang digunakan untuk membedakan pelarasan Bali dan Jawa disebut dalam bagian Catur Muni-muni dari Aji Gurnita dan Prakempa, yang dipercaya sebagai naskah abad ke-19,61 keduanya baru muncul dan digunakan secara umum di Bali semasa tahun 1960-an setelah dipopulerkan oleh Nyoman Rembang, Gusti Putu Madé Griya dan Nyoman Kalér, yang mengajar di Konservatori Karawitan (KOKAR) Surakarta, Jawa Tengah. Pemaknaan teoritis ini dalam beberapa cara mengaburkan kenyataan bunyi dan ekologi warna suara dari beragam pelarasan, irama tembang dan gamelan dan istilah-istilah lokal di seluruh pedesaan Bali. Beberapa kenikmatan, pertanyaan, dan tantangan dalam memahami dan menghidupkan kembali kepekaan seni suara selama seabad yang kini nyaris hilang, mengingatkan kita kepada sebuah pernyataan tegas dari ahli karawitan dan tokoh pendidik Wayan Sinti dalam harian Bali Post, “telinga masyarakat Bali telah dijajah oleh pelarasan gong kebyar (tangga nada pentatonik modern).”62 Lebih dari itu, saya bisa tambahkan, diokupasi oleh musik diatonis di radio dan televisi. Walau pelarasan gambuh disebut sebagai ‘saih pitu’, sistem pélog tujuh nada, naskah Catur Muni-muni menjelaskan sebuah sistem sepuluh nada bernama gamelan amladprana atau simladprana. “Bunyi simladprana adalah lagu-lagu dari repertoar gambuh, dengan patut (pelarasan) yang terdiri dari sepuluh bunyi dang, ding, deng, ndung, dong, bernama pélog, kemudian ndang, nding, ndeng, ndung, ndong, yang disebut sléndro. Ketika kedua laras disuarakan bersamaan muncul sebuah melodi seperti ding, nding yang menjadi suara dari pelarasan simladprana, gabungan dari pélog dan sléndro.”63 Seberapa pun akurat atau tidaknya naskah ini secara historis, ada bukti bahwa pemain suling gambuh ‘suling bambu’ di Batuan masih menggunakan sepuluh nada, sesuai dengan catatan dari Karl Richter dengan bantuan analisa frekuensi dari nada-nada.64 Banyak lagu dari tahun 1928 memiliki estetika yang muncul sebelum pembedaan sléndro-pélog. Para penyanyi yang direkam pada tahun 1928 tumbuh dalam sebuah lingkungan gamelan kuna tujuh nada. Nyanyian mereka jelas mencerminkan gamelan berciri kuna seperti luang, gambuh dan slonding serta Semar Pagulingan saih pitu, yang kesemuanya jarang terdengar dewasa ini, sembari memamerkan kekayaan nada-nada dan keragaman jarak-jarak nada – dalam beberapa kasus sepuluh nada unik termasuk pula nada-nada bernuansa halus. 61
Bandem (1986: 80–96). Thomas M. Hunter mengemukakan bahwa Catur Muni-muni, setidaknya, adalah naskah dari abad ke-19 (2010: naskah belum diterbitkan), yang dibuktikan melalui penggambaran instrumeninstrumen gamelan dalam lukisan Kamasan (Vickers, 1985). 62 “Telinga masyarakat Bali dijajah oleh laras gong kebyar.” Percakapan dengan Wayan Sinti (2009) 63 Bandem, I Madé. (1986: 94-95). “Kunang gagambelan simladprana ika gendingnya pagambuhan, patutanya hana sapuluh swara lwirnya, dang, ding, deng, dung, dong ngaran pelog, ndang, nding, ndeng, ndung, ndong ngaran salendro. Dadinya pelog tinabeh mwang salendro marmanya gending, ding, nding, keneskang tatabuhan. Ikang gagambelan simladprana ika patut pelog kasalendroan.” Kutipan dari penjelasan Catur Muni-muni dalam Prakempa. 64 Richter (1992)
20
Sebuah ciri yang menyolok dari para penyanyi laki-laki yang direkam pada tahun 1928 adalah rentangan nada yang tinggi, yang kerap membuat para pendengarnya bertanyatanya, seberapa yakinkah kami bahwa suara tersebut adalah suara laki-laki.65 Mengingat bahwa suara dari Ida Boda, Ida Bagus Oka Kerebuak, Ida Bagus Ngurah (dan juga penyanyi arja, kidung, dan kakawin dalam koleksi Bali 1928 CD #4 dan #5) adalah dalam jangkauan nada yang jarang terdengar di Bali saat ini, kami hanya bisa berasumsi bahwa telah terjadi perubahan estetika. Satu unsur yang mesti diperhatikan adalah kenyataan sampai tahun 1920-an dan 30-an peran-peran wanita dramatis diperankan oleh laki-laki. Mungkin pergeseran menuju nyanyian dalam jangkauan nada lebih rendah dipengaruhi oleh pemisahan jenis kelamin dalam pementasan, walau jenis seperti gambuh di Desa Batuan, baru memperkenalkan dan melibatkan pemeran wanita dalam sekaa sejak tahun 1960.66
Tembang: Sebuah Pengantar Singkat Tembang adalah nyanyian syair, sering disebut pupuh ‘melodi’, dan dirujuk sebagai sekar alit ‘kembang mungil’ atau oleh orang Jawa sebagai sekar macapat ‘irama pembacaan dalam kelompok empat suku kata’.67 Puh umumnya mengacu kepada metrum puitis kidung. Lebih umum lagi, pupuh bisa merujuk kepada melodi, baik tembang maupun gamelan dan ada keterhubungan antara metrum puitis pupuh (padalingsa dan guru ding-dong) dan beragam gubahan gamelan.68 Dalam bahasa Bali ada keterkaitan antara huruf ‘p’, ‘b’ dan ‘w’dan merupakan praktik yang umum untuk menukar satu sama lainnya. Sehingga puh adalah secara etimologi berhubungan dengan buh dan lalu tabuh ‘memukul’ selayaknya memainkan sebuah instrumen gamelan.69 Padalingsa adalah prinsip dasar dari pola puitis dalam tembang. Pada bisa berarti ‘kaki’ (dan menunjukkan jejak, langkah atau dasar), lalu sebagai ‘akhir’ bila dikaitkan dengan dengan syair, dan juga sebagai ‘bait’ dalam pupuh, kidung, dan kakawin. Sebagai padalingsa, ‘pada’ merujuk kepada jumlah suku kata per baris dan ‘lingsa’ kepada huruf hidup pada akhir setiap baris yang juga disebut sebagai carik ‘koma’. Yang menarik, penulisan lingsa bila digunakan dalam diskusi kesusastraan muncul dalam Kamus Bahasa Bali sebagai lingseh ‘gugusan’ dan juga ‘bentangan pohon tumbang’. Istilah lain untuk mengambarkan ‘perhitungan suku kata’ adalah guru wilang. Dalam praktik menembang yang sebenarnya, pada bisa ditambahkan dan dikurangi sampai batas tertentu, seperti yang terbuktikan dalam beberapa rekaman ini. Ciri khas terpentingnya adalah huruf hidup pada akhir setiap baris, walau ini bisa saja berubah. Ida I Déwa Gdé Catra (1935–) memberitahu kepada kami bahwa padalingsa di masa lalu cenderung dianut secara lebih bebas dan tidak ketat. Guru ding-dong yang mengatur tinggi-rendahnya nada pada akhir setiap baris merupakan ciri khas pokok setiap tembang, namun ini bisa berubah untuk memberi kesinambungan kepada baris berikutnya, terutama dalam pementasan seperti arja. Sebagai tambahan, guru ding-dong bisa sering berbeda tergantung kepada gaya wilayah atau 65
Suara laki-laki dalam standar internasional umumnya berada dalam jangkauan tenor. Percakapan dengan I Nyoman Kakul (1972) 67 Pupuh kerap disebut sebagai sekar alit (sebagai contoh, Sugriwa,1978: 3) namun sumber-sumber lainnya berpendapat bahwa penggunaan kata-kata pupuh dan puh sering mengacu kepada tembang dan kidung. 68 I Madé Bandem (percakapan, 2006) 69 I Nyoman Suarka (percakapan, 2014) 66
21
pribadi. Sebuah pertimbangan yang menarik bahwa istilah Bali diawali dengan kata-kata seperti hukum ‘asas’ dan guru ‘peraturan’ tetapi para penyanyi dan seniman lainnya selalu menikmati untuk menyimpang dari kaidah demi mengejar keindahan dan kepuasan, selama itu bisa dikatakan pangus ‘pantas dengan suasana’.70 Alunan nada-nada menurun lembut yang terdengar menonjol dalam nyanyian Ida Bagus Oka Kerebuak, Ida Boda dan Ni Lemon tidak bisa dijumpai saat ini, sehingga tidak terdapat istilah umum yang bisa dipakai sebagai sebuah kesepakatan. Istilah Barat menyatakan hal tersebut sebagai glissando atau peralihan tinggi atau rendah secara terus-menerus antara dua nada. Patut diulang bahwa istilah di Bali sangat beragam, berbeda antar wilayah, desa dan penyanyi. Tentunya ungkapan terdekat bagi lengkungan suara adalah luk, sebuah kata yang juga menggambarkan keluk pada keris. Ngeluk ‘melengkung’ adalah umum di antara penyanyi tembang dan kakawin seperti Ida Bagus Madé Gandem di Lombok. Ida Wayan Padang lebih menyukai luk dibanding ombak, nglombang, ‘bergerak seperti ombak’.71 Namun, ngeluk bisa tinggi dan rendah sebagaimana halnya para penyanyi kita dari tahun 1928 yang khususnya menonjolkan alur menurun, menunjukkan pengaruh dari Sasak, Lombok. Ida Wayan Padang saat menyimak rekaman-rekaman oleh Ida Boda dan Ida Bagus Oka Kerebuak, menggunakan kata mengeluh, dari keluh untuk menggambarkan ratap dan desah saat solat Maghrib bagi masyarakat Muslim-Sasak. Ketut Kodi menyukai kata sriut (kata kerja: nyeriut) yang berarti menyelam atau menukik ke bawah, tetapi salah satu kamus72 mengartikan sriyut, nyriyut sebagai ‘hampir jatuh, berayun’ yang bagi penyanyi lain menunjukkan suatu ketidakstabilan dalam alunan nada lembut. Pemain suling dari Negara, I Gusti Ketut Sudhana menjelaskannya sebagai ngalad ‘memanjangkan, membentang’ yang bisa mengisyaratkan ‘melenggok lembut seperti layangan’, dan bagi yang lainnya menggunakan kata-kata ngeluk (juga terbang melayang seperti layangan), nyerit (menjerit ‘jatuh dari ketinggian’), ngeleg ‘membengkokkan, melengkungkan’, dan ngelengkung (yang juga bisa berarti menanjak atau terjun). Ketut Kodi memikirkan ngalad lebih pada suasana nyanyian kelompok Wargasari yang umum digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan. Sebuah istilah umum dalam kakawin (dijelaskan oleh Ida Bagus Madé Gandem) dan digunakan oleh Ida Wayan Padang dalam kaitannya dengan tembang adalah macepol, tetapi ini menyiratkan jarak nada yang lebih lebar. Ida Bagus Rai dari Geria Pidada, Klungkung dan Universitas Udayana menggunakan kata pélag dari kata pélagin, yang berarti ‘menurunkan’. Pihak lain menyarankannya sebagai sirang (nirang) ‘condong, miring’. Istilah saih umumnya dipergunakan dewasa ini untuk menjelaskan tangga nada; susunan berjenjang dari nada-nada pokok suatu sistem nada, yang tentunya menunjukkan posisiposisi yang tetap dan tepat. Namun, arti harfiah dari saih adalah ‘mirip’ atau ‘sebanding’ dalam bahasa Indonesia. Jadi istilah-istilah saih gender (wayang), saih gong, saih gambang atau saih angklung sesungguhnya berarti ‘mirip atau sebanding dengan empat gamelan tersebut’ – jauh dari tangga nada yang mutlak atau tersusun, terutama ketika muncul keragaman di antara satu set gamelan dengan yang lainnya dalam jenis atau kelompok 70
Daripada merujuk kepada hukum, Sugriwa (1978: 3) menyarankannya sebagai pupuh berdasarkan padalingsa. 71 Schumacher merujuk kepada mombakan ‘pasang dan surut’ dalam nyanyian kakawin (1995: 493). 72 Sutjaja (2006)
22
gamelan yang sama. McPhee (1966: 38) juga menyatakan ambah, jalan dan marga, yang berarti ‘pendekatan’ atau ‘cara’ yang mirip dengan pemahaman tentang patutan dan tekep ‘pelarasan’, tetapi digunakan secara khusus dalam gambang (pada tahun 1930-an); sebagai contoh, ambah Tembung. Nada-nada yang terdapat di antara lima nada pokok dari saih gong atau saih gendér pentatonik (umumnya dikenal sebagai pélog dan sléndro sejak awal tahun 1960-an) biasanya disebut paméro (atau panyorog, dari kata sorog ‘mendorong’ atau penyelah ‘menyisipkan’ untuk dé-ung di antara déng dan dung dan pamanis ‘pemanis’ untuk da-ing di antara dang dan ding tinggi).73 Bagi para penyanyi atau penabuh, béro-béro dalam pembahasan sehari-hari berarti ‘tidak selaras’ atau ‘sumbang’, dan mungkin menyindir penyusupan ke dalam pola lima nada yang dominan atau untuk menggambarkan gamelan yang sumbang dan tidak selaras. Tetapi Thomas M. Hunter menafsirkan béro atau maméro dan ‘sumbang’ sebagai memiliki dua pengertian yaitu ‘tidak selaras’ tetapi juga ‘bergema’, 'bersenandung’, dan ‘berdengung’.74 Tentu, istilah béro mengacu kepada énak ‘enak’ bagi kebanyakan pendengar termasuk pembawa acara pasantian Ida Pedanda Ngurah Bindu, Kesiman (1932–), yang menggambarkan nyanyian Ida Bagus Oka Kerebuak sebagai béro. Pada dasarnya, jika béro disengaja, hal tersebut dipandang sebagai tambahan lembut dari warna suara, dan Nyoman Suarka mengartikannya sebagai dalam bahasa Indonesia sebagai ‘peralihan’.75 Bunyi nada-nada dé-ung dan da-ing sering dimaknai sebagai ‘miring’ atau ‘di antara’, tetapi bagi yang lainnya seperti Wayan Sinti yang dengan lantang, bertanya, “di antara apa? Kesemuanya berada di antara bila kamu memikirkannya dalam gamelan gambang.”76 Tentunya, nyanyian Bali tidak dibatasi oleh keterhubungan susunan nada tetap dari gamelan lima nada, dan kemungkinan telah terpikirkan mendahului pelarasan gamelan tujuh nada. Kidung berkembang bersamaan dengan gamelan berlaras tujuh di antaranya gambang bambu, gamelan gambuh, luang dan caruk serta tembang (pupuh, sekar alit). Kidung berkembang didampingi oleh suling bambu yang begitu mudah menyelaraskan suasana mabebasan serta gamelan geguntangan dalam dramatari arja. Ketika kami mendengarkan rekaman Ida Bagus Oka Kerebuak bersama Ida Bagus Tegog, pemain suling gambuh dari Batuan, ia tidak mendengar tekep yang khas, tetapi mengatakan bahwa pola turun-naiknya nada yang dilantunkan adalah mabo “beraroma” lebeng atau baro. Setelah percakapan itu, banyak penyanyi seperti Ida Wayan Padang yang juga mempunyai banyak pengalaman dengan gambuh, menyetujui bahwa mabo adalah cara paling pantas untuk membuat suatu perbandingan, sama halnya dengan ungkapan pemain suling I Gusti Ketut Sudhana (Pak Melodi). Kami menemukan bahwa istilah ini diterima secara luas, mengindikasikan kedalaman rasa ‘perasaan’ dibanding pengukuran, dan menghindarkan sebuah gaya pribadi dari penggolongan. Ida Wayan Padang menjelaskan walau Ida Bagus Oka dan Ida Boda tidak menyanyi dalam tetekep gambuh, tak bisa disangkal bahwa mereka adalah pemain gambuh dan arja yang berpengalaman dan mengagumi nyanyian Sasak. 73
Rai (1996: 38 dan 133) melaporkan bahwa istilah-istilah ini digunakan oleh musisi Semar Pagulingan di Pagan. 74 Naskah belum diterbitkan (2013) 75 Percakapan (2014) 76 Percakapan (2013)
23
Apa yang dimaksud dengan pengaruh Sasak? Nyoman Candri mendengarnya dalam kerancuan di antara saih gong, gendér dan angklung, dan tentunya dalam pergeseran nada dari kecil ke besar (yang lebih cepat dibanding ngeluk olehnya yang sering digunakan dalam mengungkap suasana duka dan kesedihan). Ia juga mendengarnya dalam kembangan ‘kerumitan’ wiletan ‘aliran lagu’. Désak Suarti Laksmi dari Manggis, Bali Timur, mendengar pengaruh Sasak dalam engkal-engkalan atau ngéngkél, ‘getaran luk dan cengkok, alunan’ dan irama lagu’. Keduanya menggunakan Sinom Cecantungan sebagai contoh tentang kekhasan Sasak dalam mengungkap permainan laras yang campur aduk, namun mereka menyatakan bahwa Sinom Uwug Payangan sebagai hasil karya asli Bali. Saya telah menulis di tempat lain77 tentang pergerakan suara dalam tubuh seorang penyanyi – termasuk semua rongga seperti mulut, rongga hidung, kerongkongan dan dada, tetapi juga yang dipengaruhi oleh gigi, lidah dan bibir – seperti yang dijelaskan oleh dua guru saya semasa tahun 1980-1981, Madé Pasek Tempo dan Nyoman Candri. Pak Tempo mengacu kepada gedong céngkok – gedong berarti rumah atau bangunan dan céngkok menurutnya berarti liang atau ruang. Ia berpendapat mengenai gedong céngkok sebagai sebuah bentuk, lompatan dan ruangan dalam aliran melodi (ilegan) serta dalam tubuh sang penyanyi. Saya sebelumnya tidak pernah mendengar istilah gedong céngkok digunakan dalam cara ini selain dari Pak Tempo sampai pertemuan saya dengan Ida Wayan Padang, yang juga menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan pergerakan suara dan pembentukan ruang di dalam mulut dan rongga suara. Pak Padang juga menggunakan istilah mengéngkok-éngkok untuk menjelaskan lika-liku lagu. Nyoman Suarka (2007: 153) mengartikan céngkok-wilet sebagai “membuat variasi dalam tinggi-rendahnya nada dan irama tembang.” Nyoman Candri mengunakan istilah nyutra suara untuk pembentukan dan pengubahan halus dan lembut terhadap suara huruf hidup, tetapi yang juga menyatu dengan alunan nada tembang serta pemahaman dan pengalaman jasmani saat ‘suara mengalir melalui tubuh’. Ketika keterhubungan di atas menjadi sorotan, ia merujuknya sebagai ilegan nyutra ‘aliran dari nyutra’. Nyutra nyerod (dari serodan) bisa disamakan dengan nyutra; sebagai air yang berputar-putar dalam sebuah arus yang meluncur tanpa hambatan di atas bebatuan. Nyutra berasal dari kata sutra dalam bahasa Sanskerta dan mengacu kepada sebuah tingkat keindahan dari suara yang lembut, lancar dan halus. Mengingat perpaduan praktik, pemikiran dan peristilahan Buddha Tantrayana yang erat di Bali, nyutra bisa dipahami dalam tingkatan mistis sebagai benang sutra lembut dan halus dalam pemintalan tantra.78 Mary Zurbuchen (1987: 62) menulis: “…melekat dalam pengujaran adalah kekuatan yang berhubungan dengan organorgan vital kita. Konsep Bali tentang dasaksara (sekumpulan suara-suara dan simbolsimbol tertulis yang penting dalam mistisisme Bali; dari dasa ‘sepuluh’ dan aksara ‘huruf’) menghubungkan fakta fisiologis dengan berbagai simbol linguistik, masing-
77
Herbst (1997) Sebuah hubungan yang menarik dicetuskan oleh Chogyam Trungpa (Rinpoche), seorang guru Buddha Tibet (1973: 219): “Tantra searti dengan dharma, tujuan mulia…Kata tantra berarti keberlanjutan’. Sama halnya dengan untaian benang yang mengikat manik-manik. Benang itu merupakan tujuan mulia.” 78
24
masing menegaskan kembali keterkaitan antara bahasa dan berbagai tingkatan dari kebenaran universal …Simbol-simbol ini mewakili suara-suara yang berturut-turut “lahir” dan “mati” dalam wicara, sembari tetap menjadi sebuah kesaksian yang “abadi” (aksara tidak termusnahkan) terhadap kekekalan ilahi, keteraturan semesta, kebenaran, dan seterusnya…Pola-pola konsepsual berbahasa bisa dilihat dari pengertian kata-kata seperti nyutra…dan sandhi ‘bergabung, dan menyatu’. Keduanya digunakan secara luas sebagai metafora dari transformasi mistis dan berdasarkan pada istilah-istilah linguistik bagi asimilasi suara.”
Perubahan warna suara adalah bagian tak terpisahkan dari sandhi suara, yang bisa mengacu kepada perpaduan dan peleburan dari kata-kata seperti halnya banu umili ‘air mengalir’ menjadi banumili. Nyandhisuara adalah istilah yang lebih umum dalam praktik. Zurbuchen (1987: 273) kemudian mengartikan sandhi sebagai “pencampuran suara-suara, penggabungan atau perpaduan dari diri dengan keilahian”. Pemahaman serupa diungkapkan sebagai nyutra suara seperti yang diajarkan kepada saya oleh Nyoman Candri, dan juga mayasuara atau admaya, menurut Ketut Kodi. Lebih berorientasi pada niskala ‘tak berwujud’, seorang penyanyi yang memasuki mayasuara tidak sadar akan kekuatan halus yang merasukinya. Admaya merujuk sebaliknya, sedangkan wayasuara adalah kegiatan yang disadari. Menurut risalah mistis dalam pementasan wayang, Dharma Pawayangan, para penonton bisa “dipukau” melalui suara sang dalang dan “tak berniat pulang saking senangnya.”79 Empati penonton, atau dalam kekinian istilah ilmu saraf, mirror neurons80 ‘neuron yang mencerminkan gerakan orang lain’, bersumber dari kekhasan dan kekuatan suara yang berpusat di organ-organ khusus dalam tubuh sang dalang: cinta dan emosi dalam hati, rindu dan gairah dalam empedu, kegembiraan dan keinginan dalam paru-paru dan jantung. Sang penyanyi tidak sepenuhnya menyadari apa yang tengah ia hasilkan dan para penonton kemungkinan tidak mendengarkannya melalui telinga, namun menjiwainya dengan suksma ‘kekuatan batin’. Tetapi dalam zaman mikrofon dan pengeras suara saat ini, telingalah yang mendengar81 sehingga muncul pertanyaan apakah nyutra, sandhi atau gedong céngkok tersampaikan lewat piranti-piranti tersebut, terutama dari panggung sampai para penonton yang mendengar dari kejauhan ditambah dengan begitu banyaknya gangguan terhadap sinyal suara. Daripada nyutra suara atau gedong céngkok, empu tari dan pemain rebab Pandé Madé Kenyir (sekitar 1905–1986) dari Singapadu menggunakan istilah manyingahin dan menjelaskan dampaknya sebagai mamanisan ‘mempermanis’ walau secara harfiah kata tersebut berasal dari singah ‘mengunjungi berbagai tempat’. Sebuah gaya yang begitu mengesankan dalam membentuk suara huruf hidup dan bunyi lainnya dalam mulut disebut ngilag-gilag, seperti mengunyah sesuatu yang kenyal atau memakan ikan paih dalam bahasa Bali atau ikan pari dalam bahasa Indonesia, yang butuh dikunyah berulang kali. Bunyinya dipanjangkan dengan banyak “ah—ii—uh—ah—ii—uu—ah”. Nyoman Candri menggunakan istilah “mampir” (berhenti sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan) 79
Hooykaas (1973: 191) Winerman (2005) 81 Percakapan dengan Ketut Kodi (2013) 80
25
untuk memindahkan suara dari hidung ke mulut ke kerongkongan, sedangkan Ketut Kodi menggunakan istilah “mencuri”, dengan mengatakan ‘suara dalam hidung dicuri dari hidung menuju gigi atau menuju kerongkongan. Lain halnya dengan Ni Ketut Ribu82 yang dikatakan memiliki cara menyanyi yang sangat berbeda dari nyutra, di mana perubahan suara huruf hidup sangat unik dan kentara, serta ditahan secara berkepanjangan dan tegas. Alhasil, perubahan suara huruf hidup cenderung mendadak, biasanya disebut sebagai bagal-bagalan ‘kasar’ atau secara harfiah, ‘terpenggal dalam potongan besar’. Tetapi ini diterima dan dihargai dengan baik, menurut Ketut Kodi, karena sepenuhnya selaras dan menyatu dengan olah gerak tarian serta pelakonan yang menyeruak dari jiwanya dan pembadanan taksu. Istilah menembang lainnya adalah ngilik. Menurut Ida Wayan Padang, ngilik mengacu kepada menanjaknya nada-nada suara dan warna suara menandakan adanya dengung suara hidung. Madé Pasek Tempo menyamakan ngilik dengan air yang melewati bumbung pancuran bambu yang lebih lebar menuju yang lebih sempit. Ia lebih memilih menggambarkan ngilik daripada menyatakan sebuah nada sebagai paméro. Ketut Kodi menimbang gilik sebagai ‘padat, terkonsentrasi’. Pak Padang juga mengacu pada nyirit, suara kecil (tinggi) dan keras yang mirip ngilik. Kodi juga menggunakan nyerit untuk mengartikan suara lebih bertenaga dan juga lebih pendek. Ia menggunakan ngelik untuk menjelaskan menanjaknya nada suara tetapi lebih halus dan lembut dibanding ngilik. Jero Ranten membahas penggunaan ngelik oleh Ida Boda dan bagaimana beliau memanfaatkan teknik tersebut dalam lagu papeson ‘keluar’ (entah Adri atau Dangdang) dari galuh ‘tokoh putri halus’ dalam arja. Ia menjelaskannya sebagai suara hidung ‘menggunakan rongga hidung’, khususnya untuk menciptakan kesinambungan suara kerongkongan dan hidung yang halus dan lembut. Ia gembira saat mengetahui hal tersebut dicontohkan dalam nyanyian Ida Boda yang direkam pada tahun 1928.83 Secara umum, baik malengking dan jangih merujuk pada suara tinggi yang ‘bertenaga, keras’ atau bahkan nyaring. Nyoman Candri terkadang menggunakan istilah élak-éluk yang mengacu kepada sebuah wilet ‘alunan nada-nada’ yang ‘menjauh dan mendekat’ dengan éluk berasal dari luk ‘lengkung’ dan élak, kemungkinan dari lakar, menandakan tujuan seperti dalam lakar kija ‘hendak ke mana?’. Sebuah istilah lain tentang senandung lagu adalah ilag-ileg yang berasal dari kata leg, ‘mengelok, meliuk’ seperti halnya tari légong. Bagi Désak Suarti Laksmi, ngeluk adalah lekuk ‘penyok, beralur, bengkok, miring’ dalam ilegan ‘kesinambungan nada-nada’. Lekak-lekuk seringkali didengar sebagai senandung berliku dari lagu. Persamaan ngeluk adalah malengkung ‘melengkung, membusur’ yang lebih sering mengacu kepada gerakan tubuh. Ia juga menggunakan istilah ngeleg dalam pembahasannya tentang pupuh (tembang). Dalam cakepung yang terdapat di Karangasem, Bali Timur dan cepung, persandingannya di Lombok, lelakak adalah permainan, nyanyian terpatah-patah berdasarkan suku kata, 82
Tokoh mantri arja legendaris Radio Republik Indonesia, berasal dari Negari, Singapadu. Percakapan dengan seniman Radio Republik Indonesia yang berasal dari Sukawati dan Abian Kapas (2004). 83
26
menggunakan berbagai suku kata, huruf hidup dan mati dengan irama bersahutan dan saling-kait. Sebuah jenis nyanyian serupa terdapat di Bali Utara (keduanya sama-sama diilhami dari acara minum tuak ‘arak beras’, yang juga mempengaruhi ngilag ‘pembentukan suara huruf hidup yang kenyal’) juga melibatkan nyanyian kelompok yang ritmis dan saling-kait. Ngongkék (dikenal juga sebagai tembang Rengganis) secara harfiah mengacu pada gerakan, bergoyang maju-mundur, mondar-mandir selayaknya gerakan mencabut pénjor (tiang bambu) dari tanah. Seseorang bisa memandang bahwa cara pengajaran khas Bali – yang melibatkan beragam teknik dari maguru panggul sampai nyutra suara yang digabungkan dengan gerakan, kekuatan dan emosi sang guru – adalah cara pembelajaran yang berdasarkan kebijaksanaan masa lampu yang mendahului penemuan ilmiah kontemporer dalam ilmu saraf termasuk neuron cermin. Tambahkan kemudian pengalaman kinestetik/kinetik (jasmani/gerak) dari ombak – laras berpasangan dari pangumbang dan pangisep (mengumbang dan mengisap, keduanya menunjukkan kegiatan lebah) yang dihasilkan secara ilmiah oleh para pembuat gong – yang memenuhi lingkungan dan masyarakatnya (termasuk penyanyi dan penabuh gamelan) dengan “samudra” bebunyian akustik dan kegairahan batin/jasmani.84 Pengakuan dan peleburan kembali pola pendidikan semacam ini bisa menghidupkan kembali pembelajaran ilmiah masa lampau di Bali yang memberdayakan berbagai kecerdasan seperti empati dan emosi.
84
Dampak dari ketukan-ketukan akustik lebih mendalam di ruang terbuka.
27
28
29
30
Sekilas Tentang Kehidupan Ida Bagus Oka Kerebuak Ida Bagus Oka Kerebuak dilahirkan di antara tahun 1873-1878 dan menjalani hidupnya di Geria Pidada (kediaman Brahmana) Klungkung. Menurut putranya, Ida Bagus Pidada Kaut,85 nama Kerebuak (kerap digunakan dalam lingkup geria) diberikan kepadanya karena saat mengandung dirinya, ibunya jatuh, dan bunyi onomatopoetis yang dihasilkan saat menimpa lantai bambu adalah kerebuak. Walau masih berusia muda, kemahirannya dalam seni suara sudah tinggi, sampai-sampai ia diminta untuk datang ke istana Puri Klungkung oleh pujangga hebat Anak Agung Gdé Pameragan hanya untuk menyanyikan geguritan seselesainya digubah, agar sang pujangga bisa mendengarkannya sebagai tembang. Ida Bagus Oka Kerebuak tumbuh mendengarkan gamelan Semar Pagulingan tujuh nada (gamelan dari bangunan peristirahatan raja) yang aslinya dimainkan di luar kediaman pribadi dari Déwa Agung, Raja Klungkung, pada saat bersantap, bersenang-senang dan saat beliau bermadu kasih dengan salah seorang istrinya. Gamelan dimainkan oleh penabuh yang berasal dari puri dan juga rakyat jelata dari Desa Kamasan. Alat-alat gamelan ini hancur ketika terjadi peristiwa puputan pada tahun 1908 saat Déwa Agung dan kebanyakan keluarga dan pengikutnya memilih gugur dalam peperangan dibandingkan menyerah kepada gelombang serbuan tentara Belanda. Gamelan tersebut dibangun kembali oleh pembuat gong Pandé Aseman (alias Asem) dari Tihingan yang juga melebur dan melaras gamelan Semar Pagulingan saih pitu di Pagan serta gamelan gong kebyar di Belaluan, Peliatan dan lain-lain.86 Menurut Ida Bagus Pidada Kaut, ayahnya (Ida Bagus Oka Kerebuak) menyanyi sebagai juru tandak ‘penyanyi tunggal’ dalam dramatari gambuh milik puri (juga disebut sebagai tetantrian ‘mementaskan cerita-cerita Tantri’), sebuah jenis lain yang juga menggunakan iringan ansambel tujuh nada. Beliau juga memerankan tokoh Raja Lasem dalam gambuh dan tokoh mantri ‘pangeran halus’ (termasuk juga tokoh Sampik) dalam dramatari arja. Beliau juga sering menjadi juru tandak untuk légong yang diiringi oleh gamelan gong kebyar. Ida I Déwa Gdé Catra mengingat kesaktian dari Ida Bagus Oka Kerebuak ketika mementaskan peran Dalem dalam dramatari topéng, di mana beliau mempunyai kebiasaan yang unik yaitu menyanyikan sendiri lagu pengantar tandak Dalem (nyanyian dan lagu pujian bagi tokoh raja saat akan tampil) dari balik langsé ‘tirai panggung’. Nyanyian di balik langsé ini memungkinkan beliau untuk menjiwai tokoh topengnya dalam suara yang penuh penghayatan. Di tempat lain seluruh Bali, tandak Dalem ini hanya dinyanyikan dan dilantunkan oleh panasar, abdi raja bertopeng setengah yang berkisah dan melelucon sepanjang drama berlangsung serta menyuarakan Dalem yang bertopeng penuh, dan juga menerjemahkan kata-katanya sendiri dalam bahasa Bali sehari-hari. Ida Bagus Oka Kerebuak juga menarikan tokoh-tokoh topéng lainnya semacam tokoh keras seperti perdana menteri. Dan beliau juga memainkan peran Grantang mendampingi Ida Boda yang memerankan tokoh rakus Cupak dalam cerita yang sering disebut tenget ‘angker, keramat’.87
85
Seniman dan guru topéng, belajar jauk dan baris dari I Nyoman Kakul. Pandé Madé Sebeng (Pan Santra), putra dari Pandé Aseman (percakapan, 1972) 87 Percakapan di Geria Pidada (2013) 86
31
Pada saat rekaman-rekaman ini, usia Ida Bagus Oka ditaksir baru pertengahan lima-puluhan tahun dan belum dikaruniai keturunan. Istri pertamanya, yang dinikahi saat usia muda, meninggal pada masa awal pernikahan mereka dan empat istri selanjutnya juga tidak memberinya keturunan. Akibatnya beliau mejadi begitu gundah, namun tegar bersumpah untuk menerima nasib dan tidak akan menikah lagi. Tetapi, temannya, Anak Agung Anglurah Jelantik, Raja Karangasem, menyarankan agar Ida Bagus Oka Kerebuak mencoba sekali lagi dan menikahi seorang wanita muda kenalannya bernama Ida Ayu Madé Rai Rupet dari Geria Dawan yang terletak di perbukitan di atas Klungkung. Ida Bagus Oka Kerebuak menyetujui usul itu dan semenjak itu dikaruniai lima anak; putra sulungnya adalah Ida Bagus Pidada Kaut. Salah satu dari saudara laki-laki Ida Bagus Oka Kerebuak adalah Ida Madé Tianyar (bisa disimak dalam CD ini) yang mementaskan topéng panasar bersamanya dan kemudian menjadi seorang pedanda ‘pendeta Brahmana’. Saudara lakilaki lainnya Ida Bagus Ketut Sidemen Kerempuang adalah tukang banten ‘ahli sarana upacara keagamaan’. Kerempuang, menurut Ida Bagus Pidada Kaut, mengacu pada bunyi ketika seseorang jatuh ke belakang, sedangkan kerebuak adalah jatuh ke depan. Ini adalah berbagai contoh dari nama-nama lucu dan persamaan onomatopoetis di antara persaudaraan Bali (sebagai contoh, Gerindem dan Gerinding). Ida Bagus Oka Kerebuak melakukan banyak kunjungan ke Lombok untuk pentas. Selain adanya hubungan kekeluargaan di antara garis keturunan Pidada Klungkung dan Lombok, Ida Bagus Oka Kerebuak gandrung ‘tergila-gila’ dengan nyanyian Sasak. Ida Wayan Padang, yang mementaskan topéng bersama pamannya Ida Boda, dan Ida Bagus Oka Kerebuak, menunjukkan kepada kami bagaimana rekaman Sinom, Dangdang, Pangkur, Semarandana, dan Kumambang semuanya disasak ‘menunjukkan pengaruh Sasak’. Beberapa pendengar Bali perlu diyakinkan bahwa suara Ida Bagus Oka Kerebuak adalah benar suara seorang penyanyi laki-laki. Ida Bagus Oka Kerebuak adalah seorang tukang tapel ‘pembuat topéng’ dan karyakaryanya seperti barong dan Rangda terus dikagumi oleh generasi yang lebih muda. Koleksi topeng miliknya (yang dikenakan sendiri) memiliki torehan-torehan simbol keramat di dalamnya - tepat berhadapan dengan wajah sang penari – simbol Ang di dahi, Ung di atas hidung dan Mang di bawah mulut. ‘Ang—Ung—Mang’ adalah triaksara, sebuah penggabungan dari suku kata, atau huruf-huruf, yang membangkitkan ikatan makrokosmos-mikrokosmos, sang mahapadma ring sarira ‘keindahan bunga teratai dalam diri’ (Goris, 1926: 63). Kebiasaan merajah tapel masih berlanjut dewasa ini, setelah tapeltapel tersebut menerima pasupati dan taksu oleh seorang pedanda yang mampu menyalurkan karunia dan restu dari Déwa Pasupati. Gelungan ‘hiasan kepala’ dan pakaian tari bisa juga menerima taksu dari upacara pasupati. Déwa Pasupati memupuk kehidupan kita: Ang–Ung–Mang adalah Trimurti ‘trinitas kekuatan Brahma-Wisnu-Siwa’ yang diwujudkan sebagai utpeti ‘penciptaan’, stiti ‘pemeliharaan’ dan pralina ‘peleburan’ (Sanskrit).88 Zurbuchen (1987: 53-4) menulis, “…tempat di mana bahasa tulis dan lisan pada peta kosmologi Bali menghubungkan telaah bahasa dan kegiatan berbahasa dengan unsur-unsur pokok lainnya dalam sistem pemahaman yang diarahkan untuk mencapai…kemampuan semadi yang tinggi. Sebagai contoh, ketika pedanda melakoni 88
Ketut Kodi (percakapan, 2013)
32
ritual hariannya (surya séwana) pembuatan air suci dicapai melalui penjiwaan dasaksara dan ‘peredaran’ batiniah ke semua arah, sehingga kesepuluh aksara semakin ringkas dan berubah bentuk. Pertama, mereka menjadi lima, pancaksara (Na-Ma-Si-Wa-Ya), lalu tiga, atau triaksara (Ang—Ung—Mang). Trinitas ini lalu menjadi dualitas, rwa bhinnéda ‘dua yang diagungkan’ (Ang-Ah), sebuah prinsip yang mengemukakan dua kubu berlawanan yang senantiasa kekal dalam kehidupan seperti laki-perempuan, hidup-mati dan makrokosmos-mikrokosmos. Akhirnya, muncul ONG atau ongkara yang mencakup semuanya, perwakilan dari suara utama dan keniscayaan bahwa segalanya menjadi satu.” Menurut Ida Bagus Pidada Kaut, ayahnya adalah teman dari Mangkunagara VII (1885– 1944), penguasa dari istana Surakarta (Solo) di Jawa Tengah. Mangkunagara VII sering mengundang dan menjadi tuan rumah bagi sekaa gamelan dan penari Bali berjumlah besar orang semenjak tahun 1920 dan Ida Bagus Oka Kerebuak mengikuti setidaknya tiga dari perjalanan ke Jawa Tengah tersebut.89 Sepucuk surat yang dikirimkan pada tahun 1941 oleh Anak Agung Anglurah Jelantik kepada Mangkunagara VII secara khusus menjanjikan bahwa pementasan topéng yang sedianya dibawa ke Surakarta akan menyertakan Ida Bagus Oka Kerebuak dan rekan-rekannya dari Klungkung (beliau merupakan salah satu dari dua seniman yang dicatat menggunakan nama) dan akan mementaskan cerita Ken Arok (Angrok)90 (lihat foto). Mangkunagara VII pun pernah melawat ke Klungkung dan dalam satu kesempatan mengunjungi kediaman Ida Bagus Oka Kerebuak. Penguasa Solo itu membeli berbagai karya pahatan yang diukir oleh Ida Bagus Oka Kerebuak termasuk sebuah kusen pintu yang sangat megah, dan juga menugaskan Oka untuk memahat patung diri dari istri mudanya Raja Isteri Timur (Gusti Kanjeng Ratu Timur). Ida Bagus Oka Kerebuak meninggal pada jam sepuluh pagi, tanggal 18 Januari 1959 dan upacara pembakaran jenazahnya, pelebon dilaksanakan pada tanggal 20 July 1962. Rekaman-rekaman ini adalah citra pendengaran tentang gaya khas Ida Bagus Oka Kerebuak yang dipengaruhi nyanyian Sasak, gambuh dan gamelan Semar Pagulingan saih pitu dari Puri Klungkung dan kemudian dari Kamasan.91 89
Arthanegara dan lain-lain (1980-81: 6) menambahkan Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta sebagai kota-kota yang sempat dikunjungi. 90 Cucu dari Anak Agung Aglurah Jelantik bernama Anak Agung Ayu Bulan Trisna Djelantik, memberikan salinan dari surat-menyurat antara kakeknya dengan Mangkunegara VII, yang didapat di Pustoko Mangkunegaran di Surakarta. 91 “Setelah perang dahsyat pada tanggal 28 April, 1908 yang dikenal sebagai “Puputan Klungkung,” suara Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu kepunyaan Puri Semarapura (Klungkung) tak pernah lagi terdengar. Besar kemungkinan gamelan tersebut dibakar bersama barang-barang peninggalan raja pada saat puputan. Untungnya, ada beberapa musisi yang selamat dari tragedi tersebut. Para musisi itu, yang biasa memainkan Gamelan Semar Pagulingan di istana, berasal dari Banjar Sangging di Desa Kamasan, sebelah selatan dari istana. Selain memainkan gamelan di istana, para musisi ini juga berpartisipasi dalam kelompok gamelan Gambuh dan Semar Pagulingan lima-nada di Pura Balebatur Kamasan. Semua musisi juga adalah anggota pura keluarga (pemaksan) dari Pura Balebatur. Sekitar tahun 1920, para penabuh istana ini berkumpul dan membahas ide membangun sebuah set Semar Pagulingan Saih Pitu yang baru, berdasarkan model gamelan istana yang lama…Pemaksan ini tak mempunyai cukup pendanaan…sehingga terpaksa melebur perunggu dari Semar Pagulingan lima nada mereka yang lama. Mereka memanggil Pan Asem. Seorang pembuat gamelan dari Banjar Aseman, Tihingan, untuk melebur dan melaras gamelan yang baru. Suling-suling gambuh dari Puri Semarapura yang berhasil diselamatkan oleh para musisi dari Banjar Sangging digunakan sebagai petuding atau referensi laras. Petuding dibuat oleh I Wayan Kerug dan I Nyoman Bablag, anggota
33
CD Trek #1 Pangkur (Tejaning Smara) Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak Dari geguritan Tejaning Semara (Kidung Ngiket Ipian) Bahasa: Bali Kapara (lumrah) Iseng mangiket ipian, Iseng menggubah impian, ditu mapinda nepukin dedari, di sana dilihat bayangan bidadari, miik maciri miik malepug, wangi semerbak sebagai pertanda, magulem sarin pudak, bermega bunga pudak, ujan bunga, tambulilingan ngariyung, hujan bunga, kumbang berdengung, mirib guruh sasih kapat, bak guruh bulan keempat (Oktober), anginé aris sumilir. angin berhembus sepoi-sepoi. Makelapan ngalap bunga, Sepintas (bidadari) terlihat memetik bunga, langsing lanjar pamulu putih gading, tubuhnya semampai, kulitnya putih mulus, tayungan lemet malengkung, ayunan tangannya lemah gemulai, ngenah kukuné lantang, lentik kukunya terlihat panjang, dari pura tersebut. Pembuatan gamelan yang baru ini dilakukan di Pura Balebatur. (Di masa lalu ada kepercayaan bahwa gamelan untuk kepentingan pura semestinya dibuat di pura). Setelah selesai dikerjakan, gamelan disimpan di Pura Balebatur. Latihan-latihan mereka dipimpin oleh para musisi istana yang selamat, salah satunya Kaki Gondol…Sampai sekarang, gending (lagu-lagu) tidak banyak berubah dari masa permulaannya di Kamasan, dan dapat dinikmati sekarang dalam sebuah CD.” I Wayan Rai (1996: 10–11)
34
manguranang nyalang kadi manik banyu, bersinar mengkilat bagaikan permata kristal, (rekaman memotong dua baris terakhir dari bait): yaning nyaréré malihat, saat melirik, masledét kadi tatit. kedip matanya bagai kilat. Kedua pada ‘bait’ dari tembang Pangkur ini berasal dari sebuah geguritan berjudul Tejaning Smara (Gelora Cahaya Cinta) yang ditulis oleh Anak Agung Gdé Pameregan, seperti yang disampaikan oleh Ida Bagus Pidada Kaut (putra sang penyanyi) dan Anak Agung Gdé Ngurah Oka Jaya, cicit-kemenakan dari Anak Agung Gdé Pameregan . Setelah mencari geguritan Tejaning Smara dalam berbagai naskah dan buku, dan menanyakan kepada para ahli di Bali dan para ahli sastra asing, satu-satunya bentuk tertulis yang kami dapatkan adalah dari sebuah buku geguritan lain, berjudul Duh Ratnayu, yang ditulis oleh Anak Agung Gdé Pameregan dan diterbitkan oleh Ida Cokorda Gedé Mayun dari Puri Klungkung. Kami menemukan sebuah salinan di Pusdok (Pusat Dokumentasi); tanpa petunjuk tentang tahun terbitannya. Pusdok mendapatkannya dari Museum Bali yang mendapatkannya dari koleksi Hooykaas (HKS) di Gedung Kertya, Singaraja. Setelah bagian puput ‘kesimpulan akhir’ dari Duh Ratnayu muncul sebuah pergeseran dari pupuh Dangdang ke pupuh Pangkur dengan judul Mangiket Ipian. Walau Ida Bagus Pidada Kaut memberitahu kami bahwa judul asli dari karya Anak Agung Gdé Pameregan adalah Tejaning Smara, syair di Bali biasanya dikenal lewat rangkaian kata-kata awal pada bait pertamanya, dan geguritan yang diterbitkan ini mulai dengan kata-kata Bali, “Iseng mangiket ipian” (Iseng Menggubah Impian) dengan lirik dari dua pada ini sama persis dengan yang dinyanyikan Ida Bagus Oka Kerebuak dalam rekaman tahun 1928. Madé Suastika (1997: 325) dan Nyoman Suarka (2007: 128) mengutip dari Hinzler (1993: 443), menunjuk kepada Kidung Ngiket Ipian karya Anak Agung Gdé Pameregan. Ida I Déwa Gdé Catra menjelaskan alasan di balik penyebutan geguritan ini sebagai kidung adalah tidak adanya carik ‘koma’ pada akhir setiap baris dari syair (dalam edisi Ida Cokorda Gedé Mayun) sementara Duh Ratnayu (dalam buku yang sama) mengandung carik. Menariknya, Ida I Déwa Gdé Catra mempersiapkan sebuah versi ketikan dari Duh Ratnayu dari sebuah lontar pada tahun 1992 yang menyertakan “Pangiket Hipyan” yang sama (permulaan dari pada yang kami miliki) namun menggunakan koma pada akhir setiap baris. Nyoman Suarka menyetujui bahwa syair seperti yang telah dilihat kebanyakan orang tersebut, mengikuti sistem pada ‘bait’ untuk menandakan carik ‘koma, akhir’ daripada sistem baris. Pihak-pihak lain menyarankan bahwa sebuah geguritan bisa dikatakan sebagai kidung jika makna yang muncul adalah wayah ‘mendalam’ seperti Sinom Lawé. Satu alasan lagi mengapa geguritan bisa dikatakan wayah adalah apabila bahasanya merupakan campuran Kawi dan Bali. Kemudian, pada ‘bait’ kedua yang dimulai dengan kata-kata “Makelapan ngalap bunga” telah lama - di seluruh Bali – menjadi lirik yang dinyanyikan oleh tokoh condong dalam dramatari arja sebagai papeson ‘lagu pengantar’ keluar menuju panggung melalui langsé
35
‘tirai’. Nampaknya pasti bahwa litik-litik ini berasal dari geguritan oleh Anak Agung Gdé Pameregan dan rupanya diperkenalkan kepada masyarakat Bali melalui nyanyian Ida Bagus Oka Kerebuak. Berdasarkan cerita keluarga turun-temurun, Ida Bagus Pidada Kaut mengatakan kepada kami bahwa Anak Agung Gdé Pameregan selalu menangis ketika mendengar Ida Bagus Oka Kerebuak menyanyikan tembang ini. Suastika menulis, “Kidung Pangiket Ipian menceritakan tentang mimpi sang pujangga bertemu dengan bidadari-bidadari surgawi yang cantik dan menghubungkan keindahan mereka dengan kisah Semara Ratih ‘Dewa Cinta Kasih dan saktinya, Dewa Ratih.”92 Sumber rujukan sang pengarang tentang Semara Ratih tidak muncul sampai beberapa pada kemudian, setelah kutipan dalam rekaman ini. Walau pembacaan geguritan ini secara lengkap menunjukkan bahwa hal ini adalah benar, Ida Bagus Pidada Kaut menawarkan sebuah catatan pribadi bahwa puisi ini digubah saat Anak Agung Gdé Pameregan semasa akhir hayatnya, jatuh cinta kepada seorang wanita muda dari puri dengan nama Anak Agung Istri Rai, tetapi beliau menyadari bahwa usianya sudah terlalu lanjut untuk memenuhi hasrat di luar imajinasinya. Selain kesan penyesalan, penafsiran ini juga mengungkap adanya aura keriangan yang mengilhami syair ini. Kenyataan bahwa Anak Agung Gdé Pameregan meninggal sekitar tahun 1892 berarti Tejaning Smara (Mangiket Ipian) telah digubah sebelum arja menjadi jenis seni pertunjukan yang dikenal saat ini, bentuk modern yang berkembang pada dekade pertama dari abad ke-20.93 Adalah hal yang sangat menarik melihat jejak dari gaya nyanyian memakai nada-nada berjarak halus (bisa lebih pendek atau panjang dari jarak nada-nada pada umumnya) oleh Ida Bagus Oka Kerebuak masih terus berlanjut sampai masa sekarang, khususnya dalam Pangkur condong arja, dengan kekhasannya yang unik, terutama oleh pragina ‘penari-penyanyi-tokoh dalam cerita’ masa kini yang terampil menyajikan kehalusan naik-turunnya nada. Namun, penyanyi Jero Ranten bercermin dari wawasan yang didengar oleh kebanyakan orang, membandingkan keragaman nada-nada paméro (béro) dari Ida Bagus Oka Kerebuak dengan apa yang jarang terdengar di antara para penyanyi masa sekarang. Pendengar bisa menyimak contoh dari nada paméro yang masih terkait dengan condong arja pada kata-kata dedari pada 00:26, malepug pada 00:43, dan pudak pada 01:00. Untuk menggambarkan pengaruh Sasak terhadap gaya Ida Bagus Oka Kerebuak, kami menyertakan dalam DVD ini, tembang Pangkur yang dinyanyikan oleh penyanyi Sasak, Mamik Ambar, yang kami rekam di rumahnya di Cakranegara, Lombok pada tahun 2006. Satu hal yang tak kalah menariknya dari kekayaan nada Ida Bagus Oka Kerebuak berasal dari pengalamannya dengan gamelan tujuh nada Semar Pagulingan. Banyak dari jarakjarak nada yang mencolok dan membentang sama persis dengan yang didengar dalam
92
“Kidung Pangiket Ipian menceritakan tokoh Si Aku yang bermimpi bertemu dengan bidadari yang dihubungkan dengan keindahan, terutama Semara Ratih.” (ibid: 330) 93 Dibia (1992: 21-21) menyatakan bentuk pertama dari arja adalah arja doyong ‘arja sederhana’ pada tahun 1904.
36
rekaman-rekaman yang sangat luar biasa dari Kamasan94 dan kemungkinan besar dinyanyikan secara intuitif, tanpa referensi pasti terhadap suatu patut ‘skala’, tetapi lebih pada mencerminkan ekologi suara yang melingkupinya (Nampaknya ini adalah kesepakatan umum di antara para penyanyi yang kami mintakan saran). Nampak jelas bahwa sang penyanyi tidak membatasi dirinya dengan skala tertentu, ia dengan lincahnya masuk dan keluar berbagai ragam pelarasan, mabo ‘wangi’ untuk masing-masing tonalitas. Dua contoh terkait nyutra suara ‘kehalusan perpindahan dan pembentukan huruf hidup’ adalah kata-kata malepug pada 00:43 (berpindah dari ‘u’ ke ‘a’ ke ‘o’ sebelum mendarat pada ‘ug’) dan mirib ‘seperti’ (halilintar) pada 01:39 (berpindah dari ‘i’ ke ‘a’ ke ‘i’ ke ‘é’). Berkaitan dengan padalingsa, Pangkur ini mempunyai pada “hitungan suku kata’ yang beragam seperti dinyatakan oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1978: 3) dan I Madé Bandem (2009: 26). Menurut Sugriwa, ketujuh baris (carik) terdiri dari hitungan suku kata dan huruf hidup akhir sebagai 8a, 10i, 8u, 8a, 12u, 8a, 8i, sedangkan Bandem menyatakannya sebagai 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i. Namun ding-dong nada terakhir (lingsa) untuk setiap baris, hanya sesuai peraturan dalam dua dari tujuh baris dari bait pertama: baris pertama dan lima. Sebuah contoh dari guru ding-dong yang kerap berubah sesuai dengan suasana.
CD Trek #2 Sinom Salya Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak Dari geguritan Sinom Salya karya Anak Agung Gdé Pameregan Bahasa: Bali Kapara (lumrah) Duh denda ratu mas mirah, Duhai dinda permata hatiku, juwinten Sang Satyawati, kekasihku Sang Satyawati, swabawané kasebetan, wajahmu murung, dadi mangelungang rarik, kenapa mengkerutkan alis, cacingaké mangejohin, tatapanmu menerawang, apa krana ngubar gelung, apakah sebabnya kau merusak sanggulmu,
94
Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Heavenly Orchestra of Bali. 2013. I Wayan Sumendra: pimpinan tabuh, trompong; Walter Quintus, produser. CMP (Creative Music Productions); (1995: Silva Screen Records).
37
sekaré maburarakan, bunga-bunga berserakan, masepuk bon nyané miik, menaburkan bau wangi semerbak, kadi ukup, bagaikan menyelimuti, pondoké bahan pagandan. seisi perkemahan harum semerbak. Tembang ini berasal dari geguritan Salya, juga digubah oleh Anak Agung Gdé Pameregan, berdasarkan keterangan dari Ida Bagus Pidada Kaut dan dipastikan oleh Madé Suastika (1997: 326). Sinom Salya bersumber dari sebuah babak terkenal dalam epos Bharatayudda (Mahabharata) yang dipentaskan juga dalam berbagai jenis pertunjukan Bali lainnya termasuk wayang. Semasa peperangan antara Pandawa dan Korawa, Satyawati mengikuti suaminya Salya menuju perkemahan prajurit. Raja Salya adalah kubu Pandawa, namun ditipu oleh Duryudana, pemimpin Korawa, untuk bersekutu dengannya dan memusuhi Pandawa dalam banyak pertempuran. Namun Salya tetap setia kepada Pandawa dan ketika Nakula (putra keempat dari lima Pandawa) datang menghadapnya, Salya menjelaskan dan memberitahu Pandawa tentang rahasia kesaktiannya dan cara mengalahkannya dalam peperangan, yang tanpa sengaja terdengar oleh Satyawati. Perasaan Satyawati hancur mengetahui kehendak Salya untuk terjun ke medan tempur dan tak akan kembali, dan Satyawati pun menumpahkan kemarahannya dan mengatakan kepada Salya bahwa tak ada alasan bagi dirinya untuk tetap mengenakan mahkotanya - kepada siapa dia harus berdandan? – sembari menggugat tujuan Salya menyerahkan jiwanya kepada Pandawa. Salya sebaliknya berusaha merayunya, memenangkan hatinya, namun sia-sia. Pendengar bisa menyimak bagaimana nada pertama, dong, adalah satu setengah nada lebih tinggi saat dinyanyikan pada oktaf berikutnya pada 00:19 pada kata mirah ‘jantung hatiku’, yang diikuti sebuah nada béro di antara nada dasar dang dan ding tinggi (biasa disebut daing). Susunan yang sama terdengar kembali pada 02:17 pada kata gelung, yang kami terjemahkan sebagai rambut. Gelung atau gelungan umumnya berarti ‘mahkota’ atau ‘hiasan kepala’ tapi bagi seorang putri bangsawan seperti Satyawati, rambut yang secara resmi ditata dan dihias dengan pernak-pernik dan bunga (yang diacak-acaknya dalam keputusasaan) disebut sebagai gelung. Cara penyanyian dengan ketinggian nada yang luwes ini mencerminkan pengaruh Sasak, seperti yang diungkap para penyanyi Nyoman Candri, Jero Ranten, dan Ida Wayan Padang. Candri justru menyebutnya sebagai Sinom Sasak, sebuah penggambaran yang berlaku juga untuk sebuah tembang terkenal bernama Sinom Cacantungan. Walau Sinom Cecantungan menggunakan perpindahan nada-nada “Sasak” untuk merangsang suasana hati senang dan romantis, seperti bermesraan dan bergandengan tangan menyusuri taman bersama kekasih, Ida Bagus Oka Kerebuak menggunakannya dalam Sinom ini untuk menambah ketegangan dan perasaan putus harapan. I Wayan Pamit
38
menangkap persamaan dalam kidung atas penggunaan nada-nada béro tersebut.95 I Nyoman Sudirga dari Ababi, Karangasem, menawarkan sebuah perbandingan dengan tembang masa kini, menyarankan bahwa kembangan ‘penghiasan nada-nada’ di sini adalah polos ‘sederhana’ tetapi nyanyiannya “kaya akan nada-nada”.96 Nyoman Suarka telah menulis bahwa gaya penyajian pupuh dalam rekaman-rekaman tahun 1928 lebih “sederhana”, tetapi semuanya “tetap bernuansa magis dan arkais.”97 Cara penyajiannya mematuhi padalingsa yang umum dalam Sinom sepuluh baris yang terdiri dari hitungan suku kata dan huruf hidup akhir sebagai 8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a. I Gusti Bagus Sugriwa (1978: 3) menyarankan bahwa baris lima dan tujuh bisa terdiri dari tujuh atau delapan suku kata. Namun dikarenakan ini adalah jenis Sinom yang berbeda, ding-dong nada terakhir pada setiap baris hanya sesuai dengan “versi umum”98 dalam lima dari sepuluh baris dari bait yaitu baris dua, empat, enam, delapan dan sepuluh.
CD Trek #3 Semarandana (Asmaragama: Twan Sumeru) Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak Dari geguritan Asmaragama (Twan Sumeru) yang dipercaya sebagai karya Dang Hyang Nirartha (akhir abad ke-15) Bahasa: Kawi–Bali Malaku paksa mangawi, Memaksakan diri menulis sajak, kadia wong kakasih sastra, bagaikan orang yang telah mendalami sastra, Twan Sumeru ta reko, konon Dang Hyang Nirarthalah, angiket ikang pralambang, menjalin sebuah kidung, kadi angganing kukunang, bagaikan kunang-kunang, anarung kenyar sitangsu, menyaingi cahaya rembulan, duran pada ring Sang Kawia. mustahil mampu menyamai Sang Pujangga. 95
Percakapan (2013) Percakapan (2013) 97 Komunikasi pribadi (2004) 98 Bandem (2009: 58) 96
39
Syair ini adalah pangaksama, sebuah penghormatan oleh sang pengarang yang sering terungkap pada awal dari syair - namun terkadang, seperti dalam syair ini - terjadi di bagian tengah. Petikan ini diambil dari Asmaragama (menggabungkan asmara ‘cinta’ dan agama ‘agama’) yang dipersembahan kepada pendeta dan pujangga Dang Hyang Nirartha (juga tersohor sebagai Dwijendra) dari Jawa Timur, yang melarikan diri dari keruntuhan kerajaan Majapahit ketika Islam memperkuat pengaruhnya pada paruh akhir abad ke-15. Dang Hyang Nirartha tiba pada masa kepemerintahan Raja Bali Baturenggong di Gelgel (Rubinstein 2000: 73) dan menjadi cikal-bakal garis keturunan Brahmana di Bali. Sebuah versi dari geguritan yang dipersiapkan oleh Ida I Déwa Gdé Catra, dengan keterangan tambahan Hikayat Nabi ‘cerita atau catatan dari seorang Nabi’, mempunyai bagian pertama yang terdiri dari lima belas pada ‘bait’ dalam bentuk pupuh Sinom, diikuti kemudian dengan sembilan dalam Pangkur, sembilan dalam Semarandana dan tujuh belas dalam Dangdang. Menurut Ida I Déwa Gdé Catra, Dang Hyang Nirartha menyebut dirinya sebagai Twan Sumeru (Penguasa Gunung Meru, Jawa Timur), sebutan yang diberikan padanya oleh masyarakat di Lombok, dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak syair karya Twan Sumeru.99 Namun, Sugi Lanus100 menuturkan bahwa Dang Hyang Nirartha tidak akan pernah menyebut dirinya sebagaimana tercantum dalam syair tersebut, dan lebih lanjut ia menyebut nama Dang Hyang Dwijendra sebagai sebutan yang kerap digunakan oleh penutur lainnya dan juga oleh Dang Hyang Nirartha sendiri. Sugi Lanus juga mengingatkan kami bahwa Dang Hyang Nirartha adalah seorang penggemar dan pengumpul berbagai ragam syair, dan belum tentu adalah pengarang di balik naskah-naskah yang dikaitankan dengannya. Tetapi Hedi Hinzler menjelaskan bahwa keterangan Ida I Déwa Gdé Catra bukanlah dugaan semata, namun bersumber dari pemetaan sistematis dari citra-citra kesusastraan dan kata-kata kunci yang yang ditemukan dan melekat secara khusus dalam karya syair Dang Hyang Nirartha.101 Dang Hyang Nirartha dikenang sebagai seorang filsuf berwawasan masa depan yang melihat nilai-nilai adi-luhung dari semua agama dan dipercaya sangat berperan dalam mendirikan praktik Wetu Telu dalam Islam di Lombok yang menggabungkan Hindu-Bali dengan Islam dalam kehidupan masyarakat Sasak. Salah satu faktor yang melandasi paham kesetaraannya dalam bidang agama adalah usahanya untuk melunakkan Islam yang saat itu sedang merebut kendali di Jawa dan Lombok dan berpotensi mengancam Bali. Sehingga, Sugi Lanus berpandangan bahwa Dang Hyang Nirartha sebagai seorang ahli strategi yang mempersatukan wilayah-wilayah yang berbeda di Bali dan memperkuat identitas kehinduan mereka. Dang Hyang Nirartha bisa disebut sebagai pengembara kebatinan terhebat yang pernah dimiliki Bali, berkelana mengelilingi pulau Bali untuk mencari pengalaman, bersemadi, dan mengarang syair dalam lingkupan tempat-tempat tersuci pulau ini. Kepekaan Buddha Tantrayana miliknya adalah perpaduan keelokan alam dengan paras keindahan dan citra sensual seorang manusia. Penjelajahan Dang Hyang Nirartha di Bali “…merangkul garis pantai yang terjal dan pegunungan yang seolah membentuk sebuah 99
Vickers (1987: 49). Vickers membahas keragaman naskah yang dikaitkan dengan Twan Sumeru dan Pangeran Sangupati, beberapa di antaranya mempertimbangkan keduanya sebagai orang yang sama namun menggunakan nama samaran berbeda. Ia menyebut satu naskah oleh Twan Sumeru, Kembang Langit, yang dalam versi Sangupati disebut juga sebagai Suluk Ali-Patimah atau Smaragama. 100 Percakapan (2014) 101 Percakapan dengan Hedi Hinzler (2014)
40
permukaan alam yang relijius. Sebelum ledakan pariwisata massal pada tahun 1980-an, sebagian besar garis pantai dan gunung-gunung tidak dijamah oleh masyarakat Bali yang memandang mereka tidak layak untuk dihuni, mempercayai tempat-tempat itu adalah tenget ‘ruang-ruang beraura sakral, keramat, gaib’ atau panes ‘berbahaya’ – ruang-ruang yang di mana kekuatan gaib terpusatkan. Lautan dan pegunungan dihormati sebagai daerah kekuasaan para dewa yang diliputi unsur kebajikan dan kekejaman serta berbagai kekuatan angker. (Rubinstein 2000: 103). Dwijendratattwa adalah riwayat hidup Dang Hyang Nirartha dan menjelaskan perjalanan beliau melintasi berbagai wilayah pesisir yang mengagumkan termasuk Tanah Lot, Uluwatu (di mana beliau membangun sebuah pertapaan bernama Pura Bukit Gong dan Pura Uluwatu), Bualu, Nusa Dua, Serangan, Sakenan, kemudian menjelajahi perbukitan dan melewatkan waktu di Sukawati, kembali menuju pesisir di Gelgel dan Kusamba, lalu ke Goa Lawah di mana beliau membangun pura tersebut, lalu naik ke Gunung Agung (Rubinstein, ibid: 111-20). Beliau bermukim di Mas, sebuah desa di tengah-tengah bukit, di mana “beliau mengambil beberapa istri dan menjadi ayah dari silsilah keturunan utama berbagai sub-kelompok Brahmana.” (Rubinstein, ibid: 80). Perjalanan Dang Hyang Nirartha juga membawanya ke Sumbawa dan beberapa orang di Bali mempercayai bahwa beliau juga berkelana ke Mekah untuk memenuhi ketertarikannya pada Islam.102 Keluarga Brahmana Bali mengakui silsilah keturunan langsung dari beliau, seperti yang dituturkan kepada kami oleh Ida Wayan Padang, yang leluhurnya merupakan keturunan dari Dang Hyang Batara Asta Paka, keponakan dari Dang Hyang Nirartha. Serupa dengan hal itu, silsilah keluarga Pidada di Klungkung, Karangasem dan Lombok pun mengakui Dang Hyang Nirartha sebagai leluhur mereka. Menurut Ida Bagus Rai, keponakan dari Ida Bagus Wayan Buruan (penyanyi kakawin dalam CD ini), sepupusepupunya terutama di Lombok, masih menyanyikan geguritan Twan Sumeru (Asmaragama) ini, khususnya bagian Dangdang untuk melindungi mereka dari pikiran gelap dan kalut (pada malam hari dan ketika ilmu hitam atau kesakitan muncul dalam lingkungan mereka). Bahkan, Asmaragama sesungguhnya dinyanyikan di seluruh Lombok oleh komunitas unik Hindu-Bali dan Muslim-Sasak (atau Wetu Telu), dan yang kerap disebut Hana Kidung ‘menyanyikan kidung’, dari kata-kata awal yang terkandung dalam pada ‘bait’ yang sangat terkenal ini. Di Lombok, penempatan lontar Asmaragama (Hikayat Nabi) pada kasau di atas tempat tidur seorang anak adalah umum, dan disebut sebagai dikumaranya ‘tempat Batara Kumara’, dewa pelindung bagi anak-anak dan putra dari Siwa yang tetap bertubuh kecil agar Kala, kakak laki-lakinya, tidak memakannya.103 Siwa pernah memuaskan nafsu makan Kala akan manusia dengan menjanjikannya bahwa ia hanya boleh memakan manusia dewasa “yang gigi susunya belum tanggal,” sehingga Kumara tetap seukuran anak.104 Terinspirasi oleh kesaktian Dang Hyang Nirartha, lagu ini berfungsi untuk melindungi dan menenangkan penyanyinya. Sugi Lanus menerjemahkan syair ini dari bahasa Sasak-Jawa ke bahasa Indonesia dan Ketut Kodi menafsirkannya lebih lanjut dalam bahasa Indonesia sebagai: 102
Percakapan dengan Ida Wayan Padang (2006) Percakapan dengan Ketut Kodi (2014) 104 Hooykaas (1973: 171–173) 103
41
Hana kidung hangraksa syang wngi, Ada kidung yang melindungi pada siang dan malam hari, tguh rahayu, teguh dan selamat, adohing alara, menjauhkan semua duka, luputing bilahi kabéh, luput dari segala bencana, jin sétan datan purun, jin dan setan jadi takut, panluhan pan nora wani, para penyihir gentar hatinya, adoh pangawé hala, jauh dari pembuat celaka, geni wongha luput, terhindar dari kobaran dendam, geni atemahan tirtha, api menjelma air suci, maling adoh, maling menjauh, tan hana wani ring kami, tak ada yang berani padaku, guna dudu pan sirnna.105 guna-guna tumpul dan sirna. Syair ini diadaptasi oleh I Wayan Geria dari Singapadu untuk papeson ‘lagu pengantar’, panasar topéng menggunakan sebuah melodi yang disesuaikan untuk gamelan gong. Praktik yang serupa dilakukan oleh Ida Bagus Buduk dan saat sekarang oleh I Gusti Putu Sudarta.106 105
Dikutip dari sebuah lontar yang ditranskripsi oleh Ida I Déwa Gdé Catra dari Amlapura, Karangasem, December 3, 2004. Lontar ini merupakan koleksi dari Ida Bagus Wayan Jungutan, Griya Kecicang, Bunghaya, Bebandem, Karangasem. 106 Ketut Kodi (percakapan 2014)
42
Tak bisa disangkal, nyanyian Ida Bagus Oka Kerebuak dalam rekaman ini mewujudkan pranayama, olah pernafasan yoga, dengan beberapa embusan nafas sepanjang dua puluh dua sampai dua puluh lima detik. Seseorang bisa mendengar huruf hidup berubah dari ‘i' menjadi ‘e’ yang lembut dalam kata mangawi ‘menggubah’ pada permulaan 00:12, dan sandhi suara pada saat kata angiket ‘menjalin’ menyatu dengan ikang (menghasilkan tikang) pada permulaan 01:14 dengan nyutra suara pada suku kata pertama pada ikang mengubah ‘i’ (diucapkan sebagai ‘eee’) menjadi ‘e’ lembut ke ‘uh’ ke ‘i’ (‘eee’). Sandhi lainnya terjadi sebagai kadi ‘seperti’ bergabung dengan angganing ‘seperti’…kunangkunang. Dampak-dampak nyutra dan sandhi adalah fisiologis dan menerangkan kepekaan Tantrik yang menyatukan keindahan batin dan keberadaan jasmani dengan tumpah-ruahnya semangat, yang tak diragukan mengikuti tradisi Dang Hyang Nirartha. Bermuaranya kaidah keindahan, batiniah dan sering kali erotis adalah umum dalam kidung. Pergeseran sebagai hal yang dipikirkan sebagai permainan nada Sasak terjadi dalam frase yang mulai pada 00:23 dengan kata kadia ‘seperti’. Dan unsur hela nafas yang dianggap khas Sasak bisa didengar tepat pada 01:47 pada kata pralambang ‘puisi’ (yang tepat bermula pada hitungan 01:29). Islam dihormati dan diterima oleh beberapa penguasa Bali termasuk Dalem Segening dari kerajaan Gelgel, Bali Timur dan Panji Sakti dari Buléléng, Bali Utara. Persimpangan antara nyanyian Bali dan Sasak digambarkan oleh gaya Ida Bagus Oka Kerebuak, Ida Boda dan berlanjut ke generasi berikutnya seperti I Wayan Padang dari Budakeling, Wayan Geria dan Madé Kredek dari Singapadu dan Nyoman Sadég dari Batuan, semua kerap mengunjungi Lombok. Interaksi kreatif dan saling pengaruh antara penyanyi Sasak dan Bali memunculkan jenis nyanyian kelompok cakepung (di Bali – masih dipentaskan di berbagai desa di Bali seperti Budakeling) dan cepung (di Lombok). Ida Wayan Padang memberitahu kami bahwa Ida Boda mampu menyanyi cakepung, sedangkan Oka Kerebuak menyukainya tapi tak “menangkap” intisarinya. Sekali lagi, banyak masyarakat Bali mendengar pengaruh Maghrib, doa Muslim yang berkumandang dari masjid saat matahari terbenam. Ini akan diulas pada Bali 1928: CD #5. Versi Semarandana ini mematuhi pada ‘hitungan suku kata’ umum untuk ketujuh barisnya, tetapi lingsa ‘huruf hidup akhir’ untuk baris ketiga adalah ‘o’ dibanding kelaziman ‘é’ seperti 8i, 8a, 8e, 8a, 8a, 8a, 8i.107 Dan ding-dong ‘nada akhir dari setiap baris’ oleh Ida Bagus Oka Kerebuak tidak sesuai “kaidah” dalam dua dari tujuh baris (baris 1 dan 2).
107
Bandem (2007: 26) memuat baris ketujuh sebagai delapan suku kata, sedangkan Aryasa (1984: 14) memuatnya sebagai tujuh suku kata.
43
CD Trek #4 Dangdang Gula Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak Bahasa: Kawi–Bali Mamugatera, mangkin tingali wong kelaran, Berkeluh kesah, pandanglah aku kini dalam derita, kenan semara astra, tertikam panah asmara, duh kapan sida kaptiné, entah kapan terobati rindu ini, salaminé tan nemu, selama tidak berjumpa, wulat sangsara kayeki, lihatlah penderitaanku seperti ini, kaya tan kaneng tuna, sepertinya tidak akan pernah reda, tila brata ayu, engkau buah hatiku, mayeki pala kinama duh betara, inilah akibat cinta, oh Tuhan, witarja ikanang urip, cabutlah nyawaku, wusan anandang lara. agar terbebas dari penderitaan. Menurut Ida Bagus Pidada Kaut, tembang peminangan ini digubah oleh Anak Agung Gdé Pameregan. Berdasarkan keterangan dari Ida Bagus Gdé Diksa (1948–) dari Geria Aan, Klungkung, nyanyian sesungguhnya mencontoh gaya ikonik dan khas dari Ida Bagus Oka Kerebuak.108 Setelah mendengarkan rekaman ini, Ida Bagus Diksa (kemudian dikenal sebagai Ida Pedanda Gdé Madé Tembawu semenjak upacara madiksa dan mengabdi sebagai sulinggih) memberi pertimbangan yang tegas bahwa cara menyanyi Ida Bagus Oka Kerebuak dengan jarak-jarak nada yang halus dan lembut merupakan ciri khas pribadi dan unik bahkan pada masa awal abad ke-20, dan belum ada seniman lain yang bisa 108
Pelantunan mantra Trisandya, tiga kali sehari melalui siaran radio dan berbagai kaset kidung yang diputar di berbagai kesempatan yadnya ‘upacara keagamaan’ telah membuat suara beliau abadi dan berkumandang di mana-mana di seluruh Bali.
44
menandinginya semenjak itu.109 Kita bisa memperbandingkan versi Dangdang Gula tersebut dengan yang lainnya dalam CD ini, terutama versi Ida Boda yang menggunakan pupuh yang sama untuk menuturkan kepedihan cinta, tetapi lebih dari itu untuk mengungkap hilangnya harapan sejati. Lagi, para pemain suling dan penyanyi kawakan mengatakan bahwa pengungkapan frasefrase nyanyian tersebut adalah mabo baro atau lebeng, namun mereka tidak bisa mengatakan penyajiannya “terletak” pada tekep-tekep itu. Gaya makakawin Klungkung seperti yang bisa didengar pada trek #19-20 jelas memberi pengaruh kepada penggunaan jarak-jarak nada yang sangat kecil, halus dan padet ‘rapat’ yang menjadi kekhasan dari Ida Bagus Oka Kerebuak. Perlu disampaikan bahwa sepanjang hidupnya, Ida Bagus Oka Kerebuak dan saudara-saudara laki-lakinya biasa mabebasan ‘menyanyi dan menerjemahkan kakawin’ untuk melewatkan dan menikmati waktu setelah makan siang atau malam. Dangdang ini juga adalah contoh jelas untuk mengungkap pengaruh Sasak dalam peralihan nada menurun dan kelenturan tekep yang menggetarkan jiwa. Sebagai pembanding kami akan menyertakan rekaman Mamik Ambar dari Sasak melantunkan Dangdang, yang kami rekam di Cakranegara, Lombok Barat pada tahun 2006. Video tersebut terdapat dalam koleksi Bali 1928 CD #5. Mamik Ambar (1920/1922-2014) kemungkinan besar adalah penyanyi Sasak yang paling terkenal dalam beberapa tahun belakangan ini, dan satu dari enam tokoh yang membentuk kelompok cepung dari Jagaraga dan Cakranegara, direkam pada tahun 1970-an dan dirilis pada kaset oleh Bali Record. Hanya satu dari banyak nyutra/sandhi suara dan peralihan warna suara yang mendampinginya muncul pada suku kata ‘u’ pada permulaan frase yang dimulai pada 01:10 dengan kata-kata salaminé tan nemu ‘selama kita tak bisa bertemu’. Suku kata ‘u’ bolakbalik berubah menjadi ‘a’, ke ‘o’ dan berakhir pada ‘u’. Dangdang ini mungkin adalah contoh paling menyolok untuk menjelaskan bagaimana para penyanyi bisa menawarkan kekayaan warna suara yang luas pada masa lalu, melampaui pelarasan-pelarasan tetap dari saih gong, saih gendér dan saih angklung dan bahkan Semar Pagulingan tujuh nada atau gambang kuna. Analisa frekuensi menggunakan perangkat lunak bernama SPEAR memastikan setidaknya sepuluh nada unik digunakan dalam tembang ini dan lebih banyak lagi dalam hela nafas ekspresif dan perubahan dalam katakata lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam tradisi nyanyian tunggal, seorang penyanyi tanpa iringan biasa melakukan berbagai variasi, di mana ketepatan tinggi-rendahnya sebuah nada (sebagai contoh, dong) akan mengalami perubahan sepanjang pelantunan lagu. Perubahan-perubahan halus tersebut tidak disertakan dalam diagram sebagai tinggi-rendah nada yang unik, dan ukuran Hertz yang diberikan pada setiap nada berdasarkan nada suara yang paling sering terdengar dalam pementasan. Sentuhan-sentuhan ringan tersebut tidak dicantumkan dalam diagaram sebagai tinggi-rendah nada yang unik. Memilih untuk mendengar dan menyanyikannya dibanding analisis teknis, setidaknya untuk artikel ini, kami membatasi penggambaran rinci tembang ini (termasuk juga Kidung Wargasari dan kakawin Smaradahana), hanya untuk menunjukkan kerumitan dari nada-nada dan mendorong pendengar untuk memperhatikan dan menikmati kehalusan yang khas dari 109
Percakapan (2013)
45
nada-nada tersebut. Nyanyian Ida Boda bisa juga dijadikan dasar untuk analisis dan akan diperlakukan secara teknis dalam penerbitan susulan dari proyek Bali 1928 ini. Kesepuluh nada-nada unik dalam penyajian Dandang Gula ditunjukkan oleh guru dingdong ‘solmisasi’ Bali dan di atasnya tertera frekuensinya seperti diukur dalam Hertz (getaran per detik) oleh program komputer SPEAR.110 Sebagai contoh, 348 Hertz (Hz) berarti 348 getaran per detik. Hitungan waktu yang terdapat pada bagian paling atas diagram menunjukkan kepastian momen di mana pendengar bisa mendengar nada-nada yang bersangkutan dalam lagu. Garis mendatar menunjukkan jarak antara tinggi-rendah nada diukur dalam cents, dengan 50 cents adalah nada seperempat dalam tangga nada kromatik Barat, 100 cents adalah nada setengah, dan 200 cents adalah nada penuh.111 Guru ding-dong Bali dalam huruf Latin menjelaskan aksara ‘huruf, suku kata’ untuk jarak nada ding dong déng dé-ung dung dang da-ing (tidak terdapat oktaf tinggi ding dalam penyajian Dangdang ini). Di bawahnya terdapat jarak nada kromatik Barat dan masing-masing frekuensinya. Garis vertikal yang terletak di bawah menunjukkan jarak-jarak yang sebanding dan sama dari tangga nada Barat seperti yang bisa didengar pada piano atau keyboard.112
Diagram Frekuensi Dangdang Gula Trek #4
Dangdang Gula ini sangat berbeda secara dibanding pada (hitungan suku kata) umumnya untuk semua baris, tetapi lingsa ‘huruf hidup akhir’ adalah tetap dengan versi umum. Padalingsa biasanya adalah 14a, 8a, 8é, 8u, 8i, 8a, 8u, 12a, 8i, 8a.113 Dalam Dangdang Gula ini diurai sebagai 14a, 7a, 8é, 7u, 8i, 7a, 6u, 12a, 8i, 7a. Kemudian ding-dong dari Ida Bagus Oka Kerebuak ‘nada akhir dari masing-masing baris’ tidak sesuai dengan kelaziman 110
SPEAR adalah sebuah aplikasi perangkat lunak untuk menganalisa, mengedit dan memadukan sinyal audio yang dibuat dan dikembangkan oleh Michael Klingbeil di Universitas Columbia di New York. Lihat lebih lanjut: http://www.klingbeil.com/spear/ 111 “Cent adalah unit pengukuran logaritma dari jarak-jarak nada musik. Dua belas nada bertemperamen sama membagi satu oktaf menjadi dua belas nada semitone berjarak masing-masing 100 cent. Umumnya, cents digunakan untuk mengukur jarak-jarak yang sangat pendek di antara nada-nada, atau untuk membandingkan ukuran jarak-jarak nada dari sistem pelarasan yang berbeda, dan pada kenyataannya jarak nada dari satu cent adalah sangat kecil untuk didengarkan di antara nada-nada yang berturutan… Cents telah menjadi metode umum untuk menunjukkan dan membandingkan tinggi-rendahnya nada dan jarak-jarak nada musik secara tepat.” Dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Cent_(music) 112 Ketiga diagram dalam tulisan ini dikembangkan dari desain dan konsep awal oleh Collin McPhee (1966: 41-42) dan dibuat oleh penulis dengan bantuan José Evangelista and Marlowe Makaradhwaja. 113 Bandem (2007: 26) memuat baris ketujuh sebagai delapan suku kata dan Aryasa (1984: 14) memuatnya sebagai tujuh suku kata.
46
guru ding-dong pada tiga dari sepuluh baris, yaitu baris dua (dong daripada ding), baris tujuh (ding daripada dong) dan baris delapan (ding daripada dong) (Bandem: ibid). Tetapi di masa sekarang pun masih terdapat banyak keragaman yang berkaitan dengan ding-dong di berbagai wilayah, mencerminkan gaya yang berbeda-beda.
114
114
Menurut Ni Ketut Arini yang pernah menjadi muridnya di sekolah dasar (percakapan, 2013)
47
CD Trek #5 Mas Kumambang Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak dan ditafsirkan oleh Ida Boda, yang penuturannya ditunjukkan dalam tanda kurung. Tembang dan tafsiran dalam Basa Bali Kapara (lumrah) Nutug saja, Mengejar keabadian, (Bih déwa ratu mileh titiang ngetut wuri) Oh Tuhan, ke berbagai tempat aku mengikuti tani bagiané numadi, menjelma kurang bahagia, (Uduh mula saking dum titah saking panumitisan titiang wantah ngaba lacur, ha-ha-haha...) Memang sudah ditakdirkan hidup saya menjadi manusia melarat pulesang pulesang, kupaksa diri untuk tidur, (Kala peteng lemah titiang pules sing ja dadi pules) Siang-malam aku tidur tak lena rasannya ida nakonin, rasanya dikau datang menyapa, (Ah yan rasayang mirib i déwa rauh pacang nundun tiang, ngraosin tiang, ha-ha-ha… Jika dibayangkan, mungkin engkau datang hendak membuatku terjaga, menyapaku Ibuk kenehe sing ja dadi engsap) Gundah hatiku tiada bisa melupakan mara usud ketika diraba (Nah ri kala di pedeman mara gabag tiang i déwa) Nah, manakala dalam lelap aku sentuh dirimu dadi gawang. ternyata kosong. (Ah wireh sing ja ada i dewa ditu apa suwung usud tiang, ha-ha-ha-ha, aduh bengong ati, ha-ha-ha-ha, lacuré amun jani) Karena memang kau tidak ada disana, maka hanya kekosonganlah yang aku gapai, aduh sungguh terluka hati ini, betapa penderitaanku saat ini
48
Sahi uyang manahé kalintang paling, Gelisah selalu, pikiran didera bingung, (Ah sarahina wengi ibuk uyang manah titiangé pacang ngenehin jani i déwa) Siang malam hatiku gelisah memikirkanmu sakit ko rasannya, sungguh sakit rasanya, (Yan upamiang titiang agengan sakit titiang amun jani, ha-ha-ha-ha, apa kaden dum titahe ngicen sakit keneh ) Jika aku bayangkan rasakan betapa besar penderitaanku saat ini, ingin aku bertanya mengapa hamba ditakdirkan sakit hati di tanggun gunungé ngepil, di ujung gunung aku menyepi, (Rika ring sisin-sisin bukité titiang mengkeb) pada lereng-lereng bukit aku bersembunyi asing lihatin kadi sawat. semua aku pandang terasa jauh. (Rekaman berakhir sebelum baris terakhir dari penafsiran). Di sini kita disuguhkan sosok tokoh panasar yang penuh dengan penafsiran lincah dan khas dari Ida Boda. Seperti tersebut di bagian lain, Ida Bagus Oka dan Ida Boda kerap pentas bersama dan catatan tentang pementasan-pementasan topéng mereka kami dapat dari Ida I Déwa Gdé Catra dan Ida Wayan Padang, keponakan dari Ida Boda, yang juga ikut pentas bersama kedua maestro tersebut. Saat mendengar rekaman ini, penari arja Nyoman Candri mengamati bahwa pengulangan gelak tawa Ida Boda sangat berbeda dengan ungkap kesedihan dalam nyanyian sang tokoh, yang kemungkinan adalah seorang mantri ‘pengeran halus’ dalam arja. Candri mengungkap tembang ini sebagai keberadaan sang mantri yang susah tidur, berkhayal tentang kehadiran kekasihnya, memintal mimpi, dan ketika mulai terbuai, sang tokoh tersentak kaget dan menyadari bahwa kekasihnya hanya dalam bayangan. Mengingat nasib sang mantri yang begitu sial, bisa diperkirakan bahwa para abdinya tidak mungkin tertawa. Namun, sembari menunjukkan rasa kasihan kepada tuannya, seorang panasar – sebagai tokoh penghubung antara lakon dengan para penonton - terkadang akan menambahkan sentuhan ironis dan lucu (terutama, dari apa yang kami dengar, bila yang memerankan tokoh panasar adalah Ida Boda) untuk mempertegas ngaba lacur ‘nasib malang dan mengenaskan’ sang mantri dan tertawa terbahak-bahak seusainya. Ketut Kodi menyatakan bahwa ‘teknik pelafalan berantara’ Ida Boda adalah khas dan menyolok dibandingkan dengan kekinian juru basa ‘penafsir’ dalam pasantian ‘pembacaan syair’ atau panasar dalam pementasan arja, yang penjiwaan dan ekspresi wajahnya bersenyawa dengan luapan perasaan dari juru baca ‘penutur’ atau tokoh utama. Bahkan di masa sekarang, seorang panasar atau juru basa yang mahir akan mengetengahkan
49
penafsiran baru dan mendalam yang membuat cerita menjadi lebih menarik dan menghanyutkan bagi penonton.115 Kelincahan lain (walau seseorang bisa berkesimpulan itu dimaksudkan untuk meninggikan luapan perasaan) yang mencontohkan bagaimana tembang memasukkan saih gong dan sebuah pelarasan yang berbeda warna, entah atut baro, salah satu susunan nada-nada dari gamelan Semar Pagulingan116 tujuh-nada atau saih angklung atau saih gender. Kata-kata pertama nutug saja dinyanyikan dalam gaya yang bisa didengarkan sebagai mabo ‘beraroma wewangian’ atut baro atau gender wayang, di mana semua baris dinyanyikan dengan melodi ‘menyerupai’ pelarasan saih gamelan gong, sampai akhirnya kembali ke mabo baro atau saih angklung pada 01:56. Kemungkinan besar penyanyinya mementaskan ini tanpa merujuk kepada pelarasan khusus (dan lebih pada mengikuti rasa), tetapi penting dicatat bahwa pada permulaan 01:56 dengan kata-kata sahi uyang manahé kalintang paling ‘pikiranku kalut tidak keruan’ mempunyai padanglingsa ‘hitungan suku kata, huruf hidup akhir’ dan nada terakhir dari setiap baris sesuai dengan kelaziman “sléndro” Mas Kumambang seperti dijelaskan oleh I Madé Bandem (2009: 73). Pada ‘bait’ pertama menyerupai saih gong atau “pélog” dalam bentuk alunan gending. Padalingsa menurut I Gusti Bagus Sugriwa (1978: 3) termasuk juga oleh Aryasa (1984: 14) menyatakan bahwa dua dari lima baris pertamanya adalah 4u dan 8i lebih sesuai dengan penyajian oleh Ida Bagus Oka Kerebuak dibandingkan dengan padalingsa oleh I Madé Bandem yang menggabungkan keduanya sebagai 12i, membentuknya sebagai syair empat baris. Namun, baris pembuka dari bait kedua sesuai dengan padalingsa dari I Madé Bandem yang tersusun menjadi 12i. Namun, mesti dipahami bahwa pelantunan tembang bisa berbeda dalam berbagai cara, dan hukum dari padalingsa tidaklah baku. 115
Percakapan dengan Ketut Kodi (2014) Seperti dijelaskan sebelumnya, ansambel Semar Pagulingan milik puri hancur pada tahun 1908 dan dibangun kembali di Kamasan pada awal tahun 1920-an. Sebuah CD tentang gamelan Pura Balé Batur Kamasan ini masih tersedia secara komersial dan menjadi pendamping yang mencerahkan dari tembang Ida Bagus Oka, keterhubungan yang menjelaskan keberadaan satu sama lainnya. 116
50
CD Trek #6 Pangkur Dinyanyikan oleh Ida Bagus Oka Kerebuak dan ditafsirkan oleh Ida Boda, yang penuturannya dalam bahasa Bali Alus ditunjukkan dalam tanda kurung. Tembang dalam bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Wawu peteng sandi kala, Menjelang malam di kala senja, (Inggih niki sampun wengi aratu) Malam telah tiba, Tuanku masunaran bulané endag uli kangin, berjubah cahaya bulan terbit di timur, (Ha-ha-ha, nanging masasuluh antuk kenyaran Ida Sang Hyang Ratih mijil saking kangin) Ha-ha-ha namun bercermin dengan sinar Dewi Bulan yang muncul dari timur mairib warnan i ratu, serupa dengan wajah Tuanku, (Nanging nenten tios minab swabawan cokor i déwa, ha-ha-ha…) Namun tiada lain barangkali cahaya wajah Tuanku, ha-ha-ha… hayu tuara da (ada) kaasah, jelita tanpa tanding, (Inggih, sakayun i déwa ratu mangda ngeluwihin, asah nenten wenten, ha-ha-ha, aduh, haha-ha) Ya sekendakmu Tuanku agar melebihi, menyamai saja tidak ada éman ratu sayang Tuanku (Uduh sayang i déwa) Wahai, sayang, Tuanku luir Supraba manurun, bagaikan Déwi Supraba turun ke dunia, (Inggih yen upamayang titiang minab Ida Dewi Supraba nuraga di jagaté, ha-ha-ha-ha…) Ya, jika hamba umpamakan bagaikan Dewi Supraba menjelma ke dunia mirib Ratih nyalantara, bagaikan penjelmaan Déwi Ratih,
51
(Malih yan upamiyang titiang Ida Sanghyang Ratih rumasat makumenyar nyunarin jagaté riki ring Baliaga) Dan lagi jika diumpamakan bagaikan Déwi Ratih bersinar menerangi pulau Bali ini dija aksi ruruh alih. dimana berada dimanakah harus dicari? (Beh ratun titiang, dija titiang ngalih pacang sakadi i déwa, aduuh, ha-ha-ha-ha…) Oh, juwitaku, dimanakah aku mencari gadis seperti dirimu? Ida I Déwa Gdé Catra menyarankan bahwa pupuh Pangkur ini adalah cacantungan ‘penggabungan frase-frase dari berbagai sumber’. Cacantungan (dari cantung ‘cabang’) terkadang bisa ‘bercabang-keluar’ tanpa persiapan maupun rencana, mengubah lagu dalam pertunjukan untuk menyinggung sebuah momen atau suasana khusus dalam cerita. Terjemahannya lebih mengikuti gaya seorang panasar, tidak hanya memberikan pengertian harfiah tetapi juga menyajikannya secara lebih wayah ‘mendalam’. Déwa Ratih dipandang sebagai “Dewi Bulan,” seperti yang ditunjukkan oleh Ida Boda dalam terjemahannya. Nyoman Candri mengatakan kepada kami bahwa tembang ini masih digunakan dalam arja dan bisa dinyanyikan oleh condong ‘pelayan wanita’ saat papeson (keluar menuju panggung melalui langsé ‘tirai’, kata-katanya ditujukan untuk memuji sang galuh ‘putri’). Seorang tokoh bisa juga menggunakan lirik ini untuk memuji dirinya sendiri. Sama halnya dengan penyajian Pangkur pada trek #1 oleh Ida Boda, nyanyian ini jelas menunjukkan pengaruh Sasak dengan peralihan nada-nada dalam gaya tembangnya. Frase-frase dengan alunan nada-nada yang mirip namun sangat berbeda dalam penyajian Pangkur yang sama tersebut, bisa membuka wawasan tentang proses berkeseniannya yang jelas menghargai keragaman dan penuh improvisasi; perubahan penyajian dengan cepat tanpa persiapan sadar. Salah satu dari berbagai contoh adalah menanjaknya nada-nada yang disebut oleh beberapa penyanyi sebagai ngilik, “seperti air yang melewati bumbung pancuran bambu yang lebih lebar menuju yang lebih sempit,” yang terjadi dalam kata manuruhin dalam permulaan frase pada 01:38, luir Supraba manurin ‘selayaknya Dewi Supraba turun ke bumi’.
52
53
54
Sekilas Kehidupan Ida Boda Keluarga Ida Boda berasal dari Budakeling, Karangasem, Bali Timur, dan beliau dilahirkan pada 1870 dalam lingkup keluarga Geria Buda di Batuan (sebuah desa yang masih menjunjung tinggi tradisi dramatari klasik gambuh), yang pada saat itu masih dalam lingkup kerajaan Negara, Sukawati. Desa Budakeling, yang kerap beliau kunjungi, juga mempunyai tradisi gambuh yang masih utuh, dan beliau turut serta dan berperan dalam kedua kelompok tersebut.117 Menurut Ida Bagus Pujiarsa, keluarga Ida Boda (termasuk istri, putri dan orang tuanya) pindah118 ke Kaliungu, Badung (kini Denpasar) mendirikan Geria Buda di Kaliungu atas undangan raja Badung, yang menginginkan adanya pendampingan bagi pedanda Siwa (pendeta Brahmana) oleh Pedanda Budha sehingga terdapat representasi lengkap dari tradisi Brahmana dalam domainnya. Pendeta-pendeta Brahmana dari Ubud pun diundang ke Kaliungu. Perpindahan tersebut terjadi pada tahun 1897 setelah keruntuhan kerajaan Negara di tangan raja Ubud.119 Raja Denpasar meminta raja Ubud untuk memberi izin bagi pendeta-pendeta, ahli-ahli dan seniman-seniman dari Negara untuk pindah ke Kaliungu. Ida Boda sangat dibutuhkan oleh raja Badung untuk mementaskan topéng Sidha Karya, sebuah korban suci di mana sang penari berfungsi menuntaskan upakara ‘upacara keagamaan’.120 Sebagai anggota dari tiga serangkai penari legendaris, Ida Boda memerankan panasar topéng dan arja bersama Ida Bagus Rai Purya dari Serongga, Gianyar yang memerankan kartala (dalam koleksi Bali 1928: CD #5) dan Nyarikan Seriada (1877-1947) dari Banjar Gemeh yang menjadi tokoh topéng Dalem ‘raja’ atau mantri arja. Kelompok topéng panca mereka kemudian menyertakan I Ketut Keneng dari Belaluan (ayah dari Madé Regog dan kakek dari Wayan Beratha) dan Guru Grebeg dari Angabaya. Menurut penari Madé Monog (1920-2013) Ida Boda dikenal sebagai pencipta tokoh topéng lucu; bondrés cungih (sumbing), yang nyanyiannya dipengaruhi gaya Sasak. Pak Monog menambahkan, Ida Boda menciptakan cara pengujaran dengan suku kata putusputus untuk pangécét (bagian cepat) dari tabuh Jaran Sirig yang dinyanyikan saat tandak Dalem ‘tibanya sang raja’; inovasi Ida Boda tersebut tetap menjadi kekhasan tandak Dalem 117
Menurut Ida Wayan Padang. Ida Boda memiliki seorang putri, Ida Ayu Sunya dari istri pertamanya yang mana keluarganya mempunyai hubungan dengan Puri Negara. Ida Bagus Pujiarsa adalah cucu dari anaknya ini yang menikahi Ida Bagus Madé Neka dari Peliatan. Ida Boda tidak dikaruniai keturunan dari istri keduanya, Ida Ayu Putu Santi. 119 Salah satu keberhasilan berseni dari kekalahan Negara melawan Ubud adalah perolehan gamelan Semar Pagulingan dari Ubud ke Puri Kaleran yang bersebelahan dengan Peliatan, dan kemudian kepada desa penghasil beras Teges Kanginan. Colin McPhee dipinjamkan gamelan tersebut oleh Anak Agung Gedé Mandera dan mengundang I Lunyuh dari Payangan untuk mengajar penabuh-penabuh muda berbagai repertoar kuno termasuk légong, dan kemudian membawa I Wayan Lotring dari Kuta untuk mengajarkan kréasi-kréasi barunya. Pada akhirnya, Gung-kak Mandera mengembalikan gamelan tersebut ke Teges, yang sampai saat ini melanjutkan tradisi gamelan dan palégongan Lotring, dengan penuh kemampuan berseni dan pembaktian. 120 Penari Topéng Sidha Karya, Ketut Kodi menjelaskan bahwa intisari dari ritual ini di mana tarian Sidha Karya menuntaskan pementasan, keberadaaan tebasan (persembahan sajén khusus) dan penghamburan beras oleh sang penari adalah wujud menyampaikan kemurahan hati dan keberuntungan dari yadnya ‘upacara’. Sang penari berfungsi sebagai jembatan bagi alam, Widhi ‘Sang Maha Tunggal’, manusia dan makhluk hidup lainnya. 118
55
sampai saat ini. Ida Boda mengadaptasi sebuah teknik dari Sasak yang disebut macingklak ‘nyanyian kelompok dalam sinkopasi (merubah atau menukar posisi nada untuk memberi penekanan pada irama yang teratur) yang saling-kait dalam jenis cepung’. Beliau akan mengiramakan lagu sesaat sebelum atau sesudah ketukan gamelan, lalu kembali mengikuti irama ritmis gamelan. Beliau juga menerapkan teknik ini dalam menyanyikan tandak légong secara tunggal. Pembahasan lanjutan akan disertakan dalam kumpulan Bali 1928: CD #5. Seperti kelompok lainnya yang direkam pada tahun 1928, tiga serangkai topéng ini pentas dengan gong Belaluan (lihat Bali 1928: CD #1) di Bali Hotel dan juga untuk masyarakat umum di Bali. Menurut penabuh I Wayan Begeg (1919–2012), I Gusti Ngurah Mayun dari Puri Kaba-Kaba sebagai kartala, berpasangan dengan Ida Bagus Ngurah dari Buduk sebagai panasar, juga ikut pentas dengan gamelan gong Pangkung (Bali 1928: CD #1) di Bali Hotel. Menurut teman dan rekan kerjanya di Radio Republik Indonesia, penabuh Wayan Konolan (1923–2008), jangkauan nada Ida Boda pun merendah seiring usianya, dan itulah yang diakrabi oleh kebanyakan masyarakat Bali. Pak Konolan menjelaskan bagaimana Ida Boda gemar menyanyi dalam nada-nada tinggi seperti terdengar dalam rekaman ini, dan menunjukkannya dalam pementasan topéng menggunakan gamelan angklung yang mempunyai tingkat nada tinggi dari Banjar Bun (dalam Bali 1928: CD #4 mendatang). Umumnya pementasan topéng diiringi oleh gamelan gong, tetapi Ida Boda mengatur agar gamelan dari Banjar Bun tersebut dipinjamkan dan dimainkan oleh para penabuh dari Belauan pada perayaan-perayaan hari suci seperti Tumpek Landep, Tumpek Wayang atau odalan ‘perayaan hari kelahiran sebuah pura’. Pak Konolan dan dan lain-lain menggambarkan bahwa Ida Boda adalah guru yang tegas dan keras, sebagaimana banyak guru di masa lalu yang menampar, menyodok, dan memaksa para muridnya mengambil agem ‘posisi’ dan mempelajari rangkaian pakem ‘koreografi’. I Wayan Rai mengutip Wayan Beratha (salah seorang murid Ida Boda), yang mengatakan bahwa seiring usianya suara Ida Boda terlalu rendah untuk jangkauan nada ‘saih selisir’ Desa Sadmertha, maka dari itu, saat menyanyikan tandak Dalem untuk menyambut kedatangan Raja Arsa Wijaya dalam pertunjukan topéng, gending digubah ke dalam Jaran Sirig, “dengan gong yang aslinya mempunyai nada tinggi ndang dirubah menjadi nada ndéng yang berada dua nada di bawah ndang.” Perubahan ini dinamakan ‘gending mapelit’ atau ‘gending makipekan’ (Rai 1996: 33). Mapelit bisa diterjemahkan sebagai ‘melipat’ atau ‘membalik alunan lagu’. Baik Ida Boda dan muridnya, Nyoman Kalér, mengajar légong di Kelandis yang menyertakan bocah laki-laki Wayan Rindi sebagai condong, Ni Luh Cawan dan Ni Wayan Sadri, semua dari Lebah (walau keluarga terdekat Sadri berasal dari Pemogan) dan sebelumnya Ni Nyoman Polok dan Ni Ketut Ciblun, keduanya dari Kelandis. Murid Ida Boda lainnya adalah komponis I Wayan Beratha (1926–2014), penari arja dan topéng panasar I Wayan Geria dari Singapadu, penari arja dan topéng kartala I Madé Kredek dari Singapadu, penari légong dan guru Ni Ketut Reneng dari Kedaton, penari kebyar Nyoman Ridet, dan penari topéng Ida Bagus Ngurah Buduk.
56
Ida Boda meneruskan “nyuling” (memainkan suling bambu) saat memasuki masa tuanya, seperti dituturkan oleh cicitnya Ida Bagus Pujiarsa dan istrinya, Ida Ayu Kartika. Mereka mengingat bahwa walau sudah berusia 90-an tahun, dengan langkah pelan tertatih memegangi tongkat sembari dituntun pelayannya, Ida Boda tetap melanjutkan pekerjaannya di Radio Republik Indonesia. Begitu berada di studio beliau menemukan kembali semangat mudanya dan slanjut melakoni kegiatannya sebagai penyanyi, penutur dan penabuh gamelan. Menurut keluarganya, beliau berpulang pada tahun 1964 persisi setelah letusan dahsyat Gunung Agung dan sebelum Presiden Sukarno turun dari kekuasaan.
CD Trek #7 Dangdang Gula I (Duh Ratnayu-Smara Pralaya) Dinyanyikan oleh Ida Boda Dari geguritan Duh Ratnayu (Smara Pralaya) karya Anak Agung Gdé Pameregan Bahasa: Kawi–Bali Wiakti tan kena ritadah guling ruksa mawang, Sungguh tidak makan dan tidur menjadikan pikiran rusak, pamrat ning sarimang, rindu yang membebani, angebekin hredayané, menyesakkan hati, tan kena yan inukur, tiada terukur, agung saakasa pratiwi, semesta raya, lara tan tinambanan, duka tiada terobati, yan tan sih sang harum, jika tanpa belas kasih juwitaku, rarasé sajroning pamreman, berkasih di peraduan, luhung pejah, lebih baik mati, sapadi kari ahurip, daripada hidup,
57
Baris terakhir dari tembang yang terpotong saat sesi rekaman di tahun 1928 adalah: saitya anandang wirang. selama hidup menanggung malu. Masyarakat pendengar di Bali mungkin dengan cepat bisa mengenali kata-kata ini dan yang terdapat pada trek berikutnya sebagai pada-pada dari Duh Ratnayu,121 salah satu geguritan tentang kisah cinta paling terkenal di Bali yang merupakan hasil karya pujangga Anak Agung Gdé Pameregan – karena kata-kata dalam bait permulaannya –secara luas dikenal sebagai lirik percintaan dalam lakon dramatari arja bertajuk Sampik Ingtai.122 Sebagai contoh, Nyoman Suastika menulis, “Geguritan Duh Ratnayu menguraikan cetusan hati Si Aku (yang kemungkinan adalah sang pengarang sendiri) menderita asmara karena cintanya tidak sampai. Si Aku menceritakan isi kerinduan lewat karya ini. Dia katakan lirik ‘Aduh Juwitaku’.”123 Namun asal-mula dari geguritan ini sesungguhnya adalah catatan kontemporer tentang kisah asmara yang menyedihkan dan terlarang antara sepupu langsung di istana Klungkung pada masa tahun 1890-an. Percakapan kami dengan Ida Bagus Pidada Kaut dan cicit keponakan dari Anak Agung Gdé Pameragan yang bernama Anak Agung Gdé Ngurah Oka Jaya (1934–)124 membuka wawasan kami tentang cikal-bakal lahirnya lagu yang selama seabad dipahami masyarakat dan para sejarawan Bali sebagai khayalan sang pengarang – yang pada masa itu setara dengan sebuah berita heboh atau sebuah lagu yang sedang terkenal. Ida Bagus Pidada Kaut mengatakan kepada kami bahwa judul asli puisi tersebut adalah Smara Pralaya ‘Kehancuran Asmara’.125 Ini tentu berlawanan dengan langgam ceria dari syair bila dilihat dari kata-kata pembukanya: Duh berarti ‘wahai’ (sapaan akrab ‘halo’ untuk menarik perhatian seseorang) dan Ratnayu ‘wanita cantik’. Menurut Ida Bagus Pidada Kaut, sang penyanyi Ida Boda nampaknya mempunyai kedekatan pribadi dengan pasangan kekasih yang malang tersebut, Déwa Agung Istri Muter (putri dari raja Déwa Agung Putra III) dan I Déwa Agung Ketut Agung (putra dari adik laki-laki raja Déwa Agung Putra III, Déwa Agung Rai). Walaupun Déwa Agung Putra III tidak melarang keinginan mereka untuk menikah, adik laki-laki dari putrinya, Déwa Agung Jambé tidak setuju, menunjuk pada kenyataan bahwa I Déwa Agung Ketut Agung berstatus lebih rendah, bukan keturunan raja. Sehingga pasangan sepupu tersebut dilarang untuk menikah. Penuturan Ida Bagus Pidada Kaut menyebut bahwa Anak Agung Gdé Pameragan adalah sahabat dari pasangan kekasih itu yang diminta oeh I Déwa Agung Ketut Agung untuk menggubah kisah smara pralaya, putus dan kiamatnya asmara sebagai syair. Tak lama kemudian, beliau menggubah Smara Pralaya, yang dikenal kemudian sebagai Duh 121
Eddy (2001). Juga dalam Ida Cokorda Gedé Mayun (tanggal penerbitan tidak diketahui). Kedua pada dalam CD ini muncul sebagai bait keempat dan kelima dari bagian Dangdang yang terdapat dalam naskah Sampik Ingtai. 123 Suastika (1997: 330) 124 Percakapan di Puri Kalér Kangin, Klungkung (2009) 125 Penggunaan kata smara dalam Jawa Kuna biasanya saling dipertukarkan dengan semara atau asmara, semuanya berarti ‘cinta’ dan juga nama lain dari Dewa Kama (dewa cinta dan dewa kecantikan). 122
58
Ratnayu. Anak Agung Gdé Pameragan dipercaya meninggal sekitar tahun 1892. Kita bisa membaca catatan tentang drama kehidupan nyata tersebut dalam buku antropolog Margaret Wiener berjudul Visible and Invisible Realms: Power, Magic and Colonial Conquest in Colonial Bali yang sangat menggugah, mendalam dan diteliti dengan baik. Wiener menulis (1995: 294), “Déwa Agung Isteri, kakak kandung wanita Déwa Agung Jambé tidak hanya dikenal karena luar bisa cantik namun juga karena kemampuan hebatnya dalam bidang sastra – seperti Déwa Agung Istri Kania. Beliau dikatakan mengetahui semua rasi bintang di langit, bahkan seorang wanita tua bersikeras bahwa beliau adalah penguasa Klungkung. Sang putri jatuh cinta kepada I Déwa Agung Ketut Agung, putra dari Déwa Agung Rai’, yang sebagai keponakan ayahnya adalah satu-satunya pria berstatus cukup tinggi yang mungkin bisa menjadi suaminya. Namun, menurut seorang narasumber, pernikahan mereka ditentang oleh adiknya, yang bersumpah akan mengamuk bila sang sepupu laki-laki mencoba menikahi kakak wanitanya. Kita hanya bisa menduga-duga tentang alasan Déwa Agung Jambé begitu sengit menentang pernikahan itu. Sebetulnya, Déwa Agung Jambé pun menikahi saudara wanita dari laki-laki (I Déwa Agung Ketut Agung) tersebut, dan masyarakat Bali berstatus tinggi menyatakan bahwa timbal-balik langsung tersebut adalah penuh kesialan dan tidak menguntungkan; mungkin beliau menolak pernikahan itu karena besar kemungkinan akan melahirkan seorang putra yang mempunyai status yang dengan keturunannya sendiri…” Ida Bagus Kaut mengatakan kepada kami,126 bahwa siapa pun dilarang melantunkan Duh Ratnayu di Puri Klungkung pada jaman itu karena liriknya menyinggung perasaan Déwa Agung Jambé dan yang lainnya. Bila seseorang kedapatan menyanyikan tembang tersebut, si penyanyi akan langsung diasingkan dan menjalani hukuman selama satu sampai tiga bulan di Pulau Nusa Penida yang berfungsi sebagai penjara koloni. Namun Déwa Agung Istri Muter sering meminta Ida Bagus Oka Kerebuak untuk menyanyikan geguritan itu. Bila Agung Jambé mendengar Duh Ratnayu, beliau akan berteriak “Siapa menyanyikan itu?” Bila dijawab bahwa Oka yang bernyanyi, beliau pun terdiam masygul karena tahu tembang itu dinyanyikan atas permintaan kakak wanitanya. Ini menunjukkan kekuatan dan kekhususan dari lirik tembang tersebut. Salah satu alasan mengapa Ida Bagus Pidada Kaut mempunyai pengetahuan terperinici akan kisah kehidupan keluarga puri tersebut adalah karena kakeknya, Ida Pedanda Gdé Ketut Pidada (lihat foto), adalah bagawanta di puri dan sering berada di lingkungan puri, dan tentunya juga Ida Bagus Oka Kerebuak. Menurut Wiener, setelah jelas bahwa mereka tidak akan diijinkan bersatu dalam ikatan pernikahan, I Déwa Agung Ketut Agung (juga dihormati sebagai Cokorda Gedé Agung), jatuh sakit dan meninggal karena patah hati. Déwa Agung Istri, juga patah hati, menunggui jasad I Déwa Agung Ketut Agung sampai upacara pembakaran jenazahnya tiba, dan beliau senantiasa berharap diberi kesempatan untuk menyusul pujaan hatinya dalam kematian. Lalu, Déwa Agung Isteri merencanakan agar ia bisa mati tanpa melakukan bunuh diri yang merupakan tindakan tercela. Beliau mengatur agar dirinya terlihat seolah-olah mempunyai hubungan cinta kasih dengan seorang pria berstatus rendah dan sebagai akibatnya, keluarga puri mau tak mau harus mencabut nyawanya. “Beliau mengatakan kepada sanak 126
Percakapan di Geria Pidada (2014)
59
saudaranya yang berstatus rendah itu – pria yang selama ini menjadi penghubung antara sang putri dan kekasihnya – bahwa tersedia “hadiah” untuk jasa-jasanya.” (1995: 295). Déwa Agung Istri akhirnya ditenggelamkan di laut dan pria tersebut menemui ajal, dibunuh dengan keris. Wiener tidak mengungkap dengan nama lengkap dari Déwa Agung Istri Serengkug Muter atau nama pria yang terlibat, hanya memberi catatan bahwa lelaki malang tersebut berstatus lebih rendah. Menurut Wiener, sebuah surat dikirimkan oleh residen Eschbach kepada Gubernur Jenderal yang melaporkan pelaksanaan hukuman mati atas Déwa Agung Istri pada Desember tahun 1901 (Wiener, 1995: 410).127 Namun penjelasan yang diberikan oleh Ida Bagus Pidada Kaut menawarkan sebuah matarantai peristiwa yang sangat berbeda terutama setelah penggubahan geguritan Smara Pralaya oleh Anak Agung Gdé Pameregan. Menurutnya, pasangan kekasih itu hidup dalam keputusasaan selama beberapa tahun, khususnya sang putri yang menjalani hidupnya penuh dengan kebingungan. Akhirnya, pada suatu hari ketika menonton tajén ‘sabungan ayam’ di Klungkung, sang putri dikatakan “bermain mata” dengan seorang pria “asing” dari Puri Batan Waru ‘kediaman bangsawan di bawah pohon kembang sepatu’ bernama Anak Agung Oka Dugul (Cokorda Batan Waru), yang malah berstatus lebih rendah dari sepupunya. Ini berujung dengan perselingkuhan antara mereka yang akhirnya diketahui oleh keluarga sang putri. Ketika raja mengetahui hubungan terlarang itu beliau dipaksa untuk menenggelamkan sang putri di lautan, sebuah keputusan yang akhirnya mesti dijalankan. Anak Agung Oka Dugul dibunuh dengan keris. Tak berapa lama setelah peristiwa itu, sepupu tercintanya, Déwa Agung Ketut Agung menikahi wanita lain dan mempunyai anak bernama Cokorda Gdé Oka Yek, yang tidak mempunyai keturunan, namun di kenal oleh “sejarawan keluarga” kami, Ida Bagus Pidada Kaut. Menurutnya pula, Déwa Agung Ketut Agung meninggal dalam usia muda. Menurut kedua catatan, Déwa Agung Istri Muter ditenggelamkan di lautan berdasarkan perintah keluarganya dan dihapus dari sejarah keluarga puri. Saudara laki-lakinya, Ida Déwa Agung Gdé Jambé (menurut Ida Bagus Pidada Kaut), mempengaruhi terjadinya suasana tersebut agar beliau bisa dinobatkan sebagai Batara Dalem, yang berhasil dikuasainya sampai tahun 1908. Sehingga saat mendengarkan nyanyian yang menyayat hati oleh Ida Boda, para pendengar bisa merasakan bahwa beliau sedang menyanyi demi pasangan kekasih malang yang sangat dikenalnya. Atau setidaknya, Ida Boda mempelajari tembang itu dari rekannya Ida Bagus Oka Kerebuak, yang sangat mengenal pasangan kekasih itu, dan merupakan orang pertama yang menyanyikan geguritan itu. Wiener memaparkan bahwa runtuhnya kerajaan Klungkung menjelang puputan oleh keluarga kerajaan berikut penaklukan dan pendudukan Belanda pada tahun 1908, terjadi tujuh tahun setelah Déwa Agung Istri Muter dibuang ke dalam laut. Wiener menggambarkan Klungkung sebagai pusat kekuatan keagamaan Bali pada masa pra 127
Catatan kaki dari Wiener memberi referensi lengkap tentang narasumber dari Kementerian Kolonial tersebut, “Menurut sumber-sumber kolonial, disebutkan bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut terjadi pada masa kekuasaan Déwa Agung Putra III, hal ini tidaklah jelas dalam cerita-cerita di Bali (Surat dari Resident Eschbach kepada Gubernur Jenderal, 28 December 1901), Mail Report #711 in V. 28 April 1903 No 2., MvK Kol. Res. na 1900, ARA.”
60
kolonial dan menghubungkan kematian pasangan sepupu yang tak berjodoh itu dengan sejarah masa itu. Saking mulianya derajat dan tingginya kekaguman akan Déwa Agung Istri Serengkug Muter membuat kematiannya saat itu dipandang sebagai penanda penting akan runtuhnya kewenangan moral dan batiniah kerajaan. Semasa hidupnya, beliau dibandingkan dengan Ida Déwa Agung Istri Kania, ratu yang berkuasa pada masa kejayaan kerajaan Klungkung dan pemimpin kegiatan kesusastraan dan kesenian yang mengedepankan karya-karya cemerlang Anak Agung Gdé Pameregan, Ida Pedanda Gdé Rai dan sang ratu sendiri. Penetapan tahun kematian dari Déwa Agung Istri Serengkug Muter oleh Wiener pada tahun 1901, mendorong kami untuk menetapkan bahwa Anak Agung Gdé Pameregan menulis Smara Pralaya pada masa permulaan cinta terlarang di antara kedua sepupu itu; yang terus diliputi rasa sakit hati dan penderitaan selama beberapa tahun setelah kematian Anak Agung Gdé Pameregan pada tahun 1890-an. Lalu, ada kemungkinan beberapa tahun sempat berlalu ketika Déwa Agung Istri Serengkug Muter menjalani hubungan barunya sampai akhirnya dicabut nyawanya. Kenyataan bahwa narasumber kami maupun Wiener mempunyai kesimpulan akhir yang sangat berbeda akan kisah cinta yang menyedihkan ini tidaklah menjadi masalah, mengingat bahwa mempunyai dua catatan sejarah yang berbeda adalah sangat menarik. Dalam kasus manapun, catatan sejarahnya tidak terdapat dalam Babad Dalem ‘kronik kebangsawanan’.128 Namun suara Ida Boda yang direkam pada tahun 1928 bisa berfungsi untuk “menggelorakan” kenangan dan kerinduan masa lalu.
CD Trek #8 Dangdang Gula II (Duh Ratnayu-Smara Pralaya) Dinyanyikan oleh Ida Boda Dari geguritan Duh Ratnayu (Smara Pralaya) karya Anak Agung Gdé Pameregan Bahasa: Kawi–Bali Yan tan hana sih sang diah ari atma jiwa, Bila tidak ada kasihmu dinda, oh jiwaku, maneh ta mamwit pisan, lebih baik hamba pergi sekalian, satiba para lakuné, kemana pun kaki membawa, anut lwah pasir gunung, menyusuri sungai, pantai, dan gunung, suket jurang pringga trebis, hutan, lembah, jurang terjal, akaron awirang, hanya berteman duka, 128
Menurut Anak Agung Wirawan, professor sejarah di Universitas Udayana dan salah seorang keturunan Puri Klungkung.
61
sopana dilampus, lebih baik mati, manilar swanagara, meninggalkan negeri, kadang mitra, sanak, saudara dan sahabat, tan kimuténg yayah bibi, tak peduli ayah dan ibu, tan ketung amurang lampah. tanpa menghitung perjalanan, tanpa tujuan.
62
129
129
Dari foto yang sama ini, Wiener (1995: 319) menyebut Pogog sebagai Cokorda Raka Jodog dan Pelonot sebagai Cokorda Putu Plodot. Narasumber kami, Ida Bagus Pidada Kaut (1932-), mengenali Cokorda Raka Jodog dalam foto di halaman sebelumnya, bersikeras bahwa ayahnya (putra dari Ida Pedanda dalam foto) memberitahukan nama-nama semua tokoh dalam kedua foto (percakapan pribadi di Geria Pidada, Klungkung, pada tahun 2009 dan 2014). Wiener (1995: ibid.) menyebut julukan pacanangan tersebut, sama halnya dengan keris-keris sakti yang juga mempunyai julukan atau nama.
63
Keseluruhan geguritan yang menjadi sumber kedua pada yang dikutip disini adalah dalam pola pupuh Dandang Gula. Seperti sering terjadi dalam penuturan mabebasan oleh Ida Boda (menurut keterangan penabuh gamelan I Wayan Rugeh (1929–2014) dan Ida Wayan Padang), beliau selalu diiringi oleh suling pada kedua lagu Dangdang Gula. Tetapi beliau mungkin saja memilih menyertakan suling untuk memperjelas suasana kepedihan dalam Dangdang ini yang secara terkenal sangat cocok dalam pementasan penuh luapan rasa seperti dramatari arja (dua rekaman tembang berikutnya di mana Ida Boda menyanyikan Adri – tidak berhubungan dengan arja – dinyanyikan tanpa iringan suling). I Made Monog dan beberapa tokoh lain telah menunjukkan hadirnya pengaruh bergaya Sasak dalam kata kedua dari frase angebekin hredayané ‘memenuhi hatiku’ yang mulai pada 00:50. Banyak pragina Bali dari generasi terdahulu membicarakan tentang bagaimana para pragina yang mataksu ‘diberkahi kekuatan batin’ akan mampu membuat bulu kuduk penonton merinding (jering bulun awaké) sembari dilingkupi rasa empati; kepedulian dan kerinduan yang mendalam sampai mencucurkan air mata. Baik Madé Monog dan Wayan Rugeh menggunakan contoh pementasan Ida Boda dan Wayan Pempen (Mémén Redia) bersama kelompok jangér Kedaton (dalam Bali 1928: CD #5).130 Madé Monog juga memberitahu bagaimana Ida Boda menggunakan Dangdang sebagai sumber sastra untuk tandak légong ‘nyanyian tunggal’ dalam tarian légong, untuk merangsang perasaan ngalangenin (kalangén) ‘terpesona, terpukau, terpikat dan menyentuh sukma’. Menurut Pak Monog, Ida Boda menggunakan Dangdang tanpa melibatkan bentuk alunan gending – hanya kata-kata – karena tandak mengikuti dan dinyanyikan mengikuti alunan gending gamelan. Unsur-unsur halus yang sering dikaitkan dengan pengaruh Sasak termasuk berulangnya dua jenis nada dong. Pada permulaan kata pringga (trek #8, 01:31) bisa didengar peralihan dong tinggi ke dong “biasa” dengan kata trebis (bunyi ‘s’ adalah senyap). Kedua jenis nada dong tersebut menjadi lebih penting pada dua baris dalam trek #7 yang dimulai pada 01:07 (tan kena yan inukur, agung saakasa pratiwi). Kata pertama tan mengandung nada dé-ung yang sangat melengking tepat pada 01:10, salah satu dari sekian banyak dalam nyanyian ini. Merujuk kepada gaya Sasak, perlu disampaikan bahwa Wayan Pamit (1935-2007) menghubungkan nada miring-miring oleh Ida Boda sebagai kekhasan gending lama ‘gaya kuna’ nyanyian Bali131 dan para pendengar tentu bisa mendengar kemiripannya dengan kidung oleh Ida Bagus Ngurah dalam CD ini. Aturan guru wilang ‘perhitungan suku kata dari padalingsa’ tidak dipatuhi pada baris dkeua, yang menyertakan tujuh suku kata dibandingkan delapan. Edisi Duh Ratnayu oleh Tusthi Eddy menyebutkan baris ini sebagai maneh tamwit pisan, hanya enam suku kata. 130
Ida Boda, Madé Monog, dan Wayan Rugeh adalah rekan sejawat dan sama-sama menjadi seniman Radio Republik Indonesia. Made Monog bergabung dengan jangér Kedaton pada awal tahun 1930-an. Monog adalah seorang pementas arja dan topéng, yang dikenal sebagai tokoh Matah Gedé, sang penyihir dalam Calonarang. Istrinya, Ni Wayan Sadri berguru légong dengan Nyoman Kalér dan Ida Boda, dan merupakan salah satu penari dari légong Kelandis yang disegani dan dihormati. Sedangkan, Wayan Rugeh adalah seorang ahli gamelan dan dalang dari Kesiman. 131 Wayan Pamit (dari Kayumas Kelod, Denpasar) adalah seorang pendidik dan penulis dari berbagai kakawin, kidung dan geguritan terkenal.
64
Pada trek Dangdang sebelumnya dari geguritan yang sama, baris kedua mempunyai enam suku kata juga dan baris keempat mempunyai tujuh suku kata dibanding delapan. Perbedaan ini menunjukkan keluwesan terhadap aturan-aturan dalam tembang.
CD Trek #9 Adri I (Raos Ngempelin) Dinyanyikan oleh Ida Boda Bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Jangkane timpahin matumpuk, Jangka132 ditindihlah dengan paha, limané ngurapé, tangan meraba-raba, manyemak né lusuh gilik, mengambil yang bulat panjang, giling-giling pangda enduk, digiling-giling agar tidak lunglai, suba kekeh dadi masuk, sesudah kaku bolehlah dimasukkan, ané bolong asukina, ke dalam lobang dimasukkan, pupusanga pada kukuh, diiris-iris dengan kuat, magiseh-giseh nyogokang, sekuat-kuatnya menekan dan mendorong, keblos-keblos pesu uwat. keluar banyak dan urat-uratnya masih tampak. Ha-ha-ha-ha-ha…Inggih, puniki indik cerita puniki anak ngaet temako keni sampun iwang tetampen. Ha-ha-ha-ha-ha… Sang sapa mirengang puniki ngartiang keni sampun titiang iwang saking karya memacul. Ha-ha-ha-ha-ha… Oh, ya, ini kisah orang memotong tembakau supaya tidak salah tafsir. Ha-ha-ha-ha-ha… Siapa yang mendengar dan (mengartikan) menterjemahkan ini, supaya saya tidak salah, ini sebenarnya perihal pekerjaan petani. Ha-ha-ha-ha-ha… 132
Jangka mengacu kepada berbagai jenis peralatan termasuk untuk memotong dan memadatkan tembakau.
65
Digambarkan oleh beberapa pendengar di Bali sebagai cecangkriman ‘teka-teki’, pupuh ini sebetulnya adalah raos ngempelin ‘polisemi’ berbentuk lelucon dengan kiasan seksual. Kejenakaan lirik pupuh ini memperkuat ketenaran ikonik Ida Boda sebagai seorang seniman lawak yang mempunyai pengaruh besar terhadap banyak panasar dan bondrés dalam topéng, arja, Calonarang dan jenis-jenis kesenian lainnya. Pupuh ini dilantunkan dengan gagasan memadatkan tembakau menggunakan sebuah alat pelinting tembakau yang mana secara terang-terangan mengiaskan kegiatan serupa dengan alat kelamin laki-laki. Namun kesimpulan riangnya (dalam suara panasar) mengungkap keluguan dari pupuh yang justru membuat pendengar semakin penasaran akan maksud sebenarnya. Perlu disampaikan bahwa lelucon bermakna seksual semacam ini tidak hanya unik dengan Ida Boda, namun juga khas dalam berbagai lukisan erotis karya perupa Ubud, I Gusti Nyoman Lempad (1862–1978). Walau Ida Boda memilih bentuk melodis dari tembang Adri untuk lagu ini, Pucung sebagai metrum pupuh yang berbeda justru lebih umum digunakan untuk cecangkriman atau tembang-tembang raos ngempelin.
CD Trek #10 Adri II Dinyanyikan oleh Ida Boda Bahasa: Kawi-Bali Kanggo anaké jani manulu, Terserah orang sekarang memandang, sing ja jelé melah, bukannya baik atau buruk, masasambat Déwa Widi, mengiba pada Yang Kuasa, amidéning ala ayu, yang memberi suka duka, aglis surya jumah nyuluh, segeralah bercermin dari sinar atman sendiri, kento bakat nyalimurang, demikian cara menghibur diri, tulisé nongos di suku, takdir memang di telapak kaki (kalau nasib jelek/rendah), apang tagih juwa di gidat, mengapa berharap di kening, ban lacuré tumbuh nyadma. akibat penderitaan menjadi manusia.
66
Dalam penyajian yang berbeda dari pupuh Adri ini, pengaturan nafas dan perubahan keraslembut suara secara sederhana namun mangkus oleh Ida Boda meningkatkan dampak emosional dari tembang yang filosofis ini. Pada hitungan 01:04, pendengar bisa mendengar nyutra suara (gedong cengkok) pada kata-kata ala ayu (yang baik dan jahat), mengubah huruf hidup dari kata ayu dengan memindah getaran dari depan rongga mulut dengan ‘a’ menuju ke belakang dengan merubah ‘u’ menjadi ‘o’.
67
68
Sekilas Kehidupan Ni Dayu Madé Rai Berdasarkan garis keturunan Brahmana. Ni Dayu Madé Rai (1895-1973) pada masa sekarang akan dikenal sebagai Ida Ayu Madé Rai. Beliau dilahirkan dan besar di Geria Cao, Desa Belayu, di wilayah Sembung, Mengwi.133 Ida Wayan Padang mengingat Ni Dayu Made Rai melakukan tur ‘pentas keliling’ bersama Ida Boda ke berbagai wilayah di Bali termasuk Badung (Denpasar) dan di sekitar Budakeling, Karangasem. Mereka terlibat dalam berbagai mabebasan, kini dikenal sebagai pasantian, diundang untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan seperti halnya pemujaan di pura atau upacara agama (manusa yadnya) di lingkungan sebuah keluarga. Kedua penyanyi umumnya hanya diiringi oleh alunan suling, seperti terdengar dalam tembang ini dan berikutnya. Wayan Rugeh, yang pernah menghadiri pementasan duet mereka, mengatakan bahwa kedua penyanyi kawakan itu sering mempersembahkan nyanyian di ruang terbuka, di tempat pementasan “dadakan” pinggir jalan yang dibatasi oleh pagar bambu sebagai penyekat sederhana antara mereka dengan para pemirsanya. Ida Wayan Padang menjelaskan dan mempertontonkan gaya pementasan mereka sebagai sebuah duet, melagukan nyanyian berdua. Ni Dayu Made Rai menyanyikan sebuah tembang dan Ida Boda kemudian akan berimprovisasi dalam sebuah gaya yang dipengaruhi cepung Sasak yang dipelajarinya di Lombok yang dikenal sebagai lelakakan atau ngkélngkélan, teknik melagukan semua kata-kata dalam alunan suku kata ritmis. Penggunaan lelakakan yang saling-kait, dalam sinkopasi nan lincah ini disebut macingklak atau ngetingklad. Teknik ini melibatkan penekanan dan pengisian kata-kata dan/atau suku kata tanpa arti oleh Ida Boda, sesaat sebelum atau sesudah lantunan lagu oleh Ni Dayu Madé Rai. Rekaman video yang kami buat pada tahun 2009 yang mempertunjukkan Pak Padang (ketika itu berusia sembilan puluh enam tahun) bersama putranya Ida Madé Basma memainkan teknik tersebut akan disertakan dalam koleksi Bali 1928: CD #5. Ni Dayu Madé Rai bukanlah seorang pragina ‘penari-penyanyi-tokoh dalam cerita’, namun lebih terkenal karena kemahirannya dalam cekér-cekér, sebuah istilah yang bisa merujuk kepada tembang secara umum atau sesuatu yang lebih khusus. Cekér-cekér biasanya dikaitkan dengan tokoh Désak dalam arja saat ia bermain-mata, menggoda seorang tokoh laki-laki dengan genit, sering kali dalam nuansa jenaka, ganjen dan seksual yang terkadang dikatakan sebagai porno. Gaya cekér-cekér ini selalu berbentuk tembang Ginada. Ketika kami mengunjungi cucu-cucu Ni Dayu Madé Rai di Banjar Penarukan dan mengatakan bahwa kami mempunyai rekaman-rekaman kuna, mereka langsung bersemangat menanyakan apakah lagu-lagu tersebut adalah cekér-cekér mengingat lagu semacam itu adalah ciri khasnya. Dalam kehidupan masa lampau di Bali, para pemuda akan merayu dan melamar gadis pujaan mereka dengan cara berdiri di luar areal rumah keluarga sang kekasih, pada senja hari, memainkan suling atau menyanyikan cekér-cekér (juga dalam kata-kata kiasan). Praktik yang sama tidak diperkenankan di luar tembok-tembok puri, namun seorang pemuda bisa saja berada dalam jarak sependengaran seorang gadis
133
Menurut cucunya, Déwa Nyoman Widja dan Désak Madé Warni (percakapan, 2013)
69
bangsawan dengan melakukannya secara lebih kasual, seolah tak disengaja dan tidak menyolok.134 Menurut para cucunya, Ni Dayu Madé Rai menggubah sendiri cekér-cekér yang dilantunkannya, walau ada kemungkinan beliau juga mengambil dan menyesuaikannya dari beberapa geguritan atau bahkan meminjam langsung dari berbagai sumber. Rekamanrekaman dari lagunya menjadikan Ni Dayu Madé Rai sebagai sebuah bintang di Bali Utara dan membuatnya laris diundang untuk pentas papaosan. Beliau pun menafkahi dirinya dari kegiatannya itu. Ini menarik karena secara umum di Bali pada masa itu, papaosan tidak melibatkan transaksi uang. Para cucunya juga menggunakan istilah awam internasional “gramofon” untuk menyebut piringan hitam 78 rpm berikut alat pemutarnya, dibanding “orgel” yang sering kami dengar dalam penelitian ini. Ni Dayu Madé Rai menikahi I Déwa Ketut Mantra (dikenal sebagai Bagus Mantra, “Bagus” adalah sebutan pengganti yang umum bagi Déwa di Buléléng) sekitar tahun 1919 dan lanjut berpindah ke desa suaminya di Penarukan, Singaraja. Kami menyimpulkan dari kata-kata “dari Singaraja” dalam pengantar singkat masing-masing rekaman bahwa beliau mempelajari semua tembang tersebut semasa tinggal di Penarukan. Ada kemungkinan beliau mulai pentas bersama Ida Boda saat berumur dua puluh empat tahun, setelah pernikahannya dengan Bagus Mantra, yang sebenarnya berasal dari Budakeling (sama halnya dengan keluarga Ida Boda). Ni Dayu Madé Rai dan Ida Boda sibuk tur keliling sepanjang tahun 1920-an dan sang suami rupanya mempunyai pemikiran yang sangat terbuka akan hal itu. Cucu-cucunya yang dilahirkan sejak tahun 1944 mengingat bahwa Ni Dayu Madé Rai mengajar arja kepada anak-anak di sekitar lingkungannya walau beliau sendiri bukan seorang pementas arja. Bagus Mantra adalah seorang ahli dalam bidang desain dan merupakan pionir dalam pembuatan stempel atau cap yang pada masa itu berfungsi sebagai hak cipta untuk perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Beliau dikenal dekat dengan pemerintah kolonial Belanda dan berteman baik dengan Gusti Bagus Oka, residen untuk wilayah Buléléng, yang juga merupakan atasannya. Berasal dari Karangasem, Gusti Bagus Oka bertugas di Buléléng berdasarkan mandat Administrasi Kepemerintahan Kolonial Belanda di Lombok mengingat pengabdian beliau di Kerajaan Karangasem; kerajaan yang juga menguasai Lombok pada masa yang bersamaan, di bawah dukungan dan perlindungan Belanda. Gusti Bagus Oka adalah suami dari Ni Wayan Gedong, yang lebih dikenal sebagai Gedong Bagus Oka, seorang aktivitis lingkungan terpandang dan profesor dalam bidang literatur Inggris di Universitas Udayana. Bu Gedong dan Ni Dayu Madé Rai berteman dekat, Bu Gedong menghadiri upacara ngaben ‘pembakaran jenazah’ sahabatnya itu serta mewarisi beberapa barang antik favorit milik Ni Dayu Madé Rai. Mereka terikat dalam sebuah kawitan ‘hubungan keleluhuran’ dengan Budakeling yang berlanjut sampai hari ini, pedanda dari Budakeling selalu dihadirkan untuk memimpin dan menuntaskan upacara ngabén di Penarukan.
134
Percakapan dengan Ketut Kodi (2014)
70
CD Trek #11 Dangdang Dinyanyikan oleh Ni Dayu Madé Rai Bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Sangkan titiang buduh paling ring i déwa, Mengapa saya tergila-gila pada adinda, rasa kena guna rasa inguh idepé, seperti kena guna-guna, hati dan pikiran menjadi bingung, yen andiang iratu len gunané ngrangsukin, jika diandaikan, ada kekuatan lain yang merasuki adinda, yan mungguing warna tlenging tunjungé maungguh, dalam hal wajah, kau berada seperti intisari bunga teratai, yan ring raga, jaring sutera né ring tangan, dalam hal tubuh, kehalusan tanganya sehalus jaring sutera, guna lilité tan mari pangasihné guna-guna. daya pesonamu mengalahkan guna-guna yang lain.
CD Trek #12 Semarandana Tuan Déwi Dinyanyikan oleh Ni Dayu Madé Rai Bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Tuan Déwi raris manangis, Raja putri lalu menangis, sesambaté melad prana, rintihannya sangat mengharukan, rakané keamé-amé, kekasihnya disebut-sebut, sampuniki kawastonnya, beginilah jadinya, tinwuh titiang wantah, hidup saya hanya, sakadi telenging kayun, sebagaimana diharapkan,
71
beli memanjakang titiang. kakanda menjadikan saya pelayan. Énak beli mukti kerasmen, Senangkanlah hati kanda menikmati cinta, titiang mapamit sapisan, saya pergi selama-lamanya [saya akan mati], tembé bilih nyadma manéh, kemudian kalau menjelma lagi, titiang nutugang mamanjak, saya akan melanjutkan mengabdi, diastu ping sapta nyadma, walau tujuh kali lagi menjelma, apang masih jua katepuk, supaya tetap bisa bertemu, beli memanjakang titiang. kanda menjadikan dinda pelayan. Kami telah berupaya menemukan geguritan berjudul Tuan Déwi, namun Ida Wayan Padang memberitahukan kepada kami bahwa Tuan Déwi sebenarnya adalah seorang galuh ‘tokoh perempuan agung’, bukan sebuah cerita.
CD Trek #13 Pucung I: Istri Ayu Dinyanyikan oleh Ni Dayu Madé Rai Bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Istri ayu, Gadis cantik, okané bandesa kaut, putri pemimpin desa terpandang, warna tuara pada, kecantikannya tiada yang menyamai, katah tarunané buduh, banyak pemuda tergila-gila, yen kapadik, kalau dipinang,
72
istri hayu tuara suka. si gadis tidak akan rela. Tui ayu, Sungguh cantik, abesik luputing wong, tidak ada yang lain, kadi warnané, seperti kecantikannya, tan ada kadi I Hayu tak ada lagi yang secantik dirinya, yening kenyung, dikala tersenyum, kamamelahang tangkah. bak menghancurkan hati. Istri ayu, Gadis cantik, mepayas manerus ayu, sesudah berhias kecantikannya tambah memukau, odak dané gadang, bedaknya berwarna hijau, masekar cempaka nerus, dan menggunakan bunga cempaka berwarna putih, tui ayu, sungguh jelita, sengkang lontar babintangan. tak terpadankan pada kitab perbintangan.
73
CD Trek #14 Pucung II: Istri Ayu Dinyanyikan oleh Ni Dayu Madé Rai Bahasa: Basa Bali Kapara (lumrah) Matangkalung, Berkalung mutu manikam, angiras masinjang cepung, kain dalam halus rapi, sabuk sutra gadang, ikat pinggangnya sutera hijau, matepi kuningé alus, bertepian kuning halus, nerus hayu, sungguh cantik, kadi dedari Supraba. bagaikan bidadari Supraba. Istri ayu, Gadis cantik, kepasar menyangkil wakul, ke pasar membawa keranjang bambu, raris mabelanja, lalu berbelanja, pamarginé tolah tolih, langkah-pandangnya selalu waspada, ada hiju, sepertinya, dayaning tuas kaplagandang. curiga ada yang mau memerkosa. Ampun rauh, Setelah sampai, dipeken menyangkil wakul, di pasar membawa keranjangnya,
74
peken sedeng beka, pasar sungguh ramai, rupa wenten jatma singid, tampaknya ada orang lain (tersembunyi), anak liu, ditengah-tengah keramaian, istri ayu paling tinglasa. istri ayu yang paling tampak. Dalam enam pada di atas (trek #13 dan #14) sang penyanyi secara umum mematuhi padalingsa untuk Pucung seperti yang dijelaskan oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1978: 3). Hitungan suku kata dan huruf hidup akhir yang umum adalah 4u, 8u, 6a, 8i, 4u, 8a (enam baris). Empat suku kata dalam baris pembuka adalah sesuai dengan materi pengajaran dari Pucung.
75
76
Sekilas Kehidupan Ida Bagus Ngurah Ida Bagus Ngurah (1867-1963) dari Geria Karang Tampakgangsul dikenang dengan nama Ida Pedanda Gdé Ngurah yang beliau sandang setelah madiksa ‘upacara inisiasi dan penobatan sebagai seorang pendeta Brahmana’. Sebelum menjadi pendeta (pedanda), beliau biasa menyanyikan kidung dengan sebuah sekaa mabebasan ‘kelompok menembang dan menerjemahkan’ di kediamannya setiap hari Sabtu dari pukul 3 sore sampai dengan 6 petang. Seorang cucunya, Ida Bagus Kirana mengingat bagaimana Ida Pedanda bersemadi dari pukul 11 malam sampai dengan 6 pagi. Putranya, Ida Pedanda Gdé Rai (1931–) mengingat bahwa ayahnya kerap bersemadi dari tengah malam sampai dengan pukul 4 dini hari. Cucunya menjelaskan bagaimana Ida Pedanda menaruh tiga pucuk bunga cempaka ke dalam sebuah kelapa yang setengahnya diisi santan kelapa, lalu meletakkannya di ketinggian pohon, pada malam hari, agar bunga-bunga dan santan kelapa tersebut menyerap sifat tenget ‘keramat’ dan embun ‘hangat rembulan’, yang bersenyawa dengan damuh ‘kabut pagi’. Seorang cucu kemudian akan memanjat pohon, mengambil kembali buah kelapa tersebut dan Ida Pedanda akan meminum santan kelapanya sekitar pukul 6 pagi, lalu membagi masing-masing sepucuk bunga kepada kedua cucunya untuk dimakan bersamanya. Dikatakan bahwa tetesan embun pagi bisa menolong dan menambah kekhasan suara seseorang. Alasan lain menempatkan campuran kelapa itu tinggi di atas pohon adalah supaya tidak dimakan binatang. Ida Bagus Ngurah baru berumur beberapa tahun ketika ayahnya, sang pedanda meninggal dunia, sehingga ibunya melanjutkan mandat dan pengabdian keagamaan itu sebagai pedanda istri, sementara Ida Bagus Ngurah baru menjadi pedanda pada paruh usia tujuh puluhan. Ida Pedanda Gdé Ngurah meninggal sekitar masa letusan Gunung Agung di tahun 1963. Pada saat mendengarkan rekaman-rekaman tahun 1928, salah seorang menantu perempuannya berkomentar penuh penghargaan bagaimana semua kidung yang terdengar mempunyai banyak nada-nada béro dan lebih menonjolkan pengolahan nafas pranayama dibandingkan dengan kidung masa kini. Sanak-saudara lainnya juga sangat mengagumi apa yang mereka sebut sebagai kualitas dan kekhasan “yoga” dalam nyanyian. Ida Pedanda Gdé Rai menjelaskan ihwal kunjungannya ke gua keramat di Uluwatu bersama-sama sekelompok pengunjung. Para pengiringnya tidak melihat hal-hal yang aneh, tetapi sang pedanda mendengar sebuah ledakan dan melihat penampakan Dang Hyang Nirartha. Ida Pedanda Gdé Rai juga menjelaskan bagaimana di desanya, Tampakgangsul terkadang jiwa mereka yang telah mati setahun-dua tahun yang lalu akan muncul di hadapannya dan memohon percikan tirta “air-suci’. Ida Pedanda akan menjawab, “Kamu sudah mati,” dan mereka menjawab, “Kami membutuhkan tirta untuk membebaskan jiwajiwa kami.” Di masa mudanya, Ida Pedanda Gdé Rai rutin memainkan saksofon dan trompet dalam sebuah orkes keroncong.135 135
Anggota keluarga lainnya yang turut memberi keterangan pada saat kunjungan kami pada tahun 2009 adalah Ida Bagus Atmaja, Ida Bagus Rai dan Ida Bagus Madé Sukadana.
77
CD Trek # 15 Kidung Lulungid Dinyanyikan oleh Ida Bagus Ngurah dari Tampakgangsul Bahasa: Kawi-Bali Rakryan sang saksat srining kalangon Ratuku, engkaulah perwujudan inti keindahan dyah sang murti ning puspa arja engkaulah yang lahir dari keindahan bunga maséng ka catur raras rum pada bulan keempat musim yang indah menawan ta angrapuh saat mulai mengarang gita bhasa rasminé nyanyian dengan untaian kata yang memikat hati tan kaopapama ry ahyun yang tidak terbayangkan di hati. ténahan ya sa katon demikianlah terlihat gatra anglih anrang srining asana terbayang sepintas keindahan bunga angsana nya kalahron. musim daun yang kering. Wayan Pamit berkomentar bahwa judul Kidung Wilet pada label piringan hitam merujuk pada wilet ‘cara menyanyi’ dan reng wilet ‘gaya alunan nada-nada dan suasana hati’ dibanding metrum puitis dari kidung wilet pada umumnya. Wilet kerap mengacu kepada ilegan gending ‘alunan lagu’ dan dalam bahasa Bali secara harfiah berarti ‘memelintir, mengelok, memutar-mutar’. Dalam bahasa Kawi, wilet berarti ‘mengikuti, bergabung’. Sebuah pertanyaan menarik muncul, “mengikuti atau bergabung dengan apa? Alunan gending gamelan gambang?” Tentu, mereka dipentaskan bersamaan dalam upacaraupacara keagamaan sampai seabad lalu – atau lebih lama lagi. Lulungid adalah ragam syair cinta yang biasanya bersifat erotis, menempatkan “sedikit penekanan pada narasi namun lebih banyak pada penggambaran rasa yang berhubungan dengan cinta dan gairah.” (Vickers, 2005: 179). Rubinstein menambahkan sebuah dimensi lain “…erotisme adalah bagian tak terpisahkan dari pemahaman dunia mistis. Syair erotis, oleh karenanya, mempunyai tujuan gaib.” (2000: 95). Ia lanjut menjelaskan “Menurut informan-informan saya di Bali yang bisa baca-tulis, walau pada permukaannya ini terkesan erotis, literarur ini sebenarnya beroperasi pada tatanan yang lebih dari satu
78
tingkatan. Makna terselubungnya, yang dengan sengaja disembunyikan dari mereka yang tak berpengalaman adalah bertujuan mistis.” (ibid: 109). Walau basa kidung ‘bahasa dari kidung’ umumnya Jawa Tengahan ‘Jawa Tengah’, ahli bahasa I Nengah Médera juga merujuk bahasa Kawi-Bali dalam naskah sebagai basa kidung.136 Vickers menjelaskan kesulitan-kesulitan dalam membedakan kedua bahasa secara jelas dalam sejarah (2010: 110). Metrum puitis kidung ini adalah puh Rangga Silyasih (dengan silyasih lagi-lagi menegaskan ihwal cinta). Ida Bagus Gdé Diksa mengatakan kepada kami bahwa di antara semua jenis nyanyian termasuk pupuh, kidung dan kakawin, ia menemukan kebebasan dalam kidung yang memberi ruang luas bagi ‘ekspresi kreatif’.137 Tetapi cara-cara pelantunan, pengonsepan dan pembahasan tentang kidung, termasuk juga semua jenis nyanyian, sangat berbeda-beda di seluruh Bali, dan tentunya keragaman adalah salah satu keunggulan dari tradisi. I Wayan Gendra, seorang penyanyi dan guru kidung, tembang dan kakawin di Desa Batuan menjelaskan bahwa “Kidung tidak bisa terlalu bebas karena pakem ‘pola’; terdapat notasi gegrantangan yang mana dirujuk oleh kidung walau pun kita tidak menggunakan notasi saat belajar atau pentas; kita bisa sedikit kreatif tetapi mesti menjaganya sebatas kekhasan reng.” (yang ia artikan sebagai ‘nembang’, ‘ngewilet’, pembentukan alunan nada-nada ‘melodi’).138 Hampir semua penyanyi yang dimintakan pendapat pada penelitian dan dokumentasi ini maupun sebelumnya, mengatakan mereka tidak menggunakan notasi dalam proses pengajaran atau pembelajaran sekar alit atau sekar madya (atau unsur-unsur alunan lagu dari sekar ageng), dan mereka masing-masing tidak belajar dengan menggunakan notasi, tetapi proses musikal itu adalah berdasarkan pendengaran, belajar melalui mendengar, meniru dan mengungkap kedalaman rasa pribadi. Sebuah naskah sastra, sebaliknya, digunakan untuk mempelajari sebuah syair, dan tantangan terbesar dalam mementaskan kidung adalah menghafal kidung yang panjang. Rekaman ini adalah salah satu pada ‘bait’ dari kidung Caruk, yang terdiri dari enam puluh empat suku kata dan menganut pada kawitan bawak ‘pola pendek’, yang selalu berakhir dengan huruf hidup ‘o’ (pada kawitan panjang ‘pola panjang’ berakhir dengan ‘u’). Tentu, kata kerja ngewilet sering berarti menyanyi atau melagukan dalam alunan indah. Wayan Pamit menjelaskan nyanyian dalam rekaman ini sebagai wayah ‘kuna, mendalam dan berkarisma’ dan menyarankan bahwa suara penyanyi tidak terlalu serak, namun sebaliknya, merupakan perwatakan asli dari kidung yang memiliki kekhasan rapuh, mentah, tidak dibuat-buat dan alami. Ketut Kodi mempunyai pandangan yang sama dengan banyak pendengar lainnya, bahwa ia juga mendengar aliran olah nafas pranayama, sang penyanyi memusatkan pikiran dan dirinya pada pernafasan yang halus dan tenang seperti dalam yoga (daripada emosi atau arti harfiah). Lompatan nada-nada berjarak lebar yang menjadi ciri khas beberapa kidung bisa didengar pada dua suku kata pertama dari kalongan yang terdapat pada baris pertama, dyah pada baris kedua, tan kaopapama pada baris keenam, dan gatra anglih pada baris kedelapan. Pelantunan nada-nada halus dalam kedua kidung secara jelas mencerminkan kenyataan bahwa kidung sering dinyanyikan bersama gamelan tujuh 136
Percakapan (2009) Percakapan (2013) 138 Percakapan (2013) 137
79
nada gambang dan luang, walau tinggi-rendahnya nada-nada Ida Bagus Ngurah lebih bervariasi. Sebagai contoh, pada baris pertama, satsat (00:09) dinyanyikan dalam nada, bila berdasarkan ding-dong sang penyanyi, akan disebut dé-ung, walau sama seperti nada lainnya pada instrumen gambang dan bukan serta-merta “di antara” nada-nada pokok lainnya. Lalu kata berikutnya yang mulai pada 00:17, srining, menyertakan jarak nada yang lebih halus; satu-setengah nada lebih rendah dari dé-ung sebelumnya (dalam istilah kromatik, 100 cents, dengan 1200 cents adalah satu oktaf). Beliau kembali melagukan kedua nada dengan hembusan nafas yang sama pada 00:25 pada kata kalangon ‘keindahan’. Walau kidung dan gambang sudah tidak pernah dipentaskan bersama selama sembilan puluh tahun lebih, Wallis menganalisa sebuah keterhubungan di mana huruf hidup akhir dari sebuah baris atau carik dari kidung selaras dengan tinggi-rendah nadanya (sebagai contoh ding, dong, déng, dung, dang) serta berpatutan dengan tinggi-rendahnya nada gambang.139 Judul-judul gending gambang juga persis dengan judul-judul kidung seperti Manukabha, “kisah petualangan Abha mencari burung-burung kecintaannya.”140
CD Trek #16 Kidung Demung Gulaganti Dinyanyikan oleh Ida Bagus Ngurah Bahasa: Jawa Tengahan Rarisang rum srining puspa Adindaku, jelita bagaikan sarinya kembang déwayu wati katwanging madhu drawa kecantikanmu mengalahkan madu yang meleleh ri bhasanta aminda rum sang ratna ning puri pada musim semi bagaikan keindahan dewi istana dyah inang mapawekas ing tuan putri, kata-katamu nahen turida marknéng wisya astra sari menahan sakitnya rasa kerinduan terkena panah asmara wiakti atemahan laywan yan tan sih sang rum sungguh akan menjadi mayat apabila tiada kasihmu ring gring kasmaran dalam penyakit cinta
139 140
Wallis (1980: 208-222), Vickers (2005: 114) Creese (1999: 82)
80
sadina inati-ati setiap hari didamba-dambakan panon mataniréng karasmin pandangan matanya yang sedang dimabuk cinta tan liyan sira atma jiwa tiada lain engkau kekasih juwitaku maka sebagai… (Teks terputus, menghapus tujuh baris) Meski judul yang tertera pada label piringan hitam berlainan, ini jelas adalah puh Demung Gulaganti yang biasanya disebut pula sebagai Demung Kediri dengan keyakinan bahwa sumber sastranya adalah Malat yang berkenaan dengan Pangeran Panji, tokoh perayu perempuan tanpa tandingan dan dipuja para perempuan di Kediri. Tetapi Nyoman Suarka berpendapat bahwa ini bukanlah Demung Kediri.141 Wayan Pamit mengatakan bahwa walaupun sang penyanyi kehilangan kendali pada beberapa nada untuk beberapa saat, semuanya masih dalam perwatakan khas kidung selama reng ‘alunan nada-nada dan getaran’ tetap dan tidak berubah-ubah. Nyoman Candri menyetujui bahwa meskipun sang penyanyi terkadang lepas kendali, kualitas suaranya sesuai dengan gaya kidung, yang mengingatkannya kepada Jayendriya (akan dirilis dalam Bali 1928: CD #5). Ketut Kodi menyatakan bahwa kemungkinan inilah cara melagukan Demung Gulaganti pada masa itu, dan menunjuk betapa susahnya melagukan lompatan-lompatan berjarak lebar tersebut, seperti lubang di jalanan, celégang-celegong, yang berbeda dengan gaya nyanyian lainnya yang berciri mengalun dan mengalir tanpa putus. Secara umum, kekhasan warna suara kidung dipahami bermula dari rongga hidung, berpindah ke gigi dan kerongkongan, dan suara penuh kerongkongan (menuju dada) lebih dikaitkan dengan mawirama kakawin. Pada 01:43 kita bisa mendengar satu contoh dari praktik suara mistikal sandhi suara ‘perpaduan’ atau ‘penggabungan’ suku kata (huruf hidup) dalam kata-kata wiakti ‘benar’ dan atemahan ‘menjadi wiakta, lalu diikuti oleh temahan. Dalam menyanyikan kidung Désak Suarti Laksmi menggabungkan ngereng (metangguran ‘gaung’), yang juga ia artikan sebagai bergema atau resonansi, dengan gregel ‘vibrasi, getar, gemetar’.142 Nyoman Suarka menggunakan cengkok wilet untuk menjelaskan ‘penciptaan variasi dalam nada dan irama tembang’ dan ngees nguncab untuk menjelaskan ‘keras-lemahnya alunan suara’.143 “Kombinasi ngees nguncab, cengkok wilet dan ngunjal angkian (kontrol nafas) yang harmonis membuat alunan suara dalam tembang menjadi sangat indah. Proses itu disebut ngengkal.”144 141
Percakapan (2014) Laksmi (2007: 22-24) 143 Suarka (2007: 153) 144 Suarka (2007: 153) 142
81
Apa yang dijelaskan oleh Ida Wayan Padang sebagai ombak ‘gelombang’ adalah perpanjangan suara huruf hidup pada akhir frase melodi, khususnya dalam kidung. Namun ini biasanya disebut sebagai ngengkuk atau ngengkeg (variasi lain yang digunakan oleh Désak Suarthi Laksmi) merujuk kepada panggilan titiran ‘perkutut’ dengan suara ‘kuar-ketengkung-kung-kung.’ Ngengkuk juga diartikan sebagai alun atau alunan, yang membawa kita kembali pada imaji gelombang memanjang dan bergulung-gulung. Namun, beberapa penyanyi tetap bersikukuh bahwa suara stacatto ‘nada pendek terputus’ titiran lebih cocok untuk menggambarkan frase akhir dari kidung dibandingkan dengan gelombang ombak.
Sekilas Kehidupan Ni Lemon Ni Lemon (kira-kira 1889-1974) terkenal sepanjang tahun 1940-an sebagai pragina arja (penyanyi-penari-tokoh dalam cerita). Menurut Madé Monog, Ni Lemon sering pentas dengan kelompok jangér Abian Timbul sebagai mantri ‘pangeran halus’ dan panggugal, penyanyi utama dari koor perempuan (lihat Bali 1928: CD #5). Para kemenakan perempuannya mengatakan bahwa Ni Lemon berusia empat puluh tahunan saat rekamanrekaman ini dibuat. Menurut keterangan keluarganya, meski adik laki-lakinya yang bernama Wayan Pantinon mempunyai tiga istri, Ni Nyoman Lemon tidak pernah menikah karena hal tersebut dipahami sebagai penghambat kebebasannya sebagai seorang penari dan penyanyi, dan beliau dikatakan memiliki “jiwa seni” yang tinggi. Penari I Wayan Sura dari Batuan mengatakan bahwa Ni Ketut Ribu, salah seorang penyanyi arja hebat dari generasi berikutnya, seniman Radio Republik Indonesia, juga tetap melajang walaupun ditaksir dan diburu banyak peminang. Pak Sura menjelaskan bahwa di masa lalu sering dikatakan bahwa taksu seorang wanita akan mulai pudar dan hilang setelah menikah.145 Ni Lemon mementaskan arja dengan berbagai kelompok dan berkeliling ke desa-desa lain. Salah satu unsur unik dari kehidupan seni Ni Lemon – menurut para kemenakan perempuannya – adalah ketika memasuki paruh lanjut kariernya, beliau memerankan Punta dalam kelompok-kelompok arja yang penari-penari lainnya adalah laki-laki.146 Punta adalah tokoh bertopeng setengah, panasar ‘penutur jenaka dan penerjemah’ dan merupakan hal yang luar biasa mengagumkan ketika seorang perempuan memerankan tokoh laki-laki kuat yang bersanding dengan Wijil ‘adik laki-laki’ (kartala) yang diperankan oleh seorang laki-laki. Wayan Rugeh mengatakan bahwa Ni Lemon sebagai tokoh laki-laki mantri adalah sama halnya dengan Ni Ketut Ribu (yang memerankan mantri buduh ‘pangeran gila’) dan belakangan ini, Ni Wayan Murdi. Hal tersebut secara bersamaan membuatnya dicintai oleh banyak laki-laki dan perempuan yang mengikuti pementasannya di manamana. Pak Rugeh mengambarkan suara Ni Lemon yang terekam ini sebagai kental penuh nuansa ‘tebal, padat dan mendalam’. 145
Percakapan pribadi (2014) Menurut Ni Ketut Arini, neneknya yang bernama Ni Klopok juga mementaskan tokoh Punta dalam kelompok arja di Banjar Lebah pada masa yang sama (Percakapan pribadi, 2014). 146
82
Menurut para kemenakan perempuannya, Ni Lemon mulai meninggalkan dunia peran saat mereka beranjak dewasa dan sepenuhnya berhenti saat beliau mencapai usia pertengahan hidupnya. Beliau secara antusias berganti peran sebagai penjual kopi dan nasi, menjajakan masakan dan kopi serta minuman lainnya di warung-warung sementara yang didirikan pada saat upacara-upacara keagamaan. Beliau pun berhenti menyanyikan Wargasari saat usia tuanya, memilih untuk membiarkan generasi muda mengambil peran berkesenian dan keagamaan itu. Salah seorang kerabatnya, Dadong Wirasta (Ibu Tin) melayani katering makanan dan menjadi pemandu acara untuk sebuah program pasantian di Radio Diva FM. Kelompok jangér Abian Timbul rajin pentas selama beberapa tahun, namun kini sudah tidak utuh saat ini. Kemenakan perempuan Ni Lemon yang berumur 67 tahun, Ni Ketut Mitar, berlinang air mata saat kembali mendengarkan suara bibinya. Kemenakan perempuan lainnya, Ni Madé Dantini menjelaskan bagaimana di masa sekarang mereka membaca Wargasari dari bukubuku saku terbitan masa kini yang ditulis dalam Latin. Mereka mengingat semua kata-kata dari Wargasari dalam trek #17, tetapi semua lirik yang direkam pada tahun 1928 sudah tidak digunakan lagi. Para perempuan dalam keluarga itu, dipimpin oleh Bu Kinon yang berumur 74 tahun, menyanyikan Wargasari bagi kami. Bergabung sebagai Sekaa Wirasanti, mereka biasanya pentas untuk upacara keagamaan tingkat keluarga dan odalan pura keluarga, dan sesekali untuk upacara-upacara keagamaan keluarga lain di lingkungan mereka.
CD Trek #17 Kidung Wargasari I Dinyanyikan oleh Ni Lemon dari Jangér Abian Timbul Bahasa: Bali Alus I Wargasari kapitu, I Wargasari pada bulan ketujuh (Januari), ana nonton linggihé, ada menyaksikan tempatnya, kénak dengan senang hati… (naskah terputus)
83
CD Trek #18 Kidung Wargasari II Dinyanyikan oleh Ni Lemon, Jangér Abian Timbul Bahasa: Bali Alus Tuhu sawané, Sungguh mayatnya, nyuh mulung soring rupit sarahiné, susunya masih sempurna bagaikan kelapa mulung yang berada dibawah, roma… rambut…
(naskah terputus)
Wargasari (secara harfiah berarti ‘seikat bunga’147 atau serangkaian persembahan suci) adalah nyanyian upacara keagamaan baik déwa yadnya ‘upacara persembahan suci kepada Ida Sang Hyang Widhi dan seluruh manifestasinya’ maupun pitra yadnya ‘upacara pemujaan tulus ikhlas dan suci kepada roh-roh leluhur’ seperti ngabén dan nyekah ‘upacara keagamaan yang berkaitan dengan kematian, kremasi jenazah dan penghormatan roh leluhur’, yang cocok dengan kata-kata dalam trek #18. Sugi Lanus menegaskan bahwa sari secara umum berarti intisari (juga serbuk sari) dan bisa merujuk kepada segala jenis persembahan. I Nengah Médera berpendapat bahwa Wargasari dinyanyikan untuk berbagai ragam upakara ‘upacara keagamaan’. Nyoman Suarka menyetujui bahwa Wargasari bisa dilantunkan untuk manusa yadnya ‘upacara suci demi kesempurnaan siklus hidup manusia’ seperti ngantén atau pawiwahan ‘pernikahan’ (walau kidung Tantri lebih umum digunakan) dan bahkan, bila naskahnya sesuai, untuk bhuta yadnya ‘pengorbanan suci kepada kekuatan makhluk gaib’. Ketut Kodi telah mengutarakan bahwa keharuman persembahan bunga mengundang dan memikat dewa-dewi untuk turun dan mengunjungi dunia saat berlangsungnya sebuah upacara keagamaan dan/atau pementasan seni; yang merupakan hal hakiki dalam hubungan antara manusa, alam dan kekuatan gaib. Belakangan ini, hal tersebut seolah terhambat dengan diperkenalkannya bunga plastik sebagai hiasan gelungan yang dikenakan oleh para penari.148 Walau Wargasari masih dinyanyikan di seluruh Bali, nyanyian Ni Lemon sungguh luar biasa menurut pengamatan dan pengalaman kami. Kemampuannya mengatur prana (baik pernafasan maupun penghayatan) setara dengan Ida Bagus Oka Kerebuak, menciptakan sebuah semesta kesementaraan, membiarkan dan membebaskan peralihan jarak nada-nada untuk meluapkan perasaan akan alunan lagu tanpa jeda. Hanya tujuh belas dan delapan belas suku kata dinyanyikan dalam masing-masing kidung yang hanya berdurasi tiga menit. Gaya nyanyian Ni Lemon yang mempunyai kekhasan semacam getaran dalam kerongkongan (yang disebut glottal pulsation dalam bahasa Inggris) masih bisa didengar sesekali, terutama pada perempuan berusia lanjut. Meskipun nyanyian kelompok Wargasari sering didominasi kaum perempuan, banyak kaset dan CD masa sekarang yang 147 148
Pengertian ini diberikan oleh I Nyoman Suarka (2007: 141) Percakapan (2013)
84
diputar melalui pengeras suara pada saat odalan dan upacara keagamaan lainnya menampilkan lantunan kidung oleh kaum pria. Gemetar melodi Ni Lemon yang beralih dari satu nada ke nada berdekatan lainnya, bisa disebut dengan berbagai istilah, namun salah satu yang paling umum adalah ngengkuk (ngengkeg) dan ombak ‘gelombang’. Istilah-istilah bisa berbeda dari satu penyanyi ke yang lainnya, tetapi seperti disebut sebelumnya, ngengkuk (atau ngengkeg) umumnya mengacu kepada suara titiran ‘perkutut’, semacam stacatto ‘penggalan nada-nada pendek’ namun bergelombang lemah-lembut, sering diungkapkan sebagai ‘kuar-te-tengkung-kung-kung’. Nyoman Suarka menjelaskan bahwa Kidung Wargasari digubah di Bali semasa Dinasti Gelgel pada abad ke-17 dalam gaya kisah percintaan dan petualangan Panji dalam Malat. Tokoh utamanya bernama I Wargasari dan kekasihnya bernama Ni Wargasantun (santun juga berarti bunga atau kembang).149 Citra puitis dari Wargasari menurut Suarka bisa juga menyatakan bahwa tubuh manusia adalah sekumpulan bunga. Metrum puitis kidung ini adalah Tengahan ‘Jawa Tengah’ yang disebut Puh Wargasari, tetapi versi yadnya ‘sakral dan persembahan suci’ yang sangat penting bagi kegiatan keagamaan di Bali hanya memuat dua pada ‘bait’ (kawitan ‘pengantar’) dalam metrum puitis Puh Wargasari yang sebenarnya. Semua bait lainya termasuk pangawak ‘isi’ dari lagu, menurut Suarka, dinyanyikan dalam sebuah “gaya yadnya” yang menyerupai geguritan tetapi sesungguhnya tidak mematuhi patokan pupuh (tembang) yang khusus, dengan bagian pokok (isi) yang dikumpulkan dari sumber-sumber berbeda demi keterhubungan tema dengan upacara keagamaan yang sedang dilangsungkan. Demi kenyamanan masyarakat dalam membaca semua kata-kata Wargasari yang dicetak dalam buku saku, carik ‘koma’ memangkas katakata dari kawitan menjadi frase-frase pendek (penanda ketukan bait-bait puh kidung yang sebenarnya hanya akan mempunyai koma pada akhir dari bait yang lengkap), dan juga berlanjut dengan koma-koma yang kurang-lebih tetapi tidak tetap setiap delapan suku kata, seperti geguritan dalam pola pupuh (tembang).150 Suarka juga menulis secara gamblang tentang ‘bunga sebagai sumber keindahan’ (2007: 141), bunga dan kembang sebagai ranah Kama, Dewa Keindahan, yang membarakan gairah dan nafsu berahi. Suarka menunjuk kelaziman dari kata dan imaji dari sekar, sari ‘bunga’ dalam syair dan nyanyian Bali, merujuk kembali kepada tiga kategori umum dari lagu sebagai sekar agung ‘bunga mulia’ (kakawin), sekar madya ‘bunga semenjana’ (kidung), dan sekar alit ‘bunga renik’ (tembang macapat). Kata nembang ‘bernyanyi’ dan tembang ‘lagu’ bermula dari kembang ‘bunga’. Dan walau beberapa penyanyi kakawin tidak memakai istilah tembang untuk kakawin, kebanyakan penyanyi akan mengatakan bahwa “semuanya adalah nembang.” Nyanyian Ni Lemon mendahului keberadaan pélog dan sléndro sebagai istilah umum dan sistem laras yang khas dan berdiri sendiri. Secara tidak sadar, banyak penyanyi masa sekarang mematuhi acuan pélog atau sléndro (mari kita sebut saja sebagai saih gong, saih 149
Santun juga mengacu kepada ‘persembahan’ yang termasuk memberikan sejumlah uang kepada seorang dalang, di mana seseorang akan berujar, “niki wenten sesantunan” ‘berikut kami haturkan persembahan’ (Percakapan dengan Sugi Lanus, 2014). 150 Percakapan dengan Nyoman Suarka (2014)
85
gendér atau saih angklung, seperti yang dilakukan pada tahun 1928). Bahkan penamaan beberapa nada khusus dalam guru ding-dong tidaklah sama dari satu penyanyi Wargasari ke yang lainnya, dan juga bukan pertimbangan sadar bagi kebanyakan penyanyi. Dari sudut pandang masa sekarang, mendengarkan (secara biasa) tinggi-rendahnya nada pertama yang dinyanyikan oleh Ni Lemon dalam rekaman ini mengungkap bahwa Wargasari ini adalah saih angklung, dimulai dengan dang atau déng (bila pelarasan sléndro adalah saih gendér wayang). Namun gagasan ini mulai buyar pada hitungan detik keduabelas, dan secara pasti, lenyap, setelah tiga puluh detik berlalu, ketika nada-nada terbebas dari aturan sléndropélog. Nampaknya bagi beberapa pendengar, lagu ini kembali menjadi saih angklung pada 01:22, mengembalikan nuansa ketetapan saih atau laras yang biasa diakrabi, tetapi frase jeda ini bernada lebih rendah (masyarakat Bali menyebutnya sebagai lebih “besar”) seolah tingkatan nada saih angklung telah dirubah. Tetapi dalam upaya menelusuri pola pikir tahun 1928, penamaan nada-nada yang sesuai dengan pengertian masa kini adalah upaya sia-sia untuk memahami kekayaan nada-nada yang mendahului pengunaan pélog-sléndro. Walau pelantunan Wargasari di masa kini tidak menunjukkan kekayaan warna suara tersebut, sesungguhnya masih terdapat keragaman. Sama halnya dengan diagram pada halaman 49-50, garis-garis tegak lurus ke atas menunjukkan tinggi-rendahnya alunan nadanada yang dinyanyikan, sementara garis tegak lurus ke bawah menunjukkan tangga nada kromatik Barat dan jarak-jarak nada yang seimbang seperti dalam piano atau keyboard.151
Diagram Frekuensi Kidung Wargasari I Trek #17152
151
Lihat penjelasan tentang diagram frekuensi pada halaman 46. Sama halnya dengan diagram frekuensi untuk Trek #4, perlu diperhatikan bahwa dalam tradisi nyanyian tunggal, atau dalam hal ini sekelompok penyanyi tanpa iringan instrumen, akan melakukan beragam pengubahan pada sebuah nada suara sepanjang pelantunan sebuah lagu. Perubahan-perubahan halus tersebut tidak disertakan dalam diagram sebagai tinggirendah nada yang unik, dan ukuran Hertz yang diberikan pada setiap nada berdasarkan tinggi-rendah nada yang paling sering terdengar dalam tembang. 152 Guru ding-dong tidak ditunjukkan dalam diagram karena penyanyi-penyanyi Wargasari tidak menggunakannya dalam mengajar atau pembahasan.
86
Pandangan-Pandangan Tentang Kakawin Pelantunan kakawin, kidung atau tembang berikut penafsirannya disebut papaosan atau mabebasan, sedangkan menyanyikan kakawin disebut mawirama atau makakawin. Penutur atau penyanyi disebut juru baca (dalam bahasa Bali Lumrah) atau juru paos atau sang ngawacen (dalam bahasa Bali Halus). Penerjemah disebut juru basa (dalam bahasa Bali Lumrah) atau juru teges atau sang negesin (dalam bahasa Bali Halus) dan bertugas menerjemahkan Kawi ke dalam bahasa Bali modern. Schumacher menulis: “Si juru basa hanya akan bisa memberi terjemahan yang benar dari naskah Jawa Kuna bila kelompok-kelompok suku kata yang dilantunkan bisa dipahami sebagai kata-kata. Ini juga berlaku untuk pada-pada yang panjang dengan tepat. Frase nyanyian sebagai perangkat pengaturan dan penyusunan dari pementasan ditentukan oleh bentuk pengertian sebuah pada, dan bukan oleh suatu rumus melodis pada letak suku-suku kata tertentu. Bentuk pengertian ini diungkap oleh ketepatan letak dari angsel basa, sebuah jeda dalam pelantunan untuk memasukan penerjemahan dalam bahasa Bali sehari-hari. Jeda ini dibatasi oleh sejumlah aturan pembatasan saat pementasan sebenarnya. Menurut Konta (1981: 11-2) perpaduan (sandhi) dan pembauran (sutra suara) dari suara-suara sebaiknya tidak dipisahkan oleh angsel basa. Bila kata-kata berikutnya berhubungan secara tata bahasa, angsel basa seharusnya hanya berbarengan dengan akhir sebuah baris. Namun, mengacu pada praktik pementasan sebenarnya, saya telah menyaksikan banyak pengecualian atau pelanggaran dari aturan-aturan ini, yang mana menyebabkan saya menanyakan keabsahannya.”153 Banyak ahli dan penggemar kakawin menyibukkan dirinya dengan bagian isi kesusastraan, filsafat dan keagamaan dari naskah-naskah namun kurang memberi perhatian terhadap seni pelaguan dari wirama. Istilah guru laghu dan susunan notasinya diperkenalkan di Universitas Udayana (UNUD) pada akhir tahun 1950-an yang mencantumkan naskahnaskah berhuruf Latin dari versi aslinya dalam Kawi ‘Jawa Kuna”. Ketika kakawin ditulis dalam aksara Bali, huruf panjang dan pendek (aksara diterjemahkan sebagai ‘huruf, suku kata” namun panjang dan pendek merujuk kepada huruf hidup) dilekatkan dalam bentuk tulis sebagai busana aksara ‘pembusanaan huruf hidup’. Terdapat delapan busana aksara yang dibaca sebagai guru ‘suku kata panjang’.154 Guru ‘panjang atau berat’ ditulis sebagai ‘–’ dan laghu ‘pendek atau ringan’ sebagai ‘u’. Raechelle Rubinstein membahasakan kembali ungkapan Ida Pedanda Madé Sidemen tentang “alunan-alunan nada kekawin yang digunakan, sangat kurangnya kepatuhan terhadap panjang suku kata saat menyanyikan kekawin, dan gaya penafsiran yang terdengar pada masa mudanya,” sama sekali tidak mengalami perubahan dari masa kecilnya pada akhir abad ke-19 sampai masa pendudukan Jepang (1945).155 Bukti dari empat kakawin yang direkam pada tahun 1928 menunjukkan bahwa gaya nyanyian berdasarkan busana aksara yang diwarisi dalam aksara Bali adalah berbeda dan jarang berhubungan dengan ketaatan kepada suku kata panjang dan pendek di masa sekarang. Para pendengar 153
Schumacher (1995: 500) Percakapan dengan Sugi Lanus, ahli sastra dari Universitas Udayana dan penulis dari Seririt (2004) 155 Rubinstein (1992: 89) 154
87
berpengalaman menyadari bagaimana praktik tersebut berubah-ubah dan dipahami sebagai sebuah kebetulan; lebih merupakan perwatakan bahasa Bali dibandingkan sebuah praktik kesusastraan. Namun seperti petunjuk Sugi Lanus, kita tidak bisa beranggapan secara tegas bahwa keempat wirama kakawin dari Geria Pidada (dan tujuh kakawin lainnya dari Belaluan yang diiringi gong kebyar yang terdapat pada terbitan berikutnya, Bali 1928: CD #4) mewakili kakawin Bali pada masa sekitar tahun 1928. Tentunya, Geria Pidada Klungkung adalah pusat dari kegiatan kesusastraan setidaknya sejak abad ke-19 dan kita bisa meyakini bahwa sebagai seorang penasihat kepada Beka dan Walter Spies, Ida Boda pasti memilih seniman-seniman terkemuka yang beliau kenali dengan baik. Bersama tokoh seperti I Gust Bagus Sugriwa, para ahli bahasa di Universitas Udayana di bawah pimpinan profesor Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, mengembangkan sebuah acuan tentang pengujaran kata-kata baku berdasarkan Canda, sebuah naskah abad ke-15 dari Jawa Timur,156 untuk menggantikan tradisi lisan Bali yang lebih bebas dan lebih mengutamakan guru basa (makna kata-kata) dan keindahan nyanyian. Rubinstein menulis, “Canda nampaknya menjadi sebuah risalah yang ditulis khusus untuk kalangan pengarang daripada pelantun kekawin, walau ada sebuah stanza yang sebelumnya mengungkap ‘sakweh sang sujana’ (semua orang budiman)…Tentu, kaidah ‘prosodi’ (kaidah irama dan bunyi dalam syair) kekawin yang diurai dan dikembangkan dalam Canda sama sekali tidak menyentuh ihwal pertunjukan kekawin. Naskah ini nampaknya condong kepada kebutuhan kalangan penggubah kekawin, walau ada kemungkinan di masa lalu, para pementas kekawin juga harus menguasai kaidahnya. Mestinya, para penyair Bali adalah pementas mahir dari kekawin. Selanjutnya, pelantunan kekawin hanya dimungkinkan bila metrumnya diatur secara benar, karena kekawin selalu dinyanyikan dari naskah lontar. Informasi penting yang terkandung dalam naskah tertulis memungkinkan pelantunannya sebagai nyanyian. Untaian kata dalam naskah yang ditulis dalam bahasa Kawi menentukan tinggirendahnya nada, alunan nada-nada dan irama yang digunakan.”157 Sebagai suatu unsur yang disebut Rubinstein sebagai “Guided Pepaosan” atau ‘petunjuk pepaosan’, aturan-aturan guru laghu ditegaskan lebih lanjut oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali, mulai tahun 1969 melalui berbagai lomba dan festival158 yang berlanjut sampai masa sekarang, salah satunya adalah Utsawa Dharma Gita yang diselenggarakan setiap tahun dalam Pesta Kesenian Bali.159 Acara-acara ini berfungsi untuk memperkenalkan kakawin dan secara bersamaan menanamkan sebuah kaidah keindahan yang mementingkan peraturan akan huruf hidup panjang dan pendek dalam sebuah ketepatan waktu yang dikembangkan sebagai perangkat ukur pecahan-pecahan dari masing-masing ketukan. Mawirama kakawin berkembang pesat di Bali selama enam abad sebagai sebuah tradisi lisan yang berjalin erat dengan naskah sastra – bertahan hidup dan hadir dalam gaya khas Bali dalam hal improvisasi ‘menggubah tanpa persiapan dan spontan’ dan perwujudan suara nan halus yang menyatu dengan pengalaman dalam diri. Tokoh-tokoh seperti Ida I 156
Rubinstein (2000: 133) ibid: 135 158 Rubinstein (1992: 102) 159 Meskipun diselenggarakan oleh Utsawa Dharma Gita dan bukan oleh panitia Pesta Kesenian Bali, keduanya berlangsung bersamaan di Taman Werdhi Budaya (Arts Center) Denpasar, Bali setiap tahunnya. 157
88
Déwa Gdé Catra, Ida Bagus Gandem dan lain-lain menunjukkan bahwa rekaman-rekaman ini memberi contoh bagaimana pada masa itu juru mabasan ‘penerjemah’ tidak sekedar membaca tafsiran dari sebuah naskah yang ditulis dalam Basa Bali seperti layaknya di masa sekarang, namun akan menanggapinya secara spontan, biasanya dari ingatan, katakata dalam kakawin saat dinyanyikan baris per baris. Bahkan juru mamaca ‘penyanyi’ sering kali menyanyi berdasarkan ingatan, bertumpu kepada tradisi lisan dan tidak selalu dari sumber tertulis. Nyoman Sukartha menunjukkan bahwa dalam berbagai pementasan kakawin pada saat upacara keagamaan di masa sekarang, yang kerap diamplifikasi melalui pengeras suara, terkadang terdengar seorang juru mabasan tersesat dalam buku yang sedang dibacanya dan memberikan tafsiran yang tidak sesuai dengan naskah yang dinyanyikan. Ini mencerminkan hilangnya senoktah kedekatan dan getaran rasa antara penyanyi dan penuturnya dan menunjukkan bagaimana aspek kreativitas ‘daya cipta pribadi’ tidak lagi seperti biasanya.160 Guru bisa dipahami lebih sebagai “penekanan” daripada aturan, dan Ida I Déwa Gdé Catra mengungkap bahwa seseorang tidak bisa merubah ketetapan guru laghu dalam teori, yang mana bisa diatur saat praktik atau pentas “di lapangan.” Lanjut ditambahkan bahwa nada pokok dari wirama juga terdapat dalam teori tetapi berlainan dalam praktik. Ia memberi contoh tentang seorang penyanyi wirama yang disegani yang mementingkan reng dibanding basa ‘bahasa’ membuat kata-kata dari wirama yang sedang dilantunkan sukar untuk dikenali secara jelas.161 Wayan Pamit dan lainnya juga memperingatkan bahwa pendengar masa sekarang akan menjelaskan keempat kakawin ini sebagai guru lamak (menyimpang dari aturan guru laghu) sementara pada saat yang bersamaan menghargai gelora prana ‘olah nafas dan kekuatan jiwa’ dan reng ‘kekhasan dari suara dan bentuk alunan nada-nada’. Déwa Gdé Catra menjelaskan cara pemanjangan guru pungsaka demi hadirnya mengurukan laghu ‘menjadikan laghu sebagai guru’ yang dipraktikkan di Bali Timur masa sekarang. Seperti dalam rekaman-rekaman kakawin ini, setiap carik masih dibagi menjadi berbagai frase pendek agar para pendengar bisa mendapatkan pengertian secara lebih singkat dan langsung, dibandingkan menyanyikan keseluruhan baris. Nyelekeh dalam mawirama adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Ida Bagus Gandem untuk menjelaskan pelantunan yang bersifat datar dan lurus, menjadi tidak menarik, dengan hadirnya perendahan nada-nada secara sekilas dan berulang-ulang untuk setiap baris.162 Ida I Déwa Gdé Catra menggambarkan nyelekeh sebagai “berputar-putar di tempat, tak kemana-mana seperti seekor anjing mengejar ekornya.” Semenjak muncul dalam catatan Ida Pedanda Gdé Madé Sidemen dan juga dibuktikan dalam rekaman-rekaman ini bahwa penerapan sistematis dari guru laghu ‘perhitungan suku kata’ tidaklah jelas pada tahun 1928, kita tidak akan larut membahas tata-caranya, karena hal tersebut tidak berhubungan erat dengan rekaman-rekaman ini, dan karena sudah banyak tulisan lain yang membahasnya. Tetapi agar para pembaca mempunyai sumber acuan terhadap beberapa penjelasan yang dicetuskan oleh para narasumber Bali (beberapa di antaranya bahkan tidak mempunyai pandangan bahwa guru laghu adalah aturan yang baru 160
Percakapan (2013) Percakapan (2013) 162 Percakapan (2006) 161
89
baru saja ditetapkan), beberapa sudut pandang mendasar akan diuraikan di sini. Jika guru laghu tidak dipraktikkan seperti halnya masa sekarang, lalu apa yang menjadi batasan dan prioritas keindahannya? Tentunya, guru basa dan pemahaman akan maksud pokok kakawin, dan menurut I Nengah Médera, “keindahan dari tembang dibandingkan dengan guru laghu,” dengan penekanan kepada mutu pelantunan nyanyian.163 Ida Bagus Gdé Diksa mengatakan kepada kami bahwa ketika pelaku kakawin Klungkung masa sekarang bertanding dalam perlombaan-perlombaan tingkat daerah-daerah, mereka mematuhi aturan guru laghu, tetapi tidak pada saat mereka menyanyikan wirama di wilayahnya sendiri. Di lingkup mereka sendiri, mereka mementingkan reng ‘gema bunyi’, taksu ‘kekuatan batin’ dan keindahan.164 Nengah Médera, juri langganan pada berbagai lomba kakawin, menyetujui bahwa walau kepatuhan yang ketat kepada guru laghu dibutuhkan dalam lomba-lomba, hal tersebut tidaklah diutamakan dalam suasana yadnya. Ida I Déwa Gdé Catra mengatakan kepada kami bahwa para penyanyi kakawin dari Karangasem malah sama sekali tidak mempedulikan kesertaan dalam lomba-lomba, termasuk dalam Pesta Kesenian Bali. Ia menambahkan bahwa ada baiknya bila ajang perlombaan semacam itu lebih sebagai perayaan keberagaman gaya wilayah-wilayah dibandingkan sebagai sebuah lomba yang hasil akhirnya bermuasal dari unsur keseragaman, karena kriteria penjurian akan cenderung condong dan tunduk kepada hegemoni daerah Denpasar dan Gianyar yang menggemari guru laghu formal, resmi, dan ketat.165 Reng diutarakan oleh Ida Bagus Gdé Diksa sebagai kumbang ‘lebah’ dalam Kawi, sadpada atau tumulilingan dalam bahasa Bali. Ia mengungkap bahwa reng dari wirama (pola alunan nada-nada) adalah kualitas tertentu dari getaran, gema atau dengung. Dalam diskusi yang sama, Nyoman Sukartha (dari Sankan Buana, Klungkung dan Universitas Udayana) sependapat. Kamus Bahasa Bali mengartikan reng sebagai gema.166 Ngreng adalah suara dari macan. Ngreng juga berarti bergetar atau dalam nyanyian kidung, matangguran. Dan bagi Ida Pedanda Bindu, reng berarti suara.167 Reng mempunyai ragam arti bagi sebagian besar penyanyi dan ahli karena melibatkan kombinasi tersirat akan getaran, rasa, dan bentuk alunan nada-nada. Penyanyi-penyanyi lainnya (sebagai contoh, Wayan Gendra dari Batuan) membicarakan reng secara tegas sebagai bentuk alunan nada-nada, sementara rasa dan kekhasan getaran adalah hal yang tersirat dan tersimpul di dalamnya. Stuart Robson mengatakan bahwa rangkaian nada tinggi dan rendah atau alunan nada-nada dalam kakawin (yang disebut siur di Bali) ditentukan oleh perhitungan suku kata er carik ‘baris’.Ia menambahkan, “Di Singaraja istilah reng diberikan kepada melodi, tetapi di Peliatan ada fakta yang berbeda: siur adalah melodi, yang selalu tetap tanpa mempedulikan siapa yang mawirama, sementara reng adalah resonansi atau suara nada, yang berbeda-beda tergantung penyanyinya.168 Reng memang sering mengacu kepada alunan nada-nada wirama dalam kakawin beserta gema atau dengungan. Rudiger Schumacher memberikan pandangan yang sedikit berbeda dan mengakui keterbatasan diskursus tentang praktik 163
Percakapan (2009) Percakapan (2013) 165 Percakapan (2014) 166 Kamus Bali-Indonesia 2008 167 Percakapan (2013) 168 Robson 1972 164
90
kakawin di masa lalu (yang akan ditimbangkan ulang dengan keberadaan rekaman-rekaman ini): “Aspek-aspek melodis yang berkenaan dengan kemampuan musikal dari seorang penutur pastinya memperhatikan penggunaan nada suara yang benar. Menurut Witana (1981: 12-3) aspek ini dipentingkan secara khusus dalam penjurian dan penilaian para peserta dalam lomba membaca kakawin. Walaupun persyaratan ini bukanlah hal utama dalam mabasan ‘konvensional’, sebaiknya tidak diremehkan dan ditinggalkan. Berbeda dengan naskah dan metrum, prinsip-prinsip bentuk melodi bisa ditemukan secara khusus dalam tradisi lisan. Oleh karenanya, berkaitan dengan masa lalu, kita hanya bisa menyatakan bahwa pementasan lisan memang ada dan berkembang: memahami fitur-fitur musikalnya terutama fitur melodinya hanya bisa dilakukan dengan memakai praktik masa sekarang sebagai acuan.169 Kemantapan tradisi lisan dijamin oleh fakta keragaman metrum yang menerapkan sejumlah kontur atau model melodis, yang mana bisa dipelajari dan diingat secara mudah. Reng, yang dipahami di Bali sebagai gagasan tentang alunan nada-nada, rupanya berasal dari bahasa Jawa Kuna hreng (‘suara rendah berkelanjutan, bergemuruh, menggerutu, menggeram, bersenandung’, Zoetmulder/Robson, 1982: 643). Tidak mudah mengenali atau mengartikan reng sebagai gagasan berkesenian yang terpenting dalam kakawin karena reng mempunyai beberapa lapisan arti dan kegunaan, dan gagasan ini dilafalkan secara baru dalam berbagai pelaksanaan yang nyata. Ragam melodi termasuk ornamentasi dan figurasi yang terkandung di dalamnya (gregel, eluk, leglegan) bergantung kepada karakteristik dan kebiasaan gaya dari masing-masing juru paos, asal daerah, dan pelatihan yang diterima. Bahkan apabila kita bisa menemukan semacam tata musikal dari pementasan kakawin, akan selalu ada elemen ketidakpastian karena seorang juru paos yang mahir pasti bisa (dan mau) melakukan improvisasi dalam cakupan dan ketetapan sebuah naskah, metrum dan model melodis yang leluasa.”170 Dari pandangan Ida Bagus Rai, cucu-keponakan dari penyanyi kakawin tahun 1928 Ida Bagus Wayan Buruan, unsur-unsur yang dipentingkan adalah sumerti dan suksma. Ia menggambarkan sumerti sebagai kemampuan dari seorang penyanyi untuk memahami isi kesastraan (bukan sekedar menerjemahkan) dan kemudian menerapkannya. Suksma adalah pembadanan dari isi, arti, yang pada akhirnya melibatkan yoga, bawa ‘kekuatan dalam diri’ rasa, dan cahaya ‘pancaran’ rasa. Bawa adalah perwujudan dari pancaran sinar surya dalam diri.171 Wibawa – sebuah kata yang berasal dari kekuatan dan daya tarik diri, menurut Ida Bagus Diksa, merupakan kekhasan suara kakawin yang penuh taksu ‘kekuatan 169
Syukurnya, rekaman-rekaman dari tahun 1928 ini memberi kesempatan bagi kita untuk mengalami fiturfitur musikal seperti yang dibahas oleh Schumacher, dengan pandangan yang melampaui parameter-parameter kekinian. 170 Schumacher (1995: 501) 171 Percakapan dengan Ida Bagus Rai (2013)
91
batin’ dan wayah ‘mendalam’.172 Bawa juga menunjukkan ‘hidup’ dan digunakan untuk menjelaskan ketika sekelompok pemain gamelan, sebagai contoh gendér wayang “bernafas sebagai satu.”173 Gagasan nyanyian berlandaskan yoga termasuk juga sapta windu, saat suara dan pernafasan dalam perwujudan mujarad namun penting, menembus ubun-ubun kepala seseorang seolah melalui sebuah lubang.174 Satu cara lain untuk mengamati atau mendengarkan wibawa dijelaskan oleh Schumacher (1995: 497) adalah “Menurut banyak informan, pelantunan kakawin membutuhkan suara penuh, dalam, kuat dan bergetar (wibawa), sebuah keharusan yang kembali menurut para informan, adalah jarang dipenuhi oleh perempuan. Ciri khas suara perempuan – pada tingkat nada menengah atau tinggi, lembut, lentur, dan merdu – dipahami sangat sesuai untuk menyanyikan kidung. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, pelantunan kakawin telah makin terbuka untuk perempuan, seperti yang bisa dilihat dalam kompetisi tahunan yang dikelola dalam dua kelompok (laki-laki dan perempuan).” Jarak-jarak nada yang sangat berdekatan yang menjadi ciri khas nyanyian kakawin Klungkung yang digambarkan sebagai padet ‘rapat, kuat’, sebuah kekhasan yang nampaknya dipengaruhi oleh gaya pupuh yang penuh dengan nada berjarak halus dari Ida Bagus Oka Kerebuak. Ciri khas lainnya dari gaya Klungkung adalah penekanan pada penurunan nada suara pada akhir hembusan nafas, yang terjadi pada akhir dari baris katakata atau setelah pengujaran makna dari baris tersebut. Gaya Klungkung yang juga senada di Karangasem dan Lombok, diungkapkan oleh Déwa Gdé Catra sebagai lebih sederhana, mendalam dan penuh daya, menitikberatkan pada mabayu ‘bernyawa’ dan olah nafas. Ciri khas halus lainnya dari gaya Klungkung, Karangasem, dan Lombok adalah ngemkem, di mana suara dalam rongga mulut berpolah semangat, gencar dan kuat, namun nafas, udara, tidak dihembuskan keluar. Unsur yang menonjol dari gaya ini adalah di dalam diri, tidak diarahkan keluar – wayah ‘mendalam’ dengan getaran yang masih bergerak, “dicuri” dari kerongkongan ke hidung, selanjutnya ke dada dan begitu seterusnya.175 Ida Bagus Gandem menjelaskan penerusan suara di dasar kerongkongan sehingga gema dan gaung yang lebih rendah bisa didengar. Masing-masing dari keempat baris dari pada ‘stanza’ mempunyai julukan nama, yang digambaran oleh Schumacher 176 sebagai: baris a: baris b:
baris c:
pangawit (permulaan) atau ngambilang (untuk mengambil, memulai). pananggap (yang menerima, mendengar dan/atau menjawab) atau masalah/mingsalah (untuk merubah, menghilangkan, dan/atau menggeser); suara atau melodi yang dipresentasikan dalam baris ‘a’ dirubah atau dijawab dalam baris ‘b’ pangumbang (yang mengalir). Label ini berhubungan dengan gagasan Bali tentang persepsi dan estetika (musikal) dari suara, diungkapkan dalam pasangan
172
Percakapan dengan Ida Bagus Gdé Diksa (2013) Yang bisa dibuktikan melalui permainan kelompok I Wayan Lotring pada Bali 1928: CD #3. 174 Percakapan dengan Ida Bagus Madé Gandem (2006) 175 Percakapan dengan Ketut Kodi (2013) 176 Schumacher (1995: 495) 173
92
baris d:
istilah yang berlawanan (pa)ngumbang-(pa)ngisep. Ini berarti suara yang lebih rendah, mengalir (pangumbang) diseimbangkan oleh suara yang lebih tinggi, ‘menyedot, meresapi’ (pangisep). Bersamaan mereka menyatu menjadi vibrasi suara musikal yang bernyawa dan hidup. Bersesuaian denga karakter pangumbang dari baris ketiga dari sebuah stanza, terdapat kecenderungan kuat untuk menitikberatkan jangkauan tala nada rendah pada permulaan baris ini pada saat pementasan. pamada atau papada (yang melengkapi sebuah stanza).
93
Sekilas Kehidupan Ida Madé Tianyar dan Ida Bagus Wayan Buruan Ida Madé Tianyar (Ida Bagus Madé Tianyar), juru teges atau sang negesin dalam rekamanrekaman ini adalah adik laki-laki dari Ida Bagus Oka Kerebuak dan telah turut serta dalam berbagai pementasan sebelum beliau dikukuhkan sebagai Ida Pedanda Gdé Madé Manuaba. Beliau menarikan dan melakonkan tokoh Prabangsa (kakak laki-laki dari Pangeran Panji dalam cerita Malat) untuk dramatari gambuh di Puri Klungkung. Beliau kerap pentas sebagai panasar kelihan, kakak tertua dari kedua tokoh lucu-pencerita-penerjemah dalam topéng. Jenis topéng Klungkung terdiri dari lima orang pelakon, disebut sebagai topéng panca, empat diantaranya ada dalam foto bertahun 1941 yang dipotret di Istana Mangkunegaran di Surakarta, Jawa. Bahkan sesudah memangku tugas pendeta, Ida Pedanda Gdé Madé Manuaba terus bergabung dalam berbagai kegiatan mabebasan dan menyanyikan kakawin. Ida Bagus Wayan Buruan, juru paos atau sang ngawacen berasal dari Geria Pidada Klungkung. Keponakannya, Ida Bagus Rai, mengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, mengingat pamannya sebagai seorang penyanyi yang berkarisma, menyentuh dan mengharukan pendengarnya dengan berbagai cara yang mendalam. Untuk keempat rekaman berikut, terjemahan dan tafsiran Ida Madé Tianyar ditunjukkan dalam tanda kurung.
CD Trek #19 Kakawin Bharatayuddha Dinyanyikan oleh Ida Bagus Wayan Buruan dan diterjemahkan oleh Ida Madé Tianyar Bahasa: Kawi dengan terjemahan dan tafsiran ke dalam Basa Bali Alus Tan iwön sadurgama nikang rana Sulit untuk diceritakan kengerian di medan perang (Inggih tan uningayang prasida pangabuté irika ring tegal Kuru kesetra) Sulit diceritakan kesusahan yang ada di médan perang ri surup ikang Diwākara, saat matahari terbenam, (ri sampun prasida ical ida sanghyang sahasra kirana) setelah matahari sudah tenggelam Sira Korawéndra Baginda Raja Korawa (sakadi mangkin ida Maharaja Kururaja) Baginda Maharaja Korawa Duryadana wuwusĕn dikisahkan
94
(ida ucapang manira mangkin) beliau yang saya ceritakan sekarang sĕdĕng ira umulih ketika beliau kembali (ke barak) (ya ta kocap matulak ida sané mangkin) konon sekarang beliau sedang kembali maréng kuta, konon sekarang beliau sedang kembali ke dalam kemah, (ida ngranjing irika ring wirayatana) beliau masuk ke istana barak pangupāya merencanakan strategi (tan mari nabdabang indik buat pangindrajala) tiada henti membuat tipu daya tingkah usaha (sapunika prasida pidabdab idané ratu) begitulah usaha beliau alawan para ratu bersama para raja bawahan (kairing antuk sahananing wiraroda) diiringi oleh segenap prajurit masamūha ring kulĕm, berunding pada malam hari, (pidaging punika sami ida kumpul mabebaosan duké wengi punika) mereka berkumpul, berbincang-bincang ketika malam hari itu sira sang gumantya siapa yang pantas menjadi penggantinya (daging yan sapasira wenang angantyani) berkenaan siapa yang pantas menggantikan gĕlarĕn merancang strategi
95
(pacang kajenengang) akan dinobatkan balapati sebagai panglima perang (jumeneng bupalaka) menjadi panglima perang winiwéka ring sabhā. hal itu yang dibahas dalam persidangan. (sané kabaosang ring panangkilan.) yang dibahas di balai sidang. Walau dorongan daya cipta berkesenian dan kesusastraan dari guru laghu, guru basa dan guru pungsaka baru dibisa dijelaskan dengan seksama melalui pembandingan antara nyanyian dengan naskah yang ditulis dalam aksara Bali yang mengandung busana aksara, Nyoman Suarka memberikan naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai berikut: Ton-iwön sadurgama nikang rana ri surup-ikang diwākara, sira Korawendra wuwusĕn sĕdĕngiran-umulih mareng kuta, angupāya tingkah-alawan para ratu masamūha ring kulĕm, sira sang gumantya gĕlarĕn balapati winiweka ring sabhā. Bharatayuddha ‘Peperangan Kaum Bharata’, di Bali, adalah salah satu bagian paling disukai dari epos Mahabharata yang menjadi sumber lakon bagi wayang, dramatari, dan kegiatan papaosan. Digubah oleh pasangan pujangga hebat, Mpu Panuluh dan Mpu Sedah, “Tokoh bangsawan yang menjadi panutan bagi kedua pengarang adalah Jayabhaya, Raja Kediri (Daha), dikenal melalui tiga prasasti bertahun 1135, 1136 dan 1144.” (Zoetmulder, 1974: 271). Syair dari Bharatayuddha seperti ini bisa digunakan dalam ngabén dan berbagai upacara yang terkait kematian lainnya karena berhubungan dengan perjuangan seseorang dalam kehidupan dan kematian, untuk kembali bersatu dengan Sang Pencipta.177 I Madé Bandem mengungkap bahwa frase-frase yang sedang dinyanyikan dalam rekaman ini mengisahkan pertemuan Duryadana dengan raja-raja sekutunya dalam menentukan siapa di antara Karna dan Salya yang akan memimpin pasukan ke medan perang. Akhirnya, Karna yang terpilih.178 Reng dari kakawin ini adalah Wahirat (Wirat) dengan wirama Tebusol, yang diungkap oleh pola suku kata panjang dan pendek per bait dan per pada. Terdapat banyak wirama kakawin yang mempunyai reng Wahirat, yang mempunyai kesetaraan gema, getaran, dengungan dan bentuk alunan nada-nada, namun dalam sebuah pola kesukukataan (sifat susunan suku kata) yang berbeda. Namun kami telah diberitahu bahwa wirama Tebusol pasti dalm reng Wahirat. Wirama Tebusol berbentuk 20 suku kata yaitu uu–/u–u/uu– 177 178
Percakapan terpisah dengan with Ketut Kodi and Nengah Médera (2014) Korespondensi email (2014)
96
/uuu/uuu/–u–/uu.
CD Trek #20 Kakawin Ramayana Dinyanyikan oleh Ida Bagus Wayan Buruan dan diterjemahkan oleh Ida Madé Tianyar Bahasa: Kawi dengan tafsiran dan terjemahan ke dalam Basa Bali Alus Wibhīsana Wibisana (Daging asapunika ida ida sang Punta Wibhisana) Begitulah beliau Sang Wibisana nahan ta sāmbatnira, demikian ratapan Sang Wibisana, (sapunika indik ida pandulamén idané) demikianlah perihal ratapannya Raghūtama Baginda Rama (né mangkin Ida Sang Ramabhadra) kini Sang Rama wawang matangguh sira, segera Sang Rama menasihatinya, (tan mari gelis ida ida pituhua reké ida) dengan cepat beliau menasihatinya Wibhīsana Wibisana (adi adi sang wipratmaka ja adi) adikku sayang yang bagaikan pendéta huwusta sudahilah! (pidaging puputang peragatang ja adi) berhentilah, sudahlah adikku haywālara, jangan bersedih hati,
97
(pidaging eda bas kadurus i adi nduhkitayang di pakayun) jangan terlalu berlebihan adikku sedih dihati apan saphala sebab merupakan buah karmanya (dening jati luih mapikolih adi nyaman beliné sang wipratmaka) karena betul-betul (Rawana) luar biasa adikku yang seperti pendeta Sang Dasasya Sang Rawana (dané rakan i adi sang yaksaraja reké dané) kakakmu itu, Sang Rawana, raja para raksasa179 ar pĕjah. beliau telah gugur. (ida néwata ngamarganin buat dini di tegal Indrakarana, purusa kaucap diguminé, keto adi nyaman beliné ja adi.) beliau gugur di medan perang yang agung, sungguh kesatria namanya di dunia, demikian adanya adikku, saudara yang aku sayang. Bagian dari epos Ramayana ini mengisahkan Rama yang melipur gundah hati Wibisana setelah kakaknya, Rawana gugur di tangan Rama dan bala-tentaranya. Kakawin ini dalam wirama Sarisi dan disepakati secara luas, dalam reng Saronca. Susunan guru laghu untuk wirama Sarisi di masa sekarang adalah u-u/uu-/u--/uu. Saat mendengar rekaman lagu ini, Ida I Déwa Gdé Catra menjelaskan bagaimana di Karangasem dan juga umum di seluruh Bali, para penyanyi bisa memberikan penekanan atau tidak sama sekali pada guru, mencerminkan rasa pangus ‘apa yang patut dalam suasana’ masing-masing, mengikuti tuntutan aksen dan perasaan manis ‘elok’. Nyoman Suarka kembali memberikan naskah aslinya dalam huruf Latin seperti di bawah ini: Wibhīsana nahan ta sāmbatnira, Raghūtama wawang matangguh sira, Wibhīsana huwusta haywālara, apan saphala sang Daśasyār pĕjah.
179
Raksasa adalah makhluk yang menyerupai manusia, berbadan tinggi besar dan mempunyai kekuatan supranatural.
98
CD Trek #21 Kakawin Boma (Bomantaka)
Dinyanyikan oleh Ida Bagus Wayan Buruan dan diterjemahkan oleh Ida Madé Tianyar Bahasa: Kawi dengan tafsiran dan terjemahan ke dalam Basa Bali Kapara (lumrah) yang dicampur dengan Kawi Hana laki Adapun saudaraku (Isinnye ada adi nyaman beliné adi) ada lagi wahai adikku tatwa nikang dadi tentang hakikat penjelmaan itu (nah prasida katuturan anaké dadi manusa) perihal kisah penjelmaan sebagai manusia ginawé ditakdirkan (kéto né kardininnya ) itu ditakdirkan anitya tidak langgeng (satatātata di jagaté) tidak langgeng dadinya kabéh, hakikat segala kehidupan (kéto dadianya maéndah-éndahan makejang, adi) demikianlah kelahirannya berbeda-beda, semuanya adikku anili-ilih silih berganti (yéning ia maganti-ganti kocap to adi) jika mereka berganti-ganti konon, adikku wisaya kesenangan indra (gegunan pajalané dini dadi manusa) perjalanan hidup menjelma menjadi manusia
99
anĕmu suka menikmati kesenangan (yadiastun upami nepukin né madan kasukan) meskipun umpamanya mengalami kesenangan bhinukti dinikmati (aketo né prasida tepukina) begitulah yang dinikmatinya mawéh prihati, akan membawa keprihatinan (pradé bisa masih nekayang ida duhkitan ida) bisa jadi membawa kedukaan prawala nikā tandanya (déning kantenanya) adapun cirinya sang anginak-inak orang yang suntuk dalam kesukaan (yan mungguing ida sang angénakangé tan énak) orang yang suka menikmati sesuatu yang tidak énak anilih suka itu akan hanyut dalam keasyikan saat berganti-ganti senang (yan ida prasida kaungguan suka) bagi orang yang senantiasa dihinggapi kesukaan mogha jěněk, hingga terlena (mawastu ta sida) sampai berhasil sang anĕmu bhoga orang yang yang menemukan kebahagiaan (yan mungguing pitui sang nepukin kasidan) bagi orang yang mencapai keberhasilan
100
tayan wruha ta sira jika orang yang tahu diri (aji kemoksahané apang tawang) ilmu kemoksahan hendaknya diketahui pinandhita yogya tirun. para pendetalah yang musti ditiru. (sang pandita patut tulad.) orang yang bijaksana pantas diteladani. Bomantaka adalah sebuah bagian dalam Mahabharata yang berhubungan dengan keagungan Dewa Krisna saat memberi nasihat kepada Arjuna. Mengingat keterkaitannya dengan gagasan moksa ‘kebebasan jiwa dari ikatan duniawi dan siklus reinkarnasi’, maka Bomantaka pantas dinyanyikan dalam upacara-upacara kematian dan sebagai wirama yang umum dibawakan, biasanya dinyanyikan dari ingatan. Nyoman Suarka juga menyiapkan naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai: Hana laki tatwa nikang dadi ginaway anitya dadinya kabeh, anili-nilih wisayeng manĕmu suka bhinukti maweh prihati, prawala nikā sang-angenak-inaking-anilih suka mogha jĕnĕk, sang-anĕmu bhoga tayan wruha ta sira pinandita yogya tirun. Kakawin ini dalam wirama Citrawilapa. Ida I Déwa Gdé Catra mengungkap bahwa Citrawilapa bisa berbeda antar dua puluh dan dua puluh satu suku kata. Kesepakatan yang hampir umum - berdasarkan bentuk alunan nada-nada, getaran, dan dengungan – menyepakati bahwa kakawin ini dilantunkan dalam reng Saronca, walau Saronca masa sekarang pantas untuk sebuah pola berjumlah dengan kisaran enam sampai dengan tiga belas suku kata. Wayan Pamit menghargai wirama yang terekam, sembari menjelaskan bahwa wirama ini terbebaskan dari peraturan ketat guru laghu. Ia menambahkan bahwa kebebasan adalah ciri khas budaya Bali.180 Sebagai sumber acuan, guru laghu dari Citrawilapa181 masa sekarang adalah uuu/u–u/u–u/uuu/uu–/uu–/uuu.
180 181
Percakapan (2013) Zoetmoelder (1974: 464)
101
CD Trek #22 Kakawin Smaradahana Dinyanyikan oleh Ida Bagus Wayan Buruan dan diterjemahkan oleh Ida Madé Tianyar Bahasa: Kawi dengan tafsiran dan terjemahan ke dalam Basa Bali Alus Sahaja Sungguh (Inggih sawiakti) Benar sumapangendah indah bagaikan pohon sappan (Caesalpinia sappan) (yan parnayang waluya waluya sang ahayu) jika diibaratkan seperti kecantikan seorang gadis söng ning parwata cahaya gunung itu (sapunika reké tegeh-tegehnyané i gunung) begitulah ketinggian gunung itu umurang, bagaikan bara, (aratu mategep masemu abang) sungguh kokoh tampak berwarna merah sahidu mirah bagaikan air liur merah (upama waluya i pees barak) seperti air liur merah asengit bergairah (irika tan mari ngesed ) manakala tiada henti menggésék kosap dibelai (keni i ratu kaesed) kena anda dibelai
102
dening angareki, oleh kekasihnya yang merayu, (antuk ida sang abagus sang angrasanin) oleh si tampan yang hendak mencumbu rayu kadi latu-latuning mas bagaikan percikan emas (waluya kagebug kasmarannyané i mas) percikan asmaranya bagaikan emas yang ditempa Hyang Wi Déwa Matahari (Ida Sanghyang Pretangga Kirana) matahari wawu cumarana, yang baru terbit, (ritatkala wawu sutéja wawu dumilah reké ide) manakala baru bersinar Aruna Fajar (Ida Sanghyang Aruna sapunapi) “Bagaimana Déwa Fajar? (juru basa bertanya kepada juru baca) kadi rajabang bagaikan raja sinar merah (waluya sang abagus aratu ida) ibarat si tampan, Tuanku bwat sanggrama sebagai tempat peraduan (saksat ring paturuan) bagaikan di peraduan piniturun. yang menurunkan (dari sorga).
103
(Ida nuroning sang ayu.) Si jelita disini dirasuki oleh Déwi Kecantikan. Nyoman Suarka kembali menyiapkan naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai: Sahaja sumepangendah song ning parwata umarang, sahidu mirah-asengit kosap dening-angareki, kadi latu-latu ning mas hyang we wahu cumarana, aruna kadi rajabang bwat sanggrama piniturun. Kakawin Smaradahana digubah oleh seorang pujangga yang menamakan dirinya Mpu Dharmaja “bisa diperkirakan karena memuat nama bangsawan pelindungnya,” dan rupanya, “muncul pada setengah-abad terakhir dari jaman Kadiri.”182 Zoetmulder merujuk kepada kerajaan Hindu Jawa di Jawa Timur (tahun 1042-sekitar 1222). Smara adalah nama lain dari Déwa Kama. Ida Bagus Madé Gandem menyimpulkan bahwa dasar cerita dari wirama dalam rekaman ini adalah bayangan seorang wanita cantik yang tengah kasmaran, melukis dalam anganangan tentang smaran “gairah’ dan asmara ‘senggama’. Di sini, tokoh yang sedang “berbicara”, menyingkap perasaan hatinya adalah sang pujangga sendiri, dan bukan tokoh dalam cerita.183 Kisah Smaradahana adalah salah satu lakon yang sering digunakan dalam légong dan juga cerita dramatis dalam baris malampahan. Beryl de Zoete dan Walter Spies memberikan ringkasan cerita sebagai berikut:184 “Raja raksasa Nilarudraka yang bentengnya terletak di kaki Himalaya telah sekian lama mengobarkan peperangan melawan surga. Dewa-dewa tak mampu menghancurkannya, karena Nilarudraka menerima perlindungan dari Çiwa yang telah menjanjikannya keabadian; tak akan mati di tangan dewa maupun manusia dan (juga) raksasa lain seperti dirinya. Hanya Çiwa yang bisa merancang sebuah jalan unutk menyelamatkan dewata; namun Çiwa sedang menjalankan yoga di Gunung Meru, dan tak ada seorang dewa pun yang berani mengusik pertapaannya. Para dewa bersepakat bahwa putra kesayangan Çiwa, Smara, Dewa Cinta, mesti dibujuk untuk melakukan tugas yang berbahaya tersebut, dan kemudian para dewa mencari keberadaan Smara. …Indra berkata kepada Smara, “Satusatunya harapan adalah membangunkan Çiwa dari semadinya, sehingga beliau bisa bersatu dengan Parvati dan melahirkan seorang putra dengan rupa yang mampu membunuh raksasa Rudraka”… Smara akhirnya terbujuk. Namun yang pertama, ujarnya, ia mesti pulang ke rumah…dan meminta izin dari Devi Ratih, istrinya… Ia menemukan saktinya menangis masygul dengan rambut lepek oleh air mata. Aroma wewangian bunga kental di udara…Smara menyela bahwa ia harus pergi dan membangunkan Çiwa, agar teringat kepada Parvati dan memberinya seorang keturunan, yang mesti berwujud selain dewa, manusia atau raksasa. Parvati memperingatkannya akan bahaya yang menghadang, dan memohon agar Smara tidak meninggalkannya. Namun Smara kabur saat Parvati terlelap 182
Zoetmulder (1974: 291-298) Percakapan pribadi (2006) 184 De Zoete dan Spies (1938: 323–324) 183
104
setelah semalam penuh memadu kasih dan berahi, dan pada akhirnya tiba, ditemani makhluk-makhluk gaib, di Gunung Meru. Tetapi dua raksasa yang menakutkan menjaga gunung dan mengecutkan nyali para pengawal surgawi Smara yang kabur tungganglanggang mengabaikan Smara seorang diri. Smara berdoa agar Çiwa terbangun. Ia menembakkan panah demi panah, tetapi semuanya berubah menjadi kalung bunga saat menyentuh Çiwa, sama sekali tidak mengusik semadinya. Lalu Smara mulai merapal mantra-mantra, memusatkan segenap pikirannya kepada satu titik. Seiring pemuncakan pikirannya, ia memanah lagi, dan mantranya menembus pikiran Çiwa dan beliau pun terjaga. Sebuah gempa dahsyat mengguncang saat Çiwa terbangun, dan amarahnya meluap tanpa batas. Beliau terbangun bagaikan gunung memuntahkan pijar api. Dalam murkanya, beliau membakar Smara menjadi abu.” Zoetmulder melanjutkan cerita.185 “Binasa oleh semburan api Śiwa yang menghanguskan, Smara menyampaikan salam perpisahan kepada Ratih untuk terakhir kalinya, meratapi nasib sengsaranya, di mana kemudian jiwanya melayang, meninggalkan raganya. Musim semi, dan segala yang permai dan indah di hutan, mengiringi ritus kematiannya… Wrhaspati menjelaskan mengapa mereka mendesak dewa cinta menjalankan tugas celaka itu. Ia mengingatkan Śiwa bahwa Nilarudraka, yang menebar ancaman bagi seluruh dunia, menerima kekuatan tanpa batas dari Śiwa sendiri, yang mengabulkan permintaan Nilarudraka bahwa tiada seorang pun selain putra Śiwa yang mampu mengalahkannya…Beliau juga harus menyadari apa yang akan terjadi kepada dunia bila cinta-asmara tak lagi bersemai. Akhirnya Śiwa menyetujui untuk menghidupkan kembali Kama walau dalam wujud tak terlihat dan tak tersentuh (suksma)…Sejak kepergian suaminya, Ratih menjadi mangsa dari rasa putus asa dan penderitaan cinta. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mandi berendam, “namun serasa menceburkan diri dalam api”…Ditemani dua pelayannya, Nanda dan Sunanda, ia menyusuri perjalanan panjang dan berliku melintasi pegunungan. Akhirnya kepulan asap tipis menunjukkan letak di mana Kama hangus terbakar…Dalam ratap sedih tak berkesudahan, Ratih menumpahkan dukanya dan terus menggugat kesetiaan Kama yang tak tergoyahkan. Śiwa, yang melihat Ratih hendak mencari kematian bersama kedua pelayannya, membuat bara api berkobar; seolah isyarat dari Kama, memanggil Ratih untuk menyusulnya. Ratih memohon agar Kama menunggunya di relung kematian yang penuh mara bahaya, menyucikan pikirannya melalui yoga, dan menceburkan dirinya ke dalam kilatan lidah api yang menghanguskan. Mereka pun bersua kembali, namun, karena mereka tak bertubuh, mereka tidak bisa bersatu-padu. Lalu, Kama merasuki hati Śiwa, sebagaimana Ratih menyelami hati Uma…Tak lama, persatuan mereka membuahkan hasil…Lahir seorang putra yang nampak memiliki kepala seekor gajah. Śiwa mengumumkan dengan lantang bahwa putranya akan bernama Sang Hyang Gana, yang akan menjadi peretas segala rintangan dan penghancur semua musuh-musuh para dewa…Nilarudraka, yang mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kelahiran putra Śiwa, memutuskan bahwa perang melawan para dewa tak bisa ditunda lagi. Para raksasa menyerbu dan menyebarkan kehancuran di mana-mana. Dalam kepanikan, para dewa kabur mencari perlindungan Śiwa, yang menunjukkan kepada mereka seorang anak yang akan menjadi juru selamat para dewa. Mantra-mantra dan yoga digunakan untuk mempercepat pertumbuhannya dan Gana dibekali senjata-senjata sakti. 185
Zoetmulder (1974: 292–295)
105
Pasukan bersenjata dewata bergegas ke medan perang, dengan Gana yang diiringi Brahma dan Wisnu, mengawasi dari belakang…Ketika bala tentara raksasa terancam kekalahan, penguasa para raksasa pun muncul dan mengamuk murka membuat para dewa kalangkabut melarikan diri. Hanya Gana yang berdiri tegak, menantangnya dalam pertempuran yang begitu sengit. Ketika raja raksasa melukai Gana dengan senjata bertatah berlian dari Śiwa, bajra, dan berhasil memenggal gading kirinya, Gana membalas, mengayunkan kapak, kutara, salah satu senjata sakti yang dihadiahkan dewata, dan memotong tangan dan kaki lawannya, dan akhirnya menebas kepala raja raksasa. Gana dengan percikan air suci amerta menghidupkan kembali pasukannya yang gugur dalam peperangan, dan semua bersorak memujanya sebagai Gananjaya. Dunia pun kembali damai… Śiwa lanjut berkuasa di surga selama banyak zaman (yuga) didampingi saktinya, Uma dan putra-putranya, Gana dan Kumara. Sebagai Ardhanariswara (dewata separuh wanita dan pria) beliau adalah pencapaian dan pengabulan dari segala ciptaan yang hendak menyatu dengan dewa tertinggi…Pupuh terakhir berhubungan dengan inkarnasi Kama dan Ratih. Adalah Uma yang sedang berpelesir, yang melihat gundukan abu dari pasangan dewata cinta tersebut, dan didorong oleh perasaan terharu dan terima kasih, berhasil mendapatkan sebuah janji dari Śiwa, bahwa dewa-dewi tersebut akan kembali hidup…Permohonan maaf dari sang pengarang atas ketidaksempurnaannya. Ia berharap tidak dilahirkan kembali sebagai seorang kawi, yang merupakan pekerjaan melelahkan dan penuh derita.” Ini adalah Wirama Girisa dengan enam belas suku kata per carik ‘koma yang menandakan baris’. Zoetmulder (1974: 459) menulis guru laghu dari Girisa sebagai uuu/uuu/– – –/ – – u/uuu/u dengan suku kata terakhir bisa dilantunkan panjang atau pendek. Mengikuti kata pinituran, satu lagi carik akan melengkapi sebuah bait atau pada. Umumnya pada masa sekarang, pola guru laghu bersama kekhasan getaran, dengungan dan bentuk alunan nadanada akan mengungkap reng. Nyoman Suarka, Nengah Médera dan Wayan Pamit menyepakati bahwa ini adalah Saronca dan Ida Bagus Gandem sependapat, sembari menambahkan bahwa ini serupa dengan Saronca yang panjang, yang menurutnya rada membingungkan. Sementara Ida I Déwa Gdé Catra menyetujui bahwa ini berdekatan denga Saronca, ia mengingatkan kita semua bahwa reng Saronca mempunyai paling banyak tiga belas suku kata per carik ‘baris’ (dan minimum enam). Ia menyarankan bahwa ini adalah reng Sikarini, yang umum dengan Wirama Girisa. Pendapat tentu bisa berbeda satu sama lain mengingat gaya pelantunan wirama adalah sangat berbeda di tahun 1928 dengan yang dilakukan di masa sekarang. Analisa frekuensi memastikan setidaknya sembilan nada unik dilantunkan dalam nyanyian ini dengan alunan nada yang jauh lebih halus.
106
Diagram Frekuensi Kakawin Smaradahana Trek #22
Lihat penjelasan tentang diagram frekuensi pada halaman 46. Guru ding-dong tidak terdapat dalam diagram karena penyanyi wirama kakawin tidak menggunakannya dalam mengajar dan pembahasan. Perlu diingat bahwa dalam tradisi menyanyi tunggal, sang penyanyi yang tanpa iringan akan melakukan pengubahan-pengubahan terhadap tinggirendahnya suatu nada (dalam tangga nada) sepanjang pelantunan lagu. Sentuhan-sentuhan itu tentunya akan bertambah lagi akibat penyelaan-penyelaan yang dilakuan oleh juru basa. Perubahan-perubahan yang lunak tidak disertakan dalam diagram sebagai tinggi-rendah nada yang unik.
107
108
109
Keterangan Tentang Film Tanpa Suara dalam DVD Selain CD BALI 1928 - Volume II Tembang Kuna: Nyanyian dari Masa Lampau yang bermaterikan berbagai tembang, kidung dan kakawin dari seluruh Bali pada masa tahun 1930-an, Bali 1928 – Volume II ini juga menyertakan sebuah DVD yang berjudul Imaji dari Masa Lampau yang bermaterikan berbagai cuplikan film lingkungan alam dan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali termasuk juga beberapa cuplikan film tentang tokohtokoh terkenal Bali seperti Ida Pedanda Madé Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, dan Ida Boda. Semua cuplikan dalam DVD bersumber dari film-film bisu karya Colin McPhee, kecuali video Mamik Ambar yang menyanyikan Pangkur Sasak, direkam oleh Dr. Edward Herbst pada tahun 2006. Colin McPhee (1900-1964) adalah seorang komponis dan pianis asal Kanada, yang ketika menetap di New York pada sekitar tahun 1930 mendengar untuk pertama kalinya beberapa hasil rekaman dari Odeon. Dalam memoirnya, A House in Bali, ia menulis, “Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa beberapa piringan hitam itu akan merubah keseluruhan hidupku, mendorong dan membawaku kemari, mencari musik dan pengalaman yang begitu sulit kujelaskan,” McPhee dan istrinya, Jane Belo yang juga seorang antropolog tiba di Bali pada tahun 1931 dan mereka giat melakukan penelitian selama kurun waktu tahun 1931-38, dan ini adalah sebagian dari film-film yang dibuat McPhee. Sebagai catatan, identifikasi para individu dan lokasi-lokasi dalam film berikut pemberian subtitelnya, dilakukan oleh penulis dan tim peneliti berdasarkan penelitian lapangan untuk memperjelas segenap pemandangan dan kegiatan dalam dokumentasi tersebut. Ida Pedanda Madé Sidemen sebagaimana direkam oleh Colin McPhee sekitar tahun 1931-1938. Raechelle Rubinstein menulis:186 “Pedanda Made dilahirkan pada tahun 1878 dan merupakan anggota masyarakat Intaran, salah satu dari dua desa adat yang melengkapi unit administratif modern (perbekelan) Sanur…Pedanda Made adalah salah seorang tokoh terhebat yang dimiliki Bali pada masa abad ke-20, dikenal dan dihormati karena pencapaiannya dalam berbagai bidang, di antaranya sebagai pendeta Brahmana (pedanda), ahli persembahan (banten), pembuat topeng, pembuat kendang kayu bulat memanjang dan mempunyai rongga suara (kulkul), arsitek tradisional (undagi), dan seorang penyair, penulis, ilustrator, penutur, penerjemah dan penulis lontar. Beliau bukan saja kompeten dalam masing-masing bidang tersebut, tetapi merupakan ahlinya, seorang perfeksionis, seorang maestro.” “Laporan media lokal dan catatan lainnya mengungkap bahwa Ida Pedanda Madé Sidemen meninggal pada usia 125 atau 136 tahun (lihat sebagai contoh, "Pesan Mengesankan Almarhum Ida Pedanda Made Sidemen", Bali Post, 12 September 1989, pp. I, XI). Namun, penelitian seksama terhadap tanda (cap stempel) penerbitan pada berbagai manuskrip lontar yang disalin secara konsisten oleh beliau, menunjukkan bahwa bilamana beliau menuliskan usianya, selalu sesuai dengan dua digit terakhir dari
186
Rubinstein (1996: 173–191)
110
kalender Saka. Sehingga, beliau mengkalkulasinya berdasarkan perhitungan tersebut dibandingkan dengan penanggalan umumnya. Ini berarti beliau hidup sampai usia 106 atau 107 tahun.187
I Gusti Ketut Kandel adalah pembuat topéng terkemuka dari Jeroan Abasan, Badung (sekarang Denpasar). Beliau juga adalah undagi ‘arsitek tradisional’ yang mahir dan adalah salah seorang dari beberapa desainer yang merancang Museum Bali pada awal tahun 1910. Museum tersebut dibuka secara resmi pada tahun 1932. Selain karya topeng yang digunakan dan dikoleksi oleh berbagai penari, karya beliau lainnya seperti barong, Rangda, barong landung dan topeng jauk juga menjadi artefak-artefak sakral di berbagai pura di daerah Badung dan Denpasar. Ida Boda direkam saat sedang mengajar légong bersama gamelan palégongan Kelandis. Mamik Ambar (1920/1922–2014) telah lama dihormati dan dirayakan sebagai penyanyi cepung, sebuah jenis tembang Sasak yang bersumber dari naskah lontar Monyeh, yang ditulis dalam bahasa Sasak-Jawa dan dinyanyikan dalam campuran bahasa Sasak, Bali dan Jawa. Sebuah kelompok cepung terdiri dari suling, redep (rebab ‘alat gamelan senar, dibuat tegak, baik bertumpu di pangkuan atau di lantai dan dimainkan dengan busur), dan pemakhitanaos ‘penutur-penyanyi’, punggawa ‘penerjemah’ serta penyokong ‘pendukung’ yang turut serta ikut bernyanyi. Di Lombok, pandangan publik tentang cepung tak bisa dipisahkan dengan sosok Mamik Ambar, yang lebih dikenal dengan sebutan Ambar. Kami mengunjungi dan bertemu dengannya di Cakranegara, Mataram, Lombok Barat, dalam dua kali kunjungan panjang pada tahun 2006 dan 2009, yang dilengkapi dengan sesi menembang petang hari di kediaman rekannya Ida Ketut Pidada. Video dalam DVD direkam oleh penulis pada salah satu kesempatan menyanyi di siang hari, di kediaman Ambar. Cepung dari Lombok (yang ditranskripsi dari rekaman dengan bantuan Ambar dan Ida Nengah Pidada) akan dimuat dalam Bali 1928: CD #5. Kita juga bisa mendengar Mamik Ambar dalam rekaman kaset tahun 1970-an yang diproduksi di Bali.188
187
Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (1999: 161) diterbitkan oleh Pemda Kodya Denpasar, yang juga menetapkan tahun kelahirannya sebagai tahun 1878 (Tahun Saka 1800). 188 Cepung: Jagaraga-Cakranegara Lombok Barat. B-558. Denpasar: Bali Record.
111
Pangkur Sasak Dalam DVD Imaji dari Masa Lampau Dinyanyikan oleh Mamik Ambar Video direkam di Cakranegara, Lombok (2006) Transkripsi dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ida I Déwa Gdé Catra189 Ida Dané sinamian, para hadirin semua, kula parek angemban tugas suci, hamba datang mengemban tugas suci, kaula darma kautus, kewajiban hamba diutus, saking guru negara, dari penguasa negeri/pemimpin, angerambat berana haji pisuka luhur, yang kekayaan harta bendanya adalah warisan mulia, sangat sisip kahula, sangat bersalah hamba ini, ampura siu ping saketi. maafkan seribu kali seratus ribu.
Edward Herbst 2014 Untuk keterangan lebih lanjut, pemutakhiran data dan cuplikan video lainnya, silahkan kunjungi situs web www.arbiterrecords.org dan www.bali1928.net Mari bergabung dengan proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’ kekayaan dan keragaman seni-budaya Bali dari masa lampau ini. Bila pembaca mempunyai keterangan tambahan mengenai identitas orang-orang atau lokasi-lokasi yang terdapat dalam cuplikan film dan foto-foto dalam CD, maupun cerita dan sejarah yang berkaitan dengan proyek ini, mohon kirimkan informasinya ke alamat email
[email protected] atau
[email protected] untuk kami pelajari lebih lanjut.
189
22 Agustus 2013
112
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Proyek ini sangat diuntungkan oleh partisipan yang istimewa dan berjumlah besar. Rekan yang sangat berperan untuk volume Tembang Kuna ini adalah I Ketut Kodi; yang setidaknya memakai dua topi (atau tepatnya sebuah gelungan ‘mahkota’ dan udeng ‘destar’) sebagai seorang ahli dan rekan penelitian serta ‘informan’, yang selalu berorientasi pada keahliannya sebagai tukang tapel ‘pembuat topéng’, dalang, penari topéng dan arja. Kenyataan bahwa kami berdua gandrung ‘tergila-gila’ dengan nyanyian ini telah membuat proses dokumentasi dan penemuan menjadi lebih berharga. Tim peneliti utama untuk volume Tembang Kuna termasuk juga Ni Ketut Suryatini (Kayumas Kaja) dan Ni Ketut Arini (Lebah). Penasihat ahli untuk publikasi di Indonesia adalah I Madé Bandem. Walau proyek ini tidak akan terlaksana tanpa diskursus lintas-subyek yang mendalam melalui kerjasama dan kebersamaan yang menyenangkan selama bertahun-tahun, saya bertanggung jawab atas segala kesalahan yang mungkin ditemukan para pembaca dalam artikel ini. I Nyoman Suarka melakukan transkripsi dan terjemahan tekstual kali pertama dari bahasa Bali dan Kawi ke bahasa Indonesia, bekerja pada tahun 2003 dengan kaset-kaset yang saya dapat dari Arsip Etnomusikologi UCLA. Selanjutnya, seiring kualitas dari sumber-seumber audio kami membaik dengan penggunaan Sonic Depth Technology dari Arbiter of Cultural Traditions, dan juga akses kepada piringan-piringan hitam 78 rpm yang asli, kami dapat membedakan pengucapan para penyanyi dengan lebih seksama dan baik, sehingga pada tahun 2006 kami membentuk sebuah tim penerjemah yang beranggotakan I Nengah Médera, Ni Nyoman Candri, I Ketut Kodi, I Nyoman Catra, Ni Désak Madé Suarti Laksmi, I Wayan Dibia, dan penulis sendiri. Endo Suanda (Tikar Media Budaya Nusantara) membantu kami memvisikan dan mengatur proyek Bali 1928 pada masa permulaannya dan ikut mengambil peran sebagai penasihat untuk publikasi dari Bali 1928, Volume I: Gamelan Gong Kebyar. Penelitian pendahuluan kami pada tahun 2003 melibatkan berbagai jenis gamelan dan nyanyian, dengan sebuah tim yang beranggotakan Ketut Suryatini, I Madé Arnawa (Tunjuk), Wayan Dibia (Singapadu) dan penulis sendiri. Tim inti kami pada masa tahun 2006, 2007 dan 2008 – 2009 terdiri dari Ketut Kodi, Ketut Suryatini dan penulis sendiri, dengan Ketut Arini, Wayan Dibia dan asisten proyek I Nyoman Suryandana (Ongki). Ucapan terima kasih setulusnya kami sampaikan kepada para seniman, informan dan konsultan yang telah membantu penggarapan proyek Tembang Kuna ini termasuk Ni Nyoman Candri (Singapadu), Ida Bagus Pidada Kaut (Geria Pidada, Klungkung), Ida I Déwa Gdé Catra (Sidemen/Amlapura), I Wayan Pamit (Kayumas Kelod), Ida Wayan Padang dan Ida Madé Basma (Budakeling), Mamik Ambar (Cakranegara, Lombok), I Wayan Rugeh (Abian Kapas), I Nyoman Sukartha (Sankan Buana, Klungkung), Ida Bagus Pujiarsa (Geria Budha Kaliungu), Pedanda Gdé Ida Bagus Rai (Tampakgangsul), I Wayan Konolan (Kayumas Kaja), Ida Bagus Madé Gandem, Ida Nengah Pidada, Ida Ketut Pidada (Cakranegara, Lombok), I Madé Monog (Kedaton), Mémén Redia (Kedaton), Ida Wayan Ngurah (Budakeling), Ni Wayan Murdi (Sumerta), Ni Jero Ranten (Sukawati/Abian Kapas), Ni Désak Madé Suarti Laksmi (Manggis), I Wayan Gendra (Batuan), Ida Bagus Gdé Diksa (Aan, Klungkung), Ida Bagus Rai (Geria Pidada, Klungkung), I Wayan Beratha dan I Nyoman Yudha (Sadmerta–Belaluan), I Madé Rudju dan I Ketut Kanthor (Batuan),
113
Bu Kinon, Dadong Wirasta (Ibu Tin) dan Ni Ketut Mitar (Abian Timbul), I Déwa Nyoman Widja dan Ni Désak Madé Warni (Penarukan, Singaraja), Ida Pedanda Gdé Oke (Geria Toko, Sanur), Mangku Regig (Abian Nangka), I Wayan Sinti (Ubung), I Madé Sija (Dalang Bona), Ida Pedanda Ngurah Bindu (Kesiman), I Madé Netra, I Wayan Diya dan I Wayan Pogog (Lebah), I Gusti Ketut Sudhana (Negara), I Nyoman Rembang (Sésétan), I Wayan Tangguh (Singapadu), I Nyoman Sumandhi (Tunjuk), I Ketut Wirtawan, I Wayan Sura dan Ida Bagus Tegog (Batuan), I Nyoman Sudiana (Sésétan), N.L.N. Swasthi Widjaya (Denpasar), I Wayan Redia, Anak Agung Wira dan Jero Kusuma (Kedaton), I Nyoman Sudirga (Abang), Anak Agung Gdé Ngurah Oka Jaya (Puri Klungkung), Ni Luh Sustiawati (Kedis Kaja), Drs. I Gusti Madé Peredi (Jeroan Abasan), I Nyoman Astita (Kaliungu) dan I Gusti Bagus Sudyatmaka Sugriwa (Ida Rsi Agung Bungkulan) serta Jro Mangku Gedé Penyarikan, Jro Gedé Kehen dan Jro Mangku Gedé Dalem Purwa dari Pura Kehen (Bangli). Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada I Gedé Arya Sugiartha, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang senantiasa menjadi tuan rumah bagi seminar-seminar kami tentang berbagai isu yang berkaitan dengan riset dan dokumentasi. Penghargaan setinggi-tingginya kami haturkan atas partisipasi berbagai seniman dan informan lainnya yang juga memberi masukan-masukan penting untuk keseluruhan proyek Bali 1928 ini termasuk I Wayan Begeg (Pangkung), I Putu Sumiasa (Kedis Kaja), Nyoman Astita dan I Ketut Gedé Asnawa (Kaliungu), Guru Rsi Gdé Adnya (Sawan), I Gusti Gdé Tika dan I.G.B.N. Pandji (Bungkulan), I Wayan Kelo (Kuta), I Dé Guh (Titih), I Wayan Locéng (Sukawati), I Madé Sarin (Ketapian Kelod), I Déwa Putu Berata (Pengosékan), I Wayan Aryasa (Subamia, Tabanan), Ni Nengah Musti (Bubunan/Kedis), I Wayan Weker, I Gdé Kuat Kusnadi, I Gdé Ratep Suryasa dan I Ketut Artika (Busungbiu), I Wayan Suwéca (Kayumas), I Gusti Ngurah Gedé Sumantra dan I Gusti Ngurah Agung (Tegaltamu), I Putu Mataram, I Wayan Budiyasa, I Ketut Nurina, dan I Gdé Putra (Jineng Dalem, Singaraja). Banyak terima kasih kami sampaikan kepada José Evangelista atas bantuannya dalam perumusan diagram-diagram frekuensi. Terima kasih kami sampaikan juga kepada Hildred Geertz, Thomas M. Hunter, Raechelle Rubinstein, Sugi Lanus, Nyoman Astita, Wayan Dibia, I Nyoman Darma Putra, I Madé Suastika, Made Netra, atas saran-sarannya dalam bidang bahasa, literarur dan isu-isu kebudayaan, serta juga kepada Anak Agung Madé Djelantik dan Anak Agung Ayu Bulan Trisna Djelantik yang berbagi kenangan-kenangan dan surat-surat dari Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik, dan juga Mangkunegara VII dari Surakarta. Akses kepada koleksi piringan hitam 78 rpm telah dimungkinkan atas kebaikan University of California, Los Angeles, Ethnomusicology Archive and the Colin McPhee Estate (terima kasih kepada John Vallier, Maureen Russell, Anthony Seeger, Marlowe Hood, Jacqueline DjeDje dan Aaron Bittel), Museum Nasional Indonesia di Jakarta (Retno Sulisthianingsih, mantan direktur) dan Sana Budaya di Yogyakarta, Laurel Sercombe di University of Washington, New York Public Library, Martin Hatch di Cornell University, Nancy Dean dan Ellen Koskoff, Totom Kodrat dan Soedarmadji J.H. Damais di Jakarta (dan juga koleksi Louis Charles Damais), Wim van der Meer dan Ernst Heins di Jaap Kunst Archives, University of Amsterdam, Jaap Erkelens, Anak Agung Ngurah Gdé Agung, Puri Karangasem, Allan Evans, Michael Robertson, dan Pat Conte.
114
Ucapan terima kasih khusus juga kami sampaikan kepada Rocio Sagaon Vinaver, Djahel Vinaver dan José G. Benitez Muro atas izin yang diberikan untuk memakai rekaman film dari Bali karya Miguel Covarrubias yang telah sangat berguna untuk menggugah kembali kenangan-kenangan masa lalu dari para seniman generasi tua, dan kepada Laura Rosenberg dan John Coast Foundation untuk video Gong Peliatan dalam Ed Sullivan Show. Film-film Rolf de Maré disertakan dalam proyek ini atas izin dari Dansmuseet dan the Rolf de Maré Foundation, Stockholm. Reproduksi foto-foto Arthur Fleischmann digunakan atas izin keluarga Arthur Fleischmann. Kami haturkan terima kasih setulusnya atas kemurahan hati dan kepercayaan dari UCLA Ethnomusicology Archive, yang telah meminjamkan banyak piringan hitam aslinya dan juga cuplikan film dan foto-foto oleh Colin McPhee yang sungguh tak ternilai dan berperan begitu besar dalam proyek ini. Terima kasih khusus kepada Philip Yampolsky atas ketangkasannya memakai dua topi besar: satu sebagai Program Officer di Ford Foundation, Jakarta (yang mendukung penelitian kami pada tahun 2003, 2006 dan 2007) dan kemudian satu lagi sebagai informan akan sejarah dan keberadaan rekaman-rekaman Odeon-Beka, yang tanpa perannya, koleksi ini tak mungkin kami kumpulkan dan kompilasi. Terima kasih kepada Ralph Samuelson dan Asian Cultural Council atas pendanaan penelitian selama tahun 2008–2009, dan juga terima kasih kepada Heidi Arbuckle di Ford Foundation, Déwa Putu Berata dan Emiko Susilo dari Sanggar Cudamani yang telah membantu kami pada masa permulaan proyek dari Ford Foundation. Dukungan juga datang dari Ray Noren dan juga Yayasan Bali Purnati. Banyak terima kasih kami sampaikan kepada Andy Toth, Anthony Seeger, Judith Becker, Mark Slobin, June Nash, Ruby Ornstein, David Sandberg, Hedi Hinzler, John Stowell, Evan Ziporyn dan Sue Flores atas nasihat dan dorongan yang membesarkan hati kami, serta Robert Buckley dan para staf Research Administration di Hunter College–CUNY serta RF-CUNY atas dukungannya. The Research Foundation of the City University of New York (CUNY) telah menerima hibah dari The Andrew W. Mellon Foundation untuk mendukung penelitian yang melibatkan penulis sebagai pemimpin proyek, etnomusikolog dan peneliti utama, bersama Arbiter of Cultural Traditions di New York, dipimpin oleh Allan Evans, dan STMIK STIKOM Bali, di bawah koordinasi Marlowe Makaradhwaja, di Indonesia. Bali 1928 Project, “Restoration, Dissemination and Repatriation of the Earliest Music Recordings and Films in Bali” akan menghasilkan lima volume CD, DVD dan kaset di Amerika Serikat dan Indonesia, dan juga menyediakan arsip audio-visual melalui pusat data seni dan teknologi berbasis internet di http://www.bali1928.net. Kami sampaikan juga terima kasih setulusnya kepada panel Focus Group Discussion (FGD) yang terdiri dari Nyoman Darma Putra, Dewa Gede Palguna, Pino Confessa, Mas Ruscitadewi, dan I Wayan Juniarta yang telah memberi banyak saran atas penggunaan cuplikan-cuplikan film tanpa suara dalam DVD yang terkait dengan proyek ini. Rekan penerbit kami di Indonesia adalah STMIK STIKOM Bali yang dipimpin Dadang Hermawan dengan koordinator proyek I Madé Marlowe Makaradhwaja, video editor Ridwan Rudianto, desainer grafis Jaya Pattra Ditya, serta I Madé Marlowe Makaradhwaja dan I Wayan Juniarta sebagai penerjemah artikel ini ke dalam bahasa Indonesia.
115
Beth Skinner secara konsisten memberi saran dan dukungan yang tak bisa dihitung kepada proyek ini. Saya selalu terinspirasi oleh putra dan putri saya, Nico dan Gabrielle, yang tarian dan gubahan musiknya sealami bernafas. Dan akhirnya, apresiasi mendalam kami haturkan kepada Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions atas kemahirannya dalam mendengarkan, kecanggihan teknisnya dalam rekayasa suara ‘sound engineering’, keahliannya dalam bidang pemutar piringan hitam ‘turntable’ dan dedikasinya yang tulus dalam proses pemulangan kembali ‘repatriation’ dengan tujuan membuat rekamanrekaman bersejarah ini tersedia untuk masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Edward Herbst pertama kali mengunjungi Bali pada tahun 1972 sembari menyelesaikan studi B.A. di Bennington College dan dibiayai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama setahun untuk mempelajari gendér wayang dan palégongan dari I Madé Gerindem di Teges Kanginan, praktik pembuatan dan akustik gong di Tihingan, Klungkung, dan keterhubungan gamelan dan dramatari. Ia dan Beth Skinner belajar dari I Nyoman Kakul, master gambuh, baris, dan topéng, sembari tinggal dengan keluarganya di Batuan. Pada tahun 1980-1981, Herbst mendapat hibah dari Fulbright-Hays untuk mempelajari dan meneliti pementasan musik vokal dengan gamelan dan dramatari di Bali selama lima belas bulan, berguru di antaranya dengan I Madé Pasek Tempo dari Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pandé Madé Kenyir dari Singapadu, serta I Ketut Rinda dari Blahbatuh. Herbst ditugaskan oleh sanggar teater-tari eksperimental Indonesia di bawah pimpinan Sardono Kusumo untuk berkolaborasi sebagai komponis dan vokal tunggal dalam Maha Buta di Swiss dan Mexico serta dalam film karya Sardono, The Sorceress of Dirah, di Indonesia. Setelah meraih Ph.D dalam bidang Etnomusikologi dari Wesleyan University, Herbst kembali berada di Bali selama empat bulan pada tahun 1992 (dibiayai oleh Asian Cultural Council) untuk menyelesaikan penelitian untuk buku Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Herbst terus membagi waktunya antara penelitian, mengajar dan turut serta dalam berbagai proyek kreatif di Indonesia dengan perannya di Amerika Serikat sebagai coartistik direktur dan komponis untuk kelompok pementasan Triple Shadow. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College–City University of New York. Sepanjang tahun 2014-2015, Edward Herbst akan melakukan berbagai studi lapangan dan seminar di Bali yang berhubungan dengan rekam jejak musik tahun 1928 dan keberlanjutannya di masa sekarang, yang mana memanfaatkan hibah penelitian Fulbright Senior Scholar Research Award.
116
117
Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan Arthanegara, G.B. et al. 1980. Riwayat Hidup Seniman dan Organisasi Kesenian Bali. (Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik [Tradisional] dan Baru). Aryasa, I Wayan et al. 1984–85. Pengetahuan Karawitan Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Astita, I Nyoman. 1999. Menelusuri Proses Kreatif Seniman I Lotring Dalam Seni Tabuh Palegongan (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Bandem, I Madé. 2009. Wimba Tembang Macapat Bali. Denpasar: BP STIKOM Bali. _____. Prakempa: Sebuah Lontar Gamelan Bali. (Denpasar: ASTI, 1986). _____. 1991. “Tari Sebagai Simbol Masyarakat.” Jurnal Seni (ISI: Yogyakarta). _____. and Fredrik E. deBoer. 1981. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (2nd Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995). Bandem, N.L.N. Suasthi Widjaja. 2012. Dharma Pagambuhan. (Denpasar: BP STIKOM Bali). Bartók, Béla. 1992. Béla Bartók Essays, ed. Benjamin Suchoff (Lincoln: University of Nebraska [Bison] Press). Becker, Judith. 2004. Deep Listeners: Music, Emotion and Trancing (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press). _____. 1993. Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java (Arizona State University: Program for Southeast Asian Studies). _____. and Alan H. Feinstein, eds. 1988. Karawitan: Source Readings in Javanese Gamelan and Vocal Music, 3 vols. (Michigan Papers on South and Southeast Asia. Ann Arbor: The University of Michigan). Belo, Jane, ed. 1970. Traditional Balinese Culture (New York: Columbia Univ. Press). _____. 1970. Trance in Bali. (New York: Columbia University Press). Catra, I Nyoman. 2005. “Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama/Theater” (Ph.D. diss. Wesleyan University). Cohen, Mathew Isaac. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903. (Athens: Ohio University Press). Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. (New York: A. A. Knopf). [Reprinted 1956]. Creese, H. 1999. “The Balinese kakawin tradition; A preliminary description and inventory.” In: Bidjragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 155, no: 1, Leiden, 45-96. Darma Putra, I Nyoman. 2009. “‘Kidung Interaktif’: Reading and Interpreting Traditional Balinese Literature through Electronic Mass Media.” In Indonesia and the Malay World. Volume 37, Issue 109. Dibia, I Wayan. 2012. Taksu: in and beyond arts. Yogyakarta: Wayan Geria Foundation. _____. 2008. Seni Kakebyaran, ed. Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation). _____. and Ballinger, Rucina. 2004. Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali (Singapore: Periplus Editions). _____. 1992. “Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and Transformation.” (Ph.D. diss., University of California, Los Angeles). Djelantik, A.A. Madé. 1997. The Birthmark: Memoirs of a Balinese Prince. Hong Kong: Periplus Editions. _____. “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa.” Mudra:
118
Jurnal Seni Budaya (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 1993) 16–35. Djirne, I Wajan dan I Wajan Ruma. 1939. Taman Sari: Kumpulan gending-gending Bali I & II. (Denpasar: Cempaka No. 1). Eddy, Nyoman Tusthi. 2001. Duh Ratnayu: Geguritan Karya Anak Agung Gdé Pameregan (Diadaptasi). (PT. Upada Sastra with Yayasan Adi Karya Ikapi and The Ford Foundation). Fleischmann, Arthur. 2007. Bali in the 1930s: Photographs and Sculptures by Arthur Fleischmann. (The Netherlands: Pictures Publishers). Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Heavenly Orchestra of Bali. 2013. I Wayan Sumendra: pemimpin tabuh, trompong; Walter Quintus, produser. CMP (Creative Music Productions); 1995: Silva Screen Records]. Geertz, Clifford.1980. Negara: The Theatre-State in Nineteenth-Century Bali. (Princeton: Princeton University Press). _____. The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Geertz, Hildred. 2004. The Life of A Balinese Temple: Artistry, Imagination and History in a Peasant Village. (Honolulu: University of Hawaii Press). _____. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson and Margaret Mead. (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994). _____. 1991. “A Theatre of Cruelty: The Contexts of a Topéng Performance.” In: State and Society in Bali, ed. by Hildred Geertz (Leiden: KITLV Press, 1991) 165–98. Gold, Lisa. 2004. Music in Bali: Experiencing Music, Expressing Culture. (New York: Oxford University Press). _____. 1998. “The Gender Wayang Repertoire in Theater and Ritual.” (Ph.D. diss., University of California at Berkeley). Hanks, Lucien M. 1972. Rice and Man: Agricultural Ecology in Southeast Asia. Chicago: Aldine. New Edition: (Honolulu: University of Hawaii Press, 1992). Harnish, David. 2005. Bridges to the Ancestors: Music, Myth and Cultural Politics at an Indonesian Festival (Honolulu: University of Hawaii Press). Heimarck, Brita. 2003. Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views. (New York: Routledge). Herbst, Edward. 2009. “Bali, 1928: Gamelan Gong Kebyar.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1999. “The Roots of Gamelan.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1997. Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater (Hanover and London: Wesleyan University Press). _____. 1997. “Baris,” “Gamelan,” “Indonesia: An Overview,” “Balinese Dance Traditions,” Balinese Ceremonial Dance,” “Balinese Dance Theater,” “Balinese Mask Dance Theater,” “Kakul, I Nyoman,” “Kebyar,” “Légong,” “Mario, I Ketut,” “Sardono,” “Wayang.” International Encyclopedia of Dance, ed. by Selma Jeanne Cohen (New York: Oxford University Press and Dance Perspectives Foundation). Hinzler, H.I.R. 1994. “Balinese Palm-leaf Manuscripts.” In Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 149, pp. 438–74. Hobart, Mark. 1978. “The Path of the Soul: The Legitimacy of Nature in Balinese Conceptions of Space.” In Natural Symbols in Southeast Asia, ed. by Miller, G. B. (London: School of Oriental and African Studies) 5–28.
119
Hood, Mantle. 1969. “Bali.” Harvard Dictionary of Music, ed. by W. Apel (Cambridge: Harvard University Press) 69–70. _____. “Slendro and Pelog Redefined.” UCLA Selected Reports, 1: 28–48. Hooykaas, C. 1973. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. (Amsterdam, London. North-Holland Publishing Company). Kanta, Madé. 1984. Kesusastraan Bali pada Jaman Klungkung. (Singaraja: Balai Penelitian Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Konta, Anak Agung Ngurah Alit. 1981. Pikenoh basa Bali sajroning mabebasan. (Denpasar: Panitia Pelaksana Pesta Kesenian). Laksmi, Désak Madé Suarti. 2007. Kidung Manusa Yadnya: Teks dan Konteksnya dalam Masyarakat Hindu di Bali. (Denpasar: Institut Seni Indonesia). Lansing, J. Stephen. 1991. Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali (Princeton: Princeton University Press). Mardika, I Nyoman, Mardika, I Made & Sita Laksmi, A.A. Rai. 2011. Pusaka Budaya: Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Geriya, I Wayan (ed). Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. McPhee, Colin. 1970. “The Balinese Wayang Kulit and Its Music.” In: Traditional Balinese Culture, ed. by Jane Belo (New York: Columbia University Press) 146– 211. _____. 1966. Music in Bali (New Haven: Yale University Press; reprint, New York: Da Capo Press, 1976). _____. “Children and Music in Bali.” In: Childhood in Contemporary Cultures, ed. by Margaret Mead and Martha Wolfenstein (Chicago: Chicago University Press, 1955). _____. 1948. A Club of Small Men (New York: The John Day Co.). _____. 1946. A House in Bali (New York: The John Day Company; reprint, Oxford University Press, 1987). _____. 1935. “The Absolute Music of Bali.” In: Modern Music 12 (May–June) 163–69. Medera, I Nengah et al. 1990. Kamus Bali–Indonesia (Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali). _____1979. “Sekilas tentang wirama dan guru laghu serta cara mempelajarinya.” In: I Wayan Jendra (ed.): Kehidupan mababasan di kebupaten Badung. pp. 28-45. (Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Universitas Udayana). Narayana, Ida Bagus Udara, Madé Kanta, I Nyoman Kutha Ratna, and I Nyoman Sukartha. 1987. Terjemahan dan kajian nilai Pralambang Bhasa Wewatekan karya Dewa Agung Istri Kania. (Denpasar, Bali. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Nordholt, Henk Schulte. 1986. Bali: Colonial Conceptions & Political Change, 1700– 1940: From Shifting Hierarchies to “Fixed Order.” (Rotterdam: Erasmus University). Oja, Carol J. 1990. Colin McPhee: Composer in Two Worlds (Washington and London: Smithsonian Institution Press). Ornstein, Ruby. 1971. “Gamelan Gong Kebyar: The Development of a Balinese Musical Tradition.” (Ph.D. dissertation, UCLA). Pameregan, Anak Agung Gdé. Geguritan Duh Ratnayu. Digubah oleh Ida Cokorda Gede Majun. (Klungkung: Toko Buku Murni). Pemda Tim Humas Kodya Denpasar: I Nyoman Astita, I Ketut Gedé Asnawa, I Gusti
120
Ngurah Gedé Pemecutan, I Gusti Ngurah Yadnya. 1999. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: Pemda Kodya Denpasar). Perlman, Marc. 2004. Unplayed Melodies: Javanese Gamelan and the Genesis of Music Theory. (Berkeley: Univ. California Press). _____. 1997. “Conflicting Interpretations: Indigenous Analysis and Historical Change in Central Javanese Music.” In Asian Music 28 (1) 115–40. Rai, Wayan. 1992. “Balinese Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Modal System.” (Ph.D. diss., University of Maryland–Baltimore County). Rembang, I Nyoman. 1973. Gamelan Gambuh dan Gamelan–gamelan Lainnya di Bali (Denpasar: Kertas Kerja Pada Workshop Gambuh, 25 Agustus s/d/ 1 September). _____. 1984–85. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending–Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Richter, Karl. 1992. “Slendro–Pelog and the Conceptualization of Balinese Music: Remarks on the Gambuh Tone System.” Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman. Basler Studien zur Ethnomusikoligie. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 195–219. Robson, S.O. 1972. “The Kawi Classics in Bali.” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 128: 308-29. _____. 1971. Wangbang Wideya, A Javanese Panji Romance. (The Hague: Nijhoff). Rhodius, Hans and Darling, John; ed. John Stowell. 1980. Walter Spies and Balinese art. (Amsterdam: Terra, under the auspices of Tropenmuseum). Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses: The Balinese ritual of kekawin composition. (Leiden: KITLV Press). _____. 1996. “Colophons as a Tool for Mapping the Literary History of Bali: Ida Pedanda Made Sidemen-Poet, Author and Scribe.” In Archipel. Volume 52, Paris. pp.173191. http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_0044- 8613_1996_num_52_1_3361 _____. 1992. “Pepaosan: Challenges and Change.” In Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman, D. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 85–114. Schumacher, R. 1995. “Musical concepts in oral performance of kakawin in Bali.” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Performing Arts in Southeast Asia, 151, no: 4, Leiden, 488-515. Seebass, Tilman, I Gusti Bagus Nyoman Pandji, I Nyoman Rembang, and Poedijono. 1976. The Music of Lombok (Bern: Francke Verlag Bern, Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie 2). Simpen, I Wayan. 1979. “Sejarah Perkembangan Gong Gedé.” (Naskah dikirim untuk diterbitkan oleh Harian Umum Bali Post). Sinti, I Wayan. 2011. Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali. (Denpasar: TSP Books). Stowell, John. 2012. Walter Spies: A Life in Art. (Jakarta: Afterhours Books). Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. (Denpasar: Pustaka Larasan). _____. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. (Denpasar: Pustaka Larasan). Suastika, I Madé. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. (Yogyakarta: Duta Wacana University Press). Sugriwa, I.G.B. Sudhyatmaka. 2008. “Lomba–lomba Gong Kebyar Di Masa Lalu,
121
Sekarang, dan Masa Datang.” In Seni Kakebyaran, ed. by I Wayan Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation. (70–85). Sugriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. (Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali). _____. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. (Denpasar: KOKAR-Bali). Sukartha, Nyoman. 1979. “Hubungan seni mabebasan dengan seni-seni lain.” In: I Wayan Jendra (ed.). Kehidupan mababasan di kebupaten Badung. (Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Universitas Udayana). Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (Chicago: University of Chicago Press). Sumarta, I Ketut and Westa, I Wayan, eds. 2000. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: PEMDA Kota Denpasar). Sutjaja, I Gusti Madé. 2006. Kamus Bali-Indonesia-Inggeris. (Denpasar: Lotus Widya Suari Bekerjasama dengan: Penerbit Universitas Udayana). Tenzer, Michael. Gamelan Gong Kebyar. 2000. (Chicago: University of Chicago Press). _____. 1992. Balinese Music (Singapore: Periplus Editions). Toth, Andrew. 1980. Recordings of the Traditional Music of Bali and Lombok (The Society for Ethnomusicology, Inc. Special Series No. 4). _____. 1975. “The Gamelan Luang of Tangkas, Bali”, UCLA Selected Reports in Ethnomusicology 2(2): 65–79). Trungpa, Chogyam. 1973. Cutting Through Spiritual Materialism. (Berkeley: Shambala). Vickers, Adrian. 2005. Journeys of Desire: A Study of the Balinese Text Malat. (Leiden: KITLV Press). _____. 1989. Bali: A Paradise Created (Singapore: Periplus Editions). _____. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World.” Indonesia 44: 30–58. _____. 1985 “The Realm of the Senses: Images of the Courtly Music of Pre-Colonial Bali.” Imago Musicae, International Yearbook of Musical Iconography, Vol. 2, pp. 143-77. _____. 1982 ‘The Writing of Kekawin and Kidung on Bali.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138:492-3. Van Eck. 1878-1880 ‘Schetsen van het Eiland Bali’, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 4th series, 7,8,9. Vitale, Wayne. 2002. “Balinese Kebyar Music Breaks the Five–Tone Barrier: New Music for Seven–Tone Gamelan.” Perspectives of New Music 40/2) 5–69. Wallis, Richard. 1980. “The Voice as a Mode of Cultural Expression in Bali.” (Ph.D. Dissertation, University of Michigan). Wiener, Margaret J. 1995. Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. (Chicago and London: University of Chicago Press). Winerman, Lea. 2005. American Psychological Association (Vol 36, No. 9, October). http://www.apa.org/monitor/oct05/mirror.aspx Witana, I Nyoman. 1981. Pedoman belajar mebasan. Singaraja: Widya Sabha Kebupaten Buleleng. [Manuscript.] Yayasan Pustaka Nusatama. 2007. Kamus Bali-Indonesia (Edisi Ke-2). Denpasar: Balai Bahasa Denpasar-Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional. Yudha, I Nyoman. 1968. Sekaa Gong Sad Merta Belaluan: Juara Merdangga Utsava I (Festival Gong Kebyar). (Second printing, 2005).
122
Zoete, Beryl de, and Spies, Walter. 1938. Dance and Drama in Bali (London: Faber and Faber, Ltd.) New Edition, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973. Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan; a Survey of Old Javanese Literature. (The Hague: Martinus Nijhoff). _____. with Robson, S.O. 1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 vols. (The Hague: Nijhoff). Zurbuchen, Mary S. 1991. “Palmleaf and performance; The epics in Balinese theater.” In: Joyce Burkhalter Flueckiger and Laurie J. Sears (eds.) Boundaries of the text; Epic performances in South and Southeast Asia. pp. 127-40. (Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan). [Michigan Papers on South and Southeast Asia 35]. _____. 1989 “Internal translation in Balinese poetry.” In: A.L. Becker (ed.), Writing on the tongue, pp. 215-279. Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. [Michigan Papers on South and Southeast Asia 33]. _____. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater (Princeton: Princeton University Press).
123