Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
MASYARAKAT JAWA KUNA DAN LINGKUNGANNYA PADA MASA BOROBUDUR Oleh : Timbul Haryono Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
K
Kehidupan dan situasi keadaan masyarakat
watak, dan wilayah wanua. Masing-masing
Jawa abad IX dapat diketahui berdasarkan data
wilayah dikendalikan oleh seorang penguasa
yang terdapat di dalam sumber verbal maupun
wilayah dan dibantu oleh para pejabat sesuai
sumber piktorial. Sumber verbal berupa
dengan tugasnya masing-masing. Nama-nama
prasasti-prasasti dan sumber piktorial adalah
jabatan yang tersebut di dalam prasasti cukup
relief yang dipahatkan di Candi Borobudur.
banyak, di antaranya adalah: rakai, sang
Kedua jenis sumber tersebut dibandingkan
pamgat, pangkur, tawan, tirip, patih i hino, patih
untuk memperoleh gambaran keadaan
kulumpang, patih i tiru ranu, parujar, tikasan,
masyarakat. Gambaran tentang situasi dan
rumwan, manimpiki, paranakan, kring
kondisi masyarakat dapat dilihat dari dua aspek kehidupan mereka yaitu kehidupan domestik dan kehidupan ritualnya. Masyarakat Jawa kuna juga dapat dibedakan atas dasar struktur sosialnya, yaitu masyarakat bawah dan masyarakat penguasa. Masyarakat penguasa adalah para penguasa baik di tingkat pusat maupun di tingkat desa dan para petugas kerajaan. Struktur perwilayahan masa itu terbagi menjadi: wilayah rajya, wilayah
Relief Karmawibhangga panil No. 122
81
82
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
padamapuy, manghuri, airhaji, tapa haji, tuha
sedang membajak sawah (amaluku). Bentuk
dagang.
luku seperti yang digunakan petani Jawa sekarang yang ditarik oleh dua ekor sapi. Secara
ASPEK KEHIDUPAN SEHARI-HARI
tidak langsung relief ini juga memberikan gambaran bahwa masyarakat Jawa kuna
Yang dimaksudkan dengan aspek kehidupan sehari-hari di sini adalah aspek
Relief Lalitavistara serie Jataka panil No. 173
memelihara ternak sapi untuk kepentingan pengolahan lahan pertanian.
aktivitas kehidupan yang bersifat non ritual atau
Pekerjaan menanam padi (atanam) di
bukan aktivitas religi. Di antara aspek kehidupan
dalam masyarakat Jawa tradisional sekarang
tersebut adalah kehidupan ekonomi, sistem
disebut 'tandur'. Setelah tanaman padi mulai
mata pencaharian, sistem teknologi, kehidupan
tampak hijau lalu kegiatan amatun (matun)
berkesenian, hubungan antar warga. Dari
dilakukan untuk membersihkan rumput atau
beberapa prasasti yang berasal dari periode
tumbuhan lainnya yang mengganggu
abad IX diperoleh informasi tentang aktivitas di
kesuburan tanaman padi. Hama tanaman
bidang perekonomian. Masyarakat Jawa ketika
ternyata bukan hanya dari jenis tanaman akan
itu adalah masyarakat yang perekonomiannya
tetapi juga dari jenis binatang tikus. Gambaran
berbasis pertanian baik sistem sawah basah
tersebut dapat dilihat pada relief
maupun sawah kering. Pertanian padi adalah
Karmawibhangga (O.65). Istilah ahani di dalam
menjadi faktor penting sebagaimana dapat
prasasti adalah pemanenan padi dengan
dilihat dari beberapa relief di Borobudur.
menggunakan alat pemotong yang disebut ani-
Beberapa prasasti menginformasikan sistem
ani pada masyarakat Jawa sekarang. Sistem
pengolahan sawah dari penyiapan lahan sampai
irigasi menjadi sangat penting dalam pertanian
penanaman, dan panen. Beberapa istilah dalam
sebagaimana diinformasikan dalam prasasti
pengolahan sawah masih bisa dijumpai sampai
Kedulan bahwa pejabat daerah membuat
sekarang, antara lain: amaluku, atanam, amatun,
bendungan; selain itu ada petugas yang khusus
ahani, anutu. Sekalipun prasasti yang memuat
mengurusi irigasi, yaitu huluair dan panghulu
hal tersebut berasal dari awal abad XI, bukan
banyu yang pada masyarakat sekarang petugas
berarti bahwa abad IX masyarakat tidak
khusus tersebut disebut ulu-ulu.
mengenal istilah-istilah tersebut. Pada relief
Masyarakat
Borobudur (Iba336) adalah contoh ketika petani
tidak
semata
menggantungkan pada pertanian padi irigasi,
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
tetapi tampaknya pemanfaatan ladang atau
menggunakan tulup.
tegal untuk padi non irigasi (padi gaga) sangat
Dari prasasti yang sezaman dengan Candi
mungkin dilakukan. Selain itu, sebagai
Borobudur, dapat diperoleh beberapa jenis
pelengkap di kebun mereka ditanami buah-
makanan dan minuman. Prasasti Rukam (829
buahan untuk melengkapi kebutuhan
Saka atau 907 Masehi) menyebutkan berbagai
masyarakat. Dalam beberapa relief dijumpai
hidangan yang diberikan kepada para tamu
penggambaran jenis-jenis tanaman buah
yang hadir di dalam upacara penetapan sima:
seperti pisang, nangka, mangga. Sebagai bukti
nasi paripurna timan dengan segala macam
penguat, di dalam prasasti ada nama desa yang
lauk-pauk seperti, deng kakap (dendeng kakap
menggunakan nama buah, yaitu: Poh yang
kering), kadiwas (ikan kadiwas), ikan duri,
berarti mangga. Bererapa relief pada Candi
hurang (udang), hantrini (telor), gtam (kepiting),
Borobudur membuktikan bahwa aneka ragam
gangan hadangan sapi (gangan – jangan atau
tanaman pangan telah dibudidayakan oleh
sayur daging kerbau, daging sapi. Di dalam
masyarakat Jawa kuna.
prasasti Sangguran disebutkan: “ . . . inangsĕan
Selain pertanian, sumber untuk makanan
skul dangdangan, hinirusan, kla-kla. . . .”. Kata
juga diperoleh dari sumber pangan hewani.
'hinirusan' dari kata dasar 'hirus' yang di dalam
Usaha peternakan unggas seperti jenis itik,
bahsa Jawa menjadi 'irus' (dibuat dari
ayam, kambing adalah untuk mencukupi akan
tempurung kelapa). Berbagai teknik memasak
kebutuhan makanan hayati dan nabati. Prasasti
nasi mungkin disesuaikan untuk kebutuhan
menyebutkan adanya kebutuhan akan hayam
menyediakan makanan dalam jumlah tertentu.
(ayam – bahkan ada spesifik hayam ireng), hantiga, hantrini atau hantlu (telor) yang digunakan di dalam upacara ritiual khususnya upcara penetapan sima (daerah perdikan). Barangkali di sela-sela waktu masyarakat juga berburu burung atau mencari ikan di sungai, di danau atau di laut. Alat-alat penangkap ikan adalah jala, icir, wuwu, sebagaimana digunakan oleh para pencari ikan di sungai masa sekarang, dan untuk menangkap burung mereka
Relief Karmawibhangga panil No. 118
83
84
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
Skul dangdangan artinya adalah nasi yang
karena mereka membutuhkan keranjang, bakul
dimasak dengan menggunakan dandang,
(tenggok), membuat gerabah (mangdyun), dan
biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk
benda-benda logam. Di antara alat-alat logam
menyediakan nasi dalam jumlah yang banyak
yang disebutkan di dalam prasasti antara lain:
dalam hajatan. Untuk kebutuhan sehari-hari
rimwas, patuk, lukai, twĕk, linggis, landuk,
mereka memasak dengan kendil, yang di dalam
wyangkul, kurumbaghi, dom, kawat, dan masih
prasasti abad IX disebut 'pangliwĕtan' atau 'skul
banyak lagi.
dinyun' (nasi liwet). Di prasasti lain disebut 'skul matiman' (nasi tim?).
Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak
Untuk memenuhi kebutuhan alat-alat
disebut-sebut kelompok profesi tukang logam
rumah tangga, mereka mengenal beberapa
yaitu 'pande' atau 'pandai' sesuai dengan
jenis seperti: manganam-anam (seni anyaman)
bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas, pandai salaka (perak), pande tamra
atau
pande tamwaga
(tembaha), pande kamsa atau gangsa (perunggu) dan pande wesi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi atas dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan kawat), pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh seorang pemimpin disebut dengan istilah 'tuha gusali' atau 'juru gusali'. Kata 'gusali' tersebut sekarang menjadi 'besalen' yaitu Relief Pande besi di Candi Sukuh
tempat pertukangan logam. Kelompok
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
masyarakat pande logam tersebut di dalam
di Bali dikatakan bahwa yang termasuk
kehidupan sosial termasuk sebagai kelompok
golongan asta candala adalah undagi (tukang
sang mangilala drawya haji atau sang maminta
kayu), amalantĕn (tukang cuci pakaian), amahat
drwya haji yaitu para abdi dalam kraton yang
(tukang pahat), anjun (pembuat gerabah),
tidak mendapatkan daerah lungguh sehingga
apande sisinghen (pembuat senjata tajam),
kehidupan ekonominya tergantung dari gaji
anguga (?), anggabag (?), acirigimani (?).
yang diambil dari perbendaharaan kerajaan.
Sementara itu di dalam naskah Slokantara: 43
Spesialisasi dalam bidang teknologi
dijelaskan bahwa candala itu jumlahnya lima
logam yang penuh misteri menyebabkan
yaitu surasut (pemahat), krimidaha (pencuci
seorang empu (khususnya pembuat keris)
pakaian), pranagha (jagal), kumbhakaraka
mempunyai kedudukan tersendiri di dalam
(pembuat periuk), dan dhatudagdha (pandai
masyarakat. Ia dianggap mempunyai kekuatan
emas).
magis (bahkan di Bali para pande besi
Dengan munculnya kelompok
merupakan klen tersendiri yaitu klen pande; dan
masyarakat pande logam spesialisasi pekerjaan
mereka memiliki keahliannya berdasarkan
yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan
keturunan darah). Klen pande di Bali tidak
benda logam muncul juga. Mereka adalah
tergabung dalam sistem kasta. Menurut
pamanikan (pembuatan batu permata),
informasi di dalam salah satu babad pande, para
pasimsim (tukang pembuat cincin), rumban
pande logam memiliki pengetahuannya tentang
(tukang pemasang batu permata pada
pekerjaan logam dari Dewa Api yang berkuasa
perhiasan cincin atau perhiasan jenis lainnya),
di selatan. Mereka mempunyai pendeta sendiri
pangaruhan (tukang emas), dan limus galuh
untuk memimpin upacara keagamaan (Anom.
(tukang pembuat permata).
1973 : 3 – 4).
Berbagai teknik pembuatan artefak
Namun anehnya di dalam sumber
logam pada masa klasik tampak sekali sudah
tertulis Slokantara mereka dimasukkan sebagai
dikuasai oleh para pande logam. Pembuatan
kelompok masyarakat kelas bawah yang
arca pada umumnya menggunakan teknik cetak
disebut sebagai kelompok candala (Rani, 1957).
a cire perdue. Pertama-tama, sebuah model
Golongan candala jumlahnya delapan (asta
benda yang ingin dihasilkan dibuat dari bahan
candala) atau sering disebutkan hanya lima
lilin (tahap positif). Model tersebut kemudian
macam. Di dalam naskah lontar Agama-Adigma
dibalut dengan tanah liat (tahap negatif). Model
85
86
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
yang telah terbalut dengan tanah liat tersebut
masing-masing logam mempunyai kedudukan
kemudian dibakar. Lilin akan meleleh keluar
yang berbeda dari yang tinggi sampai yang
meninggalkan rongga cetakan (tahap negatif).
rendah sebagai berikut: suvarna (emas), rupya
Selanjutnya ke dalam rongga cetakan
(perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu
dituangkan logam cair. Setelah dingin baru
(timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah
kemudian dipecah untuk mengeluarkan artefak
hitam), dan riti (kuningan). Tradisi lain
logam hasil cetakan. Barang-barang keperluan
menyatakan ada astalohamaya (8 logam yang
rumah tangga dan pertanian umumnya dibuat
penting) ialah : suvara (emas), rajata (perak),
dengan teknik tempa.
tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya
Untuk pembuatan barang-barang
(perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah hitam),
perhiasan dari bahan emas, para pande emas
trapusa (timah putih). Logam emas memiliki
telah pula menguasai berbagai teknik
kedudukan yang paling tinggi jika dibandingkan
pembuatan maupun pembuatan dekorasinya.
dengan perak karena logam emas memiliki
Barang-barang emas dibuat dengan teknik
warna yang indah (su-varna) dan juga bersifat
cetak dan teknik tempa. Pande logam masa
ke-surga-an (svar). Emas adalah simbol dari
Jawa Kuno ternyata tidak hanya menguasai
semua yang dianggap superior. Perak
pengetahuan teknik saja yang telah dikuasai,
mempunyai nilai simbolik meningkatkan
tetapi aspek-aspek yang berhubungan dengan
kesucian, tembaga dianggap mempunyai daya
makna simbolis logam juga diketahui. Aspek-
magis. Berkaitan dengan konsep kosmos maka
aspek simbolik telah mewarnai pandangan para
logam mempunyai kesamaan dengan satelit
pande terhadap metalurgi. Hal ini dapat
yaitu emas – Matahari, perak – Bulan, tembaga –
dicontohkan misalnya pada artefak arca
Venus, besi – Mars, timah putih – Jupiter, timah
bimetalik yaitu sebuah arca Siwa yang dibuat
hitam – Saturnus.
dari perak dan lapik arca dibuat dari perunggu dan arca Budha dari emas tetapi lapik arca dan
PASAR DAN PEDAGANGAN
pengiringnya dibuat dari bahan perunggu. Penggabungan dua jenis logam yang berbeda
Gambaran sekilas tentang aktivitas
untuk satu artefak seperti tersebut tentunya
perekonomian dan perdagangan masa Jawa
didasari atas pertimbangan simbolisasi.
kuna dari sumber-sumber tertulis (prasasti)
Secara simbolis menurut tradisi India
dalam kegiatan jual-beli memang sudah ada
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
namun apakah sudah menggunakan alat tukar
masih bisa dijumpai. Salah satu bukti adanya
masih perlu penelitian mendalam. Jan
pengkhususan pasar berdasarkan sistem panca
Wisseman bahkan menyatakan: “The ninth
wara adalah di dalam prasasti Waharu 931
century Javanese economy was marketized,
Masehi yang menyebut istilah 'pkĕn kaliwwan'.
though probably not fully monetized” – sekalipun
Dalam tradisi budaya Jawa, lima hari pasaran
dalam aktivitas perekonomian di Jawa pada
dikaitkan juga dengan sistem mañca pat mañca
abad ke-9 sudah dikenal pasar namun belum
lima
tentu sepenuhnya menggunakan uang sebagai
mata angin dan satu di pusat (keblat papat lima
alat tukar. Istilah 'pasar', yang di dalam bahasa Jawa kuna disebut pkĕn atau pkan memang sudah digunakan pada abad ke-9 sebaimana disebut di dalam beberapa prasasti dan lokasi pasar berdekatan dengan desa, jalan atau sungai. Sebagai contoh, prasasti Muñcang (944 M) menginformasikan: (7) . . . lmah kiduling pkan ing muñcang . . . . (10) . . . loring pkan ing muñcang . . . . Kata 'pasar' dalam masyarakat tradisional di pedesaan dikaitkan dengan 'pañca
yang berhubungan dengan empat arah
pancĕr). Pasaran 'legi' dihubungkan dengan arah timur (wetan), paing dengan mata angin selatan (kidul), pon dengan mata angin barat (kulwan, kulon), wage – selatan (kidul), dan kliwon – tengah atau pusat. Kalau arah pusat dihubungkan dengan letak pusat pemerintahan (di tingkat wanua), mungkin dapat dibayangkan bahwa masing-masing kegiatan pasar disesuaikan tempatnya dari arah pusat, misalnya pasar legi ada di sebelah timur, pasar paing di sebelah selatan, dan seterusnya.
wara' yaitu hari lima yang terdiri dari: legi (umanis), paing, pon, wage, dan kliwon (kaliwuan). Masyarakat Jawa menyebutnya dengan 'dina pasaran'. (dina = hari). Dengan sistem lima hari pasaran tersebut kegiatan pasar di setiap desa memusat pada salah satu hari pasaran dan setiap desa satu dengan yang lain berbeda-beda. Dengan demikian dikenal ada 'pasar legi', 'pasar paing', pasar pon', 'pasar wage', dan 'pasar kliwon'. Sampai sekarang penyebutan kegiatan pasar seperti tersebut
Relief Karmmavibhangga Panil no. 01
87
88
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
Dengan kata lain, keletakan pasar ada kaitannya
aktivitas jual-beli dilakukan dengan cara
dengan pola-pola permukiman.
memikul dagangannya dan menjajakannya
Penjual-penjual yang melakukan
dengan cara berjalan keliling dari satu tempat ke
aktivitas jual-beli di dalam prasasti disebut
tempat lain atau dari satu desa ke desa lain.
dengan istilah :
Dengan demikian dapat menjangkau
Adwal – yaitu penjual dalam skala kecil, atau
masyarakat sampai di pelosok yang jauh dari
penjaja keliling
tempat pasar. Petugas pasar masa Jawa kuna
Apikul – penjaja barang dengan cara memikul
termasuk sebagai 'sang mangilala drwya haji'
dagangannya
yang tugasnya mengumpulkan pajak pasar.
Adagang – pedagang dan biasanya dalam skala
Dalam jaman Mataram Islam nama-nama
kecil namun di atas adwal, dan wilayah
petugas pasar (lurah pasar) biasanya memakai
jualannya lebih luas
nama 'tanda'. Kata tersebut mengingatkan pada
Abakul atau adagang bakulan – penjual yang
nama jabatan pada masa Jawa kuna.
mungkin lebih professional di pasar
Perdagangan melalui jalur sungai
Banyaga bantal – pedagang yang lebih besar
berkembang pada masa Jawa Timur, khususnya
Sayangnya, prasasti-prasasti tidak memberikan
pada masa Jawa Timur karena banyak sungai di
gambaran langsung bagaimana aktivitas
Jawa Timur yang dapat dilalui. Dari beberapa
t r a n s a k s i d i p a s a r, a p a k a h d e n g a n
prasasti disebut-sebut keberadaan orang asing
menggunakan alat tukar atau sistem barter.
seperti: juru cina, juru barata, juru kling, yang
Kata 'apikul' jelas menunjukkan bahwa
juga masuk di dalam daftar mangilala drwya haji. Ada juga yang termasuk di dalam kelompok warga kilalan yaitu: orang Kmer, Campa, Srilangka, Karnatak, Dravida, Aryya, Kalinga, dan di antara mereka diperkirakan adalah para pedagang. Selain kegiatan ekonomi melalui jalan darat, dan melalui sungai, perdagangan antar pulau tentunya sudah berkembang maju dan dalam skala yang lebih besar. Perkembangan sarana transportasi memungkinkan berkembangnya pula perdagangan baik
Relief awadana jataka Panil no. 41
kualintas barang maupun kualitasnya. Relief
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
kapal dengan berbagai bentuk perahu di Candi
keterangan tentang seni pertunjukan kecuali
Borobudur membuktikan bahwa sudah ada
hanya penyebutan alat musik 'curing' dalam
perdagangan antar pulau dan perdagangan
kaitannya dengan perlengkapan upacara.
'internasional' antara Pulau Jawa dengan India
Kutiban singkat kalimatnya adalah:
dan Cina. Misalnya, sumber Cina menyebutkan
8. (hu) minamahkan pangliwattan
bahwa kerajaan Ko-ying (di Sumatra) pada
9. 1 padamaran 1 pamapi(r)nya
sekitar abad ke-3 telah menjalin kontak dagang
10. ngan 6 curi (ng) 1 …
dengan 'luar', sekalipun belum ditemukan bukti-
Dalam prasasti Kuti tahun 762 Saka (18
bukti kuat adanya hubungan dagang dengan
Juli 840) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo,
Cina tetapi dengan India. Dari sisi komoditas
(Jawa Timur) lempengan IVa dijumpai kata 'juru
yang diperdagangkan antara nusantara dengan
bañol' bersama-sama dengan para pejabat
India membuktikan aktivitas, perdagangan
lainnya seperti tuha dagang, misra hino, misra
seperti: kayu cendana (Santalum album Linn.),
hanginangin (baris 3). Keterangan tenteng seni
cengkeh (Eugenia aromatic Kuntze), mrica, dari
pertunjukan dijumpai pada lempengan IVa
nusantara bagian timur. Mrica disebut-sebut di
sebagai berikut:
dalam kitab sutra agama Budha sebagai salah
1.
satu kekayaan raja Shê-yeh (raja Jawa). Prasasti Jawa kuno biasanya berisi
hanapuk
warahan
kecaka tarimba
hatapukan haringgit abañol salahan. 2.
tanparabyapara samangilalā drbya haji
tentang upacara penetapan sima (tanah
sawakanya manganti i sang hyang dharmā
perdikan) oleh pejabat kerajaan. Meskipun
simanira cañcu
uraian di dalam prasasti itu singkat namun
3.
makuta sira cañcu manggala ring kuti.
diperoleh gambaran tentang jalannya upacara
Mangkana yan pamujā mangungkunga
sima, perlengkapan dan alat-alat upacara, siapa
curing hamaguta payung.
saja yang hadir, pesta makanan dan minuman,
Istilah hanapuka, hatapukan, berasal dari kata
serta seni pertunjukan yang menyertainya.
'tapuk' yang berarti 'topeng', sedangkan kata 'haringgit' berasal dari kata 'ringgit' yang berarti
PERTUNJUKAN KESENIAN
'wayang'. Kata 'ringgit' sampai sekarang masih ada di dalam bahasa Jawa baru yang artinya
Di dalam prasasti Gandasuli yang
juga 'wayang' atau bentuk bahasa Jawa krama
berasal dari tahun 769 Saka, tidak banyak
'wayang'. Kata 'abañol' artinya lawak atau
89
90
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
dagelan. Mereka termasuk di dalam kelompok
menunjukkan jenis seni pertunjukan adalah kata
'sang mangilala drbya haji' yaitu pejabat kraton
'widu mangidung' dan 'mapadahi'. Widu
yang memperoleh gaji dari kraton (abdi dalem).
mangidung dapat diartikan sebagai penyanyi
Kalimat 'mangkana yan pamuja mangungkunga
wanita atau di dalam seni pertunjukan
curing' dapat diartikan: 'demikianlah jika
tradisional disebut 'pesindhen', 'waranggana'.
mengadakan pemujaan supaya menabuh
Kata 'widu' dalam bahasa Indonesia sekarang ini
curing'. Dari kalimat tersebut dapat dinyatakan
menjadi 'biduan', sedangkan kata 'mangidung'
bahwa menabuh curing dalam kaitannya
artinya tembang (berasal dari kata 'kidung').
dengan upacara pemujaan.
Adapun kata 'mapadahi' berasal dari kata
Pada sisi belakang (Ib) prasasti Waharu I
'padahi' yang berarti 'kendang. Kutipan tersebut
tahun 795 Saka (20 April 873) di jumpai kata:
menunjukkan dengan jelas bahwa 'widu
widu mangidung dan mapadahi, yang termasuk
mangidung' dan 'mapadahi' termasuk dalam
di dalam daftar para pejabat kerajaan atau 'watak
'watak i jro' yaitu golongan abdi dalem kraton.
i jro' (golongan dalam – abdi dalem) yang tidak
Dalam prasasti Waharu I (B) diperoleh
boleh 'masuk' di daerah 'sima' tan katamana
keterangan pula bahwa seniman mapadahi
ikanang sīma). Beberapa di antaranya seperti
(pengendang) hadir dalam upacara penetapan
kutipan berikut:
sima dan melakukan tugasnya menabuh
a.
… tuha dagang juru gusali mangrumbe
kendang setelah acara pesta makan: "sakrama
manggunje tuha nambi tuha judi.
ni manadah ring dangu umangse ta jnu skar,
tuha hunjaman juru jalir pabisar pawung
manabêh ta sang mapadahi".
kuwung pulung padi misra hino wli tambang
Artinya: "setelah mereka selesai makan
b.
c.
… tpung
demikian lama, kemudian jnu skar (?)
kawung sungsung pangurang pasuk alas
maju dan sang penabuh kendang
payungan sipat jukung pānginangin
menabuh kendang.
pamawasya hopan pangurangan skar tahun d.
Relief Lalitavistara serie 1 A1
Dalam salah satu baris kalimat prasasti
kdi walyan widu ma-
Mulak tahun 800 Saka (3 Oktober 878 M)
ngidung mapadahi sambal sumbul hulun
lempeng III a brs 5 disebutkan bahwa seniman
haji amrsi watak i jro ityewamādi kabeh tan
tuha padahi bernama si Kuwuk hadir dalam
katamana ikanang sīma…
upacara sebagai saksi dan kepadanya diberi
Dari kalimat tersebut, kata yang
hadiah (pasêk-pasêk) berupa kain:
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
III.a.5… tuha padahi si kuwuk rama ni mitra
April 901) tentang upacara penetapan sima
wdihan rangga yu 1
diuraikan dengan lengkap. Di antara para
Artinya: … pimpinan pengendang (yang
undangan yang hadir sebagai saksi adalah tuha
bernama) si Kuwuk ayahnya Mitra (diberi) kain
padahi. Pesta yang diadakan adalah selain
wdihan rangga 1 pasang" Istilah tuha padahi
makan minum juga menari atau mangigêl, serta
memberikan gambaran bahwa pada masa itu
adu ayam jago (masawungan – sawung artinya
ada pimpinan grup pengendang.
ayam jago). Menarik perhatian bahwa pesta
Prasasti Kwak I (Ngabean II) tahun 801
tarian dilakukan oleh semua yang hadir
Saka (27 Juli 879)yang berasal dari desa yang
termasuk para pejabat kerajaan secara
sama dengan prasasti Mulak di atas berupa 1
bergantian, sebagaimana terungkap di dalam
lempeng tembaga menginformasikan tentang
kutiban berikut:
seniman yang hadir dalam upacara sima:
IV.a.9."… i sampun tanda rakryan masawungan
I.b.3… tuha padahi si dhanam/maregang si sukla/mangla
mangigêl ikanang rama kabeh molih 10. patang kuliling gumanti renanta
4. si buddha/madang si kundi/mawuai si
mangigal …"
pawan kapua wineh mas mā 1 wdihan ragi yu 1 sowang sowang.
Sementara itu di dalam prasasti Panggumulan selain disebutkan tarian juga
Artinya:
disebutkan gamelan yang ditabuh yaitu padahi,
3."… pimpinan pengendang, bernama Si
rêgang, dan brêkuk, seperti dapat dibaca dalam
Dhanam, penabuh rêgang (kecer) (bernama)
kutiban berikut:
si Sukla/
III.a.20. "…samangkana ng inigêlakên hana
4. tukang masak sayur (bernama) si Buddha,
mapadahi marêgang si catu rama ni
tukang menanak nasi (bernama) si Kundi, tukang memasak air (bernama) si Pawan semuanya diberi emas 1 māsa dan kain wdihan ragi masing-masing 1 pasang.
kriya mabrêkuk si III.b.1
wara rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas mā 1 ing sowang sowang//
Artinya: "…adapun yang ditarikan (yang
Dalam kutiban tersebut selain seniman tuha
ditabuh) adalah mapadahi, marêgang
padahi juga seniman yang lain yaitu 'marêgang'
(bernama) Si Catu ayahnya Kriya,
(penabuh regang – simbal atau kecer?).
mabrêkuk (bernama) si Wara ayahnya
Dalam prasasti Taji tahun 823 Saka (8
Bhoga, (mereka) diberi sehelai kain
Relief Lalitavistara serie 1 A1
91
92
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
bebed dan emas 1 masa masingmasing". Kalimat tersebut memberikan gambaran juga bahwa para penabuh padahi, penabuh brêkuk, dan penabuh rêgang juga sambil menari.
17. ruang juru //” Artinya 13. "…penabuh padahi penabuh tuwung (bernama) si Pati 14. ayahnya Turawus penduduk desa Rapoh
Di dalam prasasti Poh tahun 905 M selain
diberi kain 1 yugala dan emas 1 māsa 1
disebutkan adanya seni musik gamelan dan
kupang, dan penabuh padahi (bernama)
juga seni tari dan lawak. Mereka (para seniman)
Syuha ayahnya Wakul penduduk desa
diundang untuk menghadiri upacara penetapan
Hinangan wilayah Luwakan diberi emas
sima sebagai saksi. Barangkali mereka juga
2 kupang, penabuh regang (bernama) si
menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh
Wicar ayahnya Wisama penduduk desa
adalah padahi, rêgang, tuwung; sedangkan
15. Hijo wilayah Luwakan diberi kain 1 yugala
tariannya adalah tari topeng dan lawak:
dan emas 1 māsa // penari topeng ada 2
IIb.13."…mapadahi matuwung si pati rama ni
(bernama) si Mala penduduk desa
turawus ana
Sawyan wilayah Kiniwang dan Si Parasi
14. kwanua i rapoh winaih wdihan yu 1 mas mā 1 ku 1 muwah mapadahai syuha rama
penduduk desa Tira wilayah Medang, semuanya diberi emas 1 māsa.
ni wakul anakwanua i hinangan watak
16. Masing-masing, juru pelawak ada 2
luwakan winaih mas ku 2 marêgang si
(bernama) si Lugundung penduduk
wicar rama ni wisama anakwanu
desa Rasuk wilayah Luwakan dan si
15. a i hijo watak luwakan winaih wdihan yu 1
Kulika penduduk desa Lunglang wilayah
mas mā 1//matapukan 2 si mala
Tnep semuanya diberi kain 1 yugala dan
anakwanua i sawyan watak kiniwang
emas 6 māsa
muang si parasi anakwanua i tira watak
17. untuk 2 orang juru
mdang kapua winaih mas mā 1
Dalam prasasti Lintakan tahun 841 Saka
16. ing sowangsowang mabañol jurunya 2 si
(12 Juli 919) diperoleh data tentang instrumen
lugundung anakwanua i rasuk watak
gamelan yaitu padahai, tuwung, rêgang, brêkuk,
luwakan muang si kulika anakwanua i
gandirawana hasta. Gamelan tersebut
lunglang watak tnêp winaih wdihan yu 1
digunakan dalam perlengkapan upacara sima.
mas mā 6 kinabaihannya
Selain itu di antara seniman yang hadir dalam
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
upacara adalah atapukan dan tarimwa (tarimba).
rawanahasta bernama si Mandal
Sangat menarik dalam hal ini adalah jumlah
semuanya diberi kain bĕbĕd 1 helai dan
atapukan (penari topeng) ada 30 pasang dan
perak 8 māsa masing-masing
mereka adalah dari generasi muda (rarai – lare
Di antara nama-nama pemusik tersebut, Kusni
bhs Jawa):
adalah nama wanita. Dalam prasasti yang lain
III.8…. pinda atapukan
kata widu sering diikuti oleh kata mangidung,
9. prana 30 hop rarai winehan pirak dha 1 kinabaihannya. Tarimwanya winehan pirak ma 1 kinabaihannya Artinya: 8…. Jumlah penari topeng
atau hanya kata mangidung tanpa didahului kata widu. Prasasti Paradah tahun 865 Saka (OJO XLVIII) selain menyebutkan padahi dan widu
9. ada 30 pasang semuanya anak
mangidung sebagai watak i jro, mabañol
muda diberi perak 1 dharana, (adapun)
bernama si Kalayar. Selain itu dalam acara sajian
tarimwa (penari?) diberi perak 1 masa
tarian disebutkan:
semuanya.
46. … i tlas ning manamah mangigal
Dalam prasasti Prasasti Mantyasih III
yathakrama tuwung bungkuk
(OJO CVIII) nama instrumen gandirawana hasta
ganding rawanahasta sampun
yang disebut dalam prasasti Lintakan ternyata
sangkap ikanang iniga.
merupakan 2 macam instrumen yang berbeda,
47. lakên malungguh sira …
terbukti dari nama penabuhnya disebut terpisah: b.4.
Artinya: … sesudah melakukan sembah
widu si majangut matapukan si
menarilah mereka yaitu tuwung,
barubuh juru padahi si nanja
bungkuk, ganding, rawanahasta.
maganding si kusni rawanahasta si
Sesudah selesai semua yang ditarikan
mandal kapua winaih hlai 1 pirak
mereka kemudian duduk …
ma 8 sowang-sowang // Artinya: widu (penyanyi) bernama Majangut, penari topeng bernama Si Barubuh,
Dalam kutipan tersebut terdapat kata 'bungkuk' yang mungkin sekali artinya sama dengan 'brekuk' pada prasasti lain.
juru kendang bernama si Nanja,
Kalau di dalam prasasti sebelumnya
maganding (penabuh gending?)
ditemukan istilah tuha padahi, juru padahai, di
bernama si Kusni, penabuh musik
dalam prasasti yang berasal dari tahun 853 M
Relief bidadari di Kolam Pampa pada Relief Cerita Ramayana Candi Prambanan. Terlihat kain bermotif ceplok yang dikenakan oleh bidadari
93
94
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
(prasasti Air) ditemukan istilah padahi manggala
bermacam-macam mengisyaratkan bahwa
(pemimpin pemain kendang). Selain itu juga
selain adanya bermacam motif dan jenis kain
disebutkan adanya 'muraba'. Barangkali perlu
barangkali juga ada semacam jenis kain/motif
disebutkan juga jenis seni pertunjukan yang lain
yang hanya khusus untuk golongan tertentu.
ialah 'rara mabhramana tinonton' pada prasasti
Dari bukti-bukti seni arca bisa diamati
Poh IIb.5: "rara mabhramana tinonton si karigna
cara pemakaian kain beserta kelengkapannya,
si darini muang si rumpuk muang wêrêwêrêhnya
motif hias kain, berbagai bentuk perlengkapan
si jaway si baryyut". Artinya: 'dara (anak gadis)
perhiasan seperti kalung, gelang tangan, gelang
yang berkeliling ditonton bernama si Karigna, si
lengan, perhiasan untuk kepala atau gelung
Darini, dan si Rumpuk serta tunangannya
untuk putri. Istilah untuk gelang ada 'kankana'
bernama si Jaway dan si Baryyut". Kata 'tinonton'
(gelang tangan), keyura (gelang lengan), simsim
jelas menunjukkan bahwa gadis-gadis tersebut
untuk cincin, upawita (semacam-ulur-ulur).
tentu gadis penari. Perlu dijelaskan bahwa nama
Sangat beruntung dan menarik bahwa telah
orang yang didahului kata sandang si
ditemukan artefak-artefak perhiasan dari bahan
menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah
emas untuk berbagai jenis perhiasan di situs
rakyat biasa atau gadis desa.
Wo n o b o y o ( K l a t e n ) . D a p a t d i p e r o l e h kesimpulan bahwa tatabusana masyarakat
TATABUSANA DAN KELENGKAPAN Pada masa klasik itulah busana dengan segala kelengkapannya makin bisa
Relief pada Candi Pawon
Jawa kuna dapat dibedakan sesuai dengan tingkat kedudukan dan fungsinya antara masyarakat biasa (rakyat) biasa dan penguasa (raja).
dikaji. Beberapa sumber prasasti sejak abad ke-
Pada masa antara abad ke-8 sampai
9 Masehi menyebutkan istilah untuk pakaian
masa Majapahit akhir sekitar abad ke-16, fungsi
seperti: kulambi (dalam bahasa Jawa sekarang
busana bukan semata-mata lagi sebagai
menjadi 'klambi' (baju), 'sarwal' (kemudian
busana dalam fungsi teknomik sebagai
menjadi sruwal yang artinya celana), 'ken'
pelindung tubuh, akan tetapi telah berkembang
(berarti 'kain') istilah untuk kain yang dipakai oleh
menjadi fungsi sosioteknik. Yang dimaksud
kaum wanita dan 'wdihan' sebagai istilah kain
fungsi sosioteknik adalah suatu fungsi busana
untuk kaum pria, dan sebagainya. Di dalam
yang dapat menunjukkan tingkat struktur sosial.
prasasti, penyebutan untuk jenis kain ada
Busana dalam konteks ini dapat menunjukkan
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
strata masyarakat apakah si pemakai berasal dari golongan rakyat biasa atau golongan bangsawan. Perbedaan fungsional tersebut berakibat pada aspek bahan, bentuk, dan motif ragam hiasnya. Sebagai contoh misalnya, busana raja akan berbeda dengan busana para pejabat kerajaan di bawah raja, dan akan berbeda pula dengan busana rakyat
Government from Central to east java in the 10th Century A.D. Bulletin of the Research Centre of Archaeology No. 10. Jakarta : Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan nasional Departemen P&K. Brandes, J.L .A. 1913. Oud-javaansche oorkonden, nagelen transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door N.J.Krom, VBG LX.
kebanyakan. Selanjutnya pengertian busana yang secara fungsional sebagai ideoteknik adalah
De Casparis, J.G. 1956. Selected inascriptions from the 7th to 9th Century A.D., Prasasti Indonesia II. Bandung : Masa Baru.
busana dan kelengkapannya yang dipakai sebagai ciri aktivitas ritual. Ketika sang Raja melaksanakan aktivitas ritual keagamaan tentu
Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources. Jakarta.
akan berbeda ketika ia sedang dihadap para punggawa kerajaan. Contoh seperti ini dapat dilihat misalnya dalam pertunjukan wayang purwa ketika sang dalang melukiskan sang raja yang menjalankan samadi setelah audiensi di pendapa pasewakan: “Sang Nata arsa munggah jroning palanggatan, sigra lukar busana kaprabon angrasuk busana kapandhitan . . . .”
DAFTAR PUSTAKA Barret Jones, Antoinette M. 1984. Early Tenth Century Java from the Inscription. Dordrecht-Holland : Foris Publication. Boechari. 1976. Some Considerations of the problem of the Shift of Mataram's Centre of
Haryono, Timbul. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta : ISI Press. Haryono, Timbul. 1980. Gambaran tentang Upacara penetapan Sima, Majalah Arkeologi (1-2), hlm. 35-54. Haryono, Timbul. 1991. Logam Emas: Fungsi dan Maknanya dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Kuna Abad VIII-XV. Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM. Haryono, Timbul. 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta : Philosophy Press. Jan Wisseman Christie. 1982. Patterns of Trade in Western Indonesia: Ninth Through Thirteenth centuries AD. Disertasi, London: School of Oriental and African Studies. Relief pada Candi Pawon
95
96
Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur
Kunst, Jaap. 1968. Music in Java, Its History, Its Theory and Its Technique. 3rd edition. The Hague : Martinus Nijhoff. Miksic, John. 1988. Small Finds Ancient Javanese Gold. Singapore : National Museum. Rani, Sharada. 1957. Slokantara and Old Javanese Didactic Text. International Academy of India Culture. Surti Nastiti, Titi. 1992. Pasar : Studi Pendahuluan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Desa di Jawa pada Abad IX-XV Masehi. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI.
Relief Lalitavistara panil no. 1A 1
BIODATA PENULIS Prof. Dr. Timbul Haryono, lahir di Klaten, Jawa Tengah pada 1944 dan merupakan Professor bidang Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Mendapatkan gelar Master di bidang Arkeologi Asia Tenggara dari University of Pennsylvania pada tahun 1982 dan gelar Doktor dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1994. Selain jabatan utamanya sebagai professor di Jurusan Arkeologi, juga mengajar di Program Pascasarjana Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Pernah menjabat sebagai sekretaris Jurusan Arkeologi dan sekarang menjabat sebagai Kepala Kajian Seni Pertunjukan, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Selain itu juga aktif menulis buku, artikel di berbagai majalah dan jurnal.