SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN
Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Gianyar, Bali Made Prarabda Karma
[email protected] P erencanaan M anajemen P embangunan Desa dan Kota, M agister A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas U day ana.
Abstrak Bali kaya akan tradisi dan kebudayaan yang diw ariskan secara turun -temurun. Perkembangan desa maupun kawasan akan berpengaruh terhadap kelestarian tradisi dan kebudayaan tersebut. Sebagai contoh, tradisi ngerebeg yang hanya ada di Desa Tegallalang keberadaannya mulai mendapat ancaman akibat perkembangan pembangunan saat ini. Hal ini akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut. Keberadaan Desa Tegallalang sebagai salah satu desa tua di Gianyar, sedianya akan berpengaruh terhadap penataan kawasannya. Apakah menjadi kawasan urban heritage atau kawasan permukiman biasa. Oleh karena itu, perlu adanya penelusuran nilai-n ilai yang terkandung dalam tradisi ngerebeg , khususnya nilai tangible dan intangible heritage. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai pertimbangan dalam penataan kawasan di Desa Tegallalang Gianyar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif eksploratif, dianalisis menggunakan lima elemen pembentuk kawasan (tangible ) dan metode hermeneutika ( intangible ). Kata-kunci : intangible, ngerebeg, tangible, tradisi, Tegallalang
Pendahuluan Kabupaten Gianyar merupakan sebuah wilayah dengan destinasi pariwisata unggulan berupa seni dan budaya. Di kabupaten ini akan sangat mudah ditemukan berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan. Objek heritage juga banyak ditemukan di wilayah ini. Salah satunya yang sudah masuk dalam warisan budaya dunia oleh UNESCO yaitu DAS Tukad Pakerisan. Selain itu, sebagai destinasi unggulan berupa kebudayaan, Gianyar memiliki tradisi yang tidak dimiliki oleh desa lainnya yaitu tradisi ngerebeg. Tradisi ini hanya terdapat di Desa Tegallalang Gianyar tepatnya di Pura Duurbingin, Desa Adat Tegallalang. Tradisi ngerebeg merupakan rentetan prosesi ritual yang dilaksanakan di Pura Duurbingin, dengan peserta yaitu anak-anak hingga remaja Desa Tegallalang. Semua peserta berhiaskan layaknya seorang raksasa sambil membawa sebilah penjor (ranting pohon salak atau pohon enau yang dililit dengan janur dan diujungnya berisi bunga). Prosesi ini dilaksanakan pada siang hari yaitu pada pukul 12.30–15.00 W ita. Sebelum melaksanakan acara ngerebeg , para peserta yang telah berhias akan dijamu oleh para tetua adat di Pura Duurbingin. Acara jamuan tersebut bernama pica gede. Jamuan dilaksanakan secara bersama-sama atau sering disebut dengan istilah megibung (makan bersama). Setelah acara jamuan se lesai, prosesi ngerebeg dimulai. Peserta bersama-sama berjalan mengelilingi desa sembari mengucapkan yel-yel suka cita “suryak eyo-eyo ”, yang tentunya memberikan nuansa keramaian pada saat kegiatan. Pada prosesi mengelilingi desa, peserta akan singgah di Pura yang berada di sepanjang jalur yang dilewati oleh peserta tradisi ngerebeg untuk melaksanakan persembahyangan. Setelah bersembahyang peserta akan melanjutkan kembali prosesi mengelilingi desa hingga finish di Pura Duurbingin. Tradisi ngerebeg sangatlah unik dan memiliki n ilai magis yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 103
Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Giany ar, Bali
sangat kental. Karena dalam prosesi ini dipercaya tidak hanya diikuti oleh manusia saja, tetapi juga diikuti oleh anak-anak dan remaja kaum jin, memedi, wong samar (manusia gaib) yang bermukim disepanjang daerah aliran sungai yang terletak di sebelah barat Pura Duurbingin. Penggunaan hiasan layaknya seorang raksasa oleh semua peserta diperkirakan sebagai usaha untuk menyeragamkan wujud peserta sehingga secara kasat mata sulit untuk membedakan manusia asli dan manusia gaib. Tradisi ngerebeg merupakan pusaka budaya ( cultural heritage ) milik Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya. Budaya sebagai hasil, cipta dan karsa manusia didefinisikan dalam bentuk cara hidup, bahasa, teknologi, pola permukiman, arsitektur, praktek budaya, norma dan sistem kepercayaan (Koetjaraningrat, 1984). Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tegallalang tidak lepas dari sistem kepercayaan Hindu Bali. Tradisi ini adalah sebuah kepercayaan yang menggambarkan proses interaksi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya atau sering disebut dengan istilah Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana merupakan salah satu konsep yang diajarkan oleh leluhur orang Bali, bagaimana kita menjaga keharmonisan dan keselarasan untuk mencapai keseimbangan. Ada kepercayaan bahwa, jika tradisi in i tidak dilaksanakan maka diyakini akan terjadi bencana di wilayah Desa Adat Tegallalang. Hal in ilah yang menjadikan tradisi ngerebeg masih dilestarikan hingga saat ini. Keberadaan tradisi in i tidak bisa lepas dari sejarah Desa Tegallalang. Karena Pura Duurbingin yang menjadi pusat kegiatan tradisi ngerebeg merupakan cikal bakal berdirinya desa ini (Agung, 1983). Hal tersebut menjadikan tradisi ini juga memiliki nilai historis yang tinggi. Pemahaman terkait nilai-n ilai yang terkandung dalam kegiatan tradisi ngerebeg umumnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat Tegallalang. Desa Tegallalang yang saat ini masuk dalam kawasan perkotaan Sarbagita (Ubud dan sekitarnya) menyebabkan pertumbuhan pembangunan semakin pesat. Penetapan zonasi tersebut menjadikan Desa Tegallalang sebagai kawasan urban yang tentunya mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam pembangunan . Penetapan Desa Tegallalang sebagai bagian dari kawasan Sarbagita tersebut belum didukung dengan pengembangan dan preservasi yang baik terhadap tradisi ngerebeg . Hal tersebut tentunya akan memberikan ancaman serta dit akutkan memberi pengaruh terhadap kelestarian tradisi itu sendiri. Dengan potensi yang dimiliki sedianya desa ini dapat dijadikan sebagai kawasan urban heritage . Karena selain hanya satu-satunya di Dunia, kegiatan ini juga memiliki keterkaitan dengan elemen-elemen pembentuk kawasan Desa Tegallalang. Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa terdorong untuk melakukan penelusuran terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ngerebeg, khususnya nilai tangible dan intangible heritage . Metode Penelitian in i menggunakan penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif eksploratif (Groat & W ang, 2002). Pendekatan penelitian secara fenomenologi (Creswell, 2012), karena berfokus pada penelusuran nilai atau makna yang terkandung dalam tradisi ngerebeg . Ini juga didasari oleh kesadaran penulis sebagai warga asli Desa Tegallalang, yang tentunya merasakan, melaksanakan dan mengikuti kegiatan tersebut. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu, observasi langsung terhadap kegiatan tradisi ngerebeg di Desa Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Studi B 104 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Gambar 1. Lokasi Tradisi Ngerebeg
Made Prarabda Karma
literatur berkenaan dengan tradisi ngerebeg dan wawancara dengan beberapa informan terkait antara lain ( Bendesa Pakraman , Pemangku Pura Duurbingin, Tetua Masyarakat Tegallalang). Metode Analisis Data Metode analisis data yang diterapkan dibagi menjadi dua yaitu kajian elemen pembentuk kawasan diterapkan dalam menganalisis n ilai tangible dalam tradisi ngerebeg. Sedangkan untuk nilai intangible menggunakan metode hermeneutika (Howard, 2001) yang pada dasarnya untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam kegiatan tradisi ngerebeg . Analisis dan Interpretasi Tabel 1. Nilai Tangible dan Intangible dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang Gianyar No 1
Nilai Tangible Pura Duurbingin dan beberapa Pura disepanjang jalur kegiatan sebagai tempat kegiatan upacara dan rentetan dalam tradisi ngerebeg.
2
Jalur sirkulasi peserta tradisi ngerebeg
3
Catus Patha Desa Tegallalang
4 5
Banjar yang merupakan wilayah kecil dari desa menjadi tempat tinggal para peserta tradisi
yang
Batas desa yang menjadi batas dari sirkulasi kegiatan tradisi.
Nilai Intangible Tradisi Ngaturang Artos dalam bentuk mentah)
(bersedekah
Tradisi Pica Alit (menerima sedekah berupa makanan nasi dan lawar) Tradisi Pica Gede (menerima sedekah berupa makanan nasi, lawar dan sate) Tradisi Ngerebeg (parade mengelilingi desa dengan berhiaskan layaknya seorang raksasa)
Nilai Tangible Pendekatan terhadap nilai tangible dianalisis menggunakan lima elemen pembentuk kota atau kawasan yang dikemukakan oleh Kevin Lynch (1960). Elemen tersebut antara lain: Landmark (tengaran), Path (jalur), Nodes (simpul/persimpangan), District (wilayah) dan Edges (batas).
C atus P atha Desa
Batas U tara Desa
P ura Duurbingin
P ura P enataran P eliatan
Batas S elatan Desa
Bale Banjar
Jalur S irkulasi
Gambar 2. Sirkulasi Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang Gianyar Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 105
Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Giany ar, Bali
Lima elemen ini menjadi pilihan karena elemen-elemen tersebut merupakan nilai tangible yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi ngerebeg . Dimulai dari Pura Duurbingin (sebagai pusat kegiatan), jalur yang dilewati oleh peserta, batas-batas desa, persimpangan desa serta wilayahwilayah kecil yang dilewati oleh peserta merupakan nilai tangible dari kegiatan.
Landmark sebagai vocal point sebuah kawasan membentuk identit as kawasan karena keberadaanya yang menonjol. Dalam tradisi ngerebeg , yang menjadi landmark adalah Pura Duurbingin (Gambar 3). Karena Pura Duurbingin merupakan pusat kegiatan tradisi dan menjadi titik start hingga finish kegiatan. Diawali dari prosesi pica gede hingga pelaksanaan ngerebeg dimulai dan berakhir semua dipusatkan di tempat ini. Selain itu, pura yang dilewati oleh peserta bisa dikatakan sebagai landmark kawasan, karena dilihat dari keberadaannya merupakan pusat kegiatan persembahyangan bagi masyarakat Tegallalang pada umumnya. Peserta dalam hal ini juga melakukan persembahyangan di pura tersebut. Pura yang dilewati memiliki status Pura Kahyangan Desa (Pura Prajapati, Pura Dalem, Puseh, Desa, dan Bale Agung), Pura Dang Kahyangan (Pura Bolo dan Pura Gria), Pura Dadia (Pura Tanjung Sari), Pura Dalem Batur, Pura Penataran Peliatan (milik Kerajaan Peliatan dan Tegallalang), dan Pura Tirta Empul. Ini merupakan tempat yang sangat disucikan oleh masyarakat serta menjadi saksi bisu berdirinya Desa Tegallalang Gianyar (Abad ke-17 Masehi).
Gambar 3. Area Jeroan Pura Duurbingin Ketika Prosesi Ngemedalin (kiri) dan Nunas Pica Gede (kanan)
Path merupakan jalur sirkulasi dari kegiatan tradisi ngerebeg . Jalur sirku lasi ini merupakan jalur-jalur yang digunakan oleh masyarakat Tegallalang. Path dari tradisi in i yaitu jalan lingkungan Banjar Penusuan dan Banjar Tengah, Jalan Raya I W ayan Lunga/Jalan Raya Tegallalang (merupakan jalan provinsi, menjadi penghubung antara Ubud dan Kintamani) serta Jalan lingkungan Banjar gagahPejengaji-Tegal. Di sepanjang jalan akan dijumpai permukiman tradisional Bali dengan ciri khas telajakan dan angkul-angkul (pintu masuk) tradisional. Akan tetapi, pada jalan provinsi telah mengalami beberapa perubahan terutama hilangnya beberapa telajakan akibat dari perkembangan kepariwisataan (Gambar 4).
Gambar 4. Kondisi Path Dekat Batas Selatan Desa (kiri) dan Path Dekat Catus Patha (kanan) B 106 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Made Prarabda Karma
District merupakan wilayah kecil yang menjadi bagian dari Desa Tegallalang. Wilayah kecil ini bernama banjar atau dusun. Secara konsepsual, banjar merupakan kelompok masyarakat yang menempati sebuah wilayah yang menjadi bagian dari desa induk (Adhika, 2015). Dalam tradisi ngerebeg , peserta akan melewati tujuh banjar yang merupakan bagian kecil dari Desa Tegallalang. Banjar tersebut antara lain Banjar Penusuan, Tengah, Tegal, Triwangsa, Tegallalang, Gagah dan Banjar Pejengaji. Pola permukiman banjar mengikuti pola desa lin ier yang membentang dari utara hingga selatan mengikuti jalur aliran sungai. Banjar merupakan bagian kecil dari desa yang memiliki peran sangat penting dalam melestarikan tradisi in i. Peran banjar cukup signifikan karena baik peserta maupun tetua adat berasal dari banjar-banjar ini. Sehingga dalam prosesi in i, peserta akan melewati rumahnya masing-masing, keluarga para peserta tentunya akan ikut menonton tradisi yang tentunya menimbulkan keramaian pada saat acara berlangsung.
Nodes dalam kegiatan tradisi ngerebeg merupakan persimpangan yang berada di pusat desa (Gambar 5). Di Bali, istilah persimpangan ini disebut sebagai catus patha (perempatan agung). Di area Nodes, pada saat pelaksanaan kegiatan terjadi kemacetan karena menjadi crossroad . Selain sebagai persimpangan, catus patha menjadi tempat kegiatan upacara masyarakat. Pelaksanaan kegiatan seperti tawur agung kesanga (rentetan upacara Nyepi) menyebabkan tempat ini sangat penting bagi umat Hindu Bali pada umumnya dan Tegallalang pada khususnya.
Gambar 5. Kondisi Nodes Sisi Barat (kiri) dan Nodes Sisi Timur (kanan) Desa Tegallalang
Edge yaitu batas/tepian Desa Adat Tegallalang yang sering disebut tangluk. Elemen t angluk merupakan elemen arsitektur yang menjadi pembatas sebuah kawasan. Elemen ini dibuat dari bambu sebagai rangka dan ditutup menggunakan klangsah (pelepah daun kelapa yang diulat). Konsep pembuatannya mengambil konsep tembok bangunan bali ( penyengker). Penempatan tangluk memiliki nilai spiritual, karena masyarakat Bali pada umumnya melaksanakan upacara nangluk merana di tempat tangluk tersebut diletakkan (kegiatan dilaksanakan setiap 6 bulan sekali) . Jadi, edge di Desa Tegallalang fungsinya ada dua yaitu fungsi kegiatan spiritual dan batas desa adat.
Gambar 6. Edge Sebelah Selatan (kiri) dan Edge Sebelah Utara (kanan) Desa Tegallalang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 107
Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Giany ar, Bali
Nilai Intangible Tradisi ngerebeg mengandung banyak nilai dan konsep kehidupan. Rentetan prosesi kegiatan ini dimulai dari H-5 tradisi ngerebeg , tepatnya hari Sabtu wuku Pujut (Bulan Kalender Bali). Peserta atau pengayah yang didominasi oleh anak-anak akan membawa artos (persembahan dalam wujud yang masih mentah) seperti daun pisang, buah pepaya muda dan buah nangka muda. Bahan-bahan tersebut akan diolah oleh para tetua adat se bagai bahan untuk membuat pica alit ( lawar dan nasi yang dibungkus dengan daun pisang). Setelah pica alit selesai dibuat, selanjutnya akan dibagikan pada pukul 11 siang (sebelum makan siang) kepada para pengayah . Saat it u, anak-anak desa akan berebut meminta pica alit (Gambar 7). Pelaksanaan pica alit ini dilangsungkan hingga hari ke - 5 (Sabtu, Minggu, Senin, Selasa dan Rabu). Sedangkan pica gede ( lawar, sate dan nasi) dilaksanakan pada hari H, tepatnya hari Rabu wuku Pahang (Bulan kalender Bali).
Gambar 7. Pembagian Pica Alit oleh Para Tetua (kiri) dan Anak-Anak yang Meminta Pica Alit (kanan)
Pelaksanaan pica alit dan pica gede memiliki makna yang cukup dalam. Pengayah (peserta) memberikan persembahan berupa hasil alam yang masih mentah ( artos), setelah diolah para tetua adat, pengayah mendapatkan kembali hasil dalam bentuk yang sudah matang. Kegiatan tersebut merupakan sebuah bentuk pendidikan bagaimana kita bersedekah dengan tulus ikhlas dan pada akhirnya kita akan menerima kembali pahalanya. Menurut kepercayaan Hindu, konsep ini disebut karma phala yang didasari dengan konsep yadnya (sebuah pengorbanan suci secara tulus ikhlas). Selain itu, kegiatan ini juga dipercaya oleh masyarakat Tegallalang sebagai wujud rasa sayang Tuhan dalam man ifestasinya yang ber-stana di Pura Duurbingin kepada anak-anak Desa Tegallalang baik yang berwujud manusia nyata maupun manusia gaib. Hal ini memiliki makna bagaimana kita menjaga keseimbangan alam nyata dan alam metafisika
Gambar 8. Jamuan Pica Gede di Area Jeroan Pura Duurbingin (kiri) dan Prosesi Makan Bersama (Megibung)
B 108 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Made Prarabda Karma
Pada prosesi selanjutnya yaitu mengelilingi desa, peserta yang telah mendapat pica gede mulai berbaris acak ( mererod ) di jaba sisi (luar) Pura Duurbingin. Sembari dipercikan tirta oleh pemangku, peserta mulai melakukan perjalanan sambil mengucapkan yel-yel “suryak eyo-eyo ” yang dikomandoi oleh remaja desa (Gambar 9). Kegiatan tersebut menimbulkan suasana yang sangat ramai, dimana masyarakat setempat juga ikut bersorak-sorak karena melihat anak-anaknya mengikuti tradisi ngerebeg . Tradisi in i merupakan sebuah kegiatan yang berbentuk parade, dilaksanakan secara suka cita karena akan menyambut upacara piodalan di Pura Duurbingin.
Gambar 9. Peserta Remaja sebagai Koordinator Tradisi Ngerebeg (kiri) dan Peserta Anak-Anak (kanan)
Prosesi kegiatan ini diawasi penuh oleh para tetua adat yang dibantu oleh masyarakat setempat. Hal ini karena tradisi dilaksanakan di jalan umum yang lalu lintasnya cukup padat (jalur penghubung antara Ubud-Kintamani). Kepadatan lalu lintas juga diperparah oleh kendaraan wisatawan yang akan menuju Daya Tarik W isata Kintamani. Karena pada saat kegiatan berlangsung para pramuwisata akan memberhentikan kendaraannya agar w isatawan dapat menonton prosesi ini.
Gambar 10. Pawai Ngerebeg dengan Hiasan Satu Warna (kiri) dan Hiasan dengan Berbagai Warna (kanan)
Tradisi Ngerebeg merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tegallalang untuk membentuk kepribadian generasi penerusnya dalam menjaga keseimbangan (Tri Hita Karana). Kepribadian ini terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang secara tidak langsung telah meresapkan norma-norma sosial dan pola-pola tingkah sosial ke alam psikis (jiwa) seseorang (Narwoko dan Suyanto, 2004). Pembentukan kepribadian pada tradisi ngerebeg ini dilakukan oleh kelompok. Karena peran kelompok (para tetua adat) sangatlah tinggi, dimulai dari persiapan awal Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 109
Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Giany ar, Bali
hingga akhir kegiatan dilakukan oleh kelompok. Di Desa Tegallalang, kelompok ini disebut dengan istilah pemaksan, sekaa atau pengiring . Kelompok ini terbentuk dari rasa so lidaritas dan loyalitas ( ngayah ) yang sangat tinggi dalam mengurus dan mengayomi kepentingan upacara maupun prosesi ritual yang dilaksanakan di Pura Duurbingin. Tradisi ngerebeg adalah sebuah karya seni yang berkembang secara terus menerus. Menurut para tetua adat, seni menghias tubuh ini telah mengalami perubahan. Dulu hanya berupa hiasan biasa (sekedar mencoret muka dengan satu warna), akan tetapi saat ini kreatifitas peserta dalam merias tubuhnya sangat tinggi. Hal ini tentu memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang menonton tradisi ngerebeg . Dilihat dari filsafat ilmu, Seni merupakan sesuatu yang mengarah kepada estetika (Gie, 2007). Karena, estetika sebagai wujud keindahan bersifat komunikatif sehingga mudah dipahami (Latif, 2014). Dalam mengekspresikannya tentu memerlukan kreatifitas agar penikmat memahami apa makna yang dimaksud. Kesimpulan Tradisi ngerebeg mengandung nilai tangible dan intangible heritage . Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis tangible dan intangible . Dimana, nilai tangible yang diperoleh berupa lima elemen pembentuk kawasan yang semuanya berkaitan dengan tradisi ngerebeg. Sedangkan, nilai intangible yang diperoleh berupa pendidikan moral (bersedekah), parade sebagai luapan kegembiraan karena akan melaksanakan upacara piodalan di Pura Duurbingin dan tidak lupa bersyukur atas berkah yang diperoleh dengan tetap mengucapkan terima kasih berupa bersembahyang saat melewati pura yang dilewati. Selain itu, tradisi ngerebeg merupakan suatu proses pembentukan kepribadian bagi peserta oleh para tetua desa. Karena peserta secara tidak langsung telah diterapkan nilai dan norma sosial dalam mengikuti tradisi. T radisi ngerebeg juga merupakan sebuah karya seni karena memiliki unsur estetika yang maknanya mudah untuk dipahami. Oleh karena it u, nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan tradisi ngerebeg sedianya dapat dijadikan sebagai acuan dalam penataan kawasan di Desa Tegallalang yang dapat diarahkan sebagai kawasan urban heritage . Daftar Pustaka Adhika, I.M. (2015). Banjar dan Konsep Komunitas. Denpasar: Udayana University Press. Agung, T.G. (1983). Sejarah Awal Berdiri dan Berkembangnya Puri Agung Tegallalang dan Penataran Agung Tegallalang Gianyar. Tegallalang: (Tidak Dipublikasikan) Creswell, J.W. (2012). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approches. California: Sage Publications, Inc. Gie, T. L. (2007). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods . New York: John Wiley & Sons. Inc. Howard, Roy J. (2001). Hermeneutika Wacana Analisis Psikososial dan Ontologis . Bandung: Nuansa. Koetjaraningrat (Ed). (1984). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ( People and Cultures in Indonesia ). Jakarta: Djambatan Latif, Mukhtar. (2014). Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada Media Group Lynch, Kevin. (1960). Image of the City . Massachusets: MIT press Narwoko, J. D. & Suyanto, B. (Ed). (2004). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Surabaya: Prenada Media Group
B 110 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017