TARI MEKOTEKAN DALAM UPACARA NGEREBEG DI DESA MUNGGU KABUPATEN BADUNG
OLEH : NI MADE WIRYANI NIM : 2006.01.027
PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI JURUSAN SENI TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2011
i
TARI MEKOTEKAN DALAM UPACARA NGEREBEG DI DESA MUNGGU KABUPATEN BADUNG
SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni ( S1 )
MENGETAHUI
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
( Dr. Ni Luh Sustiawati., M.Pd ) NIP. 1959 0722 1988 032001
( I Gusti Ngurah Sueka, SST., M.Si ) NIP. 1955 0120 1985 031002
ii
Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh Panitia Ujian Akhir Sarjana ( S1 ) Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Hari/ Tanggal
: Jumat, 01 Juli 2011
Ketua
: I Ketut Garwa, SSn., M.Sn NIP. 1968 1231 1996 031007
(..............................)
: I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum NIP. 1964 1231 1990 0210410
(..............................)
Sekretaris
Dosen Penguji : 1. I Nyoman Cerita, SST., MFA NIP. 1961 1231 1991 031008
(..............................)
2. Dr. Ni Luh Sustiawati., M.Pd NIP. 1959 0722 1988 032001
(..............................)
3. Drs. I Wayan Mardana., M.Pd NIP. 1954 1231 1983 031016 Disahkan pada tanggal :
Mengetahui Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
Ketua Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
I Ketut Garwa, SSn., M.Sn NIP. 1968 1231 1996 031007
I Nyoman Cerita, SST., MFA NIP. 1961 1231 1991 031008
iii
ABSTRAK
Penelitian ini adalah sebuah pengkajian seni tari yang mengangkat tari Mekotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung sebagai salah satu tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Desa Munggu Kabupaten Badung. Penelitian ini adalah analisis tentang asal mula, bentuk dan fungsi pertunjukan tari Mekotekan yang ada di Desa Munggu Kabupaten Badung. Semua data yang disajikan dalam penelitian ini didapat melalui observasi, interview atau wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. Metode analisis datanya digunakan analisis diskriptif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tari Mekotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung sudah ada sejak zaman peperangan melawan Belanda, dan sampai saat ini masih tetap dipentaskan setiap upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupatan Badung yang jatuh pada Saniscara Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan. Sebelum tari Mekotekan ini dipentaskan diawali dengan ritual pesucian dan pedudusan alit ke Pura Desa Munggu Kabupaten Badung dan dipercikkan tirta hasil rendaman keris pusaka Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung. Tepat pukul 13.00 suara kulkul (kentongan) berbunyi, pusaka pura, keris, tamiang, tombak, tedung, pratima (arca) dikeluarkan untuk mepeed. Suara kulkul makin kencang, pertanda masyarakat pendukung tari Mekotekan bersiap-siap untuk mengiringi upacara Ngerebeg dengan iringan gambelan Baleganjur. Gerak tari yang dapat dilihat dari tari Mekotekan sangatlah sederhana, begitu juga kostumnya hanya mempergunakan adat madya. Fungsi tari mekotekan ini adalah sebagai tari wali untuk mengiringi upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung
Kata kunci : Tari Mekotekan, Bentuk, Fungsi
iv
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu, Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa, atas berkat rahmat dan anugerah-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Tari Mekotekan Dalam Upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung ” tepat pada waktunya. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana dalam bidang ilmu Seni Tari Jurusan Pengkajian Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. Penulis menyadari akan hakekat sebagai ciptaannya, disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan disadari pula akan peranan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dalam keseharian manusia akan sangat berarti bagi sesamanya sehingga senantiasa saling membutuhkan. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati yang tulus dan ikhlas maka perkenankanlah melalui tulisan ini penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, terutama kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr I Wayan Rai S, M.A selaku Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah memberi dukungan moral dan spiritual. 2. Bapak I Ketut Garwa, S.Sn, M.Sn , selaku Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah memberikan arahan serta bimbingan, dukungan dan semangat dalam penyelesaian penulisan skripsi. 3. Bapak I Nyoman Cerita, SST, MFA, selaku Ketua Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar, yang telah memberikan bimbingan demi sempurnanya skripsi ini.
v
4. Ibu Bambang Rai Kasumari, SST, M.Si, Sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan serta arahan yang sangat berarti bagi penulis. 5. Ibu Dr Ni Luh Sustiawati, M.Pd, Sebagai pembimbing utama yang telah memberikan dukungan, semangat, masukan dan informasi selama proses penulisan skripsi. 6. Bapak I Gusti Ngurah Sueka, SST, M.Si, Sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan dukungan, semangat serta bimbingan selama proses penulisan skripsi. 7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Seni Pertunjukan serta segenap Pegawai Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta arahan selama mengikuti perkuliahan dan penyususnan skripsi. 8. Bapak Drs. Nikanaya, M.M, dan Bapak Drs. Djesna Winada, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moral selama proses penelitian berlangsung. 9. Bapak Ida Bagus Gede Sidemen, S.Sos dari Griya Pemaron Munggu dan Kepala Desa Bapak Ketut Darta sebagai informan yang telah banyak memberikan informasi selama proses penelitian berlangsung. 10. Seluruh keluarga dan putra-putri tercinta, yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat dalam proses penyelesaian skripsi ini. 11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
vi
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan seni pertunjukan khususnya bidang seni tari.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Juni 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL…………………………………………………………………………………..…i SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING……………...………………………………..ii SURAT PENGESAHAN PENGUJI……………………………………………………..iii ABSTRAK……………………………………………………………….……………….iv KATA PENGANTAR…………..………………………………………………….……..v DAFTAR ISI……………………………………………………………………...……..vii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………..xi
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………..…..1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………..……4 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………...………4 1.4 Manfaat Hasil Penelitian……...…………………………………….…5 1.5.1
Manfaat Teoritis..……...………………………..………….….5
1.5.2
Manfaat Praktis………..……………….……………………...5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian……………………………………..………6
BAB II
KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI …..…………….…..…..7 2.1 Kajian Sumber...……………………………………………...….……7 2.2 Landasan Teori………………………………………………….....…..9
viii
2.2.1 Teori Estetika………………………………….………………..9 2.2.2 Teori Struktural…………………………………..……………..9 2.2.3 Teori Kontekstual…………………………………………...…10
BAB III
METODE PENELITIAN……………………………………………...…12 3.1 Rancangan Penelitian………………………………………………..12 3.2 Instrumen Penelitian……………………..……………………….…13 3.3. Metode Pengumpulan Data Data…………………..………………..13 3.3.1 Metode Observasi…………………………………...…………14 3.3.2 Metode Wawancara…………………………………………....14 3.3.3 Metode Dokumentasi………………………………………….15 3.3.4 Metode Studi Kepustakaan……………………………………15 3.4. Metode Analisis Data…….……………………………………….....15 3.5. Teknik Penyajian Hasil Penelitian…………………………………..17
BAB IV
PEMBAHASAN……………………………………………..….……….19 4.1. Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu………………….……19 Kabupaten Badung 4.1.1 Sejarah Tari Mekotekan Berdasarkan Versi Ida Pedanda…....19 Gede Sidemen Pemaron 4.1.2 Sejarah Tari Mekotekan Berdasarkan Versi Ida Bendesa…....23 Adat Munggu, I Ketut Kormi
ix
4.2 Bentuk Tari Mekotekan…………………………………………..…25 4.2.1 Perbendaharaan Gerak Tari Mekotekan…………………...…..25 4.2.2 Busana dan Tata Rias………………………………………….27 4.2.3 Properti yang Digunakan……………………………………....29 4.2.4 Instrumen Pengiring Tari Mekotekan…………………………29 4.2.5 Masyarakat Pendukung……………………………….……….30 4.2.6 Perkembangan Tari Mekotekan……………………………….31 4.3 Fungsi Tari Mekotekan dalam Upacara Ngerebeg di Desa…….33 Munggu Kabupaten Badung
BAB V
PENUTUP………………...……………………………………………...35 5.1 Kesimpulan………………………………………………………….35 5.2 Saran………………………………...……………………………….36
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..……..38 LAMPIRAN…………………………………………………………….………………..39
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto-foto tari Mekotekan 2. Peta Desa Munggu 3. Daftar Informan 4. Daftar Pertanyaan
xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bali merupakan daerah seni dan budaya yang mencakup berbagai bentuk kesenian, baik kesenian bersifat sakral maupun sekuler. Beragam kesenian tumbuh dan berkembang dengan berbagai fungsi, bentuk, serta corak garapan. Hampir semua bentuk seni pertunjukan pada awal mulanya berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara atau bahkan merupakan prosesi utama upacara yang diselenggarakan. Tanpa adanya tari sakral yang dipertunjukkan, upacara keagamaan belum dianggap selesai. Misalnya tari Sanghyang Jaran yang merupakan salah satu dari berjenis-jenis tari Bali yang merupakan sisa-sisa dari kebudayaan pra-Hindu 1. Tari Brutuk, dan tari Perang Pandan merupakan contoh tarian lain yang bersifat sakral yang pementasannya diiringi dengan berjenis-jenis gamelan yang juga bersifat sakral, seperti gamelan slonding, gambang, gong Beri dan bermacam-macam vokal yang disebut kidung 2. Kesenian-kesenian yang bersifat sakral ini hanya dipertunjukan untuk mengiringi upacara keagamaan, namun boleh disaksikan oleh para wisatawan dan masyarakat umum dengan mengikuti aturan dan adat
setempat.
Tari-tarian
yang
bersifat
sakral
ini
1
Pande Nyoman Djero Premana. Tari Ritual Sanghyang Jaran
2
I Made Bandem, Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar Akademi Seni Tari Indonesia, 1983
1
tidak
dipertunjukkan secara bebas apalagi dipentaskan
hanya untuk
wisatawan (komersial), mengingat fungsi serta sifat dari tari Sanghyang adalah sakral, yang erat hubungannya dengan alam gaib (spiritual world ) dan keniskalan yang bertujuan untuk menanggulangi bencana alam serta wabah penyakit menular. 3 Demikian pula halnya tari sakral yang ada di Desa Munggu kabupaten Badung yang disebut tari Mekotekan. Tari ini dipentaskan untuk mengiringi upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat. Sesuai aturan desa adat setempat, pendukung tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg yaitu anggota banjar dan sekehe di Desa Munggu Kabupaten
Badung. Tari Mekotekan dalam
upacara Ngerebeg
memiliki ciri khas tersendiri serta memiliki unsur-unsur mistis dan mengandung nilai-nilai religius. Pengamatan terhadap tarian ini berawal dari perjalanan penulis untuk melakukan persembahyangan ke Pura Buduk Badung dalam rangka Hari Raya Kuningan. Di dalam perjalanan tepatnya di jalan Munggu Kabupaten Badung, terjadi kemacetan yang sangat panjang. Rasa jemu, kesal, dan gelisah yang sebelumnya dirasakan seketika berubah menjadi rasa ingin tahu setelah mendengar suara gemuruh, sorak-sorai manusia serta suara gamelan batel. Dari kejauhan tampak beberapa orang pemangku sedang dalam kondisi setengah sadar (trance) sedang menari-nari di atas tatanan
3
Seminar Seni Sakral dan Seni Profan Bidang Tari, 1971
2
pada ujung kayu berbentuk kerucut. Dari bahasa tubuh yang disajikan lewat
tari
Mekotekan
ini
kepada
publik
dinyatakan
bahwa
pertunjukan ini merupakan pertunjukan sakral yang perlu dilestarikan, di samping itu juga dari properti yang dibawa penari berupa sebuah kayu pulet, menandakan pertunjukan yang bertemakan ”perjuangan” mewujudkan kemenangan. Pertunjukan tersebut sangat memukau karena sarat dengan fenomena estetis dan magis yang masih dipertahankan
oleh
masyarakat
pendukungnya,
sehingga
menimbulkan keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang tarian yang dipentaskan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, setelah melihat secara langsung keunikan-keunikan yang ada serta kekaguman peneliti dengan penyajian yang terkait dengan pementasan tari Mekotekan, muncul keinginan untuk mengangkat tari Mekotekan ini ke dalam sebuah tulisan ilmiah. Disamping itu pula dari hasil kajian beberapa literatur didapatkan bahwa tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg ini merupakan salah satu tari sakral di Bali untuk mengiringi upacara keagamaan yang belum pernah diteliti. Hal ini menyebabkan tari Mekotekan menjadi tari sakral yang belum didokumentasikan dengan baik. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mengkaji dan mempublikasikan tentang topik ini, padahal tari Mekotekan ini masih tetap dipentaskan secara rutin dan mentradisi.
3
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan keunikan dan kekaguman pada tari Mekotekan ini maka dalam penelitian ini diangkat beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana asal mula munculnya tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung? 2. Bagaimana bentuk penyajian tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung? 3. Apa fungsi tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat bagi masyarakat Desa Munggu Kabupaten Badung?
1.3. Tujuan Penelitian Dalam penelitian tentunya untuk mendapatkan jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dipermasalahkan, ada beberapa permasalahan memiliki tujuan sebagai berikut : -
Mendeskripsikan asal mula munculnya tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
4
-
Mendeskripsikan bentuk penyajian
tari Mekotekan dalam
upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung. -
Mendeskripsikan
fungsi
tari
Mekotekan
dalam
upacara
Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
1.4. Manfaat Hasil Penelitan Penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Dapat menambah pengetahuan khususnya bidang seni tari sakral. 2. Dengan
adanya
penelitian
mengenai
tari
Mekotekan
diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian yang terkait. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seniman muda
sebagai generasi penerus dalam pelestarian budaya
bangsa. 2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipergunakan sebagai referensi untuk mempelajari gerak-gerak tari sakral.
5
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Untuk menghindari agar tidak terjadi penafsiran -penafsiran yang meluas dalam penelitian ini maka perlu dibatasi pembatasan sebagai berikut: -
Prosesi Ritual yang dilakukan seperti pedudusan alit untuk seluruh penari Mekotekan, serta ritual khusus untuk properti kayu, semua prasasti dan pajenengan pura.
-
Prosesi tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
6
BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Sumber Kajian sumber merupakan acuan dari referensi-referensi yang memiliki relevansi yang terkait dengan penelitian. Referensi yang dijadikan sumber kajian dijadikan acuan baik secara langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan obyek penelitian tari Mekotekan dalam Upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung. Kajian sumber sangat diperlukan dan sangat bermanfaat bagi peneliti, karena memberikan pembahasan mengenai keberadaan jenisjenis tari sakral.
Sumber yang Digunakan Dalam Penelitian ini Diantaranya : 1. Buku yang berjudul Kaja dan Kelod, Tarian Bali dalam Transisi dengan penerjemah I Made Marlowe Makaradhawaja Bandem, 2004, dikatakan bahwa di dalam upacara keagamaan jika terjadi sebuah bentuk kerucut di dalam tari, maka tari itu adalah tari perjuangan. Dari buku ini diperoleh manfaat bahwa pementasan tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung, bentuknya kerucut dan bertema perjuangan.
7
2. Buku Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali , oleh I Made Yudabakti dan I Wayan Watra mengatakan sebagai bukti tari sakral hanya dipentaskan pada saat piodalan atau karya Dewa Yadnya tertentu. Begitu pula tari Mekotekan ini dipentaskan dalam upacara Dewa Yadnya dengan tujuan menolak mara bahaya. Ini dibuktikan dengan adanya kerauhan para petapakan yang dipercaya sebagai dewa junjungannya untuk memberi wejangan atau seruan kepada masyarakat penyungsung. Untuk mementaskan kesenian sehingga mencapai kedamaian. 3. Buku yang berjudul Teori Budaya Karangan David Kalpen dan Albert A. Manner, dalam Pengantar Dr P.M. Laksono, 2004 dikemukakan disebabkan
bahwa oleh
pelestarian
masih
suatu
berfungsinya
sistem suatu
kebudayaan
budaya
masyarakat yang memeluk Agama Hindu masih memerankan tari sakral dalam setiap kegiatan keagamaan, sehingga tari sakral yang berfungsi untuk mengiringi upacara keagamaan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tetap bertahan. 4. Buku Perkembangan Seni Tari Bali oleh Wayan Dibia, 1977/1978, dibahas tentang fungsi tari Bali secara umum. Buku ini membantu dalam memaparkan secara cermat fungsi tari sebagai tari upacara. Dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung, tari Mekotekan berfungsi sebagai tari upacara keagamaan.
8
dalam
2.2 Landasan Teori Untuk
membedah
permasalahan
dalam
penelitian
Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat ini digunakan beberapa teori yang dapat memberi sebuah pengetahuan secara kongkrit serta membangun teori berdasarkan data yang dikaj i. Adapun teori tersebut adalah
2.2.1 Teori Estetika Menurut Djelantik dalam buku Estetika Sebuah Pengantar, dijelaskan estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan. Estetika mengandung tiga unsur pokok yaitu : Berupa Wujud atau rupa (appearance), Bobot atau isi (content, substance ), Penampilan atau penyajian ( presentation). Teori estetika dipergunakan untuk membahas konsepsi estetis yang terkandung dalam tari Mekotekan yang ada di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung. Adapun yang dikaji adalah : Bentuk Pertunjukan, Gerak-gerak tari, Musik iringan, Kostum dan properti kayu pulet yang terkait dengan elemen-elemen bentuk tari Mekotekan.
2.2.2 Teori Struktural Teori ini diperjelas oleh Bandem, dalam bukunya yang berjudul Evolusi Tari Bali, tahun
1996, bahwa bentuk tari dapat
9
tari
dilihat dengan pendekatan struktural. Struktur dalam tari adalah hubungan antara bagian-bagain tari secara keseluruhan. Melalui teori struktur orang dapat menikmati tari mulai adegan, sekuen, dan gerak gerak unit terkecil atau motif. Teori struktural yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Teori Antropologi I, tahun 1980 mengatakan bahwa : Teori Struktural adalah suatu sistem dimana unit-unit itu dihubungkan dinamakan struktur unsur. Jadi, organisme bukanlah struktur sendiri, melainkan kumpulan unit -unit atau molekul yang diatur dalam suatu bentuk. Teori ini dipergunakan untuk membahas kemasan struktur pertunjukan tari Mekotekan dalam Upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung.
2.2.3 Teori Kontekstual Menurut teori Murphy dalam Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya Ketika Orang Jawa Nyeni , bahwa sebuah kesenian dianggap menjadi hidup karena konteksnya 4. Dari teori di atas dapat diartikan bahwa suatu kesenian hidup karena difungsikan, atau memiliki hubungan dengan kegiatan yang lain. Penjelasan teori kontekstual tersebut diatas, maka dapat digunakan membahas hubungan tari Mekotekan dengan kehidupan masyarakat di Desa Munggu, hal ini
4
Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni, Yogyakarta : Galang Press,
p.414
10
disebabkan
karena
tari
Mekotekan
tidak
dapat
keberadaannya dengan masyarakat pendukungnya itu sendiri.
11
dipisahkan
BAB III METODE PENELITIAN
Guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam penelitian ini sesuai tujuan yang dicapai, maka metode memiliki peran yang sangat penting. Dalam penelitian ini, dipilih metode yang tepat untuk dapat dipergunakan menjawab permasalahan penelitian ini, dapat disusun dan memenuhi syarat untuk menjadi tulisan yang bersifat ilmiah.
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada asal mula, bentuk, fungsi tari Mekotekan yang ada di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pertimbangan penting seperti : 1. Sumber data dalam penelitian tari Mekotekan merupakan tradisi yang dilakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu Kabupaten Badung dalam upacara Ngerebeg. 2. Peneliti sebagai instrumen penelitian, secara langsung mengadakan pengamatan, penelitian, wawancara, dan pencatatan di lapangan. 3. Data-data yang dikumpulkan bersifat deskriptif, tidak menggunakan angka-angka atau statistik. 4. Penelitian ini mencari asal usul, bentuk dan fungsi tari mekotekan bagi masyarakat pendukungnya.
12
5. Penelitian ini mengutamakan data langsung dari lapangan yang diperoleh peneliti. 6. Penelitian ini melakukan analisis data sejak awal sampai akhir dari penelitian ini.
3.2 Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini ialah peneliti sendiri, karena peneliti yang mengumpulkan dan mengolah data. Suatu penelitian kebudayaan, khususnya mengenai seni tari, memerlukan hubungan yang baik antara peneliti dan masyarakat pendukungnya. Alat bantu yang sangat penting digunakan di lapangan pada saat observasi maupun wawancara adalah tape recorder, handycam, digital camera dan alat tulis.
3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi yang dilengkapi dengan pedoman wawancara yang ditujukan kepada informan, panduan observasi digunakan pada saat observasi secara langsung di lapangan. Panduan ini berdasarkan pada data yang diperlukan untuk membahas permasalahan. Data-data yang diperoleh dari observasi dan wawancara merupakan data primer. Sedangkan data-data sekundernya didapatkan dari hasil studi kepustakaan, baik berupa buku, artikel, hasil penelitian dan yang lainnya.
13
3.3.1 Metode Observasi Metode Observasi adalah melakukan pengamatan langsung untuk mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan secara sistematis. Pengamatan pada saat berlangsungnya suatu peristiwa, dalam hal ini observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi, yakni penulis terlibat langsung dalam proses kreativitas seperti membawa properti, mepeed, metirta air suci hasil rendaman keris pusaka Pura Puseh Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung. Hal ini dilakukan agar menghasilkan data yang sistematis dan otentik.
3.3.2 Metode Wawancara Melakukan wawancara langsung kepada pemuka masyarakat desa Munggu yang dapat memberi informasi terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan untuk menghasilkan data yang sistematis. Peneliti telah menyiapkan beberapa pertanyaan, melihat situasi dan kondisi narasumber, serta menjaga hubungan, agar dapat menghasilkan wawancara yang maksimal
dan efisien, sehingga hubungan antara peneliti
dengan
narasumber tetap terjalin dengan baik. Tanya jawab dilakukan dengan beberapa
pemuka
masyarakat
setempat
tentang
tari
Mekotekan.
Narasumber yang peneliti wawancarai berjumlah 5 (lima) orang dengan latar belakang sosial yang berbeda, seperti tokoh masyarakat Desa Munggu, penari tari Mekotekan, pejabat Dinas Kebudayaan dan yang
14
lainnya. Adapun wawancara langsung bertempat di Griya Pemaron Desa Munggu Kabupaten Badung dengan mempergunakan tape recorder dan kamera.
3.3.3 Metode Dokumentasi Dalam penelitian ini, studi dokumentasi sangat penting dilakukan untuk melengkapi data-data yang terkumpul dari hasil observasi dan wawancara. Penulis melakukan studi dokumentasi dalam bentuk rekaman DVD. Dalam pengumpulan data diperlukan persiapan agar terhindar dari kesulitan-kesulitan
yang
ditemui
di
lapangan,
misalnya
dengan
mempersiapkan alat-alat pengumpulan data. Ada beberapa alat bantu yang dipersiapkan, yaitu alat untuk wawancara dan alat untuk observasi. Alat bantu untuk wawancara diantaranya : a. Buku catatan, berfungsi untuk mencatat hasil wawancara dengan narasumber.
Catatan
ini
akan
membantu
meringankan
mempermudah di dalam menganalisis data. b. Tape recorder, berfungsi merekam data saat wawancara. Tape recorder membantu untuk menyimpan semua hasil wawancara yang belum tercatat secara rinci. Sedangkan alat bantu untuk observasi, yaitu :
15
serta
a.
Handycam, berfungsi untuk merekam pertunjukan yang sedang berlangsung, sehingga dapat membantu dalam menganalisis jenis dan kualitas pertunjukan tersebut.
b.
Camera, berfungsi untuk mendokumentasikan gambar pada saat observasi dan wawancara.
3.3.4 Metode Studi Kepustakaan Metode studi kepustakaan yaitu membaca buku-buku dan literatur ataupun artikel koran yang ada kaitannya dengan tari-tarian yang berhubungan dengan ritual keagamaan yang diadakan di Bali dan berbagai sejarah yang melatarbelakangi tari Mekotekan dengan bahasa yang tegas, lugas dan terpercaya. Diantaranya naskah-naskah kepustakaan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali serta kepustakaan koleksi dari Ida Peranda Griya Pemaron di Desa Munggu Kabupaten Badung.
3.4 Metode Analisis Data Setelah dilakukan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi, maka data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis. Analisis data yang digunakan adalah analisis diskriptif
yaitu
memaparkan
sejarah,
bentuk
pertunjukan
perkembangan serta fungsi tari Mekotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung.
16
dan
3.5 Teknik Penyajian Hasil Penelitian Penyajian hasil penelitian dilakukan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga Institut Seni Indonesia Denpasar pada buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Seni Pertunjukan Tahun 2009, yaitu :
Bab I
Pendahuluan Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian tentang tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Bab II Kajian Sumber dan Landasan Teori Berisi tentang kajian pustaka dan landasan teori yang digunakan untuk membedah tentang tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung. Bab III Metode Penelitian Berisi tentang metode penelitian yang mencakup rancangan penelitian,
pengumpulan
data
dan
analisis
data
mendapatkan data tentang tari Mekotekan secara efesien dan mendetail. Bab IV Pembahasan Berisi tentang hasil penelitian yang mencakup deskripsi data hasil penelitian dan pembahasan mengenai sejarah tari
17
untuk
Mekotekan, prosesi upacara Ngerebeg, perbendaharaan gerak serta kostum tari Mekotekan, dan fungsi dari tari Mekotekan. Bab V Penutup Berisi mengenai kesimpulan dan saran-saran yang difokuskan pada tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung. Pada akhir tulisan terdiri dari daftar sumber / referensi dan lampiran-lampiran.
18
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung Awal mula atau sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung ini masih diliputi ketidakjelasan. Sementara ini yang berkembang di masyarakat adalah versi dari Ida Pedande Gede Sidemen Pemaron dan versi yang bersumber dari Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Informasi ini dimuat jelas di Koran Nusa Bali terbitan hari Minggu, tanggal 25 Oktober 2010.
4.1.1 Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”. Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh
19
Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”. Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan
meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air
sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala ). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman. Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama ( nasarin) Pura Luhur
20
Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjatasenjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut. Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan. Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
21
Benar-benar suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua
yang
berbentuk
senjata
tajam.
Setelah
disaksikan
oleh
Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan. 5 Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut. Keris dan tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat di pasupati Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya keris-keris dikemit selama 3 bulan di
5
Hasil wawancara dengan Ida Bagus Sideman, Griya Sideman Pemaron.
22
Ida
panggung upacara tersebut secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris dan tombak itu masing-masing diberi nama : 1. Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I Raksasa Bedek 2. Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar Sungsang 3. Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat 4. Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat 5. Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog) Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tari Mekotekan.
4.1.2 Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi Versi lain dari sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi sesuai dengan yang termuat dalam surat kabar harian Nusa Bali t erbitan hari Minggu, 25 Oktober 2010. Dalam surat kabar tersebut I Ketut Kormi
23
mengatakan tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah Raja Munggu, yang pergi ke Blambangan untuk melakukan perluasan wilayah. Pada peperangan itu Raja Munggu menang dan kembali ke Munggu bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini. 6 Munculnya kata Mekotekan ini berasal dari kata ”kotek” yang berarti suara atau bunyi yang ditimbulkan dari persentuhan antara batang batang kayu yang dilakukan pada saat prosesi upacara Ngerebeg berlangsung. Sedangkan kata Ngerebeg berasal dari kata ”rebeg” yang berarti perang. 7 Sehingga tari Mekotekan dalam rangkaian upacara Ngerebeg ini ciri khasnya adalah penggunaan properti batang kayu seperti tombak yang dibawa oleh prajurit jaman dahulu menuju medan perang, kayu ini kemudian disatukan ujung atasnya sehingga menimbulkan suara gesekan batang kayu tersebut.
6 7
Surat Kabar Nusa Bali, 25 Oktober 2010, hal 12 Hasil wawancara langsung dengan Ida Peranda Sideman Griya Munggu Kabupaten Badung
24
Dalam pementasan tari Mekotekan ini, masalah faktor keindahan adalah sekunder, karena tari Mekotekan ini penekanannya lebih kepada upacara keagamaan, yang dipersembahkan kepada Tuhan. Pementasan tari Mekotekan dipercaya dapat memberikan pengaruh positif bagi kehidupan manusia itu sendiri. Kehendak jiwa manusia itu sendiri dimanifestasikan menjadi bentuk-bentuk gerak tari yang bersifat magis, dengan peniruanpeniruan gerak-gerak alam, sehingga mencapai situasi di bawah alam dan para penarinya mengalami trance (tidak sadar) 8. Pemuka
sadar
masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Munggu mengatakan bahwa tari Mekotekan merupakan tarian anugrah dari Ida sang Hyang Widhi Wasa. Kemunculan tari Mekotekan diawali melalui seorang pemangku yang kerawuhan (trance), melakukan gerakan yang diambil dari ilustrasi sebuah keris, ditancapkan pada tugu Pura Luhur Sapuh Jagat Munggu, yang berarti kemenangan.
4.2 Bentuk Tari Mekotekan 4.2.1 Prosesi Upacara Ngerebeg Sebelum upacara Ngerebeg dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara titi mamah dengan menggunakan kebo yus brana , yaitu seekor kerbau betina (gadis) yang berwarna hitam. Warga yang ikut bersaksi diadakan upacara semacam upacara ritual itu dipercikan air suci yang
8
Jane Belo. Trance in Bali, 1960
25
merupakan hasil rendaman keris-keris yang sudah dipasupati, dengan tujuan agar warga/rakyat yang bersaksi apabila kena goresan atau tu sukan senjata tajam, tidak terluka dan sehat walafiat. Prosesi mepeed mulai dari Kraton Puri Agung di Munggu yang sekarang bernama Griya Agung Mandera atau Griya Bancingeh yang paling pertama adalah pengasepan (api, dupa) eteh-eteh Ida Betara, wastra, umbul-umbul, tedung betari, bendrangan, tombak dan seluruh duwe/milik pura dikeluarkan dalam prosesi upakara ini mengelilingi Desa Munggu yang berakhir di Jaba Pura Luhur Sapuh Jagat, yang diberi upacara sebagaimana mestinya. Setelah upacara selesai kira-kira pukul 13.00 siang, dimulailah upacara ”Ngerebeg”, yaitu perang-perangan. 11 banjar yang ada di desa Munggu pada setiap banjar wajib mengeluarkan 30 sampai 35 orang untuk ikut sebagai pendukung tari Mekotekan. Terbentuklah segerombolan rakyat yang masing-masing membawa kayu pulet yang panjangnya ± 4 m dengan bentuk menyerupai tombak. Lebih kurang 800 orang warga yang terlibat dalam upacara Ngerebeg mengelilingi Desa Munggu dan pada setiap
prapatan
banjar
yang
dianggap
tempat-tempat
bersejarah
dipentaskan tari Mekotekan dengan durasi ± 6 menit. Dalam kondisi kerawuhan (trance) mereka semua melakukan Mekotekan dan menari-nari dengan gerakan bebas, kemudian dengan spontan mereka mendekatkan ujung dari properti yang mereka bawa, sehingga terbentuk bangun menyerupai kerucut. Beberapa orang warga ±
26
6 - 9 orang berlari menaiki punggung dan kepala warga yang sedang menari-nari, sehingga sampai pada ujung kotekan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari di atas kotekan kayu lebih kurang 5-6 menit mereka menari di ujung kayu-kayu kotekan itu, dan beberapa orang pemangku pura melakukan ritual ngaturang segehan agung dan tetabuhan, tuak, arak dan berem serta mohon kepada sesuhunan betara agar upacara mekotekan berakhir dengan selamat, dan akhirnya semua penari Mekotekan sudah sadarkan diri. Serta semuanya melakukan tetabuhan, dan upaca ra selesai. Selanjutnya semua pusaka keris dan tombak disimpan kembali di kraton Puri Agung Munggu. Seluruh rangkaian prosesi ini secara tidak langsung merupakan fragmentasi tari untuk mengenang sejarah berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, dimana pada saat itu ada seorang warga (yang akhirnya menjadi pemangku di sana) kesurupan dan naik ke atas sebuah payung (tedung) setinggi 5 meter yang diambil dari Pura Puseh dan ditancapkan di tempat yang selanjutnya menjadi tempat berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, untuk meyakinkan warga masyarakat akan adanya kekuatan ilahi yang akan melindunginya.
4.2.2 Perbendaharaan Gerak Tari Mekotekan Adapun simbol gerakannya diambil dari ilustrasi sebuah keris yang ditancapkan pada sebuah tugu yang berarti kemenangan. Dominan gerakannya adalah olah tubuh pada level tinggi, yang melambangkan
27
kegagahan, kewibawaan dan keagungan seorang raja gerakannya yang kompak dan penuh kegembiraan menandakan kebahagiaan yang meraih suatu kemenangan melawan penjajahan. Namun semua gerak-gerak yang dilakukan tidak lepas dari ciri khas gerak-gerak tari seperti gerak ngeraja singa, yaitu gerakan yang dilakukan pada saat penarinya berada di ujung tatanan kayu (di puncak kerucut), dan juga gerakan malpal dilakukan pada saat membentuk lingkaran sambil menata properti yang dibawa, berupa kayu-kayu yang diujungnya dipasang
pada berupa keris dari tamiang
yang merupakan simbol-simbol dari pusaka-pusaka Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung. Setelah tatanan kayu-kayu itu dibentuk berupa krucut, dengan spontan ada beberapa warga yang kesurupan dan naik ke atas tatanan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari dan diarak oleh warga. Dengan ekspresi dari rasa suka, bahagia dan gembira melakukan gerakan ngraja singa yang diulang-ulang yang merupakan kekuatan dari alam (niskala) sehingga penari itu nampaknya seperti ada unsur ekspresi jiwa yang memiliki kekuatan gaib dan mempunyai daya pancar yang kuat, yang sering disebut metaksu. Tari Mekotekan ini memiliki keunikan tersendiri. Sebagai gerakan penutup, tatanan kayu-kayu yang berbentuk kerucut
direbahkan,
sehingga
penarinya
membubarkan diri.
28
pun
turun
dan
langsung
4.2.3 Busana dan Tata Rias Busana yang dipergunakan masih berpolakan busana kuno yang sangat sederhana, yaitu : Menggunakan udeng batik Kain batik bulet linting Saput poleng Bunga pucuk bang (kembang sepatu warna merah)
4.2.4 Properti yang Digunakan Properti yang dipergunakan dalam tarian ini adalah sebatang tongkat kayu berukuran panjang + 4 meter, terbuat dari kayu pulet yang kulit batang kayunya sudah dibersihkan sehingga terlihat putih dan halus. Sebelum dipergunakan seluruh kayu pulet di pasupati secara massal.
4.2.5 Instrumen Pengiring Tari Mekotekan Iringan musik dimainkan oleh para penabuh memakai kostum yang seragam. Sebelum dipergunakan untuk mengiringi tarian, alat musik iringan dihaturkan sesajen yang terdiri dari : tipat gong, banten peras, banten sodan, banten daksina dan canang sesari. Alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari Mekotekan ini adalah seperangkat gambelan baleganjur yang terdiri dari : 1. Kendang 2 buah lanang-wadon 2. Cengceng 9 cakep
29
3. Tawa-tawa (ponggang) 4. Reyong (4 buah) 5. Suling 6. Gong
4.2.6 Masyarakat Pendukung Suatu seni pertunjukan akan dapat tetap lestari apabila ada komunitas masyarakat yang mendukungnya. Sebagaimana halnya tari Mekotekan ini, sebagai sebuah tarian sakral yang dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis yang mampu menghindarkan dari wabah dan malapetaka, maka tari Mekotekan ini didukung secara penuh oleh lembaga tradisional masyarakat Desa Munggu yang merupakan gabungan dari 11 banjar. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penari tari Mekotekan, nama banjar-banjar yang terdapat di desa Munggu, yang terlibat secara aktif dalam menyumbangkan anggotanya untuk mewakili dalam tari Mekotekan, secara berurutan sesuai jalur pelaksanaan prosesi upacara Ngerebeg ini, adalah : 1. Banjar Pusehan 2. Banjar Sedahan 3. Banjar Pempatan 4. Banjar Pandean 5. Banjar Kebayan
30
6. Banjar Dukuh Celuk 7. Banjar Pengayehan 8. Banjar Pemaron Delodan 9. Banjar Pemaron Baleran 10. Banjar Badung 11. Banjar Krobokan 9 Di dalam buku seni sakral dalam hubungan dengan Agama Hindu, dinyatakan bahwa motivasi utama tumbuhnya seni sakral dalam kontek s yadnya adalah rasa pengabdian yang tinggi terhadap agama. Adanya konsep ”ngayah” setiap kegiatan agama Hindu di Bali menyebabkan para pemeluknya berlomba-lomba menyiapkan dirinya untuk mengadakan pegelaran kesenian serta membuat sarana sesajen. Apabila tidak bisa melakukan pengabdian terhadap agama, dan juga terhadap Hyang Widhi, setiap orang akan merasa tidak menyatu dengan masyarakat, lingkungan dan Tuhan. 10
4.2.7 Perkembangan Tari Mekotekan Tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung merupakan tari Wali, yang dipentaskan setiap upacara piodalan pada saat hari raya Kuningan. Pada tahun 1915 – 1917 upacara ritual dan tari Mekotekan pernah dihentikan oleh pasukan Belanda, karena dianggap oleh Belanda sangat 9
Wawancara dengan Pimen, seorang penari tari Mekotekan, bertempat di Desa Munggu, pada hari Selasa, 19 Januari 2010. 10 Panji, I. G. B. H. Seni Sakral dalam Hubungan dengan Agama Hindu, 1983
31
membahayakan. Rakyat Munggu membawa senjata tajam yang dikira untuk melakukan pertempuran, padahal sudah dijelaskan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu bahwa itu adalah upacara keagamaan. Namun pihak Belanda tidak percaya dan tetap menuduh bahwa upacara Ngerebeg yang membawa properti tumbak dianggap perlawanan anti Belanda. Akhirnya rakyat menyerah dan terpaksa mau mengikuti aturan Belanda. Namun penghentian penyelenggaraan tari Mekotekan dan ritualnya diikuti oleh suatu fenomena yang aneh. Musibah mulai terjadi, setiap hari hampir 10– 15 orang warga meninggal dunia ditimpa wabah penyakit. Ida Perand a Pemaron Munggu sangat bingung melihat rakyat mati silih berganti. Hal ini menyebabkan Desa Munggu menjadi amat mencekam dan menyedihkan. Tahun
1949,
setelah
bangsa
Indonesia
merdeka
mulai
ada
perubahan-perubahan dan terobosan-terobosan dari rakyat Munggu untuk melakukan tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg yang merupakan suatu keharusan dan kewajiban warga Munggu untuk melaksanakan upacara Ngerebeg yang berlangsung hingga sekarang. Dari
perkembangan
yang
paling
menonjol
di
sini
perkembangan busana yang dipergunakan oleh para penari. Men urut salah seorang dari pendukung tari Mekotekan yang bernama I Nyoman Panji asal Munggu, 42 tahun, mengatakan, bahwa pada zaman penjajahan tahun 1942 penari Mekotekan hanya memakai busana kamen batik bulet linting tanpa baju serta hiasan kepala menggunakan udeng batik let tanpa make-up sedikitpun. Pada zaman sekarang ini penari Mekotekan telah menggunakan
32
adalah
baju kaos dengan pakaian adat Bali madia dan memakai alas kaki (sepatu olahraga).
4.3 Fungsi Tari Mekotekan dalam Upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung Fungsi adalah sebuah kata yang mempunyai arti yang sama dengan manfaat atau kegunaan. Tari Mekotekan di Desa Munggu dipentaskan dalam upacara Ngerebeg yang dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Munggu setiap hari Saniscara Kliwon wuku Kuningan (6 bulan sekali) mulai pukul 11.00 s/d 18.00 Wita. Tari Mekotekan ini termasuk tarian kolosal yang cukup langka. Selain sebagai tari Wali untuk mengiringi upacara keagamaan, tari ini merupakan tarian yang unik serta adanya kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk melakukan atraksi dan hanya bisa dilakukan di tempat-tempat yang memiliki sejarah tersendiri di lingkungan Desa Pemaron Munggu. Pementasan Tari Mekotekan dipercaya mampu menghindarkan masyarakat dari berbagai macam wabah penyakit, dan mendatangkan ketentraman bagi masyarakat pendukungnya, sehingga keberadaan tari Mekotekan itu tetap dipertahankan sampai sekarang. Jadi fungsi tari Mekotekan dalam prosesi Ngerebeg adalah untuk mengiringi upacara Ngerebeg di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung, tanpa adanya tari Mekotekan ini upacara Ngerebeg tidak akan dianggap selesai. Di samping itu dalam perkembangannya saat
33
ini tari Mekotekan juga telah menjadi sebuah seni pertunjukan yang unik, sehingga dalam pementasannya banyak ditonton oleh war ga masyarakat maupun para wisatawan.
34
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan
hasil
analisis
data
dalam
penelitian
ini
disimpulkan sebagai berikut : Tari Mekotekan ini merupakan tari tradisi yang dianggap sakral, yang ditarikan oleh laki-laki saja. Jumlah penarinya kurang lebih berjumlah 300 orang dari 11 banjar yang ada, sehingga tarian ini termasuk jenis tari kolosal. Mekotekan dilakukan di setiap prapatan agung yang memiliki sejarah tersendiri, mepeed mengelilingi Desa Pemaron Munggu dengan iringan Baleganjur. Terwujudnya tari Mekotekan di Desa Munggu, merupakan anugrah dari Ida Sang Hyang Widi Wasa yang muncul melalui perantaraan seorang pemangku yang kerawuhan (trance). Gerak tari yang ditampilkan juga sangat sederhana, hanya malpal dan ngraja singa. Properti yang digunakan berupa sebuah tongkat kayu yang panjangnya ± 4 m. Pada saat tarian berlangsung tongkat-tongkat ini dipegang oleh setiap penari, kemudian ujung tongkat berusaha disatukan di atas sehingga membentuk bangun menyerupai kerucut. Setelah susunan tongkat membentuk kerucut, beberapa penari yang kerauhan akan naik ke atas susunan tongkat berusaha mencapai puncak kerucut dan kemudian menari di atasnya.
35
dapat
Tari ini tergolong ke dalam tari yang disakralkan, dan masyarakat Desa Munggu percaya bahwa pementasan tarian ini akan mampu menolak wabah di Desa Munggu, sehingga tarian ini dipetaskan secara rutin setiap 6 bulan sekali yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan dalam rangkaian upacara Ngerebeg yang dilaksanakan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung.
5.2 Saran-Saran Mengingat tari Mekotekan dalam Upacara Ngerebeg memiliki peran yang sangat penting di dalam Upacara Dewa Yadnya, sehingga dengan hasil penelitian ini disarankan kepada masyarakat penyungsung Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung agar tetap memelihara dan melestarikan tari Mekotekan sehingga terhindar dari kepunahan dan tetap menjaga keasliannya. Jangan sampai kesenian sakral dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan pariwisata. Terutama kepada pemerintah yang berwenang dalam kebudayaan diharapkan agar benar-benar memperhatikan serta ikut membina serta memberi pengarahan khusus untuk melestarikan tari Mekotekan dalam upacara Ngerebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung.
36
DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia _____________, 1996, Evolusi Tari Bali, Yogyakarta : Kanisius Bandem, I Made, & Fredrik Eugene de Boer, 2004, Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi, terjemahan : I Made Marlowe Makaradhawaja, di bawah lisensi Oxford University Press, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jane Belo, 1960, ”Trance in Bali” Dibia, I Wayan. 1977, ”Perkembangan Seni Tari Bali”, Denpasar Proyek Sasana Budaya Bali. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali, 1986, Babad Dalem Djelantik, A.A.M., 1999, Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Bandung :
Djero Pramana, Pande Nyoman, 1971, Tari Ritual Sanghyang Jaran Harian Nusa Bali, terbitan tanggal 25 Oktober 2010, hal 12 Tentang Sejarah Tari Mekotekan Ida Pedanda Gede Griya Mandhara Munggu, Kolektor Purana Pura Luhur Sapuh Jagat Munggu Ida Pedanda Gede Pemaron, Kolektor Babad Puri Agung Mengwi , Griya Agung Mandhara Munggu Jane Belo, 1960, ”Trance in Bali” Konser Vatori Karawitan Indonesia ( Kokar) , 1971, Seni Sakral dan Seni Profan Bidang Tari Pada Seminar di Kokar Denpasar Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I , Jakarta : Universitas Indonesia Press Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2002. Ketika Orang Jawa Nyeni , Yogyakarta : Galang Press Soedarsono, R.M. 1998, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
37
38
LAMPIRAN 1 DAFTAR FOTO :
Foto 1. Metirta hasil rendaman keris pusaka Sumber
: Dokumentasi Pribadi
Kameraman
: Iwan
Foto 2. Prosesi upacara Mekotekan Sumber
: Dokumentasi Pribadi
Kameraman
: Iwan
Foto 3. Melakukan Mekotekan Sumber
: Dokumentasi Pribadi
Kameraman
: Iwan
Foto 4 Penari dalam situasi kerawuhan Sumber
: Dokumentasi Pribadi
Kameraman
: Iwan
Foto 5. Gerakan ngraja singa dalam pementasan tari Mekotekan Sumber
: Dokumentasi Pribadi
Kameraman
: Iwan
Foto 6. Penari terjatuh dari tatanan kayu (Sumber : Nusa Bali, Minggu , 25 Oktober 2010)
LAMPIRAN 3
DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: Ida Bagus Gede Sidemen, S.Sos
Umur
: 58 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Griya Gede Pemaron Desa Munggu
Pekerjaan
: Dosen Agama Hindu di UNUD
2. Nama
: I Nyoman Panji
Umur
: 42 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Griya Gede Pemaron Desa Munggu
Pekerjaan
: Swasta
3. Nama
: Drs. Nikanaya
Umur
: 60 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jl. Anyelir, Denpasar
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
4. Nama
: Drs. Djesna Winada
Umur
: 60 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Banjar Binoh Denpasar
Pekerjaan
: Pensiunan PWI Bali
5. Nama
: Pimen
Umur
: 20 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Desa Munggu Kabupaten Badung
Pekerjaan
: Mahasiswa
LAMPIRAN 4
DAFTAR PERTANYAAN 1. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung? 2. Bagaimana sejarah munculnya tari Mekotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung? 3. Bagaimana gerak tari Mekotekan? 4. Apakah gerakan-gerakan yang dilakukan mengandung arti tersendiri?
5. Apa ciri khas tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung? 6. Bagaimana bentuk pertunjukan Tari Mekotekan? 7. Apa makna dari atraksi-atraksi yang dilakukan dalam tari Mekotekan? 8. Apakah penari melakukan proses pedudusan alit sebelum menari? 9. Apa ada mengandung arti dari tempat-tempat pementasan? 10. Mengapa dilakukan disana? 11. Berapa lama tarian ini dipentaskan? 12. Pada setiap upacara apa tari Mekotekan ini dipentaskan? 13. Apa fungsi tari Mekotekan di pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu Kabupaten Badung? 14. Dari segi apa tarian ini bisa dikatakan tari upacara? 15. Apa perkembangan tari Mekotekan terdahulu sekarang? 16. Bagaimana busana yang dipergunakan penari Mekotekan? 17. Bagaimana musik iringannya? 18.